nusantara awal abad 16 29

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 29


 




n diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi 

Peranggi datang.” 

“Senapatiku!” sela Rangkum, “telah kumasukkan dalam 

pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyak-

tanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak 

tahu. Bila ada halangan, pasti sebab  menghindari tentara 

Demak.” 

“Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celah-

celah bukit,” pengawal datang memperingatkan. 

Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan 

seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas 

kuda, menuju ke celah-celah bukit itu. 

“Nampak seperti orang desa biasa,” Banteng Wareng 

berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang prajurit.” 

“Prajurit Tuban,” kata Braja. 

“Seperti prajuritku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun 

anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang 

ditempuh orang.” 

Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di 

balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan. 

Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa 

sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka 

takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan 

pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang 

mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan, 

mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban. 

Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih 

mulia, tapi memang lebih unggul sebab  cara kerjanya. 

Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam 

kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun 

bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa. 

Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua 

prajurit Tuban memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad 

adalah dongengan kanak-kanak semata. 

Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan 

ternyata memang ada beberapa orang prajurit Tuban di 

antaranya. 

Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti, 

dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: “Kang 

mandala , Kang, aku datang.”  

Wirangmandala  kurang mendengar. 

Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan 

masih memegangi kendali dan melaporkan: “Senapatiku, 

Nyi Gede tengkorak  datang menghadap.” 

Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja. 

Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, 

sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan 

manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan 

kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya 

satu nama: tengkorak . 

Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang 

lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya 

berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan 

ia jadi begitu kikuk.  

“Kang mandala ,” panggil tengkorak  sekali lagi. 

“Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke 

tanah, menyembah lalu  memeluk kakinya.  

“Kau datang, tengkorak .” 

“Ya, Kang, dan itu anakmu,” tengkorak  menuding pada 

Kumbang dengan pandangnya. 

Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan 

mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak 

melemparkannya ke langit.  

“Sudah besar, kau Nak.” 

“Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku 

datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk 

mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan 

bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat 

memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.” 

Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang 

berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang 

tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.” 

“Ada apa tengkorak ? Mengapa kata-katamu begitu pahit?” 

tengkorak  tak menjawab, dan Senapati membelai rambut 

anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di 

atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar. 

“Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang? 

Ah-ya, siapa pula namamu?” 

Semua yang mendengar tertawa. 

“Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,” 

tegur tengkorak .  

“Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?”  

“Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.” 

“Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di Malaka 

sana,” sela tengkorak . 

“Kunamakan siapa kau dulu?” tanya Senapati. Kembali 

orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke 

tanah. 

“Kumbang, Bapak,” si anak membetulkan. “Kami 

tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang Gelar yang 

menjaga kami. Sekarang dia pergi.” 

“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik Senapati, “bapak 

sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana Gelar 

pergi?”  

“Dengan pasukan, Bapak.” 

Wirangmandala  terdiam. Keningnya berkerut. Matanya 

ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, 

akhirnya pada tengkorak : “Pasukan mana?” 

“Pasukan Senapati Wirangmandala ,” jawab istrinya.  

Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin 

pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?” 

tanyanya tajam. 

“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan 

perintahmu. Senapatiku, mencari minyak-tanah.” 

“Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang 

menambahkan. tengkorak  merasa perlu untuk menerangkan, 

agar suasana yang mulai mengandung ketegangan 

ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata 

pelahan setengah bisik: “Gelar menggabungkan diri kembali 

pada tentara Tuban sesudah  Peranggi masuk. 

Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. lalu  dia 

datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.” 

“Dia yang membawa?” tanya Senapati membelalak. 

“Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya 

berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa 

Batara!” sebutnya. 

“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan 

khusus itu,” sela Braja. 

Senapati memegangi kedua belah bahu istrinya: 

“Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa 

pasukan?”  

“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab tengkorak .  

Wirangmandala  menoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah 

pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban 

Kota, Braja?” 

‘Tepat, Senapatiku.” 

“Ampun, Dewa Batara,” sebut Wirangmandala . 

“Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu 

Gelar atau bukan?” tanya Braja. 

Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti 

oleh semua orang. 

“Gelar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti 

elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya 

kelakuan cukup baik,” Braja menyarani. 

“Maafkan kami,” Kala Cuwil menambahkan, “bahwa 

tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan 

khusus itu Gelar’ 

“Bagaimana keadaanmu, tengkorak ?” tanya Senapati. 

“Kumbang,” panggil tengkorak . “Mintalah gendong pada 

bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak.” 

0o-dw-o0 

 

Kumbang dan tengkorak  belum pulang ke desa. Bersama 

dengan anak-anak dan perempuan lain mereka ditempatkan 

di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita 

ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin 

jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan 

tak dapat berdiri. 

Mereka harus membikin beberapa ribu buah dalam 

waktu tiga minggu. 

Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas 

jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya. 

Dan pada suatu hari dalam kesibukannya tengkorak  bertanya 

pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?” 

“Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membikin, 

Mak.” 

“Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali malam saja 

kita bisa mengasoh, dan sudah lima hari. Mengasohlah kau, 

Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.” 

namun  Kumbang menolak dan kembali ke tempat 

pekerjaan. 

Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “Datang 

lagi, Mak. Mereka datang lagi.” 

Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan 

tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil 

pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan. 

Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang 

mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman. 

tengkorak  berdiri dan lari menyongsong. namun  ia tak 

dapatkan Gelar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia 

ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan 

tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani 

anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus 

tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan 

seperti seorang penuduh. 

“Di mana yang lain-lain?” ia bertanya. 

“Belum bisa pulang, tentara Demak menyergap, kami 

diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.” 

tengkorak  berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan 

yang lewat, la berdoa untuk keselamatan Gelar. 

“Mengapa Kang Gelar, Mak?” 

“Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk 

keselamatannya.” Dan Kumbang pun berlutut, membikin 

sembah dada dengan kepala menunduk. 

“Nyi Gede,” seseorang mendekati, “ada apa?” 

“Anakku. Pasukannya disergap Demak. Anak semuda 

itu.” 

Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka 

berdoa. 

“Nyi Gede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi 

Gede, semua akan selesai pada waktunya.” 

“Mari bekerja lagi,” jawabnya. 

Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras dibandingkan  yang 

sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. 

Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang 

yang telah… tak mungkin. Dia patut menerima 

hukumannya pada umur tuanya. Tapi mengapa yang 

melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang 

lain? Mengapa bukan mandala ? Bahkan Kang mandala  pun 

nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak 

ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya 

bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua 

akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari dibandingkan nya. 

Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia mengembarai dunia 

ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri, 

aku, telah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu 

hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang mandala , 

bagaimana sikapmu? Betapa sulit bisa bertemu denganmu. 

Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu 

Kumbang datang dan menegurnya: “Emak tak bekerja?” 

Ia terbangun, namun  matari sudah hampir tenggelam. 

Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai 

mengepulkan asap tipis ke udara. 

0o-dw-o0 

 

43. Tuban Dibebaskan 

Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah 

lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas 

benteng  bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah, 

sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat menembak 

dan untuk jalan udara. Di dalamnya tersimpan obat meriam 

dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-mandir 

meronda kota siang dan malam Gedung kadipaten 

dipergunakan sebagai tempat mengatur patroli, ke sana 

mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat. 

Patroli-patroli tak jarang memasuki luar kota dan 

merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan, 

dan mereka dapat berbuat sesukanya. 

Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang, 

prajurit berpengalaman perang di mana-mana. Obat 

ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. 

Tapi yang lebih menggentarkan adalah semangat tinggi dan 

berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang 

gairah menaklukkan dunia. 

Dengan diam-diam Senapati menilai mesiu dan daya-

ledak tinggi yang jadi sumber keampuhan Peranggi itu 

harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan 

Peranggi sendiri. Semua rencananya berkisar pada 

menggunakan kekuatan yang ada pada lawannya sendiri. 

Sekarang datang waktunya ia hendak membuktikan, 

bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan. 

Balatentara Tuban akan dicoba keunggulannya. 

Seribu lodong bambu minyak-tanah telah dituang ke 

dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak. 

Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang adalah 

juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan 

botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk 

keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar 

penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa. 

Menjelang senja balatentara Tuban yang beribu-ribu 

jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diam-

diam tanpa sorak-sorai. 

Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali 

tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Beregu-

regu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka 

hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu 

berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka 

memasuki hutan. Waktu keluar lagi mereka telah memikuli 

kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap telah turun, 

dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai 

melewati selatan pinggiran tertimur Kota, membelok ke 

kiri, ke kiri lagi memasuki Kota. Mereka menggunakan 

waktu sebaik-baiknya di kala patroli Peranggi sedang 

kembali untuk berganti di gedung kadipaten. 

Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan 

mereka lima ratus depa di sebelah timur kadipaten, 

menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan 

membasahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu 

menjadi bukit kecil. 

Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang 

mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka 

berangkat sesudah  yang pertama. Pada waktu barisan 

pertama melakukan penumpukan kayu mereka menyebar 

ke sekitar tumpukan dan di dekat sebelah timur kadipaten. 

Laskar ketiga, yang merupakan laskar terbesar, berangkat 

beberapa waktu lalu , dari barat langsung ke kota 

melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tombak dan 

pedang dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya 

dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri 

pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir. 

Pada waktu yang telah ditentukan tumpukan kayu mulai 

terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak 

lama lalu  peluru-peluru cetbang berledakan, melesit, 

beterbangan ke udara, memuntahkan bunga api dan 

menerangi bumi. 

Prajurit-prajurit Portugis di dalam gedung kadipaten 

keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan 

ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang 

beterbangan dari atas pepohonan. Sama sekali tak menduga 

adanya pencegatan. Mereka berjatuhan seperti jerami di 

babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun telah 

merembes ke dalam jantung mereka. 

Lebih banyak lagi serdadu keluar dari kadipaten. 

Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah 

bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi serdadu-

serdadu Peranggi bergelimpangan. Yang selamat melarikan 

diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian 

yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum 

mendapat perlindungan. 

Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara 

benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putus-

putusnya. Serdadu dari benteng mulai keluar dan berlarian 

dengan bedil dan pedang, bersiap untuk mendatangi 

keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan 

Semua serdadu di bandar telah ditarik pula ke benteng. Dan 

tak lama lalu  mereka berpecahan dalam regu-regu 

dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian. 

Hujan anak panah bersemburan lagi. Portugis lalu  

mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua 

tajuk pepohonan. Prajurit Tuban mulai bergedebukan jatuh 

seperti buah nangka, binasa pada malam itu juga. 

Dari belakang serdadu Portugis bermunculan pasukan 

tombak Tuban. Mereka mulai menyerang tanpa pekikan 

tanpa seruan seakan sepasukan tentara gagu. Tombak-

tombak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada 

sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih. 

Pekik-jerit kesakitan memenuhi udara dan merangsang 

pendengaran. Segelombang pasukan Tuban dengan pedang 

terhunus menyapu lapangan. 

Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti 

hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakan-

tembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti prajurit 

Tuban yang berjatuhan atau menjatuhkan diri. 

0o-dw-o0 

 

Gelar mendapat tugas paling berbahaya dari semua 

laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari 

Banteng Wareng sebagai penyelaras seluruh balatentara. 

Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran 

benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan 

menyerang dari belakang. 

la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran 

bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam 

keadaan hidup. Ia merasa telah terjadi persekutuan di 

antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari 

muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah 

di Tuban Kota. Ia telah merasa tak ada seorang pun yang 

akan mengampuninya. Tak seorang pun memberikan 

sokongan batin pada perbuatannya, termasuk Senapati dan 

emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan 

hukuman yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela 

menerimanya. Sebagai anak Senapati ia masih akan 

tunjukkan dan buktikan pada seluruh Tuban, pada 

Wirangmandala  dan tengkorak , pada bumi dan langit, ia masih 

memilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtu-

anya harus ada kebanggaan padanya. 

Mati! Mati! suara itu memanggil-manggil mengatasi 

tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu, 

yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan 

pada pandang mata dan sikap orang. 

la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap 

dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara 

sebagaimana telah diperintahkan. 

Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada 

berpenjagaan, menara pelabuhan telah kosong. Prajurit 

Tuban telah menjolok penjaganya dengan semburan anak 

panah. namun  menara benteng masih terus menggigil 

dengan taluan lonceng. Beberapa orang serdadu peninjau 

sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan 

anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap 

memukul lonceng. 

Laskar Gelar datang ke benteng waktu serdadu-serdadu 

di dalamnya telah ditarik keluar untuk menadahi serangan 

umum Tuban di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak 

seberapa besar telah kena runduk. Beberapa serdadu yang 

tidak menduga akan datang gelombang musuh dari pesisir 

tak sempat lagi menembak melarikan diri dan membuang 

senjata yang tak dapat dipergunakan. Dan sebelum mereka 

sempat menggunakan pedang tombak lempar telah 

berlayangan. 

Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan 

peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan 

Portugis juga semakin kendor, semakin jauh dan 

bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah 

mulai terhalau. 

Gelar terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat 

yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak 

dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami: 

Peranggi telah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan 

telah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali 

berlindung ke benteng – jalan-jalan telah digunting dengan 

pencegatan. 

Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh 

laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk 

juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak 

dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup 

dalam membela diri, tak sempat menyiapkan musket dan 

menghunus pedang. Baja beradu baja. Gerak tangan dan 

kaki telah menyempitkan ruangan. Orang-orang Portugis 

yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan pedang dari 

musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka 

disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke 

atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membikin mereka jadi 

basah kuyup. 

Minyak membasahi semua yang ada, bahkan telah mulai 

mengalir di lantai. 

“Keluar!” pekik Gelar. 

Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga 

dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki 

benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin 

lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai 

menyala. 

Gelar membawa pasukannya lari dari daerah benteng, 

memasuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah 

putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu. 

Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan 

patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu 

Syahbandar Tuban angkatan Peranggi, botol-botol minyak 

telah berlayangan membasahi jubah putihnya. Orang itu 

tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang telah lari 

menghampiri, menyambarkan pedang pada tubuhnya. 

Gelar memerintahkan keluar. Bangunan baru pun 

menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit. 

Di tengah-tengah kota balatentara Tuban menguasai 

seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang 

besar prajurit. Gendi-gendi beterbangan dan membasahi 

segala yang dikenalnya. 

Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari 

tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana 

saja asal selamat. 

Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita 

dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di 

kejauhan, di Tuban Kota. Mereka melihat unggun yang 

hanya sebuah, lalu  menjadi dua, tiga, empat. Letusan 

dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara 

menyebabkan mereka membisu terpukau. Tak seorang pun 

di antara mereka membuka suara. Mereka tahu maut 

sedang berjingkrak berpanen nyawa di Tuban Kota. Setiap 

di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan 

tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut. 

Di antara mereka terdapat tengkorak . Ia berdiri memegangi 

bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya 

melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin 

lama makin berkurang. 

tengkorak  menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut. 

“Memohon, Nak, pada Hyang Widhi, selamatlah 

hendaknya bapak dan abangmu,” bisiknya. 

“Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,” 

bisik kembali Kumbang. 

Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri 

sendiri: “Kau masih membutuhkan bapak dan abang. Nak.”  

“Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.” 

‘Tentu, tak lama lagi. Tapi besar saja belum cukup. Kau 

membutuhkan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu 

dunia, Nak.” 

lalu  terdengar ledakan paling dahsyat di Tuban 

Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna 

merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan 

bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari 

letusan gunung berapi. sesudah  itu sunyi-senyap. 

Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut, 

lalu  tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan. 

Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelan-

pelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk 

pepohonan hutan, bulan tua sedang memperlihatkan diri. 

Semua orang berlutut dan menekur dengan mata 

tertutup. 

“Memohon, Nak, memohon, untuk bapak dan 

abangmu.” 

tengkorak  memohon lagi. namun , bila doanya 

dipanjatkannya untuk keselamatan Gelar, dia macat. Ada 

suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia 

hentikan usahanya. Pikirannya bergumul kacau, mengapa 

hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci 

kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir 

berarti perang selesai, Nak. Hanya kepunyaan Peranggi bisa 

meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu 

selamat.” 

namun  Kumbang telah tersedat ke alam mimpi. 

Kepalanya telah rebah pada pangkuan emaknya. 

Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan 

orang-orang lain mengikuti contohnya – berdiri juga. 

Bersama-sama mereka berjalan pulang ke bedeng 

perumahan. 

“Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam 

tengkorak . 

“Abangmu.” 

“Sekarang ke mana, Mak?” 

“Pulang. Mengasoh. Menunggu bapakmu.” 

“Tinggal di kota lagi, Mak?” 

“Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?” 

Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia 

melayang-layang dalam alam impian. Ia telah berusaha 

untuk tetap jaga, tapi kelelahan dan kantuk sudah tak dapat 

ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat 

bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?” 

“Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.” 

Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan 

kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya. 

Seakan tengkorak  mendengar suara anaknya masih bertanya 

dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka 

tinggal di kota?” 

