UU narkotika 1

Rabu, 31 Mei 2023

UU narkotika 1


  
 
 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 35 TAHUN 2009 
TENTANG 
NARKOTIKA 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,  
 
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang 
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan 
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas 
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal 
pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan 
secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;  
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber 
daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan 
kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan 
di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara 
lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis 
tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta 
melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan 
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan 
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di 
sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang 
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan 
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan 
saksama; 

d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, 
menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan 
Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat 
dan seksama serta bertentangan dengan peraturan 
perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika 
karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang 
sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, 
bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia; 
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat 
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan 
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung 
oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak 
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi 
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan 
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika  sudah 
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan 
kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan 
memberantas tindak pidana tersebut 
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, 
perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika; 
Mengingat : 1. Pasal  5 ayat (1)  dan  Pasal  20  Undang-Undang Dasar 
Negara  Republik Indonesia Tahun 1945;  
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan 
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 
1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor 3085); 
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang 
Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic 
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang 
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan 
Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia Nomor 3673); 

Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA. 
 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
 
Pasal 1 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1.   Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman 
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, 
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan 
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai 
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan 
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang 
ini. 
2.   Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau 
bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan 
Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana 
terlampir dalam Undang-Undang ini. 
3.   Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, 
mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara 
langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non-
ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau 
gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah 
bentuk Narkotika. 
4.   Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan 
Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean. 
 
  
 
5.   Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan 
Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean. 
6.   Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika 
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang 
dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang 
ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika. 
7.   Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk 
mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.  
8.   Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk 
mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
9.   Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian 
kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke 
tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa 
pun. 
10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk 
badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan 
kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran 
sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan. 
11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan 
hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan 
produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk 
Narkotika. 
12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari 
suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di 
wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor 
pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan. 
13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau 
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan 
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun 
psikis. 
14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai 
oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara 
terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar 
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya 
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, 
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. 
15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan 
Narkotika tanpa hak atau  melawan hukum. 
16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan 
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu 
dari ketergantungan Narkotika. 
17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan 
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun 
sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali 
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 

18.  Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau 
lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk 
melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta 
melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, 
memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi 
kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu 
tindak pidana Narkotika. 
19.  Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan 
penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap 
pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan 
komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat 
komunikasi elektronik lainnya. 
20.  Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan 
oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 
(tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu 
tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan 
suatu tindak pidana Narkotika. 
21.  Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang 
dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum 
maupun bukan badan hukum. 
22.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan 
pemerintahan di bidang kesehatan. 
 
 
BAB II 
DASAR, ASAS, DAN TUJUAN 
 
Pasal 2 
Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
 
Pasal 3 
Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan 
berasaskan: 
a. keadilan; 
b. pengayoman; 
c. kemanusiaan; 
d. ketertiban;  
e. perlindungan; 
f. keamanan; 
g. nilai-nilai ilmiah; dan 
h. kepastian hukum. 
 
Pasal 4 
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: 
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi; 
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa 
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; 
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika; dan 
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial 
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. 
 
BAB III 
RUANG LINGKUP  
Pasal 5  
Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi 
segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan 
dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
Pasal 6 
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 
digolongkan ke dalam: 
a. Narkotika Golongan I; 
b. Narkotika Golongan II; dan 
c. Narkotika Golongan III. 
(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum 
dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak 
terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
 
Pasal 7 
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi. 
 
Pasal 8 
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk 
kepentingan pelayanan kesehatan.   
 
 
  
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat 
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia 
diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah 
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi 
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 
 
 
BAB IV 
PENGADAAN 
 
Bagian Kesatu 
Rencana Kebutuhan Tahunan 
 
Pasal  9 
(1)   Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk    
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk 
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 
(2)   Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan 
tahunan Narkotika. 
(3)   Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data 
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi 
tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi 
pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan 
Narkotika secara nasional. 
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana 
kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan 
Menteri. 
 
