Home » dasar pidana 1 » dasar pidana 1
Rabu, 24 Mei 2023
Hukum pidana yaitu peraturan hukum mengenai pidana. Pengertian ini telah
diperjelas oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad yang mengatakan bahwa hukum pidana
substantif/materiel yaitu hukum mengenai delik yang diancam dengan hukum pidana. Kata
hukum pidana pertama-tama digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang
menetapkan syarat-syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara ini berkehendak untuk
memunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan pidana seperti apa
yang dapat diperkenankan. Hukum pidana dalam artian ini yaitu hukum pidana yang berlaku atau
hukum pidana positif yang juga sering disebut jus poenale. Hukum pidana ini mencakup:
1. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya organ-organ yang dinyatakan
berwenang oleh undang-undang dikaitkan ancaman pidana, norma-norma yang harus
ditaati oleh siapapun juga
2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat didayagunakan
sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma itu
3. Aturan-aturan yang secara temporal atau dalam jangka waktu tertentu menetapkan
batas ruang lingkup kerja dari norma-norma.
Moeljatno menyatakan hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertenru bagi siapa yang melanggarnya
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau diajtuhi sebagaimana yang telah diancamkan
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan jika
ada orang yang telah melanggar ini .
W.L.G. Lemaire, hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan
dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan ini .
Menurut Sudarto bahwa hukum pidana yaitu aturan hukum yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu akibat yang berupa pidana. Menurut
Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht
in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum
pidana dalam arti objektif yaitu hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai
hukum positif atau ius poenale. Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu
suatu pidana jika tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana, dan
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana
W.F.C. van Hattum, hukum pidana yaitu suatu keseluruhan dari asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana
mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap
peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
Pompe hukum pidana yaitu semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap
perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.
Adami Chazawi, hukum pidana itu yaitu bagian dari hukum publik yang memuat/berisi
ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang
disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk
dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa
sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan
dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum ini dalam
usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya
negara menegakkan hukum pidana ini .
Hazewinkel-Suringa, hukum pidana yaitu sejumlah peraturan hukum yang
mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam
dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip ini dapat diambil gambaran tentang
hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang:
1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu
perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana
B. Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai
berikut:
1. Hukum pidana dalam arti objektif (jus poenale) dan hukum pidana dalam arti subjektif
(jus puniendi).12 Meurut Vos, hukum pidana objektif maksudnya yaitu aturan-aturan
objektif yakni aturan hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang
timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum cara beserta sanksi, aturan mengenai
kapan, siapa dan bagaimana pidana dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana subjektif yaitu
hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana,
menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana yaitu merupakan tindakan-tindakan
yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindakan-tindakan ini dan hukuman yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan terhadap orang ini , disebut juga dengan hukum pidana yang
abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan yang mengatur tentang
bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan
secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum
acara pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya yaitu : Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana
yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt)
No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya
mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus
(bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana
yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-
kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun
yang tidak terkodifikasi.
Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus
(bijzonder strafrecht) van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum
pidana umum yaitu hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk
diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedangkan hukum pidana khusus yaitu
hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-
orang tertentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan
hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana
fiskal.
5. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Hukum adat yang beraneka
ragam di negara kita masih diakui berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada
hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya
menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di
negara kita ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan
yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-
pasal dari KUHP.
Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata
masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang
terbatas. Contohnya yaitu : Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971,
Nomor:14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar
kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970
di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan
persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E ini hamil
dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah melakukan delik kesusilaan
berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284
KUHP. Dengan demikian sistim hukum pidana di negara kita mengenal
adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi
dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis
sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat
yaitu yang berupa hukum adat.
6. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk
strafrecht) Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum
pidana nasional.14 Hukum pidana umum yaitu hukum pidana yang dibentuk oleh
Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat
melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan
hukum pidana lokal yaitu hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang
berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana
di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah ini . Hukum pidana lokal dapat
dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun
Pemerintahan Kota.
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam
peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dalam melakukan
penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat
kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.15Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana
masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana
internasional (hukum pidana supra nasional). Hukum pidana internasional yaitu
hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di
dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum
bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:
a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetujuan London (8-8-1945) yang
menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili
penjahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain mengenai korban perang yang luka
dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.
C. Tujuan Hukum Pidana
Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat
tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara
satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan
orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam
usaha memenuhi kebutuhan hidupnya ini maka hukum memberikan aturan-aturan yang
membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya. Berkenaan
dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya
peraturan hukum pidana, yaitu:
1. Aliran klasik
Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient regime yang abtrair pada abab ke 18 di
Prancis yg banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan dalam hukum dan
ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan
menitikberatkan pada kepastian hukum. Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke
richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa
(Negara). Peletak dasarnya yaitu Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei delitte
edelle pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan
undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu,
hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute
dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum
menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan
beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan
tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus
Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac
Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas
tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan
pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak
bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata
tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang
menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu,
dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rousseau dan Montesquieu turut
menuntut agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis
atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu yaitu usaha untuk melindungi
individu guna kepentingan hukum perseorangan.
Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu peraturan tertulis supaya
setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman
hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan akan terjamin hak-hak manusia
dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat,
akan melahirkan kepastian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-
wenangan. Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana yaitu
untuk menjamin kepentingan hukum individu.18 Setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana harus dijatuhkan pidana. Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa
memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang
mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang
yang melakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).
2. Aliran Modern
Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) mengajarkan tujuan susunan
hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan
ini , perkembangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta keadaan penjahat.
Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain yaitu tingkah laku orang perseorangan dan atau
masyarakat yaitu salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh
kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap
bahwa tujuan hukum pidana yaitu untuk memberantas kejahatan agar terlindungi kepentingan
hukum masyarakat
Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan:
1. Memerangi kejahatan , dalam hal ini Cesare Lombroso melakukan studi sistematis
mengenai tingkah laku manusia dalam rangka mengatasi kejahatan dalam masyarakat.
2. Memperhatikan ilmu lain, yakni dengan memperhatikan ilmu lain berupa kriminologi,
psikologi dll.
3. Ultimatum remedium berarti hukum pidana merupakan senjata atau sarana terkahir yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum
Perbedaan aliran klasik dan modern dapat dibedakan sebagai berikut:
Aliran Klasik Aliran Modern
Hanya mengenal Legal definition of
crime
Mengenal natural of crime
Artinya hanya mengenai kejahatan
sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang
Artinya kejahatan tidak terbatas apa
yang ditentukan dalam undang-undang
namun juga perbuatan yang oleh
masyarakat beradab diakui sebagai
kejahatan
Pidana satu-satunya cara untuk
membasmi kejahatan
Pidana saja tidak mampu membasmi
faktor kriminogen
Mengajarkan doktrin kehendak bebas
pada setiap individu untuk melakukan/
tidak melakukan kejahatan
Mengajarkan bahwa tingkah laku
individu merupakan interaksi dengan
lingkungan sebagai mata rantai
huungan sebab akibat
Menghendaki adanya pidana mati
terhadap kejahatan tertentu
Tidak menghendaki dan ingin
menghapus pidana mati
Menggunakan metode anekdot Metde penelitian dan pengalaman
Pemidanaan definite sentence/pidana
secara pasti dan hakim tidak di beri
kebebasan dalam menjatuhkan
hukuman
Interminate sentence/adanya pidana
minimum dan maksimum dan
memberikan kebebasan hakkim dalam
menjatuhkan hukuman
D. Tujuan Hukum Pidana di negara kita
Jika rakyat Prancis yang tidak dijajah (sebelum revolusi Perancis) mengalami perkosaan
kepentingan hukumnya. Dapat dibayangkan betapa pahitnya pengalaman rakyat negara kita yang
mempunyai sejarah dalam sekian kali dijajah yang silih berganti. Pada masa itu, hukum adat kita
yang didalamnya terdapat delik adat sedang berkembang menuju pemenuhan perasaan keadilan
masyarakat sempat terhenti akibat dari penjajahan dan tentunya penjajah membuat peraturan yang
lebih mengutamakan kepentingannya. Mengenai perkembangan hukum adat ini Supomo
mengatakan : “Tiap-tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan
lahirnya peraturan baru sedangkan peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan
lenyap dengan adanya perubahan perasaaan keadilan yang menimbulkan perubahan peraturan”.22
Sesudah negara kita merdeka sudah selayaknya dan seharusnya hukum pidana negara kita
(bukan hukum pidana di negara kita ) disusun dan merumuskan sedemikian rupa, agar semua
kepentingan negara, maysrakat dan individu diayomi dalam keseimbangan dan keserasian
berdasarkan Pancasila. Demikian juga tujuan hukum pidana negara kita yaitu pengayoman semua
kepentingan secara seimbang dan serasi.
E. Fungsi Hukum Pidana
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi
khusus. Fungsi umum hukum pidana sama seperti fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur
hidup masyarakat atau menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat. Fungsi khusus hukum
pidana yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya
dengan sanksi berupa pidana.23 Fungsi khusus hukum pidana yaitu melindungi kepentingan
hukum, maka yang dilindungi tidak hanya kepentingan individu tetapi juga kepentingan
masyarakat dan kepentingan negara. Oleh sebab itu dalam KUHP ada pasal-pasal yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap keamanan negara sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan
negara, demikian juga dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berhubungan dengan kejahatan
terhadap kepentingan umum sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan individu, paling tidak ada tiga hal
yang dilindungi:24
1. Perlindungan terhadap nyawa. Oleh karena itu, dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang
berkaitan dengan kejahatan terhdap nyawa
2. Perlindungan terhadap harta benda yang dituangkan dalam pasal-pasal yang bertalian
dengan kejahatan terhadap harta benda.
3. Perlindungan terhadap kehormatan, baik kesusilaan maupun nama baik. Dengan demikian
di dalam KUHP juga terdapat pasal-pasal yang barkaitan dengan kejahatan terhadap
kesusilaan dan kejahatan yang berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Selanjutnya fungsi khusus hukum pidana yang kedua yaitu memberikan keabsahan kepada
negara dalam rangka menjalankan fungsinya melindungi kepentingan hukum. Jika terjadi
pelanggaran terhadap kepentingan hukum negara, masyarakat dan atau individu, maka dalam
batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang negara dapat menjalankan alat-alat
kekuasaannya untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum yang dilanggar. Dapat
dikatakan bahwa fungsi khusus hukum pidana yaitu memberi keabsahan kepada negara untuk
menjalankan fungsinya melindungi kepentingan hukum dalam konteks hukum pidana formil.
F. Dasar Pemidanaan
Salah satu cara/alat untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu memidana seseorang yang
telah melakukan tindak pidana. Persoalannya apakah dasar dari pemidanaan?.Apakah alasan
membenarkan penjatuhan pidana oleh penguasa?. Hal ini tentunya bertitik tolak dari filsafat
hukum pidana yang termasuk dalam ilmu filsafat pada umumnya. Ajaran mengenai dasar
pembenaran pemidanaan berkembang pada abad ke 18 dan 19. Contoh : seseorang mengatakan
bahwa ia mempunyai hak atas sesuatu benda, ia harus dapat memberikan dasar hak itu. Misalnya
dari penyerahan orang lain sebagai akibat dri jual beli, warisan dari orang tua dll. Sehubungan
dengan itu dipersoalkan apa dasar hak penguasa untuk menjatuhkan pidana?. Jelas yang menjadi
persoalan yaitu dasar pembenaran dari adanya hak penguasa untuk menjatuhkan pidana. Oleh
karena itu, ada beberapa ajaran yang menjadi dasar-dasar pemikiran penjatuhan pidana. Ajaran
ini yaitu :
1. Berpijakan pada Ketuhanan
Menurut ajaran ini dalam mencari dasar pemidanaan didasarkan pada ajaran kedaulatan
Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci, penguasa yaitu abdi Tuhan untuk melindungi
yang baik dan mengecutkan penjahat dengan penjatuhan pidana. Pidana yaitu tuntutan keadilan
dan kebenaran Tuhan. Demikian juga Thomas Van Aquino bertolak pangkal bahwa negara sebagai
pembuat undang-undang dimana hakim bertindak atas kekuasaan yang diberikan Tuhan
kepadanya. Oleh karena itu kebutuhan negara untuk mencapai tujuannya berupa kesejahteraan
umum maka negara selain berhak menentukan hukum, negara juga berhak memaksa untuk
mentaati hukum dengan ancaman pidana.
2. Berpijakan pada falsah sebagai dasar pemidanaan.
Ajaran ini berpijakan pada perjanjian masyarakat (du contrat social maatschappelijke
verdrag) artinya adanya perjanjian fiktif antara rakyat dengan negara, dimana rakyatlah yang
berdaulat dan menentukan betuk pemerintahan. Kekuasaan negara tidak lain dari pada kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat. Setiap warga negara menyerahkan sebahagian dari hak asasinya
(kemerdekaannya) sebagai imblannya mereka menerima perlindungan kepentingan hukum dari
negara. Dan negara memperoleh hak untuk mempidana. Dilandasari oleh ajaran J.J Rousseau.
3. Berijakan pada perlindungan hukum sebagai dasar pemidanaan
Ajaran ini dipelopori oleh Bentham dan juga Van Hamel dan Simons. Mereka mecari dasar hukum
pemidanaan berpijakan pada kegunaan dan kepentingan. Penerapan pemidanaan bertujuan sebagai
perlindungan hukum maka dengan kata lain penerapan pidana merupakan alat untuk menjamin
ketertiban hukum.
G. Alasan dan Maksud Pemidanaan
Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu termasuk
golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan kemudian ditambah dengan golongan teori
gabungan.
1. Teori Pembalasan (Teori Absolut)
Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pelaku
tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana .Tidak dipersoalkan akibat
dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau,
maksudnya masa terjadinya tindak pidana, masa datang yang bermaksud memperbaiki penjahat
tidak dipersoalkan. Teori pembalasan dibagi kedalam lima bagian yaitu:
a. Pembalasan berdasarkan tuntutan multak dari ethica ( moraal-fhilosopie)
Teori ini dikemukan oleh Immauel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan merupakan
tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. Menurut Kant walaupun
besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya ( Fait
Justitia ruat coelum) .
b. Pembalasan bersambut (diakletis)
Teori ini dikemukan Hegel yang mengatakan bahwa hukum yaitu perwujudan dari
kemerdekaan, sedangkan kejahatan yaitu merupakan tantangan kepada hukum dan
keadilan .Kejahatan harus dilenyapkan dengan memberikan ketidakadilan (pidana) kepada
penjahat . Dalam bahasa asing teori ini disebut dialectische vergelding
c. Pemlasan demi keindahan /Kepuasan (aesthetisch)
Teori ini dikemukan oleh Herbart yang mentakan bahwa tuntutan mutlak dari perasaan
ketidakpuasaan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan untuk memidana penjahat agar
ketidak puasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan
kembali .Dalam istilah asing disebut aesthetische vergelding.
d. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tugan (agama)
Teori ini dikemukan oleh stahl, Thomas Van Aquino. Kejahatan yaitu merupakan
pelanggaran terhadap pri keadilan Tuhan dan harus ditiadakan, karenanya mutlak harus
diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Istilahnya
(Vergelding als een eisch der goddelijke gerechtigheid).
e. Pembalasan sebagai kehendak manusia
Para mashab hukum alam memandang negara sebagai hasil dari kehendak manusia
mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut
ajaran ini siapa saja melakukan kejahatan dia akan menerima suatu yang jahat
2. Teori Relatif (Tujuan)
Teori ini membenarkan pemidanaan dan tergantung dari tujuan pemidanaan yaitu
perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadainya kejahatan Dipandang dari tujuan
pemidanaan teori ini dibagi:
1. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup
berat untuk menakut-nakuti calon penjahat
2. Perbaikan/ pendidikan bagi penjahat. Kepada penjahatan diberikan pendidikan berupa
pidana agar kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat
3. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan masyarakat. dengan cara menjatuhkan hukum
pidana yang lebih berat kalau perlu pidana mati
4. Menjamin ketertiban umum. Caranya ialah mengadakan norma-norma yang menjamin
ketertiban hukum. kepada pelanggar norma negara menjatuhkan pidana.
3. Teori Gabungan
Teori ini gabungan dari dari teori pembalasan dan teori tujuan, lahirnya teori gabungan
ini karena teori absolute maupun teori tujuan (relatif) memiliki kelamahan-kelemahan.
Kelemahan terhadap teori ini dapat dilihat:
Teori absolut/ pembalasan memiliki kelemahan yaitu:
1. Sukar menentukan berat/ringannya pidana atau ukuran pembalasan tidak jelas
2. Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan
3. Hukuman /pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Teori tujuan memiliki kelemahan yaitu:
1. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan sehingga dijatuhkan pidana yang berat
2. Jika ternyata kejahatan nya ringan maka penjatuhan pidana yang berat tidak memenuhi rasa
keadilan
3. Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan tetapi juga kepada penjahat itu
sendiri.
Oleh karen itu teori gabungan harus memadukan kedua teori ini dengan panjatuhan
pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim, penjahat dan masyarakat dan harus
simbang pidana yang dijatuhkan kepada penjahat ini .
BAB II
Sejarah Dan Perkembangan Hukum Pidana di negara kita
Sejarah hukum pidana negara kita dibagi kedalam empat babak yaitu:
a. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
b. Zaman Hindia Belanda
c. Zaman pendudukan Jepang
d. Zaman kemerdekaan.
A. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
Hukum Barat (Belanda) masuk ke negara kita seiring dengan gerakan kolonialisme. Dengan
dalih memperluas wilayah perdagangan, maksud semula untuk berdagang berubah menjadi
menjajah. Agar maksud ini lancar, Pemerintah Hindia Belanda memberi wewenang penuh kepada
perusahaan perdagangan Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk
mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di negara kita .
Oleh karena itu, VOC mempunyai dua wewenang, yakni sebagai pedagang dan sebagai badan
pemerintah.
Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di negara kita membawa suasana
penjajahan. Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka, berdasarkan oktorooi Staten
General di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan berlakunya peraturan-peraturan sendiri di
negara kita . Semula peraturan-peraturan ini berbentuk plakaat-plakaat. Kemudian plakaat-
plakaat itu dihimpun dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi
belum merupakan kodifikasi, dan pada tahun 1848 diadakan Interimaire Strafbepalingen,
merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh Belanda walaupun dalam
bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang berlaku bagi orang Eropa.
Hukum yang berlaku pada waktu itu yaitu sistem hukum Belanda. Pada mulanya hanya
berlaku bagi orang Eropa saja, tetapi dengan berbagai peraturan dan upaya, akhirnya dinyatakan
berlaku bagi bangsa Asia, termasuk negara kita yang menundukkan diri pada hukum Barat secara
sukarela atau karena ada perbuatan hukum yang berkenaan dengan keuangan dan perdagangan.
Hukum Belanda yang diberlakukan oleh VOC pada waktu itu antara lain hukum tatanegara,
perdata dan pidana. VOC tidak mengenal hukum lain selain hukumnya sendiri. Tidak ada
perbedaan antara orang negara kita dengan orang Belanda, semuanya termasuk ke dalam peradilan
Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank. Pengadilan Asli yang dilakukan oleh kepala-
kepala rakyat dianggap tidak ada.
Bagi orang bumiputera atau orang asli negara kita asli, meskipun adanya peraturan-
peraturan hukum pidana yang tertulis ini , tetap berlaku hukum adat pidana yang sebagian
besar tidak tertulis, dan pengadilan bekerjanya masih bersifat arbitrair. Menjelang periode akhir
abad ke 19 mulai dirasakannya perlu unifikasi hukum pidana. Maka pada tahun 1881 pemerintah
Belanda mengadakan kodifikasi hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb.1881
nomor 35) dan diberlakukan secara nasional mulai tanggal 1 September 1886 serta sekaligus
menggantikan Code Penal Prancis. Pada tahun 1866 barulah dikenal kodifikasi dalam arti
sebenarnya, yaitu pembukuan segala peraturan hukum pidana.
Kodifikasi hukum pidana itu oleh pemerintah Belanda dikandung maksud untuk menyapu
bersih dan menghapuskan hukum adat, sehingga hanya berlaku hukum pidana asing yang
didatangkan untuk penduduk negara jajahan. Sejarah kolonial pada saat itu menunjukkan keadaan
sikap penduduk asli sukar ditaklukkan oleh orang asing, oleh karena itu perlu ditempuh berbagai
jalan antara lain dengan kolonisasi hukum pidana. Pada tanggal 10 Februari 1886 berlaku dua kitab
Undang-Undang Hukum pidana di negara kita yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor Europeanen
(S. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai pada tanggal 1 Januari 1867,
kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ditetapkan pula berlakunya KUHP untuk
golongan Bangsa negara kita a dan Timur Asing, yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en
Daarmede Gelijkgestlede S. 1872 Nomor 85 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1873.
kedua Kitab Undang-Undang Hukum pidana di negara kita ini diatas yaitu jiplakan
dari kode penal negara Perancis, yang oleh kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di negara Belanda
pada waktu negara itu ditaklukkan oleh Napolleon permulaan abad XXI. Dengan berlakunya
KUHP tahun 1886 dan tahun 1872, maka aturan hukum pidana yang lama yaitu tahun 1642 dan
tahun 1848 tidak berlaku lagi, begitu juga hukum pidana yang berlaku di daerah-daerah yang
dijajah itu dihapuskan dan semua orang-orang negara kita tunduk kepada satu KUHP saja (kecuali
di daerah-daerah Swapraja).
B. Zaman Hindia Belanda
Pada tahun 1918 sampai dengan tahun 1814 negara kita pernah jatuh dari tangan Belanda ke
tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda
dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk suatu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru yang mulai diberlakukan pada tahun 1886 yang
bersifat nasional dan sebagian besar mencontoh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi negara kita baru diturut dengan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie stbl Nomor 732) dengan firman
Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus
menggantikan kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini di atas untuk berlaku bagi
semua penduduk di negara kita .
Bersamaan dengan hal ini diatas, diberlakukan juga beberapa pengaturan seperti
Gestichten Reglement Stb 1917/708. Wijzigings Ordonantie Stb 1917/732, Dwang opvoeding
Regeling Stb 1917/741, Voorwaardelijke invrijheidstelling stb 1917/149.31 Dengan demikian
berakhirlah dualism hukum pidana di negara kita yang pada mulanya hanya untuk daerah yang
langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda dan akhirnya untuk seluruh negara kita .
C. Zaman pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang
berlaku di wilayah negara kita tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala
tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan
dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang
mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang ini
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa
hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya,masih tetap
menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische
Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan
penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.32
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer
Jepang di negara kita mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor
25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942
dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di
Hindia Belanda.33
Pada masa ini, negara kita telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah
Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling
membawahi. Wilayah negara kita timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang
berkedudukan di Makasar, dan wilayah negara kita barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat
Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan
peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
D. Zaman kemerdekaan.
Masa pemberlakukan hukum pidana di negara kita setelah proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum negara kita
yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi negara kita , yaitu pertama masa pasca
kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah negara kita menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik negara kita Serikat), ketiga masa negara kita
menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa negara kita kembali kepada
UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara negara kita sebagai negara yang merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945, bangsa negara kita menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu,
proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi
sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa negara kita . Bangsa
negara kita bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata
hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu yaitu Undang Undang Dasar 1945. Di dalam Pasal
II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, bahwa segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur
penyelenggaraan negara yaitu peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa
negara kita belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala
peraturan hukum yang telah diterapkan di negara kita sebelum kemerdekaan diberlakukan
sementara. Hal ini juga berarti founding fathers bangsa negara kita mengamanatkan kepada
generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai
berdirinya negara Republik negara kita pada tanggal 17 Agustus 1945,
sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih
tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang
Undang Dasar ini .
Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.37
Peraturan Presiden ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
namun dalam Peraturan Presiden ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17
Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum
pidana positif di negara kita , keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal 1 undang-undang ini secara tegas menyatakan:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik negara kita tertanggal
10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang
berlaku sekarang yaitu peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8
Maret 1942.38
Penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah negara kita ini berarti semua
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan
oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942
dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang ini juga dinyatakan bahwa
semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala
tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yaitu sebagai
berikut.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia
Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.
Pemberlakuan hukum pidana negara kita dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan
ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa negara kita atas penjahahan Belanda belum
selesai. Secara de jure memang negara kita telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang
merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas negara kita masih saja berkelanjutan.
Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang
berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di negara kita .
Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang
berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara
yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang
mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkutketatanegaraan,
keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta
dibekukannya Pasal1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud
ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.40
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di negara kita oleh dua
penguasa yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-
sama di negara kita . Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa
dualisme KUHP.41
b. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara negara kita menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas
syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini,
maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik negara kita Serikat.
Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik negara kita Serikat sendiri,
selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa
Konstitusi ini.
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang
kembali ke negara kita setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara negara kita menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan
16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan negara kita , maka pada tanggal
17 Agustus 1950 negara kita kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan
ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa
sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik negara kita sendiri, selama dan
sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang
Dasar ini.
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang
berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang
muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan
dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
Republik negara kita dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-
undang ini dinyatakan:
yaitu dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di negara kita masih berlaku dua jenis
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor negara kita
(Staatblad 1915 Nomor 732seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak
beralasan. 44
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1
ditentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh
wilayah Republik negara kita .”Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
diberlakukan di negara kita dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik negara kita .
d. 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi
mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu negara kita menjadi negara kesatuan
yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II
Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di
sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana negara kita dengan dasar Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang.
Hukum pidana yang berlaku sekarang yaitu hukum pidana yang pada pokoknya
bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana ditetapkan pada
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946, dan Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958 beserta
perubahannya.
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari 596 Pasal yang
terbagi dalam tiga buku yang isinya sebagai berikut:
negara kita sekarang ini belum mempunyai hukum pidana nasional yang dibuat sendiri.
hukum pidana yang berlaku sekarang ini merupakan produk hukum pidana peninggalan
pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidaa
Belanda ini dimaksudkan untuk tempo sementara.46 Oleh karena itu negara kita sejak
negara kita sejak 1962 telah berusaha melakukan pembaharuan hukum pidana nasional yang sampai
sekarang ini belum selesai disahkan oleh lembaga negara yang berwenang. Pembaharuan hukum
pidana, sebagai upaya pembangunan system hukum nasional. Upaya pembaharuan hukum pidana
merupakan tuntutan dan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan
paling penting yaitu tuntutan kemandirian dari bangsa yang merdeka.
BAB III
ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
1. Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undangundang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of
legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus
diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan
hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang
melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum
perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada
undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas
dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi
melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-
batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan dengan
kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu : Nulla
poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang. Nulla
poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana. Nullum crimen sine poena legali:
tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Rumusan ini juga
dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.
Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih
dahulu. Dari penjelasan ini diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal
1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) jika perbuatan ini
tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu,
jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang ini melakukan
perbuatan;
b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh
menggunakan analogi; dan
c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut;
2. Tujuan Asas Legalitas
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas
legalitas diadakan bertujuan untuk:49
a. Memperkuat adanya kepastian hukum;
b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan deterent functiondari sanksi pidana;
d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh penerapan “the rule of law”
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan
mengenai konsekuensi asas legalitas formil, yakni:50
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Konsekuensinya yaitu :
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana
juga tidak dapat dipidana.
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
c. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Konsekuensinya yaitu aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini
didasari oleh pemikiran bahwa:
a. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenangwenangan penguasa.
b. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si
calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak
pidana akan ditekan, jika ia mengetahui bahwa perbuatannya akan
mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.
3. Pengecualian Asas Legalitas
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pengecualian khusus mengenai
keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal ini
berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundangundangan setelah perbuatan itu dilakukan
maka kepada tersang ka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari
ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan
yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian menguntungkan disini bukan
saja terhadap pidana dari perbuatan ini ,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundang-
undangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :
1. Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan undang-
undang baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana ini berubah.
Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana walaupun
berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud
dalam pasal 1 ayat (2) ini.
2. Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain
bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan
hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman atau karena keadaan
tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam undang-undang pidana.
3. Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5
desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang yaitu meliputi semua
undang-undang dalam arti luas dan perubahan undangundang yang meliputi perasaan
hukum pembuat undangundang maupun perubahan yang dikarenakan oleh perubahan
jaman (keadaan karena waktu tertentu).
B. Asas Hukum Pidana yang berlaku berdasarkan Tempat dan Orang
1. Asas Teritorial
Asas territorialitas termuat dalam pasal 2 KUHP yang berbunyi:” Ketentuan pidana dalam
Undang-Undang negara kita berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di
wilayah negara kita ”. jika rumusan ini dihubungkan dengan uraian diatas, maka akan diperoleh
unsur sebagai berikut:
1. Undang-undang (ketentuan pidana) negara kita berlaku di wilayah negara kita
2. Orang/pelaku berada di negara kita
3. Suatu tindak pidana terjadi di wilayah negara kita .
Persamaan dari tiga unsur diatas yaitu , semuanya di wilayah negara kita . jelas bahwa yang
diutamakan yaitu wilayah yang berarti mengutamakan asas terotorial. Jadi jika pencurian
dilarang di wilayah negara kita , dan si X yang berada di negara kita melakukan pencurian di wilayah
negara kita , maka telah terpenuhi ketentuan Pasal 2 KUHP.
Salah satu contoh yang terkenal dalam penerapan hukum di Belanda tentang asas teritoriaal
ini yaitu : bahwa si A yang berada di negeri Jerman, melalui perbatasan melemparkan seutas tali
yang bersimpul bulatan diujungnya, untuk menjerat seekor kuda yang berada di negeri Belanda.
Kemudian kuda ini ditarik ke wilayah Jerman dengan maksud untuk memilikinya. Dalam
hal ini tindak pidana dianggap telah terjadi di negeri Belanda dan kepada pelakunya berlaku
ketentuan pidana Belanda.
2. Asas Personalitas
Berlakunya hukum piana menurut asas personalitas yaitu tergantung atau mengikuti
subjek hukum atau orangnya yakni, warga negara dimanapun keberadaannya. Menurut sistem
hukum pidana negara kita , dalam batas-batas dan dengan syarat tertentu, di luar wilayah hukum
negara kita , hukum pidana negara kita mengikuti warga negaranya artinya hukum pidana negara kita
berlaku terhadap warga negaranya dimanapun di luar wilayah negara kita . Oleh sebab itu, asas ini
dapat disebut sebagai asas mengenai batas berlakunya hukum menurut atau mengikuti orang. Asas
ini terdapat dalam Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.
