Home » peradilan di indonesia 9 » peradilan di indonesia 9
Rabu, 13 September 2023
Salah satu kunci yang diperlukan untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu mewujudkan cita-cita keadilan itu terletak pada
persoalan kualitas kelembagaan hukum dan peradilan yang memerlukan perhatian serius sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman
pasca-modern sekarang ini. Dari segi historis, pengadilan sering
yaitu sakah satu di antara lembaga yang paling dini menarik
perhatian orang-orang yang menginginkan terciptanya kesatuan
nasional. Orang yang menganut pandangan Marx dan Weber cenderung mengemukakan bahwa sebab musababnya pada pokoknya
yaitu ekonomi. Akan tetapi, sementara keuntungan ekonomi tidak
diragukan lagi mengalir dari pengadilan yang diatur secara sentral,
petunjuk adanya ilham penyatuan pengadilan yang berasal dari ekonomi cenderung bersifat tidak langsung dan terlalu abstrak.650 Tidak banyak bukti bahwa bila pemimpin politik memutuskan untuk
memperluas kekuasaan pengadilan raja atau negara, mereka memi- kirkan keteraturan, kepastian, dan pengawasan ekonomi. Lembagalembaga administrasi lainnya lebih baik dibandingkan pengadilan untuk semacam itu. Hal yang lebih mengesankan tentang pengadilan
yaitu bahwa organ ini yaitu lambang kekuasaan, pemelihara
perdamaian, dan pemberi keadilan yang dikenal oleh semua orang.
Salah satu isu yang mengemuka di negara kita soal pengadilan ini
yaitu berhubungan dengan masalah manajemen kelembagaan dan
ini terkait dengan perkembangan struktur sosial baru usai revolusi. Pada awalnya ada serangkaian reaksi terhadap tertib kolonial
yang bersifat memecah belah, yang mewujud dalam bentuk organisasi hukum kolonial, yang dalam organisasi ini kemajemukan
mengandung diskriminasi yang menyakitkan antara golongan Eropa
“yang maju” dan golongan pribumi “yang terbelakang.” Selain itu,
para pemimpin politik dan kaum terpelajar yang berhaluan nasionalis
mencita-citakan kesatuan nasional dan modernisasi yang untuk mewujudkannya maka unifikasi hukum hampir dipandang secara universal sebagai langkah niscaya yang harus ditempuh.
Dalam konteks ini, unifikasi pengadilan lalu menjadi masuk akal
sebagai kebutuhan yang paling mendesak. Begitu disatukan, pengadilan nasional akan diilhami oleh dorongan-dorongan yang menempatkannya di peringkat pertama akan kesatuan nasional. Dorongan untuk
meraih kesatuan sebagian tergantung dalam upaya mencari sumbersumber politik, yang di negara baru lazimnya tersebar luas. Di balik
ketegangan, unifikasi pengadilan ataupun unifikasi administrasi pada
umumnya ada perebutan pengaruh antara elite nasional baru dan
elite lokal yang lebih tua. negara kita mengalami ketegangan semacam
itu pada pasca-revolusi, yang bisa diringkas dalam skenario peninjauan ulang keberadaan pengadilan adat dan percobaan penerapan hukum Barat dalam satu kesatuan sistem yudisial.
Namun dewasa ini, fenomena struktural menunjukkan kesatuan
peradilan menjadi sesuatu yang terkoyak-koyak. Di samping makin
besar tuntutan menghidupkan kembali tradisi dan peradilan informal
sebagai alternatif akses terhadap peradilan dengan otonomi daerah
yang diakui oleh UUD 1945, juga semakin cepatnya macam jenis peradilan khusus, dan bahkan penyelesaian sengketa lewat badan-badan administrasi yang bersalin rupa menjadi “peradilan semu.” Struktur
peradilan di negara kita dewasa ini makin membutuhkan penataan,
termasuk di dalamnya keperluan untuk melakukan konsolidasi yang
sistematis dan terpola dengan baik terhadap keberadaan pelbagai bentuk peradilan khusus653 dan peradilan semu atau lembaga-lembaga
quasi peradilan yang tumbuh dan berkembang sangat cepat, meskipun kadang-kadang tanpa didahului oleh desain perencanaan yang
benar-benar matang.
Untuk menentukan apakah kita berhadapan dengan suatu peradilan semu dalam hukum administrasi ataukah peradilan administrasi yang sesungguhnya (murni), haruslah kita meninjaunya dari dua
rangkaian unsur-unsur atau kriterium, yaitu: kriterium formal organik
dan kriterium materiil. Kriterium formal-organik yaitu bilamana badan pemutus beserta anggotanya itu termasuk kekuasaan yang bebas/
independen terhadap Pemerintah ataukah tidak. Kriterium materiil
meninjaunya dari segi tugas pokoknya yaitu memeriksa dan memutus
persengketaan dan menetapkan hukumnya.
Suatu peradilan semu hanyalah memenuhi kriterium materiil saja,
sedangkan kriterium formal-organik menunjukkan bahwa ia bukanlah termasuk kekuasaan yang bebas/independen terhadap Pemerintah, bahkan ia yaitu bagian dari struktur organisasi badan pemerintah. Suatu peradilan murni yaitu bilamana memenuhi kedua
unsur atau kriterium ini . Jumlah peradilan semu di negara kita
pada waktu ini tidaklah banyak, dan contoh yang jelas yaitu Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P) ataupun tingkat Daerah (P4D). Baik P4P maupun P4D yaitu organ
yang termasuk dalam struktur organisasi Depar temen Tenaga Kerja,
tetapi tugasnya maupun prosedur yang ditempuhnya di dalam bekerja
yaitu ciri-ciri dari suatu tugas di bidang peradilan. Contoh lainnya
yaitu Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang menyelesaikan
masalah piutang negara yang macet penagihannya. PUPN ini secara
formal-organisatoris termasuk Departemen Keuangan. Selain itu, dahulu sebelum tahun 1981, Panitya Urusan Perumahan juga yaitu peradilan semu di bidang sewa-menyewa yang menyangkut Surat Izin Penempatan Rumah, dan secara formal-organisatoris termasuk
struktur pemerintah daerah. Tetapi sejak tahun 1981 wewenang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa soal sewa-menyewa telah
dikembalikan kepada pengadilan negeri. Putusan-putusan dari peradilan semu ini masih dapat digugat di depan Peradilan Umum dengan
dasar gugatannya, yaitu “perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah” (onrechtmatige overheidsdaad, ex. Pasal 1365 KUH Perdata).
Di zaman sekarang, jenis dan rupa lembaga peradilan dalam praktik memang berkembang luas dan sangat beranekaragam. Ada lembaga atau badan peradilan khusus yang dikembangkan dalam lingkungan
peradilan umum, seperti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan
Perikanan, dan Pengadilan Niaga. Ada pula pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, seperti Pengadilan Pajak. Bahkan di bidang-bidang lainnya juga bertumbuhan ide-ide baru
untuk membentuk badan-badan peradilan yang khusus menangani
bidang-bidang pembangunan yang tersendiri dengan maksud yang
dapat dikatakan baik dan mulia untuk memberikan jaminan yang lebih
baik dalam upaya pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas.
Di samping badan-badan yang secara tegas disebut sebagai lembaga peradilan khusus, ada pula lembaga-lembaga baru yang dibentuk
dengan kewenangan yang bersifat semi atau quasi peradilan, seperti
misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Daerah (KIP dan KID), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan bahkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Memang belum semua orang
bersepakat untuk menganggap lembaga-lembaga seperti ini sebagai
lembaga semi-peradilan. Akan tetapi, dengan karakteristik tugas dan
fungsi serta kewenangannya yang bersifat mengadili, tidak dapat tidak
lembaga-lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi
Informasi Publik, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum ini di
atas harus dilihat sebagai lembaga yang bekerja dalam ranah dan harus
dilihat sebagai bagian dari sistem peradilan dalam arti yang luas.
Selain itu, beban tugas lembaga-lembaga pengadilan dalam pengertian konvensional dewasa ini dapat dikatakan mengalami perkembangan fungsional yang padat, sehingga muncul kesadaran mengenai
pentingnya melakukan penataan kembali fungsi-fungsi peradilan,
dengan memisahkan atau melakukan desentralisasi atau dekonsen-trasi dengan mengadakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
peradilan (out of court settlement). Dengan adanya mekanisme demikian, proses penyelesaian hukum tidak selalu diidealkan agar diselesaikan di dan melalui pengadilan (in-court settlement), tetapi dapat juga
diselesaikan melalui luar-pengadilan (out-of court settlement). Karena
itu, sistem hukum dan peradilan dianggap penting untuk dilengkapi
dengan prosedur mediasi, arbitrase, dan bahkan hakim perdamaian.
Sistem peradilan di negara kita sedang mengalami proses diferensiasi struktural, desentralisasi, dekonsentrasi, dan bahkan dekonstruksi
kelembagaan yang sangat meluas. Dinamika perkembangan struktural
demikian ini belum tentu dapat segera tertata dengan baik dan stabil
dalam waktu dekat, karena ide-ide baru tentang peradilan khusus terus saja berkembang di antara para pakar dan apalagi para pengamat
hukum melalui pelbagai media massa. Misalnya, dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kehutanan yang sekarang
masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, ide untuk membentuk
lembaga peradilan kehutanan juga dikembangkan meskipun masih
terus diperdebatkan. Elsa Syarief, seorang advokat, dalam disertasinya mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan.656
Bahkan, pertengahan tahun lalu, di Thailand mengemuka ide pembentukan pengadilan khusus turis. Pada pertengahan 2010, Ketua
Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa mengemukakan pendapat yang
menolak pembentukan pengadilan khusus terorisme.Peneliti LIPI Samsuddin Haris juga mengusulkan pembentukan
peradilan pemilu.658 Badan Narkotika Nasional (BNN) menggulirkan
isu untuk membentuk pengadilan khusus narkoba. Demikian juga
sehubungan dengan polemik pemidanaan terhadap dokter di Makassar, Ikatan Dokter negara kita (IDI) mewacanakan pengadilan khusus
bidang kesehatan.660 Sebelumnya, 13 Juli 2013, Komisi Nasional Perempuan dalam audiensi dengan Pimpinan Mahkamah Agung mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Perempuan dan Anak, terutama
sekali untuk mempertajam penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).661 Dari survei Setara Institute terhadap 200 ahli
tata negara, mengusulkan ide untuk membentuk pengadilan khusus
sengketa pemilu dan pilkada. Pada sebuah pernyataan yang dikutip
media 8 Januari 2014 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
membuka kemungkinan untuk mengusut dugaan kasus korupsi di tubuh institusi Tentara Nasional negara kita (TNI). Ada peradilan khusus
yang akan digunakan untuk mengadili terduga korupsi dari kalangan
TNI.
Kriminalisasi yang menimpa proyek bioremediasi PT Chevron Pacific negara kita (CPI) menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Bukan
tidak mungkin ke depan kejadian yang sama bakal terulang. negara kita
membutuhkan pengadilan khusus lingkungan guna menghindari hal
ini
Dalam sejarah peradilan di negara kita , istilah peradilan khusus dipahami sebagai antonim dari pengertian peradilan pada umumnya
yang berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum negara kita merdeka,
ketiga jenjang peradilan ini bermula dari badan-badan peradilan yang sudah eksis dalam sistem peradilan Hindia Belanda, yaitu
“Landraad” yang dijadikan Pengadilan Negeri, “Raad van Justitie” yang
menjadi Pengadilan Tinggi, dan “Hogeraad” yang dkembangkan menjadi Mahkamah Agung. Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya ini di atas disebut Pengadilan
Khusus, seperti Pengadilan Agama yang berasal dari “Priesterraad” dan
lain-lain.
Sesudah negara kita merdeka, muncul pula pemikiran untuk mengadopsi perkembangan pengertian tentang negara hukum (rechtsstaat)
di Eropa Barat yang mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara. Namun perkembangan ide pembentukan peradilan tata usaha negara ini di Eropah Barat memiliki sistemnya yang tersendiri, sehingga
di Austria, di Jerman dan bahkan di Perancis, misalnya, sistem peradilan tata usaha ini tidak berpuncak di Mahkamah Agung melainkan
memiliki mahkamah tertingginya sendiri. Pada pokoknya, Mahkamah
Agung Perancis atau “Cour d’Cassation” hanya menangani perkaraperkara pidana dan perdata, demikian pula Mahkamah Agung Austria
dan Jerman. Untuk menangani perkara-perkara tata usaha negara, di
Perancis diadakan Dewan Negara atau “Conseil d’Etat”, sedangkan di
Jerman dan Austria dibentuk Mahkamah Administrasi Negara “Verwaltungsgerichtshoft” yang tersendiri. Bahkan di Austria, untuk peradilan
konstitusi, pada tahun 1920 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi atau
“Verfassungsgerichtshoft” yang yaitu lembaga peradilan konstitusi pertama di dunia.2
Semua bentuk peradilan itu tidak dilihat sebagai
bentuk peradilan khusus, melainkan berkembang menjadi pengertian
lingkungan peradilan yang tersendiri. Semua jenis lembaga peradilan
ini , oleh Christian Van Vollenhoven dikelompokkan ke dalam
4 macam peradilan, yaitu (i) Peradilan Tata Negara (Staatsrechtelijke
Rechtspleging), (ii) Peradilan Tata Usaha Negara (Administratiefsrechtelijke Rechtspleging), (iii) Peradilan Pidana (Strafsrechtelijke Rechtspleging), dan (iv) Peradilan Perdata (Privaatesrechtelijke Rechtspleging).
Karena itu, sebenarnya, alasan untuk menyebut adanya istilah
peradilan khusus itu dalam sejarah, hanyalah karena sudah diterima-nya pengertian mengenai peradilan umum, sehingga karenanya, yang
lain dari peradilan umum itu harus disebut sebagai peradilan khusus.
Baru sesudah diterima ide pembentukan peradilan tata usaha perlu
dipahami satu pengertian lagi, yaitu peradilan tata usaha negara. Karena itu, pada mulanya—seperti tercermin dalam Penjelasan Pasal 7
ayat (1) UU No. 19/1964, dikenal adanya tiga jenis peradilan, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam UU No. 19/1964 ini, peradilan agama dianggap termasuk ke
dalam pengertian pengadilan khusus. Pengertian demikian ini dikoreksi pada masa Orde Baru sehingga dengan UU No. 14/1970, peradilan
agama itu dianggap yaitu lingkungan peradilan yang tersendiri
di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Selain pengertian pengadilan agama dan pengadilan militer yang
kemudian dikembangkan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri seperti dikemukakan ini di atas, dapat dikatakan bahwa pengadilan khusus pertama yang pernah dibentuk di negara kita yaitu
Pengadilan Ekonomi pada tahun 1955. Pengadilan Ekonomi dibentuk
berdasarkan UU Darurat No. 7 Tahun 1955 untuk mengadili perkara tindak pidana di bidang perekonomian. Kemudian dibentuk pula
Pengadilan Landreform untuk mengadili perkara-perkara pidana, perdata, dan tata-usaha negara yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan land-reform. Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian
peradilan umum.
Pada tahun 1964, dengan UU No. 19/1964 dibedakan adanya tiga
jenis peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kedua bentuk Pengadilan Ekonomi dan
Pengadilan Land-reform ini di atas termasuk ke dalam pengertian Peradilan Umum, sedangkan yang dimaksud dengan Peradilan
Khusus yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Sementara
itu, yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu peradilan sebagaimana disebut dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960
sebagai peradilan administratif. Di dalamnya tercakup juga pengertian
peradilan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No.
18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian
(LNRI 1961 No. 263; TLN No. 2312). Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara ini baru diperlakukan sebagai
lingkungan peradilan sendiri yang setara dengan peradilan umum de-ngan dicantumkannya ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan itu dalam UU No. 14 Tahun 1970. Dengan demikian, pengertian pengadilan khusus ditiadakan dan diganti dengan pengertian
lingkungan peradilan.
Namun sebelum dibentuknya UU No. 14/1970 ini, di masa awal
Orde Baru, meskipun bentuk-bentuk pengadilan khusus, seperti Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-reform663 ini di atas sudah
tidak ada lagi, tetapi ketika itu muncul kebutuhan yang dipandang
mendesak untuk membentuk pengadilan khusus untuk mengadili eks
anggota Partai Komunis negara kita beserta simpatisannya. Penyelenggaraan peradilan bersifat istimewa berdasarkan prinsip-prinsip hukum
militer yang bersifat sementara. Pengadilan khusus ini disebut Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Ketika itu, kedudukan Mahmilub
ini sangat penting dan kinerjanya sangat efektif dan progresif dalam
mengadili dan menghukum orang-orang yang dipandang terkait dengan PKI dan peristiwa G-30-S/PKI. Perkembangan demikian ini terus
berlangsung sampai kemudian dilakukan konsolidasi dan penataan
struktural terhadap sistem peradilan nasional pada tahun 1970 dengan
dibentuknya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Karena besarnya pengaruh sistem peradilan militer melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mulai tahun 1965, struktur peradilan militer itu dimuat dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman itu sebagai salah satu lingkungan peradilan yang
tersendiri, di samping peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, yang masing-masing dapat dikatakan mempunyai latar belakarang ide dan sejarahnya sendiri-sendiri. Seharusnya,
peradilan militer tidak perlu dimasukkan ke dalam rezim hukum peradilan biasa, karena fungsinya terkait dengan hukum keadaan darurat,
bukan hukum dalam keadaan normal. Dalam keadaan normal, peradilan militer itu seharusnya hanya dikaitkan dengan fungsi peradilan
disiplin internal prajurit dan perwira militer. Pengadilan Militer dapat
berfungsi, baik sebagai peradilan sipil maupun sebagai peradilan militer secara bersama-sama, hanya dalam kondisi negara dalam keadaan darurat perang atau keadaan darurat militer.
Karena itu, keberadaan pengadilan militer seharusnya hanya tidak
diperlakukan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri, melainkan
cukuplah dipandang sebagai salah satu bentuk pengadilan khusus, yaitu bersifat internal militer ketika kondisi negara berada dalam keadaan normal, dan bersifat eksternal dengan kemungkinan menjalankan
fungsi peradilan sipil manakala fungsi-fungsi peradilan sipil tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya berhubungan kondisi negara
berada dalam keadaan darurat perang atau darurat militer. Dengan demikian, keadilan tidak malah dicampur-adukkan antara kondisi negara
dalam keadaan normal dan keadaan tidak normal. “Normale recht voor
normale tijd, en abnormale recht voor abnormale tijd” (hukum yang
normal untuk keadaan norma, dan hukum yang tidak normal untuk
keadaan tidak normal).
Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan
hal itu ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai
masing-masing lingkungan peradilan. Dari 4 UU yang mengatur mengenai Badan Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum, sementara dalam 3 UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer sama sekali tidak menyebutkan satu kata
pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya menimbulkan satu pertanyaan,
apakah dalam ketiga Badan Peradilan ini dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan atau tidak. Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam 3 badan peradilan ini tampaknya
memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu memang belum
pernah ada pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan selain Peradilan Umum, 3 badan peradilan lainnya itu sendiri
sebenarnya secara inheren sudah dianggap yaitu pengkhususan dari Peradilan Umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil jika
dalam peradilan khusus ini diadakan pengkhususan lagi. Hal ini
bisa terlihat dari penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 ini .
Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini , satu hal yang perlu dicatat dari kedua UU ini dalam kedua UU ini terlihat bahwa
istilah Pengadilan Khusus belum dikenal. Istilah Pengadilan Khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4/2004 yang menggantikan
UU No. 14/1970. Dalam UU No. 4/2004 ini posisi Pengadilan Khusus
tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah
dimasukkan dalam bagian Batang Tubuh.664
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman
di atas tampaknya penegasan pengaturan Pengadilan Khusus dalam
bagian Batang Tubuh dilakukan karena pada saat dirumuskannya UU
No. 4/2004 ini Pengadilan Khusus yang sudah didirikan memang
sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelumnya dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang
ada atau pernah ada hanya 1 buah, yaitu Pengadilan Ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dalam pasal 9A UU No. 9/2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat
dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, pertama untuk dapat membuat Pengadilan Pajak yang pada awalnya berdasarkan UU didirikan sebagai
badan peradilan tersendiri menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN.
Kedua karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap
3 badan/lingkungan peradilan selain Peradilan Umum yang dahulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai
peradilan khusus.
Sayangnya, ketika reformasi, ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan menurut UU No. 14/1970 itu diadopsi begitu saja
dalam rangka Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Hal itu
dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Karena itu, resmilah struktur konstitusional kelembagaan peradilan
di negara kita terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
yang di dalamnya ada 4 lingkungan peradilan sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan pengaturan pada tingkat konstitusi ini tentu
timbul kesulitan untuk mengevaluasi secara menyeluruh mengenai
struktur dan pengertian lingkungan peradilan ini di atas.
Namun demikian, dengan struktur peradilan yang ada, kita dapat
mengonsolidasikan semua ide tentang lembaga peradilan yang bersifat
khusus secara pasti ke dalam salah satu lingkungan peradilan yang ditentukan oleh UUD 1945 itu. Semua bentuk dan jenis pengadilan khusus
harus dikembalikan hakikat keberadaannya dalam konteks lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, atau
peradilan militer. Tentu ada kesulitan ketika harus membahas mengenai bentuk kelembagaan yang bersifat quasi-peradilan atau peradilan
semu, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat (KIP), Komisi Penyiaran negara kita (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lain-lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini
termasuk ke dalam lingkungan peradilan umumkah atau lingkungan
peradilan tata usaha negara? Pertanyaan ini tentu dapat dijawab menurut karakter bidang hukum yang ditangani oleh masing-masing lembaga quasi peradilan ini yang tentunya perlu dibahas secara tersendiri.
C. PERTUMBUHAN PERADILAN KHUSUS
Ide pembentukan peradilan khusus terutama sangat berkembang
di masa sesudah reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Pada akhir masa Orde Baru, dibentuk satu pengadilan khusus, yaitu Pengadilan Anak berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997. sesudah
reformasi, desentralisasi pemerintahan dan diversifikasi fungsi-fungsi
kekuasaan negara berkembang luas bersamaan dengan gerakan liberalisasi dan demokratisasi di segala bidang kehidupan. Karena itu,
lembaga peradilan yang bersifat khusus semakin banyak didirikan oleh
Pemerintah.
Pada tahun 1998, dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998, kita mendirikan Pengadilan Niaga yang pertama kali. Selanjutnya, pada tahun 2000 dan tahun
2002, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan UU No. 26 Tahun 2000, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dengan UU No. 30 Tahun 2002.
Selain itu, telah dibentuk Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004, dan Pengadilan Perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004665, dan banyak lagi lainnya. Bahkan, setiap kali selalu saja muncul ide-ide baru untuk membentuk pengadilan khusus lainnya yang pada umumnya dimaksudkan
untuk lebih mengefektifkan upaya penegakan hukum di bidang-bidang
tertentu, seperti misalnya di bidang kehutanan, dan sebagainya. Karena itu, ketika muncul kebutuhan untuk membentuk undang-undang
baru di bidang kehutanan, muncul pula ide untuk membentuk pengadilan kehutanan dalam rancangan undang-undang yang dibahas di
Dewan Perwakilan Rakyat.
Inisiatif ide-ide seperti ini kadang-kadang datang dari kalangan
anggota DPR, tetapi kadang-kadang justru datang dari Pemerintah
sendiri yang sering kali tidak didasarkan atas hasil kajian yang terpadu, terutama karena lemahnya koordinasi antar-instansi pemerintah
sendiri. Itulah sebabnya, maka bentuk-bentuk baru pengadilan khusus
terus bertumbuh dan bertambah jumlahnya dalam sistem peradilan
negara kita pasca-reformasi.
Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai
syarat pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata
baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai
badan/lingkungan peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah undang-undang. Sementara itu jika dilihat dari
pengaturan dalam 8 UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang ada
dan pernah ada dasar pengkhususan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
pengadilan yang kekhususannya karena hukum materil yang menjadi
ruang lingkupnya, dan pengadilan yang kekhususannya karena subjek
yang terlibat. Pengadilan khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM,
Pengadilan Pajak dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, dalam
pengertian setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentumenjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap
perkara Tindak Pidana Ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada pengadilan Niaga setiap perkara Kepailitan, Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dan HAKI yaitu wilayah Pengadilan Niaga. Pada Pengadilan Pajak sengketa pajak yang menjadi ruang
lingkupnya. Pada Pengadilan HAM pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu Tindak Pidana Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum ini
dapat diselesaikan diluar pengadilan pengadilan khusus ini .
Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar
kekhususan yaitu subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak subjek
yang menjadi sumber kekhususan yaitu tersangka/Terdakwa nya,
dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan
Korupsi tidak semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam
pengadilan ini, perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh
pihak Kejaksaan tetap diperiksa pada pengadilan negeri.
Dilihat dari pengkhususan-pengkhususan ini terlihat bahwa Pengadilan Korupsi yaitu pengadilan khusus yang paling
berbeda dari yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini
membuka kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara
korupsi antara perkara korupsi yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri
dengan yang diperiksa oleh Pengadilan Korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi
di sisi lain hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karier; Pengadilan Korupsi yang mayoritas diisi
oleh hakim ad hoc dapat menjadi alat ukur apakah asumsi masyarakat
bahwa pengadilan/hakim karier sudah sedemikian korupnya benar
atau tidak. Jika ternyata dalam perkara korupsi putusan dari Pengadilan Korupsi lebih baik dibandingkan pengadilan negeri umum maka asumsi
publik ini tentunya bukan isapan jempol belaka, dan pengadilan
harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.
Jika diidentifikasi ada 11 peradilan khusus yang berkembang
dewasa ini yaitu: (i) Pengadilan Anak; (ii) Pengadilan Niaga; (iii) Pengadilan HAM; (iv) Pengadilan Tipikor; (v) Pengadilan Hubungan Industri-al; (vi) Pengadilan Perikanan; (vii) Pengadilan Pajak;666 (viii) Mahkamah
Pelayaran;667 (ix) Mahkamah Syariah di Aceh;668 (x) Pengadilan Adat di
Papua;669 (xi) Pengadilan Tilang.670
D. PERTUMBUHAN DAN PERANAN HAKIM AD HOC
Dalam konteks ini, yang dimaksudkan sebagai hakim ad hoc adalah hakim yang bukan dididik dan yang bukan berkarier khusus sebagai
hakim.671 Menurut Supomo, hakim dalam ketegori ini telah dikenal sejak masa Hindia Belanda, khususnya dalam Pengadilan Landraad yang
mendampingi majelis hakim, juga dalam hakim perdamaian desa.672
Dewasa ini hakim ad hoc dikenal dalam pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Dalam
lingkungan peradilan umum, hakim ad hoc dikenal dalam (i) Pengadilan Niaga; (ii) Pengadilan HAM; (iii) Pengadilan Tipikor; (iv) Pengadilan
Hubungan Industrial; dan (v) Pengadilan Perikanan. Dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, hakim ad hoc dikenal dalam pengadilan TUN dan pengadilan pajak.
