peradilan di indonesia 8

Rabu, 13 September 2023

peradilan di indonesia 8


keputusan pemerintah.

Menurut Adriaan W. Bedner, “terbentuknya PTUN di negara kita  

bukanlah hasil logis dari proses evolusioner.” Pandangan-pandangan yang diajukan untuk menolak PTUN pada masa penjajahan dan 

awal kemerdekaan tampaknya masih tetap berlaku pada masa Orde 

Baru dan belum kehilangan kekuatan mereka. saat  pada akhirnya 

UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berhasil ditetapkan sesudah  perdebatan yang panjang, maka masih memerlukan waktu 

hingga 4 tahun, yaitu tahun 1991, saat  PTUN mulai berjalan.

Sebagai lingkungan peradilan, PTUN yaitu  badan pengadil-an yang terakhir dibentuk. Pada awalnya pembentukan peradilan ini 

pada saat adanya pemerintahan Belanda yang diatur dalam Pasal 134 

IS (Indische Staats Regelement) serta pada regalement opde rechterlijke 

organisattle en het belieb de positive yang disahkan pada tanggal 30 April 1847. sesudah  kemerdekaan sebelum dibentuknya undang-undang 

yang mengatur secara khusus hal tentang peradilan tata usaha negara 

diatur dalam Pasal 66 UU No. 19/1948. 

usaha  melahirkan PTUN yaitu  suatu bentuk sejarah yang 

bergerak secara perlahan-lahan namun  tercapai dengan sesuatu yang 

mengejutkan. Gagasan pendorong PTUN yaitu  supremasi hukum, 

yang antara lain adanya usaha  hukum bagi setiap warga negara untuk 

mengontrol tindakan-tindakan pemerintah (aparatur negara, birokrasi, pejabat tata usaha negara) guna memastikan tercapainya hak-hak 

warga negara itu sendiri.usaha  itu dapat dilacak di negara kita  semenjak masa Hindia Belanda. Berbagai perkembangan kontrol segi hukum 

terhadap tindakan pemerintah di Hindia Belanda seperti pembentukan pengadilan pajak, peradilan tata usaha mengenai pencabutan hak 

milik, pertambangan, pendaftaran merek, dan sejak 1860, setiap 

warga negara dapat mengajukan gugatan kepada penguasa ke pengadilan-pengadilan ini bila hak-hak hukum warga mengalami permasalahan.362 Sudikno Mertokusumo mencatat bahwa dalam 

batas-batas tertentu ada pengujian norma hukum dalam pengadilan 

perdata yang berlaku bagi warga negara Eropa.

lalu , pada tahun 1929 Asosiasi Pakar Hukum Hindia Belanda (Nederlands Indische Juristen Vereniging) memutuskan untuk mencantumkan Judicial Review di antara hal-hal untuk dibahas dalam konferensi tahunannya. Prof. Westra, salah satu pakar hukum tata negara 

Hindia Belanda, di samping nama lain yang terkenal, yaitu Logemann, 
diminta untuk menyusun suatu makalah tentang bahasan ini.

Dalam konferensi ini , Westra secara meyakinkan memandang perlu ketentuan mengenai kontrol segi hukum terhadap tindakan 

pemerintah, sebab di Hindia Belanda “tidak ada jaminan terhadap tata 

pemerintahan yang buruk dan hubungannya yang rapuh antara pemerintah dengan warga yang diperintah.” Namun di sisi lain, jika gagasan 

pewadahan kontrol segi hukum itu diterima dengan pelembagaannya 

di suatu pengadilan khusus, Westra menyadari juga “beberapa masalah spesifik di Hindia Belanda yang akan menghalangi pengujian yang 

berdiri sendiri, seperti luas wilayah yang berupa kepulauan dan bermacam-macam kelompok penduduk.”

Gagasan itu pun ditolak oleh Prof. Logemann, yang menyebut 

pembentukan pengadilan tata usaha negara semacam itu sebagai “tidak masuk akal.” Seandainya pengadilan tata usaha negara dibentuk, 

“tidak akan banyak memberi  manfaat bagi warga sebab  rasa 

takut, yang dipicu sebab  pemerintahan yang dilakukan secara 

tidak langsung dan pola-pola kekuasaan, akan membuat orang-orang 

pribumi tidak dapat manfaat peradilan apa pun yang ada.” Lagipula, 

kata Logemann, “sebab  Hindia Belanda menunjukkan ciri sebagai 

“negara polisi”, maka reformasi kenegaraan perlu mendapatkan prioritas dibandingkan kontrol segi hukum terhadap pemerintah.”

sesudah  negara kita  merdeka pada 1945, gagasan kontrol segi hukum 

terhadap tindakan pemerintah muncul kembali dengan dibentuknya 

suatu Komisi Hukum (Keputusan Menteri Kehakiman No. 73 tanggal 4 

Februari 1946), yang mana Ketua Mahkamah Agung Kusumah Atmadja 

duduk sebagai anggotanya. Salah satu hasil yang dicapai yaitu  suatu 

rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang lalu  disahkan menjadi UU No. 7/1947. Ketentuan undang-undang ini lalu  dicabut dan diganti dengan UU 

No. 19/1948 tentang PTUN dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dalam 

tingkat pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkat kedua, jika tidak 

ditetapkan badan-badan kehakiman lain.

lalu , Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo meminta 

saudaranya, Hakim Agung Wiryono Prodjodikoro untuk merancang 

hukum acara material mengenai PTUN. Selesai pada tahun yang sama (1948), rancangan ini tidak menunjukkan mengenai kontrol segi hukum 

terhadap tindakan pemerintah. Pertama, ia tidak memuat ketentuan 

tentang batasan kewenangan pengadilan itu. Apakah ini  ditujukan 

untuk membatasi uji material pada tindakan-tindakan (termasuk keputusan-keputusan) secara individual, atau apakah perundang-undangan juga termasuk dalam kewenangan, tidaklah jelas. Kedua, menurut 

Penjelasan, kedudukan di muka hukum serupa dengan perkara perdata, namun  tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai kepentingan. 

Ketiga, tidak ada ketentuan tentang dasar-dasar dilakukannya kontrol 

segi hukum terhadap peemrintah, demikian juga tidak ada ketentuan 

tentang kekuasaan untuk mengambil tindakan pemulihan. Keempat, 

ketentuan hukum acara hanya disalin dari Herziene Indonesisch Reglement atau HIR dan hanya membuang beberapa ketentuan khas hukum 

acara perdata. Bagaimanapun rancangan ini tidak pernah dibahas 

oleh parlemen menyusul Agresi Militer Belanda II.

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik negara kita  Serikat 

(1949), ketentuan undang-undang dasar memberi  kedudukan yang 

jauh lebih penting bagi badan peradilan dibandingkan dalam UUD 

1945. Dalam susunan negara federal (saat itu), Mahkamah Agung bahkan memegang posisi kunci dengan kekuasaan pengujian UndangUndang yang luas. Dalam Pasal 156-158 terkandung hasrat untuk 

membuka celah wewenang Mahkamah Agung Federal guna menguji 

Undang-Undang Negara Bagian terhadap Konstitusi atas permintaan 

sebuah badan negara, sementara mekanisme serupa bisa juga dilakukan dalam hal muncul dalam persidangan perkara perdata. Hanya saja, 

konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Federal tidak dapat diganggu gugat.

saat  format negara berubah ke bentuk negara kesatuan dan ditetapkan Undang-Undang Dasar 1950 yang bersifat sementara, kekuasaan Mahkamah Agung untuk hal itu segera dihapus, namun  konstitusi 

menyisakan peluang “hak setiap warga negara untuk mendapatkan 

perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak asasi (Pasal 7 ayat [4]). 

lalu  kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah akan dilakukan oleh “pengadilan perdata atau badan lain yang harus memenuhi syarat kebenaran dan keadilan.”368 Kontrol segi hukum disebut-kan secara terpisah dalam Pasal 108 UUD 1950. Sekalipun demikian, 

ketentuan ini tidak pernah terlaksana di dalam praktik. Sebagai 

bagian dari perdebatan yang panjang dalam Badan Konstituante dalam membahas UUD baru pengganti UUD 1950, cukup mengemuka 

usulan untuk membentuk negara demokratis berdasarkan rule of law

dan ada pemisahan kekuasaan, yang antara lain dicirikan dengan menguatnya kekuasaan yudisial yang secara bebas mempunyai wewenang 

untuk melakukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung. Dalam 

perjamuan yang sama, menguat usulan yang mencakup terhadap akses keadilan370 yang mencakup hak untuk mengajukan petisi terhadap 

pemerintah.

sesudah  kembali kepada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 

1959 yang berarti juga memangkas perdebatan konstitusional di Konstituante, maka pendulum politik negara memberi  tempat yang lugas 

kepada Presiden Soekarno untuk menjalankan visi mengenai “revolusi 

belum selesai.” Di kala parlemen jauh dari efektif, maka tumpuan kepada peradilan sebagai institusi negara yang menjadi benteng keadilan 

semakin menguat. 

Dengan melembaganya ajaran Demokrasi Terpimpin yang terbungkus dalam ideologi integralistik memicu kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah berakhir menjadi angan-angan 

belaka. Dalam episode ini, Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikoro menjadi anggota kabinet, sementara UU No. 19/1964 secara tegas 

memberi  hak kepada Presiden untuk intervensi proses peradilan. 

Jadilah situasi di mana pengadilan lumpuh berhadapan dengan institusi negara.

Sekalipun demikian, dalam cakupan yang tertatih-tatih, para hakim tetap memakai  ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum 

Perdata dalam menyelidiki gugatan-gugatan terhadap penguasa, meskipun kuantitas perkara demikian amat jarang.

Mahkamah Agung, dalam semua perkara gugatan terhadap penguasa bahkan memperluas aturan-aturan tentang penggugat dalam 

perkara penggusuran, dari hanya mereka yang disebutkan namanya 

dalam perintah penggusuran menjadi semua orang yang mengalami 
kerugian. Dalam perkara yang sama perintah dari penguasa dibatalkan. Dalam putusan yang lain Mahkamah Agung mendalilkan bahwa 

pelanggaran terhadap hak-hak keperdataan yang didasarkan menurut 

hukum publik memungkinkan dilakukannya gugatan kepada penguasa.

Selain berkesinambungan dalam praktik gugatan terhadap penguasa, ada  beberapa perkembangan penting tentang pengujian oleh 

pengadilan khusus. Dasar perkembangan ini ditentukan oleh Ketetapan MPRS mengenai rencana delapan tahun pembangunan (1960) yang 

memuat pengajuan uji materiil sebagai isu tersendiri, yaitu “akan diadakan peradilan tata usaha negara.” Ketentuan itu dijalankan dalam 

UU No. 19/1964 yang menyebutkan “peradilan tata usaha negara” sebagai lingkungan peradilan tersendiri (Pasal 7 ayat [1]).

Kepada Lembaga Pembinaan Hukum Nasional atau LPHN, Menteri 

Kehakiman Astrawinata meminta disiapkan suatu rancangan undangundang tentang PTUN. Tanggung jawab kegiatan ini dilaksanakan oleh 

Ismail Sunny, pengajar hukum tata negara pada Universitas negara kita , 

yang menyelesaikan pekerjaannya pada 1966. Dengan adanya rancangan undang-undang ini , menampakkan suatu kekhasan yang tidak 

terabaikan, di mana gagasan tentang kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah dimintakan perhatian dalam suatu lingkungan pengadilan tersendiri.

Dengan beralihnya kekuasaan kepada rezim Orde Baru (sejak 1966) 

dan semakin mengonsolidasikan kekuasaan (1968) serta semakin terintegrasinya visi penguasa yang menguasai mayoritas parlemen, melalui suatu pemilu yang direkayasa (1971) keinginan untuk membentuk 

PTUN tidak dapat ditunda lagi. Pada awalnya, para aktivis dan sebagian anggota parlemen reformis menyandarkan harapan akan semakin 

besarnya hasrat menegakkan independensi pengadilan kepada Oemar 

Seno Adji, seorang jaksa, yang lalu  ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman pada era penting transisi kekuasaan ini . Hampir 6 bulan 

sebelum penunjukkannya dalam jabatan itu, Oemar Seno Adji dengan 

antusias mendukung gagasan PTUN, namun  sesudah  menjadi anggota 

kabinet, ia dengan tegas menyingkirkan gagasan ini , dan justru 

bersifat konservatif, sebagaimana tampak perannya dalam menyusun rancangan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.

Dalam Seminar Hukum Nasional (1968), Oemar Seno Adji menegaskan pendiriannya, yang sedikit banyak mencerminkan aspirasi 

pemerintahan, bahwa pengadilan perdata tidak perlu diperluas kewenangannya dalam menangani perkara gugatan terhadap penguasa. 

Pembentukan PTUN dapat diapresiasi, namun  ia memancing perdebatan saat  menganggap pengadilan baru ini tidak di bawah Mahkamah 

Agung, namun  menjadi bagian dari Dewan Pertimbangan Agung. Dengan ditetapkannya UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka independensi kekuasaan kehakiman diakui, dan 

PTUN menjadi lingkungan pengadilan sendiri. Undang-Undang ini 

menolak gagasan pengujian Undang-Undang terhadap UUD dan tetap 

mengatur adminsitrasi peradilan di bawah Departemen Kehakiman.

sesudah  Menteri Kehakiman dijabat oleh Mochtar Kusumaatmadja, menggantikan Oemar Seno Adji yang ditunjuk menjadi Ketua Mahkamah Agung, isu PTUN kembali menjadi inisiatif penting. Pada tahun 

1976, 10 hakim dikirim ke Perancis untuk mempelajari sistem pengujian norma hukum, yang ironisnya yaitu  dengan persetujuan Oemar 

Seno Adji. Pada tahun yang sama, Badan Pembinaan Hukum Nasional 

(BPHN), pengganti LPHN, menyusun rancangan undang-undang tentang PTUN pada tahun 1977.

