nusantara awal abad 16 28

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 28




 rang akan melindunginya. Sang 

Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan 

berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati 

memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat 

dibandingkan  yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulang-

tulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia 

berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya. 

Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawal-

pengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahu-

perahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal 

pasukan laut Tuban yang nampak. 

Apalah arti hidup semacam ini? Laut itu pun sudah 

kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan 

panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya. 

Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun 

terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang 

untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai 

berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat 

melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang 

bersorak-sorak 

Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan 

orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang 

sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan 

tak dapat berbuat sesuatu pun sebab  perlindungan Sang 

Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku 

ini? Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang telah 

Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selamatkan 

dari orang sebanyak itu? 

la telah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan 

ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam 

bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya 

sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya 

sampai pecah sebab  itu. 

Matanya mengembara dari ruji ke ruji, lalu  

dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia. 

namun  ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah 

membunuh Esteban dan Rodriguez, membikin bulu 

badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dulu 

salah seorang di antara korbannya menggelantung 

mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu 

kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung 

oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia 

duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. 

Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi, 

lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas 

pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam. 

Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki 

langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, 

tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam 

penrsi san hukum Pribumi di Tuban? Mati. Mati juga 

yang akan dihadapinya. 

Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak 

itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik 

itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam 

keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang 

dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina. 

Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam 

waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri, 

basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu 

tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng. 

sebab  tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba 

mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama 

sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk 

menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia masih 

mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak 

berani. 

Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang 

sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan 

menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi 

tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan 

bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu. 

Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang, 

duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan 

muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi. 

Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan 

untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus 

datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan 

datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya 

sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan 

membunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan 

terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub 

terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan 

Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan 

mau membayarnya dengan uang – uang apa saja, asal emas 

atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia 

jarang kelihatan lagi. 

Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising 

melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya 

bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya. 

Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga 

yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh 

pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan 

mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim 

mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung 

dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong 

dan menjebik. 

Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menari-

nari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri 

dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, 

dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di 

dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu 

seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian 

hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul 

semua kalian akan binasa. 

Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya 

semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada 

pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan 

menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa 

bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak 

henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh 

ratusan, ribuan orang yang mengepungnya. 

Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka 

mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan 

penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak 

membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi 

berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka 

mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak 

jelas. 

Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut 

kini menjadi jelas mencapai pendengarannya. 

Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malam-

malam begini. 

Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia menunduk 

lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan 

berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya 

seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang 

seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini? 

Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang 

berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah 

kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam 

krangkeng maut ini? 

‘Tuan Syahbandar!” ia dengar panggilan pelahan. 

Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton 

yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu sebab  

semutan. 

“Kati, Kati! Nyi Gede!” desaunya, “istriku yang setia. 

Aku tahu kau akan datang.” 

“Bagaimana, Tuan Syahbandar, mengapa jadi begini?” 

“Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang 

bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!” 

“Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu Gusti telah 

mangkat?” 

Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata 

orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi Gede, 

berbisik: “Menghadaplah pada Sang Patih.” 

“Sahaya akan menghadap. Tuan.” 

“Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang 

berani, yang mulia. Kati, Nyi Gede Kati….” 

“Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban?” 

Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini 

ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam 

kegugupan ia menjawab: “Allah mengirimkan aku kemari 

dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. 

Allah telah membisikkan padaku untuk mengambil dan 

memelihara istrinya sebaik-baiknya…” 

“Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah. 

Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan 

dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan 

minumlah banyak-banyak, sebab  hari besok akan punya 

kemungkinan lain.” 

Ia sorongkan lodong bambu berisi air. 

Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit, 

dan Nyi Gede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata. 

Mengetahui suaminya hanya mau makan dari 

kirimannya Nyi Gede Kati mengusahakan datang ke 

krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada. 

Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi 

seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek, 

mencemooh dan meludahi aku, Kati,” Tholib mengadu. 

“Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada 

larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau, 

istriku yang setia, yang memeliharakan aku. Allah akan 

membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala 

perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi 

Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.” 

“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri 

Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? Sahaya 

sudah menghadap Sang Patih.” 

“Ya-ya, bagaimana hasilnya?” Tholib menyambar 

dengan rakus. 

“Nanti, nanti! kata Gusti Patih, dan cuma itu. Tuan.” 

Syahbandar Tuban melengos dan menghembuskan nafas 

panjang lalu  duduk tanpa daya. 

“Ya Allah,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin, 

terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa 

ini – sampai kapankah berakhir?” 

“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada 

akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib 

menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita. 

“Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik.” 

Syahbandar mengangkat muka dengan harapan amat 

sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah 

menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.” 

“Semua telah sahaya usahakan. Tuan.” 

Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya 

akan kesulitan Nyi Gede dan bertanya: “Bagaimana 

hidupmu. Kati, istriku?” 

“Seperti yang lain-lain. Tuan-” 

“Tiadakah kau mendapatkan kesulitan dari mereka?”,  

“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang 

menderita?” 

“Betapa mulia hatimu. Nyi Gede. Mengapa baru aku 

ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.” 

“Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan 

mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. 

Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.” 

Dan pergilah wanita itu pulang sesudah  menyorongkan 

beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya. 

Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah 

pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua 

terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita 

gelandangan. 

Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya. 

Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di 

belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia 

anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk menrsi s 

suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah 

dan sabar. 

“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua 

ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka. 

Anak-anak berseru-seru riang setiap ia 

memperdengarkan suaranya. 

“Mengapa cuma kau yang mau menrsi si Almasawa?” 

“Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain 

menambahi. 

“Kau gila, Nek?” 

“Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di 

gubuk. Bagaimana takkan gila.” 

Nyi Gede Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan 

di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk. 

Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang 

yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya. 

Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu 

terbawa dan Nyi Gede melepas kembali. Anak itu jatuh 

terduduk. Yang lain-lain semakin mayat i bersorak-sorak 

Kalau aku punya anak, pikir Nyi Gede, mungkin ada dia 

di antara mereka. Ia tersenyum. 

“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang 

di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.” 

Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. 

lalu  pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah 

jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “Ayoh masuk, di dalam 

sini masih ada sedikit makanan.” 

Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang 

paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundur-

mundur dengan pandang memancarkan ketakutan. 

“Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.” 

“Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang 

terbesar memberanikan diri bertanya. 

“Mengapa? Dia suamiku.” 

“Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di 

krangkeng.” 

“Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus menrsi snya, 

bukan? Walau dia penjahat?” 

“Tidak bisa!” pekik anak paling besar itu. ‘Tidak 

mungkin bapakku seperti dia!” 

“Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?” 

Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. 

la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi Gede. Wanita 

itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai 

menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan 

kerakal. 

Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid 

Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa 

dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi kemayat ian. 

Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota: 

Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam 

pengawalan prajurit-prajurit. 

“Semua begundal Peranggi tertangkap!” seorang prajurit 

berteriak mengumumkan.  

“Dulu dibiarkan merajalela.” 

Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada 

Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus 

bersiap-siap menghadapi persoalan itu. 

Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak 

menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepat-

cepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk 

ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi. 

Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan. 

Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan 

segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan 

lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. 

Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku, 

ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak 

kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali 

ini. 

Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia 

menunggu sampai sore hari. 

Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib 

menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan 

dimulai? Apa? Prajurit itu tidak membukakan pintu 

krangkeng. Senyum mayat hnya untuk minta keterangan 

dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu 

mematahkan senyumnya. 

Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. lalu  

bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang 

baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka: 

“Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda 

Peranggi di Tuban? Bedebah!” 

“Tidak benar,” bantah Tholib. 

“Dan Yakub akan jadi patihmu!”   

”Bohong!” pekik Syahbandar, menduga begitulah 

pengadilan atas perkaranya mulai disidangkan. 

“Kau kirimkan meriam pada si brandal Kiai Benggala 

buat tumbangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan 

jawabannya.” 

