nusantara awal abad 16 20
daging,
menanak, menjerang, menumbuk bumbu, mengipasi badan
dengan baju, menetapkan besar api, menimbang dan
mendua beras, mencicip dan menggulai.
Dan hanya ia seorang diri yang tahu apa yang hidup
dalam hatinya sendiri waktu itu; ia mencurigai perintah
Sunan Rajeg yang semakin lama semakin aneh.
la seorang bekas musafir Demak tadinya memasuki
Tuban untuk membawa Kiai Benggala berpihak pada
Demak, sebab Demak menilainya sebagai seorang yang
berilmu dan terlalu banyak tahu tantang Jawa dan
Nusantara. la pun mendapat tugas untuk membersihkan
pedalaman Tuban dari rsi rsi pembicara kafir yang
mengembara dari desa ke desa, la terpilih untuk tugas ini
sebab dilahirkan dan dibesarkan disini,
Sebelum berangkat seorang rsi menyampaikan
padanya disebuah pojookan mesjid agung, bahwa agama
Buddha dan Syiwa telah kehilangan kekuatannya,
keruntuhan telah di ambang pintu, maka pembicaraan rsi -
rsi sudah tidak punya pegangan lagi pada agama mereka
dari lebih banyak melepas perasaan dan pikiran pribadinya.
Mereka mengawur acak-acakan semaunya sendiri. Itu
sangat baik untuk punahnya Syiwa dan Buddha sendiri.
Maka sekaranglah waktu itu datang untuk mengembangkan
Islam, sebab mereka sudah tidak diperlukan lagi.
Maka kembalilah ia ke negeri Tuban untuk melakukan
tugas itu sebaik-baiknya, dengan jalan dan cara apa pun.
Dan ternyata ia tak mampu mengendalikan Sunan Rajeg,
yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan nya, lebih berilmu
dan berpengaruh, la tak berhasil membawanya berpihak
pada Demak. Lagi pula sunan Rajeg ternyata mempunyai
impian untuk sendiri marak jadi sultan dan khalifah
sekaligus.
Sekarang balatentara Rajeg telah terpukul dari semua
medan pertempuran. Sunan Rajeg harus lari
menyelamatkan diri. Dalam kekalahan ini ia dapat melihat
watak Rangga Iskak yang sebenarnya tak sedikit pun
berniat dalam hatinya untuk menyelamatkan pengikutnya,
hanya diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. Ia tak
habis-habis mengherani bagaimana seorang pemimpin yang
berpengaruh begitu besar, berilmu dan berpengetahuan,
rsi yang sangat didengarkan, bisa bertingkah laku seperti
itu. Dalam kedamaian dan kemenangan ia sudah dapat
mengenali kerakusannya. Dalam kekalahan pengaruh, ilmu
dan pengetahuan hanyalah untuk dirinya sendiri dan
miliknya. Orang yang rakus akan harta benda dan
kekuasaan di dunia dan rakus akan tempat di sorga di
lalu hari itu, dalam kekalahan ini memperlihatkan
diri sebagai pribadi yang tak dapat ia hargai.
Sunan Rajeg itu tahu-tahu sudah ada di hadapannya.
Tangannya bersilang pada dada dan pada tangan kanan
tergantung tasbih. Mulurnya komat-kamit tanpa henti
sedang batuk antara sebentar menyerang dadanya yang
tipis. Belakangan ini ia kelihatan tua, kurus dan bongkok.
Rongga mata dan pipinya nampak lebih cekung dibandingkan
biasanya. Uban pun semakin banyak menyelusupi
rambutnya yang hitam-lekam.
Melihat kegesitan Mohammad Firman dalam memasak
ia tertawa menyapa. Lambat-lambat ia masukkan tasbih ke
dalam saku baju, membelai-belai janggut dengan tangan kiri
dan berkata lambat-lambat: “Sudah aku ajarkan padamu
memasak nasi secara Kabul. Ternyata kalian suka, bukan?
Sekarang orang sudah mulai menggunakan nasi kabuli
untuk berhajat. Firman, sudah kau cicipi gulai itu? Baik.
Sekarang campurkan serbuk mi sampai rata ke dalamnya
dan tenangkan agak lama sesudah mendidih sekali lagi”.
Pada juru masak ia serahkan sebuah cepuk kecil dari
anyaman bambu.
“Kau sendiri yang menuangkan, Firman. Dengan serbuk
ini gulai akan jadi gulai Malabari. Kalian akan rasakan
nanti untuk pertama kali dalam hidup kalian. Gulai
Malabari! Ada juga yang menamainya kare, tapi lain dari
yang dari Malabar ini. Tapi awas, jangan kau cicipi, bila
dicicip ia bisa berubah jadi racun!”
‘Jadi racun. Kanjeng Sunan? ”
“Jadi racun Bukan main-main. Bumbu bukan sembarang
bumbu, bumbu bikinan leluhur,sudah ratusan tahun, yang
menyebabkan bocah-bocah bisa berhidung mancung dan
orang dewasa jadi panjang umur. Bumbu ini bagilah
menjadi dua, setiap bagian untuk satu belanga gulai itu”.
Sunan Rajeg berjalan meninggalkan tempat itu untuk
melihat-lihat sekitar tungku, lalu balik lagi pada
Firman: “Sebelum semua dihidangkan, Firman, ingat-ingat,
semua puntung kayu dan arang, juga tungkunya sekaligus,
harus ditanam sampai tak nampak mata. Iblis pun tak boleh
mengetahui. Itulah anehnya syarat-syarat untuk bumbu
itu”.
Dan ia pun pergi, yakin semua pengikutnya mematuhi
semua katanya, yakin setiap katanya adalah hukum.
namun juru masak seorang ini bukan saja telah terdidik
mengebaskan tahyul dan omong kosong sebagai musafir
pilihan, ia pun semakin mencurigai Sunan Rajeg yang
semakin aneh. Ia tak dapat mempercayai adanya hubungan
antara bumbu dengan hidung yang dapat mancung atau
pun dengan umur panjang. Dan apakah gunanya hidung
semancung dan setipis itu kalau toh rapuh dalam setiap
tubrukan? Dan umur itu, bukankah dia bukan urusan
manusia? Dan tidak lain dari Sunan Rajeg sendiri yang
sering mengajarkan? Dan apa sebab bekas-bekas harus
ditanam, sedangkan iblis akan tetap dapat mengetahui?
Adapun kecurigaan dan keheranannya harum dan sedap
bau gulai itu memang luarbiasa dan menarik liur untuk
bertetesan semaunya sendiri. Baunya mengawang berat dan
buyar ke mana-mana penjuru dalam udara tak berangin itu.
Beberapa kali ia melihat sosok tubuh mengintip dari
kejauhan tertarik oleh sang harum sedap. Dan ia pura-pura
tak tahu. Namun matanya jadi menerobosi balik-balik
dedaunan.
Ia sendiri ingin mencicipi Dan mana bisa seorang juru
masak tak boleh mencicip?
Mengetahui di balik dedaunan hutan tak lagi ada mata
mengintip, ia sambar sepotong daging gulai dari belanga,
bercepat-cepat menghindar ke balik palaka, duduk di atas
tambi. Daging itu terlalu lama dimasak, sangat panas dan
gamoh, hampir lumat, jatuh di antara kedua belah kakinya.
Firman menyebut. Ia menyadari perbuatannya tidak
diridhoi maka tak mengambil sepotong lagi. Dilihatnya
beberapa pengintip muncul lagi dari balik dedaunan hutan
terpanggil oleh harum sang gulai.
Ia pergi ke tungku dan memadamkan api. Tanakan dan
makanan ia turunkan di atas tanah, lalu dengan pacul
kayu kecil bermata baja ia menggali lubang, memasukkan
bekas-bekas tungku dan puntung-puntung ke dalamnya.
Hilang semua itu dari pandangan mata.
Nasi ia masukkan ke dalam bakul besar. Gulai tetap
dalam belanga, demikian juga halnya dengan air minum.
Tanah bekas ia masak ia sapu dengan seikat ranting hidup,
dan hilanglah bekasnya, sekalipun masih nampak menguap.
Sekarang tinggal melepaskan lelah barang sebentar.
Kembali ia pergi mendekati pohon palaka dan duduk pada
tambinya. Teringat pada nasib daging yang terjatuh, ia
bangkit lagi untuk mengambil pacul. Ia harus menanamnya
sekali. Matanya gerayangan mencarinya, dan daging itu
tiada! Tak jauh dari tempat itu menggeletak seekor biawak
pohon yang baru saja mati.
Bumbu itu beracun, pikirnya, kalau bukan biawak itu
tentulah aku yang mati. Binatang itu ia angkat pada
tengkuknya dan ia cium-cium mulutnya. Benar. Mulutnya
berbau kare. Sunan Rajeg telah bermaksud menumpas sisa
pengikutnya yang paling setia untuk menyelamatkan harta-
bendanya. Gila!
Kekecewaannya terhadap pemimpinnya itu kini
mencapai puncaknya dan berubah jadi kemuakan dan
kebencian. Orang itu lebih biadab dari pada orang yang
dibusuk-busukkannya selama ini, tidak lebih baik dibandingkan
Sang Adipati atau pun kafir, kufur, munafik mana pun.
Dialah orang yang tak tahu berterima kasih kepada Tuhan
dan semua ummat.
Ia masuk ke dalam gua dan melihat ruang tengah telah
digelari dengan daun pisang hutan. Dan itu berarti ia sudah
boleh memasukkan hidangan. Menurut aturan yang baru
diterimanya, dalam tata-tertib Gowong, yang pertama-tama
dilayani adalah istri-istri Sunan dan Sunan sendiri,
lalu para pengikut, dan paling akhir sandera tengkorak
dan anak-anaknya.
Berjalan melewati ruang tengah sesudah kembali dari
membawa ca-dong untuk istri-istri Sunan, ia dapati Rangga
Iskak telah duduk bersama pengikut-pengikutnya yang
tersetia itu mengepung hidangan.
“Firman”, tegur Sunan Rajeg, “sekali ini kau pun
bersama-sama kita semua menikmati rejeki dari Allah ini.
Ayoh, sini, jangan ragu. Satu kehormatan bagi kalian
makan bersama-sama dengan Sunan Rajeg”.
Jurumasak itu ikut duduk mengepung hidangan. Tak lain
dari Sunan sendiri yang mengucapkan doa. Hidangan
dibongkar dan dibagi-bagi-kan oleh si jangkung. Orang pun
mulai menyantap dengan lahap.
“Ayoh, habiskan. Mau melihat bagaimana kalian makan
gulai malabari. Jurumasak, yang belakang jangan dihidangi
dulu. Sekali ini mereka akan makan belakangan. Ayoh,
semua, jangan enggan”.
Dalam kerikuhannya orang makan semakin lahap, lupa
memperhatikan yang lain-lain. Firman mengangkat daun
pisangnya tinggi-tinggi, memperlihatkan sedang makan
dengan rakus. Matanya jeli memperhatikan Sunan Rajeg,
yang tak juga menjamah makanannya, dan terus juga
bicara. Kelihatan ia seperti orang pemurah yang ikhlas.
Harum kare itu memang tak tertahankan. Makanan
Firman pun terkenal tanpa tandingan. Kerikuhan sama
sekali hilang tergantikan dengan kerakusan makan.
Jurumasak itu memperhatikan teman-temannya sambil
terus pura-pura makan dengan daun pisang terangkat tinggi.
Ia menunggu apa yang akan terjadi. Dan memang sedang
akan terjadi sesuatu.
Tak antara lama ia lihat beberapa orang terhenti makan
dengan mengejut, berdiri, berjalan terhuyung-huyung
mendekati Sunan, berhenti, kakinya goyah, mulurnya
menganga tanpa bisa mengeluarkan suara, lalu jatuh
seperti karung kosong di lantai.
Yang lain-lain pun berhenti makan, menarik-narik jakun
atau memutar-mutarkan kepala, berdiri untuk lalu
jatuh di lantai juga dan tak bergerak lagi.
Firman menduga, kerongkongan dan lidah dan bibir
mereka mula-mula jadi kelu dan kaku sehingga jadi mutlak
gagu, seperti kena kecubung, mungkin juga usus dan
lalu melumpuhkan bagian-bagian lain yang penting.
Mata mereka nampaknya juga menjadi buta sebelum mati.
Sunan Rajeg masih duduk di tempatnya mengawasi
semua kejadian dengan kening berkerut-kerut. Sekarang
matanya diarahkannya pada Firman yang masih juga belum
menggeletak.
Tak ada jalan lain bagi si jangkung dibandingkan mesti
mengikuti contoh teman-temannya. Ia berdiri dengan mulut
ternganga, meraba-raba, dan jatuh dengan kepala miring
dan mata tertutup lengan, mengintip Sunan Rajeg.
Ia lihat Rangga Iskak bangun dari tempat duduk.
Airmukanya suram dan berkerut-kerut. Ia dekati salah
seorang korban dan berbisik padanya: “Ya Allah, terjadilah
apa yang kau ijinkan untuk terjadi. Kau telah benarkan
semua ini terjadi atas persetujuan-Mu. Tanpa kehendak-
Mu, semua ini takkan mungkin berlaku”.
Ia berjalan meneliti wajah seorang demi seorang. Sampai
pada Firman ia berhenti lama dan agak ragu-ragu, meraba-
raba jantungnya yang masih juga berdenyut dan paru-
parunya yang masih juga kembang-kempis. Ia mengangguk-
angguk dan berkata padanya: “Tidak aku berikan kesakitan
padamu, Firman. Semua jalan menuju ke akhirat. Kau
hanya lebih cepat. Ampunilah aku”.
Percaya, bahwa jurumasak itu akan segera mati pula, ia
meninggalkannya, berdiri di tengah-tengah ruangan,
bimbang, sekali lagi menebarkan pandang pada korban-
korbannya. Ia melangkah ke jurusan bilik Tak jadi. Ia ragu-
ragu. Dibelai-belainya jenggotnya, tiba-tiba tertawa riang
terbahak dan berpidato: “Dahulu, tidak, masih kemarin
kalian dengarkan ajaran-ajaranku untuk bekal dunia dan
akhirat. Anak-anakku, sekarang kalian tidur nyenyak seperti
bocah-bocah, anak Adam yang damai. Untuk keselamatan
pemimpin kalian, untuk Sunan Rajeg, semua ini telah
terjadi atas kehendak-Nya. jangan menyesal. Pada akhirnya
akhirat akan lebih baik, lebih menentu, dibandingkan dunia.”
Seperti orang kehilangan akal tiba-tiba ia terhenti,
menoleh ke mana-mana dan memekiki: “Khaidar! Khaidar!
Bawa semua saudarimu ke mari. Kita ada kerja!” ia
menghitung dengan telunjuk jumlah korbannya. Sembilan
belas. “Khaidar! Cepat! Apa kau tunggu-tunggu di dalam?”
“Khaidar sudah mati, Kanjeng Sunan!” jawab jurumasak
dengan suara bisik.
“Astagafirullah!” sahut pemimpin itu. Matanya terbeliak
mencari-cari mayat yang dapat bicara itu. “Suara apa
kudengar ini? Khaidar! Ayoh, sini, keluar”.
Jurumasak mengulangi jawabannya. Dan Sunan Rajeg
mulai curiga. Ia dekati bangkai itu seorang demi seorang
sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka.
“Mati!” katanya setiap habis memeriksa.
Sekarang sampailah ia pada Firman. Tangannya
mencekam rambut jurumasak dan menatap wajahnya. Si
jangkung meraung tinggi dan melompat berdiri. Sunan
Rajeg terbalik sangking kagetnya.
“Ya, akulah iblis!” raung Firman, lalu tawanya
bergaung-gaung berpendanan dalam rongga gua itu.
“Jangan kau kira aku biarkan kau dapat terlepas dari
tanganku”, ancamnya dengan suara dada yang dalam.
Sunan Rajeg gemetar tak mampu mempertahankan tegak
badannya sendiri. Suaranya sangat pelan memanggil-
manggil Khaidar, minta tolong. Tangannya bergerayangan
untuk mencari tempat bersandar. lalu mulurnya
berkomat-kamit mengucapkan doa pengusir roh jahat.
Dalam keadaan seperti itu ia tak sempat terbatuk-batuk.
“Pergi! Pergi kau, iblis pengganggu”, pekiknya sesudah
selesai doanya. “Pergi kau ke alammu sendiri”.
“Telah kau bunuh aku, Sunan Rajeg, doa-doamu tidak
mempan terhadapku. Ya-ya-ya, apa dosaku maka kau
bunuh?”
“Kembalilah tenang, berserah diri ke alam Baka, Firman!
Dengarkan Firman”, kembali Sunan mencobai memidatoi
dan nampak ia menabah-nabahkan diri.
Jurumasak memungut segumpak daging kare, diciumnya
sebentar, lalu diulurkan pada pemimpinnya.
Suaranya menggeledek: “Makan ini, pembunuh! Makan,
kataku!”
“Tidak, aku tak suka kare”.
“Harum bau dan lezat rasanya, bikin hidung jadi
mancung dan umur jadi panjang. Mengapa tak suka lagi
pada kare? Lebih muda jadi pesek?” ia semakin maju
mendekati.
“Makan, ayoh, gulai Malabari, Sunan”.
Rangga Iskak menolak dengan tangan gemetar.
“Dijauhkan aku dari makanan itu,” sebutnya.
‘Tak mau kare? Atau lebih suka pisau dapur?” jurumasak
mengeluarkan pisau dari pinggangnya.
“Jangan, jangan. Kau boleh ambil satu dari peti-petiku
dan pergilah demi Tuban. Jangan ganggu aku. Ambil satu
peti dan pergilah dengan damai,” kata pemimpin Rajeg itu
sesudah mengetahui, jurumasak itu tidak mati. “Khaidar!
Khaidar!”
“Juga Khaidar sudah mati kau bunuh!”
“Bohong. Tak pernah Sunan Rajeg membunuh orang.
Kau, dengan tanganmu sendiri yang membunuh mereka”,
katanya sambil menuding korban-korbannya yang
bergelimpangan.
“Kau pembunuh!” tuding Firman. “Ningrat Jawa takkan
lakukan kekejian semacam ini”.
“Pergi! Pergi!” pintanya gugup.
“Bawa satu peti”.
“Hanya satu?” Firman menggertak, “sesudah
pembunuhan keji ini?”
“Dua. Ya, dualah”.
“Dua peti takkan dapat kuhabiskan seumur hidup”.
“Sampai dengan cucumu takkan habis, Firman, dinar
dan real, emas dan perak, intan, zamrud, delima, mirah,
kecubung, kalimaya, batu-batuan mulia yang tak pernah
kau lihat seumur hidup… ah, kau bisa jadi maharaja dengan
dua peti itu. Kain-kain, khasa, sutra, kaliko, permadani
buatan Libanon dan Ashkhabad….”
“Bahkan kematian istrimu pun kau tak ratapi”.
“Siapa tidak?”
“sesudah kau membunuhnya?”
“Bukan aku. Kau!” tuduh Sunan Rajeg.
“Ayoh, makan daging kare ini”.
“Tiga peti!”
“Lebih baik kau susul istri-istrimu…’
‘Tiga peti. Tak dibenarkan oleh Tuhan membunuh
dirinya sendiri dan membelanjakan harta tiada sepatutnya”.
“Kau tak perlu membunuh dirimu sendiri. Sini, biar aku
yang mengerjakan. Sini! Si… ni”.
Di dalam bilik kayu itu udara lembab, berat dan
mencekik. Mereka harus membiasakan diri untuk dapat
tinggal di situ. Gelar dan adiknya nampaknya merasai
bayang-bayang ketakutan pada ibunya. Mereka tidak
memprotes apa pun yang terjadi. Maka ketenangan
menguasai bilik itu.
Mendengar ribut-ribut di luar bilik, tengkorak melompat ke
pintu yang takkan mungkin dibongkarnya dari dalam itu.
Dan ia hanya dapat menangkap suara-suara ribut, jelas
sedang memperebutkan sesuatu. Dalam kegelapan bilik
Gelar pun bergegas ke pintu mendekati ibunya.
Kata-kata keras di luar itu berhamburan menembusi
dinding kayu dan lubang-lubangnya.
Mereka tak dapat melihat sesuatu.
“Berapa ratus, berapa ribu saja orang mati sebab kau!
Kau sendiri takut mati! Ayoh, makan sendiri racunmu ini.
Apa kau lebih memilih pisau dapur?”
“Jangan, ambillah tiga peti itu”.
“Kau pun orang asing pembikin onar. Orang asing lain
jadi Sultan ka u mengiri, mendengki. Kau sendiri mau
menggagahi semua, menipu, mengacau, memutar balikkan,
mengadu domba, mau jadi raja paling berkuasa, dengan
keringat dan darah dan nyawa orang lain!”
“Tiga peti cukup, Firman, demi Allah”.
“Tak ada sesuatu yang baik dapat dipungut dari kau!”
suara bentakan
“Hidung mancung, ganteng, banyak ilmu, pandai
mewejang, hafal semua firman Allah… hanya iblis laknat
belaka. Rasakan ini!”
Cepat-cepat tengkorak mengangkat Gelar dan mereka pura-
pura tidur nyenyak.
Jantung ibu itu berdebar-debar kencang mendengar
langkah kaki di atas lantai balok-balok kayu yang semakin
mendekat. Dan balok-balok yang terinjak itu bergesekan
satu dengan yang lain. Dan langkah itu kian mendekat juga.
Ia dekap Gelar erat-erat, dan anak itu menyembunyikan
mukanya pada dada ibunya dalam kegelapan.
Langkah kaki itu berhenti di depan pintu bilik.
“Dewa Batara!” bisik tengkorak hampir tak terdengar.
“Mak”.
Terdengar pasak pintu dibuka dari luar bilik. Segumpal
cahaya rem-bang masuk ke dalam.
“Keluar!” terdengar oleh tengkorak dan Gelar suara yang
memerintah pelahan dan lembut. Mereka pura-pura tidur.
“Tidurkah kau, Mbokayu?”