Pasal 10 
(1)   Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari 
impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain 
dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan 
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). 
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana 
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
  
  
Bagian Kedua 
Produksi 
 
Pasal 11 
(1)   Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi 
Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah 
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan 
Pengawas Obat dan Makanan. 
(2)   Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi 
Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan 
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. 
(3)   Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan 
pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan 
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan 
rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 9. 
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin 
dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan 
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 
Pasal  12 
(1)   Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau 
digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah 
yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan 
ilmu pengetahuan dan teknologi. 
(2)   Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk 
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 
secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. 
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam 
produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk 
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dengan Peraturan Menteri. 
 
Bagian Ketiga 
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  
 
Pasal  13 
(1)   Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga 
pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan 
pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah 
ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, 
menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk 
kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah 
mendapatkan izin Menteri. 
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
 
Bagian Keempat 
Penyimpanan dan Pelaporan 
Pasal 14 
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri 
Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan 
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat 
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan 
lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.  
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana 
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah 
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, 
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, 
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala 
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika 
yang berada dalam penguasaannya. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan 
secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan 
mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas 
rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan 
Makanan berupa: 
a. teguran; 

 
b. peringatan; 
c. denda administratif; 
d. penghentian sementara kegiatan; atau 
e. pencabutan izin. 
 
 
BAB V 
IMPOR DAN EKSPOR 
 
Bagian Kesatu 
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor 
 
Pasal 15 
 
(1)   Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan 
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki 
izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan untuk melaksanakan impor 
Narkotika. 
(2)   Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin 
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin 
sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan untuk melaksanakan impor 
Narkotika. 
 
Pasal 16 
 
(1)   Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan 
Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor 
Narkotika. 
(2)   Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit 
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap 
rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau 
penggunaan Narkotika. 
(3)   Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam 
jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk 
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi. 
(4)   Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara 
pengekspor. 
 

 
Pasal 17 
Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan 
pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut 
dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan di negara pengekspor. 
 
Bagian Kedua 
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor  
 
Pasal 18 
(1)   Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan 
pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki 
izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor 
Narkotika. 
(2)   Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin 
kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin 
sebagai eksportir sesuai dengan  ketentuan peraturan 
perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor 
Narkotika. 
 
Pasal 19 
(1)   Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan 
Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor 
Narkotika. 
(2)   Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus 
melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor. 
 
Pasal 20 
Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar 
persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan 
tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara 
pengimpor. 
 
Pasal 21 
Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya 
dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk 
perdagangan luar negeri. 
 
Pasal 22 
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan 
Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri. 
 
 
 
Bagian Ketiga 
Pengangkutan 
 
Pasal 23 
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang 
pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan 
Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini 
atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang 
ini. 
 
Pasal 24 
(1)   Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi 
dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika 
yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan 
Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri. 
(2)   Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi 
dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang 
dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat 
persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara 
pengimpor.  
 
Pasal 25 
Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang 
memasuki wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa 
dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan 
Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat 
persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara 
pengekspor.  
 

 
Pasal 26 
(1)   Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan 
Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat 
Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan di negara 
pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas 
perusahaan pengangkutan ekspor.  
(2)   Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan 
pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat 
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen 
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai 
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di 
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut. 
  
(3)   Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib 
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat 
Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri  dan dokumen 
atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai 
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di 
negara pengimpor. 
 
Pasal 27 
(1)   Narkotika yang diangkut harus disimpan pada 
kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di 
tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh 
nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.  
(2)   Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika 
yang diangkut.  
(3)   Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua 
puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib 
melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya 
kepada kepala kantor pabean setempat.  
(4)   Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam 
kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan 
oleh pejabat bea dan cukai. 
(5)   Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa 
dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat 
Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita 
acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada 
persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan 
menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang 
berwenang.  
 
 

Pasal 28 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula 
bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.  
 
Bagian Keempat 
Transito 
 
Pasal 29 
(1)   Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen 
atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari 
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat 
Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah 
negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor 
dan pengimpor.  
(2)   Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari 
pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat 
Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang: 
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor 
Narkotika; 
b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan 
c. negara tujuan ekspor Narkotika.  
 
Pasal 30 
Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada 
Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya 
persetujuan dari: 
a. pemerintah negara pengekspor Narkotika; 
b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan 
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.  
 
Pasal 31 
Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya 
dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang 
mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung 
jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan 
Pengawas Obat dan Makanan. 
 
Pasal 32 
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika 
diatur dengan Peraturan Pemerintah.  
 
 
Bagian Kelima 
Pemeriksaan 
 
Pasal 33 
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan 
dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.  
 
Pasal 34  
(1)   Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang 
diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan 
Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri 
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya 
impor Narkotika di perusahaan. 
(2)   Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), Menteri  menyampaikan hasil penerimaan impor 
Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.  
 
 
BAB VI 
PEREDARAN 
 
Bagian Kesatu 
Umum 
 
Pasal 35 
Peredaran Narkotika  meliputi setiap kegiatan atau serangkaian 
kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam 
rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun 
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan 
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  
 
Pasal  36 
(1)   Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan 
setelah mendapatkan izin edar dari Menteri. 
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Menteri. 
 
 
(3)   Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika 
dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat 
dan Makanan. 
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan 
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 
 
Pasal 37 
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan 
baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk 
produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri. 
 
Pasal 38 
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan 
dokumen yang sah. 
 
 
Bagian Kedua 
Penyaluran 
 
Pasal 39 
(1)   Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, 
pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan 
farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam 
Undang-Undang ini. 
(2)   Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana 
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus 
penyaluran Narkotika dari Menteri.  
 
Pasal 40 
(1)   Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan 
Narkotika kepada: 
a. pedagang besar farmasi tertentu; 
b. apotek;    
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah 
tertentu; dan   
d. rumah sakit.  
 
 
 
(2)   Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat 
menyalurkan Narkotika kepada: 
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya; 
b. apotek; 
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah 
tertentu; 
d. rumah sakit; dan 
e. lembaga ilmu pengetahuan;  
(3)   Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu 
hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada: 
a. rumah sakit pemerintah; 
b. pusat kesehatan masyarakat; dan 
c. balai pengobatan pemerintah tertentu. 
Pasal  41 
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang 
besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan 
tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan 
dan teknologi.  
 
Pasal 42 
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. 
 
Bagian Ketiga 
Penyerahan 
 
Pasal 43 
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh: 
a. apotek; 
b. rumah sakit; 
c. pusat kesehatan masyarakat; 
d. balai pengobatan; dan 
e. dokter. 
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: 
a. rumah sakit; 
b. pusat kesehatan masyarakat; 
c. apotek lainnya; 
d. balai pengobatan; 
e. dokter; dan 
f. pasien. 
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan 
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika 
kepada pasien berdasarkan resep dokter. 
 
 
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat 
dilaksanakan untuk: 
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan 
Narkotika melalui suntikan; 
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan 
memberikan Narkotika melalui suntikan; atau 
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada 
apotek. 
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu 
yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada 
ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek. 
 
Pasal  44 
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 
diatur dengan Peraturan Menteri. 
 
 
BAB VII 
LABEL DAN PUBLIKASI 
 
Pasal 45 
(1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada 
kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun 
bahan baku Narkotika.  
(2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi 
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan 
pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, 
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah, 
dan/atau kemasannya. 
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada 
kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak 
menyesatkan. 
 
 
Pasal  46 
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah 
kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. 
 
 
 
Pasal 47 
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri. 
 
 
BAB VIII 
PREKURSOR NARKOTIKA 
 
Bagian Kesatu 
Tujuan Pengaturan  
 
Pasal 48 
Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan: 
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan 
Prekursor Narkotika; 
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor 
Narkotika; dan 
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan 
Prekursor Narkotika. 
 
 
Bagian Kedua 
Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika 
 
Pasal 49 
(1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor 
Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini. 
(2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan 
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan 
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang 
ini. 
(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor 
Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur 
dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan 
menteri terkait. 
   
Bagian Ketiga 
Rencana Kebutuhan Tahunan 
 
 
Pasal 50 
(1)   Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan 
Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi, 
industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.  
(2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan, 
perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor 
Narkotika secara nasional. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor 
Narkotika sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dan ayat 
(2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi 
dengan menteri terkait. 
 
 
Bagian Keempat 
Pengadaan 
 
 
Pasal 51 
(1)    Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui 
produksi dan impor. 
(2)    Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan 
industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu 
pengetahuan dan teknologi. 
 
 
Pasal 52 
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, 
ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta 
pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan 
Pemerintah.    

 
BAB IX 
PENGOBATAN DAN REHABILITASI 
 
Bagian Kesatu 
Pengobatan 
 
Pasal 53 
(1)   Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi 
medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II 
atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan 
tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
(2)   Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika 
untuk dirinya sendiri. 
(3)   Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus 
mempunyai bukti yang sah  bahwa Narkotika yang 
dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan 
diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan. 
 
 
Bagian Kedua  
Rehabilitasi 
 
Pasal 54 
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika 
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 
 
Pasal 55 
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum 
cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan 
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi 
medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh 
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau 
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi 
sosial. 
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib 
melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada 
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau 
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang 
ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan 
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi 
medis dan rehabilitasi sosial. 
 
 
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur 
dengan Peraturan Pemerintah. 
 
Pasal 56 
(1)   Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah 
sakit yang ditunjuk oleh Menteri. 
(2)   Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh 
instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan 
rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat 
persetujuan Menteri. 
 
Pasal 57 
Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, 
penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh 
instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan 
keagamaan dan tradisional. 
 
Pasal 58 
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan 
baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.  
 
Pasal 59 
(1)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri. 
(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. 
 
 
BAB X 
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 
 
Pasal 60 
(1)   Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala 
kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika. 
(2)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi 
upaya: 
a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi; 
 
 
b. mencegah penyalahgunaan  Narkotika; 
c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah 
dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan 
memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan 
Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai 
lanjutan atas; 
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian 
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan; dan 
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis 
bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan 
oleh pemerintah maupun masyarakat. 
   
Pasal 61 
(1)   Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala 
kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika. 
(2)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
meliputi: 
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi; 
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk 
melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika; 
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk 
sebelum diedarkan; 
d. produksi; 
e. impor dan ekspor; 
f. peredaran; 
g. pelabelan; 
h. informasi; dan  
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi. 
 
Pasal 62 
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
 Pasal 63 
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain 
dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, 
baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan 
dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai 
dengan kepentingan nasional. 
 
 
BAB XI 
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN 
 
Bagian Kesatu 
Kedudukan dan Tempat Kedudukan  
 
Pasal 64 
(1)   Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk 
Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat 
BNN. 
(2)   BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan 
lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan 
di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada 
Presiden. 
 
 
Pasal 65 
(1)   BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah 
kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. 
(2)   BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai 
perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. 
(3)   BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN 
kabupaten/kota berkedudukan di ibukota 
kabupaten/kota. 
 
 
Pasal 66 
BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal. 

Pasal 67 
(1)   BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh 
seorang sekretaris utama dan beberapa deputi. 
(2)   Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi 
urusan: 
a. bidang pencegahan; 
b. bidang pemberantasan;  
c. bidang rehabilitasi;  
d. bidang hukum dan kerja sama; dan 
e. bidang pemberdayaan masyarakat. 
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan 
tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden. 
 
Bagian Kedua 
Pengangkatan dan Pemberhentian  
 
Pasal 68 
(1)   Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 
(2)   Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian 
Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dengan Peraturan Presiden. 
Pasal 69 
Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon 
harus memenuhi syarat: 
a. warga negara Republik Indonesia; 
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
c. sehat jasmani dan rohani; 
d. berijazah paling rendah strata 1 (satu); 
e. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam 
penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam 
pemberantasan Narkotika; 
f. berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun; 
g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan 
memiliki reputasi yang baik; 
h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;  
i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan 
j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan 
lain selama menjabat kepala BNN. 
 
 
 
Bagian Ketiga  
Tugas dan Wewenang 
 
Pasal 70 
BNN mempunyai tugas:  
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional 
mengenai pencegahan dan pemberantasan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik 
Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan 
rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang 
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;  
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan 
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik 
regional maupun internasional, guna mencegah dan 
memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika; 
h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor 
Narkotika; 
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan 
terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan 
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas 
dan wewenang. 
 
Pasal 71 
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan 
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN 
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika. 

 
Pasal 72 
(1)   Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 
dilaksanakan oleh penyidik BNN. 
(2)    Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN. 
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan 
Peraturan Kepala BNN. 
 
 
BAB XII 
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN 
 
Pasal 73 
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan 
terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan 
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
Undang ini. 
 
Pasal 74 
(1)   Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang 
didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke 
pengadilan guna penyelesaian secepatnya. 
(2)   Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan 
tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, 
tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana 
mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus 
dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
 
Pasal 75 
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN 
berwenang:  
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta 
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;  
b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
  
c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai 
saksi; 
d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri 
tersangka; 
e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti 
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi 
nasional;  
i. melakukan penyadapan yang terkait dengan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang 
cukup; 
j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan 
penyerahan di bawah pengawasan; 
k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam 
dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh 
lainnya;  
m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka; 
n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, 
dan tanaman; 
o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui 
pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga 
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika yang disita; 
q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang 
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;  
r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam 
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan 
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
dan 

 
s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti 
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
Pasal 76 
(1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat 
penangkapan diterima penyidik. 
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh 
empat) jam. 
 
Pasal 77 
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf 
i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang 
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung 
sejak surat penyadapan diterima penyidik. 
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya 
dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan. 
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama. 
(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan. 
 
Pasal 78 
(1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan 
penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin 
tertulis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.  
(2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh 
empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada 
ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).  
 
Pasal 79 
Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di 
bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 
huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari 
pimpinan. 

 
Pasal 80 
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga 
berwenang: 
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan 
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada 
jaksa penuntut umum; 
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga 
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga 
dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain 
yang terkait; 
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga 
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka 
yang sedang diperiksa; 
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan 
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang 
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; 
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka 
kepada instansi terkait; 
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, 
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau 
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang 
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga 
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya 
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan 
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak 
hukum negara lain untuk melakukan pencarian, 
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. 
 
 
Pasal 81 
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik 
BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini. 
 
Pasal 82 
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara 
Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak 
pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor 
Narkotika. 
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau 
lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas 
dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor 
Narkotika berwenang:  
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan 
tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika 
dan Prekursor Narkotika; 
b. memeriksa orang yang diduga melakukan 
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau 
badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan 
Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara 
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara 
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang 
adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; 
g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan 
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
dan 
h. menangkap orang yang diduga melakukan 
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
 
Pasal 83 
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan 
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika 
dan Prekursor Narkotika. 
  
Pasal 84 
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik 
Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara 
tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu 
pula sebaliknya. 
 
Pasal 85 
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan 
Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri 
sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik 
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana. 
 
Pasal 86 
(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara 
Pidana. 
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:  
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau 
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang 
serupa dengan itu; dan 
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, 
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan 
atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di 
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun 
yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak 
terbatas pada: 
1. tulisan, suara, dan/atau gambar; 
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau 
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi 
yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang 
yang mampu membaca atau memahaminya. 
Pasal 87 
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau 
penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan 
Prekursor Narkotika, atau yang diduga  Narkotika dan 
Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika 
dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan 
membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan 
dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:   
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah; 
 
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, 
bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; 
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai 
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan 
d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang 
melakukan penyitaan. 
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib 
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada 
kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling 
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak 
dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan 
kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan 
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 
Pasal 88 
(1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan 
penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika 
wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan 
barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada 
penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik 
Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga 
kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan 
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala 
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri 
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan 
Makanan.  
(2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 
(empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit 
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi. 
Pasal 89 
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan         
Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan 
pengamanan barang sitaan yang berada di bawah 
penguasaannya. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika 
dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan 
Pemerintah. 

 
Pasal 90 
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan 
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian 
Negara Republik Indonesia, penyidik BNN, dan penyidik 
pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang 
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan 
sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan 
dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali 
dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium 
tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
 
 
Pasal 91 
(1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima 
pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan 
Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara 
Republik Indonesia atau penyidik BNN, dalam waktu 
paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang 
sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk 
kepentingan pembuktian perkara, kepentingan 
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, 
kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau 
dimusnahkan.  
(2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang 
berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik 
yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib 
dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari 
terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari 
kepala kejaksaan negeri setempat.  
(3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam 
waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam 
sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan 
berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik 
Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan 
tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala 
kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri 
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan 
Makanan. 
(4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1 
(satu) kali untuk jangka waktu yang sama. 
 
 
(5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75 
huruf k. 
(6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan 
untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan 
kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara 
Republik Indonesia dalam waktu paling lama 5 (lima) hari 
terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan 
negeri setempat. 
(7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik 
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) 
menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai 
penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan 
dan pelatihan.  
 
Pasal 92 
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan 
penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika 
yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali 
dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah 
disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, 
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat 
disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan 
pendidikan dan pelatihan. 
(2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan 
daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau 
transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling 
lama 14 (empat belas) hari. 
(3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan 
pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya 
memuat: 
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah; 
b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, 
dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan; 
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai 
tanaman Narkotika; dan 
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan 
pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan 
pemusnahan. 

(4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak 
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian. 
(5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak 
dimusnahkan sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) 
disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan 
Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu 
pengetahuan dan teknologi. 
(6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak 
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan 
pelatihan. 
 
Pasal 93 
Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau 
tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain 
yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika 
tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan 
asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan 
peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau 
berdasarkan asas timbal balik. 
 
Pasal 94 
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara 
penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
 
Pasal 95 
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang 
pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan 
barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91. 
 
Pasal 96 
(1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah 
memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang 
sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 
91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik 
barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh 
Pemerintah. 
 

 
(2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan oleh pengadilan. 
 
Pasal 97 
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang 
pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan 
keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda 
istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang 
diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan 
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang 
dilakukan tersangka atau terdakwa. 
 
Pasal 98 
Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa 
seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, 
dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak 
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan 
terdakwa. 
 
Pasal 99 
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang 
bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika 
dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, 
dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal 
yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya 
identitas pelapor. 
(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan 
orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak 
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak 
melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1). 
 
Pasal 100 
(1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang 
memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan 
oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, 
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun 
sesudah proses pemeriksaan perkara. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan 
oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dengan Peraturan Pemerintah. 
  
 
Pasal 101 
(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang 
digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan 
Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan 
Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas 
untuk negara. 
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang 
beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan 
terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang 
bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari 
setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama. 
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang 
merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak 
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan 
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 
hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan 
untuk kepentingan: 
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan 
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan 
Prekursor Narkotika; dan 
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.  
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan 
harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak 
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
 
Pasal 102 
Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 
dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan 
perjanjian antarnegara. 
 
Pasal 103 
(1) Hakim  yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: 
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan 
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui 
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti 
bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau 

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan 
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui 
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak 
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi 
Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. 
 
BAB XIII 
PERAN SERTA MASYARAKAT 
 
Pasal 104 
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya 
untuk berperan serta membantu pencegahan dan 
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
Pasal 105 
Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya 
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
Pasal 106 
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan 
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor 
Narkotika diwujudkan dalam bentuk: 
a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya 
dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika; 
b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan 
memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi 
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada 
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak 
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung 
jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani 
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; 
 

d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya 
yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN; 
e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang 
bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir 
dalam proses peradilan. 
 
 
Pasal 107 
Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang 
atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau 
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
 
Pasal 108 
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam 
suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dengan Peraturan Kepala BNN. 
  
 
BAB XIV 
PENGHARGAAN 
 
Pasal 109 
Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum 
dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, 
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap 
Narkotika dan Prekursor Narkotika. 
 
 
Pasal 110 
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 

 
BAB XV 
KETENTUAN PIDANA 
 
Pasal 111 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, 
atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk 
tanaman, dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan 
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 
(delapan miliar rupiah). 
(2) Dalam hal  perbuatan menanam, memelihara, memiliki, 
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika 
Golongan I dalam  bentuk tanaman sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) 
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku 
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau  
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling 
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  ditambah 1/3 
(sepertiga). 
 
