nusantara awal abad 16 18
berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih
mendengarkan dia dibandingkan dirinya.
Sekarang Panglima Rajeg itu semakin membikin hatinya
cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak
panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu
berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari
Tuban.
Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan
Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya
terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siang-
malam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil
begitu saja oleh Mahmud Barjah.
Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan
kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya:
menyingkirkan anak muda itu. namun bagaimana jalannya?
Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya.
Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di
hadapan Tuban, namun tidak punya ikatan mesra dengannya
sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada
Panglimanya.
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi
tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri.
Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan
Sunan.
Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga
lebih mendengarkan Mahmud.
Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu
pun tidak kurang memusingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata
kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala
yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan
segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh
kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau
Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah
sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan
ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blambangan, Hindu
Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya,
hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang
pertama-tama.
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan
sekali Mahmud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja
di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga
tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan Mahmud
dibandingkan Sunan.
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima
Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin
menyerahkan tahta dan mahkota itu pada Sunan. Dia akan
marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk dibandingkan Adipati
Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah
menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu
tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan
membuncah tanpa kendali.
Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan
jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu dibandingkan sepuluh
atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta
dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat
melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum
Manan dan Rois, hanya sebab mereka berdua telah
menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat
mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan
perintahnya.
Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia
kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di
manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang
masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah Demak
– satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafir-
musafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya
bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan
Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah
mempunyai sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai
patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali
sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu
ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah
seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan
lebih berilmu dibandingkan siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya
tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi
seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan
agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan
perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan
untuk dibasmi.
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya
justru Mahmud Barjah.
Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun
Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di
banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar
anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia
sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan
kanan dan kirinya, dan semua akan beres.
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada
suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah
datang menghadap.
Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap
orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya
sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji
takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus
menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat sua-
ranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia
bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya Tuban
sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?”
“Betul, Paman Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak
terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran
pertama,” jawab Mahmud tenang.
“Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing?”
“Betul, Paman, mula-mula mereka, lalu kita.”
Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal
jalannya perang juga.
“Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki Tuban
sebelum Peranggi masuk? Itu kau sendiri yang telah
tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.”
“Tidak keliru, Paman Sunan.”
“Jadi kapan Tuban dapat dimasuki?”,
“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.”
“Betul anakku, namun sekarang ini kita yang kena serang
terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau
menyerang?”
Mahmud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg
pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai
orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja
mengenal.
Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang
pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia
singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin
mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi
kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid.
“Belum lagi tahu, Paman Sunan,” jawab Mahmud.
“Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan
malam. Sunan diperkirakan tujuannya.”
“Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari
kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban
tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.”
Mahmud Barjah mengangkat muka dan dengan terheran-
heran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu
telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang
lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya
bermain-main atau bersungguh-sungguh. namun ia tidak
mengiakan.
Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu
sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor
dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang
melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
Mahmud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa
mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
Sunan Rajeg mempunyai dugaan terhadap sikapnya,
pertama, orang muda itu sebab pengalaman perangnya
dalam waktu pendek sekali telah menjadi masak dan sedang
menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat
diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke
dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya
ajal.
Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan
waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam….
Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang
ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya
menjadi pulih. Mahmud sendiri tak pernah punya gagasan
semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini
dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas
permadani pendopo.
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar
di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi
lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada
pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan
gaya dan caranya yang lama. lalu : “Mana
Mohammad Firman, itu bekas musyafir Demak? Takkan
bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau
ikut-ikut menyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur
menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap
orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Ia tidak menggunakan akal sebab ia
tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik.
Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini,
maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu
orang mendapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak
dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau
tentang mula dan tentang lalu . Itu menyalahi nikmat
yang dikaruniakan Allah kepada kita.”
“Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang
benar-benar tak dapat pulang ke negerinya sebab
pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapal-
kapal Islamlah yang lalu berdatangan dengan damai,
juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada
Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali
kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke
mari, dan tahu akibatnya? Ialah – semua penduduk Jawa ini
akan masih tetap kafir jahiliah.”
“Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam
datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi
perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak
membajak. Hanya sebab di jalan Aliahlah maka kapal-
kapal ini lebih berhasil dibandingkan armada Dampo Awang
dengan kesempatan yang sama. lalu Peranggi
datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk
memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan.
Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi
Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya
Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu
tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka kita tidak
akan membiarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua
bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda
tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan
Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja.
Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja:
lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan
ajarannya.”
“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat
untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan
membenarkan Peranggi. Membenarkan dia berarti tidak
berada di jalan Allah. Hukumnya adalah musuh. Dan
negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun
hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah
musuh Allah itu sendiri, sebab dia sudah bersekutu dengan
iblis.”
“Memang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya.
Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita
mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam
sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha
mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk
dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.”
“Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia
bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada
bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya
seperti Tuban? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini
kerajaan bandar? Kecuali Demak, dan sebab nya menyerbu
Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain?
sebab kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah
masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti
Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan
Peranggi. Kalian mengerti?”
Dan semua pendengar menjawab mengerti.
“Syukur Alhamdulillah.”.
“Syukur Alhamdulillah,” semua menggemakan. “Maka
semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi
adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya
melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di
hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya
Mahmud Barjah yang berani lakukan itu, namun ia tak ada.
“namun ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi
Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga
tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu
juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak
suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat
tangannya untuk meyakinkan. “Semua itu memang bisa
bersatu melawan Peranggi, termasuk kita – Perbegu,
Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan
Islam pertama-tama bila Tuban jatuh.” Ia terengah-engah
kehabisan nafas.
“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa
Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas
jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita
lebih maju dibandingkan Demak…. sebab apa yang kita
kerjakan selama ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan
Dampo Awang.”
“Kanjeng Sunan”, seseorang menyela, “putra mahkota
Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus
Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri
belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu
pertanda mereka jauh lebih maju dibandingkan kita?” Sunan
Rajeg tertawa melecehkan.
“Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak.
Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam
Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa?
Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa
sesungguhnya? – anak perempuan Kiai Ampel. Apakah
belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel?”
“Belum, Kanjeng Sunan”.
“Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti
Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara
dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. Kiai
Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu
Gresik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya,
orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak
perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga
bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan
gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng Gusti? sebab ,
walaupun Demak mengaku kerajaan Islam pertama-tama di
Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot
lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan
keprajaannya.”
“Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya.”
“Nanti dulu, kau, Mohammad Firman yang
berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan
baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di
Jawa. Gelar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama
ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: Glagah Wangi,
Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu? sebab memang
tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas
utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak:
melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar
tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para
wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan
satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah
mereka bunuh bemayat i-mayat i sebab perselisihan berebut
pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu,
putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke
mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa.
Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.”
“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju dibandingkan
Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera
akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi:
Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai
terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. lalu , anak-
anakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah
akan jatuh ke tangan kita. Jadi…”
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang
padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tertawa
dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh
semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal
Sunan Rajeg dan pembisiknya. lalu tertawa
meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah,
menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomat-
kamit aneh: “tengkorak , tengkorak ! Kau juga, kau!”
0o-dw-o0
Mahmud Barjah telah memutuskan mengerahkan
seluruh tentara Rajeg untuk memasuki Tuban dengan
menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara
Tuban.
Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan
kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik,
dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan
musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa
perlawanan.
Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk
meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka
yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh
itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang
membawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak mereka hiraukan.
“Allah bersama kita,” Sunan Rajeg merestui. “Hanya
Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di
tangan-Nya”.
Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan
balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wirangmandala .
Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu,
Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat
berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke
dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan
cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran
pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap
keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan
terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara
untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang
dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu
ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya
tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu
ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengira-
ngira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa
menjadi sumber bencana. namun menunggu lebih lama
adalah kebinasaan….
O0-dw-oO
Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu
menerobosi mendung putih itu.
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang
bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak
pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu
panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri
lebih dari tiga rangkulan manusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat
pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan,
sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis
putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan
jalan desa.
“Ha! itu mereka!” pengintai pertama berseru terangsang.
“Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua menambahi.
“Berminggu!” yang pertama membetulkan.
“Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat!
Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk
ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari”.
‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”.
“Nampaknya mereka berangkat malam,” kata pengintai
kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu.
“Bagaimana pun kita akan lebih dulu sampai,” jawabnya
sambil juga menuruni tangga.
“Jangan meremehkan,” pengintai kedua
memperingatkan, “biarpun kita berkuda”.
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masing-
masing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka
berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama
berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda
Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian
hormatku”.
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung
ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke
kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang.
sesudah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil,
lalu sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang
prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang
baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu
berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri.
“Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka
bergerak untuk langsung memasuki Tuban dari jalan negeri.
Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari.
Teruskan, aku akan menghadap Senapati”.
“Berapa kekuatan mereka?”
“Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan
memasuki kota pada waktu matahari tenggelam”.
Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara
rimbunan pepohonan buah.
Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada
dua orang prajurit lainnya, lalu berpacu mengikuti
pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula
ke jurusan lain.
Prajurit pengintai pertama yang menuju ke kota itu
disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan
kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka,
lalu ketiganya berangkat, menempuh jalan berlain-
lainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala
pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri.
Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar
meminggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa
menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis
yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
“Brenti!” sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan.
Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu
dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada
punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher
kuda dan tangan kanan mencambuki binatang itu. agar
berpacu terus, lebih cepat.
“Tombak!” ia dengar lagi pekikan lain.
Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan
menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah
kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak.
Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus
sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak.
Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras.
Kepalanya menengok ke kiri lalu ke kanan, mencoba
melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia
melonjak sambil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke
tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya
yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium
mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan
menyerompat iganya. Binatang itu memekik dan melarikan
diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan
mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka
kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput.
“Berpacu secepat itu pasti membawa berita,” seorang di
antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan
tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu
mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,”
katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu
dengan daun-daunan.
“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun
tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!”
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan,
lalu mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina
di kanan dan kiri jalan.
0o-dw-o0
Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak
langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertama-
tama sebab peluru-peluru Portugis yang telah
dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Ke-
dua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama
bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu.
Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama Tholib
Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu
banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi
berdagang.
Sambil melayani Yakub berkicau terus-menerus. Penutup
dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis
itu. Juga pada pagi ini.
Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki
bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di
pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia
bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan
Yakub.
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari.
Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian
seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil
tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia
tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau Melayu.
Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan
bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak
lain dibandingkan Braja.
“Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi,”
Tholib Sungkar mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar
ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia
dibikin marah”.
“Memang begitu.” Yakub meneruskan. Tak ada yang
dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja
pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang
setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging
dan tulang. Sungguh menakutkan”.
“Setidak-tidaknya, Gusti Tuan Syahbandar,” seorang
langganan lain di dekat Braja menyela, “di Tuban dia
pernah dihina dan dihalau”.
“Apa? Dihina dan dihalau?” seru Yakub, “dihina dan
dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut
lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan
Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati”.
“Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu,” Tholib
Sungkar mengegongi lagi.
“Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh.
“Dihina dan dihalau katanya Yakub”, Syahbandar itu
berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai
tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu
betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia
mendelik pada langganan di samping Braja.
“Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam Melayu
– bicara untuk pertama kali, “dibinasakan sama sekali”.
“Puh! Berapa lama Malaka jatuh? Berapa bentar Maluku
dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa
Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi:
Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar….”
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang
mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang
serba wulung nila itu tak lain dibandingkan Braja, kepala
pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak
acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat.
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh
datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih
menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung,
mendapatkan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang
sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda.
lalu kedua-duanya meninggalkan warung.
“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik.
“Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum
dikenal namanya membantah. “Bukan Braja. Braja aku
kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun”.
Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar.
“Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di
dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu
dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap Tholib Sungkar untuk
memberi simpati. “Tak pernah ada memang Peranggi
dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali”.
“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” Tholib
Sungkar mulai hidup kembali.
Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di
dekat Braja tadi juga ikut memayat ikan, tak lagi membantah.
Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui.
Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan
itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah
bukan arak.
Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat
memperhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit
pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri
terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat
ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan
ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya,
dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah
meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah
terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana.
Tombak itu jelas bukan milik tentara Tuban. “Sunan Rajeg
sudah mendekati kota,” seseorang memastikan. Semua
langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan
tombak dan binatang itu.
“Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya!”
“Ya, memang kuda tentara Tuban,” orang membenarkan.
Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan
rombongan petani tanpa barisan membawa pedang dan
tombak tentara Tuban, juga busur dan perisai.
“Itulah tentara Rajeg”, bisik Tholib Sungkar megap-
megap. Tak ada yang menanggapi.
Sebentar lalu menyusul pemikul-pemikul cetbang
di belakang rombongan kacau itu.
“Bukan balatentara Tuban”, Tholib Sungkar
meyakinkan, “jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang
memasuki kota.”
“Masyaallah, Tuan Syahbandar!” sebut Yakub, “kita
tutup kedai dengan lupa membayar minuman….”
Segera sesudah menerima laporan, Braja mengerahkan
pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan
diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan
yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg.
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajurit-
prajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain
sebab keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya.