Akan tetapi, sesungguhnya secara yuridis UU No. 5/1986 tentang
PTUN yang memperkenalkan hakim ad hoc, sekalipun di dalam praktik tidak pernah ditetapkan. Ketentuan UU ini menegaskan bahwa hakim ad hoc ditetapkan manakala perkara memerlukan keahlian dalam
memeriksa suatu perkara tertentu dapat diangkat hakim ad hoc. Pembentukan hakim ad hoc selanjutnya akan ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah yang juga tidak pernah dibentuk.
Dengan demikian, pertimbangan kebutuhan hakim ad hoc dalam
Pengadilan TUN yaitu untuk memeriksa dan memutus perkara untuk mengadili masalah hukum tertentu. Hal demikian juga ada dalam
Pengadilan Niaga.649 Sekalipun keahlian khusus disyaratkan harus memiliki hakim ad hoc ini sebagai anggota majelis hakim tetapi sesungguhnya hampir tidak ada bedanya dengan hakim karier dan alat bukti
dengan ahli bila maksudnya hanya untuk memperbaiki ratio decidenci
suatu putusan.
Keberadaan hakim ad hoc dibutuhkan pada sisi lain karena alasan
perlunya “keahlian” dalam proses pengambilan keputusan sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Hak Asasi Manusia.650 Syarat kepedulian ini dapat dikatakan lebih bersifat politis dibandingkan substansi
keadilan. Oleh karena itu, syarat ini tidak akan bermakna apa pun ketika hakim dalam mengambil putusan dari perspektif keadilan. Bahkan
bisa menjadi faktor negative terhadap asas imparsial, impersonal, dan
objektif dari hakim ketika mengadili suatu perkara.651
Namun keberadaan hakim ad hoc memiliki peran lain, yaitu diberikan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan seperti ditentukan dalam Pengadilan Hubungan Industrial.652 Konsep partisipasi
ini para pihak, yaitu organisasi pekerja dan pengusaha berpartisipasi
untuk memasukkan ke dalam daftar calon yang akan menjadi hakim
ad hoc.
Dengan memperhatikan alasan-alasan keberadaan hakim ad hoc
di atas, bisa saja menimbulkan permasalahan mendasar. Dari perspektif konstitusi dan perundang-undangan, mengapa di antara 4
lingkungan peradilan, keberadaan hakim ad hoc hanya dimungkinkan
eksis pada 2 lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan tata usaha negara? Di lingkungan peradilan
umum telah dibentuk lingkungan pengadilan khusus dengan disertai eksistensi hakim ad hoc, yaitu (i) pengadilan niaga; (ii) pengadilan
HAM; (iii) pengadilan korupsi; (iv) pengadilan perikanan; dan (v) pengadilan hubungan industrial.
Mengapa hakim ad hoc tidak diperkenankan berada dalam lingkungan peradilan umum yang memiliki kompetensi memeriksa dan
memutus perkara pidana dan perkara perdata seperti halnya penga-dilan negeri? Bukankah lingkungan pengadilan ini memiliki pencari
keadilan yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan pengadilanpengadilan khusus? Bukankah sorotan kinerja negatif, kemungkinan
penyalahgunaan wewenang, dan pelayanan publik akan lebih banyak
pada pengadilan negeri?
Oleh sebab itu, sesuai pendapat Luhut M.P. Pangaribuan, bahwa
keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan khusus lebih yaitu
ikhtiar yang bersifat reaktif sesaat dibandingkan konseptual dalam memperbarui sistem pengadilan.653 Reaktif di sini maksudnya karena kehadirannya hanya untuk menjawab kebutuhan yang pragmatis di masyarakat, yaitu adanya ketidakpuasan yang tinggi terhadap kelembagaan
pengadilan yang hanya ada hakim karier. Putusan-putusan pengadilan
yang mengecewakan memang telah menjadi pembicaraan hampir di
semua forum publik, akademik, politis, dan legislasi untuk waktu yang
lama.
MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN PENGUJIAN
KONSTITUSIONALITAS
UNDANG-UNDANG
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) perlu
dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas
UUD 1945.471 Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan
Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip
baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan
kekuasaan dan “checks and balances” sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan
ini , maka pertama, perlu diadakan mekanisme untuk memutus
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antarlembaga-lembaga
yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat,
yang kewenangannya ditentukan dalam UUD. Kedua, perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan
diri pada prinsip “the rule of majority”.
472 Karena itu, fungsi-fungsi judi-
cial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK.
Di samping itu, ketiga, juga diperlukan adanya mekanisme untuk
memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat
diselesaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkaraperakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para
warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin
oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil
pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai
empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers)
dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat
kewenangan itu473 yaitu : (1) menguji undang-undang (UU) terhadap
UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antarlembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Adapun kewajibannya yaitu memutus pendapat DPR bahwa presiden
dan/atau wakil presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai presiden dan/
atau wakil presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.474
Pada bab ini akan diuraikan mengenai sorotan terhadap wewenang MK dalam melakukan pengujian Undang-Undang. Kewenangan ini yaitu kewenangan yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima
kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD
1945. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan
apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan ini , yang dapat dikatakan
paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan yaitu
pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Un-dang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau
formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam
UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil yaitu pengujian
mengenai proses pembentukan UU ini menjadi UU apakah telah
mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Istilah pengujian konstitusionalitas merujuk kepada pelaksanaan
pengujian konstitusional suatu undang-undang yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung atau Peradilan (khusus) Konstitusi, yang mana
badan terakhir ini dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi. Pengujian
konstitusionalitas itu sendiri, sebagai suatu istilah hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan
oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih
luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut pengujian konstitutionalitasnya, yaitu
terhadap konstitusi.475
Pelaksanaan wewenang MK, yang yaitu bentuk judicial activism,476 dengan melakukan pengujian hukum, sesungguhnya menjaga
konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu sering menjadi
“momok” (scourage) konstitusionalisme.477 Tidak berlebihan bahwa
ada sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the
political spectrum seems to be that judicial activism is bad.”478 Sebagai
suatu konsep konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance becomes questionable.”479
Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna sendiri pada ketatanegaraan negara kita . Khususnya dalam rangka melaksanakan kewenangan pengujian konstitusional—yang antara lain
berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada, baik langsung maupun
tidak langsung, MK telah memberikan warna baru bagi perkembangan
hukum dan sistem hukum di negara kita . Melalui putusan-putusan MK
untuk pengujian konstitusional, pengaruh ini mencakup hukum
konstitusi dan menjangkau hampir semua lapangan hukum, yaitu dalam bidang politik, hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan pengujian konstitusional oleh MK telah menghasilkan putusan-putusan yang
penting dan memberikan khazanah baru.
Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas
putusan-putusan ini . Ada putusan yang dinilai melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat.480 Selain itu, seperti telah disinggung
di atas, pengaturan UUD 1945 tentang pengujian konstitusional telah
sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan konflik peraturan dan konflik orang atau lembaga.481 Selanjutnya, ada putusan MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa
yang dimohonkan)482 seperti (ii) putusan pengujian UU Ketenagalistri-kan;483 (ii) putusan pengujian UU KKR;484 dan (iii) putusan pengujian
UU BHP485 yang mengarah kepada intervensi ke dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang dianggap melanggar asas nemo judex in
causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri sendiri),
serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan
kepada pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang
lain, padahal mandat dari UUD 1945 yaitu pengujian konstitusionalitas UU terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian
selanjutnya yaitu masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu
kekuasaan yudisial, putusan pengadilan yaitu produk kenegaraan yang mengikat486 antara lain kemampuannya menciptakan atau
menetapkan keadaan hukum baru.487
Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan
UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan
ini , muncul gagasan agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau
amendemen UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat
mengontrol MK. Arahnya yaitu larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain
seperti ranah legislatif dan yudisial.488 PERTUMBUHAN DAN IMPLEMENTASI PENGUJIAN
KONSTITUSIONALITAS
Keberadan pengujian konstitusional tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi konstitusi dalam suatu negara. Pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati isu yang bersifat politik, maka pembebanan
kepada strategi mempertahankan konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada banyak strategi mempertahankan konstitusi
dan salah satu aktor yang “menanggung” beban itu yaitu pengadilan dengan pelekatan skema CR. Menyusul uraian lebih perinci pada
pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai strategi
mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the judicialization of politic”.
Pemahaman ini mempunyai dua aspek yang berbeda akan
tetapi berkaitan. Pertama, aspek yang memandang bahwa pengadilan
“have embraced a new, higher profile political role that depicts them as
defenders of constitutional commitments, advocates of rights, and arbiters of social policy conflicts.”489 Pengadilan kemudian “have been granted or have begun exerting the power to review legislation under the
constitution”490 dan sebagai akibatnya, pengadilan “assumed a more
significant role within important political and social debates that were
traditionally left to the elected branches.”491 Kedua, “the judicialization
of politic” dicirikan dengan “the growing use of law, legal discourse, and
litigation by a range of political actors, including politicians, social movements, and individual actors.”492 Sebagai akibatnya, seperti dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws with the courts’
language and opinions in mind and social movements, individual citizens and the political opposition alike frame their political struggles in
the language of rights, and turn to courts to advance them.”493
Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme pengadilan ini sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan mengenai
supremasi hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum, demokrasi
acapkali dimaknai sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat yaitu
entitas tertinggi.494 Pemaknaan demikian menyusun bangun kedaulatan rakyat dengan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian kedaulatan rakyat di sini bukanlah
seperti gagasan Rousseau yang “mengidentifikasi kehendak negara dengan kehendak umum sehingga tidak bertentangan sama sekali antara
kehendak individu (volonte parti cullere) dengen kehendak negara.”495
Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini yaitu rakyat
bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang pluralis.496
Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-kekuatan
yang berkembang di dalam masyarakat.497 Hal ini tidak berarti kedaulatan berada di tangan mayoritas, akan tetapi secara teoretis terletak
pada representasinya sebagai resultan atas semua pengaruh kekuatan
politik.498 Dengan demikian, tidak dapat diklaim sepenuhnya bahwa
kekuatan mayoritas menjadi satu-satunya kekuatan dalam suatu majelis pemilihan atau badan perwakilan, melainkan harus dipandang sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung
di tengah masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, sekalipun demokrasi modern mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan tetapi sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan perwakilan. Oleh karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan ini ,
maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang ditetapkan, termasuk Undang-Undang, berpotensi untuk bertentangan
dengan komitmen demokrasi itu sendiri terutama yang tertuang dalam konstitusi sebagai kontrak politik tertinggi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu badan yang netral
dan imparsial untuk melaksanakan forum yang memungkinkan peninjauan (review) terhadap keputusan-keputusan badan perwakilan dikaitkan dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.
Pada sisi lain, sebelum Perang Dunia II, hanya sejumlah kecil konstitusi suatu negara yang memuat mekansime pengujian konstitusional, namun sekarang sebanyak 158 dari 191 konstitusi yang secara tegas mengaturnya. Dari jumlah itu, sebanyak 79 konstitusi mendesain
pengujian konstitusional oleh badan pengadilan khusus dan sejumlah
lainnya melekatkan wewenang ini pada badan pengadilan umum
atau MA. Hanya sebagian kecil konstitusi seperti China, Vietnam, dan
Burma, menentukan wewenang itu pada Parlemen.499 Beberapa negara
seperti Amerika mengembangkan mekanisme pengujian konstitusional itu tanpa ketentuan mandat yang tegas dalam konstitusi.
Perluasan penerimaan pengujian konstitusional dapat menyangkut gagasan maupun kelembagaannya. Keberadaan pengujian konstitusional sering diasosiakan dengan pikiran populer mengenai HAM di
abad ke-20.500 Namun ilmuwan politik melihatnya sebagai salah satu
mekanisme untuk menyelesaikan sengketa (dispute resolution).501
Pada rubrik ini menyajikan penerimaan pengujian konstitusional dan
mengkaji kembali bermacam-macam penjelasan politik mengenai
pembentukan, pertumbuhan, dan perluasan kelembagaan dengan tekanan pada gagasan dan kelembagaannya.
Sejarah pengujian dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury
versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin
oleh John Marshall pada tahun 1803.502 Sejak itu, ide pengujian UU
menjadi populer dan secara luas didiskusikan di mana-mana.503 Ide ini
juga memengaruhi sehingga “the fouding fathers” negara kita dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam.
yaitu Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA
diberi kewenangan untuk “… membanding undang-undang …”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu.504 Akan tetapi, ide ini ditolak
oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD
negara kita itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut
ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide
pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.505
Namun sekarang, sesudah UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali,
paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR
dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai
penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan
dengan kekuasaan yang tidak terbatas,506 maka sekarang—sesudah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya
sebagai pelaku kedaulatan rakyat.507
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan
Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di
bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan
Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan
legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR,508 maka mau tidak mau
kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip
pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua
argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami
perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat
lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Bahkan, seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah
menjadi negara demokrasi, fungsi pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu dilembagakan ke dalam
fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar organ
Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.509
Tentu ada juga model-model kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang
berbeda dari satu negara ke negara lain.510
Ada negara yang mengikuti model Venezuella di mana Mahkamah
Konstitusinya berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, ada pula
negara yang tidak membentuk lembaga yang tersendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini sebagai salah satu tambahan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika
Serikat dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan
seperti ini.511 Akan tetapi, sampai sekarang, di seluruh dunia ada 78
negara yang melembagakan bentuk organ konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat
mempelopori pembentukan lembaga baru ini yaitu Austria pada tahun 1920512, dan terakhir yaitu Thailand pada tahun 1998 untuk selanjutnya negara kita menjadi negara ke-78 yang membentuk lembaga
baru ini berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.513 Namun di antara
ke-78 negara itu, tidak semua menyebutnya Mahkamah Konstitusi.514
Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel)515 atau Belgia yang menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage),516 Orang
Perancis cenderung menyebutnya demikian, karena lembaga ini tidak
dianggap sebagai pengadilan dalam arti yang lazim. Karena itu, para
anggotanya juga tidak disebut hakim. Terlepas dari perbedaan ini,
yang jelas di ke-78 negara itu,517 Mahkamah Konstitusi itu dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.PERTUMBUHAN PENGUJIAN KONSTITUSIONAL
DI negara kita
Sesudah ditolak dalam rangka pembentukan UUD 1945 menjelang
proklamasi kemerdekaan, gagasan pengujian konstitusional kembali
dilontarkan pada dekade 1950-an. Gagasan itu hendak beriringan dengan anggapan bahwa pengadilan harus memberi sumbangan kepada
pertumbuhan hukum dan ini bukan yaitu hal yang baru. Berbeda dengan kebanyakan di negeri lain, originalitas sistem hukum (baca:
hukum adat) memberi kepada hakim peranan yang besar baik dalam
menemukan aturan hukum maupun pengenalan perubahan hukum.
Sekalipun demikian, menurut Daniel S. Lev, hanya sedikit hakim yang
kreatif di masa pasca-revolusi dalam hal yang terkait dengan pengembangan hukum.518 Hal itu untuk sebagian karena tidak mempunyai kepercayaan diri, hanya sedikit hakim yang pernah bertugas di pengadilan sebelum perang, dan hakim yang lebih muda, sering tidak cukup
mempunyai pengetahuan maupun pengalaman. Tatkala para hakim
didorong agar kreatif, struktur hukum tertulis terancam roboh.
Barangkali itu yang menjadi maksud tersirat dari penolakan Soepomo saat menganggap pengujian konstitusional tidak perlu mendapat tempat di negara kita . Akibatnya, sekalipun ada tuntutan peranan
pengadilan yang lebih substantif, pasca-kemerdekaan upaya untukmenetapkan posisi yang diterima secara ideologis untuk pengadilan
tetap membingungkan. Para hakim didorong untuk meninjau kembali
peraturan perundang-undangan kolonial, tetapi tidak untuk peraturan
perundang-undangan negara sesudah merdeka. Maka menurut Menteri
Kehakiman Sahardjo, “Memang hakim tidak boleh menelaah kembali
peraturan perundang-undangan, kalau peraturan perundang-undangan itu hasil para pembuat undang-undang kita sendiri. Jika peraturan
perundang-undangan ini bukan hasil para pembuat peraturan
perundang-undangan kita sendiri, maka hakim harus meninjau kembali.”519
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS (1949), Mahkamah Agung
ditempatkan sebagai “pengadilan federal tertinggi.”520 Namun kewenangan pengujian konstitusional tampaknya dikunci dengan keten-tuan bahwa Undang-Undang Federal tidak dapat diganggu gugat.521
Pada sisi lain, konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Agung untuk melakukan pengujian konstitusional peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu negara bagian.522
sesudah kembali kepada negara kesatuan, maka diberlakukan UUD
Sementara (1950) yang antara lain menempatkan Mahkamah Agung
sebagai peradilan negara tertinggi. Pengujian konstitusional terhadap
undang-undang tidak dapat dilakukan karena ia yaitu produk
hukum yang tidak dapat diganggu gugat.523
Gagasan pengujian konstitusional sudah barang tentu lekat dengan posisi kekuasaan kehakiman yang independen. Dalam perdebatan pembentukan konstitusi baru di Konstituante,524 para hakim,
dengan berpijak kepada Pasal 102 UUD Sementara yang melarang
intervensi eksekutif atas peradilan, menganggap posisi mereka begitu
istimewa. Para hakim menyusun segala alasan yang secara tradisional
mengabsahkan pengadilan yang kuat dan bebas. Sayangnya, Konstituante menolak gagasan untuk memperkuat pengadilan.
Sepanjang masa perdebatan mengenai tempat kekuasaan kehakiman menurut konstitusi, contoh-contoh dari praktik di luar negeri
menjadi acuan. Pada tahun 1955, Hakim Soerjadi meninggalkan Indonesia untuk melakukan perjalanan keliling AS dan ia memperoleh
kesan yang mendalam tentang kekuasaanbadan kehakiman federal
dan kehormatan yang disandang oleh hakim-hakimnya. Kesan ini memengaruhi gagasannya akan badan peradilan yang lebih kuat. Sesudah
kembali ke negara kita , acuan praktik-praktik yang berlaku di AS sering
ditampilkan. Sementara para hakim menoleh ke AS dan Inggris, yang
kekuasaan kehakimannya begitu menarik, para penuntut mengutip
praktik di Eropa Daratan terutama di Belanda.525
Pada tahun 1956, para hakim menyusun seperangkat ide untuk
merumuskan pasal-pasal konstitusi yang berkenaan dengan organisasi
dan kekuasaan kehakiman. Pasal-pasal itu memuat ketentuan, antara
lain, kekuasaan kehakiman yang dikelola oleh Mahkamah Agung, de-ngan pengangkatan hakim agung seumur hidup. Akan tetapi, usulan
yang paling radikal yaitu Mahkamah Agung supaya diberi wewenang
konstitusional untuk meninjau kembali semua undang-undang yang
dibuat oleh Parlemen. Usulan ini yaitu lompatan konseptual
yang amat jauh yang diajukan oleh para hakim, karena pengadilan di
negara kita maupun Belanda selama ini tidak pernah memiliki kekuasaan semacam itu. Di negara kita , sebagaimana umumnya di Eropa waktu
itu, titah Parlemen tidak dapat diganggu gugat. Hal yang mendorong
para hakim untuk mengajukan permintaan seperti itu yaitu keinginan kuat mereka untuk mendapatkan kembali posisi penting mereka di
masa silam, memainkan peran penting dalam pemerintahan, seperti
yang dimainkan oleh pengadilan AS.
Konstituante, lewat rapat-rapat komisi kehakiman, tampaknya antusias dan menyetujui gagasan itu. Konstituante tidak hanya setuju pengelolaan pengadilan yang mandiri, tetapi juga pembentukan sebuah
badan pengadilan konsttiusi yang susunan hakimnya 2/3 terdiri dari
para hakim agung. Keinginan hakim akan adanya sebuah badan kehakiman yang yaitu cabang pemerintahan ketiga yang penting dan
kuat, akhirnya terpenuhi.
Namun rasa puas itu tampaknya tidak berlanjut. Konstituante tampaknya bukan forum yang tepat untuk memperjuangkan gagasan itu
karena badan ini sering melakukan tawar-menawar tentang asas dan
bentuk yang tidak berakar pada kenyataan politik di luar rapat-rapat.
Perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan politik di negara kita
tampanya begitu cepat dan Konstituante sendiri tersapu pada pertengahan tahun 1959 sebelum merampungkan pekerjaannya. Para hakim kecewa, sesudah seakan-akan mendekati tujuan mereka selama ini.
Pada transisi politik sesudah tahun 1965, gagasan itu kembali diperjuangkan. Bagi para pendukung pengujian konstitusional hal itu tidak
bisa lain berarti kontrol kelembagaan, yang dengan demokrasi terpimpin di belakang dan kekuatan tentara di depan, yaitu konsep pokok negara hukum yang liberal. Keinginan adanya badan pengadilan
yang kuat didominasi oleh pandangan agar badan itu lebih baik menjadi saluran terakhir yang memberi kemungkinan untuk menegakkan
kontrol kelembagaan negara.
Seminar Hukum Nasional II tahun 1968 di Semarang menjadi wahana pertama bagi upaya itu. Seminar ini penting karena merepresentasikan tantangan terbuka para hakim untuk menggugat sistem pemi-sahan kekuasaan yang berlaku. Seminar ini juga yaitu titik tinggi
harapan politik pengadilan. Dalam kesempatan menjadi pembicara,
ketua Ikahi yang karismatik, Asikin Kusumaatmadja menegaskan sesuatu yang mirip dengan tuntutan terhadap peran pengadilan di dekade
1950-an. Asikin menegaskan pembangunan hukum harus dilakukan
melalui pengadilan. Hakim harus diberi kewenangan itu, jika kondisi sosial menghendaki demikian, tidak hanya menghapus ketentuanketentuan hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan modern, tetapi juga memberlakukan aturan-aturan baru.526
Menteri Seno Adji dengan gegap gempita menyampaikan tanggapan balik. Sementara Asikin hanya memaparkan gagasan dalam 11
halaman makalah, Seno Adji mempersiapkan makalah setebal 36 halaman dengan jumlah catatan kaki tidak kurang dari 49 referensi. Seno
Adji mendukung sistem Belanda-Perancis, mempertahankan dualisme
pengadilan, dan hanya menginginkan pengujian konstitusional secara
terbatas.
Forum MPRS, badan tertinggi menurut UUD 1945 waktu itu, merespons gagasan-gagasan demokrasi liberal dan melembagakannya
dalam 2 panitia khusus yang dibentuk. Panitia Ad hoc II yang bertanggung jawab mempertimbangkan reorganisasi pemerintahan, merancang laporan yang mendukung penyebaran kekuasaan politik, partisipasi politik yang lebih luas dan control kelembagaan atas kekuasaan
politik. Termasuk dalam hal ini yaitu rekomendasi pemberikan kekuasaan pengujian konstitusional kepada pengadilan. Kemudian, Panitia Ad hoc IV berhasil mempersiapkan rancangan Ketetapan MPRS
yang substansinya yaitu Piagam HAM. Sayangnya, kedua hasil
kerja panitia khusus itu terjungkal. Piagam HAM memperoleh tentangan utamanya dari para politisi Islam, sehingga dicampakkan dan tidak
pernah dilakukan pemungutan suara.
Rumusan Panitia Ad hoc II dapat dibahas, namun segera memperoleh kecaman sengit dari pemerintah. Menteri Kehakiman Oemar
Seno Adji menjadi aktor penting dalam kancah perdebatan ini .
Saat melakukan presentasi dalam sidang kabinet 1967, menetang hampir setiap premis dan kesimpulan laporan panitia ini .
Bagi Seno Adji, badan yang berwenang untuk melakukan pengujian konstitusional yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Langkah ini sudah pernah ditempuh MPR saat memerintah Presiden bersama-sama DPR untuk meninjau kembali produk UU yang ditetapkan
selama masa demokrasi terpimpin. Pendapat Seno Adji disanggah oleh
kalangan hakim, dengan dukungan para advokad, bahwa di masa lalu
justru MPR yang terbukti melakukan pelanggaran konstitusi sehingga tidak layak menjadi pengemban pengujian itu. Para politisi secara
samar-samar mendukung hakim dan advokat, tetapi dengan lantang
memberikan catatan berupa keragu-raguan Mahkamah Agung berani
bertindak dan juga dengan alasan pemuka militer tampaknya menolak usulan itu. Seiring dengan pembahasan Rancangan UU Kekuasaan
Kehakiman, gagasan pengujian konstitusional kembali diperdebatkan
walaupun sepenuhnya tidak terakomodasi dalam undang-undang
yang kemudian disahkan ini .
Keberatan pokok diberikannya pengujian konstitusional kepada
Mahkamah Agung yaitu keberatan akan munculnya supremasi pengadilan dibandingkan DPR dan MPR sebagai lembaga perwakilan. Menteri Seno Adji menolak contoh-contoh praktik di negara common law,
mengingat praktik-praktik di negara civil law jauh lebih banyak dan
semuanya menolak mengadopsi pengujian konstitusional. Mahkamah
Agung kelak akan cukup direpotkan dengan memimpin peradilan-peradilan di bawahnya, yang kinerjanya membutuhkan perbaikan. Dalam
kaitannya dengan wewenang Supreme Court di AS, Menteri Seno Adji
menolak ilustrasi itu karena bagaimanapun sebagai negara kesatuan,
negara kita tidak bisa menerapkan sistem yang berjalan di negara serikat.
Kalangan militer menolak pemberian pengujian konstitusional kepada Mahkamah Agung. Mereka memiliki anggapan bahwa para hakim, termasuk advokad, yaitu profesi yang selalu mengeluhkan partisipasi mereka dalam lapangan politik. Di samping itu, ketika saat itu
militer menjadi elite politik penting dan berhasil melakukan konsolidasi di lembaga perwakilan dan pemerintahan, maka gagasan pemisahan kekuasaan hanyalah akan mencampakkan hasil kerja itu. Demikian
pula, pengujian konstitusional akan melahirkan pemisahan kekuasaan, yang mengancam posisi mereka dalam pengambilan keputusan.
Peraturan mengenai kekuasaan kehakiman kemudian ditetapkan
sebagai UU No. 14/1970. Ada pengaturan simbolis yang tidak berarti
kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian norma hukum
sebagaimana tercantum dalam Pasal 26. Dalam hal ini, Mahkamah
Agung tidak diberi posisi sebagai pelindung konstitusi. Kekuasaan un-tuk menguji tidak menjangkau undang-undang atau peraturan pemerintah, tetapi dibatasi oleh Pasal 26 ayat (1) untuk menentukan apakah
peraturan dan keputusan bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Perumusan yang kemudian
diberlakukan yaitu badan pemerintah yang bersangkutan sendirilah
yang membatalkan peraturan yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung
yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Penjelasan resmi UU No. 14/1970 mengatakan bahwa, “Oleh karena UUD
1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya hak menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah
Agung yang dapat diletakkan dalam undang-undang ini. Hak menguji
ini bila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya yaitu ketentuan konstitusional.” Maknanya tidak bisa lain:
“kekuasaan tertinggi atas hukum tidak di tangan pengadilan, tetapi di
tangan birokrasi.”527
Ketentuan pengujian terbatas itu kemudian mati suri dalam perjalanan waktu berikutnya. Mahkamah Agung menolak mengikuti preseden yang pernah dibentuk di tahun 1967 untuk menguji konstitusionalitas undang-undang kendati memahami uraian panjang lebar
putusan ini . Mahkamah Agung selalu tersendat-sendat saat akan
menggunakan wewenang itu.
Dalam sebuah putusan di tahun 1983,528 Mahkamah Agung menilai bahwa sekalipun bertentangan dengan Pasal 67 jo. 224 KUHAP,
kasasi dapat diberlakukan terhadap putusan bebas. Sekalipun putusan
ini menguji norma hukum, tampaknya pengadilan menolak menggunakan formulasi pengujian untuk membenarkan pendapatnya. Begitu
pula, saat UU No. 1/1950 dicabut dengan UU No. 13/1965, tetapi tidak
mencabut ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum
acara di Mahkamah Agung. Pengadilan tampaknya hanya menafsirkan
bahwa ketentuan dalam UU No. 1/1950 harus ditafsirkan sedemikian
rupa, akan tetapi tidak melangkah lebih lanjut melakukan pengujian.
Saat Purwoto Gandasubrata, hakim karier, menjadi Ketua Mahkamah Agung (1992-1995), ia mengisyaratkan akan memeriksa perkara
permohonan pengujian. Ia dianggap selangkah lebih tegas dibandingkan pendahulunya, Ali Said (1981-1992), akan tetapi faktanya ia tidak pernah mengulang jejak Asikin dan Sri Widowati di akhir 1960-an untuk menguji undang-undang. Ia menyangkal itu dan mengatakan soal
itu sebagai urusan MPR.
Momentum muncul saat Surya Paloh, pemilik tabloid Prioritas,
mengajukan pengujian terhadap Peraturan Menteri Penerangan No.
1/1984 yang dianggap bertentangan dengan UU Pokok Pers 1982. Paloh berkeberatan dengan Keputusan Menteri Penerangan yang telah
mencabut izin usaha penerbitan pers terhadap tabloid miliknya itu.
Purwoto memimpin sendiri permohonan pengujian itu bersama-sama
Asikin Kusumaatmadja dan Olden Bidara. Untuk pertama kali, Mahkamah Agung mengizinkan permohonan perkara langsung ke tanpa
melalui proses kasasi, yang dianggap sebagai perkara dengan karakter
khusus.529 Mahkamah Agung meminta instansi pemerintah yang bersangkutan untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Namun
demikian, hasil akhir dari proses itu yaitu Mahkamah Agung menolak
permohonan pengujian itu.530
Sesudah putusan itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1/1993 yang mengatur permohonan pengujian
langsung ke Mahkamah Agung, sehingga melepaskan keruwetan-keruwetan warisan Ali Said. Untuk pertama kali, ketentuan ini diterapkan
dalam kasus pemeriksaan legalitas pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemohon meminta pembatalan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
342/1986 yang saat pemeriksaan perkara sedang berjalan telah diganti dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 15A/1994. Mahkamah
Agung menolak permohonan ini , mengingat secara factual telah diganti dan secara substansi pengadilan menganggap tidak pertentangan peraturan itu dengan peraturan perunang-undangan yang
lebih tinggi. Hingga tahun 1996, ada 6 perkara permohonan pengujian yang seluruhnya ditolak oleh Mahkamah Agung. Demikian halnya
dengan kasus pembatalan izin usaha penerbitan Majalah Tempo, pada
akhirnya tetap kandas di Mahkamah Agung.
Sistem peradilan dua atap mulai diakhiri dengan diterbitkannya
UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha-kiman, di mana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem dua
atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung ini yaitu 5
tahun sampai dengan Agustus 2004.
Bersamaan dengan itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1999 tentang Hak Uji Materiil. Pengujian
bisa dilakukan melalui gugatan atau permohonan. Dalam hal permohonan, dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung. Meskipun
demikian, Peraturan Mahkamah Agung ini masih menyisakan persoalan sebagai berikut.
Pertama, apakah tepat jika pengujian ini diminta melalui
permohonan (bukan gugatan) maka pihak yang “termohon” (yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan ini ) tidak perlu didengar keterangannya?
Kedua, apakah pemberlakukan pembatasan waktu pengajuan
pengujian, yaitu 180 hari sejak peraturan perundang-undangan ini dinyatakan berlaku, sudah tepat? Di satu sisi pengaturan ini memberikan kepastian hukum atas “legalitas” suatu peraturan perundangundangan. Namun di sisi lain pengaturan ini membatasi hak
masyarakat, apalagi biasanya peraturan perundang-undangan sulit
diakses masyarakat atau tidak bisa diakses segera sesudah dibuat. Selain
itu biasanya masyarakat baru membaca (dan merasakan adanya kesalahan dalam suatu peraturan) sesudah mereka memiliki permasalahan
hukum yang berhubungan dengan peraturan ini .
Ketiga, jika dalam proses menguji suatu peraturan perundangundangan Mahkamah Agung berpandangan bahwa memang ada beberapa pasal (tidak seluruhnya) dari suatu peraturan ini yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
apakah Mahkamah Agung harus memutus bahwa peraturan ini
seluruhnya tidak berlaku atau bisa hanya memutuskan bahwa pasalpasal tertentu saja yang tidak berlaku?
Keempat, bagaimana dampak dari tindakan yang telah diambil
pemerintah atau pihak lain yang diberikan kewenangan tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan jika kemudian peraturan
perundang-undangan yang memberikan dasar kewenangan ini
dinyatakan tidak berlaku? Apakah tindakan-tindakan ini dinyata-kan tetap sah, batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalan?
Dan jika telah ada kerugian yang timbul bagi individu atau masyarakat
akibat suatu peraturan perundang-undangan yang kemudian dinyatakan batal demi hukum, apakah individu atau masyarakat ini dapat menuntut ganti rugi?
Berkaitan dengan 4 kali perubahan UUD 1945, maka undangundang yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah
ditentukan dalam UUD pasca perubahan dan tambahan ketentuan
lainnya.
Selain itu, ada 2 lembaga negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berkaitan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, di mana Pasal 236C menentukan bahwa
penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, maka Mahkamah Agung, dengan
Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial No. 34/
WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 November 2008.
Perubahan UUD 1945 mendorong dilakukannya sinkronisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung. Untuk itu dikeluarkan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengujian norma hukum oleh Mahkamah
Agung dipertahankan sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1). Ketentuan UU No. 4/2004 kemudian diganti dengan UU No. 48/2009.
Sinkronisasi substansi hukum juga dilakukan terhadap UU ten-tang Mahkamah Agung dengan melakukan perubahan UU No. 14/1985
dengan UU No. 5/2004 dan kembali diadakan perubahan yang kedua
melalui UU No. 3/2009. Dikaitkan dengan pengujian norma hukum,
maka Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah Agung mengidentifikasi
adanya dua macam pengujian, yaitu hak uji materiil dan hak uji formil.531 Dalam tataran teknis, untuk selanjutnya Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2004 tentang Hak Uji
Materiil. Dalam perkembangannya, Peraturan Mahkamah Agung No.
1/2004 diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2011.
Di dalam praktik, memang dijumpai kendala dalam hal pelaksanaan wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian. Kendala itu antara lain yaitu masalah batas waktu. Sebelum tahun 2011,
diatur bahwa pengujian diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Padahal, ketentuan UU Mahkamah Agung tidak mengenal pembatasan ini . Menurut Imam Soebechi, hakim agung, batas waktu
ini menimbulkan “terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah di
kemudian hari sesudah 180 hari.” Soebechi selanjutnya mengatakan,
“penentuan batas waktu 180 hari tidak jelas benar dan mengapa tidak
lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu
yang dapat dimengerti secara rasional.”