Pada tahun 1982, Menteri Kehakiman Ali Said mengajukan rancangan undang-undang tentang PTUN kepada DPR, namun  perdebatan 

tidak dapat dilanjutkan sebab  Ali Said lalu  harus menjadi Ketua Mahkamah Agung dan posisi dalam kabinet digantikan oleh Ismail 

Saleh. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung terdahulu, Mudjono, telah menggebrak dengan membentuk unit kerja lingkungan peradilan 

tata usaha negara yang dipimipin oleh Indroharto. Sosok inilah yang 

lalu  berperan dalam usaha  Ismail Saleh menyusun rancangan 

undang-undang yang lalu  ditetapkan menjadi UU No. 5 Tahun 

1986 tentang PTUN.

Dengan adanya reformasi kekuasana kehakiman, yaitu melalui penetapan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun 

1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menciptakan 

penyatuatapan manajemen peradilan di bawah Mahkamah Agung. 

Dalam perkembangan lalu , muncul organ pelaksana kekuasaan yudikatif maupun organ pengawas. Perubahan UUD 1945 di bidang 

kekuasaan kehakiman menentukan adnaya Mahkamah Konstitusi se-bagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman selain Mahkamah 

Agung, serta membentuk Komisi Yudisial (KY)374 sebagai lembaga penegak martabat hakim. Selain itu, juga dibentuk pengadilan-pengadilan khusus  dan lembaga baru dalam sistem peradilan dan penyelesaian sengketa hukum.

Sehubungan dengan fenomena ketatanegaraan ini berturutturut lalu  ditetapkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 

Kehakiman, lalu UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas 

UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU No. 50 Tahun 2009 

tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989; dan UU No. 51 

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang 

Peradilan Tata Usaha Negara.


Lembaga PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia tentunya bukan sekadar mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan yaitu  satu institusi, yang tampak sebagai suatu organisasi, yang mempunyai sifat 

interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial. 

Peradilan yaitu  kesatuan dari konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya, serta gerak pelaksanaan 

dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial lainnya. PTUN sebagai suatu lembaga yang lahir pada masa perkembangan sistem hukum modern, telah dikembangkan berdasarkan kebutuhan sistem hukum modern,yang terdiri proses-proses formal. 

Proses-proses formal ini (bersama-sama dengan proses informal), di antaranya yaitu  birokrasi, administrasi, transformasi, maupun sub-subsistem, membentuk jalinan prosedur yang yaitu  jantung dari hukum. Seperti layaknya sistem peradilan yang lain, inti 

dari sistem PTUN yaitu  hubungan ketergantungan antar setiap bagian, yang membentuk sistem (interrelationship between parts).

Perlu ditegaskan bahwa PTUN pada dasarnya menegakkan hukum 

publik, yaitu hukum tata usaha negara sebagaimana ditetapkan dalam 

Pasal 47 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 

dan UU No. 51/2009, bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan PTUN yaitu  sengketa tata usaha negara yaitu sengketa yang 

timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata 

usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1986 

sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009). 

ini  ditegaskan lagi dalam rumusan mengenai Keputusan Tata 

Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009. Juga 

perlu diperhatikan bahwa PTUN tidak hanya melindungi kepentingan individu akan namun  juga kepentingan warga (Pasal 49, Pasal 

55, dan Pasal 67 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 

9/2004 dan UU No. 51/2009). Menarik untuk dikaji bagian-bagian kewenangan menurut ketentuan-ketentuan ini .

1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 5/1986 sebagaimana 

diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009, badan atau pejabat tata usaha negara yaitu  “badan atau pejabat yang melaksanakan 

urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan 

yang berlaku.” Artinya, apakah keputusan sebuah badan atau pejabat 

tata usaha negara menjadi subjek kewenangan pengadilan tata usaha 

negara tidak ditentukan oleh apakah mereka yaitu  bagian dari 

birokrasi pemerintah atau tidak. Namun definisi ini jelas mengecualikan badan-badan yang memiliki fungsi legislatif atau yudikatif.2. Keputusan Tata Usaha Negara

Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009 mengatur bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yaitu  “penetapan tertulis yang berisi tindakan 

hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, 

yang memicu  akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum 

perdata.” 

Syarat ketentuan “tertulis” menurut Penjelasan undang-undang 

tidak mensyaratkan adanya dokumen resmi, sehingga catatan dengan 

tulisan tangan telah memenuhi ketentuan ini. lalu , syarat “sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”, maksudnya tindakan 

hukum tata usaha negara memiliki dampak hukum, artinya ia menetapkan hak atau kewajiban bagi pihak lain. Artinya, undang-undang 

mengecualikan keputusan-keputusan memiliki dampak “faktual”, seperti keputusan untuk membangun jembatan atau untuk menebang 

pohon. Dalam hal demikian,warga negara harslah mengajukan gugatan di peradilan perdata.

Di dalam praktik, masalah “dampak hukum” telah ditafsirkan bermacam-macam oleh PTUN. Pertama, undangan atau panggilan dari 

pejabat kepada warga negara untuk bertemu dan membahas sebuah 

masalah. Meskipun dalam praktiknya ini  bisa mendekati paksaan, 

undangan semacam ini tidak memberi  kewajiban hukum kepada 

pihak yang diundang untuk hadir. Namun dalam dua perkara, pejabat harus mengalami gugatan atas undangan mereka di pengadilan.

Kedua, masalah permintaan sejawat. Misalnya surat seorang pejabat 

kepada Badan Pertanahan Nasional yang memuat permintaan kepada penerima surat untuk menolak perpanjangan hak seseorang terhadap properti tertentu. sebab  pejabat yang melakukan surat menyurat 

ini tidak mempunyai hubungan hierarkis, permintaan demikian tidak 

memberi  dampak hukum kepada penerimanya. namun  dalam perkara Ng Tjiang Seng vs. Walikota Medan PTUN menerima gugatan yang 

demikian. Ketiga, sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Dalam suatu perkara, PTUN menyebutkan bahwa dokumen itu tidak 

memiliki dampak hukum sebab  hanya memuat informasi dan bukan 

keputusan. namun  dalam perkara lain, PTUN sekalipun tidak tegas 

menguraikan sifat dokumen sebagai keputusan atau informasi, hakim 

menerima gugatan dan bahkan menyatakan berwenang untuk memeriksa substansi sertifikat hingga menetapkan keabsahan pemilikan 

tanah ini , suatu hal yang menyiratkan kaburnya batas antara 

peradilan perdata dengan PTUN.

Demikian juga persyaratan bahwa tindakan hukum menurut “hukum tata usaha negara,” telah memicu  banyak masalah antara 

pembatasan hukum perdata dengan hukum tata usaha negara. Dalam 

praktik, PTUN juga kerap menerima gugatan yang memuat substansi 

hukum tata negara seperti hak asasi, organisasi politik, keamanan negara, dan sebagainya. Bahkan dalam perkara Walhi vs. Presiden RI, PTUN 

menolak objek perkara sebagai sesuatu yang bersifat hukum tata negara.

3. Konkret dan Individual

Syarat ini telah membatasi kewenangan PTUN kepada keputusankeputusan yang tidak bersifat umum. Permasalahan yang pertama dari 

syarat ini yaitu  apakah sebuah keputusan bisa bersifat final jika ia 

merujuk kepada objek tertentu, misalnya tidak ditujukan kepada orang 

atau kelompok tertentu? 