Setiap di antara mereka dapat mempergunakan semua
macam senjata dan penunggang kuda yang mahir.
sesudah pulih dari kekecilan hati mereka menerima
balasan dari Wirangmandala , dengan pasukannya yang kecil
ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan
berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukan-
pasukan Tuban lainnya datang membantu.
Tuban yang kemayat t tidak boleh dijamah oleh tangan
pemusuh ia bersumpah.
sesudah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang,
dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit
selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan
jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan
meninjau ke seluruh medan.
0o-dw-o0
Mahmud Barjah telah memerintahkan agar tentaranya
tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang
dan gong, tidak menggunakan umbul-umbul ataupun panji-
panji, sebelum berhasil memasuki Tuban.
Ia pun telah memberikan perintah, begitu memasuki kota
semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan
melalui jalan belok dan akan memasuki Tuban melalui
pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala
kesulitan dengan cetbang.
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh
sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada
pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman
selama ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap
pemimpinnya.
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata
separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke
mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia
berangkat ke medan pertempuran.
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di
bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di
depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya.
Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam
seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak
pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri.
Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya
berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus
diperbuat.
Padang ilalang itu akan membikin pasukannya terbuka
dari serangan panah dan tombak, dan musuh telah
mendapat posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi
apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini
pun akan membikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam
melakukan serangan nyamuk menggigit kuping binatang
itu.
Ia ragu-ragu.
Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan
melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung
berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak.
Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi.
Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun
berangkat maju.
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju
dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di
tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak
panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan
tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka
menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. sesudah
lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak
dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru.
Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun tentara
musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota
dengan meninggalkan korban di jalanan.
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah
yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan
kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin
pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk
menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan
baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu
dengan formasi lebar, formasi ombak laut. namun itu pun
tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari
menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki
dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun
rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti
untuk menrsi s tunas alang-alang yang patah dalam
telapak kaki itu, lalu lari lagi. Dan tak kurang-
kurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincang-
pincang. Namun mereka bersorak gegap gempita.
Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan
tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan
para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang
lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg
terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan
barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejar-
kejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung
dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang
sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban.
Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang
melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke
keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban
pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar Danang memaki-maki sebab Maesa
Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak
menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi
gusar, sebab dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda
berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwira-
perwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih
berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan
gabungan.
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara
Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya
dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga
antara musuhnya yang dapat dirobohkan.
0o-dw-o0
Wirangmandala menerima berita tentang gerakan tentara
Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari.
Banteng Wareng yang nampak sudah kurus itu
diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang
sesudah dapat menjejak jalan mereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda.
Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus
menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali
memasuki Tuban bersama dengan seluruh pasukan gajah.
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala
Cuwil: “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat
dikerjakan. Jangan ada yang menghadap Gusti Adipati”.
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan
Banteng Wareng yang telah memasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak
lama lalu dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis
dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar sesudah kena
terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan
bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan
dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu
melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya.
Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha
berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun
kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam
dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang
terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda,
dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok.
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan
perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara sebab
sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri
yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun
terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus
mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya sebab
telah jadi bubur. namun untuk pasukan kuda tak ada suatu
rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu
matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah
nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di
atas padang rumput hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk
perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak
bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan
musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat
mempertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya
menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran
pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana
buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan
semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke
seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi
bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan
lebar.
Banteng Wareng dan Wirangmandala berpacu terus untuk
dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada
pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban
di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah
Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling
untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran.
Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan
pertempuran dan menghadap padanya.
“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!”
tegur Banteng Wareng, tanpa memperhatikan bawahannya
dan terus mengawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di
seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit
Rajeg tampak sedang mengangkuti sesuatu.
“Ya, itulah meriamnya!” seru Wirangmandala . “Maesa
Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh
pasukanmu, sergap rombongan sana itu!”
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan
pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara,
memekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!”
Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah
barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa
Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan
menggantikan yang pergi.
0o-dw-o0
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang
menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk
tempat memasang meriamnya guna menembaki Tuban.
Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka
meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri
dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu.
“Ganggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan
beri kesempatan!”
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu
meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan
menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung
cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit
dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan
lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari
mengelilingi musuhnya.
“Bantuan!” pekik Esteban alias Manan dari tengah-
tengah lingkaran.
namun suaranya tenggelam dalam keriuhan orang
berperang tanding.
“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung.
“Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya.
“Babat begundal Rangga Iskak!”
“Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!”
“Lingkar! Kepung! Hore! Hore!”
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran
kepungan makin lama makin menyempit.
“Tombak!” perintah Maesa Wulung.
“Tombak! Tombak! Tombak!” seru anakbuahnya
mengulangi.
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam
selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan
di udara.
“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda.
Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam
mulai bergelimpangan.
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit
jua.
Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa
senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan
cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang
dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap
dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin
tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan
mereka.
“Pedang!” perintah Maesa Wulung.
“Pedang! Pedang!” anakbuahnya menyambut.
Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan
berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu
mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangan-
tangan ahli dan terlatih.
Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah
digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan
sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian
mencoba meloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan
Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan
tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara
menunggu serangan.
“Lari, ayoh, lari!” Maesa Wulung berseru pada
musuhnya.
“Lari, ayoh, lari!” sorak anakbuahnya.
Mereka lari dan tidak dikejar.
Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal
bersenjatakan pedang.
“Pedang di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung.
“Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda.
“Cambuk di tangan kanan!”
“Kanan! Kanan!”
Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena
dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran
darah terputus.
“Terjang!”
‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai.
Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan
dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran
yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya
di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi
semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi
cambuk.
‘Tombak!” Rodriguez menyarani Esteban. Ia
menyambar sebatang tombak dari tangan seorang
pengawalnya yang telah rebah.
Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun membungkuk
mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu
telah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah
menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan
tiada berguna.
Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan
tombak dari tangan Rodriguez, mengelupas
pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan
pula pada mukanya.
“Panglima! Panglima!” Esteban memekik.
“Keparat!” sumpah Rodriguez.
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini
berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah.
“Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung.
Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang
setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti
ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka
telah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang
pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan
seorang prajurit kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap
dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan
meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal
berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai
dalam keadaan setengah mati
Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya
itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran.
Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk
menyelamatkan meriam mereka dan penembak-
penembaknya. Medan pertempuran makin lama makin
meluas, sebab pasukan kuda Tuban di bawah Banteng
Wareng sesudah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya
lalu berpacu ke depan dan membikin medan
pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam.
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman
cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai.
Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun.
Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah.
0o-dw-o0
23. tengkorak Jadi Sandera
Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi
melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa
menelungkup. Baru belajar miring.
sesudah melahirkannya tengkorak merasa sangat berbahagia.
Bayi ini tidak seperti Gelar. Wajahnya cerah seperti
ayahnya dan hidungnya seperti ibunya.
Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan
datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di
antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang
Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai
dipersembahkan kepada sang bayi.
Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopoh-
gopoh menrsi s kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan
anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan
oleh tengkorak .
Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering
menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah
sebab kebijaksanaannya mengirimkan tengkorak dan mandala
ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.
Kebahagiaan meliputi hati tengkorak . Bayi itu adalah
segalanya.
Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya
memberitahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban,
tengkorak dan anaknya dan Nyi Gede Kati harus diboyong dari
Awis Krambil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan Rajeg telah
bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus
diselamatkan.
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya
mereka berangkat meninggalkan Awis Krambil: tengkorak
dengan menggendong si bayi, Nyi Gede Kati yang
membawa popok bayi dan menggandeng Gelar. Barang-
barang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan
pelan-pelan.
Baik tengkorak maupun Nyi Gede Kati merasa was-was
terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati
Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru
melahirkan. Tapi mereka tak bertanya.
Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput,
yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi
Gede Kati melangsungkan perjalanan ke Tuban.
“Sendirian?”
“Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu,
tapi tanpa anak yang kau tuntun itu”.
“Bagaimana dengan Nyi Gede tengkorak nanti?”
“Begitulah perintah Senapati”.
“Biar aku bawa Gelar”.
“Tidak, jalan kau sendiri”.
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi tengkorak dan
Gelar dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu
penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di
kejauhan, baru lalu meneruskan perjalanan seorang
diri.
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi,
membawa bungkusan dan menggandeng Gelar itu tidak
diperkenankan beristirahat.
tengkorak mulai curiga.
Bayi itu pun tak boleh disusuinya.
Gelar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan
antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun
di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan
penolongnya.
Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh
suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan
keluarganya seperti ini.
Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selamatkan aku
dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.
Dan makin lama Gelar makin sering minta digendong.
Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan
pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.
“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan
diri bertanya.
“Ke mana? Ke suatu tempat di mana Wirangmandala akan
datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup
menyakitkan dan kurangajar sekaligus. sesudah itu ia tak
bertanya lagi.
Menjelang tengah malam sesudah melalui banyak desa,
barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya
dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan
pintu dipasak dari luar.
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin
tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai
menyusui anaknya sambil memijiti kaki Gelar. Ia sudah tak
dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya
sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih
tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang
pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan
kakinya masih juga sesak dan pegal.
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu
membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga.
Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala
alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit.
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat
kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada.
Dengan punggung melindungi Gelar yang masih nyenyak
dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi
bajunya telah basah diompoli bayinya.
“Ah, ah, si Upik!” tegur Sunan Rajeg dengan senyum
menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan
gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga?
Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau
kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup
kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai
perempuan?”
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan tengkorak :
“Tidak tahu,” jawabnya pendek.
“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan
Syahbandar Tuban?”
‘Tuan Syahbandar Sayid….”
“Sayid Sayid!” lelaki itu melecehkan. “Dari mana
sayidnya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat
juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku,
tengkorak .”
Suaranya membangunkan Gelar. Anak itu berdiri di atas
ambin, berteriak ketakutan.
tengkorak menengok ke belakang sejenak untuk
menenteramkan anak itu dengan memberikan
punggungnya.
Gelar mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk
leher ibunya dan mengintip Sunan Rajeg dari samping leher
ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin.
“Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan
menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut,
tengkorak . Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan
Rajeg di desamu Awis Krambil? Inilah aku, tengkorak ”.
tengkorak tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia
justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik
tangannya..
Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak
menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap
tertuju pada tangan Sunan Rajeg.
“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali
berturut pujaan Tuban. Di sini, tengkorak , kau bukan pujaan
siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wirangmandala ”.
Ia menunggu sambutan. tengkorak tetap membisu.
“Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu
tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah
kemerahan sebab tersinggung. “Tahu kau mengapa di
sini?” ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan
kemarahannya.
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang
mulai membanyak.
Mengetahui tengkorak tak juga bicara ia meneruskan dengan
gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan
ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini.
Suamimu Wirangmandala , si anak desa tak tahu di untung
itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban.
Bukan sebab pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan
aku tengkorak , tapi asalnya! Asalnya! sebab bukan ningrat,
hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak
jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka
perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa
maunya. Mengerti kau?”
Gelar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si
bayi menggerayangkan tangan pada dada tengkorak .
Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan
meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan
simpati yang ikhlas.
“Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau.
Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu
akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan
kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke
Tuban. Sekiranya kau dulu memilih jadi selir, memang
semua tidak akan begini jadinya, tengkorak ”.
Gelar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya.
Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan
perhatian pada anak itu.
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada Gelar:
“Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan mandala ?
Ah, Kau. tengkorak pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati
jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu”.
Ia diam memperhatikan Gelar yang sekarang mencoba
menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan
Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua
lelaki, tengkorak ! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya,
matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya
sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat
dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau
memang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi,
yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi
tengkorak mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya
menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus
selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan
diterimanya dengan menunduk.
“Malu? Pura-pura malu?”
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat
kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut,
seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku
sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan menggugat seperti
itu”.
“sebab dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama
kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban.
Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu,
kalau bukan sebab dungunya, dia takkan mungkin berani
mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi peng-
halangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi
selatan ini”.
“Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban,”
tengkorak berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak
menakutkan Gelar, dan bangga ia istri Wirangmandala .
“Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak
ragamnya.”
“Hanya suamiku yang menilai diriku”.
“Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak
setia patut bangga pada suaminya yang dungu”.
“Kalau yang menilai itu Wirangmandala , Sunan,” tengkorak
berkata lebih lunak lagi. “Wirangmandala Senapati Tuban,
tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya,
terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang”.
“Kau memang bijaksana, perempuan!” Sunan Rajeg
tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami
dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti
dalam dongeng, tengkorak . Tapi biarlah, justru sebab suamimu
memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia
akan datang kemari. Dia musuhku”.
“Ya, Sunan.”
“Tak ada yang menyebut aku Sunan – Kanjeng Sunan.”
“Ya, Kanjeng Sunan”.
“Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa
kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku.
Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di
hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati
menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata
itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga.
Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan
muhrim”.
tengkorak dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu
sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi
hatinya sakit sebab hal yang lain: penghinaan terhadap
tariannya. rsi -rsi nya telah membikin ia jadi seorang
penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan
berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang
satu ini justru menghinanya?
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari
menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga
tahankan se