 
Pasal 112 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 
Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan 
pidana  penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling 
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, 
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 
(lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana penjara 
seumur hidup atau  pidana penjara paling singkat 5 (lima) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana 
denda maksimum sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) 
ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
 
Pasal 113 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan 
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana  penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima 
belas)  tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, 
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk 
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman 
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan 
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana 
penjara paling singkat 5 (lima) tahun  dan paling lama 20 
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 
(sepertiga). 
 
Pasal 114 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, 
menjadi  perantara dalam jual beli, menukar, atau 
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan 
pidana penjara seumur hidup atau pidana  penjara paling 
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp10.000.000.000,00  (sepuluh miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, 
membeli, menjadi  perantara dalam jual beli, menukar, 
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk 
tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 
5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman 
beratnya 5 (lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana 
mati, pidana penjara seumur hidup, atau  pidana penjara 
paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua 
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
Pasal 115 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito 
Narkotika Golongan I, dipidana  dengan pidana penjara 
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua 
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, 
atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya 
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang 
pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku  dipidana 
dengan pidana penjara seumur hidup atau  pidana penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua 
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
 
Pasal 116 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain 
atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan 
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu 
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 
(sepuluh miliar rupiah). 
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau 
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang 
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan 
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku  dipidana 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau  
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling 
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum 
sebagaimana  dimaksud pada ayat (1)  ditambah 1/3 
(sepertiga). 
 
Pasal 117 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana  penjara 
paling singkat  3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, 
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, 
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan 
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada  
ayat (1)  ditambah 1/3 (sepertiga). 
Pasal 118 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan 
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana  penjara 
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua 
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, 
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 
(lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana mati, pidana 
penjara seumur hidup, atau  pidana penjara paling singkat 
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1)  ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
Pasal 119 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, 
menjadi  perantara dalam jual beli, menukar, atau 
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan 
pidana  penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling 
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). 
 
 
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, 
membeli, menerima, menjadi  perantara dalam jual beli, 
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 
(lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana mati, pidana 
penjara seumur hidup, atau  pidana penjara paling singkat 
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
Pasal 120 
 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito 
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, 
atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram 
maka pelaku  dipidana dengan pidana penjara paling 
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
Pasal 121 
 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain 
atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan 
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 
4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan 
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 
(delapan miliar rupiah).  
  
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau 
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang 
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan 
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku  dipidana 
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau  
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling 
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 
(sepertiga). 
Pasal 122 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana  penjara 
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, 
menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, 
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
       
Pasal 123 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan  hukum 
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan 
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana  penjara 
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 
(enam ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, 
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 
(lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima 
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 

 
Pasal 124 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, 
menjadi  perantara dalam jual beli,  menukar, atau 
menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan 
pidana  penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling 
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, 
membeli, menerima, menjadi  perantara dalam jual beli, 
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 
(lima) gram, pelaku  dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima 
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
 
       
Pasal 125 
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito 
Narkotika Golongan III, dipidana  dengan pidana penjara 
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 
(empat ratus juta rupiah) dan paling banyak 
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, 
atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram 
maka pelaku  dipidana dengan pidana penjara paling 
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun 
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 
  
 
Pasal 126 
(1)   Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 
menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain 
atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan 
orang lain, dipidana  dengan pidana penjara paling singkat 
3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus 
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima 
miliar rupiah). 
(2)   Dalam  hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau 
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang 
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan 
orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda 
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 
1/3 (sepertiga). 
 
Pasal 127 
(1)   Setiap Penyalah Guna:  
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan 
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; 
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana 
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan 
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana 
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 
(2)   Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan 
Pasal 103. 
(3)     Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban 
penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib 
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 
 
Pasal 128 
(1)   Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup 
umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) 
yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana 
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda 
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 
  
 
(2)   Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah 
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.  
(3)   Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani 
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di 
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang 
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. 
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi 
standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.  
 
 
Pasal 129 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) 
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling 
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar  rupiah) setiap orang 
yang tanpa hak atau melawan hukum: 
a.  memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan 
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;  
b.  memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan 
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;  
c.  menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,  
menjadi  perantara dalam jual beli, menukar, atau 
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan 
Narkotika; 
d.  membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito 
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. 
 
