nusantara awal abad 16 27

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 27




 an kalau mayat lanku meleset?” 

“Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu mayat lan Tuan pasti 

tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru 

tidak mengindahkan mayat lan Tuan? Kalau Tuban yang 

jatuh?” 

“Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban 

berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan 

kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga 

selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa 

akan tertutup bagi Portugis,” Tholib tertawa menggigit. 

“Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya 

pikiran membuka kantor di sini?” 

‘Tentu ada,” jawab tuanrumah gelisah, “aku hanya 

menjalankan perintah.” 

“Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di 

kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah 

aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak 

diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan 

laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor. 

Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan 

saran pada Malaka?” 

“Apakah artinya aku ini?” 

“Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada 

kepentingan pribadi dengan Panarukan.” 

“Itu tidak benar.” 

“Boleh jadi, namun  aku akan bikin penyelidikan yang 

teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya 

istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang 

mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan 

bertenang di sini di luar segala pengawasan.” 

“Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali 

di sebelah sini.” 

“Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang 

hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih 

sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang 

lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan 

usulkan pada Malaka?” 

”Tiada sesuatu.” 

“Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke 

Malaka, juga ke Luboa!” 

“Itu terserahlah pada Tuan Tholib sendiri.” 

“Jangan Tuan marah.” 

“Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa 

disinggung kebesaran negerinya.” 

“Apalah gunanya marah sebab  merasa kebesaran 

negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din 

dungu dalam menrsi s kebesaran itu? Untuk apa marah 

kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam?” 

“Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan 

berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari 

dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya 

seorang Moro.” 

Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan 

pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro 

yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang 

bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan 

pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang Malaka juga 

membutuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya 

di darat tidak lengah sebab  kemakmuran dan kesenangan 

sebab  dimanjakan oleh raja-raja Pribumi. 

“Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih 

mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan 

mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membikin 

kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan 

pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa 

bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!” 

“Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku. 

Tuan tidak punya wewenang untuk memeriksa pribadiku. 

Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro. 

Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali 

dibandingkan  Tuan.” 

“Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga 

penting untuk Malaka.” 

“Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di 

Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak 

suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.” 

”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku 

tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara 

hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis 

tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis, 

malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk 

kebaikan Portugis.” 

Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang 

penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak 

dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan 

Malaka ini. Justru sebab  dia bukan Portugis, kata-katanya 

didengarkan oleh Malaka, keselamatannya dijaga dan 

permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima 

atau sepuluh ons kopi. 

Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya. 

Mudah untuk melakukannya. namun  orang bisa takkan 

melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat 

pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran. 

Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di 

Panarukan. 

Martinique sendiri memang punya banyak kelemahan di 

hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa 

yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang 

laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja 

Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara 

ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit 

menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan. 

Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi 

kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang 

telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk 

pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu 

pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan 

dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya. 

Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar 

sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap 

dirinya di sini. Dan justru sebab  semua itu ia tersinggung. 

Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti 

akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas 

lama. Mungkin seorang baru akan datang 

menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan 

sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan 

cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel, 

gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung 

ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu 

terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak 

malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual 

jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan Goa memang 

mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan 

atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli 

perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan, 

persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la 

termasuk salah seorang perancangnya. 

Martinique telah mempersiapkan jalan untuk melakukan 

pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia 

akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. Tholib takkan 

mungkin akan bisa membalas. 

Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan 

baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah 

suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui 

lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal 

punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk 

menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan 

pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalan-

jalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa 

kali bila toh hendak membinasakannya di laut, sebab  

suaranya toh akan datang juga ke Malaka. 

‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi 

Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka 

perangkapnya. “Ia telah berhasil membuka rumah 

perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut 

ditempuh untuk berjalan-jalan.” 

Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai 

kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas 

dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi. 

“Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani. 

“Tuan mengenal baik Rodriguez, bukan?” 

Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu 

memancarkan pandang curiga pada tuanrumah. 

“Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan 

saja sebab  Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga 

dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez.” 

“Rodriguez yang mana?” 

“Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang 

lebih mengenalnya.” 

‘Tidak, aku tak kenal.” 

“Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan 

sendiri yang menyuruh Yakub membawanya ke kapal 

dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak 

melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan 

letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit 

keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu 

si pelarian itu.” 

Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia 

menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia 

tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique 

mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat 

tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: “Tak ada yang 

perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini 

sama aman, mungkin lebih aman dibandingkan  Lisboa atau 

Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana. 

Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada 

hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa 

berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana ” 

Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh 

bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang 

jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang 

kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat. 

Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap 

tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia 

memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap 

ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak 

tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian 

bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok 

umpak. 

Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di 

pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalan-

jalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua 

lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada 

pinggang. 

Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya 

yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang 

bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya 

yang berat. 

Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini 

dalam hidupnya, pikirnya. 

Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang 

pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya. 

Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang 

kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit. 

Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana 

ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang 

dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap 

dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani 

betapa perbedaan bisa terjadi hanya sebab  kelainan tempat 

dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang 

menggelikan. 

Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan 

dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa 

mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. namun  ia tidak 

peduli dan meneruskan jalannya. 

Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari 

jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu 

depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan, 

mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan 

kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya 

selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya. 

Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah 

orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya 

seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor 

dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha. 

Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur 

beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya, 

lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi 

serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru 

dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1 

Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!” 

Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan 

melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para 

pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka 

sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa 

orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua 

lebih tua dibandingkan  perempuan menggendong yang dipanggil 

Pogoh, laki dan perempuan. 

la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan, 

langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriak-

teriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya. 

Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya 

dalam Jawa: “Ada apa ini?” 

Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya: 

“Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu 

kami!” tuduhnya. 

la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka 

mukanya dengan selembar setangan putih. 

“Jangan keliru!” raung Tholib, dan mengangkat tongkat. 

“Aku pendatang baru.” 

“Baru atau lama semua Peranggi sama saja!” ia meludah 

lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri 

pada yang lain-lain. 

“Keparat!” Syahbandar memekik, mengamangkan 

tongkat dan menyeka mukanya. 

Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki 

Portugis berpakaian pelaut memunculkan kepala dari 

kiraian pintu, melihat pada Pogoh, lalu  melihat pada 

para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan 

kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan 

para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung 

orang Portugis. 

Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu. 

Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama 

lalu  juga sampai di depan pintu bersalib itu. 

“Jangan sentuh dia, Pogoh,” pinta para pengejar itu di 

hadapan orang Portugis itu.  

“Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” pekik 

seorang wanita setengah baya. 

Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu, 

terengah-engah. 

“Lindungi sahaya, Bapa,” pinta Pogoh dari belakang 

punggung Portugis berpakaian pelaut itu. 

“Masuk cepat ke dalam,” perintah Portugis itu sambil 

sedikit menengok padanya. 

namun  Pogoh tak berani masuk. Portugis itu 

mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu. 

”Ugh”  

“Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya 

itu meratap. 

Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu 

bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun 

tak berani. 

“Sahaya bapaknya, Bapa, sahaya berwenang 

menyelamatkan dia,” lelaki yang meludahi Tholib itu 

membela haknya. 

“Kau takkan selamatkan dia,” bantah Portugis itu dalam 

Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan 

bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku. 

Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin 

dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian 

sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang 

bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri 

juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.” 

“Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya. 

“Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam 

keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.” 

“Anak sahaya. Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu 

sahaya. Bapa.” 

“Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda 

mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam Portugis 

itu. 

Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan 

pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di 

situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditambah 

dengan sumpahan. 

Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak 

menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke 

tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan 

setangan dan menyeka muka. 

Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan 

pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang 

padanya dan mengulurkan tangan. 

“Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam Portugis. 

Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak, 

mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum 

terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku 

hadapi?” 

“Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.” 

“O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini 

aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka. 

Mari masuk.” 

Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti 

berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai, 

sedang anaknya sedang merangkak-rangkak. 

“Lindungi sahaya, Bapa.” 

“Apakah semua ini, Saudara?” tanya Syahbandar dalam 

Portugis. 

“Hanya kejadian sehari-hari,” lalu  dalam Jawa 

pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini. 

Pogoh namamu, bukan?” 

Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan 

besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa 

orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan 

dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat 

wanita dan hanya wanita atau bayi. 

“Semua perempuan,” katanya lalu . 

“Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam Portugis. 

Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi 

airmata. 

“Bangun, kau!” Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan. 

“Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez 

dalam Jawa pada Tholib Sungkar. “Seperti Pogoh ini,” Ia 

menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri. 

Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan 

sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.” 

“Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya,” 

Pogoh memprotes. 

“Bangsa kafir, jahil celaka,” kata Syahbandar dalam 

Portugis. 

“Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata 

Cortez dalam Jawa. “Allah Bapa, melindungi.” 

“Sahaya tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh. 

“Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh 

dalam Portugis. 

Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya 

dan menangis minta dada. 

Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia 

berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes 

dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun 

Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap: 

“Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami. 

Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya. 

Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api, 

meliuk-liuk dan menyeringai, lalu  jadi arang dan 

debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak 

sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan 

merawatnya.” 

‘Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa 

semaumu sendiri,” Cortez meyakinkan. Kau berada di 

tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan 

bekerja dengan mereka.” 

“Anak sahaya, Bapa.” 

“Anakmu juga selamat di sini.” 

“Sahaya lari dari api sebab  anak ini.” 

“Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenang-

tenangkan hatimu.” 

“Kau masih akan punya anak lagi,” kata Syahbandar. 

Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya 

ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan 

meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….” 

“Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak 

dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.” 

“Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam Jawa pada 

Syahbandar. 

“Diamlah kau,” kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh. 

Cortez nampak tak bersenang hati melihat campur-

tangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh 

menyuruhnya masuk ke dalam. lalu  pintu dalam itu 

ia tutup. 

“Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,” 

Syahbandar memulai. 

“Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru membuka ladang. 

Menyebar benih pun belum.” 

“Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?” 

“Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari 

segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapal-

kapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali 

barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan 

berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anak-

anak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi 

tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya….” 

Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan 

wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam. 

Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud 

kedatangannya. 

“Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara 

Cortez, tentara Tuban telah membunuhnya. Mayatnya 

dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku 

beritakan dengan dukacita kepada Saudara.” 

“Yesus Maria!” sebut Cortez dan membuat salib dengan 

jarinya. “Benarkah Tuan ini?” 

‘Tidak ada yang lebih benar dibandingkan  itu, Saudara.” 

“Tuan mengetahui betul?” 

‘Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.” 

‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar. 

Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara 

Tuban yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya 

memang dijatuhi hukuman mati. Jelas tentara Tuban 

memang akan membunuhnya,” ia pandangi Syahbandar itu 

seakan baru saja dilihatnya. “Tuan Syahbandar Tuban, 

bukan?” 

“Tidak keliru, Saudara.” 

“Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan?” 

“Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa.” 

“Alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bukan?” 

Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjap-

ngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya 

diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya 

mengandung maksud buruk. 

“Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan?” Cortez 

meneruskan. “Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orang-

orang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja?” 

Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiap-

siap hendak melakukan sesuatu, ia memayat hkan wajah dan 

tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal 

Lisboa – tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan? – melalui 

nakhodanya, Malaka telah menebus pada Tuan untuk harga 

kemenakanku dan temannya bernama Esteban. Benar 

begitu, bukan?” 

Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis 

mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembang-

kempis seperti insang ikan di darat. 

“Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah 

macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat 

ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah 

ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!” 

Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya. 

Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang 

kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan 

masuk ke dalam melalui pintu dalam. 

“Astagafirullah!” sebut Tholib lalu . Dengan 

perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan 

dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis. 

Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran. 

Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang 

Peranggi di Pasai, dan barang tentu di Malaka juga, di Goa 

dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga 

kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah 

menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian, 

lalu  ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar 

ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi 

juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja 

mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah membunuh 

mereka? Membunuh orang Portugis – Moro membunuh 

orang Portugis? sekaligus dua? 

Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah 

Saudara Cortez berdepan-depan. 

Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui. 

Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku sebab  

sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan 

jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan 

bekas kebakaran. 

Ia dengar-dengar suara mayat i di depan kamarnya. Tak 

salah: suara Martinique. Dan ia merasa kecut untuk keluar. 

Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka, 

negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat 

diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi 

maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro 

terbenci. 

Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua? 

Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir 

di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke 

luar. Ia akan bertahan, Bertahan! 

“Aa, Tuan Tholib Sungkar!” seru Martinique dengan 

suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini 

ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit 

macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke 

arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan. 

Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani 

bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda 

dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa 

berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.” 

“Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana 

Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika 

dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik 

bercengkemayat , berdeklamasi, berbicara tentang obat-

obatan baru…” 

“Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.” 

Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique 

menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan 

baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara 

Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu 

betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula 

namanya? O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis 

dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.” 

“Aku tak tahu tentang itu.” 

“Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez 

seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih? Dan 

mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu 

macan?” 

Syahbandar Tuban megap-megap sebentar. Ia raba 

dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai 

begini lemahnya. 

“Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal 

pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin 

mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari 

aku yang menrsi s pelarian-pelarian itu waktu diserahkan 

oleh Yakub ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan 

pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan 

berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai 

menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang 

hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang 

Portugis!” 

“Seorang pengabdi Portugis takkan membunuh 

Portugis,” bantah Tholib. 

“Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di 

dermaga Tuban? Ada seorang saksi ketika kilat memancar 

dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia menuding pada 

hulu gading tongkat tamunya, “pada salah seorang di dalam 

krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?” 

‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!” 

bantah Tholib. 

Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat 

sesudah  ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui 

tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya 

yang telah jadi begitu lemah. 

“jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan 

mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? sebab  

Malaka telah menunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?” 

“Coba Tuan terangkan’ Syahbandar itu berlunak-lunak, 

“bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh 

mereka?” 

“Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka 

sana. Pasti Tuan akan merasa puas.” 

“Baik!” jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak 

menyenangkan itu. “Bersama dengan kulit macan dari Bali 

itu.” 

namun  Martinique belum lagi puas dalam membalaskan 

dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya: 

“Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban 

yang bernama… ah, siapa pula namanya itu, oh, ya, 

Yakub,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarian-

pelarian itu di kapalku dulu? Ya-ya, Yakub namanya. 

Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali 

melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur, 

sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat 

Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain 

pisau tongkat…. Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat 

di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh, 

dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,” 

“Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu.” 

“Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan? 

Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.” 

“Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang 

itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita 

cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan 

Tuan, biar aku kawal ke Malaka.” 

Ia melangkah ke arah biliknya kembali. 

Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah 

penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar 

aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu 

menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka.” 

Dan sesungguhnya ia takut juga. 

0o-dw-o0 

 

Pada hari yang telah ditentukan Martinique 

mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan 

telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib 

Sungkar masih menumpuk di dermaga. 

Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya 

cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambat-

lambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih 

berat. 

Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambat-

lambat ia berjalan mendekati bersama Martinique. 

Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi 

yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke 

dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda 

Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela 

pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng 

Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti 

air banjir membongkar tanggul Banteng Wareng terdesak ke 

timur. namun  sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih 

Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya 

memotong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah 

seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban 

menceburkan diri di dalam kancah. lalu  pasukan 

kaki Tuban memukul dari luar Tuban. Hampir-hampir 

Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki. 

Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang 

menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat 

benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan 

Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke Tuban hari ini. Hari 

ini juga. Siapa ikut boleh turut!” 

“Aku ikut!” seru Syahbandar Tuban. “Pindahkan 

barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya. 

‘Tuan tidak jadi ke Malaka?” tanya Martinique. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang 

mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu 

layar Tuban. 

“Bedebah!” maki Martinique. 

Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban. 

0odwo0 

 

37. Panjang – Jayakarta 

Bulan Juli 1527 

Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran 

melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar 

antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan 

keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di 

daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari 

armada Jepara-Demak. 

Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau 

Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau 

Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat. 

Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru 

dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada 

permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara 

sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang 

dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih 

menghasilkan layur. 

Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah 

pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang 

pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau 

kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata. 

Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya 

hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara 

hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa 

diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh. 

Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau 

dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?” 

Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan 

tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang 

muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerah-

merahan seperti buah tomat menjelang matang. 

“Tentu sebab  ingat pada rumah,” desak Pada. “Mereka 

sekarang tak ada di rumah lagi, Gusti,” jawabnya dengan 

suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua telah 

melarikan diri masuk ke hutan-hutan.” 

“Ya, Gusti, sebab  kita lari. Mereka akan menerima 

hukuman dari Sri Baginda. sebab  patik lari. Mereka akan 

dihukum oleh Sang Patih Narogol.” 

“Mereka akan dapat menangkap kasut kami.” 

Sabarini mendengus tertawa. 

“Betapa besar dosaku pada mereka.” 

Sabarini mengayuh cepat-cepat. 

“Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya. 

“Tidak perlu. Gusti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah. 

Jangan jadi fikiran, Gusti. Mereka akan lari ke hutan-hutan, 

berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup – 

tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. 

Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka 

akan turun ke Sunda Kelapa.” 

“Nampaknya kau tak berprihatin.” 

“Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin?” 

“Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.” 

“Ya Gusti,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami 

gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat 

muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut 

kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan 

dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tumbuh jadi gadis tua 

sebab  ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak 

berani melamar patik. Orang memandang patik dengan 

belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk 

seorang selir.” 

Pada mendengarkan suara bening istrinya yang 

bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara 

sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan. 

Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih 

indah dibandingkan  kebenaran yang terkandung di dalamnya: 

“Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita, 

Gusti. Janganlah Gusti menjadi risau. Semua akan 

bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan 

seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia 

membantu dan melindungi dan berkorban – tahu mereka 

bakal mati di ujung tombak. Gusti sama sekali tak berdosa 

pada mereka.” 

“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak 

suka bicara seperti orang-orang lain?” 

Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. 

lalu  menunduk malu. 

“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di 

tengah laut tanpa saksi begini?” 

“Ah, Gusti, Gusti tidak tahu bagaimana perasaan patik. 

Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini 

dengan hanya bicara?” 

“Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku Gusti.” 

Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang 

ceritakan tentang kebahagiaanmu.” 

Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal 

kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh 

penduduk desa yang tak berani mempersembahkan duduk-

perkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia 

menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia 

bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang 

yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela 

dan melindungi dirinya sendiri. 

“Apabila patik berhasil dalam usaha patik,” Sabarini 

meneruskan, “patik akan mengembara jauh, jauh entah ke 

mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus, 

lalu  datang seorang pangeran dari Jepara, yang 

sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari 

kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang 

kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya?” 

Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di 

mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus 

diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan 

tidak lain dari Sabarini yang berjasa. 

“Begitulah Allah mempertemukan kita. Segala puji-

pujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia 

bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik. 

Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali 

bukan seorang pangeran”. 

Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya. 

Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, 

dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan. 

“Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia 

mengulangi. 

“Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak? 

Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya 

sebagaimana suamiku mengindahkan diriku’ 

Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut 

“Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani 

biasa, sebab  seorang petani hanya sederhana, tidak 

ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu 

tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak 

bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula 

kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang 

orang biasa dalam pakaian kebesaran.” 

“Sabarini!” gumam Pada sesudah  mendengar begitu 

banyak kata tercurah. “lihat, bandar Panjang sudah mulai 

nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi 

Sumatra.” 

Matari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal 

muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin 

kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut 

raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah 

mengancam. rsi h mengaum dari kejauhan dan kilat sam-

bar-menyambar di cakrawala. 

Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan 

terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang 

kaki langit. 

“Armada Peranggi,” gumam Pada. “Ayoh, dayung 

cepat.” 

Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan 

Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai 

mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur 

angin seperti langsung dilemparkan dari langit. 

sesudah  mencancang perahu pengantin baru itu dengan 

membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke 

dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tumpukan 

kranjang lada. 

Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka 

di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari 

angin dan air. 

Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada 

sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak 

kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan 

nampak belum lagi lama didirikan. 

Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi 

akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di 

panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan 

Banten sesudah  lolos dari blokade armada Jepara-Demak. 

Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak 

jadi bandar mayat i. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan 

Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di 

sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan 

rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam 

kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah. 

Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman 

untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan 

tenaga untuk menrsi si pertanian dan panen lada. Beras 

pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan 

minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga 

yang tinggi. 

Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa 

kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu 

ke yang lain. Dan bila armada Jepara-Demak terus-menerus 

menindas bandar-bandar lain dan membikinnya jadi bandar 

tak bebas, Panjang bisa menggantikan Malaka atau Pasai. 

sesudah  berunding dengan istrinya mereka bersepakat 

menunda pelayaran ke Malaka untuk melihat-lihat Panjang 

lebih lama. 

0o-dw-o0 

 

Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan 

semula, menolak berlindung di bandar Panjang. 

Francisco de Sa, pemimpin armada, adalah seorang 

muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan 

bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat 

dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi, 

wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin 

armada. 

Menurut perintah yang diterima ia harus memulai 

pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda 

Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu 

dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke 

Malaka membawa lada dari Panjang. 

namun  ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan 

pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga 

bulan lagi akan dipergunakannya untuk membangun 

kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk 

Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa 

jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di 

Malaka. 

Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya 

sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun 

semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang 

armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan 

tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar 

compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu 

menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulung-

bergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa 

daya diseret terus dalam cengkemayat n gelombang. 

Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut, 

menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau 

dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari 

balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya surya alam pun 

menjadi kelabu hitam. Curah hujan menyebabkan orang tak 

bisa lagi melihat ke depan. 

Semua layar telah digulung, namun  deras angin 

menghalau mereka ke selatan. 

Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan 

adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lentera-

lentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari 

Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak 

terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantam-

hantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah. 

Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal 

curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam. 

Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja 

ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila 

sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan 

runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu 

kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di 

waktu dekat mendatang. 

Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa! 

Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi 

atas nama Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang 

telah berani menghina beberapa tahun yang lalu. 

Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan 

dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho 

telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam 

mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, lalu  

meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas 

kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh. 

Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, 

lalu  dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke 

dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal 

berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak. 

Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring, 

lalu  tenggelam. 

“Jesus Maria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus! 

Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.” 

Isyarat-isyaratnya memerintahkan: Maju terus! 

0o-dw-o0 

 

Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat 

keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar 

kucing kapal itu lalu  terangkat ke udara dan terbang 

dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia 

menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar 

ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, lalu  

jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan 

pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas 

kapal menancap pada dasarnya. 

Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah 

berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah 

laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami 

cedera, itu pun hanya sebab  kebetulan. 

Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan 

lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan 

perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah: 

“Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!” 

Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran 

melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya 

hanya semak-semak rawa. 

“Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru. 

“Sayang kapal sebagus ini.” 

Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan 

mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi 

mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke 

jurusan tenggara. 

“Terdampar jauh di darat!” pekik kelasi itu. 

Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari 

baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan 

melemparkannya ke tanah. lalu  ia berdiri di atas 

batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi 

pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon 

lain. 

‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas. 

Juga tak ada sambutan. 

Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte 

Coelho yang pingsan tak sadarkan diri. 

0o-dw-o0 

 

Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga 

perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di 

belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan 

mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti. 

Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang 

gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari 

mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu. 

Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawa-

rawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik 

di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak 

berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila 

yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang 

lalu  masuk berbareng dengan tombak di tangan dan 

pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal 

Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa 

layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal 

sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya 

seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu. 

lalu  seorang lagi. 

Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung 

bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya 

nampak di sekitar. 

Mula-mula para prajurit berunding berbisik-bisik, 

lalu  mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu 

sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan 

melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan 

menjenguk ke bawah, lalu  pergi lagi. 

Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, 

langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik, 

semua mendongakkan kepala ke atas. 

Barisan prajurit di belakang datang membawa batang-

batang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik. 

Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam 

setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu. 

Dan melihat semakin banyak orang datang membawa 

batang, mereka pun menggunakan musket dan menembaki. 

Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang 

Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya 

menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur 

dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. 

Seseorang menghantamkan pedangnya, dan tubuh itu 

lalu  rebah. 

Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik 

ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah 

dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka 

dapatkan hanya tubuh-tubuh Peranggi yang 

bergelimpangan tanpa daya. 

Tombak dan pedang menghabisi mereka tanpa 

perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte 

Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan 

perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku. 

Baja beradu baja berdentingan sebentar lalu  padam 

sama sekali. Sebilah tombak telah melumpuhkan Duarte 

Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar. 

Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai 

bergelimpangan. 

Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte 

Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: “Kami datang 

untuk bersahabat.” 

Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak 

menjawabinya. 

Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh 

kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda 

dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam, 

peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas 

tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat 

kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal. 

Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan 

mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka 

mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak 

yang baru diretas. 

Sebagian dari para prajurit mendapat perintah membikin 

jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang 

berat lain. Sebagian mendapat perintah membikin tali. Tapi 

sebagian besar melakukan pengangkutan. 

Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini 

riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan 

melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan 

air minum dan makan siang. 

Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan 

melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai 

pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam 

renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak 

dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan 

tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar. 

Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari 

penanggulan pesisir bandar yang menghalangi pasang-surut 

air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan 

sesuatu, mabok mendapat jarahan. 

Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit 

tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan 

melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barang-

barang besar. 

Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi 

menghadapi tanah lapang. 

Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini. 

Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk 

melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya. 

Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya 

menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. namun  

barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa 

melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran 

luruhan dedaunan. 

Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan 

memerintahkan membongkarnya dari ikatan. 

Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan 

membagi-bagikannya pada mereka, lalu  sendiri 

memberikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua 

ratus pucuk telah dirampas pada hari itu. 

Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah 

bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki 

dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti 

pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang. 

Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melompat 

kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nampak jadi 

ungu. 

‘Tendang!” perintah Fathillah. 

Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding 

dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh 

ke laut benda itu telah penyek. 

Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh 

Fathillah. Ia memeriksanya sebentar lalu  

menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu 

ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya. 

Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu 

diperiksanya, lalu  dipendek-panjangkan. Meneropong 

lagi ke laut lepas. lalu  melihat dengan mata telanjang 

pada ke jauhan dan meneropong lagi. 

Ia berpikir sebentar. lalu  bertanya pada pengiring 

yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: “Coba lihat 

sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk 

ini?” 

“Ada patik lihat, Gusti, tapi tidak jelas,” jawab pengiring 

itu, juga dalam Melayu. 

“Apa yang kau lihat?” 

“Beberapa titik putih. Gusti.” 

“Coba dengan ini.” 

Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan 

mengenakannya kembali, melepas dan memeriksa kaca-

kaca teropong, lalu  meninjau dengan mata telanjang 

dan mengenakannya lagi. 

“Apa kau lihat?” 

“Tiga kapal asing, Gusti, dengan teropong ini.” 

Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya. 

lalu  dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya 

melihat ke kejauhan, sesudah  itu disuruhnya dengan 

teropong. 

“Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, Gusti, 

sedang menuju ke Sunda Kelapa.” 

“Pengangkutan meriam supaya lebih cepat!” perintahnya 

pada yang lain. 

Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di 

belakang bentengan kayu bakau-bakau. 

“Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus 

prajurit lagi untuk mengangkut!” perintahnya pada seorang 

peratus Demak. 

Orang itu lari untuk menjalankan perintah. 

Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan. 

Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan 

sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan 

Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke 

tangan. 

Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa 

perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat 

merampas semua kapal Portugis yang datang dan 

merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus 

depa. 

“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan 

perintah Fathillah. “Siapkan pedang dan tombak.” 

Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan 

pada sisa armada Francisco de Sa yang mendatangi. Semua 

terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua 

orang berbesar hati dengan adanya meriam. 

Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan 

pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki. 

Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal 

itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya 

tumpas. 

Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan 

meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu 

semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin 

giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam. 

Betapa lama. Dan memang lama. 

Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara 

Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat. 

Lama, lama sekali rasanya, baru lalu  mereka 

menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam 

tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera 

menembak. Mereka yang mendapat pembagian musket juga 

tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya 

balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi. 

Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua 

sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara 

Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang. 

Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke 

atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang 

terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci 

dengan tangga tali’ ia memperingatkan. “Hati-hati. Mereka 

kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap 

Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. 

Mereka lebih suka tewas dibandingkan  bertekuk lutut. Jangan 

gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’ 

Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian muara 

Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk 

meneruskan pendaratan. 

“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan 

kekecewaan sebab  yang turun mendarat seluruhnya hanya 

berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu 

tetap terjaga dari dalam. 

Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal 

ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya 

tembak cetbang. 

“Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya 

lalu  ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.” 

Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak 

bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya 

dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya 

terhias selempang merah Itulah Francisco de Sa. 

Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan. 

Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang. 

lalu  seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka 

menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti. 

Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru. 

Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada 

orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu 

sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran 

pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke 

samping, lalu  kembali ke barisan. 

Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, 

ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang 

tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya 

tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa manusia. 

la kembali lagi pada barisan. 

Seorang pengiring memberikan pikiran padanya, 

mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada 

taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa 

membantah, sebab  bukan adat pelaut lari dari angin. 

Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman. 

Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa 

naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau 

kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan 

jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu 

dengan Pangeran Sunda Kelapa, Gubernur bandar, untuk 

segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak 

mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan 

Sang Gubernur. 

Dan di mana pula Syahbandar? 

Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang 

Syahbandar tak datang menyambut sewaktu Portugis 

datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres. 

Di mana Syahbandar? 

Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun 

tinggal lengang tak bermanusia. 

Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa 

menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor 

Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan 

pada mulut: “Syahbandar! Syahbandar!” 

Hanya deburan laut jua yang menjawab. 

Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju. 

Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke 

tempat kantor Syahbandar, lalu  membelok ke kanan 

menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran. 

Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah 

hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi 

empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan 

mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan 

senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah 

menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap 

tempur. 

Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong 

rampasan. 

Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke 

laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan 

menuju ke tempat sekoci. 

Francisco de Sa menarik pandang tinggi, memekik. 

Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak 

sambil melemparkan tombak. Musket Demak tak ada 

sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan 

oleh Fathillah ternyata tidak kena. 

Prajurit-prajurit Portugis memencar barisan. 

Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu, 

lalu  bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya 

beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam. 

Meriam rampasan mulai berdentaman dari balik semak-

semak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapal-

kapal Portugis. Tangan-tangan tak terlatih itu 

menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran. 

Prajurit-prajurit Demak sudah mulai bergelimpangan. 

Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan 

menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka 

takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan 

pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju. 

Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. 

Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar 

dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada 

barisannya. 

Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di 

tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan 

Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya 

terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, 

keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara. 

Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam 

gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa. 

Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersorak-

sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda 

pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan 

buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-masing. Yang 

tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu 

penduduk. 

Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga 

dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan 

anak panah. Portugis membalas dengan tembakan-

tembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan 

tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan. 

Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka 

mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak 

yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu 

telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan 

penumpangnya berlompatan ke laut. 

Dari teropongnya Fathillah melihat Francisco de Sa tetap 

berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan 

matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah 

padam sebab  murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa 

harus diperbuatnya. 

Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak, 

takut mengenai teman-temannya sendiri. 

Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak 

berani mendaratkan pasukannya. 

 

22 Juni 1527 

Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan, 

seakan sudah seia dengan Wirangmandala : “Mereka takkan 

datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.” 

Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing. 

Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang 

mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu 

peluru pun dari meriam-meriamnya. 

Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa 

armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah 

itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa. 

Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam 

kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun 

telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad 

dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah 

takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi 

pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang 

dapat juga dihalau. 

Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah 

mengumumkan: “Dengan nama Allah yang Maha Pemurah 

dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang 

dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke 

laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di 

bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku 

nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah 

Jayakarta. Jaya pada awal dan lalu nya, karta untuk 

selama-lamanya.” 

Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan 

terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di 

Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang 

membicarakannya dengan bersemangat. 

namun  saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka 

tetap tertumpuk di bedeng-bedeng. 

Untuk dapat memberitakan pada Wirangmandala  dengan 

lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda 

keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut 

putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari 

ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak 

kehilangan kegembiraannya itu. 

Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi. 

Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu 

berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap 

pertemuan dengan armada Jepara-Demak. 

Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapal-

kapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak 

meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, 

berebut cepat mendapatkan lada di Panjang. 

Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya 

sedapat ia jual. 

Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk 

penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi 

biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak 

mengambilnya dengan harga lebih mahal. 

Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu 

banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali 

jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli 

sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan 

lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu 

terbuka. 

Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, 

kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan 

tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan 

hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam 

kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari 

Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan 

Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai 

bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai 

berdatangan, namun  tidak untuk berdagang, hanya untuk 

mendapatkan air dan beras dan sayuran. 

Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar 

Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil 

melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap, 

belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana. 

Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh 

serdadu-serdadu itu.” 

Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak 

bertemu dengan armada Peranggi?” 

“Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat 

menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah 

terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang 

dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh,” Nakhoda 

Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal. 

“Di mana bertemu dengan mereka?” 

“Di atas Juana.” 

“Jadi mereka tak mendarat di Jepara?” 

“Tidak. sesudah  Juana mereka mulai mendekati pantai. 

Tapi mereka terus ke jurusan timur.” 

“Ke Blambangan barangkali?” 

“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak 

mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum 

tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus 

menunggu. 

Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui 

barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang 

didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar 

dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, namun  

jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. 

Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan 

sangat cepat, persediaan habis, namun  keadaan tidak 

menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan 

perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri. 

Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan 

bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot 

ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi 

seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar 

tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke 

pedalaman untuk menrsi s lada. Pada dan Sabarini ikut 

saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari 

penghidupan seperti yang lain-lain. 

Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis 

akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang 

pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang. 

Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barang-

barangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya 

persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal 

melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar. 

Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi. 

Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan 

adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera 

dirubung orang untuk mendapatkan beritanya. 

“Kami takkan dapatkan lada di Tuban,” katanya. “Ke 

Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka 

kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di 

sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.” 

Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke 

depan dan bertanya: “Apakah Peranggi tidak mendarat di 

Tuban?” 

“Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat 

dan mengamuk di sana.” 

“Siapa mereka? Maksudmu Peranggi?”  

“Siapa lagi kalau bukan Peranggi?”  

“Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak?”  

‘Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka 

diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke 

tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi 

masuk.”  

“Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban?”  

“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”  

“Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan 

Demak?”  

“Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak 

meneruskan serangannya ke Tuban.”  

“Jadi Tuban kena keroyok?”  

“Boleh jadi begitu jadinya.” 

Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi. 

Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam 

mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah 

lama tiada mereka pergunakan. 

“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini. 

Kita akan teruskan pelayaran.” 

“sebab  berita-berita itu?”  

“sebab  berita-berita itu, Sabarini.”  

“Bukankah belum tentu semua itu benar?”  

“Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak 

dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya 

akan mati.” 

0od-w-o0 

 

38. Yang Lola di Semenanjung 

Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung 

penduduk. lalu  juga memasuki kampung-kampung 

para  prajurit Tuban dan Bugis, yang kini telah menjadi 

petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka telah belajar 

melupakan negeri kelahiran masing-masing. 

Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya, 

dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan 

untuk memenuhi kehidupan sehari-hari telah menggantikan 

perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang 

telah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan prajurit. 

Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat 

menanam lima belas pohon pisang, sesudah  membabat 

semak dan menebang hutan, berarti mereka telah 

menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun 

yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam 

jagung selebar dua puluh depa persegi setiap hari, mereka 

telah menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat 

bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka 

harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir 

atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami 

saja. 

Wirangmandala  tahu, ia tak mampu mengatasi 

kemerosotan prajurit-prajurit. Dan dalam bicara dengan 

mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya, 

apalagi bila menghadapi istri-istri mereka. 

Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah 

yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia 

untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami, 

Senapatiku.” 

Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih 

berhak dibandingkan  Trenggono ataupun Sang Adipati. sesudah  

Sultan Demak meneruskan usahanya untuk menguasai 

Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan 

Malaka bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah 

telah jadi lelucon yang mengibakan. 

Wirangmandala  menghargai perasaan mereka. Ia tak 

mempunyai kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah 

kemerosotan. 

Kegiatan ketentaraan tinggal hanya kesibukan 

pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula 

Portugis tidak lagi meronda keluar perbatasan kota Malaka. 

Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa 

persetujuan tanpa perjanjian. 

Dan semua itu membikin hati Wirangmandala  menjadi 

lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik 

dibandingkan  masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun 

untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan 

kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan. 

Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya 

kekosongan yang menganga, bolong dan melompong. 

Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar 

kata-kata ini: “Senapatiku, apa sesungguhnya yang kita 

kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?” 

Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari 

kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam 

pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon 

turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus. 

Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda, 

dan setiap bekas prajurit memiliki jauh lebih luas dibandingkan  

penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka 

kebun kelapa, cengkeh dan barus. 

Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya 

untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap 

kali ia mencoba mendapatkan pegangan baru, setiap kali 

pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya 

membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari 

segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya 

seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke 

bawah. 

Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di 

Semenanjung ini, pikirnya. Mereka telah mendapatkan 

segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak, 

kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau 

sultan. Tanah di sini lebih subur dibandingkan  Tuban, Demak 

ataupun Jepara. Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana 

hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas 

nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan 

dirinya sendiri. 

Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum 

lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru. 

Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan mayat h. Itulah 

satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang Senapati dan 

Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang tetua 

bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah 

ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi 

kelahiran Semenanjung? Tak mengenal Tuban dan Jawa? 

Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan 

keprajuritan me luncur terus menuju ke titik terdalam. 

Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli. 

Seorang wanita berlutut di hadapannya, menyembah dan 

menangis: “Hang Wira, ampunilah sahaya, tolonglah 

sahaya.” 

lalu  datang juga suaminya, berdiri angkuh 

memegangi hulu parang dan menatapnya dengan 

pandangan mengancam. Tak lama lalu  seluruh 

penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang 

merubung. 

“Apa aku bisa tolongkan. Perempuan?” 

“Anak sahaya, Hang Wira, seorang Tuban telah 

menculiknya, anak perawan sahaya. Kembalikan dia pada 

sahaya.” 

“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin 

rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga 

memegangi hulu parang. “Kembalikan anakku!” 

“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, perempuan. 

Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang prajurit 

Tuban dijatuhi hukuman mati sebab  perkosaan?” 

“Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin 

mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih 

lama.” 

“Hai, Perempuan, anak itu anakmu ataukah anak lelaki 

ini?” 

“Anak sahaya sendiri.” 

“Maksudmu orang ini bapak-tirinya?” 

“Betul, Hang Wira.” 

“Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan 

mendapatkan menantu yang baik. Apakah lamarannya 

pernah kau tolak?” 

“Suami sahaya yang menolaknya, Hang wira.” 

“Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gumam sang suami 

sambil menghampiri Wirangmandala , “patutkah menerima 

pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami 

akan perangi semua petualang Tuban di sini.” 

Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan 

terjadi. 

“Jangan, Bang, jangan,” tegah perempuan itu pada 

suaminya sambil memegangi tangannya. namun  lelaki itu 

mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih 

tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai 

menarik parang. 

Wirangmandala  melangkah ke samping dan menegah: 

“Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau 

yang marah; sedang berhak tidak?” 

Dan lelaki itu menjawab dengan ayunan parang, 

memekik: “Rasakan parang Semenanjung!” 

Wirangmandala  melompat dan melompat. Dan lelaki itu 

menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada 

suatu kesempatan Senapati dapat menyambar potongan 

bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan 

bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan. 

“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya. 

“Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira. 

Lelaki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan telah 

memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya 

nampak seperti terbalik 

Melihat itu Wirangmandala  mulai memekik menyerang 

dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang 

kaki lawannya sehingga terpekik dan terpincang-pincang 

mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang. 

Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira 

menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu 

terpekik dan jatuh terduduk lalu  mengerang-ngerang. 

Matanya melotot gusar. 

“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang 

Wira. Ia tinggal berdiri menunggui lelaki itu kalau-kalau 

masih hendak menyerang juga. 

Lelaki itu telah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga 

duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomat-

kamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia 

lemparkan parang pada Wirangmandala , menyerempet pada 

betis, jatuh menancap ke tanah. 

Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak 

melukai, sebab  bukan mata parang yang telah mengenai. 

Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut 

parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain. 

lalu  ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya 

masuk ke rumah. 

Juga Wirangmandala  ikut masuk. Ia duduk diam-diam. 

“Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. Perempuan, biarlah 

aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk 

kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak 

pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada 

anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun 

ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita 

urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan 

hanya sekedar teman dan tetangga; mereka telah mulai jadi 

saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu….” 

Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas, 

la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk 

berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir 

Peranggi. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan 

permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus 

dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan 

Peranggi… 

Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi 

masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang 

anakbuahnya ada yang telah membikin perahu dan hanya 

untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan 

untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung. 

Lebih enam ratus lelaki! Dan lelaki memang dilahirkan oleh 

wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia 

menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk 

berperang. Dan kini semua telah berkisar menjurus ke arah 

yang sama sekali berlainan. 

Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi. 

“Kelahiran baru,” ia membelok ke sebuah pondok, 

menjenguk ke dalam. 

“Lelaki!” seseorang terdengar berseru girang. 

Wirangmandala  berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu 

tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar, 

mungkin Portugis bukan musuh dan bukan persoalannya. 

Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi 

persoalan itu sebab  kekecewaan pada raja-rajanya sendiri? 

Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya 

dengan udara malam yang segar. 

Ya, aku telah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang 

telah membebaskan aku…. 

Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk 

bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan 

bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan 

mengantuk, namun  bertekad menunggu sampai ia datang. 

Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang 

tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka 

membuka mata. 

“Kau datang, Pada,” tegur Hang Wira. 

Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis 

gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini 

mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan 

dua orang lelaki yang berangkulan seperti bocah itu. 

“Ampuni aku bila terlalu lama.” 

“Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik 

dan selamat. Itu sudah cukup.” 

“Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya 

seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang mandala , 

abangku.” 

Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang 

menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari mana kau, 

Upik?” tanyanya dalam jawa. 

“Bukan jawa, Kang.” 

“Aceh? Jambi, Minang?” 

“Sunda,” jawab Sabarini dengan suaranya yang 

menyanyi. 

Wirangmandala  mengangkat tangan memberikan restu. 

Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan 

gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap 

kepala: “Syukur pada Hyang Widhi, restu untuk kalian, 

semoga kekallah perkawinan ini dan dikaruniai 

kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi 

hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilang-

gemilang. Berdirilah kalian.” 

Mereka berdua berdiri dan masih menyembah dada dan 

menunduk. 

“Pada, bawalah istrimu beristirahat.” 

Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar 

lampu Senapati itu melihat kilau airmata bahagia mereka 

berdua. 

“Ya, berbahagialah kalian.” 

la segera tenggelam dalam kenangan pada 

perkawinannya yang gilang-gemilang dulu. Ia tersenyum 

sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar semacam itu, 

penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut 

merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan tengkorak  

sebagai Kamaratih. lalu  tandunya jatuh. Sebagai 

pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah. 

Terjerembab! Mungkin perlambang kejatuhannya selama 

irii. Tahyul! pekiknya menolak gagasan tentang perlambang 

itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang 

gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan 

pernah gagal. 

Kegagalan yang berisikan penyesalan – banyak 

penyesalan. Sang Patih Tuban telah tewas sebab  tangan 

dan kerisnya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang 

majikan dan seorang rsi  sekaligus! Dan kiai di Gresik itu 

– banyak namanya pun ia tak tahu. Dan Danu – santri 

terpandai itu. Tiga orang yang telah tewas sebab  

tangannya – dan tidak sebab  perang! 

Ia tinggalkan markas dan memasuki malam. 

Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung 

memantai pesisir timur Sumatra Pada telah berpikir keras 

untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan 

ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadian-

kejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu. 

Ratu Aisah – mengapa wanita tua itu berkunci diri di 

dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas 

Adipati Unus? Liem Mo Han mengapa pula dibunuh oleh 

tentara Demak? Dan mengapa pula keluarga Wirangmandala  

terancam kebinasaan? Mengapa Senapati dituduh 

bersengkongkol menentang Demak? Dan mengapa pula 

dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu? 

Ia tak dapat menjawab. 

Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat Demak, 

penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas 

Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk – semua pelabuhan 

penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah 

Trenggono sudah bertekad menguasai semua bandar di 

Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak punya 

bandar? Adakah hanya Tuban mendapatkan bandar Jepara 

maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak bandar lain? 

Dan mengapa lawan-lawan Sultan Demak tak ada yang 

mampu menahan gelombang balatentaranya? Mengapa 

pula Tuban yang beratus tahun jadi andal-andal Majapahit 

dapat ditangannya, bahkan telah terjamah ibukotanya? Lagi 

pula apa sebabnya balatentara Tuban mencoba terus 

menghalau musuhnya sekalipun Sang Adipati telah 

mangkat. Dan mengapa pula Peranggi langsung masuk ke 

Tuban sesudah  kegagalannya di Sunda Kelapa? Seakan-akan 

semua itu berputar untuk keuntungan Peranggi? 

Dan di Jayakarta dan Banten untuk kedua kalinya 

Fathillah menyatakan dua bandar itu jadi bandar bebas. 

Dan mengapa armada Jepara-Demak mengakhiri 

blokadenya? Dan mengapa balatentara armada itu tak 

meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan 

mengapa bukan Banten dan Jayakarta sebagai bandar bebas 

dengan sekali pukul telah mematikan bandar Panjang? 

Benang yang kacau itu semakin kacau. 

Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa 

Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya 

almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan Islam 

pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan kafir 

sebagai semula? 

Mengapa justru Wirangmandala  yang harus 

mengusahakan pembebasan Malaka dengan sekutu-sekutu 

yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia 

mendapatkan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung? 

Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan meriam 

Peranggi? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah 

Wirangmandala  itu sendiri yang telah merampas senjata 

ampuh itu. Dan mengapa Senapati yang paling berjasa pada 

Tuban itu justru diusir dari Tuban? Dan mengapa ia 

sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula? 

Dalam pelayaran kembali ke Malaka ia menjadi kurus 

dan nampak lebih jangkung dibandingkan  sesungguhnya. 

Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih 

memusingkan baginya adalah masalah Tuban. Untuk siapa 

balatentara Tuban berkelahi mati-matian melawan Demak? 

Dan mengapa Tuban begitu mudah dimasuki Portugis? 

Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut 

peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri 

semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri 

sendiri, sebab  sedang dalam suasana pengantin baru maka 

diri menjadi bebal. 

Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari 

pihak Portugis. Mereka memang nampak kasar dan tidak 

tahu adat, namun  tak selembar pun barang-barangnya 

mereka rampas, apalagi perahu layarnya. 

Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu 

kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya 

segera dibeli oleh Peranggi dengan uang perak. Dan ia tak 

melihat adanya permusuhan tertuju padanya. 

Ia pun dapat meninggalkan bandar tanpa dicurigai. 

Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya. 

Mengapa Peranggi-Peranggi itu nampak begitu damai? Dan 

jarang di antara mereka membawa senjata? Dan mengapa 

di Tuban justru sebaliknya? 

Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas 

Wirangmandala  sedang istrinya menggendong pada 

punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia 

takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan 

ia merasa akan menderita aib sekiranya Wirangmandala  

menuduhnya hanya menrsi si soal bini semata dan tidak 

melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang 

mayat h dan tidak menuding, bahkan merestui 

perkawinannya, melenyapkan seluruh kerisauannya. 

mandala  yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai 

seorang abang yang pemurah dan bijaksana. 

Keesokan harinya ia telah berniat hendak 

menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata 

ia tidak mampu menyusunnya. 

Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di 

sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya 

Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram. 

Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar 

dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara 

lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau mendapatkan 

istrimu,” ia tersenyum. 

Ketegangan Pada hilang sama sekali 

Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebut-

nyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang 

bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun 

terpencil, aman dan damai. 

“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.” 

“Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas 

dunia ini, Kang.” 

“Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak 

menduga dengan begitu mudah ia mendapatkan jalan untuk 

menyampaikan segala yang telah dilihat dan didengarnya 

sendiri di Tuban, Lao Sam, Jepara, Pajajaran, Sunda 

Kelapa dan Panjang, malah juga di Pasai. Pengalamannya 

dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu 

tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan 

dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau tentara Demak 

menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang 

gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu 

bungkusan itu untuk Kang mandala . Ampunilah aku sebab  

telah kukenakan untuk mendapatkan sedikit kesenangan 

sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan 

itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa 

Baleugbag, desa Sabarini, istriku.” 

“Semua ketakutan dan kelelahanmu telah ditebus. Kau 

telah mendapatkan seorang istri yang tiada duanya. Belum 

pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan 

menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan 

manusia.”  

“Kau melebih-lebihkan, Kang.” 

“Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura 

dungu. Ayoh, teruskan ceritamu.” 

Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya Banten dan 

Sunda Kelapa ke tangan Demak. Bahwa Sunda Kelapa 

telah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk lalu  

juga diseibu oleh armada Jepara-Demak. Dan sesudah  itu 

armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat 

menduduki Cirebon. 

Wirangmandala  diam termenung mendengar bagaimana 

Fathillah menghalau Portugis dan kapal-kapalnya. Dan 

armada itu meninggalkan Sunda Kelapa tanpa melepaskan 

sebutir pun peluru meriam. “Apakah kau tidak keliru. 

Pada?” 

‘Tidak. Portugis tidak menembak. Mereka terus berlayar 

ke timur, terus ke timur.” 

“Dan memasuki Tuban.”  

“Ya, dan memasuki Tuban.” 

“Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk 

Tuban.” Hang Wira menerangkan. “Mungkin sebab  itu 

mereka dapat menusuk Tuban dengan mudah. Jadi kau tak 

dapat menemui Kala Cuwil?” 

‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku 

ceritakan: Sang Adipati mangkat waktu Demak masuk.” 

Wirangmandala  seperti tersengat kalajengking. 

Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya. 

Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan 

berjalan tanpa menoleh. 

Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri 

juga dan mencarinya. Didapatinya Senapati sedang berdiri 

merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya 

bertahan pada sebatang kayu. “Kau telah terbebas dari 

sumpah. Kang.”  

“Apakah hanya itu saja yang penting?” 

“Memang tidak. Ada yang lebih penting: balatentara 

Tuban berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka 

berperang?” 

“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama mati, 

raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak 

menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana 

seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun 

yang lalu. Pada.” 

“Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok 

Rajasanagara.”  

“Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. Tuban 

tidak melahirkan Ken Arok. Kala Cuwil sesungguhnya bisa 

marak, atau Banteng Wareng. Mereka takkan bakal ada 

keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok. 

Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan. 

Kepala-kepala pasukan Tuban tidak. Mereka berlandaskan 

gengsi ketentaraan semata.” 

Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang 

mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang 

mereka yakin Kala Cuwil dan Banteng Wareng tak ada 

keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah 

Jawa akan berubah. 

“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri 

sebenarnya bisa, Kang’ 

“Husy. Kau masih juga tidak mengerti mandala  ini”  

“Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang 

mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.”  

“Kau keliru.” 

“Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita 

tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba 

haridepan….” 

“Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa 

tidak lebih dari tengkorak , hanya menginginkan jadi petani 

tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun… 

itulah yang justru membikin aku menyasar-nyasar begini, 

melalui jadi Syahbandar-muda sampai Senapati dan 

Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini 

muncul dan menyilakan Hang Wira makan.  

“Aah, adikku Sabarini,” tegur Senapati dalam bahasa 

Melayu. “Aku senang mendapatkan seorang saudari seperti 

engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan 

semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa 

kebun yang indah seperti di negerimu.” 

“Sahaya akan tetap senang selama tidak ditinggalkan 

oleh suami sahaya,” jawab Sabarini dengan suaranya yang 

menyanyi.  

“Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.” 

“Ya, Kang mandala . Selama aku tak mengabdi pada 

seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.” 

“Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu 

ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu 

besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu 

seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah 

yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama 

dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat 

mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau, 

barangkali juga dialah yang mengikuti kau.” 

 Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir. 

Wirangmandala  tersenyum senang melihatnya dan berseru: 

“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya. 

Aku tak salahkan kau.” 

‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergila-

gila padaku.” 

“Benar, Sabarini?” 

Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka. 

“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu 

harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana 

bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun 

dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau 

bertingkah dan balik jadi kutu seperti dulu, selesailah 

riwayatmu.”‘ 

“Mengapa begitu, Kang?” 

“Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu. 

Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya 

tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup 

aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang 

wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.” 

“Kang.” 

“Apalagi kau bertaubat.” 

“Sudah lama aku bertaubat.” 

“Mari makan.” 

Dalam berjalan kembali Wirangmandala  tenggelam dalam 

pikirannya. Baginya pun Tuban merupakan teka-teki. Atau 

barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh 

mayat  arwah ? Datangnya memanggil kejayaan dan 

kebesaran itu? 

mayat  arwah  keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil 

datang ke Tuban. Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah 

arti Tuban tanpa Malaka? Tuban adalah negeri 

kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan 

perdagangan rempah-rempah. mayat  arwah  keliru. Untuk 

menguasai kembali jalan laut dan perdagangan Malaka 

harus dibebaskan. Dan Malaka tak dapat dibebaskan sebab  

kurangnya persatuan antara raja-raja bandar. Atau harus 

timbul Majapahit kedua yang sama sekali menguasai 

Malaka. Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh 

Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil. 

Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru 

orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang telah dikalahkan 

oleh meriam. Senjata itu harus lebih ampuh dari meriam. 

“Bagaimana, Kang?” 

”Ayoh makan.” 

Dan malam itu Senapati Tuban berjalan ke ladang untuk 

bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai 

menyalakan api unggun, namun  para penjaga belum juga 

datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan. 

“Mengapa kau tinggalkan istrimu?” 

“Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh 

meninggalkannya?” 

“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu 

tidak patut Apa kau bawa itu?” 

“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat 

kusampaikan padamu bingkisan ini: dari Gusti Ratu 

Aisah.” 

”Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang menyebabkan 

kau mendapatkan Sabarini?” 

“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah 

aku ceritakan,” ia mulai membongkarnya. 

Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kupu-

tarung. Seperti kena kejang Wirangmandala  mencengkam 

kain itu lalu  meletakkan pada dadanya: “Aku pernah 

melihat bendera dengan lambang ini. Adipati Unus Jepara. 

Pulang membawa luka dan kekalahan dan Malaka. Seorang 

aulia!” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk 

menguasai perasaannya sendiri, lalu , “Dahulu aku 

mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas 

tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat 

mengagungkan Gusti Adipati Tuban. Aku pernah 

menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah 

laporkan semua yang aku ketahui pada Gusti Adipati 

Tuban. Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu 

menyerang Malaka. Dan ternyata hanya Gusti Kanjeng 

Adipati Unus yang benar. Betapa aku menyesal telah 

pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya.” 

“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.” 

“Lewat saja tiada mengapa, Pada, namun  lewat dengan 

segala ketidakberesan begini.” 

“Kang mandala , Raden Ajeng cilik yang menyerahkan 

bingkisan padaku itu menyampaikan pesan Gusti Ratu 

Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu 

mengenakannya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada 

orang lain. Kala Cuwil tidak, Banteng Wareng pun tidak. 

Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.” 

Wirangmandala  masih tenggelam dalam emosinya, pada 

masa lalu dan pada cita-cita Adipati Unus. 

“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau. 

la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. Mohammad 

Firman mencoba mengikutinya dari belakang dan 

menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon 

dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu. 

“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.” 

‘Temani istrimu. Pada.” 

“Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu. 

Kang.” 

“Pergilah kau, jangan ganggu aku.” 

“Aku akan tetap di belakang. Kang.” 

“Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan 

sudah untuk kedua katinya.” 

“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di 

belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau 

kalah untuk kedua katinya untuk merebut Malaka. Semua 

orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu, 

Kang.” 

Lama Wirangmandala  tak bicara. lalu  mulai ia 

bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku 

tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak 

desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya. 

Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya Peranggi 

telah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita 

lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci 

dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, Sultan 

Demak. Ia telah jerumuskan Jawa dalam peperangan 

melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh 

semakin kuat begini. Ia telah perhamba orang-orang 

serumah sendiri sedang di luarnya orang telah merampas 

dan menguasai sumber kehidupan.” 

“Ya, Kang, kemenangan di Sunda Kelapa memang 

tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.” 

“Semua kemenangan atas Peranggi tanpa mereka terusir 

dari Malaka hanya omong kosong, Pada.” 

“Betul, Kang, hanya omong kosong.” 

“Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk 

jaman kemerosotan ini.” 

“Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.” 

“Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan 

gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa 

kalau Demak tak memukul semangat kita. Ditariknya 

pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. Tapi 

Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.” 

“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.” 

“Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk 

menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi 

pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak 

banyak yang kupinta dalam hidup ini. Barangkali sama 

dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali. 

Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di 

mana-mana. Kehidupan macam apa ini?” 

“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. Allah 

juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.” 

“Hiburan semacam itu aku tak butuhkan. Pada. Murid-

muridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri. 

Bagiku lain. Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang 

dalam kekafiranku. Aku tak membutuhkan kata-kata 

hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati 

oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah sebab  sarat 

dengan beban, dan biarlah dia meledak sebab  ketegangan. 

Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang 

mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan 

hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini 

membasuh kakimu. Memang menyegarkan, tapi tiada arti. 

Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan 

untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada 

titik inilah kita berpisah.” 

Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang. 

Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak diduga-

duganya Ia tahu sahabatnya dihembalang oleh kekecewaan 

dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar 

kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan 

dan dukacita itu sendiri. 

Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada 

Tuhannya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk 

si kafir sahabatnya yang keras kepala itu. lalu  ia 

pulang ke markas membawa bungkusan. 

0o-dw-o0 

 

Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis-

Makasar di pondoknya. 

Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang 

terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu 

merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya 

pada Wirangmandala . 

Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan 

untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu 

mendatang. 

Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan 

tenang seperti dahulu. Tapi Pada dapat melihat bagaimana 

hatinya menggeletar, sebab  si kafir itu enggan 

menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia 

telah jarang berkhotbah di hadapannya. 

“Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tiba-

tiba ia bertanya. 

“Kalau Kang Pada suka, sahaya pun demikian.” 

“Jangan dengan sahay a-sahayaan,” ia melirik pada 

Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik, 

baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat 

tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi. 

Dalam pertemuan seminggu lalu  ia menyatakan, 

pasukan gabungan Tuban-Bugis-Makasar dalam keadaan 

lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke 

negerinya masing-masing kesempatan diberikan. 

Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di 

depan pertemuan itu juga ia menyatakan telah melepaskan 

kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya 

sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan 

Sultan Trenggono yang menyebabkan semua terdampar 

sebagai prajurit di sini, namun  untuk sebahagian toh 

mendapatkan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan, 

terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah 

dan subur. 

”Negeriku, Tuban, sekarang diduduki oleh Peranggi. 

Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi 

mereka di sana, sebab  Tuban negeriku. Aku tak memaksa 

kalian ikut. Hanya mereka yang ikut serta kembali 

denganku untuk mengusir Peranggi akan kuterima dengan 

segala senang bati.” 

Hanya dua puluh lima orang yang menyatakan hendak 

kembali. “Aku meninggalkan Tuban membawa lima ratus 

orang dan akan kembali dengan hanya dua puluh lima. 

Adipati Unus telah gagal. Beberapa belas tahun lalu  

juga Wirangmandala  gagal. sebab  kegagalan ini disebabkan 

oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum 

keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini 

dengan nama itu pula: Trenggono.” 

Pada hari yang telah ditentukan, Wirangmandala  bersama 

dengan dua puluh lima orang pengikutnya diiringkan 

bemayat i-mayat i ke pantai.  

“Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang 

mandala .”  

“Kau berhak, Pada.” 

“Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada 

habis-habisnya.” 

“Selama Malaka, Selat ini, berada di tangan mereka. 

Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.” 

“Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ”  

“Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau 

kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin 

melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu 

kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih punya leluhur.” 

0odwo0 

 

39. Tuban Jadi Kancah Perang 

Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid 

tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang 

mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga, 

dan ia berjalan seorang diri mendahului. 

Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup 

tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak 

pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan 

sekarang. 

Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya 

mengucapkan syukur sebab  tidak terbawa oleh kapal 

Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa 

menjadi kuburannya sesudah  penganiayaan berat akan 

mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan 

Portugis bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani 

baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya 

hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari 

haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung 

Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk 

haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan 

Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah 

penggorengan besar bagi dirinya. 

Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh 

mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula. 

Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup 

baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang 

penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan 

senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk 

memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas 

budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan 

padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi Gede Kati, dan 

akan menempatkannya sebagai wanita yang semulia-

mulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan 

membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan 

ambil Gelar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan 

dirinya pada Wirangmandala  bila ia sudah balik dari Malaka. 

Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan 

panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di 

harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk 

dikuburkan di Bumi Tuban. 

Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di 

belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya. 

Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna 

merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di 

perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang 

lama. Kakinya pun kembali berterompah. 

Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, membiarkan 

para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka, 

leher dan lengan dengan setangan, lalu  menjentik-

jentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi Gede 

Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia 

tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar 

yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut 

merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam 

nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah 

mulai ditumbuhi rumput serta pepohonan yang mati sebab  

terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja 

barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan 

membangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia 

membutuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil 

berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui 

Nyi Gede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera 

minta ampun pada saat itu juga.  Para pengangkut itu telah 

memasuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak 

nampak dan taman depan rumah telah kehilangan 

 Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali. 

Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu 

depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan 

perbaiki. 

“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya 

melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit 

pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan 

memberi tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan Syahbandar 

Tuban? Segera tinggalkan tempat ini” 

“Inilah Syahbandar Tuban baru tiba.”   

“Segera tinggalkan tempat ini.” 

“Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih 

tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para 

pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah 

ada Syahbandar lainkah sebab  aku pergi tanpa minta diri 

tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah. 

Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: 

waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali 

bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran 

kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati 

barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang 

berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit 

datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia 

tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali 

oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali 

seperti dulu. 

Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku 

kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah 

orang yang berkumis dan berjenggot itu? 

Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak, 

melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak 

berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh 

bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian 

malah menutupi mukanya. 

‘Tuan Syahbandar,” tegurnya mayat h tanpa 

menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, lalu  berhenti 

dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia 

tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan? Demak? 

Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia 

hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan 

kanan bertekuk di depan dada. 

Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa 

menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan. 

Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya 

tertutup rambut memandang tajam padanya.  

“Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi.”  

Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan 

dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. 

“Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban memanggil, 

Gusti Patih,” jawabnya. 

Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya 

menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya 

terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian, 

terpanggil kembali oleh tugasnya.” 

“Demikianlah yang ditugaskan oleh Gusti Adipati Tuban 

pada sahaya.” 

Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia 

kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan 

Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa 

Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya. 

“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah.  

“Masukkan dia ke dalam krangkeng.”  

“Krangkeng?” pekik Tholib Sungkar.  

“Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu:” Dan dua 

orang pengawal itu menangkapnya.  

“Apa dosa sahaya. Gusti?” 

“Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya. 

Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya.” 

“Sahaya Moro, Gusti, bukan Peranggi.” 

Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar 

meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang 

kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, 

dikunci dari luar. 

Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan. 

Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar 

berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi 

Gede Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya 

prajurit-prajurit pengawal. 

Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke 

dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang 

Adipati, Nyi Gede Kati, Paman Merta, bahkan juga 

Wirangmandala . Suaranya gemetar seimayat  dengan geletaran 

krangkeng yang disorong. 

Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan 

menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh. 

“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi 

Gede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di 

sini.”  

“Gusti Adipati—,” ia meraung.  

“Apa yang kau raungkan? Dia sudah lama mati.”  

Syahbandar itu berhenti meraung. Ia menggigil. Tak ada 

lagi kekuatan yang seka