peradilan di indonesia 9

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 9


Salah satu kunci yang diperlukan untuk membangun sistem kenegaraan yang mampu mewujudkan cita-cita keadilan itu terletak pada 
persoalan kualitas kelembagaan hukum dan peradilan yang memerlukan perhatian serius sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman 
pasca-modern sekarang ini. Dari segi historis, pengadilan sering 
yaitu sakah satu di antara lembaga yang paling dini menarik 
perhatian orang-orang yang menginginkan terciptanya kesatuan 
nasional. Orang yang menganut pandangan Marx dan Weber cenderung mengemukakan bahwa sebab musababnya pada pokoknya 
yaitu  ekonomi. Akan tetapi, sementara keuntungan ekonomi tidak 
diragukan lagi mengalir dari pengadilan yang diatur secara sentral, 
petunjuk adanya ilham penyatuan pengadilan yang berasal dari ekonomi cenderung bersifat tidak langsung dan terlalu abstrak.650 Tidak banyak bukti bahwa bila pemimpin politik memutuskan untuk 
memperluas kekuasaan pengadilan raja atau negara, mereka memi- kirkan keteraturan, kepastian, dan pengawasan ekonomi. Lembagalembaga administrasi lainnya lebih baik dibandingkan  pengadilan untuk semacam itu. Hal yang lebih mengesankan tentang pengadilan 
yaitu  bahwa organ ini yaitu lambang kekuasaan, pemelihara 
perdamaian, dan pemberi keadilan yang dikenal oleh semua orang.
Salah satu isu yang mengemuka di negara kita  soal pengadilan ini 
yaitu  berhubungan dengan masalah manajemen kelembagaan dan 
ini terkait dengan perkembangan struktur sosial baru usai revolusi. Pada awalnya ada  serangkaian reaksi terhadap tertib kolonial 
yang bersifat memecah belah, yang mewujud dalam bentuk organisasi hukum kolonial, yang dalam organisasi ini kemajemukan 
mengandung diskriminasi yang menyakitkan antara golongan Eropa 
“yang maju” dan golongan pribumi “yang terbelakang.” Selain itu, 
para pemimpin politik dan kaum terpelajar yang berhaluan nasionalis 
mencita-citakan kesatuan nasional dan modernisasi yang untuk mewujudkannya maka unifikasi hukum hampir dipandang secara universal sebagai langkah niscaya yang harus ditempuh.
Dalam konteks ini, unifikasi pengadilan lalu menjadi masuk akal 
sebagai kebutuhan yang paling mendesak. Begitu disatukan, pengadilan nasional akan diilhami oleh dorongan-dorongan yang menempatkannya di peringkat pertama akan kesatuan nasional. Dorongan untuk 
meraih kesatuan sebagian tergantung dalam upaya mencari sumbersumber politik, yang di negara baru lazimnya tersebar luas. Di balik 
ketegangan, unifikasi pengadilan ataupun unifikasi administrasi pada 
umumnya ada  perebutan pengaruh antara elite nasional baru dan 
elite lokal yang lebih tua. negara kita  mengalami ketegangan semacam 
itu pada pasca-revolusi, yang bisa diringkas dalam skenario peninjauan ulang keberadaan pengadilan adat dan percobaan penerapan hukum Barat dalam satu kesatuan sistem yudisial.
Namun dewasa ini, fenomena struktural menunjukkan kesatuan 
peradilan menjadi sesuatu yang terkoyak-koyak. Di samping makin 
besar tuntutan menghidupkan kembali tradisi dan peradilan informal 
sebagai alternatif akses terhadap peradilan dengan otonomi daerah 
yang diakui oleh UUD 1945, juga semakin cepatnya macam jenis peradilan khusus, dan bahkan penyelesaian sengketa lewat badan-badan administrasi yang bersalin rupa menjadi “peradilan semu.” Struktur 
peradilan di negara kita dewasa ini makin membutuhkan penataan, 
termasuk di dalamnya keperluan untuk melakukan konsolidasi yang 
sistematis dan terpola dengan baik terhadap keberadaan pelbagai bentuk peradilan khusus653 dan peradilan semu atau lembaga-lembaga 
quasi peradilan yang tumbuh dan berkembang sangat cepat, meskipun kadang-kadang tanpa didahului oleh desain perencanaan yang 
benar-benar matang.
Untuk menentukan apakah kita berhadapan dengan suatu peradilan semu dalam hukum administrasi ataukah peradilan administrasi yang sesungguhnya (murni), haruslah kita meninjaunya dari dua 
rangkaian unsur-unsur atau kriterium, yaitu: kriterium formal organik 
dan kriterium materiil. Kriterium formal-organik yaitu  bilamana badan pemutus beserta anggotanya itu termasuk kekuasaan yang bebas/
independen terhadap Pemerintah ataukah tidak. Kriterium materiil 
meninjaunya dari segi tugas pokoknya yaitu memeriksa dan memutus 
persengketaan dan menetapkan hukumnya.
Suatu peradilan semu hanyalah memenuhi kriterium materiil saja, 
sedangkan kriterium formal-organik menunjukkan bahwa ia bukanlah termasuk kekuasaan yang bebas/independen terhadap Pemerintah, bahkan ia yaitu bagian dari struktur organisasi badan pemerintah. Suatu peradilan murni yaitu  bilamana memenuhi kedua 
unsur atau kriterium ini . Jumlah peradilan semu di negara kita  
pada waktu ini tidaklah banyak, dan contoh yang jelas yaitu  Panitya Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P) ataupun tingkat Daerah (P4D). Baik P4P maupun P4D yaitu organ 
yang termasuk dalam struktur organisasi Depar temen Tenaga Kerja, 
tetapi tugasnya maupun prosedur yang ditempuhnya di dalam bekerja 
yaitu  ciri-ciri dari suatu tugas di bidang peradilan. Contoh lainnya 
yaitu  Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang menyelesaikan 
masalah piutang negara yang macet penagihannya. PUPN ini secara 
formal-organisatoris termasuk Departemen Keuangan. Selain itu, dahulu sebelum tahun 1981, Panitya Urusan Perumahan juga yaitu peradilan semu di bidang sewa-menyewa yang menyangkut Surat Izin Penempatan Rumah, dan secara formal-organisatoris termasuk 
struktur pemerintah daerah. Tetapi sejak tahun 1981 wewenang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa soal sewa-menyewa telah 
dikembalikan kepada pengadilan negeri. Putusan-putusan dari peradilan semu ini masih dapat digugat di depan Peradilan Umum dengan 
dasar gugatannya, yaitu “perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah” (onrechtmatige overheidsdaad, ex. Pasal 1365 KUH Perdata). 
Di zaman sekarang, jenis dan rupa lembaga peradilan dalam praktik memang berkembang luas dan sangat beranekaragam. Ada lembaga atau badan peradilan khusus yang dikembangkan dalam lingkungan 
peradilan umum, seperti Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), 
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan 
Perikanan, dan Pengadilan Niaga. Ada pula pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, seperti Pengadilan Pajak. Bahkan di bidang-bidang lainnya juga bertumbuhan ide-ide baru 
untuk membentuk badan-badan peradilan yang khusus menangani 
bidang-bidang pembangunan yang tersendiri dengan maksud yang 
dapat dikatakan baik dan mulia untuk memberikan jaminan yang lebih 
baik dalam upaya pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas.
Di samping badan-badan yang secara tegas disebut sebagai lembaga peradilan khusus, ada pula lembaga-lembaga baru yang dibentuk 
dengan kewenangan yang bersifat semi atau quasi peradilan, seperti 
misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Daerah (KIP dan KID), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan bahkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Memang belum semua orang 
bersepakat untuk menganggap lembaga-lembaga seperti ini sebagai 
lembaga semi-peradilan. Akan tetapi, dengan karakteristik tugas dan 
fungsi serta kewenangannya yang bersifat mengadili, tidak dapat tidak 
lembaga-lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi 
Informasi Publik, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum ini di 
atas harus dilihat sebagai lembaga yang bekerja dalam ranah dan harus 
dilihat sebagai bagian dari sistem peradilan dalam arti yang luas.
Selain itu, beban tugas lembaga-lembaga pengadilan dalam pengertian konvensional dewasa ini dapat dikatakan mengalami perkembangan fungsional yang padat, sehingga muncul kesadaran mengenai 
pentingnya melakukan penataan kembali fungsi-fungsi peradilan, 
dengan memisahkan atau melakukan desentralisasi atau dekonsen-trasi dengan mengadakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar 
peradilan (out of court settlement). Dengan adanya mekanisme demikian, proses penyelesaian hukum tidak selalu diidealkan agar diselesaikan di dan melalui pengadilan (in-court settlement), tetapi dapat juga 
diselesaikan melalui luar-pengadilan (out-of court settlement). Karena 
itu, sistem hukum dan peradilan dianggap penting untuk dilengkapi 
dengan prosedur mediasi, arbitrase, dan bahkan hakim perdamaian.
Sistem peradilan di negara kita  sedang mengalami proses diferensiasi struktural, desentralisasi, dekonsentrasi, dan bahkan dekonstruksi 
kelembagaan yang sangat meluas. Dinamika perkembangan struktural 
demikian ini belum tentu dapat segera tertata dengan baik dan stabil 
dalam waktu dekat, karena ide-ide baru tentang peradilan khusus terus saja berkembang di antara para pakar dan apalagi para pengamat 
hukum melalui pelbagai media massa. Misalnya, dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kehutanan yang sekarang 
masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, ide untuk membentuk 
lembaga peradilan kehutanan juga dikembangkan meskipun masih 
terus diperdebatkan. Elsa Syarief, seorang advokat, dalam disertasinya mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan.656
Bahkan, pertengahan tahun lalu, di Thailand mengemuka ide pembentukan pengadilan khusus turis. Pada pertengahan 2010, Ketua 
Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa mengemukakan pendapat yang 
menolak pembentukan pengadilan khusus terorisme.Peneliti LIPI Samsuddin Haris juga mengusulkan pembentukan 
peradilan pemilu.658 Badan Narkotika Nasional (BNN) menggulirkan 
isu untuk membentuk pengadilan khusus narkoba. Demikian juga 
sehubungan dengan polemik pemidanaan terhadap dokter di Makassar, Ikatan Dokter negara kita  (IDI) mewacanakan pengadilan khusus 
bidang kesehatan.660 Sebelumnya, 13 Juli 2013, Komisi Nasional Perempuan dalam audiensi dengan Pimpinan Mahkamah Agung mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Perempuan dan Anak, terutama 
sekali untuk mempertajam penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).661 Dari survei Setara Institute terhadap 200 ahli 
tata negara, mengusulkan ide untuk membentuk pengadilan khusus 
sengketa pemilu dan pilkada. Pada sebuah pernyataan yang dikutip 
media 8 Januari 2014 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 
membuka kemungkinan untuk mengusut dugaan kasus korupsi di tubuh institusi Tentara Nasional negara kita  (TNI). Ada peradilan khusus 
yang akan digunakan untuk mengadili terduga korupsi dari kalangan 
TNI. 
Kriminalisasi yang menimpa proyek bioremediasi PT Chevron Pacific negara kita  (CPI) menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Bukan 
tidak mungkin ke depan kejadian yang sama bakal terulang. negara kita  
membutuhkan pengadilan khusus lingkungan guna menghindari hal 
ini 

Dalam sejarah peradilan di negara kita , istilah peradilan khusus dipahami sebagai antonim dari pengertian peradilan pada umumnya 
yang berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan 
Negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum negara kita  merdeka, 
ketiga jenjang peradilan ini bermula dari badan-badan peradilan yang sudah eksis dalam sistem peradilan Hindia Belanda, yaitu 
“Landraad” yang dijadikan Pengadilan Negeri, “Raad van Justitie” yang 
menjadi Pengadilan Tinggi, dan “Hogeraad” yang dkembangkan menjadi Mahkamah Agung. Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya ini di atas disebut Pengadilan 
Khusus, seperti Pengadilan Agama yang berasal dari “Priesterraad” dan 
lain-lain. 
Sesudah negara kita  merdeka, muncul pula pemikiran untuk mengadopsi perkembangan pengertian tentang negara hukum (rechtsstaat) 
di Eropa Barat yang mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara. Namun perkembangan ide pembentukan peradilan tata usaha negara ini di Eropah Barat memiliki sistemnya yang tersendiri, sehingga 
di Austria, di Jerman dan bahkan di Perancis, misalnya, sistem peradilan tata usaha ini tidak berpuncak di Mahkamah Agung melainkan 
memiliki mahkamah tertingginya sendiri. Pada pokoknya, Mahkamah 
Agung Perancis atau “Cour d’Cassation” hanya menangani perkaraperkara pidana dan perdata, demikian pula Mahkamah Agung Austria 
dan Jerman. Untuk menangani perkara-perkara tata usaha negara, di 
Perancis diadakan Dewan Negara atau “Conseil d’Etat”, sedangkan di 
Jerman dan Austria dibentuk Mahkamah Administrasi Negara “Verwaltungsgerichtshoft” yang tersendiri. Bahkan di Austria, untuk peradilan 
konstitusi, pada tahun 1920 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi atau 
“Verfassungsgerichtshoft” yang yaitu lembaga peradilan konstitusi pertama di dunia.2
 Semua bentuk peradilan itu tidak dilihat sebagai 
bentuk peradilan khusus, melainkan berkembang menjadi pengertian 
lingkungan peradilan yang tersendiri. Semua jenis lembaga peradilan 
ini , oleh Christian Van Vollenhoven dikelompokkan ke dalam 
4 macam peradilan, yaitu (i) Peradilan Tata Negara (Staatsrechtelijke 
Rechtspleging), (ii) Peradilan Tata Usaha Negara (Administratiefsrechtelijke Rechtspleging), (iii) Peradilan Pidana (Strafsrechtelijke Rechtspleging), dan (iv) Peradilan Perdata (Privaatesrechtelijke Rechtspleging).
Karena itu, sebenarnya, alasan untuk menyebut adanya istilah 
peradilan khusus itu dalam sejarah, hanyalah karena sudah diterima-nya pengertian mengenai peradilan umum, sehingga karenanya, yang 
lain dari peradilan umum itu harus disebut sebagai peradilan khusus. 
Baru sesudah diterima ide pembentukan peradilan tata usaha perlu 
dipahami satu pengertian lagi, yaitu peradilan tata usaha negara. Karena itu, pada mulanya—seperti tercermin dalam Penjelasan Pasal 7 
ayat (1) UU No. 19/1964, dikenal adanya tiga jenis peradilan, yaitu 
Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam UU No. 19/1964 ini, peradilan agama dianggap termasuk ke 
dalam pengertian pengadilan khusus. Pengertian demikian ini dikoreksi pada masa Orde Baru sehingga dengan UU No. 14/1970, peradilan 
agama itu dianggap yaitu lingkungan peradilan yang tersendiri 
di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Selain pengertian pengadilan agama dan pengadilan militer yang 
kemudian dikembangkan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri seperti dikemukakan ini di atas, dapat dikatakan bahwa pengadilan khusus pertama yang pernah dibentuk di negara kita  yaitu  
Pengadilan Ekonomi pada tahun 1955. Pengadilan Ekonomi dibentuk 
berdasarkan UU Darurat No. 7 Tahun 1955 untuk mengadili perkara tindak pidana di bidang perekonomian. Kemudian dibentuk pula 
Pengadilan Landreform untuk mengadili perkara-perkara pidana, perdata, dan tata-usaha negara yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan land-reform. Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian 
peradilan umum.
Pada tahun 1964, dengan UU No. 19/1964 dibedakan adanya tiga 
jenis peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kedua bentuk Pengadilan Ekonomi dan 
Pengadilan Land-reform ini di atas termasuk ke dalam pengertian Peradilan Umum, sedangkan yang dimaksud dengan Peradilan 
Khusus yaitu  Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Sementara 
itu, yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara yaitu  peradilan sebagaimana disebut dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 
sebagai peradilan administratif. Di dalamnya tercakup juga pengertian 
peradilan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU No. 
18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian 
(LNRI 1961 No. 263; TLN No. 2312). Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara ini baru diperlakukan sebagai 
lingkungan peradilan sendiri yang setara dengan peradilan umum de-ngan dicantumkannya ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan itu dalam UU No. 14 Tahun 1970. Dengan demikian, pengertian pengadilan khusus ditiadakan dan diganti dengan pengertian 
lingkungan peradilan.
Namun sebelum dibentuknya UU No. 14/1970 ini, di masa awal 
Orde Baru, meskipun bentuk-bentuk pengadilan khusus, seperti Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-reform663 ini di atas sudah 
tidak ada lagi, tetapi ketika itu muncul kebutuhan yang dipandang 
mendesak untuk membentuk pengadilan khusus untuk mengadili eks 
anggota Partai Komunis negara kita  beserta simpatisannya. Penyelenggaraan peradilan bersifat istimewa berdasarkan prinsip-prinsip hukum 
militer yang bersifat sementara. Pengadilan khusus ini disebut Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Ketika itu, kedudukan Mahmilub 
ini sangat penting dan kinerjanya sangat efektif dan progresif dalam 
mengadili dan menghukum orang-orang yang dipandang terkait dengan PKI dan peristiwa G-30-S/PKI. Perkembangan demikian ini terus 
berlangsung sampai kemudian dilakukan konsolidasi dan penataan 
struktural terhadap sistem peradilan nasional pada tahun 1970 dengan 
dibentuknya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan 
Kehakiman.
Karena besarnya pengaruh sistem peradilan militer melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mulai tahun 1965, struktur peradilan militer itu dimuat dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman itu sebagai salah satu lingkungan peradilan yang 
tersendiri, di samping peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, yang masing-masing dapat dikatakan mempunyai latar belakarang ide dan sejarahnya sendiri-sendiri. Seharusnya, 
peradilan militer tidak perlu dimasukkan ke dalam rezim hukum peradilan biasa, karena fungsinya terkait dengan hukum keadaan darurat, 
bukan hukum dalam keadaan normal. Dalam keadaan normal, peradilan militer itu seharusnya hanya dikaitkan dengan fungsi peradilan 
disiplin internal prajurit dan perwira militer. Pengadilan Militer dapat 
berfungsi, baik sebagai peradilan sipil maupun sebagai peradilan militer secara bersama-sama, hanya dalam kondisi negara dalam keadaan darurat perang atau keadaan darurat militer.
Karena itu, keberadaan pengadilan militer seharusnya hanya tidak 
diperlakukan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri, melainkan 
cukuplah dipandang sebagai salah satu bentuk pengadilan khusus, yaitu bersifat internal militer ketika kondisi negara berada dalam keadaan normal, dan bersifat eksternal dengan kemungkinan menjalankan 
fungsi peradilan sipil manakala fungsi-fungsi peradilan sipil tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya berhubungan kondisi negara 
berada dalam keadaan darurat perang atau darurat militer. Dengan demikian, keadilan tidak malah dicampur-adukkan antara kondisi negara 
dalam keadaan normal dan keadaan tidak normal. “Normale recht voor 
normale tijd, en abnormale recht voor abnormale tijd” (hukum yang 
normal untuk keadaan norma, dan hukum yang tidak normal untuk 
keadaan tidak normal). 
Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan 
hal itu ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai 
masing-masing lingkungan peradilan. Dari 4 UU yang mengatur mengenai Badan Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun 
1986 tentang Peradilan Umum, sementara dalam 3 UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU 
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 
tentang Peradilan Militer sama sekali tidak menyebutkan satu kata 
pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya menimbulkan satu pertanyaan, 
apakah dalam ketiga Badan Peradilan ini dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan atau tidak. Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam 3 badan peradilan ini tampaknya 
memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu memang belum 
pernah ada pengadilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan selain Peradilan Umum, 3 badan peradilan lainnya itu sendiri 
sebenarnya secara inheren sudah dianggap yaitu pengkhususan dari Peradilan Umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil jika 
dalam peradilan khusus ini diadakan pengkhususan lagi. Hal ini 
bisa terlihat dari penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 ini .
Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini , satu hal yang perlu dicatat dari kedua UU ini dalam kedua UU ini terlihat bahwa 
istilah Pengadilan Khusus belum dikenal. Istilah Pengadilan Khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4/2004 yang menggantikan 
UU No. 14/1970. Dalam UU No. 4/2004 ini posisi Pengadilan Khusus 
tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah 
dimasukkan dalam bagian Batang Tubuh.664
Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman 
di atas tampaknya penegasan pengaturan Pengadilan Khusus dalam 
bagian Batang Tubuh dilakukan karena pada saat dirumuskannya UU 
No. 4/2004 ini Pengadilan Khusus yang sudah didirikan memang 
sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelumnya dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang 
ada atau pernah ada hanya 1 buah, yaitu Pengadilan Ekonomi.
Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 
tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata 
Usaha Negara. Dalam pasal 9A UU No. 9/2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat 
dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena dua hal, pertama untuk dapat membuat Pengadilan Pajak yang pada awalnya berdasarkan UU didirikan sebagai 
badan peradilan tersendiri menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. 
Kedua karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap 
3 badan/lingkungan peradilan selain Peradilan Umum yang dahulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai 
peradilan khusus.
Sayangnya, ketika reformasi, ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan menurut UU No. 14/1970 itu diadopsi begitu saja 
dalam rangka Perubahan Keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Hal itu 
dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan 
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Karena itu, resmilah struktur konstitusional kelembagaan peradilan 
di negara kita  terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung 
yang di dalamnya ada  4 lingkungan peradilan sebagaimana dikemukakan di atas. Dengan pengaturan pada tingkat konstitusi ini tentu 
timbul kesulitan untuk mengevaluasi secara menyeluruh mengenai 
struktur dan pengertian lingkungan peradilan ini di atas.
Namun demikian, dengan struktur peradilan yang ada, kita dapat 
mengonsolidasikan semua ide tentang lembaga peradilan yang bersifat 
khusus secara pasti ke dalam salah satu lingkungan peradilan yang ditentukan oleh UUD 1945 itu. Semua bentuk dan jenis pengadilan khusus 
harus dikembalikan hakikat keberadaannya dalam konteks lingkungan 
peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, atau 
peradilan militer. Tentu ada kesulitan ketika harus membahas mengenai bentuk kelembagaan yang bersifat quasi-peradilan atau peradilan 
semu, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Informasi Pusat (KIP), Komisi Penyiaran negara kita  (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lain-lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini 
termasuk ke dalam lingkungan peradilan umumkah atau lingkungan 
peradilan tata usaha negara? Pertanyaan ini tentu dapat dijawab menurut karakter bidang hukum yang ditangani oleh masing-masing lembaga quasi peradilan ini yang tentunya perlu dibahas secara tersendiri.
C. PERTUMBUHAN PERADILAN KHUSUS
Ide pembentukan peradilan khusus terutama sangat berkembang 
di masa sesudah  reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Pada akhir masa Orde Baru, dibentuk satu pengadilan khusus, yaitu Pengadilan Anak berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997. sesudah  
reformasi, desentralisasi pemerintahan dan diversifikasi fungsi-fungsi 
kekuasaan negara berkembang luas bersamaan dengan gerakan liberalisasi dan demokratisasi di segala bidang kehidupan. Karena itu, 
lembaga peradilan yang bersifat khusus semakin banyak didirikan oleh 
Pemerintah. 
Pada tahun 1998, dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998, kita mendirikan Pengadilan Niaga yang pertama kali. Selanjutnya, pada tahun 2000 dan tahun 
2002, dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan UU No. 26 Tahun 2000, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dengan UU No. 30 Tahun 2002.
Selain itu, telah dibentuk Pengadilan Penyelesaian Perselisihan 
Hubungan Industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004, dan Pengadilan Perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004665, dan banyak lagi lainnya. Bahkan, setiap kali selalu saja muncul ide-ide baru untuk membentuk pengadilan khusus lainnya yang pada umumnya dimaksudkan 
untuk lebih mengefektifkan upaya penegakan hukum di bidang-bidang 
tertentu, seperti misalnya di bidang kehutanan, dan sebagainya. Karena itu, ketika muncul kebutuhan untuk membentuk undang-undang 
baru di bidang kehutanan, muncul pula ide untuk membentuk pengadilan kehutanan dalam rancangan undang-undang yang dibahas di 
Dewan Perwakilan Rakyat. 
Inisiatif ide-ide seperti ini kadang-kadang datang dari kalangan 
anggota DPR, tetapi kadang-kadang justru datang dari Pemerintah 
sendiri yang sering kali tidak didasarkan atas hasil kajian yang terpadu, terutama karena lemahnya koordinasi antar-instansi pemerintah 
sendiri. Itulah sebabnya, maka bentuk-bentuk baru pengadilan khusus 
terus bertumbuh dan bertambah jumlahnya dalam sistem peradilan 
negara kita  pasca-reformasi.
Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai 
syarat pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata 
baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai 
badan/lingkungan peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah undang-undang. Sementara itu jika dilihat dari 
pengaturan dalam 8 UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang ada 
dan pernah ada dasar pengkhususan dapat dibagi menjadi dua, yaitu 
pengadilan yang kekhususannya karena hukum materil yang menjadi 
ruang lingkupnya, dan pengadilan yang kekhususannya karena subjek 
yang terlibat. Pengadilan khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, 
Pengadilan Pajak dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, dalam 
pengertian setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentumenjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap 
perkara Tindak Pidana Ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada pengadilan Niaga setiap perkara Kepailitan, Penundaan 
Kewajiban Pembayaran Utang dan HAKI yaitu wilayah Pengadilan Niaga. Pada Pengadilan Pajak sengketa pajak yang menjadi ruang 
lingkupnya. Pada Pengadilan HAM pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu Tindak Pidana Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum ini 
dapat diselesaikan diluar pengadilan pengadilan khusus ini . 
Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar 
kekhususan yaitu  subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak subjek 
yang menjadi sumber kekhususan yaitu  tersangka/Terdakwa nya, 
dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan 
Korupsi tidak semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan 
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam 
pengadilan ini, perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh 
pihak Kejaksaan tetap diperiksa pada pengadilan negeri. 
Dilihat dari pengkhususan-pengkhususan ini terlihat bahwa Pengadilan Korupsi yaitu pengadilan khusus yang paling 
berbeda dari yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini 
membuka kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara 
korupsi antara perkara korupsi yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri 
dengan yang diperiksa oleh Pengadilan Korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi 
di sisi lain hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karier; Pengadilan Korupsi yang mayoritas diisi 
oleh hakim ad hoc dapat menjadi alat ukur apakah asumsi masyarakat 
bahwa pengadilan/hakim karier sudah sedemikian korupnya benar 
atau tidak. Jika ternyata dalam perkara korupsi putusan dari Pengadilan Korupsi lebih baik dibandingkan  pengadilan negeri umum maka asumsi 
publik ini tentunya bukan isapan jempol belaka, dan pengadilan 
harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.
Jika diidentifikasi ada  11 peradilan khusus yang berkembang 
dewasa ini yaitu: (i) Pengadilan Anak; (ii) Pengadilan Niaga; (iii) Pengadilan HAM; (iv) Pengadilan Tipikor; (v) Pengadilan Hubungan Industri-al; (vi) Pengadilan Perikanan; (vii) Pengadilan Pajak;666 (viii) Mahkamah 
Pelayaran;667 (ix) Mahkamah Syariah di Aceh;668 (x) Pengadilan Adat di 
Papua;669 (xi) Pengadilan Tilang.670
D. PERTUMBUHAN DAN PERANAN HAKIM AD HOC
Dalam konteks ini, yang dimaksudkan sebagai hakim ad hoc adalah hakim yang bukan dididik dan yang bukan berkarier khusus sebagai 
hakim.671 Menurut Supomo, hakim dalam ketegori ini telah dikenal sejak masa Hindia Belanda, khususnya dalam Pengadilan Landraad yang 
mendampingi majelis hakim, juga dalam hakim perdamaian desa.672
Dewasa ini hakim ad hoc dikenal dalam pengadilan khusus dalam 
lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Dalam 
lingkungan peradilan umum, hakim ad hoc dikenal dalam (i) Pengadilan Niaga; (ii) Pengadilan HAM; (iii) Pengadilan Tipikor; (iv) Pengadilan 
Hubungan Industrial; dan (v) Pengadilan Perikanan. Dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, hakim ad hoc dikenal dalam pengadilan TUN dan pengadilan pajak.
Akan tetapi, sesungguhnya secara yuridis UU No. 5/1986 tentang 
PTUN yang memperkenalkan hakim ad hoc, sekalipun di dalam praktik tidak pernah ditetapkan. Ketentuan UU ini menegaskan bahwa hakim ad hoc ditetapkan manakala perkara memerlukan keahlian dalam 
memeriksa suatu perkara tertentu dapat diangkat hakim ad hoc. Pembentukan hakim ad hoc selanjutnya akan ditentukan dengan Peraturan 
Pemerintah yang juga tidak pernah dibentuk. 
Dengan demikian, pertimbangan kebutuhan hakim ad hoc dalam 
Pengadilan TUN yaitu  untuk memeriksa dan memutus perkara untuk mengadili masalah hukum tertentu. Hal demikian juga ada  dalam 
Pengadilan Niaga.649 Sekalipun keahlian khusus disyaratkan harus memiliki hakim ad hoc ini sebagai anggota majelis hakim tetapi sesungguhnya hampir tidak ada bedanya dengan hakim karier dan alat bukti 
dengan ahli bila maksudnya hanya untuk memperbaiki ratio decidenci 
suatu putusan. 
Keberadaan hakim ad hoc dibutuhkan pada sisi lain karena alasan 
perlunya “keahlian” dalam proses pengambilan keputusan sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Hak Asasi Manusia.650 Syarat kepedulian ini dapat dikatakan lebih bersifat politis dibandingkan  substansi 
keadilan. Oleh karena itu, syarat ini tidak akan bermakna apa pun ketika hakim dalam mengambil putusan dari perspektif keadilan. Bahkan 
bisa menjadi faktor negative terhadap asas imparsial, impersonal, dan 
objektif dari hakim ketika mengadili suatu perkara.651
Namun keberadaan hakim ad hoc memiliki peran lain, yaitu diberikan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan seperti ditentukan dalam Pengadilan Hubungan Industrial.652 Konsep partisipasi 
ini para pihak, yaitu organisasi pekerja dan pengusaha berpartisipasi 
untuk memasukkan ke dalam daftar calon yang akan menjadi hakim 
ad hoc. 
Dengan memperhatikan alasan-alasan keberadaan hakim ad hoc
di atas, bisa saja menimbulkan permasalahan mendasar. Dari perspektif konstitusi dan perundang-undangan, mengapa di antara 4 
lingkungan peradilan, keberadaan hakim ad hoc hanya dimungkinkan 
eksis pada 2 lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum 
dan lingkungan peradilan tata usaha negara? Di lingkungan peradilan 
umum telah dibentuk lingkungan pengadilan khusus dengan disertai eksistensi hakim ad hoc, yaitu (i) pengadilan niaga; (ii) pengadilan 
HAM; (iii) pengadilan korupsi; (iv) pengadilan perikanan; dan (v) pengadilan hubungan industrial.
Mengapa hakim ad hoc tidak diperkenankan berada dalam lingkungan peradilan umum yang memiliki kompetensi memeriksa dan 
memutus perkara pidana dan perkara perdata seperti halnya penga-dilan negeri? Bukankah lingkungan pengadilan ini memiliki pencari 
keadilan yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan pengadilanpengadilan khusus? Bukankah sorotan kinerja negatif, kemungkinan 
penyalahgunaan wewenang, dan pelayanan publik akan lebih banyak 
pada pengadilan negeri?
Oleh sebab itu, sesuai pendapat Luhut M.P. Pangaribuan, bahwa 
keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan khusus lebih yaitu 
ikhtiar yang bersifat reaktif sesaat dibandingkan  konseptual dalam memperbarui sistem pengadilan.653 Reaktif di sini maksudnya karena kehadirannya hanya untuk menjawab kebutuhan yang pragmatis di masyarakat, yaitu adanya ketidakpuasan yang tinggi terhadap kelembagaan 
pengadilan yang hanya ada hakim karier. Putusan-putusan pengadilan 
yang mengecewakan memang telah menjadi pembicaraan hampir di 
semua forum publik, akademik, politis, dan legislasi untuk waktu yang 
lama.









MAHKAMAH KONSTITUSI 
DAN PENGUJIAN 
KONSTITUSIONALITAS 
UNDANG-UNDANG
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) perlu 
dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas 
UUD 1945.471 Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan 
Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip 
baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan 
kekuasaan dan “checks and balances” sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan 
ini , maka pertama, perlu diadakan mekanisme untuk memutus 
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antarlembaga-lembaga 
yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, 
yang kewenangannya ditentukan dalam UUD. Kedua, perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan 
diri pada prinsip “the rule of majority”.
472 Karena itu, fungsi-fungsi judi-
cial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau 
Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. 
Di samping itu, ketiga, juga diperlukan adanya mekanisme untuk 
memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat 
diselesaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkaraperakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para 
warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin 
oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian sengketa atas hasil 
pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 
empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) 
dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Keempat 
kewenangan itu473 yaitu : (1) menguji undang-undang (UU) terhadap 
UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antarlembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Adapun kewajibannya yaitu  memutus pendapat DPR bahwa presiden 
dan/atau wakil presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai presiden dan/
atau wakil presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.474
Pada bab ini akan diuraikan mengenai sorotan terhadap wewenang MK dalam melakukan pengujian Undang-Undang. Kewenangan ini yaitu kewenangan yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima 
kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi menurut UUD 
1945. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan 
apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan ini , yang dapat dikatakan 
paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan yaitu  
pengujian atas konstitusionalitas UU. 
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Un-dang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel atau 
formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam 
UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil yaitu  pengujian 
mengenai proses pembentukan UU ini menjadi UU apakah telah 
mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak. 
Istilah pengujian konstitusionalitas merujuk kepada pelaksanaan 
pengujian konstitusional suatu undang-undang yang dilaksanakan 
oleh Mahkamah Agung atau Peradilan (khusus) Konstitusi, yang mana 
badan terakhir ini dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi. Pengujian 
konstitusionalitas itu sendiri, sebagai suatu istilah hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan 
oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih 
luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah 
undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut pengujian konstitutionalitasnya, yaitu 
terhadap konstitusi.475
Pelaksanaan wewenang MK, yang yaitu bentuk judicial activism,476 dengan melakukan pengujian hukum, sesungguhnya menjaga 
konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu sering menjadi 
“momok” (scourage) konstitusionalisme.477 Tidak berlebihan bahwa 
ada sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the 
political spectrum seems to be that judicial activism is bad.”478 Sebagai 
suatu konsep konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance becomes questionable.”479
Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna sendiri pada ketatanegaraan negara kita . Khususnya dalam rangka melaksanakan kewenangan pengujian konstitusional—yang antara lain 
berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada, baik langsung maupun 
tidak langsung, MK telah memberikan warna baru bagi perkembangan 
hukum dan sistem hukum di negara kita . Melalui putusan-putusan MK 
untuk pengujian konstitusional, pengaruh ini mencakup hukum 
konstitusi dan menjangkau hampir semua lapangan hukum, yaitu dalam bidang politik, hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan pengujian konstitusional oleh MK telah menghasilkan putusan-putusan yang 
penting dan memberikan khazanah baru. 
Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas 
putusan-putusan ini . Ada putusan yang dinilai melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan mengikat.480 Selain itu, seperti telah disinggung 
di atas, pengaturan UUD 1945 tentang pengujian konstitusional telah 
sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan konflik peraturan dan konflik orang atau lembaga.481 Selanjutnya, ada  putusan MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa 
yang dimohonkan)482 seperti (ii) putusan pengujian UU Ketenagalistri-kan;483 (ii) putusan pengujian UU KKR;484 dan (iii) putusan pengujian 
UU BHP485 yang mengarah kepada intervensi ke dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang dianggap melanggar asas nemo judex in 
causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri sendiri), 
serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan 
kepada pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang 
lain, padahal mandat dari UUD 1945 yaitu  pengujian konstitusionalitas UU terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian 
selanjutnya yaitu  masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu 
kekuasaan yudisial, putusan pengadilan yaitu produk kenegaraan yang mengikat486 antara lain kemampuannya menciptakan atau 
menetapkan keadaan hukum baru.487
Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan 
UUD bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini adakalanya membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan 
ini , muncul gagasan agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau 
amendemen UU MK yang dapat membatasi kewenangan dan dapat 
mengontrol MK. Arahnya yaitu  larangan bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan masuk ke ranah lain 
seperti ranah legislatif dan yudisial.488 PERTUMBUHAN DAN IMPLEMENTASI PENGUJIAN 
KONSTITUSIONALITAS
Keberadan pengujian konstitusional tidak dapat dipisahkan dari 
eksistensi konstitusi dalam suatu negara. Pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati isu yang bersifat politik, maka pembebanan 
kepada strategi mempertahankan konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada banyak strategi mempertahankan konstitusi 
dan salah satu aktor yang “menanggung” beban itu yaitu  pengadilan dengan pelekatan skema CR. Menyusul uraian lebih perinci pada 
pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai strategi 
mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the judicialization of politic”. 
Pemahaman ini mempunyai dua aspek yang berbeda akan 
tetapi berkaitan. Pertama, aspek yang memandang bahwa pengadilan 
“have embraced a new, higher profile political role that depicts them as 
defenders of constitutional commitments, advocates of rights, and arbiters of social policy conflicts.”489 Pengadilan kemudian “have been granted or have begun exerting the power to review legislation under the 
constitution”490 dan sebagai akibatnya, pengadilan “assumed a more 
significant role within important political and social debates that were 
traditionally left to the elected branches.”491 Kedua, “the judicialization 
of politic” dicirikan dengan “the growing use of law, legal discourse, and 
litigation by a range of political actors, including politicians, social movements, and individual actors.”492 Sebagai akibatnya, seperti dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws with the courts’ 
language and opinions in mind and social movements, individual citizens and the political opposition alike frame their political struggles in 
the language of rights, and turn to courts to advance them.”493
Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme pengadilan ini sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan mengenai 
supremasi hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum, demokrasi
acapkali dimaknai sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat yaitu 
entitas tertinggi.494 Pemaknaan demikian menyusun bangun kedaulatan rakyat dengan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian kedaulatan rakyat di sini bukanlah 
seperti gagasan Rousseau yang “mengidentifikasi kehendak negara dengan kehendak umum sehingga tidak bertentangan sama sekali antara 
kehendak individu (volonte parti cullere) dengen kehendak negara.”495
Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini yaitu  rakyat 
bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang pluralis.496
Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-kekuatan 
yang berkembang di dalam masyarakat.497 Hal ini tidak berarti kedaulatan berada di tangan mayoritas, akan tetapi secara teoretis terletak 
pada representasinya sebagai resultan atas semua pengaruh kekuatan 
politik.498 Dengan demikian, tidak dapat diklaim sepenuhnya bahwa 
kekuatan mayoritas menjadi satu-satunya kekuatan dalam suatu majelis pemilihan atau badan perwakilan, melainkan harus dipandang sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung 
di tengah masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, sekalipun demokrasi modern mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan tetapi sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan perwakilan. Oleh karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan ini , 
maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang ditetapkan, termasuk Undang-Undang, berpotensi untuk bertentangan 
dengan komitmen demokrasi itu sendiri terutama yang tertuang dalam konstitusi sebagai kontrak politik tertinggi kehidupan berbangsa 
dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu badan yang netral 
dan imparsial untuk melaksanakan forum yang memungkinkan peninjauan (review) terhadap keputusan-keputusan badan perwakilan dikaitkan dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.
Pada sisi lain, sebelum Perang Dunia II, hanya sejumlah kecil konstitusi suatu negara yang memuat mekansime pengujian konstitusional, namun sekarang sebanyak 158 dari 191 konstitusi yang secara tegas mengaturnya. Dari jumlah itu, sebanyak 79 konstitusi mendesain 
pengujian konstitusional oleh badan pengadilan khusus dan sejumlah 
lainnya melekatkan wewenang ini pada badan pengadilan umum 
atau MA. Hanya sebagian kecil konstitusi seperti China, Vietnam, dan 
Burma, menentukan wewenang itu pada Parlemen.499 Beberapa negara 
seperti Amerika mengembangkan mekanisme pengujian konstitusional itu tanpa ketentuan mandat yang tegas dalam konstitusi.
Perluasan penerimaan pengujian konstitusional dapat menyangkut gagasan maupun kelembagaannya. Keberadaan pengujian konstitusional sering diasosiakan dengan pikiran populer mengenai HAM di 
abad ke-20.500 Namun ilmuwan politik melihatnya sebagai salah satu 
mekanisme untuk menyelesaikan sengketa (dispute resolution).501
Pada rubrik ini menyajikan penerimaan pengujian konstitusional dan 
mengkaji kembali bermacam-macam penjelasan politik mengenai 
pembentukan, pertumbuhan, dan perluasan kelembagaan dengan tekanan pada gagasan dan kelembagaannya.
Sejarah pengujian dapat dikatakan dimulai sejak kasus Marbury 
versus Madison ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin 
oleh John Marshall pada tahun 1803.502 Sejak itu, ide pengujian UU 
menjadi populer dan secara luas didiskusikan di mana-mana.503 Ide ini 
juga memengaruhi sehingga “the fouding fathers” negara kita  dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. 
yaitu  Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA 
diberi kewenangan untuk “… membanding undang-undang …”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu.504 Akan tetapi, ide ini ditolak 
oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa UUD 
negara kita  itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut 
ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide 
pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.505
Namun sekarang, sesudah  UUD 1945 mengalami perubahan 4 kali, 
paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR 
dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai 
penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan 
dengan kekuasaan yang tidak terbatas,506 maka sekarang—sesudah  Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya 
sebagai pelaku kedaulatan rakyat.507
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh 
rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan 
Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di 
bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan 
Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan 
legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR,508 maka mau tidak mau 
kita harus memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip 
pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua 
argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah mengalami 
perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat 
lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
Bahkan, seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah 
menjadi negara demokrasi, fungsi pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu dilembagakan ke dalam 
fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar organ 
Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk 
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.509
Tentu ada juga model-model kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang 
berbeda dari satu negara ke negara lain.510
Ada negara yang mengikuti model Venezuella di mana Mahkamah 
Konstitusinya berada dalam lingkungan Mahkamah Agung, ada pula 
negara yang tidak membentuk lembaga yang tersendiri, melainkan menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini sebagai salah satu tambahan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika 
Serikat dan semua negara yang dipengaruhinya menganut pandangan 
seperti ini.511 Akan tetapi, sampai sekarang, di seluruh dunia ada  78 
negara yang melembagakan bentuk organ konstitusi ini sebagai lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat 
mempelopori pembentukan lembaga baru ini yaitu  Austria pada tahun 1920512, dan terakhir yaitu  Thailand pada tahun 1998 untuk selanjutnya negara kita  menjadi negara ke-78 yang membentuk lembaga 
baru ini berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung.513 Namun di antara 
ke-78 negara itu, tidak semua menyebutnya Mahkamah Konstitusi.514
Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel)515 atau Belgia yang menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage),516 Orang 
Perancis cenderung menyebutnya demikian, karena lembaga ini tidak 
dianggap sebagai pengadilan dalam arti yang lazim. Karena itu, para 
anggotanya juga tidak disebut hakim. Terlepas dari perbedaan ini, 
yang jelas di ke-78 negara itu,517 Mahkamah Konstitusi itu dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.PERTUMBUHAN PENGUJIAN KONSTITUSIONAL 
DI negara kita 
Sesudah ditolak dalam rangka pembentukan UUD 1945 menjelang 
proklamasi kemerdekaan, gagasan pengujian konstitusional kembali 
dilontarkan pada dekade 1950-an. Gagasan itu hendak beriringan dengan anggapan bahwa pengadilan harus memberi sumbangan kepada 
pertumbuhan hukum dan ini bukan yaitu hal yang baru. Berbeda dengan kebanyakan di negeri lain, originalitas sistem hukum (baca: 
hukum adat) memberi kepada hakim peranan yang besar baik dalam 
menemukan aturan hukum maupun pengenalan perubahan hukum. 
Sekalipun demikian, menurut Daniel S. Lev, hanya sedikit hakim yang 
kreatif di masa pasca-revolusi dalam hal yang terkait dengan pengembangan hukum.518 Hal itu untuk sebagian karena tidak mempunyai kepercayaan diri, hanya sedikit hakim yang pernah bertugas di pengadilan sebelum perang, dan hakim yang lebih muda, sering tidak cukup 
mempunyai pengetahuan maupun pengalaman. Tatkala para hakim 
didorong agar kreatif, struktur hukum tertulis terancam roboh.
Barangkali itu yang menjadi maksud tersirat dari penolakan Soepomo saat menganggap pengujian konstitusional tidak perlu mendapat tempat di negara kita . Akibatnya, sekalipun ada tuntutan peranan 
pengadilan yang lebih substantif, pasca-kemerdekaan upaya untukmenetapkan posisi yang diterima secara ideologis untuk pengadilan 
tetap membingungkan. Para hakim didorong untuk meninjau kembali 
peraturan perundang-undangan kolonial, tetapi tidak untuk peraturan 
perundang-undangan negara sesudah  merdeka. Maka menurut Menteri 
Kehakiman Sahardjo, “Memang hakim tidak boleh menelaah kembali 
peraturan perundang-undangan, kalau peraturan perundang-undangan itu hasil para pembuat undang-undang kita sendiri. Jika peraturan 
perundang-undangan ini bukan hasil para pembuat peraturan 
perundang-undangan kita sendiri, maka hakim harus meninjau kembali.”519
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS (1949), Mahkamah Agung 
ditempatkan sebagai “pengadilan federal tertinggi.”520 Namun kewenangan pengujian konstitusional tampaknya dikunci dengan keten-tuan bahwa Undang-Undang Federal tidak dapat diganggu gugat.521
Pada sisi lain, konstitusi memberikan kewenangan kepada Mahkamah 
Agung untuk melakukan pengujian konstitusional peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu negara bagian.522
sesudah  kembali kepada negara kesatuan, maka diberlakukan UUD 
Sementara (1950) yang antara lain menempatkan Mahkamah Agung 
sebagai peradilan negara tertinggi. Pengujian konstitusional terhadap 
undang-undang tidak dapat dilakukan karena ia yaitu produk 
hukum yang tidak dapat diganggu gugat.523
Gagasan pengujian konstitusional sudah barang tentu lekat dengan posisi kekuasaan kehakiman yang independen. Dalam perdebatan pembentukan konstitusi baru di Konstituante,524 para hakim, 
dengan berpijak kepada Pasal 102 UUD Sementara yang melarang 
intervensi eksekutif atas peradilan, menganggap posisi mereka begitu 
istimewa. Para hakim menyusun segala alasan yang secara tradisional 
mengabsahkan pengadilan yang kuat dan bebas. Sayangnya, Konstituante menolak gagasan untuk memperkuat pengadilan. 
