nusantara awal abad 16 23
i. Tapi ia pun tahu
betapa perempuan itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan
mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar
tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari
desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya sebab
besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang
pada mereka.
Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti
itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan
kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan
Demak, bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak
hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi
bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia
belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan
hidup begini.
Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya
yang telah mengubah jurusan yang semula hendak
ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya.
Orang itu adalah tengkorak . Apa pun yangKtHptitejf buatnya
seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan
pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh
tengkorak . la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus
hati. tengkorak ! istri sahabatnya! ia yang lebih tua dibandingkan nya!
ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah
mengembalikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila
kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya
dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya
sendiri ia mencintai tengkorak .
0o-dw-o0
lalu datanglah berita itu: balatentara Demak telah
membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan
barat.
Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada
persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke
gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari
pekerjaan lama telah mengembalikannya jadi Mohammad
Firman yang lama.
Ia dapatkan Wirangmandala sedang menguliti rusa betina
yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya
berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas
gelaran daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam
kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup
tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata
terlalu besar itu di atas telapak tangan.
Pada berjongkok di hadapannya.
“Suka kau?” tanyanya padanya.
Pada bergidik.
Dan mandala memakannya mentah-mentah sampai habis.
Darah berlumuran pada mulutnya.
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa,” kata Pada.
Wirangmandala tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia
meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging
binatang celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun
pisang.
“Kang mandala , tak kau dengarkan aku?”
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu.
Mengapa, Pada apa maksudmu?”
“Mengapa? Masa kau seorang senapati tak punya
perhatian?
“Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu
diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah
pernah memayat lkan hati-hatilah kalian terhadap Demak”.
“Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang?”
Wirangmandala meneruskan pekerjaan tanpa
memperhatikannya.
“Kau diam saja. Kang?”
“Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macam-
macam pertanyaanmu”.
“Tidak benar. Dengan diam-diam kau telah
memikirkannya”.
“Lantas apa kau harapkan dibandingkan ku? Pertahankan
Tuban? Serang Demak? Atau pertahankan tanah ini? Huma
dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada
gubuknya.
“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi
Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik
dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan
aku. Kau orang Demak.”
“Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di
Tuban, seperti kau juga.”
Wirangmandala berhenti bekerja dan menancapkan pisau
sayatnya pada daging paha binatang itu.
“Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang Tuban dan
pengabdianmu pada Demak. Bukan persoalanku.”
“Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau Tuban
diterjang Demak?”
“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada
cerita-ceritamu sendiri tentang Peranggi dan Ispanya?
Tentang meriam mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih
Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk
dapat menghancurkan Kiai Benggala? Tak mungkin kau tak
punya perhatian dan pemikiran.”
”Trenggono bukan Kiai Benggala!”
“Bukan.”
‘Trenggono sama dengan Kiai Benggala.”
“Memang sama.”
“Lantas apa lagi?”
“Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya
akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya
Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang
Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani
dan menjebaki rusa dan celeng”.
“Sudah ada orang lain yang menrsi s, Pada.”
‘Tak ada yang sebaik kau.”
Wirangmandala mencabut pisau dan meneruskan
pekerjaannya.
Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada
batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.”
“Mulai kapan kau dapat jabatan untuk menrsi s soal
perang?”
“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.”
“Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”
Gelar datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor.
Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat.
“Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya
didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.”
“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan
makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.”
“Berangkat ke mana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau
Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai
utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang
siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.”
“Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang.”
“Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya
untuk memikirkannya lagi.”
“Kau putus asa, Kang.”
“Aku tak mengharapkan sesuatu. Dulu aku masih punya
harapan dulu, sewaktu Gusti Unus belum wafat. Dan hanya
seorang saja, duanya. sesudah wafatnya semua nakhoda,
pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai
rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.”
“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah
urungkan datangnya si pelahap.”
Wirangmandala berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia
cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu
asahan, lalu berjongkok dan meneruskan
pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata mayat
arwah dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis
Krambil: Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah
runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana.
Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja Demak.
Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak
mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian.
Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau Demak
mulai menyerang kalian, memburu-buru dewa-dewa kalian,
menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur
kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian
sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak
sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku
telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi
menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-
katamu, mayat .
Sekarang mayat lan itu memperlihatkan tanda-tanda akan
menjadi kenyataan.
Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya mayat arwah :
“Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada.
Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan
terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si
rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak
medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si
rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan,
mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya,
Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan
murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat
mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya
Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga
puluh atau dua puluh tahun orang dapat mempersatukan
Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan
dapat menguasai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.”
Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, sebab ia
bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan
dengan otot-ototnya.
“Kau bicara tentang syarat, Kang.”
“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di Demak kau
tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata mayat
arwah , yang kau mendapat perintah untuk membunuhnya
itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan
Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh
jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara
dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada.’
Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.”
“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya,
bagaimana kalau Trenggono menyerang Tuban?”
“Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa.
Buka daerah baru. Gelar!” pekik mandala , “tiada kau jamu
pamanmu ini?”
Gelar yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu
datang berlarian.
“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang membantu
masak,” ia tertawa pada Pada lalu lari menghilang.
Wirangmandala pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan
kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang.
“Pada!” tiba-tiba mandala menengok padanya. “Mengapa
kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku
lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.”
“Kang!” Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti
yang disuarakannya di atas kapal dagang dulu.
“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.”
“Kang,” Pada menyebut lemah.
“Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan Islam.
Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak
mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan
Awis Krambil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar
yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan
salahku, Pada, kalau di seluruh Tuban hanya ada seorang
tengkorak . Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati.”
“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.”
“Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem
Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desas-
desus.”
sesudah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambat-
lambat tanpa menoleh.
tengkorak , Wirangmandala , Gelar dan Kumbang
mengantarkan sampai batas sawah. lalu suami-istri
itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik
semak-semak petai cina. Gelar lari pulang,dan balik lagi
membawa kuda, melompat ke atasnya.
“Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya
pada Wirangmandala , dan tanpa menunggu jawaban ia
memacu kudanya.
Tinggallah suami-istri itu dan anaknya yang bungsu.
“Mari naik,” tengkorak mengajak.
“Dia mencintai kau, tengkorak ,” bisik suaminya.
“Kasihan. Begitu muda,” jawab tengkorak dan membuang
muka.
“Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?”
tengkorak naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan
percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepat-
cepat dari belakang.
“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya.
“Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada
hukumannya. Mungkin ke Lao Sam”.
“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.”
“Kumbang! Ayoh naik!” seru tengkorak . “Jangan jauh-jauh
pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu
menghindari jebakan.”
“Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu
tengkorak ,” suaminya meneruskan.
“Apa kau bicarakan ini?” tengkorak memprotes.
Tapi Wirangmandala menariknya dan dibawanya ia ke
beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan,
kepala kuda dan Gelar dan Pada masih kelihatan di atas
tajuk semak-semak petai cina.
“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh
dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata tengkorak pada
Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu
nangka kuning, namun selebihnya terbuat dibandingkan bambu.
Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula
pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah,
sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di
lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas
panggung gajah.
Dan kini para penunggang kuda mulai timbul dan
tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga
mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama
sekali.
“Kau tahu apa yang dibawa Pada?”
“Mana aku tahu?”
‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.”
tengkorak melengos lalu masuk ke dalam bilik,
Wirangmandala menarik Kumbang dan memangkunya.
Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-
balik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau
siapa tengkorak ?”
“Emak, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Penari tanpa tandingan, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Mak! Mak!” Kumbang berseru memanggil-manggil.
“Apa lagi, Mak?”
“Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan:
jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri
Tuban, Kumbang, di seluruh jagad raya.”
Dan Kumbang tertawa-tawa senang, lalu meloncat
dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya.
Tak lama lalu terdengar dari dalam bilik suara tengkorak :
“Husy, jangan dengarkan bapakmu.”
Dan Wirangmandala duduk seorang diri di beranda
menunggu kedatangan Gelar. Sementara itu ia mulai
memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada.
Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir
ini, kalau berita itu benar. Seorang Sultan harus lebih
bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan
bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri
untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara
sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa
kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. Dengan
alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggempur
Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan
Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa.
Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa,
ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya
kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak
orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan
perintahnya. Sekali seorang raja memulai…. Tak pernah
Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata
mayat arwah . Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang
Widhi, kata mayat pula.
Dari kejauhan nampak kepala Gelar timbul tenggelam
dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat,
lalu muncul seluruh badannya dan kuda
tunggangannya di ujung jalan sana.
Dia lebih pandai menunggang kuda dibandingkan aku, anak
semuda ini. Tanpa rsi .
0o-dw-o0
Selang tiga bulan lalu Pada datang. Langsung ia
temui. Wirangmandala di hutan sedang menurunkan air enau
dari pohon. lalu ia menolongnya memikulkan
lodong-lodong bambu ke rumah.
Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari
pondok, menggunakan kuali tanah besar.
Pada waktu memasak itu bekas musafir Demak itu mulai
bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di
seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul
Malaka.
Wirangmandala mendengarkan dengan diam-diam. la
gembira tapi tidak menunjukkan pada tamunya.
Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk
diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian
antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. Dalam hati ia
mengucapkan syukur telah ada kesepakatan bulat di Demak
untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar dibandingkan
beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan
menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha
mengusir Peranggi dari Pasai.
“Dan, Kang mandala , sekali ini pasukan Bugis-Makasar
yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan
berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat
kau bersinar-sinar, Kang.”
Gelar dan Kumbang berlarian mendapatkan Pada.
“Paman kelihatan kurus!” tegur Gelar.
“Dan kau nampak semakin gagah, Gelar. Hai,
Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang
kelaparan ini?”
“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga
Terdengar ia berseru-seru pada emaknya.
tengkorak muncul di beranda pondok dan menegur keras-
keras: “Pada Kaukah itu?”
“Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati,” Pada
memperingatkan.
“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.”
“Gelar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke
bawah rumah” Wirangmandala memerintahkan anaknya.
“Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan
dihindari”
“Tak bisa lain. Memang harus begitu,” Senapati Tuban
itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia
hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan
diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata
mayat arwah , Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam
kesatuan Nusantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah
Trenggono pewaris cita-cita Unus? Mungkinkah itu?
Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh
Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?”
“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia.
Kau ragu-ragu terhadapnya?”
“Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan Peranggi dan
Malaka adalah kunci, kunci segala.”
“Bayangkan, Kang mandala , berpuluh-puluh kapal dan
Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana,
membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi
laksamananya?” Pada diam.
Lelaki yang sedang mengaduk air enau mendidih di
depannya itu termenung-menung.
“Dan barangkali juga Tuban ikut serta di dalamnya,”
sambungnya. Ia lihat Wirangmandala menggeleng tak
kentara. “Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh!”
“Baik, itu baik. Gelar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk,
Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia
sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak
lama lalu ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat,
Dayu. Sudah siap-belum kelapa parutan?”
tengkorak turun dari rumah membawa kelapa parutan di atas
daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu
ke dalam bubur gula. Dari tempatnya Wirangmandala dapat
menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh
istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka
merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat
pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat
sana.
Dalam hati-kecilnya ia masih belum yakin Sultan Demak
dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak
mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan
orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh
abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan
kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan
armada besar ke Malaka, barang tentu telah terjadi sesuatu.
Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu
yang begitu berpengaruh terhadap Sultan?
Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada.
Dan tengkorak sedang membariskan cetakan gula dari
potongan-potongan ruas bambu.
“Apakah Liem Mo Han pernah menghadap Sultan?”
“Itu aku tak tahu.”
“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” tengkorak
pergi dan naik ke atas rumah.
“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di Demak?”
“Memang ada, Kang mandala , datangnya Fathillah,
sekarang ipar Sultan.”
“Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.”
“Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima Demak.
Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di
tangannya, juga seluruh armada Demak.”
Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya
sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati
Tuban akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada
keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari Pasai.”
“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai,
Dia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi.
Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani.
Mungkinkah sesudah semakin jauh begitu dia akan berani
mendatangi Malaka? Aku ragu, Pada.”
“Tujuh puluh kapal, Kang mandala , paling tidak dapat
memuat sepuluh ribu prajurit”
“Demak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau
mengimpi. Padas”.
“Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang mandala . Dan
itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada
semacam itu ayam pun berani menyerbu Malaka.”
Wirangmandala tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja
seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal
besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut.
Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya
pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit
tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri.
Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono
masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan
pada Sultan? namun pemipin pasukan kuda Demak tetap di
tangannya….
Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa
bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mulai
mengental.
“Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau
terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut
bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang
akan datang dari utara. Perang telah juga mengganggu
perairan Tiongkok, selamat Kang.”
Wirangmandala mendengarkan dengan hati-hati dan tetap
dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda Demak.
Waktu makan bersama Senapati Tuban itu telah
tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai
seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya
pada Trenggono, sebab dialah kunci Nusantara sekarang.
Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar
dari perbuatan seorang pembunuh saudara. tengkorak
memperhatikan raut muka dua orang lelaki itu berganti-
ganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara
soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak
berhasil.
sesudah selesai makan, kecuali Pada, semua minum
tuwak.
Dan orang lelaki itu lalu menarik diri dan
bertiduran di geladak serambi. Dan waktu matari mulai
condong ke barat Senapati Tuban membangunkan
tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk
bersembahyang.
“Dan akan terus turun ke sawah. Pada, Gelar! Kau yang
membawa sapi!”
“Aku ikut,” kata Pada.
“Kau belum lagi bersembahyang.”
“Nanti di sawah sana.”
Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang
tertinggal di rumah hanya tengkorak dan Kumbang.
Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air
buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak
dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami
sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama
setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia
berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput.
Pada dan Gelar menggaru bergantian. Wirangmandala
menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah
yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang
terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing
tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang
mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan
diri dari kebinasaan. Gelar mencambuki binatang-binatang
itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang
sedang mendendangkan kisah para nabi.
Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, sebab
memang belum waktunya.
Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran
Wirangmandala tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan
seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan
mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan
air lumpur yang agak bening, tapi tak lama lalu
lumpur menutup mukanya lagi.
“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri
itu yang justru paling banyak tingkah menrsi snya,”
pikirnya lalu . “Kalau Trenggono pernah mencangkul
begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah
tanah orang lain.”
Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda,
berseru-seru lantang: “Senapatiku! Senapatiku!”
Wirangmandala mencaup air yang nampak agak bening,
menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak
kabur dilihatnya seorang prajurit pengawal Tuban dan
menghampiri.
“Sini!” balas Wirangmandala . Dengan masih membawa
cangkul ia naik ke atas pematang.
Prajurit itu melompat turun dari kuda, lari
mendapatkannya, bersujud dan menyembah.
“Bangun!” bentak Senapati Tuban. “Apa artinya semua
ini?”
“Sahaya mengawal Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi,
datang untuk mengunjungi Senapatiku. Gajahnya masih
agak jauh di belakang”
’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih Tuban,’ pikir
Wirangmandala ,
“Urus kudamu.”
lalu ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah,
mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan
celana yang habis dicucinya.
“Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih.”
“Senapatiku, sahaya pun anak petani.”
“Dan kau lebih suka jadi prajurit pengawal dibandingkan tani,
bukan?”
“Sahaya, Senapatiku.”
“Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor,”
katanya sambil mengenakan celananya yang basah dan
melompat naik ke atas tangguk
“Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama
musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati
tetap Senapati? Marilah Senapatiku, datang menyongsong
Gusti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi”
“Berangkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong
siapa pun.”
“Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya….”
“Berangkat!” perintahnya.
Prajurit itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan
pergi ke arah datangnya.
“Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang,” Pada
menukas “Tuban membutuhkan seorang Wirangmandala .”
“Husy!”
“Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak
untuk kau suruh melompat ke laut.”
Gelar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk
perkara.
“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua
akan selesaikan petak ini.”
“Pergi dengan seluar basah begini?”
“Betul juga.”
Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa.
“Itulah barangkali Gusti Patih Tuban,” Gelar naik ke
tanggul dan mendengar-dengarkan.
“Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari
mandi.” Wirangmandala pergi meninggalkan mereka berdua.
sesudah keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak
olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajurit-
prajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cuwil berdiri
di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa,
tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi
sembah dengan lambaian tidak kentara. Destarnya
gemerlapan sebab intan-intan yang menghiasinya sedang
bercumbuan dengan sinar matari senja.
Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari
sujud dan sembah dan lalu bersorak riuh.
Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cuwil dengan
kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, lalu
langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya tengkorak dan
Kumbang telah turun dari rumah untuk menyambut, dan ia
menggabungkan diri dengan anak dan istrinya.
Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang
dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu
telah memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal
kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah
yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk
desa mengiringkan.
Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati
pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari
barisan dan seperti melayang menghampiri pondok,
berhenti di hadapan Wirangmandala dan mengangkat tombak
mereka. Seorang di antaranya berseru: “Senapatiku! Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi berkenan datang untuk
berkunjung.”
“Wirangmandala sudah menunggu,” jawab Senapati.
Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tombaknya dan
kembali menggabungkan diri pada barisannya.
Gajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa
dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti.
Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan
kanan dan berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil
Sang Wirabumi datang berkunjung.”
“Masuklah, Sang Wirabumi!”
Gajah itu berlutut, lalu mendekam. Kala Cuwil
turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. Dan
Wirangmandala tidak membalasnya. tengkorak berlutut
menyembahnya dan Kumbang bersimpuh, menyembah
pula.
Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa,
juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari
rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium
kaki bergantian.
Kala Cuwil dan Wirangmandala serta keluarga naik ke
rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang
menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan
trasi dan memasukkannya ke pondok tengkorak . Penduduk desa
masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang
Patih Tuban.
“Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala
kebesaran, Kala Cuwil,” Wirangmandala memulai.
“Tetap sebagai teman, Senapatiku.”
“Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.”
“Ya, kami semua harus menginap.”
“Kepala desa nanti akan mengatur segalanya.”
“Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga?”
“Samalah dengan Sang Patih Tuban.”
‘ah’
“Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil.”
“Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini.”
Wirangmandala merasa tersinggung mendengar jawaban
itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan
mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama
dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya.
Kala Cuwil memperhatikan pakaian tuan rumah yang
kuning tercampur lumpur. lalu terdengar suaranya
yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan:
“Mana Gelar, anak Senapatiku?”!’
“Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan
pulang”
Dan Kala Cuwil belum juga mengatakan apa maksud
kedatangannya, Wirangmandala memperhatikan airmuka
tamunya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya,
membisikkan sesuatu, lalu tertawa terbahak. namun
tuan rumah tidak menyertainya tertawa.
“Aku bisa bayangkan,” Senapati mengangguk-angguk,
“betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan
bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk
desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa?”
“Tiada kulihat mereka.”
“Kau hanya melihat ke atas. Kala Cuwil,” ia turun,
menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam
dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan
petunjuk khusus pada kepala desa.
Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan
tengkorak terdengar olehnya buntut kata-kata tengkorak : “Si
Kumbang belum cukup dia keloni. Gusti.”
Wirangmandala menghentikan langkahnya. Ia lihat tengkorak
dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik
Kumbang, memeluknya lalu dibawanya masuk ke
dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil
membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya.
lalu dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya;
“Nasibmu, Nak, nasibmu.”
Wirangmandala mengawasi Sang Patih dengan mata
curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku.
Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang
Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugusan
Tuban untuk ke Malaka. Lima ratus orang ada Senapatiku,
seperti beberapa belas tahun yang lalu.”
Wirangmandala terduduk di ambin. Ia terpukau. pada
sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam
paha lalu berubah jadi tinju.
“Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang
Wirabumi.”
Wirangmandala tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang
dan menghembuskan nafas desis.
“Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban?”
Wirangmandala menarik kedua belah lengannya jadi siku-
siku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya.
Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia
dengar suara istrinya, tak jelas.
“Senapatiku belum juga menjawab.”
Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat
masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu
percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama.
lalu , tanpa diduganya, terdengar suara tengkorak kesal:
“Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu.
Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya?”
0odwo0
31. Kembali ke Malaka
Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi.
Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan umbul-umbul
dan sorak-sorai yang berkumandang seperti rsi h. Pendeta-
pendeta Buddha dengan jubah kuning menggemerincingkan
giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah
banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda
Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan
berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya
dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama
Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini
harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak,
Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan.
Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerah-
daerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada
kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil
menusuk ke selatan, memuntahkan balatentaranya yang
termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan
keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun
lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah memerintahkan:
persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng
terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian
armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negeri-
negeri Melayu.
Dua ratus tiga puluh tiga tahun lalu , pada 1523
Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer.
Tidak ke daerah Melayu, namun ke Malaka. Tidak dengan
umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha
membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal
perang namun dengan tiga puluh buah jung! Tidak
diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang
Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang
mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan
diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak
menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada mereka
yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan
umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka
balatentara dari gugusan Tuban itu.
“Baik,” kata Wirangmandala pada Kala Cuwil yang berdiri
di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.”
“Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku.
Semua atas perintah langsung Sang Adipati.”
“Ingat-ingat ini: Wirangmandala takkan kembali ke negeri
ini sebelum Sang Adipati mati.”
“Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa.”
“Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?”
“Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik
dari mana-mana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku
nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati
tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.”
“Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan
kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak
dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami
jalani hukuman mati ini.”
“Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.”
Wirangmandala tak menggubris ulangan itu. Dengan
geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyi-
senyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat.
Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara.
Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam
hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian
terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang
mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini?
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya,
Senapati Wirangmandala . Dan orang melihat, tak seorang
pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan
keberangkatannya. Orang pun mengetahui: tengkorak telah
menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki
di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya memasuki umur
lima belas itu tidak mengantarkan – suatu hal yang
dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan
ditambah lagi dengan sumpah Wirangmandala sendiri yang
takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati.
Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia
masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum
berangkat meninggalkan Awis Krambil. Anak-anak itu
bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani,
membantu dan membela ibu mereka. Dan tengkorak , ah,
wanita yang selalu ditinggalkannya itu – ia tak bicara apa-
apa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya;
protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan
seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat
jalan. Wanita pada menangis untuk tengkorak , dan pria
menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondar-
mandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas
benteng penduduk: “Jaga Nyi Gede tengkorak dan anak-
anaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.”
Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan
sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke
medan perang.
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia
mengucapkan syukur alhamdulillah sebab
keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa
mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh
jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah
ia dapat menyusun pikirannya.
Di Awis Krambil ia merasa otak dan hatinya
terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu
terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak
disuruh Wirangmandala tak bakal ia dapat meninggalkan desa
perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han.
Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak
Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati
pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah.
Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan
angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak
menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat
sepatah demi sepatah. “Memang banyak bandar-bandar
yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan
Peranggi bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat
memayat lkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa
dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka:
penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan.
Penyerangan dari barisan punggungnya akan membikin
mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.”
Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga
akan ikut serta?”
Dan Liem Mo Han menjawab: “Tidak, kami hanya
perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa
membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan.
Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan
agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka
menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.”
“Siapa mereka itu?”
Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, “Aku
sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang
nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orang-
orang Tionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam
penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti.
Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.”
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami
dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan tengkorak ,
istri dari seorang sahabat Wirangmandala , dan berharga bagi
dirinya sendiri.
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak
berbahasa Jawa atau Melayu. Semua orang Tionghoa totok,
dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan
dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang
dipergunakan.
Sebagian kecil dari awak kapal beragama Islam dan pada
setiap kesempatan ikut berjemaat.
Di Lao Sam armada jung itu berlabuh.
Liem Mo Han menjemput Wirangmandala dan
menemukan Pada ikut serta.
“Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah
Liem. “Senapatiku bisa tertinggal oleh armada Jepara.”
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jung-
jung itu bahan makanan, pakaian dan senjata.
“Juga tidak perlu bermalam di Jepara. Bila sudah sampai
di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra,
Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka.
Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus
mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan
gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.”
Wirangmandala terheran-heran mengapa kata-kata
sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang
memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima
Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang
tidak mengerti.
Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup:
“Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan Gusti
Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan
merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan
menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri
pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur
Semenanjung. Boleh jadi armada Demak sudah berangkat
terlebih dahulu. Atau lebih lalu .”
Wirangmandala semakin terheran-heran. Bagaimana bisa
demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap
Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk
memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan
ia menatapnya dengan curiga.
Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi,
mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya.
Senapati Tuban mengucapkan terima kasih atas
usahanya mendapatkan jung sebanyak itu.
Pada berusaha menyertai bicara, namun Liem Mo Han
hanya menghormatinya dengan sopan lalu
mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal.
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap:
suram bertanya-tanya.
Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak
bermalam di Jepara, Wirangmandala memutuskan untuk
singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin
mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari
Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir
dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya
padanya.
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem
Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia
bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang
ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan
ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu.
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram.
“Kosong!” seru Wirangmandala waktu dari jung bendera ia
melihat pelabuhan Jepara kosong.
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal
bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan.
“Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!”
serunya geram.
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas
tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi
tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah
bertempur melawan Peranggi silelananging jagad.
Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan!
Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai
lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi.
Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan
sesudah 1513.
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal,
bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal
sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal
menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas
kerusakan yang bisa membikin kapal itu tenggelam. Dan
semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk
menonton.
Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah
memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya
pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan.
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan
satu itu.
Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah
sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat
bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas
pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup
angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak
termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriak-
teriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!”
Wirangmandala dapat mengerti perasaan anakbuahnya.
Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah
menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah
pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana.
Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun
sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan mungkin
masih tetap seorang musafir Trenggono.
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki
selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban
itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib
Adipati Unus. Dan jung menuju langsung ke pelabuhan.
Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang
umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama
sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak
nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua
berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di
samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para
penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton
berlabuhnya armada aneh itu. Wirangmandala mendarat
dengan wajah merah padam.
“Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu.
“Sudah kami duga kau akan singgah.”
Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia
bersimpuh dan menyembah: “Gusti Ratu, patik singgah.”
“Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu
Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu,
Wirangmandala , Senapati Tuban. Jangan berkecil hati,
sebab kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri
dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah
dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang
Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan
Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau.
Senapati Tuban. Allah akan memimpin dan memberkati
dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa
kami. Insya Allah selamat dan berhasil.”
Wanita tua itu minta Wirangmandala mengulurkan
tangan-kanannya, lalu memasangkan cincin. Dan
Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih
dengan kepercayaan itu.
Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya:
“Ya, Gusti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami
diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal
perang sebagaimana layaknya?”
“Jangan bertanya, anakku, sebab itulah kiriman Allah
dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.”
“Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung
untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak?”
“Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan
armada Jepara-Demak dari pikiranmu.”
“Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, Gusti
Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.”
“Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di
laut. Tugasmu melakukan pendaratan.”
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan
para penandu lari menghampiri, menyembah, lalu
mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar.
Wirangmandala tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin
tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera
mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan
berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat
untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.”
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat
armada aneh – armada jung berbendera Majapahit. Armada
apakah ini gerangan? Armada dagang membawa beras ke
Pasai? Dan tidak lain dari Wirangmandala juga yang merasa
jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai
keanehan jaman yang perlu disaksikan.
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas
tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang
yang memendungi selaput awan.
“Nenenda,” panggil cucunya, “ke mana mereka
belayar?”
“Malaka, mengusir Peranggi.”
“Mengapa nenenda menangis?”
“Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan
pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.”
“Ya, nenenda, tapi mengapa nenenda menangis?”
“Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk
mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan
diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus,
penantang Peranggi?”
“Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang
Peranggi.”
“Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: Wirangmandala . Dia
pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk
dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. Tapi
Wirangmandala kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau
lupa seumur hidup.”
“Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?”
“Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang,
antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. Sertai
nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.”
Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan
cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga
selesai. lalu dengan suara dalam sebab perasaan
tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur
aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang
seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu
lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan
sentausa, adil dan sejahtera, adalah sebab mereka. Kalau
yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau
akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf,
berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.”
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada
armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan
rombongan penonton di pelabuhan.
sesudah bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa
sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah
diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata
ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk
memaafkan putranya Sultan Trenggono, sebab armada
Jepara-Demak telah dilarang oleh putranya menerima
penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum
waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang
berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut
ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya
armada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah
menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu
langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin.
sesudah bersembahyang isya ia menengok cucunya yang
ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di
samping cucunya.
“Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya.
“Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah
hafal.”
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan
sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah
untuk lalu terhenti dan disambung dengan nafasnya
yang teratur.
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik.
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman,
memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap.
Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa,
memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam
kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai
buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi
kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini,
habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa
daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah
dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku
usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku
dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, sebab
jaman yang itu akan membikin sia-sia segala dan semua
yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah,
ya Allah.
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para
inang masih juga menunggui. Makan malam telah
dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah.
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu,
lalu kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali
dan bersembahyang tahajjud sampai subuh.
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah
utara untuk mendapatkan angin yang lebih
menguntungkan.
Dan Wirangmandala masih juga tenggelam dalam
pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya.
Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya.
Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal
duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada
orang yang berani menyilakannya makan.
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia
berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang
serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam.
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato
mayat arwah yang terakhir itu, sewaktu cengkaman rsi -
pembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini
orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan
tiba-tiba semua pandang terarah pada tengkorak yang angkat
bicara: “mayat , aku tak begitu tertarik pada kata-katamu
yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman
kejayaan yang kau agung-agungkan itu.”
mayat arwah menengok ke arah tengkorak , tersenyum dan
mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar
kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri
sekarang ini. Dengarkan, Gadis: “Dalam seluruh
pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman
kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di
mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut
dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang
sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya
mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu
lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka
lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka
melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka,
sebab jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan
kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengah-
lengah tak sanggup membiakkan kelapa itu.”
“Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri,
mayat ,” seseorang memprotes.
“Itu menurut kau. Soalnya sebab kalian sejak dulu tak
mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku
masih terus bicara dan kalian masih juga menganga
menunggu datangnya lalat.”
“Mulailah dengan cerita itu!” tengkorak mendesak.
“Baik,” sambar mayat arwah untuk meninggalkan
pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang
anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah
kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para
dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia
ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang
dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan
ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal
besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang
agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang
berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal
kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek.
“Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangan-
galangan Majapahit di Tuban, Gresik, Kawal, Panarukan,
Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan
kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada
Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka
istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu
berlayar sutra kuning gemerlapan.”
“Apakah mayat pernah melihat dan menaikinya?” tengkorak
bertanya lagi.
“Waktu muda, ya, dari Gresik sampai ke Nalagasari,
dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara.
Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapal-
kapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing
di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan,
laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya
semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu
bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya,
Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal
Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya
sekarang.”
“Mengapa tak bisa? Bukankah di bandar-bandar orang
terus menggalang?” tengkorak merangsang. “Aku sendiri
pernah berkunjung ke sebuah galangan Tuban setahun yang
lalu.”
‘Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak
dapat membikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui
kayu luna