Kepercayaan diri Syahbandar mulai goncang. 

Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya? 

Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku? Inikah 

macamnya? Bagaimana aku mesti membela diri di depan 

pengadilan semacam ini? Siapa sesungguhnya penuduh dan 

siapa pula hakimnya? 

“Kau suruh orang mengambil meriam-meriam dari kapal 

Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu 

dalam keadaan terbelenggu dan terbius.” 

“Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung Tholib Sungkar 

dalam kegugupannya. 

“Yakub dan gerombolannya yang kau suruh.” 

“Yakub keparat!” pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan 

keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah 

krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang telah 

dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada 

sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak, 

kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya 

tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan 

putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga 

yang keluar  

“Yakub keparat! Yakub keparat!” 

“Raja-muda Tuban!” orang-orang mulai bersorak 

menuduh. 

“Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar!” ia 

memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora sorak-

sorai menuduh. 

Matanya membeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam 

batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk 

membela nyawa sendiri. 

“Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui 

Wirangmandala .” 

“Tidak! Tidak benar. Wirangmandala  keliru!” pekiknya, 

lalu  mendesau-desau, “Wirangmandala  keliru!” 

pekiknya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.” 

“Kau bunuh Esteban.” 

“Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan. 

Bukan.” 

Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia. 

Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang 

mengancamnya. 

“Siapa yang membunuh dia?” 

“Bukan aku. Yakub!” 

“Pembohong!” pekik orang itu. 

Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, 

mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara 

itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata 

mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang 

terkandung di dalamnya. 

“Kau bunuh Rodriguez!” 

“Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang membunuhnya.” 

“Pembohong.” 

“Betul. Betul bukan aku. Bukan.” 

“Kau khianati Sultan Mahmud Syah Malaka.” 

“Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang 

mengkhianati.” 

“Kau racuni gajah-gajah Sultan Mahmud Syah.” 

“Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.” 

Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik 

para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis 

meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya, 

dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau 

bius tengkorak !” 

‘Tidak benar!” ia meraung melolong. ‘Tak pernah aku 

bius tengkorak  atau siapa pun. Dan Gelar bukan anakku. Benar, 

tidak, tidak, tidaaaaaak!” 

“Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik tengkorak  anak-

beranak,” desau angin meneruskan tuduhannya. 

“Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik 

Nyi Gede tengkorak . Bukan aku.” 

“Kau tipu Gusti Adipati dengan cerita-cerita bohong.” 

“Aku orang suci!” raung Tholib putus-akal. 

Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air 

dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan 

pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, 

la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri. 

Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum 

aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela 

diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah 

rampas keseimbanganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan 

hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin 

pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku 

ini? 

la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang 

lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang 

datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan 

dan ludahnya. Bemayat i-mayat i mereka mendorong 

krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan Tholib 

menggeletar sebab  geletaran krangkeng dan berayun-ayun 

mempertahankan keseimbangan. 

“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!” 

seseorang berseru. 

“Besok, Ulasawa, Raja-muda Peranggi, besok!” yang lain 

menambahi dengan gemasnya. 

Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini. 

Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini. 

Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana 

krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali. 

Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain 

yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya 

yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar. 

Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, lalu  orang 

mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari 

krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar 

lebar. 

“Nah, katakan semua tadi, Yakub!” 

“Dia itulah,” Yakub memulai dengan menuding 

Syahbandar Tuban dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi 

segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya 

sebagai bawahan.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia 

berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai 

pribadinya. namun  tuduhan Yakub lebih kuat dibandingkan  

usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap 

olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil. 

sesudah  orang mendesak dan memaksa-maksa untuk 

menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi Allah. Orang 

itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia 

ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak 

pernah ada seorang pewarung arak dipercayai 

omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh Gusti 

Adipati Tuban yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia 

tertawa menghinakan.  

“Siapa yang jadi Syahbandar Tuban? Aku ataukah dia?” 

Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi Syahbandar 

Tuban? Aku ataukah dia? Katakan, kau, Yakub, kau bukan 

penipu. Ayoh, buktikan.” 

Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya 

menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan 

mengenakannya pada kepala Yakub. 

“Bicara, kau, Yakub!” bentak seseorang. 

“Semua telah sahaya persembahkan pada Gusti Patih 

Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi 

lagi.” 

“Apa telah kau persembahkan, penipu?” 

“Katakan, Yakub,” seorang wanita memohon. Dan 

orang itu adalah Nyi Gede Kati yang berpakaian compang-

camping. 

Yakub tetap pada sikapnya. 

Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat 

sokongan kekuatan batin. 

“Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah, 

pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana 

kau menipu dan membunuh!” bentaknya. 

“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak 

punya kehormatan dan harga diri!” seorang prajurit 

membentak Syahbandar. 

Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan 

ludah. 

lalu  lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang 

terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada 

tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai 

mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi Gede Kati. 

Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan 

terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya 

kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju 

yang telah dekil. 

“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati? 

Mengapa diam saja? Demi Allah, aku tak bersalah sedikit 

pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau, 

dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku 

telah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?” 

Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan 

bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip 

dari celah-celah sobekan. 

Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orang-

orang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah 

datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah 

pelabuhan menjadi sunyi kembali. 

Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan teman-

temannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak 

pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara. 

“Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan 

pengumuman di alun-alun,” Nyi Gede Kati minta diri. 

Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban 

hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan 

pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya. 

Dan ia berpaling untuk tak melihatnya. 

“Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia meyakinkan 

dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih 

baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil 

ini.” 

Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak 

ada seorang pun di antaranya mencoba bicara…. 

Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang 

menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan: 

gerombolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan 

membantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan 

pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk 

meriam dari kapal Peranggi ke pantai dan 

mengantarkannya ke Rajeg. Bersama dengan itu dikirimkan 

pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan 

meriam itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati 

menurut perintah Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi. Sayid 

Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi 

utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk 

dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis. 

Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi, 

menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis 

dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus 

menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di 

tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit. 

Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus 

orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk. 

Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang. 

Orang kembali ke rumah masing-masing, tak 

mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman 

mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap 

orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang! 

Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini? 

Seminggu sesudah  pengumuman, perang besar telah 

terjadi di sebelah barat luar kota. 

Demak sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono 

telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk 

dihantamkan pada Tuban. Dan Tuban tetap jadi impiannya 

untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke 

Gresik dan Blambangan…. 

Pasukan gajah Tuban yang selama ini diundurkan ke 

pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara 

dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal 

berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala 

pasukan gajah. 

Balatentara Demak selama ini meremehkan pasukan 

gajah untuk membesarkan hati tentaranya. sesudah  melihat 

sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan 

iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda 

di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. Gajah-

gajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan 

kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa henti-

hentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada 

jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan 

pagardesa yang dikerahkan. 

Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan 

menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubt-

kerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak 

mempan dipedang, di panah ataupun ditombak. Barisan 

Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk 

terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi 

dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti 

matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke 

barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling 

berbareng. 

Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan 

mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan 

sendiri, tiada terkendalikan. 

Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan 

kuda Banteng Wareng seperti air curah. 

Medan pertempuran menjadi kuning sebab  kepulan 

debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai 

dan canang. 

Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan 

tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan 

seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rembang. 

Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali 

kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk 

menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara. 

Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan 

mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka. 

0odwo0 

 

40. Dan Portugis pun Memasuki Tuban 

Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah 

memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya 

ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan sehari-

hari. 

Bandar Tuban Kota mulai berisi lagi dengan manusia. 

Selama pertempuran di barat kota Nyi Gede Kati tetap 

mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari. 

Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya 

bagaimana ia mendapatkan makannya. 

Dan terjadilah hari itu. Nyi Gede Kati datang pada 

waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air. 

Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik 

yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji 

besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna 

untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu 

siang.” 

Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang 

pelabuhan bertalu-talu. 

“Ada kapal asing datang!” gumam Syahbandar sambil 

meninjau ke menara pelabuhan. “Dan Syahbandar masih di 

sini,” gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk. 

“Kau lihat kapalnya, Kati?” 

“Lihat, Tuan.” 

“Demi Allah, aku bebas, Kati, sebab  hanya akulah 

Syahbandar. Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.” 

“Nampaknya kapal Peranggi, Tuan.” 

“Peranggi? Masyaallah,” matanya bersinar-sinar penuh 

harapan. 

“Lihat baik-baik, Kati.” 

“Peranggi, Tuan, tiga kapal.” 

“Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,” 

Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan 

selama ini membikin matanya menjadi rabun. Dan mata itu 

berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya. 

Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani 

hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya, 

tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping 

batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan 

hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran 

dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka 

takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban 

itu! 

“Alhamdulillah,” sebutnya berkali-kali.  

“Peranggiiiiiii!” Pekik penjaga menara. 

Baik Nyi Gede Kati maupun Tholib melihat penjaga 

menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke 

kesyahbandaran. 

Beberapa bentar lalu  tiga orang penunggang kuda 

berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang 

bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canang-

canang desa lalu  pun bertalu-talu, memberitakan 

akan datangnya bahaya dari laut. 

Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan 

barat. Canang lalu  berubah imayat , memberikan 

isyarat agar semua perempuan dan anak-anak 

meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.  

“Mereka datang!” bisik Syahbandar, “tak salah lagi.”  

Nyi Gede Kati memandangi suaminya, mencibirkan 

bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia 

lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil!” 

Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam melepaskan 

peluru. Tak lama lalu  pelurunya beterbangan di atas 

krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkar-

bangkir kena terjang. 

Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir 

membikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar. 

Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama 

dengan angin sore. 

Nyi Gede Kati meludah. lalu  lari melintasi daerah 

tembak meriam ke sebelah timur. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa 

tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak 

mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran. 

Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah 

Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang. 

Dan Portugis belum lagi membayar penuh untuk segala 

jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi, 

dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia 

tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, 

tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari 

berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak 

mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan 

yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih 

besar. Lelaki yang memanggul bungkusan. Kakek atau 

nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek 

bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua 

tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar 

majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan 

terdengar cetbang dan meriam Tuban memberikan 

tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang 

dalam perjalanan kembali ke pangkalan. 

Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk 

menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapal-

kapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan 

hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat 

ke bandar. 

Riuh-rendah peluru menerjang bangunan. 

Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya 

kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi. 

Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang 

pun dapat menangkis. Gedung kesyahbandaran telah roboh 

atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak 

bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, 

atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul 

di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang 

biru itu. 

Bandar telah mulai kosong. 

Sisa armada Francisco de Sa sesudah  lari dari Sunda 

Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia 

bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki 

bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia 

harus tinggalkan Sunda Kelapa sebab  tak mengetahui 

benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar 

pengetahuan Malaka sisa armadanya telah siap untuk 

berlabuh. 

namun  gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada 

yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan 

rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbang-

cetbang itu memang tidak digubrisnya, namun  meriamnya 

harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo 

meriam selama lima bentar, empat buah kapal Tuban telah 

menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan 

menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula. 

Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak 

tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan 

Menyusul lalu  serdadu-serdadunya bersenjata 

lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk 

melindungi pendaratan. 

Dendamnya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak 

dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda 

Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru 

ia mengetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak. 

Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di 

laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari 

balatentara yang sedang berperang melawan Demak. 

Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus 

hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba. 

Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat 

selamatkan muka dan namanya. 

Adalah memalukan bagi seorang pembesar Portugis 

dikalahkan oleh Pribumi, sebab  kalahnya juga kekalahan 

ras, kekalahan agama, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak 

boleh terjadi atas diri Francisco de Sa. 

Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus 

mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun 

tertinggal. Dalam lima belas bentar prajurit-prajuritnya 

sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat 

regu pertama telah mulai naik ke dermaga tanpa 

perlawanan. 

Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia 

sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang 

pengawal. 

Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat. 

Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu 

ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta 

mereka untuk memimpin perlawanan. 

Seperti semut mereka menyerbu ke bandar, bersebaran di 

setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri 

sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak. 

Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur. 

Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam 

dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat 

ditembus, sebaliknya membinasakan, menyusupi daging 

dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan 

mundur terus. 

Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan 

balatentara. 

Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan 

menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan 

rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis 

terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di 

depannya, manusia dan hewan. 

Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari 

maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya. 

Dan demikian terus menerus. 

Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. 

Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa. 

Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji 

krangkengnya. Waktu tembakan meriam telah berhenti dan 

tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar 

memasuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa. 

Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci 

telah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di 

dermaga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat 

melihat mereka adalah para pembesar. 

Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya, 

dilupakan oleh peluru meriam dan musket. 

Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga 

menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan 

meriam dan rodanya 

“Bekas Syahbandar Malaka?” 

“Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa.” 

“Cukup!” 

Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan 

rombongan Francisco de Sa yang sudah hampir 

meninggalkan wilayah bandar. 

Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, 

lalu  berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib 

yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar. 

Syahbandar itu membungkuk dan melambaikan tangan, 

menghormat: “Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az-

Zubaid, Tuan.” 

Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam 

mengawasinya. 

Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam 

atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu 

mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari 

mulutnya: ‘Telah lama kutunggu kedatangan armada 

Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.” 

“Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa 

tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku?” 

“Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di 

tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.” 

“Di mana orang-orang itu sekarang?” 

“Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan 

menunjukkan di mana mereka bersembunyi.” 

Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi 

krangkeng besi itu. 

“Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar 

Tuban sekarang ini?” tanyanya dengan kata Syahbandar 

ditekankan. 

Francisco de Sa tak menjawab. lalu  ia berpaling 

dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam 

pengawalan. 

“Ya Allah, ya Allah!” sebut Tholib “Akhirnya tanganmu 

juga yang terulur.” 

Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur. 

Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya 

pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan 

dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya. 

Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah 

jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk 

beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada 

mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan 

terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang 

terbaik di antaranya. 

“Allah Maha Besar. Allah Maha Besar.” 

Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke 

kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari 

sudah tenggelam. 

Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, lalu  

datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil 

besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan 

palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipat-

lipatnya dengan pukulan, lalu  patah. Linggis tak 

terpakai Pintu besi itu pun terbuka. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng, 

menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri 

di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya. 

Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari 

bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak aman. Di antara 

kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh 

serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka 

menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru 

musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota, 

terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masing-

masing. 

Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul, 

penggendong dan penuntun. 

Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh 

berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepala-

kepala pasukan. 

Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai 

Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan 

bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala 

Cuwil sebab  sebagai Patih kurang betul dalam 

memberikan keterangan tentang keadaan bandar. 

Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepala-

kepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa 

pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar sebab  

pertikaian dari atas. 

Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota 

tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan 

hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup 

dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang 

dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan 

negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang 

menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan 

jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dulu. 

Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal 

mendapat bantuan dari siapa pun. 

Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi 

mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan 

giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis 

mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti 

dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring 

masuk ke bandar, diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng 

baru. 

Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba 

menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh 

musket. 

Lama kelamaan patroli Portugis juga berani memasuki 

daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang 

dapat ditangkapnya. 

Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah 

bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu. 

Dan semua tangkapan yang dipekerjakan lalu  di 

sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak 

memungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang 

yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, 

baik sebab  peluru ataupun sebab  pisau tongkat Tholib. Ia 

sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota 

dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan 

kenikmatan dalam merampas jiwa orang. 

Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama 

hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar 

Ulasawa. 

Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang 

pada naik pitam. namun  Syahbandar dengan tongkatnya 

mendapat banyak julukan sebab  setiap hari paling tidak ia 

mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan 

kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana 

yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan 

menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakek-

kakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga memasuki 

kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas 

dan perak. Untuk itu ia selalu membawa serdadu. 

Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum 

sambil memekik senang: “Kafir!” 

Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana 

ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri. 

Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa 

penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka 

bemayat i-mayat i pindah ke tempat lain di malam hari. 

Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada 

didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondar-

mandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak 

mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. 

Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa 

perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka 

membakar rumahnya sekaligus. 

sesudah  seminggu menduduki Tuban dan balatentara 

Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis 

mulai memberikan perintah pada Tholib Sungkar Az-

Zubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah 

kiri kesyahbandaran. 

Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng 

bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya 

langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan 

ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai 

tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan 

sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak 

boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh 

punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun 

sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari 

ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan 

pengaiayaan untuk membikin mereka jadi kecil di hadapan 

Tholib Sungkar dan Portugis. 

Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja 

menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali 

tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas 

permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, 

memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai 

mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji 

lempang, serut dan paku. 

Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah 

berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian 

atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup 

dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan 

sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah 

menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. 

Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket 

Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng. 

Semua menghadap ke pedalaman. 

Gedung kadipaten telah dijadikan tangsi pula sesudah  

bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa 

bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga 

semasa Majapahit. 

Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong 

menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat 

laut dan darat ke Lao Sam. 

Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah 

berhenti. 

sesudah  benteng jadi orang-orang yang ditahan dan 

melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah 

pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai 

berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan 

menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu 

rajasinga. 

Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan 

dengan binatang baru: tikus. 

sesudah  meninggalkan suaminya dengan membawa 

kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan 

selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus 

diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. 

Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur 

memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur 

pantai. 

Tembakan-tembakan cetbang menyebabkan ia 

menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana 

ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam 

dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium 

tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan – di 

darat kalah, dilaut pun kalah. 

Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan 

seorang diri di dunia ini? Sang Adipati mengusir. Suami 

dikrangkeng sebab  perbuatannya yang hina dan 

memuakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan 

semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak 

begini dan menjadi hewan liar? 

Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semak-

semak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia 

ke pondoknya. Seorang perempuan lain telah 

menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya. 

Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang 

hendak memasuki. 

Dan makin lama makin banyak perempuan berkampung. 

Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam mayat i dengan 

tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan. 

Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu 

dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang 

serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdadu-

serdadu itu yang lalu  menyebar memasuki gubuk-

gubuk yang lain. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: “Begini 

tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang 

perempuan semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku 

telah mendapat tempat di bekas warung Yakub.” 

“Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini.” 

Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk 

dan membujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku telah 

bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan 

kau di tempat yang mulia….” 

“Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan sahaya.” 

“Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan 

memenuhi sumpahku.” 

“Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara 

diri sahaya sendiri.” 

‘Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih 

mulia, lebih patut untukmu.” 

‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. 

Sahaya akan tinggal di sini.” 

‘Tapi kau istriku. Kati.” 

“Kalau Tuan memerlukan sahaya, datanglah Tuan ke 

sini. Sahaya akan tinggal di sini.” 

“Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?” 

“Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan 

sekarang?” 

“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban?” 

‘Tidak, Tuan, Gresik. Waktu perawan sahaya diculik 

oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang 

Tionghoa.” 

“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke Gresik?” 

“Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk 

keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin 

seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua.”  

“Juga olehku. Kati?” 

“Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk 

sahaya, begini sudah baik. Tuan.” 

“Makanmu bagaimana. Kati?” 

“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun 

bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada 

bisa?” 

Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan 

mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur. 

Tak lama lalu  datang gelombang demi gelombang 

orang-orang Portugis. Bila memasuki pondok Nyi Gede 

Kati mereka segera pergi lagi, sebab  perempuan yang 

seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu 

matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak 

kunjung berhenti. 

Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok 

memasuki gubuknya dan tiga hari lalu  ia rasai saluran 

seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang 

wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi... 

Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar 

luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat 

pengungsian tengkorak  sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita 

tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan 

sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu 

mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang 

menjadi gemas sebab  kelakuannya. 

Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian tengkorak . 

Gelar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar 

berita itu. sesudah  memasukkan kuda ke kandang ia sorong 

pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan 

adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan 

tengkorak  terperanjat bangun.  

“Ada apa Gelar?” 

Dan Gelar memandanginya seperti orang bingung. “Tak 

pernah kau bangunkan aku seperti ini,” tengkorak  duduk dan ia 

lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau 

habis berkelahi?” 

Gelar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia 

pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak. 

“Ada apa kau ini? Kau begini aneh?” 

Dan Gelar bercerita tentang masuknya Peranggi di 

Tuban dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak 

orang, dan membakari rumah, dan memang punya banyak 

meriam. lalu  matanya meredup waktu sampai pada 

titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar 

Tuban. Keberaniannya hilang. 

Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya 

memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak 

memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia 

memang bukan anak Wirangmandala , tapi Syahbandar celaka 

itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesamaan rupa antara 

dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan. 

Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak 

orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam 

jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang 

bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah 

sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati? Dan 

betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi 

semacam kotoran bagi Senapatiku? 

Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan 

sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam 

terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut 

yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati. 

Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa! 

Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang, 

dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya 

yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang 

menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang. 

Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak 

pernah sampaikan padaku? Malukah emakku pada 

perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada 

Senapatiku? Dan adakah aku hanya anak yang tidak 

diharapkan?’ 

Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu 

itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu 

melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan meraba-

raba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah 

memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani 

bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan 

muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak, 

emakku, betapa kau menderita, hanya sebab  pertanyaan. 

Pertanyaan belaka, mak! 

“Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban. 

Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa 

pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan? 

Sakitkah kau?” 

“Mak,” Gelar terhenti lagi. “Lama sudah aku ingin 

tahu.” dan ia terhenti. 

Dan betul saja sebagaimana ia duga, tengkorak  sudah mulai 

melengos membuang muka. 

“Mak, apakah Emak berkeberatan punya Gelar ini 

sebagai anakmu, Mak?” 

Cepat-cepat tengkorak  menarik muka dan menatapnya. 

“Menyesalkah Emak punya anak aku?” 

“Gelar!” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah 

aku menrsi s kau, mengasihi, mengasuh dan 

membesarkan?” 

“Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang 

terbaik yang pernah aku temui di antara semua 

perempuan.” 

“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan 

pertanyaan semacam itu?”  

“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.” 

Di luar dugaan Gelar emaknya tiba-tiba merangkulnya, 

suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang 

dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak, 

sampai kau mentala bicara semacam itu? Apakah kau tidak 

suka punya emak semacam ini?” 

Gelar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia 

beranikan diri: “Jangan menangis begini, Mak,” ia terhenti, 

“lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri,” 

ia diam untuk mendapat keberanian. “Kau selalu tak mau 

menjawab. Entah sudah berapa kali.” 

tengkorak  melepaskan rangkulan dan melengos 

memunggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti 

maksudmu. sebab  itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: 

apakah seorang lelaki yang bernama mandala  itu kurang baik 

sebagai bapakmu?” 

“Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi 

lebih berharga.” 

Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak 

cukup, anakku?” 

“Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan 

hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak 

tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wirangmandala ?” 

dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh. 

tengkorak  mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya 

sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, Gelar.��� 

“Emak!” ia memerosotkan diri dari duduknya dan 

menyembah dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa 

mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak. 

Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan 

Senapatiku.”  

“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu?”  

Gelar berdiri, lalu  duduk di samping tengkorak , tak 

berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia 

mengetahui emaknya sudah basah sebab  airmata 

kesedihan. 

“Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulang-

punggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik 

untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik 

untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?” 

“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke 

medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau 

melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa 

bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?” 

“Kau masih merasa kurang, anakku.” 

“Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu, 

Mak, beri aku kebenaran itu.” 

“Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup 

padamu?” 

“Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti 

harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan 

tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang 

mencukupi?” 

“Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran 

itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, 

dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas 

dalam, lalu  menghembuskan ke luar seperti puputan. 

“Jadi benar bapak bukan bapakku,” Gelar mendahului. 

tengkorak  melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi. 

“Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu, 

Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak 

lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, 

bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan 

menjawabkan untukku.” 

sesudah  untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar 

tengkorak  berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: 

“Benar, Gelar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu 

kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut 

menyampaikan. Bukan sebab  takut pada kebenaran. Aku 

takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. 

Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh 

lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu 

yang terjadi? Kau memang berhak, dan kau menuntut 

hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila 

matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam 

ini. Tidurlah kau.” 

“Mak!” 

“Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat 

memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih 

membutuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru 

bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak 

sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.” 

Tanpa memandang anaknya tengkorak  kembali ke ambin 

dan membetulkan letak selimut Kumbang, lalu  ia, 

tidur miring menghadap ke dinding. 

Gelar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia 

sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu 

menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat 

memberikan kebenaran yang jadi haknya. 

Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar. 

Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak 

dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban, 

membikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, 

dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. 

Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada 

orangtuanya tergoncang keagungannya – hanya oleh yang 

seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya. 

Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk, 

menghisap udara pagi segar, lalu  pergi ke dapur. Ia 

bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk 

pertama kali ia melakukannya. Biasanya tengkorak  sendiri yang 

mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak 

enak badan. 

Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga 

turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. tengkorak  

belum juga muncul. 

Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah 

memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu 

hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia 

lihat mata wanita tercinta itu bengkak. 

Gelar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa 

tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya 

hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia 

singkirkan perasaannya. 

“Mak!” ia menegur lebih dahulu. 

“Ya, Gelar, mari pergi ke ladang.” 

Dan di ladanglah tengkorak  mulai bercerita tentang impian-

impiannya setiap habis menari di kadipaten waktu 

Wirangmandala  tak ada di Tuban. Siapakah dapat 

mengatakan impian mengandung kebenaran? 

“Dan kau membutuhkan kebenaran itu, dan kebenaran 

itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi 

petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.” 

tengkorak  menerangkan pada Gelar tentang kehidupan 

seksuil. lalu : “Dan bukti yang paling menentukan 

adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku 

tahu kau bukan anak Wirangmandala . Telah aku serahkan 

diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan 

sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata 

itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni 

emakmu ini.” 

“Ah, Emakku, betapa kau menderita sebab  

kelahiranku.” 

“Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa 

perasaanku waktu itu. Nyi Gede Kati telah siap melihat aku 

bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa 

menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olok-

olokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya 

sebagai lelaki….” 

“Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak? 

“sesudah  kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam 

impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat 

membela diriku. Bila suamiku bukan Wirangmandala , sudah 

lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang 

itu. Dan justru sebab  percobaannya dalam keadaan aku 

sadar dan dapat membela diri, Gelar, aku dapat 

memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka 

bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. lalu  

orang mayat i membicarakan dia suka membius orang untuk 

mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi Gede 

Kati.” 

“Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa!” 

pekik Gelar. 

“lalu  dibiusnya juga penjaga-penjaga menara 

pelabuhan. Kabarnya lalu  juga dua orang pelarian 

Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak 

impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah 

senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu 

bagaimana caranya aku terkena biusnya.” 

“Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.” 

“Itulah ceritanya. Gelar. Aku takkan menuntut padamu 

untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan 

menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak 

punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar 

dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau 

anggap emakmu tidak setia pada Wirangmandala , sudahlah 

jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka 

padaku, terserahlah pula padamu….” 

“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama Gelar ini 

lebih percaya pada emaknya dibandingkan  siapa pun. Sekarang, 

Mak apakah orang itu, yang suka membius itu—” 

“Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau 

menyebutkan namanya.” 

“Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan 

ia lihat duka-cita telah membenam wajah ibunya. Buru-

buru ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup, 

“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.” 

lalu  ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya 

menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat 

menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri. 

“Gelar!” pekik ibunya. “Gelar! Gelaaaar!” ia lari 

memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, “Aku 

telah kecewakan kau. Maafkan aku. Gelar.” 

Gelar berjalan menuju ke kandang kuda, membuka 

palang-palang dan menuntun Sultan keluar. 

“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya 

ibunya kuatir. 

“Mari ke gubuk dulu, Mak.” 

Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda, 

menuju ke gubuk. Gelar masuk ke dalam dan memanggil 

adiknya. 

“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. 

Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang. 

Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.” 

“Kau mau ke mana. Gelar?” tengkorak  bertanya. 

“Mak, ambilkan pedangku.” 

Tanpa membantah tengkorak  pergi mengambilkan apa yang 

dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang Gelar segera 

berkata: ‘Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu 

sendiri.” 

“Kau mau ke mana. Gelar? Aku tak mau kehilangan 

kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya 

selama memasangkan ikat pinggang pedang pada tubuh 

Gelar. 

“Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”  

“Apa kataku kalau bapakmu datang?”  

“Mak, pasangkan destarku.” 

tengkorak  pergi lagi dan datang membawa destar terbaik. 

Gelar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi 

rambutnya sebelum didestari.  

“Aneh benar tingkahmu. Nak?”  

“Keris bapak, Mak.” 

“Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya 

sambil menyelitkan keris yang telah membunuh Sang Patih 

Tuban. 

Gelar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, 

bertanya: “Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak, 

gagahkah dia?”  

“Tak ada yang lebih gagah.” 

“Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda, 

Mak?”  

“Jangan sakiti hati emakmu. Gelar.” 

“Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik, 

Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar 

kau bisa kenangkan dia dengan baik.” 

“Gelar! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya 

tengkorak  memohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua, 

bukan?”  

Sekarang Gelar berlutut lagi dan menyembah ibunya. 

“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan tengkorak  

terpaksa merestuinya. lalu  ia berjalan keluar dan 

memanggil kudanya: “Sultan! Sultan!” Kuda itu datang 

menghampiri. Ia melompat ke atasnya. 

“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia 

selitkan cambuk-perang yang selama ini dipergunakannya 

berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang 

tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di 

belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau 

langit. Kuda itu bergerak, berpacu. 

Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, lalu  

hilang di dalam hutan…. 

0odwo0 

 

41. Setitik Busa di Samudera Kehidupan 

Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang 

alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. 

Pada suatu padang rumput barulah berhenti. Gelar turun 

dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di 

tepian padang, makan rebus jagung muda. 

Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa 

Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh 

pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga 

Gelar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita. 

sesudah  kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat 

pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya. 

Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. lalu  ia 

melanjutkan perjalanan kembali. 

“Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat! 

Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.” 

Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia memasuki 

jalanan desa. 

“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana 

kau harus bawa aku?” 

Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan 

dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan 

makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan 

kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil 

melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada 

berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia 

ini. 

“Ah-ah, kau memang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku 

hendak pergi.” 

Kuda telah meninggalkan desa dan kembali memasuki 

persawahan. 

“Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada 

Peranggi,” ia memperingatkan. “Sekiranya, Sultan, 

sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang 

sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa 

kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? Matari pun 

belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.” 

Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui 

jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap 

kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak 

banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya 

matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia 

pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon 

tinggi, menyuruhnya berhenti. 

Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan 

bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung. 

Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. Gelar 

menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap 

menolak maju dan terus juga meringkik. 

“Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan. 

Gelar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia 

mencabut tombak. 

“Orang siapa? Demak?” 

“Bukan.” . 

“Peranggi?” 

‘Tidak.” 

“Tuban?” 

“Tiga-tiganya tidak!” 

“Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah. 

Siapa kau?”  

“Keluar kau dari semak, lelaki, inilah Gelar.”  

Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa 

belas orang keluar melingkarinya. Gelar sendiri duduk di 

atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan 

kewaspadaan. 

“Kau, Gelar!” mereka berseru senang.  

“Ayoh, turun.” Gelar curiga. Tapi suara tawa mereka 

mayat h. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang 

melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang 

prajurit pengawal Tuban. 

“Ayoh, Gelar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda 

seperti kau.”  

“Siapa kalian,” Gelar bertanya curiga. “Demak atau 

Tuban?” ia bertanya kembali. 

“Tuban. Sudah butakah matamu? Ayoh, minum tuak 

dulu! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak, 

tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan 

menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang 

seperti itu?” 

Gelar mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa 

waspada dan turun. 

“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia 

awasi prajurit-prajurit pengawal itu. 

“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh 

bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung 

dengan kami?” 

Dengan tetap memegangi hulu pedang ia hamp iri bekas 

tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku 

mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban. 

Dengar?” 

“Beres. Bergabung dulu. Minum, ambil tuak itu. 

Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung 

ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar 

lalu  mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan. 

“Kau sudah perjaka gagah berani. Gelar!” seorang 

memulai. ‘Tahukah, kau. Gelar,” seseorang menyambung, 

“Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?” 

Gelar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam 

menembusi mata si penanya, lalu  meletakkan cangkir 

di tanah. 

“Jangan kau gusar,” segera orang meredakan. “Peranggi 

telah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi 

segala macam kecelakaan.” 

Gelar menahan diri. Ia mencoba memahami adakah 

ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina 

ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat 

memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati. 

“Siapa itu?” Gelar bertanya curiga. 

“Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, Gelar, kau mau ke 

mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?” 

Gelar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: 

“Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan 

dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami 

sudah cukup tahu. Gelar ” 

“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau 

mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. Gelar, 

mungkin pingsan sewindu”. 

Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru 

dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua! 

Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh 

kembali!” 

Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke 

jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda 

menyampaikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali. 

Senapatiku telah datang.”  

“Banteng Wareng?” 

“Bodoh. Wirangmandala ! Bersoraklah untuk Senapatiku.”  

Orang pun bersorak-sorai. Gelar menyembunyikan muka 

pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu 

bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang 

Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri 

dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang 

Senapati?  

“Sultan!” sebutnya pada kudanya meminta simpati. 

Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti.  

“Kau tidak ikut bersorak. Gelar!” seseorang menegur.  

“Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya,” 

jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada 

punggung Sultan. 

“Ayoh, semua berangkat sekarang juga.” 

Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan 

naik ke atas kuda. Juga Gelar bergabung dengan sendirinya 

dan ikut berangkat 

Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan 

telah hilang di balik tabir debu. la membutuhkan waktu 

untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku! 

Senapatiku, masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima 

diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu? 

Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu 

kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. 

Bapak! Bapak, aku, Gelar datang. 

Gelar diterima kembali oleh pasukannya. 

Dan Senapati Tuban, Wirangmandala , ternyata tak pernah 

dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita 

bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian 

kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit. 

Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap 

seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu 

dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu 

pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat 

dilawannya. 

Prajurit-prajurit yang selama ini dibiayai oleh praja 

Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, 

telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja 

prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari 

perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas 

kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap prajurit 

menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan 

ternyata setiap prajurit bisa menjadi petani dan setiap petani 

bisa menjadi prajurit. 

Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang. 

Gelar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk 

mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa memasuki 

Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa. 

tengkorak  telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar 

itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya 

dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua 

orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, 

orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata 

dan kuping sendin bagaimana macamnya. 

Dan keinginan itu tak juga terpenuhi. 

Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi 

pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih 

memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu 

fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan 

selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia 

dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan 

betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang 

membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya 

dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam 

perang terakhir nanti. 

Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang 

saja bisa membikin diri dan emak dan Senapati menelan 

kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu 

sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia 

meraung sunyi. 

Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan 

pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang 

terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang 

berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan 

syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua 

senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke 

utara. 

Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia 

nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas, 

bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak 

ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan 

pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini 

diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakau-

bakau. 

Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada 

kegembiraan, beda dibandingkan  pondoknya dalam 

pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah 

lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin. 

Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang 

anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata 

orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah 

pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya 

bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut 

untuk bertani. 

Di malam hari waktu mereka pulang ia mendapat cerita, 

penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi 

orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. 

Mereka pun telah berhenti membikin ikan asin dan trasi. 

Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. 

namun  Gelar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah 

tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan 

yang amat sangat. 

Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang 

laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara 

kuda dan barang-barang titipannya. 

Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke 

jurusan timur – pengalaman pertama dalam hidupnya 

sebagai orang pedalaman. 

Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatan-

pemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya 

di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah 

geraknya. 

Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri 

pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir 

maut begini – suatu kehormatan untuknya. Ia akan 

tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang 

mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas 

berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati 

Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti 

dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya. 

Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak 

menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan 

selamat di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang 

di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal 

pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir 

telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, 

berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan 

tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan 

mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya 

jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, 

terutama hidung-bengkungnya. 

Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis 

dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan 

cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan 

permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak 

kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup 

manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan. 

Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan 

tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak 

rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan 

satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang 

menyebabkan ia menrsi s dan nampak pucat. Dan itu 

lebih baik baginya. 

Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan 

baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat 

mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar 

benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. 

Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan 

Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu 

terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang 

merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, namun  di 

malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga 

mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari. 

Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampung-

kampung dan menggauli wanita yang tak mampu 

meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang 

berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia 

sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk, 

tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus 

tua. lalu  ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi 

Gede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak 

terpelihara lagi seperti dulu. 

Beberapa hari lamanya ia memata-matai Syahbandar, la 

selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan 

setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi Gede Kati, seorang 

diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk 

itu pengawal-pengawalnya lalu  pergi dan masuk ke 

tempat-tempat lain. 

Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir 

jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia 

berhenti, mengawasinya sejenak lalu  bicara sesuatu 

dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat 

Syahbandar itu memerlukan untuk meludahinya, dan Gelar 

tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya 

dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu 

dengan pandangnya. 

Itulah bapakmu yang sesungguhnya. Gelar, buruk 

sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat 

sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia? 

Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan? 

Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? Tapi 

itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri 

mengatakan dengan jalan dan cara lain. 

Betapa emakku menderita sebab  kau, menanggung 

malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke 

tanganku iblis tua! Inilah Gelar, anakmu, dia akan datang 

padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari lalu , pada 

suatu sore ia melihat Nyi Gede Kati menggendong bakul 

entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, 

la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah 

goyah, tiada mantap seperti biasanya. 

Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu 

memasuki gubuk dan sebentar lalu  juga Syahbandar 

dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawal-

pengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain. 

Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan 

debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret 

dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara 

tawa Syahbandar dan Nyi Gede. 

“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.” 

“Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.” 

Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya 

dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, 

mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain 

muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari 

bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka, 

lalu  kembali ke gubuk Nyi Gede. 

Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melompat masuk 

sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. 

Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya 

ternganga. 

Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi 

Gede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap 

serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas ambin 

kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya. 

Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari 

tempatnya: “Gelar!” 

“Nyi Gede!” tiba-tiba saja Gelar lupa pada kegilaannya. 

“Gelar! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah 

mendekat. 

Dan Gelar merasa agak berkecilhati sebab  wanita itu 

segera mengenalnya. Ia melengos memandangi 

Syahbandar. 

“Beginilah nasib anakmu, Nyi Gede.” 

“Gelar?” Syahbandar bengong dan turun dari ambin. 

“Ya, inilah Gelar.” 

“Sudah kucari Nyi Gede ke mana-mana. Beri aku 

makan,” perintah Gelar. Kasar. 

“Gelar? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku 

masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.” 

“Makan?” Gelar tertawa sinting. “Siapa yang cukup 

makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada 

Tholib. 

“Compang-camping begitu,” gumam Syahbandar, 

“mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan 

kesiagaannya. “Kulihat memang Gelar seperti celeng keluar 

dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, 

biar Nyi Gede selesaikan masaknya.” 

“Di mana emakmu?” tanya Nyi Gede. 

“Lari. Tak tahu aku ke mana.” 

“Seperti gila, tapi bisa menjawab,” Syahbandar 

meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya, 

dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan 

pada Gelar, “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan 

prajurit Tuban?” 

“Minum, Nyi Gede!” Gelar meminta kasar, membelalak. 

Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta 

maaf dan menghampiri: ‘Tuak aku tak punya, Gelar.” 

“Air tawar?” gumam Gelar, lalu  meneguk dan 

meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar, 

tapi masih tetap Gelar, Nyi Gede,” ia tersenyum di buat-

buat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada 

Syahbandar, “Siapa orang ini, Nyi Gede?” 

Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan 

menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa 

siapa dia?” 

“Apa guna kau mengenal aku?” Syahbandar menolak 

untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari 

pintu. 

Gelar mencegahnya melangkah lebih jauh. 

“Siapa!” tanyanya pendek dengan suara menggeram. 

“Tingkahmu menakut-nakuti orang Gelar. Dulu kau 

tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, Gelar. 

Kau begitu kotor dan busuk.” 

Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh 

beberapa langkah. 

“Jangan mundur!” tegah Gelar. “Biar kuingat-ingat siapa 

kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti 

hidungmu.” gumamnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat 

kau dalam hidupku.” 

“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,” 

tegah Nyi Gede sambil meneruskan masak.  

“Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban?” 

“Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar,” 

Gelar meneruskan gumamnya. “Kalau aku sudah menjadi 

tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?” 

Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan 

kembali gelar menghalangi. 

“Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam 

Syahbandar. 

“Syahbandar, Tuan Syahbandar,” bisik Gelar. “Tuan 

Syahbandar Tuban. Tapi siapakah namanya? Sudah lama 

kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi 

siapakah namanya?” 

“Gelar! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu 

pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.” 

“Benar, Sayid Habibullah Al-Masawa!” Gelar 

mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.” 

“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi 

Gede yang kembali mendekatinya. “Hormati dia 

sebagaimana kau menghormati orangtua.” 

Gelar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan 

tongkatnya. 

“Gelar! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak 

Syahbandar. “Kau ini orang Demak atau Tuban, atau 

hanya main pura-pura gila?” 

“Kau menghadapi Tuan Syahbandar sebagai 

menghadapi…,” Nyi Gede memperingatkan. 

“Nyi Gede, ingatkah Nyi Gede semasa aku masih kecil?” 

tiba-tiba Gelar bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan 

Syahbandar Sayid Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi 

Gede, dia bapakku.” 

“Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak Tholib 

Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi. 

“Benarkah itu, Nyi Gede?” 

Wanita itu meneliti wajah Gelar, memarahi: “Kau 

datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan 

tidak pada waktunya.” 

Gelar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: 

“Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar? Jangan, jangan 

pergi. Anakmu ingin bicara,” 

“Tak ada aku punya anak seperti kau.” 

“Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang menipu ataukah 

emakku tengkorak ?” 

“Jelas tengkorak  penipu!” Syahbandar memutuskan. 

Nyi Gede memegangi bahu anak muda itu, bertanya 

lunak: “Pernahkah tengkorak  bilang begitu?” 

“Tak pernah tengkorak  mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi 

Gede, kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir. 

Apa katamu?” 

Nyi Gede menarik Gelar agar duduk di ambin, tapi ia 

menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan 

masakannya. 

“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, Gelar,” ia 

memperingatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan 

Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang 

kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. 

Tuan Syahbandar….” 

“Apa saja semua ini…,” protes Syahbandar. 

“… Jangkung, tapi tua dan bongkok. Memang 

sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, 

rambut….” 

“Diam, kau, Kati,” bentak Tholib Sungkar. “Gila kalian 

berdua ini. Aku pergi.” 

Dan Gelar menghadang. 

“Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami? 

Nyi Gede, ceritakan penderitaan emakku sesudah  

melahirkan.” 

“Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan 

dituduh oleh suaminya, Wirangmandala . Si periang itu, jadi 

pendiam untuk selama-lamanya sesudah  itu, jadi pemenung. 

Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan 

sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk 

dicundrik mati.” 

“Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku?” 

“Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan 

emakku sebab  tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi Gede.” 

“Wirangmandala  tidak mencundrik emakmu. Dia tetap 

mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. namun  wanita 

itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat 

pulih kembali.” 

“Dan semua dimulai dengan obat bius,” Gelar 

menambahi. 

“lalu , baru lalu  itu diketahui,” Nyi Gede 

Kati membetulkan. 

“Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah 

Syahbandar. 

“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi Gede menuduh. 

“Kau, Kati, kau juga menuduh aku?” 

“Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi 

pelarian,” Gelar meneruskan, “korban obat bius.” 

“Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan 

penderitaan tengkorak ?” 

Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia 

menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat 

memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada 

sumpahnya untuk mengakui Gelar sebagai anaknya. Dan 

anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu 

aturan. 

“Setiap dia melihat kau. Gelar,” Kati meneruskan, dia 

akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan 

yang mengguncangkan itu, sebab  dia sangat, sangat 

mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa 

saja. sebab  besarnya cintanya itu sebelumnya dia telah 

hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak 

segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar 

membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran 

dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, Gelar, kau pun 

lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi. 

Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.” 

Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan 

tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, 

tapi justru mendengarkan. 

“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” tapi 

Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. “Gelar! 

Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di 

dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak 

lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang 

pertama-tama kaget. sesudah  kau kumandikan dan 

kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diam-

diam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid, 

Tuanlah sekarang yang bicara.” 

“Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” Gelar 

menuduh. 

“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak 

dia?” 

‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.” 

Gelar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak. 

Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan 

suatu gerakan semu. Gelar meliriki tangannya, tertawa, 

lalu : “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau 

aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh, 

siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu? 

Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya 

babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku, 

tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak 

percaya, ayoh coba.” 

Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya. 

“Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku. 

Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah 

kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan 

kalau Gelar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau 

bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan 

kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku! 

Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!” 

Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai 

diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya. 

Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup 

membantunya melawan anak kemarin yang tak 

berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya 

untuk dirimu sendiri.” 

“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.” 

‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?” 

“Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh 

kau, anak gila.” 

“Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah 

bedanya?” 

“Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku 

melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh 

berdatangan?” 

‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.” 

“Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding, 

dengan atau tanpa nama.” 

“Jari itu akan patah sebelum menuding.” 

“Itu benar, Gelar,” Nyi Gede menggarami. 

“Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi: 

adakah kau bapakku?” 

‘Tak pernah aku punya anak seperti kau.” 

“Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih 

mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan 

bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan 

bapakku, aku bukan anakmu.” 

“Kau memang terlalu. Tuan, Gelar sudah marah begitu.” 

“Dia kira mudah membunuh Sayid Habbibullah Al-

Masawa,” ejek Syahbandar. ”Kau hadapi seribu Peranggi. 

Kau takkan lepas!” 

“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak 

sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!” 

“Diam!” bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada 

Gelar, “Setan mana yang membawa kau padaku?” 

Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat 

tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang 

hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur 

membikin gerak penikaman yang mematikan. 

Gelar berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya 

sambil mendesis cepat: “Nyi Gede, jangan sesali aku kalau 

kuperlakukan suamimu seperti ini.” 

Nyi Gede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan 

anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai: 

“Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk 

kau!” tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut. 

Tongkat Gelar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan 

pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu 

kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan Syahbandar 

dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular 

berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan 

berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan 

senjatanya. 

Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua 

manusia. 

Nyi Gede melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya 

dapat keluar nyaring. 

‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!” 

“Kau membela dan memberanikan dia!” jawab 

Syahbandar sambil terus menyerang. 

‘Terkutuk si pembunuh anak!” 

Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit 

ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak 

turun lagi. 

“Menjijikkan,” dengus Nyi Gede melihat Syahbandar 

berdiri tanpa bongkok di hadapan Gelar tanpa bergerak, 

“mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut 

mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.” 

“Kau tidak membela aku. Kati.” 

Gelar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di 

hadapan Syahbandar. Nyi Gede Kati turun dari ambin dan 

mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan 

kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk 

kau!” 

Gelar membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. 

“Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku.” 

“Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin 

menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang 

pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya.” 

“Kau pun akan binasa, Kati.” 

“Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau,” 

bentak Gelar dan melayangkan tongkatnya pada kepala 

Syahbandar. 

Nyi Gede menutup mata dengan tangan, memekik: 

‘Terkutuk, kau Gelar, pembunuh ayah sendiri!” 

Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan 

tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan 

mulutnya dan kupingnya keluar darah. 

Gelar menarik tangan Nyi Gede ke arah pintu. 

“Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!” 

“Peranggi akan aniaya kau!” 

“Binatang! Pergi!” 

Gelar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam. 

Ia lari entah ke mana. 

Nyi Gede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke 

kanan, lalu  pun lari entah ke mana…. 

0odwo0 

 

42. Koma 

Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan 

balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk 

dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita 

suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa 

serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling. 

Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin 

membikin udara semakin dingin. namun  tak ada seorang 

pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan 

beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di 

malam hari. 

Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah, 

menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati 

Wirangmandala  dalam mengusir Peranggi. 

Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan. 

Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, 

lalu  ia turun. 

“Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan,” bisiknya. 

Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang 

bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada 

waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan 

Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam, 

berlindungkan kegelapan.” 

Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan 

mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus 

lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat 

ditangkapnya. lalu  peratus lain itu pun pergi. 

Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban, 

kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi 

Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan 

pekerjaannya baik. 

‘namun ,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu 

ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak 

pernah masuk ke Tuban Kota… kau tahu sendiri 

ganjarannya.” 

“Barang tentu, peratusku!” 

“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?” 

“Nyi Gede Kati bekas penrsi s keputrian kadipaten, la 

tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan. 

“Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan?” 

“Benar, peratusku!” 

“Tak pernah kau melihat… eh, eh. Syahbandar?” 

“Lebih dari melihat, peratusku.” 

“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?” 

Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah 

terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati. 

“Gelar!” serunya, “bukankah kau dididik dalam 

Buddha?” 

“Benar, peratusku.” 

“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?” 

“Tahu, peratusku.” 

“Bagaimana bisa kau lakukan….” 

“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.” 

Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam. 

Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. lalu  ia pergi 

tanpa bicara lagi. 

Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara 

Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang 

terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. 

Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang 

bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, 

membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala 

Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wirangmandala . 

Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari 

Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan 

terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran 

malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh 

Wirangmandala  dalam sejarah perang di Jawa, akan 

menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran 

tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi 

meriam musuh. 

Masalah yang lalu  timbul: sampai berapa lama 

Peranggi dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah 

mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh 

tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus 

kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. 

Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari 

akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan 

semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak 

bisa diharapkan. 

Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali 

pukulan yang mematikan. 

Masalah yang lalu  timbul: balatentara Demak. 

Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik 

dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di 

mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan 

Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang 

pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil-

alih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula. 

Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan. 

Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wirangmandala . 

Dengan demikian persidangan sambil berdiri 

mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar, 

Senapati masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik 

terakhir?” 

“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, 

dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa 

Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa,” jawab Kala Cuwil. 

Wirangmandala  terdiam. 

“Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih Tuban itu 

menambahkan. 

“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.” 

“Baik, Senapatiku.” 

‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia 

di mana dan cara dia mendapatkan.” 

Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan 

untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil. 

Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya. 

Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum. 

Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari 

intaian Demak. 

Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu. 

Juga dan apalagi Gelar. 

Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah 

diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa 

telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak 

mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu 

menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan 

keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh 

tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu 

membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun 

abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk 

senapatinya? Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, sega-

la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun 

akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa 

lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu 

dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar? 

Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali 

waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan 

mendapat pujian dibandingkan nya. ingin segera pulang untuk 

berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati 

bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan 

balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang 

emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wirangmandala  akan 

malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari 

kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan. 

Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas 

yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa 

kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia 

harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang 

lebih besar. 

Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi? 

Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia 

mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas 

penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia 

telah siap untuk berbuat sesuatu – apa saja untuk menarik 

perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin 

tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja, 

dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan 

padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri. 

Waktu: tiga minggu. 

Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu 

sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan sesudah  

menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat. 

Semua bersenjata lengkap. 

Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman 

baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit 

luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan 

seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya dibandingkan  tiga orang 

peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya. 

Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia 

memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke 

Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan 

meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi: 

membawa berita pada tengkorak  tentang kedatangan Senapati. 

Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat. 

Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan 

emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang 

prajuritku sekarang.” 

Dan tengkorak  dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak 

itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan 

orang yang lebih tua dibandingkan  dirinya sendiri. 

“Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.” 

“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi 

kepercayaan ini?”  

“Mana aku tahu, Nak?” 

“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada tengkorak  

dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak 

berpendaran berputar-putar kesana-sini.  

Tiba-tiba emaknya memekik: “Gelar!” sambil 

menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak 

mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu. 

Aku tak percaya.” 

Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah 

jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam 

hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang 

tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah 

melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya. 

tengkorak  berdiri tegak seperti patung. Matanya masih 

membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip. 

Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya. 

Lambat-lambat tengkorak  memejamkan mata, menunduk. 

Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: 

“Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau 

menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada 

anakku bisa berbuat seperti itu!” 

Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi 

berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa 

lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya, 

merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak 

menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang 

ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak 

persembahan bakti…. 

“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?” 

“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau 

berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?” 

Katanya dengan suara pedih. 

Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti 

tanpa mengerti duduk-soalnya. 

“Kau merestui keberangkatanku, Mak.” 

“Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu. 

Memuakkan, memuakkan.” 

“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.” 

“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha 

Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan 

sanggup – sekalipun kau bohong!” 

Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan tengkorak  

sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang 

dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa mayat h dan 

menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah 

nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, 

lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga 

dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara 

memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah 

restu.” 

“Berangkatlah,” kata tengkorak  seperti pada orang asing. 

“Kau tak merestui aku, Mak?” 

“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang 

restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar, 

berangkatlah.” 

“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?” 

Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan 

emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya. 

“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat 

lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi 

di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu. 

Senapatiku Wirangmandala  sudah datang di Tuban.” 

“Bapak!” seru Kumbang. 

Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia 

tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya. 

Lambat-lambat wajah tengkorak  kembali seperti semula. 

Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan. 

“Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan 

Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, 

Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai 

prajuritnya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak 

mengakui aku sebagai anaknya, namun  kata-kata itu tersekat 

beku di dalam jakun. 

Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan 

gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing 

itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi 

memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara. 

Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal 

minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa 

didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang 

patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu 

atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu 

biasanya sumber minyak. 

Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya 

pimpinan pencarian padanya. 

“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya 

minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus 

orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak 

yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan 

penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai 

Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula 

penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup 

dengan minyak kelapa? 

Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak 

mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang 

adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan 

itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan 

mungkin akan terlewati. 

Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera 

terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan 

kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua 

jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan 

musuh. 

Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi 

perbukitan Kendeng mencari sumber minyak…. 

Wirangmandala  bersama dengan para pemimpin pasukan 

sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang 

dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa 

orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai. 

Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka 

adalah perbukitan rendah yang setengah gundul. 

Wirangmandala  berdiri bertolak pinggang dengan pandang 

merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih 

tegap dibandingkan  tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya 

nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis 

kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya. 

Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di 

samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat 

dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu 

seperti sekepal ijuk. 

“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu 

atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, 

bahka