Pasal  130 
(1)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, 
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, 
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, 
Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain 
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana 
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana 
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. 
 

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: 
a. pencabutan izin usaha; dan/atau 
b. pencabutan status badan hukum. 
 
 
Pasal 131 
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya 
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, 
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 
128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
 
 
Pasal 132 
(1)   Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan 
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 
113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, 
pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama 
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal-Pasal tersebut. 
(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 
116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 
126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana 
penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 
(sepertiga).  
(3)   Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan 
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana 
penjara 20 (dua puluh) tahun. 
 
 
Pasal 133 
(1)   Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan 
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, 
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, 
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, 
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk 
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, 
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, 
Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, 
Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati 
atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana  penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua 
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 
(2)     Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan 
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, 
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, 
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, 
atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk 
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara 
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima 
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 
 
Pasal 134 
(1)   Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan 
sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan 
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling 
banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). 
(2)   Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan 
Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana 
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda 
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 
 
 
 
Pasal 135 
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan 
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana 
dengan pidana penjara paling singkat  1 (satu) tahun dan 
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit 
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak  
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 
 
Pasal 136 
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang 
diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana 
Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda 
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak 
berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan 
untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana 
Prekursor Narkotika dirampas untuk negara. 
 
Pasal 137 
Setiap orang yang: 
a.  menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, 
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau 
menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, 
menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, 
harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda 
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak 
berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika 
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana  
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan 
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling 
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling 
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); 
b.  menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, 
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran 
investasi,  simpanan  atau  transfer,  hibah, waris, harta 
atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda 
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak 
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana 
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, 
dipidana  dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) 
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana 
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta 
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar 
rupiah). 
 
 
Pasal 138 
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit 
penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak 
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika 
di muka sidang pengadilan, dipidana dengan  pidana  penjara 
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak 
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
 Pasal 139  
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum 
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana  dengan pidana penjara paling 
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 
pidana denda paling sedikit  Rp100.000.000,00 (seratus juta 
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar 
rupiah). 
Pasal 140 
(1)   Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum 
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana  dengan pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit  
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 
(2)   Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan 
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 
90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), 
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1). 
 
Pasal 141 
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak 
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
91 ayat (1), dipidana  dengan pidana penjara paling singkat 1 
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana 
denda paling sedikit  Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 
dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  
  
 
Pasal 142 
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau 
secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban 
melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut 
umum, dipidana dengan  pidana  penjara paling lama 7 (tujuh) 
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 
(lima ratus juta rupiah). 
 
Pasal 143 
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam 
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor 
Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak  Rp 
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 
 
Pasal 144 
(1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun 
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 
119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 
124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 
ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya  ditambah 
dengan 1/3 (sepertiga).  
(2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak 
pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara 
seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. 
 
Pasal 145 
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika 
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, 
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, 
Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 
di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga 
ketentuan Undang-Undang ini. 

  
 
 
 
 
Pasal 146 
(1)   Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak 
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor 
Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana 
diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran 
keluar wilayah Negara Republik Indonesia. 
(2)   Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke 
wilayah Negara Republik Indonesia. 
(3)   Warga negara asing yang pernah melakukan tindak 
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor 
Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah 
Negara Republik Indonesia. 
 
Pasal 147 
Dipidana  dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun 
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling 
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi: 
a.  pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai 
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik 
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika 
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan 
kesehatan; 
b.  pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, 
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika 
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu 
pengetahuan; 
c.  pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi 
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan 
pengembangan ilmu pengetahuan; atau 
d.  pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan 
Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan 
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan 
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan 
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan 
pengembangan ilmu pengetahuan. 
 
 
Pasal 148 
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam 
Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak 
pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, 
pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar. 
BAB XVI 
KETENTUAN PERALIHAN 
 
Pasal 149 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 
a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan 
Peraturan Presiden Nomor  83 Tahun 2007 tentang Badan 
Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan 
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN 
provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-
Undang ini; 
b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali 
ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-
Undang ini; 
c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika 
Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden 
Nomor  83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN 
be