peradilan di indonesia 10

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 10


hukum militer yaitu  Uniform Code of Military Justice 
(UCMU) dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain, yaitu Rules for court-Martial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE).
Pelanggaran atau kejahatan militer dapat diproses melalui tindakan 
disiplin (Nonjudicial Measures), Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer.468 Tujuan dari tindakan disiplin ini 
bukanlah sebagai hukum tetapi sebagai tindakan koreksi terhadap 
kekurangan prajurit, komandan atau atasan yang bertanggung jawab 
diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin. Hukuman disiplin diatur dalam Pasal 15 UCMJ komandan diberi kewenangan menjatuhkan hukuman 
disiplin tanpa adanya intervensi dari pengadilan militer terhadap pelanggaran ringan di mana tindakan disiplin dianggap tidak memadai. 
Hal ini dalam menjaga agar moral dan disiplin prajurit tidak menurun.
Peradilan militer meliputi peradilan militer singkat, peradilan militer umum, dan peradilan militer khusus. Pengadilan militer singkat 
terbatas hanya mengadili prajurit berpangkat tamtama dan hukuman 
yang dijatuhkan terbatas pada hukuman penjara tidak lebih dari satu 
bulan, hukuman kerja paksa tidak lebih dari 45 hari serta pemotongan 
gaji tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga gaji), Peradilan Militer Singkat ini 
hanya dilakukan oleh seorang hakim perwira yang juga bertindak sebagai oditur dan pembela.
Pengadilan Militer khusus yaitu pengadilan militer yang berbeda dari Peradilan Militer Singkat dengan Peradilan Militer Umum. 
Hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan yaitu  pemberhentian 
karena perilaku buruk, penjara tidak lebih dari 1 tahun, kerja berat tanpa penahanan tidak lebih dari 3 bulan dan pemotongan gaji tidak lebih 
dari 2/3 gaji selama maksimum 1 tahun. Peradilan Militer khusus terdiri dari 1 orang perwira sebagai hakim militer dan minimal 3 anggota 
sebagai juri.
Pengadilan Umum mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap orang yang tunduk pada UCMJ atas setiap pelanggaran yang diancam pidana berdasarkan UCMJ. bila  pemerintah sipil digantikan 
oleh pendudukan militer, Peradilan Militer Umum dapat mengadili setiap orang yang tunduk pada pengadilan militer sesuai hukum perang dan juga dapat menjatuhkan semua jenis hukuman termasuk hukuman mati. Prosedur Pengadilan Militer Umum yaitu  semua pengacara 
yang terlibat dalam persidangan yaitu  pengacara militer yang telah 
bersertifikat dan hakim militer yaitu  hakim yang diangkat dan disumpah.
3. Belanda
Perbuatan pidana yang diadili di lingkungan Peradilan Militer adalah pelanggaran Wetboek van Militaire Strafrecht (WvMSr) dan Oorlog 
Wet yang di dalamnya juga meliputi beberapa perbuatan pidana umum, 
sebagaimana diatur dalam MvS. Dengan demikian, di Belanda Peradilan Militer juga mengadili perbuatan pidana umum yang dilakukan oleh 
anggota militer. Menurut Marcus, hal yang menarik dan berbeda dengan negara lainnya yaitu  tata cara peradilan di mana tata cara Peradilan Militer Belanda telah mengalami beberapa kali perubahan. 
Tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 yang menjadi central figure dalam penyelidikan yaitu  Komandan di atasnya, pelaksanaannya 
harus diberitahukan kepada Komandan Jenderal. Komandan Jenderal 
kemudian akan membentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa perwira untuk memutuskan apakah perkara akan diteruskan atau 
tidak. bila  diteruskan Komandan Jenderal akan meminta kepada 
Jaksa Penuntut Umum untuk membuat dokumen (berita acara).
Adapun hakim yang akan memeriksa ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Militer berdasarkan advis dari Komandan Jnderal. Sesudah tahun 
1965 yang melakukan penyelidikan yaitu  Polisi khusus yang dikenal 
dengan Marechaussea atas kuasa Menteri Pertahanan meminta kepada 
Jaksa Agung untuk menentukan Fiscal (untuk Angkatan Laut) atau Auditeur Generale (untuk Angkatan Udara dan Angkatan Darat). Susunan 
Hakim Militer dengan 1 hakim sipil sebagai Ketua Majelis. Sesudah tahun 1991 susunan majelis hakim dalam Peradilan Militer teridir dari 
2 hakim sipil dan 1 hakim militer. Sedangkan susunan majelis hakim 
pada Mahkamah Militer Agung terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua Majelis dari hakim sipil dan 3 anggota hakim militer.469D. SEPARASI TNI-POLRI DAN PROYEKSI PERADILAN 
MILITER
Titik krusial penyelenggaraan peradilan militer yaitu  peran seorang komandan selaku atasan yang berwenang menghukum (Ankum) 
maupun perwira penyerah perkara (Papera). Hal ini yaitu kendala utama penyelenggaraan peradilan secara transparan.
Karena subjek delik dalam hukum pidana militer yaitu  orang 
atau individu militer, atau orang-orang yang dipersamakan dengan militer, maka sering menimbulkan masalah jika tindakan itu yaitu 
perintah atau kebijakan institusi. Dalam hal ini, institusi tidak dapat 
diadili di lingkungan peradilan militer, meskipun kebijakan itu telah 
menimbulkan korban pada masyarakat. 
Seorang prajurit rendahan selalu akan menyatakan perbuatan itu 
atas perintah komandan dan komandan di lapangan akan menyatakan 
perbuatan itu atas perintah atasan dan seterusnya. Keadaan yang demikian akan menyulitkan korban (sipil) untuk memperoleh keadilan, 
karena peradilan militer tidak memeriksa badan hukum (rechstpersonn) sebagai subjek delik. Lebih-lebih sistem peradilan pidana Indonesia belum memberikan perlindungan kepada korban (sipil) untuk 
beracara di lingkungan peradilan sipil maupun militer.
Kasus konkret yang sampai saat ini belum tuntas misalnya kasus 
Tanjung Priok (1984) dan Timor-Timur (1992). Di satu sisi perbuatan itu oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum 
(sudut pandang pidana), dan telah menimbulkan korban (sipil), tetapi 
siapa yang harus bertanggung jawab sampai saat ini belum jelas. Tanggung jawab siapakah peristiwa itu, komandan secara perorangan atau 
tanggung jawab institusi?
Persoalan penting lainnya dalam peradilan militer yaitu  wewenang komandan selaku Papera (Perwira Penyerah Perkara), karena 
merekalah yang menentukan apakah tindak pidana yang dilakukan 
oleh anggota militer akan sampai ke pengadilan atau tidak. Di dalam 
peradilan militer ada  unity of command, yaitu agar kesiapan dan 
mobilitas pasukan tetap terjaga. Namun asas yang baik ini berpotensi 
untuk disalahgunakan. Komandan dapat menolak untuk menyerahkan 
anak buahnya, dengan dalih mengutakan kepentingan militer. Ini pernah terjadi sehubungan dengan penanganan kasus pembunuhan wartawan Bernas di Yogyakarta (1996). Serma Edy Wuryanto oleh Kapolda Yogyakarta tidak diserahkan kepada Denpom untuk disidik.
Masalah subjek delik juga telah mengalami perkembangan. Peradilan militer tidak hanya menangani perkara yang dilakukan oleh personel militer. Dalam hal orang-orang sipil dipersamakan dengan tentara, bahkan dalam situasi darurat, orang sipil diadili oleh pengadilan 
militer. Perluasan subjek delik ini tidak hanya disebabkan oleh keadaan tertentu yang memberikan kewenangan pada militer untuk menerapkan hukum militer kepada orang sipil. Dalam keadaan damai, orang 
sipil dapat disamakan dengan militer.
Perluasan subjek delik di antaranya dapat ditemukan pada: (i) UU 
No. 19/1958 tentang Militer Sukarela (Pasal 4), (ii) UU No. 66/1958 tentang Wajib Militer (Pasal 38, 45, 65, dan 66); (iii) UU No. 23 Prp/1959 
tentang Keadaan Bahaya (Pasal 41); (iv) UU No. 27/1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi (Pasal 19); (v) PP No. 51/1963 tentang Cadangan Nasional (Pasal 5); (vi) UU No. 16 PNPS/1963 tentang Mahmilub 
(Pasal 1); (vii) peraturan-peraturan terkait tentang koneksitas (Pasal 89 
KUHAP, koneksitas dalam tindak pidana korupsi), dan sebagainya.
Separasi TNI-Polri selanjutnya akan memengaruhi sistem peradilan pidana militer. Perluasan yurisdiksi peradilan atas militer berimplikasi pada perluasan kompetensi kepolisian di bidang penyelidikan dan 
penyidikan, yaitu terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dan terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana. 
Perluasan kompetensi polisi itu membawa persoalan yang berkaitan 
dengan kemampuan dan kesiapan Polri dalam menjalankan tugasnya 
yang baru, yaitu dalam menyelidik dan menyidik militer yang terlibat 
dalam tindak pidana umum, dan berkaitan dengan objektivitas dalam 
memeriksa sesama anggota Polri.
Persoalan di atas memerlukan pemikiran dan solusi serius dengan 
melihat dan mengkaji beberapa faktor yang selama ini telah menyebabkan kinerja dan citra polisi yang buruk di mata masyarakat, sehingga dapat diperbaiki di masa yang akan datang.
Harus disadari bahwa perubahan ini tidak akan mudah dan 
sederhana, apalagi diandaikan tanpa resistensi dari pihak mana pun. 
Karena itu diperlukan upaya-upaya terpadu dan persepsi yang sama 
di antara pihak-pihak yang terkait, dengan tanpa mengabaikan partisipasi masyarakat, sehingga dapat diwujudkan kepolisian yang sesuai 
dengan harapan di masa yang akan datang.
Separasi TNI-Polri membawa implimasi pada perubahan yuris-diksi lembaga peradilan yang berlaku terhadap TNI dan Polri. Terhadap militer berlaku yurisdiksi peradilan militer dan peradilan umum, 
sedangkan terhadap Polri hanya berlaku yurisdiksi peradilan umum. 
Persoalan yurisdiksi peradilan tidak dapat dipisahkan dari tindak pidana yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan ini . Karena itu, 
redefinisi tindak pidana yang berlaku bagi kalangan militer yaitu 
hal yang penting dalam rangka penentuan yurisdiksi peradilan militer 
dan peradilan umum terhadap kalangan militer.
Dalam hal ini, Harkristuti Harkrisnowo mengusulkan agar dilakukan penyempitan ruang lingkup tindak pidana yang dilakukan oleh 
anggota TNI, yaitu kompetensi dibatasi pada “tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI yang berkenaan dengan jabatannya dalam 
kemiliteran.” Termasuk dalam hal ini yaitu  tindak pidana yang akan 
memberikan dampak terhadap kinerja TNI, misalnya berkenaan dengan informasi atau pendataan dalam lembaga, dan juga dilakukan 
terhadap sarana dan prasarana militer.
Selain itu dapat diusulkan juga untuk mengubah paradigma dalam 
menentukan dasar pemberat yang dapat diterapkan terhadap anggota 
TNI, mengingat begitu beragamnya tindak pidana yang dapat dilakukan oleh anggota TNI sebagai alat negara. Pemberatan pidana ini 
dapat dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu.
Alasan pemberat pidana dapat dicantumkan berkenaan dengan 
sifat tindak pidana, tempat maupun waktu yang pada dasarnya telah 
diatur dalam KUHP maupun KUHP Tentara, misalnya apabla dilakukan saat kerusuhan atau perang atau kondisi darurat lain yang setara. 
Ketentuan mengenai superior command tampaknya perlu dipertajam 
supaya para komandan lebih hati-hati dan cermat dalam memberikan 
perintah kepada bawahannya.
Dengan gagasan redefinisi tindak pidana militer tesebut, maka 
dipersyaratkan pembaruan hukum pidana materiil yang berlaku bagi 
kalangan militer. Di samping itu, juga penting untuk meningkatkan kinerja peradilan militer ke arah yang positif.










Reposisi TNI-Polri yaitu agenda transisi demokrasi sejak 
1998. Semangat reformasi telah menempatkan militer negara kita  sebagai sasaran kritik dan desak politik, terutama terhadap konsep Dwi 
Fungsi ABRI yang mengabsahkan peran militer di bidang pertahanan, 
keamanan, dan sosial politik. Konsep ini dikukuhkan terus-menerus 
dalam berbagai perangkat hukum pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959 
Orde Baru. Tuntutan reformasi atas ABRI telah mendorong munculnya paradigma baru dan reposisi ABRI (1998).434 Disadari bahwa ABRI 
tidak dapat lagi mendominasi kehidupan politik, pemerintahan, dan 
kemasyarakatan nasional. ABRI harus secara serius berbagai peran dengan pihak-pihak lain melalui konsep role sharing.
Di bidang politik terjadi pengurangan peran militer.435 Jumlah anggota TNI dan Polri dilembakan dalam sistem perwakilan di daerah dan 
di pusat mengalami penyusutan secara dratis. Departemen Pertahanan 
dan Keamanan diganti menjadi Departemen Pertahanan. Kepolisian 
kemudian berstatus nonmiliter dan dipisahkan dari militer. Untuk 
kesekian kalinya, Polri mengalami reposisi. Pemerintahan Presiden
Wahid menempatkan personel sipil di Departemen Pertahanan. Jabatan Kepala Sosial Politik TNI dihapuskan. Kantor Direktorat Sosial 
Politik di bawah Departemen Dalam Negeri dihilangkan, mekanisme 
penelitian khusus (litsus) dihapus.
Keputusan MPR memperkukuh separasi TNI dan Polri. Sidang 
Tahunan MPR pada 2000 menghasilkan Perubahan Kedua UUD 1945, 
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, 
Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI-Polri. Ketiga 
produk MPR ini merumuskan ulang eksistensi kelembagaan TNI-Polri, 
fungsi, yurisdiksi, peran, maupun hubungan di antara dengan masyarakat sipil yang lebih luas. 
Namun materi Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dapat dipandang 
berlebihan karena sudah tertuang jelas dalam Pasal 30 Perubahan Kedua UUD 1945. Sementara itu, Ketetapan MPR No. VII/MPR/20000 
mengandung sejumlah kontradiksi dengan Pasal 10 UUD 1945. Ketentuan tentang peran DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri misalnya, memerlukan UU.441 Hasil sidang MPR juga menimbulkan keraguan atas kerelaan militer untuk meninggalkan gelanggang 
politik atau keseriusan dan keberanian politisi sipil untuk mengakhiri 
peran politik militer.
Separasi Polri dari militer mengembalikan polisi sebagai civilians
yang tunduk pada yurisdiksi peradilan umum/sipil. Polisi juga dapat 
menyidik militer yang terlibat tindak pidana yang diatur KUHP, sebab 
tindak pidana ini menjadi yurisdiksi peradilan sipil. Perluasan kewenangan ini yaitu agenda yang tidak sederhana, sesudah  selama 40 
tahun kepolisian tidak memiliki kewenangan dan pengalaman dalam 
bidang ini. 
Hal itu dikonfirmasi dari kenyataan tidak pernah adanya sentuhan pembaruan terhadap eksisten peradilan militer. Ketentuan UU 
No. 19/1997 tentang Peradilan Militer tidak pernah bisa diubah hingga dewasa ini. Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai tindak pidana 
umum dan dilakukan oleh personel militer, menimbulkan kompleksitas tersendiri. Menurut KUHAP, polisi berwenang untuk melakukan 
penyidikan atas perkara pidana umum. Kejaksaan juga berwenang menyidik dalam perkara-perkara tertentu, seperti tindak pidana korupsi 
dan tindak pidana ekonomi. Dengan demikian, aktor tindak pidana 
umum dapat berhadapan dengan 3 instansi yang sama-sama memiliki kompetensi dalam penyidikan, yaitu polisi, PPNS, atau jaksa, sesuai 
kategori perkara pidana. Kemungkinan ini dapat dihadapi oleh militer 
yang melakukan tindak pidana umum.
Jika prajurit TNI tunduk pada yurisdiksi peradilan umum dalam 
hal pelanggaran hukum pidana umum, maka dalam proses penyidikan 
dilakukan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan oleh hakim 
pengadilan umum, dan eksekusi di lembaga pemasyarakatan umum. 
Hal ini akan mengubah peran polisi militer dalam penyelidikan dan 
penyidikan perkara, penuntutan oleh Oditor Militer, dan pemeriksaan 
oleh hakim pengadilan militer.

Tinjauan peradilan militer dari segi historis perlu dilakukan, karena seperti halnya lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha 
negara, dan peradilan agama, kompetensi dan subjek delik446 peradilan 
militer mempunyai perkembangan sendiri. Tinjauan historis peradilan 
militer akan dilihat dari peraturan perundang-undangan yang menjadi 
landasan bekerjanya lembaga ini .
Namun tulisan pada subbab ini tidak mencakup kompetensi peradilan militer khusus yang pernah ada, seperti mahkamah angkatan 
darat, angkatan laut, dan angkatan udara,447 Mahkamah Militer Luar 
Biasa (Mahmillub),448 maupun Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata (Mahsamanta).449 Tulisan ini membatasi diri pada kompetensi peradian militer dalam keadaan normal seperti tertuang dalam peraturan 
perundang-undangan.
Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama ‘ 
Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, 
S.1992 No. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materiel yang 
anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di negara kita  
(Hindia-Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini yaitu bagian integral dari Angkatan Laut 
kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL yaitu
organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili 
oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa 
dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.
Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat 
pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah 
dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair 
Gerecht shoof yaitu pengadilan militer instansi kedua (banding) 
serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang 
tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta.
Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 
1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 Tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas 
mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat 
hukuman mati.
Pasca-kemerdekaan, Peradilan Militer baru dibentuk sesudah  dikeluarkannya UU No. 7/1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan 
Tentara di samping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang 
lebih 8 bulan sesudah  lahirnya ABRI. Dalam masa kekosongan hukum 
ini, diterapkan hukum disiplin militer dan bersamaan dengan ini pula 
dikeluarkan UU No. 8/1946 tentang Hukum Acara Pidana pada Peradilan Tentara.
Peradilan Tentara—yang meliputi Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung—berwenang mengadili perkara pidana yang 
yaitu kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh (i) Prajurit 
Tentara (AD) Republik negara kita , Angkatan laut dan Angkatan Udara; 
(ii) Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan pra-jurit; dan orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapa pun juga, 
bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II 
KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan 
bahaya. Mahkamah Tentara yaitu pengadilan tingkat pertama 
yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah. Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara (i) Terdakwanya serendah-rendahnya 
berpangkat Mayor; dan (ii) Seorang yang jika dituntut di pengadilan 
biasa diputus oleh PT atau MA; dan (iii) Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah Tentara. Mahkamah Tentara Agung pada 
tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh 
mahkamah tentara. Persidangan dipisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran. 
Di samping kedua badan itu, menurut Pasal 22 UU No. 7/1946, 
Presiden berhak untuk membentuk pengadilan tentara luar biasa yang 
susunannya menyimpang dari UU ini.
Pada tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37/1948 
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan untuk menggantikan UU No. 7/1946,452
yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. Peraturan Pemerintah No. 
37/1948 ini mengatur peradilan tentara dengan susunan (i) Mahkamah 
Tentara; (ii) Mahkamah Tentara Tinggi; dan (iii) Mahkamah Tentara 
Agung. Adapun subjek delik dari peradilan ini yaitu  (i) prajurit TNI; 
(ii) seseorang yang dengan PP ditetapkan Presiden berstatus sama 
sebagai prajurit; (iii) seseorang anggota suatu golongan atau jawatan 
yang oleh UU dianggap atau disamakan dengan prajurit; dan (iv) seseorang yang bukan kategori di atas, tetapi oleh Menteri Kehakiman 
ditetapkan harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan 
ketentaraan.
Akan tetapi subjek delik ini kemudian diperluas dengan “setiap orang yang melakukan kejahatan yang diatur dalam Titel I atau Titel II 
Buku II KUHP jika perbuatan itu dilakukan di wilayah yang dinyatakan 
dalam keadaan bahaya.” Perluasan melalui PP No. 74/1948 ini dilakukan untuk menyelenggarakan peradilan bagi pelaku pemberontakan 
PKI Madiun.
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresinya yang kedua terhadap negara Republik negara kita . Agresi ini 
dimaksudkan untuk menghancurkan Tentara Nasional negara kita  dan 
selanjutnya pemerintah RI. Aksi ini mengakibatkan jatuhnya kota 
tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda. 
Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan 
Militer untuk seluruh pulau Jawa-Madura. Peraturan ini memuat 
tentang: (i) Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer; (ii) Pengadilan 
Sipil Pemerintah Militer; (iii) Mahkamah Luar Biasa; dan (iv) Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Ketentuan UU Dar. No. 16/1950 tentang Susunan dan Kekuasaan 
Pengadilan/Kejaksaan di Lingkungan Peradilan Ketentaraan dicabut 
dengan lahirnya UU No. 5/1950, yang sebenarnya hanya yaitu 
penggantian formil saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak 
mengalami perubahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat. Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap 
berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan 
dan pengurangan).
Untuk menyesuaikan perubahan bentuk negara kesatuan, maka 
ditetapkan UU No. 1 Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara 
Pengadilan Sipil. Pada intinya, UU ini mengatur empat hal; (i) menghapus pengadilan yang tidak sesuai dengan negara kesatuan; (ii) penghapusan secara berangsur-angsur peradilan swapraja dan peradilan 
adat; (iii) penataan pengadilan desa dan pengadilan agama; dan (iv) 
pembentukan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di tempat-tempat tertentu. 
Meskipun hukum acara mengalami perubahan, akan tetapi de-ngan UU No. 5/1950, HIR masih tetap menjadi pedoman beracara di 
lingkungan peradilan militer.455 Pada waktu pemberlakuan UU No. 
5/1950 ini, peradilan militer belum sepenuhnya dilaksanakan oleh tenaga-tenaga dari kalangan militer. Hal ini disebabkan masih sedikitnya 
tenaga militer yang menguasai bidang hukum. Oleh sebab itu, sepanjang tidak diatur khusus oleh Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan 
Negeri yang dalam daerah hukumnya termasuk tempat yang ditunjuk 
sebagai tempat kedudukan pengadilan tentara karena jabatrannya 
menjadi Ketua Pengadilan Tentara, begitu juga dengan Panitera Pengadilan Negeri, karena jabatannya menjadi Panitera Pengadilan Tentara.456 Kepala Kejaksaan Negeri karena jabatannya yaitu  Jaksa Tentara.457 Jadi, dalam keadaan tertentu, peradilan militer dijalankan oleh 
personel sipil.
Dengan berlakunya UU No. 29/1954 tentang Pertahanan Negara, 
ditentukan bahwa Angkatan Perang memiliki peradilan tersendiri dan 
komandan mempunyai hak penyerah perkara.458 Sebagai realisasi dari 
ketentuan ini, UU No. 1 Drt/1958 tentang Hukum Acara Pidana Tentara, dilakukan perubahan ketentuan pemeriksaan permulaan, yaitu suatu fase dalam proses peradilan pidana untuk melakukan penyelidikan 
dan penyidikan yang dalam pelaksanaannya sering menimbulkan konflik antara komandan dengan jaksa penuntut.
Selanjutnya, dalam suasana republik mengalami pergolakan, antara lain gerakan bersenjata dari daerah, dibentuk UU No. 1 Drt/1958 
dan PP No. 8/1958. Ketentuan UU yang ditetapkan pada 7 Juni 1958 
dinyatakan berlaku surut sejak 10 Januari 1958.459 Sisi penting UU ini 
yaitu  diaturnya komandan untuk menyerahkan perkara dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pengusutan, penahanan, 
pemerintahan permulaan, yang dilakukan oleh Atasan yang Berwenang Menghukum (Ankum).Di wilayah-wilayah sebagai tempat terjadinya pergolakan bersenjata, yang oleh pemerintah ditetapkan berada dalam keadaan darurat 
perang, dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Hal ini 
pertama kali dibentuk Mahmilub di kawasan Negara negara kita  Timur460 dan ditindaklanjuti dengan perintah Menteri Pertahanan.461
Akibat Belanda tidak mau mengakui kedaulatan RI atas Papua, 
maka mendorong dibentuknya UU No. 74/1957 tentang Keadaan Bahaya. Kebijakan ini mendorong dibentuknya peradilan militer dalam 
bentuk: (i) Mahkamah Angkatan Darat Pertempuran (Mahadper) dan 
(ii) Mahkamah Angkatan Udara Pertempuran.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang 
menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 
1945. Ketentuan UU No. 5/1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya 
berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara 
itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer. Sementara itu, peradilan militer dikukuhkan sebagaimana garis-garis kebijakan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.462
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden 
No. 22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal 
dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan ini yaitu  
mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan 
peradilan militer. Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan 
ini , maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, 
yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di jabat oleh 
pejabat dari kalangan Militer sendiri.463 Tahun 1961 yaitu awal 
pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli 
atau sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa mulai September 1961 hakim militer sudah harus 
mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian juga dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan ini di atas, dimulailah babak baru 
dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya 
ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim 
jaksa dari angkatan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang 
perlu mendapat perhatian yaitu  di undangkannya Undang-Undang 
Nomor 3 PNPS/1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, 
Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 Maret 1965.
Pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan 
Presiden No. 16/1963, yang kemudian menjadi UU No. 16/PNPS/1963 
mengenai pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). 
Badan pengadilan ini berkedudukan di Jakarta dan wilayah hukumnya 
meliputi seluruh wilayah negara, dan bila  dipandang perlu dapat 
melakukan persidangan di Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, Padang, Pekanbaru, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin.
Perkembangan selanjutnya yaitu  lahirnya UU No. 23 PNPS 1965 
pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat 
pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak 
pidana diadili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau.
Pelaksanaan peradilan militer di dalam lingkungan masing-masing 
angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 
1973. Tahun 1970 lahirlah UU No. 14/1970. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut (i) Keputusan bersama 
menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 
Juli 1972 No. J.S.4/10/14–SKEB/B/498/VII/72; dan (ii) Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada 
tanggal 19 Maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973–J.S.8/18/19 tentang perubahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, yurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada 
di bawah departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar 
dari SK bersama ini , maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam 
peradilan militer dilakukan oleh: (i) Mahkamah Militer (MAHMIL); (ii) 
Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI); dan Mahkamah Militer Agung 
(MAHMILGUNG). 
Pada tahun 1982 dikeluarkan UU No. 20/1982 tentang Pokok-pokok 
Pertahanan dan Keamanan Negara yang kemudian diubah dengan undang-undang No. 1 Tahun 1988. Undang-undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu poin 
pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan 
tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara. Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang 
signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di negara kita .
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31/1997 tentang peradilan 
militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang No. 
14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undangundang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri 
dari: (i) Pengadilan Militer; (ii) Pengadilan Militer Tinggi; (iii) Pengadilan Militer Utama; dan (iv) Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka UU No. 5/1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan atau kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU 
No. 22 PNPS/1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6/1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan 
tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No. 1 Drt/1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
sesudah  reformasi, dengan ditetapkannya UU No. 4/2004 tentang 
Kekuasaan Kehakiman, dilakukan perubahan penyebutan Mahkamah 
menjadi Pengadilan. Hal ini diresmikan dengan Surat Keputusan Panglima TNI No. KEP/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003 dan ditindaklanjuti 
dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI No. Skep/07/
II/2004 tanggal 3 Februari 2004. Melalui Surat Keputusan Panglima TNI 
No. Skep/296/IX/2004 terhitung sejak 31 Agustus 2004, organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Militer dilakukan oleh MA.




REKRUTMEN HAKIM: 
KEKUASAAN DAN 
POLITISASI
Hakim yaitu  aktor utama penegakan hukum (law enforcement)
di pengadilan yang mempunyai peran lebih bila  dibandingkan 
dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Pada saat ditegakkan, hukum 
mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan 
wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak lagi sekadar barisan pasal-pasal mati yang ada  dalam suatu peraturan perundangundangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh living interpretator yang 
bernama hakim.535
Dalam memutus suatu perkara, hakim harus mengombinasikan 
tiga hal penting, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.536 Tugas ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan, namun dengan cara itu, maka akan memantapkan pertimbangan sebagai 
dasar penyusunan putusannya. Lebih dari itu, hakim juga perlu memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran yang bisa memberikan arahan dalam berpikir dan bertindak dalam menjalankan aktivitas 
kehakimannya, yaitu falsafah moral (moral philosophy). Faktor falsafah moral inilah yang penting untuk menjaga agar kebebasan hakim sebagai penegak hukum diimbangi dengan idealisme untuk memberikan keadilan bagi para pencari keadilan. Dalam pengertian lain, independensi peradilan harus juga diimbangi dengan pertanggungjawaban 
peradilan (judicial accountability).537 Kenyataan menunjukkan bahwa 
kondisi hakim saat ini belum seperti yang diharapkan, hal itu kemudian yang dapat menghambat reformasi di bidang peradilan.
Terbukti dengan ada banyaknya laporan dan pengaduan terhadap 
Komisi Yudisial tentang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku 
hakim (KEPPH), sejak tahun 2010 sampai dengan Agustus 2013, Komisi Yudisial telah menerima Pengaduan/Laporan total sebanyak 5.783 
perkara, dengan rincian pada tahun 2010 berjumlah 1.377 perkara, tahun 2011 berjumlah 1.638 perkara, tahun 2012 berjumlah 1.520 perkara, dan sampai Agustus 2013 berjumlah 1.248 perkara. Dari banyaknya 
laporan yang masuk ke Komisi Yudisial sejak tahun 2010 sampai dengan Agustus 2013 ini , yang dapat ditindaklanjuti total berjumlah 
1.008 perkara, dengan rincian: pada tahun 2010 berjumlah 225 perkara, 
tahun 2011 berjumlah 360 perkara, tahun 2012 berjumlah 273 perkara, 
dan sampai Agustus 2013 berjumlah 150 perkara.538 Selanjutnya, terhadap hakim yang terbukti melanggar KEPPH yang kemudian diusulkan 
penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung, sejak tahun 2010 sampai dengan Agustus 2013 total berjumlah 161 hakim.539 Termasuk dalam deretan sanksi ini yaitu  keputusan nonaktif 
terhadap seorang hakim yang menderita sakit jiwa.540 Hakim lainnya diberi sanksi “nonpalu” hingga pemberhentian tetap.541 Seorang hakim 
perempuan diperiksa KY dan dijatuhi sanksi disiplin oleh Mahkamah 
Agung karena diduga melakukan perselingkuhan.542 Seorang hakim 
lain ditangkap BNN karena melakukan penyalahgunaan narkoba.543
Ditinjau dari segi kualitas putusan, tampak pendapat umum yang 
antara lain menunjukkan ketidakpuasan yang tinggi terhadap kelembagaan pengadilan.544 Putusan-putusan pengadilan yang mengecewakan memang telah menjadi pembicaraan hampir semua forum publik, 
akademis, politik, dan legislasi untuk waktu yang lama.545 Persoalan 
ini mengindikasikan bahwa fokus persoalan yaitu  sistem kelembagaan pengadilan. Hal ini terkonfirmasi dari sejumlah kajian yang 
telah ada selama ini, seperti yang dilakukan oleh A. Muhammad As-run,546 Sebastian Pompe,547 Benny K. Harman,548 termasuk yang dilakukan oleh Bank Dunia.549
Masih segar dalam ingatan bahwa Mahkamah Agung telah menjatuhkan sanksi kepada majelis hakim dalam perkara Telkomsel.550
Majelis hakim agung yang menjatuhkan vonis bebas dalam perkara 
Sudjiono Timan, buronan kasus BLBI, juga telah memperoleh sorotan 
publik.551 Integritas hakim memperoleh sorotan publik, bahkan saat seseorang masih menjadi kandidat seperti dalam kasus hakim Daming.552
Seorang hakim agung bahkan terpaksa mengundurkan diri akibat 
terkuaknya skandal dugaan pemalsuan putusan pidana.553 Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Susno Duadji juga menimbulkan polemik.554 Dalam perkara putusan kasus Blackberry dan minuman keras, 
majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Djoko Sarwoko 
telah diperiksa oleh KY.555
Yang memprihatinkan yaitu  tercorengnya wibawa pengadilan akibat terungkapnya keterlibatan hakim dan aparatur pengadilan 
dalam kasus korupsi. Dapat disebut antara lain kasus Faozatulo Zendrato,556 Harini Wijoso,557 Herman Allositandi,558 Jimmy Lumanu,559 Ibrahim,560 Mustadi Asnun,561 dan Syarifuddin Umar.562 Juga kasus Heru Kusbandono,563 Kartini Marpaung,564 Imas Dianasari,565 dan Setyabudi 
Tejacahyono.566 Kemudian, saat Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap tangan dengan tuduhan menerima suap terkait perkara pilkada 
Kabupaten Gunung Mas, dunia hukum negara kita  seakan-akan melengkapi dirinya dengan kehinaan.
