nusantara awal abad 16 26

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 26



 li ini saja, sebab  dalam keadaan seperti 

itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet 

melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya. 

Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian 

tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah 

berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan 

berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat 

untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar 

mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara 

Demak makin lama makin mendekat 

Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan 

perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu 

oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan 

timur lenyap dari penglihatan Pada. 

Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan 

ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang 

di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak 

mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. sesudah  

berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia 

merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu 

dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang 

mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri 

ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh 

pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran 

khianat. 

Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda Demak 

yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang 

memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan 

tombak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya, 

seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah. 

Itukah wajah Demak yang selama itu kumasyhurkan? 

Itukah wajahnya yang sesungguhnya? 

Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri, 

memasuki daerah pelabuhan. 

Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras 

tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur 

agar tepukan berhenti. namun  sesuatu yang merambat pada 

tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang, 

memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa 

memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas 

dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan 

manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor 

cacing. Ya Tuhan, bila kau tamatkan aku dari bahaya ini, 

aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang 

sudah-sudah. 

Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiang-

tiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah 

basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup 

matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela 

geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah 

pelabuhan. 

Sunyi-senyap sekarang. 

Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur. 

Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak 

berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. sesudah  agak 

tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih 

kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik 

selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian 

kotor dan kaki 

Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan. 

Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan 

kuda berdatangan lagi untuk lalu  bertemu dengan 

pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan 

semut. 

Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan 

diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumah-

rumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak. 

Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang 

tidak membuka diri dirusak. 

Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang. 

Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang 

mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan 

jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah 

jadi makian dan tawa bahak. 

Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi 

menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan 

kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak 

kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah 

canang perunggu. 

Gelombang prajurit Demak mulai menyerbu ke 

pelabuhan. Galangan kapal lalu  jadi api unggun, 

demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuh-

rendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa 

jarahan masing-masing. 

Sekarang Tuban Kota mendapat giliran. 

Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempat-

tempat lain. 

Pada alias Mohammad Firman telah lama dingin di 

tempat. 

0odwo0 

 

34. Kekacauan di Jawa 

Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut. 

Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh 

menjadi bara. 

Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia 

membersihkan diri. 

Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan 

bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah. 

Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa 

kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik 

lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada 

keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi. 

Di bawah ia merasa resah sebab  belum merasa bersih. 

Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa 

mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah 

jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan 

kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarah-

menjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan 

pikirkan kebersihan. 

Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya 

lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia 

melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia 

merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia 

tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa 

itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada 

dirinya sendiri. 

Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan 

rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur 

dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang 

dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, 

tanpa membangkitkan bunyi. 

Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil 

wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang 

telah dilanda para penjarah. 

Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian 

basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin 

menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri 

dari gigilan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai 

terengah-engah. 

Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih 

dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. 

Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: 

Awis Krambil – tengkorak . Ah, benar ia mengakui. tengkorak lah 

yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota 

dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengah-

engah. 

Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke 

dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu 

datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia 

memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson 

kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam 

serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang 

sebelumnya telah di-injak-injaknya menjadi kasur. 

la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya 

masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu 

benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas 

hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. lalu  ia 

dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita. 

Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam 

pelukan seseorang. 

“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita 

lainnya.  

Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,” 

pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.” 

“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega, 

“memang Pada ini” 

“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara 

hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat 

dicuri. Memang dia.” 

“Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertama-tama 

menambahi dan pelukannya dilepaskan. 

Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri. 

Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat 

diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki 

terpakukan pada tanah. 

“Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong 

kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba 

mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung 

rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya. 

wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di 

antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada 

yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak 

pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya 

memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak 

seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda 

mereka semua tak bersuami. namun  mengapa tidak hitam? 

Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka 

nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, 

jelas seorang gadis Tionghoa. 

“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?” 

seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?” 

Lambat-lambat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan 

mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia 

tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik. 

“Lepaskan aku.” pintanya sopan. “Mengapa Nyi Ayu 

sekalian ada di sini?” 

“Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai 

tak tahu ada perang? Dan Gusti Adipati sudah mangkat?” 

“Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?” 

seseorang bertanya, lalu  menggelendot padanya. 

Pada sedang teringat pada sumpah Wirangmandala . Dan 

sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang 

Adipati telah mangkat. Ia bisa pulang ke Tuban. 

“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?” 

“Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari 

perbatasan, bukan?” 

“Tidak semua,” salah seorang menyangkal. 

“Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka 

membenarkan. Suaranya tegas dan mantap. 

“Dan sahaya dari Lao Sam,” gadis Tionghoa itu 

memperdengarkan suaranya. 

Pada menatap yang tertua dan termuda itu berganti-

ganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah 

penrsi s keputrian, yang muda tentu selir terbaru. 

“Nyi Gede?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu 

menjawab dengan sembah dada. 

Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di 

antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara 

bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak 

tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu. 

“Mari berjalan,” Pada menyilakan. 

“Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil 

memijit-mijit kakinya. 

“Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan 

terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan 

harapkan aku mau menggendong.” 

“Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang. 

Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?” 

Pada tertegun dan menengok padanya. 

“Barangkali sebab  aku sudah jadi tua begini, Pada?” 

Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya 

perasaan. 

Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak, 

menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian 

mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti 

induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di 

atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling 

belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti 

cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat. 

Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang 

sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah 

memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara 

sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta 

ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja 

baginya sudah pahala yang mencukupi. 

Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, 

terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi 

Gede semua berebutan untuk berada di dekat Pada. 

Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas 

bumi ini. 

Nampaknya Nyi Gede Daludarmi telah banyak 

mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseru-

seru: “Pada, Pada, berhenti dulu!” katanya seperti 

memerintah. 

Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanita-

wanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan 

penrsi s harem itu. 

“Gusti Adipati sudah mangkat,” katanya bersungguh-

sungguh, “tapi aku masih membawa tugasnya, mengemong 

wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan 

mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa 

perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, 

pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang 

membutuhkan perlindungan.” 

Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu. 

Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh 

pada tugasnya. 

“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada menerangkan. 

“Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal 

selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu 

kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama: 

selamat’ 

Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik 

melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh 

paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan 

binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin 

rapat juga. 

Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap 

berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai 

penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat 

merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan 

mengucapkannya. 

Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak 

menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak 

mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan 

berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai 

menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti. 

Senja telah membikin hutan rapat itu jadi gelap. 

Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia 

memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di 

atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai 

menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam. 

Api unggun disiapkan. 

Ia lalu  menyiapkan obor dari ranting-ranting dan 

pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari 

umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti 

perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari 

percakapan. 

Dengan diam-diam pula orang membakar dan 

memahami pendapatan mereka. 

Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka 

telah dirambati oleh semut dan segala macam serangga, 

juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersih-

bersihkan. 

Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura 

tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan 

itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekat-

dekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur 

demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas 

dibandingkan  manusia buas. 

Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. 

Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa 

risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya 

agar tak padam sampai tengah malam. 

Dalam desakan wanita yang terbaring di samping-

menyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya 

Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya 

terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini 

mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari 

balatentara Demak? Ataukah dia akan melarikan diri 

sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawar-

tawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab 

pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri 

sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang 

telah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi 

orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari 

Pada! 

Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, 

ia merasa sebagai manusia yang lebih agung dibandingkan  

seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan 

matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita 

penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya. 

Ia jadi iba hati. 

Bukan hanya Sang Adipati, ia berani memastikan, 

sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa 

ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan 

lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya 

kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang 

sebab  kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar 

laranganMu. 

Selir-selir yang jauh dibandingkan nya, dan tak yakin akan 

keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, 

berebutan memeluk atau memeganginya untuk 

mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas. 

Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan 

aku!” pintanya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.” 

“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh, 

tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar 

auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.  

“Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan. 

“sebab  itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa 

menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku 

pergi seorang diri malam ini juga.” 

Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi 

Gede Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu 

memperingatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah 

sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.” 

Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar 

yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, 

seorang panglima yang kehabisan musuh. 

Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain dibandingkan  

mengikuti perintah. Tiada antara lama lalu  mereka 

mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi 

menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang 

menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang 

Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, 

menggabungkan diri dengan yang lain-lain, lalu  

membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam 

semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh 

api. la pun segera jatuh tertidur. 

Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi 

seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada 

seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur 

dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat 

mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat 

mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa 

kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua 

dibandingkan nya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang 

seorang itu semua lebih tua dibandingkan  Nyi Gede tengkorak . 

Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun 

jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan 

kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang 

hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam 

sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan 

paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong 

yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka 

dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala 

macam bahaya. 

Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka 

tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang 

Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila 

kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! 

Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus 

perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh 

dan hati mereka dulunya? Berapa saja di antaranya telah 

putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang 

Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masing-

masing? 

Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah 

menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok 

dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada 

menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan 

prastika. 

Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru. 

Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia 

bertayamum, lalu  bersembahyang, bertakbir, 

bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon mendapatkan 

kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam 

takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana 

Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu. 

Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di 

bawah kaki mereka dan tertidur. 

Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada 

keras lagi. 

Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari 

sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun 

terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan 

mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau 

mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan 

bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia 

potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan 

buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah. 

lalu  mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang 

tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan 

beberapa bungkusan. 

Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk 

mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan 

tengkorak  dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik 

kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang 

dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa 

yang bersama tengkorak . Tak ada tubuh dan jiwa lain di 

dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan tengkorak : ibu dari dua orang 

anak dan istri sahabatnya. 

Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat 

digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru 

mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya? 

“Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya. 

Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan 

rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai 

suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam 

bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya. 

“Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya’ ia 

mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua 

itu…. lalu  datang seorang satria… dan ia merasa diri 

satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa 

sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah 

bunuhi bawahannya sebab  ia ingin memiliki Sang Dewi 

untuk dirinya sendiri. namun  Sang Dewi menolaknya.” 

Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak 

berani tebarkan pandang pada mulut gua. 

“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam 

sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang 

pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran 

mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan 

siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak 

bertanya mengapa Sang Dewi menolak?” 

“Mari berjalan terus,” seseorang yang kengerian 

memohon. 

“Ya, mari berjalan terus. Satria itu membunuh kepala 

drubiksa itu dengan kerisnya, jauh lalu  hari ia merasa 

menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris… oh, 

tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.” 

‘Tentu satria itu semacam orang linglung.” Daludarmi 

menyela, “Tak ada seorang satria membawa pisau dapur ke 

mana-mana.” 

“Ya, barangkali semacam satria linglung,” Pada 

menjawab. 

Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan 

Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi 

dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua 

Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya: 

“Mengapa Sang Dewi menolaknya?” 

“Mungkin Sang Satria sudah linglung.” 

“Mungkin Sang Satria sudah tua,” seseorang 

memaksakan diri menjawab. 

“Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau 

menerimanya. Itu bukan alasan.” 

“Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda.” 

“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan 

satria, dan kalian pernah juga mau menerimanya.” 

Mereka semua tertawa terkikik-kikik. 

“sebab  Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir 

tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke 

kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.” 

Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi 

pula apakah gunanya orang lain harus melihat 

kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia 

kembali berdiam diri. 

Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi 

dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang 

menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada 

nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan 

wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua 

mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi. 

Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk 

lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang 

memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia 

berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke 

langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua 

keselamatan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit. 

Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan 

padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan 

teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang menentukan. 

“Mari berangkat!” 

Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan 

atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling 

depan dibandingkan  paling belakang. Tak ada seorang pun 

berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. 

Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan 

alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti 

ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang 

dari gerakan yang mencurigakan itu. 

Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir 

akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip 

entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas 

perasaan-perasaan yang lebih kecil. 

“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada 

maut,” gumam Pada sesudah  selamat melalui padang alang-

alang dan memasuki hutan muda. “Alhamdulillah, ya 

Allah, ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon 

kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang 

kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan 

semacam itu,” bisiknya lalu  pada dirinya sendiri. 

Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda 

ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di 

sana.” 

‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang 

membantah. 

“Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita 

nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain 

membantah juga. 

“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama 

matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.” 

Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam 

telah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu 

menyala. 

Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. 

Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan 

dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala 

kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin 

dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak 

mencukupi untuk orang sebanyak itu. 

Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari 

mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. 

Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan 

seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan 

rombongan yang lain. 

“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.” 

Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan 

dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus 

merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum 

diubah perangainya oleh perang. 

Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah 

menyembul di timur. 

Derap kuda memaksa semua orang melompat dari 

ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya 

telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi 

padang rumput menuju ke hutan. 

Bagi Pada tak ada jalan lain dibandingkan  naik ke atas pohon 

nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun namun  

tiada berbuah. 

Prajurit-prajurit berkuda itu memasuki rumah dengan 

masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa 

orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah, 

segera mengejar dan menyambar salah seorang serta 

mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa 

berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah. 

Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat 

cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara 

Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang, 

apakah dia tentara Demak atau Tuban? Ia mendekam 

mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara 

pelabuhan dulu. 

Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta 

ketakutan. Prajurit itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di 

dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan 

prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana. 

Pekik-pekik semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya 

bisa mendengarkan. lalu  tak terdengar lagi 

perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang 

menyesatkan. 

Tiada antara lama lalu  mendadak serombongan 

prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat 

beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu. 

Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit 

berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat 

lari membawa pedang masing-masing menuju ke hutan, 

melintasi padang rumput. 

Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar 

mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat 

di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan 

mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya 

menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada 

ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah 

hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa 

orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda 

yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak 

masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar 

tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing 

pedang beradu pedang dan tombak terdengar nyaring dari 

tempat Pada. 

Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat 

seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang 

yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun 

lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik 

dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk 

oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas. 

Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari 

pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan 

rumah petani itu, hilang dari pemandangan. 

Empat orang berkuda dengan pedang atau tombak 

berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah 

persembunyian Pada. 

“Memang selir-selir Gusti Adipati,” seseorang berkata. 

“Bagaimana bisa sampai ke mari?” 

“Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke 

desa.” 

“Di mana Pada sekarang?” 

“Katanya lari waktu orang-orang Demak datang.” 

“Dia tidak melindungi selir-selir itu?” 

“Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan 

prajurit. Katanya juga Gusti Adipati telah mangkat” 

Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari 

tempatnya. lalu  nampak seekor gajah perang berjalan 

diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang 

perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi. 

Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam, 

baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula 

kembali. 

“Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan 

ubi dan gembili lalu  dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu 

kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?” 

“Sudah dibawa tentara Tuban.” 

“O,” ia tak meneruskan. 

Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka 

tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing, 

lalu  tak terdengar lagi suaranya. 

Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan 

beribu tenma-kasih. 

Pada subuh hari sampailah ia di rumah tengkorak . 

Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya 

telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah 

sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu 

yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk 

ke dalam. 

Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada 

daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya 

yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, 

berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk 

menebak di mana tengkorak  berada. Dulu ia dan Wirangmandala  

dan Gelar telah membuka huma di dalam hutan untuk 

tempat pengungsian bila perang terjadi. 

Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi sebab  telah 

kejatuhan luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan 

susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, 

terperosok dan tersasar. 

Pada tengah hari sesudah  berputar-putar dalam hutan 

sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia 

sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan 

baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan 

huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana 

berdiri di tengah-tengah. Dan tentu Gelar ada di dalam situ. 

Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya 

terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah 

tengkorak  segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar 

melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi 

tombak menyambar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak 

itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon 

tempat ia tadi berhenti. 

“Gelar! Aku di sini, aku, Pada,” ia memekik. 

“Pamankah itu?” terdengar suara Gelar, dan pemuda itu 

muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman, 

tiada terduga. Paman dari Malaka? Mengapa kelihatan 

lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.” 

Ia dapatkan tengkorak  tiada kurang suatu apa. Nampak ia 

terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan 

bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya. 

“Kau kelihatan lebih tua. Pada.” 

“Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya 

menegang. lalu  ia langsung bercerita tentang 

Wirangmandala  dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di 

Semenanjung. 

tengkorak  mendengarkan dengan diam-diam. Dan Gelar 

mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu 

membikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap 

orang-orang besar yang mempermain mainkan Senapati. 

“Dan kau, Gelar, kau kelihatan lebih kukuh,” Pada 

langsung memasuki persoalan pribadi sesudah  ceritanya 

selesai. “Lemparan tombakmu seperti prajurit sungguh.” 

Dan Gelar hanya tersenyum senang mendengar pujian 

itu. Ia malu bercerita telah lari dari pasukan pengawal. 

Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari 

Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama 

semakin pelahan. 

“Kau lelah. Pada.” tegur tengkorak . “Dan matamu merah 

seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.” 

sesudah  beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali 

ke Malaka. Masih banyak yang harus dikerjakan Dan tengkorak  

seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia 

semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru sebab  

itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya 

pada tengkorak  dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus 

disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibu-

beranak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang 

tercinta di Malaka sana: pulanglah, sebab  Sang Adipati 

telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong 

pembebasan atas Malaka 

Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang 

wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas 

cintanya. Tapi juga gembira sebab  akan dapat melepaskan 

dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama 

berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, 

memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan 

ketabahannya. namun  bila sebab  sesuatu hal pandangnya 

bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah 

menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan 

hendak membikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja 

ia memohon ampun pada Tuhannya sebab  telah mencintai 

wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., namun  

hatinya punya kemauan dan hukum sendiri 

Waktu ia minta diri tengkorak  hanya menatapnya, lalu  

mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, 

bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia 

menambahi: 

“Ampuni aku telah menyusahkan Mbokayu selama ini.” 

Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh 

wanita tercinta itu. 

Gelar pergi untuk menrsi s kuda. Ia akan mengantarkan 

tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk 

membelah kayu bakar. 

“Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh 

berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi 

aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan 

perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan 

terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini’ 

Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, 

ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, lalu  

bersama Gelar menerobos hutan berkendara dua ekor kuda. 

“Mengapa kau tak di medan perang. Gelar?” tanya Pada 

untuk melupakan kata-kata tengkorak . 

“Di pihak siapa. Paman?” 

“Di pihak Tuban tentu.” 

“Tuban? Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban 

terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku 

sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah 

dibuangnya di negeri orang untuk berperang.” 

Ia dapat temukan kata-kata berontak dari tengkorak , dari 

Senapati dan dari mayat  arwah . Keluarga ini nampaknya 

benar-benar anak-rohani mayat  during. Dan sekilas ia 

teringat pada ajaran salah seorang rsi nya dulu bagaimana 

seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat 

terhadap rsi -pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh 

mayat  arwah  sangat besar terhadap keluarga seorang yang 

dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk 

mengetahui lebih banyak tentang rsi -rsi  itu. Tapi ia tak 

jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan 

tugasnya lagi. 

“Gelar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang 

luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang 

penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik 

kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat 

mengetahui kau pernah jadi prajurit.” 

“Betul, Paman. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal 

Tuban,” Gelar mengakui. “lalu  sebentar jadi Prajurit 

Demak.” 

“Demak?” 

“Betul.” 

“Kau mondar-mandir tidak karuan.” 

Gelar tertawa, lalu  meneruskan: “Aku rasa, tinggal 

bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk 

emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada 

Tuban dan Demak? Sampai sekarang aku tak tahu.” 

Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir 

pada dua daerah yang saling bermusuhan.” 

‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang 

lain.” 

“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? Demak 

Islam, Tuban setengah Warn.” 

“Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk 

pembebasan Malaka, apalagi sesudah  ternyata Senapatiku 

dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat 

hanya dengan jung!” 

Sekali Pada melihat semangat si Wirangmandala  di dalam 

kata-katanya. Dan ia membiarkan Gelar meneruskan kata-

katanya. 

Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di 

Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan 

menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku?” 

Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di 

belakang Gelar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah 

itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu 

tajam ke jurusan lain. 

“Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak 

mau menerangkan.” 

“Tahu apa aku tentang itu? 

Yang kuketahui selama mi kau anak Senapati dengan 

tengkorak . Mengapa justru bertanya padaku 

“Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup 

baikkah Wirangmandala  dan tengkorak  jadi orang tuamu?’ Aku 

tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku 

matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku 

tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang rsi -

pembicara, ia lupa namanya… ia mengulangi kutipan itu 

hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin 

bimbang” 

“Apa katanya?” 

“Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah 

meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. 

Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang 

dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.” 

“Itulah rsi -pembicara dungu.” Pada terangsang. 

“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak 

atau ibunya.” 

“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’ 

Pada terkejut, namun  pura-pura tak memperhatikan. Tak 

pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang rsi -

pembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk 

mematahkan pengaruh rsi -pembicara bukan golongan 

sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrak-

abrik pengaruh itu. 

“Gelar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran 

bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada 

dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. 

Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita 

teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai ‘Raja adil 

raja disembah, raja lalim raja disanggah’”. 

“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang 

kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan 

perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti 

pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan 

karunia?” 

Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir 

Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: “Gelar, cobalah 

singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir, 

bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti 

halnya sekarang? Bukankah itu karunia?” 

Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu 

tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan 

Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para 

rsi -pembicara yang telah berakar di dalam keluarga 

Wirangmandala . 

Akhirnya mereka terdiam kebosanan. 

Tapi Gelar tak urung mengulangi pertanyaannya: 

‘Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak 

Senapatiku?” 

“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan 

perjalanan seorang diri, Gelar. Tentang itu, datanglah pada 

emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup 

dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui. 

Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah, 

terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada 

emakmu, dan berbaktilah lebih baik.” 

Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, namun  bocah itu 

tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada. 

Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya, 

lalu  ia berjalan kaki keluar dari hutan. 

Begitu lepas dari cengkemayat n hutan ia berhadapan 

dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke 

atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh 

wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah 

tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia 

masuk ke dalam. 

Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang 

Demak telah memasuki rumah ini. 

Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan. 

0odwo0 

 

35. Lao Sam – Pajajaran -Sunda Kelapa 

Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada 

untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi 

gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerah-

daerah pertempuran ia memasuki Lao Sam dari sebelah 

selatan. 

Belum lagi memasuki daerah perkampungan Lao Sam ia 

telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena 

dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, membantingnya ke 

tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeong-

geonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan 

bawaannya terlempar entah di mana. 

Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu 

mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan 

tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah 

dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah. 

Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang 

Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih 

tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah 

jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan. 

Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang 

bertanya: “Tuban apa Demak?” 

Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab 

tabah: “Dua-duanya tidak.” 

“Bukankah kau Pribumi?” 

“Betul,” Pada telah merasai kesakitan pada bagian-

bagian badan yang tersekat oleh tali. 

“Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao 

Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi. 

“Tahu, tahu betul.” 

“Mengapa berani-berani masuk kemari?” 

“Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.” 

Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di 

kepalanya turun, membikin kakinya jadi semutan. Mereka 

mengancamnya dengan senjatanya, 

“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.” 

“Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han.” 

“Ha! Siapa kau ini?” 

Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak 

kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.” 

“Tidak kenal.” 

“Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini.” 

Dan benar, mereka memang pendatang baru. sesudah  

Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa 

didatangkan ke Lao Sam dari bandar-bandar lain, terutama 

dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang-

Demak dan Ceng He-Majapahit Dua macam perjanjian 

yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu 

mereka rasai sedang terancam sesudah  Demak berada dalam 

kekuasaan Trenggono. 

Mereka tidak mengenal Pada. 

namun  mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo 

Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya 

di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah 

kota Lao Sam. 

Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah 

dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di 

atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah 

seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada 

pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam 

bahasa Tionghoa. 

Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu 

membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya. 

Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka 

nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak 

menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk, 

dan mereka pergi menghindar. 

“Ah, sahabat Pada Mohammad Firman,” tegur tuan 

rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan 

menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. 

“Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.” 

Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada 

perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih 

terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang. 

“Nampaknya sahabat punya perhatian pada mereka. 

Atau suka barangkali?” 

Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la 

menggeleng. 

“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lain-

lain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk 

diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak. 

Tapi kalau sahabat menghendaki. ..” 

Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar 

Pinjung dan Nyi Ayu Campa. 

“Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli 

mereka?” 

“Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.”  

“Perwira mana? Demak atau Tuban?”  

“Tuban.” 

“Masyaallah,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu 

mereka selir-selir Sang Adipati? Bukankah yang seorang itu 

Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?” 

“Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri 

yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut” 

Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar 

dari mulutnya: “Aku datang dari Malaka…’  

“Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah 

Liem.” 

“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan 

Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri? 

Dan pasukan Demak?”  

“Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng. 

“Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan 

Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. 

Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan 

Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”  

“Biar aku mencari Babah Liem’ 

“Koh… Gouw Eng Cu sudah berkali-kali 

memberitahukan pada Liem Mo Han agar jangan 

menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah 

sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw 

Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka?”  

‘Tidak.” 

“Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang 

dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk. 

Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa 

dihindari. Perang, sahabat.”  

“Dibunuh?”  

“Ya.” 

Mereka terdiam. lalu  Coa Mie An meneruskan: 

“sebab  Babah Liem toh sudah menyampaikan pada 

sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada 

Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.” 

Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat 

penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak 

mengirimkan seorang pun ke Malaka.” 

“Biar aku temui Babah Liem sendiri.” 

“Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah 

dilayani wanita-wanita tadi?” 

‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.” 

“Lebih baik sampaikan saja padaku, sebab  akulah 

sekarang penggantinya.” 

‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.” 

“Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa 

sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah 

tiada.” 

“Mati?” 

“Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan 

Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai 

ajalnya.” 

Pada menyebut. 

“Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka 

bersorak-sorak hendak juga menumpas Wirangmandala  dan 

seluruh keturunannya. Juga namamu disebut-sebut. Kalian 

dianggap bersekongkol melawan Demak.” 

Pada minta diri. 

“Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan. 

Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanak-

keluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang 

tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….” 

Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan 

terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu 

juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia 

terpaksa balik ke Awis Krambil untuk membawakan berita 

ancaman itu. 

Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis 

Krambil. Ia terpaksa menemui lagi tengkorak  dan menceritakan 

segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih 

ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten Bojonegara. Di 

sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan 

ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan 

pada kebesaran Tuhannya ia tak merasa merana lagi sebab  

cintanya. Sebaliknya Gelarlah yang memberinya kesulitan. 

Ia selalu mengajak berdebat dan tengkorak  mendengarkan 

dengan diam-diam. Ia tahu tengkorak  takkan berpihak padanya. 

Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu 

kesimpulan. Gelar membenci apa saja yang berbau raja. 

Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman. 

Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat 

diatur tanpa ada seorang raja? 

Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak 

memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai 

dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi 

untuk melakukan tugasnya. 

Sekali lagi Gelar mengantarkan sampai ke perbatasan 

Tuban. Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: “Apa 

jawaban emakmu?” 

“Tentang apa, paman?” 

“Anak Senapatiku kau ini atau bukan?” 

Ternyata Gelar belum juga mendapat jawaban. Dan 

mereka berpisahan. 

Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya 

hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya 

pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang 

tergantung sebilah pedang. 

Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan, 

dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman. 

Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan 

sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu 

sangat berat. Lebih-lebih lagi sebab  ia tahu balatentara 

Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di 

luar kekuasaan Demak. 

sesudah  sampai waktu harus membelok ke utara, ia 

berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan 

bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di 

Jepara. 

Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan 

perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan 

cambangnya melebat pada mukanya. 

Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu 

Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala Cuwil. 

Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo 

rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang 

menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari 

yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan 

meneruskan perjalanan ke Malaka. 

Matari sudah mulai condong dan badannya sudah 

sesiang tadi mandi keringat. 

Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin, 

berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau 

bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa, 

Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa 

kau ini. Paman?” 

“Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati 

Wirangmandala , datang untuk menghadap Gusti Ratu.” 

“Wirangmandala ,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal 

nama itu!” Dengan kekanak-kanakan dan kemayat han 

Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku 

sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan 

pada Nenenda Ratu.” 

Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada 

menghela nafas lega. 

Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu. 

Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan 

pundi-pundi. 

“Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,” 

katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk 

Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini,” ia 

menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu 

mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buru-

buru saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang, 

lalu  jalan darat sampai Banten baru lalu  

menyeberang. Begitu pesan nenenda.” 

Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya 

pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat 

tanpa harga 

Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang 

jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul 

bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan 

pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang. 

Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke 

Semarang lalu  berjalan darat memasuki pedalaman. 

Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan 

dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus 

mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan 

demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran. 

la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten sesudah  

tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar 

Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara-

Demak melakukan garis pengepungan terhadap Selat 

Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau 

tidak. 

Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam 

rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia 

berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap 

cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya 

akan lebih buruk dibandingkan  Demak yang Islam atau Tuban 

yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk. 

Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati 

mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat. 

Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah 

lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu 

Aisah. 

Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan 

haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah. 

namun  ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada 

punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada 

Tuhannya juga ia serahkan putusannya. 

Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas 

bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak 

keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih 

yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi 

dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, 

malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar 

beberapa kali, lebih dari dua depa panjang. 

Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik 

bergambar kupu-tarung. 

“Lambang Jepara Adipati Unus almarhum!” pikirnya. 

Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar 

dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, 

katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah 

tilam alma