nusantara awal abad 16 21
rnya
yang sedang kembali berkembang.
Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai,
mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta
hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri,
Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan
oleh Majelis Kerajaan, namun Sunan Kalijaga menjagoi
Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini
sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi
demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar.
Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang
balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya
di Pasai telah meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti
ke mana perginya. Dan Portugis lebih tidak peduli lagi.
Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk
membasahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak
haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair.
sesudah Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut
Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar
lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka
tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa
datang ke Pasai atau langsung ke Malaka.
Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh
seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi,
Atas Angin atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui
pernaungan meriam-meriamnya.
Dan kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka?
Campang. Portugis akan mendatangi sumber-sumbernya.
Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan
ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten,
Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan
lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan
dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan
Pajajaran yang sendiri sudah merasa membutuhkan
perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan
kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama
pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai sebab kelainan
agama? Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis
akan memberinya “perlindungan”. Kuasai bandar Banten
dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak
mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan
Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaan-
kerajaan bandar di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah.
Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan,
gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk
kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke
tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan.
Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat mayat i
itu pun akan dapat dikuasainya.
Portugis dalam usahanya untuk melaksanakan
rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali
“sahabat lama” Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan
“kantor dagang” di Sunda Kelapa. Dengan adanya “kantor
dagang” Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri,
sebab “kantor” akan melindunginya dari serangan
kerajaan-kerajaan lain.
Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja
Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak
termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon
perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan
agamanya.
Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah.
Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap
diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan,
bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan
demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama
baru di dalam wilayah kekuasaannya.
Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan
penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri.
Dan dengan upacara khidmat pihak Portugis dan
Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah
pihak mulai memahat lambang persetujuan dan
persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk
penggada.
Demikianlah Portugis kembali ke Malaka membawa
kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan
meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan….
Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh
Nusantara. Pajajaran sendiri mempunyai kepentingan
menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu
lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan
persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran
baginya.
Jatuhnya Pasai segera terdesak oleh perjanjian
persahabatan Portugis-Pajajaran.
Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar
terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan
Demak.
Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan
membicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana
saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak
menjadi pertikaian-pertikaian.
Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono
yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri,
lalu diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap
peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan
sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai ge-
rayangan ke Jawa? Sikap itu semakin ditunggu semakin tak
datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati
lagi telah bermusyawarah dan membentuk utusan untuk
menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang
terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak
dan musafir.
Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian,
mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para
musafir mengagungkan Demak, sebab keagungannya
memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar
peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau
bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikian
terjamin dan melindungi Demak sebagai negeri Islam
pertama-tama di Jawa? Masuknya Peranggi ke Jawa berarti
ancaman langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap
tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan
Islam.
Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan
dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan Islam
yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaannya tak
bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. namun
kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan
dan keleluasaan, sebab adanya perlindungan,
menyebabkan para musafir berkewajiban memperteduh
perlindungan dengan jalan mengagungkan Demak.
Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka
stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir,
bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan
mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan
kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang
murni.
Pertikaian lalu dicampuri oleh kerajaan. Golongan
besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan
melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan
kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh
golongan besar, mereka lalu menjadi punggawa
kerajaan belaka.
Sejak itu Demak tak punya musafir lagi.
Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di
pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan
hubungan dengan Demak dan menjadi muballigh bebas.
Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga
Sultan sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa.
Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada
henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan
Demak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk
menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu
dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan Demak
ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman.
Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada
umumnya merugikan Demak. Insinyur dan tukang-tukang
kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang
membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja
yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang
dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek
kembali Demak sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman
sebab takut pada armada Portugis, lebih suka berkubang
dalam lumpur tanah tandur pedalaman dibandingkan
menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang
selama ini menyumbang iuran tahunan untuk
pembangunan armada, menyumpah-nyumpah sebab
merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir
lainnya yang menyatakan berlindung di bawah Demak
tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan
menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya.
Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini.
Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah
tandu diusung meninggalkan Demak. Beberapa puluh
orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di
belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul.
Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut
membangunkan yang masih tidur.
Di atas tandu adalah Gusti Ratu Aisah, biasa disebut
Ngaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah
almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono.
Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke Jepara.
Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan
ibunya tertumbuk pada jalan buntu. Gusti Ratu Aisah harus
menyingkir sebab tak mau tahu lagi tentang Demak.
Bahwa Jepara jadi tujuan adalah sebab itulah tempat
putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa Gusti Ratu
berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa,
bahwa….
Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain
artinya dibandingkan , bahwa Trenggono tak ada niat untuk
menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun,
baik di darat atau lautan.
Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk
apakah armada besar yang dipersiapkan itu? Apakah akan
dibiarkan tenggelam sebab tak terawat?
Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula
berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu
masih banyak disangsikan, sebab seorang Sultan di Demak
takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis.
Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka
bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah
terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, kafir.
Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit.
Pasukan kuda Demak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya
menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama
didirikan, sebab sebelumnya hampir-hampir tak terdapat
kuda di Demak. Sultan Al-Fattah yang membangunkannya
dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin
dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam
Atas Angin.
Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi.
Pajajaran mengadakan pesta agung….
21 Agustus 1522
Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di
bandar Sunda Kelapa. Di antara mereka terdapat dutanya:
Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian
Portugis-Pajajaran.
Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan
berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dielu-
elukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan
wakil Prabu Sedah.
Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan
beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada
keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari
para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan,
menghadap Sri Baginda.
Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka.
Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas
perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan
tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan
sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah
mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan
yatim-piatu.
Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk
mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan
permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan.
Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik
dari Eropa.
Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh
Pangeran Sunda Kelapa.
Di bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah
umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya
didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran, pahatan
bersama antara dua belah pihak.
Henrique Leme dengan regu musik yang sangat
sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan
Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain
pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan
terjemahan Melayu.
Dengan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah
menjadi kenyataan.
Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan
untuk mendirikan “kantor dagang”. Pihak Pajajaran
mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendapat
serangan dari luar.
Pesan-memesan selesai.
Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas
kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka
bertaburan di sekeliling para tamu, lalu bertaburan
lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi
dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang
laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu
nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan
dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau
mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit
yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih,
lalu di bawahnya pegunungan yang tiada habis-
habisnya.
Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu
mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera memainkan
musik yang menggelora….
Itulah berita yang kembali menggoncangkan Demak.
Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang
pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak
jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya
berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak
berani terhadap Peranggi? Bukankah perbuatan Portugis di
Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap
Islam, dan sebab nya terhadap khalifah Demak? Dan apa
pula gunanya armada besar yang telah makan biaya begitu
banyak?
Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu.
Dari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda:
“Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang
dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah
karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama
tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun
bakal mengancam, kita akan membelanya, sebab modal
pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat
sesuatu.”
Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan
bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan Peranggi
sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang
ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka
sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran
sebab ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah
tua, suaranya sayup-sayup datang dari Jepara. Wanita tua
itu adalah Gusti Ratu Aisah: “Bukan hanya tanah, seluruh
alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak
tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali
Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar.
Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang
siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa,
Unus yang mengatakan itu”.
Pertikaian itu lalu berpusat dalam keluarga raja
sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan Gusti
Ratu Aisah di lain pihak.
Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari
kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan,
menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana – air
dan tanah, laut dan darat.
sesudah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak
membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya,
terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya
untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan
pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan
yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan,
bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun Demak akan
jadi besar dan jaya.
namun dari Jepara ibundanyalah yang membuka suara
lebih dulu: “Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang
dapat menghalau Peranggi, musuhnya, dengan pasukan
darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya
sendiri, bukan musuhnya”.
Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun
laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya
dari Demak sedang di ambang pintu: Demak akan
meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang.
Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar Demak
wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya
selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga
di Demak sendiri.
Tapi apakah yang dilakukan wanita yang telah
kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya?
Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong
utusan menghadap ke Jepara membawa persembahan,
sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat
bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi.
Dan wanita tua itu justru membisu.
Di desa-desa pinggiran negeri Demak, penduduk mulai
pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang.
Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan
terhadap hak milik kafir, pemuda-pemuda desa
meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk
menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat
Demak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung
menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda.
Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir:
antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan
pertanyaan lalu yang timbul: Adakah Sultan akan
mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana
ia telah melakukannya terhadap abang-kandungnya.
Pangeran Seda Lepen?
Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan
prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu.
Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan
terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan
daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada
di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam
latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil
memainkan pedang menghajar boneka yang digantungkan
pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan
ini.
Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia
berkata secara terbuka: “Tak ada yang lebih ampuh
dibandingkan pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!”
Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan
merubungnya, semua di atas kuda masing-masing.
“Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan
debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke
bumi, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada
satu tapak kaki orang Peranggi pun nampak. Juga tapak-
tapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah
lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.”
“Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran? Mereka
tak punya pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya
hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya? Barangsiapa
tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono
dengan sumpahnya ini….”
Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada
ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti,
kebebasan mereka sedang dalam ancaman.
Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada
membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada –
bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata
begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain? Tak
sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhormat itu
meninggal dalam kedamaian? Tidakkah ia bisa membisu
tanpa mengatakan sesuatu?
Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika
mendengarnya. namun pada kesempatan lain, di tengah-
tengah pasar bandar Jepara, ia berkata: “Tidak percuma
wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi memang banyak
yang merasa percuma mempunyai ibu”.
Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih
Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata
keras: ‘Tidak percuma seorang anak punya ayah.
Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan
ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap
musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk
kejayaan Demak. Siapa yang belum pernah dengar nama
Demak di pulau Jawa ini? Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali”.
Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia
mengatakan: “Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak
mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan
kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan
melangkah tiga kali. Pajajaran belah”.
Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih
memperhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin
keras melantang. Trenggono punya kekuatan bersenjata,
Aisah hanya punya kebijaksanaan.
Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa
suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya
di lapangan? Adakah dengan demikian nilainya bukan
keprajaan? Bukan sabda seorang Sultan? Hanya ucapan
pribadi semata?
Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan kata-
kata, namun dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak
didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri.
Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia.
Suaranya semakin gencar. “Tak ada yang lebih sia-sia
dibandingkan kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan
kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit
dan oleh ular di darat? Burung segan hinggap dan ular pun
segan melatai untuk tempat bercengkemayat pun kerajaan itu
tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya
menghasilkan ikan kecil? Tapi raja besar dan kuat
menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah
dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi
dari depan. Demak bukan Malaka, bukan Pasai. Pada suatu
kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang
setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di mana-
mana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono:
darat akan dikuasai, laut akan dirajai, sebab … Gusti Ratu
Aisah tidak sia-sia melahirkannya….”
Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para
pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman
Demak.
Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan kawula
bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing,
mengeluarkan dari rumpun bambu.
Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya
mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang
bertombak bambu runcing.
Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok:
“Saksikan bagaimana macan Peranggi akan terguling di
bawah tombak Trenggono, Sultan Demak”.
Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan
jantung perburuan. namun binatang itu tak meneruskan
jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang
harimau menjondil, mengaum dalam kegemayat n. Tak
peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia
melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek
dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah
bermandi darah dan kepungan rantas.
Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk
menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya telah tewas
tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada
tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke
dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya
sendiri dan anaknya yang telah mati.
“Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono
Demak. Serahkan binatang itu pada kami.”
Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan
kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke
ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai
perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan
nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah
jalan, takkan menyelesaikan garapan.
sesudah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan
sebab Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan
sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap
pertikaian sudah selesai.
Ternyata tidak demikian.
Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar
telah menyebabkan Trenggono bicara lagi.
Sembah pembesar itu: “Sudahkah Gusti Kanjeng Sultan
pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya
oleh seorang anak desa bernama Wirangmandala ?”
Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab.
Ia tarik-tarik dagunya, lalu menjawab lantang:
“Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh
Gajah Mada di jaman jahiliah dulu? Ingat-ingat kesalahan
Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk
kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja
dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai
modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban mengutuknya. Ilmu
dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah
padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang
menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya.
Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang
dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada
jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, sebab Sultan
Trenggono tidak akan pernah demikian”.
Ratu Aisah tetap membisu.
Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. sesudah
wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke
Mantingan dari Jepara.
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan
Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang,
bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukang-
tukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana
membikin batu dan membangun rumah dari batu. Maka
mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh
Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang
dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu
berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat
Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus
untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka
membatalkan niat itu.
Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup
dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undak-
undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap
termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar
dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru
sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi
dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan
penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun
Mantingan tak lain dibandingkan Babah Liem Mo Han.
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah
dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai
itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan
pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.
“Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan
terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum
Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan
menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang
Peranggi? Babah mengenal sendiri putraku almarhum.
Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia
gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi
pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal.
Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah
kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi
bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum,
dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu,
Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku
sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan
berakibat panen yang sebaliknya”.
Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan
dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri
pikiran Gusti Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu
sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki
tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak.
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu
dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka.
Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan
Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap
memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan
Portugis memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu
Aisah.
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki.
0o-dw-o0
Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku
kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti
biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang
tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di
bawahnya duduk seorang perempuan Melayu.
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata
dalam Melayu: “Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri
seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh,
datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat
Peranggi yang sehina ini isinya? Tidak, perempuan Melayu,
tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali.
Sampaikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di
Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami
dengan Gusti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh
Jawa. Gusti Kanjeng Sultan tak membutuhkan meriam
Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri
akan datang menggambar Malaka”.
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan
Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun
tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah
sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara.
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan
melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan
antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa
bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan
itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati
untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka
akan bergabung tanpa ragu-ragu. namun Trenggono
mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan
yang takkan menyatu akibatnya.
O0dwoO
Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan
sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu
berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada
pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya;
wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan
menolak tawaran meriam.
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya,
pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap
Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya:
Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.
Maka diputuskanlah: belum masanya untuk
melaksanakan pembukaan “kantor dagang” di Jawa, di
Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari
Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat.
Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan.
Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan
berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar
mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga
wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah,
menyelamatkan namanya dari kecaman umum. namun ia
pun menjadi murka sebab perempuan itu berani begitu
lancang bicara atas namanya.
Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui
tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus
mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari
seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri
adalah seorang anak.
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak,
akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar
mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan.
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam
iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke
Jepara untuk bersujud pada Gusti Ratu Aisah. Orang harus
mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada
pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan
perdamaian.
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan
kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal
dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan
antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup
baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap
pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni
bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan
perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengah-
tengah, di depan Sultan.
Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan
pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan
mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.
Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling
kota – suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah
sebelumnya dalam sejarah Jepara.
Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk
mendapat Gusti Ratu Aisah.
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan
kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu
seakan sedang mengepungnya.
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai
duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di
hadapannya – lebih tinggi, sebab dialah Sultan.
Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan
selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias
kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning
dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas
dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening –
juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan
mengenakan terompah kulit.
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan
menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat
mendatang dan jauh di lalu hari – pertemuan antara
ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan
pendapat.
Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning
dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas
pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan
senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan
suara lemah ia berkata: “Sembah dan sujud putranda
Baginda Sultan adalah laksana simayat n air sejuk di hati
bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda
Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum
Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si
tua-renta ini hanya anak seorang rsi agama di pesisir.”
“Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih
agar tak terulang lagi yang telah ibunda Ratu ucapkan pada
kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada
almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya?”
“Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang
ibu mengasihi semua putranya”, jawab Ratu Aisah, dan
tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga
itu.
“Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda
Ratu.”
“Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang
lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih
dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai sebab apa
yang telah dipersembahkannya pada ibunya.”
“Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu,
untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu,” kata
Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di
luar. “Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono
dan Demak”.
“Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda
almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan
Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan”.
“Baru di tangan Trenggono mendapatkan bentuknya”.
“Syukurlah. Allah telah mengabulkan”.
“Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah
mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki
Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa
ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda
Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya Allah.
Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam
tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.”
“Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah
lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda
Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di
atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda
dilahirkan di pesisir Gresik maka tahu tentang pasir.”
Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: “Tak
sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan
memperolehnya.”
“Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah
utara sana.”
“Yang di utara takkan berarti tanpa selatan.”
“Mungkinkah Putranda Baginda Sultan? Mungkinkah
tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah
kehidupan tak ada di dalamnya?”
“Tangan Trenggono bukan tangan bangkai!” Trenggono
memotong gusar.
“… sebab nadi darah kehidupan mengalir adalah selat
Semenanjung di utara sana?”
“Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah
kehidupan ada di selat, sebab Demaklah jantung
kehidupan”.
“Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan? Dan
dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah?”
“sebab tanah dapat digenggam, dan air tidak”.
“Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya,
darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak
tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada
darat?”
Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan
tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya.
“Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju”.
“Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan
mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia
takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah.
Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan
itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu
ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya?”
“Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya
dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini
memang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya
Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau
Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu
jua sahaya pohon.”
“Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya
telah raja,” kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan
akan segera pergi sebab marah, “tak ada indahnya sebuah
kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang
jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, sebab tiada
mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat
merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak
tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi
meninju. Dia hanya akan gerayangan.”
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah
beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga
belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo.
Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga.
“Ibunda Ratu”, terdengar Trenggono bicara dengan nada
rendah, “biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya,
dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaik-
baiknya, pula.”
Trenggono berpaling ke belakang pada para
pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan
Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.
“Ibunda Ratu,” katanya lagi. “Jari-jari putranda akan
mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari
tenggelam, agar surya tetap memancar di atas kepala, di
atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum… Peranggi
tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu
merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah
digenggamnya.”
“Dan pada waktu itu Kakandamu Unus almarhum
pulang membawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat
sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan
kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara.
Sekarang Peranggi lebih kuat,” kata Ratu Aisah tanpa
bahasa kias lagi, “selat mutlak di tangan dia, menutup hari
depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani,
tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan
Nusantara tanpa selat, apalah artinya? Mata jeli pun tidak
berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri
bukan musuhnya”.
“Ibunda Ratu….”
“Dengarkan Kakandamu almarhum: ‘Barangsiapa
berpendapat menguasai Jawa lebih penting dibandingkan
menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu,
sebab sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu telah
menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi
sudah sejak dalam kandungan ibunya.”
“Peranggi akan dihadapi di darat.”
“Hampir setiap bocah mengatakan begitu”.
“Maka darat harus dikuasai”, sekali lagi Trenggono
menengok ke belakang. “Kalian! Persembahkan sampai di
mana kesanggupan kalian”.
“Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan
untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli
Kanjeng Gusti Sultan”, seseorang mempersembahkan.
“Begitu Unus wafat”. Ratu Aisah meneruskan tanpa
mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda
Demak. “Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah
mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blambangan. Apa
bakal terjadi lusa?”
“Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono,
Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan:
Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih
hidup”.
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati
Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium.
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan
mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak
bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan
dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu
berkaca-kaca.
Trenggono tak berani menentang mata itu dan
menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada
lagi jarak antara ibu dan anak.
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang
hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah:
“Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun.
Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak
lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah
racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak
waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan
racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.”
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari
mukanya Mukanya masih tetap menunduk.
“Ibunda Ratu,” bisiknya kembali, “mata yang jeli
dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan
tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam? Mata yang
jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang
jernih.”
‘Tak taulah aku kapan Allah akan memanggil diri. Rasa-
rasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang,
Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau
kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada
sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan
suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan
pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas
Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada
raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum
menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan
kecewakan setiap dan semua orang.”
Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi,
orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca.
Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya.
0odwo0
28. Tuban dalam Suasana Baru
Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan
kedamaian – kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban
mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin
pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya
yang lengkap: Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang
Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin
pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam
sebutan.
Pasar kota dan pasar bandar mayat i kembali seperti
sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin,
pulih kembali.
Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban
mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di
Malaka ataupun Pasai.
Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi
menutup kemerosotan besar.
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang
Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap
segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau
berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten.
Bercengkemayat di taman kesayangan di tentang kandang
gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni
dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.
Dan di kadipaten sendiri tengkorak tak pernah muncul lagi
dari tariannya.
Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang
Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan
dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat
dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah
tidak bisa tegak lagi.
Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah
tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang
merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang
mengganggunya: penyesalan sebab saudara sepupunya
yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak
layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama
Wirangmandala . Juga penyesalannya telah membohongi
Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya
dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas
Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi
pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan
sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wirangmandala .
Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu
jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan
nama tengkorak . Semestinya dia segera ditumpas sesudah
adanya persembahan tentang “persekongkolannya” dengan
mayat arwah mendiang. Dan cemburunya masih juga
dapat dirasainya sebab anak itu ternyata dihormati,
dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah
pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal
mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang
itu….
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun
dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu
tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak
desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati
Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam
ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari
penghadapan pertama sesudah padamnya kerusuhan Rangga
Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa
penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam
bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali
ke Tuban Kota oleh Wirangmandala . Namun pendopo itu
tetap tiada berpenghadap.
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah.
Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya
yang semula. Gapura kadipaten telah berdiri kembali dan
rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari.
Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan
kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar
dan kepala-kepala pasukan, juga Wirangmandala , datang
bersimpuh menghadap.
Seorang punggawa telah datang menghadap padanya,
mempersembahkan datangnya para penghadap.
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu
bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga.
Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai
kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas
anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar
rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa
menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan
dirinya sebagai adipati.
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan
kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah
berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya telah putih
dan jalan tak tegak lagi.
Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana
gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi
itu.
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut
melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun
kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya
redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan
tergantung.
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai
patihnya, sebab dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai
seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja.
pada siapa saja, pada semua.
“Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami
di pedalaman?”
Dan semua penghadap melihat pada Wirangmandala , Sang
Patih Senapati Tuban.
Dengan hati berat Wirangmandala , Patih Senapati tanpa
pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah
sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, lalu
meneruskan dengan sangat hati-hati: “Sunan Rajeg telah
kedapatan tewas dalam gua Gowong beserta pengikut-
pengikutnya terakhir. Gusti Adipati Tuban sembahan
patik.”
“Siapa mempersembahkan itu?”
“Patik, Gusti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si
Wirangmandala ”.
“Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama
yang mempersembahkan?”
“Telah hamba bunuh Patih Tuban sebab keragu-
raguannya.”
“Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban?”
“Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” Kala
Cuwil menengahi. “Adapun Sang Patih Senapati Tuban
Wirangmandala telah tumpas kerusuhan besar itu, Gusti.
Ampunilah dia sebab tiada tahunya tentang adat praja
maka telah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di
hadapan duli Gusti Adipati. Ampun, Gusti, memang besar
keragu-raguanlah yang telah menewaskan Gusti Patih
almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk
kemenangan Tuban. Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih
Senapati Tuban Wirangmandala dikukuhkan oleh Gusti
Adipati akan jabatannya itu”.
“Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak
lain dari Senapati Wirangmandala yang merajang-rajang
balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai
berkeping-keping, Gusti, tak berdaya dan binasa, musnah”.
Banteng Wareng menambahkan.
“Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana
pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si
pelancang”, suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun
tegap.
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi
tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah
kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan
penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar
keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang
masih juga duduk menekur tak tahu apa harus
diperbuatnya.
“Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat
terhormat itu?”
Wirangmandala menyembah, lalu beringsut-ingsut
duduk dengan para kepala pasukan.
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang
Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di
samping rangkum.
“Siapakah orangnya yang mendapatkan dia pada barisan
kepala pasukan?” Sang Adipati menetak lagi dengan suara
lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin.
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik”, kata
Kala Cuwill “adapun Wirangmandala telah menempati
tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut”.
“Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan
semacam itu?”
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan
beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar
praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu
lama dan tak bakal habis.
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan
semua mata terarah kepadanya.
“Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya Gusti
Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin
berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun
nasihat”.
“Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban”.
Dan Wirangmandala mengangkat sembah lagi, beringsut
ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di
pelataran.
“Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, sebab
kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan
perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban
dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat
kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan
kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban”.
Kala Cuwil beringsut maju sambil menyembah.
“Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di
alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang.
Beruntunglah dia sebab keluarganya tiada ikut tertumpas.
Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang?”
Sang Adipati menunggu sokongan dari semua
penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh
penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak
ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan.
lalu ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi
dan minta pendapatnya.
“Ampun, Gusti, tak ada pelancang di antara kawula
Sang Adipati sembah Kala Cuwil.
”Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukuman
yang patut bagi pelancang? Dengarkan semua: bagaimana
pembangkang harus jalani hukumannya?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang
Patih Tuban almarhum”, Kala Cuwil bersembah dengan
gugup, “telah menjalani hukumannya sebagai
pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih
Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan
dan menjatuhkan hukuman yang dititahkan terhadap
senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri
hukumannya dengan sukarela”.
“Apa hukuman yang patut untuknya?”
Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: “Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu.
Senapatiku, Wirangmandala , apakah hukuman yang patut
untukmu?”
Dari tempatnya di pelataran pendopo Wirangmandala
menjawab dengan suara lantang: “Tidak ada yang patut.
Hanya, bila Wirangmandala ini akan dihukum juga”,
serunya, “perkenankan dia menanam mayat Sang Patih
almarhum dengan sebaik-baiknya dulu”.
“Usir dia dari Tuban!” bisik Sang Adipati gemetar.
“Direjam sampai mati, Gusti Adipati yang bijaksana”,
Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, “seorang pelancang
adalah juga pengkhianat”.
Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil
Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk
menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheran-
heran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya
dan ikut masuk ke dalam kadipaten.
Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada
penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka
membubarkan diri dan mengerumuni Wirangmandala . Semua
menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa
jenasah Sang Patih Tuban.
Ia menolak.
“Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih
mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar
hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya
terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku
akan kembali”.
“Kami akan antarkan”.
“Apakah yang dapat kami sumbangkan?”
“Senapatiku! Senapatiku!”
“Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik
dengan abah-abahnya yang baik pula”.
0o-dw-o0
sesudah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah
dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan
semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala
Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali
kuda.
“Sepeninggalku, Kala Cuwil”, ia berpesan pada
sahabatnya “awaslah pada Demak. rsi ku, mayat arwah ,
sudah lebih dahulu memperingatkan”.
“Panglimaku!” Kala Cuwil tak mampu meneruskan.
Wirangmandala melompat ke atas kudanya.
“Senapatiku, mari kami antar”.
“Jangan”.
“Senapatiku tak membawa sesuatu pun, pedang tidak,
tombakpun tidak.”
Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak
menerimanya.
“Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan
senjata”.
Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: “Tak
mungkin Tuban tanpa Senapatiku”.
Wirangmandala mencambuk kudanya dan hilang di balik
debu jalanan di kejauhan.
0o-dw-o0
Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang
Adipati. Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu –
seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang
ningrat keturunan maha Majapahit. Dia berani mengangkat
diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua
aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukuman
terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala
pasukan berontak terhadap dirinya.
Beban lain yang memberati hati Sang Adipati adalah
hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak.
Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi
menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia
sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban sesudah
dirinya? Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar
Adipati? Ia tak mampu bayangkan. Kemenakan-
kemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi
yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat d