nusantara awal abad 16 27
an kalau mayat lanku meleset?”
“Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu mayat lan Tuan pasti
tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru
tidak mengindahkan mayat lan Tuan? Kalau Tuban yang
jatuh?”
“Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban
berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan
kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga
selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa
akan tertutup bagi Portugis,” Tholib tertawa menggigit.
“Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya
pikiran membuka kantor di sini?”
‘Tentu ada,” jawab tuanrumah gelisah, “aku hanya
menjalankan perintah.”
“Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di
kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah
aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak
diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan
laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor.
Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan
saran pada Malaka?”
“Apakah artinya aku ini?”
“Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada
kepentingan pribadi dengan Panarukan.”
“Itu tidak benar.”
“Boleh jadi, namun aku akan bikin penyelidikan yang
teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya
istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang
mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan
bertenang di sini di luar segala pengawasan.”
“Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali
di sebelah sini.”
“Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang
hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih
sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang
lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan
usulkan pada Malaka?”
”Tiada sesuatu.”
“Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke
Malaka, juga ke Luboa!”
“Itu terserahlah pada Tuan Tholib sendiri.”
“Jangan Tuan marah.”
“Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa
disinggung kebesaran negerinya.”
“Apalah gunanya marah sebab merasa kebesaran
negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din
dungu dalam menrsi s kebesaran itu? Untuk apa marah
kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam?”
“Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan
berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari
dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya
seorang Moro.”
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan
pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro
yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang
bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan
pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang Malaka juga
membutuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya
di darat tidak lengah sebab kemakmuran dan kesenangan
sebab dimanjakan oleh raja-raja Pribumi.
“Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih
mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan
mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membikin
kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan
pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa
bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!”
“Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku.
Tuan tidak punya wewenang untuk memeriksa pribadiku.
Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro.
Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali
dibandingkan Tuan.”
“Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga
penting untuk Malaka.”
“Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di
Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak
suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.”
”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku
tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara
hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis
tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis,
malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk
kebaikan Portugis.”
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang
penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak
dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan
Malaka ini. Justru sebab dia bukan Portugis, kata-katanya
didengarkan oleh Malaka, keselamatannya dijaga dan
permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima
atau sepuluh ons kopi.
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya.
Mudah untuk melakukannya. namun orang bisa takkan
melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat
pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran.
Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di
Panarukan.
Martinique sendiri memang punya banyak kelemahan di
hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa
yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang
laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja
Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara
ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit
menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan.
Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi
kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang
telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk
pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu
pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan
dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya.
Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar
sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap
dirinya di sini. Dan justru sebab semua itu ia tersinggung.
Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti
akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas
lama. Mungkin seorang baru akan datang
menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan
sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan
cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel,
gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung
ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu
terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak
malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual
jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan Goa memang
mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan
atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli
perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan,
persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la
termasuk salah seorang perancangnya.
Martinique telah mempersiapkan jalan untuk melakukan
pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia
akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. Tholib takkan
mungkin akan bisa membalas.
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan
baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah
suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui
lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal
punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk
menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan
pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalan-
jalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa
kali bila toh hendak membinasakannya di laut, sebab
suaranya toh akan datang juga ke Malaka.
‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi
Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka
perangkapnya. “Ia telah berhasil membuka rumah
perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut
ditempuh untuk berjalan-jalan.”
Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai
kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas
dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi.
“Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani.
“Tuan mengenal baik Rodriguez, bukan?”
Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu
memancarkan pandang curiga pada tuanrumah.
“Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan
saja sebab Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga
dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez.”
“Rodriguez yang mana?”
“Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang
lebih mengenalnya.”
‘Tidak, aku tak kenal.”
“Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan
sendiri yang menyuruh Yakub membawanya ke kapal
dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak
melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan
letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit
keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu
si pelarian itu.”
Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia
menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia
tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique
mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat
tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: “Tak ada yang
perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini
sama aman, mungkin lebih aman dibandingkan Lisboa atau
Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana.
Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada
hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa
berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana ”
Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh
bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang
jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang
kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat.
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap
tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia
memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap
ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak
tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian
bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok
umpak.
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di
pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalan-
jalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua
lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada
pinggang.
Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya
yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang
bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya
yang berat.
Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini
dalam hidupnya, pikirnya.
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang
pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya.
Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang
kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit.
Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana
ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang
dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap
dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani
betapa perbedaan bisa terjadi hanya sebab kelainan tempat
dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang
menggelikan.
Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan
dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa
mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. namun ia tidak
peduli dan meneruskan jalannya.
Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari
jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu
depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan,
mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan
kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya
selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya.
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah
orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya
seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor
dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha.
Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur
beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya,
lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi
serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru
dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1
Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!”
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan
melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para
pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka
sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa
orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua
lebih tua dibandingkan perempuan menggendong yang dipanggil
Pogoh, laki dan perempuan.
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan,
langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriak-
teriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya.
Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya
dalam Jawa: “Ada apa ini?”
Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya:
“Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu
kami!” tuduhnya.
la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka
mukanya dengan selembar setangan putih.
“Jangan keliru!” raung Tholib, dan mengangkat tongkat.
“Aku pendatang baru.”
“Baru atau lama semua Peranggi sama saja!” ia meludah
lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri
pada yang lain-lain.
“Keparat!” Syahbandar memekik, mengamangkan
tongkat dan menyeka mukanya.
Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki
Portugis berpakaian pelaut memunculkan kepala dari
kiraian pintu, melihat pada Pogoh, lalu melihat pada
para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan
kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan
para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung
orang Portugis.
Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu.
Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama
lalu juga sampai di depan pintu bersalib itu.
“Jangan sentuh dia, Pogoh,” pinta para pengejar itu di
hadapan orang Portugis itu.
“Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” pekik
seorang wanita setengah baya.
Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu,
terengah-engah.
“Lindungi sahaya, Bapa,” pinta Pogoh dari belakang
punggung Portugis berpakaian pelaut itu.
“Masuk cepat ke dalam,” perintah Portugis itu sambil
sedikit menengok padanya.
namun Pogoh tak berani masuk. Portugis itu
mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu.
”Ugh”
“Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya
itu meratap.
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu
bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun
tak berani.
“Sahaya bapaknya, Bapa, sahaya berwenang
menyelamatkan dia,” lelaki yang meludahi Tholib itu
membela haknya.
“Kau takkan selamatkan dia,” bantah Portugis itu dalam
Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan
bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku.
Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin
dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian
sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang
bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri
juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.”
“Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya.
“Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam
keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.”
“Anak sahaya. Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu
sahaya. Bapa.”
“Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda
mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam Portugis
itu.
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan
pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di
situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditambah
dengan sumpahan.
Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak
menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke
tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan
setangan dan menyeka muka.
Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan
pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang
padanya dan mengulurkan tangan.
“Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam Portugis.
Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak,
mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum
terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku
hadapi?”
“Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.”
“O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini
aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka.
Mari masuk.”
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti
berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai,
sedang anaknya sedang merangkak-rangkak.
“Lindungi sahaya, Bapa.”
“Apakah semua ini, Saudara?” tanya Syahbandar dalam
Portugis.
“Hanya kejadian sehari-hari,” lalu dalam Jawa
pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini.
Pogoh namamu, bukan?”
Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan
besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa
orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan
dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat
wanita dan hanya wanita atau bayi.
“Semua perempuan,” katanya lalu .
“Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam Portugis.
Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi
airmata.
“Bangun, kau!” Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan.
“Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez
dalam Jawa pada Tholib Sungkar. “Seperti Pogoh ini,” Ia
menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri.
Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan
sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.”
“Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya,”
Pogoh memprotes.
“Bangsa kafir, jahil celaka,” kata Syahbandar dalam
Portugis.
“Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata
Cortez dalam Jawa. “Allah Bapa, melindungi.”
“Sahaya tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh.
“Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh
dalam Portugis.
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya
dan menangis minta dada.
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia
berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes
dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun
Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap:
“Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami.
Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya.
Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api,
meliuk-liuk dan menyeringai, lalu jadi arang dan
debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak
sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan
merawatnya.”
‘Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa
semaumu sendiri,” Cortez meyakinkan. Kau berada di
tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan
bekerja dengan mereka.”
“Anak sahaya, Bapa.”
“Anakmu juga selamat di sini.”
“Sahaya lari dari api sebab anak ini.”
“Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenang-
tenangkan hatimu.”
“Kau masih akan punya anak lagi,” kata Syahbandar.
Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya
ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan
meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….”
“Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak
dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.”
“Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam Jawa pada
Syahbandar.
“Diamlah kau,” kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh.
Cortez nampak tak bersenang hati melihat campur-
tangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh
menyuruhnya masuk ke dalam. lalu pintu dalam itu
ia tutup.
“Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,”
Syahbandar memulai.
“Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru membuka ladang.
Menyebar benih pun belum.”
“Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?”
“Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari
segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapal-
kapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali
barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan
berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anak-
anak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi
tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya….”
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan
wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam.
Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud
kedatangannya.
“Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara
Cortez, tentara Tuban telah membunuhnya. Mayatnya
dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku
beritakan dengan dukacita kepada Saudara.”
“Yesus Maria!” sebut Cortez dan membuat salib dengan
jarinya. “Benarkah Tuan ini?”
‘Tidak ada yang lebih benar dibandingkan itu, Saudara.”
“Tuan mengetahui betul?”
‘Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.”
‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar.
Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara
Tuban yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya
memang dijatuhi hukuman mati. Jelas tentara Tuban
memang akan membunuhnya,” ia pandangi Syahbandar itu
seakan baru saja dilihatnya. “Tuan Syahbandar Tuban,
bukan?”
“Tidak keliru, Saudara.”
“Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan?”
“Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa.”
“Alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bukan?”
Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjap-
ngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya
diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya
mengandung maksud buruk.
“Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan?” Cortez
meneruskan. “Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orang-
orang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja?”
Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiap-
siap hendak melakukan sesuatu, ia memayat hkan wajah dan
tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal
Lisboa – tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan? – melalui
nakhodanya, Malaka telah menebus pada Tuan untuk harga
kemenakanku dan temannya bernama Esteban. Benar
begitu, bukan?”
Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis
mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembang-
kempis seperti insang ikan di darat.
“Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah
macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat
ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah
ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!”
Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya.
Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang
kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan
masuk ke dalam melalui pintu dalam.
“Astagafirullah!” sebut Tholib lalu . Dengan
perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan
dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis.
Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran.
Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang
Peranggi di Pasai, dan barang tentu di Malaka juga, di Goa
dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga
kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah
menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian,
lalu ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar
ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi
juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja
mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah membunuh
mereka? Membunuh orang Portugis – Moro membunuh
orang Portugis? sekaligus dua?
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah
Saudara Cortez berdepan-depan.
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui.
Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku sebab
sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan
jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan
bekas kebakaran.
Ia dengar-dengar suara mayat i di depan kamarnya. Tak
salah: suara Martinique. Dan ia merasa kecut untuk keluar.
Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka,
negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat
diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi
maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro
terbenci.
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua?
Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir
di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke
luar. Ia akan bertahan, Bertahan!
“Aa, Tuan Tholib Sungkar!” seru Martinique dengan
suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini
ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit
macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke
arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan.
Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani
bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda
dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa
berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.”
“Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana
Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika
dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik
bercengkemayat , berdeklamasi, berbicara tentang obat-
obatan baru…”
“Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.”
Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique
menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan
baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara
Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu
betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula
namanya? O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis
dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.”
“Aku tak tahu tentang itu.”
“Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez
seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih? Dan
mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu
macan?”
Syahbandar Tuban megap-megap sebentar. Ia raba
dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai
begini lemahnya.
“Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal
pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin
mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari
aku yang menrsi s pelarian-pelarian itu waktu diserahkan
oleh Yakub ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan
pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan
berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai
menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang
hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang
Portugis!”
“Seorang pengabdi Portugis takkan membunuh
Portugis,” bantah Tholib.
“Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di
dermaga Tuban? Ada seorang saksi ketika kilat memancar
dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia menuding pada
hulu gading tongkat tamunya, “pada salah seorang di dalam
krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?”
‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!”
bantah Tholib.
Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat
sesudah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui
tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya
yang telah jadi begitu lemah.
“jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan
mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? sebab
Malaka telah menunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?”
“Coba Tuan terangkan’ Syahbandar itu berlunak-lunak,
“bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh
mereka?”
“Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka
sana. Pasti Tuan akan merasa puas.”
“Baik!” jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak
menyenangkan itu. “Bersama dengan kulit macan dari Bali
itu.”
namun Martinique belum lagi puas dalam membalaskan
dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya:
“Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban
yang bernama… ah, siapa pula namanya itu, oh, ya,
Yakub,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarian-
pelarian itu di kapalku dulu? Ya-ya, Yakub namanya.
Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali
melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur,
sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat
Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain
pisau tongkat…. Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat
di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh,
dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,”
“Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu.”
“Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan?
Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.”
“Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang
itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita
cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan
Tuan, biar aku kawal ke Malaka.”
Ia melangkah ke arah biliknya kembali.
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah
penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar
aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu
menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka.”
Dan sesungguhnya ia takut juga.
0o-dw-o0
Pada hari yang telah ditentukan Martinique
mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan
telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib
Sungkar masih menumpuk di dermaga.
Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya
cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambat-
lambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih
berat.
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambat-
lambat ia berjalan mendekati bersama Martinique.
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi
yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke
dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda
Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela
pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng
Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti
air banjir membongkar tanggul Banteng Wareng terdesak ke
timur. namun sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih
Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya
memotong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah
seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban
menceburkan diri di dalam kancah. lalu pasukan
kaki Tuban memukul dari luar Tuban. Hampir-hampir
Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki.
Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang
menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat
benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan
Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke Tuban hari ini. Hari
ini juga. Siapa ikut boleh turut!”
“Aku ikut!” seru Syahbandar Tuban. “Pindahkan
barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya.
‘Tuan tidak jadi ke Malaka?” tanya Martinique.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang
mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu
layar Tuban.
“Bedebah!” maki Martinique.
Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban.
0odwo0
37. Panjang – Jayakarta
Bulan Juli 1527
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran
melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar
antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan
keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di
daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari
armada Jepara-Demak.
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau
Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau
Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat.
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru
dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada
permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara
sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang
dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih
menghasilkan layur.
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah
pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang
pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau
kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata.
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya
hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara
hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa
diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau
dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?”
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan
tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang
muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerah-
merahan seperti buah tomat menjelang matang.
“Tentu sebab ingat pada rumah,” desak Pada. “Mereka
sekarang tak ada di rumah lagi, Gusti,” jawabnya dengan
suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua telah
melarikan diri masuk ke hutan-hutan.”
“Ya, Gusti, sebab kita lari. Mereka akan menerima
hukuman dari Sri Baginda. sebab patik lari. Mereka akan
dihukum oleh Sang Patih Narogol.”
“Mereka akan dapat menangkap kasut kami.”
Sabarini mendengus tertawa.
“Betapa besar dosaku pada mereka.”
Sabarini mengayuh cepat-cepat.
“Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya.
“Tidak perlu. Gusti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah.
Jangan jadi fikiran, Gusti. Mereka akan lari ke hutan-hutan,
berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup –
tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda.
Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka
akan turun ke Sunda Kelapa.”
“Nampaknya kau tak berprihatin.”
“Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin?”
“Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.”
“Ya Gusti,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami
gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat
muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut
kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan
dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tumbuh jadi gadis tua
sebab ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak
berani melamar patik. Orang memandang patik dengan
belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk
seorang selir.”
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang
bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara
sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan.
Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih
indah dibandingkan kebenaran yang terkandung di dalamnya:
“Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita,
Gusti. Janganlah Gusti menjadi risau. Semua akan
bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan
seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia
membantu dan melindungi dan berkorban – tahu mereka
bakal mati di ujung tombak. Gusti sama sekali tak berdosa
pada mereka.”
“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak
suka bicara seperti orang-orang lain?”
Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum.
lalu menunduk malu.
“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di
tengah laut tanpa saksi begini?”
“Ah, Gusti, Gusti tidak tahu bagaimana perasaan patik.
Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini
dengan hanya bicara?”
“Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku Gusti.”
Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang
ceritakan tentang kebahagiaanmu.”
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal
kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh
penduduk desa yang tak berani mempersembahkan duduk-
perkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia
menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia
bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang
yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela
dan melindungi dirinya sendiri.
“Apabila patik berhasil dalam usaha patik,” Sabarini
meneruskan, “patik akan mengembara jauh, jauh entah ke
mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus,
lalu datang seorang pangeran dari Jepara, yang
sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari
kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang
kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya?”
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di
mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus
diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan
tidak lain dari Sabarini yang berjasa.
“Begitulah Allah mempertemukan kita. Segala puji-
pujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia
bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik.
Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali
bukan seorang pangeran”.
Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya.
Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran,
dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan.
“Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia
mengulangi.
“Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak?
Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya
sebagaimana suamiku mengindahkan diriku’
Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut
“Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani
biasa, sebab seorang petani hanya sederhana, tidak
ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu
tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak
bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula
kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang
orang biasa dalam pakaian kebesaran.”
“Sabarini!” gumam Pada sesudah mendengar begitu
banyak kata tercurah. “lihat, bandar Panjang sudah mulai
nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi
Sumatra.”
Matari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal
muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin
kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut
raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah
mengancam. rsi h mengaum dari kejauhan dan kilat sam-
bar-menyambar di cakrawala.
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan
terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang
kaki langit.
“Armada Peranggi,” gumam Pada. “Ayoh, dayung
cepat.”
Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan
Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai
mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur
angin seperti langsung dilemparkan dari langit.
sesudah mencancang perahu pengantin baru itu dengan
membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke
dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tumpukan
kranjang lada.
Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka
di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari
angin dan air.
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada
sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak
kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan
nampak belum lagi lama didirikan.
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi
akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di
panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan
Banten sesudah lolos dari blokade armada Jepara-Demak.
Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak
jadi bandar mayat i. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan
Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di
sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan
rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam
kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah.
Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman
untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan
tenaga untuk menrsi si pertanian dan panen lada. Beras
pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan
minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga
yang tinggi.
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa
kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu
ke yang lain. Dan bila armada Jepara-Demak terus-menerus
menindas bandar-bandar lain dan membikinnya jadi bandar
tak bebas, Panjang bisa menggantikan Malaka atau Pasai.
sesudah berunding dengan istrinya mereka bersepakat
menunda pelayaran ke Malaka untuk melihat-lihat Panjang
lebih lama.
0o-dw-o0
Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan
semula, menolak berlindung di bandar Panjang.
Francisco de Sa, pemimpin armada, adalah seorang
muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan
bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat
dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi,
wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin
armada.
Menurut perintah yang diterima ia harus memulai
pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda
Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu
dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke
Malaka membawa lada dari Panjang.
namun ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan
pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga
bulan lagi akan dipergunakannya untuk membangun
kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk
Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa
jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di
Malaka.
Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya
sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun
semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang
armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan
tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar
compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu
menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulung-
bergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa
daya diseret terus dalam cengkemayat n gelombang.
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut,
menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau
dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari
balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya surya alam pun
menjadi kelabu hitam. Curah hujan menyebabkan orang tak
bisa lagi melihat ke depan.
Semua layar telah digulung, namun deras angin
menghalau mereka ke selatan.
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan
adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lentera-
lentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari
Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak
terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantam-
hantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah.
Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal
curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam.
Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja
ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila
sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan
runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu
kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di
waktu dekat mendatang.
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa!
Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi
atas nama Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang
telah berani menghina beberapa tahun yang lalu.
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan
dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho
telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam
mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, lalu
meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas
kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas,
lalu dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke
dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal
berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak.
Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring,
lalu tenggelam.
“Jesus Maria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus!
Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.”
Isyarat-isyaratnya memerintahkan: Maju terus!
0o-dw-o0
Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat
keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar
kucing kapal itu lalu terangkat ke udara dan terbang
dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia
menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar
ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, lalu
jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan
pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas
kapal menancap pada dasarnya.
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah
berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah
laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami
cedera, itu pun hanya sebab kebetulan.
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan
lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan
perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah:
“Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!”
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran
melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya
hanya semak-semak rawa.
“Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru.
“Sayang kapal sebagus ini.”
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan
mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi
mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke
jurusan tenggara.
“Terdampar jauh di darat!” pekik kelasi itu.
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari
baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan
melemparkannya ke tanah. lalu ia berdiri di atas
batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi
pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon
lain.
‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas.
Juga tak ada sambutan.
Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte
Coelho yang pingsan tak sadarkan diri.
0o-dw-o0
Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga
perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di
belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan
mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang
gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari
mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu.
Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawa-
rawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik
di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak
berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila
yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang
lalu masuk berbareng dengan tombak di tangan dan
pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal
Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa
layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal
sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya
seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu.
lalu seorang lagi.
Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung
bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya
nampak di sekitar.
Mula-mula para prajurit berunding berbisik-bisik,
lalu mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu
sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan
melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan
menjenguk ke bawah, lalu pergi lagi.
Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air,
langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik,
semua mendongakkan kepala ke atas.
Barisan prajurit di belakang datang membawa batang-
batang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik.
Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam
setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu.
Dan melihat semakin banyak orang datang membawa
batang, mereka pun menggunakan musket dan menembaki.
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang
Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya
menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur
dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air.
Seseorang menghantamkan pedangnya, dan tubuh itu
lalu rebah.
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik
ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah
dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka
dapatkan hanya tubuh-tubuh Peranggi yang
bergelimpangan tanpa daya.
Tombak dan pedang menghabisi mereka tanpa
perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte
Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan
perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku.
Baja beradu baja berdentingan sebentar lalu padam
sama sekali. Sebilah tombak telah melumpuhkan Duarte
Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar.
Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai
bergelimpangan.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte
Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: “Kami datang
untuk bersahabat.”
Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak
menjawabinya.
Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh
kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda
dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam,
peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas
tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat
kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal.
Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan
mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka
mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak
yang baru diretas.
Sebagian dari para prajurit mendapat perintah membikin
jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang
berat lain. Sebagian mendapat perintah membikin tali. Tapi
sebagian besar melakukan pengangkutan.
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini
riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan
melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan
air minum dan makan siang.
Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan
melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai
pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam
renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak
dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan
tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar.
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari
penanggulan pesisir bandar yang menghalangi pasang-surut
air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan
sesuatu, mabok mendapat jarahan.
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit
tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan
melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barang-
barang besar.
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi
menghadapi tanah lapang.
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini.
Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk
melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya
menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. namun
barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa
melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran
luruhan dedaunan.
Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan
memerintahkan membongkarnya dari ikatan.
Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan
membagi-bagikannya pada mereka, lalu sendiri
memberikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua
ratus pucuk telah dirampas pada hari itu.
Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah
bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki
dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti
pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang.
Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melompat
kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nampak jadi
ungu.
‘Tendang!” perintah Fathillah.
Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding
dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh
ke laut benda itu telah penyek.
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh
Fathillah. Ia memeriksanya sebentar lalu
menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu
ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya.
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu
diperiksanya, lalu dipendek-panjangkan. Meneropong
lagi ke laut lepas. lalu melihat dengan mata telanjang
pada ke jauhan dan meneropong lagi.
Ia berpikir sebentar. lalu bertanya pada pengiring
yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: “Coba lihat
sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk
ini?”
“Ada patik lihat, Gusti, tapi tidak jelas,” jawab pengiring
itu, juga dalam Melayu.
“Apa yang kau lihat?”
“Beberapa titik putih. Gusti.”
“Coba dengan ini.”
Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan
mengenakannya kembali, melepas dan memeriksa kaca-
kaca teropong, lalu meninjau dengan mata telanjang
dan mengenakannya lagi.
“Apa kau lihat?”
“Tiga kapal asing, Gusti, dengan teropong ini.”
Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya.
lalu dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya
melihat ke kejauhan, sesudah itu disuruhnya dengan
teropong.
“Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, Gusti,
sedang menuju ke Sunda Kelapa.”
“Pengangkutan meriam supaya lebih cepat!” perintahnya
pada yang lain.
Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di
belakang bentengan kayu bakau-bakau.
“Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus
prajurit lagi untuk mengangkut!” perintahnya pada seorang
peratus Demak.
Orang itu lari untuk menjalankan perintah.
Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan.
Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan
sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan
Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke
tangan.
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa
perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat
merampas semua kapal Portugis yang datang dan
merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus
depa.
“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan
perintah Fathillah. “Siapkan pedang dan tombak.”
Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan
pada sisa armada Francisco de Sa yang mendatangi. Semua
terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua
orang berbesar hati dengan adanya meriam.
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan
pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal
itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya
tumpas.
Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan
meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu
semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin
giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam.
Betapa lama. Dan memang lama.
Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara
Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat.
Lama, lama sekali rasanya, baru lalu mereka
menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam
tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera
menembak. Mereka yang mendapat pembagian musket juga
tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya
balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi.
Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua
sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara
Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang.
Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke
atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang
terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci
dengan tangga tali’ ia memperingatkan. “Hati-hati. Mereka
kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap
Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi.
Mereka lebih suka tewas dibandingkan bertekuk lutut. Jangan
gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’
Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian muara
Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk
meneruskan pendaratan.
“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan
kekecewaan sebab yang turun mendarat seluruhnya hanya
berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu
tetap terjaga dari dalam.
Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal
ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya
tembak cetbang.
“Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya
lalu ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.”
Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak
bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya
dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya
terhias selempang merah Itulah Francisco de Sa.
Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan.
Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang.
lalu seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka
menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti.
Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru.
Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada
orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu
sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran
pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke
samping, lalu kembali ke barisan.
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung,
ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang
tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya
tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa manusia.
la kembali lagi pada barisan.
Seorang pengiring memberikan pikiran padanya,
mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada
taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa
membantah, sebab bukan adat pelaut lari dari angin.
Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman.
Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa
naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau
kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan
jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu
dengan Pangeran Sunda Kelapa, Gubernur bandar, untuk
segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak
mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan
Sang Gubernur.
Dan di mana pula Syahbandar?
Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang
Syahbandar tak datang menyambut sewaktu Portugis
datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Di mana Syahbandar?
Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun
tinggal lengang tak bermanusia.
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa
menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor
Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan
pada mulut: “Syahbandar! Syahbandar!”
Hanya deburan laut jua yang menjawab.
Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju.
Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke
tempat kantor Syahbandar, lalu membelok ke kanan
menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran.
Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah
hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi
empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan
mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan
senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah
menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap
tempur.
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong
rampasan.
Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke
laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan
menuju ke tempat sekoci.
Francisco de Sa menarik pandang tinggi, memekik.
Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak
sambil melemparkan tombak. Musket Demak tak ada
sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan
oleh Fathillah ternyata tidak kena.
Prajurit-prajurit Portugis memencar barisan.
Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu,
lalu bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya
beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam.
Meriam rampasan mulai berdentaman dari balik semak-
semak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapal-
kapal Portugis. Tangan-tangan tak terlatih itu
menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran.
Prajurit-prajurit Demak sudah mulai bergelimpangan.
Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan
menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka
takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan
pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju.
Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan.
Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar
dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada
barisannya.
Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di
tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan
Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya
terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring,
keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara.
Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam
gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa.
Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersorak-
sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda
pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan
buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-masing. Yang
tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu
penduduk.
Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga
dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan
anak panah. Portugis membalas dengan tembakan-
tembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan
tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.
Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka
mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak
yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu
telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan
penumpangnya berlompatan ke laut.
Dari teropongnya Fathillah melihat Francisco de Sa tetap
berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan
matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah
padam sebab murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa
harus diperbuatnya.
Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak,
takut mengenai teman-temannya sendiri.
Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak
berani mendaratkan pasukannya.
22 Juni 1527
Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan,
seakan sudah seia dengan Wirangmandala : “Mereka takkan
datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.”
Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing.
Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang
mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu
peluru pun dari meriam-meriamnya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa
armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah
itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam
kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun
telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad
dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah
takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi
pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang
dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah
mengumumkan: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah
dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang
dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke
laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di
bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku
nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah
Jayakarta. Jaya pada awal dan lalu nya, karta untuk
selama-lamanya.”
Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan
terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di
Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang
membicarakannya dengan bersemangat.
namun saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka
tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat memberitakan pada Wirangmandala dengan
lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda
keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut
putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari
ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak
kehilangan kegembiraannya itu.
Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu
berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap
pertemuan dengan armada Jepara-Demak.
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapal-
kapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak
meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh,
berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya
sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk
penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi
biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak
mengambilnya dengan harga lebih mahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu
banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali
jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli
sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan
lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu
terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng,
kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan
tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan
hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam
kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari
Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan
Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai
bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai
berdatangan, namun tidak untuk berdagang, hanya untuk
mendapatkan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar
Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil
melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap,
belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana.
Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh
serdadu-serdadu itu.”
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak
bertemu dengan armada Peranggi?”
“Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat
menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah
terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang
dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh,” Nakhoda
Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal.
“Di mana bertemu dengan mereka?”
“Di atas Juana.”
“Jadi mereka tak mendarat di Jepara?”
“Tidak. sesudah Juana mereka mulai mendekati pantai.
Tapi mereka terus ke jurusan timur.”
“Ke Blambangan barangkali?”
“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak
mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum
tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus
menunggu.
Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui
barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang
didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar
dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, namun
jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan
sangat cepat, persediaan habis, namun keadaan tidak
menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan
perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan
bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot
ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi
seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar
tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke
pedalaman untuk menrsi s lada. Pada dan Sabarini ikut
saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari
penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis
akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang
pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang.
Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barang-
barangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya
persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal
melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar.
Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan
adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera
dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.
“Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke
Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka
kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di
sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.”
Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke
depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di
Tuban?”
“Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat
dan mengamuk di sana.”
“Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?”
“Siapa lagi kalau bukan Peranggi?”
“Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak?”
‘Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka
diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke
tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi
masuk.”
“Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?”
“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”
“Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan
Demak?”
“Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak
meneruskan serangannya ke Tuban.”
“Jadi Tuban kena keroyok?”
“Boleh jadi begitu jadinya.”
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi.
Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam
mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah
lama tiada mereka pergunakan.
“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini.
Kita akan teruskan pelayaran.”
“sebab berita-berita itu?”
“sebab berita-berita itu, Sabarini.”
“Bukankah belum tentu semua itu benar?”
“Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak
dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya
akan mati.”
0od-w-o0
38. Yang Lola di Semenanjung
Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung
penduduk. lalu juga memasuki kampung-kampung
para prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi
petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar
melupakan negeri kelahiran masing-masing.
Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya,
dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan
perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang
telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit.
Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat
menanam lima belas pohon pisang, sesudah membabat
semak dan menebang hutan, berarti mereka telah
menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun
yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam
jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka
telah menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat
bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka
harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir
atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami
saja.
Wirangmandala tahu, ia tak mampu mengatasi
kemerosotan prajurit-prajurit. Dan dalam bicara dengan
mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya,
apalagi bila menghadapi istri-istri mereka.
Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah
yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia
untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami,
Senapatiku.”
Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih
berhak dibandingkan Trenggono ataupun Sang Adipati. sesudah
Sultan Demak meneruskan usahanya untuk menguasai
Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan
Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah
telah jadi lelucon yang mengibakan.
Wirangmandala menghargai perasaan mereka. Ia tak
mempunyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah
kemerosotan.
Kegiatan ketentaraan tinggal hanya kesibukan
pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula
Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka.
Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa
persetujuan tanpa perjanjian.
Dan semua itu membikin hati Wirangmandala menjadi
lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik
dibandingkan masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun
untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan
kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan.
Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya
kekosongan yang menganga, bolong dan melompong.
Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar
kata-kata ini: “Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita
kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?”
Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari
kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam
pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon
turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus.
Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda,
dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas dibandingkan
penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka
kebun kelapa, cengkeh dan barus.
Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya
untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap
kali ia mencoba mendapatkan pegangan baru, setiap kali
pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya
membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari
segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya
seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke
bawah.
Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di
Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan
segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak,
kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau
sultan. Tanah di sini lebih subur dibandingkan Tuban, Demak
ataupun Jepara. Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana
hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas
nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan
dirinya sendiri.
Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum
lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru.
Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan mayat h. Itulah
satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang Senapati dan
Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua
bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah
ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi
kelahiran Semenanjung? Tak mengenal Tuban dan Jawa?
Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan
keprajuritan me luncur terus menuju ke titik terdalam.
Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli.
Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan
menangis: “Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah
sahaya.”
lalu datang juga suaminya, berdiri angkuh
memegangi hulu parang dan menatapnya dengan
pandangan mengancam. Tak lama lalu seluruh
penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang
merubung.
“Apa aku bisa tolongkan. Perempuan?”
“Anak sahaya, Hang Wira, seorang Tuban telah
menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada
sahaya.”
“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin
rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga
memegangi hulu parang. “Kembalikan anakku!”
“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan.
Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit
Tuban dijatuhi hukuman mati sebab perkosaan?”
“Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin
mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih
lama.”
“Hai, Perempuan, anak itu anakmu ataukah anak lelaki
ini?”
“Anak sahaya sendiri.”
“Maksudmu orang ini bapak-tirinya?”
“Betul, Hang Wira.”
“Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan
mendapatkan menantu yang baik. Apakah lamarannya
pernah kau tolak?”
“Suami sahaya yang menolaknya, Hang wira.”
“Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gumam sang suami
sambil menghampiri Wirangmandala , “patutkah menerima
pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami
akan perangi semua petualang Tuban di sini.”
Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan
terjadi.
“Jangan, Bang, jangan,” tegah perempuan itu pada
suaminya sambil memegangi tangannya. namun lelaki itu
mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih
tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai
menarik parang.
Wirangmandala melangkah ke samping dan menegah:
“Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau
yang marah; sedang berhak tidak?”
Dan lelaki itu menjawab dengan ayunan parang,
memekik: “Rasakan parang Semenanjung!”
Wirangmandala melompat dan melompat. Dan lelaki itu
menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada
suatu kesempatan Senapati dapat menyambar potongan
bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan
bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan.
“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya.
“Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira.
Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah
memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya
nampak seperti terbalik
Melihat itu Wirangmandala mulai memekik menyerang
dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang
kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang
mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang.
Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira
menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu
terpekik dan jatuh terduduk lalu mengerang-ngerang.
Matanya melotot gusar.
“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang
Wira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau
masih hendak menyerang juga.
Lelaki itu telah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga
duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomat-
kamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia
lemparkan parang pada Wirangmandala , menyerempet pada
betis, jatuh menancap ke tanah.
Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak
melukai, sebab bukan mata parang yang telah mengenai.
Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut
parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain.
lalu ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya
masuk ke rumah.
Juga Wirangmandala ikut masuk. Ia duduk diam-diam.
“Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. Perempuan, biarlah
aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk
kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak
pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada
anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun
ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita
urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan
hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mulai jadi
saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu….”
Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas,
la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk
berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir
Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan
permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus
dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan
Peranggi…
Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi
masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang
anakbuahnya ada yang telah membikin perahu dan hanya
untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan
untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung.
Lebih enam ratus lelaki! Dan lelaki memang dilahirkan oleh
wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia
menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk
berperang. Dan kini semua telah berkisar menjurus ke arah
yang sama sekali berlainan.
Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi.
“Kelahiran baru,” ia membelok ke sebuah pondok,
menjenguk ke dalam.
“Lelaki!” seseorang terdengar berseru girang.
Wirangmandala berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu
tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar,
mungkin Portugis bukan musuh dan bukan persoalannya.
Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi
persoalan itu sebab kekecewaan pada raja-rajanya sendiri?
Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya
dengan udara malam yang segar.
Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang
telah membebaskan aku….
Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk
bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan
bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan
mengantuk, namun bertekad menunggu sampai ia datang.
Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang
tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka
membuka mata.
“Kau datang, Pada,” tegur Hang Wira.
Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis
gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini
mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan
dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu.
“Ampuni aku bila terlalu lama.”
“Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik
dan selamat. Itu sudah cukup.”
“Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya
seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang mandala ,
abangku.”
Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang
menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari mana kau,
Upik?” tanyanya dalam jawa.
“Bukan jawa, Kang.”
“Aceh? Jambi, Minang?”
“Sunda,” jawab Sabarini dengan suaranya yang
menyanyi.
Wirangmandala mengangkat tangan memberikan restu.
Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan
gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap
kepala: “Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian,
semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai
kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi
hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilang-
gemilang. Berdirilah kalian.”
Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dada dan
menunduk.
“Pada, bawalah istrimu beristirahat.”
Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar
lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka
berdua.
“Ya, berbahagialah kalian.”
la segera tenggelam dalam kenangan pada
perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum
sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu,
penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut
merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan tengkorak
sebagai Kamaratih. lalu tandunya jatuh. Sebagai
pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah.
Terjerembab! Mungkin perlambang kejatuhannya selama
irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang
itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang
gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan
pernah gagal.
Kegagalan yang berisikan penyesalan – banyak
penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas sebab tangan
dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang
majikan dan seorang rsi sekaligus! Dan kiai di Gresik itu
– banyak namanya pun ia tak tahu. Dan Danu – santri
terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas sebab
tangannya – dan tidak sebab perang!
Ia tinggalkan markas dan memasuki malam.
Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung
memantai pesisir timur Sumatra Pada telah berpikir keras
untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan
ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadian-
kejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu.
Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di
dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas
Adipati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh
tentara Demak? Dan mengapa pula keluarga Wirangmandala
terancam kebinasaan? Mengapa Senapati dituduh
bersengkongkol menentang Demak? Dan mengapa pula
dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu?
Ia tak dapat menjawab.
Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat Demak,
penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas
Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk – semua pelabuhan
penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah
Trenggono sudah bertekad menguasai semua bandar di
Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak punya
bandar? Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara
maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak bandar lain?
Dan mengapa lawan-lawan Sultan Demak tak ada yang
mampu menahan gelombang balatentaranya? Mengapa
pula Tuban yang beratus tahun jadi andal-andal Majapahit
dapat ditangannya, bahkan telah terjamah ibukotanya? Lagi
pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus
menghalau musuhnya sekalipun Sang Adipati telah
mangkat. Dan mengapa pula Peranggi langsung masuk ke
Tuban sesudah kegagalannya di Sunda Kelapa? Seakan-akan
semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi?
Dan di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya
Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas.
Dan mengapa armada Jepara-Demak mengakhiri
blokadenya? Dan mengapa balatentara armada itu tak
meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan
mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas
dengan sekali pukul telah mematikan bandar Panjang?
Benang yang kacau itu semakin kacau.
Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa
Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya
almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan Islam
pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan kafir
sebagai semula?
Mengapa justru Wirangmandala yang harus
mengusahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu
yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia
mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung?
Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam
Peranggi? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah
Wirangmandala itu sendiri yang telah merampas senjata
ampuh itu. Dan mengapa Senapati yang paling berjasa pada
Tuban itu justru diusir dari Tuban? Dan mengapa ia
sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula?
Dalam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus
dan nampak lebih jangkung dibandingkan sesungguhnya.
Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih
memusingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa
balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan Demak?
Dan mengapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis?
Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut
peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri
semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri
sendiri, sebab sedang dalam suasana pengantin baru maka
diri menjadi bebal.
Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari
pihak Portugis. Mereka memang nampak kasar dan tidak
tahu adat, namun tak selembar pun barang-barangnya
mereka rampas, apalagi perahu layarnya.
Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu
kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya
segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. Dan ia tak
melihat adanya permusuhan tertuju padanya.
Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai.
Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya.
Mengapa Peranggi-Peranggi itu nampak begitu damai? Dan
jarang di antara mereka membawa senjata? Dan mengapa
di Tuban justru sebaliknya?
Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas
Wirangmandala sedang istrinya menggendong pada
punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia
takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan
ia merasa akan menderita aib sekiranya Wirangmandala
menuduhnya hanya menrsi si soal bini semata dan tidak
melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang
mayat h dan tidak menuding, bahkan merestui
perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya.
mandala yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai
seorang abang yang pemurah dan bijaksana.
Keesokan harinya ia telah berniat hendak
menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata
ia tidak mampu menyusunnya.
Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di
sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya
Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram.
Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar
dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara
lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan
istrimu,” ia tersenyum.
Ketegangan Pada hilang sama sekali
Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebut-
nyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang
bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun
terpencil, aman dan damai.
“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.”
“Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas
dunia ini, Kang.”
“Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak
menduga dengan begitu mudah ia mendapatkan jalan untuk
menyampaikan segala yang telah dilihat dan didengarnya
sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda
Kelapa dan Panjang, malah juga di Pasai. Pengalamannya
dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu
tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan
dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara Demak
menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang
gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu
bungkusan itu untuk Kang mandala . Ampunilah aku sebab
telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan
sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan
itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa
Baleugbag, desa Sabarini, istriku.”
“Semua ketakutan dan kelelahanmu telah ditebus. Kau
telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum
pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan
menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan
manusia.”
“Kau melebih-lebihkan, Kang.”
“Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura
dungu. Ayoh, teruskan ceritamu.”
Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan
Sunda Kelapa ke tangan Demak. Bahwa Sunda Kelapa
telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk lalu
juga diseibu oleh armada Jepara-Demak. Dan sesudah itu
armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat
menduduki Cirebon.
Wirangmandala diam termenung mendengar bagaimana
Fathillah menghalau Portugis dan kapal-kapalnya. Dan
armada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan
sebutir pun peluru meriam. “Apakah kau tidak keliru.
Pada?”
‘Tidak. Portugis tidak menembak. Mereka terus berlayar
ke timur, terus ke timur.”
“Dan memasuki Tuban.”
“Ya, dan memasuki Tuban.”
“Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk
Tuban.” Hang Wira menerangkan. “Mungkin sebab itu
mereka dapat menusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak
dapat menemui Kala Cuwil?”
‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku
ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu Demak masuk.”
Wirangmandala seperti tersengat kalajengking.
Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya.
Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan
berjalan tanpa menoleh.
Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri
juga dan mencarinya. Didapatinya Senapati sedang berdiri
merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya
bertahan pada sebatang kayu. “Kau telah terbebas dari
sumpah. Kang.”
“Apakah hanya itu saja yang penting?”
“Memang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara
Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka
berperang?”
“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama mati,
raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak
menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana
seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun
yang lalu. Pada.”
“Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok
Rajasanagara.”
“Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. Tuban
tidak melahirkan Ken Arok. Kala Cuwil sesungguhnya bisa
marak, atau Banteng Wareng. Mereka takkan bakal ada
keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok.
Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan.
Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan
gengsi ketentaraan semata.”
Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang
mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang
mereka yakin Kala Cuwil dan Banteng Wareng tak ada
keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah
Jawa akan berubah.
“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri
sebenarnya bisa, Kang’
“Husy. Kau masih juga tidak mengerti mandala ini”
“Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang
mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.”
“Kau keliru.”
“Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita
tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba
haridepan….”
“Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa
tidak lebih dari tengkorak , hanya menginginkan jadi petani
tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun…
itulah yang justru membikin aku menyasar-nyasar begini,
melalui jadi Syahbandar-muda sampai Senapati dan
Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini
muncul dan menyilakan Hang Wira makan.
“Aah, adikku Sabarini,” tegur Senapati dalam bahasa
Melayu. “Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti
engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan
semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa
kebun yang indah seperti di negerimu.”
“Sahaya akan tetap senang selama tidak ditinggalkan
oleh suami sahaya,” jawab Sabarini dengan suaranya yang
menyanyi.
“Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.”
“Ya, Kang mandala . Selama aku tak mengabdi pada
seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.”
“Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu
ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu
besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu
seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah
yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama
dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat
mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau,
barangkali juga dialah yang mengikuti kau.”
Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir.
Wirangmandala tersenyum senang melihatnya dan berseru:
“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya.
Aku tak salahkan kau.”
‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergila-
gila padaku.”
“Benar, Sabarini?”
Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka.
“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu
harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana
bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun
dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau
bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah
riwayatmu.”‘
“Mengapa begitu, Kang?”
“Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu.
Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya
tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup
aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang
wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.”
“Kang.”
“Apalagi kau bertaubat.”
“Sudah lama aku bertaubat.”
“Mari makan.”
Dalam berjalan kembali Wirangmandala tenggelam dalam
pikirannya. Baginya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau
barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh
mayat arwah ? Datangnya memanggil kejayaan dan
kebesaran itu?
mayat arwah keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil
datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah
arti Tuban tanpa Malaka? Tuban adalah negeri
kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan
perdagangan rempah-rempah. mayat arwah keliru. Untuk
menguasai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka
harus dibebaskan. Dan Malaka tak dapat dibebaskan sebab
kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus
timbul Majapahit kedua yang sama sekali menguasai
Malaka. Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh
Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil.
Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru
orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang telah dikalahkan
oleh meriam. Senjata itu harus lebih ampuh dari meriam.
“Bagaimana, Kang?”
”Ayoh makan.”
Dan malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk
bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai
menyalakan api unggun, namun para penjaga belum juga
datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan.
“Mengapa kau tinggalkan istrimu?”
“Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh
meninggalkannya?”
“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu
tidak patut Apa kau bawa itu?”
“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat
kusampaikan padamu bingkisan ini: dari Gusti Ratu
Aisah.”
”Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan
kau mendapatkan Sabarini?”
“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah
aku ceritakan,” ia mulai membongkarnya.
Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kupu-
tarung. Seperti kena kejang Wirangmandala mencengkam
kain itu lalu meletakkan pada dadanya: “Aku pernah
melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara.
Pulang membawa luka dan kekalahan dan Malaka. Seorang
aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk
menguasai perasaannya sendiri, lalu , “Dahulu aku
mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas
tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat
mengagungkan Gusti Adipati Tuban. Aku pernah
menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah
laporkan semua yang aku ketahui pada Gusti Adipati
Tuban. Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu
menyerang Malaka. Dan ternyata hanya Gusti Kanjeng
Adipati Unus yang benar. Betapa aku menyesal telah
pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya.”
“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.”
“Lewat saja tiada mengapa, Pada, namun lewat dengan
segala ketidakberesan begini.”
“Kang mandala , Raden Ajeng cilik yang menyerahkan
bingkisan padaku itu menyampaikan pesan Gusti Ratu
Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu
mengenakannya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada
orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng Wareng pun tidak.
Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.”
Wirangmandala masih tenggelam dalam emosinya, pada
masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus.
“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau.
la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. Mohammad
Firman mencoba mengikutinya dari belakang dan
menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon
dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu.
“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.”
‘Temani istrimu. Pada.”
“Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu.
Kang.”
“Pergilah kau, jangan ganggu aku.”
“Aku akan tetap di belakang. Kang.”
“Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan
sudah untuk kedua katinya.”
“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di
belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau
kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua
orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu,
Kang.”
Lama Wirangmandala tak bicara. lalu mulai ia
bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku
tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak
desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya.
Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya Peranggi
telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita
lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci
dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan
Demak. Ia telah jerumuskan Jawa dalam peperangan
melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh
semakin kuat begini. Ia telah perhamba orang-orang
serumah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas
dan menguasai sumber kehidupan.”
“Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa memang
tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.”
“Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir
dari Malaka hanya omong kosong, Pada.”
“Betul, Kang, hanya omong kosong.”
“Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk
jaman kemerosotan ini.”
“Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.”
“Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan
gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa
kalau Demak tak memukul semangat kita. Ditariknya
pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. Tapi
Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.”
“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.”
“Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk
menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi
pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak
banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama
dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali.
Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di
mana-mana. Kehidupan macam apa ini?”
“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah
juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.”
“Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Murid-
muridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri.
Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang
dalam kekafiranku. Aku tak membutuhkan kata-kata
hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati
oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah sebab sarat
dengan beban, dan biarlah dia meledak sebab ketegangan.
Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang
mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan
hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini
membasuh kakimu. Memang menyegarkan, tapi tiada arti.
Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan
untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada
titik inilah kita berpisah.”
Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang.
Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak diduga-
duganya Ia tahu sahabatnya dihembalang oleh kekecewaan
dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar
kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan
dan dukacita itu sendiri.
Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada
Tuhannya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk
si kafir sahabatnya yang keras kepala itu. lalu ia
pulang ke markas membawa bungkusan.
0o-dw-o0
Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis-
Makasar di pondoknya.
Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang
terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu
merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya
pada Wirangmandala .
Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan
untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu
mendatang.
Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan
tenang seperti dahulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana
hatinya menggeletar, sebab si kafir itu enggan
menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia
telah jarang berkhotbah di hadapannya.
“Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tiba-
tiba ia bertanya.
“Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian.”
“Jangan dengan sahay a-sahayaan,” ia melirik pada
Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik,
baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat
tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi.
Dalam pertemuan seminggu lalu ia menyatakan,
pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan
lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke
negerinya masing-masing kesempatan diberikan.
Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di
depan pertemuan itu juga ia menyatakan telah melepaskan
kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya
sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan
Sultan Trenggono yang menyebabkan semua terdampar
sebagai prajurit di sini, namun untuk sebahagian toh
mendapatkan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan,
terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah
dan subur.
”Negeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi.
Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi
mereka di sana, sebab Tuban negeriku. Aku tak memaksa
kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali
denganku untuk mengusir Peranggi akan kuterima dengan
segala senang bati.”
Hanya dua puluh lima orang yang menyatakan hendak
kembali. “Aku meninggalkan Tuban membawa lima ratus
orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lima.
Adipati Unus telah gagal. Beberapa belas tahun lalu
juga Wirangmandala gagal. sebab kegagalan ini disebabkan
oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum
keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini
dengan nama itu pula: Trenggono.”
Pada hari yang telah ditentukan, Wirangmandala bersama
dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan
bemayat i-mayat i ke pantai.
“Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang
mandala .”
“Kau berhak, Pada.”
“Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada
habis-habisnya.”
“Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka.
Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.”
“Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ”
“Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau
kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin
melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu
kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur.”
0odwo0
39. Tuban Jadi Kancah Perang
Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid
tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang
mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga,
dan ia berjalan seorang diri mendahului.
Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup
tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak
pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan
sekarang.
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya
mengucapkan syukur sebab tidak terbawa oleh kapal
Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa
menjadi kuburannya sesudah penganiayaan berat akan
mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan
Portugis bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani
baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya
hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari
haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung
Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk
haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan
Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah
penggorengan besar bagi dirinya.
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh
mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.
Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup
baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang
penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan
senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk
memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas
budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan
padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi Gede Kati, dan
akan menempatkannya sebagai wanita yang semulia-
mulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan
membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan
ambil Gelar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan
dirinya pada Wirangmandala bila ia sudah balik dari Malaka.
Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan
panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di
harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk
dikuburkan di Bumi Tuban.
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di
belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya.
Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna
merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di
perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang
lama. Kakinya pun kembali berterompah.
Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, membiarkan
para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka,
leher dan lengan dengan setangan, lalu menjentik-
jentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi Gede
Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia
tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar
yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut
merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam
nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah
mulai ditumbuhi rumput serta pepohonan yang mati sebab
terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja
barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan
membangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia
membutuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil
berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui
Nyi Gede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera
minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu telah
memasuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak
nampak dan taman depan rumah telah kehilangan
Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali.
Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu
depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan
perbaiki.
“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya
melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit
pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan
memberi tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan Syahbandar
Tuban? Segera tinggalkan tempat ini”
“Inilah Syahbandar Tuban baru tiba.”
“Segera tinggalkan tempat ini.”
“Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih
tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para
pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah
ada Syahbandar lainkah sebab aku pergi tanpa minta diri
tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah.
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa:
waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali
bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran
kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati
barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang
berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit
datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia
tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali
oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali
seperti dulu.
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku
kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah
orang yang berkumis dan berjenggot itu?
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak,
melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak
berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh
bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian
malah menutupi mukanya.
‘Tuan Syahbandar,” tegurnya mayat h tanpa
menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, lalu berhenti
dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia
tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan? Demak?
Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia
hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan
kanan bertekuk di depan dada.
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa
menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan.
Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya
tertutup rambut memandang tajam padanya.
“Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi.”
Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan
dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi.
“Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban memanggil,
Gusti Patih,” jawabnya.
Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya
menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya
terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian,
terpanggil kembali oleh tugasnya.”
“Demikianlah yang ditugaskan oleh Gusti Adipati Tuban
pada sahaya.”
Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia
kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan
Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa
Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya.
“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah.
“Masukkan dia ke dalam krangkeng.”
“Krangkeng?” pekik Tholib Sungkar.
“Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu:” Dan dua
orang pengawal itu menangkapnya.
“Apa dosa sahaya. Gusti?”
“Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya.
Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya.”
“Sahaya Moro, Gusti, bukan Peranggi.”
Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar
meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang
kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi,
dikunci dari luar.
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan.
Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar
berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi
Gede Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya
prajurit-prajurit pengawal.
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke
dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang
Adipati, Nyi Gede Kati, Paman Merta, bahkan juga
Wirangmandala . Suaranya gemetar seimayat dengan geletaran
krangkeng yang disorong.
Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan
menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.
“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi
Gede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di
sini.”
“Gusti Adipati—,” ia meraung.
“Apa yang kau raungkan? Dia sudah lama mati.”
Syahbandar itu berhenti meraung. Ia menggigil. Tak ada
lagi kekuatan yang seka