nusantara awal abad 16 22

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 22



 ipikul 

berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan 

salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua 

bukan berdarah ningrat. Apalagi Wirangmandala , si lancang. 

Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat 

menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela. 

Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. 

Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib 

Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu 

satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, 

yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia 

minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas 

Angin. 

Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita. 

Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik 

bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagian-

bagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuk-

tepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi 

hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian 

asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, 

dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong 

meratapi. 

Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu 

lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya, 

Zanggi dan bukan Zanggi. 

Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya, 

Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan 

tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan 

Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya, 

dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana. 

Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istana-

istana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam 

hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis 

Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang 

pemayat l-pemayat l Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan 

Muawiyah di Iberia. 

Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada 

Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita 

tentang dirinya sendiri. 

Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban 

dari Sang Adipati, sebab  pendengar-tunggalnya telah 

berkeruh dalam tidurnya. 

Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya 

Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan 

menanyakan apa yang dideritanya. 

“Ah, Tuan Sayid”, jawabnya, “sekiranya diri masih 

muda… dengan kekuatan utuh dan badan penuh….” 

“Gusti Adipati masih muda, belum tua”. 

“Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan 

Sayid. Betapa indahnya hidup muda….” 

Dan dengan demikian Syahbandar Tuban jadi 

penghadap tetap dalam kadipaten. 

Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan 

kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata 

dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap membatasi 

wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi sesudah  Kala 

Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih. 

Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang 

Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia 

tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang 

dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar Az-

Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan sesudah  

cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng 

tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepalanya. Dan 

waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah 

mengalirlah segala kebohongannya. 

Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. 

Sang Adipati yang membutuhkan ceritanya atau dirinya 

sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis 

celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke 

Tuban, dan barulah ia merasa aman. 

Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan 

atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau 

tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar 

saja dihadirinya sebagai syarat, lalu  Sang Patih Tuban 

Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala 

urusan. 

Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari 

menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan 

menyambutnya dengan senang hati dan perasaan 

terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang 

datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara. 

Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah 

diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah 

pribadi. 

“Gusti Adipati Tuban yang mulia”, ia bersembah. 

“Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering Gusti. 

Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan 

salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan 

karunia Allah dari Gusti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh 

Gusti Kanjeng sultan Trenggono”. 

Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua 

orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga 

Kala Cuwil pergi sesudah  mengangkat sembah. 

Aji Usup mempersembahkan beribu terimakasih dan 

syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan 

untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun. 

“Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di 

dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat 

mendengarkan Tuan dengan terang” 

Aji Usup mendekat sambil membawa tempolong ludah, 

mempersembahkan dan Sang Adipati membuang ludah 

sirih ke dalamnya lalu  berbaring lagi. 

“Dalam keadaan Gusti gering begini, patik merasa tidak 

patut menyampaikan sesuatu yang penting, Gusti”. 

“Gering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan 

Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan”. 

“Ampun, Gusti Adipati, sebagai duta, patik ingin 

mendapat amanat dari Gusti, adalah kiranya Gusti Adipati 

Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada 

suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk 

menggempur Malaka, menghalau Peranggi?” 

Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di 

pembaringan dan Aji Usup membantunya. 

“Ulangi lagi persembahan Tuan Duta”. 

Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati 

kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan, 

mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang 

memburam itu memancar sinar hidup. 

Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan 

bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat 

berkenan melihat pada kebaikan duta itu. 

Lama Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan 

pikiran tuanya untuk kembali bekerja menrsi s praja. 

Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun 

dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan 

Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati 

Unus dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya 

dengan kebohongan melanggar janji. lalu  ia 

menyesal untuk selama-lamanya. Sesal lalu  memang 

tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan 

persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia 

menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan 

di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan 

kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai 

matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. 

Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya 

bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan 

gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan. 

Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan 

cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu 

sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya 

ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan 

datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya 

sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak 

akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya. 

Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa 

persahabatan. 

“Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat”, 

katanya lunak, “telah lama kami pikirkan kemungkinan 

itu”. 

Dan Aji Usup segera mempersembahkan 

terimakasihnya. 

‘Tuban, Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk 

menggunakan kesempatan itu”. 

“Ya, Gusti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan 

gugusan Tuban insya Allah akan menjamin kemenangan, 

Gusti, semoga Allah s.w.t. merah-mati Gusti dengan 

kesehatan, kenikmatan dan panjang usia”. 

“Hanya kami tak mampu menyediakan kapal”. 

Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang 

Adipati dapat menangkap perubahan pada airmukanya. 

“Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang 

terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal 

kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar 

keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan 

kami?” 

“Besarlah sudah kemurahan Gusti Adipati Tuban. 

Berapakah kiranya besarnya pasukan yang Gusti relakan 

untuk armada gabtungan itu, Gusti?” 

“Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat 

seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu 

menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, 

jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara”. Dan Aji 

Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus 

mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang 

dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu. 

“Kapal perang Tuban cukup baik, Gusti Adipati, 

sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah 

membawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas 

Tumasik”, 

“Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu 

dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi 

bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami 

membikin yang baru. Janganlah berkecil hati sebab  prajurit 

laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit”. 

“Besarlah kemurahan Gusti Adipati. Tuban akan 

melimpahi Gusti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan 

putus-putusnya. Ampun Gusti, apabila Gusti berkenan 

bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima 

gugusan Tuban?” 

“Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa 

tandingan tuan Duta – Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban”. 

Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk 

menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keragu-

raguannya. Wirangmandala  jadi lebih berharga dibandingkan  lima 

buah kapal perang Tuban. “Dia pun kepala pasukan laut 

Tuban, Tuan Duta”. Hampir-hampir duta itu tak dengar 

kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang 

mengenangkan mendapat Liem Mo Han – Wirangmandala , 

itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk 

melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan 

lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan, 

bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri 

dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak 

tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban. 

0odwo0 

 

29. Lahirnya Persekutuan Rahasia 

Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban 

sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara 

maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian: 

Memang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono 

sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki 

tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud 

waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya. 

Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga 

diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya 

merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan 

cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh 

semua pembesar pasukan kuda. 

Sampai di pelataran Sultan masih memerlukan 

menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat 

sembah dalam tegak berdiri. lalu  ia menaiki 

kudanya. 

Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan 

kepulan debu tanah Jepara di belakangnya. 

Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan 

oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu. 

Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain 

artinya dibandingkan  terjadi kompromi antara dua pandangan 

dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu? Orang 

pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada Demak 

akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang 

tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari 

Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang 

menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan 

menyerang Malaka sekaligus menguasai Jawa. 

Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan 

bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya 

sebanyak itu. 

namun  di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam 

keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi 

atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap 

dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan 

melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan 

dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa, 

kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa 

orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau 

perkawinan – sudah pada membikin persekutuan militer 

untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan 

adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban 

sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa 

pertama dari Trenggana. 

Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan 

kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara 

terkena boikot dari Jawa sendiri. 

Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar 

Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya 

diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan 

Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, 

bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti 

bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja 

Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan 

bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi 

bagian selatan ini sudah dapat dimayat lkan. 

Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan 

seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai 

Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau 

saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara 

Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke 

tangan Pribumi. 

Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan 

membatasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi 

memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya 

pada garis Pasai-Malaka, membentuk bentengan laut yang 

tak bakal kena terjang. 

Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara 

Sultan dan Ratu menjadi padam. 

Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang 

dengan pedang bermata dua? Mengapa Sultan tiba-tiba 

nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan 

kaki? Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi 

dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali 

seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam 

setengafctujgR mendatang? Bila benar demikian, bukan itu 

berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah? Sebaliknya 

juga berarti kekalahan bagi Trenggono? sedang bila Ratu 

yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha 

kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara. 

Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu 

apakah amanat Sultan Demak. 

Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru 

pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk 

bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan 

Peranggi. 

namun  para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi 

seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu 

sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di 

kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada 

gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat 

mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, 

memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan 

akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari 

punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka 

tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing 

kewaspadaannya. 

Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia 

sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu 

datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih 

Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah membikin 

persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak 

membeludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak 

pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan 

kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan 

wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak, 

yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu, 

bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban, 

yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk 

mempertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin 

dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang 

sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan 

gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban. 

Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. 

Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan 

bandar pun mulai sedikit hidup. 

Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya 

sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil. 

Wirangmandala  merasa telah diusirnya tanpa ampun ke 

desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan 

berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala 

pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat 

apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman 

sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa 

sesuatu kekuasaan dan pengaruh. namun  ia teringat pada 

Gajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan 

dalam hatinya: siapa dapat memayat lkan apa akan 

diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang 

justru sebab  dungunya? Dan ia serahkan semua persoalan 

pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu 

apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa 

anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para 

kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak 

berani menyingkirkan dari muka bumi. 

Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya 

minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur 

Malaka, Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan 

anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini 

akan hilang dari hari-harinya yang terakhir. 

Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan 

Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah 

laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih 

untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu 

menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah 

Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia 

akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak 

memukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan 

jawabannya: Wirangmandala  akan diangkatnya secara resmi 

sebagai Senapati Tuban. 

Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas 

melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara 

kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan, 

bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, 

reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan 

balasan dari Gusti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya 

Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa 

maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke 

tangannya. 

Di Jepara Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan 

masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka. 

Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan 

berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka, 

mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan. 

Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum 

dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri 

menunggunya. 

Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis 

seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan 

berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita 

tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya, 

dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun. 

Juga sekali ini: “Sahaya sudah banyak menjelajah negeri 

orang lain Gusti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada 

bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar 

semacam ini, yang membikin cniipp ini lebih indah dan 

berharga. Tembikar-tembikar ini, Gusti, dibikin menurut 

kesukaan Gusti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang. 

Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang 

Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong Gusti Ratu, 

sama seperti kami menyokong Gusti Kanjeng Sultan Al-

Fattah dan Gusti Kanjeng Unus almarhum”. 

Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata 

tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu 

begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya 

almarhum dan putranya almarhum. 

“Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata 

persembahan sahaya Gusti Ratu. Semua ada terentang 

dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang. 

Tulisan tidak berubah, Gusti, biarpun kata lisan bisa 

berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong 

penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan 

ini”. 

Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu 

satu per satu untuk ke sekian kali. lalu  mereka 

berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang 

wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han 

mempersembahkan keterangan. 

“Ini, Gusti Ratu, yang baru dipasang adalah gambar 

seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama 

taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. Gusti, 

wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga 

tampil sebagai panglima perang”. 

Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi 

bicara tentang gambar penari itu. 

“Pernah kami berangsur-angsur, Babah,” bisiknya, “ah,” 

terengah-engah, sekarang ia tertawa, “berangsur-angsur 

sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi 

ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan… sekiranya 

kami pria, ada praja di tangan….” 

“Dengan kewibawaan Gusti Ratu, tanpa Gusti sendiri”. 

Liem Mo Han menggarami, “Kanjeng Gusti Unus 

almarhum sudah melaksanakan”. 

“Kau betul Babah”. 

“Kanjeng Gusti Itu sudah mempersiapkan armada besar 

dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat 

dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan 

kewibawaan Gusti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, 

dan membawa tugas yang megah dan agung? 

Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng 

Gusti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi 

armada nelayan, Gusti? Sampai punya pikiran begitu 

macam?” 

“Ampun. Gusti, jangan menjadi kegusaran Gusti, sebab  

sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya”. 

“Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke 

Malaka, Babah”. 

Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua 

pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan 

itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran 

pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak. 

Tidak lebih dari lima belas hari lalu  seorang yang 

tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah, 

mempersembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah. 

Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh sebab  

pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah Gusti 

Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan 

menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu 

dalam pertemuan terakhir. 

Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui. 

Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh 

abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia 

bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka 

penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang 

sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari 

pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya 

Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman 

pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam 

bahaya. Memang! 

Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan. 

Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir. 

Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau 

inang di sampingnya. 

Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: “Kami 

semua menyokong Gusti Ratu. Bagaimana bisa lain 

dibandingkan  itu Gusti?, peranggi adalah juga musuh kami 

bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami 

se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami 

ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan 

sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka 

membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari 

situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan 

Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua 

bangtjji celaka, Gusti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi 

bersama-sama”. 

“Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus 

almarhum”. namun  bukan itu yang diharapkan oleh Ratu 

Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus 

hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan 

pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan 

mengatakan. 

“Dalam usaha penghalauan Peranggi, Gusti, tak ada 

orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang 

bernama Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai 

Benggala di Tuban dalam hanya beberapa minggu. Dia pun 

telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang 

dia sedang diusir dari praja Tuban”. 

Dan beralihlah pembicaraan pada Wirangmandala . 

“Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak 

desa? Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun 

tak pernah”. 

Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: ‘Tidak benar, 

Gusti. Orang yang bernama Wirangmandala  pernah ikut 

gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara, 

Gusti.” 

“Di bawah Raden Kusnan?” 

“Tidak keliru, Gusti. Kalau sahaya tak salah, orang itu 

pernah memikul tandu almarhum Gusti Kanjeng Unus 

waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang 

memimpin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya 

anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. sesudah  jadi 

Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia 

di usir dari praja”. 

“Apa kesalahannya, Babah?” 

“Kesalahannya adalah sebab  dia hanya anak desa”. 

“Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai 

anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di 

laut?” 

“Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban 

mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut menyaksikan. 

Gusti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan 

bernama Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban 

dengan meriam….” 

“Peristiwa itukah yang kau maksudkan?” 

“Ya, Gusti, peristiwa yang menggemparkan semua 

bandar di Jawa itu. Gusti. Tuban membalas dengan enteng. 

Bukan sebab  Tuban dapat menenggelamkan kapal 

Peranggi itu yang sahaya nilai, namun  kepandaian 

Wirangmandala  dalam mengatur dan menggunakan 

balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di 

laut, di darat, di mana pun”. 

“Jadi dia mungkin berani hadapi Peranggi di laut?” 

“Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut, 

Gusti? Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana 

almarhum Gusti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka, 

dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang 

sarang Peranggi.” Suara Liem Mo Han kehilangan 

kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. “Kalau 

Gusti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk 

membujuk Gusti Adipati Tuban untuk ikut bergabung, 

sahaya sanggup, Gusti”. 

“Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja 

padaku Wirangmandala ”. 

Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana 

diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri 

bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah 

tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah 

dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila 

menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan 

niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang 

berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan 

sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha 

membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke 

Malaka. 

0o-dw-o0 

 

Waktu tandunya memasuki perbatasan kota Demak, satu 

regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu 

rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan 

sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda, 

mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini, 

menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu 

lalu  bergerak mengiringkannya. 

Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah 

mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan 

kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam 

balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyambutnya 

dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di 

atas singgasana permaisuri. 

Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia 

membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke 

Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia 

dari singgasana permaisuri. 

Penghadapan bubar dengan kekecewaan. 

Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan 

wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru 

taman telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan 

sebagai seorang anak. 

“Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak 

kecil kau kepala batu. Kepala batu memang tidak apa-apa 

kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi. 

Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. 

Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas 

kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi 

kehendakmu. namun  yang kudengar belakangan ini kau 

tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri 

telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan 

secara menyolok, berlebih-lebihan”. 

“Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi 

tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi 

menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan, 

sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang 

pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.” 

“Jadi kau akan segera membuat perang?” 

Trenggono tidak menjawab. 

“Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera 

menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa 

pesanku: Malaka.” 

Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa 

penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji Sultan, 

bahwa ia akan mengirimkan armada ke Malaka dalam 

jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus. 

Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan, 

anak Trenggono’. 

namun  yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: 

kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu 

kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudara-

saudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa. 

Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda 

tercinta Unus dibandingkan  sekutu-sekutu perang. Trenggono 

nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak 

menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk 

menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha, 

Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di 

luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau 

semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perempuan. Ia 

akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus. 

Demikian ia memasuki Jepara membawa kekecewaan di 

satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang 

ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah 

berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap 

tidak putus asa, justru makin meluap. 

Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan 

rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus 

yang setia. 

Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia 

mempunyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan 

agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke 

Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah 

menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang 

persoalan manca praja. 

Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan 

Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak 

armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang 

dengan raja-raja di Jawa. 

Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati 

dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara. 

Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan 

usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak 

lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk 

menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya 

untuk menguasai Jawa. 

Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah 

menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan 

akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya 

rencana Trenggono yang hendak memerangi saudara-

saudaranya sendiri. 

Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak 

kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara 

dan Lao Sam. 

Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup 

meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang 

berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut 

Jepara. Ia telah berhasil membikin pasukan laut itu 

mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan 

mereka, mereka akan bikin Jepara memisahkan diri dari 

Demak, dan membikin Demak jadi segumpal tanah 

lempung tandus tidak berarti. 

Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan. 

Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka, 

mereka pun akan mulai memisahkan diri dari Demak. 

Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup 

agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang 

yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. sebab  itu 

pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono 

mulai menyerang tetangga-tetangganya, namun  pada waktu 

ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah 

kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke 

Malaka takkan menemui rintangan.. 

sesudah  persekutuan rahasia mendapat kata sepakat 

dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan 

menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan 

Sulawesi Selatan. 

Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada 

umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang 

dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan 

Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala 

batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan 

yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah 

dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa? 

Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak? 

Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan 

nama Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima 

kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada 

waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan 

menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak, 

Jambi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut 

serta. 

Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh 

Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji 

Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban. 

Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan 

Wirangmandala  sebagai pimpinan pasukan-pasukan 

gabungan dari Jawa. 

Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui 

tetangganya dan kewalahan. 

0o-dw-o0 

 

Trenggono lalu  mengetahui juga sikap pasukan 

laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia 

menjadi ragu-ragu. namun  pasukan kuda terus menerus 

mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai 

tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang dua-

duanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut 

dan tanpa armada, Peranggi sudah lama akan membalaskan 

dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara 

dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu 

kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat 

perangnya tidak disalurkan. 

Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan 

perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetangga-

tetangganya, yang sebelumnya diawali dengan 

pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah 

untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari 

kerusuhan para penjahat. namun  pertempuran 

sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi 

untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukan-

pasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan 

lama. 

Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk 

surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu 

Sultan, baik dalam penyiaran agama Islam maupun dalam 

usaha perang. 

Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu 

berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai 

melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai 

cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Dan ia belum 

lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat. 

Dengan sebuah kapal Arab yang kembali melalui sebelah 

barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah 

datang. 

Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi, 

berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan 

berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya 

dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan 

ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban 

putih tanpa perhiasan. 

Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada 

pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus, 

Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitan-

kesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya 

sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan 

ibunda Ratu Aisah. 

Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono 

menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. 

Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa 

dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak 

dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia 

melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua 

impiannya. 

“Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan,” ia 

mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan 

pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap 

utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun 

akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan 

patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan 

pada patik biarlah semua itu patik urus”.  

Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada 

suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan 

diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah 

meninggalkan Demak masuk ke Jepara. 

Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi 

kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah, 

dan menyampaikan dalam Melayu, bahwa Demak telah 

siap mengirimkan seluruh armada ke Malaka. 

“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?”  

“Setiap waktu, Gusti Ratu”. 

Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan 

perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat 

menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap 

tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat 

dikendalikan. 

Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan 

dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang 

mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang 

itu nampaknya sama-sama puas. 

Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan 

reda. 

Tak lebih dari sebulan sesudah  kunjungan Fathillah, 

Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah 

dikawinkan dengan adiknya perempuan. 

Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa 

hari ia di samar lalu  pulang lagi ke Jepara. Demak 

dirasainya terlalu panas. 

Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah 

janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusan-

keputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus 

menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak 

percaya pada Demak dengan Panglima barunya, yang 

dengan begitu gampang bisa mendapatkan kepercayaan dari 

Sultan. 

Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing 

pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan 

semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat 

melaksanakan keinginan-keinginan sendiri. 

Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada 

suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar 

ditempatkan di luar kota Jepara. 

“Fathillah telah mengetahui rencana kita”, Aji Usup 

berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan 

laut Jepara bertindak.” 

Dan ia berpendapat pula, hanya sebab  adanya Ratu 

Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak 

mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo 

Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak 

sampai hati menyatakan satu kepada yang lain. 

Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk 

mendapatkan keterangan, kapan Demak akan 

menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh 

Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah 

harus mendapatkan Wirangmandala  untuk jadi pimpinan dan 

lansung menuju ke Malaka. 

Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban 

menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus 

kembali ke Lao Sam demi keselamatannya. 

Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan 

Liem Mo Han 

Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan 

pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima 

Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu 

Bhre Paramesywara: Fathillah. 

0odwo0 

 

30. Petani Wirangmandala  

Sudah beberapa lama Wirangmandala  hidup di desa 

perbatasan Awis Krambil, menjadi petani seperti penduduk 

selebihnya. Ia telah dapat melaksanakan impian-mudanya – 

impiannya bersama tengkorak . Mereka telah mendirikan 

pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu 

berdiri tinggi di atas tiang. 

Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua 

pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan 

pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali 

saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah 

membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak punya 

kesabaran ataupun kesenangan. 

Pada telah membuka pengajian di desa itu pula. 

Persahabatannya dengan Wirangmandala  menyebabkan ia 

mendapat kepercayaan dari penduduk desa. Dengan 

bermodalkan kata-kata “Wirangmandala lah yang menolong 

jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata tengkorak  “Mohammad 

Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak 

Wirangmandala ” ia muncul sebagai orang terpandang di desa 

Awis Krambil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan: 

seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik 

seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh 

semua orang baik-baik sedesa. 

Dan Wirangmandala  sendiri tak punya perhatian terhadap 

kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan 

pada anak-anak desa untuk belajar padanya. tengkorak  juga 

tidak pernah menganjurkan. 

namun  pengalaman Pada yang banyak, 

pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan 

banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah 

menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi 

dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu didapatkannya sebagai 

pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di 

belakangnya. namun  ia tak pernah tertarik untuk menggarap 

tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani. 

sesudah  banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya 

ia mulai mendongeng, lalu  memperkenalkan nabi-

nabi yang pernah dipelajarinya di Demak. namun  segera 

seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan 

yang memisahkan anak-anak lelaki dari perempuan. Orang 

tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya 

anak-anak perempuan itu? Mengapa mereka dibedakan 

hanya sebab  mereka perempuan? Dan ia menjawab, ia 

seorang bujangan maka tak baik punya murid perempuan. 

Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak 

punya prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia 

mengawini salah seorang gadis Awis Krambil. Ia tak pernah 

menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih. 

lalu  desa dibikin terheran-heran mengapa 

pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan 

bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan 

tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia 

menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar 

sendiri dari rsi -rsi  lama dan dari orang-tuanya. 

Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada. 

Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa 

dipergunakan untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai 

berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi 

kegagalan. 

Dan Wirangmandala  ataupun tengkorak  tidak menyokongnya, 

Bahkan Gelar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia 

mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua 

dengan Kiai Benggala telah cukup tidak menyenangkan dan 

akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia 

tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan 

dirinya sendiri. 

Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah 

kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan 

tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang 

tinggal sedikit telah merambatkan tembang; itu ke seluruh 

desa Awis Krambil, dan merasa berbahagia dengn 

suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan 

di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam 

sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar 

luas dalam kegelapan. 

Namun muridnya tidak juga bertambah. 

Dan Wirangmandala  ataupun tengkorak  tak pernah datang 

menengok gubuknya. 

Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai 

mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan 

minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan 

menanyakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring 

lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh 

diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak 

makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tua-

tua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan 

ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan 

atau ia harus keluar dari desa Awis Krambil. Ia 

mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak, 

sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa. 

Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan 

kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mula-mula 

membikin peraturan. 

Hanya persahabatan dengan Wirangmandala  dan tengkorak  

membikin ia tidak terusir. 

Suasana mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal 

barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali 

waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan, 

cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang 

tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi. 

Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta 

yang tak pernah ditinggalkan. sesudah  dipurut cacing itu 

direndam dalam air enau selama sehari, lalu  setiap 

orang memakannya. 

Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang 

yang tidak populer di Awis Krambil. Ia harus lebih bersabar 

lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada 

sahabatnya untuk minta perlindungan. 

Waktu itu Wirangmandala  sedang di hutan untuk 

menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul 

sahabatnya masuk ke dalam hutan. 

0o-dw-o0 

 

Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan 

Wirangmandala  tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang, 

huma atau hutan, tengkorak  dapat melihat sinar aneh pada 

mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot 

itu. 

Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia 

diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua 

persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat 

menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu, 

melewati hutan muda dan lalu  menyeberangi padang 

rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan 

sampai ke jalan negeri. 

Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di 

pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang 

aneh itu pula. “Jadi Mbokayu tak membelok ke kanan? ke 

Tuban?”  

“Tidak, Pada”.  

“Ke kiri? Awis Krambil?” 

Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya 

menunduk.  

“Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.  

“Biar aku antarkan sampai Awis Krambil”, jawabnya 

lalu . “Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa 

terganggu.” 

“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang 

mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg, 

kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba 

putih”. 

Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan 

pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan. 

Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. lalu  ia 

datang lagi membawa sir pisang susu matang dan 

pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumuri 

getah pisang. 

“Begini baik, bukan, Mbokayu?” 

“Cukup baik”. 

Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan Awis 

Krambil. 

Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang 

mengawasinya, lalu  dengan gugup menyembunyikan 

pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar 

matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung 

kasmaran. 

“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”. 

“Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun 

bertengger di sanalah rumahku.” 

Suara lelaki itu terdengar gembira tercampur tawa, dan 

tengkorak  tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya 

terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin 

orang muda ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan 

lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai 

percakapan. 

Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara Gelar 

yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa 

Pada berjalan di belakangnya. 

Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja. 

Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap 

ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintik-

rintik. Pintu-pintu rumah desa telah tutup untuk menolak 

angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan 

ternak atau dapur. 

Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan 

gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk. 

Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di 

samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang 

terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan 

sanggurdi kuda itu masih terpasang. 

“Ya, Mbokayu, memang kuda Tuban”. Pada 

memperingatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui, 

kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau ragu-

ragu, Mbokayu”. 

Ia memang ragu-ragu untuk masuk. 

Dan orang muda itu mendekatinya dengan Gelar masih 

juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak 

senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan 

melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan, 

meninggalkan Pada di belakangnya. 

Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah. 

Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa 

menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk 

mendapatkan perlindungan. 

Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar 

tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa 

tombak-tombak-nya ke dalam rumah. 

Mereka tak langsung memasuki pintu, tapi berjalan dari 

samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk 

mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun 

dari dalam. 

Juga pintu samping itu tak terkunci, tengkorak  masuk. 

Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di 

manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa 

penunggang kuda itu? Dan di mana dia? 

Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di 

dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka – gulai bebek. Ia 

buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak, 

dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga 

di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia 

daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di 

mana orang-orang rumah? Dan mengapa anjing-anjing pun 

tiada? 

Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang 

jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawa-

tawa mayat i – dan suara itu dibawa oleh angin sore yang 

dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. Binatang-

binatang itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan 

sambil memamah-biak. 

“Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,” 

katanya pada diri sendiri. 

Ia suruh Pada dan Gelar beristirahat di ambin ruang 

depan, di mana dulu mayat  arwah  ia rawat. Pada dengan 

Gelar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. 

Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan 

untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran 

mata itu. 

Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia 

meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar 

mayat i-mayat i di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka 

pintu depan dan keluar. Gelar dan Pada terbangun. 

“Anak desa Awis Krambil jadi Senapati Tuban!” bocah-

bocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. Terus 

menerus menang!” 

“Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian 

jadi orang besar juga kelak. Kagumi!” 

Di hadapan tengkorak  satu rombongan besar orang sedang 

melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan 

perempuan. Rombongan itu mengiringkan seorang 

bertubuh dempal perkasa. Dan tengkorak  tidak keliru. Itulah 

suaminya: Wirangmandala . Ia lari menyambutnya. Tanpa 

bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedan-

sedan. 

“Dayu, aku tahu kau selamat”. 

Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya 

dan disekakannya pada wajah istrinya, lalu  

memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat 

juara gulat ini. 

“Dengarkan, penduduk Awis Krambil mandala  Senapati 

Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu 

dengan isterinya. Dan khusus pada tengkorak , “Mana 

Anakku?” 

Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang 

berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat lelaki muda 

itu seperti terpesona oleh kehadiran Wirangmandala . 

Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh. 

Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur 

nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada 

bapaknya dengan hangat “Inilah anakmu, belum lagi 

bernama”, dan ia seret Gelar dan diberikannya pada 

mandala , “dan ini Gelar anakku”. 

Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi 

itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan, 

kepuasan, syukur dan terima kasih, lalu  

menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat 

Gelar dan berseru: “Kau, Gelar, kau sudah bisa menyanyi?” 

“Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang” 

Air muka Wirangmandala  berubah. Tanpa mengindahkan 

jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencari-

cari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya 

menjadi keras. 

“Pada, di mana kau?” seru tengkorak , dan ia sendiri menjadi 

kuatir melihat perubahan airmuka suaminya. 

“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri 

menghadap pada Senapati. “Inilah aku, Kang, adikmu 

sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki 

Wirangmandala . 

“Dia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang 

menolong jiwaku dan anak-anak Wirangmandala ”. 

Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyi-

senyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia 

sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada Senapati Tuban 

dan orang yang bersujud di hadapannya. 

Tiba-tiba Gelar merangkul leher Pada, bertanya: 

“Mengapa tak bangun-bangun, Paman?” 

“Ya, bangun, kau, Pada”. 

Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis 

bangun dari sakit demam sebulan. 

“Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini 

bagaimana ia selamatkan kami, Kang.” 

"Aku datang untuk menyusul kau, tengkorak ”.  

‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke 

Tuban”.  

‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, tengkorak . 

Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.”  

“Kang!” seru tengkorak  tak percaya. 

“Kita akan membuka huma, tengkorak , mendirikan gubuk di 

pinggir hutan, di tepian desa”.  

“Kang!” 

Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan 

memperhatikan semua kejadian itu. 

0o-dw-o0 

 

Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan 

oleh Trenggono telah memperkukuh niatnya untuk tidak 

kembali ke Demak. Apalagi sesudah  ia tahu Sultan baru itu 

tidak memperhatikan dan tidak membutuhkan jasa para 

musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi 

menyampaikan laporan. 

namun  alasan terutama adalah tengkorak . Wanita itu 

membikin ia tak mampu meninggalkan Awis Krambil. 

Bahkan hanya namanya pun telah menyebabkan ia merasa 

tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara 

hatinya – menetap di Awis Krambil. 

Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai 

memanggilnya Kiai. Dan ia tidak membantah. 

Dalam percakapan dengan Wirangmandala  dan tengkorak  

dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang 

tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun 

tidak menginginkan harta-benda orang lain. 

Ia tahu beberapa ucapan tengkorak  padanya dalam 

perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak 

pernah membangkit-bangkitnya kembal