nusantara awal abad 16 23

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 23


 


i. Tapi ia pun tahu 

betapa perempuan itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan 

mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar 

tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari 

desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya sebab  

besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang 

pada mereka. 

Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti 

itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan 

kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan 

Demak, bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak 

hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi 

bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia 

belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan 

hidup begini. 

Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya 

yang telah mengubah jurusan yang semula hendak 

ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya. 

Orang itu adalah tengkorak . Apa pun yangKtHptitejf buatnya 

seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan 

pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh 

tengkorak . la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus 

hati. tengkorak ! istri sahabatnya! ia yang lebih tua dibandingkan nya! 

ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah 

mengembalikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila 

kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya 

dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya 

sendiri ia mencintai tengkorak . 

0o-dw-o0 

 

lalu  datanglah berita itu: balatentara Demak telah 

membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan 

barat. 

Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada 

persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke 

gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari 

pekerjaan lama telah mengembalikannya jadi Mohammad 

Firman yang lama. 

Ia dapatkan Wirangmandala  sedang menguliti rusa betina 

yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya 

berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas 

gelaran daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam 

kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup 

tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata 

terlalu besar itu di atas telapak tangan. 

Pada berjongkok di hadapannya. 

“Suka kau?” tanyanya padanya. 

Pada bergidik. 

Dan mandala  memakannya mentah-mentah sampai habis. 

Darah berlumuran pada mulutnya. 

“Seperti Trenggono makan pulau Jawa,” kata Pada. 

Wirangmandala  tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia 

meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging 

binatang celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun 

pisang. 

“Kang mandala , tak kau dengarkan aku?” 

“Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu. 

Mengapa, Pada apa maksudmu?” 

“Mengapa? Masa kau seorang senapati tak punya 

perhatian? 

“Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu 

diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah 

pernah memayat lkan hati-hatilah kalian terhadap Demak”. 

“Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang?” 

Wirangmandala  meneruskan pekerjaan tanpa 

memperhatikannya. 

“Kau diam saja. Kang?” 

“Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macam-

macam pertanyaanmu”. 

“Tidak benar. Dengan diam-diam kau telah 

memikirkannya”.  

“Lantas apa kau harapkan dibandingkan ku? Pertahankan 

Tuban? Serang Demak? Atau pertahankan tanah ini? Huma 

dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada 

gubuknya.  

“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi 

Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik 

dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan 

aku. Kau orang Demak.” 

“Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di 

Tuban, seperti kau juga.” 

Wirangmandala  berhenti bekerja dan menancapkan pisau 

sayatnya pada daging paha binatang itu. 

“Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang Tuban dan 

pengabdianmu pada Demak. Bukan persoalanku.” 

“Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau Tuban 

diterjang Demak?” 

“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada 

cerita-ceritamu sendiri tentang Peranggi dan Ispanya? 

Tentang meriam mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih 

Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk 

dapat menghancurkan Kiai Benggala? Tak mungkin kau tak 

punya perhatian dan pemikiran.”  

”Trenggono bukan Kiai Benggala!”  

“Bukan.” 

‘Trenggono sama dengan Kiai Benggala.”  

“Memang sama.”  

“Lantas apa lagi?” 

“Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya 

akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya 

Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang 

Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani 

dan menjebaki rusa dan celeng”.  

“Sudah ada orang lain yang menrsi s, Pada.”  

‘Tak ada yang sebaik kau.” 

Wirangmandala  mencabut pisau dan meneruskan 

pekerjaannya.  

Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada 

batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.” 

“Mulai kapan kau dapat jabatan untuk menrsi s soal 

perang?”  

“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.”  

“Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”  

Gelar datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor. 

Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat. 

“Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya 

didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.” 

“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan 

makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.” 

“Berangkat ke mana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau 

Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai 

utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang 

siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.” 

“Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang.” 

“Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya 

untuk memikirkannya lagi.” 

“Kau putus asa, Kang.” 

“Aku tak mengharapkan sesuatu. Dulu aku masih punya 

harapan dulu, sewaktu Gusti Unus belum wafat. Dan hanya 

seorang saja, duanya. sesudah  wafatnya semua nakhoda, 

pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai 

rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.” 

“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah 

urungkan datangnya si pelahap.” 

Wirangmandala  berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia 

cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu 

asahan, lalu  berjongkok dan meneruskan 

pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata mayat  

arwah  dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis 

Krambil: Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah 

runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana. 

Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja Demak. 

Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak 

mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. 

Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau Demak 

mulai menyerang kalian, memburu-buru dewa-dewa kalian, 

menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur 

kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian 

sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak 

sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku 

telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi 

menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-

katamu, mayat . 

Sekarang mayat lan itu memperlihatkan tanda-tanda akan 

menjadi kenyataan. 

Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya mayat  arwah : 

“Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada. 

Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan 

terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si 

rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak 

medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si 

rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan, 

mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya, 

Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan 

murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat 

mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya 

Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga 

puluh atau dua puluh tahun orang dapat mempersatukan 

Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan 

dapat menguasai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.” 

Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, sebab  ia 

bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan 

dengan otot-ototnya. 

“Kau bicara tentang syarat, Kang.” 

“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di Demak kau 

tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata mayat  

arwah , yang kau mendapat perintah untuk membunuhnya 

itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan 

Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh 

jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara 

dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada.’ 

Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.” 

“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya, 

bagaimana kalau Trenggono menyerang Tuban?” 

“Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa. 

Buka daerah baru. Gelar!” pekik mandala , “tiada kau jamu 

pamanmu ini?” 

Gelar yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu 

datang berlarian. 

“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang membantu 

masak,” ia tertawa pada Pada lalu  lari menghilang. 

Wirangmandala  pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan 

kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang. 

“Pada!” tiba-tiba mandala  menengok padanya. “Mengapa 

kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku 

lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.” 

“Kang!” Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti 

yang disuarakannya di atas kapal dagang dulu. 

“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.” 

“Kang,” Pada menyebut lemah. 

“Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan Islam. 

Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak 

mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan 

Awis Krambil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar 

yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan 

salahku, Pada, kalau di seluruh Tuban hanya ada seorang 

tengkorak . Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati.” 

“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.” 

“Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem 

Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desas-

desus.” 

sesudah  makan Pada minta diri. Ia berjalan lambat-

lambat tanpa menoleh. 

tengkorak , Wirangmandala , Gelar dan Kumbang 

mengantarkan sampai batas sawah. lalu  suami-istri 

itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik 

semak-semak petai cina. Gelar lari pulang,dan balik lagi 

membawa kuda, melompat ke atasnya. 

“Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya 

pada Wirangmandala , dan tanpa menunggu jawaban ia 

memacu kudanya. 

Tinggallah suami-istri itu dan anaknya yang bungsu. 

“Mari naik,” tengkorak  mengajak. 

“Dia mencintai kau, tengkorak ,” bisik suaminya. 

“Kasihan. Begitu muda,” jawab tengkorak  dan membuang 

muka. 

“Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?” 

tengkorak  naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan 

percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepat-

cepat dari belakang. 

“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya. 

“Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada 

hukumannya. Mungkin ke Lao Sam”. 

“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.” 

“Kumbang! Ayoh naik!” seru tengkorak . “Jangan jauh-jauh 

pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu 

menghindari jebakan.” 

“Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu 

tengkorak ,” suaminya meneruskan. 

“Apa kau bicarakan ini?” tengkorak  memprotes. 

Tapi Wirangmandala  menariknya dan dibawanya ia ke 

beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan, 

kepala kuda dan Gelar dan Pada masih kelihatan di atas 

tajuk semak-semak petai cina. 

“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh 

dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata tengkorak  pada 

Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu 

nangka kuning, namun  selebihnya terbuat dibandingkan  bambu. 

Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula 

pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah, 

sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di 

lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas 

panggung gajah. 

Dan kini para penunggang kuda mulai timbul dan 

tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga 

mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama 

sekali. 

“Kau tahu apa yang dibawa Pada?” 

“Mana aku tahu?” 

‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.” 

tengkorak  melengos lalu  masuk ke dalam bilik, 

Wirangmandala  menarik Kumbang dan memangkunya. 

Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-

balik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau 

siapa tengkorak ?” 

“Emak, Bapak.” 

“Apa lagi?” 

“Penari tanpa tandingan, Bapak.” 

“Apa lagi?” 

“Mak! Mak!” Kumbang berseru memanggil-manggil. 

“Apa lagi, Mak?” 

“Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan: 

jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri 

Tuban, Kumbang, di seluruh jagad raya.” 

Dan Kumbang tertawa-tawa senang, lalu  meloncat 

dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya. 

Tak lama lalu  terdengar dari dalam bilik suara tengkorak : 

“Husy, jangan dengarkan bapakmu.” 

Dan Wirangmandala  duduk seorang diri di beranda 

menunggu kedatangan Gelar. Sementara itu ia mulai 

memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. 

Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir 

ini, kalau berita itu benar. Seorang Sultan harus lebih 

bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan 

bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri 

untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara 

sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa 

kendali? Takkan ada orang lagi seperti Unus. Dengan 

alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggempur 

Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan 

Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa. 

Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, 

ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul – ia hanya 

kerakusan belaka – ingin lebih banyak tanah, lebih banyak 

orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan 

perintahnya. Sekali seorang raja memulai…. Tak pernah 

Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata 

mayat  arwah . Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang 

Widhi, kata mayat  pula. 

Dari kejauhan nampak kepala Gelar timbul tenggelam 

dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat, 

lalu  muncul seluruh badannya dan kuda 

tunggangannya di ujung jalan sana. 

Dia lebih pandai menunggang kuda dibandingkan  aku, anak 

semuda ini. Tanpa rsi . 

0o-dw-o0 

 

Selang tiga bulan lalu  Pada datang. Langsung ia 

temui. Wirangmandala  di hutan sedang menurunkan air enau 

dari pohon. lalu  ia menolongnya memikulkan 

lodong-lodong bambu ke rumah. 

Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari 

pondok, menggunakan kuali tanah besar. 

Pada waktu memasak itu bekas musafir Demak itu mulai 

bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di 

seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul 

Malaka. 

Wirangmandala  mendengarkan dengan diam-diam. la 

gembira tapi tidak menunjukkan pada tamunya. 

Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk 

diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian 

antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. Dalam hati ia 

mengucapkan syukur telah ada kesepakatan bulat di Demak 

untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar dibandingkan  

beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan 

menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha 

mengusir Peranggi dari Pasai. 

“Dan, Kang mandala , sekali ini pasukan Bugis-Makasar 

yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan 

berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat 

kau bersinar-sinar, Kang.” 

Gelar dan Kumbang berlarian mendapatkan Pada. 

“Paman kelihatan kurus!” tegur Gelar. 

“Dan kau nampak semakin gagah, Gelar. Hai, 

Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang 

kelaparan ini?” 

“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga 

Terdengar ia berseru-seru pada emaknya. 

tengkorak  muncul di beranda pondok dan menegur keras-

keras: “Pada Kaukah itu?” 

“Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati,” Pada 

memperingatkan. 

“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.” 

“Gelar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke 

bawah rumah” Wirangmandala  memerintahkan anaknya. 

“Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan 

dihindari” 

“Tak bisa lain. Memang harus begitu,” Senapati Tuban 

itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia 

hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan 

diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata 

mayat  arwah , Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam 

kesatuan Nusantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah 

Trenggono pewaris cita-cita Unus? Mungkinkah itu? 

Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh 

Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?” 

“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia. 

Kau ragu-ragu terhadapnya?” 

“Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan Peranggi dan 

Malaka adalah kunci, kunci segala.” 

“Bayangkan, Kang mandala , berpuluh-puluh kapal dan 

Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana, 

membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi 

laksamananya?” Pada diam. 

Lelaki yang sedang mengaduk air enau mendidih di 

depannya itu termenung-menung. 

“Dan barangkali juga Tuban ikut serta di dalamnya,” 

sambungnya. Ia lihat Wirangmandala  menggeleng tak 

kentara. “Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh!” 

“Baik, itu baik. Gelar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk, 

Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia 

sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak 

lama lalu  ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat, 

Dayu. Sudah siap-belum kelapa parutan?” 

tengkorak  turun dari rumah membawa kelapa parutan di atas 

daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu 

ke dalam bubur gula. Dari tempatnya Wirangmandala  dapat 

menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh 

istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka 

merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat 

pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat 

sana. 

Dalam hati-kecilnya ia masih belum yakin Sultan Demak 

dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak 

mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan 

orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh 

abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan 

kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan 

armada besar ke Malaka, barang tentu telah terjadi sesuatu. 

Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu 

yang begitu berpengaruh terhadap Sultan? 

Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada. 

Dan tengkorak  sedang membariskan cetakan gula dari 

potongan-potongan ruas bambu. 

“Apakah Liem Mo Han pernah menghadap Sultan?”  

“Itu aku tak tahu.” 

“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” tengkorak  

pergi dan naik ke atas rumah.  

“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di Demak?”  

“Memang ada, Kang mandala , datangnya Fathillah, 

sekarang ipar Sultan.” 

“Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.” 

“Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima Demak. 

Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di 

tangannya, juga seluruh armada Demak.” 

Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya 

sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati 

Tuban akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada 

keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari Pasai.” 

“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai, 

Dia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi. 

Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani. 

Mungkinkah sesudah  semakin jauh begitu dia akan berani 

mendatangi Malaka? Aku ragu, Pada.” 

“Tujuh puluh kapal, Kang mandala , paling tidak dapat 

memuat sepuluh ribu prajurit” 

“Demak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau 

mengimpi. Padas”. 

“Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang mandala . Dan 

itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada 

semacam itu ayam pun berani menyerbu Malaka.” 

Wirangmandala  tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja 

seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal 

besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut. 

Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya 

pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit 

tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri. 

Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono 

masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan 

pada Sultan? namun  pemipin pasukan kuda Demak tetap di 

tangannya…. 

Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa 

bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mulai 

mengental. 

“Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau 

terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut 

bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang 

akan datang dari utara. Perang  telah juga mengganggu 

perairan Tiongkok, selamat Kang.” 

Wirangmandala  mendengarkan dengan hati-hati dan tetap 

dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda Demak. 

Waktu makan bersama Senapati Tuban itu telah 

tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai 

seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya 

pada Trenggono, sebab  dialah kunci Nusantara sekarang. 

Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar 

dari perbuatan seorang pembunuh saudara. tengkorak  

memperhatikan raut muka dua orang lelaki itu berganti-

ganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara 

soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak 

berhasil. 

sesudah  selesai makan, kecuali Pada, semua minum 

tuwak. 

Dan orang lelaki itu lalu  menarik diri dan 

bertiduran di geladak serambi. Dan waktu matari mulai 

condong ke barat Senapati Tuban membangunkan 

tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk 

bersembahyang. 

“Dan akan terus turun ke sawah. Pada, Gelar! Kau yang 

membawa sapi!” 

“Aku ikut,” kata Pada. 

“Kau belum lagi bersembahyang.” 

“Nanti di sawah sana.” 

Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang 

tertinggal di rumah hanya tengkorak  dan Kumbang. 

Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air 

buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak 

dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami 

sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama 

setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia 

berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput. 

Pada dan Gelar menggaru bergantian. Wirangmandala  

menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah 

yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang 

terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing 

tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang 

mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan 

diri dari kebinasaan. Gelar mencambuki binatang-binatang 

itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang 

sedang mendendangkan kisah para nabi. 

Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, sebab  

memang belum waktunya. 

Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran 

Wirangmandala  tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan 

seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan 

mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan 

air lumpur yang agak bening, tapi tak lama lalu  

lumpur menutup mukanya lagi. 

“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri 

itu yang justru paling banyak tingkah menrsi snya,” 

pikirnya lalu . “Kalau Trenggono pernah mencangkul 

begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah 

tanah orang lain.” 

Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda, 

berseru-seru lantang: “Senapatiku! Senapatiku!” 

Wirangmandala  mencaup air yang nampak agak bening, 

menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak 

kabur dilihatnya seorang prajurit pengawal Tuban dan 

menghampiri. 

“Sini!” balas Wirangmandala . Dengan masih membawa 

cangkul ia naik ke atas pematang. 

Prajurit itu melompat turun dari kuda, lari 

mendapatkannya, bersujud dan menyembah. 

“Bangun!” bentak Senapati Tuban. “Apa artinya semua 

ini?” 

“Sahaya mengawal Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi, 

datang untuk mengunjungi Senapatiku. Gajahnya masih 

agak jauh di belakang” 

’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih Tuban,’ pikir 

Wirangmandala , 

“Urus kudamu.” 

lalu  ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah, 

mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan 

celana yang habis dicucinya. 

“Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih.” 

“Senapatiku, sahaya pun anak petani.” 

“Dan kau lebih suka jadi prajurit pengawal dibandingkan  tani, 

bukan?” 

“Sahaya, Senapatiku.” 

“Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor,” 

katanya sambil mengenakan celananya yang basah dan 

melompat naik ke atas tangguk 

“Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama 

musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati 

tetap Senapati? Marilah Senapatiku, datang menyongsong 

Gusti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi” 

“Berangkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong 

siapa pun.” 

“Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya….” 

“Berangkat!” perintahnya. 

Prajurit itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan 

pergi ke arah datangnya. 

“Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang,” Pada 

menukas “Tuban membutuhkan seorang Wirangmandala .” 

“Husy!” 

“Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak 

untuk kau suruh melompat ke laut.” 

Gelar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk 

perkara. 

“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua 

akan selesaikan petak ini.” 

“Pergi dengan seluar basah begini?” 

“Betul juga.” 

Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa. 

“Itulah barangkali Gusti Patih Tuban,” Gelar naik ke 

tanggul dan mendengar-dengarkan.  

“Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari 

mandi.” Wirangmandala  pergi meninggalkan mereka berdua. 

sesudah  keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak 

olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajurit-

prajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cuwil berdiri 

di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa, 

tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi 

sembah dengan lambaian tidak kentara. Destarnya 

gemerlapan sebab  intan-intan yang menghiasinya sedang 

bercumbuan dengan sinar matari senja. 

Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari 

sujud dan sembah dan lalu  bersorak riuh. 

Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cuwil dengan 

kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, lalu  

langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya tengkorak  dan 

Kumbang telah turun dari rumah untuk menyambut, dan ia 

menggabungkan diri dengan anak dan istrinya. 

Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang 

dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu 

telah memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal 

kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah 

yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk 

desa mengiringkan. 

Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati 

pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari 

barisan dan seperti melayang menghampiri pondok, 

berhenti di hadapan Wirangmandala  dan mengangkat tombak 

mereka. Seorang di antaranya berseru: “Senapatiku! Patih 

Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi berkenan datang untuk 

berkunjung.” 

“Wirangmandala  sudah menunggu,” jawab Senapati. 

Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tombaknya dan 

kembali menggabungkan diri pada barisannya. 

Gajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa 

dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti. 

Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan 

kanan dan berseru: “Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil 

Sang Wirabumi datang berkunjung.” 

“Masuklah, Sang Wirabumi!” 

Gajah itu berlutut, lalu  mendekam. Kala Cuwil 

turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. Dan 

Wirangmandala  tidak membalasnya. tengkorak  berlutut 

menyembahnya dan Kumbang bersimpuh, menyembah 

pula. 

Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa, 

juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari 

rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium 

kaki bergantian. 

Kala Cuwil dan Wirangmandala  serta keluarga naik ke 

rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang 

menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan 

trasi dan memasukkannya ke pondok tengkorak . Penduduk desa 

masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang 

Patih Tuban. 

“Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala 

kebesaran, Kala Cuwil,” Wirangmandala  memulai. 

“Tetap sebagai teman, Senapatiku.” 

“Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.” 

“Ya, kami semua harus menginap.” 

“Kepala desa nanti akan mengatur segalanya.” 

“Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga?”  

“Samalah dengan Sang Patih Tuban.”  

‘ah’  

“Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil.”  

“Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini.”  

Wirangmandala  merasa tersinggung mendengar jawaban 

itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan 

mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama 

dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya. 

Kala Cuwil memperhatikan pakaian tuan rumah yang 

kuning tercampur lumpur. lalu  terdengar suaranya 

yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan: 

“Mana Gelar, anak Senapatiku?”!’ 

 “Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan 

pulang”  

Dan Kala Cuwil belum juga mengatakan apa maksud 

kedatangannya, Wirangmandala  memperhatikan airmuka 

tamunya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya, 

membisikkan sesuatu, lalu  tertawa terbahak. namun  

tuan rumah tidak menyertainya tertawa. 

“Aku bisa bayangkan,” Senapati mengangguk-angguk, 

“betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan 

bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk 

desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa?” 

“Tiada kulihat mereka.” 

“Kau hanya melihat ke atas. Kala Cuwil,” ia turun, 

menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam 

dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan 

petunjuk khusus pada kepala desa. 

Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan 

tengkorak  terdengar olehnya buntut kata-kata tengkorak : “Si 

Kumbang belum cukup dia keloni. Gusti.” 

Wirangmandala  menghentikan langkahnya. Ia lihat tengkorak  

dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik 

Kumbang, memeluknya lalu  dibawanya masuk ke 

dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil 

membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya. 

lalu  dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya; 

“Nasibmu, Nak, nasibmu.” 

Wirangmandala  mengawasi Sang Patih dengan mata 

curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku. 

Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang 

Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugusan 

Tuban untuk ke Malaka. Lima ratus orang ada Senapatiku, 

seperti beberapa belas tahun yang lalu.” 

Wirangmandala  terduduk di ambin. Ia terpukau. pada 

sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam 

paha lalu  berubah jadi tinju. 

“Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang 

Wirabumi.”  

Wirangmandala  tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang 

dan menghembuskan nafas desis. 

“Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban?” 

Wirangmandala  menarik kedua belah lengannya jadi siku-

siku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya. 

Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia 

dengar suara istrinya, tak jelas. 

“Senapatiku belum juga menjawab.” 

Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat 

masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu 

percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama. 

lalu , tanpa diduganya, terdengar suara tengkorak  kesal: 

“Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu. 

Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya?” 

0odwo0 

 

31. Kembali ke Malaka 

Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi. 

Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan umbul-umbul 

dan sorak-sorai yang berkumandang seperti rsi h. Pendeta-

pendeta Buddha dengan jubah kuning menggemerincingkan 

giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah 

banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda 

Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan 

berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya 

dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama 

Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini 

harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak, 

Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan. 

Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerah-

daerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada 

kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil 

menusuk ke selatan, memuntahkan balatentaranya yang 

termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan 

keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun 

lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah memerintahkan: 

persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng 

terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian 

armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negeri-

negeri Melayu. 

Dua ratus tiga puluh tiga tahun lalu , pada 1523 

Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer. 

Tidak ke daerah Melayu, namun  ke Malaka. Tidak dengan 

umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha 

membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal 

perang namun  dengan tiga puluh buah jung! Tidak 

diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang 

Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang 

mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan 

diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak 

menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada mereka 

yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan 

umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka 

balatentara dari gugusan Tuban itu. 

“Baik,” kata Wirangmandala  pada Kala Cuwil yang berdiri 

di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.” 

“Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku. 

Semua atas perintah langsung Sang Adipati.” 

“Ingat-ingat ini: Wirangmandala  takkan kembali ke negeri 

ini sebelum Sang Adipati mati.” 

“Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa.” 

“Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?” 

“Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik 

dari mana-mana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku 

nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati 

tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.” 

“Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan 

kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak 

dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami 

jalani hukuman mati ini.” 

“Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.” 

Wirangmandala  tak menggubris ulangan itu. Dengan 

geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyi-

senyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat. 

Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara. 

Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam 

hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian 

terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang 

mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini? 

Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya, 

Senapati Wirangmandala . Dan orang melihat, tak seorang 

pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan 

keberangkatannya. Orang pun mengetahui: tengkorak  telah 

menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki 

di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya memasuki umur 

lima belas itu tidak mengantarkan – suatu hal yang 

dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan 

ditambah lagi dengan sumpah Wirangmandala  sendiri yang 

takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. 

Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia 

masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum 

berangkat meninggalkan Awis Krambil. Anak-anak itu 

bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani, 

membantu dan membela ibu mereka. Dan tengkorak , ah, 

wanita yang selalu ditinggalkannya itu – ia tak bicara apa-

apa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya; 

protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan 

seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat 

jalan. Wanita pada menangis untuk tengkorak , dan pria 

menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondar-

mandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas 

benteng penduduk: “Jaga Nyi Gede tengkorak  dan anak-

anaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.” 

Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan 

sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke 

medan perang. 

Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia 

mengucapkan syukur alhamdulillah sebab  

keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa 

mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh 

jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah 

ia dapat menyusun pikirannya. 

Di Awis Krambil ia merasa otak dan hatinya 

terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu 

terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak 

disuruh Wirangmandala  tak bakal ia dapat meninggalkan desa 

perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han. 

Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak 

Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati 

pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah. 

Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan 

angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak 

menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat 

sepatah demi sepatah. “Memang banyak bandar-bandar 

yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan 

Peranggi bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat 

memayat lkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa 

dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka: 

penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan. 

Penyerangan dari barisan punggungnya akan membikin 

mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.” 

Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga 

akan ikut serta?”  

Dan Liem Mo Han menjawab: “Tidak, kami hanya 

perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa 

membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan. 

Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan 

agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka 

menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.” 

“Siapa mereka itu?” 

Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, “Aku 

sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang 

nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orang-

orang Tionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam 

penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti. 

Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.” 

Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami 

dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan tengkorak , 

istri dari seorang sahabat Wirangmandala , dan berharga bagi 

dirinya sendiri. 

Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak 

berbahasa Jawa atau Melayu. Semua orang Tionghoa totok, 

dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan 

dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang 

dipergunakan. 

Sebagian kecil dari awak kapal beragama Islam dan pada 

setiap kesempatan ikut berjemaat. 

Di Lao Sam armada jung itu berlabuh. 

Liem Mo Han menjemput Wirangmandala  dan 

menemukan Pada ikut serta. 

“Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah 

Liem. “Senapatiku bisa tertinggal oleh armada Jepara.” 

Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jung-

jung itu bahan makanan, pakaian dan senjata. 

“Juga tidak perlu bermalam di Jepara. Bila sudah sampai 

di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra, 

Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka. 

Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus 

mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan 

gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.” 

Wirangmandala  terheran-heran mengapa kata-kata 

sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang 

memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima 

Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang 

tidak mengerti. 

Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup: 

“Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan Gusti 

Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan 

merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan 

menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri 

pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur 

Semenanjung. Boleh jadi armada Demak sudah berangkat 

terlebih dahulu. Atau lebih lalu .” 

Wirangmandala  semakin terheran-heran. Bagaimana bisa 

demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap 

Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk 

memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan 

ia menatapnya dengan curiga. 

Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi, 

mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya. 

Senapati Tuban mengucapkan terima kasih atas 

usahanya mendapatkan jung sebanyak itu. 

Pada berusaha menyertai bicara, namun  Liem Mo Han 

hanya menghormatinya dengan sopan lalu  

mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal. 

Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap: 

suram bertanya-tanya. 

Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak 

bermalam di Jepara, Wirangmandala  memutuskan untuk 

singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin 

mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari 

Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir 

dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya 

padanya. 

Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem 

Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia 

bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang 

ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan 

ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu. 

Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram. 

“Kosong!” seru Wirangmandala  waktu dari jung bendera ia 

melihat pelabuhan Jepara kosong. 

Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal 

bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan. 

“Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!” 

serunya geram. 

Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas 

tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi 

tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah 

bertempur melawan Peranggi silelananging jagad. 

Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan! 

Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai 

lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi. 

Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan 

sesudah  1513. 

Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal, 

bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal 

sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal 

menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas 

kerusakan yang bisa membikin kapal itu tenggelam. Dan 

semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk 

menonton. 

Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah 

memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya 

pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan. 

Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan 

satu itu. 

Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah 

sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat 

bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas 

pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup 

angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak 

termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriak-

teriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!” 

Wirangmandala  dapat mengerti perasaan anakbuahnya. 

Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah 

menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah 

pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana. 

Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun 

sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan mungkin 

masih tetap seorang musafir Trenggono. 

Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki 

selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban 

itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib 

Adipati Unus. Dan jung menuju langsung ke pelabuhan. 

Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang 

umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama 

sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak 

nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua 

berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di 

samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para 

penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton 

berlabuhnya armada aneh itu. Wirangmandala  mendarat 

dengan wajah merah padam.  

“Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu. 

“Sudah kami duga kau akan singgah.” 

Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia 

bersimpuh dan menyembah: “Gusti Ratu, patik singgah.” 

“Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu 

Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu, 

Wirangmandala , Senapati Tuban. Jangan berkecil hati, 

sebab  kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri 

dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah 

dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang 

Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan 

Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau. 

Senapati Tuban. Allah akan memimpin dan memberkati 

dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa 

kami. Insya Allah selamat dan berhasil.” 

Wanita tua itu minta Wirangmandala  mengulurkan 

tangan-kanannya, lalu  memasangkan cincin. Dan 

Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih 

dengan kepercayaan itu. 

Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya: 

“Ya, Gusti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami 

diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal 

perang sebagaimana layaknya?” 

“Jangan bertanya, anakku, sebab  itulah kiriman Allah 

dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.” 

“Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung 

untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak?” 

“Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan 

armada Jepara-Demak dari pikiranmu.” 

“Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, Gusti 

Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.” 

“Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di 

laut. Tugasmu melakukan pendaratan.” 

Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan 

para penandu lari menghampiri, menyembah, lalu  

mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar. 

Wirangmandala  tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin 

tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera 

mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan 

berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat 

untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.” 

Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat 

armada aneh – armada jung berbendera Majapahit. Armada 

apakah ini gerangan? Armada dagang membawa beras ke 

Pasai? Dan tidak lain dari Wirangmandala  juga yang merasa 

jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai 

keanehan jaman yang perlu disaksikan. 

Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas 

tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang 

yang memendungi selaput awan. 

“Nenenda,” panggil cucunya, “ke mana mereka 

belayar?” 

“Malaka, mengusir Peranggi.” 

“Mengapa nenenda menangis?” 

“Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan 

pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.” 

“Ya, nenenda, tapi mengapa nenenda menangis?” 

“Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk 

mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan 

diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang 

Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus, 

penantang Peranggi?” 

“Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang 

Peranggi.” 

“Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: Wirangmandala . Dia 

pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk 

dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. Tapi 

Wirangmandala  kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau 

lupa seumur hidup.” 

“Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?” 

“Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang, 

antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. Sertai 

nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.” 

Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan 

cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga 

selesai. lalu  dengan suara dalam sebab  perasaan 

tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur 

aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang 

seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu 

lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan 

sentausa, adil dan sejahtera, adalah sebab  mereka. Kalau 

yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau 

akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf, 

berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.” 

Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada 

armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan 

rombongan penonton di pelabuhan. 

sesudah  bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa 

sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah 

diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata 

ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk 

memaafkan putranya Sultan Trenggono, sebab  armada 

Jepara-Demak telah dilarang oleh putranya menerima 

penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum 

waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang 

berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut 

ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya 

armada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah 

menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu 

langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin. 

sesudah  bersembahyang isya ia menengok cucunya yang 

ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di 

samping cucunya. 

“Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya. 

“Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah 

hafal.” 

Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan 

sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah 

untuk lalu  terhenti dan disambung dengan nafasnya 

yang teratur. 

Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik. 

Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman, 

memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap. 

Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa, 

memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam 

kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai 

buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi 

kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini, 

habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa 

daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah 

dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku 

usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku 

dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, sebab  

jaman yang itu akan membikin sia-sia segala dan semua 

yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah, 

ya Allah. 

Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para 

inang masih juga menunggui. Makan malam telah 

dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah. 

Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu, 

lalu  kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali 

dan bersembahyang tahajjud sampai subuh. 

Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah 

utara untuk mendapatkan angin yang lebih 

menguntungkan. 

Dan Wirangmandala  masih juga tenggelam dalam 

pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya. 

Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya. 

Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal 

duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada 

orang yang berani menyilakannya makan. 

Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia 

berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang 

serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam. 

Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato 

mayat  arwah  yang terakhir itu, sewaktu cengkaman rsi -

pembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini 

orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan 

tiba-tiba semua pandang terarah pada tengkorak  yang angkat 

bicara: “mayat , aku tak begitu tertarik pada kata-katamu 

yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman 

kejayaan yang kau agung-agungkan itu.” 

mayat  arwah  menengok ke arah tengkorak , tersenyum dan 

mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar 

kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri 

sekarang ini. Dengarkan, Gadis: “Dalam seluruh 

pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman 

kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di 

mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut 

dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang 

sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya 

mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu 

lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka 

lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka 

melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka, 

sebab  jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan 

kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengah-

lengah tak sanggup membiakkan kelapa itu.” 

“Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri, 

mayat ,” seseorang memprotes. 

“Itu menurut kau. Soalnya sebab  kalian sejak dulu tak 

mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku 

masih terus bicara dan kalian masih juga menganga 

menunggu datangnya lalat.” 

“Mulailah dengan cerita itu!” tengkorak  mendesak. 

“Baik,” sambar mayat  arwah  untuk meninggalkan 

pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang 

anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah 

kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para 

dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia 

ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang 

dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan 

ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal 

besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang 

agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang 

berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal 

kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek. 

“Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangan-

galangan Majapahit di Tuban, Gresik, Kawal, Panarukan, 

Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan 

kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada 

Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka 

istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu 

berlayar sutra kuning gemerlapan.” 

“Apakah mayat  pernah melihat dan menaikinya?” tengkorak  

bertanya lagi. 

“Waktu muda, ya, dari Gresik sampai ke Nalagasari, 

dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara. 

Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapal-

kapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing 

di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan, 

laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya 

semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu 

bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya, 

Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal 

Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya 

sekarang.” 

“Mengapa tak bisa? Bukankah di bandar-bandar orang 

terus menggalang?” tengkorak  merangsang. “Aku sendiri 

pernah berkunjung ke sebuah galangan Tuban setahun yang 

lalu.” 

‘Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak 

dapat membikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui 

kayu luna