nusantara awal abad 16 22
ipikul
berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan
salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua
bukan berdarah ningrat. Apalagi Wirangmandala , si lancang.
Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat
menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela.
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem.
Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib
Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu
satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah,
yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia
minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas
Angin.
Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita.
Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik
bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagian-
bagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuk-
tepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi
hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian
asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan,
dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong
meratapi.
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu
lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya,
Zanggi dan bukan Zanggi.
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya,
Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan
tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan
Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya,
dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana.
Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istana-
istana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam
hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis
Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang
pemayat l-pemayat l Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan
Muawiyah di Iberia.
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada
Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita
tentang dirinya sendiri.
Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban
dari Sang Adipati, sebab pendengar-tunggalnya telah
berkeruh dalam tidurnya.
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya
Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan
menanyakan apa yang dideritanya.
“Ah, Tuan Sayid”, jawabnya, “sekiranya diri masih
muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….”
“Gusti Adipati masih muda, belum tua”.
“Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan
Sayid. Betapa indahnya hidup muda….”
Dan dengan demikian Syahbandar Tuban jadi
penghadap tetap dalam kadipaten.
Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan
kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata
dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap membatasi
wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi sesudah Kala
Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih.
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang
Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia
tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang
dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar Az-
Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan sesudah
cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng
tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepalanya. Dan
waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah
mengalirlah segala kebohongannya.
Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar.
Sang Adipati yang membutuhkan ceritanya atau dirinya
sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis
celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke
Tuban, dan barulah ia merasa aman.
Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan
atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau
tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar
saja dihadirinya sebagai syarat, lalu Sang Patih Tuban
Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala
urusan.
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari
menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan
menyambutnya dengan senang hati dan perasaan
terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang
datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara.
Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah
diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah
pribadi.
“Gusti Adipati Tuban yang mulia”, ia bersembah.
“Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering Gusti.
Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan
salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan
karunia Allah dari Gusti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh
Gusti Kanjeng sultan Trenggono”.
Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua
orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga
Kala Cuwil pergi sesudah mengangkat sembah.
Aji Usup mempersembahkan beribu terimakasih dan
syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan
untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun.
“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di
dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat
mendengarkan Tuan dengan terang”
Aji Usup mendekat sambil membawa tempolong ludah,
mempersembahkan dan Sang Adipati membuang ludah
sirih ke dalamnya lalu berbaring lagi.
“Dalam keadaan Gusti gering begini, patik merasa tidak
patut menyampaikan sesuatu yang penting, Gusti”.
“Gering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan
Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”.
“Ampun, Gusti Adipati, sebagai duta, patik ingin
mendapat amanat dari Gusti, adalah kiranya Gusti Adipati
Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada
suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk
menggempur Malaka, menghalau Peranggi?”
Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di
pembaringan dan Aji Usup membantunya.
“Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”.
Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati
kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan,
mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang
memburam itu memancar sinar hidup.
Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan
bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat
berkenan melihat pada kebaikan duta itu.
Lama Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan
pikiran tuanya untuk kembali bekerja menrsi s praja.
Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun
dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan
Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati
Unus dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya
dengan kebohongan melanggar janji. lalu ia
menyesal untuk selama-lamanya. Sesal lalu memang
tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan
persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia
menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan
di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan
kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai
matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan.
Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya
bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan
gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan.
Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan
cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu
sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya
ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan
datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya
sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak
akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya.
Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa
persahabatan.
“Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat”,
katanya lunak, “telah lama kami pikirkan kemungkinan
itu”.
Dan Aji Usup segera mempersembahkan
terimakasihnya.
‘Tuban, Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk
menggunakan kesempatan itu”.
“Ya, Gusti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan
gugusan Tuban insya Allah akan menjamin kemenangan,
Gusti, semoga Allah s.w.t. merah-mati Gusti dengan
kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”.
“Hanya kami tak mampu menyediakan kapal”.
Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang
Adipati dapat menangkap perubahan pada airmukanya.
“Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang
terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal
kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar
keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan
kami?”