Menurut Philipus M. Hadjon, “individual” merujuk kepada warga 

negara yang menjadi sasaran keputusan dan bukan pada objek. namun  

dalam sebuah putusan PTUN, objek dianggap sebagai sesuatu individual, saat  hakim menilai mengenai legalitas mengenai pembangunan sebuah tembok.385 Pengadilan juga sering mengartikan “individual” 

sebagai badan hukum yang ditunjuk untuk melaksanakan keputusan 

pemerintah (misalnya sebuah badan hukum yang melaksanakan proyek pemerintah), bukan terhadap dampak hukum dari keputusan itu.

Apakah nama sasaran keputusan haruslah dimuat dalam keputusan Tata Usaha Negara? Indroharto dalam penjelasan mengenai hal 

ini mengatakan bahwa bersifat individual maksudnya keputusan tidak 

ditujukan untuk umum, namun  tertentu, baik alamat maupun hal yangdituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seseorang, maka tiap-tiap nama 

yang terkena keputusan itu disebutkan. Dari pendapat ini makna 

“konkret dan individual” bisa berarti “alamat dan hal” atau “alamat 

atau hal.” Menurut Philipus M. Hadjon, penafsiran individualitas harus 

bersifat formal, sehingga sasaran keputusan harus dicantumkan dalam 

keputusan yang digugat.

Sebuah putusan ditetapkan oleh PTUN Semarang, yang menolak 

gugatan terhadap pembatalan hasil lomba “pelajar teladan”, sebab  di 

samping di luar jangkauan pengadilan, juga sebab  tidak semua siswa 

yang ikut dalam perlombaan tercantum dalam keputusan ini .

Perkara yang menarik lainnya yaitu  ditolaknya gugatan mengenai 

pengumuman, yang menyatakan lahan di belakangnya yaitu  

jalan umum, dengan alasan bahwa pendirian papan pengumuman 

yaitu  sebuah perbuatan konkret. namun  argumen ini dipatahkan di 

pengadilan tingkat banding membatalkan putusan ini dan menetapkan bahwa gugatan ini berada di luar kewenangan pengadilan sebab  

papan pengumuman itu tidak memuat semua nama yang mendapatkan pengumuman.

Di pihak lain, banyak keputusan yang tidak memuat nama mereka yang dituju oleh keputusan ini telah diterima oleh pengadilan, 

misalnya keputusan untuk membatalkan sertifikat tanah atau untuk 

mengosongkan pasar.391 lalu , PTUN Jakarta menolak memeriksa perkara penggusuran pasar, dengan alasan keputusan itu tidak 

bersifat individual, sebab  “tidak mungkin menentukan siapa saja yang 

berdagang di pasar itu.”

4. Final

Terkait dengan persyaratan bahwa sebuah keputusan harus memiliki dampak hukum yaitu  ketentuan bahwa keputusan itu haruslah final. Penjelasan undang-undang mengatakan bahwa maksud final 

yaitu  sebuah keputusan harus berlaku tanpa menunggu persetujuan dari badan atau pejabat lain.

Salah satu implementasi persyaratan ini menjadi kontroversial 

yaitu  mengenai instruksi. Mahkamah Agung dalam N.S. vs. Wakil Gubernur Jakarta telah mengecualikan putusan demikian dari wewenang 

PTUN, sebab  seharusnya penggugat mengajukan keputusan kepada 

pengadilan, dan bukan surat instruksi, sebab  surat demikian tidak 

memiliki kekuatan hukum mengikat di luar birokrasi. 

Sejumlah putusan PTUN mengabaikan instruksi Mahkamah Agung 

ini sebab  menganggap instruksi yaitu  “perintah sebagai 

persetujuan mengenai suatu hal yang memiliki konsekuensi hukum.

Dalam sebuah surat edaran, Mahkamah Agung menyatakan bahwa suatu instruksi (penggusuran) bersifat internal dan dengan demikian tidak menjadi wewenang PTUN.394 Hanya saja edaran itu diabaikan oleh 

hakim. Dalam perkara-perkara tertentu saat  tidak diketahui apakah 

keputusan TUN yang dipermasalahan bersifat internal ataukah eksternal, pengadilan memakai  pedoman itu untuk mengatakan bahwa 

perkara itu di luar kewenangan itu.

Perkara-perkara di atas menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan tentang unsur utama kewenangan PTUN dan meskipun telah 

berusaha, Mahkamah Agung gagal memberi  pedoman kepada 

pengadilan-pengadilan ini . Temuan yang lebih mencemaskan 

yaitu  para hakim sering kali tidak memperhatikan hal-hal penting 

atau mengabaikannya tanpa memberi  penjelasan. Sering kali argumen mereka tidak sesuai dengan logika yang seharusnya mendasari 

pemikiran hukum dalam tradisi keperdataan.



Kebijakan pertanahan sangat dipengaruhi oleh hubungan antara negara dengan tanah. Ada dua pendekatan untuk memberi  an-cangan teoretis. Pertama, apabila negara (berdasarkan Pasal 33 ayat (3) 

UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA) mempunyai hak menguasai, maka negara sebagai badan penguasa diberi wewenang (dalam bidang publik 

oleh bangsa negara kita , sebagaimana halnya penguasa adat yang diberi 

wewenang oleh warga hukumnya. Kedua, dengan asumsi negara 

mempunyai hubungan yang langsung antara negara dengan bumi dan 

sebagainya, maka negara berwenang untuk menguasainya sebab  yaitu  perwujudan (personifikasi) rakyat. Wewenang negara ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah sebagai medebewind. Dalam 

pandangan ini, hubungan rakyat, bangsa, dan negara dilihat sebagai 

suatu kontinuum.

Pada tataran makro, UUPA memuat 8 garis-garis besar kebijakan 

pertanahan, yaitu:

a. Adanya penegasan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk 

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (2)). 

b. Hak menguasai negara itu dipakai  untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3));

c. Hak menguasai negara dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan 

kepada pemerintah-pemerintah daerah dan warga Hukum 

Adat bila diperlukan dan sesuai dengan kepentingan nasional (Pasal 2 ayat (4));

d. Pelaksanaan hak ulayat dijalankan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan 

nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 

(Pasal 3);

e. Tiap-tiap warga negara negara kita , laki-laki maupun perempuan, 

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak 

atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi 

diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2));

f. Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan 

pemakaian  tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan 

(Pasal 7);

g. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6); dan

h. Demi kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan ne-gara serta kepentingan bersama rakyat, hak-hak atas tanah dapat 

dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara 

yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18). 

Terlepas dari argumentasi dalam 2 pendekatan itu, maka yang perlu dicatat bahwa pendekatan mana pun yang dipakai , hasil akhirnya sama, yaitu pengakuan bahwa pada dasarnya penguasaan tanah 

itu bersifat kolektif dan kepada perorangan atau badan hukum dapat 

diberikan sebagian dari hak bersama ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Untuk saat ini yang sudah diatur yaitu  lembaga 

hak atas tanah yang meliputi permukaan bumi sebagaimana diatur 

dalam Pasal 16 UUPA, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak 

Pakai sesuai dengan tujuan pemakaian nya.