Tulisan ini ingin membahas rekrutmen hakim, dalam hal ini yaitu  
hakim agung, dengan asumsi utama bahwa faktor ini yaitu  salah satu 
indikator dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Menurut UUD 1945 Ayat (1) sesudah amendemen ketiga berbunyi: 
“Kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang merdeka untuk 
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 
Sementara itu, faktor politik ada di atas dan di samping hakim.567
Kedudukan pengadilan (baik di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama), dalam sebuah 
sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) yaitu “pusat” proses peradilan. Hakim sebagai pilar utama mempunyai peran penting didalamnya. Dalam hal ini, hakim sebagai tempat terakhir bagi 
para pencari keadilan (justiciable) diharapkan mampu menghasilkan 
putusan yang mencerminkan rasa keadilan. Hal ini tidaklah mudah karena dibutuhkan hakim yang mempunyai kualitas dan integritas yang 
tinggi. Untuk mendapatkan para hakim yang demikian dibutuhkan sebuah sistem rekrutmen yang ideal.Persoalan independensi kekuasaan kehakiman yaitu persoalan yang dirumuskan dalam ranah politik sehingga pijakan utama 
untuk memahami yaitu  berangkat dari pemahaman konstitusi. Sesudah itu barulah dapat dipahami dalam pemahaman menurut hukum. 
Menurut Padmo Wahjono, persyaratan teoretis yang lazim dikemukakan mengenai suatu negara yang berdasar atas hukum pertama-tama 
yaitu  ada suatu pola auntuk menghormati dan melindungi hak-hak 
asasi. Kedua, ada suatu mekanisme kelembagaan yang demokratis. Ketiga, ada suatu sistem tertib hukum. Keempat, kekuasaan kehakiman 
yang bebas.568
Menurut Oemar Seno Adji,569 suatu pengadilan yang bebas yaitu suatu syarat yang “indispensable” dalam suatu negara di bawah 
“Rule of Law.”570 Selanjutnya, Seno Adji mempertanyakan “practical 
application” dari persyaratan ini dengan suatu kegelisahan mengenai 
“seseorang harus dihukum meskipun tidak ada alasan yang cukup kuat 
untuk menghukumnya karena tidak cukup bukti atau karena perbuatannya memang tidak yaitu suatu tindakan pidana?”571 Jimly 
Asshiddiqie mengonfirmasikan bahwa kegelisahan semacam itu tidak 
boleh terjadi karena tidak berarti bahwa hukum boleh bertindak sewenang-wenangDalam Piagam Hak Asasi Manusia PBB, terutama Pasal 10, disebutkan bahwa “Everyone is entitled to full equality to a fair and public 
hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination 
of his rights and obligations and of any criminal change against him.” 
Dari ketentuan ini tampak bahwa tribunal atau pengadilan itu harus 
merdeka atau mandiri dan tidak memihak. Kata “independent” dan 
“impartial” itu sebenarnya ditujukan kepada suatu kondisi yang sama 
yakni independen tentu harus imparsial. Sebaliknya, agar imparsial, 
maka pengadilan haruslah merdeka.573 Watak semacam ini diharapkan “memberikan jalan bagi hakim agar dapat memberikan keputusan 
yang paling mendekati keadilan sebab sesuai dengan namanya pengadilan harus mampu berusaha memberikan keadilan.”574 Tentu saja 
pembicaraan ini menyangkut kebebasan institusional, “sebagai reaksi 
terhadap pengaruh dan institusi pemerintahan yang lain terutama dari 
institusi pemerintahan atau executive branch dari kekuasaan negara 
yang umumnya dijabat Raja atau Presiden atau kepala pemerintahan dengan nama apa pun.”575 Bagi Hans Kelsen, kebebasan institusi 
ini harus ada karena lembaga peradilan diorganisasikan secara agak 
berbeda dengan lembaga eksekutif.576 Dengan demikian, para hakim 
“ordinary independent that is, they are subject only to the laws and not 
the orders (intructions) of superior judicial or administrative organ.”577
Dalam praktik di Amerika Serikat, watak badan pengadilan digambarkan sebagai “by three important characteristic: independence, decentralization, and individualism.” Ketiga karakteristik ini telah menciptakan 
lembaga peradilan pada semua tingkatan baik pada peradilan di berbagai negara bagian maupun tingkat federal hingga Mahkamah Agung 
sebagai badan yang bebas dari pengaruh lembaga pemerintahan yang 
lain sehingga jarang adanya gugatan atau complaint kepada lembaga 
peradilan secara institusional.578
1. Praktik pada Masa Kolonial
Perkembangan pemikiran mengenai watak independen dan imparsial bagi badan peradilan di negara kita  dapat dilacak dari gagasan revolusi Perancis mengenai struktur pemerintahan, yang kemudian 
memengaruhi Belanda, bahkan di seluruh daratan Eropa pada akhir 
abad ke-18. Gagasan ini lalu ditransfer ke negeri-negeri jajahan.579
Doktrin Perancis membayangkan sebuah organisasi negara yang sangat rasional menurut “bentuk esktrem pembagian kerja, di mana 
masing-masing unit mengerjakan dan hanya melakukan satu hal saja.”580 Pemerintah, parlemen, dan pengadilan yaitu  penguasa absolut 
di wilayah masing-masing sehingga membentuk pemisahan struktur 
kekuasaan.
Doktrin pemisahan kekuasaan memiliki konsekuensi konseptual penting bagi organisasi dan kekuasaan pengadilan. Dalam lingkup 
organisasi, sistem ini membedakan fungsi yudisial dan fungsi administratif. Fungsi yudisial menyangkut pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, sementara fungsi berikutnya menyangkut administrasi, 
personel, dan keuangan. Di Perancis, fungsi administratif dikehendaki 
untuk ditangani oleh pemerintah dan bukan oleh pengadilan. Untuk 
menjamin independensi pengadilan, rutinitas kerja menghendaki agar 
pemerintah (Departemen Kehakiman) pada dasarya bertindak sebagai 
saluran administratif bagi permintaan-permintaan pengadilan. Kendati demikian, sistem ini tidak membolehkan kekuasaan yudisial mengisntruksikan departemen untuk mewujudkan fungsi administratif, tetapi 
hanya merekomendasikan. Oleh sebab itu, Perancis, Belanda, dan juga 
negara yang memperoleh pengaruh sistem ini, kemudian menciptakan 
pembagian kerja bahkan dalam ranah pengadilan. Di samping badan 
yudisial, ada unit di eksekutif yang melaksanakan fungsi administratif 
semata-mata untuk “melaksanakan rekomendasi” pengadilan dan bukan pengadilan yang memerintakan eksekutif ini .
Tentu saja sistem ini memperoleh tempat yang tidak bagus 
dalam masa kolonial di negara kita . Sebelum abad ke-19, tidak ada konsep bernegara mengenai fungsi pengadilan dan fungsi pemerintahan 
lainnya. Tidak ada spesialisasi fungsi, sebab para hakim juga anggota “Raad van Indie”581 yang turut memerintah dan akibatnya, mudah mendekatkan diri dengan kepentingan eksekutif. Kenyataan ini mudah 
dicela, termasuk dari kalangan internal Belanda sendiri sebagaimana 
terkonfirmasi dalam Laporan Nederburg (1803).582 Para hakim sering 
mengandalkan otoritas rangkap politik dan yudisial mereka untuk 
memperturutkan dorongan-dorongan mereka sendiri yang menimbulkan sikap abai yang parah. Sering dijumpai di antara mereka orang dengan kemampuan administratif pengadilan seadanya sehingga membelokkan prosedur-prosedur penting dalam pemeriksaan perkara dan 
menjadi sulit untuk diperbaiki di tingkat banding oleh hakim yang paling cakap sekalipun. Para hakim agung Hooggerechtshof di masa kolonial dicap sebagai hakim yang bodoh dan cuma mendatangkan sedikit 
kepercayaan sehingga semua pembaruan hanya akan berakhir sia-sia, 
kecuali bila  dibentuk pengadilan yang sama sekali baru. 
Campur tangan langsung Gubernur Jenderal dalam urusan pengadilan berlangsung tak terkendali. Padahal larangan intervensi pemerintah terhadap pengadilan telah ditetapkan sejak 1650. Pemerintah 
wajib melaksanakan putusan Raad van Justitie Batavia dan dilarang 
memberikan amnesti kepada narapidana kecuali untuk tindak pidana 
yang diancam dengan pidana mati. Pemerintah juga dilarang menghalang-halangi jaksa dalam melaksanakan fungsinya. Akan tetapi,  20
tahun kemudian, pemerintah mulai mendorong pengadilan untuk 
memberikan laporan kepada Pemerintah. Intervensi itu pertama kali 
berlangsung dalam tahun 1699 dan atas dasar peraturan 1650 ini , 
para hakim mencoba untuk melawannya. Tetapi akhirnya, pengadilan 
tidak bisa memberikan prioritas kepatuhannya sendiri, apakah kepada perintah eksekutif atau peraturan yudisial, sehingga mereka menyerah 
dan kemudian mengabaikan peraturan tahun 1650 ini .