Dalam putusan Mahkamah Agung, rasional dan efek pembatasan
180 hari itu diakui telah memunculkan permasalahan di mana warga
masyarakat yang tidak mempunyai akses ke legislatif tidak cukup waktu untuk dapat mempertahankan hak dan kepentingan atas peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Di samping itu,
sosialisasi pelaksanaan peraturan belum menjangkau semua lapisan
masyarakat. Sekalipun mengakui persoalan ini, para hakim tetap berpegang pada dasar normatif yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung, sehingga permohona pengujian yang sudah melampaui 180
hari ditolak
PENGUJIAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Kinerja pengujian undang-undang sesungguhnya yaitu cara
Mahkamah Konstitusi, sebagai salah satu institusi negara memastikan sebuah norma dalam undang-undang tetap compliance dengan
prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konstitusi RI. Jika suatu perkara
dinyatakan dikabulkan, hal itu berarti Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa norma dalam UU ini dinyatakan inkonstitusional
dan tidak sejalan dengan prinsip perlindungan warga negara. Sebagai
negative legislator, Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan norma ini tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak mengikat. Sementara, jika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian
undang-undang, berarti Mahkamah Konstitusi berpendapat norma
ini tetap sejalan dengan prinsip perlindungan hak konstitusional
warga negara. Dengan demikian, kinerja Mahkamah Konstitusi terkait
kewenangan pengujian undang-undang sesungguhnya yaitu cara negara menjalankan kewajiban generiknya dalam bidang hak asasi manusia, yaitu dengan to promote, to protect, dan to fulfill jaminan-jaminan
hak asasi manusia. Peran terkuat Mahkamah Konstitusi dibidang HAM
yaitu pada kewajiban to promote dan to protect atas potensi atau fakta pelanggaran HAM yang terjadi karena adanya norma dalam sebuah
produk undang-undang (violation by judicial).
Dalam pemenuhan hak atas pendidikan misalnya, Mahkamah
Konstitusi telah menghasilkan putusan yang progresif. Pada tahun
2013 Mahkamah Konstitusi memutuskan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) tidak sesuai dengan UUD 1945. Keberadaan RSBI
telah mengabaikan tanggung jawab negara untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua warga negara. Mahkamah Konstitusi
memutuskan Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi landasan RSBI. Mahkamah Konstitusi
menyatakan, RSBI/SBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan dan
bentuk baru liberalisasi pendidikan. Selain itu, RSBI/SBI menimbulkan
diskriminasi pendidikan. Penggunaan bahasa asing sebagai pengantar
juga berpotensi menghilangkan jati diri bangsa negara kita yang berbahasa negara kita . MK melihat, pemerintah memberikan perlakuan yang
berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah reguler, baik dari segi sarana dan prasarana, anggaran, maupun output lulusan.Pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar berbasis masyarakat.
Putusan pengujian Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003 terhadap UUD 1945,
mempertegas kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan. Mahkamah dalam putusan perkara No. 58/PUU-VIII/2010
berpendapat bahwa kata ‘dapat’ dalam pasal ini jika dikaitkan
dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mengakibatkan pendidikan dasar
berbasis masyarakat atau yang dilaksanakan selain oleh pemerintah
menjadi tidak wajib untuk dibiayai oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal itu disebabkan karena kata ‘dapat’ bersifat terbuka
sehingga bisa menghilangkan arti kewajiban Pemerintah yang berarti pula bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Terhadap
jenjang pendidikan selain pendidikan dasar, Pemerintah memiliki
keleluasaan untuk membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan menurut kemampuan keuangan negara. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003
yaitu inkonstitusional sepanjang dimaknai bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003 termasuk
jenjang pendidikan dasar.
Pada 2010 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa
UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU BHP mengalihkan tanggung jawab utama
penyelenggaraan pendidikan dari negara dan justru membebani kepada masyarakat. UU BHP juga mereduksi makna “badan hukum pendidikan” menjadi nama atau bentuk badan hukum tertentu. Padahal,
sejatinya sebagai sebuah sebutan fungsi penyelenggara pendidikan,
yang artinya pengelolaannya dilakukan oleh suatu badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2007, dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2006, MK menyatakan UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% (sebelas koma delapan
persen) sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sudah yaitu suatu fakta bahwa besarnya anggaran pendidikan yang tercantum dalam APBN
dari tahun ke tahun sejak APBN 2004 hingga APBN 2007 belum pernah
mencapai angka persentase minimal 20% sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Hal itu karena Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal untuk meningkatkan anggaran pendidikan agar amanat konstitusi dapat terpenuhi. Oleh karena itu, mengingat sifat imperatif Pasal
31 ayat (4) UUD 1945, MK sebagai pengawal konstitusi mengingatkan
agar anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 2006
juga memutus perkara sejenis. Putusan No. 026/PUU-III/2005 tentang
pengujian UU APBN 2006 yang mencantumkan anggaran pendidikan
9,1% juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan
dengan UUD 1945.
Dukungan pemilu yang berintegritas juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2007 MK juga membuat putusan penting
terkait dibolehkannya calon perseorangan dalam Pemilukada. Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon yaitu Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), (3), (4), (5) huruf a dan c,
(6), serta Pasal 60 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU Pemda. Ketentuan ini dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon berupa hak untuk
ikut dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
perseorangan tidak melalui jalur pencalonan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Permohonan yang dinyatakan dikabulkan
yaitu Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3). Adapun Pasal
59 ayat (1), (2), dan (3) UU Pemda. Dengan adanya putusan ini, keberadaan calon perseorangan atau lebih dikenal dengan istilah calon
independen dalam proses Pemilihan Kepala Daerah diakui dan harus
diterima.
Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi juga memutus perkara
penting yang membolehkan penggunaan Kartu Tanda Penduduk sebagai syarat untuk seseorang dapat mengikuti pemilihan umum. Pengujian atas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 4/2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Perkara 102/PUU-VII/2009, maka hak asasi yang dijamin dalam konstitusi
semakin dikuatkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar dalam
Daftar Pemilh Tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dengan
kartu Tanda Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau Paspor
bagi warga negara negara kita yang berada di luar negara kita dengan syarat-syarat tertentu.
Pada tahun 2012 MK menegaskan bahwa untuk menjamin netralitas dalam penyelenggaraan Pemilu, maka calon anggota KPU dan
Bawaslu harus mundur 5 tahun sebelumnya dari partai politik. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah membangun
sistem rekrutmen agar KPU dapat mandiri dan steril kepentingan parpol peserta Pemilu. Namun pengunduran diri dari parpol yang tidak
ditentukan jangka waktunya dapat digunakan sebagai celah masuknya
kader-kader Parpol ke dalam KPU yang berpengaruh atas kemandirian
dan netralitasnya. Akhirnya, MK menentukan dalam Putusan No. 81/
PUU-IX/2011, persyaratan bagi calon anggota KPU dan Bawaslu sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri
dari keanggotaan parpol pada saat mendaftar.
Pada Agustus 2012, MK memutuskan permohonan uji materi Pasal
8 ayat (1) dan (2) dan Pasal 208 UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (UU Pemilu Legislatif) yang diajukan oleh Partai Kebangkitan
Nasional Ulama (PKNU) dkk. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU ini
menentukan parpol Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara
pada Pemilu 2009 ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai
syarat atau kriteria dalam keikutsertaan parpol lama sebagai peserta
Pemilu 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam
UU 10/2008 berbeda UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan
Pemilu 2014. Dengan demikian, meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan
suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang ada dalam Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu Legislatif, namun menurut Mahkamah ketidakadilan ini justru ada dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1),
juga ada pada Penjelasannya.
Dalam permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang UU
Pemda, MK menyatakan dibolehkannya pemberian suara dengan cara
e-voting. Dalam perkara No. 147/PUU-VII/2009 ini Pasal 88 UU dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini
menyebabkan kata “mencoblos” diartikan pula menggunakan metode
e-voting dengan beberapa syarat kumulatif di antaranya tidak melanggar asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil)
PERADILAN MILITER DI SEJUMLAH NEGARA
1. Malaysia
Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku
perbuatan pidana. Oleh karena itu, baik orang sipil maupun militer
yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh
pengadilan pidana sipil. Indepensi badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal.464 Permasalahan yang berkaitan dengan
kedinasan dan pelanggaran hukum disiplin bagi anggota Angkatan
Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of Malaysia Act 77, disebut juga
Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku khusus bagi anggota
Angkatan Bersenjata. Di Malaysia dipisahkan antara kompetensi peradilan umum yang diberlakukan bagi militer yang melakukan tindak
pidana umum, dengan peradilan militer yang ditujukan untuk mengadili militer dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan atau kedinasan.
2. Amerika Serikat
Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat yaitu sistem yang
paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A.
Shanor and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan Militer dengan rincian, 4848 kasus
pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada Angkatan Darat, 956 kasus pada
Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga Pantai (Coast quard).
Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem
peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga
Hukum Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling puncak kemudian hukum perundang-undangan
federal, dan peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan Menteri
Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan para
komandan.Sumber hukum