Menurut Nurhasan Ismail, kebijakan pertanahan, khususnya terkait dengan jaminan kepemilikan pada masa Orde Baru, berangkat dari 

asumsi dialogis, “Jika tanah yang dipunyai dapat diperuntukkan untuk 

memaksimalkan kepentingan diri pemegang hak, mengapa harus diperuntukkan bagi pelayanan atau kepentingan warga.”398 Terbentuknya ketentuan yang mengubah fungsi hak atas tanah tidak terlepas 

dari ideologi dalam kebijakan pembangunan ekonomi399 yang mendorong ke arah rasionalisasi pemanfaatan tanah sehingga pertimbangan 

untung rugi bagi diri sendiri lebih mendominasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan kebijakan pertanahan, Orde Baru tidak lagi menghadapi tuntutan untuk membuat hukum 

agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai saat  UUPA selesai 

disusun. Yang dituntut dari pemerintah Orde Baru yaitu  bagaimana 

merealisasikan tuntutan-tuntutan yuridis berkenaan dengan berlakunya UUPA. Selama pemerintahan Orde Baru, sudah banyak dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan 

bidang agraria, bahakan beberapa undang-undang yang sifatnya parsial dalambidang agraria ini sudah dikeluarkan. namun , masalah yang 

dihadapi olehj pemerintah terus berkembang. Akar masalahnya ada-lah kenyataan bahwa luas tanah tidak pernah bertambah, sedang 

manusia penghuninya terus bertambah dan perkembangan warga dengan industrialisasinya memerlukan lahan seperti halnya setiap 

pertambahan manusia.

Dari sisi legal kenyataan yang terjadi yaitu  lambannya penyusunan peraturan pelaksanaan UUPA, yang oleh Iman Sutiknyo prosesnya 

keluar “setetes demi setetes.” Selain lambannya berbagai peraturan 

pelaksanaannya, masalah yang dihadapi pemerintah yaitu  tuntutan 

adanya penyesuaian materi peraturan yang telah ada dengan perkembangan keadaan.

Dalam dimensi sosial, sebab  tuntutan pembangunan dan akibat 

industrialisasi, maka tanah menjadi suatu objek komditas. Secara teoretis, penempatan tanah menjadi objek komiditi yaitu  sebab  telah 

terjadi pegeseran mengenai nilai kegunaan tanah yang di samping 

ditentukan oleh jenis dan jumlah produksi, juga ditentukan menurut 

jumlah investasi dana yang dipakai  dalam perolehan dan penyediaan tanah yang lalu  menempatkannya sebagai barang dagangan 

yang harus diperalihkan dari individu yang satu ke individu yang lainnya. Semakin sering tanah diperalihkan, maka semakin tinggi nilai 

yang dilekatkan kepada tanah dan itu berarti semakin tinggi potensi 

keuntungan yang dapat diperoleh oleh setiap individu dari peralihan 

hak atas tanah ini . Pergeseran ini lalu  didukung oleh 

negara baik, menurut peraturan perundang-undangan404 maupun ke-bijakan lainnya.

Semenjak awal jaminan kepemilikan tanah melalui hak atas tanah 

digariskan oleh UUPA hanya mencakup permukaan bumi saja (Penjelasan Umum Angka II bagian kesatu). Menurut Maria S.W. Soemardjono, konfigurasi demikian dimaksudkan bahwa penguasaan seseorang 

terhadap tanah hanyalah sebatas pada bagian atas dari bumi, dengan 

demikian memberi  hak kepada negara untuk menguasai bahanbahan tambang yang berada di tubuh bumi.406

Menurut konsep UUPA, hubungan antara subjek hak dengan tanah sebagai objek hak dikenal pengertian tanah negara dan tanah hak. 

Tanah negara yaitu  tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak. 

Dengan demikian, tanah-tanah yang dilekati dengan sesuatu hak atas 

tanah yang tercantum dalam Pasal 16 UUPA, lalu  tanah ulayat, 

dan tanah wakaf tidak termasuk dalam pengertian tanah negara. Sementara itu, tanah hak yaitu  tanah yang dilekati dengan sesuatu hak 

atas tanah yang diatur menurut Pasal 16 UUPA, yaitu Hak Milik, Hak 

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Menurut UUPA, 

Hak Milik diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dalam undangundang, sedang terhadap Hak Guna Usaha, Hak Giuna Bangunan, 

Hak Pakai, dan Hak Sewa telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 

40 Tahun 1996.

Menurut Maria S.W. Soemardjono, Hak Milik pararel dengan Hak 

Pakai, sementara Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan termasuk 

dalam kelompok Hak Pakai sebab  memberi  kewenangan untuk 

memakai  tanah yang bukan miliknya sendiri. Perbedaan antara 

Hak Guna Usaha dengan Hak Guna Bangunan dibandingkan dengan 

Hak Milik dan Hak Pakai yaitu  bahwa Hak Guna Usaha dan Hak Guna 

Bangunan pemanfaatannya dibatasi secara eksplisit, sedang pemanfaatan Hak Milik dan Hak Pakai tidak diperinci, artinya “terbuka 

pemanfaatan untuk semua jenis pemakaian , selama secara khusus 

tidak dilarang.”

Persoalan yang sering muncul terkait dengan jaminan kepemilikan hak atas tanah tampak dipengaruhi dalam memahami relasi antara 

tanah dengan negara sebagaimana sudah diuraikan di muka. sebab  keterlibatan negara yang mendalam dengan masalah pertanahan, 

maka PTUN harus menanggapi sengketa-sengketa pertanahan, yang 

kadang-kadang sama sekali tidak terkait dengan PTUN.

Besarnya keperluan lahan yang bagi kepentingan pembangunan 

bisa dipenuhi melalui beberapa cara. Bila tidak ada yang mengaku berhak atas sebidang tanah, pemerintah bisa memakai nya atau menyewakannya ke pihak swasta berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPA. Namun hampir semua tanah telah dimanfaatkan, sehingga pemakainya 

harus dipindahkan. Bila mereka memiliki hak atas tanah, dilakukan 

prosedur “pembebasan tanah.”

Pada periode 1992-1997, aturan mengenai prosedur itu ditemukan dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan 

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Pemerintah selalu memberi  argumen bahwa dalam konteks pembebasan tanah tidak mengandung kekerasan akan namun  sukarela. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah maupun keputusan tingkat banding oleh gubernur tentang jumlah ganti kerugian tidaklah mengikat. 

Ini memicu sengketa tanah yang “murni” demikian menjadi di 

luar kompetensi PTUN.

Dalam perkara Muhidin dkk vs. Walikota Jakarta Utara, PTUN Jakarta menerima alur pemikiran ini . Para penggugat, sejumlah 

warga yang hendak digusur, menolak menerima ganti kerugian yang 

jumlahnya ditentukan oleh Panitia Pembebasan Tanah. Pengadilan 

berpandangan bahwa keputusan itu tidak bersifat final, sebab  itu tidak mengikat bagi penggugat.

Jenis sengketa penyitaan tanah berikutnya yaitu  terkait dengan 

tanah yang dipakai  “tidak sejak dahulu kala” namun telah dipakai  untuk masa yang lama, misalnya perkebunan peninggalah kolonial 

Belanda. Pemerintah biasanya menganggap lahan-lahan demikian sebagai tanah negara dan mengasumsikan bahwa prosedur pembebasan 

lahan tidak perlu diterapkan. Namun para petani penggarap yang 

miskin ataupun penduduk yang tinggal atau bercocok tanam di tempat 

itu (dan sering juga membayar pajak) menganggap bahwa mereka la-yak mendapatkan ganti kerugian penuh, dan bukan sekadar pesangon 

atau malah lebih buruk lagi, sama sekali tidak mendapatkan ganti kerugian. Sejumlah peraturan berpihak kepada pihak yang menduduki 

lahan, terutama terkait dengan perkebunan-perkebunan Belanda, 

akan namun  tidak jelas sejauh mana mereka bisa mendapatkan ganti 

kerugian dalam masalah  pembebasan lahan.

Justru mengenai masalah ganti kerugian inilah PTUN tidak pernah 

mempunyai sifat tunggal. Dalam perkara Amoy dan Kacung vs. Camat 

Wuluhan, PTUN Jakarta menerima berkas 3 kepala keluarga terhadap 

pengusiran tanpa ganti kerugian dari tanah negara yang telah mereka 

tinggali dalam jangka waktu yang lama. Pengadilan menerima gugatan dan meskipun penggugat tidak mempunyai alat bukti hak, mereka 

berhak memperoleh ganti kerugian yang layak. namun  dalam perkara 

lain, pengadilan yang sama memutuskan bahwa gugatan 66 penggugat untuk mendapatkan ganti kerugian bukanlah sengketa tata usaha 

negara dan dengan demikian tidak dapat diajukan ke PTUN, sebuah 

putusan yang lalu  dikuatkan di tingkat banding.

Dalam perkara Tanah Merah menyisakan juga himpitan kewenangan PTUN dengan peradilan umum soal ganti kerugian ini. Pertamina ingin memakai  lahan ini dan lalu  mengajukan 

permohonan kepada Walikota Jakarta Utara, yang lalu  menerbitkan perintah penggusuran sebab  para penghuni juga kenyataan 

tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan atau IMB. namun  penghuni 

menolak perintah itu dan lalu  mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti kerugian kepada PTUN Jakarta, dan pada saat yang bersamaan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri 

Jakarta Utara. lalu  PTUN mengumumkan putusan, sesudah  sebelumnya mengabulkan penangguhan pelaksanaan perintah itu, dengan 

menyatakan menolak gugatan ini . namun , pengadilan negeri mengabulkan gugatan dan menyatakan penghuni berhak atas preferensi 

pemanfaatan lahan menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979. Mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak jika digusur.

Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang untuk menerbitkan hak milik aas tanah pada suatu tanah negara (Keputusan 

Presiden No. 26 Tahun 1988). ini  dalam praktik sering dijumpai 2 

permasalahan sebagai berikut. Pertama, apakah negara dapat memberi  hak dengan bebas, atapakah adat masih berlaku. Kedua, kesulitan untuk menentukan apakah suatu bidang tanah telah menjadi tanah 

negara atau tidak.Ketiga, keterlibatan PTUN dalam melaksanakan putusan pengadilan perdata. Keempat, kekuasaan negara untuk memberi  hak milik. Kelima, masalah perpanjangan hak milik. Keenam, 

pencabutan hak atas tanah.

Dalam contoh yang pertama ditunjukkan dalam perkara sebagai 

berikut. Pada tahun 1990 seorang pekerja menemukan 2 situs sarang 

burung walet yang baru dalam sebuah gua. Menurut adat setempat, ia 

seharusnya melaporkan ini  ke pemilik “hak pengumpulan”, yang 

lalu  haknya akan diperluas ke dalam situs-situs baru ini . 

Namun ia mendatangi pemerintah kabupaten Tabalong dan memperoleh hak penguasaan sarang burung walet untuk dirinya sendiri (1992). 

Pemilik lama, Halimah, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri 

Tanjung, namun  tidak berhasil. Pengadilan berpendapat bahwa adat 

tidak berlaku dalam perkara ini dan pemerintah kabupaten bisa 

memberi  hak penguasaan menurut UUD 1945, UUPA, dan UU Pemerintahan Daerah 1974. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding.

lalu  Halimah menggugat keputusan bupati Tabalong ini ke 

PTUN Banjarmasin. Pengadilan mengabaikan putusan pengadilan perdata, dan menyimpulkan secara bertentangan bahwa adat masih berlaku sehingga bupati tidak mempunyai kekuasaan untuk memberi  

hak kepada siapa pun. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding dan 

kasasi di Mahkamah Agung. lalu , Bupati Tabalong mengajukan 

Peninjauan Kembali dan putusan kasasi dibatalkan, namun sama sekali tidak memperhatikan putusan pengadilan perdata terdahulu. Putusan Mahkamah Agung itu menarik untuk dicermati sebab  melakukan 

penilaian keputusan bupati dengan Peraturan Daerah Tabalong No. 4 

Tahun 1993, suatu pelanggaran asas legalitas. Perkara ini juga menunjukkan pengabaian PTUN terhadap pengadilan perdata, dan Mahkamah Agung sama sekali tidak bersikap.Untuk masalah kedua, yaitu berhubungan dengan penetapan tanah negara, dapat dicontohkan dalam perkara Sultan Deli dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Bermula pada 1869, saat  seorang 

sultan di Sumatra Utara menyewakan tanah untuk jangka waktu  

tahun. Pada tahun 1954, saat sewa itu berakhir, tanah ini tidak 

dikembalikan kepada keturunannya, akan namun  diserahkan kepada 

pemerintah Republik negara kita . Pemerintah menerbitkan semua jenis 

hak aats tanah ini, meskipun keluarga sultan masih mengklaim kepemilikan. 

Para ahli waris lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta sehubungan dengan penerbitan Hak Guna Usaha, IMB, dan izin lokasi.

Pengadilan menganggap bahwa negaralah yang memiliki tanah ini 

dan menolak gugatan. Pengadilan banding menguatkan putusan ini, 

akan namun  kasasi di Mahkamah Agung mengabulkan gugatan. Serupa 

dengan perkara sebelumnya, Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi dalam Peninjauan Kembali, namun  dengan alasan yang sama 

sekali berbeda, yaitu bahwa lokasi lahan itu tidak sesuai dengan surat 

tanah yang diajukan oleh penggugat.

Sebenarnya, pokok perkara yaitu  siapakah pemilik yang sah dari 

tanah yang sudah habis masa sewanya ini ? Jadi bukan masalah 

prosedur perizinan. Pokok perkara semacam itu mestinya menjadi 

kompetensi pengadilan negeri dan PTUN semenjak awal mengarahkan 

kepada ini  ,namun  tidak dilaksanakan. Lagipula Mahkamah 

Agung sama sekali tidak bersikap menentukan kewenangan itu pada 

siapa, akan namun  justru menafsirkan fakta-fakta baru melalui mekanisme Peninjauan Kembali.

Sebagai contoh ketiga yaitu  perkara Jalan Sabang.
 Perkara ini 

berawal dari perjanjian mengenai sebidang tanah. Pertama yaitu  perjanjian jual beli kepada seseorang bernama Zainal dan kedua yaitu  

perjanjian pelepasan hak kepada Kodam Jaya Jakarta. Meskipun disahkan belakangan, perjanjian yang kedua dan berlaku, dan pada tahun 

1970 Zainal mengajukan gugatan ke pengadilan perdata. Pada tahun 

1982 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pada tingkat kasasi. 

