dasar pidana 1

Rabu, 24 Mei 2023

dasar pidana 1



Hukum pidana yaitu  peraturan hukum mengenai pidana. Pengertian ini  telah 
diperjelas oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad yang mengatakan bahwa hukum pidana 
substantif/materiel yaitu  hukum mengenai delik yang diancam dengan hukum pidana. Kata 
hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang 
menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara ini  berkehendak untuk 
memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidana seperti apa 
yang dapat diperkenankan. Hukum pidana dalam artian ini yaitu  hukum pidana yang berlaku atau 
hukum pidana positif yang juga sering disebut jus poenale. Hukum pidana ini  mencakup: 
1. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya organ-organ yang dinyatakan 
berwenang oleh undang-undang dikaitkan ancaman pidana, norma-norma yang harus 
ditaati oleh siapapun juga 
2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa  yang dapat didayagunakan 
sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu 
3. Aturan-aturan  yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan 
batas ruang lingkup kerja dari norma-norma. 
 Moeljatno menyatakan hukum pidana  merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang 
berlaku di suatu negara yang mengadakan  dasar-dasar dan aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai  
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertenru bagi siapa yang melanggarnya  
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau diajtuhi sebagaimana yang telah diancamkan 
                                                     
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan jika  
ada orang yang telah melanggar ini .  
W.L.G. Lemaire, hukum  pidana  itu  itu  terdiri  dari  norma-norma  yang  berisi  
keharusan keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah  
dikaitkan  dengan  suatu  sanksi  berupa  hukuman,  yakni  suatu penderitaan yang bersifat khusus. 
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa  hukum  pidana  itu  merupakan  suatu  sistem  
norma-norma  yang menentukan  terhadap  tindakan-tindakan  yang  mana  (hal  melakukan sesuatu  
atau  tidak  melakukan  sesuatu  dimana  terdapat  suatu  keharusan untuk melakukan sesuatu) dan 
dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu  dapat  dijatuhkan,  serta  hukuman  yang  
bagaimana  yang  dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan ini . 
 Menurut Sudarto bahwa hukum pidana yaitu  aturan hukum yang mengikatkan kepada 
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu akibat yang berupa pidana. Menurut 
Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam  arti  objektif  atau  strafrecht  
in  objectieve  zin  dan  hukum  pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum  
pidana  dalam  arti  objektif  yaitu   hukum  pidana  yang  berlaku, atau yang juga disebut sebagai 
hukum positif atau ius poenale. Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1. Keseluruhan  larangan  dan  perintah   yang  oleh  negara  diancam dengan nestapa yaitu 
suatu pidana jika  tidak ditaati; 
2. Keseluruhan  peraturan  yang  menetapkan  syarat-syarat  untuk  
penjatuhan pidana, dan 
3. Keseluruhan  ketentuan  yang  memberikan  dasar  untuk  penjatuhan dan penerapan pidana 
W.F.C. van Hattum, hukum  pidana  yaitu   suatu  keseluruhan  dari  asas-asas  dan  
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya,  dimana  
mereka  itu  sebagai  pemelihara  dari  ketertiban  hukum umum  telah  melarang  dilakukannya  
tindakan-tindakan  yang  bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap 
peraturanperaturannya  dengan  suatu  penderitaan  yang  bersifat  khusus  berupa hukuman.
 
Pompe hukum  pidana  yaitu   semua  aturan-aturan  hukum  yang  menentukan terhadap 
perbuatan-perbuatan  apa  seharusnya dijatuhi pidana  dan apakah macamnya pidana itu. 
Adami Chazawi, hukum pidana itu yaitu  bagian dari hukum publik yang memuat/berisi 
ketentuan-ketentuan tentang: 
1. Aturan  umum  hukum  pidana  dan  (yang  dikaitkan/berhubungan dengan)  larangan 
melakukan  perbuatan-perbuatan  (aktif/positif maupun  pasif/negatif)  tertentu  yang  
disertai  dengan  ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu; 
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi  si pelanggar untuk 
dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang 
dilanggarnya. 
3. Tindakan  dan  upaya-upaya  yang  boleh  atau  harus  dilakukan negara melalui alat-alat 
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim),  terhadap  yang  disangka  dan  didakwa  
sebagai  pelanggar hukum  pidana  dalam  rangka  usaha  negara  menentukan,  menjatuhkan  
dan  melaksanakan  sanksi  pidana  terhadap  dirinya,  serta tindakan dan upaya-upaya yang 
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa  pelanggar  hukum  ini   dalam  
usaha  melindungi  dan  mempertahankan  hak-haknya  dari  tindakan negara dalam upaya 
negara menegakkan hukum pidana ini . 
Hazewinkel-Suringa, hukum  pidana  yaitu   sejumlah  peraturan  hukum  yang  
mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap  pelanggarannya diancam 
dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya. 
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip ini   dapat diambil gambaran tentang 
hukum pidana,  bahwa hukum pidana setidaknya  merupakan hukum yang mengatur tentang: 
1.  Larangan untuk melakukan suatu perbuatan; 
2.  Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana; 
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu 
perbuatan yang dilarang (delik); 
4.  Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana 
 
 
                                                  
B. Pembagian Hukum Pidana 
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai 
berikut:  
1. Hukum pidana dalam arti objektif (jus poenale) dan hukum pidana dalam arti subjektif 
(jus puniendi).12 Meurut Vos, hukum pidana objektif maksudnya yaitu  aturan-aturan 
objektif yakni aturan hukum pidana.  Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang 
timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum cara beserta sanksi, aturan mengenai 
kapan, siapa dan bagaimana pidana dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana subjektif yaitu   
hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana, 
menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana. 
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum: 
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang  menunjukkan  
tentang  tindakan-tindakan  yang  mana yaitu   merupakan  tindakan-tindakan  
yang  dapat  dihukum, siapakah  orangnya  yang  dapat  dipertanggungjawabkan  
terhadap tindakan-tindakan ini  dan  hukuman yang bagaimana yang dapat 
dijatuhkan terhadap orang ini , disebut juga dengan hukum pidana yang 
abstrak. 
b. Hukum  pidana  formil  memuat  peraturan- peraturan  yang mengatur  tentang  
bagaimana  caranya  hukum  pidana  yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan 
secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana  ini sebagai hukum 
acara pidana. 
3. Hukum  pidana  yang  dikodifikasikan  (gecodificeerd)  dan  hukum pidana yang tidak  
dikodifikasikan (niet gecodificeerd) 
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya  yaitu :  Kitab Undang-undang 
Hukum  Pidana,  Kitab  Undang-undang Hukum  Pidana  Militer,  dan  Kitab  
Undang-undang  Hukum Acara Pidana (KUHAP); 
b. Hukum  pidana  yang  tidak  dikodifikasikan  misalnya  berbagai ketentuan  pidana  
yang  tersebar  di  luar  KUHP,  seperti  UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun  2001  tentang  Perubahan  atas  Undang-undang  
                                                    
No.  31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) 
No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak,  UU  No.  9  Tahun  1998  tentang  
Kemerdekaan  Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 
tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang  Pemberantasan  
Tindak  Pidana  Perdagangan  Orang,  dan peraturan  lainnya  yang  di  dalamnya  
mengandung  sanksi berupa pidana. 
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus 
(bijzonder deel) 
a. Hukum  pidana  bagian  umum  ini  memuat  asas-asas  umum sebagaimana 
yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum; 
b. Hukum  pidana  bagian  khusus  itu  memuat/mengatur  tentang Kejahatan-
kejahatan  dan  Pelanggaran-pelanggaran,  baik  yang terkodifikasi maupun 
yang tidak terkodifikasi. 
  Hukum  pidana  umum  (algemeen  strafrecht)  dan  hukum  pidana khusus 
(bijzonder strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum 
pidana  umum  yaitu   hukum  pidana  yang  dengan  sengaja  telah dibentuk  untuk 
diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan  hukum  pidana  khusus  yaitu   
hukum  pidana  yang  dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-
orang tertentu  saja  misalnya  bagi  anggota  Angkatan  Besenjata,  ataupun merupakan 
hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana 
fiskal.
5. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Hukum adat yang beraneka 
ragam di negara kita  masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan 
Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis.  Menurut Wirjono, tidak ada 
hukum adat  kebiasaan  (gewoonterecht)  dalam  rangkaian  hukum  pidana. Ini  resminya  
menurut  Pasal  1  KUHP,  tetapi  sekiranya  di  desa-desa  daerah  pedalaman  di  
negara kita   ada  sisa-sisa  dari  peraturan kepidanaan  yang berdasar atas kebiasaan dan  
yang secara konkrit, mungkin sekali  hal ini  berpengaruh dalam menafsirkan pasal-
pasal dari KUHP. 
                                                     
Berpedoman  pada  Pasal  5  ayat  3  b  Undang-undang  No.  1  Drt Tahun  1951,  ternyata  
masih  dibuka  jalan  untuk  memberlakukan delik  adat,  walaupun  dalam  arti  yang  
terbatas.  Contohnya  yaitu : Putusan  pengadilan  Negeri  Poso  tanggal  10  Juni  1971,  
Nomor:14/Pid/1971  tentang  tindak  pidana  adat  Persetubuhan  di  luar 
kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam  tahun  1969-1970  
di  kampung  Lawanga  kecamatan  Poso kota  secara  berturut-turut  telah  melakukan  
persetubuhan  di  luar kawin  dengan  E  yang  akhirnya  menyebabkan  E  ini   hamil 
dan  melahirkan  anak.  Tertuduh  telah  dinyatakan  bersalah  melakukan  delik  kesusilaan  
berdasarkan  pasal  5  ayat  3  b  Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 
KUHP. Dengan  demikian  sistim  hukum  pidana  di  negara kita   mengenal  
adanya  hukum  pidana  tertulis  sebagai  diamanatkan  di  dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi 
dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis 
sebagai akibat dari  masih  diakuinya  hukum  yang  hidup  di  dalam  masyarakat  
yaitu yang berupa hukum adat. 
6. Hukum  pidana  umum  (algemeen  strafrecht)  dan  hukum  pidana lokal (plaatselijk 
strafrecht) Hukum pidana  umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai  hukum  
pidana  nasional.14 Hukum  pidana  umum  yaitu  hukum pidana yang dibentuk oleh 
Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi  subjek  hukum yang berada dan berbuat 
melanggar larangan  hukum  pidana  di  seluruh  wilayah  hukum  negara. Sedangkan 
hukum pidana lokal yaitu  hukum pidana yang dibuat oleh  Pemerintah  Daerah  yang  
berlaku  bagi  subjek  hukum  yang melakukan  perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana 
di dalam wilayah  hukum  pemerintahan  daerah  ini .  Hukum  pidana lokal  dapat  
dijumpai  di  dalam  Peraturan  Daerah  baik  tingkat Propinsi, Kabupaten maupun 
Pemerintahan Kota. 
Penjatuhan  hukuman  seperti  yang  diancamkan  terhadap  setiap pelanggar dalam 
peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan  oleh  pengadilan.  Dalam  melakukan  
penahanan, pemeriksaan dan  penyitaan  pemerintah  daerah  berikut  alat-alat  
kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang 
Hukum Acara Pidana.15Selain  itu  atas  dasar  wilayah  berlakunya  hukum,  hukum  pidana 
                                                     
masih  juga  dapat  dibedakan  antara  hukum  pidana  nasional  dan hukum  pidana  
internasional  (hukum  pidana  supra nasional). Hukum  pidana  internasional  yaitu   
hukum  pidana  yang  dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di 
dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum 
bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti: 
a. Hukum  pidana  internasional  yang  bersumber  pada  Persetujuan London (8-8-1945) yang 
menjadi dasar bagi Mahkamah Militer  Internasional  di  Neurenberg  untuk  mengadili  
penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua; 
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka 
dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan. 
 
C. Tujuan Hukum Pidana 
Secara  umum  hukum  pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan  masyarakat agar dapat 
tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan  
dan  kepentingan  hidupannya  yang  berbeda-beda  terkadang mengalami  pertentangan  antara  
satu  dengan  yang  lainnya,  yang  dapat menimbulkan  kerugian  atau  mengganggu  kepentingan  
orang  lain.  Agar tidak  menimbulkan  kerugian  dan  mengganggu  kepentingan  orang  lain dalam  
usaha  memenuhi  kebutuhan  hidupnya  ini   maka  hukum memberikan aturan-aturan yang 
membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya. Berkenaan  
dengan  tujuan  hukum  pidana  (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya 
peraturan hukum pidana, yaitu: 
1. Aliran klasik 
 Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient regime yang abtrair pada abab ke 18 di 
Prancis yg banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan 
ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan 
menitikberatkan pada kepastian hukum. Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke 
richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan  penguasa  
                                                      
(Negara).  Peletak  dasarnya  yaitu   Markies van  Beccaria  yang  menulis  tentang  "Dei  delitte  
edelle  pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur  dengan  
undang-undang  yang  harus  tertulis.  Pada  zaman sebelum  pengaruh  tulisan  Beccaria itu,  
hukum  pidana  yang  ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute  
dapat  menyelenggarakan  pengadilan  yang  sewenang-wenang dengan menetapkan hukum 
menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan  
beratnya  pidana  yang  diancamkan  karena  hukumnya  tidak tertulis.  Proses  pengadilan  berjalan  
tidak  baik,  sampai  terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus  
Jean  Calas  te  Toulouse  (1762)  yang  dituduh  membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac 
Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas 
tetap  tidak  mengaku  dan  oleh  hakim  tetap  dinyatakan  bersalah dan  dijatuhi  pidana  mati  dan  
pelaksanaannya  dengan  guillotine. Masyarakat tidak puas,  yang  menganggap Jean Calas tidak 
bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata 
tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang 
menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena  putusan  itu,  
dan  selanjutnya  pemuka-pemuka  masyarakat seperti  J.J.  Rousseau  dan  Montesquieu  turut  
menuntut  agar kekuasaan  Raja  dan  penguasa-penguasanya  agar  dibatasi  oleh hukum  tertulis  
atau  undang-undang.  Semua  peristiwa  yang diabadikan  itu  yaitu   usaha  untuk  melindungi  
individu  guna kepentingan hukum perseorangan. 
 Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu  peraturan  tertulis  supaya  
setiap  orang  mengetahui  tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman 
hukumannya dan lain sebagainya. Dengan  demikian  diharapkan  akan  terjamin  hak-hak manusia 
dan  kepentingan hukum perseorangan.  Peraturan tertulis itu  akan  menjadi  pedoman  bagi  rakyat,  
akan  melahirkan  kepastian  hukum  serta  dapat  menghindarkan  masyarakat  dari kesewenang-
wenangan.  Pengikut-pengikut  ajaran  ini  menganggap bahwa  tujuan  hukum  pidana  yaitu   
untuk  menjamin  kepentingan hukum  individu.18 Setiap  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  
seseorang  (individu)  yang  oleh  undang-undang  hukum  pidana  dilarang dan diancam dengan 
pidana harus dijatuhkan pidana.  Menurut  aliran  klasik,  penjatuhan  pidana  dikenakan  tanpa  
memperhatikan  keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum,  mengenai sebab-sebab  yang  
                                                     
mendorong  dilakukan  kejahatan  (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang 
yang melakukan  kejahatan  maupun  bagi  masyarakat  sendiri  (politik kriminil). 
2. Aliran Modern 
Aliran modern (de moderne  school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan 
hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan 
ini , perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta keadaan penjahat. 
Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain yaitu  tingkah laku orang perseorangan dan atau 
masyarakat yaitu  salah satu ilmu yang  memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh 
kriminologi sebagai bagian dari  social science menimbulkan suatu aliran baru yang  menganggap 
bahwa tujuan hukum  pidana  yaitu   untuk  memberantas  kejahatan  agar  terlindungi kepentingan 
hukum masyarakat
Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan: 
1. Memerangi kejahatan , dalam hal ini Cesare Lombroso melakukan studi sistematis 
mengenai tingkah laku manusia dalam rangka mengatasi kejahatan dalam masyarakat. 
2. Memperhatikan ilmu lain, yakni dengan memperhatikan ilmu lain berupa kriminologi, 
psikologi dll. 
3. Ultimatum remedium berarti hukum pidana merupakan senjata atau sarana terkahir yang 
digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum 

Perbedaan aliran klasik dan modern dapat dibedakan sebagai berikut: 
Aliran Klasik Aliran Modern 
Hanya mengenal Legal definition of 
crime 
Mengenal natural of crime 
Artinya hanya mengenai kejahatan 
sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang 
Artinya kejahatan tidak terbatas apa 
yang ditentukan dalam undang-undang 
namun juga perbuatan yang oleh 
masyarakat beradab diakui sebagai 
kejahatan 
Pidana satu-satunya cara untuk 
membasmi kejahatan 
Pidana saja tidak mampu membasmi 
faktor kriminogen 
Mengajarkan doktrin kehendak bebas 
pada setiap individu untuk melakukan/ 
tidak melakukan kejahatan 
Mengajarkan bahwa tingkah laku 
individu merupakan interaksi dengan 
lingkungan sebagai mata rantai 
huungan sebab akibat 
Menghendaki adanya pidana mati 
terhadap kejahatan tertentu 
Tidak menghendaki dan ingin 
menghapus pidana mati 
Menggunakan metode anekdot Metde penelitian dan pengalaman 
Pemidanaan definite sentence/pidana 
secara pasti dan hakim tidak di beri 
kebebasan dalam menjatuhkan 
hukuman 
Interminate sentence/adanya pidana 
minimum dan maksimum dan 
memberikan kebebasan hakkim dalam 
menjatuhkan hukuman 
 
D. Tujuan Hukum Pidana di negara kita   
Jika rakyat Prancis yang tidak dijajah (sebelum revolusi  Perancis) mengalami perkosaan 
kepentingan hukumnya. Dapat dibayangkan betapa pahitnya pengalaman rakyat negara kita  yang 
mempunyai sejarah dalam sekian kali dijajah yang silih berganti. Pada masa itu, hukum adat kita 
yang didalamnya terdapat delik adat sedang berkembang menuju pemenuhan perasaan keadilan 
masyarakat sempat terhenti akibat dari penjajahan dan tentunya penjajah membuat peraturan yang 
lebih mengutamakan kepentingannya. Mengenai perkembangan hukum adat ini Supomo 
mengatakan : “Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan 
lahirnya peraturan baru sedangkan peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan 
lenyap dengan adanya perubahan  perasaaan keadilan yang menimbulkan perubahan peraturan”.22 
Sesudah negara kita  merdeka sudah selayaknya dan seharusnya hukum pidana negara kita  
(bukan hukum pidana di negara kita ) disusun dan merumuskan sedemikian rupa, agar semua 
kepentingan negara, maysrakat dan individu diayomi dalam keseimbangan dan keserasian 
                                                    
berdasarkan Pancasila. Demikian juga tujuan hukum pidana negara kita  yaitu  pengayoman semua 
kepentingan secara seimbang dan serasi. 
E. Fungsi Hukum Pidana 
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi 
khusus. Fungsi umum hukum pidana sama seperti fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur 
hidup masyarakat atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat. Fungsi khusus hukum 
pidana  yaitu  melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya 
dengan sanksi berupa pidana.23 Fungsi khusus hukum pidana yaitu melindungi  kepentingan 
hukum, maka yang dilindungi tidak hanya kepentingan individu tetapi juga kepentingan 
masyarakat dan kepentingan negara. Oleh sebab itu dalam KUHP ada pasal-pasal yang berkaitan 
dengan kejahatan terhadap keamanan negara sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan 
negara, demikian juga dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berhubungan dengan kejahatan 
terhadap kepentingan umum sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. 
Berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan individu, paling tidak ada tiga hal 
yang dilindungi:24 
1. Perlindungan terhadap nyawa. Oleh karena itu, dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang 
berkaitan dengan kejahatan terhdap nyawa 
2. Perlindungan terhadap harta benda yang dituangkan dalam pasal-pasal yang bertalian 
dengan kejahatan terhadap harta benda. 
3. Perlindungan terhadap kehormatan, baik kesusilaan maupun nama baik. Dengan demikian 
di dalam KUHP juga terdapat pasal-pasal yang barkaitan dengan kejahatan  terhadap 
kesusilaan dan kejahatan yang berkaitan dengan pencemaran nama baik. 
Selanjutnya fungsi khusus hukum pidana  yang kedua yaitu memberikan keabsahan kepada 
negara dalam rangka menjalankan fungsinya melindungi kepentingan hukum. Jika terjadi 
pelanggaran terhadap kepentingan hukum negara, masyarakat dan atau individu, maka dalam 
batas-batas yang ditentukan  oleh undang-undang negara dapat menjalankan alat-alat 
                                                     

kekuasaannya untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum yang dilanggar. Dapat 
dikatakan bahwa fungsi khusus hukum pidana yaitu memberi keabsahan kepada negara untuk 
menjalankan fungsinya melindungi kepentingan hukum dalam konteks hukum pidana formil. 
F. Dasar Pemidanaan 
Salah satu cara/alat untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu  memidana seseorang yang 
telah melakukan tindak pidana. Persoalannya apakah dasar dari pemidanaan?.Apakah alasan 
membenarkan penjatuhan pidana oleh penguasa?. Hal ini tentunya bertitik tolak dari filsafat 
hukum pidana yang termasuk dalam ilmu filsafat pada umumnya. Ajaran mengenai dasar 
pembenaran pemidanaan berkembang pada abad ke 18 dan 19. Contoh  : seseorang mengatakan 
bahwa  ia mempunyai hak atas sesuatu benda, ia harus dapat memberikan  dasar hak itu. Misalnya 
dari penyerahan orang lain sebagai akibat dri jual beli, warisan dari orang tua dll. Sehubungan 
dengan itu dipersoalkan apa dasar hak  penguasa untuk menjatuhkan pidana?. Jelas yang menjadi 
persoalan yaitu  dasar pembenaran dari adanya hak penguasa untuk menjatuhkan pidana.  Oleh 
karena itu, ada beberapa ajaran yang menjadi dasar-dasar pemikiran penjatuhan pidana. Ajaran 
ini  yaitu : 
1. Berpijakan pada Ketuhanan  
Menurut ajaran ini dalam mencari dasar pemidanaan  didasarkan pada ajaran kedaulatan  
Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci, penguasa yaitu  abdi Tuhan untuk melindungi 
yang baik dan mengecutkan penjahat dengan penjatuhan pidana. Pidana yaitu  tuntutan  keadilan 
dan kebenaran Tuhan. Demikian juga Thomas Van Aquino bertolak pangkal bahwa negara sebagai 
pembuat undang-undang dimana hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan 
kepadanya. Oleh karena itu kebutuhan negara untuk mencapai tujuannya berupa kesejahteraan 
umum maka negara selain berhak menentukan hukum, negara juga berhak memaksa untuk 
mentaati hukum dengan ancaman pidana. 
2. Berpijakan pada falsah sebagai dasar pemidanaan. 
Ajaran ini berpijakan pada perjanjian masyarakat (du contrat social  maatschappelijke 
verdrag) artinya adanya perjanjian fiktif antara rakyat dengan negara, dimana rakyatlah yang 
berdaulat dan menentukan betuk pemerintahan. Kekuasaan negara tidak lain dari pada kekuasaan 
 
 
yang diberikan  oleh rakyat. Setiap  warga negara menyerahkan sebahagian dari hak asasinya 
(kemerdekaannya) sebagai imblannya mereka menerima perlindungan kepentingan hukum dari 
negara. Dan negara memperoleh hak untuk mempidana. Dilandasari oleh ajaran J.J Rousseau. 
3. Berijakan pada perlindungan hukum sebagai dasar pemidanaan  
Ajaran ini dipelopori oleh  Bentham dan juga Van Hamel dan Simons. Mereka mecari dasar hukum 
pemidanaan berpijakan pada kegunaan dan kepentingan. Penerapan pemidanaan bertujuan sebagai 
perlindungan hukum maka dengan kata lain penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin 
ketertiban  hukum.  
G. Alasan dan Maksud Pemidanaan 
Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu termasuk 
golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian ditambah dengan golongan teori 
gabungan. 
1. Teori Pembalasan (Teori Absolut) 
Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pelaku 
tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana .Tidak dipersoalkan akibat 
dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, 
maksudnya masa terjadinya tindak pidana, masa datang yang bermaksud memperbaiki penjahat 
tidak dipersoalkan. Teori pembalasan dibagi kedalam lima bagian yaitu: 
a. Pembalasan berdasarkan tuntutan multak dari ethica ( moraal-fhilosopie) 
Teori ini dikemukan oleh Immauel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan merupakan 
tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. Menurut Kant walaupun 
besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya ( Fait 
Justitia ruat coelum) . 
b. Pembalasan bersambut (diakletis) 
Teori ini dikemukan Hegel yang mengatakan bahwa hukum yaitu  perwujudan dari 
kemerdekaan, sedangkan kejahatan yaitu  merupakan tantangan kepada hukum dan 
keadilan .Kejahatan harus dilenyapkan dengan memberikan ketidakadilan (pidana) kepada 
penjahat . Dalam bahasa asing teori ini disebut dialectische vergelding  
 
 
c. Pemlasan demi keindahan /Kepuasan (aesthetisch) 
Teori ini dikemukan oleh Herbart yang mentakan bahwa tuntutan mutlak dari perasaan 
ketidakpuasaan  masyarakat sebagai akibat dari kejahatan untuk memidana penjahat agar 
ketidak puasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan 
kembali .Dalam istilah asing disebut aesthetische vergelding.  
d. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tugan (agama) 
Teori ini dikemukan oleh stahl, Thomas Van Aquino. Kejahatan yaitu  merupakan 
pelanggaran terhadap pri keadilan Tuhan  dan harus ditiadakan, karenanya mutlak harus 
diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Istilahnya  
(Vergelding als een eisch der goddelijke gerechtigheid).  
e. Pembalasan sebagai kehendak manusia  
Para mashab hukum alam memandang negara sebagai hasil dari kehendak manusia 
mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut 
ajaran ini siapa saja melakukan kejahatan dia akan menerima suatu yang jahat  
2. Teori Relatif (Tujuan) 
Teori ini membenarkan pemidanaan dan tergantung dari tujuan pemidanaan yaitu 
perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadainya kejahatan Dipandang dari tujuan 
pemidanaan teori ini dibagi: 
1. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup 
berat untuk menakut-nakuti calon penjahat  
2. Perbaikan/ pendidikan bagi penjahat. Kepada penjahatan diberikan pendidikan berupa 
pidana agar kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat  
3. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan masyarakat. dengan cara menjatuhkan hukum 
pidana yang lebih berat kalau perlu pidana mati  
4. Menjamin ketertiban umum. Caranya ialah mengadakan norma-norma yang menjamin 
ketertiban hukum. kepada pelanggar norma negara menjatuhkan pidana.  
 
3. Teori Gabungan  
 
 
Teori ini gabungan dari dari teori pembalasan dan teori tujuan, lahirnya teori gabungan 
ini  karena teori absolute maupun teori tujuan (relatif) memiliki kelamahan-kelemahan. 
Kelemahan terhadap teori ini  dapat dilihat:  
Teori absolut/ pembalasan memiliki kelemahan yaitu:  
1. Sukar menentukan berat/ringannya pidana atau ukuran pembalasan tidak jelas  
2. Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan  
3. Hukuman /pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.  
Teori tujuan  memiliki kelemahan yaitu: 
1. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan sehingga dijatuhkan pidana yang berat  
2. Jika ternyata kejahatan nya ringan maka penjatuhan pidana yang berat tidak memenuhi rasa 
keadilan  
3. Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan tetapi juga kepada penjahat itu 
sendiri.  
Oleh karen itu teori gabungan harus memadukan kedua teori ini  dengan panjatuhan 
pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim, penjahat dan masyarakat dan harus 
simbang pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ini .  
 
 
BAB II 
Sejarah Dan Perkembangan Hukum Pidana di negara kita  
Sejarah hukum pidana negara kita  dibagi kedalam empat babak yaitu: 
a. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) 
b. Zaman Hindia Belanda 
c. Zaman pendudukan Jepang 
d. Zaman kemerdekaan. 
 
A. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) 
Hukum Barat (Belanda) masuk ke negara kita  seiring dengan gerakan kolonialisme. Dengan 
dalih memperluas wilayah perdagangan, maksud semula untuk berdagang berubah menjadi 
menjajah. Agar maksud ini lancar, Pemerintah Hindia Belanda memberi wewenang penuh kepada 
perusahaan perdagangan Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk 
mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di negara kita . 
Oleh karena itu, VOC mempunyai dua wewenang, yakni sebagai pedagang dan sebagai badan 
pemerintah. 
Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di negara kita  membawa suasana 
penjajahan. Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka, berdasarkan oktorooi Staten 
General di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan berlakunya peraturan-peraturan sendiri di 
negara kita . Semula peraturan-peraturan ini  berbentuk plakaat-plakaat. Kemudian plakaat-
plakaat itu dihimpun dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi 
belum merupakan kodifikasi, dan pada tahun 1848 diadakan Interimaire Strafbepalingen, 
merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh Belanda walaupun dalam 
bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang berlaku bagi orang Eropa.
                                                     

Hukum yang berlaku pada waktu itu yaitu  sistem hukum Belanda. Pada mulanya hanya 
berlaku bagi orang Eropa saja, tetapi dengan berbagai peraturan dan upaya, akhirnya dinyatakan 
berlaku bagi bangsa Asia, termasuk negara kita  yang menundukkan diri pada hukum Barat secara 
sukarela atau karena ada perbuatan hukum yang berkenaan dengan keuangan dan perdagangan. 
Hukum Belanda yang diberlakukan oleh VOC pada waktu itu antara lain hukum tatanegara, 
perdata dan pidana. VOC tidak mengenal hukum lain selain hukumnya sendiri. Tidak ada 
perbedaan antara orang negara kita  dengan orang Belanda, semuanya termasuk ke dalam peradilan 
Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank. Pengadilan Asli yang dilakukan oleh kepala-
kepala rakyat dianggap tidak ada. 
Bagi orang bumiputera atau orang asli negara kita  asli, meskipun adanya peraturan-
peraturan hukum pidana yang tertulis ini , tetap berlaku hukum adat pidana yang sebagian 
besar tidak tertulis, dan pengadilan bekerjanya masih bersifat arbitrair. Menjelang periode akhir 
abad ke 19 mulai dirasakannya perlu unifikasi hukum pidana. Maka pada tahun 1881 pemerintah 
Belanda mengadakan kodifikasi hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb.1881 
nomor 35) dan diberlakukan secara nasional mulai tanggal 1 September 1886 serta sekaligus 
menggantikan Code Penal Prancis. Pada tahun 1866 barulah dikenal kodifikasi dalam arti 
sebenarnya, yaitu pembukuan segala peraturan hukum pidana. 
Kodifikasi hukum pidana itu oleh pemerintah Belanda dikandung maksud untuk menyapu 
bersih dan menghapuskan hukum adat, sehingga hanya berlaku hukum pidana asing yang 
didatangkan untuk penduduk negara jajahan. Sejarah kolonial pada saat itu menunjukkan keadaan 
sikap penduduk asli sukar ditaklukkan oleh orang asing, oleh karena itu perlu ditempuh berbagai 
jalan antara lain dengan kolonisasi hukum pidana. Pada tanggal 10 Februari 1886 berlaku dua kitab 
Undang-Undang Hukum pidana di negara kita  yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor  Europeanen 
(S. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai pada tanggal 1 Januari 1867, 
kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ditetapkan pula berlakunya KUHP untuk 
golongan Bangsa negara kita a dan Timur Asing, yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en 
Daarmede Gelijkgestlede S. 1872 Nomor 85 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1873.
                                                     
kedua Kitab Undang-Undang Hukum pidana di negara kita  ini  diatas yaitu  jiplakan 
dari kode penal negara Perancis, yang oleh kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di negara Belanda 
pada waktu negara itu ditaklukkan oleh Napolleon permulaan abad XXI. Dengan berlakunya 
KUHP tahun 1886 dan tahun 1872, maka aturan hukum pidana yang lama yaitu tahun 1642 dan 
tahun 1848 tidak berlaku lagi, begitu juga hukum pidana yang berlaku di daerah-daerah yang 
dijajah itu dihapuskan dan semua orang-orang negara kita  tunduk kepada satu KUHP saja (kecuali 
di daerah-daerah Swapraja). 
B. Zaman Hindia Belanda  
Pada tahun 1918 sampai dengan tahun 1814 negara kita  pernah jatuh dari tangan Belanda ke 
tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda 
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk suatu 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru yang mulai diberlakukan pada tahun 1886 yang 
bersifat nasional dan sebagian besar mencontoh Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana di Jerman. 
Sikap semacam ini bagi negara kita  baru diturut dengan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie stbl Nomor 732) dengan firman 
Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus 
menggantikan kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini  di atas untuk berlaku bagi 
semua penduduk di negara kita . 
Bersamaan dengan hal ini  diatas, diberlakukan juga beberapa pengaturan seperti 
Gestichten Reglement Stb 1917/708. Wijzigings Ordonantie Stb 1917/732, Dwang opvoeding 
Regeling Stb 1917/741, Voorwaardelijke invrijheidstelling stb 1917/149.31 Dengan demikian 
berakhirlah dualism hukum pidana di negara kita  yang pada mulanya hanya untuk daerah yang 
langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda dan akhirnya untuk seluruh negara kita .  
 