KUHP menganut asas pesonalitas terbatas. Yang terpokok dalam asas personalitas yaitu
orang, person. Dalam hal ini berlakunya hukum pidana dikaitkan dengan orangnya, tanpa
mempersoalkan dimana orang itu berada, yaitu didalam ataupun diluar wilayah negara negara kita .
Pada dasarnya orang yang dikaitkan itu yaitu warga dari negara yang bersangkutan, dalam hal
ini warga negara negara kita . jika asas personalitas dianut secara murni di negara kita , maka
hukum pidana negara kita berlaku bagi setiap warga negara negara kita dimanapun ia berada. Sudah
tentu hal ini akan melanggar kedaulatan negara asaing. Dalam KUHP negara kita ternyata asas ini
digunakan dalam batas-batas tertentu yaitu pada umumnya dalam hal yang berhubungan dengan:
1. Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap negara dan
pemerintahnya
2. Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu tindak pidana di luar
negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan di tanah air
3. Diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada umumnya yaitu warga
negara yang disamping kesetiaannya sebagai warga negara, juga diharapkan kesetiaannya
kepada tugas/jabatan yang dipercayakan kepadanya.
3. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)
Asas perlindungan atau nasional pasif yaitu asas berlakunya hukum pidana menurut atau
berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar di luar wilayah
negara kita . Asas ini berpijak pada pemikiran dari asas perlindungan yang menyatakan bahwa setiap
negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya dan kepentingan nasionalnya.
Dalam hal ini buka kepentingan perseorangan yang diutamakan, tetapi kepentingan bersama
(kolektif). Ciri dari asas perlindungan yaitu subjeknya berupa setiap orang (tidak terbatas pada
warga negaranya). Selain itu tindak pidana itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan
tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional negara kita yang
karenanya harus diindungi. Kepentingan-kepentingan nasional yang ditentukan harus dilindungi
ialah:
a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah dari RI, keamanan negara terhadap pemberontakan, keamanan
penyerahan barang-barang angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan martbat
kepada negara RI dst.
b. Keamanan ideologi negara Pancasila dan haluan negara
c. Keamanan perekonomian negara RI
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat berharga yang dikeluarkan/disahkan
oleh pemerintah RI
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain sebagainya.
Ketentuan-ketentuan yang bertitik berat kepada asas perlindung terutama dapat ditemukan
dalam Pasal 4 KUHP . Walaupun ketentuan Pasal 4 KUHP pada umumnya mengatur perlindungan
terahdap kepentingan nasional negara kita , akan tetapi yang benar-benar hanya mengatur
perlindungan nasional negara kita saja. Dapat difahami jika pada Pasal 4 menentukan sekian
larangan perbuatan/kejahatan, yang berlaku tanpa memandang ditempat manapun dan oleh siapa
pun karena nyata-nyata kejahatan-kejahatan yang ditujukan oleh Pasal 4 itu yaitu jenis-jenis
kejahatan yang mengancam kepentingan hukum negara negara kita yang mendasar, baik berupa
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, perekonomian negara kita ,
maupun kepentingan hukum terhadap sarana dan prasarana angkutan negara kita .
Dilihat dari sudut kepentingan hukum negara, maka maksud dipidananya setiap orang yang
melakukan kejahatan-kejahatan teretntu di luar negara kita yang disebut dalam Pasal 4 agar si
pembuat dapat dipidana, dalam hal dan sebab di negara asing di tempat ia melakukan kejahatan
menurut ketentuan hukum pidana asing itu tidak merupakan perbuatan yang diacam dengan
pidana.
4. Asas Universaliteit ( Asas Persamaan)
Asas universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu kepentingan
hukum penduduk dunia atau bangsa-bangas dunia. Berdasarkan kepentingan hukum yang lebih
luas ini, maka menurut asas ini, berlakunya hukum pidana tidak dibatasi oleh tempat atau wilayah
tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimana pun dan terhadap siapa pun.
Adanya asas ini berlatar belakang pada kepentingan hukum dunia. Negara manapun diberi hak
dan wewenang mengikat dan membatasi tingkah laku setiap orang dimana pun keberadaannya
sepanjang perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan serta kenyamanan warga negara di
negara-negara dunia ini .
Hukum pidana negara kita dalam batas-batas tertentu juga menganut asas ini, seperti yang
terantum dalam Pasal 4 khususnya sepanjang menyangkut mengenai kepentingan bangsa-bangsa
dunia. Kejahatan-kejahatan tertentu yang disebut dalam Pasal 4 (terutama butir ke 2,3,4) dalam
hal menyangkut dan mengenai kepentingan bangsa-bangsa dunia, berlaku pula asas universaliteit.
Dapat pula dikatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 4 dalam hubungannya dengan
kepentingan hukum bangsa-bangsa dunia ini yaitu fungsi hukum pidan negara kita dalam ruang
lingkup hukum pidana internasional.
Jadi ketentuan pada Pasal 4 ini dapat dipandang sebagai ketentuan mengenai asas
perlindungan yang sekaligus juga asas universaliteit. Jika pelanggaran yang dilakukan mengenai
kepentingan hukum bangsa dan negara negara kita , misalnya pembajakan pesawat udara negara kita
di wilayah hukum negara manapun juga, atas peristiwa itu berlaku asas perlindungan, dalam arti
melindungi kepentingan hukum dalam hal prasarana dan sarana pengangkutan udara negara kita .
akan tetapi, sesungguhnya pelanggaran seperti itu juga dipandang sebagai melanggar kepentingan
hukum yang lebih luas yakni kepentingan hukum bangsa-bangsa dan negara-negara dunia, maka
dalam hal yang terakhir ini berlaku pula asas universaliteit. Demikian juga kejahatan mengenai
mata uang (Bab X Buku II), kejahatan pembajakan laut (438), pembajak di tepi laut (439),
pembajakan pantai (440) maupun pembajak sungai (441), walauun dilakukan di negara kita tidak
berarti kejahatan itu semata-mata menyerang kepentingan hukum negara-negara dunia.54
negara kita sebagai bagian dri dunia sehingga wajib bertanggungjawab untuk memberantas
kejahatan-kejahatan yang berkualitas dan berskala internasional, demikianlah maksud dari asas
universaliteit.
Tujuan dibentuknya Pasal 4, khususnya angka 2,3 dan 4 dalam kaitannya dengan asas
universaliteit yaitu agar tidak lepasnya dari tuntutan pidana dan pemidanaan terhadap si pembuat
kejahatan-kejahatan yang dimaksud ketika setelah dia berbuat di luar negara kita , kemudian masuk
ke negara negara kita , sedangkan negara kita tidak dapat mengekstradisi yang bersangkutan
berhubung dengan tidak adanya perjanjian mengenai ekstradisi dengan negara ini , atau
menurut hukum negara asing ini perbuatan itu tidak diancam pidana, hukum pidana negara kita
berlaku baginya dan dapat di tuntut pidana dan dipidana berdasarkan hukum pidana negara kita ,
tanpa melihat kewarganegaraan si pembuat ini .
BAB IV
TINDAK PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-
undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam
ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada
peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-
peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan
dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu
strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS
Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaarfeit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari
istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.55 Para pakar asing Hukum
Pidana menggunakan istiah tindak pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana, dengan
istilah strafbaarfeit yaitu peristiwa pidana; strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan
pidana, yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana jerman; dan criminal act diterjemahkan
dengan istilah perbuatan kriminal.
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit yaitu sebagai
berikut:
4. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana
negara kita . Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana,
seperti dalam undang-undang tindak pidana korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti
Prof. Dr. WWirjono Prodjodikoro dalam bukunya Tindak-Tindak Pidana Tertentu di negara kita .
5. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya Mr.R.Tresna dalam bukunya
Asas-Asas Hukum Pidana . Prof.A.Zainal Abidin dalam bukunya Hukum Pidana.
6. Delik yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaarfeit. Istilah ini ditemukan dalam
literatur yang dikarang oleh E.Utrecht walaupu juga menggunakan istilah peritiwa pidana.
begitu juga dengan Andi Hamzah menggunakan istilah delik.
7. Pelanggaran pidana, dapat ditemukan dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis
oleh Mr.MH Tirtaamidjaja.
8. Perbuatan yang boleh di hukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan
Tentang Hukum Pidana.
9. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-
Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3)
10. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.
Jadi istilah Strafbaarfeit yaitu peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat
dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana). Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di
sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa negara kita , oleh beberapa
sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda. Ada
beberapa definisi mengenai strafbaarfeit maupun delik yang dikemukan para ahli diantaranya
yaitu :
2. Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundangundangan.”58
3. Jonkers, merumuskan bahwa Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang di artikannya
sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.59
4. Pompe mengartikan strafbaarfeit Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku ini yaitu perlu demi
terpeliharanya tertib hukum.60
5. Simons merumuskan strafbaarfeit yaitu suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan
yang dapat dihukum.61
6. S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana alasannya Sianturi memberikan
perumusan sebagai berikut: Tindak pidana yaitu sebagai suatu tindakan pada, tempat,
waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana
oleh undang-undang bersifat melawan hukum,serta dengan kesalahan di lakukan oleh
seseorang (yang bertanggung jawab).62
Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana ini sebagai
terjemahan delik (Strafbaarfeit) tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan
asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung
dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana
dalam bukunya Hukum Acara Pidana negara kita cetakan ke V 1962, sedangkan selama kurang
lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.
B. Sejarah Pembagian Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria. Pembagian ini
berhubungan dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana.
pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran umum hukum pidana. Dengan
membagi sedemikian itu sering juga dihubungkan dengan sebab-akibat hukum.
Dalam sejarah pembagian tindak pidana pernah dikenal pembagian sebagai berikut:63
a. Di Jerman diperbedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut(1)
Freidennbruche dan (2) Rechtsbrunche. Dikenal pula pembagian yang disebut : (a) Verbrechen,
(b) Vergehen dan (c) Ubertretungen.
b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam tiga bagian sebagai berikut:
1) Crimen (misdaden, kejahatan)
2) Delicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut)
3) Contravention (pelanggaran)
Sedangkan terhadap tiap-tiap bagian itu ditentukan jenis-jenis pidana untuk masing-
masingnya, demikian pula badan peradilannya. Pidana untuk masing-masing jenis tindak piana
secara berurutan yaitu :
1) Peines criminelles
2) Peines correctionelles
3) Peines de police
Sedangkan badan peradilannya berurutan yaitu
1) Cour d’Assises (Peradilan hakim-hakim jury yang menentukan bersalah/ tidaknya
petindak).
2) Tribunaux correctionnelles
3) Juges de paix.
c. Dikenal pula pembagian tindak pidana yang disebut sebagai (1) crimineel onrecht yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan (2) politie onrecht, yaitu perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Teori-teori pembagian ini
digunakan antara lain oleh:
a) Binding, yang membedakan perbuatan yang melanggar kepentingan hukum dengan
perbuatan abstrak yang membahayakan kepentingan hukum.
b) Otto Meyer, memperbedakan perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kebudayaan
dengan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah/negara.
c) Gewin, memperbedakan perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan Tuhan dengan
perbuatan yang melanggar ketertiban umum yang diatur oleh pemerintah.
d) Creutzberg, memperbedakan perbuatan yang menentang hukum pada umumnya dengan
pelanggaran terhadap larangan/ keharusan yang ditentukan oleh negara untuk kepetingan
masyarakat.
Cara pembagian ini diatas, ternyata menemui kesulitan untuk menarik garis pemisah
antara bagian-bagian ini , karena tidak adanya pengkriteriaan yang jelas. Kesulitan itu
terutama berada pada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim karena pembuat undang-
undanglah yang menentukan tindak pidana mana saja yang termasuk dalam bagian-bagian yang
ditentukan.
C. Pembedaan Kejahatan dan Pelanggaran
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang diadakan pembagian
tindak pidana yaitu kejahatan yang ditenpatkan dalam buku ke II dan pelanggaran dalam buku ke
III. Ternyata dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang memberikan dasar pembagian ini .
Ciri-ciri pembedaan itu terletak pada penilaian kesadaran hukum pada umumnya dengan
penekanan kepada delik hukum dan delik undang-undang.64 Dasar pembedaan yang lainnya yang
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu pada berat atau ringannya pidana yang
diancamkan. Kejahatan diancam dengan pidana yang berat seperti pidana mati atau pidana penjara.
Sedangkan pelanggaran ancaman pidananya lebih ringan dibandingkan kejahatan.
Tindak pidana yangdiatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang setingkat
dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan
tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya misalnya peraturan
pemerintah, peraturan gubernur/ kepala daerah pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan dari pembedaan kejahatan dan pelanggaran dapat ditemukan dalam KUHP
jika dikaitkan dengan akibat hukum sebagai berikut:
a. Yang berlakunya aturan pidana dalam undang-undang menurut tempat yang terdapat dalam
Bab 1 Pasal 2 sampai dengan 9 KUHP, tidak selalu mengenai tindak pidana tetapi ada
kalanya hanya mengenai kejahatan tertentu saja (Pasal 5).
b. Dalam Bab II Buku I KUHP yang mengatur tentang pidana dibedakan antara lain:
1) Masa percobaan pemidanaan bagi kejahatan lebih lama dari pada bagi pelanggaran
pada umumnya (lihat Pasal 14 b)
2) Pelepasan bersyarat hanya berlaku untuk kejahatan (Pasal 15)
3) Pencabutan hak-hak tertentu hanya boleh dijatuhkan pada kejahatan tertentu (Pasal
36,37)
4) Pada umumnya ancaman bagi kejahatan lebih berat dibandingkan bagi
pelanggaran.
c. Dalam Bab III Buku I KUHP ditentukan bahwa:
1) Putusan hakim untuk menyerahkan seorang anak yang belum cukup umur kepada
pemerintah, hanya jika anak itu telah melakukan suatu kejahatan atau beberapa
pelanggaran tertentu (Pasal 45)
2) Adanya pemberatan pidana karena melakukan suatu kejahatan dengan
menggunakan bendera kebangsaan R.I (Pasal 52 a).
d. Dalam Bab IV, Buku I KUHP ditentukan bahwa:
1) Percobaan melakukan kejahatan dipidana (Pasal 53)
2) Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54)
e. Dalam Bab V antara lain:
1) Membantu untuk melakukan suatu kejahatan dipidana, tetapi untuk pelanggaran
tidak (Pasal 56,60)
2) Omkering van bewijslast bagi pengurus-pengurus dan sebagainya hanya berlaku
untuk pelanggaran (Pasal 59)
f. Dalam Bab VI antara lain:
1) Untuk pemidanaan beberapa kejahatan sekaligus, umumya digunakan obsortie
stelses (Stelsel penyerapan)
2) Untuk pemidanaan beberapa pelanggaran sekaligus, umumnya digunakan
comulatie stelses (stelsel penjumlahan)
g. Dalam Bab VII antara lain:
Pengaduan hanya untuk beberapa kejahatan tertentu saja, sedangkan seseorang yang
melakukan suatu pelanggaran, selalu dapat dituntut tanpa adanya pengaduan.
h. Dalam Bab VIII antara lain:
1) Daluwarsa (penuntutan pidana atau perjalanan pidana) pada kejahatan umumnya
lebih lama waktunya dibandingkan dengan pelanggaran
2) Hanya pada pelanggaran saja ada kemungkinan penyelesaian di luar acara pidana
dengan pembayaran maksimum denda dengan sukarela (afdoening buitan
process).
i. Dalam Bab IX antara lain:
1) Pembantuan dan percobaan untuk melakukan kejahatan termasuk dalam arti
kejahatan. Pembantuan /percobaan untuk melakukan pelanggaran, tidak diatur
seperti itu.
2) Pemufakatan (samespanning) hanya untuk melakukan kejahatan.
j. Recidive:
1) Recidive untuk kejahatan tertentu diatur dalam pasal-pasal 486, 487, dan 488
2) Recidive untuk pelanggaran diatur dalam pasal-pasal yang bersangkutan (489, 492,
495, 501, 517, 530, 536, 540, 541, 542, 544, 545, dan 549).
k. Kesalahan (schuld)
Pada kejahatan selalu ditentukan, atau dapat disimpulkan adanya salah satu bentuk
kesalahan, sedangkan pada pelanggaran tidak.
l. Kualifikasi
Hanya dalam kejahatan dikenal adanya kejahatan ringan (Pasal-pasal 302 (1), 352 (1), 364,
379, 384, 407 (1), 482, dan 315 KUHP sedangkan dalam pelanggaran tidak dikenal.
D. ALiran Dan Doktrin Tentang Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang yakni pandangan
teoritis dan pandangan undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum,
yang tercermin pada bunyi rumusannya. Dari sudut undang-undang yaitu bagaimana kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang ada.66 Dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang unsur
perbuatan pidana, yaitu:67
a. Pandangan Monistis.
Pandangan monistis yaitu suatu pandangan yang melihat syarat, untuk adanya pidana
harus mencakup dua hal yakni sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip
pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatan/ tindak pidana sudah tercakup di dalamnya
perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal
responbility).
Menurut D. Simons tindak pidana yaitu :68 Tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini menurut Simons, untuk
adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan
negatif (tidak berbuat);
2. Diancam dengan pidana;
3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan; dan
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
Strafbaarfeit yang secara harfiah berarti suatu peristiwa pidana, dirumuskan oleh Simons
yang berpandangan monistis sebagai : “Kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana,
dimana bersifat melawan hukum, yang dapat berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa “kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi
dolus (sengaja) dan culpalata (alpa, lalai) dan berkomentar sebagai berikut :69 Simons
mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yg meliputi perbuatan serta sifat yang
melawan hukum, perbuatan dan pertanggungjwaban pidana (criminal liability) dan mencakup
kesengajaan,kealpaan dan kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Penganut monistis tidak
secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dipidannya pelaku.
Syarat dipidananya itu juga masuk dan menjadi unsur pidana.
b. Pandangan Dualistis
Berbeda dengan pandangan monistis yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana
telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian tindak
pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal responbility, sementara
menurut pandangan dualistis, yakni dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act,dan criminal
responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh karena itu untuk menyatakan sebuah
perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-
undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.
Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana oleh para sarjana yang menganut
pandangan dualistis yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain yaitu “feit (tindakan), yang
diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat melawan hukum dan
kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana”. Maka untuk terjadinya
perbuatan/tindak pidana harus dipenuhi unsur sebagai berikut:70
a. Adanya perbuatan (manusia);
b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait
dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP;
c. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan
diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).
2. Moeljatno yang berpandangan dualistis menerjemahkan strafbaarfeit dengan perbuatan
pidana dan menguraikannya sebagai berikut: “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum dan larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar larangan ini ”.71 Berdasarkan defenisi/pengertian
perbuatan/tindak pidana yang diberikan ini di atas, bahwa dalam pengertian tindak
pidana tidak tercakup pertanggungjawaban pidana (criminal responbility). Namun
demikian, Moeljatno juga menegaskan, bahwa : Untuk adanya pidana tidak cukup hanya
dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang
melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak.
Menurut pandangan dualistis bahwa unsur tindak pidana yaitu unsur yang mengenai diri
orangnya sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan syarat dapat
dipidannya seseorang yang melakuka kejahatan.
Menurut M. Sudradjat Bassar bahwa suatu tindak pidana mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:l
a. Melawan hukum
b. Merugikan masyarakat
c. Dilarang oleh aturan pidana
d. Pelakunya diancam dengan pidana
Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana ini
mempunyai lima unsur yaitu:
a. Subjek;
b. Kesalahan;
c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap
pelanggarannya diancam dengan pidana; dan
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)
Perbedaan yang mendasar menurut aliran Monistis dan Dualistis dapat dilihat pada tabel berikut:
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Aliran Monistis Aliran Dualistis
Ada Perbuatan
Ada Sifat Melawan Hukum
Tidak ada Alasan Pembenar
Mampu Betanggungjawab
Kesalahan
Tidak ada Alasan Pemaaf
Ada Perbuatan
Sifat Melawan Hukum
Tidak Ada Alasan Pembenar
Unsur Pertanggungjawaban
Pidana
----------- Mampu bertanggungjawab
Kesalahan
Tidak ada Alasan Pemaaf
E. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Secara umum, unsur-unsur tindak pidana yaitu sebagai berikut:
1. Unsur Perbuatan manusia.
Dalam hal perbuatan manusia, Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit),
yakni:
1) Perbuatan (feit), terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya
dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan jika dalam suatu
penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula
penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu dikemudian dari yang lain.
2) Perbuatan (feit), perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh: seseorang
di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian,
kemudian masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan
pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan
kematian”. Vas tidak menerima pengertian perbuatan (feit) dalam arti yang
kedua ini.
3) Perbuatan (feit), perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur
kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini, maka
ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.
Perbuatan manusia baik perbuatan yang bersifat aktif, yakni berbuat, tetapi juga perbuatan
yang bersifat pasif, yakni melalaikan atau tidak berbuat. Contoh perbuatan manusia yang bersifat
aktif, yaitu Pasal 362 KUHP yang berbunyi : barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama
sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang laim, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
tahun atau denda sebanyak-banyak Rp.900. Jadi unsur perbuatan pidana pada contoh pasal diatas
yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan pidana yakni, mengambil,
2. Obyek hukum, yakni barang, apakah seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
3. Kesadaran pelaku, yakni untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan
hak).
Sedangkan contoh perbuatan manusia yan bersifat pasif (melalaikan / tidak berbuat)
terdapat dalam Pasal 531 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam keadaan bahaya maut, lalai
memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat
diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri atau
orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4500,- . Jika orang yang perlu ditolong itu mati.
Pada prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani tanggungjawab pidana bukan hanya
karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat
dibuktikan oleh seorang penuntut umum. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu
dikenal sebagai actus reus, Dengan kata lain, actus reus yaitu elemen luar (eksternal
element).
Dalam kepustakaan hukum actus reus ini sering digunakan padanan kata conduct untuk
perilaku yang menyimpang menurut kaca mata hukum pidana. Atau dengan kata lain, actus
reus dipadankan dengan kata conduct. Sementara itu, dalam kepustakaan hukum dikatakan
bahwa actus reus terdiri atas act and omission atau commission and omission, di mana dalam
kedua frasa ini , act sama dengan commission. Oleh karena pengertian actus reus bukan
mencakup act atau commission saja, tetapi juga omission, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat
lebih tepat untuk memberikan padanan kata actus reus dengan kata perilaku. Perilaku
menurutnya merupakan padanan kata dari dari kata conduct dalam bahasa inggris yang banyak
dipakai untuk merujuk kepada perilaku yang melanggar ketentuan pidana. Selanjutnya actus reus
seyogianya tidak dipadankan dengan kata perbuatan atau tindakan karena kata ini
merupakan padanan dari kata act dalam bahasa inggris.
Commission yaitu melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana,
dan omission yaitu tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana
untuk dilakukan. Perilaku lebih luas maknanya dari perbuatan atau tindakan, yang tidak lain
sama artinya dengan act atau commission. Pengertian perilaku bukan hanya terbatas pada makna
perbuatan untuk melakukan sesuatu tetapi juga termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu.
Dengan keterangan ini di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak melakukan perbuatan tertentu
yang diwajibkan oleh ketentuan pidana tidak dapat dikatakan perbuatan atau tindakan atau
act atau commission. Namun demkian tetap termasuk perilaku melanggar hukum.79
2. Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk)
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum
(wederrechtelijk), yaitu:80
1. Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai “bertentangan dengan hukum”,
bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup
Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara.
2. Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (hukum
subjektif).
3. Menurut Hoge Raad dengan keputusannya tanggal 18 Desember 1911 W 9263,
melawan hukum artinya “tanpa wenang” atau “tanpa hak”.
4. Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana BPHN atau
BABINKUMNAS dalam Rancangan KUHPN memberikan definisi “bertentangan
dengan hukum” artinya, bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau
anggapan masyarakat, atau yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan
atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Istilah
melawan hukum itu sendiri sesungguhnya mengadopsi dari istilah dalam hukum perdata yaitu
“onrechtmatigedaad” yang berarti perbuatan melawan hukum.
Sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
1. Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk)
Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum
yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan
pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi
pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum yaitu
undang-undang.
2. Sifat melawan hukum materil (materielewederrechtelijk).
Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan
undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi
hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang
berlaku di masyarakat.
Selain pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan pendapatnya terkait sifat melawan
hukum (wederrechtelijk) ini. Nico Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukum
Pidana di Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 6 sampai dengan 12 agustus 1987
mengatakan bahwa dalam dogmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai
empat makna yang berbeda, yakni:82
1. Sifat melawan hukum formil.
Sifat melawan hukum formil berarti semua bagian dari rumusan delik telah terpenuhi,
yang terjadi karena melanggar ketentuan pidana menurut undang-undang. Sifat
melawan hukum formil ini merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan
bersumber pada asas legalitas. Apakah rumusan delik telah terpenuhi, jadi apakah ada
sifat melawan hukum formil, tidak begitu saja dapat disimpulkan dari bunyi rumusan delik
ini harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab pertanyaan apakah suatu bagian
tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian ini .
2. Sifat melawan hukum materil.
Sifat melawan hukum materil berarti melanggar atau mebahayakan kepentingan hukum
yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik
tertentu.Pada delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material,
sifat melawan hukum material dimasukkan dalam rumusan delik sendiri dan karena itu
bukti dari sifat melawan hukum material termasuk dalam bukti dari rumusan delik.Pada
delik-delik ini, pengertian sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum
material itu pada umumnya menyatu.Misalnya dalam rumusan delik pembunuhan,
hanya dipenuhi kalau kepentingan hukum di belakangnya yaitu nyawa dilanggar.
Sedangkan dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan secara formil sifat
melawan hukum material itu tidak dimasukkan dalam delik sendiri, jadi tidak perlu
dibuktikan.
3. Sifat melawan hukum umum.
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang)
yang berarti bertentangan dengan hukum objektif. Hal ini pada umumnya terjadi jika
perbuatannya bersifat melawan hukum formil dan tidak ada alasan pembenar. Alasan
pembenar ini mungkin ada, baik pada delik materil maupun pada deik formil. Pada
delik formil contohnya; seseorang diserang secara melawan hukum dan satu-satunya
jalan yaitu membunuh penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus
melanggar rumusan delik Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perbuatannya dengan
mengingat semua keadaan, tidak bersifat melawan hukum.Pada delik formil,
contohnya; seorang pengendara mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu
dilakukannya atas perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan
delik, namun perbuatannya tidak bersifat melawan hukum.
4. Sifat melawan hukum khusus.
Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-
undang) memiliki arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat
melawan hukum menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu fase
dari sifat melawan hukum umum. Contoh;
a. Pasal 362 KUHP (pencurian) pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum”.
b. Pasal 167 KUHP (mengganggu ketentraman rumah tangga) pada anak kalimat
“memaksa masuk secara melawan hukum, atau berada disitu secara melawan
hukum dan tidak pergi”.
c. Pasal 378 KUHP (penipuan) pada anak kalimat “menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dll.
Untuk terjadinya perbuatan melawan hukum, menurut Hoffman harus memiliki empat
unsur, yaitu:83
a. Harus ada yang melakukan perbuatan;
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain;
d. Perbuatan itu karena kesalahan yang ditimpakan kepadanya.
3. Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Perbuatan seseorang dapat dianggap sebagai tindak pidana, jika perbuatan itu diancam
dengan pidana oleh undang-undang. Jadi disamping perbuatan itu dilarang, juga diancam dengan
hukuman. jika perbuatan itu tidak diancam dengan hukuman, maka perbuatan ini belum
bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Unsur yang ketiga ini berkaitan dengan erat dengan salah satu asas dalam hukum pidana,
yaitu asas legalitas, yang bersumber dari Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1)
KUH Pidana negara kita disebutkan : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
terjadi”.
Dengan kata lain, bahwa seseorang baru dapat dipidana jika perbuatannya dilukiskan
di dalam undang-undang. Pidana yang dimaksud sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menurut Pasal 10 terdiri dari pidana pokok, seperti
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan seperti
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan
hakim.
4. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya merupakan unsur
yang penting dalam penerapan pidana. Jika pelaku tidak bisa mempertanggungjawabkan
perbuatannya, maka ia tidak bisa dikenakan hukuman. Kemampuan bertanggungjawab merupakan
kondisi batin yang normal dan mempunyai akal seseorang dalam membedakan hal-hal yang baik
dan yang buruk. Keadaan batin yang normal ditentukan oleh faktor akal pembuat. Selain itu
diantara syarat adanya pertanggungjawaban pidana ialah dewasa dan berakal sehat. jika si
pelaku belum dewasa atau sudah dewasa tetapi akalnya tidak sehat, maka ia tidak bisa dibebani
pertanggungjawaban pidana.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu
pengertian suatu penjelasan tentang pengertian kemampuan bertanggung jawab. Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana hanya memberikan rumusan secara negatif atas kemampuan
bertanggungjawab sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 KUHP yang berbunyi:
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena
sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena
kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menetapkan dia dirumah sakit gila selama-lamanya satu tahun
untuk diperiksa.85
Masalah ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana pada seorang pelaku perbuatan
pidana harus oleh hakim. Hal ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Keterangan medis
merupakan dasar dari adanya keputusan hakim ini .
Menurut Van Bammelen, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, dapat
dipertanggungjawabkan itu meliputi:86
a. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya;
b. Mengerti tujuan nyata perbuatannya;
c. Dasar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat.
Namun menurut Jonkers, pengertian ini sulit, karena dalam prakteknya, ketiganya
saling bertentangan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai manusia normal, mereka
dipandang dapat dipertanggungjwabkan. Untuk itu maka kondisi tidak dapat
dipertanggungjawabkan harus dibuktikan berdasarkan pemeriksaan oleh dokter yang berwenang.
Menurut Roeslan Saleh, bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab
itu ditentukan oleh dua faktor, yaitu pertama faktor akal dan kedua faktor kehendak. Akal yaitu
dapat mebeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Kehendak yaitu, dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan
dan mana yang tidak.
Hoge Raad di dalam putusannya 10 November 1924, N.J. 1925, menyatakan bahwa dapat
dipertanggungjawabkan bukanlah bagian dari inti (bestanddeel) delik, tetapi jika tidak dapat
dipertanggungjawabkan, maka hal ini dapat menghapuskan pidana dari suatu perbuatan.
Perbedaannya dengan melawan hukum ialah, kalau unsur melawan hukum yang tidak ada dalam
suatu perbuat