Sebuah peraturan 9 Februari 1798 meniupkan semangat reformasi pengadilan, yang melarang semua bentuk intervensi eksekutif atas 
proses peradilan. Rangkap jabatan dilarang dan hakim kemudian memilih menjadi aparat pemerintah. Akibatnya, sejak itu pengadilan kekurangan personel dan bahkan Hoge Raad van Justitie hanya memiliki 
dua staf saja yang memiliki kecakapan di bidang hukum. Peraturan 
itu kemudian dikritik karena mengingat kondisi negara jajahan yang 
masih kekurangan personel yang memiliki keterampilan dalam bidang 
hukum, usaha reformasi itu tidak akan berjalan sebagaiman mestinya. 
Namun pada tahun 1854 diterbitkan paket reformasi peradilan 
melalui Reglement op het beleid van Regeering en het Justitiewezen in 
de Aziatische van de Bataafsche Republiek en van Handel op in dezelve 
Bezittingen—yang biasa dikenal sebagai RR. Kemudian RR diterbitkan 
kembali pada 1806, 1815, dan 1818. Dalam paket reformasi ini Mahkamah Agung yaitu  lembaga negara yang penting sekalipun tidak begitu 
independen. Peraturan-peraturan ini menekankan otonomi pengadilan yang antara lain mencakup larangan umum bagi pemerintah untuk 
melakukan intervensi dan larangan untuk memberikan pengampunan. 
Namun birokrasi colonial kemudian berperan besar dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan ini dan sejak 1830, ketentuan-ketentuan itu nyaris lumpuh. 
Gubernur Jenderal Deandels (1808-1811), yang mempunyai latar belakang sarjana hukum, bersedia untuk membenahi kedudukan 
Mahkamah Agung, memberikan gaji yang layak bagi para hakim, serta 
melarang para hakim untuk terlibat dalam bisnis. Tetapi kebijakan hanya mencakup hal itu dan tidak mencakup keseluruhan paket kebijakan reformasi hukum, mengingat Deandels menempatkan Mahkamah 
Agung tetap di bawah kendalinya. Bahkan Deandels tampaknya sengaja untuk menempatkan dirinya di puncak kekuasaan negara dan gemar 
menebitkan keputusan pemerintah untuk menekan pengadilan. Deandels mengizinkan Mahkamah Agung menggugat peraturan pemerintah kepada Raja, akan tetapi tetap harus mematuhi peraturan ini . 
Tradisi Deandels diteruskan hingga semua Gubernur Jenderal 
periode berikutnya dan sejak diberlakukan Sistem Tanam Paksa584, 
keinginan untuk melakukan reformasi pengadilan benar-benar telah 
lenyap. Sejak 1830 dan terus berlangsung hingga tahun 1846, Ketua 
Mahkamah Agung juga merangkap sebagai anggota Raad van Indie.
Dengan demikian, sekurang-kurangnya hingga paruh pertama abad 
ke-19, birokrasi benar-benar mengendalikan pengadilan.
Hanya sejak Konstitusi Belanda 1848 ditetapkan, maka usaha untuk melaksanakan doktrin pemisahan kekuasaan pelan-pelan mulai 
dirintis kembali lewat pembentukan Konstitusi Hindia Belanda 1854. 
Kedudukan Mahkamah Agung menjadi independen dan dibentuk Kementerian Kehakiman (1869) untuk mengelola administrasi pengadilan. Fungsi Mahkamah Agung menjadi semakin penting sejak pemberlakukan kodifikasi Napoleon di Hindia Belanda. Sebagai pengadilan 
kasasi, Mahkamah Agung harus memastikan keseragaman penerapan 
kitab-kitab hukum itu. Akibatnya, sejak akhir abad ke-19 beban Mahkamah Agung membengkak dan semakin tidak bisa mengelola tunggakan perkara. Kondisi ini berbeda dengan tahun 1848, di mana dengan kedudukan yang sama Mahkamah Agung sedikit sekali beban 
kerjanya mengingat tidak ada peraturan perundang-undangan yang 
harus ditegakkan. Antara tahun 1850-1867, perkara kasasi membengkak dari 2.900 menjadi 7.281 perkara. Bahkan pada tahun 1880, jumlah 
perkara pidana telah mencapai lebih dari 10 ribu perkara, sementara 
tunggakan perkara menumpuk sebanyak 2.000 perkara dan di antara 
9 hakim agung yang tersedia, 6 orang tidak aktif karena sakit. Tampak 
bahwa keberhasilan menempatkan independensi Mahkamah Agung justru diikuti dengan jatuhnya korban di antara personel pengadilan 
itu sendiri. Tetapi dalam masa ini, Mahkamah Agung menjadi cabang 
kekuasaan yang berwibawa. Bahkan hingga abad ke-20, independensi 
Mahkamah Agung Hindia Belanda tidak tergoyahkan.
2. Demokrasi Parlementer dan Politisasi Pengadilan (1950-1959)
Pasca proklamasi kemerdekaan, relasi pemerintah dan pengadilan 
yaitu  relasi yang penuh gejolak. Di zaman kolonial, para hakim dipandang sebagai abdi negara yang setia dan mereka sering berhadapan 
dengan para aktivis kemerdekaan. Memasuki tahun 1942, para hakim 
yaitu  minoritas dalam komposisi Landraad saat mengadili para aktivis politik. Dari 60 orang hakim di tahun itu, sebanyak 23 orang yaitu  
lulusan universitas, sementara lainnya yaitu  lulus Rechtsschool, sekolah pribumi produk politik etis. 
Saat Jepang menancapkan pengaruh kekuasaannya di negara kita , 
seluruh hakim tidak ada yang mengundurkan diri. Hanya 2 orang di 
antara 23 hakim lulusan universitas yang tidak tercatat dalam arsip Jepang sebagai “orang terkemuka di negara kita .”585 Jepang sendiri berhasil meyakinkan kalangan aktivis yang anti pengadilan dengan kalangan 
yang kompromistis terhadap sistem peradilan kolonial.
Beberapa hakim juga mulai menggeser pandangan politiknya di 
masa Jepang ini. Misalnya, Kusumah Atmadja, yang tidak memiliki 
pandangan sosial politik mengemuka, tiba-tiba tercatat sebagai komite 
politik di masa awal perang, seperti Panitia Adat dan Tata Negara (Dewan Sinyo) pada 1944-1945. Atmadja tampil bersama-sama dengan aktivis kemerdekaan seperti Soekarno dan Hatta. Bersama Djuanda dan 
Enokh, Kusumah Atmadja membentuk partai politik di Jawa Barat yang 
mendukung republik, yaitu Pagoejoeban Pasundan.
Sesudah proklamasi, Kusumah Atmadja menjadi Ketua Mahkamah Agung, akan tetapi hakim agung lain diangkat belakangan. Pada 
akhir tahun 1946, Noto Soebagio diangkat menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung, menyusul pengangkatan Tirtaatmadja sebagai hakim 
agung. Tidak ada catatan aktivitas penanangan perkara dalam periode 
ini , kecuali keterlibatan Atmadja dan para hakim agung dalam 
kepanitiaan tertentu yang dibentuk oleh pemerintah.586
Perkara pertama yang ditangani oleh Mahkamah Agung yaitu 
perkara Soedarsono (1946), suatu perkara yang timbul dari perkara 
kudeta atas kepemimpinan Perdana Menteri Sutan Syahrir.587 Kudeta 
itu gagal dan para pelakunya diadili. Beberapa terdakwa memiliki kedekatan dengan Soekarno dan sang proklamator tampaknya berusaha 
menekan agar pengadilan bersikap lunak dalam perkara itu. Atmadja 
menentang upaya itu dan mengancam akan mengundurkan diri jika 
Soekarno melanjutkan manuvernya.
Di masa awal demokrasi parlementer, status pengadilan menjadi 
perdebatan politik. Pada tahun 1951, Ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan tidak diberi 
tempat duduk yang sederajat dengan Presiden. Kusumah Atmadja kemudian menunjukkan kemarahan, sesuatu yang kemudian membuat 
Presiden Soekarno gundah.
Berbeda dengan pendahulunya, Wirjono Prodjodikoro yang menjadi Ketua Mahkamah Agung (1952-1966), tidak serta menunjukkan ketidaksukaan terhadap tata cara upacara yang terkesan mengesampingkan posisinya. Pada tahun 1959, saat mengikuti Soekarno mengadakan 
kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat, ia diperlakukan sama dengan anggota Parlemen. Sementara, Ketua Mahkamah Agung Amerika 
Serikat Earl Warren, duduk sejajar dengan Presiden Eisenhower dan 
Presiden Soekarno. Demikian pula kejadian tahun 1959, saat Mahkamah Agung sedang tahap memeriksa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani,588 Presiden Soekarno mengundang, baik Wirjono maupun Abdulgani dalam sebuah kesempatan sarapan pagi bersama. Kejadian ini 
dirasakan penghinaan pengadilan dan intervensi eksekutif terhadap 
kekuasaan kehakiman.
Pada tahun 1956—bersamaan dengan era penyusunan konstitusi 
baru—kalangan hakim mulai melobi DPR untuk memperbaiki pengadilan di negara kita . Lobi ini dilakukan lewat organisasi hakim, yaitu 
Ikatan Hakim negara kita  (Ikahi) yang didukung oleh Ketua Mahkamah 
Agung Wirjono Prodjodikoro. Sejumlah gagasan mengemuka seperti 
tuntutan pemisahan administrasi pengadilan dari Kementerian Ke-hakiman dan pengujian konstitusional (constitutional review). Usulan 
itu didukung DPR akan tetapi ditentang oleh pemerintah. Pada tahun 
1956-1957, ada  dukungan bagi DPR untuk memasukkan pengujian konstitusional dalam konstitusi.589 Sayangnya, sebelum diputuskan, 
Soekarno mengambilalih kendali politik dengan membubarkan DPR 
dan Konstituante dan meresmikan kembali berlakunya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Bahkan sejak pernyataan negara dalam keadaan darurat dan kemudian memungkinkan tentara mengendalikan negara, para hakim 
dalam tahun 1957 sering mendapatkan tekanan politik secara langsung. Ini secara khusus melibatkan tekanan militer ketika tentara berusaha menempatkan para perwira di pengadilan. Semua Wakil Ketua 
Pengadilan dijabat oleh perwira militer. Kementerian Kehakiman, yang 
selama ini menangani administrasi pengadilan, juga dikendalikan oleh 
Kementerian Pertahanan.
3. Demokrasi Terpimpin dan Kooptasi Politik Pengadilan (1959-
1966)
Sistem demokrasi terpimpin menghasilkan konfigurasi pemerintahan yang menempatkan Soekarno sebagai pengendali eksekutif 
penuh. Di hadapan MPRS Soekarno menyerukan pembekuan doktrin 
pemisahan kekuasaan sembari memberi status Menteri kepada Ketua 
Mahkamah Agung (1960). Konfigurasi ini dikukuhkan dalam UU No. 
19/1964 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13/1965 tentang 
Mahkamah Agung. Di samping mengizinkan Presiden “turun tangan” 
dalam proses peradilan, legislasi itu juga mendudukkan hakim sebagai 
“alat revolusi.”590
Pada tahun 1960, Mahkamah Agung memutus bersalah terhadap 
Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo karena korupsi, yang berarti 
menentang keinginan Presiden agar yang bersangkutan dibebaskan. 
Sebaliknya, dalam perkara Sosro, di mana Presiden menghendaki yang 
bersangkutan dipidana, pengadilan justru membebaskannya. Akibatnya pengadilan semakin mendapatkan serangan politik.
Dalam tahun yang sama, Mahkamah Agung dihadapkan kepada 
permintaan fatwa hukum dari Presiden Soekarno. Presiden mengi-nginkan pertimbangan dalam rangka membubarkan Masyumi dan 
PSI. Ketua Mahkamah Agung, yang mengetahui kemelut di antara para 
hakim agung, hanya mengatakan bahwa pembubaran bisa dibenarkan 
berdasarkan undang-undang keadaan bahaya. Presiden Soekarno kemudian dalam sebuah pidato peringatan kemerdekaan menegaskan 
bahwa Mahkamah Agung telah mengizinkan untuk menyingkirkan 
semua peraturan termasuk undang-undang dasar. Sekalipun tidak demikian faktanya, akan tetapi Mahkamah Agung sama sekali bungkam 
atas tindakan Presiden. Pada tahun 1961, Menteri Kehakiman Astrawinata dalam sebuah acara reuni Ikahi di Tretes, Malang, menyampaikan 
pidato berjudul “Peradilan Terpimpin”, pertanda pengadilan menyokong penuh Demokrasi Terpimpin.
Pada Maret 1964, toga disingkirkan sebagai atribut resmi hakim 
dan sebagai gantinya mereka dipaksa untuk mengenakan seragam 
model militer yang juga dipakai oleh para pegawai negeri.591 Di tahun 
yang sama, pada September, Presiden Soekarno menyeru para hakim 
agar “melaksanakan kewajiban mereka sebagai hakim rakyat dan hakim revolusi.”592 Pada 11 Desember 1964, Soekarno mengingatkan para 
hakim akan berakhirnya doktrin pemisahan kekuasaan.593
Insiden campur tangan Pemerintah dalam manajemen personalia 
pengadilan semakin sering terjadi, walaupun tidak begitu massif seperti dalam tahun-tahun sebelumnya. Kementerian Kehakiman melakukan mutasi para hakim tanpa mengindahkan Mahkamah Agung. Ketua 
Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro memerintahkan agar para 
hakim dalam menjatuhkan pidana “terlebih dahulu bermusyawarah 
dengan jaksa untuk menghindari disparitas putusan.”594
4. Orde Baru dan Kekuasaan Kehakiman (1966-1998)
Para hakim dengan cepat menanggapi perubahan-perubahan politik dan ideologi menyusul kudeta gagal 1965 dan kejadian berikutnya 
yang menghancurkan kemanusiaan. Sembari mengesampingkan pengaruh Soekarno, mereka membalas tindakan demokrasi terpimpin 
dengan mendukung secara gigih Orde Baru dan mengutuk Orde Lama. 
Para hakim membuang seragam bergaya militer dan mengenakan kembali toga yang tampak khitmad. 
Hampir serentak, pemuka-pemuka Ikahi di pusat dan daerah merumuskan asas-asas negara hukum dan menekankan kepada kekuasaan badan kehakiman, keadilan procedural, dan legalitas. Sepanjang 
1966-1967, iklim politik tampak mendukung usaha itu, sebagian karena kecaman terhadap praktik penyalahgunaan wewenang pada rezim 
sebelumnya. Pada akhir November 1966, dalam konferensi para ketua 
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang diselenggarakan oleh 
Mahkamah Agung, telah diambil prakasa untuk mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi mengenai apa yang perlu diatur di dalam UU 
Kekuasaan Kehakiman yang baru. Di antara rekomendasi itu yaitu  
semangat untuk mengelola organisasi peradilan sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung dan terpisah dari Kementerian Kehakiman, di 
samping wewenang untuk pengujian UU terhadap UUD. Pada awal 
1967, pemerintah membentuk sebuah panitia yang terdiri dari unsur Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung guna menyusun 
rancangan UU Kekuasaan Kehakiman baru. Tetapi panitia kemudian 
mengalami konflik, mengingat usul para hakim ditolak sebagai materi 
legislasi baru oleh Kementerian Kehakiman.
Pada permulaan tahun 1968, Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji 
menyerahkan RUU Kekuasaan Kehakiman kepada DPR-GR, bersamasama dengan rancangan hukum baru mengenai Mahkamah Agung dan 
pengadilan negeri, akan tetapi hal terakhir ini tidak pernah dibahas.
Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi fokus perhatian dalam perdebatan pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman yang baru 
itu. Ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman 1964 dianggap sebagai gangguan simbolik bagi Orde Baru. Pembahasan isu ini memperuncing 
konflik argumentasi antara Ikahi dengan Kementerian Kehakiman, 
yang sama-sama berpijak kepada UUD 1945. Di luar itu, pendukung 
kemandirian kekuasaan kehakiman yaitu  advokat, yang saat itu berjumlah kira-kira 350-400 orang di seluruh negara kita , di mana separuhnya ada di Jakarta.595 Profesi advokat berkembang secara profesional 
sering dengan terjadinya perdagangan dan penanaman modal asing, 
dan saat itu, mereka aktif dalam jalur profesi dan politik dibandingkan 
masa-masa yang sama pada tahun 1950-an.596 Mereka umumnya ber-pandangan liberal dan berpegang erat kepada legalitas dan asas-asas 
negara hukum sembari menguatkan pandangan yang skeptis terhadap 
pemerintah. Bagaimanapun, dalam praktik demokrasi terpimpin, para 
advokad “yaitu kaum paria yang ada dalam genggaman penguasa sistem hukum.”597
Usulan kalangan hakim agar pengadilan diberi wewenang untuk 
melakukan pengujian norma hukum juga memicu perdebatan. Ikahi 
menghendaki agar pengadilan berwenang melakukan pengujian baik 
secara formil maupun materiil terhadap UU, produk legislatif, dan keputusan pemerintah. Usulan ini didukung oleh kelompok yang sama 
yang mendukung otonomi pengadilan.
Sebenarnya usulan itu bukan hal yang baru. Pada umumnya orang 
mengkaitkan historiografi pentingnya pengujian konstitusional sudah 
dirintis sebagai gagasan sejak sebelum kemerdekaan negara kita . Pada 
saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha 
Persiapan Kemerdekaan negara kita  (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. 
Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa MA perlu 
diberi kewenangan untuk “membanding” UU. Namun ide ini ditolak 
oleh Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum 
kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal 
ini.598
Di masa kolonial, para hakim diberi status sebagai bagian birokrasi pemerintah. Dengan posisi itu, mereka tidak pernah memberikan 
simpati terhadap aktivitas pergerakan nasional599 dan kadang-kadang 
mereka harus berhadapan langsung dengan pemuka aktivis yang diseret oleh pemerintah karena alasan subversif.600 Ketika pada 1930-an dan 1940-an, pergerakan kemerdekaan semakin meluas dan tindakan 
pemerintah semakin represif,601 akan tetapi tidak ada satu pun hakim 
negara kita  yang mengundurkan diri.602 Para hakim menikmati posisi 
kooptasi birokrasi kolonial, yang kelak pasca-revolusi membuat elite 
politik menjaga jarak dengan pengadilan.603 Sebelum abad ke-19, tidak 
ada satu pun konsepsi dasar mengenai pemisahan kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan lainnya. Ada suatu fungsi yang sedikit khusus, 
di mana hakim juga menjadi anggota dari Raad van Indie dan sebagai 
akibatnya, cenderung dekat dengan kepentingan pemerintah.604 Intervensi langsung eksekutif terhadap pengadilan menjadi semakin tidak 
terkendali, di mana Gubernur Jenderal acapkali memberikan perintah 
mengenai bagaimana suatu putusan hakim harus disusun, “which decision would then be read and pronounced with embarrassed faces.”605
Di dalam struktur birokrasi, Ikahi sama sekali tidak memiliki mitra, 
karena tiap-tiap departemen berusaha untuk mewaspadai adanya kemungkinan pelepasan fungsi-fungsi mereka. Kepolisian dan kejaksaan 
sangat menyadari keterkaitan mereka terhadap kekuasaan kehakiman, 
akan tetapi kekuasaan yang mandiri akan menyebabkan mereka terkungkung, sehingga simpati kedua badan ini diberikan kepada Kementerian Kehakiman.606
Dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta pada akhir November 1968, Ikahi mulai menyadari keharusan berkompromi. Ikahi menuntut 
lepasnya control eksekutif atas peradilan umum dan tata usaha negara, sembari membiarkan lingkungan peradilan lain tetap dikontrol oleh 
pemerintah. Menyadari bahwa Kementerian Kehakiman tampaknya tidak mau berkompromi soal administrasi pengadilan, Ikahi mengusulkan dibentuknya sebuah Direktorat Jenderal di lingkungan kementerian yang secara otonom menjalankan semua pekerjaan dan kebutuhan 
terkait pengadilan, termasuk personalia dan keuangan Mahkamah 
Agung. Agar tujuan-tujuan itu tercapai, Ikahi menghendaki jabatan 
Direktur Jenderal harus diambil dari hakim senior. Ketua Mahkamah 
Agung Subekti bukan hanya menerima usul itu, akan tetapi secara gigih 
menyebarluaskan gagasan membangun kekuasaan kehakiman yang 
merdeka kepada lembaga-lembaga negara yang lain.607 Seperti juga argumentasi Ikahi, Ketua Mahkamah Agung Subekti memandang formulasi itu sebagai manajemen masa transisi. Dari perspektif ini akan lahir 
suatu persekutuan alami antara pengadilan dan Direktur Jenderal yang 
berlatar belakang seorang hakim sehingga pasti akan mendekatkan 
pandangan-pandangannya kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, pada hakikatnya administrasi pengadilan tetap di bawah Mahkamah Agung dan pemisahan secara formal hanyalah persoalan waktu.608
Bahkan, dalam sebuah rapat kerja di Jakarta pada 1970, Ikahi secara 
yakin merumuskan bahwa masa transisi itu hanya akan berlangsung 
selama 5 tahun.609
Pada akhirnya, para hakim dan pendukungnya memang kalah. Legislasi baru yang kemudian disahkan menjadi UU No. 14/1970 hanya 
menghapus Pasal 19 UU No. 19/1964 (“kemungkinan Presiden turun 
tangan dalam proses peradilan”) dan mengatur kembali soal kemandirian kekuasaan kehakiman. Ketentuan UU ini akan mewujudkan 
otonomi pengadilan dengan memisahkan fungsi-fungsi pemerintah, 
bukan menyeimbangkannya. Di dalam UU ini ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan kekuasaan 
negara lain dan bebas dari tekanan, perintah, dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstrayudisial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.610 Di samping itu, pemerintah akan mempertahankan kontrolnya atas administrasi peradilan.611 Dalam hal ini, 
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah 
Kementerian Kehakiman, sementara Peradilan Agama di bawah Kementerian Agama, dan Peradilan Militer berada di bawah Kementerian 
Pertahanan dan Keamanan. Sekalipun dikecam, tampaknya minoritas 
DPR mendukung formulasi ini dengan pandangan-pandangan yang 
ideologis politik.612
Gagasan pengujian norma hukum di dalam UU No. 14/1970 diterima dalam rumusan yang sangat kompromistis dalam Pasal 26. Mahkamah Agung tidak diberi peran sebagai pelindung konstitusi. Kekuasaan 
menguji tidak menjangkau UU atau peraturan pelaksanaannya, akan 
tetapi dibatasi oleh Pasal 26 ayat (1) untuk menentukan apakah peraturan dan keputusan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Malahan di sini pun kekuasaan 
Mahkamah Agung diperkecil lagi sampai proporsi yang sangat kurang 
berarti. 