 
                                                   
C. Zaman pendudukan Jepang 
 Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum  pidana  yang  
berlaku  di  wilayah  negara kita   tidak  mengalami perubahan  yang  signifikan.  Pemerintahan  bala  
tentara  Jepang  (Dai Nippon)  memberlakukan  kembali  peraturan  jaman  Belanda  dahulu dengan 
dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama  kali,  pemerintahan  militer  Jepang  
mengeluarkan  Osamu Seirei  Nomor  1  Tahun  1942.  Pasal  3  undang-undang  ini  
menyebutkan  bahwa  semua  badan  pemerintahan  dan  kekuasaannya, hukum  dan  undang-
undang  dari  pemerintah  yang  dulu  tetap  diakui  sah untuk sementara waktu, asalkan tidak 
bertentangan dengan pemerintahan militer.  Dengan  dasar  ini  maka  dapat  diketahui  bahwa  
hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya,masih tetap  
menggunakan  hukum  pidana  Belanda  yang  didasarkan  pada  Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische 
Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan 
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131  Indische Staatregeling,  dan golongan-golongan 
penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.32 
 Untuk  melengkapi  hukum  pidana  yang  telah  ada  sebelumnya, pemerintahan  militer  
Jepang  di  negara kita   mengeluarkan  Gun  Seirei nomor  istimewa  1942,  Osamu  Seirei  Nomor  
25  Tahun  1944  dan  Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun  1942 
dan  Osamu  Seirei  Nomor  25  Tahun  1944  berisi  tentang  hukum  pidana umum  dan  hukum  
pidana  khusus.  Sedangkan  Gun  Seirei  Nomor  14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di 
Hindia Belanda.33 
 Pada  masa  ini,  negara kita   telah  mengenal  dualisme  hukum  pidana karena wilayah 
Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling 
membawahi. Wilayah negara kita  timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang 
berkedudukan di Makasar, dan wilayah negara kita  barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat  
Jepang yang  berkedudukan  di  Jakarta.  Akibatnya,  dalam  berbagai  hal terdapat perbedaan 
peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah. 
                                                     

 
D. Zaman kemerdekaan. 
 Masa pemberlakukan hukum pidana di negara kita  setelah proklamasi kemerdekaan 17 
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa  sebagaimana dalam  sejarah  tata  hukum  negara kita   
yang  didasarkan  pada  berlakunya empat  konstitusi  negara kita ,  yaitu  pertama  masa  pasca  
kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah negara kita  menggunakan 
konstitusi  negara  serikat  (Konstitusi  Republik  negara kita   Serikat),  ketiga masa  negara kita   
menggunakan  konstitusi  sementara  (UUDS  1950), dan keempat masa negara kita  kembali kepada 
UUD 1945. 
a. Tahun 1945-1949  
Dengan  diproklamirkannya  negara  negara kita   sebagai  negara  yang merdeka pada tanggal 
17 Agustus 1945, bangsa negara kita  menjadi bangsa yang  bebas  dan  berdaulat.  Selain  itu,  
proklamasi  kemerdekaan  dijadikan tonggak  awal  mendobrak  sistem  hukum  kolonial  menjadi  
sistem  hukum nasional  yang  sesuai  dengan  jiwa  dan  kepribadian  bangsa  negara kita . Bangsa  
negara kita   bebas  dalam  menentukan  nasibnya,  mengatur negaranya, dan menetapkan tata 
hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam  penyelenggaraan  negara  kemudian  ditetapkan  
pada  tanggal  18 Agustus 1945. Konstitusi itu yaitu  Undang Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 
II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, bahwa segala badan negara dan 
peraturan yang ada masih langsung  berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.  
Ketentuan  ini  menjelaskan  bahwa  hukum  yang  dikehendaki  untuk  mengatur  
penyelenggaraan  negara  yaitu   peraturan-peraturan  yang  telah ada dan berlaku sejak masa 
negara kita  belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala 
peraturan hukum yang telah diterapkan  di  negara kita   sebelum  kemerdekaan  diberlakukan  
sementara. Hal  ini  juga  berarti  founding  fathers  bangsa  negara kita   mengamanatkan kepada  
generasi  penerusnya  untuk  memperbaharui  tata  hukum  kolonial menjadi tata hukum nasional. 
                                                     

 
Presiden  Sukarno  selaku  presiden  pertama  kali  mengeluarkan kembali Peraturan 
Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:  
Pasal 1  :   Segala  badan-badan  negara  dan  peraturan-peraturan  yang ada  sampai  
berdirinya  negara  Republik  negara kita   pada tanggal  17  Agustus  1945,  
sebelum  diadakan  yang  baru menurut  Undang  Undang  Dasar,  masih  
tetap  berlaku  asal saja  tidak  bertentangan  dengan  dengan  Undang  
Undang Dasar ini .  
Pasal 2  :   Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.37 
 
Peraturan Presiden  ini  hampir  sama  dengan  Pasal  II  Aturan  Peralihan UUD  1945,  
namun  dalam  Peraturan Presiden  ini  dengan  tegas  dinyatakan  tanggal pembatasan yaitu 17 
Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum 
pidana positif di negara kita , keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 
Pasal 1 undang-undang  ini  secara tegas menyatakan: 
Dengan  menyimpang  seperlunya  dari  Peraturan  Presiden  Republik negara kita  tertanggal 
10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan  hukum  pidana  yang  
berlaku  sekarang  yaitu  peraturan-peraturan  hukum  pidana  yang  ada  pada  tanggal  8  
Maret 1942.38 
Penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah negara kita  ini berarti semua 
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan 
oleh  panglima  tertinggi  bala  tentara  Hindia  Belanda  (NICA)  setelah tanggal  8  Maret  1942  
dengan  sendirinya  tidak  berlaku.  Pasal  2  undang-undang  ini   juga  dinyatakan  bahwa  
semua  peraturan  hukum  pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda 
dicabut. Pasal  2  ini  diperlukan  karena  sebelum  tanggal  8  Maret  1942  panglima tertinggi  bala  
tentara  Hindia  Belanda  mengeluarkan  Verordeningen  van  het militer gezag. 
                                                     
Secara  lengkap  bunyi  Pasal  2  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1946  yaitu  sebagai 
berikut.  
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala  tentara  Hindia 
Belanda  dulu  (Verordeningen  van  het  militer  gezag) dicabut. 
Pemberlakuan  hukum  pidana  negara kita   dengan  ditetapkannya  Undang-Undang Nomor 
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab  persoalan.  Kenyataan  
ini  disebabkan  karena  perjuangan  fisik  bangsa  negara kita   atas  penjahahan  Belanda  belum  
selesai.  Secara  de  jure memang  negara kita   telah  memproklamirkan  diri  sebagai  bangsa  yang 
merdeka, namun secara  de facto  penjajahan Belanda atas negara kita  masih saja berkelanjutan. 
Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun  negara-negara  boneka  yang  
berhasil  dibentuknya,  Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di negara kita . 
Bahkan pada  tanggal  22  September  1945,  Belanda  mengeluarkan  kembali  aturan pidana  yang  
berjudul  Tijdelijke  Biutengewonge  Bepalingen  van  Strafrecht (Ketentuan-ketentuan  Sementara  
yang  Luar  Biasa  Mengenai  Hukum Pidana)  dengan  Staatblad  Nomor  135  Tahun  1945  yang  
mulai  berlaku tanggal  7  Oktober  1945.  Ketentuan  ini  antara  lain  mengatur  tentang 
diperberatnya  ancaman  pidana  untuk  tindak  pidana  yang  menyangkutketatanegaraan,  
keamanan  dan  ketertiban,  perluasan  daerah  berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta 
dibekukannya Pasal1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud 
ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.40 
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di negara kita  oleh dua 
penguasa yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-
sama di negara kita . Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa 
dualisme KUHP.41 
 
 
  
b. Tahun 1949-1950 
Tahun 1949-1950 negara negara kita  menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi  atas  
syarat  pengakuan  kemerdekaan  dari  negara  Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, 
maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik negara kita  Serikat. 
Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: 
Peraturan-peraturan  undang-undang  dan  ketentuan-ketentuan  tata usaha  yang  sudah  
ada  pada  saat  Konstitusi  ini  mulai  berlaku,  tetap berlaku  dengan  tidak  berubah  
sebagai  peraturan-peraturan  dan ketentuan-ketntuan  Republik  negara kita   Serikat  sendiri,  
selama  dan sekadar  peraturan-peraturan  dan  ketentuan-ketentuan  itu  tidak dicabut,  
ditambah  atau  diubah  oleh  undang-undang  dan  ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa 
Konstitusi ini. 
Dengan  adanya  ketentuan  ini  maka  praktis  hukum  pidana  yang berlaku pun masih 
tetap sama dengan dahulu, yaitu  Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) 
Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai  Kitab  Undang-undang  Hukum  
Pidana.  Namun  demikian, permasalahan  dualisme  KUHP  yang  muncul  setelah  Belanda  datang 
kembali ke negara kita  setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini. 
c. Tahun 1950-1959 
Setelah  negara  negara kita   menjadi  negara  yang  berbentuk  negara serikat selama 7 bulan 
16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan  negara kita ,  maka  pada  tanggal  
17  Agustus  1950  negara kita  kembali  menjadi  negara  republik-kesatuan.  Dengan  perubahan  
ini, maka konstitusi  yang  berlaku  pun  berubah  yakni  diganti  dengan  UUD Sementara. 
Sebagai  peraturan  peralihan  yang  tetap  memberlakukan  hukum pidana masa 
sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal  142 UUD Sementara menyebutkan: 
Peraturan-peraturan  undang-undang  dan  ketentuan-ketentuan  tata usaha  yang  sudah  
ada  pada  tanggal  17  Agustus  1050,  tetap  berlaku dengan  tidak  berubah  sebagai  
peraturan-peraturan  dan  ketentuanketntuan  Republik  negara kita   sendiri,  selama  dan  
sekedar  peraturanperaturan  dan  ketentuan-ketentuan  itu  tidak  dicabut,  ditambah  atau 
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang 
Dasar ini.
 
Dengan  adanya  ketentuan  Pasal  142  UUD  Sementara  ini  maka hukum  pidana  yang  
berlaku  pun  masih  tetap  sama  dengan  masa-masa sebelumnya,  yaitu  Wetboek  van  Strafrecht  
(Kitab  Undang-undang  Hukum Pidana).  Namun  demikian,  permasalahan  dualime  KUHP  yang  
muncul pada  tahun  1945  sampai  akhir  masa  berlakunya  UUD  Sementara  ini diselesaikan  
dengan  dikeluarkannya  UU  Nomor  73  Tahun  1958  tentang Menyatakan  Berlakunya  Undang-
Undang  Nomor  1  Tahun  1946  tentang  Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah 
Republik negara kita  dan Mengubah Undang-undang  Hukum  Pidana.  Dalam  penjelasan  undang-
undang ini  dinyatakan: 
yaitu  dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di negara kita masih berlaku dua jenis 
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana 
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor negara kita  
(Staatblad 1915 Nomor 732seperti  beberapa  kali  diubah),  yang  sama  sekali  tidak  
beralasan. 44 
Dengan  adanya  undang-undang  ini  maka  keganjilan  itu  ditiadakan. Dalam  Pasal  1  
ditentukan  bahwa  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh 
wilayah Republik negara kita .”Dengan  demikian,  permasalahan  dualisme  KUHP  yang 
diberlakukan di negara kita  dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa Undang-Undang Nomor 
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah 
Republik negara kita . 
d. 1959-sekarang 
Setelah  keluarnya  Dekrit  Presiden  tanggal  5  Juli  1959,  yang  salah satunya  berisi  
mengenai  berlakunya  kembali  UUD  1945,  maka  sejak  itu negara kita  menjadi negara kesatuan 
yang berbentuk republik dengan UUD 1945  sebagai  konstitusinya.  Oleh  karena  itu,  Pasal  II  
Aturan  Peralihan yang  memberlakukan  kembali  aturan  lama  berlaku  kembali,  termasuk  di 
sini  hukum  pidananya.  Pemberlakuan  hukum  pidana  negara kita   dengan dasar Undang-Undang  
Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. 
Hukum pidana yang berlaku sekarang yaitu  hukum pidana yang pada pokoknya 
bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana ditetapkan pada 
                                                     
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946, dan Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958 beserta 
perubahannya. 
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari 596 Pasal yang 
terbagi dalam tiga buku yang isinya sebagai berikut:
negara kita  sekarang ini belum mempunyai hukum pidana nasional yang dibuat sendiri. 
hukum pidana yang berlaku sekarang ini merupakan produk hukum pidana peninggalan 
pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidaa 
Belanda ini  dimaksudkan untuk tempo sementara.46  Oleh karena itu negara kita  sejak 
negara kita  sejak 1962 telah berusaha melakukan pembaharuan hukum pidana nasional yang sampai 
sekarang ini belum selesai disahkan oleh lembaga negara yang berwenang. Pembaharuan hukum 
pidana, sebagai upaya pembangunan system hukum nasional. Upaya pembaharuan hukum pidana 
merupakan tuntutan dan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan 
paling penting yaitu  tuntutan kemandirian dari bangsa yang merdeka.
 
