nusantara awal abad 16 17
antah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak
armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar,
boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao
Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.”
Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohammad Firman
menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya.
“Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menangkap
kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu lalu jadi Raden
Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina,
maka juga ikut mengelompok di Demak. Demak dan Islam
dibikin jadi satu – dengarkan itu, sebab kekuatan di Jawa
sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam.
Apakah Sultan Demak sesungguhnya sudah setingkat
keislamannya dengan Sunan Rajeg ini? Hei, kau, bekas
musafir Demak, pernahkah kau mendengar Sultan Demak
menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang
pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak
ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.”
Sikap Sunan Rajeg yang memusuhi Demak itu sudah
sangat diketahui oleh umum. Mohammad Firman yang
dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa
menandinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan
oleh pengaruh Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan
bahwa Sultan Demak bukan berdarah Majapahit dan
peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh
menggoncangkan:
Dan melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan
Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan:
“Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah
bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja
armada yang tersekat itu sampai dapat membuka bandar
dan perkampungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu
melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja
Islam pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu,
Semaranglah-bandar Demak. Apakah kalian tidak malu
adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa
bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa?”
Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang
oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk
bertahan.
“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang
Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa?
Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin
lebih baik dibandingkan rsi -rsi kalian. Dan semua isinya
omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku
tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang
dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa…
lain halnya dengan Sultan Demak, mendirikan kerajaan
untuk jadi benteng Semarang. Islam dipergunakan dalih.”
“Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira
belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di
sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura
Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah
seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpah-
limpah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh.
sebab rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi
orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah sebab
kekayaannya. Dia pun berusaha mendapatkan persahabatan
dengan Peranggi. Dia mencari persahabatan dari singa yang
lapar.” Bedug masjid Rajeg telah memanggil-manggil untuk
bersembahyang isya.
“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai
oleh Peranggi,” Sunan Rajeg meneruskan, “dan itu tidak
boleh. Tidak boleh. Demi Allah!” dan ia memberi tekanan
pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala,
mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis
kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.”
“Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang
balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang.
Pasukan gajahnya akan punah oleh meriam kita, akan
terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang.”
0o-dw-o0
Mahmud Barjah dengan membawa dendamnya terhadap
Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga.
Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan,
dengan kuda dan gajahnya sebelum ia mempunyai
persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak
dapat dielakkan.
Hujan deras yang turun pada malam itu telah
diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. Balatentara
Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan
dapat menemukan.
Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan
rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit
penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus
masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas.
Sementara itu ia perintahkan untuk membikin jejak-jejak
ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang
dibangun. Ia membutuhkan waktu pendek untuk
rencananya itu.
Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang
melaporkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di
malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji
laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda.
Memang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari.
Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam,
tak mengindahkan cuaca, dan dengan hasil yang tidak
memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian.
Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah
dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan
itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan
pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap
menghalangi kemajuan.
Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak
menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang
telah dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap
sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih
juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang
pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera
perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. Dan ia pun
menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu,
bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin
segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah
dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang
bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa
lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua
atasannya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya
dan menyembah mengakui keunggulannya.
Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya
sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan
Rois itu mereka menambahi segalanya pula, sebab harus
berbagi pendapat dengan mereka.
Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg sebab
kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang
melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk
melindungi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat
kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor.
Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja
siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia
membutuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka
pertempuran baru.
Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois
adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut
luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam
kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang
pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api
dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau
ketakutan sebab api, meriam akan beraksi sehingga musuh
kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal
pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas
tentara Tuban sendiri.
Ia telah kirimkan penghubung untuk menempatkan
meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka
mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan
pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal
gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari
mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan
seksama.
Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada
pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada
penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri.
0o-dw-o0
Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat
serombongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. Dari
kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit.
Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. Dan
sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk
bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala
penjuru menuju ke tempat Mahmud Barjah telah menunggu
dengan diam-diam.
Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari
ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati
tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi
parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di
balik semak-semak.
Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah memasuki
jebakan waktu di kejauhan Wirangmandala dari atas gajah
mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan
pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum
sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu
mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di
tengah-tengah jebakan.
Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah
berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu
serangan.
Banteng Wareng menyebarkan pasukannya di luar
daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran.
Mahmud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di
tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari
masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak
mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah
untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah.
Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai
sebagai payung.
Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan,
bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan
pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak
menggugupkan lawannya.
Banteng Wareng mengalami kesulitan dalam melakukan
penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan
semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang
liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap
kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak
dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya
mundur dengan meninggalkan banyak korban.
Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wirangmandala
memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan
kuda.
Gajah-gajah Tuban itu tak lama lalu lari memasuki
semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng Wareng.
Dari atas gajahnya Senapati melihat pasukan Rangkum
di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung
perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan
sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin
bersemangat.
Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa
membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut.
Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu
kudanya melarikan diri dari api yang sedang
menandatangani, namun terjungkal dengan kepala pecah
kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh
anakbuahnya.
Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi
rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamnya tak
dapat melukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun
penunggangnya, terhalang oleh semak-semak
persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri
mereka terdengar riang penuh kemenangan.
Meriam tiba-tiba berhenti menembaki.
Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran.
Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak.
Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam
disebabkan sebab senjata-senjata itu juga terpaksa
diundurkan.
Mahmud Barjah dengan senyum puas memerintahkan
seluruh tentaranya mundur. Ia telah terhibur sebab telah
dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada
seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang.
Beberapa orang saja terkena cedera sebab kecelakaan.
Sekarang ia mendapatkan keseimbangannya lagi. Ia akan
tidak malu lagi menghadap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu
Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak
berarti di mata Sunan.
Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai
merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal
kuda tapi lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos
pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan
tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia
menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan
jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus
tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali
pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan.
Wirangmandala , sesudah melihat kerusakan pada pasukan
kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi
Rangkum.
Kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia
datang.
“Pasukanku rusak, Senapatiku.”
“Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur.”
“Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup
bergerak terus.”
Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya
menginginkan kuda baru.
Dan Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud
Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan
penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum
memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh
sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi
menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak.
Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, sebab
tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman.
Pertemuan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg,
Mahmud Barjah, Esteban dan Rodriguez.
Panglima Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang
jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan
diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada
sesuatu kerugian pada pihak Rajeg.
Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak
memberikan sesuatu pendapat.
Mahmud Barjah lalu menjanjikan kemenangan
gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mempunyai
rencana yang masak.
Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh
semangat kemenangan.
“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman
Sunan?” tanyanya lalu .
“Tentu kau yang lebih mengetahui dibandingkan aku.
Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik.
Teruskan saja,” ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez,
“bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?”
“Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan,” Manan
memuji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan
api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah
takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.”
“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,”
susul Rois. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang
bisa membikinnya? Barang sepuluh orang?”
Sunan Rajeg menjanjikan akan memberikan tenaga itu.
Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan
berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan
gajah. Dan Sunan Rajeg mengharap pada Manan dan Rois
yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk
menyatakan pendapatnya.
“Memang ada jalan yang mudah,” Rois alias Rodriguez
memulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang
yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, sebab
kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang
dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya
orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya
lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai
mati.”
“Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rahasia.
Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu
akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.”
“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek Mahmud
Barjah, “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di
mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan
sambar tumit itu dengan kapak atau tombak… beres. Lihat,
tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma
bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit
limapu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang
ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.”
“namun Rois betul,” Manan membenarkan temannya.
“Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada
kita memang mudah. sebab tiada, harus diadakan
penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap
pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit
binatang itu.”
“Di mana pengalaman perang kalian?” Mahmud
mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan
di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan
zirahbaja? Dengarkan, gajah perang Tuban bila berjalan,
zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti
kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak
demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di
negeri orang itu.”
Sunan Rajeg tertawa mendamaikan.
“Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat
mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.”
“Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi
dengan cepat dalam serangan mendadak,” Mahmud
membantah.
“Setiap bikinan manusia dapat dihancurkan oleh
manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependek-
pendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah
itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli
dibandingkan pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai,
serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan
saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat
zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke
bumi”.
“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,”
Manan berkukuh.
Dan untuk ke sekian kalinya Mahmud tak berhasil
menyudutkan dua orang saingannya itu.
Pembicaraan itu terputus sebab datangnya seorang
penghubung: memberitakan: ada beberapa orang
penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan
jebakan baru.
“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah
Mahmud Barjah. Dan sesudah penghubung itu pergi, ia
meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak.
Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman
Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita
bersiap-siap.”
Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: “Manan,
aku ikut bersama dengan meriammu.”
Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran.
0o-dw-o0
Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada
sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk.
Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu.
Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah
roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan
tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka
tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan
titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal
meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti
bulu di selingkaran mata.
Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di
antara yang dua.
Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang
sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya
telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan
salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak.
Melihat adanya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg
menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan?
“Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab
Manan mantap.
Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda Tuban
bergerak pelahan mengapit pasukan gajah.
Sunan Rajeg menuding ke jurusan mereka.
“Mereka nampak sudah lelah mencari-cari,” katanya
memberi perhatian. “Hajarlah dengan meriammu, biar
segera tumpas!”
“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum
mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum
diberikan oleh Panglima Mahmud.”
“Aku lebih tinggi dibandingkan Mahmud.”
Rois tertawa.
Dan Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu,
berpaling padanya dan membentak: “Tertawa.”
“Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan,” Manan
cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak.
Mereka belum lagi sampai di tempat yang telah kita
tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak
lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan,
pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.”
“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara
Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois?” tetak Sunan. Ia
menuding Rois dengan tongkatnya.
Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian,
langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak
mereka.
“Aku tahu apa aku kehendaki,” Sunan Rajeg
meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti
Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu
bergelimpangan sebab meriamnya? Manan! mengapa kau
diam saja?”
“Kanjeng Sunan,” Manan datang mendekati Sunan.
“Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersumpah
sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh
menembak tanpa perhitungan. Meriam adalah dirinya
sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan meriamnya bila
dalam keadaan bahaya dan dia….”
“Diam!” bentak Sunan Rajeg, “kalian bukan lagi
penembak meriam Peranggi. Kalian penembak meriamku.”
Sunan Rajeg terpaksa menghentikan curah katanya.
Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya.
Keadaan itu dipergunakan oleh Manan untuk
menyelamatkan keadaannya menolong Sunan Rajeg
meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng
Sunan menghendaki kemenangan kecil tapi akan berpanen
kehancuran. Kalau itu yang Sunan kehendaki, baik, kami
akan menembak!”
Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan.
Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang
menentukan. Hanya Allah.”
Rois hendak membantu temannya namun telah kena
bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur sebab
ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam.
“Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan,”
Manan masih juga membuka mulut. “Semua Kanjeng
Sunan, namun yang tahu bertanggung jawab hanyalah
manusia.”
“Ajaran kafir. Dari mana datangnya ajaran
tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada
kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg
sendirikah kau ini?”
“Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari
tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap.
Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni
bukit dan melakukan tugasnya.
Sunan Rajeg mundur menjauh sambil menutupi dua
belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan
tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu.
Rois telah memasukkan obat ke dalam kamar ledak.
Manan memasukkan peluru dari moncong meriam.
lalu laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada
musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan
roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam sesudah
digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di
bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar.
Kiai Benggala Sunan Rajeg mundur lima langkah lagi
dan semakin merapatkan tangan pada telinga. lalu
semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga
orang lain. Sunan Rajeg menghadap ke arah musuh untuk
melihat bagaimana mereka menerima maut dari
meriamnya.
Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak.
Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia.
Meriam itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke
angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam
melemparkan peluru.
Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu
terbang cepat membelah udara menuju ke arah balatentara
musuh yang sedang bergerak
Mereka berada di luar jarak tembak….
Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di
hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya
pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah
membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan
sarang meriam untuk mengepung dan membinasakannya.
“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan!”
Manan memperingatkannya.
“Tembaki terus!”
‘Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak.”
“Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab Sunan Rajeg
pelahan. “Ayoh tembaki, tembaki terus.”
“Pengawal” raung Rois, “selamatkan Sunan Rajeg!”
Mahmud Barjah datang dengan kudanya. Mukanya
merah-padam sebab marah. Tangan kirinya memegang
kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda.
“Bangsat!” Pekiknya murka sambil mencambuk Manan.
Yang dicambuk melompat menghindar. “Siapa perintahkan
menembak?”
“Kanjeng Sunan,” jawab Rois.
“Apakah kalian sudah buta? Mahmud Barjah Panglima,”
dengan cambuknya Mahmud menyambar kepala Rois yang
juga melompat mengelak.
“Mereka datang kemari!” teriak Manan.
Panglima Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan
berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap
kudanya makin terdengar pelan lalu hilang sama
sekali, ditelan oleh semak.
Dengan dipapah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil
berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas
tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa.
0o-dw-o0
sesudah diurut dengan cermat dan dapat menggunakan
tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum
menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi
kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia
memimpin kembali pasukan kakinya.
Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang
melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak
pasukan kuda.
Terhenti sebab parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu
melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk
melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan
ujung-ujung parit.
Mahmud Barjah tak menghendaki mereka menemukan
ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. namun
musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus
bergerak meninggalkan jebakan.
Dari balik-balik semak di seberang parit terjal
bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai
bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh teman-
teman sendiri.
Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai
ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang
parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois
berdentuman. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang
telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani
menembaki musuh yang telah menyusup dalam semak-
semak di belakang jebakan.
Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam
pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak
mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung
parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan,
mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak
dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak
mengambil alih.
Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang
mengamuk.
Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di
depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti
pasukan gajah. Dan balatentara Tuban mendesak terus.
Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah.
Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera
memerintahkan mengungsikan meriam dan segala
perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari
naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari
ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa
bebannya seperti serombongan kucing menggondol
anaknya sendiri. Dan pucuk meriam itu menuruni bukit
dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan
sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun
barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam
rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak
mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya
terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri.
Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini
Wirangmandala tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia
memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak
mau tentaranya menderita lelah hanya untuk mencari-cari.
Sorak-sorai tentara Tuban yang mengrsi h dari dalam
semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan
didesak.
Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin
mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut
meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan.
Waktu pasukan Banteng Wareng datang, mereka sudah
tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal.
Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di
medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam
hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera
hilang di antara kehijauan dan kecoklatan.
Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncang-goncang
dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar
terdengar Sunan berseru-seru memperingatkan dari atas
tandunya.
Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas:
“Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat’ dan terus
lari tak peduli tandu semakin berguncangan.
Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul
memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan
menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan
Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan
cambuk perang ke udara.
Dengan serta merta mereka turunkan tandu.
“Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri.”
Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu,
dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan….
0o-dw-o0
Matahari belum lagi tenggelam.
Banteng Wareng dan pasukannya menyisiri setiap
jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk
menandingi kelajuan dan kesigapan mereka.
Pasukan kaki di bawah Rangkum lalu datang
menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan.
Baru lalu nampak pasukan gajah sebagai bukit-
bukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan
hidungnya.
Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan
dua tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi
semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di
tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi
rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang
dapat ditangkapnya, lalu melambai-lambaikan
puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan
dan keangkuhan.
Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki
menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan
telah dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya
sendiri…
O0-dw-oO
21, Keributan di Bandar Tuban
Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya
hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar
Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak.
Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang,
berdiri dengan diam-diam, bukan sebab menunggu
langganan yang tak kunjung datang.
“Yakinkah tuan kita masih selamat dan tetap akan
selamat?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan
diri.
“Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu,
Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten?”
“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih
tetap aman buat si Yakub ini?”
“Lebih aman dibandingkan di pangkuan ibumu sendiri.”
“Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun
sahaya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan
siapkan surat balasan itu…”
‘Tak ada surat balasan Yakub”.
Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan
Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk
diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.
“Ya, memang terlalu sepi,” Syahbandar membenarkan
keluhannya. ‘Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari
tuak, arak dan penipuan.”
“Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa
tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri
dari maut dengan pertolongan Allah saja.”
“Cukup baik. Tuban takkan melupakan jasa-jasamu.”
“Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan?”
“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan mayat i
kembali.”
“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin
hanya Tuan dengan Yakub menghabiskan arak ini.”
“Kau belum lagi bercerita, Yakub.”
“Hanya satu yang sahaya dengar di Blambangan sana.
Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di
Nusa Tenggara sana”.
“Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira
sebab kapal-kapal Gresik terlalu berani menerobos ke
Maluku – pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau
Peranggi membuka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu
untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira
bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang
didudukinya”.
“O, itu mulai kelihatan orang berdatangan,” seru Yakub
pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar
kegelisahan hatinya.
Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya
orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa menengok
ke arah warung.
“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.”
“Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada
apa gerangan?”
namun Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi
cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa.
Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.”
“Hampir sama dengan hewan,” Yakub membenarkan.
“Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan
meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan? Ya
begitulah cetbang, dan begitulah meriam,” Syahbandar
Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk
senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun
tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak
hidup di jaman meriam ini, Yakub.”
“Memang meriam saja yang menentukan dunia sekarang
ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu
berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.”
Syahbandar Tuban meneguk. Yakub kembali
memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga
menuju ke bandar.
“Dan biadab!” Syahbandar menambahi. “Arakmu cocok
sekali hari ini”.
“Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik.
Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua,
dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak
busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-
robek anjing. Dan tiada seorang Islam pun memeliharanya.
Dan mereka mengaku Islam pula, Tuan.”
“Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.”
“Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling
bandar, di balik semak-semak?” tiba-tiba Yakub
mengalihkan percakapan.
“Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?”
“Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya
lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di
Gresik. Orang-orang Gresik pada bernafsu untuk
menyewanya ke Maluku.”
“Tentu tak ada yang menyewakan.”
“Memang tak ada, Tuan.”
‘Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi
yang kau kua-tirkan?”
“Boleh jadi Demak sana membantu.”
Mula-mula Yakub hendak menuntut upah untuk
keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan
keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar
Az-Zubaid menyebabkan ia mengendalikan diri. lalu
memulai dengan ragu-ragu.
“Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.”
Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, namun
matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya.
‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah
keluarnya upah. “Masa seorang Syahbandar bisa tidak
tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang
dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik.
“Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan.
Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya
Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah
juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang
sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah
merugikan orang.”
“Jangan terlalu rakus, Yakub,” Syahbandar menasihati,
“katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok
dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.”
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub
berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak.
“Apa itu. Tuan Syahbandar?” mata Yakub menjadi liar.
“Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka
keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di
balik punggung, juga berjalan ke arah bandar.
“Masyaallaaaaah!” teriak Syahbandar waktu dilihatnya
sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali
pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!”
teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke
pelabuhan.
Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat memenuhi
dermaga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa
yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan
kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan
untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih
keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia.
Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah
kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka.
Padatan orang itu lalu diketahuinya bersenjatakan
tongkat kayu.
Ia melihat Liem Mo Han menelisip di antara mereka dan
menjadi bagian dari mereka. lalu bukan hanya
punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di
dalam kepadatan manusia itu.
“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak
seorang Portugis dalam Melayu. “Panggilkan Syahbandar.
Francisco de Sa perlu dilayani.”
“Syahbandar tak ada!” teriak yang lain menjawab.
“Syahbandar sudah mampus!” teriak yang lain.
Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam.
Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana
dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi
tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari
penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di
sini!”
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja
menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan
mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak
mencukupi.
“Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar!” pekiknya.
Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan
tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibar-
kibar. Dan tetap sia-sia.
“Beri jalan!” pekik Francisco de Sa. “Portugis akan
temui Sang Adipati.”
“Gusti Adipati tak menerima siapa pun!” orang berteriak
berbareng dengan berbagai cara dan nada.
“Kembali kalian, Peranggi!”
“Ayoh, kembali!”
“Bukan cara Portugis diperlakukan begini!” pekik de Sa.
“Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii!” Tholib Sungkar
meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug
dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan
Syahbandar!”
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan
menengok ke belakang dan menertawakannya bemayat i-
mayat i.
Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis:
“Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini,” sambil
mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti
burung gereja.
Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang
kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya
kembang-kempis.
“Yesus! Bunyikan meriam!” perintahnya dalam Melayu.
“Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau
tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam
Melayu.
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek.
“Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam Portugis,
“kembali dan bu nyikan.”
“Kalian Peranggi!” tuding Liem Mo Han dalam
Portugis, “yang letak kan kekuatan pada meriam semata.
Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!”
“Siapa bicara Portugis itu?” tanya Francisco de Sa
melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan
menembak!”
“Kami bisa menembak kalian lebih dulu. Pergi!
Tinggalkan Tuban!” jawab Liem Mo Han.
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak.
Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal
Portugis mulai mengalir turun dari kapal membawa segala
macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa
musket.
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan
manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan
mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke
kapal.
Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan
tongkat.
Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah
kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan
tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus Laslo tidak urung
terpaksa masuk ke kapal juga.
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali
kapal. Orang makin mayat i bersorak berjingkrak melambai-
lambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.
“Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke
Peranggi! Tinggalkan Tuban!”
“Kapal celaka! Pergi!”
Kapal Portugis itu memasang layar. Tak ada seorang pun
di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan
kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga
sendiri orang terus juga meledak dan mengejek.
“Francisco de Sa akan datang lagi!” teriak Portugis itu.
“Awas!”
sesudah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan
oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian
meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang
juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang
mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas
berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan
untuk ikut berjingkrak dengan majikannya.
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari
pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang
dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka.
Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka
menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah
Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak
oleh orang banyak.
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu
yang melekat pada kulit dan pakaiannya.
“Tongkatku!” perintahnya.
Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan
menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan
memberengut.
“Tarbusku!” perintahnya lagi.
Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik
pitam.
“Tarbus! Goblok,” waktu dilihatnya tarbus itu
menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna
merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan
terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit!
punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu,
lalu menciumnya.
Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki
meninggalkan daerah bandar.
Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az-
Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid
Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya
kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada
tongkatnya.
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang
bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu
telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lambat
tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak
tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan
ornamen haluan yang indah lagi gagah.
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu
pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung
agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri
seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal
Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia
melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal
tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpah-
nyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang
paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap
tak peduli dan semakin menjauh.
“Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar!”
suaranya parau menghiba-hiba.
Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal.
Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar.
Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib
Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru
mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak
menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan
tembakan kedua memaksa Syahbandar merangkak-rangkak
sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporak-
porandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan
kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan
memanggil-manggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung
panjang bengkung itu menghadap ke warung Yakub.
Pewarung itu tidak kelihatan.
Bondongan peluru yang ke tiga membikin Tholib
terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari
rangkakannya.
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam
warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak
menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan
arak dan barang-barang dagangan.
Bondongan tembakan ke empat membikin Syahbandar
itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di
depan kamar kerja kesyahbandaran.
lalu Portugis menghentikan tembakannya.
Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai
menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti
bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala
ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir
pun mencapai sasaran.
Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam
tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur
Alhamdulillah, sebab yakin tak ada sepasang dan sebelah
mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak
henti-hentinya berkomat-kamit.
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang
mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia.
Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia
kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan
tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh.
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai
menyumpahi pandai-pandai Trantang. lalu ia dengar
juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru.
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang
sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak
kaget terpandangi oleh pemimpinnya.
“Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku,”
tegurnya. “Memang dia orang desa namun dia lebih
dibandingkan hanya kalian. Tutup mulut kalian.”
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat
cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan
perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon.
Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar,
menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam
daun pisang kering dalam ikat pinggangnya.
“Cari Senapati sampai dapat,” perintahnya pada dua
orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja
menunggu di tempat. Pergi.”
sesudah menerima lontar, dua orang melompat ke atas
kudanya, memasuki kota, lalu ke pedalaman.
0o-dw-o0
22. Pertempuran Penentuan
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap.
Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah
kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di
seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang
beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar
dibandingkan sebelumnya. Kini diketahui tentara Rajeg
menggunakan alat pelempar api.
Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak
terkendali.
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratus-
ratus kentongan bambu dipukul berbareng.
Binatang-binatang raksasa itu bingung.
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil memberi
isyarat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar
segera meninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai balatentara Tuban.
Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di
seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan
kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan
bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan
membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang
dan berlari-larian liar merusak tubuh balatentara sendiri.
“Mundur! Cepat mundur!” pekik Kala Cuwil sambil
menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan.
Di sampingnya berdiri Wirangmandala yang mencoba
menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan
pandangnya.
“Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini.
Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada.
Memalukan,” gumam Kala Cuwil. “Dan hanya melawan
orang desa!”
“Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau
orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang.
Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.”
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu
menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut
itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-
bentar menyebabkan orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu
dapat menginjak mereka.
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak
menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh.
Tapi Kala Cuwil dengan tombak pimpinan mencegah
mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama
sekali.
Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan
dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di
ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu
lalu juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan
jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling
sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajurit-
prajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi
dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba
berdiri, la jatuh lagi.
Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin
meningkat. Sorak kemenangan.
Sebuah peluru telah menyambar kotak benteng seekor
gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah
ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang
kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka
tanpa bisa dihalang-halangi.
Kala Cuwil dengan tombak pimpinan terus sibuk
memberikan perintah mundur.
Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling
marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia.
Sulingnya makin lama makin pelahan, lalu terhenti
dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya
menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh
ditinggalkan oleh yang lain-lain. Meriam berhenti
menembaki.
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan,
tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit
dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai
mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
Banteng Wareng menghampiri gajah Senapati
sebagaimana telah diperintahkan kepadanya.
“Kudamu takut pada api?” tanya Senapati Tuban.
‘Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah
berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah
biasa.”
“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah
mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar
mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang.
Mereka membutuhkan waktu untuk melemparkan apinya.
Gajah akan berbalik lagi.”
Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas
tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang
bersembunyi di dalam hutan.
Waktu seluruh pasukan gajah telah meninggalkan medan
jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari
jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng
Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang,
membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah.
Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas
tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda
sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas
titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal
sambil memperingatkan teman-temannya.
Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat melarikan diri
di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti
kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan.
Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi
mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang
memilukan menggantikan sorak-sorai.
Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan
jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi
bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali.
“Apa boleh buat,” Wirangmandala bergumam,
“penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.”
“Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan,
Senapatiku,” Kala Cuwil memperingatkan.
“Mahmud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan
anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia
membutuhkan untuk kemenangan dan keamanannya
sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan
ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi.
Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi,
dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan
mereka sama sekali.”
“Tidak patut Senapati berbelas kasihan.”
“Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil,
yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak,” ia
menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka
itu sanak dan kenalanku sendiri.”
“Apa boleh buat.”
“Ya, apa boleh buat. Dan sesudah ini tinggal prajurit-
prajurit sejati saja masih akan berlawan.”
Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini
terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat
sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Membawa diri
sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam
jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng
dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan.
Dan malam itu hujan berhenti.
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan
manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari
bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap
Wirangmandala , menyampaikan beberapa lembar lontar.
Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati
membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan
orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala
pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal meriam
memang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita
akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang
hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki.
Jangan kalian punya pikiran Senapati hendak
memerintahkan kalian berperang melawan meriam
Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan
cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal
pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi
dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk
melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi
mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi
mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan kata-
kataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati,
hanya sebab cetbang tak dapat kalahkan meriam.”
sesudah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum:
“Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah tentara
Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya?”
“Terlalu banyak, Senapatiku.”
“Tinggal berapa kiranya kekuatannya?”
“Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali.”
“Dua kali!” Senapati Tuban mengulangi. “Bagaimana
pendapatmu Banteng Wareng?”
“Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada
kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.”
“Apa pun kekuatannya,” Kala Cuwil menambahi, “yang
tersisa sudah tidak akan lebih kuat.”
“Dua kali pertempuran lagi”, Senapati mengulangi kata-
kata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku
mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara
Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita
menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran
penentuan.”
“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini,
Senapatiku.”
“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum,
sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku
perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai
menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan.
Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat
temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak
beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.”
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam-
diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang
bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai
merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud
Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak
pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai
sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut
dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya
namun dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh
jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak