nusantara awal abad 16 18

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 18


 


berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih 

mendengarkan dia dibandingkan  dirinya. 

Sekarang Panglima Rajeg itu semakin membikin hatinya 

cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak 

panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu 

berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari 

Tuban. 

Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan 

Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya 

terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siang-

malam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil 

begitu saja oleh Mahmud Barjah. 

Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan 

kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: 

menyingkirkan anak muda itu. namun  bagaimana jalannya? 

Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. 

Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di 

hadapan Tuban, namun  tidak punya ikatan mesra dengannya 

sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada 

Panglimanya. 

Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi 

tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri. 

Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan 

Sunan. 

Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga 

lebih mendengarkan Mahmud. 

Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu 

pun tidak kurang memusingkan. 

Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata 

kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala 

yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan 

segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh 

kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau 

Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah 

sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan 

ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blambangan, Hindu 

Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya, 

hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang 

pertama-tama. 

Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan 

sekali Mahmud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja 

di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga 

tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan Mahmud 

dibandingkan  Sunan. 

Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima 

Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin 

menyerahkan tahta dan mahkota itu pada Sunan. Dia akan 

marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk dibandingkan  Adipati 

Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah 

menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu 

tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan 

membuncah tanpa kendali. 

Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan 

jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu dibandingkan  sepuluh 

atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta 

dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat 

melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum 

Manan dan Rois, hanya sebab  mereka berdua telah 

menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat 

mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan 

perintahnya. 

Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia 

kehendaki. 

Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di 

manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang 

masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah Demak 

– satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafir-

musafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya 

bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan 

Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah 

mempunyai sikap pasti akan dirinya. 

Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai 

patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali 

sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu 

ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah 

seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan 

lebih berilmu dibandingkan  siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya 

tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi 

seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan 

agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan 

perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan 

untuk dibasmi. 

Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya 

justru Mahmud Barjah. 

Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun 

Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di 

banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar 

anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia 

sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan 

kanan dan kirinya, dan semua akan beres. 

Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada 

suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah 

datang menghadap. 

Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap 

orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya 

sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji 

takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus 

menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat sua-

ranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia 

bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya Tuban 

sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?” 

“Betul, Paman Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak 

terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran 

pertama,” jawab Mahmud tenang. 

“Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing?” 

“Betul, Paman, mula-mula mereka, lalu  kita.” 

Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal 

jalannya perang juga. 

“Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki Tuban 

sebelum Peranggi masuk? Itu kau sendiri yang telah 

tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.” 

“Tidak keliru, Paman Sunan.” 

“Jadi kapan Tuban dapat dimasuki?”, 

“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.” 

“Betul anakku, namun  sekarang ini kita yang kena serang 

terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau 

menyerang?” 

Mahmud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg 

pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai 

orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja 

mengenal. 

Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang 

pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia 

singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin 

mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi 

kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid. 

“Belum lagi tahu, Paman Sunan,” jawab Mahmud. 

“Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan 

malam. Sunan diperkirakan tujuannya.” 

“Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari 

kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban 

tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.” 

Mahmud Barjah mengangkat muka dan dengan terheran-

heran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu 

telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang 

lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya 

bermain-main atau bersungguh-sungguh. namun  ia tidak 

mengiakan. 

Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu 

sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor 

dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang 

melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang. 

Mahmud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa 

mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya. 

Sunan Rajeg mempunyai dugaan terhadap sikapnya, 

pertama, orang muda itu sebab  pengalaman perangnya 

dalam waktu pendek sekali telah menjadi masak dan sedang 

menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat 

diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke 

dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya 

ajal. 

Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan 

waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam…. 

Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang 

ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya 

menjadi pulih. Mahmud sendiri tak pernah punya gagasan 

semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini 

dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas 

permadani pendopo. 

Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar 

di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi 

lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada 

pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan 

gaya dan caranya yang lama. lalu : “Mana 

Mohammad Firman, itu bekas musyafir Demak? Takkan 

bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau 

ikut-ikut menyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur 

menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap 

orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan 

oleh Allah kepadanya. Ia tidak menggunakan akal sebab  ia 

tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik. 

Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini, 

maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu 

orang mendapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak 

dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau 

tentang mula dan tentang lalu . Itu menyalahi nikmat 

yang dikaruniakan Allah kepada kita.” 

“Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang 

benar-benar tak dapat pulang ke negerinya sebab  

pergantian kaisar, bukan? Allah Maha Besar! Maka kapal-

kapal Islamlah yang lalu  berdatangan dengan damai, 

juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada 

Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali 

kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke 

mari, dan tahu akibatnya? Ialah – semua penduduk Jawa ini 

akan masih tetap kafir jahiliah.” 

“Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam 

datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi 

perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak 

membajak. Hanya sebab  di jalan Aliahlah maka kapal-

kapal ini lebih berhasil dibandingkan  armada Dampo Awang 

dengan kesempatan yang sama. lalu  Peranggi 

datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk 

memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. 

Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi 

Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya 

Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu 

tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka kita tidak 

akan membiarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua 

bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda 

tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan 

Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. 

Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: 

lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan 

ajarannya.” 

“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat 

untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan 

membenarkan Peranggi. Membenarkan dia berarti tidak 

berada di jalan Allah. Hukumnya adalah musuh. Dan 

negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun 

hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah 

musuh Allah itu sendiri, sebab  dia sudah bersekutu dengan 

iblis.” 

“Memang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya. 

Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita 

mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam 

sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha 

mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk 

dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.” 

“Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia 

bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada 

bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya 

seperti Tuban? Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini 

kerajaan bandar? Kecuali Demak, dan sebab nya menyerbu 

Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain? 

sebab  kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah 

masuk hitungan? Kalau semua kerajaan bersikap seperti 

Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan 

Peranggi. Kalian mengerti?” 

Dan semua pendengar menjawab mengerti. 

“Syukur Alhamdulillah.”.  

“Syukur Alhamdulillah,” semua menggemakan. “Maka 

semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi 

adalah musuh kita,” ia terbatuk-batuk. Badannya 

melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di 

hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya 

Mahmud Barjah yang berani lakukan itu, namun  ia tak ada. 

“namun  ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi 

Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga 

tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu 

juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak 

suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita,” ia angkat 

tangannya untuk meyakinkan. “Semua itu memang bisa 

bersatu melawan Peranggi, termasuk kita – Perbegu, 

Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan 

Islam pertama-tama bila Tuban jatuh.” Ia terengah-engah 

kehabisan nafas. 

“Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa 

Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas 

jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita 

lebih maju dibandingkan  Demak…. sebab  apa yang kita 

kerjakan selama ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan 

Dampo Awang.” 

“Kanjeng Sunan”, seseorang menyela, “putra mahkota 

Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus 

Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri 

belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu 

pertanda mereka jauh lebih maju dibandingkan  kita?” Sunan 

Rajeg tertawa melecehkan. 

“Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak. 

Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam 

Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa? 

Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa 

sesungguhnya? – anak perempuan Kiai Ampel. Apakah 

belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel?” 

“Belum, Kanjeng Sunan”. 

“Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti 

Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara 

dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. Kiai 

Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu 

Gresik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya, 

orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak 

perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga 

bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan 

gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng Gusti? sebab , 

walaupun Demak mengaku kerajaan Islam pertama-tama di 

Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot 

lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan 

keprajaannya.” 

“Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya.” 

“Nanti dulu, kau, Mohammad Firman yang 

berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan 

baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di 

Jawa. Gelar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama 

ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: Glagah Wangi, 

Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu? sebab  memang 

tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas 

utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak: 

melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar 

tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para 

wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan 

satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah 

mereka bunuh bemayat i-mayat i sebab  perselisihan berebut 

pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu, 

putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke 

mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. 

Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.” 

“Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju dibandingkan  

Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera 

akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi: 

Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai 

terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. lalu , anak-

anakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah 

akan jatuh ke tangan kita. Jadi…” 

Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang 

padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg 

mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu  tertawa 

dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh 

semuanya bubar. 

Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal 

Sunan Rajeg dan pembisiknya. lalu  tertawa 

meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, 

menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomat-

kamit aneh: “tengkorak , tengkorak ! Kau juga, kau!” 

0o-dw-o0 

 

Mahmud Barjah telah memutuskan mengerahkan 

seluruh tentara Rajeg untuk memasuki Tuban dengan 

menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara 

Tuban. 

Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan 

kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, 

dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan 

musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa 

perlawanan. 

Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk 

meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka 

yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh 

itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang 

membawa perbekalan dan alat-alat sendiri. 

Hujan dan dingin tak mereka hiraukan. 

“Allah bersama kita,” Sunan Rajeg merestui. “Hanya 

Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di 

tangan-Nya”. 

Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan 

balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wirangmandala . 

Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, 

Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat 

berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke 

dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi. 

Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan 

cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran 

pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap 

keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan 

terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara 

untuk menumpasnya. 

Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang 

dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu 

ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya 

tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu 

ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengira-

ngira kan. 

Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa 

menjadi sumber bencana. namun  menunggu lebih lama 

adalah kebinasaan…. 

O0-dw-oO 

 

Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu 

menerobosi mendung putih itu. 

Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang 

bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak 

pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu 

panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri 

lebih dari tiga rangkulan manusia. 

Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat 

pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, 

sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis 

putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan 

jalan desa. 

“Ha! itu mereka!” pengintai pertama berseru terangsang.  

“Berhari-hari ditunggu…,” yang kedua menambahi.  

“Berminggu!” yang pertama membetulkan.  

“Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa? Lihat! 

Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk 

ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari”.  

‘Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu”.  

“Nampaknya mereka berangkat malam,” kata pengintai 

kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu. 

“Bagaimana pun kita akan lebih dulu sampai,” jawabnya 

sambil juga menuruni tangga. 

“Jangan meremehkan,” pengintai kedua 

memperingatkan, “biarpun kita berkuda”. 

Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masing-

masing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka 

berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama 

berpesan: “Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda 

Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian 

hormatku”. 

Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung 

ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke 

kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang. 

sesudah  padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, 

lalu  sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang 

prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang 

baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu 

berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri. 

“Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka 

bergerak untuk langsung memasuki Tuban dari jalan negeri. 

Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. 

Teruskan, aku akan menghadap Senapati”. 

“Berapa kekuatan mereka?” 

“Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan 

memasuki kota pada waktu matahari tenggelam”. 

Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara 

rimbunan pepohonan buah. 

Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada 

dua orang prajurit lainnya, lalu  berpacu mengikuti 

pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula 

ke jurusan lain. 

Prajurit pengintai pertama yang menuju ke kota itu 

disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan 

kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka, 

lalu  ketiganya berangkat, menempuh jalan berlain-

lainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala 

pasukan pengawal, Braja. 

Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. 

Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar 

meminggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa 

menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis 

yang rimbun dengan semak-semak petai cina. 

“Brenti!” sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan. 

Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu 

dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada 

punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher 

kuda dan tangan kanan mencambuki binatang itu. agar 

berpacu terus, lebih cepat. 

“Tombak!” ia dengar lagi pekikan lain. 

Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan 

menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah 

kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak. 

Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus 

sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak. 

Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. 

Kepalanya menengok ke kiri lalu  ke kanan, mencoba 

melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia 

melonjak sambil menjerit. 

Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke 

tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya 

yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium 

mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan 

menyerompat iganya. Binatang itu memekik dan melarikan 

diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul. 

Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan 

mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka 

kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput. 

“Berpacu secepat itu pasti membawa berita,” seorang di 

antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan 

tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu 

mencabutnya. “Dalam lodong pelupuknya ada lontar,” 

katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu 

dengan daun-daunan. 

“Lebih baik lagi,” sambung yang lain. “Lisan maupun 

tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!” 

Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan, 

lalu  mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina 

di kanan dan kiri jalan. 

0o-dw-o0 

 

Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak 

langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertama-

tama sebab  peluru-peluru Portugis yang telah 

dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Ke-

dua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama 

bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu. 

Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama Tholib 

Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu 

banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi 

berdagang. 

Sambil melayani Yakub berkicau terus-menerus. Penutup 

dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis 

itu. Juga pada pagi ini. 

Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki 

bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di 

pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia 

bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan 

Yakub. 

Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. 

Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian 

seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil 

tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia 

tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau Melayu. 

Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan 

bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak 

lain dibandingkan  Braja. 

“Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi,” 

Tholib Sungkar mengegongi. “Kerajaan-kerajaan besar 

ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia 

dibikin marah”. 

“Memang begitu.” Yakub meneruskan. Tak ada yang 

dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja 

pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang 

setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging 

dan tulang. Sungguh menakutkan”. 

“Setidak-tidaknya, Gusti Tuan Syahbandar,” seorang 

langganan lain di dekat Braja menyela, “di Tuban dia 

pernah dihina dan dihalau”. 

“Apa? Dihina dan dihalau?” seru Yakub, “dihina dan 

dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut 

lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan 

Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati”. 

“Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu,” Tholib 

Sungkar mengegongi lagi. 

“Dihina dan dihalau!” langganan itu berkukuh. 

“Dihina dan dihalau katanya Yakub”, Syahbandar itu 

berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai 

tongkatnya. ‘Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu 

betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang?” ia 

mendelik pada langganan di samping Braja. 

“Yang akan datang?” Braja ikut campur, dalam Melayu 

– bicara untuk pertama kali, “dibinasakan sama sekali”. 

“Puh! Berapa lama Malaka jatuh? Berapa bentar Maluku 

dikuasai? Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa 

Tenggara? Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: 

Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar….” 

Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang 

mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang 

serba wulung nila itu tak lain dibandingkan  Braja, kepala 

pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak 

acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat. 

Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh 

datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih 

menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung, 

mendapatkan Braja. 

Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang 

sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. 

lalu  kedua-duanya meninggalkan warung. 

“Bukankah itu Braja?” seorang langganan berbisik. 

“Bukan!” seorang langganan lain yang juga belum 

dikenal namanya membantah. “Bukan Braja. Braja aku 

kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun”. 

Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar. 

“Tuh! Orang tak tahu persoalan,” langganan yang duduk di 

dekat Braja tadi mengulas, “pedagang biasanya lebih tahu 

dari petani, ini lebih dungu,” ia tatap Tholib Sungkar untuk 

memberi simpati. “Tak pernah ada memang Peranggi 

dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali”. 

“Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya,” Tholib 

Sungkar mulai hidup kembali. 

Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di 

dekat Braja tadi juga ikut memayat ikan, tak lagi membantah. 

Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui. 

Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan 

itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah 

bukan arak. 

Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat 

memperhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit 

pengawal. 

Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri 

terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat 

ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan 

ajaib. 

Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, 

dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah 

meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah 

terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana. 

Tombak itu jelas bukan milik tentara Tuban. “Sunan Rajeg 

sudah mendekati kota,” seseorang memastikan. Semua 

langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan 

tombak dan binatang itu. 

“Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya!” 

“Ya, memang kuda tentara Tuban,” orang membenarkan. 

Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan 

rombongan petani tanpa barisan membawa pedang dan 

tombak tentara Tuban, juga busur dan perisai. 

“Itulah tentara Rajeg”, bisik Tholib Sungkar megap-

megap. Tak ada yang menanggapi. 

Sebentar lalu  menyusul pemikul-pemikul cetbang 

di belakang rombongan kacau itu. 

“Bukan balatentara Tuban”, Tholib Sungkar 

meyakinkan, “jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang 

memasuki kota.” 

“Masyaallah, Tuan Syahbandar!” sebut Yakub, “kita 

tutup kedai dengan lupa membayar minuman….” 

Segera sesudah  menerima laporan, Braja mengerahkan 

pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan 

diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan 

yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg. 

Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajurit-

prajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain 

sebab  keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya. 

Setiap di antara mereka dapat mempergunakan semua 

macam senjata dan penunggang kuda yang mahir. 

sesudah  pulih dari kekecilan hati mereka menerima 

balasan dari Wirangmandala , dengan pasukannya yang kecil 

ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan 

berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukan-

pasukan Tuban lainnya datang membantu. 

Tuban yang kemayat t tidak boleh dijamah oleh tangan 

pemusuh ia bersumpah. 

sesudah  sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, 

dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit 

selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan 

jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan 

meninjau ke seluruh medan. 

0o-dw-o0 

 

Mahmud Barjah telah memerintahkan agar tentaranya 

tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang 

dan gong, tidak menggunakan umbul-umbul ataupun panji-

panji, sebelum berhasil memasuki Tuban. 

Ia pun telah memberikan perintah, begitu memasuki kota 

semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana. 

Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan 

melalui jalan belok dan akan memasuki Tuban melalui 

pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala 

kesulitan dengan cetbang. 

Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh 

sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada 

pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman 

selama ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap 

pemimpinnya. 

Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata 

separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke 

mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia 

berangkat ke medan pertempuran. 

Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di 

bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di 

depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya. 

Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam 

seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak 

pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri. 

Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya 

berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus 

diperbuat. 

Padang ilalang itu akan membikin pasukannya terbuka 

dari serangan panah dan tombak, dan musuh telah 

mendapat posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi 

apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini 

pun akan membikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam 

melakukan serangan nyamuk menggigit kuping binatang 

itu. 

Ia ragu-ragu. 

Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan 

melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung 

berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak. 

Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi. 

Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun 

berangkat maju. 

Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju 

dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di 

tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak 

panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan 

tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka 

menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. sesudah  

lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak 

dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru. 

Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun tentara 

musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota 

dengan meninggalkan korban di jalanan. 

Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah 

yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan 

kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin 

pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk 

menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan 

baris lebar. 

Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu 

dengan formasi lebar, formasi ombak laut. namun  itu pun 

tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari 

menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki 

dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun 

rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti 

untuk menrsi s tunas alang-alang yang patah dalam 

telapak kaki itu, lalu  lari lagi. Dan tak kurang-

kurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincang-

pincang. Namun mereka bersorak gegap gempita. 

Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan 

tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan 

para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang 

lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg 

terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan 

barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejar-

kejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung 

dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang 

sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban. 

Demikian seterusnya, terputus bila terpm&m serangan yang 

melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke 

keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban 

pada ke dua belah pihak. 

Antara sebentar Danang memaki-maki sebab  Maesa 

Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak 

menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi 

gusar, sebab  dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda 

berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwira-

perwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih 

berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan 

gabungan. 

Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara 

Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya 

dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga 

antara musuhnya yang dapat dirobohkan. 

0o-dw-o0 

 

Wirangmandala  menerima berita tentang gerakan tentara 

Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. 

Banteng Wareng yang nampak sudah kurus itu 

diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang 

sesudah  dapat menjejak jalan mereka. 

Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. 

Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus 

menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali 

memasuki Tuban bersama dengan seluruh pasukan gajah. 

Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala 

Cuwil: “Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat 

dikerjakan. Jangan ada yang menghadap Gusti Adipati”. 

Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan 

Banteng Wareng yang telah memasuki hutan. 

Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak 

lama lalu  dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis 

dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar sesudah  kena 

terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan 

bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan 

dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu 

melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya. 

Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha 

berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun 

kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam 

dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang 

terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, 

dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok. 

Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan 

perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara sebab  

sulitnya medan. 

Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri 

yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun 

terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus 

mesanggrah di udara terbuka. 

Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya sebab  

telah jadi bubur. namun  untuk pasukan kuda tak ada suatu 

rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu 

matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah 

nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di 

atas padang rumput hijau. 

Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk 

perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak 

bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan 

musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan. 

Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat 

mempertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya 

menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran 

pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana 

buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan 

semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke 

seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi 

bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan 

lebar. 

Banteng Wareng dan Wirangmandala  berpacu terus untuk 

dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada 

pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban 

di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah 

Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling 

untuk ditumpas. 

Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. 

Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan 

pertempuran dan menghadap padanya. 

“Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok!” 

tegur Banteng Wareng, tanpa memperhatikan bawahannya 

dan terus mengawasi jalannya pertempuran. 

Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di 

seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit 

Rajeg tampak sedang mengangkuti sesuatu. 

“Ya, itulah meriamnya!” seru Wirangmandala . “Maesa 

Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh 

pasukanmu, sergap rombongan sana itu!” 

Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan 

pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara, 

memekik: “Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!” 

Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah 

barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa 

Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan 

menggantikan yang pergi. 

0o-dw-o0 

 

Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang 

menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk 

tempat memasang meriamnya guna menembaki Tuban. 

Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka 

meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri 

dalam lingkaran pasukan pengawal. 

Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. 

“Ganggu mereka!” perintah Maesa Wulung. “Jangan 

beri kesempatan!” 

Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu 

meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan 

menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung 

cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit 

dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan 

lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari 

mengelilingi musuhnya. 

“Bantuan!” pekik Esteban alias Manan dari tengah-

tengah lingkaran. 

namun  suaranya tenggelam dalam keriuhan orang 

berperang tanding. 

“Lingkar! Kepung!” perintah Maesa Wulung. 

“Lingkar! Kepung! Hore!” sambut anakbuahnya. 

“Babat begundal Rangga Iskak!” 

“Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan!” 

“Lingkar! Kepung! Hore! Hore!” 

Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran 

kepungan makin lama makin menyempit. 

“Tombak!” perintah Maesa Wulung. 

“Tombak! Tombak! Tombak!” seru anakbuahnya 

mengulangi. 

Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam 

selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan 

di udara. 

“Lepas!” dan tombak pun belepasan dari atas kuda. 

Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam 

mulai bergelimpangan. 

Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit 

jua. 

Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa 

senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan 

cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang 

dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap 

dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat. 

Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin 

tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan 

mereka. 

“Pedang!” perintah Maesa Wulung. 

“Pedang! Pedang!” anakbuahnya menyambut. 

Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan 

berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu 

mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangan-

tangan ahli dan terlatih. 

Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah 

digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan 

sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian 

mencoba meloloskan diri dari kepungan. 

Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan 

Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan 

tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara 

menunggu serangan. 

“Lari, ayoh, lari!” Maesa Wulung berseru pada 

musuhnya. 

“Lari, ayoh, lari!” sorak anakbuahnya. 

Mereka lari dan tidak dikejar. 

Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal 

bersenjatakan pedang. 

“Pedang di tangan kiri!” perintah Maesa Wulung. 

“Kiri! Kiri!” sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. 

“Cambuk di tangan kanan!” 

“Kanan! Kanan!” 

Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena 

dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran 

darah terputus. 

“Terjang!” 

‘Terjang! Terjang!” sorak-sorai. 

Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan 

dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran 

yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya 

di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi 

semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi 

cambuk. 

‘Tombak!” Rodriguez menyarani Esteban. Ia 

menyambar sebatang tombak dari tangan seorang 

pengawalnya yang telah rebah. 

Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun membungkuk 

mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu 

telah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah 

menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan 

tiada berguna. 

Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan 

tombak dari tangan Rodriguez, mengelupas 

pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan 

pula pada mukanya. 

“Panglima! Panglima!” Esteban memekik. 

“Keparat!” sumpah Rodriguez. 

Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini 

berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah. 

“Tangkap hidup-hidup!” teriak Maesa Wulung. 

Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang 

setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti 

ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka 

telah terikat ke belakang. 

Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang 

pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan 

seorang prajurit kuda 

Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap 

dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan 

meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal 

berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai 

dalam keadaan setengah mati 

Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya 

itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran. 

Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk 

menyelamatkan meriam mereka dan penembak-

penembaknya. Medan pertempuran makin lama makin 

meluas, sebab  pasukan kuda Tuban di bawah Banteng 

Wareng sesudah  mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya 

lalu  berpacu ke depan dan membikin medan 

pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam. 

Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman 

cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai. 

Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. 

Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah. 

