nusantara awal abad 16 20

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 20



  daging, 

menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan 

dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan 

mendua beras, mencicip dan menggulai. 

Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup 

dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah 

Sunan Rajeg yang semakin lama semakin aneh. 

la seorang bekas musafir Demak tadinya memasuki 

Tuban untuk membawa Kiai Benggala berpihak pada 

Demak, sebab  Demak menilainya sebagai seorang yang 

berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan 

Nusantara.  la pun mendapat tugas untuk membersihkan 

pedalaman  Tuban dari rsi  rsi  pembicara kafir yang 

mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini 

sebab  dilahirkan dan dibesarkan disini, 

Sebelum berangkat seorang rsi  menyampaikan 

padanya disebuah pojookan mesjid agung, bahwa agama 

Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya, 

keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan rsi -

rsi  sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka 

dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya. 

Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu 

sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri. 

Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan 

Islam, sebab  mereka sudah tidak diperlukan lagi. 

Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan 

tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun. 

Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan Sunan Rajeg, 

yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan nya, lebih berilmu 

dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak 

pada Demak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai 

impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah 

sekaligus. 

Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua 

medan pertempuran. Sunan Rajeg harus lari 

menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat 

watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun 

berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya, 

hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak 

habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang 

berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan, 

rsi  yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti 

itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat 

mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu 

dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan 

miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan 

kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di 

lalu  hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan 

diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai. 

Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya. 

Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan 

tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti 

sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang 

tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok. 

Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung dibandingkan  

biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi 

rambutnya yang hitam-lekam. 

Melihat kegesitan Mohammad Firman dalam memasak 

ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke 

dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri 

dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu 

memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan? 

Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli 

untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu? Baik. 

Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya 

dan tenangkan agak lama sesudah  mendidih sekali lagi”. 

Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari 

anyaman bambu. 

“Kau sendiri yang menuangkan, Firman. Dengan serbuk 

ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan 

nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai 

Malabari! Ada juga yang menamainya kare, tapi lain dari 

yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila 

dicicip ia bisa berubah jadi racun!” 

‘Jadi racun. Kanjeng Sunan? ” 

“Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang 

bumbu, bumbu bikinan leluhur,sudah ratusan tahun, yang 

menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan 

orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah 

menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”. 

Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk 

melihat-lihat sekitar tungku, lalu  balik lagi pada 

Firman: “Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat, 

semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus, 

harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh 

mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu 

itu”. 

Dan ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mematuhi 

semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum. 

namun  juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik 

mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir 

pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang 

semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan 

antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau 

pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung 

semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap 

tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan 

manusia? Dan tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang 

sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus 

ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui? 

Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap 

bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk 

bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan 

buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu. 

Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari 

kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura 

tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik 

dedaunan. 

Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru 

masak tak boleh mencicip? 

Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata 

mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga, 

bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas 

tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan 

gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya. 

Firman menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak 

diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya 

beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan 

terpanggil oleh harum sang gulai. 

Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan 

makanan ia turunkan di atas tanah, lalu  dengan pacul 

kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan 

bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya. 

Hilang semua itu dari pandangan mata. 

Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap 

dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum. 

Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup, 

dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap. 

Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar. 

Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada 

tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia 

bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya 

sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu 

tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak 

pohon yang baru saja mati. 

Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu 

tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada 

tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya 

berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa 

pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan harta-

bendanya. Gila! 

Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini 

mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan 

kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang 

dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik dibandingkan  

Sang Adipati atau pun kafir, kufur, munafik mana pun. 

Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan 

dan semua ummat. 

Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah 

digelari dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah 

boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru 

diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama 

dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri, 

lalu  para pengikut, dan paling akhir sandera tengkorak  

dan anak-anaknya. 

Berjalan melewati ruang tengah sesudah  kembali dari 

membawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati Rangga 

Iskak telah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang 

tersetia itu mengepung hidangan. 

“Firman”, tegur Sunan Rajeg, “sekali ini kau pun 

bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari Allah ini. 

Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian 

makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg”. 

Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain 

dari Sunan sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan 

dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun 

mulai menyantap dengan lahap. 

“Ayoh, habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan 

gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi 

dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh, 

semua, jangan enggan”. 

Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa 

memperhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun 

pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan 

dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan Sunan Rajeg, 

yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga 

bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas. 

Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan 

Firman pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama 

sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan. 

Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil 

terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi. 

Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang 

akan terjadi sesuatu. 

Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan 

dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung 

mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mulurnya 

menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, lalu  jatuh 

seperti karung kosong di lantai. 

Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun 

atau memutar-mutarkan kepala, berdiri untuk lalu  

jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi. 

Firman menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir 

mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak 

gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan 

lalu  melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting. 

Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati. 

Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi 

semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang 

matanya diarahkannya pada Firman yang masih juga belum 

menggeletak. 

Tak ada jalan lain bagi si jangkung dibandingkan  mesti 

mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut 

ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring 

dan mata tertutup lengan, mengintip Sunan Rajeg. 

Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk. 

Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah 

seorang korban dan berbisik padanya: “Ya Allah, terjadilah 

apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan 

semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak-

Mu, semua ini takkan mungkin berlaku”. 

Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai 

pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, meraba-

raba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paru-

parunya yang masih juga kembang-kempis. Ia mengangguk-

angguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan 

padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau 

hanya lebih cepat. Ampunilah aku”. 

Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia 

meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan, 

bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korban-

korbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia ragu-

ragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang 

terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin 

kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan 

akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti 

bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan 

pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah 

terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya 

akhirat akan lebih baik, lebih menentu, dibandingkan  dunia.” 

Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti, 

menoleh ke mana-mana dan memekiki: “Khaidar! Khaidar! 

Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia 

menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. Sembilan 

belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?” 

“Khaidar sudah mati, Kanjeng Sunan!” jawab jurumasak 

dengan suara bisik. 

“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak 

mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa 

kudengar ini? Khaidar! Ayoh, sini, keluar”. 

Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan Sunan Rajeg 

mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang 

sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka. 

“Mati!” katanya setiap habis memeriksa. 

Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya 

mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si 

jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan 

Rajeg terbalik sangking kagetnya. 

“Ya, akulah iblis!” raung Firman, lalu  tawanya 

bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu. 

“Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari 

tanganku”, ancamnya dengan suara dada yang dalam. 

Sunan Rajeg gemetar tak mampu mempertahankan tegak 

badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggil-

manggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan 

untuk mencari tempat bersandar. lalu  mulurnya 

berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat. 

Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk. 

“Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, pekiknya sesudah  

selesai doanya. “Pergi kau ke alammu sendiri”. 

“Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doamu tidak 

mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau 

bunuh?” 

“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman! 

Dengarkan Firman”, kembali Sunan mencobai memidatoi 

dan nampak ia menabah-nabahkan diri. 

Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya 

sebentar, lalu  diulurkan pada pemimpinnya. 

Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan, 

kataku!” 

“Tidak, aku tak suka kare”. 

“Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi 

mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi 

pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju 

mendekati.  

“Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan”. 

Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar. 

“Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya. 

‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak 

mengeluarkan pisau dari pinggangnya. 

“Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku 

dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu 

peti dan pergilah dengan damai,” kata pemimpin Rajeg itu 

sesudah  mengetahui, jurumasak itu tidak mati. “Khaidar! 

Khaidar!”  

“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!” 

“Bohong. Tak pernah Sunan Rajeg membunuh orang. 

Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka”, 

katanya sambil menuding korban-korbannya yang 

bergelimpangan. 

“Kau pembunuh!” tuding Firman. “Ningrat Jawa takkan 

lakukan kekejian semacam ini”.  

“Pergi! Pergi!” pintanya gugup.  

“Bawa satu peti”.  

“Hanya satu?” Firman menggertak, “sesudah  

pembunuhan keji ini?”  

“Dua. Ya, dualah”. 

“Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup”. 

“Sampai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar 

dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah, 

kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah 

kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan 

dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani 

buatan Libanon dan Ashkhabad….” 

“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi”. 

“Siapa tidak?” 

“sesudah  kau membunuhnya?” 

“Bukan aku. Kau!” tuduh Sunan Rajeg. 

“Ayoh, makan daging kare ini”. 

“Tiga peti!” 

“Lebih baik kau susul istri-istrimu…’ 

‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan membunuh 

dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya”. 

“Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku 

yang mengerjakan. Sini! Si… ni”. 

Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan 

mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat 

tinggal di situ. Gelar dan adiknya nampaknya merasai 

bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak 

memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan 

menguasai bilik itu. 

Mendengar ribut-ribut di luar bilik, tengkorak  melompat ke 

pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu. 

Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas 

sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik 

Gelar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya. 

Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi 

dinding kayu dan lubang-lubangnya. 

Mereka tak dapat melihat sesuatu. 

“Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati sebab  kau! 

Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini. 

Apa kau lebih memilih pisau dapur?” 

“Jangan, ambillah tiga peti itu”. 

“Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain 

jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau 

menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan, 

mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan 

keringat dan darah dan nyawa orang lain!” 

“Tiga peti cukup, Firman, demi Allah”. 

“Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!” 

suara bentakan 

“Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai 

mewejang, hafal semua firman Allah… hanya iblis laknat 

belaka. Rasakan ini!” 

Cepat-cepat tengkorak  mengangkat Gelar dan mereka pura-

pura tidur nyenyak. 

Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar 

langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin 

mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan 

satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga. 

Ia dekap Gelar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan 

mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan. 

Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik.  

“Dewa Batara!” bisik tengkorak  hampir tak terdengar.  

“Mak”. 

Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal 

cahaya rem-bang masuk ke dalam. 

“Keluar!” terdengar oleh tengkorak  dan Gelar suara yang 

memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur.  

“Tidurkah kau, Mbokayu?” 

Tersirap darah tengkorak . Ia pernah dengar suara itu – 

suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda 

pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya 

selalu selunak itu? 

Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di 

ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan 

suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat. 

tengkorak  tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih 

lama. Ia turun dari ambin. Gelar tak sudi melepaskan 

rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan 

menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa 

jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak 

dengar si bayi sudah mulai menangis pula. 

“Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan 

Tuban?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan 

mengambil bayinya. Gendong melengket pada 

punggungnya. 

“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke 

Tuban. Kang mandala  sudah lama menunggu”.  

Siapakah orang ini? Tapi ia tak berani bertanya.  

“Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”. 

Gelar meronta dan meraung. Dan ia tak memaksa.  

“Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan 

tangan. tengkorak  memandanginya dengan curiga. Matanya liar 

tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya.  

“Ah, Mbokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”. 

0odwo0 

 

26. Pertemuan Kembali 

Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua 

puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng. 

Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wirangmandala  sendiri yang 

membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. 

Mereka sedang berusaha mencari tengkorak  dan anak-anaknya. 

Seluruh Tuban gempar mendengar berita tengkorak , penari 

pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada 

orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera. 

Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban 

terhadapnya, bila tidak sebab  perlindungan Sang Adipati, 

telah lama dapat membunuh Tholib Sungkar itu secara 

kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada 

ampun. 

Semua berdoa dan berharap agar penari itu 

diselamatkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak 

Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya 

sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, 

belum tentu ada penari seperti itu lagi. 

Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat 

dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak 

berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang 

yang bersedia bergabung dalam barisan pencari. 

Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung 

desa Rajeg, yang selama ini memang belum lagi dijamah 

oleh balatentara. 

Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu 

berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang 

sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai 

menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dulu 

kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang 

gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan 

perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat 

tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan. 

Di tempat lain lagi orang mendengarkan rsi  pembicara 

yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg. 

Perrsi an-perrsi an Buddha semakin susut. Dan 

dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat 

dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh 

Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabad-

abad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang 

Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk 

Islam. 

Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya 

beberapa orang lelaki melarikan diri melihat mereka datang. 

Dan Sang Senapati memerintahkan pada anakbuah untuk 

membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian 

ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk 

mengaduk desa. sebab  Senapati Tuban adalah juga anak 

desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, 

menjadi petani seperti yang lain-lain. 

Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu 

menambahi: “Jangan takut Kami tak memusuhi kalian. 

Memang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke 

mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang 

pun di antara kalian. 

Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan 

ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana 

Sunan Rajeg bersembunyi. 

Sampai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui 

kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada 

tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan 

gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan 

tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda. 

Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih 

menunggang kuda Senapati memasuki pendopo rumah 

joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, lalu  

masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan. 

Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh, 

namun  semua barang berharga tiada nampak. 

Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas 

Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk 

melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta 

bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah 

itu tengkorak  tak ditemukan. 

Wirangmandala  memerintahkan memeriksa setiap rumah. 

Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka 

dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, 

pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru. 

Tak seorang pun ditemukan. Apalagi tengkorak  dan anak-

anaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar. 

Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki. 

Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang 

wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya. 

Wirangmandala  memerlukan menelitinya, dan ia 

mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya. 

Mayat-mayat itu lalu  ditimbun dengan tanah dan 

ditinggalkan. 

Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan 

Senapati menambahi pesannya: “Penduduk desa Rajeg 

supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda 

yang masih tertinggal, namun  jangan lagi tinggal di situ. 

Tinggalkan Rajeg, menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa 

sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”. 

Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan 

keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan 

Rajeg. Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga Iskak 

yang terakhir. 

Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang 

melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah 

Gowong, persembunyian bekas Syahbandar Tuban itu. 

Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil 

tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda 

dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas 

pepohonan dan puncak bukit. 

Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. 

Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin 

merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di 

depan pintu gua keadaan tetap sunyi. namun  bau bangkai 

menjadi-jadi. 

Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. 

Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke 

luar masuk gua. 

“Tak ada orang di dalam. Masuk!” 

Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau 

busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka. 

Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di 

hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau 

belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke 

mari. 

Melihat bangkai-bangkai itu Wirangmandala  melompat 

turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak 

itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya 

mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di 

antara mereka. 

Juga semua prajurit ikut memeriksa. 

“Dayu! tengkorak !” teriak Wirangmandala  memanggil-

manggil. 

Hanya gema yang menjawabi kembali. 

“Seorang mati ditikam keris, Senapatiku!” seorang 

melaporkan. 

Mereka memeriksa yang mati terkeris. 

“Periksa seluruh gua!” pekik Senapati. “Inilah si keparat 

Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini 

saja akhirmu?” 

Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota 

badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan 

belatung itu. 

Mati terbunuh atau bunuh diri? 

Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan 

mengetahui: pisau dapur. 

Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan 

diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam 

atau di luar gua terdapat sebuah dapur. 

Mungkinkah tengkorak  yang membunuhnya? Dan ia 

berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang 

menjawabi. 

Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam 

menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia 

melaporkan. Senapati bergegas masuk membawa obor dari 

ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan 

menubrukinya. 

la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi 

seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya 

yang hilang: itu bukan orang yang kau cari. 

“Perbanyak obor!” perintahnya. Tapi hatinya lebih keras 

meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan 

begini, dan tak boleh di sini. 

Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari 

seluruh rongga berlapis papan itu. 

Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok 

bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa 

popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara 

orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!” 

“Nyi Gede tengkorak !” yang lain-lain mulai berlarian keluar 

dan memanggil-manggil ke sekitar. 

Suara mayat i dan keras itu bergema-gema di dalam 

rongga, juga di dalam rimba. 

Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur. 

Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil 

berseru-seru dari atas kudanya. namun  hanya gaung yang 

menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran 

burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran 

tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada 

tulang, tak ada pakaian. lalu  didapatkan galian baru, 

tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata 

bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah 

terbakar bekas tempat tungku. 

Wirangmandala  itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada 

cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan 

bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidak-

tidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang 

ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan 

seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan, 

seorang lelaki. Bukan tengkorak  yang membunuh Rangga Iskak, 

tapi seorang juru-masak lelaki. 

Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di 

sana mereka membersihkan diri. 

“Bakar gua itu!” perintahnya. 

Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya 

di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering 

ditimbunkan dan lalu  dibakar. 

“Kembali!” perintah Senapati. 

Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya 

dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah 

mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa 

menikamnya. 

Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga 

itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih 

juga menganga 

Dan popok itu memberi firasat pada Senapati, bahwa 

anaknya belum mati, juga istrinya. 

Gelar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firman 

dan tangannya berpegangan pada kepala. tengkorak  

menggendong bayi. 

Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam 

rimba belantara itu. tengkorak  membawa tombak sebilah dan 

pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang 

untuknya. Gelar membawa empat bilah tombak. Juga pada 

pinggangnya tergantung pedang. 

“Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak 

datang menolong?” bisik tengkorak  dalam usahanya untuk 

menyatakan terimakasihnya. 

Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu 

menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu 

waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas 

untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu 

mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling 

berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat 

dikenal, namun  tanpa mata awas boleh jadi orang tak 

memperhatikan baunya lagi. 

Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan 

tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun 

pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan 

oleh wanita pujaan itu. 

“Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lambat, 

“kalau Kang mandala  jalankan apa yang diperintahkan 

padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu”. 

“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis tengkorak . 

“Ya, Mbokayu, berliku-liku memang, dan tak ada orang 

tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja 

menuju ke arah kematian, memasuki akhirat”. 

“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat 

pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara 

seperti ini”. 

“Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang 

jantan, Mbokayu?” 

“Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, 

tak bisa keluar dari rimba ini?” 

“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam 

lagi, sebidang bulak rumput, lalu  desa pertama”. 

“Dua malam lagi?” 

“Insya Allah, dua malam lagi”. 

Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasa-

rasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan 

kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan 

memperebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi 

berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu 

justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina 

dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesak-

desakan, memperebutkan sisa sinar matari yang mungkin 

jatuh tercecer dari langit. 

Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan 

babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan 

dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, 

runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis 

monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan 

buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati 

kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan 

muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang 

berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana 

yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada. 

Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah 

selama mengembara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara 

menghindari atau melawan. 

Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak 

tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar 

tinggi membikin kantung jadi gangguan tambahan. 

“Berapa anakmu sekarang. Pada?” 

“Seorang pun belum”. 

“Kau belum lagi kawin?” 

“Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti 

Mbokayu”. 

“Ah, kau “. 

Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil 

mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau 

gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama 

lintah jatuh sendiri dari tubuh sesudah  kenyang menghisap. 

Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan 

pancaindera. 

“Apa menurut dugaanmu anakbuah Sunan Rajeg tak 

keluyuran di sini?” 

“Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang” 

Gelar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan 

membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari 

atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan 

tetap siaga dengan tombaknya. 

“Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban”. 

“Begitulah”. Pada langsung memulai, “Kang mandala  

membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang 

Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang mandala  tidak 

bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku 

kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang 

ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu 

belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah 

bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit 

dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah 

memungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, sebab  

dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”. 

“Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”. 

“Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga sebab  diketahuinya 

aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten 

Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, sebab  dia 

tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak 

dengarkan aku, Mbokayu?” 

“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir 

oleh Sang Adipati… kau. Pada, tega juga kau….” 

“Ah, Mbokayu… semua itu ceritera lama. Dan siapa 

tidak mengimpikan seorang tengkorak  dalam hidupnya? 

Sekalipun dia masih kanak-kanak?” 

“Huh!” 

“Aku teruskan ceritaku?” mengetahui tengkorak  tak 

menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian 

masalalu. Dan melihat tengkorak  nampak tak acuh, ia 

memberikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”. 

“Teruskan saja ceritamu”. 

“Kau sajalah yang bercerita”. 

“Sudah habis ceritaku, Pada”. 

“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: 

Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang 

hampir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa 

berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak 

penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus, 

walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus. 

Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak. 

Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan 

Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di 

Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang 

kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di 

rumahnya aku belajar agama Islam, macam-macamlah, kau 

tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama 

dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para 

wali, babad Demak. lalu  kami pindah belajar di 

mesjid agung Bintoro. sesudah  itu kami dikirimkan ke mana-

mana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban, 

pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku 

berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku 

melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg… sudah bosan, 

Mbokayu?” 

“Tidak. Ayoh teruskan”. 

“Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”. 

‘Teruskan saja. Pada”. 

Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu tengkorak  tak 

tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan. 

“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”. 

“Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg. 

Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan 

peradaban Jawa dibandingkan  menyebarkan agama Islam. Kata 

Sunan Bonang, orang tak bisa membikin peradaban yang 

sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan 

Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai 

meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya 

kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak, 

dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan 

Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan 

untuk mendekatkan dia dengan Demak”. 

“Ternyata kau orang penting Demak, Pada”. 

‘Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada?” 

“Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu 

pekerjaan rahasia?” 

“Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan 

Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang 

membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang 

kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin 

sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak. 

Sebaliknya kerakusannya membikin semua kelebihannya 

menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan 

semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi 

jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang 

untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak 

mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun 

ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani 

membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi dibandingkan  desa-

desa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia 

harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali 

memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka – 

orang-orang yang justru paling setia padanya”.  

“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?”  

“Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah 

orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk 

dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak 

desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak 

pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”. 

“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang 

baru itu. Pada?” 

“Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh 

alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang 

diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar Mohammad, di 

bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja 

Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah 

Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa 

harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung 

dan membesarkan nama Sultan”. 

“Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”. 

“Lama kelamaan kau akan mengerti juga, Mbokayu”. 

“Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti 

itu”. 

“Celakalah orang Islam Jawa yang tak mematuhi 

Khalifahnya, dunia dan akhirat”. 

“Yang lain, Pada”. 

“Sunan Rajeg, biar pun Islam, sebab  menentangnya, dia 

celaka juga”. 

“Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga 

perintah dan Demak?” 

“Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat 

dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran 

agama Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja-

raja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh 

dari pesisir. rsi ku bilang: orang Jawa tidak mau 

kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti 

Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, 

pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu 

besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar lalu  akan 

lebih kembali ke dalam alam jahiliah.” 

“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”. 

“Bukankah Mbokayu juga sudah Islam?” 

Dan tengkorak  mendengus tertawa. 

“Kata orang, Mbokayu, Kang mandala  juga sudah masuk 

Islam. Bukankah itu benar?” 

“Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak. 

Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang mandala . 

Dia hanya pintar gulat”. 

“Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak. 

Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu, 

tidak benarkah Kang mandala  sudah masuk Islam?” 

“Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu? 

Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani 

biasa. Kang mandala  tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, 

maka tak perlu bagi kami masuk Islam 

“Ah, Mbokayu”. 

“Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para 

dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin 

membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”. 

“Mbokayu!” Pada menegah. 

“Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan 

hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin 

jadi manusia biasa….”  

“Mbokayu!” 

“Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak 

ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga 

menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui 

tanganmu….”  

“Mbokayu!” 

“… Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan 

balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang 

mandala  dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan 

menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, 

kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”. 

“Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti duduk-

perkara,” Pada menyela.  

“Itulah duduk-perkaranya”.  

“Siapa yang mengajarinya begitu, Mbokayu?”  

“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung 

kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu 

banyak dari para rsi  pengembara di desa-desa”. 

“Masih banyakkah rsi -pembicara mengembarai desa-

desa?”  

“Belakangan ini berkurang memang”. 

“rsi ku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud 

dan Musa… siapa di antaranya yang paling Mbokayu 

puja?” 

“mayat  arwah . Suaranya lantang penuh keberanian dan 

kebesaran”.  

‘Tentu dia sudah mati”. 

“Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban”.  

“Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?”  

“Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan 

membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak 

rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan 

kejayaan di lalu  hari untuk sesama orang?” Mereka 

berhenti. 

Gelar bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah 

jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka 

telah memakannya sampai perut merasa agak isi lalu  

berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak 

boleh makan buah sampai kenyang. 

Gelar berjalan kaki lagi. namun  kelelahan kemarin yang 

belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk 

di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi. 

“Mengapa mayat  Curing harus dibunuh?” mendadak 

tengkorak  bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya 

lagi. “Demakkah yang menghendaki? Dan kau yang harus 

kerjakan?” 

Pada tak menengahi. 

“sesudah  mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku 

membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada rsi -

pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”. 

“Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di 

desa. Bukankah aku sendiri juga seorang rsi -pembicara? 

Cuma di Demak namanya musafir Demak”. 

“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain 

dibandingkan  di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi 

sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, rsi -

pembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat 

pengikut atau merebut pengikut orang lain. rsi -pembicara 

kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya 

menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya 

apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya. 

Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau. 

Bukankah kau jadi musafir Demak sebab  kebencianmu 

terhadap Sang Adipati? Dan Sang Adipati hendak 

membunuhmu sebab  kau merugikannya lebih dahulu?” Ia 

memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan 

lelaki itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka 

itu adalah rsi -rsi  Buddha. Makanya pun didapatkannya 

dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. 

Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya 

perlindungan”. 

“Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu”. 

“Kau tak marah padaku sesudah  menolong kami?” 

“Apa harus dimarahkan? 

“sebab  ternyata kita berlainan?” 

“Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu. 

Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu 

yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu rsi  

pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam 

pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, 

semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali”. 

“Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah 

terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang 

paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah 

sebab  itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku 

keliru?” 

“Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia, 

dia meragukan, sebab  hanya Allah pemilik kebenaran, 

yang Maha Besar”. 

“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum 

mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali, 

sebab  mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami 

kalau harus menganggap mereka tidak mengenal 

kebenaran, hanya sebab  tak tahu Aliahmu”. 

tengkorak  merasa, ia sudah sampai pada titik di mana 

pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata-

katanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anak-

anaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada 

sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya Gelar tertawa-

tawa dan menyanyi di atas bahu Pada. 

0o-dw-o0 

 

Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Ranting-

ranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas 

tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun 

dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu 

membubungkan asap tebal dan kelabu. 

“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular 

atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak 

akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan 

gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa 

pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi 

seperti habis menonton tarianmu, Mbokayu.” 

Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka 

mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka 

membakari binatang kecil-kecil coklat itu dan memakannya 

dengan senang. 

Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap 

lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah 

dilalui. 

Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. 

Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah 

terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana 

tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang 

merumput. 

“Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling 

menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semak-

semak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya 

mengintip di mana-mana”.  

“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”. 

“Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya Mbokayu belum 

juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. 

Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah 

begitu?” 

“Tumbuhlah yang muda,” tengkorak  meneruskan. “Ribuan 

rusa berdatangan merumput….”  

“Lupakan ladang dan sawahmu”, Pada menyambung.  

“Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah 

perjalananmu” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun 

mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak 

juga meninggalkan hutan. 

“Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan 

si petani sudah lewat melintasi”, Pada berkata pelahan pada 

padang alang-alang di depannya. 

“Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke 

mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu 

bangsa yang suka makan orang?” 

“Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu 

ajaran”. 

Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai 

menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan 

setapak yang hampir hilang. 

“Mengherankan,” tengkorak  meneruskan untuk melupakan 

kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa? 

Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau 

anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali 

akan dimakan juga oleh yang lain?” 

“Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu 

sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”. 

Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan 

sendiri. 

“Barangkali itu lebih baik”. Sambung tengkorak . 

“Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak. 

“Mereka makan-memakan sebab  lapar, kiraku. Ajaran 

datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuh-

membunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan 

sebab  lapar. Mungkin salah sebab  ajaran yang kau 

bawa”. 

Pada tak menanggapi. tengkorak  tahu, ia tersinggung. 

“Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah 

sebab  ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang 

hati. Tak apa, Pada.” 

“Kau memancing-mancing, Mbokayu”, Pada menuduh. 

“Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan 

sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan 

hubungkan”. 

“Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan 

ini”. 

“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”. 

Sementara mereka berjalan tanpa bicara. Gelar di atas 

bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka. 

“Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut 

pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, tapi 

perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah 

ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan 

bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang 

sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana 

pendapatmu. Pada?” 

Dan Pada tak menjawab. 

Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke 

mana-mana. Gelar bersorak-sorak di atas bahu Pada 

melihat sekawanan rusa yang merumput damai di 

kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. 

Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia 

dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari 

kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan 

menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat 

tinggi. sesudah  mengetahui, hanya serombongan manusia 

berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anak-

anaknya berlompat-lompatan lagi. 

“Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke 

sebuah hutan muda, lalu  padang rumput pendek, dan 

sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, 

Mbokayu? Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis 

Krambil”. 

“Ke kiri. Pada, Awis Krambil.” 

“Dan Kang mandala  nanti?” 

“Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu 

dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan 

dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal 

lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”. 

“Kasihan Kang mandala ”. 

“Biarlah dia kembali saja ke desa”. 

“Senapati Tuban kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan 

main-main, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan 

membajak?” 

Mereka berjalan dan berjalan. 

“Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan 

manusia. Dia akan kembali ke desa.” 

“Kalau tidak? Kalau dia memang dengan semau sendiri 

jadi Senapati untuk dapat berkuasa?” 

tengkorak  mempercepat jalannya. 

“Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak 

membutuhkan Mbokayu lagi?” 

tengkorak  menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya. 

0o-dw-o0 

 

 

27. Demak Bergolak 

Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala. 

Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak 

kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar 

biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke 

bandar Banten, untuk memudahkan saudagar-saudagar 

Atas Angin mendapatkan dagangan. 

Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan temayat i di 

Jawa, mengalahkan Gresik, apalagi Tuban. Dan untuk 

sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak 

mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat 

Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya Demak yang tak 

bersenang hati. namun  saudagar-saudagar Pribumi yang 

sudah lama terjauh dari keuntungan dengan serta-merta 

berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal Islam dari 

Atas Angin. 

Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan 

tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak 

sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh 

Jawa. 

Orang tak biasa lagi tentang perang. 

Di Jepara pembangunan kembali, armada Demak sedang 

giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur 

akan dipindahkan ke sebelah tengah. 

Tahun 1521 Masehi. 

Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengubah 

segala-galanya. 

Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka. 

Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan 

Demak kedua, yang semakin keras juga sakitnya sebab  

serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat. 

Satu-satunya penantang Portugis telah wafat. Armada 

besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain. 

Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipergunakan untuk 

meneruskan cita-cita Unus? Tak ada orang yang bisa 

menduga tentang teka-teki ini. Jurumayat l mulai sibuk 

dengan perhitungan dan mayat lannya. 

Siapa Sultan Demak ke tiga? sebab  Unus tiada 

berketurunan? 

Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para 

saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa, 

sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan 

Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke Demak. 

Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatnya Unus 

disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur 

pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan 

kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi 

semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak 

peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, sebab  

hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati, 

dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari 

selatan sudah padam. 

Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya. 

Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk 

sementara. Kekosongan Demak untuk waktu yang 

dianggap terlalu lama itu menyebabkan orang digoda untuk 

membikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi 

berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun 

kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum 

juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga 

raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja? 

Ketegangan merambati seluruh Demak tanpa kepastian. 

Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak 

menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan 

kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh 

kekosongan ini juru tafsir dan mayat l sampai-sampai berani 

menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan 

di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa 

kegentaran. Praja Demak hampir-hampir lumpuh. 

Tafsiran dan mayat lan lalu  padam: Sultan Demak 

ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan. 

Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah 

kenyataannya: Trenggono, adik Unus. 

0o-dw-o0 

 

Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono 

naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya 

perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, 

apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa 

lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada 

halangan lagi selama Unus tak ada. Segera mereka 

menyerbu Pasai. 

Dan Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan banda