Berdasarkan putusan ini, pada tahun 1990 seorang notaris menyusun 

perjanjian antara pemilik asal guna mengalihkan hak kepada para ahli waris Zainal. Namun sementara itu, Kodam tidak lagi memanfaatkan 

tanah ini dan lalu  BPN menerbitkan hak Hak Guna Usaha 

kedua kepada 2 perusahaan. Instansi BPN menolak mencatat pemindahan hak kepada para ahli waris Zainal, sehingga mereka mengajukan gugatan PTUN Jakarta mengenai pemberian hak Hak Guna Usaha 

ini . Menurut penggugat, BPN telah bertindak sewenang-wenang 

sebab  sejak 1967, BPN telah mengetahui bahwa tanah ini menjadi objek sengketa. Selain itu, BPN juga melanggar Pasal 22 PP No. 10 

Tahun 1961 tentang Pendataran Tanah, yang melarang penerbitan sertifikat bila ada gugatan yang belum diselesaikan di pengadilan. 

Pengadilan berpendapat bahwa dalam rangka memberi  rasa 

keadilan, maka kepentingan para ahli waris Zainal lebih besar dibandingkan dengan kepentingan hak sewa dua perusahaan. Oleh sebab 

itu, BPN harus mencatat akta pengalihan hak kepada para ahli waris 

Zainal dan menerbitkan sertifikat baru atas nama penggugat. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. 

Namun dalam kasasi Mahkamah Agung memperumit masalah dengan 

mengatakan bahwa alasan pembatalan yaitu  fakta bahwa tanah ini  tidak pernah menjadi tanah negara sebab  di bawah penguasaan 

Kodam Jaya. Oleh sebab  itu negara tidak mempunyai wewenang untuk menerbitkan sertifikat. 

Untuk masalah yang keempat, dalam beberapa perkara PTUN melangkah jauh untuk membatasi kekuasaan negara dalam menetapkan 

hak milik. Dalam perkara Pranoto vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional,
 pengadilan memerintahkan tergugat untuk menerbitkan Hak 

Guna Usaha kepada penggugat sebab  ia telah menyewa tanah dari 

penyewa sebelumnya selama lebih dari 20 tahun. Para hakim menolak argumen tergugat bahwa informasinya tidak lengkap, dan ia masih 

menunggu hasil penyelidikan oleh panitia khusus yang dibentuk gubernur. Merujuk kepada Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 dan 

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973, pengadilan tidak 

memberi  pembenaran yang kuat untuk putusan ini, yang sebenarnya menghilangkan hak tergugat untuk membuat keputusan yang berimbang. 

Dalam perkara Gozal vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Ujung 

Pandang, pengadilan memeriksa gugatan tentang penolakan Hak Guna Usaha. Tergugat menjelaskan bahwa penggugat telah menjadi terpidana dalam suatu perkara korupsi,terkait dengan tanah yang digugatnya, 

sehingga sewanya menjadi tidak sah. Pengadilan berargumen bahwa 

sebab  penggugat masih memiliki toko-toko yang berada di atas tanah 

ini, maka ia mendapatkan preferensi untuk hak ini dan demikian 

permohonannya tidak dapat ditolak. Pengadilan tidak memperhatikan 

ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1979 yang secara tegas mengizinkan pemerintah untuk menolak 

permohonan demikian bila ada pemidanaan.

lalu  disajikan juga contoh perkara antara PT Perkebunan 

Karet Kemanyan vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat 

dan Gubernur Jawa Barat di mana PTUN Jakarta menyatakan bahwa 

tergugat mempunyai hak untuk menentukan persyaratan tertentu dalam memberi  ganti kerugian mengingat posisi preferensial dalam 

mendapatkan hak untuk sebidang tanah.

Untuk masalah yang kelima, perkara-perkara yang ditangani oleh 

PTUN menunjukkan bagaimana pengadilan dapat memulihkan keputusan Badan Pertanahan Nasional tanpa harus mengurusi sisi perdata 

dari sengketa itu terlebih dahulu. Dalam perkara Wijaya vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Pontianak, PTUN Pontianak berhasil melindungi penggugat dari dampak kesalahan prosedur di pihak tergugat. 

Sengketa ini terkait dengan penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha, sebab  tergugat telah memberi  hak ini kepada pihak lain. 

Pihak ini mengakui bahwa penyebab terbitnya surat hak untuk kedua 

kali bukan sebab  sengketa tanah, melainkan sebab  kesalahan pencatatan. Hakim memutuskan bahwa penggugat tidak boleh menjadi 

korban kesalahan itu, dan memerintahkan tergugat untuk melanjutkan 

proses permohonan ini .

Untuk masalah yang keenam, PTUN juga telah memainkan peranan penting dalam sengketa pencabutan hak milik, satu kekuasaan lain 

yang dipegang Badan Pertanan Nasional, sebagaimana ketentuan Pasal 34 UUPA dan ketentuan UU No. 29 Tahun 1956. Kekuasaan ini menunjuk negara untuk mengawasi pemakaian  tanah, yang berarti bila 

pemegang hak atas tanah tidak memanfaatkannya sesuai syarat-syarat 

menurut undang-undang, ia akan kehilangan haknya. Misalnya dalam 
perkara Winardi v.s.Kepala Badan Pertanahan Nasional Bandung.
Penggugat mempunyai hak Hak Guna Usaha yang terletak pada sebidang tanah dengan tiga rumah sampai tahun 2001. Pada tahun 1994, 

ia menemukan bahwa Badan Pertanahan Nasional telah mencabut 

haknya ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga yang 

bersangkutan mengajukan gugatan ke PTUN Bandung. Gugatan dikabulkan di tingkat pertama dan banding. Pengadilan memandang tergugat telah bertindak sewenang-wenang tanpa menunggu hasil gugatan perdata tentang kepemilikan antara penggugat dengan salah satu 

penyewa rumah. 

Dalam perkara PT Orici vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional,

tergugat bahkan telah mencabut Hak Guna Usaha penggugat secara 

melanggar putusan pengadilan perdata, dan memberi  hak baru kepada perusahaan lain dengan pertimbangan akta notaris yang dianggap tidak sah. PTUN Jakarta memutuskan bahwa tindakan itu sewenang-wenang dengan merujuk kepada putusan sebelumnya.

Masih berhubungan dengan pembatalan hak atas tanah, dalam 

perkara Kusuma vs. Badan Pertanahan Nasional, tentang pembatalan Hak Guna Usaha dan penerbitan IMB, yang keduanya ditetapkan 18 

tahun sebelumnya serta perintah pembongkaran. Alasan pembatalan 

ini yaitu  sengketa antara penggugat dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ini meyakinkan tergugat tentang haknya untuk mendapatkan Hak 

Guna Usaha dibandingkan penggugat. Menurut argumen pihak ketiga, tanah ini dahulu yaitu  milik ayahnya, yang disewakan 

kepada ayah penggugat. sebab  tanah ini tidak dikembalikan, maka 

ayah penggugat tidak bisa mendapatkan konversi haknya. Artinya, 

akar sengketa ini yaitu  sengketa perdata, dan sebagi akibatnya, PTUN 

hanya bisa memeriksa secara terbatas apakah keputusan ini memenuhi syarat atau tidak. Kenyataannya, pengadilan memperhatikan 

hubungan keperdataan antara penggugat dengan pihak ketiga secara 

perinci, dan lalu  memakai  sebagai alasan untuk menolak 

gugatan ini . 

