peradilan di indonesia 11

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 11


jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, langkah berikutnya yaitu  hakim agung. Perjalanan panjang dari seorang 
hakim sampai menjadi ketua pengadilan tinggi berarti telah melampaui batu ujian yang tidak kecil. Memang harus diakui bahwa manusia 
itu tidak ada yang sempurna. Jadi, kalau mau dicari-cari kesalahannya, 
pasti ketemu juga.
Dari pantauan sejarah, model perekrutan dengan pola ini 
menunjukkan hasil yang sangat bagus. Kita kenal hakim besar seper-ti Wiryono,625 Subekti,626 Asikin Kusumatmaja,627 Widowati,628 dan Indroharto.629 Mereka tidak pernah melalui fit and proper test. Mereka  
yaitu  hakim-hakim karier yang mulai dari bawah, bahkan sejak era 
kolonial. Lagipula, legislasi yang ada, yaitu UU No. 1 /1950 sama sekali tidak berbicara mengenai rekrutmen. Di dalam UU ini diatur tegas soal kualifikasi profesional, usia, dan hubungan keluarga, tetapi tidak 
ada ketentuan yang mengatakan bahwa rekrutmen hanya terbuka untuk kalangan hakim karier. Pada masa kepemimpinan Wirjono, hakim 
agung hanya satu majelis. Ketua dan Wakil Ketua secara berganting 
akan memimpin pemeriksaan perkara karena perkara yang masuk tidak begitu banyak. Saat itu bahkan sudah ada semacam pembagian 
spesialisasi, di mana untuk perkara perdata dipimpin oleh Ketua sedangkan perkara pidana dipimpin oleh Wakil Ketua.
Pada tahun 1952, di samping Wiryono yang ditetapkan menjadi Ketua Mahkamah Agung, Presiden Soekarno juga memutuskan pengangkatan Satochid Kertanegara sebagai Wakil Ketua. Kemudian diangkat 
pula para hakim agung: Soekardono, Sutan Malikul Adil, Hussen Tirtamidjaja, R. Surjoproko, Sutan Abdul Hakim, Wiryono Kusumo, dan A. 
Abdurrahman. Semua yaitu  hakim karier. Pada tahun 1954, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman Besar Mertokusumo mengusulkan pengangkatan pengacara terkemuka asal Semarang, Ko Tjay Sing, 
sebagai hakim agung. Akan tetapi usulan itu ditolak.
Pemerintah kemudian menghendaki bahwa calon hakim agung 
yaitu  sosok yang teruji loyalitasnya kepada pemerintah. Untuk itu, 
ketentuan UU No. 13/1965, khususnya Pasal 31 ayat (3) huruf g, mempersyaratkan adanya syarat kandidasi berupa “pengalaman 10 tahun 
di bidang hukum”, sebagai pintu masuk untuk memungkinkan kandidat luar menjadi hakim agung. Namun hingga runtuhnya demokrasi 
terpimpin dan kelahiran Orde Baru, pengangkatan menurut UU No. 
13/1965 itu tidak pernah ada.
Keberadaan UU No. 13/1965 sendiri kemudian dinyatakan tidak 
berlaku lagi melalui UU No. 6 Tahun 1969. Namun, UU pengganti tidak 
segera diterbitkan. Dengan demikian saat pemerintah mengangkat hakim agung baru (Asikin, Widoyati, dan Busthanul Arifin) tidak jelas dasar hukumnya, meskipun mereka semua yaitu  hakim karier. Dalam 
suatu rapat di DPR GR tahun 1968, Menteri Seno Adji sendiri bersikukuh bahwa rekrutmen hakim menggunakan sistem tertutup. Berlakunya UU Kepegawaian 1974 yang antara lain menempatkan para hakim 
sebagai pegawai negeri, semakin membuktikan bahwa mereka masuk 
dalam sistem birokrasi.
Dengan berhentinya Subekti sebagai Ketua Mahkamah Agung tahun 1974, pemerintah mempertimbangkan kalangan eksternal untuk 
mengisi posisi ini . Sudah barang tentu, tindakan ini mengejut-kan karena memutus sistem yang sudah berlangsung hampir 30 tahun, 
dan terang bertentangan dengan kehendak pemerintah sendiri. Usaha Subekti untuk membujuk Soeharto kandas.630 Untuk pertama kali, 
Soeharto menunjuk Oemar Seno Adji dan 3 orang militer lain, sebagai 
hakim agung baru. Mengingat situasi politik pasca-Malari, tampaknya 
tidak ada satu pihak pun yang mengkritik penunjukan itu, termasuk 
DPR. Kebijakan ini akhirnya akan menjadi bumerang mengingat hampir 20 tahun sesudah itu, Ketua Mahkamah Agung diiisi oleh kalangan 
luar. Tidak ada pertimbangan apa pun yang mengemuka akan penerobosan sistem tertutup ini, kecuali keinginan pemerintah mengendalikan pengadilan. Para hakim agung dari kalangan militer tetap menikmati promosi termasuk kenaikan pangkat sekalipun sudah bekerja di 
pengadilan. Hingga 1990-an, pemerintah sama sekali tidak pernah melirik kalangan pengacara atau akademisi untuk menjadi hakim agung. 
Menurut Sebastian Pompe, pengacara kondang seperti Kartini Mulyadi 
pernah diminta menjadi hakim agung tetapi menolak. Demikian juga, 
dengan alasan pribadi, Mochtar Kusumaatmadja usai menjadi Menteri 
Luar Negeri, menolak tawaran Soeharto menjadi hakim agung.
Rancangan UU tentang Mahkamah Agung yang muncul kemudian dimaksudkan untuk mempertahankan status quo. Pemerintah sangat berkepentingan untuk tetap mengendalikan pengadilan sehingga 
mengidolakan sistem rekrutmen yang tertutup. Dengan demikian, sekali pukul, pemerintah juga akan bisa membatasi peranan DPR. Dalam 
agenda jangka panjang, jika ketentuan ini terpenuhi, akan membangun 
Mahkmaah Agung yang jauh dari ambisi politik dan menciptakan corak 
organisasi “pegawai” dalam lingkungan peradilan. Hal ini bukan agenda baru, karena telah disusun pada tahun 1968, akan tetapi tenggelam 
dan tidak pernah dibahas. Ketika Rancangan UU ini dipersiapkan, sejumlah hakim agung diminta untuk membantu, akan tetapi peran profesi hukum lain diabaikan. 
Pada saat Rancangan UU ini dipersiapkan, Ismail Saleh menjadi 
Menteri Kehakiman, sementara Ali Said menjadi Ketua Mahkamah Agung, menggantikan Mudjono yang meninggal dunia.632 Ismail Saleh dan Ali Said memiliki preferensi politik dan kedekatan personal 
dengan Sudharmono karena afiliasi kepentingan maupun sebagai 
sesama alumnus Akademi Hukum Militer. Sudharmono sendiri semakin berperan dalam politik dalam negeri dan usaha untuk memberikan preferensi khusus kepada pengusaha pribumi serta mengelola 
kontrak-kontrak proyek yang penting bagi pemerintah seusai surutnya peran Ali Moertopo. Pengaruh Sudharmono dibuktikan dengan 
pengangkatan Ismail Saleh dan Ali Said secara bersamaan sebagai petinggi organisasi kehakiman. Dalam perkembangannya, Ali Said lebih 
bersikap independen dan agak mengabaikan Ismail Saleh dalam posisi 
masing-masing.
Ketentuan dalam Rancangan UU Mahkamah Agung, menurut Sebastian Pompe, setidak-tidaknya mencerminkan pertentangan Ali Said 
dan Ismail Saleh. Ketentuan dalam Rancangan ini mencoba 
menghentikan usaha menunjuk figur nonkarier (seperti sudah terjadi 
atas Seno Adji, Moedjono, dan Ali Said) untuk memimpin Mahkamah 
Agung. Dominasi pengangkatan hakim agung ada pada Kementerian 
Kehakiman, skenario yang ditentang keras oleh kalangan DPR dengan dukungan kalangan pengacara. Sebaliknya, para hakim gembira dengan rancangan ini karena akan meneguhkan sistem karier tertutup dalam rekrutmen hakim. 
Namun akhirnya UU No. 14/1985 dapat disahkan dengan penuh 
kompromistis, terutama masalah rekrutmen. Dinyatakan bahwa calon 
hakim agung harus berpengalaman 5 tahun sebagai ketua pengadilan banding atau 10 tahun sebagai hakim banding.636 Rekrutmen dari 
kalangan non-karier dimungkinkan asal kandidat mempunyai pengalaman di bidang hukum minimal 15 tahun. Hakim agung diangkat 
oleh Presiden dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR sesudah  memperhatikan pandangan Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Sesudah berlakunya UU No. 14/1985, turut campur politisi dalam 
perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim 
agung yang diterima lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. 
Kewajiban menyusun “daftar calon” untuk diajukan ke DPR bersifat 
bias. Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman menyusun daftar ini dengan memperhatikan pandangan pimpinan Mahkamah 
Agung dan Direktur Jenderal Pembinaan Badan-Badan Peradilan. suatu 
kriteria yang bias terjadi ketika Ketua Mahkamah Agung Mudjono pada 
tahun 1982 mengajukan daftar calon yang meliputi semua ketua pengadilan tinggi. Pertimbangan ini berdasarkan pengalamannnya dari karier militer, di mana semakin tinggi pangkat, maka akan baik mutunya. 
Padahal banyak hakim dari luar Jawa yang tidak pernah menangani 
perkara rumit yang terjadi di kota-kota besar dan mulai kebingungan 
saat bertugas di Mahkamah Agung. Daftar yang disusun oleh Ketua 
Mahkamah Agung bisa diubah begitu saja oleh Menteri Kehakiman. Tetapi bisa jadi Kementerian Kehakiman menghormati pandangan Ketua 
Mahkamah Agung jika ada perspektif personal yang mendukungnya.
Minimnya control publik, menyebabkan kadang-kadang hakim dengan reputasi tercela bisa menjadi kandidat hakim agung.
Pada waktu ada perubahan UUD 1945, yang mengamanatkan adanya Komisi Yudisial untuk menjaring hakim agung, peranan Mahkamah Agung dalam perekrutan hakim agung menjadi hampir-hampir 
tidak ada. Di dalam UU No. 22/2004, peranan Mahkamah Agung sama 
sekali tidak disebut dalam proses perekrutan hakim agung.
Pada mulanya proses perekrutan yang berasal dari hakim karier diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial. Namun lamakelamaan calon yang diterima oleh Komisi Yudisial yang berasal dari 
hakim karier dapat diterima dari perorangan, tanpa usul dari Mahkamah Agung. Akibatnya, pernah suatu ketika ada seorang hakim yang 
pernah diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung, tetapi diterima oleh 
Komisi Yudisial.
Melihat situasi ini, pada waktu Harifin M. Tumpa menjadi Ketua 
Mahkamah Agung (2009-2012), Mahkamah Agung merasa tidak perlu 
lagi mengusulkan calon hakim agung. Mekanisme penerimaan calon 
hakim agung diserahkan sepenuhnya kepada  Komisi Yudisial. Memang ada sesuatu yang ganjil dalam Undang-Undang Komisi Yudisial 
ini : mengapa pemakai (user) tidak dilibatkan dalam penerimaan 
calon hakim agung?
Untuk mendapatkan figur hakim agung yang profesional, Komisi 
Yudisial yaitu  pihak yang dipercayakan konstitusi mencari embrio 
hakim agung. Oleh karena itu, hemat penulis, mulai sekarang menjadi 
tugas dan tanggung jawab Komisi Yudisial sedini mungkin inspeksi, turun ke lapangan, membuat pangkalan data seluruh hakim di Indonesia mulai dari peradilan tingkat pertama hingga banding.
Tujuannya yaitu  untuk mengetahui integritas, prestasi/kemampuan, keadaan keluarga, situasi kesehatan, keberanian, dan kejujuran para hakim. Penelusuran data ini diharapkan dapat memperkaya 
pengetahuan Komisi Yudisial akan mutu hakim. Dengan mekanisme 
turun ke lapangan, kesan bahwa rekrutmen hakim agung seperti membuka lapangan kerja bagi pelamar yang berminat menjadi hakim agung 
tidak terjadi lagi.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah bisa menjemput bola 
kandidat hakim agung dimaksud sejak dini. Tak boleh lagi terjadi hanya karena yang bersangkutan lolos seleksi secara instan, lantaran hasil ujian seleksinya saat itu bagus, kemudian dinyatakan lulus dan diterima menjadi hakim. Di sisi lain, kemampuan teknis peradilan, mental, 
dan moral, sesungguhnya yang bersangkutan belum siap menjadi hakim agung.
Akan lebih komprehensif lagi manakala mekanisme rekrutmen 
calon hakim agung melibatkan langsung Mahkamah Agung sebagai 
pihak yang turut serta melakukan seleksi awal di bidang kompetensi 
dan kemampuan teknis peradilan para hakim di seluruh negara kita  sebelum calon hakim agung ini dikirim kepada KY. Bukankah Mahkamah Agung yang lebih tahu rekam jejak hakim-hakim itu. Selama ini 
terkesan Mahkamah Agung hanya mengirim daftar nama calon hakim 
agung kepada Komisi Yudisial. Mereka berasal dari Mahkamah Agung 
dan pengadilan tinggi melalui persetujuan ketua pengadilan tinggi.
Seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial menyangkut kemampuan 
teknis peradilan dirasakan kurang pas. Oleh karena itu, seyogianya menyangkut kemampuan teknis peradilan uji kepatutan diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Muda MA sesuai dengan bidang 
masing-masing kamar pidana, perdata, tatausaha negara, agama, dan 
militer. sesudah  Mahkamah Agung melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk kemampuan teknis peradilan,  barulah Mahkamah Agung 
mengirimkan tiga nama kandidat hakim agung (untuk kebutuhan satu 
orang hakim agung yang dipandang layak menjadi hakim agung) kepada Komisi Yudisial untuk kembali dilakukan uji kelayakan oleh Komisi Yudisial. Dari penilaian Komisi Yudisial yang ketat ini, kemudian 
nama-nama kandidat ini disaring lagi oleh Komisi Yudisial menjadi satu orang sesuai kebutuhan hakim agung untuk satu orang calon 
hakim agung, kemudian baru diteruskan kepada DPR. 
Karena hakim agung itu user dari Mahkamah Agung, sangat logis 
jika uji kelayakan di bidang teknis peradilan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Jika seleksi hakim agung hanya melibatkan Komisi Yudisial tanpa pelibatan Mahkamah Agung, terlebih sesudah  DPR telah 
dibatasi kewenangannya hanya memberikan “persetujuan” atas calon 
yang diusulkan Komisi Yudisial, tanpa mengurangi wewenang Komisi 
Yudisial, dapat diprediksikan bahwa Komisi Yudisial akan kewalahan 
mencetak kader-kader hakim agung yang kredibel, kapabel, dan profesional.
Terlebih sekarang fungsi Komisi Yudisial telah bertambah, yakni 
untuk memilih calon hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakim agung dan hakim konstitusi 
yang “takut akan Tuhan” dan profesional di bidang kompetensi peradilan, Komisi Yudisial sangat memerlukan kerja sama yang solid antara 
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme yang berjalan selama ini, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon untuk dipilih salah satunya oleh DPR. Terasa sekali mekanisme ini sering kali penuh dengan nuansa politis karena yang 
dipilih kadang-kadang jauh dari prediksi umum, terutama bagi orang 
yang mengerti seluk-beluk pengadilan dan kualitas masing-masing hakim. Kalau kita melihat hasil dari mekanisme ini, secara faktual tidak 
begitu menggembirakan. Kita lihat, misalnya, dari hasil seleksi dengan 
mekanisme seperti ini di atas, ternyata ada hakim agung yang diberhentikan karena melanggar kode etik. Ada juga hakim agung yang 
disebut-sebut terlibat kasus suap-menyuap walaupun belum dapat dibuktikan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi,641 yang menyatakan bahwa DPR tidak perlu lagi melakukan fit and proper test, DPR 
cukup menentukan menerima atau menolak calon yang bersangkutan, 
telah mengurangi nuansa politisasi penerimaan calon hakim agung. 
Sayang sekali mekanisme penolakan belum ada aturannya sehingga 
terkesan DPR mengada-ada. Aturan inilah yang harus segera diadakan 
oleh DPR.
Dari sejarah mekanisme perekrutan hakim agung yang terlihat 
dari uraian di atas, ternyata tidak ada satu pun mekanisme yang dapat 
menjamin hakim agung yang benar-benar andal dan mekanisme yang 
memuaskan.
Sistem pertama hakim agung diusulkan oleh Mahkamah Agung 
kepada presiden. Walaupun hasilnya cukup bagus dari segi kualitas 
hakim agung, kelemahannya terletak pada mekanismenya, yaitu hanya hakim yang dikenal oleh pimpinan MA yang dapat dijaring.  Sistem 
yang kedua, hakim agung diusulkan oleh MA kepada DPR, nuansa politiknya sangat tinggi. Kepentingan parpol kadang-kadang sangat menonjol. Sistem yang ketiga, sama dengan  sistem yang kedua, nuansa 
politisnya lebih menonjol. Pendekatan politis lebih berperan dibandingkan  
kemampuan individual. Sistem yang keempat, yaitu Komisi Yudisial mengusulkan kepada DPR dan DPR meneruskan kepada presiden, bila  calon tidak ditolak DPR, akan memberikan kekuasaan lebih 
besar kepada Komisi Yudisial sehingga memerlukan lagi pengawasan 
terhadap Komisi Yudisial. Sistem yang belum pernah dicoba yaitu  
yang menentukan calon yang akan diusulkan kepada DPR yaitu  Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Komisi Yudisial akan fokus 
pada integritas hakim, sedangkan Mahkamah Agung akan menilai dari 
kualitas profesionalisme hakim. Tentu mekanisme ini memerlukan 
perubahan undang-undang. Tersendatnya proses perekrutan hakim 
agung, baik karena Komisi Yudisial yang sangat “pelit” meloloskan calon hakim agung maupun karena “keanehan” di DPR, dapat menimbulkan kevakuman atau kekurangan hakim agung. bila  ini terjadi, 
yang rugi yaitu  pencari keadilan atau masyarakat.
Apalagi akhir-akhir ini santer terdengar bahwa usia pensiun hakim 
agung akan dikembalikan ke usia 67 tahun. Menjadi sulit untuk merumuskan logika apa di balik keinginan ini, kecuali—mungkin—sifat arogansi. Di negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Thailand, sudah 
lama menganut semua hakim tingkat pertama sampai kasasi pensiun 
pada usia 70 tahun. Bahkan, di Singapura, hakim agung pensiun pada 
usia 75 tahun. Belum lagi jika kita bandingkan dengan hakim di AS atau 
Eropa.
Menurunkan usia hakim agung, akan membawa sejumlah konsekuensi yang cukup signifikan. Di antaranya, pertama, merekrut hakim 
agung memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Kedua, 
menemukan calon hakim agung yang berkualitas bukanlah hal yang 
mudah. Ketiga, hakim agung yang sekarang sudah berusia 67 tahun 
harus meninggalkan perkara yang mungkin sudah dipelajarinya. Keempat, pengalaman sebagai hakim agung tidak dapat dipelajari dan 
memerlukan waktu untuk mendapatan pengalaman itu.
2. Persetujuan DPR
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat 
(3) UUD 1945 ditetapkan oleh Presiden sesudah  menerima calon hakim 
agung yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).642 Dalam 
hal ini, DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya 
memberikan persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh 
Komisi Yudisial (KY). Dalam perdebatan-perdebatan perubahan UUD1945, yakni dalam Rapat Panitia Ad hoc (PAH) I ke-38 BP MPR sudah 
mulai muncul usulan bahwa DPR tidak melakukan fit and proper test 
akan tetapi hanya melakukan persetujuan terhadap calon yang diusulkan oleh KY.643 Jika dilihat dari cara pandang historical yang ada  
pada risalah pembentukan UUD, memang terlihat kejelasan dari para 
pembentuk UUD ketika itu perihal pengisian jabatan hakim agung dengan memberikan peran porsi seleksi kepada KY. Hampir seluruh fraksi berpandangan yang sama soal seleksi yang dimiliki oleh KY, kecuali 
fraksi Golkar yang tidak berpandangan soal perlunya KY dan lebih memilih diangkat dan diberhentikan oleh DPR. Adapun F-PDI juga ada 
yang memberikan usulan seleksi oleh KY tetapi persetujuan di MPR.
Dalam sejarah kekuasaan kehakiman negara kita , dalam risalah 
(memorie van toelichting) UUD 1945, sidang Badan Penyidik Usaha 
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tidak mengaji secara tegas tentang 
pola pengisian jabatan hakim, terutama seleksi hakim. Barangkali, kekurangan itu yang hendak disempurnakan oleh para penyusun 
perubahan UUD 1945. Namun sayangnya, para pembentuk UndangUndang (DPR dan Pemerintah) kemudian “merusak” pola yang dikehendaki konstitusi ke dalam Undang-Undang.
Hal ini tampak dalam UU No. 3/2009 tentang Perubahan Kedua 
Atas UU No. 14/1985 dan UU No. 18/2011 tentang Perubahan UU No. 
22/2004 tentang Komisi Yudisial. Padahal UU No. 14/1985 jo. UU No. 
3/2009 dan UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011 yaitu UndangUndang yang sejatinya dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 
24A ayat (3) UUD 1945 ini . 
Menurut Pasal 8 ayat (2),644 ayat (3),645 dan ayat (4)646 UU No. 
14/1985 jo. UU No. 3/2009 dan Pasal 18 ayat (4) UU No. 22/2004 jo. 
UU No. 18/2011,647 DPR bukan memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana yang diatur dan dikehendaki oleh UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan terhadap calon hakim agung ini . Pengaturan oleh kedua Undang-Undang 
ini bukan hanya melanggar konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian hukum, tapi juga memaksa KY untuk mengajukan calon hakim 
agung melebihi jumlah lowongan hakim agung yang dibutuhkan. Di 
samping itu, pemilihan calon hakim agung oleh DPR juga berpotensi 
menganggu independensi calon hakim agung yang bersangkutan karena mereka dipilih oleh DPR yang notabene yaitu  lembaga politik.
Tampak bahwa badan legislasi DPR tidak melakukan fungsi harmonisasi rancangan Undang-Undang terkait, sehingga pengaturan 
tentang proses perekrutan hakim agung justru tidak konsisten dan menyalahi konstitusi sebagai berikut. Pertama, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), 
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 pada 
prinsipnya menentukan bahwa DPR memilih calon hakim agung yang 
diusulkan oleh Komisi Yudisial. Tetapi kemudian di dalam Pasal 71 huruf p UU No. 27/2009 dinyatakan bahwa DPR memberikan persetujuan 
calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Pada tahun yang sama sudah 
terjadi inkonsistensi, tetapi kalau kita melihatnya dari posisi terakhir, 
yaitu Pasal 71 huruf p UU No. 27/2009 masih konsisten dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya kemudian yang ketiga, Pasal 18 
ayat (4) UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011 menentukan bahwa untuk 
setiap lowongan hakim agung, DPR memilih dari tiga calon hakim yang 
diusulkan oleh KY.
Dari uraian di atas dapat dikatakan terjadi politisasi di dalam perekrutan hakim agung sebanyak 3 kali. Pertama, calon hakim agung hasil seleksi Komisi Yudisial dipilih oleh DPR dan berarti DPR mengubah 
kewenangan untuk menyetujui calon hakim agung menjadi kewenangan memilih calon hakim agung. Dari hanya menyetujui, diubah atau 
digeser menjadi memilih. Kedua, karena Komisi Yudisial hanya mengusulkan pengangkatan calon hakim agung yang dipilih oleh DPR, maka 
KY berganti peran sebagai sekadar tukang posnya DPR. Kalau awalnya 
mengusulkan untuk disetujui atau tidak disetujui, dan kalau disetujui 
dia langsung mengirimkannya kepada presiden. Jadi, ada check dari 
DPR terhadap Komisi Yudisial. Ketiga, rumusan di dalam peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian itu menyalahi komitmen konstitusional tentang pembentukkan KY yang independent 
menurut Pasal 24B ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Independensi itu tampak dari ketentuan mengenai proses pembentukannya bahwa anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, pembentukkan Komisi Yudisial yang independen
yaitu  untuk mendukung independensi kekuasaan kehakiman melalui 
perbaikan pola perekrutan hakim agung. Kalau sedikit dilakukan elaborasi sebetulnya dengan posisi KY yang independen, yang calonnya 
dimajukan oleh presiden dengan persetujuan DPR itu, ada check and 
balances dengan proses perekrutan hakim agung karena kemudian KY 
yang independen itu mengajukan calon untuk kemudian disetujui atau 
tidak disetujui. Jadi, titik temunya ada pada keberadaan KY dengan peran yang mengajukan calon untuk disetujui atau tidak disetujui oleh 
DPR. Bukan lalu diubah atau digeser menjadi seperti yang sekarang 
dilakukan oleh DPR, yaitu memilih-milih dari calon yang oleh UU ditentukan KY harus mengajukan tiga kali lebih dari jumlah lowongan 
yang tersedia.
Implikasi dari perumusan yang semacam itu dan yang juga sudah 
dilakukan oleh DPR yaitu  sekadar contoh, dalam hal KY menentukan 
calonnya itu berdasarkan ranking, misalnya ranking 1, 2, 3, maka 3 
calon yang sudah diurutkan ranking-nya ini berpotensi untuk dijungkirbalikkan karena DPR dapat memilih, lalu menihilkan makna ranking. Tapi masih untung karena yang diminta hanya 3 calon untuk tiap 
lowongan. Kalau kebetulan ada misalnya, 5 lowongan di Mahkamah 
Agung, kemudian Komisi Yudisial harus mengajukan 3 kali 5 berarti 
15. Kewenangan DPR yang diatur UU untuk dapat memilih ini 
memungkinkan nomor 15 langsung ditaruh menjadi nomor 1. Lalu 
menjungkirbalikkan proses seleksi oleh lembaga independen yang 
pembentukkannya sebetulnya juga dengan persetujuan DPR tadi. Dengan kata lain lalu menyalahi semangat, mengurangi politisasi dalam 
perekrutan hakim dalam hal eksekutif dan/atau legislatif terlibat sebagaimana dikemukakan oleh standar internasional di muka.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan konstitusional 
yang harus dinilai dan dipertimbangkan yaitu  kewenangan DPR dalam proses pemilihan hakim agung hanya menyetujui atau menolak 
calon yang diajukan oleh KY atau DPR juga melakukan pemilihan atas 
beberapa calon hakim agung dari beberapa calon yang diajukan oleh KY sebagaimana diatur dalam UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 dan 
UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011.
Pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan 
persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (3) 
UUD 1945, yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi 
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hak im agung oleh Presiden”, 
yaitu pengusulan calon hakim agung yang sudah melalui proses 
penyeleksian yang sangat ketat sebagaimana yang telah diuraikan di 
atas, namun hal ini tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut 
dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ini yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) 
UU MA yang menyatakan, “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”, karena DPR sebagai lembaga 
politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon hakim agung 
yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon hakim agung 
yang diusulkan KY ini , yang kemudian melakukan fit and proper 
test seperti yang sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon hakim agung untuk 
menguji penguasaan ilmu hukumnya.
Catatan risalah perubahan UUD 1945, menjelaskan dengan sangat 
gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang 
menyatakan, “Hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan 
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya 
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Dengan demikian, posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang 
diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana diatur 
dalam UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011. Hal itu dimaksudkan agar 
ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi 
oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya.
Berdasarkan argumentasi itu, maka ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat 
(3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah mengubah 
kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan” menjadi kewenangan untuk “memilih” calon hakim agung yang diajukan oleh KY. 
Demikian juga, ketentuan dalam UU No. 14/1985 jo. UU No. 3/2009 
dan UU No. 22/2004 jo. UU No. 18/2011, yang mengharuskan KY un-tuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk setiap lowongan hakim 
agung, juga bertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 
24A ayat (3) UUD 1945. 
Agar ketentuan kedua Undang-Undang itu tidak menyimpang dari 
norma UUD 1945, maka seyogyanya kata “dipilih” oleh DPR dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU No. 14/1985 
jo. UU No. 3/2009 harus dimaknai sebagai “persetujuan”. Demikian 
juga frasa “3 (tiga) nama calon” yang termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU 
MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus dimaknai “1 (satu) nama calon”, 
sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya 
satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR.