nusantara awal abad 16 25

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 25


 


gap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan 

kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi 

lawan untuk memasukkan serangan. Gelar tetap menolak 

tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, namun  

keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap 

dirinya. 

Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan 

itu menghentikan latihannya, mendengus: “Kepala kerbau!” 

“Apa?” 

“Lepaskan cara lama. Salah semua.” 

“Senapatiku lebih tahu dibandingkan  kau. Dia rsi ku.” 

“Senapati tak pernah dididik jadi prajurit” 

“Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya. 

“Kalau terus membantah, kau takkan jadi prajurit yang 

baik.” 

“Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit?” 

“Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit?” 

“Peduli apa?” 

“Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel. 

“Siapa lagi?” 

“Senapati Wirangmandala ? Bukan!” prajurit pelatih itu 

menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang Senapati itu 

bapakmu?” 

“Semua orang.” 

“Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.” 

Dan Gelar merasa kehormatan keluarganya telah 

dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. 

Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi 

penduduk Awis Krambil selebihnya. 

Prajurit itu tertawa dan Gelar semakin tersinggung. 

“Memang Nyi Gede pernah melahirkan kau. Nyi Gede 

yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak 

pernah! Coba katakan, apakah Wirangmandala  pernah 

mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!” 

Melihat Gelar mulai mengukuhkan pegangan pada 

tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia 

pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang 

sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan 

melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya. 

“Jangan mencoba-coba rsi mu, pelatihmu,” kata 

prajurit itu. “Kalau bukan sebab  menghormati Sang 

Senapati dan Nyi Gede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan 

tombak itu!” 

Cuping hidung bengkung Gelar sudah kembang-kempis 

sebagai halnya tengkorak  bila marah. 

“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu 

Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.” 

namun  Gelar sudah tak mendengar lagi. Darah yang 

telah menyesaki kepalanya membikin ia menjadi kalap dan 

menyerang dengan tombaknya. 

Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu 

mengelakkan semua serangan. Ia tahu, Gelar bersungguh-

sungguh hendak membinasakannya. Ia bersungguh-

sungguh bertahan. 

Perkelahian dengan tombak adalah perebutan 

kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh 

lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi 

justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada 

lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Dua-

duanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak 

pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang 

perkelahiannya menyerupai permainan sodor. 

Gelar terus menyerang dan pelatih terus bertahan. 

Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan 

tangkisan silang. Tombak Gelar terlepas dari tangan tanpa 

ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tombakmu!” perintah 

pelatih. 

Gelar melompat memungut senjatanya dengan mata tak 

lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya 

terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat 

melemparkan tombaknya. Prajurit itu mengelak lebih cepat 

dan menangkap tangkainya, lalu  melemparkannya 

kembali pada Gelar dan jatuh menancap di antara dua kaki. 

“Ambil tombakmu,” perintahnya lagi. 

Tanpa diketahui oleh Gelar, orang sudah datang 

merubung. Dan Gelar mulai melakukan serangan jarak 

pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya 

seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk 

dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari 

tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari, 

melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju. 

Seorang kepala regu bergumam: “Bukan orang, iblis 

kelaparan itu,” lalu  memerintahkan: “Selesai! 

Bubar!” 

Bersamaan dengan itu satu pukulan telah membikin jari-

jari Gelar tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh 

ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh 

lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu. 

Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa 

akan memecahkan dadanya. 

“Pulang!” perintah kepala regu. 

Semua bubar. Gelar berjalan paling belakang. Begitu ia 

memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang 

berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya 

bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan. 

Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya 

dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya 

mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri 

sebab  tak bisa membinasakan pelatih itu. Dan ia ingin 

dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya. 

Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan 

habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka 

lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak 

mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya 

sebab  tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh 

bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia 

akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan 

gigi sebab  amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam 

hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut 

perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang 

kekalahannya yang begitu mudah. 

“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!” 

seseorang melengking ria. 

“Kalau bantal sudah tertutup mata….” 

“Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….” 

Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak 

takut pada siapa pun. Ingin – ingin – tapi seluruh tubuhnya 

menolak melakukan keinginannya. 

“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung? 

Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang….” 

“Mana Gelar, anakku?” Gelar mendengar suara wanita – 

suara lembut memanggil-manggil. 

“Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.” 

Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya. 

lalu  terdengar lagi suaranya: “Gelar, anakku, 

bangun.” 

“Gelar! Bangun, kau!” kepala regu memerintah. 

Gelar menghela nafas panjang untuk mendamaikan 

perasaannya, bangun dan menemui wanita itu. 

“Aduh, kau sudah besar begini, Gelar, sudah perjaka.” 

Dan Gelar berhadapan dengan seorang wanita bermata 

agak sipit. 

“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang. 

Gelar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu. 

“Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau 

padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang 

paling mula, waktu kau dilahirkan?” 

“Nyi Gede,” bisik Gelar, lupa pada perasaannya yang 

kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan 

menyembah. 

Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada 

kepalanya. 

“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut 

mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat 

dia. Kau pun tak kelihatan. Gelar. Mengapa pakaianmu 

begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah? 

Keterlaluan tengkorak . Datanglah ke kesyahbandaran, Gelar.” 

“Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang 

luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan 

asmayat  tanpa titah Gusti Adipati, kecuali kalau sedang 

latihan.” 

“Tapi prajurit pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi 

Gede. 

“Ya, yang ini tidak.” 

“Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan 

sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang 

ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. Gelar?” 

“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding 

pada bungkusan pakaian. 

“Emakmu memang keterlaluan.” 

“Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi Gede.” 

“Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati, 

pakaian, pedang dan empat bilah tombak. Nanti aku 

bawakan.” 

“Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera, 

tak boleh punya senjata sendiri.” 

“Sandera!” pekik Nyi Gede Kati. “Siapa bilang dia 

sandera? Tidak mungkin!” 

“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat 

diragukan.” 

“Apa kesalahan Wirangmandala  Sang Senapati?” 

Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya 

sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang 

dilepas tak menepati tugas. 

“Gelar! Gelar!” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang 

menyebabkan semua ini?” 

Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada 

sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, Gelar. 

Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia 

mendehem. ‘Tinggallah tenang-tenang di sini.” 

Ia bersiap-siap, lalu  pergi bercepat-cepat. 

Tepat sebulan selama di dalam asmayat  datanglah 

beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. 

Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para 

pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan 

perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah 

pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala 

makara. namun  semua kelengkapan itu harus dibawa pulang 

kembali sebab  tidak diperkenankan. Beberapa lembar 

lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung 

jumbai adalah suara dari ibunya: “Gelar, anakku. Kau 

harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk 

menjamin kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka 

jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu 

sendiri baik-baik, Gelar, jagalah keselamatanmu. Kau 

sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk 

dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu. 

Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau 

pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat 

melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki 

asmayat , kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa. 

Maka itu aku meminta padamu, Gelar untuk mengerti satu 

hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih 

mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali, 

di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan 

jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi 

sumpahku, Gelar.” 

Dan Gelar mengerti benar apa yang tersirat di dalam 

lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam 

hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan 

emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia 

berusaha mendapatkannya dari tamu-tamunya. 

“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala 

regunya. “Jangan menulis.” 

“Sampaikan sembah sujudku pada emakku yang mulia,” 

katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal, 

“telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia 

persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali 

mengucapkan terimakasih. 

Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang 

belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu 

mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang 

mayat i-mayat i membaca lontarnya. 

Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, 

bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut 

memeriahkannya. 

Gelar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orang-

orang ini memperlakukan aku seperti itu hanya sebab  aku 

sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh. 

Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia 

tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara 

ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di 

mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu 

kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas 

bukan emaknya. 

Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri. 

Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa. 

Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar 

lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan 

pada dirimu. Gelar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil-

panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain-

mainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi 

mempunyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan 

Senapatiku Wirangmandala  belum berbuat apa-apa dalam 

hidupnya, seakan-akan tengkorak  tak pernah mencapai sesuatu 

pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain 

dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang 

tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga 

diri. Itu di desa-desa, Gelar, di kota rupanya orang sudah 

tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai 

tentang mayat  arwah  dan rsi -rsi  lainnya. Cerita-cerita 

itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain 

yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati 

Wirangmandala  adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak 

ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia 

sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya, 

maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih 

berharga untuk emakmu dibandingkan  seribu pengejekdan 

penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si 

penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur 

hidupnya. Tapi kau, Gelar, anakku, akan tumbuh lebih 

berharga dibandingkan  mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak 

perlu membalas surat emak ini, sebab  aku tahu kau tak 

diperkenankan. Walau demikian tengkorak  tidak bicara pada si 

gagu-bisu, tanpa surat pun Gelar mengerti perasaan 

emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di 

sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan 

malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk 

dirimu sendiri.” 

Gelar tak membalas surat itu. Ia sengaja tak memayat hi 

para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai 

mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di 

dalam asmayat  yang suka membuang-buang waktu 

melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang 

lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang 

merasa berterima kasih kadang pun merasa malu sebab  

perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari 

orang itu. 

Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang: 

“Ayoh, barangsiapa mau merampas surat ini, ayoh sini!” 

Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia 

tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini. 

Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia 

membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak 

sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan 

pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang 

mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi 

taufan amarah dari tengkorak  sendiri. Juga kepala regu itu 

menunduk dalam. 

0o-dw-o0 

 

Sesampainya di rumah Nyi Gede Kati dengan tak 

sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan 

begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia 

menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu 

kejam sejak semula dibandingkan  Tuan. Keji! Bahkan pada 

anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka 

kau mau binasakan dia sebagai sandera,” 

“Ada apa kau ini, Kati?” Tholib Sungkar terheran-heran 

tak tahu sesuatu apa. 

“Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang 

Adipati hanya kau!” 

Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan 

bukan tuan.  “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung. 

“Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin Gelar, anakmu 

sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi Gede. 

“Dari rumah utama ini, ke rumah tengkorak  sana, dan 

lahirlah Gelar. tengkorak  sendiri yang berkata. Seluruh Tuban 

tahu ceritanya, semua tahu, siapa Gelar, kecuali Gelar 

sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”  

“Apa kau ini, Kati?” 

“Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda 

sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mengambil tongkat dan 

berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan 

ancaman hendak menyerangnya. 

“Betapa kau hinakan tengkorak . Kau paksa dia 

mengandungkan anakmu selama sembilan bulan….” 

“Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah 

Almasawa. Kau kira siapa tengkorak  dibandingkan dengan 

bidadari-bidadari lainnya?” 

“Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan 

menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu 

kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil 

tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”  

“Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?”  

“Dengarkan kata tengkorak ? Kaulah pula yang mengirimkan 

Wirangmandala  ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh.”  

“Kati!” 

“Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke Malaka 

dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas Gelar 

dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan 

dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas 

dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan 

menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua 

itu tidak benar!” 

“Tak satu pun benar,” Tholib Sungkar menjawab tegas.  

“Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh 

kau di depan umum,” Nyi Gede Kati menangkap tangan 

suaminya dan mulai menyeretnya. 

“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu 

menyeretnya terus. 

“Aku pukul kau,” Tholib Sungkar Az-Zubaid, 

Syahbandar Tuban itu melawan tarikan dan 

mengamangkan tongkat. 

Nyi Gede Kati mendadak melepaskan seretannya dan 

Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat 

mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan 

suaminya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari 

tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan 

diri. 

“Hancur jari-jari ini,” pekik Syahbandar,   

“Biar remuk!” 

“Aku tak bisa menulis lagi nanti,” pekiknya.  

Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang 

dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, tapi 

segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan 

pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja 

mencabuti rumput. 

“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap Gusti 

Adipati.”  

“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi Gede.”  

“Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah, 

mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada 

Wirangmandala , maka kau carikan kuburan baginya di dalam 

jung. Kau kalah perbawa dari tengkorak , maka kau rampas 

anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, 

bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu 

tatasusila!” 

Nyi Gede Kati melepaskan akan injakannya dan 

menyepak kepala suaminya. 

Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan. 

Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau 

tongkat dan mencoba mengaitnya. 

“Pelindung kepala mulia!” Nyi Gede menyepak topi itu 

dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.  

“Dua kali kau aniaya aku. Nyi Gede.” 

“Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau 

menghadap sekarang juga.” 

Tholib Sungkar melompat berdiri dan menubruk istrinya.  

“Jangan, jangan, Gusti Adipati sedang gering.”  

”Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi.” 

“Jangan, Gusti Patih sedang ke Malaka.” 

“Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada 

semua orang,” ancam Nyi Gede. 

“Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku 

akan penuhi, Nyi Gede.” 

“Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!”   

“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar Gelar bebas 

dari sandera. Biar dia lalu  kembali ke desa dan 

berkumpul dengan emak dan adiknya.” 

“Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang 

berkuasa. Kau sendiri tahu.” 

“Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia 

sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau 

tahu apa bakal terjadi atas dirimu.” 

Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu 

tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid 

terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya 

yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di 

malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga 

kunjung berlabuh. 

Dan Nyi Gede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya 

selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya 

satu coretan setiap hari. 

Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk 

mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang 

nasib Gelar. 

Nyi Gede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu 

coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak. 

Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada 

maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai 

Sang Adipati dalam dongengan…. 

0o-dw-o0 

 

Memasuki bulan ke tiga Gelar dianggap lulus dalam naik 

kuda dan mempergunakan tombak di atas tanah.ua 

pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan 

mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung 

kuda dan mempergunakan cambuk perang. 

Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang 

sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan 

terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera 

dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam 

diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan 

menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang 

lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih 

rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar 

Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada 

sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan 

senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia 

masih bayi. 

“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai 

sandera?” 

Darah Gelar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan 

sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan 

Syahbandar, bahwa emaknya tidak mempunyai kesetiaan 

pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh. 

Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: 

Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada 

suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya 

yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta 

Sang Adipati. Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar! 

Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak. 

Gelar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, pura-

pura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari 

terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari 

kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi 

Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang 

di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. lalu  

sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang 

kuda. 

“Sultan! Sultan!” bisiknya memanggil-manggil. 

Binatang yang dipanggilnya bangun berdiri dan 

meringkik pelahan. 

Gelar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang 

pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya 

keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk 

leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. Sultan, jangan 

gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam 

ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa 

sanggurdi. 

Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai 

berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang, 

memasuki padang alang-alang. sesudah  jauh dari daerah 

perumahan Gelar memacunya ke jurusan jalanan negeri 

Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan 

berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada 

berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di 

angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah 

berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak 

hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang 

mengepul di belakang. 

Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan. 

Gelar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya 

dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang 

di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang 

adalah maut dan penindasan. 

Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, 

biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak. 

0odw-o0 

 

33. Demak Mulai Bergerak 

Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan 

Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota 

Malaka, dan Portugis terpaksa membatasi ruang geraknya 

di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang. 

Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang 

kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan 

jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara 

Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan 

tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga 

itu tak punya pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan: 

juga Blora akan segera jatuh. 

Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di 

atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan 

diri, di seret terus ke timur untuk jadi serdadu tambahan. 

Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari 

kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda 

dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar 

renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan 

dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan 

terdepan pasukan kuda Demak memasuki semua perangkap 

dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya. 

Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada 

pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati 

bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup. 

Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh 

harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh 

jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak 

balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan 

aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk lalu  

bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak 

mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, 

menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena 

bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung 

yang dilewati. 

Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah 

dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur. 

Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya 

dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah 

terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang 

pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat 

sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga 

Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan 

sendiri turun ke medan. 

Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan, 

armada Jepara Demak, armada terbesar sesudah  jatuhnya 

Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh 

Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar 

Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran 

yang sama: ke jurusan Banten. 

Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap 

bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk 

menghadap Peranggi. 

Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke 

jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati 

tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga. 

Mengapa armada yang ditimang-timang Adipati Unus itu 

tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya 

dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan 

Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke 

Banten dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan 

memang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke 

Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga. 

Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama 

sekali. 

Gerak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir 

Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa 

pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu 

pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada 

menurunkan pasukan bantuan, lalu  mengangkat sauh 

dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukan-

pasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam 

pertempuran. 

Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda. 

Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki bandar Banten 

sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. Banten 

pun melepaskan cetbangnya, namun  pasukan-nya telah 

banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran 

cetbang yang berjalan selama setengah hari telah 

menghabiskan peluru Banten. 

Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan 

pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, 

ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga 

Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi 

sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan 

dari belakang. 

Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya 

Pada hari ketiga sesudah  pendaratannya kekuatan Demak 

memasuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah 

dalam jumlah dan persiapan. Dan sesudah  seminggu 

bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam 

kekuasaan Demak. 

Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orang-

orang Demak jadi pemegang kekuasaan di Banten. Dengan 

keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan 

penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan 

datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya 

melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir 

barat dan utara Banten. 

Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah 

telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak, 

seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak 

harus jadi modal. 

Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih 

kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa 

untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah 

ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu. 

Semua pandai besi dikerahkan untuk membikin peralatan 

perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya 

akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin. 

Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa. 

Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan 

kedudukan Gresik sebagai bandar terbesar di Jawa. namun  

Banten sendiri tidak mempunyai armada dagang ataupun 

militer, sebab  percaya kegiatan perdagangan takkan 

menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu 

selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain. 

Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini 

telah diperhitungkan oleh Fathillah 

Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan 

bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan 

memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk 

bandar Banten sendiri membantu dan menyokongnya. 

Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampung-

kampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah 

penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara 

dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan 

takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara 

Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu 

takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun! 

Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh 

orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara 

beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan 

pengetahuannya tentang agama Islam dalam waktu hanya 

beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan 

melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di 

mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama 

setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan 

majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan 

agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya 

membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan 

oleh Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan 

Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah. 

Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. 

Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk 

menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi 

dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan 

senjata, namun  kekuatan besar Demak yang membeludak itu 

tiada terlawan. lalu  mereka melawan dengan kata-

kata – makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun 

tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan 

daerah hidup baru tanpa Fathillah. 

Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan 

Demak sampai pada Wirangmandala  dua bulan lalu : 

“Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke 

suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana 

kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menari-

nari dengan Peranggi di atas pundak si Wirangmandala , anak 

desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo 

Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini 

sekarang menjadi lola di negeri orang ” 

Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang 

terjadi telah melawan cita-cita mayat  arwah , bertentangan 

dengan Adipati Unus. 

Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan 

Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa, 

justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali. 

Ia pulang ke markasnya. Dan Pada telah menunggunya, 

juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu 

teguran. Wirangmandala  tak menegurnya. 

Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu 

pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati 

bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi 

pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi, 

dapat digarap jadi daerah pertanian tetap. 

Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan 

jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui. 

‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau 

kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. sesudah  Sultan 

Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh 

Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, 

dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.” 

Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh 

yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada 

Trenggono. 

“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga 

penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi 

perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaik-

baiknya.” 

Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat 

kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka 

menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya 

penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri 

“Sedang kita ada di sini’ mereka mengeluh. 

Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang 

Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata 

betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk 

melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi. 

‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin 

kesatuan, “telah mengubah kedudukan kita menjadi badut 

yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui 

Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan 

sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan 

kepergian kesatuan Aceh.” 

“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda 

Sultan dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan 

kesatuan Aceh menyampaikan, “bebasnya Malaka dari 

Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam.” 

“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan 

Bugis memberikan jaminan. “Jatuhnya Malaka juga jadi 

urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke 

utara akan kembali terbuka.” 

Dua minggu sesudah  itu kesatuan Aceh minta diri untuk 

kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk 

mengirimkan Pada pulang ke Jawa. 

“Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan 

kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem 

Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa 

menghadap Gusti Ratu Aisah.” 

Dan dengan demikian berangkatlah Pada. 

sesudah  pertahanan Rembang patah dan medan 

pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara 

Demak memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang 

dapat dan ditemuinya. 

Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman. 

Balatentara pemenang itu lalu  membelok ke 

selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan 

militer Pesantenan Blora. 

Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya 

balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan 

melarikan diri ke selatan. 

Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono 

sendiri, menang untuk ketiga kalinya. 

Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten 

dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa! 

Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara 

yang bertemu di Blora, dengan membawa serdadu baru dari 

tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke 

timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara. 

Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah 

menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara 

Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang 

dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah 

di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat 

menembus pasukan gajah. 

Telah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di 

mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya. 

Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang 

itu. Dan perhitungannya tidak keliru. 

Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda 

Demak yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami 

itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip 

kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke 

pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri, 

bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas 

punggung. 

Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tombak mereka 

yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar 

siap untuk melayang. namun  mereka tak pernah berlatih 

menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu 

menyulitkan pembidikan. 

Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah 

berlayangan bebas menuju ke sasaran. 

Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat 

gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di 

hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukan-

tubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di 

belakangnya langsung membelok menghindari tanah 

lapang. 

“Lindungi Sultan!” seseorang berseru. 

Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala 

Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan 

kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang 

bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap 

Sultan!” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui 

ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di 

medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami 

banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum 

pasukan kaki Tuban dikerahkan memburu. Bagi Trenggono 

sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk 

gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa 

Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas 

Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan 

ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan 

Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas 

namanya. Dan Islam, menurut Fathillah yang lalu  

juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari 

Peranggi. 

Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang 

peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan 

Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris 

syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan 

sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak. 

Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban membikin 

ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke 

utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian 

kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki 

pasukan gajah. 

namun  Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu. 

Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia 

pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota. 

Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan 

untuk menyibuki pasukan kuda Demak. 

Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi 

terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa 

kerusakan pada kedua belah pihak. 

Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara 

menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam, lalu  

mengancam perbatasan timur Tuban. 

Meriam Portugis di tangan Tuban menyambut 

kedatangan mereka. 

Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu 

sehingga gerakannya terhenti sama sekali. lalu  

mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada 

tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan. 

Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan 

pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri. 

Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan 

pasukan gajah. Dan Demak meliuk kembali ke utara. Sekali 

ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan 

meninggalkan pasukan gajah. 

Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga 

dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu 

punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap 

dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya. 

Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh 

musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran. 

Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak 

ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah 

Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi 

tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan 

kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga 

pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di 

tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi 

memberikan perintah untuk siaga. 

Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil membendung 

desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di 

Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa 

perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk 

mempertahankan kadipaten dan kota. 

Dengan gopoh-gopoh Braja memasuki kadipaten untuk 

mempersiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang 

perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk 

untuk mengungsi. 

Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja 

dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di 

tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu 

lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk. 

Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk 

mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia menyembah, menarik 

tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. namun  

tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu. 

Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan. 

Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu.  

“Braja!” panggil Sang Adipati.  

Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah. 

“Ampun Gustiku, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”  

‘Trenggono berkhianat”  

“Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. Gusti.”  

“Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak?”  

“Sorak-sorai Demak, Gusti.” 

“Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara 

semakin lama semakin pelahan, lalu  tak terdengar 

lagi.  

“Gusti, sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang 

Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi. 

Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah 

menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih 

seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan 

jatuh di samping kepala. Ia ambil destar itu, ia tutupkan 

pada wajah jenasah itu. lalu  ia lari keluar dan 

berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi! 

Gusti Adipati Tuban jangan ditunggu. Gusti telah 

mangkat.” 

Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang 

berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu 

itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi Gede Daludarmi, 

ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke 

mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara 

Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua 

barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit 

kebingungan. 

“Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari 

sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.” 

la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa 

sekarang ia kawal? Jenasah Sang Adipati? Harta-benda 

kadipaten? Ia lari masuk ke dalam asmayat , memanggil 

semua anakbuahnya, lalu  memerintahkan semua 

bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang 

Wirabumi. 

“Gila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.” 

“Apa yang dipertahankan? Sang Adipati telah mangkat.” 

Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam. 

Mangkat? Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus 

dipertahankan? 

Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara 

Demak – tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli! 

Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu! 

Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari 

kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan 

langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para 

pengawal. 

‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya, 

“Sultan Trenggono Demak datang!” 

Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri 

Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya. 

Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu 

datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri 

dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke 

belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda 

masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan. 

“Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini” 

perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten, 

Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung. 

“Peraduan Adipati Tuban,” seorang perwira 

mempersembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing Tuban!” 

pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang 

bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada 

Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya. 

Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya. 

“Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya 

destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban. 

Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat 

Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali 

kerisnya dan bergumam, “Sayang. Tak kau saksikan 

bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan 

bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang 

kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobek-

sobek oleh pasukan kuda Demak!” Ia berbalik lagi dan 

melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas 

di kadipaten. 

Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil 

masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat. 

Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa 

terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan 

pertempuran dibandingkan  menderita kan malu telah kalah 

tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan 

kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela 

kalah sebelum bertempur 

Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa 

memberitahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan 

kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota 

yang telah jatuh ke tangan musuhnya. 

Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan 

yang telah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan 

Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya 

kemungkinan itu 

Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara 

Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan 

menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang 

bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan 

cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban 

menyambar-nyambar seperti elang 

Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat 

dengan meninggalkan jarahannya 

Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan 

terjadi. Prajurit pengawal membangunkannya dengan kasar 

dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan.  

“Bedebah!” pekik Trenggono  

“Mereka menyerang, kembali. Gusti”  

“Siapa menyerang, bedebah? Adipati Tuban sudah 

mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya 

mencari pedangnya, namun  senjata itu belum lagi padanya. 

Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua. 

Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng 

Wareng mengrsi h dan segala penjuru.  

Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya.  

“Ke sini. Gusti,” seorang prajurit. 

Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan 

pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya 

serasa hendak meledak sebab  murka, merasa dihina dan 

dipermain-mainkan. 

Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng 

bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia 

segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati. 

lalu  dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, 

meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong. 

Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh 

Wirangmandala . Dengan berita masuknya Demak ke negeri 

kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus 

mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. 

Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak 

berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa 

Tuban mengirimkan armada jung? Di mana kapal-

kapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan 

mengapa meriamnya ditahannya sendiri? la belum dapat 

memutuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan 

dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi, 

dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak 

menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban 

mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban 

mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu, 

sekarang pun masih tetap ragu-ragu. 

Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. 

Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada mempunyai pusat 

pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil membatasi 

ruang-gerak musuhnya. namun  apakah artinya semua itu 

bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak 

mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi? 

Dan beban tambahan yang tak kurang memberati 

pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari 

prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi 

petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas 

mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan 

Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan 

cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang 

subur menghidupi itu. 

Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil 

memerintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk 

mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya 

mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak 

mempunyai perhatian terhadap pembebasan negerinya 

sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi 

Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri. 

Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini? 

Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadang-

kadang ia menyesali diri bodoh hanya sebab  berasal dari 

desa. lalu  ia bantah kembali: apa kurangnya 

Trenggono? Dia Sultan memiliki segala-segalanya, namun 

dungu! 

Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya 

mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang 

untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan 

pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih 

menghadapinya. 

Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata 

tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan 

bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan 

pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan 

luasnya daerah taklukan seperti Trenggono. 

Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis 

sendiri? Para telik tidak tahu. Wirangmandala  pun tidak. 

Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, 

malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, 

mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan 

pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana 

lama untuk menguasai sumber lada dari selatan. 

Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lama, 

Fathillah, telah membikin kering arus lada. Harganya di 

benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali 

lipat itu pun masih sulit didapatkan. Portugis telah memberi 

penntah pada Goa, Goa pada Malaka agar segera mengisi 

pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya. 

Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan 

armada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa 

yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi 

kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki 

bandar. 

Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya 

untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di 

daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada 

Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan 

hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada. 

Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama 

saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade. 

Wirangmandala  tidak tahu sama sekali tentang apa yang 

terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin 

menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Kedua-

duanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, 

dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah 

kekuatan manusia? Prajurit setempat tidak ada. Kampung-

kampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan 

penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada 

pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak 

mempunyai kepentingan dengan penghalauan terhadap 

Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung 

merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu 

lalu  dibenci oleh orang-orang sekampungnya. 

Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil 

itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebutuhan asmara 

dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang 

yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita 

Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin 

banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara 

Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot 

juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di 

negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan 

penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam 

soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi 

pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu 

seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung, 

seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah 

perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil 

menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke 

kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu 

pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia 

menjadi petani atau nelayan saja. 

Wirangmandala  tahu ia tak punya kemampuan untuk 

membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar 

sebab  Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh 

ke tangannya. 

Pada meninggalkan Banda Aceh Darusalam 

menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa 

mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu 

Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu Gresik ia 

menuju ke Tuban. 

Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan. 

Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun 

sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. 

Warung Yakub terkunci dari dalam. 

Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia 

mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara 

Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya. 

Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap 

punggawa Sang Adipati sebab  dosa-dosa lama lenyap, 

digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia 

rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut 

juga yang menganga. 

Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke 

Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, 

yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh 

penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga 

Pecinan mengangakan mulut maut. 

la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepat-

cepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, 

menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun. 

Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada 

apa-apanya? 

Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu 

itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di 

situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya 

manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di 

perrsi an dan pesantren, dan rsi -rsi , dari dongengan 

dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan 

orang tua sendiri, ambyar tanpa makna. 

Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang 

lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari 

tak bisa membela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersorak-

sorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan 

dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau 

anjangsana tapi untuk membunuh dan hanya membunuh. 

Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan 

yang lain. 

Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam 

tengkurapnya pada Tuhannya, memohon perlindungan atas 

dirinya untuk seka