penerapan pidana narkoba

Rabu, 24 Mei 2023

penerapan pidana narkoba








 Menurut pasal 28H (1)  ³Setiap orang 
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan 
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan 
kesehatan´ 
tinggal dan mendapatkan lingkungan yang tidak terdapat narkotika. 
Sebagaimana kita ketahui, narkotika dapat membuat kecanduan dan merusak 
tubuh serta merusak kehidupan seorang manusia. Kehidupan manusia harus 
bersih dan bebas dari hal-hal yang membuat kesehatan terganggu.  
 Kemudian diterjemahkan ke dalam undang-undang No. 35 tahun 2009 
tentang Narkotika yang mengatur, mengawasi dan menindak peredaran dan 
penyalahgunaan Narkotika. Narkotika tidak saja membuat manusia 
kecanduan, akan tetapi dapat mengakibatkan meninggalnya seseorang dengan 
cepat dan tidak wajar. Manusia sangat memerlukan tempat yang bersih dalam 
lingkungannya dan tubuhnya sehat agar dapat melangsungkan kehidupannya. 
Penyalahgunaan narkotika sudah disebut sebagai kejahatan terhadap 
kemanusiaan. Narkotika tentunya menjadi musuh bangsa kita dalam hal 
mencetak generasi penerus bangsa yang sehat dan bebas dari narkotika. 
 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan 
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan 
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi dan 
menghilangkan rasa nyeri, serta menimbulkan ketergantungan1. Begitu pula 
dengan psikotropika, adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis 
bukan narkotika, yang beekhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada 
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental 
                                                         
dan perilaku2. Kemudian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari 
tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat 
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran , hilangnya rasa, 
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan 
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana 
terlampir dalam undang-undang ini3. 
 Penggunaan narkotika sering dikaitkan dengan kejahatan, baik 
narkoba dianggap memiliki pengaruh negatif dan menyebabkan penggunanya 
melakukan kejahatan. Kejahatan itu pada dasarnya merupakan rumusan yang 
nisbi. Mustafa (2007 ) mengatakan bahwa yang disebut kejahatan sebagai 
gejala sosial tidak semata-mata merupakan tindakan yang dilarang hukum, 
tindakan yang merupakan kelaianan biologis maupun kelaianan psikologis, 
tetapi tindakan-tindakan tersebut merugikan dan melanggar sentimen 
masyarakat4. Jika kita mengacu pada rumusan kejahatan sebagaimana yang 
dijelaskan oleh Mustafa, titik tekan penentuan apakah suatu perilaku dianggap 
kejahatan atau tidak bukanlah menjadikan aturan formal sebagai acuan5. 
 Sebagai kejahatan narkotika yang sudah  sejak lama menjadi 
musuh bangsa, kini narkotika sudah sangat mengkhawatirkan bangsa kita 
dan seluruh bangsa di dunia saat ini. Produksi dan peredaran narkotika 
begitu masif beredar di tengah-tengah masyarakat kita. Peran dari para 
mafia narkotika seakan seperti tdak dapat terbendung lagi.  Para mafia narkotika 
sudah meracuni para penegak hukum sebagai pengguna maupun sebagai pengedar di 
bangsa Indonesia dan  berbagai belahan dunia, walaupun seluruh bangsa 
memerangi kejahatan ini. Masyarakat  sering mendengar pernyataan 
tentang membangun komitmen atau memerangi bersama dalam 
memberantas narkotika di negara kita dan  seluruh dunia.  
                                                          

 Pemberantasan tindak pidana narkotika melibatkan seluruh bangsa 
di dunia, namun ternyata tingkat peredaran gelap narkotika sermakin 
tinggi dan merajalela. Beberapa  indikasi memperlihatkan bahwa 
kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime. Pengertiannya 
adalah sebagai suatu kejahatan yang sangat berdampak besar dan multi 
dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu 
dahsyatnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kejahatan ini. Untuk itu 
extraordinary punishment  sangat diperlukan untuk jenis kejahatan yang 
sangat  luar biasa  dewasa ini yang sudah terjadi di seluruh bangsa-bangsa di dunia 
ini ni sebagai transnational  crime6. 
 Penyakit masyarakat ini sudah menjadi masalah semua negara di 
dunia, sehingga mayoritas anggota PBB telah menyepakati United Nation 
Convention Against the Delict Traffic in Narcotics Drugs and 
Psychotropic Substances pada 1988. Konvensi 1988 yang bertujuan 
memberantas perdagangan gelap narkotika dan psikotropika. Jika dilihat 
dari segi isi Konvensi 1988, muncul embrio dari usaha internasional untuk 
menanggulangi permasalahan organisasi kejahatan transnasional yang 
antara lain dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut 
ekstradisi; bantuan hukum timbal balik; penanganan perdagangan gelap 
narkoba melalui laut; controlled delivery; penguatan rezim anti pencucian 
uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan 
narkoba); dan kriminalisasi diversi prekursor dan pengawasan prekursor. 
Hal lain yang cukup mengesankan dalam perkembangan masalah 
narkotika dunia adalah usaha untuk meningkatkan   penanggulangan   
masalah   narkotika   bukan   hanya   pada sisi ketersediaan (supply), tetapi 
juga dari sisi permintaan   (demand)7. Ditinjau dari aspek kepentingan 
nasional, konvensi ini dapat menjamin kepastian dan keadilan hukum dalam 
                                                          
usaha penegakan hukum peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang 
melibatkan para pelaku kejahatan lintas batas teritorial Indonesia. Disamping 
itu, untuk kepentingan nasional khususnya kepentingan dalam negeri, akan 
diperoleh suatu kepastian dan kemanfaatan dalam rangka pengaturan 
peredaran narkotika dan psikotropika untuk kepentingan pengobatan dan ilmu 
pengetahuan
banyak masyarakat di dunia terutama di Indonesia disalahgunakan 
pemakaiannnya. Bahkan peredaran narkotika sangat masif. Beredarnya 
narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah 
keberadaannya, Undang-Undang Narkotika hanya melarang terhadap 
penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. 
Sering sekali penggunaan narkotika bukan untuk kepentingan 
pengobatan dan ilmu pengetahuan bila dilihat dari keadaan yang demikian 
dalam tataran empirisnya. Masyarakat sering menggunakan narkotika 
dengan dosis yang besar sehingga dapat memabukkan dan ketagihan. 
Oleh sebab itu, kejahatan narkotika dijadikan ajang bisnis yang 
menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas 
pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai narkotika 
khususnya generasi muda. Penyalahgunaan narkotika sudah di lakukan 
oleh semua elemen masyarakat. Dari pejabat penegak hukum, pejabat 
politik, pejabat swasta, mahasiswa, anak-anak. 
Pejabat yang menyalahgunakan narkotika dan telah diproses secara 
hukum antara lain : 
1. Akil Mochtar mantan ketua Mahkamah Konstitusi dalam 
kepemilikan narkotika yang telah di vonis seumur hidup 
bersamaan dengan kasus suap sengketa pilkada, 
                                                          
8 Siswantoro Sunarso,Penegakan Hukum dalam kajian Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo 
Persada, 2004, hlm 1. 
                         . 
2. Mandaling Natal mantan hakim mengkonsumsi narkoba 
diberikan sanksi pemberhentian sebagai hakim. 
3. MYT(37) hakim PTUN Padang, mengkonsumsi sabu. 
4. Antonio Ozorio Soares anggota DPRD NTT mengkonsumsi 
sabu di Kupang. 
5. Indra Iskandar anggota DPRD kota Pasuruan dalam pesta 
narkoba di apartemen Surabaya. 
6. Ivan Haz anggota DPR ketika sedang melakukan pembelian 
narkotika di Jakarta Selatan. 
7. Ahmad Wazir Nofiadi Bupati Ogan Ilir mengkonsumsi 
narkotika9. 
Kemudian untuk daftar penyalahgunaan narkotika di kalangan artis antara 
lain : 
1. Dylan Carr pesinetron anak jalanan mengkonsumsi narkotika 
jenis sabu. 
2. Jupiter Fortissimo mengkonsumsi narkotika jenis sabu 
3. Restu Sinaga mengkonsumsi narkotika jenis ganja 
4. Ridho Irama mengkonsumsi narkotika jenis sabu
Begitu banyak para pejabat, artis dan masyarakat yang menyalahgunakan 
narkotika. Semua elemen bangsa sudah banyak menggunakan narkotika 
secara berlebihan. Bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia sudah 
menjadikan pengedaran dan penyalahgunaan narkotika sebagai darurat 
nasional. Penanggulangan penyalahgunaan harus segera di sikapi dengan 
ketegasan aparat penegak hukum, karena jika tidak maka generasi penerus 
bangsa akan rusak secara moral dan fisik. 
 Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan telah mengungkap 
berbagai macam kejahatan narkoba. Menurut lembaga ini selama 2015, 
sebanyak 50.178 tersangka yang berhasil ditangkap dengan jumlah kasus 
sebanyak 40.253 kasus. Untuk kategori Narkotika yang disita di tahun 
                                                          
