nusantara awal abad 16 21

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 21


 




rnya 

yang sedang kembali berkembang. 

Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, 

mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta 

hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri, 

Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan 

oleh Majelis Kerajaan, namun  Sunan Kalijaga menjagoi 

Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini 

sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi 

demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar. 

Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang 

balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya 

di Pasai telah meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti 

ke mana perginya. Dan Portugis lebih tidak peduli lagi. 

Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk 

membasahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak 

haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair. 

sesudah  Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut 

Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar 

lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka 

tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa 

datang ke Pasai atau langsung ke Malaka. 

Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh 

seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi, 

Atas Angin atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui 

pernaungan meriam-meriamnya. 

Dan kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka? 

Campang. Portugis akan mendatangi sumber-sumbernya. 

Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan 

ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten, 

Sunda Kelapa dan Cimanuk. 

Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan 

lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan 

dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan 

Pajajaran yang sendiri sudah merasa membutuhkan 

perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan 

kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama 

pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai sebab  kelainan 

agama? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis 

akan memberinya “perlindungan”. Kuasai bandar Banten 

dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak 

mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan 

Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaan-

kerajaan bandar di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah. 

Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan, 

gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk 

kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke 

tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan. 

Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat mayat i 

itu pun akan dapat dikuasainya. 

Portugis dalam usahanya untuk melaksanakan 

rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali 

“sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan 

“kantor dagang” di Sunda Kelapa. Dengan adanya “kantor 

dagang” Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri, 

sebab  “kantor” akan melindunginya dari serangan 

kerajaan-kerajaan lain. 

Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja 

Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak 

termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon 

perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan 

agamanya. 

Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah. 

Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap 

diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan, 

bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan 

demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama 

baru di dalam wilayah kekuasaannya. 

Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan 

penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri. 

Dan dengan upacara khidmat pihak Portugis dan 

Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah 

pihak mulai memahat lambang persetujuan dan 

persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk 

penggada. 

Demikianlah Portugis kembali ke Malaka membawa 

kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan 

meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan…. 

Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh 

Nusantara. Pajajaran sendiri mempunyai kepentingan 

menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu 

lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan 

persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran 

baginya. 

Jatuhnya Pasai segera terdesak oleh perjanjian 

persahabatan Portugis-Pajajaran. 

Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar 

terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan 

Demak. 

Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan 

membicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana 

saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak 

menjadi pertikaian-pertikaian. 

Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono 

yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri, 

lalu  diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap 

peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan 

sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai ge-

rayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak 

datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati 

lagi telah bermusyawarah dan membentuk utusan untuk 

menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang 

terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak 

dan musafir. 

Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian, 

mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para 

musafir mengagungkan Demak, sebab  keagungannya 

memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar 

peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau 

bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikian 

terjamin dan melindungi Demak sebagai negeri Islam 

pertama-tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti 

ancaman langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap 

tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan 

Islam. 

Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan 

dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan Islam 

yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaannya tak 

bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. namun  

kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan 

dan keleluasaan, sebab  adanya perlindungan, 

menyebabkan para musafir berkewajiban memperteduh 

perlindungan dengan jalan mengagungkan Demak. 

Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka 

stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir, 

bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan 

mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan 

kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang 

murni. 

Pertikaian lalu  dicampuri oleh kerajaan. Golongan 

besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan 

melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan 

kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh 

golongan besar, mereka lalu  menjadi punggawa 

kerajaan belaka. 

Sejak itu Demak tak punya musafir lagi. 

Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di 

pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan 

hubungan dengan Demak dan menjadi muballigh bebas. 

Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga 

Sultan sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa. 

Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada 

henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan 

Demak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk 

menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu 

dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan Demak 

ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman. 

Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada 

umumnya merugikan Demak. Insinyur dan tukang-tukang 

kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang 

membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja 

yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang 

dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek 

kembali Demak sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman 

sebab  takut pada armada Portugis, lebih suka berkubang 

dalam lumpur tanah tandur pedalaman dibandingkan  

menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang 

selama ini menyumbang iuran tahunan untuk 

pembangunan armada, menyumpah-nyumpah sebab  

merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir 

lainnya yang menyatakan berlindung di bawah Demak 

tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan 

menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya. 

Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini. 

Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah 

tandu diusung meninggalkan Demak. Beberapa puluh 

orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di 

belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul. 

Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut 

membangunkan yang masih tidur. 

Di atas tandu adalah Gusti Ratu Aisah, biasa disebut 

Ngaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah 

almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono. 

Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke Jepara. 

Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan 

ibunya tertumbuk pada jalan buntu. Gusti Ratu Aisah harus 

menyingkir sebab  tak mau tahu lagi tentang Demak. 

Bahwa Jepara jadi tujuan adalah sebab  itulah tempat 

putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa Gusti Ratu 

berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa, 

bahwa…. 

Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain 

artinya dibandingkan , bahwa Trenggono tak ada niat untuk 

menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun, 

baik di darat atau lautan. 

Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk 

apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan 

dibiarkan tenggelam sebab  tak terawat? 

Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula 

berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu 

masih banyak disangsikan, sebab  seorang Sultan di Demak 

takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis. 

Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka 

bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah 

terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, kafir. 

Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit. 

Pasukan kuda Demak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya 

menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama 

didirikan, sebab  sebelumnya hampir-hampir tak terdapat 

kuda di Demak. Sultan Al-Fattah yang membangunkannya 

dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin 

dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam 

Atas Angin. 

Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi. 

Pajajaran mengadakan pesta agung…. 

21 Agustus 1522 

Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di 

bandar Sunda Kelapa. Di antara mereka terdapat dutanya: 

Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian 

Portugis-Pajajaran. 

Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan 

berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dielu-

elukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan 

wakil Prabu Sedah. 

Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan 

beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada 

keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari 

para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan, 

menghadap Sri Baginda. 

Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka. 

Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas 

perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan 

tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan 

sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah 

mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan 

yatim-piatu. 

Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk 

mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan 

permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan. 

Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik 

dari Eropa. 

Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh 

Pangeran Sunda Kelapa. 

Di bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah 

umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya 

didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran, pahatan 

bersama antara dua belah pihak. 

Henrique Leme dengan regu musik yang sangat 

sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan 

Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain 

pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan 

terjemahan Melayu. 

Dengan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah 

menjadi kenyataan. 

Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan 

untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran 

mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendapat 

serangan dari luar. 

Pesan-memesan selesai. 

Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas 

kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka 

bertaburan di sekeliling para tamu, lalu  bertaburan 

lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi 

dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang 

laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu 

nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan 

dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau 

mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit 

yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih, 

lalu  di bawahnya pegunungan yang tiada habis-

habisnya. 

Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu 

mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera memainkan 

musik yang menggelora…. 

Itulah berita yang kembali menggoncangkan Demak. 

Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang 

pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak 

jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya 

berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak 

berani terhadap Peranggi? Bukankah perbuatan Portugis di 

Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap 

Islam, dan sebab nya terhadap khalifah Demak? Dan apa 

pula gunanya armada besar yang telah makan biaya begitu 

banyak? 

Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu. 

Dari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda: 

“Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang 

dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah 

karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama 

tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun 

bakal mengancam, kita akan membelanya, sebab  modal 

pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat 

sesuatu.” 

Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan 

bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan Peranggi 

sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang 

ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka 

sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran 

sebab  ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah 

tua, suaranya sayup-sayup datang dari Jepara. Wanita tua 

itu adalah Gusti Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh 

alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak 

tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali 

Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. 

Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang 

siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, 

Unus yang mengatakan itu”. 

Pertikaian itu lalu  berpusat dalam keluarga raja 

sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan Gusti 

Ratu Aisah di lain pihak. 

Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari 

kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan, 

menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana – air 

dan tanah, laut dan darat. 

sesudah  terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak 

membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya, 

terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya 

untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan 

pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan 

yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan, 

bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun Demak akan 

jadi besar dan jaya. 

namun  dari Jepara ibundanyalah yang membuka suara 

lebih dulu: “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang 

dapat menghalau Peranggi, musuhnya, dengan pasukan 

darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya 

sendiri, bukan musuhnya”. 

Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun 

laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya 

dari Demak sedang di ambang pintu: Demak akan 

meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang. 

Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar Demak 

wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya 

selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga 

di Demak sendiri. 

Tapi apakah yang dilakukan wanita yang telah 

kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya? 

Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong 

utusan menghadap ke Jepara membawa persembahan, 

sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat 

bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi. 

Dan wanita tua itu justru membisu. 

Di desa-desa pinggiran negeri Demak, penduduk mulai 

pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang. 

Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan 

terhadap hak milik kafir, pemuda-pemuda desa 

meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk 

menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat 

Demak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung 

menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda. 

Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: 

antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan 

pertanyaan lalu  yang timbul: Adakah Sultan akan 

mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana 

ia telah melakukannya terhadap abang-kandungnya. 

Pangeran Seda  Lepen? 

Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan 

prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu. 

Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan 

terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan 

daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada 

di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam 

latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil 

memainkan pedang menghajar boneka yang digantungkan 

pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan 

ini. 

Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia 

berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh 

dibandingkan  pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!” 

Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan 

merubungnya, semua di atas kuda masing-masing. 

“Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan 

debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke 

bumi, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada 

satu tapak kaki orang Peranggi pun nampak. Juga tapak-

tapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah 

lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.” 

“Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran? Mereka 

tak punya pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya 

hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa 

tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono 

dengan sumpahnya ini….” 

Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada 

ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti, 

kebebasan mereka sedang dalam ancaman. 

Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada 

membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada – 

bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata 

begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak 

sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhormat itu 

meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa membisu 

tanpa mengatakan sesuatu? 

Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika 

mendengarnya. namun  pada kesempatan lain, di tengah-

tengah pasar bandar Jepara, ia berkata: “Tidak percuma 

wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi memang banyak 

yang merasa percuma mempunyai ibu”. 

Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih 

Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata 

keras: ‘Tidak percuma seorang anak punya ayah. 

Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan 

ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap 

musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk 

kejayaan Demak. Siapa yang belum pernah dengar nama 

Demak di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”. 

Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia 

mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak 

mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan 

kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan 

melangkah tiga kali. Pajajaran belah”. 

Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih 

memperhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin 

keras melantang. Trenggono punya kekuatan bersenjata, 

Aisah hanya punya kebijaksanaan. 

Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa 

suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya 

di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan 

keprajaan? Bukan sabda seorang Sultan? Hanya ucapan 

pribadi semata? 

Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan kata-

kata, namun  dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak 

didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri. 

Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia. 

Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia 

dibandingkan  kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan 

kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit 

dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun 

segan melatai untuk tempat bercengkemayat  pun kerajaan itu 

tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya 

menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat 

menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah 

dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi 

dari depan. Demak bukan Malaka, bukan Pasai. Pada suatu 

kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang 

setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di mana-

mana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono: 

darat akan dikuasai, laut akan dirajai, sebab … Gusti Ratu 

Aisah tidak sia-sia melahirkannya….” 

Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para 

pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman 

Demak. 

Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan kawula 

bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing, 

mengeluarkan dari rumpun bambu. 

Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya 

mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang 

bertombak bambu runcing. 

Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok: 

“Saksikan bagaimana macan Peranggi akan terguling di 

bawah tombak Trenggono, Sultan Demak”. 

Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan 

jantung perburuan. namun  binatang itu tak meneruskan 

jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang 

harimau menjondil, mengaum dalam kegemayat n. Tak 

peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia 

melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek 

dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah 

bermandi darah dan kepungan rantas. 

Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk 

menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya telah tewas 

tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada 

tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke 

dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya 

sendiri dan anaknya yang telah mati. 

“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono 

Demak. Serahkan binatang itu pada kami.” 

Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan 

kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke 

ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai 

perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan 

nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah 

jalan, takkan menyelesaikan garapan. 

sesudah  perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan 

sebab  Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan 

sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap 

pertikaian sudah selesai. 

Ternyata tidak demikian. 

Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar 

telah menyebabkan Trenggono bicara lagi. 

Sembah pembesar itu: “Sudahkah Gusti Kanjeng Sultan 

pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya 

oleh seorang anak desa bernama Wirangmandala ?” 

Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab. 

Ia tarik-tarik dagunya, lalu  menjawab lantang: 

“Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh 

Gajah Mada di jaman jahiliah dulu? Ingat-ingat kesalahan 

Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk 

kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja 

dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai 

modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang 

diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban mengutuknya. Ilmu 

dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah 

padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang 

menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya. 

Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang 

dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada 

jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, sebab  Sultan 

Trenggono tidak akan pernah demikian”. 

Ratu Aisah tetap membisu. 

Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. sesudah  

wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke 

Mantingan dari Jepara. 

Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan 

Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang, 

bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukang-

tukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana 

membikin batu dan membangun rumah dari batu. Maka 

mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh 

Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang 

dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu 

berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat 

Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus 

untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka 

membatalkan niat itu. 

Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup 

dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undak-

undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap 

termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar 

dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru 

sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi 

dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan 

penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. 

Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun 

Mantingan tak lain dibandingkan  Babah Liem Mo Han. 

Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah 

dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai 

itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan 

pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak. 

“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan 

terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum 

Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan 

menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang 

Peranggi? Babah mengenal sendiri putraku almarhum. 

Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia 

gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi 

pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. 

Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. 

Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah 

kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi 

bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum, 

dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu, 

Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku 

sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan 

berakibat panen yang sebaliknya”. 

Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan 

dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri 

pikiran Gusti Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu 

sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki 

tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak. 

Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu 

dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka. 

Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan 

Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap 

memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan 

Portugis memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu 

Aisah. 

Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki. 

0o-dw-o0 

 

Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku 

kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti 

biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang 

tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di 

bawahnya duduk seorang perempuan Melayu. 

Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata 

dalam Melayu: “Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri 

seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh, 

datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat 

Peranggi yang sehina ini isinya? Tidak, perempuan Melayu, 

tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. 

Sampaikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di 

Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami 

dengan Gusti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh 

Jawa. Gusti Kanjeng Sultan tak membutuhkan meriam 

Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri 

akan datang menggambar Malaka”. 

Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan 

Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun 

tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah 

sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara. 

Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan 

melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap 

bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan 

antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa 

bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan 

itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati 

untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka 

akan bergabung tanpa ragu-ragu. namun  Trenggono 

mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan 

yang takkan menyatu akibatnya. 

O0dwoO 

 

Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan 

sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu 

berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada 

pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya; 

wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan 

menolak tawaran meriam. 

Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, 

pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap 

Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya: 

Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan. 

Maka diputuskanlah: belum masanya untuk 

melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di 

Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari 

Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat. 

Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan. 

Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan 

berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar 

mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga 

wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, 

menyelamatkan namanya dari kecaman umum. namun  ia 

pun menjadi murka sebab  perempuan itu berani begitu 

lancang bicara atas namanya. 

Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui 

tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus 

mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari 

seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri 

adalah seorang anak. 

Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, 

akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar 

mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan. 

Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam 

iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke 

Jepara untuk bersujud pada Gusti Ratu Aisah. Orang harus 

mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada 

pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan 

perdamaian. 

Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan 

kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal 

dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan 

antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup 

baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap 

pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni 

bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan 

perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengah-

tengah, di depan Sultan. 

Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan 

pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan 

mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan. 

Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling 

kota – suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah 

sebelumnya dalam sejarah Jepara. 

Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk 

mendapat Gusti Ratu Aisah. 

Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan 

kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu 

seakan sedang mengepungnya. 

Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai 

duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di 

hadapannya – lebih tinggi, sebab  dialah Sultan. 

Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan 

selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias 

kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning 

dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas 

dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening – 

juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan 

mengenakan terompah kulit. 

Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan 

menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat 

mendatang dan jauh di lalu  hari – pertemuan antara 

ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan 

pendapat. 

Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning 

dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas 

pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan 

senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan 

suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda 

Baginda Sultan adalah laksana simayat n air sejuk di hati 

bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda 

Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum 

Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si 

tua-renta ini hanya anak seorang rsi  agama di pesisir.” 

“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih 

agar tak terulang lagi yang telah ibunda Ratu ucapkan pada 

kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada 

almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya?” 

“Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang 

ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan 

tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga 

itu. 

“Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda 

Ratu.” 

“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang 

lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih 

dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai sebab  apa 

yang telah dipersembahkannya pada ibunya.” 

“Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, 

untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu,” kata 

Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di 

luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono 

dan Demak”. 

“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda 

almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan 

Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”. 

“Baru di tangan Trenggono mendapatkan bentuknya”. 

“Syukurlah. Allah telah mengabulkan”. 

“Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah 

mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki 

Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa 

ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda 

Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya Allah. 

Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam 

tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.” 

“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah 

lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda 

Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di 

atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda 

dilahirkan di pesisir Gresik maka tahu tentang pasir.” 

Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: “Tak 

sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan 

memperolehnya.” 

“Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah 

utara sana.” 

“Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.” 

“Mungkinkah Putranda Baginda Sultan? Mungkinkah 

tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah 

kehidupan tak ada di dalamnya?” 

“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono 

memotong gusar. 

“… sebab  nadi darah kehidupan mengalir adalah selat 

Semenanjung di utara sana?” 

“Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah 

kehidupan ada di selat, sebab  Demaklah jantung 

kehidupan”. 

“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan 

dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah?” 

“sebab  tanah dapat digenggam, dan air tidak”. 

“Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya, 

darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak 

tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada 

darat?” 

Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan 

tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya. 

“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”. 

“Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan 

mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia 

takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah. 

Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan 

itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu 

ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?” 

“Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya 

dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini 

memang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya 

Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau 

Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu 

jua sahaya pohon.” 

“Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya 

telah raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan 

akan segera pergi sebab  marah, “tak ada indahnya sebuah 

kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang 

jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, sebab  tiada 

mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat 

merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak 

tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi 

meninju. Dia hanya akan gerayangan.” 

Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah 

beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga 

belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo. 

Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga. 

“Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada 

rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, 

dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaik-

baiknya, pula.” 

Trenggono berpaling ke belakang pada para 

pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan 

Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya. 

“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan 

mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari 

tenggelam, agar surya tetap memancar di atas kepala, di 

atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum… Peranggi 

tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu 

merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah 

digenggamnya.” 

“Dan pada waktu itu Kakandamu Unus almarhum 

pulang membawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat 

sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan 

kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara. 

Sekarang Peranggi lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa 

bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari 

depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani, 

tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan 

Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak 

berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri 

bukan musuhnya”. 

“Ibunda Ratu….” 

“Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa 

berpendapat menguasai Jawa lebih penting dibandingkan  

menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu, 

sebab  sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu telah 

menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi 

sudah sejak dalam kandungan ibunya.” 

“Peranggi akan dihadapi di darat.” 

“Hampir setiap bocah mengatakan begitu”. 

“Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono 

menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di 

mana kesanggupan kalian”. 

“Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan 

untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli 

Kanjeng Gusti Sultan”, seseorang mempersembahkan. 

“Begitu Unus wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa 

mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda 

Demak. “Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah 

mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blambangan. Apa 

bakal terjadi lusa?” 

“Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono, 

Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan: 

Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih 

hidup”. 

Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati 

Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium. 

Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan 

mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak 

bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan 

dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu 

berkaca-kaca. 

Trenggono tak berani menentang mata itu dan 

menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada 

lagi jarak antara ibu dan anak. 

Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang 

hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah: 

“Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun. 

Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak 

lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah 

racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak 

waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan 

racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.” 

Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari 

mukanya Mukanya masih tetap menunduk. 

“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli 

dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan 

tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam? Mata yang 

jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang 

jernih.” 

‘Tak taulah aku kapan Allah akan memanggil diri. Rasa-

rasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, 

Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau 

kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada 

sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan 

suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan 

pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas 

Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada 

raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum 

menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan 

kecewakan setiap dan semua orang.” 

Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi, 

orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. 

Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya. 

0odwo0 

 

28. Tuban dalam Suasana Baru 

Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan 

kedamaian – kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban 

mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin 

pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya 

yang lengkap: Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang 

Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin 

pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam 

sebutan. 

Pasar kota dan pasar bandar mayat i kembali seperti 

sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, 

pulih kembali. 

Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban 

mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di 

Malaka ataupun Pasai. 

Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi 

menutup kemerosotan besar. 

Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang 

Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap 

segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau 

berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. 

Bercengkemayat  di taman kesayangan di tentang kandang 

gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni 

dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya. 

Dan di kadipaten sendiri tengkorak  tak pernah muncul lagi 

dari tariannya. 

Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang 

Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan 

dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat 

dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah 

tidak bisa tegak lagi. 

Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah 

tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang 

merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang 

mengganggunya: penyesalan sebab  saudara sepupunya 

yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak 

layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama 

Wirangmandala . Juga penyesalannya telah membohongi 

Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya 

dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas 

Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi 

pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan 

sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wirangmandala . 

Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu 

jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan 

nama tengkorak . Semestinya dia segera ditumpas sesudah  

adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan 

mayat  arwah  mendiang. Dan cemburunya masih juga 

dapat dirasainya sebab  anak itu ternyata dihormati, 

dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah 

pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal 

mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang 

itu…. 

Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun 

dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu 

tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak 

desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati 

Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam 

ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari 

penghadapan pertama sesudah  padamnya kerusuhan Rangga 

Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa 

penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam 

bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali 

ke Tuban Kota oleh Wirangmandala . Namun pendopo itu 

tetap tiada berpenghadap. 

Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. 

Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya 

yang semula. Gapura kadipaten telah berdiri kembali dan 

rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari. 

Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan 

kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar 

dan kepala-kepala pasukan, juga Wirangmandala , datang 

bersimpuh menghadap. 

Seorang punggawa telah datang menghadap padanya, 

mempersembahkan datangnya para penghadap. 

Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu 

bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga. 

Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai 

kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas 

anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar 

rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa 

menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan 

dirinya sebagai adipati. 

Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan 

kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah 

berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya telah putih 

dan jalan tak tegak lagi. 

Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana 

gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi 

itu. 

Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut 

melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun 

kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya 

redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan 

tergantung. 

Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai 

patihnya, sebab  dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai 

seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. 

pada siapa saja, pada semua. 

“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami 

di pedalaman?” 

Dan semua penghadap melihat pada Wirangmandala , Sang 

Patih Senapati Tuban. 

Dengan hati berat Wirangmandala , Patih Senapati tanpa 

pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah 

sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, lalu  

meneruskan dengan sangat hati-hati: “Sunan Rajeg telah 

kedapatan tewas dalam gua Gowong beserta pengikut-

pengikutnya terakhir. Gusti Adipati Tuban sembahan 

patik.” 

“Siapa mempersembahkan itu?” 

“Patik, Gusti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si 

Wirangmandala ”. 

“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama 

yang mempersembahkan?” 

“Telah hamba bunuh Patih Tuban sebab  keragu-

raguannya.” 

“Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban?” 

“Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” Kala 

Cuwil menengahi. “Adapun Sang Patih Senapati Tuban 

Wirangmandala  telah tumpas kerusuhan besar itu, Gusti. 

Ampunilah dia sebab  tiada tahunya tentang adat praja 

maka telah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di 

hadapan duli Gusti Adipati. Ampun, Gusti, memang besar 

keragu-raguanlah yang telah menewaskan Gusti Patih 

almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk 

kemenangan Tuban. Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih 

Senapati Tuban Wirangmandala  dikukuhkan oleh Gusti 

Adipati akan jabatannya itu”. 

“Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak 

lain dari Senapati Wirangmandala  yang merajang-rajang 

balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai 

berkeping-keping, Gusti, tak berdaya dan binasa, musnah”. 

Banteng Wareng menambahkan. 

“Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana 

pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si 

pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun 

tegap. 

Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi 

tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah 

kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan 

penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar 

keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang 

masih juga duduk menekur tak tahu apa harus 

diperbuatnya. 

“Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat 

terhormat itu?” 

Wirangmandala  menyembah, lalu  beringsut-ingsut 

duduk dengan para kepala pasukan. 

Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang 

Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di 

samping rangkum. 

“Siapakah orangnya yang mendapatkan dia pada barisan 

kepala  pasukan?” Sang Adipati menetak lagi dengan suara 

lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin. 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik”, kata 

Kala Cuwill “adapun Wirangmandala  telah menempati 

tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”. 

“Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan 

semacam itu?” 

Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan 

beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar 

praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah. 

Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu 

lama dan tak bakal habis. 

Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan 

semua mata terarah kepadanya. 

“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya Gusti 

Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin 

berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun 

nasihat”. 

“Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban”. 

Dan Wirangmandala  mengangkat sembah lagi, beringsut 

ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di 

pelataran. 

“Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, sebab  

kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan 

perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban 

dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat 

kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan 

kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban”. 

Kala Cuwil beringsut maju sambil menyembah. 

“Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di 

alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang. 

Beruntunglah dia sebab  keluarganya tiada ikut tertumpas. 

Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?” 

Sang Adipati menunggu sokongan dari semua 

penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh 

penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak 

ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan. 

lalu  ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi 

dan minta pendapatnya. 

“Ampun, Gusti, tak ada pelancang di antara kawula 

Sang Adipati  sembah Kala Cuwil. 

”Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukuman 

yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana 

pembangkang harus jalani hukumannya?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang 

Patih Tuban almarhum”, Kala Cuwil bersembah dengan 

gugup, “telah menjalani hukumannya sebagai 

pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih 

Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan 

dan menjatuhkan hukuman yang dititahkan terhadap 

senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri 

hukumannya dengan sukarela”. 

“Apa hukuman yang patut untuknya?” 

Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: “Patih 

Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu. 

Senapatiku, Wirangmandala , apakah hukuman yang patut 

untukmu?” 

Dari tempatnya di pelataran pendopo Wirangmandala  

menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut. 

Hanya, bila Wirangmandala  ini akan dihukum juga”, 

serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih 

almarhum dengan sebaik-baiknya dulu”. 

“Usir dia dari Tuban!” bisik Sang Adipati gemetar. 

“Direjam sampai mati, Gusti Adipati yang bijaksana”, 

Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, “seorang pelancang 

adalah juga pengkhianat”. 

Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil 

Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk 

menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheran-

heran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya 

dan ikut masuk ke dalam kadipaten. 

Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada 

penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka 

membubarkan diri dan mengerumuni Wirangmandala . Semua 

menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa 

jenasah Sang Patih Tuban. 

Ia menolak. 

“Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih 

mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar 

hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya 

terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku 

akan kembali”. 

“Kami akan antarkan”. 

“Apakah yang dapat kami sumbangkan?” 

“Senapatiku! Senapatiku!” 

“Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik 

dengan abah-abahnya yang baik pula”. 

0o-dw-o0 

 

sesudah  melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah 

dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan 

semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala 

Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali 

kuda. 

“Sepeninggalku, Kala Cuwil”, ia berpesan pada 

sahabatnya “awaslah pada Demak. rsi ku, mayat  arwah , 

sudah lebih dahulu memperingatkan”. 

“Panglimaku!” Kala Cuwil tak mampu meneruskan. 

Wirangmandala  melompat ke atas kudanya. 

“Senapatiku, mari kami antar”. 

“Jangan”. 

“Senapatiku tak membawa sesuatu pun, pedang tidak, 

tombakpun tidak.” 

Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak 

menerimanya. 

“Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan 

senjata”. 

Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: “Tak 

mungkin Tuban tanpa Senapatiku”. 

Wirangmandala  mencambuk kudanya dan hilang di balik 

debu jalanan di kejauhan. 

0o-dw-o0 

 

Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang 

Adipati. Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu – 

seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang 

ningrat keturunan maha Majapahit. Dia berani mengangkat 

diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua 

aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukuman 

terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala 

pasukan berontak terhadap dirinya. 

Beban lain yang memberati hati Sang Adipati adalah 

hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak. 

Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi 

menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia 

sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban sesudah  

dirinya? Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar 

Adipati? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakan-

kemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi 

yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat d