nusantara awal abad 16 25
gap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan
kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi
lawan untuk memasukkan serangan. Gelar tetap menolak
tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, namun
keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap
dirinya.
Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan
itu menghentikan latihannya, mendengus: “Kepala kerbau!”
“Apa?”
“Lepaskan cara lama. Salah semua.”
“Senapatiku lebih tahu dibandingkan kau. Dia rsi ku.”
“Senapati tak pernah dididik jadi prajurit”
“Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya.
“Kalau terus membantah, kau takkan jadi prajurit yang
baik.”
“Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit?”
“Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit?”
“Peduli apa?”
“Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel.
“Siapa lagi?”
“Senapati Wirangmandala ? Bukan!” prajurit pelatih itu
menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang Senapati itu
bapakmu?”
“Semua orang.”
“Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.”
Dan Gelar merasa kehormatan keluarganya telah
dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan.
Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi
penduduk Awis Krambil selebihnya.
Prajurit itu tertawa dan Gelar semakin tersinggung.
“Memang Nyi Gede pernah melahirkan kau. Nyi Gede
yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak
pernah! Coba katakan, apakah Wirangmandala pernah
mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!”
Melihat Gelar mulai mengukuhkan pegangan pada
tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia
pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang
sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan
melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.
“Jangan mencoba-coba rsi mu, pelatihmu,” kata
prajurit itu. “Kalau bukan sebab menghormati Sang
Senapati dan Nyi Gede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan
tombak itu!”
Cuping hidung bengkung Gelar sudah kembang-kempis
sebagai halnya tengkorak bila marah.
“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu
Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.”
namun Gelar sudah tak mendengar lagi. Darah yang
telah menyesaki kepalanya membikin ia menjadi kalap dan
menyerang dengan tombaknya.
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu
mengelakkan semua serangan. Ia tahu, Gelar bersungguh-
sungguh hendak membinasakannya. Ia bersungguh-
sungguh bertahan.
Perkelahian dengan tombak adalah perebutan
kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh
lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi
justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada
lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Dua-
duanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak
pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang
perkelahiannya menyerupai permainan sodor.
Gelar terus menyerang dan pelatih terus bertahan.
Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan
tangkisan silang. Tombak Gelar terlepas dari tangan tanpa
ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tombakmu!” perintah
pelatih.
Gelar melompat memungut senjatanya dengan mata tak
lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya
terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat
melemparkan tombaknya. Prajurit itu mengelak lebih cepat
dan menangkap tangkainya, lalu melemparkannya
kembali pada Gelar dan jatuh menancap di antara dua kaki.
“Ambil tombakmu,” perintahnya lagi.
Tanpa diketahui oleh Gelar, orang sudah datang
merubung. Dan Gelar mulai melakukan serangan jarak
pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya
seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk
dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari
tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari,
melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju.
Seorang kepala regu bergumam: “Bukan orang, iblis
kelaparan itu,” lalu memerintahkan: “Selesai!
Bubar!”
Bersamaan dengan itu satu pukulan telah membikin jari-
jari Gelar tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh
ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh
lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa
akan memecahkan dadanya.
“Pulang!” perintah kepala regu.
Semua bubar. Gelar berjalan paling belakang. Begitu ia
memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang
berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya
bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan.
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya
dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya
mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri
sebab tak bisa membinasakan pelatih itu. Dan ia ingin
dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan
habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka
lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak
mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya
sebab tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh
bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia
akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan
gigi sebab amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam
hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut
perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang
kekalahannya yang begitu mudah.
“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!”
seseorang melengking ria.
“Kalau bantal sudah tertutup mata….”
“Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….”
Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak
takut pada siapa pun. Ingin – ingin – tapi seluruh tubuhnya
menolak melakukan keinginannya.
“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung?
Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang….”
“Mana Gelar, anakku?” Gelar mendengar suara wanita –
suara lembut memanggil-manggil.
“Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.”
Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya.
lalu terdengar lagi suaranya: “Gelar, anakku,
bangun.”
“Gelar! Bangun, kau!” kepala regu memerintah.
Gelar menghela nafas panjang untuk mendamaikan
perasaannya, bangun dan menemui wanita itu.
“Aduh, kau sudah besar begini, Gelar, sudah perjaka.”
Dan Gelar berhadapan dengan seorang wanita bermata
agak sipit.
“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang.
Gelar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu.
“Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau
padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang
paling mula, waktu kau dilahirkan?”
“Nyi Gede,” bisik Gelar, lupa pada perasaannya yang
kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan
menyembah.
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada
kepalanya.
“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut
mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat
dia. Kau pun tak kelihatan. Gelar. Mengapa pakaianmu
begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah?
Keterlaluan tengkorak . Datanglah ke kesyahbandaran, Gelar.”
“Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang
luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan
asmayat tanpa titah Gusti Adipati, kecuali kalau sedang
latihan.”
“Tapi prajurit pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi
Gede.
“Ya, yang ini tidak.”
“Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan
sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang
ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. Gelar?”
“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding
pada bungkusan pakaian.
“Emakmu memang keterlaluan.”
“Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi Gede.”
“Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati,
pakaian, pedang dan empat bilah tombak. Nanti aku
bawakan.”
“Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera,
tak boleh punya senjata sendiri.”
“Sandera!” pekik Nyi Gede Kati. “Siapa bilang dia
sandera? Tidak mungkin!”
“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat
diragukan.”
“Apa kesalahan Wirangmandala Sang Senapati?”
Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya
sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang
dilepas tak menepati tugas.
“Gelar! Gelar!” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang
menyebabkan semua ini?”
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada
sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, Gelar.
Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia
mendehem. ‘Tinggallah tenang-tenang di sini.”
Ia bersiap-siap, lalu pergi bercepat-cepat.
Tepat sebulan selama di dalam asmayat datanglah
beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti.
Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para
pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan
perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah
pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala
makara. namun semua kelengkapan itu harus dibawa pulang
kembali sebab tidak diperkenankan. Beberapa lembar
lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung
jumbai adalah suara dari ibunya: “Gelar, anakku. Kau
harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk
menjamin kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka
jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu
sendiri baik-baik, Gelar, jagalah keselamatanmu. Kau
sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk
dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu.
Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau
pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat
melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki
asmayat , kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa.
Maka itu aku meminta padamu, Gelar untuk mengerti satu
hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih
mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali,
di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan
jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi
sumpahku, Gelar.”
Dan Gelar mengerti benar apa yang tersirat di dalam
lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam
hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan
emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia
berusaha mendapatkannya dari tamu-tamunya.
“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala
regunya. “Jangan menulis.”
“Sampaikan sembah sujudku pada emakku yang mulia,”
katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal,
“telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia
persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali
mengucapkan terimakasih.
Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang
belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu
mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang
mayat i-mayat i membaca lontarnya.
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal,
bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut
memeriahkannya.
Gelar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orang-
orang ini memperlakukan aku seperti itu hanya sebab aku
sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia
tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara
ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di
mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu
kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas
bukan emaknya.
Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri.
Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa.
Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar
lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan
pada dirimu. Gelar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil-
panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain-
mainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi
mempunyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan
Senapatiku Wirangmandala belum berbuat apa-apa dalam
hidupnya, seakan-akan tengkorak tak pernah mencapai sesuatu
pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain
dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang
tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga
diri. Itu di desa-desa, Gelar, di kota rupanya orang sudah
tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai
tentang mayat arwah dan rsi -rsi lainnya. Cerita-cerita
itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain
yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati
Wirangmandala adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak
ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia
sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya,
maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih
berharga untuk emakmu dibandingkan seribu pengejekdan
penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si
penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur
hidupnya. Tapi kau, Gelar, anakku, akan tumbuh lebih
berharga dibandingkan mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak
perlu membalas surat emak ini, sebab aku tahu kau tak
diperkenankan. Walau demikian tengkorak tidak bicara pada si
gagu-bisu, tanpa surat pun Gelar mengerti perasaan
emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di
sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan
malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk
dirimu sendiri.”
Gelar tak membalas surat itu. Ia sengaja tak memayat hi
para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai
mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di
dalam asmayat yang suka membuang-buang waktu
melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang
lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang
merasa berterima kasih kadang pun merasa malu sebab
perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari
orang itu.
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang:
“Ayoh, barangsiapa mau merampas surat ini, ayoh sini!”
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia
tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini.
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia
membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak
sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan
pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang
mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi
taufan amarah dari tengkorak sendiri. Juga kepala regu itu
menunduk dalam.
0o-dw-o0
Sesampainya di rumah Nyi Gede Kati dengan tak
sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan
begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia
menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu
kejam sejak semula dibandingkan Tuan. Keji! Bahkan pada
anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka
kau mau binasakan dia sebagai sandera,”
“Ada apa kau ini, Kati?” Tholib Sungkar terheran-heran
tak tahu sesuatu apa.
“Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang
Adipati hanya kau!”
Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan
bukan tuan. “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung.
“Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin Gelar, anakmu
sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi Gede.
“Dari rumah utama ini, ke rumah tengkorak sana, dan
lahirlah Gelar. tengkorak sendiri yang berkata. Seluruh Tuban
tahu ceritanya, semua tahu, siapa Gelar, kecuali Gelar
sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”
“Apa kau ini, Kati?”
“Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda
sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengambil tongkat dan
berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan
ancaman hendak menyerangnya.
“Betapa kau hinakan tengkorak . Kau paksa dia
mengandungkan anakmu selama sembilan bulan….”
“Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah
Almasawa. Kau kira siapa tengkorak dibandingkan dengan
bidadari-bidadari lainnya?”
“Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan
menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu
kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil
tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”
“Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?”
“Dengarkan kata tengkorak ? Kaulah pula yang mengirimkan
Wirangmandala ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh.”
“Kati!”
“Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke Malaka
dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas Gelar
dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan
dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas
dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan
menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua
itu tidak benar!”
“Tak satu pun benar,” Tholib Sungkar menjawab tegas.
“Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh
kau di depan umum,” Nyi Gede Kati menangkap tangan
suaminya dan mulai menyeretnya.
“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu
menyeretnya terus.
“Aku pukul kau,” Tholib Sungkar Az-Zubaid,
Syahbandar Tuban itu melawan tarikan dan
mengamangkan tongkat.
Nyi Gede Kati mendadak melepaskan seretannya dan
Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat
mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan
suaminya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari
tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan
diri.
“Hancur jari-jari ini,” pekik Syahbandar,
“Biar remuk!”
“Aku tak bisa menulis lagi nanti,” pekiknya.
Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang
dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, tapi
segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan
pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja
mencabuti rumput.
“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap Gusti
Adipati.”
“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi Gede.”
“Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah,
mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada
Wirangmandala , maka kau carikan kuburan baginya di dalam
jung. Kau kalah perbawa dari tengkorak , maka kau rampas
anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus,
bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu
tatasusila!”
Nyi Gede Kati melepaskan akan injakannya dan
menyepak kepala suaminya.
Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan.
Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau
tongkat dan mencoba mengaitnya.
“Pelindung kepala mulia!” Nyi Gede menyepak topi itu
dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.
“Dua kali kau aniaya aku. Nyi Gede.”
“Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau
menghadap sekarang juga.”
Tholib Sungkar melompat berdiri dan menubruk istrinya.
“Jangan, jangan, Gusti Adipati sedang gering.”
”Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi.”
“Jangan, Gusti Patih sedang ke Malaka.”
“Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada
semua orang,” ancam Nyi Gede.
“Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku
akan penuhi, Nyi Gede.”
“Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!”
“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar Gelar bebas
dari sandera. Biar dia lalu kembali ke desa dan
berkumpul dengan emak dan adiknya.”
“Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang
berkuasa. Kau sendiri tahu.”
“Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia
sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau
tahu apa bakal terjadi atas dirimu.”
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu
tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid
terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya
yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di
malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga
kunjung berlabuh.
Dan Nyi Gede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya
selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya
satu coretan setiap hari.
Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk
mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang
nasib Gelar.
Nyi Gede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu
coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada
maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai
Sang Adipati dalam dongengan….
0o-dw-o0
Memasuki bulan ke tiga Gelar dianggap lulus dalam naik
kuda dan mempergunakan tombak di atas tanah.ua
pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan
mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung
kuda dan mempergunakan cambuk perang.
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang
sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan
terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera
dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam
diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan
menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang
lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih
rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar
Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada
sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan
senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia
masih bayi.
“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai
sandera?”
Darah Gelar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan
sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan
Syahbandar, bahwa emaknya tidak mempunyai kesetiaan
pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh.
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu:
Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada
suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya
yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta
Sang Adipati. Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar!
Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.
Gelar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, pura-
pura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari
terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari
kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang
di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. lalu
sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang
kuda.
“Sultan! Sultan!” bisiknya memanggil-manggil.
Binatang yang dipanggilnya bangun berdiri dan
meringkik pelahan.
Gelar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang
pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya
keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk
leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. Sultan, jangan
gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam
ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa
sanggurdi.
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai
berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang,
memasuki padang alang-alang. sesudah jauh dari daerah
perumahan Gelar memacunya ke jurusan jalanan negeri
Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan
berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada
berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di
angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah
berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak
hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang
mengepul di belakang.
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan.
Gelar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya
dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang
di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang
adalah maut dan penindasan.
Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya,
biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak.
0odw-o0
33. Demak Mulai Bergerak
Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan
Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota
Malaka, dan Portugis terpaksa membatasi ruang geraknya
di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang.
Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang
kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan
jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara
Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan
tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga
itu tak punya pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan:
juga Blora akan segera jatuh.
Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di
atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan
diri, di seret terus ke timur untuk jadi serdadu tambahan.
Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari
kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda
dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar
renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan
dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan
terdepan pasukan kuda Demak memasuki semua perangkap
dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada
pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati
bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup.
Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh
harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh
jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak
balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan
aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk lalu
bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak
mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya,
menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena
bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung
yang dilewati.
Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah
dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur.
Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya
dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah
terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang
pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat
sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga
Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan
sendiri turun ke medan.
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan,
armada Jepara Demak, armada terbesar sesudah jatuhnya
Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh
Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar
Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran
yang sama: ke jurusan Banten.
Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap
bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk
menghadap Peranggi.
Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke
jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati
tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga.
Mengapa armada yang ditimang-timang Adipati Unus itu
tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya
dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke
Banten dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan
memang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke
Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga.
Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama
sekali.
Gerak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir
Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa
pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu
pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada
menurunkan pasukan bantuan, lalu mengangkat sauh
dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukan-
pasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam
pertempuran.
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda.
Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki bandar Banten
sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. Banten
pun melepaskan cetbangnya, namun pasukan-nya telah
banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran
cetbang yang berjalan selama setengah hari telah
menghabiskan peluru Banten.
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan
pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana,
ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga
Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi
sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan
dari belakang.
Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya
Pada hari ketiga sesudah pendaratannya kekuatan Demak
memasuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah
dalam jumlah dan persiapan. Dan sesudah seminggu
bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam
kekuasaan Demak.
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orang-
orang Demak jadi pemegang kekuasaan di Banten. Dengan
keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan
penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan
datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya
melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir
barat dan utara Banten.
Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah
telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak,
seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak
harus jadi modal.
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih
kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa
untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah
ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu.
Semua pandai besi dikerahkan untuk membikin peralatan
perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya
akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin.
Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa.
Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan
kedudukan Gresik sebagai bandar terbesar di Jawa. namun
Banten sendiri tidak mempunyai armada dagang ataupun
militer, sebab percaya kegiatan perdagangan takkan
menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu
selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain.
Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini
telah diperhitungkan oleh Fathillah
Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan
bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan
memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk
bandar Banten sendiri membantu dan menyokongnya.
Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampung-
kampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah
penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara
dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan
takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara
Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu
takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun!
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh
orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara
beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan
pengetahuannya tentang agama Islam dalam waktu hanya
beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan
melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di
mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama
setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan
majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan
agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya
membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan
oleh Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan
Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah.
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman.
Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk
menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi
dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan
senjata, namun kekuatan besar Demak yang membeludak itu
tiada terlawan. lalu mereka melawan dengan kata-
kata – makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun
tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan
daerah hidup baru tanpa Fathillah.
Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan
Demak sampai pada Wirangmandala dua bulan lalu :
“Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke
suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana
kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menari-
nari dengan Peranggi di atas pundak si Wirangmandala , anak
desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo
Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini
sekarang menjadi lola di negeri orang ”
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang
terjadi telah melawan cita-cita mayat arwah , bertentangan
dengan Adipati Unus.
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan
Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa,
justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali.
Ia pulang ke markasnya. Dan Pada telah menunggunya,
juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu
teguran. Wirangmandala tak menegurnya.
Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu
pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati
bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi
pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi,
dapat digarap jadi daerah pertanian tetap.
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan
jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui.
‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau
kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. sesudah Sultan
Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh
Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik,
dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.”
Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh
yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada
Trenggono.
“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga
penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi
perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaik-
baiknya.”
Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat
kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka
menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya
penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri
“Sedang kita ada di sini’ mereka mengeluh.
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang
Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata
betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk
melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi.
‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin
kesatuan, “telah mengubah kedudukan kita menjadi badut
yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui
Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan
sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan
kepergian kesatuan Aceh.”
“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda
Sultan dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan
kesatuan Aceh menyampaikan, “bebasnya Malaka dari
Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam.”
“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan
Bugis memberikan jaminan. “Jatuhnya Malaka juga jadi
urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke
utara akan kembali terbuka.”
Dua minggu sesudah itu kesatuan Aceh minta diri untuk
kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk
mengirimkan Pada pulang ke Jawa.
“Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan
kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem
Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa
menghadap Gusti Ratu Aisah.”
Dan dengan demikian berangkatlah Pada.
sesudah pertahanan Rembang patah dan medan
pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara
Demak memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang
dapat dan ditemuinya.
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman.
Balatentara pemenang itu lalu membelok ke
selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan
militer Pesantenan Blora.
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya
balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan
melarikan diri ke selatan.
Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono
sendiri, menang untuk ketiga kalinya.
Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten
dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa!
Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara
yang bertemu di Blora, dengan membawa serdadu baru dari
tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke
timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara.
Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah
menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara
Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang
dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah
di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat
menembus pasukan gajah.
Telah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di
mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya.
Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang
itu. Dan perhitungannya tidak keliru.
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda
Demak yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami
itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip
kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke
pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri,
bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas
punggung.
Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tombak mereka
yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar
siap untuk melayang. namun mereka tak pernah berlatih
menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu
menyulitkan pembidikan.
Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah
berlayangan bebas menuju ke sasaran.
Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat
gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di
hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukan-
tubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di
belakangnya langsung membelok menghindari tanah
lapang.
“Lindungi Sultan!” seseorang berseru.
Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala
Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan
kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang
bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap
Sultan!” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui
ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di
medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami
banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum
pasukan kaki Tuban dikerahkan memburu. Bagi Trenggono
sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk
gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa
Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas
Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan
ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan
Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas
namanya. Dan Islam, menurut Fathillah yang lalu
juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari
Peranggi.
Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang
peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan
Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris
syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan
sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak.
Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban membikin
ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke
utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian
kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki
pasukan gajah.
namun Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu.
Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia
pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota.
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan
untuk menyibuki pasukan kuda Demak.
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi
terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa
kerusakan pada kedua belah pihak.
Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara
menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam, lalu
mengancam perbatasan timur Tuban.
Meriam Portugis di tangan Tuban menyambut
kedatangan mereka.
Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu
sehingga gerakannya terhenti sama sekali. lalu
mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada
tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan.
Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan
pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.
Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan
pasukan gajah. Dan Demak meliuk kembali ke utara. Sekali
ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan
meninggalkan pasukan gajah.
Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga
dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu
punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap
dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya.
Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh
musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.
Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak
ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah
Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi
tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan
kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga
pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di
tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi
memberikan perintah untuk siaga.
Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil membendung
desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di
Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa
perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk
mempertahankan kadipaten dan kota.
Dengan gopoh-gopoh Braja memasuki kadipaten untuk
mempersiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang
perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk
untuk mengungsi.
Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja
dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di
tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu
lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk.
Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk
mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia menyembah, menarik
tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. namun
tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu.
Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan.
Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu.
“Braja!” panggil Sang Adipati.
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah.
“Ampun Gustiku, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”
‘Trenggono berkhianat”
“Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. Gusti.”
“Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak?”
“Sorak-sorai Demak, Gusti.”
“Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara
semakin lama semakin pelahan, lalu tak terdengar
lagi.
“Gusti, sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang
Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi.
Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah
menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih
seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan
jatuh di samping kepala. Ia ambil destar itu, ia tutupkan
pada wajah jenasah itu. lalu ia lari keluar dan
berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi!
Gusti Adipati Tuban jangan ditunggu. Gusti telah
mangkat.”
Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang
berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu
itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi Gede Daludarmi,
ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke
mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara
Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua
barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit
kebingungan.
“Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari
sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.”
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa
sekarang ia kawal? Jenasah Sang Adipati? Harta-benda
kadipaten? Ia lari masuk ke dalam asmayat , memanggil
semua anakbuahnya, lalu memerintahkan semua
bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang
Wirabumi.
“Gila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.”
“Apa yang dipertahankan? Sang Adipati telah mangkat.”
Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam.
Mangkat? Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus
dipertahankan?
Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara
Demak – tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli!
Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari
kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan
langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para
pengawal.
‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya,
“Sultan Trenggono Demak datang!”
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri
Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya.
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu
datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri
dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke
belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda
masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan.
“Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini”
perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten,
Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.
“Peraduan Adipati Tuban,” seorang perwira
mempersembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing Tuban!”
pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang
bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada
Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya.
Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya.
“Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya
destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban.
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat
Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali
kerisnya dan bergumam, “Sayang. Tak kau saksikan
bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan
bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang
kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobek-
sobek oleh pasukan kuda Demak!” Ia berbalik lagi dan
melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas
di kadipaten.
Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil
masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat.
Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa
terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan
pertempuran dibandingkan menderita kan malu telah kalah
tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan
kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela
kalah sebelum bertempur
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa
memberitahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan
kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota
yang telah jatuh ke tangan musuhnya.
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan
yang telah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan
Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya
kemungkinan itu
Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara
Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan
menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang
bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan
cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban
menyambar-nyambar seperti elang
Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat
dengan meninggalkan jarahannya
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan
terjadi. Prajurit pengawal membangunkannya dengan kasar
dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan.
“Bedebah!” pekik Trenggono
“Mereka menyerang, kembali. Gusti”
“Siapa menyerang, bedebah? Adipati Tuban sudah
mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya
mencari pedangnya, namun senjata itu belum lagi padanya.
Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua.
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng
Wareng mengrsi h dan segala penjuru.
Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya.
“Ke sini. Gusti,” seorang prajurit.
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan
pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya
serasa hendak meledak sebab murka, merasa dihina dan
dipermain-mainkan.
Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng
bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia
segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati.
lalu dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali,
meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong.
Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh
Wirangmandala . Dengan berita masuknya Demak ke negeri
kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus
mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat.
Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak
berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa
Tuban mengirimkan armada jung? Di mana kapal-
kapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan
mengapa meriamnya ditahannya sendiri? la belum dapat
memutuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan
dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi,
dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak
menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban
mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban
mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu,
sekarang pun masih tetap ragu-ragu.
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya.
Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada mempunyai pusat
pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil membatasi
ruang-gerak musuhnya. namun apakah artinya semua itu
bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak
mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi?
Dan beban tambahan yang tak kurang memberati
pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari
prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi
petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas
mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan
Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan
cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang
subur menghidupi itu.
Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil
memerintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk
mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya
mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak
mempunyai perhatian terhadap pembebasan negerinya
sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi
Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri.
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini?
Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadang-
kadang ia menyesali diri bodoh hanya sebab berasal dari
desa. lalu ia bantah kembali: apa kurangnya
Trenggono? Dia Sultan memiliki segala-segalanya, namun
dungu!
Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya
mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang
untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan
pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih
menghadapinya.
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata
tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan
bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan
pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan
luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis
sendiri? Para telik tidak tahu. Wirangmandala pun tidak.
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi,
malah makin lama makin kendor kehabisan gairah,
mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan
pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana
lama untuk menguasai sumber lada dari selatan.
Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lama,
Fathillah, telah membikin kering arus lada. Harganya di
benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali
lipat itu pun masih sulit didapatkan. Portugis telah memberi
penntah pada Goa, Goa pada Malaka agar segera mengisi
pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya.
Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan
armada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa
yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi
kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki
bandar.
Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya
untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di
daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada
Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan
hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada.
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama
saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade.
Wirangmandala tidak tahu sama sekali tentang apa yang
terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin
menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Kedua-
duanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran,
dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah
kekuatan manusia? Prajurit setempat tidak ada. Kampung-
kampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan
penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada
pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak
mempunyai kepentingan dengan penghalauan terhadap
Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung
merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu
lalu dibenci oleh orang-orang sekampungnya.
Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil
itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebutuhan asmara
dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang
yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita
Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin
banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara
Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot
juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di
negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan
penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam
soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi
pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu
seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung,
seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah
perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil
menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke
kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu
pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia
menjadi petani atau nelayan saja.
Wirangmandala tahu ia tak punya kemampuan untuk
membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar
sebab Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh
ke tangannya.
Pada meninggalkan Banda Aceh Darusalam
menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa
mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu
Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu Gresik ia
menuju ke Tuban.
Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan.
Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun
sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar.
Warung Yakub terkunci dari dalam.
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia
mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara
Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap
punggawa Sang Adipati sebab dosa-dosa lama lenyap,
digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia
rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut
juga yang menganga.
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke
Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing,
yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh
penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga
Pecinan mengangakan mulut maut.
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepat-
cepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri,
menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun.
Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada
apa-apanya?
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu
itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di
situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya
manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di
perrsi an dan pesantren, dan rsi -rsi , dari dongengan
dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan
orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang
lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari
tak bisa membela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersorak-
sorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan
dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau
anjangsana tapi untuk membunuh dan hanya membunuh.
Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan
yang lain.
Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam
tengkurapnya pada Tuhannya, memohon perlindungan atas
dirinya untuk seka