nusantara awal abad 16 24

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 24


 


s yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada. 

“Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja 

seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia 

pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja 

katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar 

dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun 

sesudah  Mpu Nala wafat, orang memang masih 

membangunkan kapal Majapahit, sebab  masih ada 

persediaan kayu lunas. sesudah  habis, habis pula 

kemungkinan. 

“Pada suatu kali,” mayat  arwah  meneruskan. 

Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan 

kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati 

setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana, 

begitu menurut cerita rsi ku dulu. Ternyata gunung itu 

telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan 

tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima 

dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.” 

“Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di 

sana,” mandala  mencoba menyertai. 

“Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak 

tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa 

diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan 

sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan 

untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata.” Ia diam 

sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu 

Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu, 

semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal 

Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.” 

“Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” tengkorak  berbisik 

pada mandala . 

Dan mandala  hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita 

rsi  itu. 

“Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya. 

Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali 

diganti. Kata rsi ku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas, 

beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan 

sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal 

ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang,” 

ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam 

pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang 

Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang 

mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan 

perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapal-

kapal semacam itu masih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal 

ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari. 

Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg. 

Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata 

satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut 

akhirnya semuanya. 

Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban 

ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita. 

Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran 

Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di Malaka, namun  

tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal Majapahit. 

Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau 

Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan 

hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara. 

Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala. 

Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus 

dibandingkan  Tuban, namun merugikan bandar-bandar di 

bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan 

persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun 

di utara.” 

“mayat ,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak 

bicara tentang apa? Bicaramu tidak menentu. Kau 

mengagungkan kejayaan Majapahit. 

Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya? 

Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular! 

“Uah! kau benar,” mayat  during mengangkat dagu 

tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat sebab  keringat. 

“Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya 

dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari 

hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan 

mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma 

dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku? Boleh jadi 

kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang 

bisa memperluas hatimu. Puh! mayat  CIuring bukan si 

pengluas hati.” 

“Tak ada yang berkeberatan mayat  seorang pengeluas 

hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baik-

baik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam? 

Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam 

hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau 

bicara tentang yang sudah mati, mayat ,” penyanggah itu 

menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya 

atau kerajaan dedemit?” 

“Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak 

tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku 

tak bicara tentang kema-tian. – tentang kehidupan, tentang 

hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan 

Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya 

dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapal-

kapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh 

dunia. namun , dengarkan, kau yang tak mengerti tentang 

kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau 

pembantah, negeri dengan bandar begini,… orang cukup 

duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan 

banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan 

datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu. 

Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak 

bakal mengerti maksudku. Dan barangkali sebab  kata-

kataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala, 

sebab  panggilan ini, membenih dalam guagarba perawan-

perawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/’ 

mayat  CIuring diam dan berdoa. Juga mandala  

mengangkat sembah. Kata-kata mayat  yang terakhir itu 

menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan 

kawini tengkorak . Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu 

penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan. 

Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak mendengar 

tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit – Majapahit 

yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa mayat  

CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau, 

kau munculkan dia dari guagarba haridepan. 

Ketika ia menengok pada tengkorak , perawan itu sedang 

tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain 

kerudung pada bahu pacarnya. lalu  tangannya 

mencari tangan tengkorak , dan mereka berpegangan tangan 

seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya. 

“Panas’ bisik tengkorak . 

“Mereka namai dia seorang dewa haridepan,” 

gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan 

penghargaannya, ia angkat kata: “mayat , kau tahu tentang 

jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan 

ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru 

pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan 

pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti 

banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu 

permainan.” 

“Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan 

bergandengan tak putus-putusnya.” 

“Ya, bersambungan terus-menerus. Tapi tidakkah kau 

keliru. mayat , atau sengaja membodohi kami, atau memang 

melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua 

pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala 

jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti, 

sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun?” 

“Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak 

dapat membuktikan sebab  barangnya sudah tidak ada. 

Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan. 

Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku. 

Di jaman jaya dulu memang seorang pembicara harus bisa 

buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan 

dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang 

dengan sendirinya.” 

mayat  arwah  menggerakkan tangan untuk melukiskan 

bentuk lunas. 

“mayat , kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba 

haridepan. Kau memanggil balatentara Tuban untuk 

menumpas kami…,” seseorang menuduh. 

Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala 

bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya 

sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan 

sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut 

dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang 

ini.” 

“mayat , sebab  kau sudah bilang para rsi -pembicara 

sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran 

kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong 

sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.” 

Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya 

menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerut-

kerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan 

ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para 

pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah. 

Tak ada keluar kata-kata dari mulut. 

Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek. 

Dan mereka yang arif dapat segera melihat, rsi -pembicara 

itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal 

wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan 

kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap 

kehormatan pribadi mayat . 

“Mengapa terdiam? Mengapa tidak memekik dan 

berjingkrak?”  

“Jangan menangis, mayat ,” seorang dari banjar tengah 

melengking ria, “memang orang-orang muda wajib 

menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh 

semburkan abab semau sendiri.” 

mayat  arwah  belum juga menjawab. Nampak benar ia 

sedang bergulat untuk menindas perasaannya. 

Tak lain dari tengkorak  yang berusaha menyelamatkan 

mayat . Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai mayat .” 

tengkorak  berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi 

mandala  menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru 

menyokong tengkorak  dan membenarkannya. 

Baru lalu  keluar kata-kata mayat  yang berat dan 

sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa? 

Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.” 

Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang 

diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian 

tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan 

kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. namun  

orang masih juga tak mau mengerti.” 

Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan 

bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti, 

jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan 

sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang 

bakal datang tak lain dari kebinasaan.” 

“Kalau begitu. mayat ,” mandala  memaksa bicara hanya 

untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana 

orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan. 

Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak 

mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” tengkorak  berbisik 

memperingatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelompok 

buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa 

datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di 

hadapan mayat , dan mengambil cawan yang telah kosong, 

lalu  pergi lagi. 

rsi  itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum 

dari kucuran cucuknya. 

“Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan 

jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman 

dari pengertian-pengertiannya. rsi -pembicara seperti aku 

ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak 

bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang 

berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada 

punggungnya. namun  darah dan keringat yang 

dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan 

meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah, 

jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu. 

Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.” 

Tiba-tiba mayat  arwah  meringis. Tangannya menelusuri 

perutnya. Sakit perut! orang menduga. lalu  nampak 

mayat  mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah 

kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat: 

“Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah 

membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti dibandingkan  

hanya sekedar menahan kemerosotan.” 

Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri 

perut. 

“Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya 

cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang 

prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari 

pengemongannya si bocah belajar membikin senjata-api 

penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang 

bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan 

perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya, 

dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi 

pemenang tunggal di atas bumi manusia ini. 

Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat 

menggunakan senjatanya. sesudah  dewasa ia tinggalkan 

desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke 

pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari 

pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala 

banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira 

pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama 

militer: Gajah Mada.” 

Wajah mayat  kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh 

meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil 

meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu 

sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia 

kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan 

nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang 

dipersenjatai cetbang armada Majapahit tak pernah 

menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara, 

kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah.” 

Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut. 

tengkorak  bangkit untuk menolongnya. 

mayat  CIuring meneruskan: “Tidak menemui 

perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di 

seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang 

menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang 

yang berledakan di udara, seperti kilat dan rsi h sekaligus, 

membikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara 

– suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus 

tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas 

permukaan air membinasakan armada-armada perampok 

dan bajak laut. Maka darat dan laut aman. 

“Dalam sepuluh tahun lalu  Majapahit mulai jadi 

kekaisaran. lalu  seluruh Nusantara bersatu di bawah 

bendera merah-putihnya.” 

Ia menrsi ti perut, dan dada dan leher. Suaranya 

kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap 

meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar 

Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan….” 

Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wirangmandala  

bergumam, lalu  menghembuskan nafas dalam. Kapal 

besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku 

hanya dengan jung… jung Tiongkok pula…. 

Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas 

kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya, 

dan dibuatnya jadi penutup dada. 

Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini 

mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani. 

Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki 

jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong, 

didendeng. Rusa-rusa itu – makhluk yang tak berbahagia di 

negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami 

seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang 

yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara 

di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan 

dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat 

kesukaannya. 

Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya. 

Bukan bayangan yang memburu-buru, bukan rusa bukan 

kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya. 

Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun 

mendatang? Apakah serba kebalikan dibandingkan  impian mayat  

arwah  impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib Gelar 

dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih 

tidak berdaya, tidak berkemampuan, dibandingkan  aku? Apakah 

mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang 

dungu? 

Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah 

melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia 

memberanikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju 

ke Malaka, Kang?” 

“Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya 

pada para peratus di bandar Jepara. “Kita akan gempur 

Malaka.” 

Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari 

kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung 

naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung, 

dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin 

cerah menantang laut.  

“Kau ingat rumah, Kang?” 

“Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono 

dan Fathillah.” 

“Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada 

Fathillah,” Pada mengalihkan percakapan. 

‘Trenggono dan Fathillah, Pada,” Wirangmandala  

memperingatkan. 

“Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita 

fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya 

Sultan dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar 

dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap 

Malaka, Kang.” 

“Mengapa Liem Mo Han tak mayat h terhadapmu?” 

“Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang.” 

Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar 

kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-mata 

dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai 

banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu 

dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku 

sebagai seorang rsi -pembicara. Bergurau pun tidak terjadi, 

kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin 

mereka. 

Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari 

kejauhan nampak armada Jepara-Demak seperti sebarisan 

camar yang sedang mengapung di permukaan air, putih-

kelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal 

berlayar dengan layar kuning gemerlapan. 

Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak 

bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali 

tidak mereka harapkan. 

“Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!” 

perintah Wirangmandala . Ia sendiri malu memerintahkan 

untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin. 

Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan 

membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar 

dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai 

dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan 

keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak 

mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia 

diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul 

jengkel. 

Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama: 

”Aaaaa!” dan armada Jepara-Demak membelok ke kiri, 

memantai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke Ujung 

Kulon. 

“Khianat! Benar ada pengkhianatan,” gumam 

Wirangmandala  pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum: 

begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus 

waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung. 

Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran 

selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Demak harus 

dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk 

mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal 

mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa 

bersalah pada Sang Adipati. Gila! 

Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana 

Fathillah telah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat 

Banten. 

Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak 

ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa 

sesungguhnya sedang terjadi? namun  semua isyarat dari 

kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak 

berjawab. 

Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit 

dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima-

Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin 

anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka 

naik lagi membawa terlalu banyak kelapa muda. 

lalu  armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat 

Sunda, kembali ke Jepara. 

Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini 

diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono 

berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana 

menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut. 

Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan 

pasukan kuda dapat dipadamkan – dua-duanya 

ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan 

memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini 

akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan 

Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di 

Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka 

bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak 

tidak akan ada. 

Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari 

sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke 

Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus 

bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup-

Liem Mo Han. 

sesudah  armada berlabuh untuk beberapa hari di bandar 

Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak 

tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak 

mengetahui, Tuban telah melihat mereka membelok ke kiri. 

Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat 

selama tiga bulan, lalu  berangkat lagi, menempuh 

garis pelayaran yang sama. 

Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-mandir 

antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya 

telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke 

utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat 

sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan 

kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah 

membikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat 

sesuatu pun dibandingkan  mengikuti perintah. 

Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya. 

Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh 

dari tiga tempat tersebut. Ia merasa telah kehilangan muka. 

sesudah  kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah 

lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di 

Jepara. 

Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan 

pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya. 

Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak 

telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas 

anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang 

berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri 

dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan 

tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang 

terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin. 

Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya. 

Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar 

dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta 

seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia 

menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak 

untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita 

tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita 

Adipati Unus. 

Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud 

di bawah kakinya, dari Blambangan sampai Banten, dari 

laut Jawa sampai lautan Kidul. 

Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa 

pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari 

Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan 

gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan 

mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan 

berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan 

kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis…. 

0o-dw-o0 

 

Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra 

armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak 

pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak 

dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal 

Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai. 

sebab  tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan 

sebab nya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan 

perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai 

dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada 

Jepara-Demak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai 

kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga 

dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam 

hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang 

pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung 

Kulon. 

Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca 

lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan. 

Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantun-

pantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa. 

Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di 

bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut 

mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan 

baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau 

kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian 

celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang 

bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada – 

semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka 

bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki 

orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Tari-

tarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang 

dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan 

persahabatan. 

Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk 

dalam persahabatan yang semesra ini. 

lalu  datanglah hari keberangkatan. Aceh 

menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah 

seluruhnya seribu lebih dua orang: Wirangmandala  dan Pada. 

Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan 

perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan sorak-

sorai semua orang. 

Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk 

ummat Islam, memohonkan keselamatan untuk mereka 

yang akan berangkat ke medan perang. 

Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wirangmandala  

berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua 

dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan 

destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang. 

Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di 

Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di 

tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan 

tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui 

algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau. 

Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka 

takkan sia-sia. 

Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung 

nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di 

sebelah utara Malaka. 

Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana, 

menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas 

tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah 

terbaik disediakan bagi Wirangmandala  yang telah mereka 

angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan 

panggilan Hang Wira. 

Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh 

kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di 

atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada 

perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barang-

barang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur 

di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan 

nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu. 

Dan penduduk tak juga muncul. sebab  tak dapat menahan 

keheranannya Wirangmandala  terpaksa bertanya pada Pada: 

“Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han 

pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana 

batang hidungnya? Semestinya mereka telah melihat kita 

datang dan menghubungi kita.” 

“Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang 

hidungnya. Heran.” 

“Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu?”  

“Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat 

kuncirnya.”  

“Apa artinya semua ini?”  

“Tahu, Panglimaku.”  

“Ya, begini inilah jadinya.”  

“Kita hanya memikirkan Malaka ini saja, Kang.”  

Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh 

prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang 

dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk 

selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu 

dilepaskan sesudah  diberi makan dan perbekalan, dan diikuti 

dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui, 

dan mereka diperintahkan kembali ke kampung. 

Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan 

Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan 

sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari 

darat maupun dari laut. 

Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung 

diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan 

dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan 

kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui 

jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan 

semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas 

sepatu, samar-samar. 

Penduduk yang ditinggalkan melihat semua prajurit pergi 

menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung 

dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan harta-

benda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu 

apa. 

Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan 

harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa 

atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan. 

Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan 

keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran. 

Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati 

kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah. 

Penduduknya berlarian entah ke mana. 

Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah 

tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang 

gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang 

diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak 

pernah melakukan gangguan: sesudah  dua hari menembusi 

hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan: 

penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin. 

Tak adanya pasukan semenanjung telah memusnahkan 

kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa 

perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa. 

Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang 

pertanian harus dibuka terlebih dahulu. 

Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam 

lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari Wirangmandala  

yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak 

untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak 

asal, ekspedisi militer ini akan gagal. 

Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian 

antara tiga macam kesatuan. namun  pembukaan humalah 

yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak henti-

hentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap 

harus ditunda. 

Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk 

mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung 

jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di 

atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. 

Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk 

memasak-masak. 

Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan 

tombak. Pekikan maut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu 

Peranggi yang tidak terkena tombak berlarian membawa 

musket masing-masing dan mulai menembak dari balik-

balik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan 

dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi. 

Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak 

sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat 

lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi 

tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilang-

lenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli 

makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat 

pertempuran pertama kini mendapat kehormatan jadi 

tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang 

kembali bersama-sama mereka membabat hutan, 

mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma. 

Tidak lebih dari seminggu lalu  di sebelah selatan 

nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu 

kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu 

besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera 

menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah 

kampung besar. 

Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap sebab  tempat 

kebakaran itu tidaklah begitu jauh. 

Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wirangmandala  

berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai 

telah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan 

laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari 

Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung 

sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar. 

Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan. 

Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembak-

nembak untuk menghancurkan semangat lawannya. 

Wirangmandala  memeriksa tempat penjebakan yang 

ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di 

bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang 

bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah 

banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan 

hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan 

semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka, 

sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang 

berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak 

hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena. 

Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi 

mereka yang sudah mengetahui keampuhannya. 

“Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita 

akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami 

pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya. 

Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan 

juga berhasil.” 

Mereka telah memasang perangkap di tempat yang tidak 

terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan 

peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdadu-

serdadu Portugis tidak menggerombol sebagaimana halnya 

dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada umumnya. 

Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan. 

Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan 

keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja 

kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriak-

teriak: “Peranggi telah mengepung kita!” 

Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang 

menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari 

segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah 

mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan 

letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari 

panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang 

menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas 

tanah gundul. 

Wirangmandala  memerintahkan mengubah hadap ke arah 

tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan, 

menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan 

datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan 

akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum 

lagi sampai ke Malaka! 

Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan 

musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya 

mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan 

dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang 

dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan 

bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang 

menyerang. 

Satu semprotan musket berlalu di atas kepala 

Wirangmandala . Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri. 

”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka 

bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.” 

Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak 

jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan 

cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam 

semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan 

desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran. 

Dua orang telah jatuh pingsan di tempat sebab  

kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu 

orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan 

peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging. 

Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam 

perang dengan musket begini tak ada prajurit, tak ada satria, 

yang ada hanya pembunuh dan korbannya. 

“Mereka lebih hebat dibandingkan  kita,” seru Panglima 

memberanikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru 

mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak 

membutuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini 

perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah 

kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik 

persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin 

lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi 

berkurang. 

Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak 

semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan 

peluru. Mereka mulai menggunakan pedang. 

Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka 

kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan 

pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya 

di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu. 

Orang mengakui keberanian Peranggi menghadapi lawan 

yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu 

mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang 

menghalangi dan rotan berguguran. 

Hanya sebab  jatuhnya malam saja mereka mulai 

menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan 

meninggalkan korban-korbannya. 

Beberapa pucuk musket telah kena rampas, beberapa 

pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga 

kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya. 

Wirangmandala  mengatakan: pertempuran sekali ini sama 

sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh 

Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah 

mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas 

ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah 

modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari 

Malaka. 

Malam itu juga diadakan penguburan untuk teman-

teman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka 

yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan 

pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar 

melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului 

kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya, 

dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan 

berdaya. 

Wirangmandala  memimpin pengejaran. namun  hutan itu 

terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak 

yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh. 

Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka 

hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang 

berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya. 

Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan 

musuh melarikan diri. 

Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa 

dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di 

dekat daerah peluaran kota Malaka. 

0odwo0 

 

32. Gelar Jadi Sandera 

Kemarin dulu tengkorak  masih berseru dari beranda gubuk 

panggung itu: “Gelar! jangan begitu. Belajar yang baik!” 

Tapi Gelar tak peduli. Dengan melepas kendali ia 

menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk 

leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat 

melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping 

lain. lalu  ia berpacu di jalanan desa dengan 

memunggungi arah. Tak lama lalu  ia berpegangan 

sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda. 

Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan. 

Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan 

berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari 

sehabis kerja. 

Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu. 

Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang 

memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya. 

Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: 

“Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan 

seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keras-

keras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak 

Senapati punya sejambang airmata.” 

Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya 

dengan bantal. 

Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan 

menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan 

ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain 

masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin 

dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan 

sorai tawa. 

Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani 

terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya 

sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di 

desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak. 

Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang 

ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau 

membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. 

Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. 

Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun! 

Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar 

olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu 

dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan 

dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak 

tahu batas.” 

Gelar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat 

olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara 

pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan. 

Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di 

antara mereka mulai merebahkan diri di samping-

menyampingnya dan segera lalu  tertidur dengan 

menyemburkan bau tuak dari mulut. 

Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi 

tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. lalu  

merangkak lagi ke tempatnya. 

Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban 

itu dengan ibunya: “Nyi Gede tengkorak , jangan kaget. Gusti 

Adipati Tuban telah menitahkan agar Gelar, putra Nyi 

Gede yang pertama, dibawa ke Tuban.” 

“Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah 

juga dibawa ke Tuban?” 

“Tak ada yang dapat mencegah titah Gusti Adipati, Nyi 

Gede. Panggillah anak itu.” 

Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan 

kukuh tertutup dengan gumpalan otot. 

“Gelar, kau akan kami bawa ke Tuban.” 

“Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak 

dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya 

sebagai lelaki tertua dalam keluarga. 

Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya. 

“Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi Gede. 

Itulah yang jadi titah Gusti Patih.” 

“Aku telah berjanji pada bapak….” 

Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian 

dan amarah pada mata tengkorak . Dan wajah tengkorak  itu tetap 

cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan 

tubuhnya tetap semampai berisi sebab  latihan-latihan. 

Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan 

betina yang mencium bahaya yang mendatangi. 

“Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala,” 

bentak Nyi Gede. 

“Kami datang membawa titah Gusti Patih.” 

“Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan 

pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi 

membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik 

dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini, 

Gelar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau 

harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu 

pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar, 

hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah 

kau seorang lelaki.” 

Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat 

mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan 

pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun 

meraung, menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya. 

Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. “Belum 

lagi kepala ini sempat berdestar…” gumam ibunya. 

Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya 

tercinta, meraung: “Tidak boleh. Kang Gelar jangan pergi!” 

Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan Gelar 

dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. 

Ia angkat Gelar dalam bopongan. Dan yang dibopong 

meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah 

perjalanannya ke Tuban. Dalam hidupnya yang semuda itu 

ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh 

ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Krambil. 

Wirangmandala  Senapati, semua orang senang padanya, 

bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa hormat 

menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan. 

Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang 

tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari 

hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi 

apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk 

pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak 

dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak 

bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan, 

bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan. 

Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera 

oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar 

ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal 

kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal. 

Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terus-

menerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya 

sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari 

tanpa dirinya? Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari 

ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang 

mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak 

adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa 

akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan 

betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan 

kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan 

terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam 

kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya 

sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan. 

Sampai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si 

bocah itu disanderakan sebab  Wirangmandala  pernah 

menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum 

Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, sebab  

Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang 

didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang 

Adipati Tuban bersekongkol dengan Wirangmandala  untuk 

menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam 

akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat 

mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat 

bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, 

namun ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara 

lain. Maka ia menyesal telah memberangkatkan 

Wirangmandala  dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan 

harapannya akan kematian Senapati. Ia membutuhkannya 

untuk mempertahankan Tuban. Dengan Gelar sebagai 

sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan 

dapat dipanggilnya kembali. 

Gelar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya 

menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai. 

Matari ternyata telah tinggi. 

Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan 

mana orang bangun tertinggal matari?” 

Sekarang Gelar mengerti, tak ada seorang pun akan 

melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan 

jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu. 

Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar. 

Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik 

membalik menjadi dendam yang membuncah dalam 

dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan 

dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam 

prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak 

ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya 

masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu. 

Dengan dua belah tangan prajurit itu menolaknya keras-

keras. Gelar terjatuh di lantai sesudah  menubruk dinding. 

Dan dada prajurit itu berlumuran darah. 

“Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada 

dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sampai mampus.” 

“Dan kutikam kau sampai mampus!” balas Gelar, berdiri 

dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan 

yang mungkin menyusul. 

“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang 

dirimu? Sandera!” 

“Ayoh, cobalah sekali lagi.” 

“Tak ada yang lebih hina dibandingkan  sandera. Kalau aku 

jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari 

terus membersihkan dadanya. 

“Cobalah sekali lagi,” tentang Gelar. “Tak bisa kutikam 

waktu jaga. waktu tidur pun kena.” 

Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu mengalah dan pergi 

sambil menrsi s dadanya yang berdarah dengan pijitan 

dan cengkaman. 

Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi kata-

kata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti 

hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa 

pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya 

tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera. 

Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan 

siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang 

sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda 

lainnya. Ia memberi isyarat dengan tangan. 

“Naik!” perintahnya. 

Dan Gelar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi 

lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang 

lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, 

seseorang telah mencambuk binatangnya. Kuda itu terkejut, 

melompat. Gelar terbalik di atas punggung kendaraannya 

dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada 

sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi 

orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh 

menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan. 

Prajurit yang memerintahkan tadi mendekati dan dari 

atas kuda membentak. 

“Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baik-

baik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia 

menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alun-

alun. 

Gelar bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobek-

sobek dan berdarah, lalu  membasahinya dengan 

ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak 

jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, 

memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu 

namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak 

disebut-sebut belakangan ini: “Sultan! Sultan!” ia 

menghampirinya sambil berpincang. 

Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus 

datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali 

dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan 

diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah 

pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai 

bersih. lalu  ia rangkul leher Sultan dan melompat ke 

atasnya. 

“Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul 

dia, biar aku gebuk kepalanya.” 

Gelar tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda 

yang tinggi besar itu dan mulai memburu. 

Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk. 

“Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada 

kuping Sultan. 

Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi 

bersemangat. “Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia 

menjempalit!” 

Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu 

pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun 

untuk menonton. lalu  orang lalulalang pun 

memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa 

pengumuman penonton semakin lama semakin banyak. 

Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas 

ketegangan. 

Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya, 

tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian 

beberapa kali lagi terjadi. 

Gelar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah 

lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya 

sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan 

tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu 

membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk 

leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan 

tubrukan yang menentukan. 

Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan 

suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke 

sekian kalinya. namun  ia salah perhitungan. Tangan Gelar 

tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher 

prajurit itu dua belah kaki dan membikin jepitan sila. 

Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu 

tetap dalam jepitan Gelar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang 

mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia 

itu. Dan tangan Gelar tetap memeluk Sultan. 

“Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!” 

Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan 

dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. 

Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan 

prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula 

melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak 

diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia 

pun berayun kembali ke atas punggung kudanya. 

Penonton terdiam terkejut. 

Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang 

terakhir sesudah  dapat melihat prajurit itu duduk goyah di 

atas kendaraannya. 

“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru. 

Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak Gelar 

menghentikan Sultan. Prajurit itu mulai miring. Tangannya 

yang sebelah memegangi matanya dan kepalanya 

menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan 

pelan-pelan, lalu  berhenti. 

Gelar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun 

lari mendapatkannya. 

“Bodoh!” bentak prajurit bergelang baja yang semalam. 

“Tidak ada aturan menggunakan kaki.” 

Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka 

berlumuran darah. 

Gelar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong 

sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas. 

Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di 

belakangnya. 

Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan 

Gelar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan 

pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging, 

dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak 

dapat berbuat sesuatu. 

Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang 

Gelar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan, 

Gelar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon 

Senapati, Gelar anak Nyi Gede tengkorak . Temui dia dalam 

hidupmu: Dan penduduk kota Tuban, terdidik memuliakan 

kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi 

bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan 

sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa 

menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama 

jadi calon prajurit. 

Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk 

mengaguminya. 

Kepala-kepala regu menjadi sibuk menrsi si para 

pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan 

pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah sebab  

memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadis-

gadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh 

si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah 

tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagah-

beraninya. 

Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal mayat i 

dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan 

daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di 

dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan 

tempat tidur Gelar tak pernah sunyi dari daun bunga yang 

ditebarkan. 

lalu  keadaan pulih kembali seperti biasa. Gelar tak 

mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan 

kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di 

dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap 

dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad 

untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus 

bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di 

lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang 

ibu dan adik, tidak ada seorang rsi , tiada pula 

pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya 

dan penindasan. 

Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia 

tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang 

ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak, 

sebelumnya telah memamerkan keunggulannya, baik dalam 

melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, 

untuk mematahkan keberaniannya. 

Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu 

memainkan tombak? Juga Gelar tahu. Hanya lengannya 

belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan 

permainannya kurang cepat 

Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk 

menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan 

menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap 

pelatihnya yang angkuh terhadapnya. 

Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara Gelar 

yang diang