Pada tingkat banding, pengadilan memperhatikan benar batas-batas pemeriksaan terhadap sengketa keperdataan ini namun  

mengambil kesimpulan secara berlawanan dengan prinsip itu. Pengadilan banding memandang tanah itu belum menjadi tanah negara 

dan penggugat mendapatkan haknya secara sah menurut konversi dan 

akibatnya, tergugat diperintahkan untuk membatalkan keputusannya.

Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan banding dengan alasan bukan persoalan kewenangan sengketa 

keperdataan, akan namun  membuat alur pikir sendiri sehingga sampai 

kepada konklusi bahwa tanah itu sudah menjadi tanah negara dan 

dengan demikian, menurut haknya semula, maka pihak ketiga yang 

memperoleh hak atas tanah dan bukan penggugat.

Proses penalaran pengadilan dalam 3 tingkatan pemeriksaan dalam 

perkara ini menunjukkan pengadilan menempatkan dirinya sebagai Badan Pertanahan Nasional. Suatu keanehan jika timbul sengketa 

perdata dan juga kenyataan bahwa hak ini diterbitkan 18 tahun 

lampau, namun  Badan Pertanahan Nasional menerbitkan hak baru tanpa 

mengkonfirmasi masalah ini . Semestinya juga PTUN menangguhkan pelaksanaan keputusan itu sambil menunggu penyelesaian dalam 

pengadilan perdata.

Merujuk kepada Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 Pasal 2 

dan Pasal 3, Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang bukan saja memberi  hak milik atas tanah, akan namun  juga sebagai 

pencatat hak milik. Untuk itu ditetapkan kebijakan sistem pendaftaran 

tanah.

Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA Pasal 19 ayat (1) yang lalu  ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 

1961, yang lalu  diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sistem pendaftaran tanah yang 

dianut di negara kita  yaitu  sistem pendaftaran hak (registration of title)

publikasi negatif bertenden positif.423 Dalam sistem ini, catatan tanah 

disimpan oleh negara, dan transaksi tanah dilakukan di hadapan notaris. Perbedaan penting dari negara-negara Eropa dengan sistem seru-pa yaitu  sertifikat yang diterbitkan kepada pemegang hak milik jauh 

lebih penting dibandingkan salinan pencatatan resmi. Seseorang bisa 

melaksanakan perjanjian dengan sertifikat sebagai satu-satunya alat 

bukti, bila tanah itu menjadi sasaran gugatan (Peraturan Pemerintah 

No. 10 Tahun 1961 Pasal 22). Sejumlah kami  menyebutkan bahwa 

notaris acap kali lalai memperhatikan apakah persyaratan-persyaratan ini terpenuhi.424 Masalah lain tentang sertifikat yaitu  pemrosesannya, sering kali sulit sebab  ketidakpastian kepemilikan dan jenis-jenis 
Sebelum dibentuk PTUN, tidak ada usaha  hukum yang tegas guna 

melawan penolakan Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan, 

mengalihkan, atau membatalkan sertifikat.426 sesudah  terbentuknya 

PTUN, tindakan hukum ini dapat dimintakan kontrol ke pengadilan, 

namun tetap saja memicu  kekaburan mengenai batas-batas kontrol itu berhadapan dengan pengadilan perdata. ini  bisa ditunjuk 

dalam hak. Pertama, PTUN sering kali mengabaikan putusan pengadilan perdata. Kedua, dalam hal perkara tidak ada gugatan perdata, maka 

sering kali PTUN menempatkan dirinya sebagai pengadilan perdata. 

Ketiga, PTUN melengkapi putusan pengadilan perdata.

Untuk persoalan yang pertama dapat ditunjuk dua putusan, yaitu 

perkara Yahya vs. Kepala Kantor Pertanahan Palembang.

 Akar perkara yaitu  penjualan sebidang tanah oleh penjual yang tidak berhak. sesudah  menyadari cacat ini, maka Badan Pertanahan Nasional menolak 

memberi  sertifikat kepada pembeli, yang telah membangun rumah 

dan bengkel di atas tanah itu. Pembeli lantas menggugat menggugat 

pemilik asal, namun  mental di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi, dan Peninjauan Kembali. sesudah  usaha  ini, Pengadilan Negeri Pa-lembang memerintahkan agar rumah dan bengkel ini dibongkar. 

Namun pembeli tetap menolak dan mengajukan gugatan ke PTUN terkait sertifikat kepemilikan. Pengadilan lalu  mengabulkan gugatan ini , namun dengan mengabaikan batas daluwarsa pengajuan 

gugatan. 

Prosedur serupa ditemukan dalam Putusan PTUN Semarang dalam perkara Soedarti dan Subroto vs. Kepala Kantor Pertanahan Semarang, yaitu bahwa mereka melampirkan kesimpulan baru menurut 

fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh pengadilan perdata. Dalam 

putusan pengadilan perdata, penggugat hanya berhak mendapatkan 

ganti kerugian dalam bentuk uang, namun pengadilan memberi  

eksekusi riil, yaitu memerintahkan Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat pihak yang kalah dalam perkara perdata dan menerbitkan sertifikat baru untuk penggugat.

Untuk permalahan yang kedua, yaitu dalam hal tidak ada putusan 

perdata mengenai kepemilikan, maka PTUN mengambil peran sebagai pengadilan perdata. Dalam perkara Tjokropranolo vs. Kepala Kantor Sewa Tanah Jakarta Utara, PTUN Jakarta secara cermat memeriksa 

perjanjian jual beli dan kerumitan kepemilikan yang melandasi penolakan tergugat untuk memberi  sertifikat kepada penggugat. Penolakan ini terjadi sesudah  ada intervensi camat atas nama para pengguna lahan. lalu  PTUN menyatakan menolak gugatan. Pengadilan 

banding dan Mahkamah Agung melakukan tindakan serupa namun  dengan konklusi yang berbeda dengan PTUN. Pengadilan banding mengabulkan sementara Mahkamah Agung menolak.

Untuk persoalan di mana PTUN melengkapi putusan pengadilan 

perdata, dapat ditunjuk antara lain dalam perkara Ratnaningsih vs. 

Kepala Kantor Pertanahan Bekasi, di mana PTUN Bandung memulihkan kesalahpahaman anatara ketua Pengadilan Negeri Garut dan 

tergugat. Dalam perkara ini, tergugat lalai mencatat penyitaan sebuah 

rumah yang hendak dilelang secara legal pada saat yang sama, namun 

sebab  penyitaan ini belum dicatat, tergugat memberi  sertifikat 

kepada pembeli. Untuk itu, PTUN tidak mengabulkan gugatan untuk 

mendapatkan sertifikat, namun memerintahkan tergugat untuk membatalkan sertifikat pembeli dan mengembalikan ke keadaan semula. 
Untuk mendapatkan putusan tentang masalah kepemilikan, maka 

penggugat dirujukkan ke pengadilan perdata.