nusantara awal abad 16 19
kuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.
“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di
hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi
bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, tengkorak , bukan kafir
jahiliah”.
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di
belakangnya. “Lihat, ini tengkorak , istri Wirangmandala , istri
tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat,
sebab dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri
cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat
Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anak-
anaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak
padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan
kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak-
anak sendiri. Mereka tak lain dibandingkan merak jantan,
kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri.
Mengerti?”
“Sahaya, Kanjeng Sunan.”
“Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan,
dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari
orang-orang yang lebih kuat dibandingkan yang punya hawa
nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula
nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita
sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi
seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan
petunjuk”.
lalu kata-katanya dialihkan lagi pada tengkorak :
“Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis.
Suamimu akan terpanggil kemari sebab kesetiaannya
padamu. Apa keberatannya sekarang, tengkorak ?”
“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku
hanya ditipu untuk datang kemari”.
“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan
salah. Ini hanya muslihat perang.”
“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku
ditanyai?”
“Diam!” bentak Sunan Rajeg. “Kau tak juga mau
mengerti siapa yang kau hadapi”.
tengkorak menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara.
“Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” tengkorak tetap
membisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.
Dan tengkorak tak juga membuka mulut. Suaranya
lalu merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang
yang kutolak permohonannya untuk menghadap?
Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya
menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?”
“Sunan Rajeg.”
“Kanjeng Sunan Rajeg,” Rangga Iskak membetulkan.
“Kanjeng Sunan Rajeg.”
“Betul. Siapa lagi?”
“Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”.
“Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya
keangkuhan itu di hadapanku”.
“Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.”
“Ya, itulah keangkuhan.”
“rsi -rsi mengajarkan pada kami sikap tahu harga
diri dan kehormatan diri”.
“Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak
disanjung orang, ya? Maka di hadapan Sunan Rajeg juga
minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di
hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak
untukku. Gamelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya
barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam
ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan
harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua
sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh
anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan
perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian
anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap
angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan
garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan
dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga
keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang
menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka
kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum
tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan
pengadilan yang adil”.
“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan
Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, memang tak
perlu lagi aku bicara”.
“Jih! Dasar kafir turunan kafir!”
Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya
dan pintu kembali dipasak dari luar.
sesudah mereka pergi tengkorak baru sadar, di atas ambin
telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi
minum dan pasu kayu berisi air.
“Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada Gelar dan
disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak
harus layani?” ia melayani Gelar sambil menyusui.
Ia mempunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan
kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada
dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru
memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini.
Tidak lebih dari seminggu lalu terdengar bunyi
kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dinding-
dinding bambu masuk ke dalam rumah itu.
tengkorak duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi
berkicau di tengah-tengah ambin dengan Gelar sedang
mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan
syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan.
“Apa yang mayat i itu, Mak?” Gelar bertanya.
tengkorak mulai memperhatikan keriuhan itu.
Tak lama lalu terdengar langkah orang berlarian di
depan rumah, makin lama makin banyak.
“Siapa pada lari itu, Mak?”
Suara orang berlarian itu berhenti.
“Tak ada apa-apa, Gelar. Mainlah lagi dengan adikmu”.
Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan
bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang
menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari
berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu lalu
berkurang. lalu terdengar suara seorang nenek yang
tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: “Cepat,
Yung, jangan terlambat.”
“Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau,” suara seorang
lelaki dewasa yang melewatinya.
Tertarik oleh suara-suara itu tengkorak meninggalkan ambin,
mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari
lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta
bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik
coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada
digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam
gandengan.
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari
rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya
ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa
mesti berlari-lari begini? Gusti Adipati raja kita, tak
mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa”.
Nampaknya ia tak mendapat jawaban atas
pertanyaannya sendiri, lalu menggabungkan diri
dengan yang lain-lain, juga lari.
Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu.
Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan
terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang
diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti
lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, lalu
meneruskan jalan dengan pelan-pelan.
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa
mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus.
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan
terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada
dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat
pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari
mulutnya keluar keluh dan umpatan, lalu : “Nasibmu,
Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak
ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini.
Terkutuk sekarang dan lalu ”.
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan
berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar
pada daun pintu.
tengkorak tak dapat melihatnya lagi.
“Ada apa, Mak?” tiba-tiba Gelar bertanya dari belakang.
Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini
memperdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ?
Mengapa pintu dipasak dari luar?”
tengkorak menutup mulut Gelar dengan tangannya. Dan
terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk.
Tolonglah aku!”
tengkorak tak menjawab, malah memberi isyarat pada
anaknya agar tak bersuara.
“Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jaman
sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain.
Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum
seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu
mengerang.
“Ah, dipasak mati dari luar begini”. lalu kata-
katanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya Allah, ya Dewa
Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa
mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. tengkorak
menarik Gelar, dibawanya naik lagi ke ambin. Tak
disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang
kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan
disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri
dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai
Gelar dan merangkulnya, lalu menciumnya. “Emak
menangis, Mak,” bisik Gelar, dan ia seka airmata ibunya.
Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba
membuka pasak. Tersusul lalu oleh suara seorang
lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu
pintu itu!”
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar
ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin telah
pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi
dan Gelar telah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan
mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun
nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi Gelar, satu-satunya
orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara.
Anak itu terbangun, lalu juga adiknya.
“Ada apa, Mak?”
‘Tak ada apa-apa. Gelar. Barangkali saja bapakmu akan
datang”.
“Bapak, Mak?”
“Bapakmu, ya. Barangkali membawa balatentara yang
sangat banyak”.
Gelar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk
mengintip. Bayi itu menangis, dan tengkorak menyusuinya lagi.
“Kembali, Gelar, sini saja dengan emak”.
Terdengar suara beberapa orang lelaki. Gelar lari dari
dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin
mendekati pintu.
“Siapa itu, Mak?”
“Stt,” tengkorak menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa
Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang,
selamatkan anak-anak ini”.
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan
pintu itu terbuka.
tengkorak tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya Gelar
mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba
putih, bertombak dan berpedang.
“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami
antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”.
tengkorak turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan
Gelar digandengnya.
“Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya
mengatakan: pergi untuk selama-lamanya.
Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi
semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya
berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan
rumah.
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada Gelar:
“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan,
rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan
lupa lihat dulu ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat
dilihat oleh anaknya.
“Mengapa harus dilihat semua, Mak”.
“Biar kau akan selalu ingat di lalu hari, Gelar”.
“Ke sebelah sini, Mbokayu”, orang muda itu berkata
lagi.
Dengan Gelar dalam gendongan dan si bayi dalam
gendongan ia membelok. Orang-orang lelaki berpedang dan
bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam.
Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan
yang indah, jauh, samar, dalam ingatan tengkorak . Siapakah
yang pernah memanggilnya Mbokayu dengan suara seperti
itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu?
Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat
mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat
sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka
telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya.
0o-dw-o0
24. Demak
Tahun 1518 Masehi
Sesuatu telah terjadi di Demak – Demak yang
dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang
berduyun-duyun di depan istana, lalu bergerak ke
mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan
wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al-
Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu.
Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka
memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk
dan berdiri di pelataran depan.
Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara,
membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid.
Gerak dan suara mereka berimayat dalam bertakbir
bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang
di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah
yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri
jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah
barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit
kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada.
Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita
putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari
tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa
orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar
Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga,
yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik,
tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan
sedang berada di Demak.
Menyusul lalu para punggawa dan rakyat biasa. Di
tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah
tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning
keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak:
Adipati Unus Jepara.
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga
Sultan, kecualiwanita, sebab tak ada seorang pun wanita di
dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan
pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari
pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan
sepi.
Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung.
0o-dw-o0
Delapan minggu lalu sekitar alun-alun menjadi
mayat i kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung.
Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan
kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertombak
berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun
bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan
selendang dan kerudung.
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu
bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya,
diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus.
Di belakangnya pasukan pengawal lagi. lalu barisan
dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung
Bintoro.
Alun-alun semakin lama semakin mayat i. Orang
berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana
dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna
ganda.
Begitu akhir barisan memadat di halaman mesjid, peluru
cetbang berledakan di udara. lalu tenang, dan tiada
antara lama lalu membubung ucapan syukur di
udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang
semakin riuh.
Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan
Demak.
Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana.
Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua
didudukkan di atas singgasana – ia tak mampu lagi
tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras
cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah
membuatnya jadi cacad untuk selamanya.
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah memanggil
kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan
sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk
menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah
pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang
Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan –
kebijaksanaan baru.
Amanat itu lalu ternyata diadakan di balairung
penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada
seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai
musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak
berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara
untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna
membangunkan armada gabungan yang perkasa.
Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang
setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan
Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu
musuh dan harus dihancurkan juga….
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan
baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah
yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap
menunggu tanpa memberikan ulasan.
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke
seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari
Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung,
sepanjang pesisir Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku.
Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera,
seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya
perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali
seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan
seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak
pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah
seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus
dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi
laksamana.
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa
kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap
menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang
menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan
berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul
dengan perang.
Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja!
Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain,
orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang
pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui
kekalahannya, namun takluk ia tak pernah.
Titah yang lalu menyusul lebih menggoncangkan:
segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa
kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada.
Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang
paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi
selatan.
Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah
mendapat firasat takkan memerangi segala apa yang akan
dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya
akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak
ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini,
selama Peranggi masih bercokol di sini.
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan
Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan serta
merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan
persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke
dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada
Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggung-
singgung tentang kepentingan agama dan pengluasannya?
Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan
jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal
ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas Peranggi
mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang
terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil
penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya
disuburkan, selama Peranggi masih mengancam?”
Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu
terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi
dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya
perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah
terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah
meninggalkan Majelis Demak untuk selama-lamanya,
mengutamakan perrsi annya, dan menolak membicarakan
kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan.
Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh,
melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di
Malaka.
Pengalaman telah mengajarkan pada Portugis, belum
lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi
penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris
mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka
jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran
antara Goa dengan Maluku. Maka Demak terlalu
berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan
Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh
dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara
harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang
Blambangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai
sumber keterangan tentang kegiatan Demak.
Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal
Portugis. Pelayaran Pribumi mulai mayat i kembali,
sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan Maluku dan
Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan
percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada
dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kupu-
tarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempah-
rempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada
meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara
mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan
tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin
membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke
Teluk Bayur.
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar
mayat i, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara.
Arus yang menuju ke Pasai mulai mengendor.
Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali,
bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti
digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah
api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai
berubah, apa pula nanti tindakannya!
Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat.
Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya
melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun.
Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para
musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya.
namun Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak
Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak
dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai
kerajaan bebas.
0o-dw-o0
Hanya Tuban belum juga bangun dari kemumayat nnya.
Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar
enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh
dengan mudah dan murah di Tuban.
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan
negerinya mencari penghidupan di Jepara.
Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke
pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang,
masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban
sendiri.
0odwo0
25. Akhir Perang
Dengan pedang terawang di atas kepala Wirangmandala
dan Banteng Wareng terjun ke tengah-tengah medan
pertempuran. Dan seperti pedang kembang senjata-senjata
itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas.
Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru:
“Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang!
Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda,
anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!”
“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!”
Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara
parau memberi balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang
terus!” dan itulah suara Mahmud Barjah.
Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak
merampas kembali meriam dan membebaskan Esteban dan
Rodriguez.
“Buru dia!” perintah Senapati sambil membebaskan diri
dari para penyerangnya dan langsung memburu Mahmud.
“Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi!” teriak
Mahmud menghina.
“Budak Koja, kambing Rangga Iskak!” teriak Banteng
Wareng. “Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau
pengkhianat. Inilah harimau”.
Mahmud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu
melihat yang mendatangi juga berpedang.
Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali
meriam ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia
menengok ke belakang memberi perintah: ‘Teruskan tanpa
aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi
ini tumpas di tangan Mahmud Barjah,” ia berpacu
mendatangi pemburu-pemburunya.
“Percuma, Mahmud!” teriak Banteng Wareng. “Lebih
baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.”
Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk
menyelamatkan Senapati dan Banteng Wareng dari
kepungan laskar kaki Rajeg. Dengan cambuk menggeletar
di udara mereka menerjang dan membubarkannya.
Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak
menyelamatkan meriam dan penembaknya.
“Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku!” pekik
prajurit-prajurit kuda itu.
“Dan pedang terlalu mulia untuk lehernya.”
“Biar kami cambuki saja, Senapatiku!”
Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmud untuk
dapat bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng.
‘Tuban sudah jatuh!” pekik Panglima Rajeg
memberanikan tentaranya. “Kalian tinggal masuk. Semua
jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang
terus!”
“Pembohong!” bentak Banteng Wareng dan diterjangnya
lapisan prajurit Rajeg dengan kudanya sampai porak-
poranda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki
pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan satria
yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”.
Wirangmandala berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud,
berbalik memunggungi.
Mahmud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati
Tuban sebab tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau:
“Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang
Panglima Rajeg, Mahmud Barjah”.
la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya
sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke
tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya.
“Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang.
Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti
Mahmud Barjah anak Koja? Saksikan bagaimana dia
terbalik dari kudanya kena cambuk Tuban jadi babi yang
merangkak-rangkak”.
Senapati melarikan kudanya, berputar-putar, untuk
membikin Mahmud Barjah kalap.
“Hanya mereka bagian iblis. Sini, mandala , jangan lari,
biar kupapras moncongmu. Jangan lari, mandala !”
Mahmud mencoba menerobos medan pertempuran
untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya
berdentingan menyambar, menetak dan menangkis prajurit-
prajurit kaki Tuban. lalu diketahuinya ia telah
terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda
Tuban.
Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang
tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu,
mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala
gerak yang hendak membelah kepala dan badannya,
menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia
mengerling Senapati dan berteriak parau: “Jangan lari,
mandala , anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati
dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. Pedangku merasa
hina menjamah jagatmu”.
Wirangmandala tetap mencemoohkannya dengan
menyambar-nyambarkan pedangnya pada musuh di
sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi
yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!”
“Jangan lari di balik punggung anak-buah, mandala !”
Mahmud memekik lagi tak dapat menahan marah dan
kekesalannya.
Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda
Mahmud keluar dari kepungan dan memburu Senapati di
tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan
menarik cambuk perang dari pinggang.
Tiga orang prajurit kuda Tuban memburunya dengan
cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang.
Punggung dada dan tangan Mahmud telah bermandi darah
dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan
bajunya yang berbelang-belang merah.
“Pengecut! Pengecut!” teriak Mahmud Barjah murka,
terus memburu Senapati tanpa mengindahkan para
penyerang di belakangnya.
Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa
menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya
mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya
penunggang kuda itu terjungkal di tanah.
Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan
sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!”
Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang
mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan
menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh
tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan
mengiris leher.
Dengan muka tertutup darah dan telah buta ia meraungi:
“mandala , selesaikan aku dengan pedangmu! Jangan kau
hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”.
Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah
menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua
tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari
rusuk, lalu ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya
di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan
prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi.
“Mahmud Barjah mampus!” seseorang memekik.
“Panglima Rajeg tewas!” seorang lain menjerit.
Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar
bersorak. Dan seperti mendapat perintah gaib semua
prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak,
seakan lidah tercabut dari mulut mereka.
“Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang memekik.
“Ayoh pulang! Pulang sekarang!” Senapati tak bosan-
bosannya berseru. “Panglima kalian telah tewas. Buang
senjata! Pulang!”
Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, tentara
Rajeg membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa
kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg
telah menjenguk di ambang pintu. Hanya sebagian kecil
mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar
telah mulai melarikan diri tanpa senjata.
Panji-panji Mahmud Barjah, panji-panji Panglima, telah
lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor
kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat
bawaannya lagi.
“Berhenti menyerang!” perintah Senapati. “Beri
kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang
ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!”
Dan balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka
bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg
menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan.
“Balik ke Tuban!” Senapati menjatuhkan perintah.
Dimulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati,
lalu juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban
mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota.
Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran
berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!”
Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan.
Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbang-
cetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian
yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan
umbul-umbul tentara Rajeg yang serba putih nampak di
senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar
pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan
depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka
perhitungkan.
Mahmud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg
akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa
perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai.
Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai
delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau
pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di
tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan
kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan
udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan.
Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala
penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji
dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa
angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan
angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna.
namun Braja pun tidak tahu, inti tentara Rajeg sudah
mulai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka
menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan
merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah
pelabuhan.
Yang dirunduk ternyata tiada.
Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan
pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua
kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke
dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian
balatentara Tuban. Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah
pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan
hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat
lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat
mencapai pemimpinnya: Braja.
“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang,
pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!”
Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia
memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju,
sampai peluru habis.
Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke
jurusan kota membawa pasukan pengawal.
Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung
tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu
meletus di sepanjang pantai kota Tuban, dilatar belakangi
oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota,
disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh
matahari.
Malam jatuh.
Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal
ampun.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak
lama lalu sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajah-
gajah yang kembali memasuki kota.
Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula menghentikan
serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui
kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah
mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya
pertempuran bukan tentara Rajeg yang memasuki kota
Tuban tanpa perlawanan, namun pasukan gajah Tuban
sendiri.
Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan
segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan
diri di bawah lindungan kegelapan malam.
Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang
minta terlalu banyak korban itu.
Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka
seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai.
Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian
dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan.
Para nelayan yang lari dan darat dengan perahu-
perahunya, malam itu juga memerlukan kembal» ke pantai.
Kota Tuban seakan-akan berpesta pora.
Orang pun bersorak memekikkan nama Wirangmandala
dan para pemimpin pasukan balatentara Tuban.
Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali
melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan
bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak
kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan
tumpasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun
bertekuk lutut.
Sebuah krangkeng besi telah dipasang di dermaga
pelabuhan atas perintah Senapati.
Beberapa hari lalu Esteban dan Rodriguez
dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia
seluruh negeri bagaimana Tuban menghinakan Portugis.
Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan
menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau
melukai.
Dari bandar-bandar tetangga dan kampung-kampung
nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang
mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi mayat i dan
pasar bandar hidup kembali. Namun perdagangan antar-
pulau belum juga pulih.
Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh
sendiri dan ludah penonton.
Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan
Peranggi, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka
meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan
dihinakan.
Belum lagi lima belas hari dua orang Portugis itu jadi
tontonan Wirangmandala telah memerintahkan pada Braja,
mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu
telah menyelewengkan terjemahan surat Rangga Iskak alias
Iskak Indrajid alias Kiai Benggala alias Sunan Rajeg.
Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan.
Dalam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka
dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka
dengan batu dan melemparkan ke laut.
Dan kadipaten tidak berpengawal. Wirangmandala telah
menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki
kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang
diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan
belum selesai selama Rangga Iskak belum tertangkap, hidup
atau mati.
Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran
Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh
kekuasaan atas Tuban dapat berpindah ke tangan si anak
desa juara gulat bernama mandala . Dahulu hanya Sang
Adipati yang mempunyai duga sangka Wirangmandala lah
yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan
Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan
menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi
Adipati sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok.
Setiap orang punya duga-sangkanya, duga sangka belaka.
Mereka tak berani mempergunjingkannya.
Wirangmandala belum juga nampak pulang ke
kesyahbandaran.
Nyi Gede Kati setiap hari membersihkan kamar gandok
kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat
mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan
berita tentang tengkorak dan anak-anaknya.
Dan berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah
sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak
desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa
sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang Adipati atau
Sang Senapati? Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih
punya perlindungan dan Sang Senapati takkan meletakkan
tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak
ada jalan lain baginya dibandingkan harus melarikan diri. Ke
mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri sebab
tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut
tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan
ketat. Pasukan laut pun telah dipanggil pulang dari Gresik.
Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari
Tuban. Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk
itu.
Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada
kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga
mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang
Adipati yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh
jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya
dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis
itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang Senapati
tak berani melakukannya.
Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak
jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya.
Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. lalu
ia menganggap sebab mereka itu terlibat dalam kerusuhan.
Dan ia sudah puas dengan anggapannya.
namun dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu
ketentemayat nnya. Ia menduga mereka akan diperas
keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang
menyangkut soal meriam. Dari mana meriam itu? Boleh
jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana.
namun mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas
telah membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada
Rangga Iskak.
Tidak, Yakub akan membisu sampai mati selama ia
berada di Tuban. Keselamatannya sendiri ikut dalam
pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut
nama Yakub, barulah lalu namanya akan
dikedepankan pula.
Tak bisa tidak hanya dua orang Peranggi itu yang bisa
mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang
Adipati ataukah Sang Senapati, bila namanya tersebut
dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia
menyesali Portugis celaka yang semudah itu dapat
ditangkap – punya meriam dan punya pengalaman perang
begitu banyak!
Dan ia mengenal pengadilan Pribumi – tak banyak
membutuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum
pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan
pada harapan belaka hendaknya Sang Adipati menjadi
senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan
semua dakwaan, tapi pikiran Pribumi tidak akan
menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam
menrsi s keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan….
Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung
dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikir-
pikir, datang Nyi Gede Kati membawakan kabar. Justru
pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin
dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mudah oleh
prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di
mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup!
“Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus?
Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan
Tuban”.
“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap
Gusti Adipati”.
“Tuan biasa menghadap ke sana”.
“Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun
mengatakan Gusti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak
boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”.
“Bukankah Tuan juga Punggawa?”
“Ya, tapi bukan punggawa kadipaten”.
“Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan
menghadap?”
“Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau
saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat
menghadap”.
“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu
kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya?”
“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi.
“Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke
mana saja”. Ia tahu, Nyi Gede Kati menolak dan takkan
pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang
perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk
meneruskan pikirannya.”
Dengan berani ia memutuskan Esteban dan Rodriguez
harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan
pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek
dan menghina Portugis. Mereka berdua harus aku habisi
dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak
mereka akan menghabisi dua-duanya, lalu juga aku.
Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan
menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di
pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan
kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya.
Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan
matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam
cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas
dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol.
Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau
demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya
pada keampuhan pisau tongkatnya. lalu ia melatih
diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak.
Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak
begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambar-
nyambar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan
senjata khusus ini.
sesudah keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti,
memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk
tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju,
meninggalkan kamar dan keluar dari rumah.
Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di
pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan
terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang
Portugis celaka itu.
Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana
penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah
mempercayakan keselamatan Esteban dan Rodriguez pada
aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng
besi.
Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah
kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol
sebentar, lalu memeriksa seluruh medan bandar
dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan
akhirnya ia mendapat keputusan dapat melaksanakan
rencananya.
Dari menara itu juga ia dapat melihat warung Yakub
yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke
kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini?
Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu
bahaya sedang mengancam lehernya?
Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang
mempunyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya,
mungkin aku telah menginjak tua.
Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian.
Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol
Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu
sebagal pokok untuk lalu menyanjung nyanjung
Wirangmandala . Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban
yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan
bagaimana Senapati memancing mancing Mahmud Barjah
untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dapat
dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat.
“Seorang penghianatt tak layak mendapatkan pedang,
apalagi keris, Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk
seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya.
Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjingguk angguk
mengiakan dan ikut memuji-muji Syahbandar-muda itu,
Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua
orang penjaga itu tak mengganggunya.
Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara,
langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut
waktu dilihatnya Nyi Gede Kati sedang bicara dengan
Wirangmandala di jalanan antara gedung utama dongan
gandok kanan. Senapati itu menunduk tak melihat ke
kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya
sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak
melihatnya,
Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar,
lalu pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu
tergeletak di sampingnya.
Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah
kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu
meninggalkan kesyahbandaran. Ia pun jatuh tertidur.
Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan
suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa.
Nyi Gede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada
hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia
tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya
mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, lalu
bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa
bicara sesuatu pun lalu masuk kedalam kamar dan
tak keluar lagi.
Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup
langit rsi h tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat
apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh
Syahbandar Tuban.
Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan
terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke
dermaga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana
walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik
kesegala jurusan yang mungkin. namun kegelapan malam
yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang
dapat menyaksikan dirinya sering menoleh,
Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun
yang menyaksikan kehadirannya, namun dari perasaannya
ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang
melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedoman
perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon
asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih
tajam dibandingkan pancainderanya. Waktu hujan turun ia
dengar empat orang lari meninggalkan dermaga.
Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan
mempergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan
dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia
tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam
hidupnya.
Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan
pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam
Portugis: “Sini kalian, Nak, Esteban, Rodriguez! Kesini
kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan Syahbandar ada di
sini”.
Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak
nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan
pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun
berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya.
“Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng
ini bersama-sama”.
“Benarkah itu Tuan Syahbandar?” seseorang bertanya
dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu
sebab tiupan angin malam yang dingin.
“Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah
aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat.
Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja”.
“Dilindungi Tuhan hendaknya Tuan ini”.
“Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia memperingatkan
sambil membuka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan
sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”.
“Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”.
“Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik
kembali di tengah laut nanti”.
“Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam,
pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan
getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada Tholib
Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susah-
payah untuk dapat mendekati.
Syahbandar itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh
tangan Esteban atau Rodriguez yang panas sebab demam.
“Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan
cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang
berdiri di hadapannya.
Suatu pekikan lemah membeku ditelan deburan ombak
memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya
yang jatuh.
Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan
berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut
yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng.
“Pembunuh! Tolong! Tolong!” pekiknya dalam Melayu.
Gugup sebab jeritan dan takut kalau-kalau diketahui
orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar
mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan
senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke
dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya.
Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk
menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan
penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengah-
engah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga mendapatkan
daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam
krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan
diri.
Dari kejauhan terdengar rsi h, menggerutu seperti
kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh
Portugis yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran
kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar.
Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak Esteban
sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian
atas krangkeng.
“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik Syahbandar dan
menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya.
Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti
keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk
udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh
menggeletak.
Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambar-
menyambar.
Syahbandar kembali ke gedung utama, basah kuyup tapi
dengan perasaan lega.
Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari
sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga….
0odwo0
Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh
binatang-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di
dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar
bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis
hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan
tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan
kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong.
Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga
dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar
telah mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di
dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung,
sebab semua telah disingkirkan dan dilambari dengan
balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri telah dibagi
dalam bilik-bilik dari papan kayu.
Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran
setanggi yang terus-menerus.
Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang
semakin lama semakin lebar sebab setiap hari dilewati oleh
beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan
barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan
setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin
orang. Belum lagi lima belas hari.
Kini gua itu telah siap untuk ditinggali.
namun bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat
satu peti pun, sebab semua itu tersimpan dalam rongga di
bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang
berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot.
Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah tengkorak dan
dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan
berpedang telah mengawal mereka memasuki hutan-
belantara itu dan membawanya ke mari, lalu
menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap
berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan
setanggi.
Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istri-
istri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di
antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, sebab
dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan.
Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu
kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik
tengkorak .
Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih
mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan.
Dan sesudah semua pengangkutan selesai baru nampak
Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang muda tinggi
semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul
bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak
sebagai pikulan.
Pemuda itu juga yang mengawal tengkorak anak-beranak
waktu menuju ke Gowong ini.
Waktu Sunan Rajeg memasuki Gowong, pemuda
jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil
itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia
perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu.
Dan itulah pohon pelaka.
la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah,
tipis dan panjang, lalu duduk di atas salah satu di
antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di
atas tanah.
Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari
luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai
ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang
kayu.
Seseorang datang padanya membawakan dandang dan
kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu.
Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang
rotan berisi daging rusa,
”Kanjeng Sunan memerintahkan masak besar hari ini.
Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi
selama ini”, si jangkung mengumumkan.
“Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga
puluh”.
“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak
tamu nanti”,
“Tamu siapa akan datang ke mari?” si jangkung
menukas,
“Makan besar buat kita semua yang ada di sini”,
“Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecap-
kecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa
minggu belakangan ini kita diperbolehkan”
Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan
memasang beberapa dandang di atannya, serta dua belanga
dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung
memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram
tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kelapa,
biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai
menghasilkan satu kranjang. Dan sesudah diperas jadi
santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan
pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”.
“Mengapa kita pergi ke mari, Firman?” seorang
bertanya.
“Mana aku tahu?”
“Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan
tempat ini”. namun Mohammad Firman enggan terlibat
dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua
orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung
berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di
dalam hutan.
Mematuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg,
orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak
sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak
harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak
sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di
dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang
mengurangi atau menambahi bahan makanan yang telah
tersedia.
sesudah tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap
dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia
membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan
dada itu mengkilat kekunmgan sebab warna kulitnya dan
sebab api yang kemerahan.
Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu
nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak
memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus