nusantara awal abad 16 28
rang akan melindunginya. Sang
Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan
berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati
memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat
dibandingkan yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulang-
tulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia
berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya.
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawal-
pengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahu-
perahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal
pasukan laut Tuban yang nampak.
Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah
kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan
panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya.
Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun
terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang
untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai
berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat
melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang
bersorak-sorak
Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan
orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang
sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan
tak dapat berbuat sesuatu pun sebab perlindungan Sang
Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku
ini? Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang telah
Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selamatkan
dari orang sebanyak itu?
la telah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan
ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam
bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya
sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya
sampai pecah sebab itu.
Matanya mengembara dari ruji ke ruji, lalu
dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia.
namun ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah
membunuh Esteban dan Rodriguez, membikin bulu
badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dulu
salah seorang di antara korbannya menggelantung
mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu
kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung
oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia
duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu.
Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi,
lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas
pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam.
Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki
langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak,
tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam
penrsi san hukum Pribumi di Tuban? Mati. Mati juga
yang akan dihadapinya.
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak
itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik
itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam
keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang
dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina.
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam
waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri,
basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu
tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.
sebab tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba
mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama
sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk
menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia masih
mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak
berani.
Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang
sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan
menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi
tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan
bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu.
Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang,
duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan
muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan
untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus
datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan
datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya
sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan
membunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan
terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub
terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan
Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan
mau membayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas
atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia
jarang kelihatan lagi.
Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising
melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya
bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga
yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh
pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan
mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim
mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung
dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong
dan menjebik.
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menari-
nari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri
dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol,
dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di
dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu
seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian
hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul
semua kalian akan binasa.
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya
semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada
pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan
menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa
bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak
henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh
ratusan, ribuan orang yang mengepungnya.
Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka
mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan
penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak
membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi
berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka
mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak
jelas.
Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut
kini menjadi jelas mencapai pendengarannya.
Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malam-
malam begini.
Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia menunduk
lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan
berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya
seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang
seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini?
Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang
berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah
kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam
krangkeng maut ini?
‘Tuan Syahbandar!” ia dengar panggilan pelahan.
Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton
yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu sebab
semutan.
“Kati, Kati! Nyi Gede!” desaunya, “istriku yang setia.
Aku tahu kau akan datang.”
“Bagaimana, Tuan Syahbandar, mengapa jadi begini?”
“Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang
bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!”
“Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu Gusti telah
mangkat?”
Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata
orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi Gede,
berbisik: “Menghadaplah pada Sang Patih.”
“Sahaya akan menghadap. Tuan.”
“Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang
berani, yang mulia. Kati, Nyi Gede Kati….”
“Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban?”
Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini
ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam
kegugupan ia menjawab: “Allah mengirimkan aku kemari
dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu.
Allah telah membisikkan padaku untuk mengambil dan
memelihara istrinya sebaik-baiknya…”
“Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah.
Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan
dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan
minumlah banyak-banyak, sebab hari besok akan punya
kemungkinan lain.”
Ia sorongkan lodong bambu berisi air.
Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit,
dan Nyi Gede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari
kirimannya Nyi Gede Kati mengusahakan datang ke
krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada.
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi
seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek,
mencemooh dan meludahi aku, Kati,” Tholib mengadu.
“Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada
larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau,
istriku yang setia, yang memeliharakan aku. Allah akan
membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala
perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi
Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.”
“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri
Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? Sahaya
sudah menghadap Sang Patih.”
“Ya-ya, bagaimana hasilnya?” Tholib menyambar
dengan rakus.
“Nanti, nanti! kata Gusti Patih, dan cuma itu. Tuan.”
Syahbandar Tuban melengos dan menghembuskan nafas
panjang lalu duduk tanpa daya.
“Ya Allah,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin,
terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa
ini – sampai kapankah berakhir?”
“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada
akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib
menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita.
“Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik.”
Syahbandar mengangkat muka dengan harapan amat
sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah
menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.”
“Semua telah sahaya usahakan. Tuan.”
Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya
akan kesulitan Nyi Gede dan bertanya: “Bagaimana
hidupmu. Kati, istriku?”
“Seperti yang lain-lain. Tuan-”
“Tiadakah kau mendapatkan kesulitan dari mereka?”,
“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang
menderita?”
“Betapa mulia hatimu. Nyi Gede. Mengapa baru aku
ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.”
“Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan
mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia.
Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.”
Dan pergilah wanita itu pulang sesudah menyorongkan
beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya.
Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah
pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua
terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita
gelandangan.
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya.
Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di
belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia
anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk menrsi s
suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah
dan sabar.
“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua
ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.
Anak-anak berseru-seru riang setiap ia
memperdengarkan suaranya.
“Mengapa cuma kau yang mau menrsi si Almasawa?”
“Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain
menambahi.
“Kau gila, Nek?”
“Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di
gubuk. Bagaimana takkan gila.”
Nyi Gede Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan
di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk.
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang
yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya.
Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu
terbawa dan Nyi Gede melepas kembali. Anak itu jatuh
terduduk. Yang lain-lain semakin mayat i bersorak-sorak
Kalau aku punya anak, pikir Nyi Gede, mungkin ada dia
di antara mereka. Ia tersenyum.
“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang
di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.”
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul.
lalu pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah
jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “Ayoh masuk, di dalam
sini masih ada sedikit makanan.”
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang
paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundur-
mundur dengan pandang memancarkan ketakutan.
“Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.”
“Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang
terbesar memberanikan diri bertanya.
“Mengapa? Dia suamiku.”
“Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di
krangkeng.”
“Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus menrsi snya,
bukan? Walau dia penjahat?”
“Tidak bisa!” pekik anak paling besar itu. ‘Tidak
mungkin bapakku seperti dia!”
“Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?”
Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu.
la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi Gede. Wanita
itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai
menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan
kerakal.
Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid
Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa
dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi kemayat ian.
Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota:
Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam
pengawalan prajurit-prajurit.
“Semua begundal Peranggi tertangkap!” seorang prajurit
berteriak mengumumkan.
“Dulu dibiarkan merajalela.”
Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada
Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus
bersiap-siap menghadapi persoalan itu.
Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak
menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepat-
cepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk
ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi.
Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan.
Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan
segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan
lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam.
Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku,
ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak
kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali
ini.
Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia
menunggu sampai sore hari.
Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib
menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan
dimulai? Apa? Prajurit itu tidak membukakan pintu
krangkeng. Senyum mayat hnya untuk minta keterangan
dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu
mematahkan senyumnya.
Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. lalu
bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang
baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka:
“Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda
Peranggi di Tuban? Bedebah!”
“Tidak benar,” bantah Tholib.
“Dan Yakub akan jadi patihmu!”
”Bohong!” pekik Syahbandar, menduga begitulah
pengadilan atas perkaranya mulai disidangkan.
“Kau kirimkan meriam pada si brandal Kiai Benggala
buat tumbangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan
jawabannya.”
Kepercayaan diri Syahbandar mulai goncang.
Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya?
Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku? Inikah
macamnya? Bagaimana aku mesti membela diri di depan
pengadilan semacam ini? Siapa sesungguhnya penuduh dan
siapa pula hakimnya?
“Kau suruh orang mengambil meriam-meriam dari kapal
Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu
dalam keadaan terbelenggu dan terbius.”
“Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung Tholib Sungkar
dalam kegugupannya.
“Yakub dan gerombolannya yang kau suruh.”
“Yakub keparat!” pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan
keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah
krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang telah
dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada
sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak,
kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya
tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan
putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga
yang keluar
“Yakub keparat! Yakub keparat!”
“Raja-muda Tuban!” orang-orang mulai bersorak
menuduh.
“Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar!” ia
memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora sorak-
sorai menuduh.
Matanya membeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam
batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk
membela nyawa sendiri.
“Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui
Wirangmandala .”
“Tidak! Tidak benar. Wirangmandala keliru!” pekiknya,
lalu mendesau-desau, “Wirangmandala keliru!”
pekiknya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.”
“Kau bunuh Esteban.”
“Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan.
Bukan.”
Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia.
Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang
mengancamnya.
“Siapa yang membunuh dia?”
“Bukan aku. Yakub!”
“Pembohong!” pekik orang itu.
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya,
mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara
itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata
mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang
terkandung di dalamnya.
“Kau bunuh Rodriguez!”
“Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang membunuhnya.”
“Pembohong.”
“Betul. Betul bukan aku. Bukan.”
“Kau khianati Sultan Mahmud Syah Malaka.”
“Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang
mengkhianati.”
“Kau racuni gajah-gajah Sultan Mahmud Syah.”
“Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.”
Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik
para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis
meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya,
dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau
bius tengkorak !”
‘Tidak benar!” ia meraung melolong. ‘Tak pernah aku
bius tengkorak atau siapa pun. Dan Gelar bukan anakku. Benar,
tidak, tidak, tidaaaaaak!”
“Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik tengkorak anak-
beranak,” desau angin meneruskan tuduhannya.
“Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik
Nyi Gede tengkorak . Bukan aku.”
“Kau tipu Gusti Adipati dengan cerita-cerita bohong.”
“Aku orang suci!” raung Tholib putus-akal.
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air
dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan
pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya,
la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri.
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum
aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela
diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah
rampas keseimbanganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan
hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin
pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku
ini?
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang
lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang
datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan
dan ludahnya. Bemayat i-mayat i mereka mendorong
krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan Tholib
menggeletar sebab geletaran krangkeng dan berayun-ayun
mempertahankan keseimbangan.
“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!”
seseorang berseru.
“Besok, Ulasawa, Raja-muda Peranggi, besok!” yang lain
menambahi dengan gemasnya.
Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini.
Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini.
Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana
krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.
Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain
yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya
yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar.
Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, lalu orang
mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari
krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar
lebar.
“Nah, katakan semua tadi, Yakub!”
“Dia itulah,” Yakub memulai dengan menuding
Syahbandar Tuban dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi
segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya
sebagai bawahan.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia
berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai
pribadinya. namun tuduhan Yakub lebih kuat dibandingkan
usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap
olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil.
sesudah orang mendesak dan memaksa-maksa untuk
menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi Allah. Orang
itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia
ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak
pernah ada seorang pewarung arak dipercayai
omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh Gusti
Adipati Tuban yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia
tertawa menghinakan.
“Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku ataukah dia?”
Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar
Tuban? Aku ataukah dia? Katakan, kau, Yakub, kau bukan
penipu. Ayoh, buktikan.”
Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya
menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan
mengenakannya pada kepala Yakub.
“Bicara, kau, Yakub!” bentak seseorang.
“Semua telah sahaya persembahkan pada Gusti Patih
Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi
lagi.”
“Apa telah kau persembahkan, penipu?”
“Katakan, Yakub,” seorang wanita memohon. Dan
orang itu adalah Nyi Gede Kati yang berpakaian compang-
camping.
Yakub tetap pada sikapnya.
Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat
sokongan kekuatan batin.
“Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah,
pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana
kau menipu dan membunuh!” bentaknya.
“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak
punya kehormatan dan harga diri!” seorang prajurit
membentak Syahbandar.
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan
ludah.
lalu lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang
terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada
tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai
mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi Gede Kati.
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan
terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya
kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju
yang telah dekil.
“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati?
Mengapa diam saja? Demi Allah, aku tak bersalah sedikit
pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau,
dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku
telah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?”
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan
bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip
dari celah-celah sobekan.
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orang-
orang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah
datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah
pelabuhan menjadi sunyi kembali.
Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan teman-
temannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak
pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.
“Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan
pengumuman di alun-alun,” Nyi Gede Kati minta diri.
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban
hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan
pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya.
Dan ia berpaling untuk tak melihatnya.
“Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia meyakinkan
dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih
baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil
ini.”
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak
ada seorang pun di antaranya mencoba bicara….
Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang
menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan:
gerombolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan
membantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan
pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk
meriam dari kapal Peranggi ke pantai dan
mengantarkannya ke Rajeg. Bersama dengan itu dikirimkan
pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan
meriam itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati
menurut perintah Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi. Sayid
Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi
utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk
dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis.
Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi,
menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis
dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus
menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di
tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit.
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus
orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk.
Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang.
Orang kembali ke rumah masing-masing, tak
mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman
mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap
orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang!
Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini?
Seminggu sesudah pengumuman, perang besar telah
terjadi di sebelah barat luar kota.
Demak sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono
telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk
dihantamkan pada Tuban. Dan Tuban tetap jadi impiannya
untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke
Gresik dan Blambangan….
Pasukan gajah Tuban yang selama ini diundurkan ke
pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara
dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal
berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala
pasukan gajah.
Balatentara Demak selama ini meremehkan pasukan
gajah untuk membesarkan hati tentaranya. sesudah melihat
sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan
iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda
di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. Gajah-
gajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan
kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa henti-
hentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada
jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan
pagardesa yang dikerahkan.
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan
menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubt-
kerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak
mempan dipedang, di panah ataupun ditombak. Barisan
Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk
terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi
dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti
matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke
barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling
berbareng.
Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan
mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan
sendiri, tiada terkendalikan.
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan
kuda Banteng Wareng seperti air curah.
Medan pertempuran menjadi kuning sebab kepulan
debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai
dan canang.
Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan
tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan
seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rembang.
Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali
kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk
menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara.
Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan
mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka.
0odwo0
40. Dan Portugis pun Memasuki Tuban
Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah
memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya
ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan sehari-
hari.
Bandar Tuban Kota mulai berisi lagi dengan manusia.
Selama pertempuran di barat kota Nyi Gede Kati tetap
mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari.
Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya
bagaimana ia mendapatkan makannya.
Dan terjadilah hari itu. Nyi Gede Kati datang pada
waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air.
Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik
yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji
besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna
untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu
siang.”
Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang
pelabuhan bertalu-talu.
“Ada kapal asing datang!” gumam Syahbandar sambil
meninjau ke menara pelabuhan. “Dan Syahbandar masih di
sini,” gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk.
“Kau lihat kapalnya, Kati?”
“Lihat, Tuan.”
“Demi Allah, aku bebas, Kati, sebab hanya akulah
Syahbandar. Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.”
“Nampaknya kapal Peranggi, Tuan.”
“Peranggi? Masyaallah,” matanya bersinar-sinar penuh
harapan.
“Lihat baik-baik, Kati.”
“Peranggi, Tuan, tiga kapal.”
“Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,”
Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan
selama ini membikin matanya menjadi rabun. Dan mata itu
berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya.
Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani
hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya,
tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping
batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan
hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran
dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka
takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban
itu!
“Alhamdulillah,” sebutnya berkali-kali.
“Peranggiiiiiii!” Pekik penjaga menara.
Baik Nyi Gede Kati maupun Tholib melihat penjaga
menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke
kesyahbandaran.
Beberapa bentar lalu tiga orang penunggang kuda
berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang
bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canang-
canang desa lalu pun bertalu-talu, memberitakan
akan datangnya bahaya dari laut.
Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan
barat. Canang lalu berubah imayat , memberikan
isyarat agar semua perempuan dan anak-anak
meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.
“Mereka datang!” bisik Syahbandar, “tak salah lagi.”
Nyi Gede Kati memandangi suaminya, mencibirkan
bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia
lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil!”
Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam melepaskan
peluru. Tak lama lalu pelurunya beterbangan di atas
krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkar-
bangkir kena terjang.
Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir
membikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar.
Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama
dengan angin sore.
Nyi Gede Kati meludah. lalu lari melintasi daerah
tembak meriam ke sebelah timur.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa
tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak
mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran.
Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan Portugis belum lagi membayar penuh untuk segala
jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi,
dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia
tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta,
tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari
berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak
mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan
yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih
besar. Lelaki yang memanggul bungkusan. Kakek atau
nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek
bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua
tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar
majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan
terdengar cetbang dan meriam Tuban memberikan
tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang
dalam perjalanan kembali ke pangkalan.
Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk
menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapal-
kapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan
hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat
ke bandar.
Riuh-rendah peluru menerjang bangunan.
Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya
kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi.
Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang
pun dapat menangkis. Gedung kesyahbandaran telah roboh
atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak
bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud,
atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul
di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang
biru itu.
Bandar telah mulai kosong.
Sisa armada Francisco de Sa sesudah lari dari Sunda
Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia
bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki
bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia
harus tinggalkan Sunda Kelapa sebab tak mengetahui
benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar
pengetahuan Malaka sisa armadanya telah siap untuk
berlabuh.
namun gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada
yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan
rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbang-
cetbang itu memang tidak digubrisnya, namun meriamnya
harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo
meriam selama lima bentar, empat buah kapal Tuban telah
menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan
menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula.
Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak
tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan
Menyusul lalu serdadu-serdadunya bersenjata
lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk
melindungi pendaratan.
Dendamnya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak
dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda
Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru
ia mengetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak.
Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di
laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari
balatentara yang sedang berperang melawan Demak.
Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus
hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba.
Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat
selamatkan muka dan namanya.
Adalah memalukan bagi seorang pembesar Portugis
dikalahkan oleh Pribumi, sebab kalahnya juga kekalahan
ras, kekalahan agama, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak
boleh terjadi atas diri Francisco de Sa.
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus
mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun
tertinggal. Dalam lima belas bentar prajurit-prajuritnya
sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat
regu pertama telah mulai naik ke dermaga tanpa
perlawanan.
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia
sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang
pengawal.
Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat.
Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu
ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta
mereka untuk memimpin perlawanan.
Seperti semut mereka menyerbu ke bandar, bersebaran di
setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri
sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak.
Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur.
Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam
dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat
ditembus, sebaliknya membinasakan, menyusupi daging
dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan
mundur terus.
Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan
balatentara.
Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan
menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan
rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis
terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di
depannya, manusia dan hewan.
Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari
maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya.
Dan demikian terus menerus.
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta.
Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa.
Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji
krangkengnya. Waktu tembakan meriam telah berhenti dan
tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar
memasuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa.
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci
telah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di
dermaga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat
melihat mereka adalah para pembesar.
Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya,
dilupakan oleh peluru meriam dan musket.
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga
menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan
meriam dan rodanya
“Bekas Syahbandar Malaka?”
“Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa.”
“Cukup!”
Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan
rombongan Francisco de Sa yang sudah hampir
meninggalkan wilayah bandar.
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng,
lalu berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib
yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.
Syahbandar itu membungkuk dan melambaikan tangan,
menghormat: “Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az-
Zubaid, Tuan.”
Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam
mengawasinya.
Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam
atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu
mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari
mulutnya: ‘Telah lama kutunggu kedatangan armada
Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.”
“Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa
tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku?”
“Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di
tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.”
“Di mana orang-orang itu sekarang?”
“Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan
menunjukkan di mana mereka bersembunyi.”
Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi
krangkeng besi itu.
“Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar
Tuban sekarang ini?” tanyanya dengan kata Syahbandar
ditekankan.
Francisco de Sa tak menjawab. lalu ia berpaling
dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam
pengawalan.
“Ya Allah, ya Allah!” sebut Tholib “Akhirnya tanganmu
juga yang terulur.”
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur.
Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya
pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan
dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya.
Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah
jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk
beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada
mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan
terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang
terbaik di antaranya.
“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.”
Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke
kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari
sudah tenggelam.
Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, lalu
datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil
besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan
palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipat-
lipatnya dengan pukulan, lalu patah. Linggis tak
terpakai Pintu besi itu pun terbuka.
Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng,
menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri
di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya.
Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari
bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak aman. Di antara
kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh
serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka
menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru
musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota,
terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masing-
masing.
Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul,
penggendong dan penuntun.
Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh
berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepala-
kepala pasukan.
Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai
Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan
bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala
Cuwil sebab sebagai Patih kurang betul dalam
memberikan keterangan tentang keadaan bandar.
Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepala-
kepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa
pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar sebab
pertikaian dari atas.
Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota
tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan
hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup
dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang
dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan
negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang
menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan
jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dulu.
Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal
mendapat bantuan dari siapa pun.
Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi
mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan
giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis
mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti
dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring
masuk ke bandar, diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng
baru.
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba
menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh
musket.
Lama kelamaan patroli Portugis juga berani memasuki
daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang
dapat ditangkapnya.
Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah
bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu.
Dan semua tangkapan yang dipekerjakan lalu di
sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak
memungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang
yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah,
baik sebab peluru ataupun sebab pisau tongkat Tholib. Ia
sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota
dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan
kenikmatan dalam merampas jiwa orang.
Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama
hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar
Ulasawa.
Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang
pada naik pitam. namun Syahbandar dengan tongkatnya
mendapat banyak julukan sebab setiap hari paling tidak ia
mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan
kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana
yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan
menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakek-
kakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga memasuki
kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas
dan perak. Untuk itu ia selalu membawa serdadu.
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum
sambil memekik senang: “Kafir!”
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana
ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri.
Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa
penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka
bemayat i-mayat i pindah ke tempat lain di malam hari.
Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada
didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondar-
mandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak
mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut.
Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa
perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka
membakar rumahnya sekaligus.
sesudah seminggu menduduki Tuban dan balatentara
Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis
mulai memberikan perintah pada Tholib Sungkar Az-
Zubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah
kiri kesyahbandaran.
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng
bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya
langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan
ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai
tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan
sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak
boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh
punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun
sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari
ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan
pengaiayaan untuk membikin mereka jadi kecil di hadapan
Tholib Sungkar dan Portugis.
Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja
menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali
tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas
permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul,
memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai
mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji
lempang, serut dan paku.
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah
berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian
atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup
dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan
sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah
menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan.
Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket
Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng.
Semua menghadap ke pedalaman.
Gedung kadipaten telah dijadikan tangsi pula sesudah
bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa
bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga
semasa Majapahit.
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong
menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat
laut dan darat ke Lao Sam.
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah
berhenti.
sesudah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan
melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah
pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai
berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan
menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu
rajasinga.
Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan
dengan binatang baru: tikus.
sesudah meninggalkan suaminya dengan membawa
kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan
selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus
diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang.
Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur
memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur
pantai.
Tembakan-tembakan cetbang menyebabkan ia
menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana
ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam
dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium
tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan – di
darat kalah, dilaut pun kalah.
Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan
seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami
dikrangkeng sebab perbuatannya yang hina dan
memuakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan
semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak
begini dan menjadi hewan liar?
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semak-
semak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia
ke pondoknya. Seorang perempuan lain telah
menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya.
Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang
hendak memasuki.
Dan makin lama makin banyak perempuan berkampung.
Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam mayat i dengan
tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan.
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu
dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang
serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdadu-
serdadu itu yang lalu menyebar memasuki gubuk-
gubuk yang lain.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: “Begini
tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang
perempuan semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku
telah mendapat tempat di bekas warung Yakub.”
“Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini.”
Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk
dan membujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku telah
bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan
kau di tempat yang mulia….”
“Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan sahaya.”
“Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan
memenuhi sumpahku.”
“Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara
diri sahaya sendiri.”
‘Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih
mulia, lebih patut untukmu.”
‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan.
Sahaya akan tinggal di sini.”
‘Tapi kau istriku. Kati.”
“Kalau Tuan memerlukan sahaya, datanglah Tuan ke
sini. Sahaya akan tinggal di sini.”
“Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?”
“Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan
sekarang?”
“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban?”
‘Tidak, Tuan, Gresik. Waktu perawan sahaya diculik
oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang
Tionghoa.”
“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke Gresik?”
“Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk
keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin
seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua.”
“Juga olehku. Kati?”
“Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk
sahaya, begini sudah baik. Tuan.”
“Makanmu bagaimana. Kati?”
“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun
bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada
bisa?”
Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan
mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur.
Tak lama lalu datang gelombang demi gelombang
orang-orang Portugis. Bila memasuki pondok Nyi Gede
Kati mereka segera pergi lagi, sebab perempuan yang
seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu
matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak
kunjung berhenti.
Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok
memasuki gubuknya dan tiga hari lalu ia rasai saluran
seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang
wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi...
Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar
luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat
pengungsian tengkorak sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita
tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan
sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu
mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang
menjadi gemas sebab kelakuannya.
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian tengkorak .
Gelar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar
berita itu. sesudah memasukkan kuda ke kandang ia sorong
pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan
adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan
tengkorak terperanjat bangun.
“Ada apa Gelar?”
Dan Gelar memandanginya seperti orang bingung. “Tak
pernah kau bangunkan aku seperti ini,” tengkorak duduk dan ia
lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau
habis berkelahi?”
Gelar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia
pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak.
“Ada apa kau ini? Kau begini aneh?”
Dan Gelar bercerita tentang masuknya Peranggi di
Tuban dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak
orang, dan membakari rumah, dan memang punya banyak
meriam. lalu matanya meredup waktu sampai pada
titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar
Tuban. Keberaniannya hilang.
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya
memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak
memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia
memang bukan anak Wirangmandala , tapi Syahbandar celaka
itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesamaan rupa antara
dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan.
Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak
orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam
jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang
bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah
sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati? Dan
betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi
semacam kotoran bagi Senapatiku?
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan
sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam
terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut
yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati.
Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa!
Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang,
dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya
yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang
menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang.
Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak
pernah sampaikan padaku? Malukah emakku pada
perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada
Senapatiku? Dan adakah aku hanya anak yang tidak
diharapkan?’
Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu
itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu
melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan meraba-
raba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah
memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani
bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan
muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak,
emakku, betapa kau menderita, hanya sebab pertanyaan.
Pertanyaan belaka, mak!
“Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban.
Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa
pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan?
Sakitkah kau?”
“Mak,” Gelar terhenti lagi. “Lama sudah aku ingin
tahu.” dan ia terhenti.
Dan betul saja sebagaimana ia duga, tengkorak sudah mulai
melengos membuang muka.
“Mak, apakah Emak berkeberatan punya Gelar ini
sebagai anakmu, Mak?”
Cepat-cepat tengkorak menarik muka dan menatapnya.
“Menyesalkah Emak punya anak aku?”
“Gelar!” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah
aku menrsi s kau, mengasihi, mengasuh dan
membesarkan?”
“Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang
terbaik yang pernah aku temui di antara semua
perempuan.”
“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan
pertanyaan semacam itu?”
“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.”
Di luar dugaan Gelar emaknya tiba-tiba merangkulnya,
suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang
dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak,
sampai kau mentala bicara semacam itu? Apakah kau tidak
suka punya emak semacam ini?”
Gelar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia
beranikan diri: “Jangan menangis begini, Mak,” ia terhenti,
“lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri,”
ia diam untuk mendapat keberanian. “Kau selalu tak mau
menjawab. Entah sudah berapa kali.”
tengkorak melepaskan rangkulan dan melengos
memunggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti
maksudmu. sebab itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu:
apakah seorang lelaki yang bernama mandala itu kurang baik
sebagai bapakmu?”
“Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi
lebih berharga.”
Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak
cukup, anakku?”
“Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan
hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak
tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wirangmandala ?”
dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh.
tengkorak mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya
sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, Gelar.���
“Emak!” ia memerosotkan diri dari duduknya dan
menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa
mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak.
Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan
Senapatiku.”
“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu?”
Gelar berdiri, lalu duduk di samping tengkorak , tak
berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia
mengetahui emaknya sudah basah sebab airmata
kesedihan.
“Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulang-
punggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik
untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik
untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?”
“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke
medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau
melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa
bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?”
