nusantara awal abad 16 19

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 19



 kuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan. 

“Apa aku bilang? Tak ada airmata berharga di 

hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi 

bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, tengkorak , bukan kafir 

jahiliah”. 

Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di 

belakangnya. “Lihat, ini tengkorak , istri Wirangmandala , istri 

tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, 

sebab  dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri 

cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat 

Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anak-

anaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak 

padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan 

kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak-

anak sendiri. Mereka tak lain dibandingkan  merak jantan, 

kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. 

Mengerti?” 

“Sahaya, Kanjeng Sunan.” 

“Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, 

dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari 

orang-orang yang lebih kuat dibandingkan  yang punya hawa 

nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula 

nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu? Kita 

sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi 

seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan 

petunjuk”. 

lalu  kata-katanya dialihkan lagi pada tengkorak : 

“Bukankah sudah aku katakan padamu? Jangan menangis. 

Suamimu akan terpanggil kemari sebab  kesetiaannya 

padamu. Apa keberatannya sekarang, tengkorak ?” 

“Apakah yang akan kukatakan? Sudah sejak semula aku 

hanya ditipu untuk datang kemari”. 

“Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan 

salah. Ini hanya muslihat perang.” 

“Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku 

ditanyai?” 

“Diam!” bentak Sunan Rajeg. “Kau tak juga mau 

mengerti siapa yang kau hadapi”. 

tengkorak  menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara. 

“Mengapa diam? Siapa yang kau hadapi” tengkorak  tetap 

membisu. “Siapa?!” bentaknya lagi.  

Dan tengkorak  tak juga membuka mulut. Suaranya 

lalu  merendah jadi gerutu. “Betapa banyak orang 

yang kutolak permohonannya untuk menghadap? 

Semestinya kau bangga aku ajak bicara”. Dan suaranya 

menaik lagi. “Siapa sedang kau hadapi sekarang?” 

“Sunan Rajeg.” 

“Kanjeng Sunan Rajeg,” Rangga Iskak membetulkan. 

“Kanjeng Sunan Rajeg.” 

“Betul. Siapa lagi?” 

“Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri”. 

“Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya 

keangkuhan itu di hadapanku”. 

“Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan.” 

“Ya, itulah keangkuhan.” 

“rsi -rsi  mengajarkan pada kami sikap tahu harga 

diri dan kehormatan diri”. 

“Di mana harga dan kehormatanmu? Terlalu banyak 

disanjung orang, ya? Maka di hadapan Sunan Rajeg juga 

minta disanjung? Apa modalmu untuk angkuh di 

hadapanku? Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak 

untukku. Gamelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya 

barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam 

ajaran. Sombong, akui, ya? bicara tentang kehormatan dan 

harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu? Semua 

sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh 

anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan 

perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian 

anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap 

angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan 

garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan 

dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga 

keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang 

menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka 

kau seangkuh itu? Di sini takkan ada seorang pun dihukum 

tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan 

pengadilan yang adil”. 

“Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan 

Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, memang tak 

perlu lagi aku bicara”. 

“Jih! Dasar kafir turunan kafir!” 

Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya 

dan pintu kembali dipasak dari luar. 

sesudah  mereka pergi tengkorak  baru sadar, di atas ambin 

telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi 

minum dan pasu kayu berisi air. 

“Tidak ada apa-apa, Nak,” katanya pada Gelar dan 

disusuinya anaknya yang kecil. ”Makanlah. Apakah emak 

harus layani?” ia melayani Gelar sambil menyusui. 

Ia mempunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan 

kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada 

dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru 

memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini. 

Tidak lebih dari seminggu lalu  terdengar bunyi 

kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dinding-

dinding bambu masuk ke dalam rumah itu. 

tengkorak  duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi 

berkicau di tengah-tengah ambin dengan Gelar sedang 

mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan 

syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan. 

“Apa yang mayat i itu, Mak?” Gelar bertanya. 

tengkorak  mulai memperhatikan keriuhan itu. 

Tak lama lalu  terdengar langkah orang berlarian di 

depan rumah, makin lama makin banyak. 

“Siapa pada lari itu, Mak?” 

Suara orang berlarian itu berhenti. 

“Tak ada apa-apa, Gelar. Mainlah lagi dengan adikmu”. 

Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan 

bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang 

menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari 

berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu lalu  

berkurang. lalu  terdengar suara seorang nenek yang 

tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: “Cepat, 

Yung, jangan terlambat.” 

“Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau,” suara seorang 

lelaki dewasa yang melewatinya. 

Tertarik oleh suara-suara itu tengkorak  meninggalkan ambin, 

mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari 

lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta 

bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik 

coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada 

digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam 

gandengan. 

Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari 

rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya 

ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: “Mengapa 

mesti berlari-lari begini? Gusti Adipati raja kita, tak 

mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa”. 

Nampaknya ia tak mendapat jawaban atas 

pertanyaannya sendiri, lalu  menggabungkan diri 

dengan yang lain-lain, juga lari. 

Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu. 

Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan 

terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang 

diri: “Mengapa mesti ikut lari? Apa dosaku?” ia berhenti 

lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, lalu  

meneruskan jalan dengan pelan-pelan. 

Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa 

mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus. 

Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan 

terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada 

dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat 

pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari 

mulutnya keluar keluh dan umpatan, lalu : “Nasibmu, 

Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak 

ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. 

Terkutuk sekarang dan lalu ”. 

Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan 

berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar 

pada daun pintu. 

tengkorak  tak dapat melihatnya lagi. 

“Ada apa, Mak?” tiba-tiba Gelar bertanya dari belakang. 

Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini 

memperdengarkan suaranya lagi: “Ada orangkah di situ? 

Mengapa pintu dipasak dari luar?” 

tengkorak  menutup mulut Gelar dengan tangannya. Dan 

terdengar lagi suara ibu muda itu: “Ijinkan aku masuk. 

Tolonglah aku!” 

tengkorak  tak menjawab, malah memberi isyarat pada 

anaknya agar tak bersuara. 

“Ah, keterlaluan!” sebut ibu muda itu dari luar. “Jaman 

sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. 

Siapakah di dalam situ? Tolonglah aku. Aku sakit. Belum 

seminggu aku melahirkan”. Terdengar orang itu 

mengerang. 

“Ah, dipasak mati dari luar begini”. lalu  kata-

katanya jadi singkat-singkat, terkejut. “Ya Allah, ya Dewa 

Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa 

mesti rawat kau nanti?” ia menangis ter-hisak-hisak. tengkorak  

menarik Gelar, dibawanya naik lagi ke ambin. Tak 

disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang 

kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan 

disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri 

dan anak-anaknya ini? Tangannya yang lain kini menggapai 

Gelar dan merangkulnya, lalu  menciumnya. “Emak 

menangis, Mak,” bisik Gelar, dan ia seka airmata ibunya. 

Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba 

membuka pasak. Tersusul lalu  oleh suara seorang 

lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: “Jangan ganggu 

pintu itu!” 

Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar 

ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin telah 

pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi 

dan Gelar telah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan 

mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun 

nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi Gelar, satu-satunya 

orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara. 

Anak itu terbangun, lalu  juga adiknya. 

“Ada apa, Mak?” 

‘Tak ada apa-apa. Gelar. Barangkali saja bapakmu akan 

datang”.  

“Bapak, Mak?” 

“Bapakmu, ya. Barangkali membawa balatentara yang 

sangat banyak”. 

Gelar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk 

mengintip. Bayi itu menangis, dan tengkorak  menyusuinya lagi. 

“Kembali, Gelar, sini saja dengan emak”. 

Terdengar suara beberapa orang lelaki. Gelar lari dari 

dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin 

mendekati pintu. 

“Siapa itu, Mak?” 

“Stt,” tengkorak  menarik mukanya dari pintu. “Ya Dewa 

Batara”, bisiknya berdoa, “datanglah kau, Kang, 

selamatkan anak-anak ini”. 

Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan 

pintu itu terbuka. 

tengkorak  tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya Gelar 

mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba 

putih, bertombak dan berpedang. 

“Mari,” kata salah seorang di antaranya, “mari kami 

antarkan Mbok-ayu ke tempat lain”. 

tengkorak  turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan 

Gelar digandengnya. 

“Mari, Mak, kita pergi,” dan tak diteruskannya 

mengatakan: pergi untuk selama-lamanya. 

Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi 

semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya 

berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan 

rumah. 

Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada Gelar: 

“Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, 

rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan 

lupa lihat dulu ibumu ini,” ia berjongkok untuk dapat 

dilihat oleh anaknya. 

“Mengapa harus dilihat semua, Mak”. 

“Biar kau akan selalu ingat di lalu  hari, Gelar”. 

“Ke sebelah sini, Mbokayu”, orang muda itu berkata 

lagi. 

Dengan Gelar dalam gendongan dan si bayi dalam 

gendongan ia membelok. Orang-orang lelaki berpedang dan 

bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam. 

Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan 

yang indah, jauh, samar, dalam ingatan tengkorak . Siapakah 

yang pernah memanggilnya Mbokayu dengan suara seperti 

itu? Seindah dan mengandung perasaan seperti itu? 

Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat 

mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat 

sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini? Mereka 

telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya. 

0o-dw-o0 

 

24. Demak 

Tahun 1518 Masehi 

Sesuatu telah terjadi di Demak – Demak yang 

dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang 

berduyun-duyun di depan istana, lalu  bergerak ke 

mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan 

wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al-

Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa. 

Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu. 

Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka 

memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk 

dan berdiri di pelataran depan. 

Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara, 

membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid. 

Gerak dan suara mereka berimayat  dalam bertakbir 

bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang 

di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah 

yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir. 

Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri 

jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah 

barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit 

kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada. 

Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita 

putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari 

tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula. 

Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa 

orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar 

Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga, 

yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik, 

tiada nampak. 

Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan 

sedang berada di Demak. 

Menyusul lalu  para punggawa dan rakyat biasa. Di 

tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah 

tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning 

keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak: 

Adipati Unus Jepara. 

Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga 

Sultan, kecualiwanita, sebab  tak ada seorang pun wanita di 

dalam seluruh iring-iringan panjang ini. 

Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan 

pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari 

pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan 

sepi. 

Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung. 

0o-dw-o0 

 

Delapan minggu lalu  sekitar alun-alun menjadi 

mayat i kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung. 

Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan 

kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertombak 

berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun 

bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan 

selendang dan kerudung. 

Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu 

bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya, 

diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus. 

Di belakangnya pasukan pengawal lagi. lalu  barisan 

dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung 

Bintoro. 

Alun-alun semakin lama semakin mayat i. Orang 

berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana 

dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna 

ganda. 

Begitu akhir barisan memadat di halaman mesjid, peluru 

cetbang berledakan di udara. lalu  tenang, dan tiada 

antara lama lalu  membubung ucapan syukur di 

udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang 

semakin riuh. 

Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan 

Demak. 

Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana. 

Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua 

didudukkan di atas singgasana – ia tak mampu lagi 

tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras 

cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah 

membuatnya jadi cacad untuk selamanya. 

Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah memanggil 

kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan 

sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk 

menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah 

pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang 

Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan – 

kebijaksanaan baru. 

Amanat itu lalu  ternyata diadakan di balairung 

penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada 

seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai 

musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak 

berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara 

untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna 

membangunkan armada gabungan yang perkasa. 

Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang 

setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan 

Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu 

musuh dan harus dihancurkan juga…. 

Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan 

baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah 

yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap 

menunggu tanpa memberikan ulasan. 

Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke 

seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari 

Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung, 

sepanjang pesisir Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku. 

Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera, 

seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya 

perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali 

seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan 

seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak 

pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah 

seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus 

dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi 

laksamana. 

Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa 

kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap 

menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang 

menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan 

berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul 

dengan perang. 

Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja! 

Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain, 

orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang 

pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui 

kekalahannya, namun takluk ia tak pernah. 

Titah yang lalu  menyusul lebih menggoncangkan: 

segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa 

kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada. 

Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang 

paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi 

selatan. 

Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah 

mendapat firasat takkan memerangi segala apa yang akan 

dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya 

akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak 

ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini, 

selama Peranggi masih bercokol di sini. 

Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan 

Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan serta 

merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan 

persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke 

dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada 

Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggung-

singgung tentang kepentingan agama dan pengluasannya? 

Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan 

jawaban yang tidak kurang kerasnya: “Bagaimana bisa hal 

ini dipersembahkan? Bukankah sudah jelas Peranggi 

mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang 

terhormat sebarkan di pulau Jawa ini? Dapatkah hasil 

penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya 

disuburkan, selama Peranggi masih mengancam?” 

Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu 

terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi 

dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya 

perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah 

terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah 

meninggalkan Majelis Demak untuk selama-lamanya, 

mengutamakan perrsi annya, dan menolak membicarakan 

kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan. 

Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh, 

melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di 

Malaka. 

Pengalaman telah mengajarkan pada Portugis, belum 

lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi 

penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris 

mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka 

jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran 

antara Goa dengan Maluku. Maka Demak terlalu 

berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan 

Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh 

dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara 

harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang 

Blambangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai 

sumber keterangan tentang kegiatan Demak. 

Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal 

Portugis. Pelayaran Pribumi mulai mayat i kembali, 

sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan Maluku dan 

Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan 

percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada 

dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kupu-

tarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempah-

rempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada 

meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara 

mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan 

tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin 

membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke 

Teluk Bayur. 

Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar 

mayat i, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara. 

Arus yang menuju ke Pasai mulai mengendor. 

Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali, 

bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti 

digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah 

api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai 

berubah, apa pula nanti tindakannya! 

Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat. 

Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya 

melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun. 

Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para 

musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya. 

namun  Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak 

Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak 

dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai 

kerajaan bebas. 

0o-dw-o0 

 

Hanya Tuban belum juga bangun dari kemumayat nnya. 

Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar 

enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh 

dengan mudah dan murah di Tuban. 

Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan 

negerinya mencari penghidupan di Jepara. 

Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke 

pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang, 

masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban 

sendiri. 

0odwo0 

 

25. Akhir Perang 

Dengan pedang terawang di atas kepala Wirangmandala  

dan Banteng Wareng terjun ke tengah-tengah medan 

pertempuran. Dan seperti pedang kembang senjata-senjata 

itu menyambar ke kiri dan ke kanan, bawah dan atas. 

Dalam pada itu dua-duanya tak henti-hentinya berseru: 

“Pulang! Ayoh pulang kalian! Pulang ke desa! Pulang! 

Buang senjata! Pulang! Jangan bikin bini kalian jadi janda, 

anak jadi lola! Pulang! Pulang! ke desa!” 

“Yang tak mau pulang kena tebang! kena tebang!” 

Matahari hampir tenggelam. Tiba-tiba terdengar suara 

parau memberi balasan: “Jangan kena dibodohi. Serang 

terus!” dan itulah suara Mahmud Barjah. 

Dengan sepasukan kaki ia sedang bergerak hendak 

merampas kembali meriam dan membebaskan Esteban dan 

Rodriguez. 

“Buru dia!” perintah Senapati sambil membebaskan diri 

dari para penyerangnya dan langsung memburu Mahmud. 

“Jangan dengarkan begundal kafir Peranggi!” teriak 

Mahmud menghina. 

“Budak Koja, kambing Rangga Iskak!” teriak Banteng 

Wareng. “Senapatiku, serahkan padaku. Jangan lari kau 

pengkhianat. Inilah harimau”. 

Mahmud duduk di atas kudanya. Ia cabut pedang begitu 

melihat yang mendatangi juga berpedang. 

Laskar kaki yang dipimpinnya untuk mengambil kembali 

meriam ia tinggalkan untuk menyambut musuhnya. Ia 

menengok ke belakang memberi perintah: ‘Teruskan tanpa 

aku. Saksikan bagaimana begundal-begundal kafir Peranggi 

ini tumpas di tangan Mahmud Barjah,” ia berpacu 

mendatangi pemburu-pemburunya. 

“Percuma, Mahmud!” teriak Banteng Wareng. “Lebih 

baik kau lari seperti yang lain. Atau serahkan lehermu.” 

Beberapa prajurit berkuda Tuban menyusul untuk 

menyelamatkan Senapati dan Banteng Wareng dari 

kepungan laskar kaki Rajeg. Dengan cambuk menggeletar 

di udara mereka menerjang dan membubarkannya. 

Sebagian lari berpacu mengejar mereka yang hendak 

menyelamatkan meriam dan penembaknya. 

“Terlalu hina melayani pengkhianat, Senapatiku!” pekik 

prajurit-prajurit kuda itu. 

“Dan pedang terlalu mulia untuk lehernya.” 

“Biar kami cambuki saja, Senapatiku!” 

Laskar putih itu masih jadi penghalang Mahmud untuk 

dapat bertemu dengan Senapati atau Banteng Wareng. 

‘Tuban sudah jatuh!” pekik Panglima Rajeg 

memberanikan tentaranya. “Kalian tinggal masuk. Semua 

jadi milik kalian, wanita dan harta Jangan tunggu! Serang 

terus!” 

“Pembohong!” bentak Banteng Wareng dan diterjangnya 

lapisan prajurit Rajeg dengan kudanya sampai porak-

poranda. Ia melambaikan tangan ke belakang. “Cambuki 

pengkhianat ini sampai rompang-ram-ping. Bukan satria 

yang kita hadapi, hanya pengkhianat keparat”. 

Wirangmandala  berhenti, tak terus mendapatkan Mahmud, 

berbalik memunggungi. 

Mahmud menjadi marah merasa dihina oleh Senapati 

Tuban sebab  tak dilayani. Ia memekik dengan suara parau: 

“Jangan lari, anak desa! Kembali sini! Rasakan pedang 

Panglima Rajeg, Mahmud Barjah”. 

la hentakkan kuda, meninggalkan lapisan laskarnya 

sendiri dan mulai memburu. Yang diburu menyusup ke 

tengah-tengah pertempuran dan meneruskan seruannya. 

“Mati di mana-mana, kiri, kanan, depan, belakang. 

Buang senjata! Lari! Pulang! Urusanak-bini kalian! Apa arti 

Mahmud Barjah anak Koja? Saksikan bagaimana dia 

terbalik dari kudanya kena cambuk Tuban jadi babi yang 

merangkak-rangkak”. 

Senapati melarikan kudanya, berputar-putar, untuk 

membikin Mahmud Barjah kalap. 

“Hanya mereka bagian iblis. Sini, mandala , jangan lari, 

biar kupapras moncongmu. Jangan lari, mandala !” 

Mahmud mencoba menerobos medan pertempuran 

untuk dapat mencapai Senapati Tuban. Pedangnya 

berdentingan menyambar, menetak dan menangkis prajurit-

prajurit kaki Tuban. lalu  diketahuinya ia telah 

terpancing dan terkepung oleh lima orang prajurit kuda 

Tuban. 

Lima pedang menyerangnya berbareng. Matanya yang 

tajam itu gemerlapan dalam senja yang muram itu, 

mengerling, membelalak, menyipit, menangkap segala 

gerak yang hendak membelah kepala dan badannya, 

menangkisi semua serangan. Namun masih sempat ia 

mengerling Senapati dan berteriak parau: “Jangan lari, 

mandala , anak desa! Tani busuk jadi senapati! Senapati 

dagelan! Mari dekat sini, biar aku lecuti. Pedangku merasa 

hina menjamah jagatmu”. 

Wirangmandala  tetap mencemoohkannya dengan 

menyambar-nyambarkan pedangnya pada musuh di 

sekeliling dan tak juga henti-hentinya berseru: “Maut bagi 

yang tak mau lari! Selamat bagi yang pulang ke desa!” 

“Jangan lari di balik punggung anak-buah, mandala !” 

Mahmud memekik lagi tak dapat menahan marah dan 

kekesalannya. 

Dengan sekali lompatan yang menakjubkan kuda 

Mahmud keluar dari kepungan dan memburu Senapati di 

tengah-tengah pertempuran. Ia sarongkan pedang dan 

menarik cambuk perang dari pinggang. 

Tiga orang prajurit kuda Tuban memburunya dengan 

cambuk perang pula dan mencambuki dari belakang. 

Punggung dada dan tangan Mahmud telah bermandi darah 

dan sobekan-sobekan pada kulitnya menganga dari robekan 

bajunya yang berbelang-belang merah. 

“Pengecut! Pengecut!” teriak Mahmud Barjah murka, 

terus memburu Senapati tanpa mengindahkan para 

penyerang di belakangnya. 

Tak tahan terhadap lecutan dari belakang tanpa 

menengok ia melecut ke belakang. Ujung cambuknya 

mencabut sebiji bola mata pemburunya. Tanpa dilihatnya 

penunggang kuda itu terjungkal di tanah. 

Cambuk dari belakangnya semakin bertubi dengan 

sorakan: “Nasib pengkhianat tak pernah baik!” 

Dua ujung cambuk yang jatuh berbareng dari belakang 

mengenai mukanya, telah mengiris hidung dan 

menghancurkan matanya. Ia terjatuh juga dari kuda oleh 

tarikan cambuk musuh-musuhnya yang membelit dan 

mengiris leher. 

Dengan muka tertutup darah dan telah buta ia meraungi: 

“mandala , selesaikan aku dengan pedangmu! Jangan kau 

hinakan aku begini. Aku pun seorang prajurit”. 

Ia merangkak-rangkak berdiri. Sebilah tombak telah 

menyambar dadanya. Ia terjatuh lagi sambil dengan dua 

tangan memegangi mata tombak yang menyembul dari 

rusuk, lalu  ia tak bangun Lagi untuk selama-lamanya 

di dekat sebongkah batu, terinjak-injak oleh kaki kuda dan 

prajurit kedua belah pihak yang sedang berkelahi. 

“Mahmud Barjah mampus!” seseorang memekik. 

“Panglima Rajeg tewas!” seorang lain menjerit. 

Seluruh tentara Tuban yang bertempur di sekitar 

bersorak. Dan seperti mendapat perintah gaib semua 

prajurit Rajeg berhenti menyerang, juga berhenti bersorak, 

seakan lidah tercabut dari mulut mereka. 

“Nasib pengkhianat tak pernah baik!” seorang memekik. 

“Ayoh pulang! Pulang sekarang!” Senapati tak bosan-

bosannya berseru. “Panglima kalian telah tewas. Buang 

senjata! Pulang!” 

Menyaksikan sendiri betapa panglimanya tewas, tentara 

Rajeg membuang senjata mereka, buyar tanpa kekang tanpa 

kendali. Tanda-tanda kehancuran kekuatan Sunan Rajeg 

telah menjenguk di ambang pintu. Hanya sebagian kecil 

mengamuk kehilangan akal dan pegangan. Sebagian besar 

telah mulai melarikan diri tanpa senjata. 

Panji-panji Mahmud Barjah, panji-panji Panglima, telah 

lama tidak nampak. Pembawanya telah kena langgar seekor 

kuda, lari masuk ke dalam hutan tanpa mengingat 

bawaannya lagi. 

“Berhenti menyerang!” perintah Senapati. “Beri 

kesempatan pada saudara-saudaramu. Biar mereka pulang 

ke desa masing-masing. Berkumpul kalian!” 

Dan balatentara Tuban berhenti menyerang. Mereka 

bergerak untuk berkumpul sambil melihat tentara Rajeg 

menarik dan membubarkan diri masuk ke dalam hutan. 

“Balik ke Tuban!” Senapati menjatuhkan perintah. 

Dimulai dari para prajurit di dekat-dekat Senapati, 

lalu  juga merambat jauh-jauh, balatentara Tuban 

mulai balik kanan jalan dan bergerak ke arah kota. 

Buntut barisan yang pulang itu masih kedengaran 

berseru-seru: “Buang senjata! Pulang!” 

Dalam selingan sorak-sorai riang kemenangan. 

Tasukan pengawal Tuban telah menyiapkan cetbang-

cetbang pada sebuah tikungan jalan, sesuatu ketinggian 

yang mengawasi jalan lurus ke depannya. Begitu panji dan 

umbul-umbul tentara Rajeg yang serba putih nampak di 

senja hari, cetbang-cetbang melepaskan peluru mendatar 

pada mereka. Hujan ledakan jatuh dalam tubuh barisan 

depan-suatu hal yang sama sekali tak pernah mereka 

perhitungkan. 

Mahmud telah merencanakan, pasukan inti tentara Rajeg 

akan memasuki Tuban dari sebelah pesisir timur tanpa 

perlawanan dan terus menyergap cetbang di tepi-tepi pantai. 

Sekarang peluru yang dilepaskan dari jarak enam sampai 

delapan ratus depa itu sama sekali tak dapat ditangkis atau 

pun dibalas. Peluru-pelurunya meledak di atas barisan, di 

tengah-tengah, kiri dan kanan, menyemburkan pecahan 

kulitnya, api belerang dan sendawa, dan kerikil berapi dan 

udara panas membakar. Orang pun jatuh bergelimpangan. 

Barisan depan itu berantakan lari kocar-kacir ke segala 

penjuru. Mereka tak mampu meneruskan barisannya. Panji 

dan umbul-umbul menggeletak tak berdaya di tanah. Tanpa 

angin mereka kehilangan kebesaran dan daya. Dengan 

angin pun mereka tinggal sesobek kain berwarna. 

namun  Braja pun tidak tahu, inti tentara Rajeg sudah 

mulai memasuki Tuban dari pesisir sebelah timur. Mereka 

menyapu seluruh pesisir timur tanpa bersorak dan 

merunduki sarang-sarang cetbang di sekitar daerah 

pelabuhan. 

Yang dirunduk ternyata tiada. 

Mereka berhadapan dengan pecahan-pecahan pasukan 

pengawal yang ditinggalkan. Pertempuran antara dua 

kekuatan yang terlatih ini berjalan dengan kegigihan dari ke 

dua belah pihak. Dahulu mereka sama-sama bagian 

balatentara Tuban. Kini berkelahi saling menerkam. Sebuah 

pecahan kecil telah dilindas tanpa bisa menyerang dan 

hanya bisa mempertahankan diri. Hanya seorang dapat 

lolos, lari menghindari terkaman maut untuk dapat 

mencapai pemimpinnya: Braja. 

“Pecah barisan!” Braja memerintah. “Kecuali cetbang, 

pelayan dan pengawal, semua balik ke kota!” 

Dan pada pasukan cetbang yang ditinggalkan ia 

memerintahkan terus menembaki musuh sambil terus maju, 

sampai peluru habis. 

Ia pun melompat ke atas kudanya dan berpacu ke 

jurusan kota membawa pasukan pengawal. 

Perintah penyerangan segera dilakukan dari punggung 

tentara Rajeg. Pertempuran sengit di waktu senja itu 

meletus di sepanjang pantai kota Tuban, dilatar belakangi 

oleh bunyi ledakan peluru-peluru cetbang di luar kota, 

disaksikan oleh langit yang sedang ditinggalkan oleh 

matahari. 

Malam jatuh. 

Perkelahian dalam kegelapan berlangsung tanpa kenal 

ampun. 

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari sebelah barat. Tak 

lama lalu  sorak-sorai itu diselingi oleh suling gajah-

gajah yang kembali memasuki kota. 

Inti tentara Rajeg dengan tiba-tiba pula menghentikan 

serangan. Mereka mengendap menyelinap mengetahui 

kedatangan pasukan gajah. Suatu kekagetan telah 

mengubah sama sekali pandangan mereka tentang jalannya 

pertempuran bukan tentara Rajeg yang memasuki kota 

Tuban tanpa perlawanan, namun  pasukan gajah Tuban 

sendiri. 

Mengetahui perhitungan mereka ternyata meleset dan 

segala usaha akan jadi sia-sia, mereka pun mengundurkan 

diri di bawah lindungan kegelapan malam. 

Dengan demikian selesailah perang dalam negeri yang 

minta terlalu banyak korban itu. 

Semua prajurit Tuban yang tiada gugur atau terluka 

seluruhnya kembali memasuki kota dengan bersorak-sorai. 

Penduduk pun berduyun-duyun keluar dari persembunyian 

dan pengungsian untuk menyongsong mengelu-elukan. 

Para nelayan yang lari dan darat dengan perahu-

perahunya, malam itu juga memerlukan kembal» ke pantai. 

Kota Tuban seakan-akan berpesta pora. 

Orang pun bersorak memekikkan nama Wirangmandala  

dan para pemimpin pasukan balatentara Tuban. 

Ke sekian harinya inti pasukan Rajeg kembali 

melancarkan serangan. Braja menghadapi mereka dengan 

bantuan pasukan kuda. Pertempuran yang berdarah dan tak 

kenal menyerah itu berhenti pada tengah hari dengan 

tumpasnya seluruh sisa pasukan Rajeg tanpa seorang pun 

bertekuk lutut. 

Sebuah krangkeng besi telah dipasang di dermaga 

pelabuhan atas perintah Senapati. 

Beberapa hari lalu  Esteban dan Rodriguez 

dimasukkan ke dalamnya untuk disaksikan oleh dunia 

seluruh negeri bagaimana Tuban menghinakan Portugis. 

Lima belas hari lamanya setiap orang boleh menonton dan 

menghinakan dua orang itu tanpa boleh menyiksa atau 

melukai. 

Dari bandar-bandar tetangga dan kampung-kampung 

nelayan setiap hari datang kapal dan perahu yang 

mendaratkan penonton. Pelabuhan menjadi mayat i dan 

pasar bandar hidup kembali. Namun perdagangan antar-

pulau belum juga pulih. 

Saban hari Esteban dan Rodriguez bermandi peluh 

sendiri dan ludah penonton. 

Dengan keterbiasaan melihat dan menghinakan 

Peranggi, lama-kelamaan ketakutan orang pada mereka 

meruap terbang. Juga Peranggi bisa ditangkap dan 

dihinakan. 

Belum lagi lima belas hari dua orang Portugis itu jadi 

tontonan Wirangmandala  telah memerintahkan pada Braja, 

mencari sampai dapat dan menangkap mereka yang dahulu 

telah menyelewengkan terjemahan surat Rangga Iskak alias 

Iskak Indrajid alias Kiai Benggala alias Sunan Rajeg. 

Mereka didapatkan dan ditangkap tanpa kesulitan. 

Dalam sidang pemimpin-pemimpin pasukan, mereka 

dijatuhi hukuman mati dengan jalan membandul mereka 

dengan batu dan melemparkan ke laut. 

Dan kadipaten tidak berpengawal. Wirangmandala  telah 

menjatuhkan perintah pada Braja untuk tidak memasuki 

kadipaten tanpa seijinnya. Hanya punggawa yang 

diperkenankan bekerja lagi. Ia menganggap pekerjaan 

belum selesai selama Rangga Iskak belum tertangkap, hidup 

atau mati. 

Orang pun mulai bertanya-tanya mengapa kebesaran 

Sang Adipati belum juga dipulihkan, mengapa seluruh 

kekuasaan atas Tuban dapat berpindah ke tangan si anak 

desa juara gulat bernama mandala . Dahulu hanya Sang 

Adipati yang mempunyai duga sangka Wirangmandala  lah 

yang menghendaki jabatan patih seperti halnya dengan 

Gajah Mada. Sekarang orang menduga anak desa bukan 

menghendaki itu, boleh jadi ia hendak mengangkat diri jadi 

Adipati sendiri, menjadi raja, seperti Ken Arok. 

Setiap orang punya duga-sangkanya, duga sangka belaka. 

Mereka tak berani mempergunjingkannya. 

Wirangmandala  belum juga nampak pulang ke 

kesyahbandaran. 

Nyi Gede Kati setiap hari membersihkan kamar gandok 

kanan itu. Dan tidak lain dari dialah yang sangat 

mengharapkan kedatangannya untuk dapat menyampaikan 

berita tentang tengkorak  dan anak-anaknya. 

Dan berbeda dari semua orang, Syahbandar Tubanlah 

sekarang satu satunya orang yang paling takut pada anak 

desa itu. Pikirannya terpusat pada dua hal: siapa 

sesunguhnya yang berkuasa sekarang ini, Sang Adipati atau 

Sang Senapati? Bila yang pertama yang berkuasa, ia masih 

punya perlindungan dan Sang Senapati takkan meletakkan 

tangan pada kulitnya. Bila yang kedua yang berkuasa, tak 

ada jalan lain baginya dibandingkan  harus melarikan diri. Ke 

mana? Dan bagaimana? Maka disesalinya sendiri sebab  

tak menyediakan persiapan sebelumnya. Lari melalui laut 

tidak mungkin. Pasukan pengawal menjaganya dengan 

ketat. Pasukan laut pun telah dipanggil pulang dari Gresik. 

Lari ke darat juga tidak mungkin. Pasukan kaki memagari 

Tuban. Tenaga dan keberaniannya pun tidak cukup untuk 

itu. 

Dengan hati-hati ia meletakkan harapan pada 

kemungkinan pertama. Buktinya, Senapati belum juga 

mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan selama Sang 

Adipati yang berkuasa, anak desa itu harus menempuh 

jalan-jalan yang layak untuk dapat membinasakannya 

dengan perkenan Sang Adipati. Bahkan dua orang Portugis 

itu juga tidak dibunuh, adalah pertanda juga Sang Senapati 

tak berani melakukannya. 

Tentang hukuman atas para penterjemah yang tidak 

jujur, ia dan semua orang pun tak tahu duduk perkaranya. 

Ia sudah mencoba memikirkannya. Tak mampu. lalu  

ia menganggap sebab  mereka itu terlibat dalam kerusuhan. 

Dan ia sudah puas dengan anggapannya. 

namun  dua orang Peranggi itu kini yang mengganggu 

ketentemayat nnya. Ia menduga mereka akan diperas 

keterangannya sampai mengakui segala-galanya yang 

menyangkut soal meriam. Dari mana meriam itu? Boleh 

jadi tak ada yang dapat membuktikan dari mana. 

namun  mereka mengenal Yakub, dan pewarung itu jelas 

telah membawanya ke pedalaman, menyerahkannya pada 

Rangga Iskak. 

Tidak, Yakub akan membisu sampai mati selama ia 

berada di Tuban. Keselamatannya sendiri ikut dalam 

pertaruhan. Hanya bila dua orang itu menyebut-nyebut 

nama Yakub, barulah lalu  namanya akan 

dikedepankan pula. 

Tak bisa tidak hanya dua orang Peranggi itu yang bisa 

mencelakakannya. Sama saja siapa yang berkuasa, Sang 

Adipati ataukah Sang Senapati, bila namanya tersebut 

dalam persoalan meriam, jiwa juga tebusannya. Ia 

menyesali Portugis celaka yang semudah itu dapat 

ditangkap – punya meriam dan punya pengalaman perang 

begitu banyak! 

Dan ia mengenal pengadilan Pribumi – tak banyak 

membutuhkan bukti, lebih mendasarkan pada hukum 

pikiran dan suara orang banyak, tidak jarang didasarkan 

pada harapan belaka hendaknya Sang Adipati menjadi 

senang. Ia memang makin bisa bersilat lidah dan batalkan 

semua dakwaan, tapi pikiran Pribumi tidak akan 

menggubrisnya. Mereka punya cara berpikir kafir dalam 

menrsi s keadilan. Ia harus mencari jalan keselamatan…. 

Dan pada suatu pagi di antara pagi-pagi yang murung 

dan menakutkan, sedang ia duduk di kursi sambil berpikir-

pikir, datang Nyi Gede Kati membawakan kabar. Justru 

pada waktu itu ia sedang mengherani, bagaimana mungkin 

dua orang Portugis itu dapat ditangkap begitu mudah oleh 

prajurit-prajurit yang tak punya pengalaman perang di 

mana-mana. Dan tertangkap dalam keadaan hidup! 

“Mengapa Tuan kelihatan murung, pucat dan kurus? 

Tak ikut bergembira Tuan nampaknya dengan kemenangan 

Tuban”. 

“Aku sedang mencari jalan bagaimana bisa menghadap 

Gusti Adipati”. 

“Tuan biasa menghadap ke sana”. 

“Sekarang tak bisa. Kati. Para punggawa itu pun 

mengatakan Gusti selalu berkunci diri. Juga kadipaten tak 

boleh dimasuki oleh siapa pun kecuali para punggawa”. 

“Bukankah Tuan juga Punggawa?”  

“Ya, tapi bukan punggawa kadipaten”.  

“Bagaimana mungkin Tuan tak diperkenankan 

menghadap?”  

“Mana aku tahu, Kati. Cobalah tolong aku, Kati, kau 

saja datang ke sana memohonkan perkenan untukku buat 

menghadap”. 

“Bagaimana Tuan ini? Bukankah Tuan sendiri tahu 

kadipaten tertutup bagi siapa pun, apalagi sahaya?” 

“Baiklah,” katanya mengalah dan menghirup kopi. 

“Kalau begitu pergi kau ke mana saja mencari warta. Ke 

mana saja”. Ia tahu, Nyi Gede Kati menolak dan takkan 

pergi ke mana pun. Kalau demikian ia sudah senang 

perempuan itu meninggalkannya seorang diri untuk 

meneruskan pikirannya.” 

Dengan berani ia memutuskan Esteban dan Rodriguez 

harus dihabisi sebelum diadakan pengadilan. Dan 

pengadilan itu pasti akan dibesar-besarkan untuk mengejek 

dan menghina Portugis. Mereka berdua harus aku habisi 

dengan tanganku sendiri, jalan lain tak ada. Kalau tidak 

mereka akan menghabisi dua-duanya, lalu  juga aku. 

Ia bangkit dari tempatnya. Masuk ke dalam kamar dan 

menguncinya dari dalam. Dari sebuah peti yang terletak di 

pojokan ia keluarkan sebuah botol tembikar berisi cairan 

kehitaman. Dibukanya kayu hitam pada ujung tongkatnya. 

Sebilah pisau panjang sempit kehitaman muncul di depan 

matanya. Cepat-cepat ia masukkan pisau itu ke dalam 

cairan di dalam botol dan ditariknya mata pisau itu ke atas 

dan membiarkan cairan itu menetes balik ke dalam botol. 

Ia berkomat-kamit. Suaranya tergumam tak jelas. Walau 

demikian nampak ia meletakkan seluruh kepercayaannya 

pada keampuhan pisau tongkatnya. lalu  ia melatih 

diri dengan gerakan-gerakan tikam untuk berbagai jarak. 

Lengannya yang tipis dan senjatanya yang kurus bergerak 

begitu cepat seperti ular kobra yang sedang menyambar-

nyambar. Rupa-rupanya ia telah terlatih menggunakan 

senjata khusus ini. 

sesudah  keringat mulai membasahi tubuh ia berhenti, 

memasang kembali sarong kayu dan jadilah kembali bentuk 

tongkat yang semula. Ia seka muka dengan baju, 

meninggalkan kamar dan keluar dari rumah. 

Ia hendak lewatkan hari itu dengan berjalan-jalan di 

pelabuhan, di dermaga, untuk melihat-lihat keadaan, dan 

terutama untuk dapat berhadapan mata dengan orang-orang 

Portugis celaka itu. 

Ia berjalan pelan-pelan untuk melihat sampai di mana 

penjagaan pasukan pengawal. Dan ia melihat mereka sudah 

mempercayakan keselamatan Esteban dan Rodriguez pada 

aturan yang telah ditentukan dan pada kuatnya krangkeng 

besi. 

Akhirnya ia naik ke menara pelabuhan yang kini telah 

kembali dijaga oleh dua orang baru. Ia mencoba mengobrol 

sebentar, lalu  memeriksa seluruh medan bandar 

dengan cermat, menaksir orang-orang yang lalulalang, dan 

akhirnya ia mendapat keputusan dapat melaksanakan 

rencananya. 

Dari menara itu juga ia dapat melihat warung Yakub 

yang terkunci sejak balatentara Tuban masuk kembali ke 

kota. Ke mana saja buaya darat itu pergi selama ini? 

Adakah perasaannya begitu tajamnya maka dia tahu 

bahaya sedang mengancam lehernya? 

Tiba-tiba ia cemburu pada kemudaan pewarung itu yang 

mempunyai kegesitan dan ketangkasan seperti itu. Ya-ya, 

mungkin aku telah menginjak tua. 

Sementara Ini menara itu memberinya kedamaian. 

Penjaga menara itu terus mencoba untuk mengobrol 

Mereka selalu mengambil perang yang brtru saja berlalu 

sebagal pokok untuk lalu  menyanjung nyanjung 

Wirangmandala . Anak desa itu jelas menjadi bintang tuban 

yang tidak dapat diragukan lagi. Ia dengarkan obrolan 

bagaimana Senapati memancing mancing Mahmud Barjah 

untuk dapat terjauhkan dari tentaranya, dan untuk dapat 

dilecuti dengan cambuk sebagai penghianat. 

“Seorang penghianatt tak layak mendapatkan pedang, 

apalagi keris, Clambuk memang sepatutnya, cocok untuk 

seekor kera yang busuk”, kata seorang di antaranya. 

Tholib Sungkar Al Zobaid hanya mengjingguk angguk 

mengiakan dan ikut memuji-muji Syahbandar-muda itu, 

Siang itu ia tidur di menara pelabuhan Itu, dan dua 

orang penjaga itu tak mengganggunya. 

Pada sore hari ia bangun dan menuruni tangga menara, 

langsung pulang. Dan jantungnya terasa berhenti berdenyut 

waktu dilihatnya Nyi Gede Kati sedang bicara dengan 

Wirangmandala  di jalanan antara gedung utama dongan 

gandok kanan. Senapati itu menunduk tak melihat ke 

kesana kecuali ke sekitar kakinya nendiri. Dan istrinya 

sedang bicara bersungguh-sungguh. Mereka berdua tak 

melihatnya, 

Buru-buru ia masuk ke dalam rumah, ke kamar, 

lalu  pura-pura tidur. Tongkat berhulu gading itu 

tergeletak di sampingnya. 

Dan betapa lega hatinya mendengar langkah-langkah 

kaki lelaki menakutkan itu di atas jalanan kerikil itu 

meninggalkan kesyahbandaran. Ia pun jatuh tertidur. 

Makan malam itu ia hadapi dengan muka masam dan 

suram. Sehari itu ia hanya minum kahwa. 

Nyi Gede Kati, mengetahui kegelisahan suaminya pada 

hari-hari belakangan, tak lagi bertanya padanya mengapa ia 

tak suka makan. Juga ia tidak perhatikan suaminya hanya 

mengunyah-ngunyah sesuatu dan menelannya, lalu  

bangkit dan duduk-duduk di kamar tamu. Ia sendiri, tanpa 

bicara sesuatu pun lalu  masuk kedalam kamar dan 

tak keluar lagi. 

Malam itu gelap luar biasa. Mendung tebal menutup 

langit rsi h tiada terdengar sama sekali dan kerjapan kilat 

apalagi. Cuaca seperti itulah yang dikehendaki oleh 

Syahbandar Tuban. 

Lewat tengah malam. seorang diri ia berjalan 

terbongkok-bongkok seperti kakek-kakek menuju ke 

dermaga pelabuhan. Kepalanya menoleh ke mana-mana 

walau pun ia telah kendalikan agar mata saja yang melirik 

kesegala jurusan yang mungkin. namun  kegelapan malam 

yang membisikkan padanya takkan semudah itu orang 

dapat menyaksikan dirinya sering menoleh, 

Dari pancainderanya ia mengetahui tak ada seorang pun 

yang menyaksikan kehadirannya, namun  dari perasaannya 

ia tahu, ada bebeapa orang prajurit pengawal yang 

melakukan perondaan di dermaga dan dengan pedoman 

perasaannya itu juga ia menyembunyikan diri dibalik pohon 

asam menunggu mereka pergi. Ternyata perasaannya lebih 

tajam dibandingkan  pancainderanya. Waktu hujan turun ia 

dengar empat orang lari meninggalkan dermaga. 

Dengan hati-hati ia menuju dermaga dengan 

mempergunakan tongkat untuk merabai tepi jalan dan 

dermaga. laut yang Hangat dalam itu bisa menelannya. Ia 

tak bina berenang dan tidak pyrruih melakukannya dalam 

hidupnya. 

Semampainya di tempat yang dituju, sambil berpegangan 

pada jeriji krangkeng ia memanggil-manggil dalam 

Portugis: “Sini kalian, Nak, Esteban, Rodriguez! Kesini 

kalian. Masih tidur? Bangunlah, tuan Syahbandar ada di 

sini”. 

Ia dengar suara bergerak di dalam krangkeng itu, tak 

nyata, bercampur dengan bunyi deburan ombak dan 

pukulannya pada karang dermaga. Dan jantungnya pun 

berdeburan menandingi langit laut di sekitarnya. 

“Dekat-dekatlah sini, Nak. Mari kita bongkar krangkeng 

ini bersama-sama”. 

“Benarkah itu Tuan Syahbandar?” seseorang bertanya 

dalam Portugis. Suaranya lemah dan lebih tak menentu 

sebab  tiupan angin malam yang dingin. 

“Tentu saja benar. Tuan Syahbandar ada di sini. Telah 

aku sediakan perahu layar untuk kalian. Sinilah mendekat. 

Tak dapat aku membuka kunci ini seorang diri saja”. 

“Dilindungi Tuhan hendaknya Tuan ini”. 

“Jangan keras-keras bicara, Nak”, ia memperingatkan 

sambil membuka sarang pisau tongkat. “Kebetulan hujan 

sudah reda, kilat pun tiada. Ini, ini sambungan pintu”. 

“Kami sedang kena demam tinggi, Tuan”. 

“Ya-ya, aku tahu kalian terluka. Semua akan baik 

kembali di tengah laut nanti”. 

“Apa gunanya lari, Tuan, badan sakit begini, demam, 

pengelihatan rusak”, suara itu semakin mendekat dan 

getaran pada jeriji krangkeng itu memberitakan pada Tholib 

Sungkar mereka sedang merambat berjalan dengan susah-

payah untuk dapat mendekati. 

Syahbandar itu mulai merasa tangannya diraba-raba oleh 

tangan Esteban atau Rodriguez yang panas sebab  demam. 

“Kasihan kau, Nak, sakit demam begini,” dan dengan 

cepat ia tikam-kan pisau tongkatnya pada tubuh yang 

berdiri di hadapannya. 

Suatu pekikan lemah membeku ditelan deburan ombak 

memukul pada karang dermaga, menyusul bunyi badannya 

yang jatuh. 

Yang seorang lagi meraung-raung ketakutan dan 

berputar-putar di dalam krangkeng untuk menghindari maut 

yang mematuk-matuk dari sela-sela jeriji krangkeng. 

“Pembunuh! Tolong! Tolong!” pekiknya dalam Melayu. 

Gugup sebab  jeritan dan takut kalau-kalau diketahui 

orang, dengan lebih cepat lagi Syahbandar berputar 

mengelilingi krangkeng dengan terus menikam-nikamkan 

senjatanya dalam kegelapan itu ke dalam kegelapan itu ke 

dalam krangkeng. Hanya udara kosong yang diserangnya. 

Ia diam sebentar menunggu jeritan sekali lagi untuk 

menduga sasaran. Jeritan itu tak terulang lagi. Ia lakukan 

penikaman-penikaman lagi. Nafasnya mulai terengah-

engah. Rasa-rasanya ia akan jadi gila tak juga mendapatkan 

daging untuk ujung pisaunya. Di mana dia? Dalam 

krangkeng besi persegi kecil ini tak mungkin dia melepaskan 

diri. 

Dari kejauhan terdengar rsi h, menggerutu seperti 

kucing marah. Hujan mulai turun lagi. Iblis! Mana tubuh 

Portugis yang satu lagi? Dia tak boleh lepas. Sepancaran 

kilat melesit di langit seperti sebilah tombak api terlempar. 

Tiba-tiba dunia menjadi terang. Dan nampak Esteban 

sedang menggelantung dengan kaki dan tangan pada bagian 

atas krangkeng. 

“Ha! Kau di situ, Iblis!” bisik Syahbandar dan 

menikamkan pisau panjang itu pada punggung korbannya. 

Dunia kembali jadi kelam pekat. Satu raungan seperti 

keluar dari tenggorokan macan betina marah menggaruk 

udara dibarengi dengan bunyi tubuhnya yang jatuh 

menggeletak. 

Hujan menjadi lebat kembali. Kilat mulai sambar-

menyambar. 

Syahbandar kembali ke gedung utama, basah kuyup tapi 

dengan perasaan lega. 

Tak diketahuinya sepasang mata menyaksikan dari 

sebuah biduk yang sedang tertambat pada dermaga…. 

0odwo0 

 

Di dalam pelukan rimba-belantara yang dihuni oleh 

binatang-binatang buas itu terdapat sebuah bukit kecil. Di 

dalam tubuh bukit terdapat sebuah gua. Ribuan kelelawar 

bersarang di dalamnya. Ratusan ular dari berbagai jenis 

hidup makmur dari anak-anak burung atau telurnya. Dan 

tanah pada dasar rongga pekat dan tebal oleh tumpukan 

kotoran burung. Orang menamai gua ini: Gowong. 

Sekarang gua ini sepi dari burung dan ular, bahkan juga 

dari serangga. Pembakaran belerang dalam jumlah besar 

telah mengusir dan membunuh semua makhluk hidup di 

dalamnya. Dasarnya tak lagi lumpur kotoran burung, 

sebab  semua telah disingkirkan dan dilambari dengan 

balok-balok kayu persegi. Rongga itu sendiri telah dibagi 

dalam bilik-bilik dari papan kayu. 

Sisa bau belerang telah diusir dengan pembakaran 

setanggi yang terus-menerus. 

Di depan gua itu menjulur sebuah jalan setapak yang 

semakin lama semakin lebar sebab  setiap hari dilewati oleh 

beberapa belas orang yang mengangkuti peti-peti dan 

barang-barang lain untuk ditimbun di dalamnya. Jalan 

setapak yang semakin lebar itu belum lagi lama dibikin 

orang. Belum lagi lima belas hari. 

Kini gua itu telah siap untuk ditinggali. 

namun  bila orang masuk ke dalamnya, ia takkan melihat 

satu peti pun, sebab  semua itu tersimpan dalam rongga di 

bawah geladak balok kayu. Maka pedalaman gua yang 

berbilik-bilik itu nampaknya tidak berperabot. 

Yang pertama-tama meninggali gua ini adalah tengkorak  dan 

dua orang anaknya. Beberapa orang bertombak dan 

berpedang telah mengawal mereka memasuki hutan-

belantara itu dan membawanya ke mari, lalu  

menguncinya di dalam salah sebuah bilik kayu yang gelap 

berbau sisa belerang, apak-asam kotoran burung dan 

setanggi. 

Pada hari berikutnya masuk empat orang wanita, istri-

istri Kiai Benggala Sunan Rajeg. Khaidar nampak ada di 

antara mereka. Dan tak ada mereka membawa anak, sebab  

dari suami bersama mereka tiada pernah melahirkan. 

Mereka menempati kamar besar bersama-sama. Juga pintu 

kamar mereka dipasak dari luar, seperti halnya dengan bilik 

tengkorak . 

Beberapa belas pekerja berpakaian serba putih itu masih 

mengangkuti beberapa peti lagi dan beberapa bungkusan. 

Dan sesudah  semua pengangkutan selesai baru nampak 

Sunan Rajeg diiringkan oleh seorang muda tinggi 

semampai, berkumis dan tanpa jenggot, yang memikul 

bungkusan-bungkusan berat dengan empat batang tombak 

sebagai pikulan. 

Pemuda itu juga yang mengawal tengkorak  anak-beranak 

waktu menuju ke Gowong ini. 

Waktu Sunan Rajeg memasuki Gowong, pemuda 

jangkung itu tak takut. Ia pergi mengelilingi kaki bukit kecil 

itu dan berhenti di bawah sebatang pohon raksasa. Ia 

perhatikan pohon yang baru dilihatnya seumur hidup itu. 

Dan itulah pohon pelaka. 

la perhatikan tamba-tambi atau tunjangannya, rendah, 

tipis dan panjang, lalu  duduk di atas salah satu di 

antaranya. Bungkusan-bungkusan bawaannya ia jajar di 

atas tanah. 

Dengan kakinya ia mulai membersihkan tempat itu dari 

luruhan daun kering dan ranting-ranting busuk, dan mulai 

ia dengan parang membikin tungku dari cabang-cabang 

kayu. 

Seseorang datang padanya membawakan dandang dan 

kuali tembaga dan air di dalam lodong-lodong bambu. 

Seorang lagi membawakan kayu bakar dan sebuah kranjang 

rotan berisi daging rusa, 

”Kanjeng Sunan memerintahkan masak besar hari ini. 

Bumbu disediakan berlimpah-limpah. Tak pernah terjadi 

selama ini”, si jangkung mengumumkan. 

“Untuk berapa orang kau masak?” “Cukup untuk tiga 

puluh”. 

“Tentu bukan untuk kita. Mungkin akan datang banyak 

tamu nanti”,  

“Tamu siapa akan datang ke mari?” si jangkung 

menukas,  

“Makan besar buat kita semua yang ada di sini”,  

“Untuk pertama kali. Akhirnya,” orang itu berkecap-

kecap, “Bahkan masuk ke pendopo saja baru beberapa 

minggu belakangan ini kita diperbolehkan” 

Tiga orang itu mulai sibuk menyalakan api dan 

memasang beberapa dandang di atannya, serta dua belanga 

dari tembaga pula. “Asal tak hujan saja”, si Jangkung 

memperingatkan. Semua memandang ke langit yang suram 

tertutup mendung tipis. “Sudah, tolong carukkan kelapa, 

biar lebih cepat”. Bertiga mereka mencaruk kelapa sampai 

menghasilkan satu kranjang. Dan sesudah  diperas jadi 

santan si Jangkung bicara lagi: “Sudah, sana. selesaikan 

pekerjaan kalian, biar aku masak sendiri”. 

“Mengapa kita pergi ke mari, Firman?” seorang 

bertanya.  

“Mana aku tahu?” 

“Orang bilang tidak lain dari kau yang menunjukkan 

tempat ini”. namun  Mohammad Firman enggan terlibat 

dalam pembicaraan. Ia hanya mengerutkan kening, dan dua 

orang pembantunya itupun pergi menghindar. Si Jangkung 

berkumis itu memperhatikan mereka pergi, menghilang di 

dalam hutan. 

Mematuhi aturan yang diberikan oleh Sunan Rajeg, 

orang tak dibenarkan berada di dapur di waktu jurumasak 

sedang bekerja. Selama masih ada orang lain, jurumasak 

harus mengusirnya dan tidak diperkenankan memasak 

sebelum mengetahui betul, tak ada orang lain lagi di 

dekatnya. Juru masak harus tahu, tak ada orang 

mengurangi atau menambahi bahan makanan yang telah 

tersedia. 

sesudah  tinggal seorang diri baru ia mulai bersiap-siap 

dengan gulai Api yang menyala besar itu memaksa ia 

membuka baju, dan muncul barisan iga pada dadanya. Dan 

dada itu mengkilat kekunmgan sebab  warna kulitnya dan 

sebab  api yang kemerahan. 

Walau masak seorang diri untuk orang sebanyak itu 

nampak ia tak gugup atau memberengut. Dan memasak 

memang sudah pdt kesukaannya. Ia merebus