Sepanjang masa perdebatan mengenai tempat kekuasaan kehakiman menurut konstitusi, contoh-contoh dari praktik di luar negeri 
menjadi acuan. Pada tahun 1955, Hakim Soerjadi meninggalkan Indonesia untuk melakukan perjalanan keliling AS dan ia memperoleh 
kesan yang mendalam tentang kekuasaanbadan kehakiman federal 
dan kehormatan yang disandang oleh hakim-hakimnya. Kesan ini memengaruhi gagasannya akan badan peradilan yang lebih kuat. Sesudah 
kembali ke negara kita , acuan praktik-praktik yang berlaku di AS sering 
ditampilkan. Sementara para hakim menoleh ke AS dan Inggris, yang 
kekuasaan kehakimannya begitu menarik, para penuntut mengutip 
praktik di Eropa Daratan terutama di Belanda.525
Pada tahun 1956, para hakim menyusun seperangkat ide untuk 
merumuskan pasal-pasal konstitusi yang berkenaan dengan organisasi 
dan kekuasaan kehakiman. Pasal-pasal itu memuat ketentuan, antara 
lain, kekuasaan kehakiman yang dikelola oleh Mahkamah Agung, de-ngan pengangkatan hakim agung seumur hidup. Akan tetapi, usulan 
yang paling radikal yaitu  Mahkamah Agung supaya diberi wewenang 
konstitusional untuk meninjau kembali semua undang-undang yang 
dibuat oleh Parlemen. Usulan ini yaitu lompatan konseptual 
yang amat jauh yang diajukan oleh para hakim, karena pengadilan di 
negara kita  maupun Belanda selama ini tidak pernah memiliki kekuasaan semacam itu. Di negara kita , sebagaimana umumnya di Eropa waktu 
itu, titah Parlemen tidak dapat diganggu gugat. Hal yang mendorong 
para hakim untuk mengajukan permintaan seperti itu yaitu  keinginan kuat mereka untuk mendapatkan kembali posisi penting mereka di 
masa silam, memainkan peran penting dalam pemerintahan, seperti 
yang dimainkan oleh pengadilan AS.
Konstituante, lewat rapat-rapat komisi kehakiman, tampaknya antusias dan menyetujui gagasan itu. Konstituante tidak hanya setuju pengelolaan pengadilan yang mandiri, tetapi juga pembentukan sebuah 
badan pengadilan konsttiusi yang susunan hakimnya 2/3 terdiri dari 
para hakim agung. Keinginan hakim akan adanya sebuah badan kehakiman yang yaitu cabang pemerintahan ketiga yang penting dan 
kuat, akhirnya terpenuhi.
Namun rasa puas itu tampaknya tidak berlanjut. Konstituante tampaknya bukan forum yang tepat untuk memperjuangkan gagasan itu 
karena badan ini sering melakukan tawar-menawar tentang asas dan 
bentuk yang tidak berakar pada kenyataan politik di luar rapat-rapat. 
Perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan politik di negara kita  
tampanya begitu cepat dan Konstituante sendiri tersapu pada pertengahan tahun 1959 sebelum merampungkan pekerjaannya. Para hakim kecewa, sesudah  seakan-akan mendekati tujuan mereka selama ini. 
Pada transisi politik sesudah  tahun 1965, gagasan itu kembali diperjuangkan. Bagi para pendukung pengujian konstitusional hal itu tidak 
bisa lain berarti kontrol kelembagaan, yang dengan demokrasi terpimpin di belakang dan kekuatan tentara di depan, yaitu konsep pokok negara hukum yang liberal. Keinginan adanya badan pengadilan 
yang kuat didominasi oleh pandangan agar badan itu lebih baik menjadi saluran terakhir yang memberi kemungkinan untuk menegakkan 
kontrol kelembagaan negara.
Seminar Hukum Nasional II tahun 1968 di Semarang menjadi wahana pertama bagi upaya itu. Seminar ini penting karena merepresentasikan tantangan terbuka para hakim untuk menggugat sistem pemi-sahan kekuasaan yang berlaku. Seminar ini juga yaitu titik tinggi 
harapan politik pengadilan. Dalam kesempatan menjadi pembicara, 
ketua Ikahi yang karismatik, Asikin Kusumaatmadja menegaskan sesuatu yang mirip dengan tuntutan terhadap peran pengadilan di dekade 
1950-an. Asikin menegaskan pembangunan hukum harus dilakukan 
melalui pengadilan. Hakim harus diberi kewenangan itu, jika kondisi sosial menghendaki demikian, tidak hanya menghapus ketentuanketentuan hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan modern, tetapi juga memberlakukan aturan-aturan baru.526
Menteri Seno Adji dengan gegap gempita menyampaikan tanggapan balik. Sementara Asikin hanya memaparkan gagasan dalam 11 
halaman makalah, Seno Adji mempersiapkan makalah setebal 36 halaman dengan jumlah catatan kaki tidak kurang dari 49 referensi. Seno 
Adji mendukung sistem Belanda-Perancis, mempertahankan dualisme 
pengadilan, dan hanya menginginkan pengujian konstitusional secara 
terbatas.
Forum MPRS, badan tertinggi menurut UUD 1945 waktu itu, merespons gagasan-gagasan demokrasi liberal dan melembagakannya 
dalam 2 panitia khusus yang dibentuk. Panitia Ad hoc II yang bertanggung jawab mempertimbangkan reorganisasi pemerintahan, merancang laporan yang mendukung penyebaran kekuasaan politik, partisipasi politik yang lebih luas dan control kelembagaan atas kekuasaan 
politik. Termasuk dalam hal ini yaitu  rekomendasi pemberikan kekuasaan pengujian konstitusional kepada pengadilan. Kemudian, Panitia Ad hoc IV berhasil mempersiapkan rancangan Ketetapan MPRS 
yang substansinya yaitu Piagam HAM. Sayangnya, kedua hasil 
kerja panitia khusus itu terjungkal. Piagam HAM memperoleh tentangan utamanya dari para politisi Islam, sehingga dicampakkan dan tidak 
pernah dilakukan pemungutan suara.
Rumusan Panitia Ad hoc II dapat dibahas, namun segera memperoleh kecaman sengit dari pemerintah. Menteri Kehakiman Oemar 
Seno Adji menjadi aktor penting dalam kancah perdebatan ini . 
Saat melakukan presentasi dalam sidang kabinet 1967, menetang hampir setiap premis dan kesimpulan laporan panitia ini .
Bagi Seno Adji, badan yang berwenang untuk melakukan pengujian konstitusional yaitu  MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Langkah ini sudah pernah ditempuh MPR saat memerintah Presiden bersama-sama DPR untuk meninjau kembali produk UU yang ditetapkan 
selama masa demokrasi terpimpin. Pendapat Seno Adji disanggah oleh 
kalangan hakim, dengan dukungan para advokad, bahwa di masa lalu 
justru MPR yang terbukti melakukan pelanggaran konstitusi sehingga tidak layak menjadi pengemban pengujian itu. Para politisi secara 
samar-samar mendukung hakim dan advokat, tetapi dengan lantang 
memberikan catatan berupa keragu-raguan Mahkamah Agung berani 
bertindak dan juga dengan alasan pemuka militer tampaknya menolak usulan itu. Seiring dengan pembahasan Rancangan UU Kekuasaan 
Kehakiman, gagasan pengujian konstitusional kembali diperdebatkan 
walaupun sepenuhnya tidak terakomodasi dalam undang-undang 
yang kemudian disahkan ini .
Keberatan pokok diberikannya pengujian konstitusional kepada 
Mahkamah Agung yaitu  keberatan akan munculnya supremasi pengadilan dibandingkan DPR dan MPR sebagai lembaga perwakilan. Menteri Seno Adji menolak contoh-contoh praktik di negara common law, 
mengingat praktik-praktik di negara civil law jauh lebih banyak dan 
semuanya menolak mengadopsi pengujian konstitusional. Mahkamah 
Agung kelak akan cukup direpotkan dengan memimpin peradilan-peradilan di bawahnya, yang kinerjanya membutuhkan perbaikan. Dalam 
kaitannya dengan wewenang Supreme Court di AS, Menteri Seno Adji 
menolak ilustrasi itu karena bagaimanapun sebagai negara kesatuan, 
negara kita  tidak bisa menerapkan sistem yang berjalan di negara serikat.
Kalangan militer menolak pemberian pengujian konstitusional kepada Mahkamah Agung. Mereka memiliki anggapan bahwa para hakim, termasuk advokad, yaitu  profesi yang selalu mengeluhkan partisipasi mereka dalam lapangan politik. Di samping itu, ketika saat itu 
militer menjadi elite politik penting dan berhasil melakukan konsolidasi di lembaga perwakilan dan pemerintahan, maka gagasan pemisahan kekuasaan hanyalah akan mencampakkan hasil kerja itu. Demikian 
pula, pengujian konstitusional akan melahirkan pemisahan kekuasaan, yang mengancam posisi mereka dalam pengambilan keputusan.
Peraturan mengenai kekuasaan kehakiman kemudian ditetapkan 
sebagai UU No. 14/1970. Ada pengaturan simbolis yang tidak berarti 
kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian norma hukum 
sebagaimana tercantum dalam Pasal 26. Dalam hal ini, Mahkamah 
Agung tidak diberi posisi sebagai pelindung konstitusi. Kekuasaan un-tuk menguji tidak menjangkau undang-undang atau peraturan pemerintah, tetapi dibatasi oleh Pasal 26 ayat (1) untuk menentukan apakah 
peraturan dan keputusan bertentangan atau tidak dengan peraturan 
perundang-undangan yang lebih tinggi. Perumusan yang kemudian 
diberlakukan yaitu  badan pemerintah yang bersangkutan sendirilah 
yang membatalkan peraturan yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung 
yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Penjelasan resmi UU No. 14/1970 mengatakan bahwa, “Oleh karena UUD 
1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya hak menguji 
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah 
Agung yang dapat diletakkan dalam undang-undang ini. Hak menguji 
ini bila  hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya yaitu ketentuan konstitusional.” Maknanya tidak bisa lain: 
“kekuasaan tertinggi atas hukum tidak di tangan pengadilan, tetapi di 
tangan birokrasi.”527
Ketentuan pengujian terbatas itu kemudian mati suri dalam perjalanan waktu berikutnya. Mahkamah Agung menolak mengikuti preseden yang pernah dibentuk di tahun 1967 untuk menguji konstitusionalitas undang-undang kendati memahami uraian panjang lebar 
putusan ini . Mahkamah Agung selalu tersendat-sendat saat akan 
menggunakan wewenang itu. 
Dalam sebuah putusan di tahun 1983,528 Mahkamah Agung menilai bahwa sekalipun bertentangan dengan Pasal 67 jo. 224 KUHAP, 
kasasi dapat diberlakukan terhadap putusan bebas. Sekalipun putusan 
ini menguji norma hukum, tampaknya pengadilan menolak menggunakan formulasi pengujian untuk membenarkan pendapatnya. Begitu 
pula, saat UU No. 1/1950 dicabut dengan UU No. 13/1965, tetapi tidak 
mencabut ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hukum 
acara di Mahkamah Agung. Pengadilan tampaknya hanya menafsirkan 
bahwa ketentuan dalam UU No. 1/1950 harus ditafsirkan sedemikian 
rupa, akan tetapi tidak melangkah lebih lanjut melakukan pengujian.
Saat Purwoto Gandasubrata, hakim karier, menjadi Ketua Mahkamah Agung (1992-1995), ia mengisyaratkan akan memeriksa perkara 
permohonan pengujian. Ia dianggap selangkah lebih tegas dibandingkan pendahulunya, Ali Said (1981-1992), akan tetapi faktanya ia tidak pernah mengulang jejak Asikin dan Sri Widowati di akhir 1960-an untuk menguji undang-undang. Ia menyangkal itu dan mengatakan soal 
itu sebagai urusan MPR. 
Momentum muncul saat Surya Paloh, pemilik tabloid Prioritas, 
mengajukan pengujian terhadap Peraturan Menteri Penerangan No. 
1/1984 yang dianggap bertentangan dengan UU Pokok Pers 1982. Paloh berkeberatan dengan Keputusan Menteri Penerangan yang telah 
mencabut izin usaha penerbitan pers terhadap tabloid miliknya itu. 
Purwoto memimpin sendiri permohonan pengujian itu bersama-sama 
Asikin Kusumaatmadja dan Olden Bidara. Untuk pertama kali, Mahkamah Agung mengizinkan permohonan perkara langsung ke tanpa 
melalui proses kasasi, yang dianggap sebagai perkara dengan karakter 
khusus.529 Mahkamah Agung meminta instansi pemerintah yang bersangkutan untuk menyampaikan pandangan-pandangannya. Namun 
demikian, hasil akhir dari proses itu yaitu  Mahkamah Agung menolak 
permohonan pengujian itu.530
Sesudah putusan itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan 
Mahkamah Agung No. 1/1993 yang mengatur permohonan pengujian 
langsung ke Mahkamah Agung, sehingga melepaskan keruwetan-keruwetan warisan Ali Said. Untuk pertama kali, ketentuan ini diterapkan 
dalam kasus pemeriksaan legalitas pemutusan hubungan kerja (PHK). 
Pemohon meminta pembatalan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 
342/1986 yang saat pemeriksaan perkara sedang berjalan telah diganti dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 15A/1994. Mahkamah 
Agung menolak permohonan ini , mengingat secara factual telah diganti dan secara substansi pengadilan menganggap tidak pertentangan peraturan itu dengan peraturan perunang-undangan yang 
lebih tinggi. Hingga tahun 1996, ada 6 perkara permohonan pengujian yang seluruhnya ditolak oleh Mahkamah Agung. Demikian halnya 
dengan kasus pembatalan izin usaha penerbitan Majalah Tempo, pada 
akhirnya tetap kandas di Mahkamah Agung.
Sistem peradilan dua atap mulai diakhiri dengan diterbitkannya 
UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas  Undang-undang No. 
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha-kiman, di mana dalam Pasal 11 yang menjadi dasar hukum sistem dua 
atap diubah menjadi, “Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Jangka waktu peralihan menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung ini yaitu  5 
tahun sampai dengan Agustus 2004.
Bersamaan dengan itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1999 tentang Hak Uji Materiil. Pengujian 
bisa dilakukan melalui gugatan atau permohonan. Dalam hal permohonan, dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung. Meskipun 
demikian, Peraturan Mahkamah Agung ini masih menyisakan persoalan sebagai berikut.
Pertama, apakah tepat jika pengujian ini diminta melalui 
permohonan (bukan gugatan) maka pihak yang “termohon” (yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan ini ) tidak perlu didengar keterangannya?
Kedua, apakah pemberlakukan pembatasan waktu pengajuan 
pengujian, yaitu 180 hari sejak peraturan perundang-undangan ini  dinyatakan berlaku, sudah tepat? Di satu sisi pengaturan ini memberikan kepastian hukum atas “legalitas” suatu peraturan perundangundangan. Namun di sisi lain pengaturan ini membatasi hak 
masyarakat, apalagi biasanya peraturan perundang-undangan sulit 
diakses masyarakat atau tidak bisa diakses segera sesudah  dibuat. Selain 
itu biasanya masyarakat baru membaca (dan merasakan adanya kesalahan dalam suatu peraturan) sesudah  mereka memiliki permasalahan 
hukum yang berhubungan dengan peraturan ini .
Ketiga, jika dalam proses menguji suatu peraturan perundangundangan Mahkamah Agung berpandangan bahwa memang ada beberapa pasal (tidak seluruhnya) dari suatu peraturan ini yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, 
apakah Mahkamah Agung harus memutus bahwa peraturan ini 
seluruhnya tidak berlaku atau bisa hanya memutuskan bahwa pasalpasal tertentu saja yang tidak berlaku?
Keempat, bagaimana dampak dari tindakan yang telah diambil 
pemerintah atau pihak lain yang diberikan kewenangan tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan jika kemudian peraturan 
perundang-undangan yang memberikan dasar kewenangan ini 
dinyatakan tidak berlaku? Apakah tindakan-tindakan ini dinyata-kan tetap sah, batal demi hukum atau dapat dimintakan pembatalan? 
Dan jika telah ada kerugian yang timbul bagi individu atau masyarakat 
akibat suatu peraturan perundang-undangan yang kemudian dinyatakan batal demi hukum, apakah individu atau masyarakat ini dapat menuntut ganti rugi?
Berkaitan dengan 4 kali perubahan UUD 1945,  maka undangundang yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu UU No. 14 
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pertama dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, yang memasukkan kembali apa yang telah 
ditentukan dalam UUD pasca perubahan dan tambahan ketentuan 
lainnya.
Selain itu, ada  2 lembaga negara baru bentukan pasca perubahan UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili 
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk 
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus 
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan 
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan 
memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Berkaitan dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tanggal 28 April 2008, di mana Pasal 236C menentukan bahwa 
penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada 
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan, maka Mahkamah Agung, dengan 
Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial No. 34/
WKMA-NY/X/2008 tanggal 09 Oktober 2008, telah menyerahkan kewenangan pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah seperti itu kepada Mahkamah Konstitusi terhitung sejak tanggal 1 November 2008. 
Perubahan UUD 1945 mendorong dilakukannya sinkronisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung. Untuk itu dikeluarkan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengujian norma hukum oleh Mahkamah 
Agung dipertahankan sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (1). Ketentuan UU No. 4/2004 kemudian diganti dengan UU No. 48/2009.
Sinkronisasi substansi hukum juga dilakukan terhadap UU ten-tang Mahkamah Agung dengan melakukan perubahan UU No. 14/1985 
dengan UU No. 5/2004 dan kembali diadakan perubahan yang kedua 
melalui UU No. 3/2009. Dikaitkan dengan pengujian norma hukum, 
maka Pasal 31 Undang-Undang Mahkamah Agung mengidentifikasi 
adanya dua macam pengujian, yaitu hak uji materiil dan hak uji formil.531 Dalam tataran teknis, untuk selanjutnya Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2004 tentang Hak Uji 
Materiil. Dalam perkembangannya, Peraturan Mahkamah Agung No. 
1/2004 diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2011.
Di dalam praktik, memang dijumpai kendala dalam hal pelaksanaan wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian. Kendala itu antara lain yaitu  masalah batas waktu. Sebelum tahun 2011, 
diatur bahwa pengujian diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak 
ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 
Padahal, ketentuan UU Mahkamah Agung tidak mengenal pembatasan ini . Menurut Imam Soebechi, hakim agung, batas waktu 
ini menimbulkan “terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah di 
kemudian hari sesudah  180 hari.” Soebechi selanjutnya mengatakan, 
“penentuan batas waktu 180 hari tidak jelas benar dan mengapa tidak 
lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu 
yang dapat dimengerti secara rasional.”
Dalam putusan Mahkamah Agung, rasional dan efek pembatasan 
180 hari itu diakui telah memunculkan permasalahan di mana warga 
masyarakat yang tidak mempunyai akses ke legislatif tidak cukup waktu untuk dapat mempertahankan hak dan kepentingan atas peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Di samping itu, 
sosialisasi pelaksanaan peraturan belum menjangkau semua lapisan 
masyarakat. Sekalipun mengakui persoalan ini, para hakim tetap berpegang pada dasar normatif yang diatur dalam Peraturan Mahkamah 
Agung, sehingga permohona pengujian yang sudah melampaui 180 
hari ditolak
PENGUJIAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Kinerja pengujian undang-undang sesungguhnya yaitu cara 
Mahkamah Konstitusi, sebagai salah satu institusi negara memastikan sebuah norma dalam undang-undang tetap compliance dengan 
prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konstitusi RI. Jika suatu perkara 
dinyatakan dikabulkan, hal itu berarti Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa norma dalam UU ini dinyatakan inkonstitusional 
dan tidak sejalan dengan prinsip perlindungan warga negara. Sebagai 
negative legislator, Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan norma ini tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak mengikat. Sementara, jika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian 
undang-undang, berarti Mahkamah Konstitusi berpendapat norma 
ini tetap sejalan dengan prinsip perlindungan hak konstitusional 
warga negara. Dengan demikian, kinerja Mahkamah Konstitusi terkait 
kewenangan pengujian undang-undang sesungguhnya yaitu  cara negara menjalankan kewajiban generiknya dalam bidang hak asasi manusia, yaitu dengan to promote, to protect, dan to fulfill jaminan-jaminan 
hak asasi manusia. Peran terkuat Mahkamah Konstitusi dibidang HAM 
yaitu  pada kewajiban to promote dan to protect atas potensi atau fakta pelanggaran HAM yang terjadi karena adanya norma dalam sebuah 
produk undang-undang (violation by judicial).
Dalam pemenuhan hak atas pendidikan misalnya, Mahkamah 
Konstitusi telah menghasilkan putusan yang progresif. Pada tahun 
2013 Mahkamah Konstitusi memutuskan Rintisan Sekolah Bertaraf 
Internasional (RSBI) tidak sesuai dengan UUD 1945. Keberadaan RSBI 
telah mengabaikan tanggung jawab negara untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua warga negara. Mahkamah Konstitusi 
memutuskan Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi landasan RSBI. Mahkamah Konstitusi 
menyatakan, RSBI/SBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan dan 
bentuk baru liberalisasi pendidikan. Selain itu, RSBI/SBI menimbulkan 
diskriminasi pendidikan. Penggunaan bahasa asing sebagai pengantar 
juga berpotensi menghilangkan jati diri bangsa negara kita  yang berbahasa negara kita . MK melihat, pemerintah memberikan perlakuan yang 
berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah reguler, baik dari segi sarana dan prasarana, anggaran, maupun output lulusan.Pada tahun 2011, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar berbasis masyarakat. 
Putusan pengujian Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003 terhadap UUD 1945, 
mempertegas kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan. Mahkamah dalam putusan perkara No. 58/PUU-VIII/2010 
berpendapat bahwa kata ‘dapat’ dalam pasal ini jika dikaitkan 
dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mengakibatkan pendidikan dasar 
berbasis masyarakat atau yang dilaksanakan selain oleh pemerintah 
menjadi tidak wajib untuk dibiayai oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal itu disebabkan karena kata ‘dapat’ bersifat terbuka 
sehingga bisa menghilangkan arti kewajiban Pemerintah yang berarti pula bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Terhadap 
jenjang pendidikan selain pendidikan dasar, Pemerintah memiliki 
keleluasaan untuk membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan menurut kemampuan keuangan negara. Oleh karena itu, menurut 
Mahkamah, kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003 
yaitu  inkonstitusional sepanjang dimaknai bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam Pasal 55 ayat (4) UU 20/2003 termasuk 
jenjang pendidikan dasar.
Pada 2010 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa 
UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU BHP mengalihkan tanggung jawab utama 
penyelenggaraan pendidikan dari negara dan justru membebani kepada masyarakat. UU BHP juga mereduksi makna “badan hukum pendidikan” menjadi nama atau bentuk badan hukum tertentu. Padahal, 
sejatinya sebagai sebuah sebutan fungsi penyelenggara pendidikan, 
yang artinya pengelolaannya dilakukan oleh suatu badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2007, dalam Putusan No. 026/PUU-IV/2006, MK menyatakan UU No. 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 11,8% (sebelas koma delapan 
persen) sebagai batas tertinggi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sudah yaitu suatu fakta bahwa besarnya anggaran pendidikan yang tercantum dalam APBN 
dari tahun ke tahun sejak APBN 2004 hingga APBN 2007 belum pernah 
mencapai angka persentase minimal 20% sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. 
Hal itu karena Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal untuk meningkatkan anggaran pendidikan agar amanat konstitusi dapat terpenuhi. Oleh karena itu, mengingat sifat imperatif Pasal 
31 ayat (4) UUD 1945, MK sebagai pengawal konstitusi mengingatkan 
agar anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN harus diprioritaskan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 2006 
juga memutus perkara sejenis. Putusan No. 026/PUU-III/2005 tentang 
pengujian UU APBN 2006 yang mencantumkan anggaran pendidikan 
9,1% juga dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan 
dengan UUD 1945.
Dukungan pemilu yang berintegritas juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2007 MK juga membuat putusan penting 
terkait dibolehkannya calon perseorangan dalam Pemilukada. Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon yaitu  Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), (3), (4), (5) huruf a dan c, 
(6), serta Pasal 60 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU Pemda. Ketentuan ini  dinilai merugikan hak konstitusional Pemohon berupa hak untuk 
ikut dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara 
perseorangan tidak melalui jalur pencalonan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Permohonan yang dinyatakan dikabulkan 
yaitu  Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3). Adapun Pasal 
59 ayat (1), (2), dan (3) UU Pemda. Dengan adanya putusan ini, keberadaan calon perseorangan atau lebih dikenal dengan istilah calon 
independen dalam proses Pemilihan Kepala Daerah diakui dan harus 
diterima.
Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi juga memutus perkara 
penting yang membolehkan penggunaan Kartu Tanda Penduduk sebagai syarat untuk seseorang dapat mengikuti pemilihan umum. Pengujian atas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 4/2008 tentang 
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan Nomor Perkara 102/PUU-VII/2009, maka hak asasi yang dijamin dalam konstitusi 
semakin dikuatkan sehingga warga negara yang tidak terdaftar dalam 
Daftar Pemilh Tetap (DPT) bisa tetap menggunakan haknya dengan 
kartu Tanda Penduduk (KTP) disertai Kartu Keluarga (KK) atau Paspor 
bagi warga negara negara kita  yang berada di luar negara kita  dengan syarat-syarat tertentu.
Pada tahun 2012 MK menegaskan bahwa untuk menjamin netralitas dalam penyelenggaraan Pemilu, maka calon anggota KPU dan 
Bawaslu harus mundur 5 tahun sebelumnya dari partai politik. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu telah membangun 
sistem rekrutmen agar KPU dapat mandiri dan steril kepentingan parpol peserta Pemilu. Namun pengunduran diri dari parpol yang tidak 
ditentukan jangka waktunya dapat digunakan sebagai celah masuknya 
kader-kader Parpol ke dalam KPU yang berpengaruh atas kemandirian 
dan netralitasnya. Akhirnya, MK menentukan dalam Putusan No. 81/
PUU-IX/2011, persyaratan bagi calon anggota KPU dan Bawaslu sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun telah mengundurkan diri 
dari keanggotaan parpol pada saat mendaftar.
Pada Agustus 2012, MK memutuskan permohonan uji materi Pasal 
8 ayat (1) dan (2) dan Pasal 208 UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan 
DPRD (UU Pemilu Legislatif) yang diajukan oleh Partai Kebangkitan 
Nasional Ulama (PKNU) dkk. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU ini 
menentukan parpol Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara 
pada Pemilu 2009 ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai 
syarat atau kriteria dalam keikutsertaan parpol lama sebagai peserta 
Pemilu 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam 
UU 10/2008 berbeda UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan 
Pemilu 2014. Dengan demikian, meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan 
suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang ada  dalam Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu Legislatif, namun menurut Mahkamah ketidakadilan ini justru ada  dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1), 
juga ada  pada Penjelasannya.
Dalam permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang UU 
Pemda, MK menyatakan dibolehkannya pemberian suara dengan cara 
e-voting. Dalam perkara No. 147/PUU-VII/2009 ini Pasal 88 UU dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini 
menyebabkan kata “mencoblos” diartikan pula menggunakan metode 
e-voting dengan beberapa syarat kumulatif di antaranya tidak melanggar asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (Jujur dan Adil)








PERADILAN MILITER DI SEJUMLAH NEGARA
1. Malaysia
Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku 
perbuatan pidana. Oleh karena itu, baik orang sipil maupun militer 
yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh 
pengadilan pidana sipil. Indepensi badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal.464 Permasalahan yang berkaitan dengan 
kedinasan dan pelanggaran hukum disiplin bagi anggota Angkatan 
Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of Malaysia Act 77, disebut juga 
Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku khusus bagi anggota 
Angkatan Bersenjata. Di Malaysia dipisahkan antara kompetensi peradilan umum yang diberlakukan bagi militer yang melakukan tindak 
pidana umum, dengan peradilan militer yang ditujukan untuk mengadili militer dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan atau kedinasan.
2. Amerika Serikat
Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat yaitu sistem yang 
paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. 
Shanor and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan Militer dengan rincian, 4848 kasus 
pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada Angkatan Darat, 956 kasus pada 
Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga Pantai (Coast quard).
Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem 
peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga 
Hukum Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling puncak kemudian hukum perundang-undangan 
federal, dan peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan Menteri 
Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan para 
komandan.Sumber hukum