Home » peradilan di indonesia 8 » peradilan di indonesia 8
Rabu, 13 September 2023
keputusan pemerintah.
Menurut Adriaan W. Bedner, “terbentuknya PTUN di negara kita
bukanlah hasil logis dari proses evolusioner.” Pandangan-pandangan yang diajukan untuk menolak PTUN pada masa penjajahan dan
awal kemerdekaan tampaknya masih tetap berlaku pada masa Orde
Baru dan belum kehilangan kekuatan mereka. saat pada akhirnya
UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berhasil ditetapkan sesudah perdebatan yang panjang, maka masih memerlukan waktu
hingga 4 tahun, yaitu tahun 1991, saat PTUN mulai berjalan.
Sebagai lingkungan peradilan, PTUN yaitu badan pengadil-an yang terakhir dibentuk. Pada awalnya pembentukan peradilan ini
pada saat adanya pemerintahan Belanda yang diatur dalam Pasal 134
IS (Indische Staats Regelement) serta pada regalement opde rechterlijke
organisattle en het belieb de positive yang disahkan pada tanggal 30 April 1847. sesudah kemerdekaan sebelum dibentuknya undang-undang
yang mengatur secara khusus hal tentang peradilan tata usaha negara
diatur dalam Pasal 66 UU No. 19/1948.
usaha melahirkan PTUN yaitu suatu bentuk sejarah yang
bergerak secara perlahan-lahan namun tercapai dengan sesuatu yang
mengejutkan. Gagasan pendorong PTUN yaitu supremasi hukum,
yang antara lain adanya usaha hukum bagi setiap warga negara untuk
mengontrol tindakan-tindakan pemerintah (aparatur negara, birokrasi, pejabat tata usaha negara) guna memastikan tercapainya hak-hak
warga negara itu sendiri.usaha itu dapat dilacak di negara kita semenjak masa Hindia Belanda. Berbagai perkembangan kontrol segi hukum
terhadap tindakan pemerintah di Hindia Belanda seperti pembentukan pengadilan pajak, peradilan tata usaha mengenai pencabutan hak
milik, pertambangan, pendaftaran merek, dan sejak 1860, setiap
warga negara dapat mengajukan gugatan kepada penguasa ke pengadilan-pengadilan ini bila hak-hak hukum warga mengalami permasalahan.362 Sudikno Mertokusumo mencatat bahwa dalam
batas-batas tertentu ada pengujian norma hukum dalam pengadilan
perdata yang berlaku bagi warga negara Eropa.
lalu , pada tahun 1929 Asosiasi Pakar Hukum Hindia Belanda (Nederlands Indische Juristen Vereniging) memutuskan untuk mencantumkan Judicial Review di antara hal-hal untuk dibahas dalam konferensi tahunannya. Prof. Westra, salah satu pakar hukum tata negara
Hindia Belanda, di samping nama lain yang terkenal, yaitu Logemann,
diminta untuk menyusun suatu makalah tentang bahasan ini.
Dalam konferensi ini , Westra secara meyakinkan memandang perlu ketentuan mengenai kontrol segi hukum terhadap tindakan
pemerintah, sebab di Hindia Belanda “tidak ada jaminan terhadap tata
pemerintahan yang buruk dan hubungannya yang rapuh antara pemerintah dengan warga yang diperintah.” Namun di sisi lain, jika gagasan
pewadahan kontrol segi hukum itu diterima dengan pelembagaannya
di suatu pengadilan khusus, Westra menyadari juga “beberapa masalah spesifik di Hindia Belanda yang akan menghalangi pengujian yang
berdiri sendiri, seperti luas wilayah yang berupa kepulauan dan bermacam-macam kelompok penduduk.”
Gagasan itu pun ditolak oleh Prof. Logemann, yang menyebut
pembentukan pengadilan tata usaha negara semacam itu sebagai “tidak masuk akal.” Seandainya pengadilan tata usaha negara dibentuk,
“tidak akan banyak memberi manfaat bagi warga sebab rasa
takut, yang dipicu sebab pemerintahan yang dilakukan secara
tidak langsung dan pola-pola kekuasaan, akan membuat orang-orang
pribumi tidak dapat manfaat peradilan apa pun yang ada.” Lagipula,
kata Logemann, “sebab Hindia Belanda menunjukkan ciri sebagai
“negara polisi”, maka reformasi kenegaraan perlu mendapatkan prioritas dibandingkan kontrol segi hukum terhadap pemerintah.”
sesudah negara kita merdeka pada 1945, gagasan kontrol segi hukum
terhadap tindakan pemerintah muncul kembali dengan dibentuknya
suatu Komisi Hukum (Keputusan Menteri Kehakiman No. 73 tanggal 4
Februari 1946), yang mana Ketua Mahkamah Agung Kusumah Atmadja
duduk sebagai anggotanya. Salah satu hasil yang dicapai yaitu suatu
rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang lalu disahkan menjadi UU No. 7/1947. Ketentuan undang-undang ini lalu dicabut dan diganti dengan UU
No. 19/1948 tentang PTUN dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dalam
tingkat pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkat kedua, jika tidak
ditetapkan badan-badan kehakiman lain.
lalu , Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo meminta
saudaranya, Hakim Agung Wiryono Prodjodikoro untuk merancang
hukum acara material mengenai PTUN. Selesai pada tahun yang sama (1948), rancangan ini tidak menunjukkan mengenai kontrol segi hukum
terhadap tindakan pemerintah. Pertama, ia tidak memuat ketentuan
tentang batasan kewenangan pengadilan itu. Apakah ini ditujukan
untuk membatasi uji material pada tindakan-tindakan (termasuk keputusan-keputusan) secara individual, atau apakah perundang-undangan juga termasuk dalam kewenangan, tidaklah jelas. Kedua, menurut
Penjelasan, kedudukan di muka hukum serupa dengan perkara perdata, namun tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai kepentingan.
Ketiga, tidak ada ketentuan tentang dasar-dasar dilakukannya kontrol
segi hukum terhadap peemrintah, demikian juga tidak ada ketentuan
tentang kekuasaan untuk mengambil tindakan pemulihan. Keempat,
ketentuan hukum acara hanya disalin dari Herziene Indonesisch Reglement atau HIR dan hanya membuang beberapa ketentuan khas hukum
acara perdata. Bagaimanapun rancangan ini tidak pernah dibahas
oleh parlemen menyusul Agresi Militer Belanda II.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik negara kita Serikat
(1949), ketentuan undang-undang dasar memberi kedudukan yang
jauh lebih penting bagi badan peradilan dibandingkan dalam UUD
1945. Dalam susunan negara federal (saat itu), Mahkamah Agung bahkan memegang posisi kunci dengan kekuasaan pengujian UndangUndang yang luas. Dalam Pasal 156-158 terkandung hasrat untuk
membuka celah wewenang Mahkamah Agung Federal guna menguji
Undang-Undang Negara Bagian terhadap Konstitusi atas permintaan
sebuah badan negara, sementara mekanisme serupa bisa juga dilakukan dalam hal muncul dalam persidangan perkara perdata. Hanya saja,
konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Federal tidak dapat diganggu gugat.
saat format negara berubah ke bentuk negara kesatuan dan ditetapkan Undang-Undang Dasar 1950 yang bersifat sementara, kekuasaan Mahkamah Agung untuk hal itu segera dihapus, namun konstitusi
menyisakan peluang “hak setiap warga negara untuk mendapatkan
perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak asasi (Pasal 7 ayat [4]).
lalu kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah akan dilakukan oleh “pengadilan perdata atau badan lain yang harus memenuhi syarat kebenaran dan keadilan.”368 Kontrol segi hukum disebut-kan secara terpisah dalam Pasal 108 UUD 1950. Sekalipun demikian,
ketentuan ini tidak pernah terlaksana di dalam praktik. Sebagai
bagian dari perdebatan yang panjang dalam Badan Konstituante dalam membahas UUD baru pengganti UUD 1950, cukup mengemuka
usulan untuk membentuk negara demokratis berdasarkan rule of law
dan ada pemisahan kekuasaan, yang antara lain dicirikan dengan menguatnya kekuasaan yudisial yang secara bebas mempunyai wewenang
untuk melakukan hak uji materiil kepada Mahkamah Agung. Dalam
perjamuan yang sama, menguat usulan yang mencakup terhadap akses keadilan370 yang mencakup hak untuk mengajukan petisi terhadap
pemerintah.
sesudah kembali kepada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang berarti juga memangkas perdebatan konstitusional di Konstituante, maka pendulum politik negara memberi tempat yang lugas
kepada Presiden Soekarno untuk menjalankan visi mengenai “revolusi
belum selesai.” Di kala parlemen jauh dari efektif, maka tumpuan kepada peradilan sebagai institusi negara yang menjadi benteng keadilan
semakin menguat.
Dengan melembaganya ajaran Demokrasi Terpimpin yang terbungkus dalam ideologi integralistik memicu kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah berakhir menjadi angan-angan
belaka. Dalam episode ini, Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikoro menjadi anggota kabinet, sementara UU No. 19/1964 secara tegas
memberi hak kepada Presiden untuk intervensi proses peradilan.
Jadilah situasi di mana pengadilan lumpuh berhadapan dengan institusi negara.
Sekalipun demikian, dalam cakupan yang tertatih-tatih, para hakim tetap memakai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dalam menyelidiki gugatan-gugatan terhadap penguasa, meskipun kuantitas perkara demikian amat jarang.
Mahkamah Agung, dalam semua perkara gugatan terhadap penguasa bahkan memperluas aturan-aturan tentang penggugat dalam
perkara penggusuran, dari hanya mereka yang disebutkan namanya
dalam perintah penggusuran menjadi semua orang yang mengalami
kerugian. Dalam perkara yang sama perintah dari penguasa dibatalkan. Dalam putusan yang lain Mahkamah Agung mendalilkan bahwa
pelanggaran terhadap hak-hak keperdataan yang didasarkan menurut
hukum publik memungkinkan dilakukannya gugatan kepada penguasa.
Selain berkesinambungan dalam praktik gugatan terhadap penguasa, ada beberapa perkembangan penting tentang pengujian oleh
pengadilan khusus. Dasar perkembangan ini ditentukan oleh Ketetapan MPRS mengenai rencana delapan tahun pembangunan (1960) yang
memuat pengajuan uji materiil sebagai isu tersendiri, yaitu “akan diadakan peradilan tata usaha negara.” Ketentuan itu dijalankan dalam
UU No. 19/1964 yang menyebutkan “peradilan tata usaha negara” sebagai lingkungan peradilan tersendiri (Pasal 7 ayat [1]).
Kepada Lembaga Pembinaan Hukum Nasional atau LPHN, Menteri
Kehakiman Astrawinata meminta disiapkan suatu rancangan undangundang tentang PTUN. Tanggung jawab kegiatan ini dilaksanakan oleh
Ismail Sunny, pengajar hukum tata negara pada Universitas negara kita ,
yang menyelesaikan pekerjaannya pada 1966. Dengan adanya rancangan undang-undang ini , menampakkan suatu kekhasan yang tidak
terabaikan, di mana gagasan tentang kontrol segi hukum terhadap tindakan pemerintah dimintakan perhatian dalam suatu lingkungan pengadilan tersendiri.
Dengan beralihnya kekuasaan kepada rezim Orde Baru (sejak 1966)
dan semakin mengonsolidasikan kekuasaan (1968) serta semakin terintegrasinya visi penguasa yang menguasai mayoritas parlemen, melalui suatu pemilu yang direkayasa (1971) keinginan untuk membentuk
PTUN tidak dapat ditunda lagi. Pada awalnya, para aktivis dan sebagian anggota parlemen reformis menyandarkan harapan akan semakin
besarnya hasrat menegakkan independensi pengadilan kepada Oemar
Seno Adji, seorang jaksa, yang lalu ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman pada era penting transisi kekuasaan ini . Hampir 6 bulan
sebelum penunjukkannya dalam jabatan itu, Oemar Seno Adji dengan
antusias mendukung gagasan PTUN, namun sesudah menjadi anggota
kabinet, ia dengan tegas menyingkirkan gagasan ini , dan justru
bersifat konservatif, sebagaimana tampak perannya dalam menyusun rancangan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.
Dalam Seminar Hukum Nasional (1968), Oemar Seno Adji menegaskan pendiriannya, yang sedikit banyak mencerminkan aspirasi
pemerintahan, bahwa pengadilan perdata tidak perlu diperluas kewenangannya dalam menangani perkara gugatan terhadap penguasa.
Pembentukan PTUN dapat diapresiasi, namun ia memancing perdebatan saat menganggap pengadilan baru ini tidak di bawah Mahkamah
Agung, namun menjadi bagian dari Dewan Pertimbangan Agung. Dengan ditetapkannya UU No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka independensi kekuasaan kehakiman diakui, dan
PTUN menjadi lingkungan pengadilan sendiri. Undang-Undang ini
menolak gagasan pengujian Undang-Undang terhadap UUD dan tetap
mengatur adminsitrasi peradilan di bawah Departemen Kehakiman.
sesudah Menteri Kehakiman dijabat oleh Mochtar Kusumaatmadja, menggantikan Oemar Seno Adji yang ditunjuk menjadi Ketua Mahkamah Agung, isu PTUN kembali menjadi inisiatif penting. Pada tahun
1976, 10 hakim dikirim ke Perancis untuk mempelajari sistem pengujian norma hukum, yang ironisnya yaitu dengan persetujuan Oemar
Seno Adji. Pada tahun yang sama, Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), pengganti LPHN, menyusun rancangan undang-undang tentang PTUN pada tahun 1977.
