dasar pidana 4

Rabu, 24 Mei 2023

dasar pidana 4


disebut dengan sistem pemasyarakatan.  
Sejak disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Undang-undang 
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah menjadi landasan hukum yang kuat dari 
segi formil dan materil dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Berhasil atau tidaknya 
pembinaan sesuai sistem pemasyarakatan ditentukan oleh faktor pendukung yaitu lembaga 
pemasyarakatan (meliputi antara lain faktor organisasi, personal petugas, sarana prasarana dan 
                                                     

financial); narapidana; dan masyarakat. Implementasinya, secara sederhana faktor-faktor 
ini  dapat dicerminkan dalam pola perlakuan atau sikap petugas pemasyarakatan terhadap 
narapidana dan kondisi lingkungan lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan. 
 
3. Pidana kurungan  
Pada dasarnya mempunyai dua fungsi, pertama sebagai custodia honesta untuk delik 
yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. Yaitu delik culpa dan beberapa delik dolus, 
seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP)233 dan pailit sederhana (Pasal 396 
KUHP)234 pasal-pasal ini  diancam dengan pidana penjara. Contoh ini  sebagai delik 
yang tidak menyangkut kejahatan kesusilan, sedangkan yang ke dua yaitu  sebagai cutodia 
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran, maka pidana kurungan 
menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, 
yaitu penempatan ditempat kerja negara.235 
Menurut Roeslan Saleh, pidana kurungan hanya untuk kejahatan-kejahatan culpoos, 
dan sering alternatif dengan pidana penjara, juga pada pelanggaran-pelanggaran berat. 
Beberapa pidana pokok sering secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama, 
alternatif berarti bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan secara 
kumulatif dengan denda. Jadi pidana penjara atau kurungan dan denda tidaklah mungkin, 
dalam perkara-perkara perbuatan pidana ekonomi. Di negara lain sudah dimungkinkan, 
walaupun dalam pidana bersyarat yaitu disamping pidana bersyarat ditimpakan pula pidana 
denda yang tidak bersyarat. Bilamana denda yang diancamkan terhadap kejahatan biasa ini 
                                                     
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan 
Pembina, yang dibina dan masyarakat. 
Pasal 182 KUHP “ Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan. Barang siapa 
membujuk orang supaya menantang berkelahi seorang lawan seorang atau menyuruh orang menerima tantangan itu, 
jikalau akhirnya perkelahian seorang lawan itu terjadi; barang siapa dengan sengaja menyampaikan tantangan jikalau 
kemudiannya perkelahian seorang lawan seorang itu terjadi.” 
Pasal 396 KUHP” Saudagar yang dinyatakan pailit atau yang diizinkan menyerahkan benda-benda 
menurut hukum, karena bersalah bangkrut biasa. Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat bulan. Jika 
hidupnya boros, jika ia dengan maksud untuk mempertangguhkan pailitnya itu, telah meminjam uang dengan memakai 
perjanjian yang berat, sedang diketahuinya bahwa pinjaman itu tiada dapat mencegah pailitnya. Jika ia tidak dapat 
memberikan dalam keadaan baik dan lengkap buku dan surat keterangan tempat ia mengadakan catatan menurut Pasal 
6 KUH Dagang dan surat lain yang disimpannya menurut pasal itu”. 

 
alternatif dengan pidana penjara (Pasal 167, 281,310, 351, 362) kurungan (Pasal 231, ayat (4)) 
atau pidana dan kurungan atau kedua-duanya (Pasal 188, 483).236  
4. Pidana Denda 
Dalam sejarahnya, pidana denda telah digunakan dalam hukum pidana selama berabad-
abad. Anglo saxon mula-mula secara sistematis menggunakan hukuman finansial bagi pelaku 
kejahatan. Pembayaran uang sebagai ganti kerugian diberikan kepada korban. Ganti rugi ini  
menggambarkan keadilan swadaya yang sudah lama berlaku yang memungkinkan korban untuk 
menuntut balas secara langsung terhadap mereka yang telah berbuat salah dan akibat terjadinya 
pertumpahan darah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman terhadap kehidupan dan 
harta benda suatu kelompok yang ditimbulkan oleh pembalasan korban yaitu  faktor penting 
dalam perkembangan dan popularitas hukuman dalam bentuk uang. 
Pidana denda itu sendiri sebenarnya merupakan pidana tertua dan lebih tua daripada pidana 
penjara. Pembayaran denda terkadang dapat berupa ganti kerugian dan denda adat. Dalam zaman 
modern, denda dijatuhkan untuk delik ringan dan delik berat dikumulatifkan dengan penjara.238 
Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan 
trakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. 
Pidana denda diancamkan sering kali sebagai altenatif dengan pidana kurungan terhadap 
hampir semua pelanggaran (overtredingen) yang tercantum dalam Buku III KUHP. Terhadap 
semua kejahatan ringan, pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. 
Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja. 
Alternatif lain yaitu  dengan pidana kurungan. Pidana denda itu jarang sekali diancamkan 
terhadap kejahatan-kejahatan yang lain.239 
Pengaturan pidana denda dalam KUHP ditentukan dalam Pasal 10 jo. Pasal 30. Pasal 30 
mengatur mengenai pola pidana denda. Ditentukan bahwa banyaknya pidana denda sekurang-
                                                     

kurangnya Rp. 3,75 sebagai ketentuan minimum umum.240 Mengenai pidana denda oleh pembuat 
undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal dalam 
KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat 
ditetapkan oleh Hakim. 
Pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang 
merupakana jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para hakim, khususnya dalam 
peraktek peradilan di negara kita . Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang 
menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di 
negara kita . Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan 
pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana denda. 
Dalam suatu sanksi pidana, penderitaan merupakan salah satu unsur yang penting, sama 
pentingnya dengan unsur-unsur pidana lainnya. Walaupun demikian hal ini  tidak boleh 
digunakan sebagai sarana pembalasan, tetapi tidak lebih hanya shock terapi bagi narapidana agar 
dia sadar. Pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu 
perlindungan masyarakat dan perlindungan individu. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus 
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.241 Dengan ancaman 
pidana yang akan dijatuhkan dapat bersifat sebagai pencegahan khusus, yakni untuk menakut-
nakuti sipenjahat supaya jangan melakukan kejahatan lagi dan pencegahan umum, yaitu sebagai 
cermin bagi seluruh anggota masyarakat supaya takut melakukan kejahatan. Menurut Emile 
Durkheim bahwa fungsi dari pidana yaitu  untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan 
emosi-emosi yang ditimbulkan atau guncangan oleh adanya kejahatan.242 
5. Pencabutan Hak-Hak Tertentu 
 Pidana  tambahan  berupa  pencabutan  hak-hak  tertentu  tidak berarti   hak-hak 
terpidana  dapat  dicabut.  Pencabutan  ini   tidak meliputi  pencabutan  hak-hak  kehidupan  
dan  juga  hak-hak  sipil  dan hak-hak ketatanegaraan.  Pencabutan hak-hak tertentu ini  
yaitu  suatu  pidana  di  bidang  kehormatan  dengan  melalui  dua  cara  yaitu tidak bersifat 
otomatis  tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim dan tidak berlaku selama hidup tetapi 
                                                    
menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim. Pasal  35  KUHP  
menyatakan  hak-hak  tertentu  yang  dapat  dicabut yaitu:243 
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; 
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; 
3. Hak  memilih  dan  dipilih  dalam  pemilihan  yang  diadakan berdasarkan aturan umum; 
4. Hak  menjadi  penasihat  atau  pengurus  menurut  hukum,  hak menjadi  wali  pengawas,  
pengampu  atau  pengampu pengawas, atas orang-orang yang bukan anak sendiri; 
5. Hak  menjalankan  kekuasaan  bapak,  menjalankan  perwakilan atau pengampuan atas anak 
sendiri; 
6. Hak menjalankan pencaharian tertentu. 
 
6. Perampasan Barang Tertentu 
 Pidana tambahan terhadap perampasan barang tertentu termasuk barang milik terpidana. 
Perampasan milik terpidana merupakan pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipun 
perampasan ini  hanya terhadap barang-barang  tertentu milik terpidana, namun dengan 
dirampasnya barang tertentu itu berarti harta kekayaan terpidana menjadi berkurang. 
 Diantara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan perampasan barang inilah 
yang paling atau paling sering dijatuhkan oleh pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan 
prevensi atau imperatif atau fakultatif.  
 Undang-undang hukum pidana tidak mengenal adanya perampasan seluruh harta 
kekayaan, karena jika  sampai terjadi demikian keluarga terpidana akan mati kelaparan. 
Perampasan terhadap barang-barang tertentu dari harta kekayaan milik terpidana itu harus 
dilakukan dengan keputusan hakim dan harus disebutkan secara terperinci satu persatu dalam 
putusan hakim yang bersangkutan. Ada dua macam  barang  yang  dapat  dirampas,  yaitu  
a. Barang-barang  yang  di dapat  karena  kejahatan,misalnya seperti uang yang diperoleh dari 
kejahatan pencurian dll. Barang-barang ini disebut dengan corpora delicti dan barang-barang 
inilah yang selalu dapat dirampas asalkan menjadi milik dari terpidana dan berasal dari 
kejahatan, baik kejahatan dolus maupun kejahatan colpus. Dal hal corpora delicti itu diperoleh 
dengan pelanggaran (overtredingen) maka barang-barang itu hanya dapat dirampas dalam hal-                                                     
hal yang ditentukan oleh undang-undang misalnya Pasal 502 ayat (2) dan Pasal 519 ayat (2) , 
Pasal 549 ayat (2) dan lain-lain 
b. barang-barang  yang  dengan  sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Misalnya senjata 
api, pistol pisau, belati, bahan racun, alat-alat aborsi yang tidak sah dan lain sebagainya. Barang-
barang ini disebut dengan isntrumenta delicti dan selalu dapat  dirampas asalkan itu merupakan 
milik terpidana dan dipakai untuk melakukan kejahatan colpus atau pelanggaran, maka 
instrumenta delicti itu hanya dapat dirampas dal hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang 
misalnya Pasal 205 ayat (3), Pasal 502 ayat (2) , Pasal 519 ayat (2), Pasal 549 ayat (2) dam lain 
sebagainya. 
 Pasal 39 KUHP menyatakan: 
(1) Barang-barang  kepunyaan  terpidana  yang  diperoleh  dari kejahatan  atau  sengaja 
dipergunakan  untuk  melakukan kejahatan, dapat dirampas. 
(2)  Dalam  hal  karena  pemidanaan  karena  kejahatan  yang  tidak dilakukan  dengan  sengaja,  
atau  karena  pelanggaran,  dapat juga  dirampas  seperti  diatas,  tetapi  hanya  dalam  hal  
yang ditentukan dalam undang-undang. 
(3) Perampasan  dapat  dilakukan  terhadap  orang  yang  bersalah yang oleh hakim diserahkan 
kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang disita 
 Pada prinsipnya barang-barang dirampas itu harus milik terpidana, sehingga terpidana 
pribadi dapat merasakan akibat putusan pidana tambahan perampasan ini . Akan tetapi dalam 
hal-hal perampasan itu menonjol sebagai satu tindakan polisi dan sifat pidananya hampir 
dihilangkan, maka tidak perlu keharusan bahwa barang yang hendak dirampas itu harus milik 
terpidana, seperti ketentuan dalam Pasal 250 bis KUHP kalimat terakhir bahwa dirampas juga jika 
barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana. Disampiang itu, ada pula perumusan ketentuan 
pidana yang dalam redaksinya tidak mengulangi dengan tegas prinsip umum bahwa barang-barang 
yang hendak dirampas itu harus menjadi milik terpidana, misalnya Pasal 261 ayat (2), dan Pasal 
275 ayat (2) KUHP. Perampasan barang menurut ketiga pasal ini  bersifat imperatif. 
 Ketentuan perampasan dalam pasal-pasal khusus ini merupakan penegasan bahw prinsip 
umum barang-barang yang hendak dirampas harus menjadi milik terpidana itu harus 
dipertahankan, kecuali dalam hal-hal ada penegasan seperti ini  dalam Pasal 250 bis KUHP. 
Kalimat terkahir dalam itu Pasal 250 bis KUHP bahwa barang bukan kepunyaan terpidana yang 
                                                    
dirampas itu masih ada persoalannya, jika barang yang hendak dirampas itu milik terpidana 
bersama-sama dengan milik orang lain yang tidak bersangkut dalam perkara yang dituduhkan 
terhadap terpidana masih juga dapat dirampas? Mengenai hal ini, berdasarkan prinsip umum dan 
pengecualian yang ditentukan oleh undang-undang maka selayaknya barang milik bersama itu 
dapat dirampas setelah diamati keperluannya untuk merampas dan kedudukan hukum barang yang 
bersangkutan.  Misalnya milik bersama itu pembelian senjata api atau bahan petasan yang terkait 
dengan kejahatan. 
 Namun jika  barang milik bersama tidak bersifat berbahaya, kiranya perlu 
dipertimbangkan perlindungan hukum bahwa dalam hal demikian ini tidak dapat dilakukan 
perampasan karena perampasan ini  akan meliputi pula barang yang tidak menjadi milik 
terpidana.  
 
7. Pengumuman Putusan Hakim 
 Di  dalam  Pasal  43  KUHP  ditentukan  bahwa  jika   hakim memerintahkan supaya 
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang atau  aturan  umum  yang  lain,  maka  harus  
ditetapkan  pula  bagaimana cara  melaksanakan  perintah  atas  biaya  terpidana.  Menurut  Andi 
Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman 
putusan hakim, maka dapat  disimpulkan bahwa tujuan  pidana  tambahan  ini   yaitu   agar  
masyarakat  waspada terhadap  kejahatan-kejahatan  seperti  penggelapan,  perbuatan  curang 
dan lainnya. 
 
C. Pidana Bersyarat  
 Masuknya lembaga pidana bersyarat kedalam Hukum Pidana Belanda dan kemudian 
hukum pidana negara kita , merupakan dampak dari pertumbuhan lembaga-lembaga semacam ini di 
Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika 
Serikat pada tahun 1887, dengan nama probation. Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk 
menunda penjatuhan pidana dengan cara menempatkan terdakwa dalam probation dengan 
pengawasan seorang probation officer. 
                                                     

 
 Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke negara-
negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis dan Belgia, lembaga ini 
berubah menjadi penundaan pelaksanaanpidana dan tidak diperlukan  probation officer untuk 
melaksanakan pengawasan terhadap terpidana. Jadi, menurut sistem Amerika Serikat dan 
Inggris, hakim pada waktu mengadili terdakwa tidak menetapkan pidana, tetapi menentukan 
jangka waktu tertentu bagi terdakwa untuk berada dalam probation, dengan ketentuan atau syarat-
syarat tertentu. Agar terdakwa menepati syarat-syarat ini , maka ia diawasi oleh petugas. 
jika  selama dalam probation, terdakwa melakukan tindak pidana atau melanggar syarat 
lainyang ditentukan, makaia akan diajukan lagi ke persidangan untuk dijatuhi pidana. 
 Sementara pada sistem Perancis dan Belgia, hakim pada waktu mengadili terdakwa 
sudah menetapkan lamanya pidanapenjara yang harus dijalani, tetapi karena keadaan-keadaan 
tertentu ia memutuskan untuk menunda pelaksanaan pidana ini. Artinya pidana yang telah 
dijatuhkan tidak perlu dijalani, asalkan dalam suatu waktu yang ditentukan oleh hakim, terdakwa 
telah memenuhi syaratsyarat yang telah ditetapkan. jika  dalam masa penundaan ini  
terpidana melanggar syarat-syarat, maka pidana yang telah ditetapkan tadi harus dijalani. Selama 
dalam masa penundaan, terpidana tidak dibantu oleh probation officer. 
 Pidana bersyarat diberlakukan di negara kita  dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada 
bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172. Pidana bersyarat sendiri 
memiliki sinonim dengan hukuman percobaan (Voorwardelijke Veroordeling). Namun berkaitan 
dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi 
kesan seolaholah yang digantungkan pada syarat itu yaitu  pemidanaannya atau penjatuhan 
pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya yaitu  
pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri 
merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain 
itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu:251 
a. Pelepasan bersyarat  
b. Bimbingan lebih lanjut  
c. Proses asimilasi/ integrasi  
                                                     

 
d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak  
e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau orang tua/ wali 
 Pidana bersyarat memiliki pengertian sebagaimana yang dikemukan Lamintang yaitu  
Pidana bersyarat yaitu  suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan 
pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya.252 Menurut Muladi Pidana 
bersyarat yaitu  suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana ini , 
kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau 
khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara 
ini  mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan  
atau memerintahkan agar pidana dijalani jika   terpidana melanggar syarat-syarat ini . 
Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana. Sedangkan menurut 
R. Soesilo, Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau 
“hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya yaitu : orang dijatuhi hukuman, 
tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum 
habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh 
hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada. 
 Selain mengenai pengertian pidana bersyarat di atas, Sosilo juga berpendapat bahwa 
maksud dari penjatuhanpidana bersyarat ini yaitu  untuk memberi kesempatan kepada terpidana 
supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan 
berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan 
oleh hakim kepadanya.255 
 Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada: 
Pasal 14a ayat (1):  
jika  hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk 
kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian hari ada 
putusan hakim yangmenentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan 
pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah  
                                                     

 
ini  di atas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus 
yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.  
Pasal 14b KUHP  
(1) Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 
536, maka percobaanitu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-
lamanya dua tahun.  
(2) Masa percobaan itu mulai, segeraputusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada 
orang yang  dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.  
(3) Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu ditahan dengan sah.  
Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :  
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain 
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat 
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,  yang lebih pendek daripada 
masa  percobaannya, harus mengganti segalaatau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh 
tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam 
waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu.  
(2) Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, 
maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 
504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus 
yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa 
percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.  
(3) Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik. 
Pasal 14d  
(1) Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai 
negeriyang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari 
diperintahkan akan menjalankannya.  
(2) Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada 
sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik negara kita  
atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada 
seorang pegawai neeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang 
dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu.  
 
 
Pasal 14e KUHP  
Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang ini  dalam ayat pertama pasal 14d, 
maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan 
atawaktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi 
bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa 
percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya 
dapat ditentukan untuk masa percobaan itu. 
Pasal 14f KUHP  
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari 
pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama pasal 14d, hakim yang mula-mula 
memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan 
supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu 
orang ini  melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak 
dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang ini  dipidana menurut putusan yang 
tak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa percobaan itu 
mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur.  
(2) Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, 
kecuali jikasebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana ini  dituntut karena 
melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang 
tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan 
dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi. 
Pasal dalam KUHP ini  oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan dapat 
dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain: 
a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) 
tahun. Jadi dalam hal in ipidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana 
penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, 
sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan 
pada pelaku tindak pidana ini , tetap pada pidana yang dijatuhkan terhadap si 
terdakwa, dari penjelasan ini nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan 
berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana 
                                                     
satu tahun, maka hakim ini  memiliki hak untukmemberikan pidana bersyarat pada 
terdakwa ini , akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim 
dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan 
pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain: 
1) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara jika  menjatuhkan 
pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwapidana denda dan perampasan  
ini  memang memberatkan terpidana  
2) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan ini  dianggap sebagai perkara 
mengenai penghasilan negara  
3) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana 
kurungan 
  Selain ketiga hal di atas, sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, 
terdapa tjuga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu tahun juga dapat disimpangi, yaitu 
dengan masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu, yaitu  
1) Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau keamanan bagi orang-
orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam hal ini. 
2) Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan oleh sendiri 
ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama dan umur mereka sudah lebih 
dari enam belas tahun. 
3) Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata pencaharian, perbuatan 
ini  dilakukan oleh sendiri atau tiga orang atau lebih dan usia mereka di atas enam 
belas tahun dan dalam hal ini perbuatan ini  yaitu  bergelandangan. 
4) Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari perbuatan susila oleh 
seorang wanita. 
5) Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk. 
b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubngan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan 
tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak 
diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa 
                                                     
pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat 
satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana 
bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat jika  terpidana tidak 
dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat 
terhadapsesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. 
c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan 
batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan 
berat oleh si terdakwa. 
  Sedangkan masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat ini  mulai 
dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti 
(pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepaa terpidaan 
sesuai dengan tata tauran hukum yang sah, jika  mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 
251 jo 486 mengenai aturan pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu 
sendiri bahwa dalam Pasal 1 menyatakan:261  
Ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah 
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk 
melaksanakan putusan pengadilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana 
secarapribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan ini , dengan menyerahkan 
suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai 
semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah ini . 
  Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan 
pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana 
bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat, antara lain:262 
a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana 
lain dan selalutaat pada hukum yang berlaku  
b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun) 
c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar  
d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan 
kerugian yang besar  
                                                     
 
e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan 
dengan intensitas yang besar  
f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar 
memaafkan perbuatannya  
g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana ini  
h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas 
kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya  
i. Tindak pidaan ini  merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin 
terulang lagi  
j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak 
pidana yang lain  
k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar, baik 
terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya  
l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non-
institusional  
m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga  
n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan  
o. Terdakwa sudah sangat tua  
p. Terdakwa yaitu  pelajar atau mahasiswa 
q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua 
untuk mendidik. 
 Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, jika  dalam proses 
pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan (perampasan kemerdekaan), maka masa 
percobaan terhadap terpidana ini  tidak berlaku pada saat selama terpidana ini  dirampas 
kemerdekaannya. Bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana bersyarat, hakim dapat 
memberikan syarat-syarat khusus, selain daripada syarat umum yang telah disebutkan di atas, 
syarat khusus yang dapat dijatuhkan hakim ini seperti pembebanan ganti kerugian terhadap 
korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang telah melanggar hukum, 
pembebanan ganti kerugian ini  menyangkut sebagian ataupun seluruh kegiatan yang 
ditimbulkan,263akan tetapi persyaratan khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim ini  tidak 
                                                     
boleh membatasi kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut 
ketatanegaraan. 
 Seseorang yang dikenai pidana bersyarat jika  melakukan perbuatan yang dapat 
dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, ataupun jika 
si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat khusus yang telah dijatuhkan kepadanya, maka 
hakim yang mejatuhkan pidana bersyarat ini  dapat memerintahkan agar hukuman sebagai 
konsekuensi pidana bersyarat ini  dilaksankaan atau memberi peringatan terhukum atas 
perbuatan yang telah dilakukan. 
 Sedangkan manfaat-manfaat pidana bersyarat yaitu  sebagai berikut: 
a. Pidana bersyarat ini  di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan 
di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada 
masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut 
b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah 
rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan 
masyarakat secara normal  
c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari 
pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan 
kembali narapidana ke dalam masyarakat  
d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk 
membiaya sistem koreksi yang berdaya guna  
e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana 
pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung 
kepada si pelaku tindak pidana  
f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, 
dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan 
masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan. 
 
D. Pelepasan Bersyarat  
 Pelepasan bersyarat yaitu  seorang narapidana dibebaskan sebelum menjalani hukuman 
selesai dengan peryaratan-persyaratan tertentu.265 Hal ini dimaksud agar narapidana ketika 
selesai masa menjalani hukuman, yang bersangkutan dapat diterima kembali oleh masyarakat 
disekelilingnya. Pelepasan bersyarat ini  merupakan sebagaian sisa pidana penjara yang 
disebut juga dengan voorwaardelijke invrijheidstelling (V.I) yang  pada pemulaan berlakunya 
WvS tahun 1915, dan dicantumkan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 KUHP.266 Pada 
tahun pertama 1918 berlakunya WvS di negara kita  kemungkinan mengadakan pelaksanaan 
pelepasan bersyarat itu sudah ada, karena pelepasan bersyarat itu hanya sebagian dari masa 
pidana pada bagian akhir saja yang tidak dieksekusi. Sedangkan pada pidana bersyarat seluruh 
masa pidananya tidak dieksekusi. Oleh karena itu ada anggapan bahwa untuk mengawasi 
terpidana dalam hal pelepasan bersyarat ini akan lebih mudah daripada pengawasan terhadap 
terpidana dalam hal pidana bersyarat. 
 Peraturan mengenai pelepasan bersyarat ini bukanlah imperatif, tetapi hanya 
kemungkinan saja dan bukan suatu keharusan. Pelepasan dengan perjanjian atau pelepasan 
bersyarat ini bersifat luar biasa, misalnya putusan hakim pengadilan negeri yang telah 
mempunyai kekuatan hukum tetap, terpidana itu harus menjalani penjara selama Sembilan 
tahun dan kemudian Menteri Kehakiman melepaskan terpidana ketika baru menjalani masa 
pidana selama enam tahun, maka kedua putusan pejabat itu dianggap bertentangan dan 
lembaga pelepasan bersyarat itu dapat mengurangi kekuasaan para hakim. 
Pelepasan bersyarat dalam KUHP diatur dengan beberapa ketentuan yaitu: 
1. Narapidana yang berhak mendapatkan pelepasan bersyarat yaitu  jika yang bersangkutan 
telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya atau 
sekurang-kurangnya harus 9 bulan. 
2. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta 
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan 
3. Masa percobaan lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, 
ditambah satu tahun. 
                                                     
4. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa narapidana tidak  akan 
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. 
5.  Selain syarat umum, boleh ditambahkan juga syarat-syarat khusus mengenai kelakuan 
narapidana, namun tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 
6. Selama masan percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau dihapus atau dapat diadakan 
syarat khusus baru dan juga dapat diadakan pengawasan khusus. 
7. Jika narapidana yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaab ini  
melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan, maka pelepasan 
bersyarat dapat dicabut. 
8. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut 
kembali, kecuali bila sebelum waktu tiga bulan berlalu, narapidana dituntut karena 
melakukan perbuatan pidana dalam masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan 
pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga 
bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa narapidana 
melakukan perbuatan pidana selama masa percobaan. 
 Pelepasan bersyarat yaitu  milik setiap narapidana, akan tetapi tidak serta merta setiap 
narapidana harus mendapatkannya. Hal ini tergantung apakah narapidana selama menjalankan 
proses pemasyarakatan berkelakuan baik ataukah tidak. Oleh karena itu, kewenangan untuk 
memberikan hak ini  ada pada negara yang dalam hal ini yaitu  Menteri Kehakiman atau 
menteri yang berwenang untuk itu.  
 
E. Pidana Tutupan  
 Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 
1946 Berita RI II No. 24.  Dalam Pasal 1 Undang-Undang ini  ditambahkan jenis pidana 
tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku, jika  ia 
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, akan tetapi karena terdorong 
oleh maksud yang patut di hormati. Jika tindakan itu sendiri, atau cara melakukan tindakan itu 
ataupun akibat dari tindakan itu yaitu  sedemikian rupa sehingga lebih wajar dijatuhkan pidana 
penjara, maka pidana tutupam tidak berlaku.  Pidana tutupan ditujukan bagi pelaku kejahatan 
                                                     
politik. Terpidana yang menjalani pidana tutupan, wajib menjalankan pekerjaan. Demikian pula 
semua peraturan yang terkait pidana penjara juga berlaku bagi pidana tutupan.  
 Melihat dari  sistem pengancaman pidana tutupan ini, jelas tidak dimuat dalam KUHP. 
Sistem ini dapat ditemukan dalam KUHPM yaitu kebolehan hakim militer menjatuhkan pidana 
kurungan walaupun pidana penjara yang diancam atau sebaliknya akan tetapi dalam hal-hal 
tertentu saja. 
 Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang ini yang berbunyi : Tempat 
untuk menjalani pidana tutupan, cara melakukan pidana itu dan segala sesuatu yang perlu untuk 
menjalankan undang-undang ini. Telah diundangkan melalui Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 
1948. 
 Beberapa ketentuan dalam Perpem ini  antara lain yaitu  sebagai berikut: 
a. Pengurusan dan pengawasan tertinggi atas Rumah Tutupan (RT) dipegang oleh Menteri 
Pertahanan 
b. Terpidana wajib mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan selama 6 jam sehari, akan 
tetapi tidak boleh dipekerjakan di luar tembok RT. 
c. Hukuman (tata tertib) yang dibolehkan dijatuhkan kepada pelanggar-pelanggar peraturan 
rumah tutupan yaitu : 
1) Pemarahan 
2) Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak yang mereka peroleh berdasarkan peraturan 
rumah tutupan atau peraturan administrasi 
3) Tutupan sunyi maksimum 14 hari, setelah jam kerja 
4) Tutupan sunyi maksimum 14 hari.  
Pelaksanaan tutupan sunyi ada kemiripan dengan cellulaire system. Yaitu dengan ciri: 
a. Trepidana diperkenankan memakai pakaian sendiri 
b. Makanan terpidana tutupan harus lebih baik dari terpidana penjara dan terpidana boleh 
memperbaiki makanan atas biaya sendiri 
c. Di dalam rumah tutupan diperbolehkan mengadakan penghiburan yang sederhana dan 
pantas 
d. Sedapat-dapatnya dalam rumah tutupan diadakan perpustakaan bagi terpidana dan para 
terpidana diperkenankan membawa buku-buku. 
                                                     
 
e. jika  terpidana meninggal, jenazahnya sedapat-dapatnya diserahkan kepada 
keluarganya. 
 
F. Tujuan Pemidanaan   
Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut hukum pidana, secara 
garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana dimasa lalu dan/ atau untuk kepentingan dimasa 
yang akan datang. jika  bertolak dimasa lalu, maka tujuan pemidanaan  yaitu  sebagai balasan, 
tetapi berorientasi dimasa yang akan datang, maka tujuan pidana yaitu  untuk memperbaiki 
kelakuan terpidana. 
Menurut HL. Packer ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai 
implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan 
pandangan utilitarian (utilitarian view) Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai 
ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang sehingga pandangan ini melihat pemidanaan 
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya 
masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). 
Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang 
dilihat yaitu  situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu 
pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di 
pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan 
melakukan  perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan ke depan (forward-looking ) dan 
sekaligus mempunyai sifat pencegahan ( deterrence).272 
 Roeslan Saleh berpendapat bahwa tujuan hukuman terutama yaitu  untuk 
mempertahankan ketertiban masyarakat. Ketertiban masyarakat itu antara lain dijamin dengan 
aturan-aturan pidana. Kemudian tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah 
                                                     

 
yaitu  penjeraan (deterent), baik yang ditujujan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada 
masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) penjahat.274  
 Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu :  
Pertama,  memberikan  efek  penjeraan  dan  penangkalan. Penjeraan  berarti menjauhkan  si  
terpidana  dari  kemungkinan  mengulangi kejahatan  yang sama, sedangkan tujuan sebagai 
penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai  contoh  yang  mengingatkan  dan  
menakutkan  bagi  penjahatpenjahat potensial dalam masyarakat.  
Kedua,  pemidanaan  sebagai  rehabilitasi.  Teori  tujuan  menganggap pemidanaan  sebagai 
jalan  untuk  mencapai  reformasi  atau  rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari 
pandangan ini  yaitu  pemidanaan merupakan  proses  pengobatan  sosial  dan  moral  
bagi  seorang  terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.  
Ketiga,  pemidanaan  sebagai  wahana  pendidikan  moral, atau  merupakan proses  reformasi. 
Karena  itu  dalam  proses  pemidanaan,  si  terpidana dibantu  untuk  menyadari  dan  
mengakui  kesalahan  yang dituduhkan kepadanya. 
 
Dalam hukum pidana yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan menurut S.R Sianturi 
dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok, yaitu sebagai termasuk golongan teori pembalasan, 
golongan teori tujuan, dan kemudian ditambah  dengan golongan teori gabungan.  Menurut teori 
absolut atau teori pembalasan, pembalasan yaitu  legitimasi pemidanaan. Negara berhak 
menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan 
kepentingan hukum yang dilindungi. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada 
penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan 
tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang 
dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan, baik terhadap diri 
penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu 
yang praktis, tetapi maksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.279 Kant berpendapat bahwa: 
Pidana yang diterima seseorang pelaku kejahatan sudah merupakan bagian yang tidak 
terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya; bukan suatu konsekwensi logis dari suatu 
bentuk kontrak sosial. Bahkan lebih jauh, Kant menolak pidana yang dijatuhkan ditujukan 
untuk kebaikan pelaku kejahatan atau kebaikan masyarakat; satu-satunya alasan yang dapat 
                                                     
diterima yaitu  bahwa penjatuhan pidana itu semata-mata karena pelaku yang 
bersangkutan telah melakukan kejahatan. 
 
 
Mengenai  teori  pembalasan  ini,  Andi  Hamzah  mengemukakan  sebagai berikut:  
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, 
seperti  memperbaiki  penjahat.   Kejahatan  itu  sendirilah  yang  mengandung 
unsur-unsur  untuk  dijatuhkan  pidana,  pidana  secara  mutlak  ada,  karena 
dilakukan  suatu  kejahatan.  Tidaklah  perlu  memikirkan  manfaat  penjatuhan  
pidana. 
 
jika  manfaat  penjatuhan  pidana  ini tidak  perlu  dipikirkan sebagaimana dikemukakan  
oleh  penganut  teori  absolut  atau  teori  pembalasan  ini,  maka  yang menjadi  sasaran  utama  
dari  teori  ini  yaitu   balas  dendam.  Dengan mempertahankan  teori  pembalasan  yang  pada  
prinsipnya  berpegang  pada  pidana untuk  pidana,  hal  itu  akan  mengesampingkan  nilai-nilai  
kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku 
kejahatan. Teori pembalasan atau absolut  ini  terbagi  atas  pembalasan subjektif  dan pembalasan  
objektif. Pembalasan  subjektif  ialah  pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif 
ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar. 
Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan:  
Oleh  karena  itu,  jika   pidana  itu  dijatuhkan  dengan  tujuan  semata-mata  hanya 
untuk  membalas  dan  menakutkan,  maka  belum  pasti  tujuan  ini  akan  tercapai, karena  
dalam  diri  si  terdakwa  belum  tentu  ditimbulkan  rasa  bersalah  atau menyesal, mungkin 
pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat  saya,  membalas  atau  
menakutkan  si  pelaku  dengan  suatu  pidana  yang  
kejam memperkosa rasa keadilan. 
 
Berat  ringannya  pidana  bukan  merupakan  ukuran  untuk menyatakan  narapidana sadar 
atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin 
juga akan lebih jahat. Pidana  yang ringan pun kadang-kadang  dapat  merangsang  narapidana  
untuk  melakukan  tindak  pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana 
harus dihubungkan dengan  berbagai  faktor,  misalnya  apakah  pelaku  tindak  pidana  itu  
                                                     

 
mempunyai lapangan  kerja  atau  tidak.  jika   pelaku  tindak  pidana  itu  tidak  mempunyai 
pekerjaan,  maka  masalahnya  akan  tetap  menjadi  lingkaran  setan,  artinya  begitu selesai  
menjalani  pidana  ada  kecenderungan  untuk  melakukan  tindak  pidana kembali. 
Teori relatif atau teori tujuan, tujuan pemidanaan yaitu  mencegah kejahatan.284 Teori  
relatif  atau  teori  tujuan  juga  disebut  teori  utilitarian,  lahir  sebagai reaksi  terhadap  teori  
absolut.   Secara  garis  besar, tujuan  pidana  menurut  teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, 
akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Jadi  tujuan  pidana  menurut  teori  
relatif  yaitu   untuk  mencegah  agar ketertiban  di  dalam  masyarakat  tidak  terganggu.   Dengan  
kata  lain,  pidana  yang dijatuhkan  kepada  si  pelaku  kejahatan  bukanlah  untuk  membalas  
kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.  
Pencegahan terhadap kejahatan pada dasarnya dibagi mejadi  pencegahan umum dan 
pencegahan khusus. Adanya penjatuhan pidana secara umum agar setiap orang tidak lagi 
melakukan kejahatan.285  Prevensi umum untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan prevensi 
khusus ditujukan terhadap pelaku  kejahatan  yang telah dijatuhi pidana sehingga tidak lagi 
mengulangi perbuatannya. Mengenai  prevensi  umum  dan  khusus  ini ,  E.  Utrecht  
menuliskan  bahwa prevensi  umum  bertujuan  untuk  menghindarkan  supaya  orang pada  
umumnya  tidak  melanggar.   Prevensi  khusus  bertujuan  menghindarkan supaya pembuat (dader) 
tidak melanggar. 
Prevensi  umum  menekankan  bahwa  tujuan  pidana  yaitu  untuk mempertahankan  
ketertiban  masyarakat  dari  gangguan  penjahat.   Dengan memidana  pelaku  kejahatan,  
diharapkan  anggota  masyarakat  lainnya  tidak  akan melakukan  tindak  pidana.  Sedangkan  teori  
prevensi  khusus  menekankan  bahwa tujuan  pidana  itu  dimaksudkan  agar  narapidana  jangan  
mengulangi  perbuatannya lagi.   Dalam  hal  ini  pidana  itu  berfungsi  untuk  men didik  dan  
memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.288 
Th.W.van Veen dalam disertasinya dengan judul “Generale Preventie” menyatakan bahwa 
ada tiga fungsi pencegahan. 
                                                     
 
1. Menjaga atau menegakkan wibawa penguasa, terutama perbuatan pidana yang berkaitan 
dengan wibawa pemerintah, seperti kejahatan terhadap penguasa umum. 
2. Menjaga atau menegakkan norma hukum 
3. Pembentukan norma untuk menggarisbawahi pendangan bahwa perbuatan-perbuatan 
tertentu dianggap asusila dan oleh karena itu tidak diperbolehkan. 
 
Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib 
masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.290 Groritius atau 
Huge de Groot menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung 
pelaku kejahatan, namun dalam batas apa yang layak ditanggung pelaku ini  kemanfaatan 
sosial akan menetapkan berat-ringanya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari adagium 
yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat yang berarti kodrat mengajarkan 
bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya 
penderitaan semata sebagai suatu pembalasan tetapi juga ketertiban masyarakat. Teori gabungan 
dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni: 
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh 
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata 
tertib masyarakat. 
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi 
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang 
dilakukan terpidana. 
 Dengan  demikian  pada  hakikatnya  pidana  yaitu   merupakan  perlindungan terhadap  
masyarakat  dan  pembalasan  terhadap  perbuatan  melanggar  hukum.   Di samping itu Roeslan 
Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana  
diharapkan  sebagai  sesuatu  yang  akan  membawa kerukunan  dan  pidana  yaitu   suatu  proses  
pendidikan untuk  menjadikan  orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.293 
 Sehubungan dengan perkembangan teori pemidanaan ini  di atas, perlu dikemukakan 
pendapat Stan Ley E.Grupp. Menanggapi perkembangan teori tentang pemidanaan ia mengatakan, 
bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada: 
1. Anggapan-anggapan seseorang terhadap hakekat manusia; 
                                                     

2. Informasi yang diterima seseorang sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat; 
3. Macam dan luas pengetahuan yang dirasakan seseorang yang mungkin dicapai; 
4. Penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan teori tertentu, dan 
kemungkinan-kemungkinan yang benar-benar dapat dilakukan untuk menemukan 
persyaratan-persyaratan tertentu. 
 
 Menurut hal ini  diatas, Grupp lebih lanjut mengemukakan, bahwa konsesus mengenai 
tujuan pemidanaan tidak akan mungkin tercapai, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh warga 
untuk memikirkan masalah ini secara mendalam dan terus menerus.  
 Dari  sejumlah  pendapat  ahli  hukum  pidana  mengenai  tujuan pemidanaan sebagaimana  
disebutkan  di  atas,  kesemuanya  menunjukkan  bahwa pemidanaan  itu  tidaklah  tunggal,  
misalnya  untuk  pembalasan semata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat 
bahwa tujuan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif. 
Hakikat tujuan pemidanaan dalam konteks Pancasila, yang pertama-tama harus dihayati 
yaitu  pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak tindak pidana. 
Dengan demikian tujuan pemidanaan yaitu  untuk memperbaiki kerusakan baik yang bersifat 
individual, maupun yang bersifat sosial (individual andsocial damages) yang diakibatkan oleh 
tindak pidana. Dalam kerangka ini, maka tujuan pemidanaan harus berorientasi pada pandangan 
yang integratif, yang terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan 
catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Dalam tujuan 
pemidanaan pula tercakup tujuan memelihara solidaritas masyarakat. Pemidanaan harus diarahkan 
untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat (to maintain social cohasion 
intact). 
Pemidanaan dalam perspektif Pancasila, dengan demikian haruslah berorientasi pada 
prinsip-prinsip sebagai berikut: 
Pertama, pengakuan manusia (negara kita ) sebagai  Makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Wujud 
pemidanaan tidak boleh  bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang dianut oleh 
masyarakat negara kita . Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari 
terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan 
                                                     

kata lain, pemidanaan harus berfungsi membinaan mental orang yang dipidana dan 
menstranformasikan orang ini  menjadi seorang manusia religious. 
Kedua,  pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. 
Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak 
bolehmerendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya yaitu , bahwa meskipun 
terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak 
boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan 
tingkah laku jahatnya. 
Ketiga, menumbuhkan solidaritas  kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesama warga 
bangsa.Pelaku harus  diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, 
menumbuhkan kepekaan terhadap  kepentingan bangsa,  dan mengarahkan untuk  tidak 
mengulangi melakukan kejahatan.Dengan kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk 
menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.298 
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmad, mampu 
mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan 
rakyat. Kelima, menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk 
sosial, yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. 
Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk 
membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya  
menjadi penjahat. 
Menurut Muladi hakikat tujuan pemidanaan dapat dipahami dengan pendekatan multi 
dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak tindak pidana. Tindak pidana harus 
dipandang sebagai gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan 
masyarakat. Dengan demikian tujuan pemidanaan yaitu  untuk memperbaiki kerusakan yang 
bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh tindak pidana. 
Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), 
karena menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan.
 
Pemidanaan yaitu  penerapan bentuk-bentuk sanksi pidana yang telah diterapkan secara 
yuridis dan legal formal. Selama ini belum ada rumusan tentang arti dan tujuan pemidanaan dalam 
hukum positif negara kita . Sebagai akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini, banyak sekali 
rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih, diantaranya 
adanya kecendrungan pencampuran konsep pemidanaan dan penetapan sanksi. Persoalan 
penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) dalam KUHP negara kita , dalam sejarahnya mengalami 
beberapa kali perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep Rancangan KUHP dalam 
beberapa konsepnya mempunyai persamaan, tetapi terdapat beberapa perbedaan. Hal ini 
menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam Rancangan KUHP selalu 
mengalami perubahan dari waktu ke waktu.302 
Di dalam rancangan KUHP  tahun 1968 dapat dijumpai gagasan tentang maksud dan tujuan 
Pemidanaan sebagai berikut : 
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan 
penduduk 
2. Untuk membiming agar terpidana insyaf dan menjadi anggota yang berbudi baik bagi 
negara 
3. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana 
4. Pemidanaa tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan 
martabat manusia. 
 
 
Tujuan pemidanaan dari konsep KUHP ini  kemudian ditinjau lagi, sebagaimana 
dirumuskan dalam Bab III Pasal 43 Buku Kesatu Rancangan KUHP pada tahun 1982 yang oleh 
Tim Pengkajian bidang Hukum Pidana (Konsep BPHN 1982/1983) disusun sebagai berikut: 
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi 
pengayoman masyarakat. 
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaa, sehingga 
menjadikannya orang yang baik dan berguna 
3. Untuk menyelesaikan konflik yang di timbulkan oleh tindak pidana, memulihkan 
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 
4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 
 
                                                     
Di dalam konsep Rancang KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam Pasal 51  tujuan 
pemidanaan yaitu : 
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi 
pengayoman  masyarakat 
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya 
orang yang baik dan berguna 
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan 
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 
4. Membebasakan rasa bersalah pada terpidana. 
 
Dalam  Naskah  Rancangan  Undang-Undang  (RUU)  Kitab  Undang-undang Hukum Pidana  
Tahun  2005,  mengenai  tujuan  pemidanaan diatur  dalam  Pasal  54, yaitu:  
a. Pemidanaan bertujuan:  
1) Mencegah  dilakukannya  tindak  pidana  dengan  menegakkan  norma hukum demi 
pengayoman masyarakat;  
2) Memasyarakatkan  narapidana  dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi 
orang yang baik dan berguna;  
3) Menyelesaikan  konflik  yang  ditimbulkan  oleh  tindak  pidana, memulihkan  
keseimbangan,  dan  mendatangkan  rasa  damai  dalam masyarakat, dan 
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,  
4) Memaafkan terpidana.  
b. Pemidanaan  tidak  dimaksudkan  untuk  menderitakan  dan merendahkan martabat 
manusia.  
 
 Dalam Pasal 54 ayat (2) juga dinyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk 
menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Perumusaan empat tujuan pemidanaan dalam 
RKUHP tersimpul pandangan mengenai perlindungan masyarakat (social defence), pandangan 
rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Pandangan ini dipertegas lagi dengan mencantumkan 
tentang pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. 
Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan 
bagi pelaku. Tujuan pemidanaan dalam Rancangan KHUP ini terlihat menganut aliran neo klasik 
dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya perumusan tentang pidana minimum dan 
maksimum,mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan pada 
 
keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku 
tindak pidana.   
 Ketentuan mengenai pemidanaan dalam Rancangan KUHP, jika dibandingkan 
denganKUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai 
pemidanaan diantaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan alasan-
alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih 
lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini.304 
 Rancangan KUHP menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system), yaitu di 
samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), ia juga dapat 
dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam 
Rancangan KUHP juga bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang 
merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenai 
dalam KUHP negara kita . Akan tetapi, di tengah perubahan mendasar ini , ternyata Rancangan 
KUHP masih mengatur beberaa ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, Rancangan 
KUHP juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan  dengan pemidanaan (denda) adat 
yang mempunyai rumusan tidak terperinci dan sangat bergantung pada putusan hakim. Rancangan 
KUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan pemidanaan dan 
penetepan sanksi-sanksinya. 
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan  
ini   sangat  penting,  karena  hakim  harus  merenungkan  aspek pidana/pemidanaan  dalam  
kerangka  tujuan  pemidanaan  ini   dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam 
kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku 
dengan si korban. 
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam 
perumusan tujuan pemidanaan yaitu  :  
                                                     

 
1.  Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga 
dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya 
merupakan sarana untuk mencapai tujuan, 
2.  Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan 
kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.307 
3. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem 
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan,  
4.  Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan 
sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang 
jelas dan terarah.
 
 
                                                     
Tiga tahap itu yaitu  : Pertama, tahap penetapan/perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang. 
Kedua, tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan. Ketiga, tahap pelaksanaan pidana  
oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. Lihat : Barda Nawawi Arief, Op Cit hlm. 113-114 
308Barda Nawawi Arief,  1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 

HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN DAN HAPUSNYA PELAKSANAAN PIDANA 
 
A. Hapusnya Penuntutan Pidana 
1. Ne Bis In Idem 
 Nebis  in  idem  sering  disebut  juga  exceptie  van  gewijsde zaak  yang  berarti  bahwa  
sebuah  perkara  dengan  obyek  sama, para  pihak  sama  dan  materi  pokok  perkara  yang  sama,  
yang diputus  oleh  pengadilan  yang  telah  berkekuatan  hukum  tetap yang  mengabulkan  atau  
menolak,  tidak  dapat  diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Ne bis in idem atau juga disebut 
non bis idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) 
yang sama.309 Sedangkan,  menurut  I  Wayan  Pathiana,  Ne  bis  in idem yaitu   bahwa  orang  
yang  sudah  diadili  dan  atau  dijatuhi hukuman  yang  sudah  memiliki  kekuatan  yang  mengikat  
yang pasti  oleh  badan  peradilan  yang  berwenang  atas  suatu kejahatan  atau  tindak  pidana  
yang  dituduhkan  terhadapnya, tidak  boleh  diadili  dan  atau  dijatuhi  putusan  untuk  kedua 
kalinya  atau  lebih,  atas  kejahatan  atau  tindak  pidana ini . 
 Ketentuan diatas didasarkan pada pertimbangan bahwa pada suatu saat (nantinya) harus 
ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari berlakunya ketentuan pidana terhadap suatu 
delik tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan 
terahdap pelaku yang sama dari suatu tindak yang sudah mendapat putusan hakim yang tetap.  
Dengan kata lain menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama. Juga untuk 
menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap pelaku dan delik yang sama, yang sebelumnya 
telah pernah ada putusan  yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari asas ini ialah agar 
kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim, serta 
agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarakat. 
 Perumusan ketentuan mengenai ne bis in idem tercantum dalam Pasal 76 yaitu: 
 (1)  Kecuali dalam hal putusan hakim masih dapat dimintakan peninjauan kembali, seseorang 
tidak boleh dituntut dua kali karena tindak (feit) yang oleh hakim negara kita  telah diadili 
dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap (kracht van gewijsde) terahdap  dirinya. 
                                                     

 
(2)    Jika putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap itu berasal dari hakim lain, maka 
terhadap orang itu dank arena tindakan itu, tidak boleh diadakan penuntutan lagi dalam hal  
1. Putusan berupa pembebasan dari dakwaan (vrijpraak) atau pelepasan dari tuntutan 
hukum (ontslag van rechtvervolging). 
2. Putusan berupa pemidanaan yang seluruhnya telah dilaksanakan, grasi atau yang 
telah daluwarsa pelaksanaan pidana ini . 
  Sedangkan suatu putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan yang tetap jika  
upaya hukum tidak lagi digunakan atau diterima oleh pada pihak.  Dengan kata lain putusan itu 
harus berisikan tindakan (feit) yang didakwakan itu sendiri yang akhirnya memuat salah satu 
ini . Dalam hal ini berlaku asas ne bis in idem. 
 Keputusan hakim atau ketetapan hakim tidak berisikan salah satu ini  akan tetapi 
berisikan  ketidakwenangan hakim atau batalnya surat dakwaan atau hapusnya hak penuntutan  
atau pernyataan tidak dapatnya diterima penuntutan. Karenanya dalam hal ini  terakhir ini 
masih dimungkinkan untuk mengajukan penuntutan yang kedua. 
 Mengenai pengertian tindakan (feit) dalam pasal ini ada hubungannya dengan 
pengertian tindakan (feit) ini  dalam Pasal 63, pada sarjana mengutarakan aneka pendapat. 
Pendapat pertama mengatakan bahwa tindak yaitu  perbuatan yang didakwakan dalam surat 
dakwaan. Pendapat kedua mengatakan bahwa tindakan yaitu  perbuatan jahat. Pendapat ketiga 
mengatakan bahwa tindakan yaitu  perbuatan yang ditentukan dalam undang-undang dapat 
dipidana. Pendapat keempat mengatakan bahwa tindakan yaitu  tindakan  yang sesuai dengan 
kenyataan atau tindakan material.  
 Contoh tindakan (feit) A menemumakan sebuah jam tangan di jalanan, yang bukan milik 
A sendiri dan ia berkehendak memiliki jam tangan ini  tanpa pemindahan hak milik 
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. jika  kemudian ditelusuri 
kejadian yang mencakup tindakan itu, maka tindakan itu akan berupa delik pencurian, jika  A 
pada saat menemukan jam itu, setelah bermaksud memilikinya, tanpa mengindahkan ketentuan 
mengenai pemindahan hak milik. Hal ini  merupakan delik penggelapan, jika pada saat A 
menemukan jam itu, ia bermaksud mengembalikan kepada pemiliknya atau menyerahkan ke 
kantor polisi sebagai barang temuan. Akan tetapi kemudian tergoda oleh nilai/harga jam itu lalu 
menjualnya yang hasil penjualan ini  digunakan untuk keperluan sendiri. dalam hal ini jam 
ini  dijual berada di tangan A bukan karena kejahatan. 
 
 
 jika  kejadian ini  diajukan ke pengadilan dengan dakwaan pencurian, tetapi 
ternyata yaitu  penggelapan, yang karenanya A dibebaskan, timbul persoalan apakah setelah 
bebas ia masih dapat diajukan dengan perkara /dakwaan penggelapan? 
 Jika pendapat pertama yang dianut, maka perkara itu masih boleh diajukan asa saj 
dakwaan yang pertama yaitu dakwaan pencurian tidak diajukan untuk kedua kalinya. Jadi menurut 
pendapat ini tindakan pencurian yang didakwakan pertama, yang tidak boleh diajukan untuk kedua 
kalinya untuk pemeriksaan. 
 Jika pendapat kedua yang dianut, maka dalam hal contoh dakwaan diatas, maka perkara 
itu tidak dapat diperiksa ulang, walaupun dengan dakwaan yang lain. Karena yang menjadi ukuran 
ialah apakah tindakan yang didakwakan itu jahat atau tidak. Bahwa kemudian tidak ternyata jahat 
berdasarkan pasal yang keliru didakwakan bukan merupakan persoalan lagi untuk kebolehan 
pemeriksaan kedua kalinya. 
 Pendapat ketiga mirip dengan pendapat pertama mengenai kebolehan pemeriksaannya 
untuk kedua kalinya. Karena menurut pendapat ii yang tidak boleh diperiksa untuk kedua kalinya 
yaitu  tindakan yang dilakukan A itu ternyata memenuhi unsur tindak pidana lain yang 
dirumuskan dalam undang (berbeda dengan tindak pidana yang didakwakan pertama), maka 
perkara itu masih dapat diajukan untuk pemeriksaan kedua kalinya. 
 Pendapat keempat, dimana yang menjadi ukuran yaitu  tindakan yang sesuai dengan 
kenyataan (terlepas dari unsur objektif lainnya dan unsur subjektif), maka jika  
pengkualifikasian tindakan itu sebagai delik salah didakwakan, dan karenanya dibebaskan, maka 
tidak boleh lagi diajukan untuk pemeriksaan kedua kalinya. Karena tindakannya yang itu-itu juga. 
 Dalam praktek hukum sehari-hari ternyata yang banyak diterapkan yaitu  pendapat 
yang keempat. Hal ini yaitu  menjamin kepastian hukum bagi setiap justisiabel. Dan yang tidak 
kurang pentingnya yaitu  agar setiap  penuntut umum lebih berhati-hati untuk menyusun surat 
dakwaan. 
 Dari uraian diatas bahwa syarat-syarat agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa 
kedua kalinya yaitu : 
1. Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) yaitu  sama dengan yang didakwakan 
terdahulu. 
2. Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) yaitu  sama 
 
 
3. Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu, telah mempunyai kekuatan 
yang tetap.  
 Ayat ke 2 Pasal 76 membatasi ketentuan ne bis in idem jika  putusan yang sudah 
mempunyai kekuatan tetap itu berasal dari hakim yang bukan hakim negara kita . dalam hal ini ne 
bis in idem hanya diterapkan pabila: 
1. Putusan itu berupa pembebasan dari dakwaan (vrijspraak) atau pelepasan dari segala 
tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) 
2. Putusan itu berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau pemidanaan itu ia 
peroleh grasi, atau pelaksanaan pidana ini  telah daluwarsa. 
  
2. Meninggalnya Tersangka/Terdakwa 
 Pasal 77 KUHP mengatur ,  kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh 
meninggal dunia. Ketentuan ini berdasarkan asas pertanggungjawaban pribadi yang dikenal dalam 
hukum pidana. Pada awalnya seseorang yang meninggal dunia tidak serta merta mengakibatkan 
gugurnya penuntutan pidana. Penuntutan tetap dilanjutkan dan pemidanaan hanya sebatas pidana 
denda yang diikuti oleh penyitaan terhadap harta benda tersangka/terdakwa yang dikuasai ahli 
waris. Perkembangan lebih lanjut, berdasarkan adagium nemo ponitur pro alieno delicto yang 
berarti tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain, meninggalnya 
tersangka/terdakwa dianggap menggugurkan tuntutan pidana terahdapnya.310  
 Ada lima kemungkinan penghentian perkara jika meninggalnya tersangka/ terdakwa dan 
tentunya merujuknya hal ini pada proses peradilan yaitu:311 
1. Jika tersangka/ terdakwa meninggal pada tahap penyidikan, maka penyidik menghentikan 
perkara dengan seketika. Dalam konteks KUHAP hal ini diatur dalam Pasal 109 ayat (2) 
KUHAP terkait penghentian penyidikan.  
2. Jika tersangka/terdakwa meninggal dunia setelah berkas perkara diserahkan kepada 
penuntut umum, maka penuntutan segera dihentikan. 
3. Jika tersangka/terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan siding telah dimulai, 
maka pengadilan harus mengeluarkan penetapan yang isinya perkara dihentikan karena 
terdakwa meninggal dunia. 
                                                     
 
4. Jika tersangka/terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan pengadilan sudah selesai, 
maka pengadilan tidak boleh menjatuhkan pidana. 
5. Jika terdakwa meninggal dunia setelah ada putusan pengadilan yang meliputi pidana denda 
termasuk pidana tambahan berupa perampasan barang-barang terdakwa, maka eksekusi 
tidak boleh dilakukan. 
 
3. Daluwarsa Penuntutan Pidana 
 Daluwarsa yaitu  lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak 
untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. 
Dalam perspektif KUHP bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak 
pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara 
khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal 
tertentu, misalnya karena daluwarsa.312Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP 
bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa…
Dasar hukum hapusnya hak menuntut 
pidana karena daluwarsa diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 81 KUHP. 
 Berapa lamakah tenggang lewatnya waktu pelaku tindak pidana untuk menjadi tidak 
dapat dituntut karena daluwarsa? Dalam hal ini bergantung dari berat ringannya pidana yang 
diancamkan pada tindak pidana yang diperbuat. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 78 ayat (1), 
yang menetapkan, bahwa hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni:  
a. untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, 
sesudah satu tahun;  
b. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau 
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;  
c. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, 
sesudah dua belas tahun; dan  
d. untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggitingginya dua puluh tahun, sesudah 
delapan belas tahun.  
                                                     
 Sedangkan untuk pelaku anak-anak yang pada saat melakukan tindak pidana umurnya 
belum delapan belas tahun, menurut ayat (2) maka tenggang daluwarsa hapusnya penuntutan 
pidana yaitu  dikurangi sepertiga dari ketentuan pada ayat pertamanya.  
  Menetapkan lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang 
didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang 
diperbuat, yaitu  bertitik tolak dari pandangan bahwa semakin berat atau besar tindak pidana 
yang diperbuat akan semakin lama ingatan orang atau masyarakat terhadap kejadian itu, yang 
juga artinya ialah lamanya penderitaan yang dirasakan orang dan atau masyarakat sebagai 
akibat dari diperbuatnya tindak pidana bergantung dari berat ringannya macam dan jenis 
tindak pidana yang diperbuat orang. Semakin berat tindak pidana diperbuat akan semakin 
lama rasapenderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari 
diperbuatnya tindak pidana.314 
  jika  tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana 
diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana 
(pasal 84), maka jelas lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana 
ini lebih pendek. Perbedaan itu yaitu  wajar dan logis, sebab pada lamanya tenggang 
daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana si pembuat telah secara pasti (kepastian 
hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan. Sedangkan pada tenggang 
daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, si pembuat belum dinyatakan bersalah dengan 
jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh pengadilan. 
  Berhubung adanya pemberatan pidana (misalnya pengulangan) maupun 
pengurangan pidana (misalnya pembuat belum berumur 18 tahun), maka timbul kesulitan 
untuk menentukan apakah suatu kejahatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 3 
tahun atau lebih dari 3 tahun. Dengan kata lain dalam hal untuk menentukan ancaman pidana 
penjara paling lama 3 tahun atau lebih dari 3 tahun, apakah pemberatan pidana maupun 
pengurangan pidana ikut diperhitungkan ataukah tidak perlu diperhitungkan? Misalnya 
kejahatan pasal 380 KUHP yang diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan, yang jika  terjadi 
pengulangan maka ancaman pidananya ditambah dengan sepertiganya atau menjadi 3 tahun 
6 bulan dan 19 hari.  
                                                     