0o-dw-o0 

 

23. tengkorak  Jadi Sandera 

Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi 

melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa 

menelungkup. Baru belajar miring. 

sesudah  melahirkannya tengkorak  merasa sangat berbahagia. 

Bayi ini tidak seperti Gelar. Wajahnya cerah seperti 

ayahnya dan hidungnya seperti ibunya. 

Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan 

datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di 

antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang 

Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai 

dipersembahkan kepada sang bayi. 

Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopoh-

gopoh menrsi s kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan 

anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan 

oleh tengkorak . 

Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering 

menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah 

sebab  kebijaksanaannya mengirimkan tengkorak  dan mandala  

ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu. 

Kebahagiaan meliputi hati tengkorak . Bayi itu adalah 

segalanya. 

Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya 

memberitahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban, 

tengkorak  dan anaknya dan Nyi Gede Kati harus diboyong dari 

Awis Krambil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan Rajeg telah 

bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus 

diselamatkan. 

Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya 

mereka berangkat meninggalkan Awis Krambil: tengkorak  

dengan menggendong si bayi, Nyi Gede Kati yang 

membawa popok bayi dan menggandeng Gelar. Barang-

barang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan 

pelan-pelan. 

Baik tengkorak  maupun Nyi Gede Kati merasa was-was 

terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati 

Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru 

melahirkan. Tapi mereka tak bertanya. 

Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput, 

yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi 

Gede Kati melangsungkan perjalanan ke Tuban. 

“Sendirian?” 

“Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu, 

tapi tanpa anak yang kau tuntun itu”. 

“Bagaimana dengan Nyi Gede tengkorak  nanti?” 

“Begitulah perintah Senapati”. 

“Biar aku bawa Gelar”. 

“Tidak, jalan kau sendiri”. 

Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi tengkorak  dan 

Gelar dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu 

penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di 

kejauhan, baru lalu  meneruskan perjalanan seorang 

diri. 

Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi, 

membawa bungkusan dan menggandeng Gelar itu tidak 

diperkenankan beristirahat. 

tengkorak  mulai curiga. 

Bayi itu pun tak boleh disusuinya. 

Gelar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan 

antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun 

di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan 

penolongnya. 

Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh 

suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan 

keluarganya seperti ini. 

Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selamatkan aku 

dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini. 

Dan makin lama Gelar makin sering minta digendong. 

Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan 

pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu. 

“Ke mana kami akan dibawa?” sekali ia memberanikan 

diri bertanya. 

“Ke mana? Ke suatu tempat di mana Wirangmandala  akan 

datang dan menemui matinya,” jawaban yang cukup 

menyakitkan dan kurangajar sekaligus. sesudah  itu ia tak 

bertanya lagi. 

Menjelang tengah malam sesudah  melalui banyak desa, 

barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya 

dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan 

pintu dipasak dari luar. 

Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin 

tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai 

menyusui anaknya sambil memijiti kaki Gelar. Ia sudah tak 

dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya 

sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi. 

Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih 

tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang 

pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan 

kakinya masih juga sesak dan pegal. 

Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu 

membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga. 

Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala 

alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit. 

Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat 

kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada. 

Dengan punggung melindungi Gelar yang masih nyenyak 

dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi 

bajunya telah basah diompoli bayinya. 

“Ah, ah, si Upik!” tegur Sunan Rajeg dengan senyum 

menggigit, “lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan 

gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga? 

Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau 

kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu? Cukup 

kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai 

perempuan?” 

Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan tengkorak : 

“Tidak tahu,” jawabnya pendek. 

“Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan 

Syahbandar Tuban?” 

‘Tuan Syahbandar Sayid….” 

“Sayid Sayid!” lelaki itu melecehkan. “Dari mana 

sayidnya si iblis itu? Ya, tentu dari iblis dan setan laknat 

juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, 

tengkorak .” 

Suaranya membangunkan Gelar. Anak itu berdiri di atas 

ambin, berteriak ketakutan. 

tengkorak  menengok ke belakang sejenak untuk 

menenteramkan anak itu dengan memberikan 

punggungnya. 

Gelar mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk 

leher ibunya dan mengintip Sunan Rajeg dari samping leher 

ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin. 

“Mengapa pada takut padaku? Apakah aku kelihatan 

menakutkan?” orang itu bertanya. “Kau sendiri juga takut, 

tengkorak . Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan 

Rajeg di desamu Awis Krambil? Inilah aku, tengkorak ”. 

tengkorak  tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia 

justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik 

tangannya.. 

Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak 

menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap 

tertuju pada tangan Sunan Rajeg. 

“Kau, Upik, siapa tidak tahu kau? Juara tari tiga kali 

berturut pujaan Tuban. Di sini, tengkorak , kau bukan pujaan 

siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wirangmandala ”. 

Ia menunggu sambutan. tengkorak  tetap membisu. 

“Mengapa diam saja? Masih takut?” melihat wanita itu 

tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah 

kemerahan sebab  tersinggung. “Tahu kau mengapa di 

sini?” ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan 

kemarahannya. 

Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang 

mulai membanyak. 

Mengetahui tengkorak  tak juga bicara ia meneruskan dengan 

gaya pemain panggung: “Bukan salahku, kau didatangkan 

ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. 

Suamimu Wirangmandala , si anak desa tak tahu di untung 

itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban. 

Bukan sebab  pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan 

aku tengkorak , tapi asalnya! Asalnya! sebab  bukan ningrat, 

hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak 

jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka 

perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa 

maunya. Mengerti kau?” 

Gelar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si 

bayi menggerayangkan tangan pada dada tengkorak . 

Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan 

meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan 

simpati yang ikhlas. 

“Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau. 

Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu 

akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan 

kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke 

Tuban. Sekiranya kau dulu memilih jadi selir, memang 

semua tidak akan begini jadinya, tengkorak ”. 

Gelar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya. 

Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan 

perhatian pada anak itu. 

Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada Gelar: 

“Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan mandala ? 

Ah, Kau. tengkorak  pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati 

jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu”. 

Ia diam memperhatikan Gelar yang sekarang mencoba 

menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan 

Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: “Kau layani dua 

lelaki, tengkorak ! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya, 

matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya 

sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat 

dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau 

memang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi, 

yang lain anak dungu begundal munafik” Tak tahan lagi 

tengkorak  mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya 

menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus 

selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan 

diterimanya dengan menunduk. 

“Malu? Pura-pura malu?” 

Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat 

kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut, 

seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: “Suamiku 

sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan menggugat seperti 

itu”. 

“sebab  dia dungu. Sedikit saja cerdik… takkan lama 

kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban. 

Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu, 

kalau bukan sebab  dungunya, dia takkan mungkin berani 

mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi peng-

halangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi 

selatan ini”. 

“Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban,” 

tengkorak  berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak 

menakutkan Gelar, dan bangga ia istri Wirangmandala . 

“Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak 

ragamnya.” 

“Hanya suamiku yang menilai diriku”. 

“Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak 

setia patut bangga pada suaminya yang dungu”. 

“Kalau yang menilai itu Wirangmandala , Sunan,” tengkorak  

berkata lebih lunak lagi. “Wirangmandala  Senapati Tuban, 

tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, 

terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang”. 

“Kau memang bijaksana, perempuan!” Sunan Rajeg 

tertawa mengejek, “menyerahkan penilaian pada suami 

dungu. Kau bijaksana,” ia berkecap-kecap senang, “seperti 

dalam dongeng, tengkorak . Tapi biarlah, justru sebab  suamimu 

memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia 

akan datang kemari. Dia musuhku”. 

“Ya, Sunan.” 

“Tak ada yang menyebut aku Sunan – Kanjeng Sunan.” 

“Ya, Kanjeng Sunan”. 

“Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa 

kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku. 

Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di 

hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati 

menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata 

itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga. 

Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan 

muhrim”. 

tengkorak  dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu 

sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi 

hatinya sakit sebab  hal yang lain: penghinaan terhadap 

tariannya. rsi -rsi nya telah membikin ia jadi seorang 

penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan 

berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang 

satu ini justru menghinanya? 

Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari 

menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga 

tahankan se