“Besarlah sudah kemurahan Gusti Adipati Tuban.
Berapakah kiranya besarnya pasukan yang Gusti relakan
untuk armada gabtungan itu, Gusti?”
“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat
seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu
menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua,
jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara”. Dan Aji
Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus
mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang
dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu.
“Kapal perang Tuban cukup baik, Gusti Adipati,
sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah
membawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas
Tumasik”,
“Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu
dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi
bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami
membikin yang baru. Janganlah berkecil hati sebab prajurit
laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit”.
“Besarlah kemurahan Gusti Adipati. Tuban akan
melimpahi Gusti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan
putus-putusnya. Ampun Gusti, apabila Gusti berkenan
bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima
gugusan Tuban?”
“Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa
tandingan tuan Duta – Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban”.
Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk
menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keragu-
raguannya. Wirangmandala jadi lebih berharga dibandingkan lima
buah kapal perang Tuban. “Dia pun kepala pasukan laut
Tuban, Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar
kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang
mengenangkan mendapat Liem Mo Han – Wirangmandala ,
itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk
melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan
lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan,
bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri
dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak
tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban.
0odwo0
29. Lahirnya Persekutuan Rahasia
Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban
sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara
maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian:
Memang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono
sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki
tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud
waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya.
Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga
diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya
merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan
cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh
semua pembesar pasukan kuda.
Sampai di pelataran Sultan masih memerlukan
menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat
sembah dalam tegak berdiri. lalu ia menaiki
kudanya.
Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan
kepulan debu tanah Jepara di belakangnya.
Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan
oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu.
Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain
artinya dibandingkan terjadi kompromi antara dua pandangan
dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang
pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada Demak
akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang
tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari
Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang
menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan
menyerang Malaka sekaligus menguasai Jawa.
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan
bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya
sebanyak itu.
namun di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam
keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi
atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap
dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan
melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan
dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa,
kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa
orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau
perkawinan – sudah pada membikin persekutuan militer
untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan
adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban
sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa
pertama dari Trenggana.
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan
kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara
terkena boikot dari Jawa sendiri.
Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar
Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya
diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan
Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa,
bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti
bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja
Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan
bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi
bagian selatan ini sudah dapat dimayat lkan.
Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan
seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai
Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau
saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara
Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke
tangan Pribumi.
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan
membatasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi
memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya
pada garis Pasai-Malaka, membentuk bentengan laut yang
tak bakal kena terjang.
Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara
Sultan dan Ratu menjadi padam.
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang
dengan pedang bermata dua? Mengapa Sultan tiba-tiba
nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan
kaki? Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi
dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali
seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam
setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu
berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya
juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu
yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha
kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara.
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu
apakah amanat Sultan Demak.
Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru
pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk
bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan
Peranggi.
namun para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi
seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu
sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di
kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada
gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat
mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri,
memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan
akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari
punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka
tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing
kewaspadaannya.
Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia
sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu
datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih
Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah membikin
persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak
membeludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak
pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan
kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan
wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak,
yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu,
bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban,
yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk
mempertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin
dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang
sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan
gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban.
Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian.
Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan
bandar pun mulai sedikit hidup.
Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya
sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil.
Wirangmandala merasa telah diusirnya tanpa ampun ke
desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan
berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala
pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat
apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman
sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa
sesuatu kekuasaan dan pengaruh. namun ia teringat pada
Gajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan
dalam hatinya: siapa dapat memayat lkan apa akan
diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang
justru sebab dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan
pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu
apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa
anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para
kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak
berani menyingkirkan dari muka bumi.
Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya
minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur
Malaka, Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan
anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini
akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.
Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan
Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah
laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih
untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu
menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah
Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia
akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak
memukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan
jawabannya: Wirangmandala akan diangkatnya secara resmi
sebagai Senapati Tuban.
Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas
melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara
kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan,
bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda,
reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan
balasan dari Gusti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya
Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa
maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke
tangannya.
Di Jepara Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan
masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka.
Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan
berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka,
mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan.
Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum
dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri
menunggunya.
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis
seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan
berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita
tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya,
dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.
Juga sekali ini: “Sahaya sudah banyak menjelajah negeri
orang lain Gusti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada
bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar
semacam ini, yang membikin cniipp ini lebih indah dan
berharga. Tembikar-tembikar ini, Gusti, dibikin menurut
kesukaan Gusti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang.
Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang
Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong Gusti Ratu,
sama seperti kami menyokong Gusti Kanjeng Sultan Al-
Fattah dan Gusti Kanjeng Unus almarhum”.
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata
tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu
begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya
almarhum dan putranya almarhum.
“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata
persembahan sahaya Gusti Ratu. Semua ada terentang
dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang.
Tulisan tidak berubah, Gusti, biarpun kata lisan bisa
berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong
penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan
ini”.
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu
satu per satu untuk ke sekian kali. lalu mereka
berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang
wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han
mempersembahkan keterangan.
“Ini, Gusti Ratu, yang baru dipasang adalah gambar
seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama
taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. Gusti,
wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga
tampil sebagai panglima perang”.
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi
bicara tentang gambar penari itu.
“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,”
terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur
sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi
ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya
kami pria, ada praja di tangan….”
“Dengan kewibawaan Gusti Ratu, tanpa Gusti sendiri”.
Liem Mo Han menggarami, “Kanjeng Gusti Unus
almarhum sudah melaksanakan”.
“Kau betul Babah”.
“Kanjeng Gusti Itu sudah mempersiapkan armada besar
dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat
dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan
kewibawaan Gusti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar,
dan membawa tugas yang megah dan agung?
Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng
Gusti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi
armada nelayan, Gusti? Sampai punya pikiran begitu
macam?”
“Ampun. Gusti, jangan menjadi kegusaran Gusti, sebab
sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”.
“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke
Malaka, Babah”.
Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua
pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan
itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran
pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak.
Tidak lebih dari lima belas hari lalu seorang yang
tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah,
mempersembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah.
Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh sebab
pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah Gusti
Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan
menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu
dalam pertemuan terakhir.
Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui.
Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh
abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia
bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka
penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang
sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari
pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya
Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman
pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam
bahaya. Memang!
Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan.
Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir.
Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau
inang di sampingnya.
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami
semua menyokong Gusti Ratu. Bagaimana bisa lain
dibandingkan itu Gusti?, peranggi adalah juga musuh kami
bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami
se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami
ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan
sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka
membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari
situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan
Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua
bangtjji celaka, Gusti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi
bersama-sama”.
“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus
almarhum”. namun bukan itu yang diharapkan oleh Ratu
Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus
hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan
pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan
mengatakan.
“Dalam usaha penghalauan Peranggi, Gusti, tak ada
orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang
bernama Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai
Benggala di Tuban dalam hanya beberapa minggu. Dia pun
telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang
dia sedang diusir dari praja Tuban”.
Dan beralihlah pembicaraan pada Wirangmandala .
“Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak
desa? Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun
tak pernah”.
Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar,
Gusti. Orang yang bernama Wirangmandala pernah ikut
gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara,
Gusti.”
“Di bawah Raden Kusnan?”
“Tidak keliru, Gusti. Kalau sahaya tak salah, orang itu
pernah memikul tandu almarhum Gusti Kanjeng Unus
waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang
memimpin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya
anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. sesudah jadi
Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia
di usir dari praja”.
“Apa kesalahannya, Babah?”
“Kesalahannya adalah sebab dia hanya anak desa”.
“Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai
anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di
laut?”
“Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban
mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut menyaksikan.
Gusti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan
bernama Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban
dengan meriam….”
“Peristiwa itukah yang kau maksudkan?”
“Ya, Gusti, peristiwa yang menggemparkan semua
bandar di Jawa itu. Gusti. Tuban membalas dengan enteng.
Bukan sebab Tuban dapat menenggelamkan kapal
Peranggi itu yang sahaya nilai, namun kepandaian
Wirangmandala dalam mengatur dan menggunakan
balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di
laut, di darat, di mana pun”.
“Jadi dia mungkin berani hadapi Peranggi di laut?”
“Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut,
Gusti? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana
almarhum Gusti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka,
dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang
sarang Peranggi.” Suara Liem Mo Han kehilangan
kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau
Gusti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk
membujuk Gusti Adipati Tuban untuk ikut bergabung,
sahaya sanggup, Gusti”.
“Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja
padaku Wirangmandala ”.
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana
diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri
bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah
tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah
dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila
menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan
niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang
berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan
sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha
membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke
Malaka.
0o-dw-o0
Waktu tandunya memasuki perbatasan kota Demak, satu
regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu
rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan
sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda,
mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini,
menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu
lalu bergerak mengiringkannya.
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah
mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan
kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam
balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyambutnya
dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di
atas singgasana permaisuri.
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia
membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke
Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia
dari singgasana permaisuri.
Penghadapan bubar dengan kekecewaan.
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan
wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru
taman telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan
sebagai seorang anak.
“Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak
kecil kau kepala batu. Kepala batu memang tidak apa-apa
kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi.
Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi.
Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas
kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi
kehendakmu. namun yang kudengar belakangan ini kau
tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri
telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan
secara menyolok, berlebih-lebihan”.
“Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi
tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi
menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan,
sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang
pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.”
“Jadi kau akan segera membuat perang?”
Trenggono tidak menjawab.
“Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera
menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa
pesanku: Malaka.”
Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa
penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji Sultan,
bahwa ia akan mengirimkan armada ke Malaka dalam
jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus.
Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan,
anak Trenggono’.
namun yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan:
kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu
kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudara-
saudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa.
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda
tercinta Unus dibandingkan sekutu-sekutu perang. Trenggono
nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak
menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk
menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha,
Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di
luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau
semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perempuan. Ia
akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus.
Demikian ia memasuki Jepara membawa kekecewaan di
satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang
ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah
berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap
tidak putus asa, justru makin meluap.
Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan
rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus
yang setia.
Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia
mempunyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan
agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke
Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah
menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang
persoalan manca praja.
Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan
Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak
armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang
dengan raja-raja di Jawa.
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati
dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara.
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan
usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak
lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk
menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya
untuk menguasai Jawa.
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah
menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan
akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya
rencana Trenggono yang hendak memerangi saudara-
saudaranya sendiri.
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak
kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara
dan Lao Sam.
Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup
meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang
berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut
Jepara. Ia telah berhasil membikin pasukan laut itu
mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan
mereka, mereka akan bikin Jepara memisahkan diri dari
Demak, dan membikin Demak jadi segumpal tanah
lempung tandus tidak berarti.
Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan.
Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka,
mereka pun akan mulai memisahkan diri dari Demak.
Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup
agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang
yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. sebab itu
pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono
mulai menyerang tetangga-tetangganya, namun pada waktu
ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah
kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke
Malaka takkan menemui rintangan..
sesudah persekutuan rahasia mendapat kata sepakat
dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan
menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan
Sulawesi Selatan.
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada
umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang
dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan
Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala
batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan
yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah
dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa?
Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak?
Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan
nama Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima
kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada
waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan
menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak,
Jambi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut
serta.
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh
Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji
Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban.
Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan
Wirangmandala sebagai pimpinan pasukan-pasukan
gabungan dari Jawa.
Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui
tetangganya dan kewalahan.
0o-dw-o0
Trenggono lalu mengetahui juga sikap pasukan
laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia
menjadi ragu-ragu. namun pasukan kuda terus menerus
mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai
tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang dua-
duanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut
dan tanpa armada, Peranggi sudah lama akan membalaskan
dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara
dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu
kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat
perangnya tidak disalurkan.
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan
perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetangga-
tetangganya, yang sebelumnya diawali dengan
pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah
untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari
kerusuhan para penjahat. namun pertempuran
sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi
untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukan-
pasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan
lama.
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk
surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu
Sultan, baik dalam penyiaran agama Islam maupun dalam
usaha perang.
Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu
berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai
melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai
cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Dan ia belum
lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat.
Dengan sebuah kapal Arab yang kembali melalui sebelah
barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah
datang.
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi,
berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan
berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya
dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan
ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban
putih tanpa perhiasan.
Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada
pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus,
Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitan-
kesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya
sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan
ibunda Ratu Aisah.
Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono
menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa.
Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa
dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak
dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia
melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua
impiannya.
“Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan,” ia
mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan
pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap
utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun
akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan
patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan
pada patik biarlah semua itu patik urus”.
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada
suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan
diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah
meninggalkan Demak masuk ke Jepara.
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi
kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah,
dan menyampaikan dalam Melayu, bahwa Demak telah
siap mengirimkan seluruh armada ke Malaka.
“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?”
“Setiap waktu, Gusti Ratu”.
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan
perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat
menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap
tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat
dikendalikan.
Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan
dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang
mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang
itu nampaknya sama-sama puas.
Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan
reda.
Tak lebih dari sebulan sesudah kunjungan Fathillah,
Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah
dikawinkan dengan adiknya perempuan.
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa
hari ia di samar lalu pulang lagi ke Jepara. Demak
dirasainya terlalu panas.
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah
janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusan-
keputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus
menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak
percaya pada Demak dengan Panglima barunya, yang
dengan begitu gampang bisa mendapatkan kepercayaan dari
Sultan.
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing
pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan
semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat
melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada
suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar
ditempatkan di luar kota Jepara.
“Fathillah telah mengetahui rencana kita”, Aji Usup
berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan
laut Jepara bertindak.”
Dan ia berpendapat pula, hanya sebab adanya Ratu
Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak
mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo
Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak
sampai hati menyatakan satu kepada yang lain.
Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk
mendapatkan keterangan, kapan Demak akan
menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh
Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah
harus mendapatkan Wirangmandala untuk jadi pimpinan dan
lansung menuju ke Malaka.
Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban
menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus
kembali ke Lao Sam demi keselamatannya.
Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan
Liem Mo Han
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan
pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima
Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu
Bhre Paramesywara: Fathillah.
0odwo0
30. Petani Wirangmandala
Sudah beberapa lama Wirangmandala hidup di desa
perbatasan Awis Krambil, menjadi petani seperti penduduk
selebihnya. Ia telah dapat melaksanakan impian-mudanya –
impiannya bersama tengkorak . Mereka telah mendirikan
pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu
berdiri tinggi di atas tiang.
Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua
pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan
pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali
saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah
membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak punya
kesabaran ataupun kesenangan.
Pada telah membuka pengajian di desa itu pula.
Persahabatannya dengan Wirangmandala menyebabkan ia
mendapat kepercayaan dari penduduk desa. Dengan
bermodalkan kata-kata “Wirangmandala lah yang menolong
jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata tengkorak “Mohammad
Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak
Wirangmandala ” ia muncul sebagai orang terpandang di desa
Awis Krambil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan:
seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik
seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh
semua orang baik-baik sedesa.
Dan Wirangmandala sendiri tak punya perhatian terhadap
kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan
pada anak-anak desa untuk belajar padanya. tengkorak juga
tidak pernah menganjurkan.
namun pengalaman Pada yang banyak,
pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan
banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah
menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi
dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu didapatkannya sebagai
pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di
belakangnya. namun ia tak pernah tertarik untuk menggarap
tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani.
sesudah banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya
ia mulai mendongeng, lalu memperkenalkan nabi-
nabi yang pernah dipelajarinya di Demak. namun segera
seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan
yang memisahkan anak-anak lelaki dari perempuan. Orang
tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya
anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan
hanya sebab mereka perempuan? Dan ia menjawab, ia
seorang bujangan maka tak baik punya murid perempuan.
Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak
punya prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia
mengawini salah seorang gadis Awis Krambil. Ia tak pernah
menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih.
lalu desa dibikin terheran-heran mengapa
pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan
bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan
tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia
menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar
sendiri dari rsi -rsi lama dan dari orang-tuanya.
Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada.
Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa
dipergunakan untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai
berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi
kegagalan.
Dan Wirangmandala ataupun tengkorak tidak menyokongnya,
Bahkan Gelar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia
mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua
dengan Kiai Benggala telah cukup tidak menyenangkan dan
akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia
tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan
dirinya sendiri.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah
kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan
tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang
tinggal sedikit telah merambatkan tembang; itu ke seluruh
desa Awis Krambil, dan merasa berbahagia dengn
suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan
di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam
sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar
luas dalam kegelapan.
Namun muridnya tidak juga bertambah.
Dan Wirangmandala ataupun tengkorak tak pernah datang
menengok gubuknya.
Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai
mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan
minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan
menanyakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring
lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh
diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak
makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tua-
tua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan
ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan
atau ia harus keluar dari desa Awis Krambil. Ia
mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak,
sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa.
Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan
kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mula-mula
membikin peraturan.
Hanya persahabatan dengan Wirangmandala dan tengkorak
membikin ia tidak terusir.
Suasana mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal
barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali
waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan,
cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang
tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi.
Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta
yang tak pernah ditinggalkan. sesudah dipurut cacing itu
direndam dalam air enau selama sehari, lalu setiap
orang memakannya.
Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang
yang tidak populer di Awis Krambil. Ia harus lebih bersabar
lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada
sahabatnya untuk minta perlindungan.
Waktu itu Wirangmandala sedang di hutan untuk
menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul
sahabatnya masuk ke dalam hutan.
0o-dw-o0
Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan
Wirangmandala tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang,
huma atau hutan, tengkorak dapat melihat sinar aneh pada
mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot
itu.
Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia
diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua
persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat
menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu,
melewati hutan muda dan lalu menyeberangi padang
rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan
sampai ke jalan negeri.
Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di
pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang
aneh itu pula. “Jadi Mbokayu tak membelok ke kanan? ke
Tuban?”
“Tidak, Pada”.
“Ke kiri? Awis Krambil?”
Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya
menunduk.
“Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.
“Biar aku antarkan sampai Awis Krambil”, jawabnya
lalu . “Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa
terganggu.”
“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang
mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg,
kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba
putih”.
Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan
pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan.
Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. lalu ia
datang lagi membawa sir pisang susu matang dan
pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumuri
getah pisang.
“Begini baik, bukan, Mbokayu?”
“Cukup baik”.
Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan Awis
Krambil.
Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang
mengawasinya, lalu dengan gugup menyembunyikan
pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar
matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung
kasmaran.
“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”.
“Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun
bertengger di sanalah rumahku.”
Suara lelaki itu terdengar gembira tercampur tawa, dan
tengkorak tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya
terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin
orang muda ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan
lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai
percakapan.
Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara Gelar
yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa
Pada berjalan di belakangnya.
Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja.
Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap
ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintik-
rintik. Pintu-pintu rumah desa telah tutup untuk menolak
angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan
ternak atau dapur.
Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan
gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk.
Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di
samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang
terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan
sanggurdi kuda itu masih terpasang.
“Ya, Mbokayu, memang kuda Tuban”. Pada
memperingatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui,
kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau ragu-
ragu, Mbokayu”.
Ia memang ragu-ragu untuk masuk.
Dan orang muda itu mendekatinya dengan Gelar masih
juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak
senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan
melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan,
meninggalkan Pada di belakangnya.
Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah.
Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa
menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk
mendapatkan perlindungan.
Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar
tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa
tombak-tombak-nya ke dalam rumah.
Mereka tak langsung memasuki pintu, tapi berjalan dari
samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk
mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun
dari dalam.
Juga pintu samping itu tak terkunci, tengkorak masuk.
Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di
manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa
penunggang kuda itu? Dan di mana dia?
Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di
dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka – gulai bebek. Ia
buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak,
dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga
di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia
daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di
mana orang-orang rumah? Dan mengapa anjing-anjing pun
tiada?
Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang
jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawa-
tawa mayat i – dan suara itu dibawa oleh angin sore yang
dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. Binatang-
binatang itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan
sambil memamah-biak.
“Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,”
katanya pada diri sendiri.
Ia suruh Pada dan Gelar beristirahat di ambin ruang
depan, di mana dulu mayat arwah ia rawat. Pada dengan
Gelar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan.
Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan
untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran
mata itu.
Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia
meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar
mayat i-mayat i di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka
pintu depan dan keluar. Gelar dan Pada terbangun.
“Anak desa Awis Krambil jadi Senapati Tuban!” bocah-
bocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. Terus
menerus menang!”
“Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian
jadi orang besar juga kelak. Kagumi!”
Di hadapan tengkorak satu rombongan besar orang sedang
melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan
perempuan. Rombongan itu mengiringkan seorang
bertubuh dempal perkasa. Dan tengkorak tidak keliru. Itulah
suaminya: Wirangmandala . Ia lari menyambutnya. Tanpa
bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedan-
sedan.
“Dayu, aku tahu kau selamat”.
Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya
dan disekakannya pada wajah istrinya, lalu
memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat
juara gulat ini.
“Dengarkan, penduduk Awis Krambil mandala Senapati
Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu
dengan isterinya. Dan khusus pada tengkorak , “Mana
Anakku?”
Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang
berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat lelaki muda
itu seperti terpesona oleh kehadiran Wirangmandala .
Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh.
Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur
nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada
bapaknya dengan hangat “Inilah anakmu, belum lagi
bernama”, dan ia seret Gelar dan diberikannya pada
mandala , “dan ini Gelar anakku”.
Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi
itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan,
kepuasan, syukur dan terima kasih, lalu
menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat
Gelar dan berseru: “Kau, Gelar, kau sudah bisa menyanyi?”
“Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang”
Air muka Wirangmandala berubah. Tanpa mengindahkan
jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencari-
cari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya
menjadi keras.
“Pada, di mana kau?” seru tengkorak , dan ia sendiri menjadi
kuatir melihat perubahan airmuka suaminya.
“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri
menghadap pada Senapati. “Inilah aku, Kang, adikmu
sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki
Wirangmandala .
“Dia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang
menolong jiwaku dan anak-anak Wirangmandala ”.
Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyi-
senyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia
sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada Senapati Tuban
dan orang yang bersujud di hadapannya.
Tiba-tiba Gelar merangkul leher Pada, bertanya:
“Mengapa tak bangun-bangun, Paman?”
“Ya, bangun, kau, Pada”.
Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis
bangun dari sakit demam sebulan.
“Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini
bagaimana ia selamatkan kami, Kang.”
"Aku datang untuk menyusul kau, tengkorak ”.
‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke
Tuban”.
‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, tengkorak .
Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.”
“Kang!” seru tengkorak tak percaya.
“Kita akan membuka huma, tengkorak , mendirikan gubuk di
pinggir hutan, di tepian desa”.
“Kang!”
Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan
memperhatikan semua kejadian itu.
0o-dw-o0
Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan
oleh Trenggono telah memperkukuh niatnya untuk tidak
kembali ke Demak. Apalagi sesudah ia tahu Sultan baru itu
tidak memperhatikan dan tidak membutuhkan jasa para
musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi
menyampaikan laporan.
namun alasan terutama adalah tengkorak . Wanita itu
membikin ia tak mampu meninggalkan Awis Krambil.
Bahkan hanya namanya pun telah menyebabkan ia merasa
tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara
hatinya – menetap di Awis Krambil.
Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai
memanggilnya Kiai. Dan ia tidak membantah.
Dalam percakapan dengan Wirangmandala dan tengkorak
dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang
tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun
tidak menginginkan harta-benda orang lain.
Ia tahu beberapa ucapan tengkorak padanya dalam
perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak
pernah membangkit-bangkitnya kembal