nusantara awal abad 16 24
s yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada.
“Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja
seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia
pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja
katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar
dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun
sesudah Mpu Nala wafat, orang memang masih
membangunkan kapal Majapahit, sebab masih ada
persediaan kayu lunas. sesudah habis, habis pula
kemungkinan.
“Pada suatu kali,” mayat arwah meneruskan.
Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan
kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati
setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana,
begitu menurut cerita rsi ku dulu. Ternyata gunung itu
telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan
tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima
dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.”
“Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di
sana,” mandala mencoba menyertai.
“Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak
tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa
diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan
sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan
untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata.” Ia diam
sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu
Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu,
semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal
Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.”
“Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” tengkorak berbisik
pada mandala .
Dan mandala hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita
rsi itu.
“Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya.
Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali
diganti. Kata rsi ku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas,
beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan
sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal
ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang,”
ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam
pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang
Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang
mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan
perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapal-
kapal semacam itu masih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal
ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari.
Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg.
Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata
satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut
akhirnya semuanya.
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban
ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita.
Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran
Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di Malaka, namun
tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal Majapahit.
Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau
Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan
hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara.
Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala.
Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus
dibandingkan Tuban, namun merugikan bandar-bandar di
bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan
persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun
di utara.”
“mayat ,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak
bicara tentang apa? Bicaramu tidak menentu. Kau
mengagungkan kejayaan Majapahit.
Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya?
Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular!
“Uah! kau benar,” mayat during mengangkat dagu
tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat sebab keringat.
“Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya
dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari
hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan
mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma
dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku? Boleh jadi
kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang
bisa memperluas hatimu. Puh! mayat CIuring bukan si
pengluas hati.”
“Tak ada yang berkeberatan mayat seorang pengeluas
hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baik-
baik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam?
Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam
hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau
bicara tentang yang sudah mati, mayat ,” penyanggah itu
menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya
atau kerajaan dedemit?”
“Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak
tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku
tak bicara tentang kema-tian. – tentang kehidupan, tentang
hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan
Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya
dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapal-
kapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh
dunia. namun , dengarkan, kau yang tak mengerti tentang
kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau
pembantah, negeri dengan bandar begini,… orang cukup
duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan
banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan
datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu.
Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak
bakal mengerti maksudku. Dan barangkali sebab kata-
kataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala,
sebab panggilan ini, membenih dalam guagarba perawan-
perawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/’
mayat CIuring diam dan berdoa. Juga mandala
mengangkat sembah. Kata-kata mayat yang terakhir itu
menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan
kawini tengkorak . Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu
penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan.
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak mendengar
tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit – Majapahit
yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa mayat
CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau,
kau munculkan dia dari guagarba haridepan.
Ketika ia menengok pada tengkorak , perawan itu sedang
tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain
kerudung pada bahu pacarnya. lalu tangannya
mencari tangan tengkorak , dan mereka berpegangan tangan
seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya.
“Panas’ bisik tengkorak .
“Mereka namai dia seorang dewa haridepan,”
gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan
penghargaannya, ia angkat kata: “mayat , kau tahu tentang
jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan
ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru
pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan
pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti
banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu
permainan.”
“Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan
bergandengan tak putus-putusnya.”
“Ya, bersambungan terus-menerus. Tapi tidakkah kau
keliru. mayat , atau sengaja membodohi kami, atau memang
melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua
pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala
jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti,
sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun?”
“Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak
dapat membuktikan sebab barangnya sudah tidak ada.
Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan.
Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku.
Di jaman jaya dulu memang seorang pembicara harus bisa
buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan
dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang
dengan sendirinya.”
mayat arwah menggerakkan tangan untuk melukiskan
bentuk lunas.
“mayat , kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba
haridepan. Kau memanggil balatentara Tuban untuk
menumpas kami…,” seseorang menuduh.
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala
bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya
sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan
sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut
dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang
ini.”
“mayat , sebab kau sudah bilang para rsi -pembicara
sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran
kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong
sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.”
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya
menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerut-
kerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan
ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para
pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah.
Tak ada keluar kata-kata dari mulut.
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek.
Dan mereka yang arif dapat segera melihat, rsi -pembicara
itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal
wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan
kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap
kehormatan pribadi mayat .
“Mengapa terdiam? Mengapa tidak memekik dan
berjingkrak?”
“Jangan menangis, mayat ,” seorang dari banjar tengah
melengking ria, “memang orang-orang muda wajib
menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh
semburkan abab semau sendiri.”
mayat arwah belum juga menjawab. Nampak benar ia
sedang bergulat untuk menindas perasaannya.
Tak lain dari tengkorak yang berusaha menyelamatkan
mayat . Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai mayat .”
tengkorak berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi
mandala menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru
menyokong tengkorak dan membenarkannya.
Baru lalu keluar kata-kata mayat yang berat dan
sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa?
Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.”
Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang
diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian
tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan
kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. namun
orang masih juga tak mau mengerti.”
Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan
bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti,
jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan
sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang
bakal datang tak lain dari kebinasaan.”
“Kalau begitu. mayat ,” mandala memaksa bicara hanya
untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana
orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan.
Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak
mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” tengkorak berbisik
memperingatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelompok
buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa
datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di
hadapan mayat , dan mengambil cawan yang telah kosong,
lalu pergi lagi.
rsi itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum
dari kucuran cucuknya.
“Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan
jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman
dari pengertian-pengertiannya. rsi -pembicara seperti aku
ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak
bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang
berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada
punggungnya. namun darah dan keringat yang
dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan
meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah,
jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu.
Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.”
Tiba-tiba mayat arwah meringis. Tangannya menelusuri
perutnya. Sakit perut! orang menduga. lalu nampak
mayat mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah
kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat:
“Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah
membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti dibandingkan
hanya sekedar menahan kemerosotan.”
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri
perut.
“Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya
cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang
prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari
pengemongannya si bocah belajar membikin senjata-api
penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang
bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan
perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya,
dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi
pemenang tunggal di atas bumi manusia ini.
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat
menggunakan senjatanya. sesudah dewasa ia tinggalkan
desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke
pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari
pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala
banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira
pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama
militer: Gajah Mada.”
Wajah mayat kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh
meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil
meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu
sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia
kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan
nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang
dipersenjatai cetbang armada Majapahit tak pernah
menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara,
kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah.”
Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut.
tengkorak bangkit untuk menolongnya.
mayat CIuring meneruskan: “Tidak menemui
perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di
seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang
menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang
yang berledakan di udara, seperti kilat dan rsi h sekaligus,
membikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara
– suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus
tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas
permukaan air membinasakan armada-armada perampok
dan bajak laut. Maka darat dan laut aman.
“Dalam sepuluh tahun lalu Majapahit mulai jadi
kekaisaran. lalu seluruh Nusantara bersatu di bawah
bendera merah-putihnya.”
Ia menrsi ti perut, dan dada dan leher. Suaranya
kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap
meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar
Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan….”
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wirangmandala
bergumam, lalu menghembuskan nafas dalam. Kapal
besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku
hanya dengan jung… jung Tiongkok pula….
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas
kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya,
dan dibuatnya jadi penutup dada.
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini
mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani.
Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki
jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong,
didendeng. Rusa-rusa itu – makhluk yang tak berbahagia di
negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami
seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang
yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara
di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan
dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat
kesukaannya.
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya.
Bukan bayangan yang memburu-buru, bukan rusa bukan
kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya.
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun
mendatang? Apakah serba kebalikan dibandingkan impian mayat
arwah impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib Gelar
dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih
tidak berdaya, tidak berkemampuan, dibandingkan aku? Apakah
mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang
dungu?
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah
melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia
memberanikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju
ke Malaka, Kang?”
“Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya
pada para peratus di bandar Jepara. “Kita akan gempur
Malaka.”
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari
kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung
naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung,
dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin
cerah menantang laut.
“Kau ingat rumah, Kang?”
“Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono
dan Fathillah.”
“Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada
Fathillah,” Pada mengalihkan percakapan.
‘Trenggono dan Fathillah, Pada,” Wirangmandala
memperingatkan.
“Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita
fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya
Sultan dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar
dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap
Malaka, Kang.”
“Mengapa Liem Mo Han tak mayat h terhadapmu?”
“Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang.”
Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar
kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-mata
dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai
banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu
dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku
sebagai seorang rsi -pembicara. Bergurau pun tidak terjadi,
kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin
mereka.
Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari
kejauhan nampak armada Jepara-Demak seperti sebarisan
camar yang sedang mengapung di permukaan air, putih-
kelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal
berlayar dengan layar kuning gemerlapan.
Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak
bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali
tidak mereka harapkan.
“Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!”
perintah Wirangmandala . Ia sendiri malu memerintahkan
untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin.
Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan
membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar
dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai
dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan
keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak
mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia
diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul
jengkel.
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama:
”Aaaaa!” dan armada Jepara-Demak membelok ke kiri,
memantai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke Ujung
Kulon.
“Khianat! Benar ada pengkhianatan,” gumam
Wirangmandala pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum:
begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus
waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung.
Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran
selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Demak harus
dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk
mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal
mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa
bersalah pada Sang Adipati. Gila!
Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana
Fathillah telah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat
Banten.
Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak
ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa
sesungguhnya sedang terjadi? namun semua isyarat dari
kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak
berjawab.
Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit
dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima-
Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin
anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka
naik lagi membawa terlalu banyak kelapa muda.
lalu armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat
Sunda, kembali ke Jepara.
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini
diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono
berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana
menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut.
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan
pasukan kuda dapat dipadamkan – dua-duanya
ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan
memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini
akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan
Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di
Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka
bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak
tidak akan ada.
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari
sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke
Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus
bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup-
Liem Mo Han.
sesudah armada berlabuh untuk beberapa hari di bandar
Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak
tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak
mengetahui, Tuban telah melihat mereka membelok ke kiri.
Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat
selama tiga bulan, lalu berangkat lagi, menempuh
garis pelayaran yang sama.
Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-mandir
antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya
telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke
utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat
sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan
kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah
membikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat
sesuatu pun dibandingkan mengikuti perintah.
Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya.
Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh
dari tiga tempat tersebut. Ia merasa telah kehilangan muka.
sesudah kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah
lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di
Jepara.
Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan
pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya.
Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak
telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas
anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang
berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri
dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan
tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang
terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin.
Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya.
Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar
dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta
seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia
menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak
untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita
tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita
Adipati Unus.
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud
di bawah kakinya, dari Blambangan sampai Banten, dari
laut Jawa sampai lautan Kidul.
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa
pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari
Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan
gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan
mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan
berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan
kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis….
0o-dw-o0
Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra
armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak
pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak
dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal
Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai.
sebab tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan
sebab nya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan
perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai
dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada
Jepara-Demak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai
kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga
dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam
hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang
pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung
Kulon.
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca
lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan.
Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantun-
pantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa.
Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di
bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut
mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan
baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau
kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian
celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang
bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada –
semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka
bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki
orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Tari-
tarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang
dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan
persahabatan.
Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk
dalam persahabatan yang semesra ini.
lalu datanglah hari keberangkatan. Aceh
menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah
seluruhnya seribu lebih dua orang: Wirangmandala dan Pada.
Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan
perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan sorak-
sorai semua orang.
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk
ummat Islam, memohonkan keselamatan untuk mereka
yang akan berangkat ke medan perang.
Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wirangmandala
berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua
dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan
destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang.
Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di
Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di
tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan
tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui
algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau.
Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka
takkan sia-sia.
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung
nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di
sebelah utara Malaka.
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana,
menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas
tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah
terbaik disediakan bagi Wirangmandala yang telah mereka
angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan
panggilan Hang Wira.
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh
kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di
atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada
perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barang-
barang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur
di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan
nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu.
Dan penduduk tak juga muncul. sebab tak dapat menahan
keheranannya Wirangmandala terpaksa bertanya pada Pada:
“Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han
pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana
batang hidungnya? Semestinya mereka telah melihat kita
datang dan menghubungi kita.”
“Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang
hidungnya. Heran.”
“Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu?”
“Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat
kuncirnya.”
“Apa artinya semua ini?”
“Tahu, Panglimaku.”
“Ya, begini inilah jadinya.”
“Kita hanya memikirkan Malaka ini saja, Kang.”
Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh
prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang
dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk
selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu
dilepaskan sesudah diberi makan dan perbekalan, dan diikuti
dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui,
dan mereka diperintahkan kembali ke kampung.
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan
Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan
sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari
darat maupun dari laut.
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung
diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan
dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan
kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui
jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan
semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas
sepatu, samar-samar.
Penduduk yang ditinggalkan melihat semua prajurit pergi
menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung
dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan harta-
benda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu
apa.
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan
harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa
atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan.
Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan
keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran.
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati
kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah.
Penduduknya berlarian entah ke mana.
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah
tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang
gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang
diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak
pernah melakukan gangguan: sesudah dua hari menembusi
hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan:
penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin.
Tak adanya pasukan semenanjung telah memusnahkan
kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa
perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa.
Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang
pertanian harus dibuka terlebih dahulu.
Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam
lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari Wirangmandala
yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak
untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak
asal, ekspedisi militer ini akan gagal.
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian
antara tiga macam kesatuan. namun pembukaan humalah
yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak henti-
hentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap
harus ditunda.
Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk
mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung
jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di
atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya.
Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk
memasak-masak.
Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan
tombak. Pekikan maut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu
Peranggi yang tidak terkena tombak berlarian membawa
musket masing-masing dan mulai menembak dari balik-
balik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan
dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi.
Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak
sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat
lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi
tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilang-
lenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli
makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat
pertempuran pertama kini mendapat kehormatan jadi
tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang
kembali bersama-sama mereka membabat hutan,
mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma.
Tidak lebih dari seminggu lalu di sebelah selatan
nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu
kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu
besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera
menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah
kampung besar.
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap sebab tempat
kebakaran itu tidaklah begitu jauh.
Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wirangmandala
berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai
telah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan
laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari
Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung
sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar.
Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan.
Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembak-
nembak untuk menghancurkan semangat lawannya.
Wirangmandala memeriksa tempat penjebakan yang
ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di
bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang
bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah
banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan
hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan
semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka,
sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang
berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak
hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena.
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi
mereka yang sudah mengetahui keampuhannya.
“Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita
akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami
pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya.
Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan
juga berhasil.”
Mereka telah memasang perangkap di tempat yang tidak
terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan
peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdadu-
serdadu Portugis tidak menggerombol sebagaimana halnya
dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada umumnya.
Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan.
Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan
keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja
kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriak-
teriak: “Peranggi telah mengepung kita!”
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang
menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari
segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah
mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan
letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari
panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang
menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas
tanah gundul.
Wirangmandala memerintahkan mengubah hadap ke arah
tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan,
menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan
datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan
akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum
lagi sampai ke Malaka!
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan
musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya
mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan
dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang
dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan
bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang
menyerang.
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala
Wirangmandala . Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri.
”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka
bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.”
Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak
jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan
cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam
semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan
desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran.
Dua orang telah jatuh pingsan di tempat sebab
kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu
orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan
peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging.
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam
perang dengan musket begini tak ada prajurit, tak ada satria,
yang ada hanya pembunuh dan korbannya.
“Mereka lebih hebat dibandingkan kita,” seru Panglima
memberanikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru
mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak
membutuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini
perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah
kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik
persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin
lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi
berkurang.
Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak
semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan
peluru. Mereka mulai menggunakan pedang.
Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka
kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan
pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya
di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu.
Orang mengakui keberanian Peranggi menghadapi lawan
yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu
mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang
menghalangi dan rotan berguguran.
Hanya sebab jatuhnya malam saja mereka mulai
menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan
meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa pucuk musket telah kena rampas, beberapa
pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga
kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya.
Wirangmandala mengatakan: pertempuran sekali ini sama
sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh
Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah
mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas
ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah
modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari
Malaka.
Malam itu juga diadakan penguburan untuk teman-
teman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka
yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan
pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar
melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului
kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya,
dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan
berdaya.
Wirangmandala memimpin pengejaran. namun hutan itu
terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak
yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh.
Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka
hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang
berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya.
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan
musuh melarikan diri.
Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa
dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di
dekat daerah peluaran kota Malaka.
0odwo0
32. Gelar Jadi Sandera
Kemarin dulu tengkorak masih berseru dari beranda gubuk
panggung itu: “Gelar! jangan begitu. Belajar yang baik!”
Tapi Gelar tak peduli. Dengan melepas kendali ia
menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk
leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat
melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping
lain. lalu ia berpacu di jalanan desa dengan
memunggungi arah. Tak lama lalu ia berpegangan
sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda.
Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan.
Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan
berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari
sehabis kerja.
Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu.
Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang
memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya.
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim:
“Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan
seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keras-
keras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak
Senapati punya sejambang airmata.”
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya
dengan bantal.
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan
menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan
ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain
masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin
dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan
sorai tawa.
Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani
terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya
sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di
desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak.
Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang
ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau
membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar.
Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa.
Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun!
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar
olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu
dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan
dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak
tahu batas.”
Gelar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat
olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara
pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan.
Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di
antara mereka mulai merebahkan diri di samping-
menyampingnya dan segera lalu tertidur dengan
menyemburkan bau tuak dari mulut.
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi
tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. lalu
merangkak lagi ke tempatnya.
Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban
itu dengan ibunya: “Nyi Gede tengkorak , jangan kaget. Gusti
Adipati Tuban telah menitahkan agar Gelar, putra Nyi
Gede yang pertama, dibawa ke Tuban.”
“Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah
juga dibawa ke Tuban?”
“Tak ada yang dapat mencegah titah Gusti Adipati, Nyi
Gede. Panggillah anak itu.”
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan
kukuh tertutup dengan gumpalan otot.
“Gelar, kau akan kami bawa ke Tuban.”
“Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak
dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya
sebagai lelaki tertua dalam keluarga.
Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya.
“Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi Gede.
Itulah yang jadi titah Gusti Patih.”
“Aku telah berjanji pada bapak….”
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian
dan amarah pada mata tengkorak . Dan wajah tengkorak itu tetap
cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan
tubuhnya tetap semampai berisi sebab latihan-latihan.
Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan
betina yang mencium bahaya yang mendatangi.
“Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala,”
bentak Nyi Gede.
“Kami datang membawa titah Gusti Patih.”
“Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan
pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi
membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik
dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini,
Gelar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau
harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu
pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar,
hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah
kau seorang lelaki.”
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat
mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan
pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun
meraung, menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya.
Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. “Belum
lagi kepala ini sempat berdestar…” gumam ibunya.
Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya
tercinta, meraung: “Tidak boleh. Kang Gelar jangan pergi!”
Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan Gelar
dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya.
Ia angkat Gelar dalam bopongan. Dan yang dibopong
meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah
perjalanannya ke Tuban. Dalam hidupnya yang semuda itu
ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh
ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Krambil.
Wirangmandala Senapati, semua orang senang padanya,
bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa hormat
menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan.
Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang
tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari
hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi
apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk
pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak
dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak
bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan,
bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan.
Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera
oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar
ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal
kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal.
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terus-
menerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya
sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari
tanpa dirinya? Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari
ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang
mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak
adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa
akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan
betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan
kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan
terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam
kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya
sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.
Sampai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si
bocah itu disanderakan sebab Wirangmandala pernah
menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum
Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, sebab
Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang
didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang
Adipati Tuban bersekongkol dengan Wirangmandala untuk
menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam
akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat
mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat
bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa,
namun ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara
lain. Maka ia menyesal telah memberangkatkan
Wirangmandala dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan
harapannya akan kematian Senapati. Ia membutuhkannya
untuk mempertahankan Tuban. Dengan Gelar sebagai
sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan
dapat dipanggilnya kembali.
Gelar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya
menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai.
Matari ternyata telah tinggi.
Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan
mana orang bangun tertinggal matari?”
Sekarang Gelar mengerti, tak ada seorang pun akan
melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan
jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu.
Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar.
Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik
membalik menjadi dendam yang membuncah dalam
dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan
dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam
prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak
ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya
masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.
Dengan dua belah tangan prajurit itu menolaknya keras-
keras. Gelar terjatuh di lantai sesudah menubruk dinding.
Dan dada prajurit itu berlumuran darah.
“Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada
dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sampai mampus.”
“Dan kutikam kau sampai mampus!” balas Gelar, berdiri
dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan
yang mungkin menyusul.
“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang
dirimu? Sandera!”
“Ayoh, cobalah sekali lagi.”
“Tak ada yang lebih hina dibandingkan sandera. Kalau aku
jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari
terus membersihkan dadanya.
“Cobalah sekali lagi,” tentang Gelar. “Tak bisa kutikam
waktu jaga. waktu tidur pun kena.”
Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu mengalah dan pergi
sambil menrsi s dadanya yang berdarah dengan pijitan
dan cengkaman.
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi kata-
kata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti
hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa
pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya
tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan
siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang
sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda
lainnya. Ia memberi isyarat dengan tangan.
“Naik!” perintahnya.
Dan Gelar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi
lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang
lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak,
seseorang telah mencambuk binatangnya. Kuda itu terkejut,
melompat. Gelar terbalik di atas punggung kendaraannya
dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada
sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi
orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh
menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.
Prajurit yang memerintahkan tadi mendekati dan dari
atas kuda membentak.
“Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baik-
baik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia
menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alun-
alun.
Gelar bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobek-
sobek dan berdarah, lalu membasahinya dengan
ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak
jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang,
memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu
namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak
disebut-sebut belakangan ini: “Sultan! Sultan!” ia
menghampirinya sambil berpincang.
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus
datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali
dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan
diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah
pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai
bersih. lalu ia rangkul leher Sultan dan melompat ke
atasnya.
“Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul
dia, biar aku gebuk kepalanya.”
Gelar tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda
yang tinggi besar itu dan mulai memburu.
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk.
“Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada
kuping Sultan.
Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi
bersemangat. “Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia
menjempalit!”
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu
pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun
untuk menonton. lalu orang lalulalang pun
memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa
pengumuman penonton semakin lama semakin banyak.
Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas
ketegangan.
Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya,
tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian
beberapa kali lagi terjadi.
Gelar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah
lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya
sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan
tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu
membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk
leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan
tubrukan yang menentukan.
Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan
suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke
sekian kalinya. namun ia salah perhitungan. Tangan Gelar
tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher
prajurit itu dua belah kaki dan membikin jepitan sila.
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu
tetap dalam jepitan Gelar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang
mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia
itu. Dan tangan Gelar tetap memeluk Sultan.
“Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!”
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan
dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh.
Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan
prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula
melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak
diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia
pun berayun kembali ke atas punggung kudanya.
Penonton terdiam terkejut.
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang
terakhir sesudah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di
atas kendaraannya.
“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru.
Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak Gelar
menghentikan Sultan. Prajurit itu mulai miring. Tangannya
yang sebelah memegangi matanya dan kepalanya
menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan
pelan-pelan, lalu berhenti.
Gelar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun
lari mendapatkannya.
“Bodoh!” bentak prajurit bergelang baja yang semalam.
“Tidak ada aturan menggunakan kaki.”
Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka
berlumuran darah.
Gelar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong
sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas.
Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di
belakangnya.
Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan
Gelar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan
pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging,
dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak
dapat berbuat sesuatu.
Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang
Gelar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan,
Gelar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon
Senapati, Gelar anak Nyi Gede tengkorak . Temui dia dalam
hidupmu: Dan penduduk kota Tuban, terdidik memuliakan
kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi
bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan
sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa
menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama
jadi calon prajurit.
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk
mengaguminya.
Kepala-kepala regu menjadi sibuk menrsi si para
pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan
pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah sebab
memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadis-
gadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh
si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah
tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagah-
beraninya.
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal mayat i
dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan
daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di
dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan
tempat tidur Gelar tak pernah sunyi dari daun bunga yang
ditebarkan.
lalu keadaan pulih kembali seperti biasa. Gelar tak
mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan
kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di
dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap
dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad
untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus
bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di
lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang
ibu dan adik, tidak ada seorang rsi , tiada pula
pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya
dan penindasan.
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia
tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang
ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak,
sebelumnya telah memamerkan keunggulannya, baik dalam
melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat,
untuk mematahkan keberaniannya.
Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu
memainkan tombak? Juga Gelar tahu. Hanya lengannya
belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan
permainannya kurang cepat
Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk
menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan
menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap
pelatihnya yang angkuh terhadapnya.
Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara Gelar
yang diang