nusantara awal abad 16 26
li ini saja, sebab dalam keadaan seperti
itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet
melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya.
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian
tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah
berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan
berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat
untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar
mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara
Demak makin lama makin mendekat
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan
perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu
oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan
timur lenyap dari penglihatan Pada.
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan
ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang
di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak
mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. sesudah
berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia
merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu
dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang
mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri
ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh
pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran
khianat.
Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda Demak
yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang
memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan
tombak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya,
seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah.
Itukah wajah Demak yang selama itu kumasyhurkan?
Itukah wajahnya yang sesungguhnya?
Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri,
memasuki daerah pelabuhan.
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras
tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur
agar tepukan berhenti. namun sesuatu yang merambat pada
tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang,
memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa
memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas
dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan
manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor
cacing. Ya Tuhan, bila kau tamatkan aku dari bahaya ini,
aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang
sudah-sudah.
Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiang-
tiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah
basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup
matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela
geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah
pelabuhan.
Sunyi-senyap sekarang.
Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur.
Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak
berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. sesudah agak
tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih
kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik
selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian
kotor dan kaki
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan.
Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan
kuda berdatangan lagi untuk lalu bertemu dengan
pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan
semut.
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan
diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumah-
rumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak.
Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang
tidak membuka diri dirusak.
Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang.
Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang
mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan
jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah
jadi makian dan tawa bahak.
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi
menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan
kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak
kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah
canang perunggu.
Gelombang prajurit Demak mulai menyerbu ke
pelabuhan. Galangan kapal lalu jadi api unggun,
demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuh-
rendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa
jarahan masing-masing.
Sekarang Tuban Kota mendapat giliran.
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempat-
tempat lain.
Pada alias Mohammad Firman telah lama dingin di
tempat.
0odwo0
34. Kekacauan di Jawa
Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut.
Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh
menjadi bara.
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia
membersihkan diri.
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan
bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah.
Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa
kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik
lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada
keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi.
Di bawah ia merasa resah sebab belum merasa bersih.
Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa
mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah
jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan
kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarah-
menjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan
pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya
lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia
melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia
merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia
tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa
itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada
dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan
rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur
dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang
dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati,
tanpa membangkitkan bunyi.
Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil
wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang
telah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian
basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin
menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri
dari gigilan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai
terengah-engah.
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih
dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia.
Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik:
Awis Krambil – tengkorak . Ah, benar ia mengakui. tengkorak lah
yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota
dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengah-
engah.
Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke
dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu
datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia
memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson
kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam
serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang
sebelumnya telah di-injak-injaknya menjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya
masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu
benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas
hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. lalu ia
dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita.
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam
pelukan seseorang.
“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita
lainnya.
Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,”
pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.”
“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega,
“memang Pada ini”
“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara
hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat
dicuri. Memang dia.”
“Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertama-tama
menambahi dan pelukannya dilepaskan.
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri.
Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat
diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki
terpakukan pada tanah.
“Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong
kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba
mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung
rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya.
wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di
antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada
yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak
pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya
memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak
seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda
mereka semua tak bersuami. namun mengapa tidak hitam?
Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka
nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit,
jelas seorang gadis Tionghoa.
“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?”
seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?”
Lambat-lambat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan
mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia
tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik.
“Lepaskan aku.” pintanya sopan. “Mengapa Nyi Ayu
sekalian ada di sini?”
“Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai
tak tahu ada perang? Dan Gusti Adipati sudah mangkat?”
“Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?”
seseorang bertanya, lalu menggelendot padanya.
Pada sedang teringat pada sumpah Wirangmandala . Dan
sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang
Adipati telah mangkat. Ia bisa pulang ke Tuban.
“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?”
“Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari
perbatasan, bukan?”
“Tidak semua,” salah seorang menyangkal.
“Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka
membenarkan. Suaranya tegas dan mantap.
“Dan sahaya dari Lao Sam,” gadis Tionghoa itu
memperdengarkan suaranya.
Pada menatap yang tertua dan termuda itu berganti-
ganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah
penrsi s keputrian, yang muda tentu selir terbaru.
“Nyi Gede?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu
menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di
antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara
bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak
tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu.
“Mari berjalan,” Pada menyilakan.
“Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil
memijit-mijit kakinya.
“Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan
terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan
harapkan aku mau menggendong.”
“Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang.
Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?”
Pada tertegun dan menengok padanya.
“Barangkali sebab aku sudah jadi tua begini, Pada?”
Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya
perasaan.
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak,
menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian
mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti
induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di
atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling
belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti
cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat.
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang
sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah
memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara
sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta
ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja
baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat,
terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi
Gede semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas
bumi ini.
Nampaknya Nyi Gede Daludarmi telah banyak
mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseru-
seru: “Pada, Pada, berhenti dulu!” katanya seperti
memerintah.
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanita-
wanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan
penrsi s harem itu.
“Gusti Adipati sudah mangkat,” katanya bersungguh-
sungguh, “tapi aku masih membawa tugasnya, mengemong
wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan
mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa
perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta,
pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang
membutuhkan perlindungan.”
Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu.
Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh
pada tugasnya.
“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada menerangkan.
“Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal
selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu
kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama:
selamat’
Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik
melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh
paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan
binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin
rapat juga.
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap
berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai
penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat
merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan
mengucapkannya.
Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak
menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak
mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan
berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai
menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja telah membikin hutan rapat itu jadi gelap.
Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia
memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di
atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai
menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam.
Api unggun disiapkan.
Ia lalu menyiapkan obor dari ranting-ranting dan
pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari
umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti
perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari
percakapan.
Dengan diam-diam pula orang membakar dan
memahami pendapatan mereka.
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka
telah dirambati oleh semut dan segala macam serangga,
juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersih-
bersihkan.
Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura
tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan
itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekat-
dekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur
demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas
dibandingkan manusia buas.
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin.
Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa
risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya
agar tak padam sampai tengah malam.
Dalam desakan wanita yang terbaring di samping-
menyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya
Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya
terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini
mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari
balatentara Demak? Ataukah dia akan melarikan diri
sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawar-
tawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab
pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri
sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang
telah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi
orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari
Pada!
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini,
ia merasa sebagai manusia yang lebih agung dibandingkan
seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan
matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita
penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya.
Ia jadi iba hati.
Bukan hanya Sang Adipati, ia berani memastikan,
sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa
ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan
lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya
kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang
sebab kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar
laranganMu.
Selir-selir yang jauh dibandingkan nya, dan tak yakin akan
keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya,
berebutan memeluk atau memeganginya untuk
mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas.
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan
aku!” pintanya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.”
“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh,
tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar
auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.
“Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan.
“sebab itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa
menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku
pergi seorang diri malam ini juga.”
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi
Gede Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu
memperingatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah
sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.”
Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar
yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani,
seorang panglima yang kehabisan musuh.
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain dibandingkan
mengikuti perintah. Tiada antara lama lalu mereka
mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi
menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang
menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang
Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri,
menggabungkan diri dengan yang lain-lain, lalu
membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam
semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh
api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi
seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada
seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur
dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat
mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat
mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa
kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua
dibandingkan nya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang
seorang itu semua lebih tua dibandingkan Nyi Gede tengkorak .
Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun
jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan
kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang
hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam
sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan
paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong
yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka
dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala
macam bahaya.
Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka
tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang
Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila
kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja!
Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus
perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh
dan hati mereka dulunya? Berapa saja di antaranya telah
putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang
Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masing-
masing?
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah
menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok
dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada
menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan
prastika.
Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru.
Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia
bertayamum, lalu bersembahyang, bertakbir,
bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon mendapatkan
kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam
takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana
Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu.
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di
bawah kaki mereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada
keras lagi.
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari
sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun
terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan
mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau
mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan
bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia
potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan
buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah.
lalu mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang
tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan
beberapa bungkusan.
Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk
mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan
tengkorak dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik
kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang
dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa
yang bersama tengkorak . Tak ada tubuh dan jiwa lain di
dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan tengkorak : ibu dari dua orang
anak dan istri sahabatnya.
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat
digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru
mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya?
“Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya.
Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan
rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai
suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam
bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
“Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya’ ia
mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua
itu…. lalu datang seorang satria… dan ia merasa diri
satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa
sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah
bunuhi bawahannya sebab ia ingin memiliki Sang Dewi
untuk dirinya sendiri. namun Sang Dewi menolaknya.”
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak
berani tebarkan pandang pada mulut gua.
“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam
sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang
pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran
mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan
siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak
bertanya mengapa Sang Dewi menolak?”
“Mari berjalan terus,” seseorang yang kengerian
memohon.
“Ya, mari berjalan terus. Satria itu membunuh kepala
drubiksa itu dengan kerisnya, jauh lalu hari ia merasa
menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris… oh,
tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.”
‘Tentu satria itu semacam orang linglung.” Daludarmi
menyela, “Tak ada seorang satria membawa pisau dapur ke
mana-mana.”
“Ya, barangkali semacam satria linglung,” Pada
menjawab.
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan
Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi
dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua
Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya:
“Mengapa Sang Dewi menolaknya?”
“Mungkin Sang Satria sudah linglung.”
“Mungkin Sang Satria sudah tua,” seseorang
memaksakan diri menjawab.
“Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau
menerimanya. Itu bukan alasan.”
“Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda.”
“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan
satria, dan kalian pernah juga mau menerimanya.”
Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
“sebab Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir
tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke
kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.”
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi
pula apakah gunanya orang lain harus melihat
kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia
kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi
dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang
menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada
nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan
wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua
mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk
lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang
memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia
berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke
langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua
keselamatan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan
padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan
teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang menentukan.
“Mari berangkat!”
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan
atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling
depan dibandingkan paling belakang. Tak ada seorang pun
berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi.
Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan
alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti
ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang
dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir
akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip
entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas
perasaan-perasaan yang lebih kecil.
“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada
maut,” gumam Pada sesudah selamat melalui padang alang-
alang dan memasuki hutan muda. “Alhamdulillah, ya
Allah, ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon
kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang
kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan
semacam itu,” bisiknya lalu pada dirinya sendiri.
Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda
ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di
sana.”
‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang
membantah.
“Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita
nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain
membantah juga.
“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama
matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.”
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam
telah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu
menyala.
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki.
Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan
dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala
kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin
dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak
mencukupi untuk orang sebanyak itu.
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari
mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi.
Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan
seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan
rombongan yang lain.
“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.”
Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan
dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus
merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum
diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah
menyembul di timur.
Derap kuda memaksa semua orang melompat dari
ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya
telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi
padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain dibandingkan naik ke atas pohon
nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun namun
tiada berbuah.
Prajurit-prajurit berkuda itu memasuki rumah dengan
masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa
orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah,
segera mengejar dan menyambar salah seorang serta
mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa
berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah.
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat
cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara
Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang,
apakah dia tentara Demak atau Tuban? Ia mendekam
mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara
pelabuhan dulu.
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta
ketakutan. Prajurit itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di
dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan
prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana.
Pekik-pekik semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya
bisa mendengarkan. lalu tak terdengar lagi
perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang
menyesatkan.
Tiada antara lama lalu mendadak serombongan
prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat
beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit
berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat
lari membawa pedang masing-masing menuju ke hutan,
melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar
mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat
di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan
mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya
menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada
ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah
hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa
orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda
yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak
masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar
tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing
pedang beradu pedang dan tombak terdengar nyaring dari
tempat Pada.
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat
seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang
yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun
lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik
dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk
oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas.
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari
pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan
rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Empat orang berkuda dengan pedang atau tombak
berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah
persembunyian Pada.
“Memang selir-selir Gusti Adipati,” seseorang berkata.
“Bagaimana bisa sampai ke mari?”
“Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke
desa.”
“Di mana Pada sekarang?”
“Katanya lari waktu orang-orang Demak datang.”
“Dia tidak melindungi selir-selir itu?”
“Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan
prajurit. Katanya juga Gusti Adipati telah mangkat”
Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari
tempatnya. lalu nampak seekor gajah perang berjalan
diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang
perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi.
Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam,
baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula
kembali.
“Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan
ubi dan gembili lalu dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu
kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?”
“Sudah dibawa tentara Tuban.”
“O,” ia tak meneruskan.
Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka
tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing,
lalu tak terdengar lagi suaranya.
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan
beribu tenma-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah tengkorak .
Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya
telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah
sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu
yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk
ke dalam.
Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada
daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya
yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga,
berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk
menebak di mana tengkorak berada. Dulu ia dan Wirangmandala
dan Gelar telah membuka huma di dalam hutan untuk
tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi sebab telah
kejatuhan luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan
susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi,
terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari sesudah berputar-putar dalam hutan
sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia
sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan
baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan
huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana
berdiri di tengah-tengah. Dan tentu Gelar ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya
terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah
tengkorak segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar
melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi
tombak menyambar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak
itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon
tempat ia tadi berhenti.
“Gelar! Aku di sini, aku, Pada,” ia memekik.
“Pamankah itu?” terdengar suara Gelar, dan pemuda itu
muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman,
tiada terduga. Paman dari Malaka? Mengapa kelihatan
lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.”
Ia dapatkan tengkorak tiada kurang suatu apa. Nampak ia
terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan
bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya.
“Kau kelihatan lebih tua. Pada.”
“Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya
menegang. lalu ia langsung bercerita tentang
Wirangmandala dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di
Semenanjung.
tengkorak mendengarkan dengan diam-diam. Dan Gelar
mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu
membikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap
orang-orang besar yang mempermain mainkan Senapati.
“Dan kau, Gelar, kau kelihatan lebih kukuh,” Pada
langsung memasuki persoalan pribadi sesudah ceritanya
selesai. “Lemparan tombakmu seperti prajurit sungguh.”
Dan Gelar hanya tersenyum senang mendengar pujian
itu. Ia malu bercerita telah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari
Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama
semakin pelahan.
“Kau lelah. Pada.” tegur tengkorak . “Dan matamu merah
seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.”
sesudah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali
ke Malaka. Masih banyak yang harus dikerjakan Dan tengkorak
seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia
semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru sebab
itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya
pada tengkorak dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus
disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibu-
beranak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang
tercinta di Malaka sana: pulanglah, sebab Sang Adipati
telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong
pembebasan atas Malaka
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang
wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas
cintanya. Tapi juga gembira sebab akan dapat melepaskan
dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama
berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya,
memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan
ketabahannya. namun bila sebab sesuatu hal pandangnya
bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah
menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan
hendak membikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja
ia memohon ampun pada Tuhannya sebab telah mencintai
wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., namun
hatinya punya kemauan dan hukum sendiri
Waktu ia minta diri tengkorak hanya menatapnya, lalu
mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan,
bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia
menambahi:
“Ampuni aku telah menyusahkan Mbokayu selama ini.”
Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh
wanita tercinta itu.
Gelar pergi untuk menrsi s kuda. Ia akan mengantarkan
tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk
membelah kayu bakar.
“Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh
berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi
aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan
perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan
terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini’
Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk,
ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, lalu
bersama Gelar menerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
“Mengapa kau tak di medan perang. Gelar?” tanya Pada
untuk melupakan kata-kata tengkorak .
“Di pihak siapa. Paman?”
“Di pihak Tuban tentu.”
“Tuban? Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban
terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku
sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah
dibuangnya di negeri orang untuk berperang.”
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari tengkorak , dari
Senapati dan dari mayat arwah . Keluarga ini nampaknya
benar-benar anak-rohani mayat during. Dan sekilas ia
teringat pada ajaran salah seorang rsi nya dulu bagaimana
seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat
terhadap rsi -pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh
mayat arwah sangat besar terhadap keluarga seorang yang
dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk
mengetahui lebih banyak tentang rsi -rsi itu. Tapi ia tak
jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan
tugasnya lagi.
“Gelar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang
luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang
penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik
kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat
mengetahui kau pernah jadi prajurit.”
“Betul, Paman. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal
Tuban,” Gelar mengakui. “lalu sebentar jadi Prajurit
Demak.”
“Demak?”
“Betul.”
“Kau mondar-mandir tidak karuan.”
Gelar tertawa, lalu meneruskan: “Aku rasa, tinggal
bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk
emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada
Tuban dan Demak? Sampai sekarang aku tak tahu.”
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir
pada dua daerah yang saling bermusuhan.”
‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang
lain.”
“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? Demak
Islam, Tuban setengah Warn.”
“Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk
pembebasan Malaka, apalagi sesudah ternyata Senapatiku
dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat
hanya dengan jung!”
Sekali Pada melihat semangat si Wirangmandala di dalam
kata-katanya. Dan ia membiarkan Gelar meneruskan kata-
katanya.
Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di
Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan
menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku?”
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di
belakang Gelar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah
itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu
tajam ke jurusan lain.
“Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak
mau menerangkan.”
“Tahu apa aku tentang itu?
Yang kuketahui selama mi kau anak Senapati dengan
tengkorak . Mengapa justru bertanya padaku
“Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup
baikkah Wirangmandala dan tengkorak jadi orang tuamu?’ Aku
tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku
matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku
tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang rsi -
pembicara, ia lupa namanya… ia mengulangi kutipan itu
hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin
bimbang”
“Apa katanya?”
“Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah
meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi.
Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang
dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.”
“Itulah rsi -pembicara dungu.” Pada terangsang.
“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak
atau ibunya.”
“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’
Pada terkejut, namun pura-pura tak memperhatikan. Tak
pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang rsi -
pembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk
mematahkan pengaruh rsi -pembicara bukan golongan
sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrak-
abrik pengaruh itu.
“Gelar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran
bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada
dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja.
Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita
teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai ‘Raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah’”.
“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang
kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan
perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti
pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan
karunia?”
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir
Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: “Gelar, cobalah
singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir,
bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti
halnya sekarang? Bukankah itu karunia?”
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu
tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan
Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para
rsi -pembicara yang telah berakar di dalam keluarga
Wirangmandala .
Akhirnya mereka terdiam kebosanan.
Tapi Gelar tak urung mengulangi pertanyaannya:
‘Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak
Senapatiku?”
“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan
perjalanan seorang diri, Gelar. Tentang itu, datanglah pada
emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup
dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui.
Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah,
terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada
emakmu, dan berbaktilah lebih baik.”
Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, namun bocah itu
tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada.
Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya,
lalu ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkemayat n hutan ia berhadapan
dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke
atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh
wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah
tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia
masuk ke dalam.
Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang
Demak telah memasuki rumah ini.
Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan.
0odwo0
35. Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa
Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada
untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi
gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerah-
daerah pertempuran ia memasuki Lao Sam dari sebelah
selatan.
Belum lagi memasuki daerah perkampungan Lao Sam ia
telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena
dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, membantingnya ke
tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeong-
geonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan
bawaannya terlempar entah di mana.
Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu
mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan
tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah
dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah.
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang
Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih
tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah
jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan.
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang
bertanya: “Tuban apa Demak?”
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab
tabah: “Dua-duanya tidak.”
“Bukankah kau Pribumi?”
“Betul,” Pada telah merasai kesakitan pada bagian-
bagian badan yang tersekat oleh tali.
“Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao
Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi.
“Tahu, tahu betul.”
“Mengapa berani-berani masuk kemari?”
“Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.”
Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di
kepalanya turun, membikin kakinya jadi semutan. Mereka
mengancamnya dengan senjatanya,
“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.”
“Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han.”
“Ha! Siapa kau ini?”
Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak
kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.”
“Tidak kenal.”
“Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini.”
Dan benar, mereka memang pendatang baru. sesudah
Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa
didatangkan ke Lao Sam dari bandar-bandar lain, terutama
dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang-
Demak dan Ceng He-Majapahit Dua macam perjanjian
yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu
mereka rasai sedang terancam sesudah Demak berada dalam
kekuasaan Trenggono.
Mereka tidak mengenal Pada.
namun mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo
Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya
di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah
kota Lao Sam.
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah
dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di
atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah
seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada
pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam
bahasa Tionghoa.
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu
membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya.
Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka
nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak
menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk,
dan mereka pergi menghindar.
“Ah, sahabat Pada Mohammad Firman,” tegur tuan
rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan
menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh.
“Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.”
Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada
perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih
terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang.
“Nampaknya sahabat punya perhatian pada mereka.
Atau suka barangkali?”
Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la
menggeleng.
“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lain-
lain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk
diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak.
Tapi kalau sahabat menghendaki. ..”
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar
Pinjung dan Nyi Ayu Campa.
“Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli
mereka?”
“Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.”
“Perwira mana? Demak atau Tuban?”
“Tuban.”
“Masyaallah,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu
mereka selir-selir Sang Adipati? Bukankah yang seorang itu
Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?”
“Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri
yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut”
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar
dari mulutnya: “Aku datang dari Malaka…’
“Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah
Liem.”
“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan
Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri?
Dan pasukan Demak?”
“Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng.
“Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan
Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang.
Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan
Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”
“Biar aku mencari Babah Liem’
“Koh… Gouw Eng Cu sudah berkali-kali
memberitahukan pada Liem Mo Han agar jangan
menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah
sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw
Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka?”
‘Tidak.”
“Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang
dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk.
Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa
dihindari. Perang, sahabat.”
“Dibunuh?”
“Ya.”
Mereka terdiam. lalu Coa Mie An meneruskan:
“sebab Babah Liem toh sudah menyampaikan pada
sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada
Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.”
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat
penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak
mengirimkan seorang pun ke Malaka.”
“Biar aku temui Babah Liem sendiri.”
“Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah
dilayani wanita-wanita tadi?”
‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.”
“Lebih baik sampaikan saja padaku, sebab akulah
sekarang penggantinya.”
‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.”
“Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa
sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah
tiada.”
“Mati?”
“Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan
Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai
ajalnya.”
Pada menyebut.
“Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka
bersorak-sorak hendak juga menumpas Wirangmandala dan
seluruh keturunannya. Juga namamu disebut-sebut. Kalian
dianggap bersekongkol melawan Demak.”
Pada minta diri.
“Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan.
Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanak-
keluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang
tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….”
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan
terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu
juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia
terpaksa balik ke Awis Krambil untuk membawakan berita
ancaman itu.
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis
Krambil. Ia terpaksa menemui lagi tengkorak dan menceritakan
segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih
ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten Bojonegara. Di
sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan
ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan
pada kebesaran Tuhannya ia tak merasa merana lagi sebab
cintanya. Sebaliknya Gelarlah yang memberinya kesulitan.
Ia selalu mengajak berdebat dan tengkorak mendengarkan
dengan diam-diam. Ia tahu tengkorak takkan berpihak padanya.
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu
kesimpulan. Gelar membenci apa saja yang berbau raja.
Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman.
Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat
diatur tanpa ada seorang raja?
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak
memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai
dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi
untuk melakukan tugasnya.
Sekali lagi Gelar mengantarkan sampai ke perbatasan
Tuban. Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: “Apa
jawaban emakmu?”
“Tentang apa, paman?”
“Anak Senapatiku kau ini atau bukan?”
Ternyata Gelar belum juga mendapat jawaban. Dan
mereka berpisahan.
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya
hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya
pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang
tergantung sebilah pedang.
Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan,
dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman.
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan
sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu
sangat berat. Lebih-lebih lagi sebab ia tahu balatentara
Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di
luar kekuasaan Demak.
sesudah sampai waktu harus membelok ke utara, ia
berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan
bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di
Jepara.
Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan
perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan
cambangnya melebat pada mukanya.
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu
Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala Cuwil.
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo
rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang
menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari
yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan
meneruskan perjalanan ke Malaka.
Matari sudah mulai condong dan badannya sudah
sesiang tadi mandi keringat.
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin,
berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau
bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa,
Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa
kau ini. Paman?”
“Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati
Wirangmandala , datang untuk menghadap Gusti Ratu.”
“Wirangmandala ,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal
nama itu!” Dengan kekanak-kanakan dan kemayat han
Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku
sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan
pada Nenenda Ratu.”
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada
menghela nafas lega.
Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu.
Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan
pundi-pundi.
“Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,”
katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk
Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini,” ia
menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu
mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buru-
buru saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang,
lalu jalan darat sampai Banten baru lalu
menyeberang. Begitu pesan nenenda.”
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya
pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat
tanpa harga
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang
jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul
bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan
pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang.
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke
Semarang lalu berjalan darat memasuki pedalaman.
Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan
dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus
mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan
demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran.
la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten sesudah
tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar
Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara-
Demak melakukan garis pengepungan terhadap Selat
Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau
tidak.
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam
rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia
berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap
cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya
akan lebih buruk dibandingkan Demak yang Islam atau Tuban
yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk.
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati
mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah
lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu
Aisah.
Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan
haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah.
namun ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada
punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada
Tuhannya juga ia serahkan putusannya.
Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas
bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak
keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih
yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi
dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning,
malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar
beberapa kali, lebih dari dua depa panjang.
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik
bergambar kupu-tarung.
“Lambang Jepara Adipati Unus almarhum!” pikirnya.
Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar
dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu,
katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah
tilam alma