vonis mati

Jumat, 26 Januari 2024

vonis mati


 


Hukuman mati masih diterapkan di negara kita  dan tertuang dalam 
hukum positif negara kita  yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana 
pokok, hal ini  juga didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang 
bisa dikategorikan ataupun diancam dengan pidana mati antara lain 
tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang 
negara kita  begitu juga dalam Rancangan KUHP juga ada  pengaturan 
pidana mati. 
2. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati 
bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia 
terutama Pasal 3 DUHAM yaitu hak untuk hidup. Namun ada  
pengecualian dari Pasal ini  yaityu Pasal 4 ayat (1) ICCPRderogable 
right yang pada intinya hukuman mati dapat dilaksanakan dengan 
kualifikasi kejahatan ini  membehayakan publik. 

1. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk 
hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal 
membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga 
terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek 
kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati. 
2. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan 
untuk mencapai keadilan dal ketertiban, sebab  dengan tertibnya hukum 
dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan 
ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana mati. 

Penegakan hukum yaitu  proses dilakukannya usaha  untuk tegaknya atau 
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam 
lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 
Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh 
subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai usaha  penegakan hukum itu 
melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang 
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan 
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti 
dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi 
subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai usaha  aparatur 
penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum 
itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk 
memakai  daya paksa. 
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu 
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang 
luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai 
keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai 
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan 
hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 
sebab  itu, penerjemahan perkataan Law enforcement ke dalam bahasa negara kita  
dalam memakai  perkataan Penegakan Hukum dalam arti luas dapat pula 
dipakai  istilah Penegakan Peraturan dalam arti sempit. Pembedaan antara 
formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang 
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan 
dikembangkannya istilah the rule of law atau dalam istilah the rule of law and not 
of a manversus istilah the rule by law yang berarti the rule of man by law Dalam 
istilah the rule of law terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan 
dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang 
terkandung di dalamnya. sebab  itu, dipakai  istilah the rule of just law. Dalam 
istilah the rule of law and not of man, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa 
pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh 
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya yaitu  the rule by law yang 
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang memakai  hukum 
sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. 
Bermacam-macam cara pemidanaan ataupun ancaman hukuman yang dalam hal 
ini hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan hukum. Pidana mati 
merupakan salah satu jenis cara penegakan hukum pidana yang paling 
kontroversial didunia. Dari jaman Babilonia hingga saat ini, hukuman ini  
masih dipakai  sebagai salah satu sangsi bagi mereka yang dituduh/terbukti 
melakukan satu tindak kejahatan. Tidak ada catatan yang pasti menyatakan awal 
dipakai nya hukuman mati. 
 Pidana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, sebab  tidak ada 
lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai 
macam cara. saat  manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang 
belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak 
berperikemanusiaan kalau kita menilainya dari sudut pandang masa kini. 
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun 
semakin berkembang pesat. Namun demikian, masih belum ada kata sepakat 
tentang cara pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati 
akan tetap menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam 
(http://id.wikipedia.org/wiki/hukuman_mati) 
Sampai sejauh ini beberapa penelitian sejarah menemukan bahwa pidana mati 
telah dipakai  pada abad 18 Sebelum Masehi (SM) dalam hukum yang 
diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, ada  25 kasus kejahatan 
yang dijatuhi pidana mati. Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga 
diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). 
Pidana mati ini  dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam 
pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga 
tewas, dibakar, dan lain-lain. 
Pada abad ke-10, hukuman mati dengan cara digantung menjadi metode yang 
dipakai  di dataran Inggris. Pada abad berikutnya, Raja William tidak 
mengizinkan hukuman mati kecuali dalam kondisi perang. Akan tetapi, pada abad 
ke-16 kondisi ini kemudian berbalik. Dibawah rezim Raja Henry ke-16, 
diperkirakan sekitar 72 ribu orang dihukum dengan cara direbus (dimasak), 
dibakar, digantung, dipenggal, dipisahkan anggota tubuhnya dengan cara ditarik 
dan lain-lain. Hukuman ini dijatuhkan dengan alasan pelanggaran hukum seperti 
menikahi orang Yahudi, tidak mengakui kejahatannya, dan pengkhianatan. 
Pada saat yang sama, kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi saat terjadi gerakan 
Pencerahan di Perancis. Titik awal berkembangnya pemikiran modern ditandai 
dengan tragedi. 
Alih-alih memperjuangkan kebebasan warga (Habeas Corpus), banyak kaum 
oposisi yang dianggap sebagai penentang revolusi Perancis terutama kalangan 
bangsawan dan kalangan gereja dihukum mati dengan cara dipenggal 
di guillotine. Salah satu cara yang masih dipakai  sampai saat ini yaitu  dengan 
hukum gantung. hukuman ini masih dijalankan atau diberlakukan di Irak, Arab 
Saudi, negara kita  dan Malaysia. Dengan alasan untuk mengurangi rasa sakit yang 
dialami oleh mereka yang menjalaninya, pidana mati kemudian dilakukan 
berbagai cara yang dianggap lebih manusiawi. Pidana dengan regu penembak 
masih menjadi cara dibeberapa negara termasuk negara kita . Pada tahun 1890, 
Negara bagian New York, Amerika Serikat mengembangkan kursi listrik dan 
awalnya dilakukan di pada tahun 1890 untuk mengeksekusi Raja William. Sampai 
saat ini, hanya negara bagian Nebraska yang memberlakukan kursi listrik sebagai 
metode. Pada tahun 1924, negara bagian Nevada kemudian memakai  kamar 
gas dengan sianida. Terakhir, hukuman ini dipakai  pada tahun 1999. Terakhir 
yaitu  dengan suntik mati. Negara bagian Oklahoma yaitu  wilayah yang 
pertama memberlakukan hukuman mati dan melaksanakan hukuman ini  
pada tahun 1982 kepada Charles Brooks. Cara terakhir ini kemudian mulai 
dijadikan oleh beberapa negara sebagai metode hukuman mati. 
Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati 
hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan 
berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut: 
“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, 
 kecenderungan terhadap pelarangan ini  sangatlah jelas. Diadopsinya 
Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 
yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang 
sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk 
menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.” 
Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman 
mati, termasuk negara kita , dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah 
menghapuskan praktek hukumanmati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan 
hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan 
hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara 
malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129
negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. 
Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan 
bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman 
lainnya. Survey yang dilakukan PBBpada 1998 dan 2002 tentang hubungan 
antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, 
praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam 
memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas 
berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu 
masyarakat dan dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum. 
Dukungan hukuman mati didasari argumen diantaranya bahwa hukuman mati 
untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh sebab  
gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat 
bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera,pada hukuman mati 
penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi sebab  sudah dihukum mati dan 
itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas. Dalam berbagai kasus 
banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali 
melakukan kejahatan sebab  ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman 
mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi 
kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang 
tergantung pada korban.Lain halnya bila memang keluarga korban sudah 
memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas. 
Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas 
dan bias ras. Di Amerika Serikat, sekitar 80% terpidana mati yaitu  orang non 
kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak 
terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan 
penerjemah selama proses persidangan. Dalam hal ini hukuman mati merupakan 
suatu penghilangan nyawa seseorang disebab kan orang yang bersangkutan 
melakukan kesalahan ataupun yang sering disebut melakukan suatu tindak 
pidana. 
ada  berbegai macam pendapat tentang hukuman mati baik itu yang setuju 
ataupun yang tidak setuju, dalam hal ini suatu contoh ada nya ketentuan HAM 
sebagai dasar pelaksanaan dan pemenuhan hak-asasi manusia. Yang menjadi 
permasalahan pandangan HAM terhadap hukuman mati sebab  pada intinya 
hukuman mati yaitu  penghilangan nyawa seseorang. Berdasarkan uraian diatas, 
dalam makalah ini penulis mengkaji kebijakan penerapan hukuman mati ditinjau 
dari aspek hukum hak asasi manusia internasional. 
BAB II 
PERMASALAHAN 
 1. Bagaimana kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif 
di negara kita  ? 
2. Bagaimana penerapan hukuman mati ditinjau menurut hukum hak 
asasi manusia ? 
BAB III 
PEMBAHASAN 
1. Kebijakan formulasi hukuman mati dalam hukum positif di 
negara kita  
a. Pemidanaan dan Pidana Mati 
Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah “suatu perasaan tidak 
enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis 
kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana”. 
Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung 
dari sudut mana persoalan ini  ditinjau: 
1). Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman yaitu  suatu 
pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh 
harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” 
(vergelding-theorie) 
2). Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus 
dapat menakuti orang susaha  jangan berbuat jahat. Teori ini 
biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie). 
3). Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan 
pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. 
Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbetering-
stheorie). 
4). Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar 
dari penjatuhan hukuman itu yaitu  pembalasan, akan tetapi 
maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, 
mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki 
orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka yaitu  
penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-
theorie). 
Secara sederhana maka tujuan hukum pidana yaitu : 
1). untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan 
kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale 
preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang 
sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak 
melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); atau 
2). untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah 
menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang 
yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 
Sebagai masyarakat modern yang beradab maka sudah selayaknya 
tujuan generale preventie dari suatu pidana harus lebih 
dipertimbangkan daripada sekedar menjadikan pidana sebagai sarana 
untuk membalas dendam. Hal ini misalnya terlihat pada lebih 
dipilihnya istilah Lembaga Pemasyarakatan oleh pembentuk undang-
undang untuk menggantikan istilah Penjara. Demikian pula dengan 
dikembangkan sistem pemidanaan alternatif berupa “kerja sosial” 
yang dikembangkan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. 
Sehubungan dengan pandangan mengenai general preventie dan 
teori “tujuan” menurut Leo Polak pidana harus memenuhi 3 syarat: 
 1). perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu 
perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan 
dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif (objective 
betreurenswaardigheid). 
2). Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah 
terjadi. Hukuman tidak boleh memperhatikan apa yang 
mungkin akan atau dapat terjadi. Jadi, hukuman tidak boleh 
dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya 
dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka yaitu  
kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan (onlust) 
yang beratnya lebih dari pada maksimum yang menurut 
ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. 
3). Sudah tentu, beratnya hukuman harus seimbang dengan 
beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi 
beratnya delik. Hal ini perlu susaha  penjahat tidak dihukum 
secara tidak adil! Harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang 
tetapi juga tidak lebih. 
Pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab yaitu  apakah 
sebenarnya tujuan dari adanya pemidanaan termasuk didalamnya 
pidana mati. Ada yang memberikan jawaban yaitu “untuk 
memperbaiki penjahat”, kalau memang itu tujuannya berarti tidak 
ada tempat lagi bagi pidana mati dan pidana seumur hidup. 
Menurut penulis bahwa tujuan dari adaya pemidanaan dalam hak 
ini pidana mati, antara lain: Tujuan pemberlakuan hukuman mati 
untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dari aspek 
kemanusiaan, hukuman mati diperlukan guna melindungi masyarakat 
dari perbuatan orang jahat. 
b. Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di negara kita  
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan dua 
macam pidana: pidana pokok dan pidana tambahan, yaitu: 
a. Pidana pokok: 
1. Hukuman mati 
2. Hukuman penjara 
3. Hukuman kurungan 
4. Hukuman denda 
b. Pidana tambahan: 
1. Pencabutan beberapa hak yang tertentu 
2. Perampasan barang yang tertentu 
3. Pengumuman keputusan Hakim 
Dengan demikian, maka pidana mati di dalam hukum positif di 
negara kita  merupakan merupakan pidana pokok. 
Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam 
KUHP misalnya ; 
1). Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara; 
2). Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk 
menyerang negara kita ; 
3). Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada 
musuh pada saat negara kita  dalam keadaan perang; 
4). Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat; 
5). Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang 
direncakan lebih dahulu; 
 6). Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua 
orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara 
membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang 
mengalami luka berat atau mati; 
7). Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan 
di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ; 
8). Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huru-
hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja 
dalam perusahaan pertahanan negara ; 
9). Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu 
menyampaikan keperluan angkatan perang; 
10). Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ; 
Sebagai bahan komparatif sekaligus menerawang perkembangan 
pemikiran dalam pengaturan pidana mati di negara kita , ada baiknya juga 
apabila kita menyimak ketentuan naskah Rancangan KUHP baru 
sebagai Jus Constituendum, antara lain sebagai berikut : 
1). Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan 
menembak terpidana sampai mati; 
2). Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; 
3). Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur 
delapan belas tahun; 
4). Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang 
sakit jiwa ditunda sampai wanita ini  melahirkan atau orang 
sakit jiwa ini  sembuh; 
5). Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan 
Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden; 
6). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa 
percobaan selama sepuluh tahun, jika; 
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar 
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan 
untuk memperbaiki 
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak 
terlalu penting 
d) Ada alasan meringankan 
7). jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap 
dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah 
menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua 
puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman. 
8). jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan 
sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk 
memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas 
perintah Jaksa Agung. 
9). jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana 
mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan sebab  
terpidana melarikan diri maka terpidana mati ini  dapat 
diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri 
Kehakiman. 
2. Hukuman mati dikaji menurut perspektif Hak Asasi Manusia 
Internasional 
a. Kejahatan yang diancam hukuman mati (pelanggaran HAM berat) 
1) Genosida 
 Istilah genosida pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Raphael Lemkin 
(dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) pada tahun 1944. Secara etimologis 
istilah ini istilah ini berasal dari kata Yunani yaitu geno yang berarti ras 
dan kata latin cidium yang bermakna membunuh. Meskipun ada  
berbagai macam pengertian ataupun definisi mengenai genosida namun 
sebagian besar pengertian yang mengatur tentang genosida yaitu  tetap 
mencerminkan kedua elemen etimologik ini . 
Genosida selalu dikaitkan dengan pembunuhan terhadap etnis ataupun 
ras, menurut Goldstein (dalam Arie Siswanto, 2005 : 48) mensejajarkan 
genosida dengan pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang merupakan 
tindakan mengusir atau memusnahkan kelompok religius atau kelompok 
etnis tertentu. Meski ada  berbagai macam pengertian dan juga 
perbedaan di dalamnya, namun menurut penulis dapat diketahui bahwa 
genosida dapat menyangkut dua hal yang pertama, secara obyektif istilah 
ini  menunjuk pada tindakan pemusnahan masal, dan kedua secara 
subyektif yang menjadi target ataupun sasaran yaitu  kelompok 
tertentu. Definisi yang lebih komprehensif dapat ditemukan di 
dalam Convention on The Prevention and Punishment of The Crime of 
Genocide (dalam Arie Siswanto, 2005 : 49) yang diterima oleh Majelis 
Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Konvensi tentang genosida 
ini  merupakan salah satu usaha  masyarakat internasional untuk 
membasmi ataupun menghambat genosida yang dianggap sebagai 
kejahatan internasional, bertentangan dengan tujuan PBB dan penduduk 
dunia (crime under international law, contrary to the spirit and the aims 
of The United Nations and condemned by civilized world). 
Adapun pengertian tentang genosida yang ada  dalam Konvensi 
Genosida menyatakan bahwa (dalam Arie Siswanto, 2005 : 49) In the 
present convention, genocide means any of the following act commited 
with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or 
religius groups such as : killing members of the group, causing serious 
bodily or mental harm to members of the group, deliberetly inficting on 
the group condition of life calculated to bring about its physical destruction 
in whole or in part, imposing measures intended to prevent births within 
the group, forcibly treansfering children of the group to another group. 
Berdasarkan pengertian ini  di atas, untuk memudahkan dalam 
mempelajari dapat penulis terjemahkan sebagai berikut : Genosida berarti 
perbuatan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, 
etnis, ras atau agama yang mempunyai unsur-unsur seperti. 
a. membunuh anggota kelompok. 
b. menimbulkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap 
anggota kelompok. 
c. sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang 
mengakibatkan kemusnahan. 
d. tindakan paksa pencegahan kelahiran terhadap kelompok. 
e. pemindahan paksa anak-anak dari kelompok tertentu kepada 
kelompok lain. 
Bertitik tolak pada definisi ini , Yoram Dienstein  menyatakan bahwa esensi dari genosida bukanlah 
pemusnahan kelompok target secara aktual, melainkan kehendak untuk 
memusnahkan kelompok ini  sehingga menimbulkan dua 
 konsekuensi logis. Pertama, saat  suatu kelompok dimusnahkan tanpa si 
pelaku mempunyai kehendak untuk menimbulkan akibat ini  
genosida dianggap tidak ada. Kedua, pembunuhan terhadap seorang 
individu bisa saja diketegorikan sebagai genosida manakala pembunuhan 
ini  merupakan bagian dari serangkaian tindakan yang bertujuan 
untuk memusnahkan kelompok tempat individu ini  menjadi 
bagiannya. 
Menurut Konvensi Genosida Tahun 1948 kelompok yang dapat menjadi 
sasaran genosida yaitu  kelompok rasial, kelompok religius, kelompok 
nasional, dan kelompok etnis yang mempunyai berbagai macam kriteria. 
Keenam kriteria ini yaitu  sebagai berikut. 
a. kelompok itu memiliki nama sendiri sebagai cerminan indentitas 
kolektif. 
b. Mereka yang menjadi anggota kelompok itu meyakini bahwa mereka 
berasal dari nenek moyang yang sama. 
c. Mereka yang menjadi anggota kelompok itu merasa bahwa mereka 
memiliki pengalaman sejarah yang sama. 
d. Kelompok itu memiliki budaya yang sama. 
e. Kelompok itu haruslah merasa memiliki keterkaitan dengan wilayah 
tertentu. 
f. Para anggota kelompok haruslah menganggap diri mereka sebagai 
suatu kelompok. 
Kebanyakan orang meyakini bahwa konflik etnis dipicu oleh masalah yang 
sederhana dan jelas, yakni kebencian turun temurun (ancient hatreds) 
yang ada diantara kelompok etnis yang berlainan. Statuta Roma 1998 
secara literal juga mengadopsi definisi genosida yang ada  di dalam 
konvensi 1948. Artikel 6 Statuta Roma antara lain menyebutkan bahwa. 
“…genocide means any of the following acts committed with 
intent to destroy, inwhole or in part, a national, etnical, racial or religious 
group, as such: 
a. killing members or group. 
b. Causing serious bodily or mental harm to member of the group. 
c. Deliberately inflicting on the group conditional of life calculated to 
bring about its physical destruction in whpole or in parts. 
d. Imposing measures intented to prevent births within the group. 
e. Forcibily transferring children of the group to another group. 
Lebih jauh lagi Statuta Roma 1998 juga menegaskan bahwa yang dapat 
memikul pertanggung jawaban pidan abukan hanya mereka yang secara 
individual langsung melakukan tindakan genosida, melainkan juga. 
a. Mereka yang secara bersama-sama melakukan genosida dan mereka 
yang melakukan genosida melalui orang lain. 
b. Mereka yang memerintahkan, meminta atau mendorong 
dilakukannya genosida yang kemudian benar-benar terjadi atau dicoba 
untuk dilakukan. 
c. Mereka yang membantu pelaksanaan genosida atau percobaan 
genosida, termasuk menyediakan sarana untuk itu; 
d. Mereka yang secara sengaja memberikan sumbangan bagi 
pelaksanaan atau percobaan genosida. 
e. Mereka yang secara langsung dan secara terbuka mendorong orang 
lain untuk melakukan genosida. 
f. Mereka yang mencoba melakukan genosida dan telah mulai 
melakukan tindakan mewujudkan tindakan genosida, namun tindakan 
 genosida yang dikehendaki itu tidak dapat terwujud sebab  adanya 
factor-faktor diluar diri pelaku. Dalam konteks ini., seseorang yang 
secara sengaja dan sukarela menarik diri dari melakukan percobaan 
genosida tidak akan dijatuhi pidana. 
Dalam rumusan yang lebih singkat, sebenarnya substansi 
Statuta Roma 1998 mengenai persekongkolan, penyertaan, pembantuan, 
dan percobaan melakukan genosida juga dimuat didalam komvensi 
genosida, statuta ICTY, dan statuta ICTR. Secara persis, ketiga instrumen 
hukum itu mewujudkan bahwa yang dapat dikenai pidana yaitu  mereka 
yang melakukan. 
a. Genocide. 
b. Conspiracy to commit genocida. 
c. Direct and public incitement to commit genocide. 
d. Attempt to commit genocide. 
e. Complicity in genocide. 
2) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 
Istilah “ kejahatan terhadap kemanusiaan “ (crimes against humanity) 
sebagai suatu kategori dari kejahatan internasional mulai dikenal 
didalam join declaration pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia pada 
tanggal 28 mei 1915. Pernyataan bersama dari tiga Negara ini dibuat untuk 
mengutuk tindakan Turki yang membantai lebih dari satu juta warga turki 
dari keturunan Armenia. Oleh pernyataan bersama itu, tindakan 
pembantaian terhadap orang-orang Armenia itu disebut sebagai “kejahatan 
terhadap peradapan dan kemanusiaan” (crimes against civilization and 
humanity). 
Kodifikasi yang lebih jelas terhadap tindakan yang tergolong sebagai 
“kejahatan terhadap peradaban dan kemanusiaan” ini selanjutnya dimuat 
di dalam Konstitusi Mahkamah Kejahatan Perang Nurenberg yang dibentuk 
di penghujung Perang Dunia II. Seraya menegaskan bahwa “kejahatan 
terhadap kemanusiaan” merupakan hukum internasional yang berkembang 
melalui kebiasaan, Konstitusi Mahkamah Nuremberg menyatakan bagwa 
“kejahatan terhadap kemanusiaan” mencakup tindakan-
tindakan, “…..murder, extermination, enslavement, deportation, and 
another in humaneacts committed agains any civilian population, before or 
during the war, or persecution on political, racial or religious grounds in 
execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the 
tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country 
where perpetrated”. 
Dalam Statuta Roma 1998 ada  perluasaan pengaturan pengertian 
tentang kualifikasi kejahatan dalam perkosaan yaitu diperluas juga dengan 
perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, 
ataupun bentuk lain dari kekerasan seksual yang sama berat. Penulis 
menyatakan pendapat bahwa kejahatan kemanusiaan merupakan 
perbuatan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas atau 
sistematis ditujukan terhadap penduduk sipil, dan kejahatannya ini  
antara lain : 
a. Pembunuhan 
Yaitu serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang dapat 
diartikan bahwa sebagaiman perbuatan ini  terdiri dari serangkaian 
 tindakan yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari 
kebijakan suatu negara ataupun organisasi internasional untuk 
melakukan kejahatan pembunuhan ini . 
b. Pemusnahan 
Dalam hal ini pemusnahan dapat diartikan sebagai tindakan yang juga 
meliputi penerapan kondisi tertentu yang bersifat mengancam 
kehidupan secara sengaja, antara lain berupa mengahambat akses 
terhadap makanan, dan juga obat-obatan yang diperkirakan dapat 
membawa kehancuran bagi sebagian etau seluruh penduduk. 
c. Perbudakan 
Perbudakan dapat diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak 
milik terhadap obyek yang berupa orang, termasuk tindakan mengngkut 
obyek ini , khususnya perempuan dan anak-anak. 
d. Deportasi 
Deportasi ataupun pemindahan paksa yang dalam hal ini dikenakan 
terhadap penduduk dapat diartika sebagai tindakan yang merelokasi 
penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lain dari tempat 
dimana penduduk ini  secara sah berada, tanpa dasar yang bisa 
dibenarkan oleh hukum internasional 
e. Pencabutan kebebasan sewenang-wenang 
pencabutan kebebasan secara sewenang-wenang dapat diartikan 
pemotongan ataupun pengatuiran kebebasan individu untuk mentukan 
nasib sendiri, yang kesemuanya diatur secara menyeluruh dengan 
disertai ancaman baik itu secara fisik maupun psikis. 
f. Penyiksaan 
penyiksaan yaitu pengenaan rasa 
sakit atau npenderitaan fisik maupun mental secar sengaja atas 
seseorang yang ditahan atau berada di bawah kekuasaan pelaku. Meski 
demikian rasa sakit atau penderitaan yang bersifat inheren, incidental, 
atau semata-mata muncul dari pengenaan sanksi yang sah tidak dapat 
diketegorikan sebagai penyiksaan 
g. Pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya 
dalam hal ini dapat dicontohkan kehamilan secara paksa yang bertujuan 
untuk mendapatkan etnis baru dan memusnahkan etnis lama yaitu 
penyekapan secara tidak sah atas seorang perempuan yang dibuat 
hamil secara paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis 
suatu populasi. Namun hal ini  tidak dapat ditafsirkan 
mempengaruhi hukum nasional yang menyangkut kehamilan. 
h. Penganiayaan atau penindasan 
Penindasan dapat dimaknai sebagai penyangkalan keras 
secara sengaja terhadap hak-hak dasar manusia dengan cara yang 
bertentangan dengan hukum internasional dengan dasar identitas 
kelompok atau identitas kolektif. 
i. Penghilangan paksa 
penghilangan secara paksa dapat diartikan bahwa pemusnahan ataupun 
penghilangan terhadap kelompok etnis ataupun individu tertentu yang 
 dianggap tidak sesuai denga ras tertentu dan hal ini  bertujuan 
untuk mengurangi populasi suatu etnis tertentu. Yang dalam hal ini 
dapat dikategorikan sebagai penangkapan, penahanan, atau penculikan 
terhadap seseorang atau kelompok tertentu atas dasar wewenang dan 
dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik 
yang kemudian diikuti penolakan dari pelaku untuk mengakui 
perampasan kemerdekaan ini  untuk memberi keterangan tentang 
keberadaan orang yang ditangkap, ditahan, ataupun diculik ini  
dengan maksud menjauhkan orang-orang yang dirampas 
kemerdekaannya ini  dari perlindungan hukum dalam waktu yang 
relatif lama 
j. Apartheid 
Yaitu tindakan tidak manusiawi yang memiliki karakter yang sama 
dalam tindakan pemusnahan missal yang dalam hal ini berdasarkan 
warna kulit, yang dilakukan dalam konteks penindasan sistematik yang 
terlembagakan dan dalam konteks dominasi suatu kelompok rasial atas 
kelompok rasial lain dengan maksud untuk mempertahankan rezim yang 
melakukan penindasan ini . 
b. Analisis hukuman mati menurut ketentuan internasional Hak 
Asasi Manusia Internasional 
Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, ada  
beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati, 
antara lain: 
Berdasarkan Pasal 3 ” Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, 
dan keamanan pribadi ”. Bentuk yang paling ekstrim dari pelanggaran hak 
untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmai atau rohani dari 
seseorang ataupun dari kelompok ( Leah Levin, 1987: 45). Hukuman mati 
jelas telah melanggar pasal ini, dimana orang yang dijatuhi hukuman mati 
telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. 
Bagaimanapun juga hukuman mati yaitu  hukuman yang sangat melanggar 
hak untuk hidup bagi manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.Dapat dilihat 
banyak orang yang telah dijatuhi hukuman mati, antara lain koruptor di Cina, 
Saddam Hussein, ataupun lainnya. Namun seperti kasus Rwanda dan 
Yugoslavia pelaku pelanggaran HAM hanya diganjar dengan hukuman 
maksimal pidana seumur hidup, sebab  hukuman mati di jaman modern ini 
mulai ditinggalkan oleh negara-negara di dunia, meskipun masih ada 
beberapa negara yang masih melaksanakannya dengan berbagai cara, 
seperti digantung, ditembak, dan disuntik. Bagaimanapun caranya hukuman 
mati tetap saja melukai diri dan mengambil hak hidup dari seseorang. 
Jika pidana mati ditinjau menurut Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil 
politik yaitu Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk 
hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia 
yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya 
dijelaskan pada Pasal 3 DUHAM bahwa pelaksanaan eksekusi mati, telah 
melanggar pasal 6 ayat (1), eksekusi mati pada dasarnya menimbulkan 
kesakitan fisik dan dirampasnya hak hidup dari seseorang, dan ini yang 
bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 3 DUHAM. Meskipun 
banyak negara belum menghapuskan hukuman mati antara lain negara kita , 
Cina dan negara Irak belum menghapuskan hukuman mati, yang menjadi 
 permasalahan yaitu  tidak adanya pemenuhan dan pengaturan yang jelas 
terhadap pelaksanaan pidana hukuman ini  baik itu dalam proses 
penangkapan maupun dalam pelaksanaan pemeriksaan di persidangan, 
sehingga hal ini  bertentangan dengan konsepthe rule of law dimana 
ada nya pengaturan yang jelas baik itu persamaan kedudukan di muka 
hukum dan juga ada nya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang 
berimberimplikasi kekuasaan kehakimanh yang merdeka. 
Pasal 6 ayat (2) Kovenen Internasional Tentang Hak Sipil Politik menyatakan 
bahwa Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, 
putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan yang paling berat, sesuai 
dengan undang-undang yang berlaku pada waktu kejahatan demikian 
dilakukan, dan tanpa melanggar suatu ketentuan dari Kovenan ini dan 
Konvensi Tentang Pencegahan Dan Penghukuman Kejahatan Pemusnahan 
(suku) Bangsa. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan 
terakhir dari pengadilan yang berwenang. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (4) 
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik mengatur bahwa Seseorang 
yang telah dihukum mati harus mempunyai hak untuk memohon 
pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan, atau 
keringanan hukuman mati dapat diberikan dalam segala bab. Dalam hal ini 
menurut uraian diatas penulis mencoba berpendapat dengan 
memperhatikan beberapa aspek, sebab  dalam memahami suatu peraturan 
hendanknya diperhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam 
dilakukannya ataupun diterapkannya pidana mati, meskipun dalam HAM 
hukuman mati dilarang sebab  tidak sesuai dengan Pasal 3 DUHAM dan juga 
banyak dari negara di dunia yang telah menghapuskan hukuman mati. 
Di samping pengaturan tentang hak dasar yaitu hak untuk hidup yang diatur 
dalam DUHAM ini  yang dalam hal ini dihubungkan dengan hukuman 
mati, ada  pengecualian terhadap pelaksanaan hak ini  yaitu 
dengan adanya pemahaman mendalam terhadap adanya derogable rights, 
yaitu dalam hal yang pertama ”a public emergency which treatens the life of 
nation” dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak 
kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi keadaan darurat (public 
emergency) ini  harus diumumkan secara resmi (be officially 
proclaimed), bersifat terbatas serta tidak boleh diskriminatif. Hal ini  diatur secara limitatif dalam Kovenan Internasional 
Tentang Hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR menyatakan, 
dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan 
ada nya keadaan darurat ini  telah diumumkan secara resmi, 
negara-negara pihak pada kovenan ini dapat mengambil usaha -usaha  yang 
menyimpang (derogate) dari kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini, 
sejauh hal itu dutuntut oleh situasi darurat ini , dengan ketentuan 
bahwa usaha -usaha  ini  tidak bertentangan dengan kewajiban negara-
negara pihak itu menurut hukum internasional, dan tidak menyangkut 
diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, 
dan asal-usul sosial, sehingga vonis mati yang dijatuhkan terhadap Saddam 
tidak bertentangan dengan Pasal 3 DUHAM, sebab  kejahatan yang 
dilakukan yaitu  kejahatan HAM berat dan memenuhi ketentuan Pasal 4 
ICCPR. 
c. Alasan yang menyatakan setuju dengan dilaksanakannya pidana 
mati terhadap pelaku kejahatan. 
 1) Pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. 
Masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang ini sebab “mayatnya 
telah dikuburkan sehingga tidak perlu takut lagi terhadap terpidana”. 
2) pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah. 
3) Dengan alat represi yang kuat ini kepentingan masyarakat dapat 
terjamin sehinggadengan demikian ketentraman dan ketertiban hukum 
dapat dilindungi. 
4) Terutama jika pelaksanaan eksekusi di depan umum diharapkan 
timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk berbuat kejahatan. 
5) Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya 
seleksi buatan sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat 
dan buruk dan diharapkan akan terdiri atas warga yang baik saja.