9  Media.iyaa.com/article/2016/03/7-pejabat-yang-ditangkap-karena-narkotika.html. 
10 https://www.arah.com/article/10071/daftar-artis-yang-tertangkap-narkoba.html. 
143    ADIL: Jurnal Hukum Vol. 7 No.1 
2015, terdiri dari ganja 23,2 ton, ekstasi 1.072.328 butir, sabu-sabu 
sebanyak 2,3 ton, sementara untuk jenis heroin dan kokain jumlahnya 
tergolong sedikit11. 
 Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah banyak 
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan 
Hakim. Penegakan hukum seharusnya diharapkan mampu menjadi faktor 
penangkal terhadap meningkatnya perdagangan gelap serta peredaran 
narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan 
penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan 
gelap narkotika tersebut. 
 Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika 
telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang 
menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Kasus-kasus terakhir ini 
telah banyak bandar-bandar dan pengedar narkoba tertangkap dan 
mendapat sanksi berat sampai hukuman mati yaitu tembak mati, namun 
pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung untuk 
memperluas daerah operasinya. 
 Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia yang mana 
pemerintah selaku penyelenggara kehidupan bernegara perlu memberikan 
perlindungan dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakan 
yang teragenda dalam program  pembangunan  nasional.  Kebijakan  
pemerintah  ini  tergabung  dalam kebijakan sosial (social policy). Salah 
satu bagian dari kebijakan sosial ini adalah kebijakan penegakan hukum 
(law enforcement policy), termasuk di dalamnya kebijakan legislatif 
(legislative policy). Sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan   
(criminal   policy)   itu   sendiri   merupakan   bagian   dari kebijakan 
penegakan hukum (law enforcement  policy)12. 
 Pengkajian mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari 
cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan 
                                                           
hukum atau criminal law enforcement yang mana bagiannya adalah 
kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam 
penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan 
penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu 
penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). 
 Penegakan hukum memiliki  sasaran agar orang taat kepada 
hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni: 
(1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa 
berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena 
malu berbuat jahat. Penegakan hukum   dengan   sarana   non   penal   
memiliki    sasaran   dan   tujuan untuk kepentingan internalisasi13. 
 Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-Undang No. 
35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan suatu usaha politik hukum 
pemerintah Indonesia   terhadap  penanggulangan  tindak  pidana  
narkotika. Pembentukan undang-undang narkotika diharapkan dapat 
menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan 
menggunakan sarana hukum pidana atau penal. 
 
PERMASALAHAN 
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat 
dirumuskan berbagai masalah yang berhubungan dengan PENERAPAN 
HUKUM PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA adalah sebagai 
berikut: 
1. Mengapa aturan pidana dalam kejahatan narkotika ancaman 
hukuman sudah relatif tinggi, akan tetapi masih banyak 
penyalahgunaan narkotika di Indonesia? 
2. Bagaimana sistem hukum pidana sekarang mengenai pengaturan 
tindak pidana narkotika di Indonesia? 
 
                                                          

seperti peraturan perundang- undangan, buku-buku, majalah, dan 
internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas 
penulis dalam jurnal ini. 
4. Analisis Data 
Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder 
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab 
permasalahan dalam jurnal  ini. 

Penerapan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan di 
Indoesia 
Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan 
peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara 
mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan 
negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk 
menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat 
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat 
dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan15. 
Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan 
bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan 
peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal 
kehidupan bermasyarakat dan bernegara16. Mahmud M.D., juga 
memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum 
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal 
ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik 
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada 
dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini 
hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat 
imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem  yang dalam  
                                                         
kenyataannya  bukan tidak   mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik 
dalam perumusan materinya (pasal-pasal), maupun  dalam penegakannya17. 
 Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana 
dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa 
politik hukum pidana merupakan usaha menentukan ke arah mana 
pemberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan 
melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan 
konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan18. Lebih 
lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan politik hukum 
pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil 
perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi syarat 
keadilan dan dayaguna19.   
 Marc  Ancel  menyatakan politik  hukum  pidana  merupakan suatu 
ilmu sekaligus seni yang memiliki  tujuan praktis untuk memungkinkan 
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi 
pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan 
undang- undang    dan    kepada    para    pelaksana    putusan    
pengadilan20.  A.Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang 
lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum 
pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan:21 Seberapa jauh 
ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau 
diperbaharui; 
1. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; 
2. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan 
pidana harus dilaksanakan. 
                                                          

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang 
terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-
peraturan  hokum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, 
dan (c) suatu mekanisme pelaksanaan pidana22. 
 Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang 
baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan 
kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan 
bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut 
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian 
 usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada 
hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum 
(khususnya penegakan hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum 
pidana dapat dikatakan merupakan bagian dari kebijakan penegakan 
hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan 
kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada 
hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan 
masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat 
wajar bila merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial 
(social policy).  
 Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha 
yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus 
mencakup perlindungan masyarakat.  Ini berarti pengertian social policy 
telah mencakup social   welfare policy dan social defence  policy24. 
 Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada 
hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius 
constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi 
                                                         
logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti 
sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari budaya (cultural), 
struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum. Undang-undang 
merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, 
disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup 
pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana25. 
 Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal 
policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana 
secara menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana 
merupakan tindakan yang berhubungan 
1. Bagaimana  usaha  pemerintah  untuk  menanggulangi  kejahatan 
dengan hukum pidana; 
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan 
kondisi masyarakat; 
3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat 
dengan hukum pidana; 
4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur 
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar. 
 Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan 
di atas, baik oleh A. Mulder maupun yang lain, maka ruang lingkup 
kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup 
luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang 
berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa 
yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui 
komponen Sistem Peradilan Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya 
adalah usaha pencegahan terhadap kejahatan. usaha pencegahan ini 
berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen 
pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa 
                                                          

penerapan hukum pidana harus memiliki  pengaruh yang efektif  untuk 
mencegah sebelum suatu kejahatan  terjadi27. 
Sistem Hukum Pidana sekarang mengenai Pengaturan Tindak 
Pidana Narkotika Di Indonesia 
a. Jenis-Jenis Perbuatan yang Dilarang Dalam Undang-Undang No. 
35 tahun 2009 tentang Narkotika 
 Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak 
pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang 
terdapat dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan 
dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. 
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat empat 
kategorisasi tindakan melawan hukum  yang  dilarang oleh undang-
undang  dan  dapat  diancam  dengan sanksi pidana, yakni:28 
1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, 
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor 
narkotika (Pasal 111 dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 
untuk narkotika golongan II dan Pasal 122 untuk narkotika 
golongan III serta Pasal 129 huruf (a)); 
2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, 
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan 
precursor narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 
118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika 
golongan III serta Pasal 129 huruf(b)); 
3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan 
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara 
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan 
prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk narkotika 
golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk narkotika golongan II, 
                                                          

4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, 
mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor 
narkotika (Pasal 115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk 
narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk narkotika golongan III 
serta Pasal 129 huruf (d)). 
 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah 
mengatur jenis-jenis sanksi yang diberikan pada tindak pidana narkotika 
antara lain: 
1. Tindak Pidana bagi penyalah guna atau sebagai korban 
penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani 
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 
2. Tindak Pidana Orang Tua / Wali dari Pecandu Narkotika Narkotika 
yang Belum Cukup Umur (Pasal 128) dipidana dengan pidana 
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling 
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 
3. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi (Pasal 130) Dipidana 
dengan pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) 
kali. Korporasi dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan 
berupa: a. pencabutan izin usaha dan/atau b. pencabutan status badan 
hukum. 
4. Tindak pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak 
Pidana Narkotika (Pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
5. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Permufakatan Jahat 
Melakukan Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor (Pasal 132) Ayat 
(1), dipidana dengan pidana pidana penjara yang sama sesuai 
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal 
tersebut. Ayat (2), dipidana pidana penjara dan pidana denda 
                         
maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). 
6. Tindak Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa 
dengan Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (Pasal 133) ayat 
(1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur 
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling 
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak 
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). ayat (2), dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 
Rp10.000.000.000,00  (sepuluh miliar rupiah). 
7. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika yang Tidak Melaporkan Diri 
(Pasal 134) ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 
6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 
(dua juta rupiah). ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling 
lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 
(satu juta rupiah). 
8. Tindak Pidana bagi Pengurus Industri Farmasi yang Tidak 
Melaksanakan Kewajiban (Pasal 135). Dipidana dengan pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat 
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat 
ratus juta rupiah). 
9. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika 
dan/atau Prekursor Narkotika (Pasal 137) huruf (a), dipidana dengan 
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 
Rp10.000.000.000,00  (sepuluh miliar rupiah). Huruf (b), dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling 
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
10.Tindak Pidana terhadap Orang yang Menghalangi atau 
Mempersulit Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara 
(Pasal 138) 
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan 
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 
rupiah). 
11.Tindak Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang yang Tidak 
Melaksanakan Ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 (Pasal 139) dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
12.Tindak Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang 
Tidak Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti (Pasal 140) 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan 
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
13.Tindak Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang Tidak 
Melaksanakan Ketentuan Pasal 91 Ayat(1) (Pasal 141) dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
14.Tindak Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil 
Pengujian (Pasal 142) dipidana dengan pidana penjara paling lama 
7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 
(lima ratus juta rupiah). 
                         
15.Tindak Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak 
Benar (Pasal 143) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda 
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan 
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 
16.Tindak Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan 
Tindak Pidana (Pasal 144) dipidana dengan pidana maksimumnya 
ditambah dengan 1/3 (sepertiga). 
17.Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan 
Lembaga Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, dan 
Pimpinan Pedagang Farmasi (Pasal 147) dipidana dengan pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus 
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah). 
Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berupa 
narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari 
tindak pidana narkotika baik itu aset bergerak atau tidak bergerak maupun 
berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang 
digunakan untuk tindak pidana narkotika dirampas untuk negara. Pasal 
146 juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah 
melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana narkotika 
yakni dilakukan pengusiran wilayah negara Republik Indonesia dan 
dilarang masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia. 
Sedangkan pada Pasal 148 bila putusan denda yang diatur dalam undang-
undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana narkotika maka 
pelaku dijatuhi penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana 
denda yang tidak dapat dibayar. 
b. Fungsi dan Peran Penyidik BNN Menurut UU No. 35 Tahun 2009 
tentang Narkotika 
 Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan 
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika sangat diperlukan 
sehingga dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 perlu dibentuk 
Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disebut dengan BNN. BNN 
merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di 
bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. BNN 
berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh 
wilayah Negara Republik Indonesia dan memiliki  perwakilan di daerah 
provinsi dan kabupaten/kota. BNN Provinsi berkedudukan di   ibukota 
provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, 
dan BNN kabupaten/kota merupakan instansi  vertikal29. 
 Tugas dan wewenang BNN dalam pasal 70 Undang-Undang No.35 
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah: 
1. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai 
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran 
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
2. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
3. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik 
Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan 
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
4. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan 
rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan 
oleh pemerintah maupun masyarakat; 
5. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan 
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
6. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat 
                                                           
dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika; 
7. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional 
maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran 
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
8. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
9. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap 
perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; dan 
10.membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang. 
 

1. Penyalahgunaan narkotika sudah melibatkan banyak unsur. Para kartel 
narkotika sangat berperan dalam tingginya peredaran narkotika di 
Indonesia. Para pejabat, pilot, aparat penegak hukum, mahasiswa sampai 
anak-anak telah menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Aparat 
penegak hukum bahkan bekerjasama dengan kartel narkotika untuk 
menjual dan menjaga para kartel narkotika tersebut. Penegakkan hukum 
yang bisa disuap dan sangat lemah, menjadi bertambah unsur yang 
menyebabkan penyalahgunaan narkotika masih tetap tinggi di Indonesia. 
Konsep dari hukum pidana untuk narkotika itu sendiri mencakup 
tindakan krimininal, hukum pidana dan non-pidana (penal). Tindakan 
kriminal merupakan ilmu penanggulangan kejahatan yang dapat 
dilakukan dengan memadukan penerapan sarana pidana dan pencegahan 
tanpa menggunakan sarana pidana. Tindakan Hukum pidana adalah 
usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana pidana. 
Sedangkan terkait tindakan non pidana adalah tindakan pencegahan 
sebelum terjadinya kejahatan. Tindakan hukum pidana dan tindakan   
non pidana adalah merupakan bagian dari tindakan kriminal dan 
tindakan kriminal itu sendiri merupakan bagian dalam tindakan  
penegakan hukum yang memiliki  tujuan akhir bagi perlindungan 
masyarakat yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 
2. Tindakan pidana terhadap pengaturan tindak pidana narkotika di 
Indonesia meliputi pertanggungjawaban pidana, perbuatan-perbuatan 
yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dan sanksi pidana. 
Pertanggungjawaban pidana itu sendiri  terdiri dari 
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh manusia dan korporasi 
sebagai subjek tindak pidana. Perbuatan-perbuatan yang dilarang terdiri 
mengedarkan narkotika atau prekursor narkotika dan menyalahgunakan 
narkotika atau prekursor narkotika baik untuk diri sendiri maupun 
orang lain. Terdapat sanksi  dalam undang-undang ini yaitu sanksi 
pidana yang terdiri dari sanksi pidana pokok dan tambahan. Pidana 
pokok terdiri pidana mati, penjara, kurungan dan denda. Sedangkan 
pidana tambahan terdiri pencabutan izin usaha dan pencabutan status 
badan hukum untuk korporasi. Sanksi tindakan yang diberikan adalah 
pengobatan dan rehabilitasi kepada pecandu atau korban 
penyalahgunaan narkotika. Dalam Undang-Undang Narkotika ini juga 
mengatur fungsi dan peran Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga 
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor 
narkotika. BNN memiliki  peran dan fungsi sebagai penyidik dalam 
rangka pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap dan 
penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika. 
Saran 
Adapun saran dari penulis yang ingin disampaikan terhadap permasalahan 
dalam jurnal ini adalah: 
1. Dalam penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang 
Narkotika agar dapat lebih efektif maka perlu adanya tindakan yang 
terkoordinasi antara para pihak atau instansi seperti antara kepolisian 
dengan pihak Badan Narkotika Nasional, Kementerian Perhubungan, 
                          
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, 
lembaga-lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. 
Dalam usaha pencegahan tindak pidana narkotika perlu diintensifkan 
penyuluhan- penyuluhan tentang bahaya narkotika melalui media 
massa seperti surat kabar, majalah, internet, jejaring sosial (facebook, 
twitter) dan lain-lain, sehingga anggota masyarakat menyadari bahaya 
besar narkotika, sehingga setiap keluarga dapat membuat upaya-usaha 
pencegahan secara internal keluarga. Pertahanan keluarga adalah usaha 
yang terpenting dalam mencegah terjadinya peredaran dan 
penyalahgunaan narkotika. Aparat penegak hukum sudah tidak 
melakukan kerjasama dengan para kartel narkotika dan menolak semua 
kompromi. Aparat penegak hukum juga harus memiliki  moral yang 
tinggi, agar tidak menjadi korban penyalahgunaan narkotika itu sendiri. 
Sangat berbahaya dan mengkhawatirkan apabila aparat penegak hukum 
yang seyogyanya menegakkan hukum tetapi menggunakan narkotika 
itu sendiri. Aparat penegak hukum yang tanpa kompromi dan tegas 
akan menjadi salah satu kunci keberhasilan memberantas 
penyalahgunaan narkotika di Indonesia. 
2. Pemuda dan pemudi  adalah generasi muda sebagai calon penerus 
bangsa, oleh karena itu jangan sampai terjebak penyalahgunaan 
narkotika, oleh sebab itu harus dilakukan: 
a. Pemberian pemahaman agama melalui nilai-nilai moral yang luhur 
dan pembinaan moral pada generasi muda yang dimulai dari 
keluarga, karena agama dan moral adalah benteng awal yang dapat 
melindungi keluarga dari kerusakan dan kehancuran termasuk dari 
bahaya narkotika. 
b. Pemberian pemahaman jelas bahwa narkotika adalah barang yang 
sangat berbahaya dan merusak, sehingga penyalahgunaan narkotika 
tersebut termasuk perbuatan atau tindak pidana yang dapat dijatuhi 
hukuman yang berat dan akan dijauhi oleh keluarga dan masyarakat. 
c. Perlu memberikan pengertian dan pemahaman bahwa sekali 
mencoba narkotika akan seterusnya menjadi ketagihan yang 
kemudian meningkat  menjadi ketergantungan. 
d. Perlu memberikan pengertian dan pemahaman bahwa 
penyalahgunaan narkotika akan menjauhkan diri dengan sendirinya 
dari keluarga, teman, dan kehidupan sosial. 
e. Perlu memberikan pengertian dan pemahaman mengenai resiko 
penyalahgunaan narkotika akan berdampak fatal terhadap diri 
sendiri dan orang lain.