“Mengapa?” jawab tengkorak . “Emak lebih suka jadi orang 

biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang 

berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti 

yang lain-lain.” Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak 

menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. “Menari, 

menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain. 

Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak 

pernah aku mengimpikan kekayaan dan kekuasaan. Sejak 

ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Emak, dan 

Emak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga 

hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh 

dua-duanya? Mana ada manusia suka dengan pecahan dan 

gumpilan kasih-sayang?” 

Sudah tak keluar bisikan kata dari mulut tengkorak . Suara itu 

bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang, 

kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan 

dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.” 

Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng 

pembikin gerabah. 

Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu 

apinya sudah padam. 

tengkorak  menaikkan Kumbang ke ambin. Ditutupnya pintu. 

Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping 

wanita dan kanak-kanak yang lain. 

“Menangkah kita?” wanita di sampingnya bertanya. 

“Menang,” jawab tengkorak . 

“Bagaimana Nyi Gede bisa tahu?” 

“Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah 

yang bisa diharapkan?” 

Sunyi-senyap di perumahan pembikin gerabah itu. 

Matari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan 

Banteng Wareng telah memenuhi jalanan kota. Mayat-

mayat bergelimpangan di mana-mana, Portugis dan Tuban. 

Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang 

masih hidup. 

Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di 

lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa 

dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masing-

masing, moncong sedikit mendongak. 

Orang memerlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat 

dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin 

dibandingkan  mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya. 

Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun. 

Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepalan, bertebaran seperti 

batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal benda-

benda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal, 

menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi 

sendi kekuasaan dan kekuatan Peranggi. 

Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di 

antara reruntuhan rumah diiringkan oleh satu regu prajurit 

berkuda yang bersiaga dengan tombak. Antara sebentar ia 

berhenti, menebarkan pandang ke mana-mana, bicara pada 

pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia 

berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai 

di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot 

yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher 

dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu 

baik ujung-ujung batik mau pun rambutnya berkibar-kibar 

seperti bendera. 

Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun 

menyandang pedang pada pinggang. Berbeda dari yang 

lain-lain, sebilah keris terselit melintang di bawah dada. 

Hulu keris itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga 

sarung kerisnya terbuat dibandingkan  mas. Itulah Senapati 

Tuban Wirangmandala . 

lalu  Senapati berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia 

periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar 

panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya 

bergelimpangan mayat prajurit Tuban di antara sejumlah 

Portugis. 

Bandar telah jadi tumpukan arang, dengan asap yang 

masih berkepulan. 

“Dengar semua kalian!” katanya pada para pengiring. 

“Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk 

sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah 

berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada 

hari ini aku nyatakan musuh telah kalah dan kita menang.” 

Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di 

kejauhan. 

‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali. 

Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh. 

Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan 

yang lain-lain dalam cengkemayat n maut. Ingat-ingat ini: 

juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah 

punah dalam semalam.” 

“Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku,” 

seorang pengiring berjanji. 

“Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada teman-

temanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu.” 

“Kami akan lakukan. Senapatiku.” 

“Tapi kalian jangan sampai lupa, kemenangan di Tuban 

sangat kecil, belum berarti.” 

“Kita sudah menang. Senapatiku, kemenangan gilang-

gemilang tiada tara.” 

“Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang, 

dengarkan aku baik-baik: selama Peranggi belum terusir 

dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari Malaka dan 

Pasai, urat-nadi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh 

Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.” 

“Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku.” 

“Dan selama mereka masih menguasai Maluku, 

kemakmuran takkan lagi menyinggahi Tuban.”  

“Senapatiku.” 

‘Terserah pada kalian. Adakah Tuban akan bangkit 

kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang, 

pengusiran atas Peranggi dari seluruh Nusantara dan 

Semenanjung. 

“Demak tetap mengancam. Senapatiku.’* 

“Melawan Demak lain lagi. Itu perang melawan 

kebodohan.” 

“Kami belum mengerti. Senapatiku.” 

“Musuh Demak sesungguhnya Peranggi. Trenggono 

mencari kebesaran dengan mencari musuh yang 

dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari 

dari musuhnya yang utama: Peranggi.” 

“Bukankah Demak telah mengusir mereka dari Sunda 

Kelapa, Senapatiku?” pengawal terdekat bertanya. 

“Siapa saja dapat mengusir Peranggi kalau jumlahnya 

hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula. 

Ayoh, jalan!” 

Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, lalu  

membelok ke timur dan berpacu mendekati arah datang 

suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi 

tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka 

berpapasan dengan prajurit-prajurit Tuban yang berjalan 

dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka 

mengangkat tombak masing-masing, bersorak-sorak 

menyambut Senapati. Wajah mereka berseri-seri gembira 

penuh kepercayaan pada pemimpinnya. 

Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. Prajurit-

prajurit yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya 

sorak-sorai kemenangannya masih saja terdengar. 

Wirangmandala  berhenti melihat ke suatu jurusan. Di 

kejauhan ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang 

berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali 

sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di 

tentang dada. 

la jalankan kudanya dan mendekatinya peiahan-lahan. 

Mengetahui ada seorang musuh, para pengiring memacu 

kuda, mengepung serdadu itu. Tombak-tombak pun teracu 

siap untuk dijojohkan. 

“jangan ganggu dia!” pekik Senapati menegah. 

Orang pun menarik tombaknya kembali namun  tetap 

mengepungnya. Dan Wirangmandala  berpacu menghampiri. 

“jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi 

bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua 

tombak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai 

kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan 

bisa melawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang 

bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia. 

Menyingkir kalian dari dia.” 

Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang 

membantah: dan Senapati menoleh, berkata: “Dia musuh 

sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan 

tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan 

bayi atau istri yang sedang menyusui.” 

“Kalau lalu  dia memusuhi lagi, Senapatiku?”  

“Kembali kau harus memeranginya.” “Lebih baik 

dibunuh sekalian, Senapatiku.”  

“Kalau begitu kau bukan prajurit, tapi pembunuh,” ia 

menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka 

kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu 

tegak dan tetap perwira.” 

Orang Peranggi itu telah selesai bersembahyang. Dengan 

kudanya Wirangmandala  makin mendekati. Orang itu pucat. 

Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia 

tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak 

dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu 

pada Senapati. 

“Mengerti Melayu?” tanya Wirangmandala . 

Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh 

berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan 

pahanya. “Sedikit, ya. Tuan.” 

“Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?” 

“Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari. 

Telah kuserahkan semua pada Tuhan,” jawabnya sambil 

membuat salib. 

“Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” Senapati 

memerintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti 

dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan 

makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.” 

Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal 

untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping 

melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah 

tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi 

membikin gerakan salib. lalu  dengan suara lemah: 

“Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.” 

“Semoga Dewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa 

namamu selengkapnya?” 

“Sylyester da Costa, Tuan.” 

“Kosta!” Senapati mengulangi dan Portugis itu 

mengangguk. sesudah  mengangkat tangan memberi restu 

Senapati menarik kendali. Binatang itu menengok dan 

berjalan berputar lalu  meninggalkan Da Costa yang 

terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan 

perintahnya. 

Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang 

menuntun binatang itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda 

masing-masing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh 

pikiran, mencoba memahami maksud dan ucapan Senapati. 

Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru 

terdengar seseorang bicara: “Mungkinkah kiranya Sang 

Senapati marak jadi raja?” 

“Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang 

melawan Peranggi!” 

“Bisakah seorang anak desa jadi raja?” 

“Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang 

desa semata.” 

“Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu 

pengasih dan penyayang, apa pun pada kawula sendiri bila 

marak.” 

“Mungkin ada rencana baru terhadap Demak.” 

“Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus 

begini? Bisa habis kita ini bakalnya.” 

“Bukankah kita harus mengingat-ingat selalu? 

Semenanjung, Selat, Pasai, Malaka dan Maluku, seluruh 

Nusantara? Selama Peranggi masih berkuasa….” 

“Dan Demak tetap mengintai.” 

“Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari 

Semenanjung?” seseorang bertanya dalam Melayu. 

“Apakah aku ini? Hanya orang kecil tak menentu,” 

jawab Sylyester da Costa dalam Melayu pula. 

“Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. Tapi 

yang besar kecil juga dulu-dulunya.” 

“Kalau aku yang orang besar,” Da Casta meneruskan. 

“Kau caplok semua pulau Jawa ini.” 

“Dan jadi kedodoran sepanjang jaman,” orang lain 

menambahi. 

Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam 

kediaman. 

Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersorak-

sorai, berderai-derai, dan mengrsi h seakan hendak 

meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak 

daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat telah 

tersingkirkan. Seluruh balatentara Tuban berkumpul di 

alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak 

gembira. 

Mereka menyambut pernyataan Senapati: Portugis telah 

ditumpas dari bumi Tuban; balatentara Tuban keluar 

sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap 

banyak: Selat, Semenanjung, Pasai, Malaka dan Maluku, 

dan… Demak. 

Sorak-sorai padam seketika dalam renungan umum. Ya, 

dalam renungan umum semata-mata…. 

0o-dw-o0 

 

44. Arus Balik 

Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan 

Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka: 

Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung 

menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masing-

masing, duduk menghadap Senapati. 

Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan 

dipayungi oleh pokok laban. 

Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diam-

diam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan 

kecerahan alam membikin suasana menjadi syahdu. 

“Aku bawa kalian ke mari,” Sang Senapati memulai, 

“sebab  ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah 

kalahkan Peranggi dengan penyerangan cepat dan 

mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat 

berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi 

kehidupan – kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, 

dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: 

mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan 

datang lagi ke Tuban, bukan saja sebab  telah dikalahkan di 

sini, juga sebab  nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban 

ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.” 

“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering 

kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama 

Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang 

menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang 

gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya. 

Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: 

“Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, 

makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari 

tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan 

dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara 

sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa 

keturunan.” 

“Senapatiku!” Banteng Wareng angkat bicara sesudah  

beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengunyah 

sirih. “Bagaimana menghalau mereka?” 

“Tunggu,” tegah Wirangmandala , “biar aku ceritai kalian. 

Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari 

selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit 

adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa 

beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, 

manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua, 

itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari 

selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi 

membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil 

seperti kerajaannya. sebab , ya, kapal besar hanya bisa 

dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil 

menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari 

utara sekarang ke selatan, sebab  Atas Angin lebih unggul, 

membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, 

penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita 

akan semakin kecil untuk lalu  tidak mempunyai sama 

sekali.” 

“Tidak mungkin. Senapatiku!” bantah Kala Cuwil. 

‘Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. 

Selama mereka yang menguasai, mereka takkan 

menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama 

sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita 

sendiri di pesisir dan gunung. 

“Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari 

utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan 

hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan 

hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah 

Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang 

jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan 

satria, seorang aulia yang akan dihormati sampai akhir 

jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya 

berbentuk kupu-tarung.” 

“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah 

lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih 

yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, 

memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari 

kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang 

surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, 

sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari 

ulat yang hina-dina. 

“Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak 

perlu kalah sebab  lawannya juga tidak kuat. Kalian telah 

dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih 

banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, 

dibandingkan  menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum 

mengalahkannya sama sekali dari jalan laut. 

“Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang. 

“Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah 

sebab  kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah 

sebab  kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan 

persoalannya. Dia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan 

berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru 

seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara 

akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi dengan 

sinarnya yang menghidupi.” 

“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak?” 

Banteng Wareng bertanya. 

“Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati, 

tidak dimakan bapak mati,” jawab Wirangmandala  sedih. 

“Kalian hadapi Demak, kalian menjadi lemah di hadapan 

Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan 

jadi lemah juga di hadapan Peranggi” 

“Memang persoalannya tak lain dari menghadapi 

Peranggi,” Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya. 

“Bagaimana harus menghadapi Peranggi, Senapati?” 

sekarang Kala Cuwil bertanya. 

“Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: 

kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: 

kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan 

jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan 

Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha 

penyatuan itu? Memang pernah dulu ada seorang Gajah 

Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda 

Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari 

Majapahit…” 

“Engkaulah Gajah Mada!” Kala Cuwil berseru. 

“Senapatiku, kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat 

“Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi. 

“Tidak bisa lain,” bisik Banteng Wareng seperti doa. 

Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang 

dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam. 

Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara 

syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar. 

“Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian 

wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan 

yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan 

yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara 

dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa 

menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya 

untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa 

raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang 

Gajah Mada.” 

“sesudah  Trenggono melancarkan gerakannya yang 

dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh 

kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa 

dibina – sebab  jaman kita ini memerlukan kekuatan 

gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng 

Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.” 

“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara-

Demak? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah 

bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada 

megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan 

Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak 

akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung 

kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan.” 

“Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala Cuwil. 

‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama mandala -

tahu takkan mampu membendung perkembangan 

kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah 

bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup 

bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot 

sebab  kehilangan pegangan.” 

Ia mengangkat kepala dan memandangi Kala Cuwil: 

“Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala 

pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.” 

Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati 

dengan mata bertanya-tanya. 

“Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu.” 

Dengan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarnya 

di hadapan Wirangmandala  dan merapikan ujung-ujungnya 

yang keriput. 

“Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang 

Wirabumi,” tegur Wirangmandala . “Lebih banyak lagi yang 

bakal dipinta dari dirimu.” 

“Senapatiku.” 

“Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai 

sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, 

sebab  aku takkan mengulangi lagi.” 

“Senapatiku!” pekik Rangkum. 

“Dengarkan!” perintah Senapati. ‘Telah aku baktikan 

masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun 

hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari 

utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. 

Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan 

Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. 

Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. 

Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk 

menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang 

raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara, 

bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga 

kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, 

anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan 

semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang 

disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, 

meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-

imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan 

Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran 

kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri 

dan terhadap diri sendiri. 

“Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat 

mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita 

tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin 

jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi. 

“Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus 

utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah 

orang yang paling menderita sebab  kesedaran ini. Jaman 

bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu 

sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua 

kuserahkan pada kalian.” 

“Senapatiku!” Banteng Wareng menyela. 

“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar 

itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan 

para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan 

semua kuserahkan pada kalian. sesudah  ini kalian harus atur 

dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, sebab  

surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang 

berdukacita.” 

Wirangmandala  melepas bungkusan di punggung dan 

meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi 

bungkusan itu. 

“Lihatlah ini,” katanya lagi dan membuka bungkusan, 

dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala 

Cuwil, “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, 

semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang 

sebab  keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang,” 

lalu  Senapati menarik keris dari pinggang, “dan ini 

keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. 

Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja 

baik-baik.” 

Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan. 

“Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – 

peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti 

Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, 

melalui aku, Wirangmandala , Senapati Tuban…. 

“Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi 

sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu 

menggelantung di tengah destar.” 

“Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di 

antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu 

seorang demi seorang “dapat memahami kata-kataku, 

memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus 

balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan 

pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, 

usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, 

Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan 

ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman. 

“Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan 

Wirangmandala , Senapati kalian. Wirangmandala  sekarang 

sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani 

bernama mandala . Tinggallah kalian dalam kerukunan, 

sebab  perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. 

Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi 

datang lagi, Wirangmandala  akan datang untuk 

memusnahkannya.” 

Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan 

yang masing-masing memegangi ujung destar Kala Cuwil. 

Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu 

melangkah pelan-pelan menuruni bukit, lalu  berpacu 

ke selatan. 

Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain 

berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang 

dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di 

sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu 

berseru-seru. 

mandala  menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya 

seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri. 

Seluruh badannya telah bersalut debu. 

Prajurit itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan 

cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda 

Senapati. Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan 

tak terkendali: “Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi 

bersujud padamu dan mencium kakimu?”  

“Siapa kau?”  

“Gelar, Bapak, anakmu.” 

“Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, 

Gelar.”  

“Senapatiku, Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak.  

“Aku, aku, aku masih patut jadi…,” hisakannya semakin 

keras, “jadi, jadi, jadi anakmu?” 

“Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat 

padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang 

tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha,” jawab 

Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke 

selatan. 

“Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi, 

Senapatiku? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan 

punggung terangguk-angguk ke atas. 

“Segala yang telah kulakukan selama ini sudah bersuara 

dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah 

tahu dan mengerti.”  

“Ya, Bapak.” 

“Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. 

Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. Wirangmandala  

bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di 

desa, sesudah  segala yang kau citakan tercapai” 

Gelar berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk 

kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya. 

Beberapa bentar lalu  mandala  merenggutkan kaki, 

menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan. 

Gelar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangis-

meraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis. 

Dengan punggung masih terangguk-angguk sebab  hisak ia 

bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya. 

“Sultan,” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku. 

Seorang demi seorang telah pergi dibandingkan ku. Tak seorang 

pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau 

suka.” 

Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu. Ia 

turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan 

dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan 

kuda balatentara. Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan 

lambat-lambat sekehendak hatinya. 

Mata Gelar terundukkan ke bawah, bahkan 

mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak. 

Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah 

jalanan hutan ia berhasil menyusul tengkorak  dan Kumbang 

dan turun dari kuda. 

“Bapak!” seru Kumbang. 

Wirangmandala  mengangkatnya dan menaikkannya di atas 

punggung binatang itu. Ia berjalan di samping tengkorak , pelan-

pelan tanpa bicara. 

“Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kumbang. 

“Ya, Nak, ikut pulang,” jawabnya. 

tengkorak  melirik pada suaminya. Hanya sekilas. 

“Mak, Mak, Bapak ikut pulang.” 

“Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab 

tengkorak  dan melirik pada suaminya lagi.  

“Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang?” 

‘Tidak.” 

“Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang.” 

“Sekarang mandala  hanya petani, tengkorak .” 

tengkorak  berhenti berjalan dan memegangi tangan 

suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca. 

Mereka berbisik-bisik, lalu  berjalan lagi, makin lama 

makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik 

kehijauan abadi…. 

Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang 

mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari 

anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah 

di tengah jalan, namun ia telah mencoba. 

0odwo0 

 

Penutup 

Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya. 

Di Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan 

balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api 

unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan 

sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi 

datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang 

rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan 

bagaimana balatentara tumpas. Benteng bawah-tanah sia-

sia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak. 

Francisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku. 

Pengawalan meriam dari laut tak ada. Dibandingkan 

dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sungguh-

sungguh lapuk. 

“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa, 

“berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami.” 

Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira 

hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke 

timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang 

agak lebih jauh dari teman-temannya. 

Prajurit-prajurit Pribumi memburu kami tanpa ampun. 

Aku sendiri terguling di pinggir jalan, lalu  merangkak 

menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak 

panah telah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak 

terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan 

nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat dibandingkan  

bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi. 

Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku 

itu tidak berbisa. Kaki kananku telah memar tertumbuk 

pada bongkahan batu. 

Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk 

keselamatan sendiri. Di mana musket dan pedangku aku 

sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan 

aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di 

Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja 

Portugis. 

Lengan bajuku telah kuputus untuk menghentikan jalan 

darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada Tuhan, tak 

ada Kristus, tinggal malam saja melindungi aku dari maut. 

Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan 

muncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang 

bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran 

di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji 

kepada-Mu, sorak-sorai lalu  semakin lama semakin 

menjauh. Kesunyian menyusul. 

Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang 

kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini, 

terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku 

yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur. 

Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah 

mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negeri-

negeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan 

keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak henti-

hentinya memandangi anak lelakinya yang bungsu, aku 

inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu 

tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana 

nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku 

sekarang. 

Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku. 

Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan telah 

menghilangkan rasa nyeri. 

Satu regu berkuda balatenta   ra Pribumi, barangkali 

sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan 

malam, telah menemukan aku yang sedang bersembahyang 

menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu, 

hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati 

di dalam pengampunan-Nya. 

Kafir-kafir itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku. 

Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang 

melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, sebab  

berkah permohonanku suatu mukjijat telah terjadi. 

Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan 

hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku, 

mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka. 

Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap 

dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku 

dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku 

siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku. 

Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna 

kuning. Kakiku yang memar telah tertutup dengan selapisan 

obat berwarna putih yang membubungkan bau sedap. Bau 

yang membikin aku selalu mengantuk. 

Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti 

sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat 

kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka. 

Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku: 

aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap 

hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka 

entahlah di Maluku. 

Sebagai seorang Kristen, orang Portugis, orang Eropa, 

yang lebih tinggi peradabannya dibandingkan  kafir-kafir itu, 

tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin 

regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya 

barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata 

tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan 

menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku 

utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu 

yang dulu itu. 

Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu. 

Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling 

tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak 

sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila Tuhan 

menghendaki. 

Namanya Wirangmandala , tanpa gelar. Bawahannya 

memanggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu. 

Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya. 

Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil, 

lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja, 

batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada 

teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang 

membikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh 

dari kota Malaka? Kira-kira memang dia. Hang Wira 

Malaka itu. Hang Wira -Wirangmandala . Barangkali, aku tak 

tahu betul. Agaknya terlalu jauh. 

sesudah  sampai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan. 

Aku mulai bertanya-tanya. lalu  tak lain 

kesimpulanku: Hang Wira memang Wirangmandala  itu juga, 

penumpas kami di Tuban. 

Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan 

berterimakasih padanya… 

Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampir-

hampir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari 

dinasnya, dan selanjutnya: Orang Portugis siapa pun akan 

lebih suka tinggal di Banda dibandingkan  di mana saja di 

Maluku ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini 

dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau, 

Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu, 

mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang 

kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga 

kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri 

tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan 

masih selamat sampai sekarang ini. 

Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy 

Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku 

harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di 

Halmahera. namun  keadaan di sini mencurigakan. Setiap 

waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati 

Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit 

putih. 

Aku minta pindah, dan diperintahkan ke Temate, 1548. 

Istriku menolak kubawa serta. Bersama dengan anak-

anaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke 

kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia 

menolak ke Temate, boleh jadi sebab  ia takut pada orang 

Islam. 

Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan 

sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana. 

Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang 

Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate? Aku belum tahu 

pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barang-

barang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen 

yang kelihatan saleh dan lalu  kuketahui tak pernah 

melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih 

dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis 

sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia 

menerima pakaian itu dari bekas tuannya, Gonsalyes 

Mateo, juruborong untuk Temate. 

Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya 

tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau 

teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung. 

Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul 

tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah 

alat musik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban. 

Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu 

yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini, 

juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan Melayu gereja 

dibandingkan  Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro. 

Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku 

datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak 

dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa. 

Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban 

sana. Maka sesudah  selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia 

seperti… benarkah dia seorang Moro? 

“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dulu di 

Tuban?” 

Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup 

mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak 

itu ia selalu ketakutan bila melihat aku. 

Berhati-hati aku mencoba memayat hi dia. Waktu 

kuulangi pertanyaanku dulu ia nampak tidak lagi terkejut. 

“Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada 

kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa 

laluku.” 

Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku 

ini segera dapat menangkap, ia mempunyai beban pada 

punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. sesudah  

mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang 

pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian, 

seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja 

dapat memperoleh damai. 

Setahun lalu  baru dapat kukumpulkan kalimat-

kalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu 

sesudah  ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan 

menghukumnya. 

Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah membunuh 

ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa. 

Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan, 

pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan 

rencana, sebab  ayahnya menyebabkan penderitaan ibunya, 

terutama sekali sebab  ayahnya berpihak pada Portugis dan 

mengkhianati Tuban. 

“Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis,” 

bantahku. 

Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, namun  seorang 

Moro, Syahbandar Tuban. Semua orang Portugis di 

Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernama Tholib 

Sungkar Az-Zubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya 

seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia 

bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh 

siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya 

pembunuhan itu. sesudah  itu bukan hanya ibunya, seluruh 

masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat 

menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orang-

tua, pemeluk-pemeluk Buddha itu. 

Ia mengembara ke mana-mana. sesudah  kudanya mati 

tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri 

dengan balatentara Demak. 

Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang 

prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang 

wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di 

Semenanjung, anak paman Paulus sendiri yang menetap di 

sana. Pamannya itu juga kelahiran Tuban. Dan anak cantik 

ini. Jafar, mungkin sebab  kecantikannya ditarik oleh 

Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan. 

sebab  keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru 

Taman, menjuru tamani Sultan. 

Sekali peristiwa Paulus mendapat perintah untuk 

melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono telah 

sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat 

melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan. 

Sultan telah memanggil Fathillah untuk memimpin 

serangan umum atas Blambangan. Paulus – tentu saja 

waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa – mendapat 

perintah untuk mengumpulkan keterangan. 

Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi 

ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma 

dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu 

banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri 

yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia 

mendekatinya. Lelaki tua itu mengawasinya dengan curiga. 

Dua-duanya berhadap-hadapan. Paulus segera 

menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggil-

manggil: Senapatiku! Senapatiku! 

Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian. 

Panggilan Senapatiku itu segera kukenal. 

“Wirangmandala ?” tanyaku. 

Paulus terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku 

mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku. 

Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan 

Besar pada nama itu?” 

“Seorang kafir yang berbudi,” jawabku. 

Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan 

muncul kekafirannya yang lama dalam ia membantah: 

“Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Memang aku 

tak dapat mengatakan apakah ia Islam, ataukah Buddha, 

Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan 

perrsi an Buddha. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar, 

sebab  itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya. 

Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan 

kekalahan.” 

Paulus pernah bercerita bagaimana ia mencintai 

kudanya. 

Waktu binatang itu telah kehabisan tenaga sebab  tuanya 

dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengah-

tengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan ranting-

ranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering lalu  

dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat 

begitu setia pada binatangnya barangkali dapat mencintai 

manusia dengan sedalam-dalam cinta. 

Ternyata Wirangmandala  adalah ayahnya yang resmi. 

Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan 

menyendiri seperti pertapa. 

“Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku 

terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah 

di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa 

memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas 

dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah 

kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari 

bukankah tidak dengan sengaja?” 

Paulus menceritakan tugasnya. Senapati mengangguk-

angguk. 

“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai cita-

citamu, sebab  kau memang tidak mempunyai cita-cita. 

Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah 

kalau cita-citamu telah tercapai? Kau datang kemari sebagai 

telik Demak!” 

Senapati memanggil istrinya, seorang wanita yang juga 

sudah nampak tua tapi sehat. 

“Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu.” 

Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat 

mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya 

justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah 

Kumbang, Mak?” 

“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuh-

musuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, lalu  

di sana dia ikut dengan orang Peranggi. Bertahun-tahun dia 

sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar 

dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia 

belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya 

hamba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.” 

Mendengar itu Paulus mengerti, Wirangmandala , masih 

juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan 

sebab  itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. sesudah  

menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa 

singgah ke gubuk. 

sesudah  tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan 

tentara Demak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh 

Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dapat 

mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu 

harus hapus dari muka bumi. 

Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan 

yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap 

kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia 

terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan 

Paulus akan menjaga keselamatannya. 

Di depan pesanggrahan balatentara Demak peristiwa itu 

terjadi. Jafar menikam rajanya sebagaimana direncanakan. 

Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata 

lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. Tapi Jafar 

si Juru Taman juga tertembusi tombak-tombak waktu 

hendak mencabut keris dari tubuh korbannya. 

sebab , ya, sebab  seorang satria takkan meninggalkan 

keris pada tubuh korbannya. 

Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor 

dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan 

tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok 

dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkeping-

keping. 

Jafar si Juru Taman seorang yang mengalahkan Demak. 

Balatentaranya mundur, intinya pulang ke Demak, sisanya 

buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya 

Trenggono, juga Demak sebagai kerajaan runtuh dan tak 

bangun lagi! 

Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada 

penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan 

kerisku!” 

Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan 

segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah 

hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati 

ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Emak, 

telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus 

kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar. 

Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.” 

Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya 

memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tiba-

tiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman 

hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar, 

keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya 

remuk-redam. Semua telah kehilangan arti kembali. 

Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke Maluku. 

Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia 

pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius, dan 

sejak itu, ia mengakui mendapat kedamaian hati…. 

Itulah Paulus, seorang yang bisa lakukan perbuatan 

besar, namun , seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri, 

tidak mempunyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran 

orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan. 

Rupa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu. 

Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja 

mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak, 

Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun. 

Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada 

suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya 

pada Kristus. 

Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mungkin ke 

Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai. 

Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian 

pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat 

mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi, 

Senapati Tuban, Wirangmandala …. 

END