Kesulitannya ialah untuk menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan 
penuntutan pidana pada pengulangan pasal 380 ini, apakah berpedoman pada ancaman pidana 
tanpa memperhatikan pemberatan karena pengulangan (2 tahun 8 bulan) ataukah 
memperhitungkan juga pemberatan pada pengulangannya (ditambah sepertiganya) sehingga 
ancaman pidananya menjadi 3 tahun 6 bulan dan 19 hari? Dengan demikian tenggang 
daluwarsanya tidak sesudah 6 tahun, tetapi sesudah 12 tahun. Undang-undang tidak 
memberikan petunjuk mengenai persoalan ini. Mengenai persoalan ini ada 2 pendapat yang 
saling bertentangan, yaitu: 
a. Pendapat pertama, Noyon, Van Hattum dan Hazewinkel Suringa menyatakan bahwa 
dalam hal menentukan suatu kejahatan diancam dengan pidana penjara paling lama tiga 
tahun atau lebih dari tiga tahun, tidaklah perlu memperhatikan pemberatan pidana ataupun 
pengurangan pidana, yang harus diperhatikan hanyalah sanksi pidana yang diancamkan 
pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan  
b. Pendapat kedua, sebaliknya seperti Jonkers menyatakan bahwa tenggang daluwarsa itu 
yaitu  didasarkan pada ancaman pidana maksimum tindak pidana yang pada 
kenyataannya diperbuat, oleh karena itu keadaan obyektif maupun subyektif yang 
memberatkan pidana atau meringankan pidana juga harus diperhitungkan dalam hal 
menentukan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana.315 
  Adami Chazawi lebih condong pada pendapat kedua, dengan alasan berikut. 
Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada penjelasan ataupun keterangan dalam Undang-
undang dalam hal memperhitungkan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan 
pidana terhadap pemberatan ataupun peringanan pidana pada kejahatan. Sedangkan menurut 
pasal 86 KUHP di mana menyatakan bahwa jika  disebut kejahatan maka disitu termasuk 
percobaannya dan pembantuan, kecuali ditentukan lain, yang artinya Undang-undang hanya 
memberi penjelasan tentang memperhitungkan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan 
penuntutan pidana bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan yaitu  disamakan 
dengan si pembuat dan si pembuat kejahatan selesai. Oleh karena itu di luar apa yang 
diterangkan oleh pasal 86 KUHP (in casupemberat pidana dan peringanpidana pada 
kejahatan) tetap diperhitungkan dalam hal menentukan tenggang daluwarsa hapusnya 
                                                     
kewenangan menuntut pidana. Sebab jika  maksud pembentuk Undang-undang agar tidak 
diperhitungkan terhadap pemberatan dan atau peringanan pidana, tentulahdiberikan 
keterangan sebagaimana halnya bagi pembantuan kejahatan dan percobaan kejahatan seperti 
pada pasal 86 KUHP ini .316 
  Sedangkan sejak kapan berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan 
penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79 KUHP), yaitu pada hari sesudah 
dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu:317 
a. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, yaitu  pada hari sesudah barang yang 
dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;  
b. Mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP, dimulainya yaitu  
pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau 
meninggal dunia;  
c. Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a KUHP, yaitu  
dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah 
disampaikan/diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan. 
 
 Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat dihentikan oleh 
adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui oleh orang yang dituntut atau telah 
diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan Undang-undang. Yang dimaksud dengan 
tindakan penuntutan yaitu  tindakan Pejabat Penuntut Umum yang menyerahkan berkas perkara 
Pidana ke Pengadilan yang disertai dengan permintaan agar perkara itu diperiksa dan diputus 
(pasal 1 ayat 7 KUHAP). Jadi terbitnya hitungan hari penuntutan ialah pada hari di mana Jaksa 
Penuntut Umum (JPU) menyerahkan (berkas) perkara yang bersangkutan ke Pengadilan yang 
berkompetensi. Tindakan Penyidik melakukan penyidikan tidak termasuk pengertian penuntutan, 
dan oleh karenanya tindakan penyidikan tidak menghentikan berjalannya proses tenggang 
daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana  
 Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan (dengan tindakan 
penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pulatertunda berhubung dengan adanya 
penundaan (schorsing) penuntutan, yakni jika  terjadi "perselisihan yang harus diputuskan lebih 
dahulu"/pra-yudisial (pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa 
karena adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial (perselisihan 
                                                     

yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda dengan penghentian berjalannya tenggang daluwarsa 
karena penuntutan pidana.. 
 Perbedaan itu ialah, pada penghentian tenggang daluwarsa karena adanya penuntutan, 
maka setelah tenggang waktu itu dihentikan akan dimulai penghitungan yang baru lagi, tanpa 
memperhitungkan lamanya waktu sebelum tenggang daluwarsa dihentikan, artinya waktu yang 
berjalan sebelum penuntutan dihentikan tidak diperhitungkan lagi. Misalnya A melakukan 
pencurian tanggal 1 Januari 2001, pada tanggal 2 Januari mulai berjalan hari pertama penghitungan 
tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana. Pada tanggal 30 Juni 2001 (berkas) 
perkara yang bersangkutan oleh Jaksa P.U dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang, maka 
terhentilah penghitungan tenggang daluwarsa pada tanggal 30 Juni 2001. Penghitungan tenggang 
daluwarsanya mulai hari pertama lagi pada keesokan harinya tanggal 1 Juli 2001.  
 Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing penuntutan pidana 
karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses tenggang daluwarsa ini  dihentikan 
sementara yang setelah perselisihan pra-yudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang 
daluwarsa dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti juga turut 
dihitung. Misalnya pada contoh diatas tadi, berhubung adanya perselisihan pra-yudisial di mana 
terdakwa mendalilkan barang yang diambilnya itu yaitu  miliknya sendiri karena telah dibelinya 
dari si pelapor, maka Majelis Hakim melakukan tindakan schorsingpenuntutan pada tanggal 1 
Qktober 2001 (sebelumnya tenggang daluwarsa telah berjalan sejak tanggal 1 Juli = 3 bulan). 
Kemudian, berhubung telah adanya putusan perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap 
tentang kepemilikan obyek barang yang dalam dakwaan telah dicuri oleh A, maka schorsing 
penuntutan dicabut dengan dibukanya persidangan kembali pada tanggal 30 Desember 2001. 
Dengan demikian penghitungan pada tanggal 30 Desember 2001 jalannya tenggang 
daluwarsadilanjutkan lagi dengan tetap menghitung masa 3 bulan tenggang daluwarsa yang 
tertunda dahulu. 
 Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, maksudnya 
yaitu  tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara pidana oleh Majelis Hakim 
yang memeriksa berhubung diperlukan adanya putusan Majelis perkara yang lain yang sangat 
penting dan menentukan dalam hal memutus perkara yang dischorsingini . Jonkers memberi 
                                                     
contoh seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan pencurian 
suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia memberikan keterangan bahwa barang itu 
yaitu  miliknya sendiri. 
 jika  tentang kepemilikan ini terdapat kesukaran dalam hal pembuktiannya, karena 
Majelis Hakim pidana tidak dibenarkan menetapkan tentang kepemilikan dari barang ini, maka 
Majelis melakukan tindakan penghentian sementara penuntutan, dan meminta pada orang itu 
mengajukan gugatan perdata untuk menentukan milik siapa barang yang menurut dakwaan diambil 
oleh Terdakwa ini . Disini telah terjadi keadaan yang disebut perselisihan pra-yudisial 
sebagaimana contoh ini  diatas. 
 Penghitungan tenggang daluwarsa schorsingoleh sebab adanya perselisihan pra-
yudisial, tidak saja disebabkan oleh pentingnya suatu putusan perkara perdata yang menentukan 
terhadap putusan perkara pidana yang dischorsing, tetapi juga dapat terjadi dalam hal 
diperlukannya putusan lain dari hakim perkara pidana. Misalnya Jaksa P.U telah membawa 
seseorang ke Pengadilan dengan mendakwanya "telah menggunakan surat palsu atau dipalsu" (263 
ayat 2), sementara ternyata bahwa terhadap orang yang diduga membuat surat palsu atau memalsu 
surat itu diperiksa oleh Majelis Hakim yang lain, dengan maksud menghindari adanya dua putusan 
yang saling bertentangan dalam hal pokok perkaranya ada hubungan yang sangat erat, maka 
Majelis Hakim yang memeriksa dakwaan menggunakan surat palsu atau dipalsu tadi, perlu 
mengambil tindakan schorsingpenuntutan pidana, dengan menghentikan pemeriksaan perkara itu 
sampai adanya putusan perkara dengan dakwaan membuat surat palsu atau memalsu surat tadi 
mempunyai kekuatan hukum tetap. 
 Contoh lainnya ialah pasal 314 ayat (3), yang menyatakan bahwa: "Jika terhadap yang 
dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan 
karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang 
dituduhkan". Konkritnya pada contoh demikian, A menuduh B telah melakukan perzinaan (284) 
dengan istrinya, dan untuk itu A telah mengajukan pengaduan atas kasus itu pada Polisi. Dengan 
pengaduan yang dilakukan oleh A itu, B merasa terhina dan juga melakukan laporan pada Polisi 
bahwa dia difitnah (311 jo 310) oleh A. Ketika A dituntut dengan didakwa memfitnah (311 jo310) 
ke pengadilan, yang ternyata B telah dituntut pula dengan didakwa melakukan zina (284), maka 
Majelis Hakim perkara A melakukan schorsing penuntutan pidana, menunggu perkara B diputus 
                                                     
dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan telah mendapatkan putusan yang 
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Majelis Hakim perkara A mencabut schorsing penuntutan 
dengan membuka sidang kembali. jika  isi putusan perkara B dia dipidana karena salahnya 
melakukan tindak pidana zina (284), maka putusan itu dijadikan dasar oleh Majelis Hakim perkara 
A untuk membebaskan A, dan sebaliknya jika  B dibebaskan, artinya apa yang dituduhkan oleh 
A tidak terbukti, maka dengan putusan pembebasan itu akan digunakan sebagai dasar untuk 
menjatuhkan pidana terhadap A. 
 Tindak pidana yang telah dilakukan seseorang menjadi tidak dapat dituntut karena 
daluwarsa sudah tentu ada ukuran waktunya. Dalam ketentuan pasal 78 ayat (1), yang menetapkan, 
bahwa hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewat waktu, yakni: untuk semua tindak pidana 
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun. Sedangkan 
untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana 
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam 
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; dan untuk tindak pidana 
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 
sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun. 
 
4. Penyelesaian Di Luar Peradilan  
 Wewenang menuntut perkara dapat gugur atau hapus karena penyelesaian di luar 
peradilan. Ketentuan ini  terdapat pada Pasal 82 KUHP yang sering disebut lembaga 
penebusan (afkoop) atau juga disebut lembaga hukum perdamaian (schikking) hanya 
dimungkinkan pada perkara tertentu yaitu:321 
1. Perkara pelanggaran yang diancam dengan pidana denda secara tunggal 
2. Pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda beserta dengan biaya 
lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena 
perampasan  
3. Harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup umur. 
4. Penggunaan lembaga penebusan atau perdamaian ini  tidak berlaku bagi orang yang 
belum cukup umur pada saat melakukan perbuatan berumur enam belas tahuan. 
                                                     
 Di negara Belanda pada tahun 1921 diadakan stelsel transactie yang menambahkan 
penyelesaian di luar acara dalam Pasal 74 WvS Belanda dengen pengertian yang luas 
dibandingkan dengan afkoop. Stelsel transactie harus berupa pembayaran denda yang 
ditentukan tersendiri oleh penuntut umum, jadi  bukan suatu pembayaran maksimum ancaman 
dendanya. Penentuan pembayaran denda oleh penuntut umum inilah yang dianggap tidak sesuai 
dengan kewenangan hakim memutus perkara di Hindia Belanda sehingga tidak masuk dalam 
KUHP. 
 
5. Amnesti  
 Amenesti berasal dari bahasa latin yang secara harfiah penghapusan penuntutan 
terhadap tersangka dengan undang-undang.322 Amnesti diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 
yang berbunyi : Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan 
Dewan Perwakilan Rakyat.  Dengan perlibatan DPR dalam pengambilan keputusan, dapat ditarik 
kesimpulan bahwa kendatiun amnesti yaitu  hak preoregatif presiden, namun untuk 
memutuskannya diperlukan pertimbangan politik.323  
 Pelakasanaan amnesti lebih lanjut diatur dalam undang-undang Darurat No.11 Tahun 
1954 Tentang Amnesti dan Abolisi. Dalam undang-undang a quo, tidak diberikan pengertian 
amnesty. Pemberian amnesti oleh presiden, atas kepentingan negara, setelah mendapat nasihat 
tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri 
kehakiman. Artinya undang-undang a quo tidak lagi selaras dengan UUD 1945 pasca amandemen. 
Amnesti menurut undang-undang a quo diberikan kepada semua orang yang sebelum tangga 27 
Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan 
politik antara Republik negara kita  dan kerajaan Belanda. Dengan pemberian amnesti semua akibat 
hukum pidana dihapuskan. 
 
 
6. Abolisi 
 Abolisi berasal dari kata abolition yang pengertiannya kurang lebih yaitu  penghapusan 
penuntutan terhadap delik yang terjadi.324 Sama seperti amnesti, abolisi terdapat pada Pasal 14 
                                                     

ayat (2) UUD 1945 dan diatur bersamaan dalam Undang-Undang Darurat No.11 Tahun 1954. 
Undang-undang a quo juga tidak memberikan definisi mengenai abolisi. Presiden dalam 
memberikan abolisi dapat meminta nasihat dari Mahkamah Agung. Dengan pemberian abolisi 
maka penuntutan terhadap orang-orang ini  ditiadakan. 
 Ada pertentangan dalam undang-undang a quo antara pemberian abolisi  dan pengertian 
abolisi itu sendiri. di satu sisi, dinyatakan bahwa presiden dapat memberikan abolisi atas tindak 
pidana yang telah dilakukan seseorang, namun disisi lain menyatakan bahwa abolisi membawa 
konsekuensi hapusnya penuntutan pidana. Kalau pemberian abolisi terhadap suatu perbuatan 
pidana yang dilakukan berarti sudah ada putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum bahwa 
orang ini  bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, padahal pengertian hukum abolisi 
itu sendiri yaitu  penghapusan penuntutan pidana. Artinya belum ada pemeriksaan lebih lanjut 
apakah orang ini  bersalah atau tidak.  
 
B. Hapusnya Menjalankan Pidana 
1. Meninggalnya Terpidana 
  Hapusnya menjalankan pidna karena alasan meninggalnya terpidana terdapat dalam Pasal 
83 KUHP yang menyatakan bahwa : Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidananya 
meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan adagium yang berbunyi nemo punitur pro alieno delicto 
yang berarti tidak ada seorang pun yang dihukum karena perbuatan orang lain, secara mutatis 
muntandis adagium a quo juga berlaku terhadap gugur menjalani pidana karena terpidananya 
meninggal dunia. 
 
2. Daluwarsa 
  Sebagimana hapusnya kewenangan penuntutan pidana, hapusnya menjalani pidana juga 
dapat terjadi karena daluwarsa.  Pada dasarnya daluwarsa hapusnya menjalankan pidana sama 
dengan daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana dengan ketentuan sebagai berikut: 
1. Tenggang waktu daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun 
2. Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan, tenggang waktu daluwarsa yaitu  
lima tahun 
                                                    
 
3. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, 
pidana kurungan atau pidana penjara paling lama 3 tahun yaitu   4 tahun 
4. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 
lebih dari tahun yaitu  16 tahun. 
5. Kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tidak 
mengenal daluwarsa menjalankan pidana 
6. Tenggang waktu daluwarsa menjalankan pidana tidak boleh kurang dari lamanya pidana 
yang dijatuhkan 
7. Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim yang telah 
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijalankan. 
8. Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya 
setelah melarikan diri mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. 
9. Jika seorang terpidana pelepasan bersyaratnya dicabut, maka pada besok harinya setelah 
pencabutan mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.   
 
3. Grasi   
 Secara harfiah grasi berarti pengampunan. Grasi diartikan sebagai pengampunan yang 
diberikan oleh kepala negara kepada seseorang yang telah dijatuhi pidana.328 Aturan mengenai 
grasi terdapat dalam  14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Presiden memberi 
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Hal ini 
berbeda dengan amnesti dan abolisi yang mana sebelum memberikannya presiden harus 
mendapat pertimbanga dari DPR.  
  Pelaksanaan grasi di negara kita  diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2002 Tentang 
 Grasi. Dalam undang-undang a quo grasi didefiniskan sebagai pengampunan berupa perubahan, 
 peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidan yang diberikan 
 oleh presiden.  Dengan demikian, pemberian grasi tidak serta merta menghapuskan kewenangan 
 menjalankan pidana. Grasi diajukan oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah 
 memperoleh kekuata hukum tetap. Permohonan grasi hanya dapat diajukan atas putusan 
                                                      
pemidanaan berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 
dua tahun. 
  Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali kecuali dalam hal sebagai berikut: 
1. Terpidana pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak 
tanggal penolakan permohonan grasi ini . 
2. Terpidana pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup 
dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.  
  Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali 
dalam hal putusan pidana mati.  Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi 
yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung. Hak mengajukan 
grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua siding yang memutuskan 
perkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak 
hadir, maka hak terpidana untuk mengajukan grasi diberitahukan secara tertulis oleh panitra 
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. 
  Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau keluarga terpidana atas 
persetujuan terpidana diajukan kepada presiden. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, 
permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. 
Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu.333 Permohonan grasi harus diajukan 
secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada presiden. Salinan 
permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama 
untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinanya dapat disampaikan 
oleh terpidana melalui Kepala lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Dalam 
hal permohonan grasi  dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala 
Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi ini  kepada presiden dan 
salinannya dikirim kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 
7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
 
  Dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan 
permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas 
perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung 
sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung 
mengirimkan pertimbangan tertulis kepada presiden. Presiden memberikan keputusan atas 
permohonan grasi  setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden 
dapat berupa pemberian atau penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling 
lambat 3 bulan terhitung sejak diterimnya pertimbangan Mahkamah Agung.  
  Keputusan presiden tentang pemberian atau penolakan grasi disampaikan kepada terpidana 
dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak diterapkannya keputusan presiden. 
Salinan keputusan ini  disampaikan kepada Mahkamah Agung, pengadilan yang memutus 
perkara pada tingkat  pertama, kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana dan lembaga 
pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Khusus terpidana mati, kuasa hukum atau 
keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan  
sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI negara kita  
 
A. Makna Pembaharuan Hukum Pidana  
Menurut Barda Nawawi Arief, Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung 
makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan 
nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosio-filosofik, sosiokultural masyarakat negara kita  yang melandasi 
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di negara kita . 
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakekatnya juga merupakan bagian dari 
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy), yang harus ditempuh dengan pendekatan yang 
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada 
nilai (value-oriented approach)338 atau dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan perlu 
ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti ada keterpaduan (integralis) antara politik 
kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan 
penal dan non penal dan di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. 
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan sarana penal (hukum pidana) yaitu:339 
1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan, 
2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar. 
Bertolak dari pendekatan kebijakan, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi 
masalah sentral dalam kebijakan kriminal terutama masalah pertama yang disebut juga masalah 
kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:340 
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yang 
mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata, materil, spirituil berdasarkan 
Pancasila; sehubungan dengan hal ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan                                                     
untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengurangan terhadap tindakan 
penangggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;  
2.  Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana 
harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang 
mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituil) atas warga masyarakat;  
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip-prinsip biaya dan hasil 
(cost and benefit principle); penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan 
kapasitas atau kemampuan daya kerja dari bagian-bagian penegak hukum, yaitu jangan 
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). 
Kebijakan kriminal memiliki hubungan yang erat dengan kebijakan sosial, sebab 
sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan, pada hakikatnya merupakan bagian integral dari 
upaya perlindungan masyarakat (social defence) yang pada akhirnya bertujuan mencapai 
kesejahteraan sosial (social  welfare). Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial 
terlihat pula dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 
di Semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain sebagai berikut: 
Masalah kriminalisasi dan deskriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan 
politik kriminal yang dianut suatu
 bangsa negara kita , yang sejauh mana perbuatan ini  
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh 
masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan 
kesejahteraan masyarakat. 
Lebih lanjut menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana sebagai bagian dari 
kebijakan hukum yang lebih luas, meliputi dan merupakan perwujudan dari proses kebijakan 
tahap-tahapan yaitu tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang 
terdiri dari tahap perumusan pidana (kebijakan formulatif/legislatif), tahap penerapan hukum 
pidana (kebijakan aplikatif/yudikatif), dan tahap pelaksanaan hukum pidana (kebijakan 
                                                    
administratif/eksekutif). Hal ini sejalan dengan orientasi pembaharuan hukum pidana sebagaimana 
yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yaitu : 
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, pembaharuan hukum pidana dapat berorientasi 
kepada kebijakan sosial yang pada hakikatnya yaitu  bagian dari upaya untuk mengatasi 
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan). Sedangkan sebagai kebijakan 
kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya yaitu  bagian dari upaya 
perlindungan terhadap masyarakat. 
2. Dilihat dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya 
merupakan bagian dari upaya memperbaharuai substansi hukum. 
3. Pembaharuan hukum pidana hendaknya dilakukan dengan menggali nilai-nilai hukum 
yang hidup dalam masyarakat (the living law), antara lain dalam hukum agama dan hukum 
adat. 
Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa perlu adanya harmonisasi, atau sinkronisasi, dan 
konsistensi antara pembangunan dan pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi 
nasional filosofis dan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat.  Selanjutnya Barda Nawawi Arief 
mengingatkan bahwa pembangunan hukum nasional hendaknya dapat menunjang pembangunan 
nasional dan pergaulan internasional dengan bersumber dari nilai-nilai dan aspirasi hukum yang 
hidup dan berkembang di masyarakat. Dengan begitu sistem pembangunan hukum diharapkan 
memiliki identitas dan karakteristik negara kita . Dari perspektif sistem hukum, kajian terhadap 
hukum adat dan hukum yang hidup merupakan upaya untuk memahami sistem atau keluarga 
hukum lain yang selama ini diwarisi di negara kita , yakni sistem hukum continental atau civil law 
system. Dengan menggunakan pendekatan perbandingan hukum, hukum pidana negara kita  
sebagaimana terkandung dalam KUHP yang saat ini berlaku bukan satu-satunya konsep hukum 
untuk memecahkan masalah hukum. Sebenarnya masih ada konsep atau sistem hukum lain yang 
sepatutnya dikaji untuk lebih memantapkan upaya pembaharuan hukum pidana di negara kita . Salah 
satu sistem hukum yang lain yang dimaksud yaitu  hukum adat dan hukum Islam. 
                                                     

 
B. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana negara kita  
  Hukum pidana positif di negara kita  saat ini terdiri dari KUHP (WvS) dan berbagai Undang-
Undang khusus di luar KUHP. KUHP yang berlaku saat ini berasal dari WvS voor Nederlandsch-
Indi (Staadsblad1915 No. 732) dan dinyatakan berlaku oleh  Pemerintah Hindia Belanda pada 
tanggal 1 Januari 1918. Kemudian dengan kekuatan undang-undang No. 1 tahun 1946 jo undang-
undang No. 73 tahun 1958, istilah  Wetboek van Strafrecht (WvS) disebut Kitab Undang-Undang 
Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik negara kita  sampai saat 
sekarang ini, meskipun dengan beberapa perubahan. 
  Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/ WvS sebagai Ius Constitutum atau hukum 
yang diberlakukan saat ini merupakan warisan dari pemerintah Kolonial Belanda telah tertinggal 
oleh kemajuan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan hal ini perlu 
diperhatikan pernyataan dari Konggres PBB yang berkaitan dengan pemberlakuan hukum asing/ 
impor pada suatu negara. Pada Konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and The 
Treatment of offenders dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa 
negara (terutama yang berasal/ diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial) pada umumnya 
bersifat Obsolete and Unjust (telah usang dan tidak adil) serta Outmoded and Unreal (sudah 
ketinggalan zaman dan tidak sesuai kenyataan). 
Berdasarkan pernyataan Konggres PBB di atas dikaitkan dengan keberadaan Kitab 
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/ WvS) yang sampai saat ini dipandang sebagai kitab 
induk hukum pidana sudah semestinya dilakukan pembaharuan. Pembaharuan hukum pidana 
hendaknya sesuai dengan sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat negara kita . Di 
samping itu alasan yang sangat prinsip untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yaitu :  
1. Alasan Politik : Negara negara kita  yang telah lima puluh tahun lebih merdeka yaitu  wajar 
mempunyai hukum pidana sendiri yang diciptakannya sendiri oleh karena hal ini 
merupakan simbol kebanggaan dari negara yang telah bebas dari penjajahan.  
                                                     

 
2. Alasan Sosiologis ; Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari 
ideologi, politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang artinya bahwa segala nilai-
nilai sosial dan kebudayaan suatu bangsa itu harus mendapat tempat dalam pengaturan 
hukum pidana.  
3. Alasan Praktis ; Dengan pembaharuan hukum pidana yang baru akan dapat memenuhi 
kebutuhan praktik, sebab hukum peninggalan penjajah jelas masih menggunakan bahasa 
Belanda padahal kita sebagai negara yang merdeka sudah memiliki bahasa sendiri, tentu 
tidaklah tepat jika menerapkan suatu aturan hukum berdasarkan teks yang tidak asli.346 
Dipandang dari sudut politik, negara Republik negara kita  yang merdeka sudah sangat wajar 
mempunyai KUHP yang dicita-citakannya sendiri. KUHP yang diciptakan sendiri bisa dipandang 
sebagai lambang (simbol) dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu negara yang telah merdeka 
dan melepaskan diri dari kungkungan penjajahan politik. KUHP dari suatu negara yang dipaksakan 
untuk diberlakukan pada suatu negara lain, bisa dipandang simbol dari penjajahan negara yang 
membuat KUHP itu. Dipandang dari sudut sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana 
merupakan pencerminan dari ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang. Ini 
berarti bahwa nilai-nilai sosial dan kebudayaan dari bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan 
dihukum pidana. Dari hasil penelitian yang dilakukan lembaga pembinaan hukum nasional pada 
tahun 1973 ditiga daerah, yaitu Aceh, Bali dan Manado, dapat diketahui masih banyak keinginan-
keinginan dari sebagian masyarakat yang belum tertampung dalam KUHP sekarang. 
Muladi mengatakan berdasarkan kajian yang komprehensif, hukum nasional harus besifat 
adaptif.348 Hal ini dikatakan, bahwa KUHP Nasional dimasa-masa datang harus dapat 
menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan 
Internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Khusus sepanjang yang 
menyangkut alasan sosiologis, hal ini dapat menyangkut, baik hal-hal yang bersifat ideologis yang 
                                                     
Terhadap pandangan politik diatas Muladi mengatakan, bahwa bilamana dikaitkan dengan kondisi 
Nasional negara kita  masalahnya tidak hanya menyangkut kebanggaan nasional saja, melainkan tercakup didalamnya 
pemikiran integritashukum sesuai dengan Wawasan Nusantara. 
 
bersumber dari filsafat bangsa Pancasila maupun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi manusia, 
alam, dan tradisi negara kita , sepanjang hal-hal tetap dalam kerangka bagian budaya bangsa 
(subculture) dan bukan merupakan budaya tandingan (counter culture). 
Dari sejarah perjalanan konsep KUHP telah berjalan dalam kurun waktu yang panjang dan 
belum pernah mendapat perhatian yang penuh dari pihak DPR. Hal ini menunjukkan bahwa politik 
hukum pidana kodifikasi masih belum dipandang sebagai kebijakan yang mendesak, karena masih 
bisa digunakan KUHP lama, dengan kata lain secara politik legislasi Konsep KUHP belum 
menjadi agenda utama. Dari beberapa literatur, hal ini disebabkan:349 
a. Masih banyaknya materi pengaturan tindak pidana yang menimbulkan sikap pro dan kontra 
di masyarakat, misalnya dalam kasus pasal mengenai pornografi dan pornoaksi, tindak 
pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana penodaan agama, dan sebagainya;  
b. Pembahasan konsep memerlukan waktu yang lama karena banyaknya subtansi yang 
hendak diatur dalam undang-undang ini ;  
c. Masih kuatnya anggapan atau asumsi bahwa KUHP yang telah ada masih memiliki 
relevansi dengan keadaan sekarang dan telah dibuatnya undang-undang secara khusus yang 
mengatur tindak pidana tertentu jika KUHP tidak mengatur mengenai hal tesebut ;  
d. Bahwa yang diperlukan saat sekarang bukan KUHP baru tetapi proses penegakan hukum 
dan sistem peradilan pidana yang bebas dari mafia peradilan, yakni terwujudnya penyidik 
yang profesional, advokad yang bersih, jaksa dan hakim yang memiliki integritas dan 
kredibilias. 
Dari uraian diatas dapatlah dikatakan bahwa penyusunan Konsep KUHP Nasional 
merupakan salah satu usaha yang terus menerus dan berlanjut serta permanen dalam rangka 
pembaharuan/pembangunan/pengembangan hukum pidana yang bersifat nasional yang sesuai 
dengan kepribadian bangsa negara kita . 
                                                     

Pada tahun 1974 Sudarto melalui Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum 
Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, membahas secara khusus Konsep 
Rancangan KUHP 1968/1972. Beliau lalu mengatakan, bahwa dilema yang dihadapai dalam 
pembaharuan hukum pidana yaitu  jika  hanya mengadakan revisi dari apa yang ada sekarang, 
itu bukanlah suatu pembaharuan, dan jika  yang ada itu ditinggalkan, harus menemukan 
alternatifnya yang tepat dan disinilah dapat timbul kesulitan-kesulitan yang bersifat dogmatis dan 
praktis. 
Menurut Sudarto, Buku I sangat penting artinya untuk seluruh tata hukum pidana, karena 
disitu terdapat asas-asas yang menjadi landasan dari penerapan hukum pidana yang tidak hanya 
terdapat dalam KUHP saja, tetapi juga ada di luar KUHP. Maka dalam pelaksanaan politik hukum 
pidana sekarang ini harus dicari dan diterapkan dulu asas-asas hukum pidana yang memang cocok 
dengan masyarakat negara kita  dan yang membawa bangsa negara kita  pada aspirasinya dibidang 
hukum ini.352 Dalam rangka ini, orientasi tidak dapat lepas, baik dari ideologi nasional, kondisi 
manusia, alam dan tradisi bangsa, maupun dari perkembangan Internasional yang diakui oleh 
masyarakat beradap.  
Dalam hubungannya dengan pembaharuan sistem pemidanaan di negara kita  khususnya 
pembuatan Rancangan Konsep KUHP Nasional sebagai pengganti KUHP (WvS) yang sekarang 
berlaku, maka nilai-nilai Pancasila harus meresap kedalam pasal-pasal Konsep KUHP Nasional, 
yaitu harus berorientasi pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, hukum pidana yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, hukum pidana yang mengandung nilai-nilai persatuan (antara 
lain tidak membedakan suku/golongan/agama, mendahulukan kepentingan bersama), hukum 
pidana yang dijiwai nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam 
permusyawaratan (antara lain mengutamakan kepentingan/kesejahteraan rakyat, penyelesaian 
                                                     

 
konflik secara bijaksana/musyawarah/ kekeluargaan), dan hukum pidana yang berkeadilan 
sosial. 
 Hukum di negara kita  (termasuk hukum pidana) bersumber pada Pancasila, maka setiap 
produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana hukum 
dijiwai, dipersepsikan dan  dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya 
harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti 
sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum dalam pengertian ini hanya 
demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan idealisme 
Pancasila.l 
Berdasarkan hal diatas bagi bangsa negara kita , pembaharuan hukum pidana (KUHP) 
merupakan suatu keharusan dan harus sesuai dengan semangat serta idealisme Pancasila. 
Disamping itu, usaha pembaharuan hukum pidana di negara kita  tentunya tidak terlepas dari politik 
hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum 
yang ada agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat. Sudarto 
mendefenisikan Politik Hukum yaitu  usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik 
sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu itu.355 Selanjutnya Sudarto mengatakan politik 
hukum memberi petunjuk apakah perlu ada pembaharuan hukum, sampai berapa jauh 
pembaharuan itu harus dilaksanakan dan bagaimana bentuk pembaharuan itu? Hal ini menyangkut 
ius constituendum, ialah hukum yang akan datang yang dicita-citakan. 
 
 
 
 
 
                                                     

 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 

GLOSARIUM  
Amnesti  : Penghapusan penuntutan terhadap tersangka dengan undang-undang 
Abolisi : Penghapusan seluruh akibat penjatuhan pidana kepada 
tersangka/terdakwa 
Asas Legalitas : salah satu asas dalam hukum pidana, tidak dapat dipidannya seseorang 
sebelum ada aturan yang mengaturnya. 
Asas Teritorial : Asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana 
dalam  Undang-Undang negara kita  berlaku bagi setiap orang yang 
melakukan suatu tindak pidana di wilayah negara kita  
Asas Personalitas : Asas dalam hukum pidana tentang berlakunya hukum pidana dikaitkan 
dengan orangnya, tanpa mempersoalkan dimana orang itu berada, yaitu 
didalam ataupun diluar wilayah negara negara kita  
Culpa : Tindak pidana yang dilakukan karena tidak sengaja/ kelalaian 
Dolus : Tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja 
Doenplegen  : Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana 
Delik  : Peristiwa pidana/ tindak pidana 
Deelneming  : Penyertaan dalam melakukan tindak pidana/kejahatan 
Error facti : Merupakan salah satu kesesatan dalam kesengajaan yang juga disenut 
feitelijk dwaling atau kesesatan fakta 
Error Juris : Kesesatan hukum 
Grasi    : Pengampunan 
Ius Poenale : Hukum pidana  positif/hukum pidana yang berlaku 
Medeplegen  : Orang  yang turut serta melakukan tindak pidana 
Noodweer exces : Keadaan terpaksa yang melampui batas. 
Nebis in idem : perkara yang objeknya sama, para pihak sama dan diputus oleh 
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan mengabulkan atau 
menolak dan tak dapat diperiksa untuk kedua kalinya. 
Plegen   :  Orang  yang melakukan tindak pidana 
Poging   : Percobaan melakukan tindak pidana 
Pidana   :  Sanksi/ hukuman 
Overmacht  : Keadaan darurat 
Opzet    : Kesengajaan 
Recidive : Seseorang yang berulang melakukan tindak pidana dan tindak pidana     
ini  telah dijatuhi vonis oleh hakim. 
Schuld   : Kesalahan  
Samenloop  : Perbarengan perbuatan pidana 
Tempus delicti : Waktu terjadinya tindak pidana  
Ultimatum remedium : Upaya terakhir/obat terakhir dalam hukum pidana