BAB III 
ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA 
A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu 
1. Asas Legalitas 
Asas  legalitas  diatur  dalam  Pasal  1  ayat   (1)  KUHP  yang  berbunyi  “tiada  suatu 
perbuatan  yang  boleh  dihukum, melainkan  atas  kekuatan  ketentuan  pidana  dalam  
undangundang  yang  ada  terlebih  dahulu  dari  perbuatan  itu.  Asas legalitas (the principle of 
legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus 
diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan 
hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang  
melakukan  delik  diancam  dengan  pidana  dan  harus mempertanggungjawabkan secara hukum 
perbuatannya itu. 
Berlakunya  asas  legalitas  seperti  diuraikan  di  atas memberikan sifat perlindungan pada 
undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas 
dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi 
melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu  di  dalam  batas-
batas  yang  ditentukan  oleh  undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas 
diperbolehkan. 
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman,  sehubungan  dengan  
kedua  fungsi  itu,  merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu : Nulla  
poena  sine  lege:  tidak  ada  pidana  tanpa  ketentuan pidana menurut undang-undang. Nulla 
poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana. Nullum  crimen  sine  poena  legali:  
tidak  ada  perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Rumusan  ini   juga  
dirangkum  dalam  satu  kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. 
Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih 

dahulu. Dari penjelasan ini  diatas dapat ditarik kesimpulan  bahwa asas legalitas dalam pasal 
1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni : 
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) jika  perbuatan ini  
tidak diatur dalam suatu peraturan  perundang-undangan  sebelumnya/terlebih  dahulu, 
jadi  harus  ada  aturan  yang  mengaturnya  sebelum  orang ini  melakukan 
perbuatan; 
b.  Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh 
menggunakan analogi; dan 
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut; 
2. Tujuan Asas Legalitas 
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa  alasan  tertentu.  Asas  
legalitas  diadakan  bertujuan untuk:49 
a.  Memperkuat adanya kepastian hukum; 
b.  Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa; 
c.  Mengefektifkan deterent functiondari sanksi pidana; 
d.  Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan 
e.  Memperkokoh penerapan “the rule of law” 
Sementara  itu,  Ahmad  Bahiej  dalam  bukunya  Hukum Pidana,  memberikan  penjelasan  
mengenai  konsekuensi  asas legalitas formil, yakni:50 
1.  Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.  
Konsekuensinya yaitu : 
a. Perbuatan  seseorang  yang  tidak  tercantum  dalam undang-undang sebagai tindak pidana 
juga tidak dapat dipidana. 
b.  Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana. 
                                                     

c. Peraturan  perundang-undangan  itu  harus  ada  sebelum terjadinya  tindak  pidana.  
Konsekuensinya  yaitu   aturan pidana  tidak  boleh  berlaku  surut  (retroaktif),  hal  ini 
didasari oleh pemikiran bahwa: 
a. Menjamin  kebebasan  individu  terhadap  kesewenangwenangan penguasa. 
b. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von  Feuerbach,  bahwa  si  
calon  pelaku  tindak  pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak 
pidana  akan  ditekan,  jika   ia  mengetahui  bahwa perbuatannya  akan  
mengakibatkan  pemidanaan terhadapnya. 
3. Pengecualian Asas Legalitas 
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus mengenai 
keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan  Pasal  1  ayat  (2)  KUHP  yang  mana  pasal  ini  
berbunyi  seperti  ini  “jika  terjadi  perubahan  perundangundangan setelah perbuatan itu dilakukan 
maka kepada tersang ka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.  Dari  
ketentuan  pasal  1  ayat  (2)  KUHP  ini  sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan 
yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan  disini  bukan  
saja  terhadap  pidana  dari  perbuatan ini ,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa. 
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundang-
undangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut : 
1. Teori  formil  yang  di  pelopori  oleh  Simons,  berpendapat bahwa  perubahan undang-
undang  baru  terjadi  bilamana  redaksi undang-undang  pidana  ini   berubah.  
Perubahan undang-undang  lain  selain  dari  undang-undang pidana  walaupun 
berhubungan  dengan  uu  pidana  bukanlah  perubahan undang-undang yang dimaksud 
dalam pasal 1 ayat (2) ini. 
2. Teori  material  terbatas  yang  dipelopori  oleh  Van  Geuns berpendapat  antara  lain  
bahwa  perubahan  undang-undang  yang  dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan 
hukum dari pembuat  undang-undang.perubahan  karena  zaman  atau karena  keadaan  
tidak  dapat  dianggap  sebagai  perubahan dalam undang-undang pidana. 
3. Teori  material  tak  terbatas  yang   merujuk  pada  putusan Hoge  Raad  tanggal  5  
desember  1921  mengemukakan bahwa perubahan undang-undang yaitu  meliputi semua 
undang-undang  dalam  arti  luas  dan  perubahan  undangundang yang meliputi perasaan 
 
 
hukum pembuat undangundang  maupun  perubahan  yang  dikarenakan  oleh perubahan 
jaman (keadaan karena waktu tertentu). 
 
B. Asas Hukum Pidana  yang berlaku berdasarkan Tempat dan Orang 
1. Asas Teritorial 
Asas territorialitas  termuat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi:” Ketentuan pidana dalam  
Undang-Undang negara kita  berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di 
wilayah negara kita ”.  jika rumusan ini dihubungkan dengan uraian diatas, maka akan diperoleh 
unsur sebagai berikut: 
1. Undang-undang (ketentuan pidana) negara kita   berlaku di wilayah negara kita   
2. Orang/pelaku berada di negara kita  
3. Suatu tindak pidana terjadi di wilayah negara kita .  
Persamaan dari tiga unsur diatas yaitu , semuanya di wilayah negara kita . jelas bahwa yang 
diutamakan yaitu  wilayah yang berarti mengutamakan asas terotorial. Jadi jika  pencurian 
dilarang di wilayah negara kita , dan si X yang berada di negara kita  melakukan pencurian di wilayah 
negara kita , maka telah terpenuhi ketentuan Pasal 2 KUHP.   
Salah satu contoh yang terkenal dalam penerapan hukum di Belanda tentang asas teritoriaal 
ini yaitu  : bahwa si A yang berada di negeri Jerman, melalui perbatasan melemparkan seutas tali 
yang bersimpul bulatan diujungnya, untuk menjerat seekor kuda yang berada di negeri Belanda. 
Kemudian kuda ini  ditarik ke wilayah Jerman  dengan maksud untuk memilikinya. Dalam 
hal ini tindak pidana dianggap telah terjadi  di negeri Belanda dan kepada pelakunya berlaku 
ketentuan pidana Belanda.  
2. Asas Personalitas  
Berlakunya hukum piana menurut asas personalitas yaitu  tergantung atau mengikuti 
subjek hukum atau orangnya yakni, warga negara dimanapun keberadaannya. Menurut sistem 
hukum pidana negara kita , dalam batas-batas dan dengan syarat tertentu, di luar wilayah hukum 
negara kita , hukum pidana negara kita  mengikuti warga negaranya artinya hukum pidana negara kita  
                                                     
berlaku terhadap warga negaranya dimanapun di luar wilayah negara kita . Oleh sebab itu, asas ini 
dapat disebut sebagai asas mengenai batas berlakunya hukum menurut atau mengikuti orang. Asas 
ini terdapat dalam Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.   
KUHP menganut asas pesonalitas terbatas. Yang terpokok dalam asas personalitas yaitu  
orang, person. Dalam hal ini berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa 
mempersoalkan dimana orang itu berada, yaitu didalam ataupun diluar wilayah negara negara kita . 
Pada dasarnya orang yang dikaitkan itu yaitu  warga dari negara yang bersangkutan, dalam hal 
ini warga negara negara kita . jika   asas personalitas dianut secara murni di negara kita , maka 
hukum pidana negara kita  berlaku bagi setiap warga negara negara kita  dimanapun ia berada. Sudah 
tentu hal ini akan melanggar kedaulatan negara asaing. Dalam KUHP negara kita  ternyata asas ini 
digunakan dalam batas-batas tertentu yaitu pada umumnya dalam hal yang berhubungan dengan: 
1. Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap negara dan 
pemerintahnya  
2. Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu tindak pidana di luar 
negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan di tanah air 
3. Diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada umumnya  yaitu  warga 
negara yang disamping kesetiaannya sebagai warga negara, juga diharapkan kesetiaannya 
kepada tugas/jabatan yang dipercayakan kepadanya. 
3. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif) 
Asas perlindungan atau nasional pasif yaitu  asas berlakunya hukum pidana menurut atau 
berdasarkan kepentingan hukum  yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar di luar wilayah 
negara kita . Asas ini berpijak pada pemikiran dari asas perlindungan yang menyatakan bahwa setiap 
negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya dan kepentingan nasionalnya. 
Dalam hal ini buka kepentingan perseorangan yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama 
(kolektif). Ciri dari asas perlindungan yaitu  subjeknya berupa setiap orang (tidak terbatas pada 
warga negaranya). Selain itu tindak pidana itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan 
tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan  kepentingan nasional negara kita  yang 
                                                     
karenanya harus diindungi. Kepentingan-kepentingan nasional yang ditentukan harus dilindungi 
ialah: 
a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta 
pemerintah yang sah dari RI, keamanan negara terhadap pemberontakan, keamanan 
penyerahan barang-barang angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan martbat 
kepada negara RI dst. 
b. Keamanan ideologi negara Pancasila dan haluan negara 
c. Keamanan perekonomian negara RI 
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat berharga yang dikeluarkan/disahkan 
oleh pemerintah RI 
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain sebagainya. 
Ketentuan-ketentuan yang bertitik berat kepada  asas perlindung terutama dapat ditemukan 
dalam Pasal 4 KUHP . Walaupun ketentuan Pasal 4 KUHP pada umumnya mengatur perlindungan 
terahdap kepentingan nasional negara kita , akan tetapi yang benar-benar hanya mengatur 
perlindungan nasional negara kita  saja. Dapat difahami jika  pada Pasal 4 menentukan sekian 
larangan perbuatan/kejahatan, yang berlaku tanpa memandang ditempat manapun dan oleh siapa 
pun karena nyata-nyata kejahatan-kejahatan yang ditujukan oleh Pasal 4 itu yaitu  jenis-jenis 
kejahatan  yang mengancam kepentingan hukum negara negara kita  yang mendasar, baik berupa 
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, perekonomian negara kita , 
maupun kepentingan hukum terhadap sarana dan prasarana angkutan negara kita . 
Dilihat dari sudut kepentingan hukum negara, maka maksud dipidananya setiap orang yang 
melakukan kejahatan-kejahatan teretntu di luar negara kita  yang disebut dalam Pasal 4 agar si 
pembuat dapat dipidana, dalam hal dan sebab di negara asing di tempat ia melakukan kejahatan 
menurut ketentuan hukum pidana asing itu tidak merupakan perbuatan yang diacam dengan 
pidana.   
 

4. Asas  Universaliteit ( Asas Persamaan) 
 Asas universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu kepentingan 
hukum penduduk dunia atau bangsa-bangas dunia. Berdasarkan kepentingan hukum yang lebih 
luas ini, maka menurut asas ini, berlakunya hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah 
tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimana pun dan terhadap siapa pun. 
Adanya asas ini berlatar belakang pada kepentingan hukum dunia.  Negara manapun diberi hak 
dan wewenang mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimana pun keberadaannya 
sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta kenyamanan warga negara di 
negara-negara dunia ini . 
 Hukum pidana negara kita  dalam batas-batas tertentu juga menganut asas ini, seperti yang 
terantum dalam Pasal 4 khususnya sepanjang menyangkut mengenai kepentingan bangsa-bangsa 
dunia. Kejahatan-kejahatan tertentu yang disebut dalam Pasal 4 (terutama butir ke 2,3,4) dalam 
hal menyangkut dan mengenai kepentingan bangsa-bangsa dunia, berlaku pula asas universaliteit. 
Dapat pula dikatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 4 dalam hubungannya dengan 
kepentingan hukum bangsa-bangsa dunia ini yaitu  fungsi hukum pidan negara kita  dalam ruang 
lingkup hukum pidana internasional. 
Jadi ketentuan pada Pasal 4 ini dapat dipandang sebagai ketentuan mengenai asas 
perlindungan yang sekaligus juga asas universaliteit. Jika pelanggaran yang dilakukan mengenai 
kepentingan hukum bangsa dan negara negara kita , misalnya pembajakan pesawat udara negara kita  
di wilayah hukum negara manapun juga, atas peristiwa itu berlaku asas perlindungan, dalam arti 
melindungi kepentingan hukum dalam hal prasarana dan sarana pengangkutan udara negara kita . 
akan tetapi, sesungguhnya pelanggaran seperti itu juga dipandang sebagai melanggar kepentingan 
hukum yang lebih luas yakni kepentingan hukum bangsa-bangsa  dan negara-negara dunia, maka 
dalam hal yang terakhir ini berlaku pula asas universaliteit. Demikian juga kejahatan mengenai 
mata uang (Bab X Buku II), kejahatan pembajakan laut (438), pembajak di tepi laut (439), 
pembajakan pantai (440) maupun pembajak sungai (441), walauun dilakukan di negara kita  tidak 
berarti kejahatan itu semata-mata menyerang kepentingan hukum negara-negara dunia.54 
negara kita  sebagai bagian dri dunia sehingga wajib bertanggungjawab untuk memberantas 
                                                    
kejahatan-kejahatan yang berkualitas dan berskala internasional, demikianlah maksud dari asas 
universaliteit.  
 Tujuan dibentuknya Pasal 4, khususnya angka 2,3 dan 4 dalam kaitannya dengan asas 
universaliteit yaitu  agar tidak lepasnya dari tuntutan pidana dan pemidanaan terhadap si pembuat 
kejahatan-kejahatan yang dimaksud ketika setelah dia berbuat di luar negara kita , kemudian masuk 
ke negara negara kita , sedangkan negara kita  tidak dapat mengekstradisi yang bersangkutan 
berhubung dengan tidak  adanya perjanjian mengenai ekstradisi  dengan negara ini , atau 
menurut hukum negara asing ini  perbuatan itu tidak diancam pidana, hukum pidana negara kita  
berlaku baginya dan dapat di tuntut pidana dan dipidana berdasarkan hukum pidana negara kita , 
tanpa melihat kewarganegaraan si pembuat ini .  
 
BAB IV 
TINDAK PIDANA 
 
A. Pengertian Tindak Pidana 
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang  Hukum  Pidana  (KUHP)  
dikenal  dengan  istilah Strafbaarfeit dan  dalam  kepustakaan  tentang  hukum  pidana sering  
mempergunakan  istilah  delik,  sedangkan  pembuat undang-undang  merumuskan  suatu  undang-
undang mempergunakan  istilah  peristiwa  pidana  atau  perbuatan pidana atau tindak pidana.  
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam 
ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada  
peristiwa  hukum  pidana.  Tindak  pidana  mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-
peristiwa yang konkrit dalam  lapangan  hukum  pidana,  sehingga  tindak  pidana haruslah  
diberikan  arti  yang  bersifat  ilmiah  dan  ditentukan dengan  jelas  untuk  dapat  memisahkan  
dengan  istilah  yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. 
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu 
strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS 
Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan 
strafbaarfeit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari 
istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.55 Para  pakar  asing  Hukum  
Pidana  menggunakan  istiah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan 
istilah strafbaarfeit yaitu  peristiwa pidana; strafbare handlung  diterjemahkan  dengan perbuatan  
pidana,  yang  digunakan  oleh  para  sarjana hukum pidana jerman; dan criminal act diterjemahkan 
dengan istilah perbuatan kriminal. 
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun 
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit yaitu  sebagai 
berikut:
4. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam  perundang-undangan pidana 
negara kita . Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, 
seperti dalam undang-undang tindak pidana korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti 
Prof. Dr. WWirjono Prodjodikoro dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di negara kita . 
5. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.R.Tresna dalam bukunya 
Asas-Asas Hukum Pidana . Prof.A.Zainal Abidin dalam bukunya Hukum Pidana. 
6. Delik yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk 
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaarfeit. Istilah ini ditemukan dalam 
literatur yang dikarang oleh E.Utrecht walaupu juga menggunakan istilah peritiwa pidana. 
begitu juga dengan Andi Hamzah menggunakan istilah delik. 
7. Pelanggaran pidana, dapat ditemukan dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis 
oleh Mr.MH Tirtaamidjaja. 
8. Perbuatan yang boleh di hukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan 
Tentang Hukum Pidana. 
9. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-
Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3) 
10. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.  
Jadi  istilah  Strafbaarfeit yaitu   peristiwa  yang  dapat dipidana atau perbuatan yang dapat 
dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang 
pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).  Istilah  delik  (delict)  dalam  bahasa  Belanda  di  
sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa negara kita , oleh  beberapa  
sarjana  hukum  diartikan  secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda. Ada 
beberapa definisi mengenai strafbaarfeit  maupun delik yang dikemukan para ahli diantaranya 
yaitu : 

2. Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh 
peraturan perundangundangan.”58 
3. Jonkers, merumuskan bahwa Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang di artikannya 
sebagai  “suatu  perbuatan  yang  melawan  hukum (wederrechttelijk)  yang  berhubungan 
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat 
dipertanggungjawabkan.59 
4. Pompe mengartikan strafbaarfeit Suatu  pelanggaran  norma  (gangguan  terhadap  tertib 
hukum)  yang  dengan  sengaja  ataupun  dengan  tidak sengaja  telah  dilakukan  oleh  
seorang  pelaku,  dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku ini  yaitu  perlu demi 
terpeliharanya tertib hukum.60 
5. Simons  merumuskan strafbaarfeit yaitu  suatu tindakan melanggar hukum yang telah 
dilakukan dengan  sengaja  oleh  seseorang  yang  dapat  dipertanggungjawabkan atas 
tindakannya dan yang oleh undang-undang  telah  dinyatakan  sebagai  suatu  tindakan  
yang dapat dihukum.61 
6. S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana alasannya Sianturi memberikan 
perumusan sebagai berikut: Tindak  pidana  yaitu   sebagai  suatu  tindakan pada, tempat, 
waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan)  dan  diancam  dengan  pidana  
oleh undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan kesalahan di lakukan oleh 
seseorang (yang bertanggung jawab).62 
Dari  beberapa  istilah  yang  dipergunakan  oleh  sarjana-sarjana ini  sebagai 
terjemahan delik (Strafbaarfeit) tidak  mengikat.  Untuk  istilah  mana  yang  ingin dipergunakan  
asalkan  tidak  merubah  makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung 
dari pemakaiannya,  misalnya  saja  Wirjono  Prodojikoro  menggunakan istilah peristiwa pidana 
dalam bukunya Hukum Acara Pidana negara kita  cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang 
lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.   
 
                                                   
B. Sejarah Pembagian Tindak Pidana 
 
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria. Pembagian ini 
berhubungan dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana. 
pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan 
membagi sedemikian itu sering juga dihubungkan dengan sebab-akibat hukum.  
Dalam sejarah pembagian tindak pidana pernah dikenal pembagian sebagai berikut:63 
a. Di Jerman diperbedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut(1) 
Freidennbruche dan (2) Rechtsbrunche. Dikenal pula pembagian yang disebut : (a) Verbrechen, 
(b) Vergehen dan (c) Ubertretungen. 
b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam  tiga bagian sebagai berikut: 
1) Crimen (misdaden, kejahatan) 
2) Delicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut) 
3) Contravention (pelanggaran) 
Sedangkan terhadap tiap-tiap bagian itu ditentukan jenis-jenis pidana untuk masing-
masingnya, demikian pula badan peradilannya. Pidana untuk masing-masing jenis tindak piana 
secara berurutan yaitu :  
1) Peines criminelles 
2) Peines correctionelles 
3) Peines de police 
Sedangkan badan peradilannya berurutan yaitu  
1) Cour d’Assises (Peradilan hakim-hakim jury yang menentukan bersalah/ tidaknya 
petindak). 
2) Tribunaux correctionnelles 
3) Juges de paix. 
 
c. Dikenal pula pembagian tindak pidana yang disebut sebagai (1) crimineel onrecht yaitu 
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan (2) politie onrecht, yaitu perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Teori-teori pembagian ini 
digunakan antara lain oleh: 
a) Binding, yang membedakan perbuatan yang melanggar kepentingan hukum dengan 
perbuatan abstrak yang membahayakan kepentingan hukum. 
                                                     

 
b) Otto Meyer, memperbedakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kebudayaan 
dengan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah/negara. 
c) Gewin, memperbedakan perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan Tuhan dengan 
perbuatan yang melanggar ketertiban umum yang diatur oleh pemerintah. 
d) Creutzberg, memperbedakan perbuatan yang menentang hukum pada umumnya dengan 
pelanggaran terhadap larangan/ keharusan yang ditentukan oleh negara untuk kepetingan 
masyarakat.  
 Cara pembagian ini  diatas, ternyata menemui kesulitan untuk menarik garis pemisah 
antara bagian-bagian ini , karena tidak adanya pengkriteriaan yang jelas. Kesulitan itu 
terutama berada pada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim karena pembuat undang-
undanglah yang menentukan tindak pidana mana saja yang termasuk dalam bagian-bagian yang 
ditentukan. 
 
C. Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran 
 
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan pembagian 
tindak pidana yaitu kejahatan yang ditenpatkan dalam buku ke II dan pelanggaran dalam buku ke 
III. Ternyata dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang memberikan dasar pembagian ini .  
Ciri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran hukum pada umumnya dengan 
penekanan kepada delik hukum dan delik undang-undang.64 Dasar pembedaan yang lainnya yang 
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu  pada berat atau ringannya pidana yang 
diancamkan. Kejahatan diancam dengan pidana yang berat seperti pidana mati atau pidana penjara. 
Sedangkan pelanggaran ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan kejahatan. 
Tindak pidana yangdiatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat 
dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan 
tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya misalnya peraturan 
pemerintah, peraturan gubernur/ kepala daerah pada umumnya merupakan pelanggaran. 
Kegunaan dari pembedaan kejahatan dan pelanggaran dapat ditemukan dalam KUHP 
jika  dikaitkan dengan akibat hukum sebagai berikut:
 
a. Yang berlakunya aturan pidana dalam undang-undang menurut tempat yang terdapat dalam 
Bab 1 Pasal 2 sampai dengan 9 KUHP, tidak selalu mengenai tindak pidana tetapi ada 
kalanya hanya mengenai kejahatan tertentu saja (Pasal 5). 
b. Dalam Bab II Buku I KUHP yang mengatur tentang pidana dibedakan  antara lain: 
1) Masa percobaan pemidanaan bagi kejahatan lebih lama dari pada bagi pelanggaran 
pada umumnya (lihat Pasal 14 b) 
2) Pelepasan bersyarat hanya berlaku untuk kejahatan (Pasal 15) 
3) Pencabutan hak-hak tertentu hanya boleh dijatuhkan pada kejahatan tertentu (Pasal 
36,37) 
4) Pada umumnya ancaman bagi kejahatan lebih berat dibandingkan bagi 
pelanggaran. 
c. Dalam Bab III Buku I KUHP ditentukan bahwa: 
1) Putusan hakim untuk menyerahkan seorang anak yang belum cukup umur kepada 
pemerintah, hanya jika anak itu telah melakukan suatu kejahatan atau beberapa 
pelanggaran tertentu (Pasal 45) 
2) Adanya pemberatan pidana karena melakukan suatu kejahatan dengan 
menggunakan bendera kebangsaan R.I (Pasal 52 a). 
d. Dalam Bab IV, Buku I KUHP ditentukan bahwa: 
1) Percobaan melakukan kejahatan dipidana (Pasal 53) 
2) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54) 
e. Dalam Bab V antara lain: 
1) Membantu untuk melakukan suatu kejahatan dipidana, tetapi untuk pelanggaran 
tidak (Pasal 56,60) 
2) Omkering van bewijslast bagi pengurus-pengurus dan sebagainya hanya berlaku 
untuk pelanggaran (Pasal 59) 
f. Dalam Bab VI antara lain: 
1) Untuk pemidanaan beberapa kejahatan sekaligus, umumya digunakan obsortie 
stelses (Stelsel penyerapan) 
2) Untuk pemidanaan beberapa pelanggaran sekaligus, umumnya digunakan 
comulatie stelses (stelsel penjumlahan) 
g. Dalam Bab VII antara lain: 
 
 
Pengaduan hanya untuk beberapa kejahatan tertentu saja, sedangkan seseorang yang 
melakukan suatu pelanggaran, selalu dapat dituntut tanpa adanya pengaduan. 
 
h. Dalam Bab VIII antara lain: 
1) Daluwarsa (penuntutan pidana atau perjalanan pidana) pada kejahatan umumnya 
lebih lama waktunya dibandingkan dengan pelanggaran 
2) Hanya pada pelanggaran saja ada kemungkinan penyelesaian di luar acara pidana 
dengan pembayaran maksimum denda dengan sukarela (afdoening buitan 
process). 
i. Dalam Bab IX antara lain: 
1) Pembantuan dan percobaan untuk melakukan kejahatan termasuk dalam arti 
kejahatan. Pembantuan /percobaan untuk melakukan pelanggaran, tidak diatur 
seperti itu. 
2) Pemufakatan (samespanning) hanya untuk melakukan kejahatan. 
j. Recidive: 
1) Recidive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal-pasal 486, 487, dan 488 
2) Recidive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan (489, 492, 
495, 501, 517, 530, 536, 540, 541, 542, 544, 545, dan 549). 
k. Kesalahan (schuld) 
Pada kejahatan selalu ditentukan, atau dapat disimpulkan adanya salah satu bentuk 
kesalahan, sedangkan pada pelanggaran tidak. 
l. Kualifikasi  
Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (Pasal-pasal 302 (1), 352 (1), 364, 
379, 384, 407 (1), 482, dan 315 KUHP sedangkan dalam pelanggaran tidak dikenal. 
 
 
 
D. ALiran Dan Doktrin Tentang Unsur-Unsur Tindak Pidana. 
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan 
teoritis dan pandangan undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, 
yang tercermin pada bunyi rumusannya. Dari sudut undang-undang yaitu  bagaimana kenyataan 
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan 
perundang-undangan yang ada.66 Dalam  hukum  pidana  dikenal  dua  pandangan  tentang unsur 
perbuatan pidana, yaitu:67 
a. Pandangan Monistis. 
Pandangan  monistis  yaitu   suatu  pandangan  yang melihat syarat, untuk adanya pidana 
harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip 
pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/ tindak  pidana  sudah  tercakup  di  dalamnya  
perbuatan  yang dilarang  (criminal  act)  dan  pertanggungjawaban  pidana/kesalahan (criminal 
responbility). 
Menurut D. Simons tindak pidana yaitu  :68 Tindakan  melanggar  hukum  yang  telah  
dilakukan dengan  sengaja  ataupun  tidak  dengan  sengaja  oleh seseorang  yang  dapat  
dipertanggungjawabkan  atas tindakannya  dan  yang  oleh  undang-undang  telah dinyatakan 
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini menurut Simons, untuk 
adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 
1. Perbuatan  manusia,  baik  dalam  arti  perbuatan  positif (berbuat) maupun perbuatan 
negatif (tidak berbuat); 
2. Diancam dengan pidana; 
3. Melawan hukum; 
4.  Dilakukan dengan kesalahan; dan 
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab 
Strafbaarfeit yang  secara  harfiah  berarti  suatu  peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons 
yang berpandangan monistis sebagai : “Kelakuan (handeling)  yang  diancam  dengan  pidana, 
                                                     
dimana  bersifat  melawan  hukum,  yang  dapat  berhubungan  dengan  kesalahan  dan  yang  
dilakukan  oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 
Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi 
dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :69 Simons 
mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang 
melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban pidana (criminal liability) dan mencakup 
kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Penganut monistis tidak 
secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dipidannya pelaku. 
Syarat dipidananya itu juga masuk dan menjadi unsur pidana. 
b. Pandangan Dualistis 
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan  syarat  adanya  pidana  
telah  melekat  pada  perbuatan pidana,  pandangan  dualistis  memisahkan  antara  perbuatan 
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis  dalam  pengertian  tindak  
pidana  sudah  tercakup  di dalamnya  baik criminal  act maupun  criminal  responbility, sementara 
menurut pandangan dualistis, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act,dan criminal 
responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh  karena  itu  untuk  menyatakan  sebuah  
perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang  dirumuskan  oleh  undang-
undang  yang  memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar. 
Batasan  yang  dikemukakan  tentang  tindak  pidana  oleh para sarjana yang menganut 
pandangan dualistis yaitu sebagai berikut: 
1. Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain yaitu  “feit (tindakan), yang 
diancam pidana dalam ketentuan  undang-undang,  sehingga  sifat  melawan  hukum dan  
kesalahan  bukanlah  syarat  mutlak  untuk  adanya  tindak pidana”. Maka  untuk  terjadinya  
perbuatan/tindak  pidana  harus dipenuhi unsur sebagai berikut:70 
a. Adanya perbuatan (manusia); 
                                                     
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait 
dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP; 
c. Bersifat  melawan  hukum  (hal  ini  merupakan  syarat materiil,  terkait  dengan  
diikutinya  ajaran  sifat  melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif). 
2. Moeljatno yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan  perbuatan  
pidana  dan  menguraikannya sebagai berikut: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan 
hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana  tertentu,  bagi  
barangsiapa  yang  melanggar larangan ini ”.71 Berdasarkan  defenisi/pengertian  
perbuatan/tindak pidana yang diberikan ini  di atas, bahwa dalam pengertian tindak 
pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility). Namun 
demikian, Moeljatno juga menegaskan, bahwa : Untuk  adanya  pidana  tidak  cukup  hanya  
dengan telah  terjadinya  tindak  pidana,  tanpa  mempersoalkan apakah  orang  yang  
melakukan  perbuatan  itu  mampu bertanggungjawab atau tidak. 
Menurut pandangan dualistis bahwa unsur tindak pidana yaitu unsur yang mengenai diri 
orangnya sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan syarat dapat 
dipidannya seseorang yang melakuka kejahatan. 
Menurut M. Sudradjat Bassar bahwa suatu tindak pidana mengandung unsur-unsur sebagai 
berikut:l 
a. Melawan hukum 
b. Merugikan masyarakat 
c. Dilarang oleh aturan pidana 
d. Pelakunya diancam dengan pidana 
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana ini  
mempunyai lima unsur yaitu: 
a. Subjek; 
b. Kesalahan; 
                                                     

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan; 
d. Suatu  tindakan  yang  dilarang  atau  diharuskan  oleh Undang-Undang  dan  terhadap  
pelanggarannya  diancam dengan pidana; dan 
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya) 
Perbedaan yang mendasar  menurut aliran Monistis dan Dualistis dapat dilihat pada tabel berikut: 
 
 
 
Unsur-Unsur Tindak Pidana 
Aliran Monistis Aliran Dualistis 
Ada Perbuatan 
Ada Sifat Melawan Hukum 
Tidak ada Alasan Pembenar 
Mampu Betanggungjawab 
Kesalahan 
Tidak ada Alasan Pemaaf 
Ada Perbuatan 
Sifat Melawan Hukum 
Tidak Ada Alasan Pembenar 
 
Unsur Pertanggungjawaban 
Pidana 
----------- Mampu bertanggungjawab 
Kesalahan 
Tidak ada Alasan Pemaaf 
 
E. Unsur-Unsur Tindak Pidana 
Secara umum, unsur-unsur tindak pidana yaitu  sebagai berikut: 
1. Unsur Perbuatan manusia.  
Dalam hal perbuatan manusia, Van  Hamel  menunjukkan tiga  pengertian  perbuatan (feit), 
yakni:
1) Perbuatan (feit), terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini  sangat  luas,  misalnya 
dalam  suatu  kejadian  beberapa orang  dianiaya,  dan  jika   dalam  suatu  
penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula 
penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu dikemudian dari yang lain. 
                                                     

2) Perbuatan (feit), perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh: seseorang 
di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan  yang  menyebabkan  kematian,  
kemudian masih  dapat  dilakukan  penuntutan  atas  dasar  “sengaja melakukan  
pembunuhan”  karena  ini  lain  dari  pada “penganiayaan  yang  mengakibatkan  
kematian”.  Vas  tidak menerima  pengertian  perbuatan  (feit) dalam  arti  yang 
kedua ini. 
3) Perbuatan  (feit), perbuatan  material,  jadi perbuatan  itu terlepas  dari  unsur  
kesalahan  dan  terlepas  dari  akibat. Dengan  pengertian  ini,  maka  
ketidakpantasan  yang  ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari. 
Perbuatan manusia baik perbuatan yang bersifat aktif, yakni berbuat, tetapi juga perbuatan 
yang bersifat pasif, yakni melalaikan atau tidak berbuat. Contoh perbuatan manusia yang bersifat 
aktif, yaitu Pasal 362 KUHP yang berbunyi : barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama 
sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang laim, dengan maksud akan memiliki barang itu 
dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima 
tahun atau denda sebanyak-banyak Rp.900. Jadi unsur perbuatan pidana pada contoh pasal diatas 
yaitu  sebagai berikut: 
1. Perbuatan pidana yakni, mengambil, 
2. Obyek hukum, yakni barang, apakah seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, 
3. Kesadaran pelaku, yakni untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan 
hak). 
Sedangkan contoh perbuatan manusia yan bersifat pasif (melalaikan / tidak berbuat) 
terdapat dalam Pasal 531 KUHP yang berbunyi: 
Barangsiapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam keadaan bahaya maut, lalai 
memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat 
diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri atau 
                                                     