Pada tahun 1982, Menteri Kehakiman Ali Said mengajukan rancangan undang-undang tentang PTUN kepada DPR, namun perdebatan
tidak dapat dilanjutkan sebab Ali Said lalu harus menjadi Ketua Mahkamah Agung dan posisi dalam kabinet digantikan oleh Ismail
Saleh. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung terdahulu, Mudjono, telah menggebrak dengan membentuk unit kerja lingkungan peradilan
tata usaha negara yang dipimipin oleh Indroharto. Sosok inilah yang
lalu berperan dalam usaha Ismail Saleh menyusun rancangan
undang-undang yang lalu ditetapkan menjadi UU No. 5 Tahun
1986 tentang PTUN.
Dengan adanya reformasi kekuasana kehakiman, yaitu melalui penetapan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menciptakan
penyatuatapan manajemen peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Dalam perkembangan lalu , muncul organ pelaksana kekuasaan yudikatif maupun organ pengawas. Perubahan UUD 1945 di bidang
kekuasaan kehakiman menentukan adnaya Mahkamah Konstitusi se-bagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman selain Mahkamah
Agung, serta membentuk Komisi Yudisial (KY)374 sebagai lembaga penegak martabat hakim. Selain itu, juga dibentuk pengadilan-pengadilan khusus dan lembaga baru dalam sistem peradilan dan penyelesaian sengketa hukum.
Sehubungan dengan fenomena ketatanegaraan ini berturutturut lalu ditetapkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, lalu UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; UU No. 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989; dan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Lembaga PTUN sebagai suatu akses keadilan yang melayani manusia tentunya bukan sekadar mesin hukum yang dibentuk oleh ketentuan hukum normatif saja. Lembaga peradilan yaitu satu institusi, yang tampak sebagai suatu organisasi, yang mempunyai sifat
interdependensi dengan banyak faktor kehidupan hukum dan sosial.
Peradilan yaitu kesatuan dari konsep-konsep serta elemen, meliputi budaya hukumnya, norma-normanya, serta gerak pelaksanaan
dari lembaga peradilan itu sendiri, maupun faktor-faktor sosial lainnya. PTUN sebagai suatu lembaga yang lahir pada masa perkembangan sistem hukum modern, telah dikembangkan berdasarkan kebutuhan sistem hukum modern,yang terdiri proses-proses formal.
Proses-proses formal ini (bersama-sama dengan proses informal), di antaranya yaitu birokrasi, administrasi, transformasi, maupun sub-subsistem, membentuk jalinan prosedur yang yaitu jantung dari hukum. Seperti layaknya sistem peradilan yang lain, inti
dari sistem PTUN yaitu hubungan ketergantungan antar setiap bagian, yang membentuk sistem (interrelationship between parts).
Perlu ditegaskan bahwa PTUN pada dasarnya menegakkan hukum
publik, yaitu hukum tata usaha negara sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 47 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004
dan UU No. 51/2009, bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan PTUN yaitu sengketa tata usaha negara yaitu sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1986
sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009).
ini ditegaskan lagi dalam rumusan mengenai Keputusan Tata
Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009. Juga
perlu diperhatikan bahwa PTUN tidak hanya melindungi kepentingan individu akan namun juga kepentingan warga (Pasal 49, Pasal
55, dan Pasal 67 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No.
9/2004 dan UU No. 51/2009). Menarik untuk dikaji bagian-bagian kewenangan menurut ketentuan-ketentuan ini .
1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 5/1986 sebagaimana
diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009, badan atau pejabat tata usaha negara yaitu “badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.” Artinya, apakah keputusan sebuah badan atau pejabat
tata usaha negara menjadi subjek kewenangan pengadilan tata usaha
negara tidak ditentukan oleh apakah mereka yaitu bagian dari
birokrasi pemerintah atau tidak. Namun definisi ini jelas mengecualikan badan-badan yang memiliki fungsi legislatif atau yudikatif.2. Keputusan Tata Usaha Negara
Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 5/1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009 mengatur bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yaitu “penetapan tertulis yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang memicu akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.”
Syarat ketentuan “tertulis” menurut Penjelasan undang-undang
tidak mensyaratkan adanya dokumen resmi, sehingga catatan dengan
tulisan tangan telah memenuhi ketentuan ini. lalu , syarat “sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”, maksudnya tindakan
hukum tata usaha negara memiliki dampak hukum, artinya ia menetapkan hak atau kewajiban bagi pihak lain. Artinya, undang-undang
mengecualikan keputusan-keputusan memiliki dampak “faktual”, seperti keputusan untuk membangun jembatan atau untuk menebang
pohon. Dalam hal demikian,warga negara harslah mengajukan gugatan di peradilan perdata.
Di dalam praktik, masalah “dampak hukum” telah ditafsirkan bermacam-macam oleh PTUN. Pertama, undangan atau panggilan dari
pejabat kepada warga negara untuk bertemu dan membahas sebuah
masalah. Meskipun dalam praktiknya ini bisa mendekati paksaan,
undangan semacam ini tidak memberi kewajiban hukum kepada
pihak yang diundang untuk hadir. Namun dalam dua perkara, pejabat harus mengalami gugatan atas undangan mereka di pengadilan.
Kedua, masalah permintaan sejawat. Misalnya surat seorang pejabat
kepada Badan Pertanahan Nasional yang memuat permintaan kepada penerima surat untuk menolak perpanjangan hak seseorang terhadap properti tertentu. sebab pejabat yang melakukan surat menyurat
ini tidak mempunyai hubungan hierarkis, permintaan demikian tidak
memberi dampak hukum kepada penerimanya. namun dalam perkara Ng Tjiang Seng vs. Walikota Medan PTUN menerima gugatan yang
demikian. Ketiga, sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional. Dalam suatu perkara, PTUN menyebutkan bahwa dokumen itu tidak
memiliki dampak hukum sebab hanya memuat informasi dan bukan
keputusan. namun dalam perkara lain, PTUN sekalipun tidak tegas
menguraikan sifat dokumen sebagai keputusan atau informasi, hakim
menerima gugatan dan bahkan menyatakan berwenang untuk memeriksa substansi sertifikat hingga menetapkan keabsahan pemilikan
tanah ini , suatu hal yang menyiratkan kaburnya batas antara
peradilan perdata dengan PTUN.
Demikian juga persyaratan bahwa tindakan hukum menurut “hukum tata usaha negara,” telah memicu banyak masalah antara
pembatasan hukum perdata dengan hukum tata usaha negara. Dalam
praktik, PTUN juga kerap menerima gugatan yang memuat substansi
hukum tata negara seperti hak asasi, organisasi politik, keamanan negara, dan sebagainya. Bahkan dalam perkara Walhi vs. Presiden RI, PTUN
menolak objek perkara sebagai sesuatu yang bersifat hukum tata negara.
3. Konkret dan Individual
Syarat ini telah membatasi kewenangan PTUN kepada keputusankeputusan yang tidak bersifat umum. Permasalahan yang pertama dari
syarat ini yaitu apakah sebuah keputusan bisa bersifat final jika ia
merujuk kepada objek tertentu, misalnya tidak ditujukan kepada orang
atau kelompok tertentu?
Menurut Philipus M. Hadjon, “individual” merujuk kepada warga
negara yang menjadi sasaran keputusan dan bukan pada objek. namun
dalam sebuah putusan PTUN, objek dianggap sebagai sesuatu individual, saat hakim menilai mengenai legalitas mengenai pembangunan sebuah tembok.385 Pengadilan juga sering mengartikan “individual”
sebagai badan hukum yang ditunjuk untuk melaksanakan keputusan
pemerintah (misalnya sebuah badan hukum yang melaksanakan proyek pemerintah), bukan terhadap dampak hukum dari keputusan itu.
Apakah nama sasaran keputusan haruslah dimuat dalam keputusan Tata Usaha Negara? Indroharto dalam penjelasan mengenai hal
ini mengatakan bahwa bersifat individual maksudnya keputusan tidak
ditujukan untuk umum, namun tertentu, baik alamat maupun hal yangdituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seseorang, maka tiap-tiap nama
yang terkena keputusan itu disebutkan. Dari pendapat ini makna
“konkret dan individual” bisa berarti “alamat dan hal” atau “alamat
atau hal.” Menurut Philipus M. Hadjon, penafsiran individualitas harus
bersifat formal, sehingga sasaran keputusan harus dicantumkan dalam
keputusan yang digugat.
Sebuah putusan ditetapkan oleh PTUN Semarang, yang menolak
gugatan terhadap pembatalan hasil lomba “pelajar teladan”, sebab di
samping di luar jangkauan pengadilan, juga sebab tidak semua siswa
yang ikut dalam perlombaan tercantum dalam keputusan ini .
Perkara yang menarik lainnya yaitu ditolaknya gugatan mengenai
pengumuman, yang menyatakan lahan di belakangnya yaitu
jalan umum, dengan alasan bahwa pendirian papan pengumuman
yaitu sebuah perbuatan konkret. namun argumen ini dipatahkan di
pengadilan tingkat banding membatalkan putusan ini dan menetapkan bahwa gugatan ini berada di luar kewenangan pengadilan sebab
papan pengumuman itu tidak memuat semua nama yang mendapatkan pengumuman.
Di pihak lain, banyak keputusan yang tidak memuat nama mereka yang dituju oleh keputusan ini telah diterima oleh pengadilan,
misalnya keputusan untuk membatalkan sertifikat tanah atau untuk
mengosongkan pasar.391 lalu , PTUN Jakarta menolak memeriksa perkara penggusuran pasar, dengan alasan keputusan itu tidak
bersifat individual, sebab “tidak mungkin menentukan siapa saja yang
berdagang di pasar itu.”
4. Final
Terkait dengan persyaratan bahwa sebuah keputusan harus memiliki dampak hukum yaitu ketentuan bahwa keputusan itu haruslah final. Penjelasan undang-undang mengatakan bahwa maksud final
yaitu sebuah keputusan harus berlaku tanpa menunggu persetujuan dari badan atau pejabat lain.
Salah satu implementasi persyaratan ini menjadi kontroversial
yaitu mengenai instruksi. Mahkamah Agung dalam N.S. vs. Wakil Gubernur Jakarta telah mengecualikan putusan demikian dari wewenang
PTUN, sebab seharusnya penggugat mengajukan keputusan kepada
pengadilan, dan bukan surat instruksi, sebab surat demikian tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat di luar birokrasi.
Sejumlah putusan PTUN mengabaikan instruksi Mahkamah Agung
ini sebab menganggap instruksi yaitu “perintah sebagai
persetujuan mengenai suatu hal yang memiliki konsekuensi hukum.
Dalam sebuah surat edaran, Mahkamah Agung menyatakan bahwa suatu instruksi (penggusuran) bersifat internal dan dengan demikian tidak menjadi wewenang PTUN.394 Hanya saja edaran itu diabaikan oleh
hakim. Dalam perkara-perkara tertentu saat tidak diketahui apakah
keputusan TUN yang dipermasalahan bersifat internal ataukah eksternal, pengadilan memakai pedoman itu untuk mengatakan bahwa
perkara itu di luar kewenangan itu.
Perkara-perkara di atas menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan tentang unsur utama kewenangan PTUN dan meskipun telah
berusaha, Mahkamah Agung gagal memberi pedoman kepada
pengadilan-pengadilan ini . Temuan yang lebih mencemaskan
yaitu para hakim sering kali tidak memperhatikan hal-hal penting
atau mengabaikannya tanpa memberi penjelasan. Sering kali argumen mereka tidak sesuai dengan logika yang seharusnya mendasari
pemikiran hukum dalam tradisi keperdataan.
Kebijakan pertanahan sangat dipengaruhi oleh hubungan antara negara dengan tanah. Ada dua pendekatan untuk memberi an-cangan teoretis. Pertama, apabila negara (berdasarkan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA) mempunyai hak menguasai, maka negara sebagai badan penguasa diberi wewenang (dalam bidang publik
oleh bangsa negara kita , sebagaimana halnya penguasa adat yang diberi
wewenang oleh warga hukumnya. Kedua, dengan asumsi negara
mempunyai hubungan yang langsung antara negara dengan bumi dan
sebagainya, maka negara berwenang untuk menguasainya sebab yaitu perwujudan (personifikasi) rakyat. Wewenang negara ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah sebagai medebewind. Dalam
pandangan ini, hubungan rakyat, bangsa, dan negara dilihat sebagai
suatu kontinuum.
Pada tataran makro, UUPA memuat 8 garis-garis besar kebijakan
pertanahan, yaitu:
a. Adanya penegasan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (2)).
b. Hak menguasai negara itu dipakai untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3));
c. Hak menguasai negara dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada pemerintah-pemerintah daerah dan warga Hukum
Adat bila diperlukan dan sesuai dengan kepentingan nasional (Pasal 2 ayat (4));
d. Pelaksanaan hak ulayat dijalankan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(Pasal 3);
e. Tiap-tiap warga negara negara kita , laki-laki maupun perempuan,
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak
atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi
diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2));
f. Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
pemakaian tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan
(Pasal 7);
g. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6); dan
h. Demi kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan ne-gara serta kepentingan bersama rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18).
Terlepas dari argumentasi dalam 2 pendekatan itu, maka yang perlu dicatat bahwa pendekatan mana pun yang dipakai , hasil akhirnya sama, yaitu pengakuan bahwa pada dasarnya penguasaan tanah
itu bersifat kolektif dan kepada perorangan atau badan hukum dapat
diberikan sebagian dari hak bersama ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Untuk saat ini yang sudah diatur yaitu lembaga
hak atas tanah yang meliputi permukaan bumi sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 UUPA, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai sesuai dengan tujuan pemakaian nya.
Menurut Nurhasan Ismail, kebijakan pertanahan, khususnya terkait dengan jaminan kepemilikan pada masa Orde Baru, berangkat dari
asumsi dialogis, “Jika tanah yang dipunyai dapat diperuntukkan untuk
memaksimalkan kepentingan diri pemegang hak, mengapa harus diperuntukkan bagi pelayanan atau kepentingan warga.”398 Terbentuknya ketentuan yang mengubah fungsi hak atas tanah tidak terlepas
dari ideologi dalam kebijakan pembangunan ekonomi399 yang mendorong ke arah rasionalisasi pemanfaatan tanah sehingga pertimbangan
untung rugi bagi diri sendiri lebih mendominasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan kebijakan pertanahan, Orde Baru tidak lagi menghadapi tuntutan untuk membuat hukum
agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai saat UUPA selesai
disusun. Yang dituntut dari pemerintah Orde Baru yaitu bagaimana
merealisasikan tuntutan-tuntutan yuridis berkenaan dengan berlakunya UUPA. Selama pemerintahan Orde Baru, sudah banyak dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan
bidang agraria, bahakan beberapa undang-undang yang sifatnya parsial dalambidang agraria ini sudah dikeluarkan. namun , masalah yang
dihadapi olehj pemerintah terus berkembang. Akar masalahnya ada-lah kenyataan bahwa luas tanah tidak pernah bertambah, sedang
manusia penghuninya terus bertambah dan perkembangan warga dengan industrialisasinya memerlukan lahan seperti halnya setiap
pertambahan manusia.
Dari sisi legal kenyataan yang terjadi yaitu lambannya penyusunan peraturan pelaksanaan UUPA, yang oleh Iman Sutiknyo prosesnya
keluar “setetes demi setetes.” Selain lambannya berbagai peraturan
pelaksanaannya, masalah yang dihadapi pemerintah yaitu tuntutan
adanya penyesuaian materi peraturan yang telah ada dengan perkembangan keadaan.
Dalam dimensi sosial, sebab tuntutan pembangunan dan akibat
industrialisasi, maka tanah menjadi suatu objek komditas. Secara teoretis, penempatan tanah menjadi objek komiditi yaitu sebab telah
terjadi pegeseran mengenai nilai kegunaan tanah yang di samping
ditentukan oleh jenis dan jumlah produksi, juga ditentukan menurut
jumlah investasi dana yang dipakai dalam perolehan dan penyediaan tanah yang lalu menempatkannya sebagai barang dagangan
yang harus diperalihkan dari individu yang satu ke individu yang lainnya. Semakin sering tanah diperalihkan, maka semakin tinggi nilai
yang dilekatkan kepada tanah dan itu berarti semakin tinggi potensi
keuntungan yang dapat diperoleh oleh setiap individu dari peralihan
hak atas tanah ini . Pergeseran ini lalu didukung oleh
negara baik, menurut peraturan perundang-undangan404 maupun ke-bijakan lainnya.
Semenjak awal jaminan kepemilikan tanah melalui hak atas tanah
digariskan oleh UUPA hanya mencakup permukaan bumi saja (Penjelasan Umum Angka II bagian kesatu). Menurut Maria S.W. Soemardjono, konfigurasi demikian dimaksudkan bahwa penguasaan seseorang
terhadap tanah hanyalah sebatas pada bagian atas dari bumi, dengan
demikian memberi hak kepada negara untuk menguasai bahanbahan tambang yang berada di tubuh bumi.406
Menurut konsep UUPA, hubungan antara subjek hak dengan tanah sebagai objek hak dikenal pengertian tanah negara dan tanah hak.
Tanah negara yaitu tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak.
Dengan demikian, tanah-tanah yang dilekati dengan sesuatu hak atas
tanah yang tercantum dalam Pasal 16 UUPA, lalu tanah ulayat,
dan tanah wakaf tidak termasuk dalam pengertian tanah negara. Sementara itu, tanah hak yaitu tanah yang dilekati dengan sesuatu hak
atas tanah yang diatur menurut Pasal 16 UUPA, yaitu Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Menurut UUPA,
Hak Milik diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dalam undangundang, sedang terhadap Hak Guna Usaha, Hak Giuna Bangunan,
Hak Pakai, dan Hak Sewa telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996.
Menurut Maria S.W. Soemardjono, Hak Milik pararel dengan Hak
Pakai, sementara Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan termasuk
dalam kelompok Hak Pakai sebab memberi kewenangan untuk
memakai tanah yang bukan miliknya sendiri. Perbedaan antara
Hak Guna Usaha dengan Hak Guna Bangunan dibandingkan dengan
Hak Milik dan Hak Pakai yaitu bahwa Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan pemanfaatannya dibatasi secara eksplisit, sedang pemanfaatan Hak Milik dan Hak Pakai tidak diperinci, artinya “terbuka
pemanfaatan untuk semua jenis pemakaian , selama secara khusus
tidak dilarang.”
Persoalan yang sering muncul terkait dengan jaminan kepemilikan hak atas tanah tampak dipengaruhi dalam memahami relasi antara
tanah dengan negara sebagaimana sudah diuraikan di muka. sebab keterlibatan negara yang mendalam dengan masalah pertanahan,
maka PTUN harus menanggapi sengketa-sengketa pertanahan, yang
kadang-kadang sama sekali tidak terkait dengan PTUN.
Besarnya keperluan lahan yang bagi kepentingan pembangunan
bisa dipenuhi melalui beberapa cara. Bila tidak ada yang mengaku berhak atas sebidang tanah, pemerintah bisa memakai nya atau menyewakannya ke pihak swasta berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPA. Namun hampir semua tanah telah dimanfaatkan, sehingga pemakainya
harus dipindahkan. Bila mereka memiliki hak atas tanah, dilakukan
prosedur “pembebasan tanah.”
Pada periode 1992-1997, aturan mengenai prosedur itu ditemukan dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pemerintah selalu memberi argumen bahwa dalam konteks pembebasan tanah tidak mengandung kekerasan akan namun sukarela. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah maupun keputusan tingkat banding oleh gubernur tentang jumlah ganti kerugian tidaklah mengikat.
Ini memicu sengketa tanah yang “murni” demikian menjadi di
luar kompetensi PTUN.
Dalam perkara Muhidin dkk vs. Walikota Jakarta Utara, PTUN Jakarta menerima alur pemikiran ini . Para penggugat, sejumlah
warga yang hendak digusur, menolak menerima ganti kerugian yang
jumlahnya ditentukan oleh Panitia Pembebasan Tanah. Pengadilan
berpandangan bahwa keputusan itu tidak bersifat final, sebab itu tidak mengikat bagi penggugat.
Jenis sengketa penyitaan tanah berikutnya yaitu terkait dengan
tanah yang dipakai “tidak sejak dahulu kala” namun telah dipakai untuk masa yang lama, misalnya perkebunan peninggalah kolonial
Belanda. Pemerintah biasanya menganggap lahan-lahan demikian sebagai tanah negara dan mengasumsikan bahwa prosedur pembebasan
lahan tidak perlu diterapkan. Namun para petani penggarap yang
miskin ataupun penduduk yang tinggal atau bercocok tanam di tempat
itu (dan sering juga membayar pajak) menganggap bahwa mereka la-yak mendapatkan ganti kerugian penuh, dan bukan sekadar pesangon
atau malah lebih buruk lagi, sama sekali tidak mendapatkan ganti kerugian. Sejumlah peraturan berpihak kepada pihak yang menduduki
lahan, terutama terkait dengan perkebunan-perkebunan Belanda,
akan namun tidak jelas sejauh mana mereka bisa mendapatkan ganti
kerugian dalam masalah pembebasan lahan.
Justru mengenai masalah ganti kerugian inilah PTUN tidak pernah
mempunyai sifat tunggal. Dalam perkara Amoy dan Kacung vs. Camat
Wuluhan, PTUN Jakarta menerima berkas 3 kepala keluarga terhadap
pengusiran tanpa ganti kerugian dari tanah negara yang telah mereka
tinggali dalam jangka waktu yang lama. Pengadilan menerima gugatan dan meskipun penggugat tidak mempunyai alat bukti hak, mereka
berhak memperoleh ganti kerugian yang layak. namun dalam perkara
lain, pengadilan yang sama memutuskan bahwa gugatan 66 penggugat untuk mendapatkan ganti kerugian bukanlah sengketa tata usaha
negara dan dengan demikian tidak dapat diajukan ke PTUN, sebuah
putusan yang lalu dikuatkan di tingkat banding.
Dalam perkara Tanah Merah menyisakan juga himpitan kewenangan PTUN dengan peradilan umum soal ganti kerugian ini. Pertamina ingin memakai lahan ini dan lalu mengajukan
permohonan kepada Walikota Jakarta Utara, yang lalu menerbitkan perintah penggusuran sebab para penghuni juga kenyataan
tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan atau IMB. namun penghuni
menolak perintah itu dan lalu mengajukan gugatan untuk memperoleh ganti kerugian kepada PTUN Jakarta, dan pada saat yang bersamaan mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Utara. lalu PTUN mengumumkan putusan, sesudah sebelumnya mengabulkan penangguhan pelaksanaan perintah itu, dengan
menyatakan menolak gugatan ini . namun , pengadilan negeri mengabulkan gugatan dan menyatakan penghuni berhak atas preferensi
pemanfaatan lahan menurut Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979. Mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak jika digusur.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang untuk menerbitkan hak milik aas tanah pada suatu tanah negara (Keputusan
Presiden No. 26 Tahun 1988). ini dalam praktik sering dijumpai 2
permasalahan sebagai berikut. Pertama, apakah negara dapat memberi hak dengan bebas, atapakah adat masih berlaku. Kedua, kesulitan untuk menentukan apakah suatu bidang tanah telah menjadi tanah
negara atau tidak.Ketiga, keterlibatan PTUN dalam melaksanakan putusan pengadilan perdata. Keempat, kekuasaan negara untuk memberi hak milik. Kelima, masalah perpanjangan hak milik. Keenam,
pencabutan hak atas tanah.
Dalam contoh yang pertama ditunjukkan dalam perkara sebagai
berikut. Pada tahun 1990 seorang pekerja menemukan 2 situs sarang
burung walet yang baru dalam sebuah gua. Menurut adat setempat, ia
seharusnya melaporkan ini ke pemilik “hak pengumpulan”, yang
lalu haknya akan diperluas ke dalam situs-situs baru ini .
Namun ia mendatangi pemerintah kabupaten Tabalong dan memperoleh hak penguasaan sarang burung walet untuk dirinya sendiri (1992).
Pemilik lama, Halimah, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Tanjung, namun tidak berhasil. Pengadilan berpendapat bahwa adat
tidak berlaku dalam perkara ini dan pemerintah kabupaten bisa
memberi hak penguasaan menurut UUD 1945, UUPA, dan UU Pemerintahan Daerah 1974. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding.
lalu Halimah menggugat keputusan bupati Tabalong ini ke
PTUN Banjarmasin. Pengadilan mengabaikan putusan pengadilan perdata, dan menyimpulkan secara bertentangan bahwa adat masih berlaku sehingga bupati tidak mempunyai kekuasaan untuk memberi
hak kepada siapa pun. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding dan
kasasi di Mahkamah Agung. lalu , Bupati Tabalong mengajukan
Peninjauan Kembali dan putusan kasasi dibatalkan, namun sama sekali tidak memperhatikan putusan pengadilan perdata terdahulu. Putusan Mahkamah Agung itu menarik untuk dicermati sebab melakukan
penilaian keputusan bupati dengan Peraturan Daerah Tabalong No. 4
Tahun 1993, suatu pelanggaran asas legalitas. Perkara ini juga menunjukkan pengabaian PTUN terhadap pengadilan perdata, dan Mahkamah Agung sama sekali tidak bersikap.Untuk masalah kedua, yaitu berhubungan dengan penetapan tanah negara, dapat dicontohkan dalam perkara Sultan Deli dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Bermula pada 1869, saat seorang
sultan di Sumatra Utara menyewakan tanah untuk jangka waktu
tahun. Pada tahun 1954, saat sewa itu berakhir, tanah ini tidak
dikembalikan kepada keturunannya, akan namun diserahkan kepada
pemerintah Republik negara kita . Pemerintah menerbitkan semua jenis
hak aats tanah ini, meskipun keluarga sultan masih mengklaim kepemilikan.
Para ahli waris lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta sehubungan dengan penerbitan Hak Guna Usaha, IMB, dan izin lokasi.
Pengadilan menganggap bahwa negaralah yang memiliki tanah ini
dan menolak gugatan. Pengadilan banding menguatkan putusan ini,
akan namun kasasi di Mahkamah Agung mengabulkan gugatan. Serupa
dengan perkara sebelumnya, Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi dalam Peninjauan Kembali, namun dengan alasan yang sama
sekali berbeda, yaitu bahwa lokasi lahan itu tidak sesuai dengan surat
tanah yang diajukan oleh penggugat.
Sebenarnya, pokok perkara yaitu siapakah pemilik yang sah dari
tanah yang sudah habis masa sewanya ini ? Jadi bukan masalah
prosedur perizinan. Pokok perkara semacam itu mestinya menjadi
kompetensi pengadilan negeri dan PTUN semenjak awal mengarahkan
kepada ini ,namun tidak dilaksanakan. Lagipula Mahkamah
Agung sama sekali tidak bersikap menentukan kewenangan itu pada
siapa, akan namun justru menafsirkan fakta-fakta baru melalui mekanisme Peninjauan Kembali.
Sebagai contoh ketiga yaitu perkara Jalan Sabang.
Perkara ini
berawal dari perjanjian mengenai sebidang tanah. Pertama yaitu perjanjian jual beli kepada seseorang bernama Zainal dan kedua yaitu
perjanjian pelepasan hak kepada Kodam Jaya Jakarta. Meskipun disahkan belakangan, perjanjian yang kedua dan berlaku, dan pada tahun
1970 Zainal mengajukan gugatan ke pengadilan perdata. Pada tahun
1982 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pada tingkat kasasi.
Berdasarkan putusan ini, pada tahun 1990 seorang notaris menyusun
perjanjian antara pemilik asal guna mengalihkan hak kepada para ahli waris Zainal. Namun sementara itu, Kodam tidak lagi memanfaatkan
tanah ini dan lalu BPN menerbitkan hak Hak Guna Usaha
kedua kepada 2 perusahaan. Instansi BPN menolak mencatat pemindahan hak kepada para ahli waris Zainal, sehingga mereka mengajukan gugatan PTUN Jakarta mengenai pemberian hak Hak Guna Usaha
ini . Menurut penggugat, BPN telah bertindak sewenang-wenang
sebab sejak 1967, BPN telah mengetahui bahwa tanah ini menjadi objek sengketa. Selain itu, BPN juga melanggar Pasal 22 PP No. 10
Tahun 1961 tentang Pendataran Tanah, yang melarang penerbitan sertifikat bila ada gugatan yang belum diselesaikan di pengadilan.
Pengadilan berpendapat bahwa dalam rangka memberi rasa
keadilan, maka kepentingan para ahli waris Zainal lebih besar dibandingkan dengan kepentingan hak sewa dua perusahaan. Oleh sebab
itu, BPN harus mencatat akta pengalihan hak kepada para ahli waris
Zainal dan menerbitkan sertifikat baru atas nama penggugat. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Namun dalam kasasi Mahkamah Agung memperumit masalah dengan
mengatakan bahwa alasan pembatalan yaitu fakta bahwa tanah ini tidak pernah menjadi tanah negara sebab di bawah penguasaan
Kodam Jaya. Oleh sebab itu negara tidak mempunyai wewenang untuk menerbitkan sertifikat.
Untuk masalah yang keempat, dalam beberapa perkara PTUN melangkah jauh untuk membatasi kekuasaan negara dalam menetapkan
hak milik. Dalam perkara Pranoto vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional,
pengadilan memerintahkan tergugat untuk menerbitkan Hak
Guna Usaha kepada penggugat sebab ia telah menyewa tanah dari
penyewa sebelumnya selama lebih dari 20 tahun. Para hakim menolak argumen tergugat bahwa informasinya tidak lengkap, dan ia masih
menunggu hasil penyelidikan oleh panitia khusus yang dibentuk gubernur. Merujuk kepada Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973, pengadilan tidak
memberi pembenaran yang kuat untuk putusan ini, yang sebenarnya menghilangkan hak tergugat untuk membuat keputusan yang berimbang.
Dalam perkara Gozal vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Ujung
Pandang, pengadilan memeriksa gugatan tentang penolakan Hak Guna Usaha. Tergugat menjelaskan bahwa penggugat telah menjadi terpidana dalam suatu perkara korupsi,terkait dengan tanah yang digugatnya,
sehingga sewanya menjadi tidak sah. Pengadilan berargumen bahwa
sebab penggugat masih memiliki toko-toko yang berada di atas tanah
ini, maka ia mendapatkan preferensi untuk hak ini dan demikian
permohonannya tidak dapat ditolak. Pengadilan tidak memperhatikan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1979 yang secara tegas mengizinkan pemerintah untuk menolak
permohonan demikian bila ada pemidanaan.
lalu disajikan juga contoh perkara antara PT Perkebunan
Karet Kemanyan vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat
dan Gubernur Jawa Barat di mana PTUN Jakarta menyatakan bahwa
tergugat mempunyai hak untuk menentukan persyaratan tertentu dalam memberi ganti kerugian mengingat posisi preferensial dalam
mendapatkan hak untuk sebidang tanah.
Untuk masalah yang kelima, perkara-perkara yang ditangani oleh
PTUN menunjukkan bagaimana pengadilan dapat memulihkan keputusan Badan Pertanahan Nasional tanpa harus mengurusi sisi perdata
dari sengketa itu terlebih dahulu. Dalam perkara Wijaya vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional Pontianak, PTUN Pontianak berhasil melindungi penggugat dari dampak kesalahan prosedur di pihak tergugat.
Sengketa ini terkait dengan penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha, sebab tergugat telah memberi hak ini kepada pihak lain.
Pihak ini mengakui bahwa penyebab terbitnya surat hak untuk kedua
kali bukan sebab sengketa tanah, melainkan sebab kesalahan pencatatan. Hakim memutuskan bahwa penggugat tidak boleh menjadi
korban kesalahan itu, dan memerintahkan tergugat untuk melanjutkan
proses permohonan ini .
Untuk masalah yang keenam, PTUN juga telah memainkan peranan penting dalam sengketa pencabutan hak milik, satu kekuasaan lain
yang dipegang Badan Pertanan Nasional, sebagaimana ketentuan Pasal 34 UUPA dan ketentuan UU No. 29 Tahun 1956. Kekuasaan ini menunjuk negara untuk mengawasi pemakaian tanah, yang berarti bila
pemegang hak atas tanah tidak memanfaatkannya sesuai syarat-syarat
menurut undang-undang, ia akan kehilangan haknya. Misalnya dalam
perkara Winardi v.s.Kepala Badan Pertanahan Nasional Bandung.
Penggugat mempunyai hak Hak Guna Usaha yang terletak pada sebidang tanah dengan tiga rumah sampai tahun 2001. Pada tahun 1994,
ia menemukan bahwa Badan Pertanahan Nasional telah mencabut
haknya ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga yang
bersangkutan mengajukan gugatan ke PTUN Bandung. Gugatan dikabulkan di tingkat pertama dan banding. Pengadilan memandang tergugat telah bertindak sewenang-wenang tanpa menunggu hasil gugatan perdata tentang kepemilikan antara penggugat dengan salah satu
penyewa rumah.
Dalam perkara PT Orici vs. Kepala Badan Pertanahan Nasional,
tergugat bahkan telah mencabut Hak Guna Usaha penggugat secara
melanggar putusan pengadilan perdata, dan memberi hak baru kepada perusahaan lain dengan pertimbangan akta notaris yang dianggap tidak sah. PTUN Jakarta memutuskan bahwa tindakan itu sewenang-wenang dengan merujuk kepada putusan sebelumnya.
Masih berhubungan dengan pembatalan hak atas tanah, dalam
perkara Kusuma vs. Badan Pertanahan Nasional, tentang pembatalan Hak Guna Usaha dan penerbitan IMB, yang keduanya ditetapkan 18
tahun sebelumnya serta perintah pembongkaran. Alasan pembatalan
ini yaitu sengketa antara penggugat dengan pihak ketiga. Pihak ketiga ini meyakinkan tergugat tentang haknya untuk mendapatkan Hak
Guna Usaha dibandingkan penggugat. Menurut argumen pihak ketiga, tanah ini dahulu yaitu milik ayahnya, yang disewakan
kepada ayah penggugat. sebab tanah ini tidak dikembalikan, maka
ayah penggugat tidak bisa mendapatkan konversi haknya. Artinya,
akar sengketa ini yaitu sengketa perdata, dan sebagi akibatnya, PTUN
hanya bisa memeriksa secara terbatas apakah keputusan ini memenuhi syarat atau tidak. Kenyataannya, pengadilan memperhatikan
hubungan keperdataan antara penggugat dengan pihak ketiga secara
perinci, dan lalu memakai sebagai alasan untuk menolak
gugatan ini .
Pada tingkat banding, pengadilan memperhatikan benar batas-batas pemeriksaan terhadap sengketa keperdataan ini namun
mengambil kesimpulan secara berlawanan dengan prinsip itu. Pengadilan banding memandang tanah itu belum menjadi tanah negara
dan penggugat mendapatkan haknya secara sah menurut konversi dan
akibatnya, tergugat diperintahkan untuk membatalkan keputusannya.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan banding dengan alasan bukan persoalan kewenangan sengketa
keperdataan, akan namun membuat alur pikir sendiri sehingga sampai
kepada konklusi bahwa tanah itu sudah menjadi tanah negara dan
dengan demikian, menurut haknya semula, maka pihak ketiga yang
memperoleh hak atas tanah dan bukan penggugat.
Proses penalaran pengadilan dalam 3 tingkatan pemeriksaan dalam
perkara ini menunjukkan pengadilan menempatkan dirinya sebagai Badan Pertanahan Nasional. Suatu keanehan jika timbul sengketa
perdata dan juga kenyataan bahwa hak ini diterbitkan 18 tahun
lampau, namun Badan Pertanahan Nasional menerbitkan hak baru tanpa
mengkonfirmasi masalah ini . Semestinya juga PTUN menangguhkan pelaksanaan keputusan itu sambil menunggu penyelesaian dalam
pengadilan perdata.
Merujuk kepada Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 Pasal 2
dan Pasal 3, Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang bukan saja memberi hak milik atas tanah, akan namun juga sebagai
pencatat hak milik. Untuk itu ditetapkan kebijakan sistem pendaftaran
tanah.
Pendaftaran tanah diatur dalam UUPA Pasal 19 ayat (1) yang lalu ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961, yang lalu diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sistem pendaftaran tanah yang
dianut di negara kita yaitu sistem pendaftaran hak (registration of title)
publikasi negatif bertenden positif.423 Dalam sistem ini, catatan tanah
disimpan oleh negara, dan transaksi tanah dilakukan di hadapan notaris. Perbedaan penting dari negara-negara Eropa dengan sistem seru-pa yaitu sertifikat yang diterbitkan kepada pemegang hak milik jauh
lebih penting dibandingkan salinan pencatatan resmi. Seseorang bisa
melaksanakan perjanjian dengan sertifikat sebagai satu-satunya alat
bukti, bila tanah itu menjadi sasaran gugatan (Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1961 Pasal 22). Sejumlah kami menyebutkan bahwa
notaris acap kali lalai memperhatikan apakah persyaratan-persyaratan ini terpenuhi.424 Masalah lain tentang sertifikat yaitu pemrosesannya, sering kali sulit sebab ketidakpastian kepemilikan dan jenis-jenis
Sebelum dibentuk PTUN, tidak ada usaha hukum yang tegas guna
melawan penolakan Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan,
mengalihkan, atau membatalkan sertifikat.426 sesudah terbentuknya
PTUN, tindakan hukum ini dapat dimintakan kontrol ke pengadilan,
namun tetap saja memicu kekaburan mengenai batas-batas kontrol itu berhadapan dengan pengadilan perdata. ini bisa ditunjuk
dalam hak. Pertama, PTUN sering kali mengabaikan putusan pengadilan perdata. Kedua, dalam hal perkara tidak ada gugatan perdata, maka
sering kali PTUN menempatkan dirinya sebagai pengadilan perdata.
Ketiga, PTUN melengkapi putusan pengadilan perdata.
Untuk persoalan yang pertama dapat ditunjuk dua putusan, yaitu
perkara Yahya vs. Kepala Kantor Pertanahan Palembang.
Akar perkara yaitu penjualan sebidang tanah oleh penjual yang tidak berhak. sesudah menyadari cacat ini, maka Badan Pertanahan Nasional menolak
memberi sertifikat kepada pembeli, yang telah membangun rumah
dan bengkel di atas tanah itu. Pembeli lantas menggugat menggugat
pemilik asal, namun mental di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi, dan Peninjauan Kembali. sesudah usaha ini, Pengadilan Negeri Pa-lembang memerintahkan agar rumah dan bengkel ini dibongkar.
Namun pembeli tetap menolak dan mengajukan gugatan ke PTUN terkait sertifikat kepemilikan. Pengadilan lalu mengabulkan gugatan ini , namun dengan mengabaikan batas daluwarsa pengajuan
gugatan.
Prosedur serupa ditemukan dalam Putusan PTUN Semarang dalam perkara Soedarti dan Subroto vs. Kepala Kantor Pertanahan Semarang, yaitu bahwa mereka melampirkan kesimpulan baru menurut
fakta-fakta yang dipertimbangkan oleh pengadilan perdata. Dalam
putusan pengadilan perdata, penggugat hanya berhak mendapatkan
ganti kerugian dalam bentuk uang, namun pengadilan memberi
eksekusi riil, yaitu memerintahkan Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat pihak yang kalah dalam perkara perdata dan menerbitkan sertifikat baru untuk penggugat.
Untuk permalahan yang kedua, yaitu dalam hal tidak ada putusan
perdata mengenai kepemilikan, maka PTUN mengambil peran sebagai pengadilan perdata. Dalam perkara Tjokropranolo vs. Kepala Kantor Sewa Tanah Jakarta Utara, PTUN Jakarta secara cermat memeriksa
perjanjian jual beli dan kerumitan kepemilikan yang melandasi penolakan tergugat untuk memberi sertifikat kepada penggugat. Penolakan ini terjadi sesudah ada intervensi camat atas nama para pengguna lahan. lalu PTUN menyatakan menolak gugatan. Pengadilan
banding dan Mahkamah Agung melakukan tindakan serupa namun dengan konklusi yang berbeda dengan PTUN. Pengadilan banding mengabulkan sementara Mahkamah Agung menolak.
Untuk persoalan di mana PTUN melengkapi putusan pengadilan
perdata, dapat ditunjuk antara lain dalam perkara Ratnaningsih vs.
Kepala Kantor Pertanahan Bekasi, di mana PTUN Bandung memulihkan kesalahpahaman anatara ketua Pengadilan Negeri Garut dan
tergugat. Dalam perkara ini, tergugat lalai mencatat penyitaan sebuah
rumah yang hendak dilelang secara legal pada saat yang sama, namun
sebab penyitaan ini belum dicatat, tergugat memberi sertifikat
kepada pembeli. Untuk itu, PTUN tidak mengabulkan gugatan untuk
mendapatkan sertifikat, namun memerintahkan tergugat untuk membatalkan sertifikat pembeli dan mengembalikan ke keadaan semula.
Untuk mendapatkan putusan tentang masalah kepemilikan, maka
penggugat dirujukkan ke pengadilan perdata.