Tekad pemerintah untuk melaksanakan control terhadap pengadilan semakin kuat. Dalam sambutan di Musyawarah Nasional Ikahi 
di Medan tahun 1971, Presiden Soeharto mengatakan bahwa pengadilan tidak perlu mengurusi persoalan administrasi dan karena itu, maka 
urusan seperti itu akan diselesaikan oleh Kementerian Kehakiman. Daniel S. Lev mempunyai keyakinan kuat bahwa sambutan Presiden itu 
ditulis oleh Menteri Kehakiman Seno Adji yang sudah sejak tahun 1968 
menolak pengelolaan administrasi peradilan oleh kalangan kehakiman 
dengan alasan tidak akan dilaksanakannya sistem pemisahan kekuasaan yang ekstrem.
5. Penerapan Sistem Peradilan Satu Atap (1999-sekarang)
Istilah “satu atap” di sini mempunyai makna penerapan manajemen peradilan di mana seluruh aspek peradilan, termasuk keuangan, personalia, dan pengawasan berada di bawah kendali Mahkamah 
Agung. Pemikiran ini tidak lepas dari bergulirnya reformasi pada Mei 
1998 yang melahirkan “supremasi hukum” dan Rule of Law.
 bila  
lembaga eksekutif menangani manajemen peradilan mengakibatkan 
beban peradilan tidak berdiri independen, terpengaruh dari kekuasaan eksekutif.615
Pada tahun 1996, pertemuan Ikahi di Ujung Pandang telah menghasilkan memorandum mengenai soal-soal yang berhubungan dengan 
perbaikan terhadap kedudukan kekuasaan kehakiman sesuai dengan 
UUD 1945.616 Pertemuan itu juga merekomendasikan untuk mencabut 
atau setidak-tidaknya meninjau kembali ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Kemudian Musyawarah Nasional Ikahi di Semarang pada tahun 1997 merekomendasikan pula hal yang sama.617
Dalam situasi reformasi, MPR menggelar Sidang Istimewa pada 
November 1998, yang antara lain menghasilkan Ketetapan MPR No. 
X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam 
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai 
Halauan Negara. Dalam pokok bab penanggulangan krisis di bidang 
hukum dan pelaksanaan reformasi hukum, Ketetapan ini antara lain 
mengatakan bahwa untuk mencegah campur tangan atau intervensi 
dari pihak luar esktra yudisial terhadap urusan teknis yudisial maupun 
nonteknis yudisial agar peradilan lebih mandiri, bebas, dan merdeka 
sebagaimana amanat konstitusi, maka diperlukan undang-undang 
yang pada prinsipnya melarang campur tangan dan intervensi pihak 
luar, termasuk pemerintah.
Ketentuan UU No. 14/1970 akhirnya dapat diubah dengan UU No. 35/1999, khususnya menyangkut ketentuan dualisme peradilan dalam 
Pasal 11. Ketentuan inilah yang menjadi inti dari sistem peradilan satu 
atap yang selama ini telah mengakibatkan ketidakjelasan pembinaan 
di kalangan profesi hakim sekaligus yaitu produk hukum yang 
diadakan dengan maksud untuk mengooptasi ini diterapkan dalam rangka menjinakkan peradilan.618 penyerahan pengadilan dalam 
pembinaan satu atap di Mahkamah Agung itu harus dilaksanakan dalam 5 tahun berikutnya.
Pada tahun akhir tahun 2003, telah berhasil dibahas dan diselesaikan oleh DPR perubahan UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985. Kemudian sejak 15 Januari 2004, telah diundangkan UU No. 4/2004 tentang 
Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU 
No. 14/1985. Selanjutnya, pada tahun 2004 itu juga telah diundangkan 
paket perubahan UU peradilan, yaitu UU No. 8/2004 tentang Perubahan UU No. 2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 9/2004 tentang 
Perubahan UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan 
atas usul inisiatif DPR, maka UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama 
telah berhasil diubah dengan UU No. 3/2006. 
Sayangnya, Peradilan Militer belum tersentuh perubahan ini . 
Dalam gelombang reformasi sektor peradilan, Menteri Pertahanan dan 
Keamanan/Panglima ABRI Wiranto saat itu memang sempat mengajukan keberatan bila  Peradilan Militer juga dipisahkan pengelolaannya dari eksekutif. Namun dengan UU No. 35/1999, akhirnya tidak ada 
pengecualian, karena semua lingkungan peradilan di bawah pembinaan Mahkamah Agung. Adanya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 
tentang Peran TNI/Polri tampaknya belum mendorong pembentukan 
legislasi baru dalam Peradilan Militer. Oleh sebab itu, hingga kini yang 
berlaku yaitu  UU No. 19/1997 tentang Peradilan Militer.
Pada dasarnya UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan Perubahan UUD 1945, namun substansinya belum 
mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan 
kehakiman yang yaitu kekuasaan yang merdeka yang dilakukan 
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di 
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan 
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain pengaturan secara komprehensif, UU No. 48/2009, juga untuk memenuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 005/PUU/2006 
yang salah satu amarnya telah membatalkan Pasal 34 UU No. 4/2004 
tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan Mahkamah Konstitusi ini  juga telah membatalkan ketentuan yang terkait dengan pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dengan perubahan ini, maka ketentuan yang mengatur 
mengenai Peradilan Umum (UU No. 49/2009), Peradilan Tata Usaha 
Negara (UU No. 51/2009), dan Peradilan Agama (UU No. 50/2009) juga 
mengalami perubahan.

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Kekuasaan kehakiman 
yaitu kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Kekuasaan kehakiman 
ini dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 
Norma konstitusi ini menegaskan dan memberi jaminan konstitusional kemerdekaan pelaku kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melekat baik pada lembaga peradilan 
sebagai institusi maupun pada hakim, termasuk hakim agung dan hakim konstitusi sebagai individu-individu yang menjalankan kekuasaan 
kehakiman.
Salah satu cara untuk menjamin independensi lembaga peradilan maupun hakim, UUD 1945 mengatur sedemikian rupa proses dan 
mekanisme pengisian jabatan hakim agung, yaitu dengan menyerahkan pengusulan calon hakim agung kepada suatu organ konstitusional 
yang independen, yaitu KY yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Latar belakang pemberian kewenangan pengusulan calon hakim agung 
kepada KY, tidak terlepas dari pengalaman pengangkatan hakim agung 
sebelum perubahan UUD 1945 berdasarkan UU No. 14/1985 yang menentukan bahwa hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala 
Negara dari calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masingmasing dua calon untuk satu posisi hakim agung. Mekanisme ini dianggap tidak memberi jaminan independensi kepada hakim agung, 
karena penentuan hakim agung akan sangat ditentukan oleh Presiden 
dan usul DPR yang kedua-duanya yaitu  lembaga politik. Perubahan UUD 1945 dimaksudkan, antara lain, memberikan jaminan independensi yang lebih kuat kepada hakim agung, dengan menentukan 
mekanisme pengusulan hakim agung yang dilakukan oleh suatu lembaga negara yang independen pula, sehingga pengaruh politik dalam 
proses penentuan hakim agung dapat diminimalisasi. Dalam hal ini, 
UUD menghendaki adanya peran minimal kekuatan politik dari lembaga politik untuk menentukan hakim agung, agar hakim agung benarbenar independen.
Perubahan UUD 1945 telah menetapkan suatu sistem bagi akuntabilitas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman melalui lembaga 
Komisi Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas 
mengatur keberadaan Komisi Yudisial yaitu  lembaga negara yang 
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim 
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. bila  dilihat dari wewenang Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B 
ayat (1) UUD 1945, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini ada dua 
persoalan mendasar yang mengakibatkan kekuasaan kehakiman yang 
merdeka tidak terealisasikan dengan baik, yaitu buruknya perekrutan 
hakim agung dan kurang atau tidak efektifnya lembaga yang mempunyai tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.619
Dalam hal rekrutmen hakim, meskipun konstitusi hanya memberikan kewenangan terhadap Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi 
hakim agung saja, namun berdasarkan ketentuan tiga undang-undang 
bidang peradilan tahun 2009, Komisi Yudisial juga diberikan wewenang yang lebih luas lagi, yaitu Komisi Yudisial bersama Mahkamah 
Agung memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi pengangkatan 
hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan 
Tata Usaha Negara. Hal itu dijelasakan dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 
49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum menyebutkan, “Proses seleksi 
pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian pada ayat (3) menye-butkan, “ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama 
oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Selain itu, tertuang juga 
dalam Pasal 13A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan 
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian ayat 
(3), “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”. Ketentuan yang sama juga ada  
dalam Pasal 14A ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN, “Proses 
seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan 
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, kemudian ayat 
(3), “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama 
oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”
Berdasarkan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009 telah memberikan perluasan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk 
melakukan rekrutmen hakim (baik di lingkungan peradilan umum, 
peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama). Maka menjadi kewajiban bagi Komisi Yudisial untuk melaksanakan kewenangan 
itu dengan sebaik-baiknya. Dalam rangka melaksanakan proses seleksi hakim, maka dibutuhkan sebuah sistem rekrutmen yang baik guna 
menghasilkan para hakim yang mempunyai kriteria-kriteria ideal, misalnya kepribadian yang tidak tercela, adil, berintegritas, profesional, 
dan berpengalaman di bidang hukum. Baik tidaknya seorang hakim 
salah satunya yaitu  ditentukan oleh sistem rekrutmen. Rekrutmen 
menjadi pintu pertama untuk mengetahui kualitas dan integritas hakim yang nantinya akan melaksanakan tugas kehakiman yaitu menegakkan hukum dan keadilan.
Sistem rekrutmen hakim di negara kita  banyak dipengaruhi oleh sistem rekrutmen di negara-negara Eropa kontinental (civil law system), 
dalam sistem ini, calon hakim diambil dari sarjana hukum (freshgraduate). Sistem demikian berbeda dengan sistem yang ada di negaranegara Anglo-Saxon (common law system), di mana hakim direkrut dari 
sarjana hukum yang sudah berpengalaman.620
Di Amerika Serikat, rekrutmen calon hakim dilakukan secara terbuka. Dikenal empat bentuk sistem rekrutmen, pertama, Partisan elec-tion system, hakim yang dipilih harus mendapat dukungan dari partai 
politik, proses pemilihan ini dilakukan mulai tahap pertama, yaitu konvensi, kemudian masuk dalam tahap pemilihan umum antar nominasi. 
Sistem ini diterapkan di 13 negara bagian. Kedua, Nonpartisan election 
system, dalam sistem ini partai politik tidak terlalu berpengaruh, para 
kandidat mengikuti tahapan pemilihan sendiri. Sistem ini diterapkan 
di 16 negara bagian. Ketiga, Gubernatorial appointment system, dalam 
sistem ini kedekatan antara calon dengan partai politik masih ada, tetapi loyalitas, kontribusi dan dedikasi calon yang menjadi penentu. Sistem ini diterapkan di delapan negara bagian. Keempat, Merit selection 
system, sistem ini di bawah komisi khusus gabungan antara partai politik dan masyarakat yang memilih beberapa daftar nama calon untuk 
diajukan ke pemerintah negara bagian untuk dipilih dan ditetapkan.621
Kemudian di Jepang, proses rekrutmen hakim di Jepang secara formal ditunjuk oleh Perdana Menteri dan kabinet. Namun dalam praktiknya, rekrutmen hakim di semua tingkatan peradilan dilakukan oleh 
dan atas rekomendasi Chief of Justice (Ketua Mahkamah Agung) dan 
Sekretaris Jenderal Legal Training and Research Institute. Setiap tahunnya lulusan dari fakultas hukum ternama di Jepang mengikuti ujian 
nasional untuk menjadi hakim. Bentuk ujiannya yaitu  soal pilihan 
ganda dan wawancara. Peserta yang lulus ujian selanjutnya mengikuti 
pelatihan pada Legal Training and Research Institute di bawah bimbingan Ketua Mahkamah Agung dan Sekretaris Jenderal lembaga ini  selama 2 tahun yang per 4 bulan melakukan tour of duty di empat 
tempat. Pertama ditempatkan di kantor pengacara, sesudah  itu di kantor kejaksaan selanjutnya di pengadilan pidana dan pengadilan perdata masing-masing selama 4 bulan. Sebelum lulus dari pelatihan ini , para peserta boleh mengajukan lamaran untuk jabatan hakim. 
Selanjutnya barulah seseorang menempuh kariernya sebagai hakim 
yang dimulai dengan magang sebagai asisten hakim selama 10 tahun. 
Namun dalam kenyataannya sesudah  5 tahun magang sebagai asisten 
hakim, mereka dapat menjadi anggota pada majelis hakim di distric 
court atau memimpin sidang dalam family court atau sumarry court 
yang menggunakan hakim tunggal (junus judex). sesudah  10 tahun magang, mereka akan diangkat kembali sebagai hakim penuh pada distric 
court Pertama ditempatkan di kantor pengacara, sesudah  itu di kantor kejaksaan selanjutnya di pengadilan pidana dan pengadilan perdata 
masing-masing selama 4 bulan. Sebelum lulus dari pelatihan ini , 
para peserta boleh mengajukan lamaran untuk jabatan hakim. Selanjutnya barulah seseorang menempuh kariernya sebagai hakim yang dimulai dengan magang sebagai asisten hakim selama 10 tahun. Namun 
dalam kenyataannya sesudah  5 tahun magang sebagai asisten hakim, 
mereka dapat menjadi anggota pada majelis hakim di distric court atau 
memimpin sidang dalam family court atau sumarry court yang menggunakan hakim tunggal (junus judex). sesudah  10 tahun magang, mereka akan diangkat kembali sebagai hakim penuh pada distric court.

Adapun di Turki, proses seleksi calon hakim dilaksanakan melalui lulusan sekolah hukum. Calon hakim juga diharuskan lulus ujian 
calon hakim dan jaksa yang diselenggarakan oleh Kementerian Kehakiman Turki. Selama dua tahun sebagai calon hakim mereka mengikuti 
pendidikan dan latihan di Akademi Kehakiman Turki. sesudah  itu bagi 
calon hakim yang dinilai layak berdasarkan hasil seleksi, barulah ia diangkat sebagai hakim oleh The High Council of Judges and Prosecutors 
(HCJP).
Hakim bukan saja harus jujur dan berintegritas tinggi, namun harus menguasai hukum secara sempurna. Itulah sebabnya maka pendidikan pembentukan hakim dan jaksa di beberapa negara dilakukan 
secara terpadu dan lebih lama. Calon-calon hakim, jaksa, dan advokat 
harus melalui tes yang ketat tentang pengetahuan hukum, kesehatan 
badan dan jiwa. Pendidikan jaksa dan hakim di Nederland berlangsung 
enam tahun sesudah sarjana sedangkan di Jepang 2 tahun dan terpadu antara calon hakim, jaksa dan advokat, sehingga diperoleh kesatuan penafsiran hukum. Sistem rekrutmen dan pendidikan hakim, jaksa, 
dan advokat yang terpisah tidak menguntungkan sistem Peradilan pidana terpadu.624
Masaki Abe dalam artikelnya, “The Internal Control of a Bureaucratic Judiciay: The Case of Japan”, menerangkan mengenai restorasi 
Jepang pada abad ke-19. Menurutnya Jepang “memilih” untuk menerapkan sistem hukum Eropa Kontinental. Tujuannya untuk meng-hilangkan sistem hukum tradisional Jepang yang feodal, yang sangat 
Perancis. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II mengubah hukum 
Jepang menjadi lebih “Amerika”. W.G. Beasley menjelaskan bahwa hukum Jepang yaitu perpaduan dua sistem hukum yang berbeda: 
Eropa Kontinental dan Anglo Amerika. Perubahan itu memengaruhi 
konsep kekuasaan kehakiman Jepang menjadi berpuncak di Mahkamah Agung. Selengkapnya Beasley menjelaskan bahwa contoh Amerika diikuti dalam pemisahan kekuasaan kehakiman dari eksekutif. Lalu, 
pengawasan administratif dari sistem hukum dipindahkan dari yang 
semula di Kementerian Hukum kepada Mahkamah Agung yang baru. 
Hakim Agung di Jepang yaitu jabatan yang ditentukan dari prestasi hakim. Hakim agung di MA berjumlah 15 orang yang pengawasannya dilakukan Sekretariat Jenderal. Para Hakim Agung dipilih dari 
kalangan hakim di pengadilan tingkat bawah, kemudian dari kalangan 
jaksa, lalu dari kalangan birokrat pemerintah, dan dari kalangan praktisi. Mereka diangkat pada umur 60 tahun dan menjabat di MA hanya 
beberapa tahun. Konstitusi menyatakan bahwa Ketua MA secara ritual diangkat oleh Kaisar berdasarkan rekomendasi Kabinet dan Hakim 
Agung lainnya dipilih oleh Kabinet (Pasal 6 dan Pasal 79 Konstitusi Jepang). Namun demikian, dalam kenyataannya, Sekretariat Kabinet secara mendalam terlibat dalam proses pemilihan. Dalam banyak kasus, 
Kabinet memilih kandidat yang direkomendasikan Sekretariat Kabinet.
Contoh yang menarik yaitu  Irak. Syarat seorang hakim yaitu  
sebagai berikut: (1) lulus sarjana hukum dari sekolah hukum yang “terdaftar”; (2) lulus dari Institut Kehakiman (judicial institute) di Baghdad 
berupa pelatihan selama dua tahun; (3) Tiga tahun pengalaman dalam 
praktik hukum, baik sebagai advokat atau petugas peradilan yang telah 
terdaftar di judicial institute. Selain itu ada  syarat alternatif, yaitu: 
telah berpengalaman selama 10 tahun dalam bidang hukum meskipun 
di bawah umur 45 tahun dapat pula mencalonkan diri menjadi hakim. 
Di negara ini, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC, Dewan Yudisial Tertinggi). HJC bertugas menominasikan 
kandidat hakim untuk kemudian dilantik oleh lembaga politik yang 
telah ditentukan. Jumlah hakim yang akan diseleksi oleh HJC berdasarkan kebutuhan dari pengadilan, baik berdasarkan permintaan dari 
Ketua Pengadilan maupun dugaan kebutuhan pengadilan oleh HJC itu 
sendiri. HJC akan bergerak bila  anggaran seleksi hakim telah disetujui oleh parlemen. Pemenuhan kebutuhan hakim berkaitan dengankondisi ekonomi pada saat itu. Dalam hal ini HJC, selain berwenang 
menyeleksi juga memiliki kewenangan untuk memindahkan hakim ke 
peradilan-peradilan yang mereka tentukan.
Sementara di negara kita , proses seleksi hakim yang dilaksanakan 
di negara kita  berbeda dengan dengan di Amerika, Jepang, dan Turki. 
Berdasarkan tiga undang-undang bidang peradilan tahun 2009 lembaga yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan rekrutmen hakim 
(baik di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun peradilan agama) yaitu  Komisi Yudisial bersama Mahkamah 
Agung. Kehadiran Komisi Yudisial disini menjadi sangat penting, karena yaitu instrumen untuk menjauhkan proses rekrutmen hakim dari kepentingan-kepentingan politik yang sering kali terjadi. Oleh 
karena itu, dalam melaksanakan kewenangan ini kemudian dirumuskan suatu peraturan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang tata cara seleksi hakim.

1. Sejarah Pengaturan Rekrutmen Hakim Agung
Sebelum berlakunya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah 
Agung, pengangkatan hakim agung dilakukan dengan sangat sederhana. Cukup diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada presiden 
dan presiden mengeluarkan surat keputusannya. Pengusulan Mahkamah Agung didasarkan pada pantauannya selama ini berdasarkan 
rekam jejak hakim yang bersangkutan, baik dari segi teknis maupun 
integritas.
Pada umumnya yang diangkat yaitu  ketua pengadilan tinggi. Kalau seorang hakim telah menduduki jabatan ketua pengadilan tinggi di 
Medan, Makassar,