“Kau masih merasa kurang, anakku.”
“Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu,
Mak, beri aku kebenaran itu.”
“Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup
padamu?”
“Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti
harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan
tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang
mencukupi?”
“Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran
itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu,
dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas
dalam, lalu menghembuskan ke luar seperti puputan.
“Jadi benar bapak bukan bapakku,” Gelar mendahului.
tengkorak melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi.
“Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu,
Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak
lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab,
bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan
menjawabkan untukku.”
sesudah untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar
tengkorak berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan:
“Benar, Gelar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu
kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut
menyampaikan. Bukan sebab takut pada kebenaran. Aku
takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah.
Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh
lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu
yang terjadi? Kau memang berhak, dan kau menuntut
hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila
matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam
ini. Tidurlah kau.”
“Mak!”
“Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat
memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih
membutuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru
bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak
sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.”
Tanpa memandang anaknya tengkorak kembali ke ambin
dan membetulkan letak selimut Kumbang, lalu ia,
tidur miring menghadap ke dinding.
Gelar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia
sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu
menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat
memberikan kebenaran yang jadi haknya.
Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar.
Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak
dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban,
membikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi,
dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan.
Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada
orangtuanya tergoncang keagungannya – hanya oleh yang
seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya.
Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk,
menghisap udara pagi segar, lalu pergi ke dapur. Ia
bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk
pertama kali ia melakukannya. Biasanya tengkorak sendiri yang
mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak
enak badan.
Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga
turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. tengkorak
belum juga muncul.
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah
memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu
hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia
lihat mata wanita tercinta itu bengkak.
Gelar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa
tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya
hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia
singkirkan perasaannya.
“Mak!” ia menegur lebih dahulu.
“Ya, Gelar, mari pergi ke ladang.”
Dan di ladanglah tengkorak mulai bercerita tentang impian-
impiannya setiap habis menari di kadipaten waktu
Wirangmandala tak ada di Tuban. Siapakah dapat
mengatakan impian mengandung kebenaran?
“Dan kau membutuhkan kebenaran itu, dan kebenaran
itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi
petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.”
tengkorak menerangkan pada Gelar tentang kehidupan
seksuil. lalu : “Dan bukti yang paling menentukan
adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku
tahu kau bukan anak Wirangmandala . Telah aku serahkan
diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan
sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata
itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni
emakmu ini.”
“Ah, Emakku, betapa kau menderita sebab
kelahiranku.”
“Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa
perasaanku waktu itu. Nyi Gede Kati telah siap melihat aku
bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa
menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olok-
olokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya
sebagai lelaki….”
“Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak?
“sesudah kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam
impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat
membela diriku. Bila suamiku bukan Wirangmandala , sudah
lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang
itu. Dan justru sebab percobaannya dalam keadaan aku
sadar dan dapat membela diri, Gelar, aku dapat
memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka
bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. lalu
orang mayat i membicarakan dia suka membius orang untuk
mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi Gede
Kati.”
“Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa!”
pekik Gelar.
“lalu dibiusnya juga penjaga-penjaga menara
pelabuhan. Kabarnya lalu juga dua orang pelarian
Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak
impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah
senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu
bagaimana caranya aku terkena biusnya.”
“Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.”
“Itulah ceritanya. Gelar. Aku takkan menuntut padamu
untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan
menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak
punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar
dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau
anggap emakmu tidak setia pada Wirangmandala , sudahlah
jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka
padaku, terserahlah pula padamu….”
“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama Gelar ini
lebih percaya pada emaknya dibandingkan siapa pun. Sekarang,
Mak apakah orang itu, yang suka membius itu—”
“Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau
menyebutkan namanya.”
“Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan
ia lihat duka-cita telah membenam wajah ibunya. Buru-
buru ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup,
“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.”
lalu ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya
menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat
menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.
“Gelar!” pekik ibunya. “Gelar! Gelaaaar!” ia lari
memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, “Aku
telah kecewakan kau. Maafkan aku. Gelar.”
Gelar berjalan menuju ke kandang kuda, membuka
palang-palang dan menuntun Sultan keluar.
“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya
ibunya kuatir.
“Mari ke gubuk dulu, Mak.”
Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda,
menuju ke gubuk. Gelar masuk ke dalam dan memanggil
adiknya.
“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak.
Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang.
Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.”
“Kau mau ke mana. Gelar?” tengkorak bertanya.
“Mak, ambilkan pedangku.”
Tanpa membantah tengkorak pergi mengambilkan apa yang
dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang Gelar segera
berkata: ‘Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu
sendiri.”
“Kau mau ke mana. Gelar? Aku tak mau kehilangan
kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya
selama memasangkan ikat pinggang pedang pada tubuh
Gelar.
“Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”
“Apa kataku kalau bapakmu datang?”
“Mak, pasangkan destarku.”
tengkorak pergi lagi dan datang membawa destar terbaik.
Gelar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi
rambutnya sebelum didestari.
“Aneh benar tingkahmu. Nak?”
“Keris bapak, Mak.”
“Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya
sambil menyelitkan keris yang telah membunuh Sang Patih
Tuban.
Gelar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum,
bertanya: “Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak,
gagahkah dia?”
“Tak ada yang lebih gagah.”
“Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda,
Mak?”
“Jangan sakiti hati emakmu. Gelar.”
“Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik,
Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar
kau bisa kenangkan dia dengan baik.”
“Gelar! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya
tengkorak memohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua,
bukan?”
Sekarang Gelar berlutut lagi dan menyembah ibunya.
“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan tengkorak
terpaksa merestuinya. lalu ia berjalan keluar dan
memanggil kudanya: “Sultan! Sultan!” Kuda itu datang
menghampiri. Ia melompat ke atasnya.
“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia
selitkan cambuk-perang yang selama ini dipergunakannya
berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang
tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di
belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau
langit. Kuda itu bergerak, berpacu.
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, lalu
hilang di dalam hutan….
0odwo0
41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang
alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu.
Pada suatu padang rumput barulah berhenti. Gelar turun
dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di
tepian padang, makan rebus jagung muda.
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa
Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh
pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga
Gelar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita.
sesudah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat
pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya.
Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. lalu ia
melanjutkan perjalanan kembali.
“Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat!
Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.”
Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia memasuki
jalanan desa.
“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana
kau harus bawa aku?”
Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan
dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan
makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan
kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil
melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada
berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia
ini.
“Ah-ah, kau memang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku
hendak pergi.”
Kuda telah meninggalkan desa dan kembali memasuki
persawahan.
“Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada
Peranggi,” ia memperingatkan. “Sekiranya, Sultan,
sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang
sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa
kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? Matari pun
belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.”
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui
jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap
kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak
banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya
matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia
pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon
tinggi, menyuruhnya berhenti.
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan
bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung.
Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. Gelar
menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap
menolak maju dan terus juga meringkik.
“Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan.
Gelar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia
mencabut tombak.
“Orang siapa? Demak?”
“Bukan.” .
“Peranggi?”
‘Tidak.”
“Tuban?”
“Tiga-tiganya tidak!”
“Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah.
Siapa kau?”
“Keluar kau dari semak, lelaki, inilah Gelar.”
Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa
belas orang keluar melingkarinya. Gelar sendiri duduk di
atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan
kewaspadaan.
“Kau, Gelar!” mereka berseru senang.
“Ayoh, turun.” Gelar curiga. Tapi suara tawa mereka
mayat h. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang
melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang
prajurit pengawal Tuban.
“Ayoh, Gelar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda
seperti kau.”
“Siapa kalian,” Gelar bertanya curiga. “Demak atau
Tuban?” ia bertanya kembali.
“Tuban. Sudah butakah matamu? Ayoh, minum tuak
dulu! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak,
tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan
menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang
seperti itu?”
Gelar mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa
waspada dan turun.
“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia
awasi prajurit-prajurit pengawal itu.
“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh
bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung
dengan kami?”
Dengan tetap memegangi hulu pedang ia hamp iri bekas
tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku
mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban.
Dengar?”
“Beres. Bergabung dulu. Minum, ambil tuak itu.
Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung
ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar
lalu mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan.
“Kau sudah perjaka gagah berani. Gelar!” seorang
memulai. ‘Tahukah, kau. Gelar,” seseorang menyambung,
“Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?”
Gelar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam
menembusi mata si penanya, lalu meletakkan cangkir
di tanah.
“Jangan kau gusar,” segera orang meredakan. “Peranggi
telah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi
segala macam kecelakaan.”
Gelar menahan diri. Ia mencoba memahami adakah
ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina
ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat
memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati.
“Siapa itu?” Gelar bertanya curiga.
“Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, Gelar, kau mau ke
mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?”
Gelar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara:
“Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan
dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami
sudah cukup tahu. Gelar ”
“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau
mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. Gelar,
mungkin pingsan sewindu”.
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru
dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua!
Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh
kembali!”
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke
jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda
menyampaikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali.
Senapatiku telah datang.”
“Banteng Wareng?”
“Bodoh. Wirangmandala ! Bersoraklah untuk Senapatiku.”
Orang pun bersorak-sorai. Gelar menyembunyikan muka
pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu
bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang
Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri
dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang
Senapati?
“Sultan!” sebutnya pada kudanya meminta simpati.
Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti.
“Kau tidak ikut bersorak. Gelar!” seseorang menegur.
“Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya,”
jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada
punggung Sultan.
“Ayoh, semua berangkat sekarang juga.”
Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan
naik ke atas kuda. Juga Gelar bergabung dengan sendirinya
dan ikut berangkat
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan
telah hilang di balik tabir debu. la membutuhkan waktu
untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku!
Senapatiku, masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima
diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu?
Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu
kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku.
Bapak! Bapak, aku, Gelar datang.
Gelar diterima kembali oleh pasukannya.
Dan Senapati Tuban, Wirangmandala , ternyata tak pernah
dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita
bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian
kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit.
Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap
seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu
dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu
pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat
dilawannya.
Prajurit-prajurit yang selama ini dibiayai oleh praja
Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani,
telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja
prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari
perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas
kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap prajurit
menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan
ternyata setiap prajurit bisa menjadi petani dan setiap petani
bisa menjadi prajurit.
Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang.
Gelar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk
mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa memasuki
Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa.
tengkorak telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar
itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya
dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua
orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya,
orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata
dan kuping sendin bagaimana macamnya.
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi.
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi
pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih
memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu
fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan
selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia
dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan
betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang
membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya
dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam
perang terakhir nanti.
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang
saja bisa membikin diri dan emak dan Senapati menelan
kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu
sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia
meraung sunyi.
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan
pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang
terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang
berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan
syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua
senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke
utara.
Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia
nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas,
bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak
ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan
pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini
diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakau-
bakau.
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada
kegembiraan, beda dibandingkan pondoknya dalam
pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah
lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.
Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang
anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata
orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah
pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya
bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut
untuk bertani.
Di malam hari waktu mereka pulang ia mendapat cerita,
penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi
orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman.
Mereka pun telah berhenti membikin ikan asin dan trasi.
Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan.
namun Gelar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah
tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan
yang amat sangat.
Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang
laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara
kuda dan barang-barang titipannya.
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke
jurusan timur – pengalaman pertama dalam hidupnya
sebagai orang pedalaman.
Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatan-
pemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya
di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah
geraknya.
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri
pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir
maut begini – suatu kehormatan untuknya. Ia akan
tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang
mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas
berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati
Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti
dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya.
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak
menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan
selamat di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang
di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal
pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir
telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat,
berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan
tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan
mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya
jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya,
terutama hidung-bengkungnya.
Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis
dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan
cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan
permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak
kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup
manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan.
Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan
tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak
rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan
satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang
menyebabkan ia menrsi s dan nampak pucat. Dan itu
lebih baik baginya.
Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan
baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat
mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar
benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu.
Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan
Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu
terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang
merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, namun di
malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga
mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari.
Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampung-
kampung dan menggauli wanita yang tak mampu
meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang
berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia
sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk,
tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus
tua. lalu ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi
Gede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak
terpelihara lagi seperti dulu.
Beberapa hari lamanya ia memata-matai Syahbandar, la
selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan
setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi Gede Kati, seorang
diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk
itu pengawal-pengawalnya lalu pergi dan masuk ke
tempat-tempat lain.
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir
jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia
berhenti, mengawasinya sejenak lalu bicara sesuatu
dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat
Syahbandar itu memerlukan untuk meludahinya, dan Gelar
tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya
dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu
dengan pandangnya.
Itulah bapakmu yang sesungguhnya. Gelar, buruk
sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat
sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia?
Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan?
Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? Tapi
itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri
mengatakan dengan jalan dan cara lain.
Betapa emakku menderita sebab kau, menanggung
malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke
tanganku iblis tua! Inilah Gelar, anakmu, dia akan datang
padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari lalu , pada
suatu sore ia melihat Nyi Gede Kati menggendong bakul
entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran,
la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah
goyah, tiada mantap seperti biasanya.
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu
memasuki gubuk dan sebentar lalu juga Syahbandar
dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawal-
pengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain.
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan
debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret
dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara
tawa Syahbandar dan Nyi Gede.
“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.”
“Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.”
Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya
dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa,
mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain
muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari
bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka,
lalu kembali ke gubuk Nyi Gede.
Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melompat masuk
sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung.
Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya
ternganga.
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi
Gede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap
serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas ambin
kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya.
Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari
tempatnya: “Gelar!”
“Nyi Gede!” tiba-tiba saja Gelar lupa pada kegilaannya.
“Gelar! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah
mendekat.
Dan Gelar merasa agak berkecilhati sebab wanita itu
segera mengenalnya. Ia melengos memandangi
Syahbandar.
“Beginilah nasib anakmu, Nyi Gede.”
“Gelar?” Syahbandar bengong dan turun dari ambin.
“Ya, inilah Gelar.”
“Sudah kucari Nyi Gede ke mana-mana. Beri aku
makan,” perintah Gelar. Kasar.
“Gelar? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku
masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.”
“Makan?” Gelar tertawa sinting. “Siapa yang cukup
makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada
Tholib.
“Compang-camping begitu,” gumam Syahbandar,
“mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan
kesiagaannya. “Kulihat memang Gelar seperti celeng keluar
dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar,
biar Nyi Gede selesaikan masaknya.”
“Di mana emakmu?” tanya Nyi Gede.
“Lari. Tak tahu aku ke mana.”
“Seperti gila, tapi bisa menjawab,” Syahbandar
meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya,
dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan
pada Gelar, “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan
prajurit Tuban?”
“Minum, Nyi Gede!” Gelar meminta kasar, membelalak.
Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta
maaf dan menghampiri: ‘Tuak aku tak punya, Gelar.”
“Air tawar?” gumam Gelar, lalu meneguk dan
meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar,
tapi masih tetap Gelar, Nyi Gede,” ia tersenyum di buat-
buat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada
Syahbandar, “Siapa orang ini, Nyi Gede?”
Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan
menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa
siapa dia?”
“Apa guna kau mengenal aku?” Syahbandar menolak
untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari
pintu.
Gelar mencegahnya melangkah lebih jauh.
“Siapa!” tanyanya pendek dengan suara menggeram.
“Tingkahmu menakut-nakuti orang Gelar. Dulu kau
tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, Gelar.
Kau begitu kotor dan busuk.”
Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh
beberapa langkah.
“Jangan mundur!” tegah Gelar. “Biar kuingat-ingat siapa
kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti
hidungmu.” gumamnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat
kau dalam hidupku.”
“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,”
tegah Nyi Gede sambil meneruskan masak.
“Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban?”
“Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar,”
Gelar meneruskan gumamnya. “Kalau aku sudah menjadi
tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?”
Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan
kembali gelar menghalangi.
“Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam
Syahbandar.
“Syahbandar, Tuan Syahbandar,” bisik Gelar. “Tuan
Syahbandar Tuban. Tapi siapakah namanya? Sudah lama
kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi
siapakah namanya?”
“Gelar! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu
pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.”
“Benar, Sayid Habibullah Al-Masawa!” Gelar
mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.”
“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi
Gede yang kembali mendekatinya. “Hormati dia
sebagaimana kau menghormati orangtua.”
Gelar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan
tongkatnya.
“Gelar! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak
Syahbandar. “Kau ini orang Demak atau Tuban, atau
hanya main pura-pura gila?”
“Kau menghadapi Tuan Syahbandar sebagai
menghadapi…,” Nyi Gede memperingatkan.
“Nyi Gede, ingatkah Nyi Gede semasa aku masih kecil?”
tiba-tiba Gelar bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan
Syahbandar Sayid Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi
Gede, dia bapakku.”
“Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak Tholib
Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi.
“Benarkah itu, Nyi Gede?”
Wanita itu meneliti wajah Gelar, memarahi: “Kau
datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan
tidak pada waktunya.”
Gelar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak:
“Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar? Jangan, jangan
pergi. Anakmu ingin bicara,”
“Tak ada aku punya anak seperti kau.”
“Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang menipu ataukah
emakku tengkorak ?”
“Jelas tengkorak penipu!” Syahbandar memutuskan.
Nyi Gede memegangi bahu anak muda itu, bertanya
lunak: “Pernahkah tengkorak bilang begitu?”
“Tak pernah tengkorak mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi
Gede, kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir.
Apa katamu?”
Nyi Gede menarik Gelar agar duduk di ambin, tapi ia
menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan
masakannya.
“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, Gelar,” ia
memperingatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan
Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang
kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai.
Tuan Syahbandar….”
“Apa saja semua ini…,” protes Syahbandar.
“… Jangkung, tapi tua dan bongkok. Memang
sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata,
rambut….”
“Diam, kau, Kati,” bentak Tholib Sungkar. “Gila kalian
berdua ini. Aku pergi.”
Dan Gelar menghadang.
“Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami?
Nyi Gede, ceritakan penderitaan emakku sesudah
melahirkan.”
“Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan
dituduh oleh suaminya, Wirangmandala . Si periang itu, jadi
pendiam untuk selama-lamanya sesudah itu, jadi pemenung.
Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan
sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk
dicundrik mati.”
“Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku?”
“Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan
emakku sebab tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi Gede.”
“Wirangmandala tidak mencundrik emakmu. Dia tetap
mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. namun wanita
itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat
pulih kembali.”
“Dan semua dimulai dengan obat bius,” Gelar
menambahi.
“lalu , baru lalu itu diketahui,” Nyi Gede
Kati membetulkan.
“Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah
Syahbandar.
“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi Gede menuduh.
“Kau, Kati, kau juga menuduh aku?”
“Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi
pelarian,” Gelar meneruskan, “korban obat bius.”
“Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan
penderitaan tengkorak ?”
Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia
menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat
memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada
sumpahnya untuk mengakui Gelar sebagai anaknya. Dan
anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu
aturan.
“Setiap dia melihat kau. Gelar,” Kati meneruskan, dia
akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan
yang mengguncangkan itu, sebab dia sangat, sangat
mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa
saja. sebab besarnya cintanya itu sebelumnya dia telah
hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak
segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar
membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran
dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, Gelar, kau pun
lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi.
Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.”
Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan
tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan,
tapi justru mendengarkan.
“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” tapi
Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. “Gelar!
Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di
dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak
lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang
pertama-tama kaget. sesudah kau kumandikan dan
kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diam-
diam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid,
Tuanlah sekarang yang bicara.”
“Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” Gelar
menuduh.
“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak
dia?”
‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.”
Gelar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak.
Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan
suatu gerakan semu. Gelar meliriki tangannya, tertawa,
lalu : “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau
aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh,
siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu?
Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya
babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku,
tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak
percaya, ayoh coba.”
Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya.
“Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku.
Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah
kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan
kalau Gelar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau
bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan
kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku!
Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!”
Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai
diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya.
Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup
membantunya melawan anak kemarin yang tak
berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya
untuk dirimu sendiri.”
“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.”
‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?”
“Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh
kau, anak gila.”
“Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah
bedanya?”
“Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku
melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh
berdatangan?”
‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.”
“Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding,
dengan atau tanpa nama.”
“Jari itu akan patah sebelum menuding.”
“Itu benar, Gelar,” Nyi Gede menggarami.
“Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi:
adakah kau bapakku?”
‘Tak pernah aku punya anak seperti kau.”
“Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih
mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan
bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan
bapakku, aku bukan anakmu.”
“Kau memang terlalu. Tuan, Gelar sudah marah begitu.”
“Dia kira mudah membunuh Sayid Habbibullah Al-
Masawa,” ejek Syahbandar. ”Kau hadapi seribu Peranggi.
Kau takkan lepas!”
“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak
sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!”
“Diam!” bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada
Gelar, “Setan mana yang membawa kau padaku?”
Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat
tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang
hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur
membikin gerak penikaman yang mematikan.
Gelar berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya
sambil mendesis cepat: “Nyi Gede, jangan sesali aku kalau
kuperlakukan suamimu seperti ini.”
Nyi Gede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan
anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai:
“Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk
kau!” tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut.
Tongkat Gelar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan
pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu
kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan Syahbandar
dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular
berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan
berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan
senjatanya.
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua
manusia.
Nyi Gede melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya
dapat keluar nyaring.
‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!”
“Kau membela dan memberanikan dia!” jawab
Syahbandar sambil terus menyerang.
‘Terkutuk si pembunuh anak!”
Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit
ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak
turun lagi.
“Menjijikkan,” dengus Nyi Gede melihat Syahbandar
berdiri tanpa bongkok di hadapan Gelar tanpa bergerak,
“mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut
mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.”
“Kau tidak membela aku. Kati.”
Gelar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di
hadapan Syahbandar. Nyi Gede Kati turun dari ambin dan
mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan
kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk
kau!”
Gelar membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri.
“Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku.”
“Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin
menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang
pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya.”
“Kau pun akan binasa, Kati.”
“Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau,”
bentak Gelar dan melayangkan tongkatnya pada kepala
Syahbandar.
Nyi Gede menutup mata dengan tangan, memekik:
‘Terkutuk, kau Gelar, pembunuh ayah sendiri!”
Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan
tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan
mulutnya dan kupingnya keluar darah.
Gelar menarik tangan Nyi Gede ke arah pintu.
“Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!”
“Peranggi akan aniaya kau!”
“Binatang! Pergi!”
Gelar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam.
Ia lari entah ke mana.
Nyi Gede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke
kanan, lalu pun lari entah ke mana….
0odwo0
42. Koma
Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan
balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk
dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita
suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa
serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin
membikin udara semakin dingin. namun tak ada seorang
pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan
beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di
malam hari.
Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah,
menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati
Wirangmandala dalam mengusir Peranggi.
Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan.
Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya,
lalu ia turun.
“Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya.
Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang
bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada
waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan
Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam,
berlindungkan kegelapan.”
Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan
mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus
lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat
ditangkapnya. lalu peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban,
kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi
Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan
pekerjaannya baik.
‘namun ,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu
ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak
pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri
ganjarannya.”
“Barang tentu, peratusku!”
“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?”
“Nyi Gede Kati bekas penrsi s keputrian kadipaten, la
tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan.
“Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan?”
“Benar, peratusku!”
“Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?”
“Lebih dari melihat, peratusku.”
“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?”
Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah
terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati.
“Gelar!” serunya, “bukankah kau dididik dalam
Buddha?”
“Benar, peratusku.”
“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?”
“Tahu, peratusku.”
“Bagaimana bisa kau lakukan….”
“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.”
Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam.
Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. lalu ia pergi
tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara
Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang
terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki.
Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang
bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api,
membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala
Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wirangmandala .
Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari
Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan
terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran
malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh
Wirangmandala dalam sejarah perang di Jawa, akan
menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran
tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi
meriam musuh.
Masalah yang lalu timbul: sampai berapa lama
Peranggi dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah
mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh
tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus
kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena.
Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari
akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan
semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak
bisa diharapkan.
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali
pukulan yang mematikan.
Masalah yang lalu timbul: balatentara Demak.
Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik
dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di
mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan
Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang
pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil-
alih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan.
Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wirangmandala .
Dengan demikian persidangan sambil berdiri
mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar,
Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik
terakhir?”
“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu,
dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa
Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil.
Wirangmandala terdiam.
“Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu
menambahkan.
“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.”
“Baik, Senapatiku.”
‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia
di mana dan cara dia mendapatkan.”
Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan
untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil.
Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum.
Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari
intaian Demak.
Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu.
Juga dan apalagi Gelar.
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah
diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa
telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak
mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu
menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan
keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh
tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu
membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun
abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk
senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, sega-
la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun
akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa
lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu
dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar?
Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali
waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan
mendapat pujian dibandingkan nya. ingin segera pulang untuk
berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati
bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan
balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang
emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wirangmandala akan
malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari
kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas
yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa
kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia
harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang
lebih besar.
Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi?
Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia
mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas
penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia
telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik
perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin
tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja,
dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan
padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri.
Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu
sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan sesudah
menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat.
Semua bersenjata lengkap.
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman
baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit
luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan
seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya dibandingkan tiga orang
peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia
memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke
Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan
meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi:
membawa berita pada tengkorak tentang kedatangan Senapati.
Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan
emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang
prajuritku sekarang.”
Dan tengkorak dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak
itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan
orang yang lebih tua dibandingkan dirinya sendiri.
“Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.”
“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi
kepercayaan ini?”
“Mana aku tahu, Nak?”
“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada tengkorak
dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak
berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba emaknya memekik: “Gelar!” sambil
menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak
mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu.
Aku tak percaya.”
Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah
jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam
hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang
tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah
melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya.
tengkorak berdiri tegak seperti patung. Matanya masih
membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip.
Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lambat-lambat tengkorak memejamkan mata, menunduk.
Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak:
“Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau
menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada
anakku bisa berbuat seperti itu!”
Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi
berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa
lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya,
merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak
menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang
ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak
persembahan bakti….
“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?”
“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau
berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?”
Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti
tanpa mengerti duduk-soalnya.
“Kau merestui keberangkatanku, Mak.”
“Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu.
Memuakkan, memuakkan.”
“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.”
“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha
Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan
sanggup – sekalipun kau bohong!”
Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan tengkorak
sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang
dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa mayat h dan
menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah
nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain,
lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga
dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara
memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah
restu.”
“Berangkatlah,” kata tengkorak seperti pada orang asing.
“Kau tak merestui aku, Mak?”
“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang
restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar,
berangkatlah.”
“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?”
Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan
emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat
lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi
di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu.
Senapatiku Wirangmandala sudah datang di Tuban.”
“Bapak!” seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia
tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lambat-lambat wajah tengkorak kembali seperti semula.
Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
“Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan
Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi,
Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai
prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak
mengakui aku sebagai anaknya, namun kata-kata itu tersekat
beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan
gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing
itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi
memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara.
Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal
minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa
didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang
patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu
atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu
biasanya sumber minyak.
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya
pimpinan pencarian padanya.
“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya
minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus
orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak
yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan
penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai
Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula
penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup
dengan minyak kelapa?
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak
mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang
adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan
itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan
mungkin akan terlewati.
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera
terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan
kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua
jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan
musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi
perbukitan Kendeng mencari sumber minyak….
Wirangmandala bersama dengan para pemimpin pasukan
sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang
dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa
orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai.
Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka
adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
Wirangmandala berdiri bertolak pinggang dengan pandang
merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih
tegap dibandingkan tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya
nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis
kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya.
Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di
samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat
dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu
seperti sekepal ijuk.
“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu
atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang,
bahka