 
orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda 
sebanyak-banyaknya Rp.4500,- . Jika orang yang perlu ditolong itu mati.
Pada  prinsipnya  seseorang  hanya  dapat  dibebani  tanggungjawab  pidana  bukan  hanya  
karena  ia  telah  melakukan suatu  perilaku  lahiriah (outward  conduct) yang  harus  dapat 
dibuktikan oleh seorang penuntut umum. Dalam ilmu hukum pidana,  perbuatan  lahiriah  itu  
dikenal  sebagai actus  reus, Dengan  kata  lain, actus  reus yaitu   elemen  luar (eksternal 
element). 
Dalam kepustakaan hukum actus reus ini sering digunakan padanan kata conduct  untuk  
perilaku  yang  menyimpang menurut  kaca  mata  hukum  pidana.  Atau  dengan  kata  lain, actus 
reus dipadankan  dengan  kata conduct.  Sementara  itu, dalam kepustakaan hukum dikatakan 
bahwa actus reus terdiri atas act  and  omission atau commission  and  omission, di mana dalam 
kedua frasa ini , act sama dengan commission. Oleh  karena  pengertian actus  reus bukan  
mencakup act atau commission saja,  tetapi  juga omission, Sutan  Remy  Sjahdeini berpendapat  
lebih  tepat   untuk  memberikan  padanan  kata actus  reus dengan  kata  perilaku.  Perilaku 
menurutnya merupakan  padanan  kata  dari  dari  kata conduct  dalam bahasa  inggris  yang  banyak  
dipakai  untuk  merujuk  kepada perilaku yang melanggar ketentuan pidana. Selanjutnya actus reus 
seyogianya  tidak  dipadankan  dengan  kata  perbuatan atau tindakan karena kata ini  
merupakan padanan dari kata act dalam bahasa inggris. 
Commission yaitu   melakukan  perbuatan  tertentu  yang dilarang  oleh  ketentuan  pidana,  
dan omission yaitu  tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana 
untuk dilakukan. Perilaku lebih luas maknanya dari perbuatan  atau  tindakan,  yang  tidak  lain  
sama  artinya dengan act atau commission. Pengertian perilaku bukan hanya terbatas  pada  makna  
perbuatan  untuk  melakukan  sesuatu tetapi  juga  termasuk tidak  melakukan  perbuatan  tertentu. 
Dengan keterangan ini  di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak  melakukan  perbuatan  tertentu  
                                                     

yang  diwajibkan  oleh ketentuan  pidana  tidak  dapat  dikatakan  perbuatan  atau tindakan atau 
act atau commission. Namun demkian tetap termasuk perilaku melanggar hukum.79 
2. Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk) 
 
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum 
(wederrechtelijk), yaitu:80 
1. Menurut  Simons,  melawan  hukum  diartikan  sebagai “bertentangan dengan hukum”, 
bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup 
Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara. 
2. Menurut  Noyon,  melawan  hukum  artinya  “bertentangan dengan hak orang lain” (hukum 
subjektif). 
3. Menurut  Hoge  Raad  dengan  keputusannya  tanggal  18 Desember 1911 W 9263, 
melawan hukum artinya “tanpa wenang” atau “tanpa hak”. 
4. Menurut  Vos,  Moeljatno,  dan  Tim  Pengkajian  Bidang Hukum  Pidana  BPHN  atau  
BABINKUMNAS  dalam Rancangan  KUHPN  memberikan  definisi  “bertentangan 
dengan  hukum”  artinya,  bertentangan  dengan  apa  yang dibenarkan  oleh  hukum  atau  
anggapan  masyarakat,  atau yang  benar-benar  dirasakan  oleh  masyarakat  sebagai 
perbuatan yang tidak patut dilakukan. 
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan 
atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Istilah 
melawan hukum itu sendiri sesungguhnya mengadopsi dari istilah dalam hukum perdata yaitu 
“onrechtmatigedaad” yang berarti perbuatan melawan hukum. 
Sifat  perbuatan  melawan  hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1. Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk) 
                                                     

Menurut  pendapat  ini,  yang  dimaksud  dengan  perbuatan bersifat melawan hukum 
yaitu  perbuatan yang memenuhi rumusan  undang-undang,  kecuali  jika  diadakan  
pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi 
pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum yaitu  
undang-undang. 
2. Sifat melawan hukum materil (materielewederrechtelijk). 
Menurut  pendapat  ini  belum  tentu  perbuatan  yang  yang memenuhi  rumusan  
undang-undang itu  bersifat  melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan 
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi  
hukum  yang  tidak  tertulis,  yakni  kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang 
berlaku di masyarakat. 
Selain pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan pendapatnya terkait sifat  melawan  
hukum  (wederrechtelijk) ini. Nico Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukum  
Pidana  di  Universitas Diponegoro  Semarang  pada  tanggal  6  sampai dengan 12 agustus 1987 
mengatakan bahwa dalam dogmatik hukum  pidana  istilah  sifat  melawan  hukum  itu  mempunyai 
empat makna yang berbeda, yakni:82 
1. Sifat melawan hukum formil.  
Sifat  melawan  hukum  formil  berarti  semua  bagian  dari rumusan  delik  telah  terpenuhi,  
yang  terjadi  karena melanggar  ketentuan  pidana  menurut  undang-undang. Sifat 
melawan hukum formil ini merupakan syarat untuk dapat  dipidananya  perbuatan  
bersumber  pada  asas legalitas.  Apakah  rumusan  delik  telah  terpenuhi, jadi apakah ada 
sifat melawan hukum formil, tidak begitu saja dapat  disimpulkan dari bunyi rumusan delik 
ini  harus ditafsirkan,  sebab  untuk  dapat  menjawab  pertanyaan apakah suatu bagian 
tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian ini . 
 
2. Sifat melawan hukum materil. 
Sifat  melawan  hukum  materil  berarti  melanggar  atau mebahayakan kepentingan hukum 
yang hendak dilindungi oleh  pembuat  undang-undang  dalam  rumusan  delik  
                                                      
tertentu.Pada  delik-delik  material  atau  delik-delik  yang dirumuskan secara material, 
sifat melawan hukum material dimasukkan dalam rumusan delik sendiri dan karena itu  
bukti dari sifat melawan hukum material termasuk dalam bukti dari rumusan delik.Pada 
delik-delik ini, pengertian sifat  melawan  hukum  formil  dan  sifat  melawan  hukum 
material  itu  pada  umumnya  menyatu.Misalnya  dalam rumusan  delik  pembunuhan,  
hanya  dipenuhi  kalau kepentingan hukum di belakangnya yaitu nyawa dilanggar. 
Sedangkan dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan secara formil sifat 
melawan hukum material itu tidak dimasukkan dalam delik sendiri, jadi tidak perlu 
dibuktikan. 
 
3. Sifat melawan hukum umum. 
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian  luar  undang-undang)  
yang  berarti  bertentangan dengan  hukum  objektif.  Hal  ini  pada  umumnya  terjadi jika  
perbuatannya   bersifat  melawan  hukum  formil  dan tidak ada alasan pembenar. Alasan 
pembenar ini mungkin ada,  baik  pada  delik  materil  maupun  pada  deik  formil. Pada  
delik  formil  contohnya;  seseorang  diserang  secara melawan hukum dan satu-satunya 
jalan yaitu  membunuh penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus 
melanggar  rumusan  delik  Pasal  338  KUHP.  Akan  tetapi perbuatannya  dengan  
mengingat  semua  keadaan,  tidak bersifat  melawan  hukum.Pada  delik  formil,  
contohnya; seorang pengendara mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu 
dilakukannya atas perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan 
delik, namun perbuatannya tidak bersifat melawan hukum. 
4. Sifat melawan hukum khusus. 
Sifat  melawan  hukum  khusus  (sifat  melawan  hukum sebagai bagian dari undang-
undang) memiliki arti khusus dalam  tiap-tiap  rumusan  delik  di  dalamnya  itu  sifat 
melawan hukum menjadi bagian dari undang-undang dan dapat  dinamakan  suatu  fase  
dari  sifat  melawan  hukum umum. Contoh; 
a. Pasal 362 KUHP (pencurian) pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara 
melawan hukum”.  
 
 
b. Pasal  167  KUHP  (mengganggu  ketentraman  rumah tangga)  pada  anak  kalimat  
“memaksa  masuk  secara melawan  hukum,  atau  berada  disitu  secara  melawan  
hukum dan tidak pergi”. 
c. Pasal  378  KUHP  (penipuan)  pada  anak  kalimat “menguntungkan  diri  sendiri  atau  
orang  lain  secara melawan hukum, dll. 
Untuk terjadinya perbuatan melawan hukum, menurut Hoffman harus memiliki empat 
unsur, yaitu:83 
a. Harus ada yang melakukan perbuatan; 
b. Perbuatan itu harus melawan hukum; 
c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain; 
d. Perbuatan itu karena kesalahan yang ditimpakan kepadanya. 
 
3. Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang. 
Perbuatan seseorang dapat dianggap sebagai tindak pidana, jika  perbuatan itu diancam 
dengan pidana oleh undang-undang. Jadi disamping perbuatan itu dilarang, juga diancam dengan 
hukuman.  jika  perbuatan itu tidak diancam dengan hukuman, maka perbuatan ini  belum 
bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.   
Unsur yang ketiga ini berkaitan dengan erat dengan salah satu asas dalam hukum pidana, 
yaitu asas legalitas, yang bersumber dari Pasal 1  ayat (1) KUH Pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1) 
KUH Pidana negara kita  disebutkan : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas 
kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu 
terjadi”. 
Dengan kata lain, bahwa seseorang baru dapat dipidana jika  perbuatannya dilukiskan 
di dalam undang-undang. Pidana yang dimaksud sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab 
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut Pasal 10 terdiri dari pidana pokok, seperti 
                                                     

pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan seperti 
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan 
hakim. 
4. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. 
Kemampuan seseorang untuk  mempertanggungjawabkan perbuatannya merupakan unsur 
yang penting dalam penerapan pidana. Jika pelaku tidak bisa mempertanggungjawabkan 
perbuatannya, maka ia tidak bisa dikenakan hukuman. Kemampuan bertanggungjawab merupakan 
kondisi batin yang normal dan mempunyai akal seseorang dalam membedakan hal-hal yang baik 
dan yang buruk. Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Selain itu  
diantara syarat adanya pertanggungjawaban pidana ialah dewasa dan berakal sehat. jika  si 
pelaku belum dewasa atau sudah dewasa tetapi akalnya tidak sehat, maka ia tidak bisa dibebani 
pertanggungjawaban pidana.  
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu 
pengertian suatu penjelasan tentang pengertian kemampuan bertanggung jawab. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana hanya memberikan rumusan secara negatif atas kemampuan 
bertanggungjawab sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi: 
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat 
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena 
sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena 
kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh 
memerintahkan menetapkan dia dirumah sakit gila selama-lamanya satu tahun 
untuk diperiksa.85 
Masalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana pada seorang pelaku perbuatan 
pidana harus  oleh hakim. Hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Keterangan medis 
merupakan dasar dari adanya keputusan hakim ini . 
                                                     

Menurut Van Bammelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, dapat 
dipertanggungjawabkan itu meliputi:86 
a. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya; 
b. Mengerti tujuan nyata perbuatannya; 
c. Dasar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat. 
 
Namun menurut Jonkers, pengertian ini  sulit, karena dalam prakteknya, ketiganya 
saling bertentangan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai manusia normal, mereka 
dipandang dapat dipertanggungjwabkan. Untuk itu maka kondisi tidak dapat 
dipertanggungjawabkan harus dibuktikan berdasarkan pemeriksaan oleh dokter yang berwenang. 
Menurut Roeslan Saleh, bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab 
itu ditentukan oleh dua faktor, yaitu pertama faktor akal dan kedua faktor kehendak. Akal yaitu 
dapat mebeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. 
Kehendak yaitu, dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan 
dan mana yang tidak. 
Hoge Raad di dalam putusannya 10 November 1924, N.J. 1925, menyatakan bahwa dapat 
dipertanggungjawabkan bukanlah bagian dari inti (bestanddeel) delik, tetapi jika tidak dapat 
dipertanggungjawabkan, maka hal ini dapat menghapuskan pidana dari suatu perbuatan. 
Perbedaannya dengan melawan hukum ialah, kalau unsur melawan hukum yang tidak ada dalam 
suatu perbuat