Tersirap darah tengkorak . Ia pernah dengar suara itu –
suasana yang sama sekali tidak jahat. Ya-ya suara pemuda
pengawal yang membawanya ke mari. Mengapa suaranya
selalu selunak itu?
Orang itu tak masuk ke dalam bilik, tetap berdiri di
ambang pintu dan mengulangi perintahnya dengan
suaranya yang lunak itu juga, dan manis, dan memikat.
tengkorak tak dapat mempertahankan pura-puranya lebih
lama. Ia turun dari ambin. Gelar tak sudi melepaskan
rangkulannya dan menjerit. Ia gendong anak itu dan
menghampiri pengawal muda jangkung berkumis tanpa
jenggot itu. Bertanya: “Akan dibunuhkah kami?” ia tak
dengar si bayi sudah mulai menangis pula.
“Ah, Mbokayu, mana bisa orang akan bunuh pujaan
Tuban?” Seperti tersihir oleh suaranya ia masuk lagi dan
mengambil bayinya. Gendong melengket pada
punggungnya.
“Mari tinggalkan tempat ini. Mari aku antarkan ke
Tuban. Kang mandala sudah lama menunggu”.
Siapakah orang ini? Tapi ia tak berani bertanya.
“Mari aku bantu. Biar kugendong kemenakan tertua ini”.
Gelar meronta dan meraung. Dan ia tak memaksa.
“Biar si bayi saja kugendong”, katanya mengulurkan
tangan. tengkorak memandanginya dengan curiga. Matanya liar
tak mempercayai. Dan bayi itu tak diserahkannya.
“Ah, Mbokayu sendiri. Kau lupa padaku. Akulah Pada”.
0odwo0
26. Pertemuan Kembali
Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua
puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng.
Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wirangmandala sendiri yang
membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur.
Mereka sedang berusaha mencari tengkorak dan anak-anaknya.
Seluruh Tuban gempar mendengar berita tengkorak , penari
pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada
orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera.
Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban
terhadapnya, bila tidak sebab perlindungan Sang Adipati,
telah lama dapat membunuh Tholib Sungkar itu secara
kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada
ampun.
Semua berdoa dan berharap agar penari itu
diselamatkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak
Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya
sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya,
belum tentu ada penari seperti itu lagi.
Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat
dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak
berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang
yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung
desa Rajeg, yang selama ini memang belum lagi dijamah
oleh balatentara.
Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu
berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang
sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai
menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dulu
kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang
gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan
perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat
tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan.
Di tempat lain lagi orang mendengarkan rsi pembicara
yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg.
Perrsi an-perrsi an Buddha semakin susut. Dan
dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat
dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh
Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabad-
abad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang
Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk
Islam.
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya
beberapa orang lelaki melarikan diri melihat mereka datang.
Dan Sang Senapati memerintahkan pada anakbuah untuk
membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian
ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk
mengaduk desa. sebab Senapati Tuban adalah juga anak
desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa,
menjadi petani seperti yang lain-lain.
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu
menambahi: “Jangan takut Kami tak memusuhi kalian.
Memang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke
mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang
pun di antara kalian.
Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan
ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana
Sunan Rajeg bersembunyi.
Sampai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui
kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada
tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan
gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan
tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih
menunggang kuda Senapati memasuki pendopo rumah
joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, lalu
masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan.
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh,
namun semua barang berharga tiada nampak.
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas
Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk
melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta
bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah
itu tengkorak tak ditemukan.
Wirangmandala memerintahkan memeriksa setiap rumah.
Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka
dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai,
pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi tengkorak dan anak-
anaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar.
Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.
Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang
wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.
Wirangmandala memerlukan menelitinya, dan ia
mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.
Mayat-mayat itu lalu ditimbun dengan tanah dan
ditinggalkan.
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan
Senapati menambahi pesannya: “Penduduk desa Rajeg
supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda
yang masih tertinggal, namun jangan lagi tinggal di situ.
Tinggalkan Rajeg, menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa
sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan”.
Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan
keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan
Rajeg. Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga Iskak
yang terakhir.
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang
melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah
Gowong, persembunyian bekas Syahbandar Tuban itu.
Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil
tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda
dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas
pepohonan dan puncak bukit.
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia.
Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin
merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di
depan pintu gua keadaan tetap sunyi. namun bau bangkai
menjadi-jadi.
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua.
Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke
luar masuk gua.
“Tak ada orang di dalam. Masuk!”
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau
busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka.
Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di
hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau
belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke
mari.
Melihat bangkai-bangkai itu Wirangmandala melompat
turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak
itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya
mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di
antara mereka.
Juga semua prajurit ikut memeriksa.
“Dayu! tengkorak !” teriak Wirangmandala memanggil-
manggil.
Hanya gema yang menjawabi kembali.
“Seorang mati ditikam keris, Senapatiku!” seorang
melaporkan.
Mereka memeriksa yang mati terkeris.
“Periksa seluruh gua!” pekik Senapati. “Inilah si keparat
Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan? Hanya begini
saja akhirmu?”
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota
badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan
belatung itu.
Mati terbunuh atau bunuh diri?
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan
mengetahui: pisau dapur.
Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan
diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam
atau di luar gua terdapat sebuah dapur.
Mungkinkah tengkorak yang membunuhnya? Dan ia
berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang
menjawabi.
Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam
menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia
melaporkan. Senapati bergegas masuk membawa obor dari
ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan
menubrukinya.
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi
seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya
yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.
“Perbanyak obor!” perintahnya. Tapi hatinya lebih keras
meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan
begini, dan tak boleh di sini.
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari
seluruh rongga berlapis papan itu.
Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok
bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa
popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara
orang gila: “Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!”
“Nyi Gede tengkorak !” yang lain-lain mulai berlarian keluar
dan memanggil-manggil ke sekitar.
Suara mayat i dan keras itu bergema-gema di dalam
rongga, juga di dalam rimba.
Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur.
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil
berseru-seru dari atas kudanya. namun hanya gaung yang
menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran
burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran
tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada
tulang, tak ada pakaian. lalu didapatkan galian baru,
tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata
bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah
terbakar bekas tempat tungku.
Wirangmandala itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada
cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan
bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidak-
tidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang
ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan
seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan,
seorang lelaki. Bukan tengkorak yang membunuh Rangga Iskak,
tapi seorang juru-masak lelaki.
Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di
sana mereka membersihkan diri.
“Bakar gua itu!” perintahnya.
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya
di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering
ditimbunkan dan lalu dibakar.
“Kembali!” perintah Senapati.
Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya
dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah
mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa
menikamnya.
Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga
itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih
juga menganga
Dan popok itu memberi firasat pada Senapati, bahwa
anaknya belum mati, juga istrinya.
Gelar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firman
dan tangannya berpegangan pada kepala. tengkorak
menggendong bayi.
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam
rimba belantara itu. tengkorak membawa tombak sebilah dan
pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang
untuknya. Gelar membawa empat bilah tombak. Juga pada
pinggangnya tergantung pedang.
“Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak
datang menolong?” bisik tengkorak dalam usahanya untuk
menyatakan terimakasihnya.
Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu
menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu
waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas
untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu
mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling
berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat
dikenal, namun tanpa mata awas boleh jadi orang tak
memperhatikan baunya lagi.
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan
tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun
pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan
oleh wanita pujaan itu.
“Dan betapa jadinya”, ia menjawab lambat-lambat,
“kalau Kang mandala jalankan apa yang diperintahkan
padanya? Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu”.
“Betapa berliku-liku hidup ini”, desis tengkorak .
“Ya, Mbokayu, berliku-liku memang, dan tak ada orang
tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja
menuju ke arah kematian, memasuki akhirat”.
“Apa gunanya bicara tentang kematian? Yang baru lewat
pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara
seperti ini”.
“Bukankah ada Pada di sampingmu? Adakah dia kurang
jantan, Mbokayu?”
“Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada,
tak bisa keluar dari rimba ini?”
“Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam
lagi, sebidang bulak rumput, lalu desa pertama”.
“Dua malam lagi?”
“Insya Allah, dua malam lagi”.
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasa-
rasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan
kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan
memperebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi
berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu
justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina
dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesak-
desakan, memperebutkan sisa sinar matari yang mungkin
jatuh tercecer dari langit.
Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan
babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan
dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang,
runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis
monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan
buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati
kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan
muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang
berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana
yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada.
Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah
selama mengembara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara
menghindari atau melawan.
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak
tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar
tinggi membikin kantung jadi gangguan tambahan.
“Berapa anakmu sekarang. Pada?”
“Seorang pun belum”.
“Kau belum lagi kawin?”
“Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti
Mbokayu”.
“Ah, kau “.
Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil
mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau
gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama
lintah jatuh sendiri dari tubuh sesudah kenyang menghisap.
Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan
pancaindera.
“Apa menurut dugaanmu anakbuah Sunan Rajeg tak
keluyuran di sini?”
“Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang”
Gelar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan
membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari
atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan
tetap siaga dengan tombaknya.
“Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban”.
“Begitulah”. Pada langsung memulai, “Kang mandala
membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang
Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang mandala tidak
bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku
kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang
ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu
belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah
bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit
dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah
memungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, sebab
dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya”.
“Dan kanak-kanak yang terlalu nakal”.
“Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga sebab diketahuinya
aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten
Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, sebab dia
tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak
dengarkan aku, Mbokayu?”
“Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir
oleh Sang Adipati… kau. Pada, tega juga kau….”
“Ah, Mbokayu… semua itu ceritera lama. Dan siapa
tidak mengimpikan seorang tengkorak dalam hidupnya?
Sekalipun dia masih kanak-kanak?”
“Huh!”
“Aku teruskan ceritaku?” mengetahui tengkorak tak
menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian
masalalu. Dan melihat tengkorak nampak tak acuh, ia
memberikan perhatian. “Kau sudah bosan mendengarkan”.
“Teruskan saja ceritamu”.
“Kau sajalah yang bercerita”.
“Sudah habis ceritaku, Pada”.
“Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat:
Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang
hampir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa
berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak
penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus,
walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus.
Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak.
Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan
Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di
Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang
kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di
rumahnya aku belajar agama Islam, macam-macamlah, kau
tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama
dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para
wali, babad Demak. lalu kami pindah belajar di
mesjid agung Bintoro. sesudah itu kami dikirimkan ke mana-
mana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban,
pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku
berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku
melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg… sudah bosan,
Mbokayu?”
“Tidak. Ayoh teruskan”.
“Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku”.
‘Teruskan saja. Pada”.
Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu tengkorak tak
tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan.
“Mengapa kau terdiam? Jangan bikin aku mengantuk”.
“Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg.
Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan
peradaban Jawa dibandingkan menyebarkan agama Islam. Kata
Sunan Bonang, orang tak bisa membikin peradaban yang
sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan
Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai
meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya
kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak,
dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan
Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan
untuk mendekatkan dia dengan Demak”.
“Ternyata kau orang penting Demak, Pada”.
‘Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada?”
“Mengapa kau ceritakan semua itu? Bukankah itu
pekerjaan rahasia?”
“Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan
Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang
membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang
kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin
sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak.
Sebaliknya kerakusannya membikin semua kelebihannya
menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan
semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi
jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang
untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak
mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun
ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani
membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi dibandingkan desa-
desa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia
harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali
memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka –
orang-orang yang justru paling setia padanya”.
“Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu?”
“Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah
orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk
dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak
desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak
pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang”.
“Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang
baru itu. Pada?”
“Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh
alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang
diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar Mohammad, di
bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja
Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah
Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa
harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung
dan membesarkan nama Sultan”.
“Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti”.
“Lama kelamaan kau akan mengerti juga, Mbokayu”.
“Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti
itu”.
“Celakalah orang Islam Jawa yang tak mematuhi
Khalifahnya, dunia dan akhirat”.
“Yang lain, Pada”.
“Sunan Rajeg, biar pun Islam, sebab menentangnya, dia
celaka juga”.
“Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga
perintah dan Demak?”
“Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat
dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran
agama Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, raja-
raja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh
dari pesisir. rsi ku bilang: orang Jawa tidak mau
kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti
Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu,
pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu
besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar lalu akan
lebih kembali ke dalam alam jahiliah.”
“Betapa banyak kata-katamu yang sulit”.
“Bukankah Mbokayu juga sudah Islam?”
Dan tengkorak mendengus tertawa.
“Kata orang, Mbokayu, Kang mandala juga sudah masuk
Islam. Bukankah itu benar?”
“Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak.
Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang mandala .
Dia hanya pintar gulat”.
“Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak.
Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu,
tidak benarkah Kang mandala sudah masuk Islam?”
“Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu?
Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani
biasa. Kang mandala tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau,
maka tak perlu bagi kami masuk Islam
“Ah, Mbokayu”.
“Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para
dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin
membunuh atau dibunuh oleh siapa pun”.
“Mbokayu!” Pada menegah.
“Mengapa? Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan
hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin
jadi manusia biasa….”
“Mbokayu!”
“Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak
ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga
menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui
tanganmu….”
“Mbokayu!”
“… Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan
balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang
mandala dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan
menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada,
kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa”.
“Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti duduk-
perkara,” Pada menyela.
“Itulah duduk-perkaranya”.
“Siapa yang mengajarinya begitu, Mbokayu?”
“Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung
kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu
banyak dari para rsi pengembara di desa-desa”.
“Masih banyakkah rsi -pembicara mengembarai desa-
desa?”
“Belakangan ini berkurang memang”.
“rsi ku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud
dan Musa… siapa di antaranya yang paling Mbokayu
puja?”
“mayat arwah . Suaranya lantang penuh keberanian dan
kebesaran”.
‘Tentu dia sudah mati”.
“Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban”.
“Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya?”
“Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan
membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak
rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan
kejayaan di lalu hari untuk sesama orang?” Mereka
berhenti.
Gelar bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah
jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka
telah memakannya sampai perut merasa agak isi lalu
berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak
boleh makan buah sampai kenyang.
Gelar berjalan kaki lagi. namun kelelahan kemarin yang
belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk
di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi.
“Mengapa mayat Curing harus dibunuh?” mendadak
tengkorak bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya
lagi. “Demakkah yang menghendaki? Dan kau yang harus
kerjakan?”
Pada tak menengahi.
“sesudah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku
membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada rsi -
pembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh”.
“Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di
desa. Bukankah aku sendiri juga seorang rsi -pembicara?
Cuma di Demak namanya musafir Demak”.
“Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain
dibandingkan di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi
sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, rsi -
pembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat
pengikut atau merebut pengikut orang lain. rsi -pembicara
kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya
menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya
apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya.
Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.
Bukankah kau jadi musafir Demak sebab kebencianmu
terhadap Sang Adipati? Dan Sang Adipati hendak
membunuhmu sebab kau merugikannya lebih dahulu?” Ia
memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan
lelaki itu tak membantah. “Kata orang, dahulu kala mereka
itu adalah rsi -rsi Buddha. Makanya pun didapatkannya
dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan.
Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya
perlindungan”.
“Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu”.
“Kau tak marah padaku sesudah menolong kami?”
“Apa harus dimarahkan?
“sebab ternyata kita berlainan?”
“Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu.
Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu
yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu rsi
pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam
pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh,
semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali”.
“Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah
terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang
paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah
sebab itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku
keliru?”
“Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia,
dia meragukan, sebab hanya Allah pemilik kebenaran,
yang Maha Besar”.
“Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum
mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali,
sebab mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami
kalau harus menganggap mereka tidak mengenal
kebenaran, hanya sebab tak tahu Aliahmu”.
tengkorak merasa, ia sudah sampai pada titik di mana
pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan kata-
katanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anak-
anaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada
sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya Gelar tertawa-
tawa dan menyanyi di atas bahu Pada.
0o-dw-o0
Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Ranting-
ranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas
tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun
dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu
membubungkan asap tebal dan kelabu.
“Kadang-kadang,” kata Pada, “datang macan atau ular
atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak
akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan
gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa
pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi
seperti habis menonton tarianmu, Mbokayu.”
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka
mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka
membakari binatang kecil-kecil coklat itu dan memakannya
dengan senang.
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap
lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah
dilalui.
Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka.
Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah
terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana
tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang
merumput.
“Padang alang-alang”. Pada memulai, “yang paling
menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semak-
semak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya
mengintip di mana-mana”.
“Sudah banyak bekas bakaran kulihat”.
“Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya Mbokayu belum
juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu.
Maklumlah penari. ‘Bakarlah alang-alang, petani’ bukankah
begitu?”
“Tumbuhlah yang muda,” tengkorak meneruskan. “Ribuan
rusa berdatangan merumput….”
“Lupakan ladang dan sawahmu”, Pada menyambung.
“Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah
perjalananmu” Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun
mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak
juga meninggalkan hutan.
“Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan
si petani sudah lewat melintasi”, Pada berkata pelahan pada
padang alang-alang di depannya.
“Apa guna cerita seperti itu? Pada, kau sudah pergi ke
mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu
bangsa yang suka makan orang?”
“Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu
ajaran”.
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai
menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan
setapak yang hampir hilang.
“Mengherankan,” tengkorak meneruskan untuk melupakan
kekuatirannya. “Orang makan orang. Bagaimana bisa?
Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau
anaknya sendiri? Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali
akan dimakan juga oleh yang lain?”
“Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu
sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka”.
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan
sendiri.
“Barangkali itu lebih baik”. Sambung tengkorak .
“Apa baiknya kebodohan, kejahilan?” Pada menolak.
“Mereka makan-memakan sebab lapar, kiraku. Ajaran
datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuh-
membunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan
sebab lapar. Mungkin salah sebab ajaran yang kau
bawa”.
Pada tak menanggapi. tengkorak tahu, ia tersinggung.
“Kau marah, Pada? di desa-desa takkan ada orang marah
sebab ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang
hati. Tak apa, Pada.”
“Kau memancing-mancing, Mbokayu”, Pada menuduh.
“Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan
sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan
hubungkan”.
“Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan
ini”.
“Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar”.
Sementara mereka berjalan tanpa bicara. Gelar di atas
bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka.
“Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut
pendapatmu? Mereka itu ingin makan daging, tapi
perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah
ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan
bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang
sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana
pendapatmu. Pada?”
Dan Pada tak menjawab.
Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke
mana-mana. Gelar bersorak-sorak di atas bahu Pada
melihat sekawanan rusa yang merumput damai di
kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang.
Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia
dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari
kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan
menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat
tinggi. sesudah mengetahui, hanya serombongan manusia
berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anak-
anaknya berlompat-lompatan lagi.
“Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke
sebuah hutan muda, lalu padang rumput pendek, dan
sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana,
Mbokayu? Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis
Krambil”.
“Ke kiri. Pada, Awis Krambil.”
“Dan Kang mandala nanti?”
“Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu
dia akan mencari kami di desa,” ia betulkan bayinya dan
dalam gendongan dan menyusuinya “Tak dapat aku tinggal
lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan”.
“Kasihan Kang mandala ”.
“Biarlah dia kembali saja ke desa”.
“Senapati Tuban kembali ke desa? Mau jadi apa? Jangan
main-main, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan
membajak?”
Mereka berjalan dan berjalan.
“Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan
manusia. Dia akan kembali ke desa.”
“Kalau tidak? Kalau dia memang dengan semau sendiri
jadi Senapati untuk dapat berkuasa?”
tengkorak mempercepat jalannya.
“Kalau dia tidak mau pulang ke desa? Tidak
membutuhkan Mbokayu lagi?”
tengkorak menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya.
0o-dw-o0
27. Demak Bergolak
Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala.
Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak
kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar
biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke
bandar Banten, untuk memudahkan saudagar-saudagar
Atas Angin mendapatkan dagangan.
Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan temayat i di
Jawa, mengalahkan Gresik, apalagi Tuban. Dan untuk
sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak
mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat
Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya Demak yang tak
bersenang hati. namun saudagar-saudagar Pribumi yang
sudah lama terjauh dari keuntungan dengan serta-merta
berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal Islam dari
Atas Angin.
Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan
tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak
sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh
Jawa.
Orang tak biasa lagi tentang perang.
Di Jepara pembangunan kembali, armada Demak sedang
giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur
akan dipindahkan ke sebelah tengah.
Tahun 1521 Masehi.
Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengubah
segala-galanya.
Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka.
Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan
Demak kedua, yang semakin keras juga sakitnya sebab
serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat.
Satu-satunya penantang Portugis telah wafat. Armada
besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain.
Siapa orang lain itu? Dan adakah akan dipergunakan untuk
meneruskan cita-cita Unus? Tak ada orang yang bisa
menduga tentang teka-teki ini. Jurumayat l mulai sibuk
dengan perhitungan dan mayat lannya.
Siapa Sultan Demak ke tiga? sebab Unus tiada
berketurunan?
Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para
saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa,
sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke Demak.
Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatnya Unus
disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur
pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan
kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi
semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak
peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, sebab
hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati,
dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari
selatan sudah padam.
Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya.
Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk
sementara. Kekosongan Demak untuk waktu yang
dianggap terlalu lama itu menyebabkan orang digoda untuk
membikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi
berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun
kembali? Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum
juga ada penobatan baru? Majelis Kerajaan lawan keluarga
raja? Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja?
Ketegangan merambati seluruh Demak tanpa kepastian.
Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak
menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan
kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh
kekosongan ini juru tafsir dan mayat l sampai-sampai berani
menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan
di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa
kegentaran. Praja Demak hampir-hampir lumpuh.
Tafsiran dan mayat lan lalu padam: Sultan Demak
ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan.
Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah
kenyataannya: Trenggono, adik Unus.
0o-dw-o0
Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono
naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya
perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran,
apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa
lagi? Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada
halangan lagi selama Unus tak ada. Segera mereka
menyerbu Pasai.
Dan Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan banda