nusantara awal abad 16 17

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 17


 


antah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak 

armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar, 

boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao 

Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.” 

Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohammad Firman 

menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya. 

“Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menangkap 

kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu lalu  jadi Raden 

Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, 

maka juga ikut mengelompok di Demak. Demak dan Islam 

dibikin jadi satu – dengarkan itu, sebab  kekuatan di Jawa 

sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam. 

Apakah Sultan Demak sesungguhnya sudah setingkat 

keislamannya dengan Sunan Rajeg ini? Hei, kau, bekas 

musafir Demak, pernahkah kau mendengar Sultan Demak 

menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang 

pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak 

ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.” 

Sikap Sunan Rajeg yang memusuhi Demak itu sudah 

sangat diketahui oleh umum. Mohammad Firman yang 

dikirimkan ke pedalaman Tuban sama sekali tidak bisa 

menandinginya, apalagi meyakinkannya. Ia malah tertelan 

oleh pengaruh Sunan Rajeg. Biar pun begitu pernyataan 

bahwa Sultan Demak bukan berdarah Majapahit dan 

peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh 

menggoncangkan: 

Dan melihat terjadinya kegaduhan Kiai Benggala Sunan 

Rajeg buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan: 

“Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah 

bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja 

armada yang tersekat itu sampai dapat membuka bandar 

dan perkampungan besar, tapi juga tidak berdaya sesuatu 

melihat ada seorang bukan Jawa telah naik tahta jadi raja 

Islam pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu, 

Semaranglah-bandar Demak. Apakah kalian tidak malu 

adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa 

bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa?” 

Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang 

oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk 

bertahan. 

“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang 

Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa? 

Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin 

lebih baik dibandingkan  rsi -rsi  kalian. Dan semua isinya 

omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku 

tidak datang pada ningrat Jawa, tapi pada kaum pedagang 

dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa… 

lain halnya dengan Sultan Demak, mendirikan kerajaan 

untuk jadi benteng Semarang. Islam dipergunakan dalih.” 

“Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira 

belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di 

sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura 

Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah 

seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpah-

limpah, tanahnya subur dan kawulanya rajin dan patuh. 

sebab  rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi 

orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah sebab  

kekayaannya. Dia pun berusaha mendapatkan persahabatan 

dengan Peranggi. Dia mencari persahabatan dari singa yang 

lapar.” Bedug masjid Rajeg telah memanggil-manggil untuk 

bersembahyang isya. 

“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai 

oleh Peranggi,” Sunan Rajeg meneruskan, “dan itu tidak 

boleh. Tidak boleh. Demi Allah!” dan ia memberi tekanan 

pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala, 

mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis 

kafir Peranggi, aku, Sunan Rajeg.” 

“Maka itu kita harus melawan Tuban. Sekarang 

balatentara Tuban sedang terpancing turun ke gelanggang. 

Pasukan gajahnya akan punah oleh meriam kita, akan 

terkubur dalam perangkap, insya Allah, kita pasti menang.” 

0o-dw-o0 

 

Mahmud Barjah dengan membawa dendamnya terhadap 

Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga. 

Kalau tidak, bila seluruh tentara Tuban yang dikerahkan, 

dengan kuda dan gajahnya sebelum ia mempunyai 

persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak 

dapat dielakkan. 

Hujan deras yang turun pada malam itu telah 

diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. Balatentara 

Tuban tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan 

dapat menemukan. 

Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan 

rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit 

penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus 

masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas. 

Sementara itu ia perintahkan untuk membikin jejak-jejak 

ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang 

dibangun. Ia membutuhkan waktu pendek untuk 

rencananya itu. 

Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang 

melaporkan, tentara Tuban telah melakukan gerakan di 

malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji 

laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda. 

Memang balatentara Tuban bergerak juga di malam hari. 

Pembikinan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam, 

tak mengindahkan cuaca, dan dengan hasil yang tidak 

memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian. 

Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah 

dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan 

itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan 

pemborosan di waktu panas. Tapi air curah itu tetap 

menghalangi kemajuan. 

Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak 

menyetujui perang yang belum waktunya ini. Tapi perang 

telah dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap 

sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih 

juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang 

pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera 

perang dengan gampang dari Sunan Rajeg. Dan ia pun 

menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu, 

bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin 

segera masuk ke Tuban kota sebagai pemenang, megah 

dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang 

bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa 

lama ia sudah mengimpikan datangnya hari, semua 

atasannya dulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya 

dan menyembah mengakui keunggulannya. 

Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya 

sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan 

Rois itu mereka menambahi segalanya pula, sebab  harus 

berbagi pendapat dengan mereka. 

Ia takkan datang melapor pada Sunan Rajeg sebab  

kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang 

melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk 

melindungi pembikinan jebakan. Sebelum mendapat 

kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor. 

Anak buah yang membikin bekas-bekas kaki pun bekerja 

siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia 

membutuhkan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka 

pertempuran baru. 

Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois 

adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut 

luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam 

kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang 

pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api 

dan biasa Bila kuda dan gajah telah menjadi kacau 

ketakutan sebab  api, meriam akan beraksi sehingga musuh 

kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal 

pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas 

tentara Tuban sendiri. 

Ia telah kirimkan penghubung untuk menempatkan 

meriam. Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka 

mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan 

pemanah pun telah siap di belakang tapal kuda. Tinggal 

gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari 

mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan 

seksama. 

Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada 

pertentangan dengan Esteban dan Rodriguez, juga pada 

penyesalannya terhadap Sunan Rajeg dan diri sendiri. 

0o-dw-o0 

 

Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat 

serombongan prajurit putih melintasi jalanan negeri. Dari 

kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit. 

Pasukan kaki Tuban segera bersorak dan mengejar. Dan 

sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk 

bergabung. Arus balatentara Tuban mengalir dari segala 

penjuru menuju ke tempat Mahmud Barjah telah menunggu 

dengan diam-diam. 

Laskar Rajeg yang berjumlah kecil itu seakan lari 

ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati 

tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi 

parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di 

balik semak-semak. 

Sebagian dari pasukan kaki Rangkum telah memasuki 

jebakan waktu di kejauhan Wirangmandala  dari atas gajah 

mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan 

pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum 

sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu 

mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di 

tengah-tengah jebakan. 

Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah 

berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu 

serangan. 

Banteng Wareng menyebarkan pasukannya di luar 

daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran. 

Mahmud Barjah melihat tentara Tuban berhenti di 

tengah-tengah jebakan mengerti, musuh telah menyadari 

masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak 

mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah 

untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah. 

Ia lihat prajurit-prajurit Tuban mengangkat perisai 

sebagai payung. 

Anak panah dan api berjatuhan seperti hujan, 

bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan 

pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak 

menggugupkan lawannya. 

Banteng Wareng mengalami kesulitan dalam melakukan 

penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan 

semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang 

liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap 

kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak 

dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya 

mundur dengan meninggalkan banyak korban. 

Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya Wirangmandala  

memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan 

kuda. 

Gajah-gajah Tuban itu tak lama lalu  lari memasuki 

semak-semak yang ditinggalkan oleh Banteng Wareng. 

Dari atas gajahnya Senapati melihat pasukan Rangkum 

di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung 

perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan 

sorak-sorai tentara Rajeg semakin lama semakin 

bersemangat. 

Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa 

membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut. 

Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu 

kudanya melarikan diri dari api yang sedang 

menandatangani, namun  terjungkal dengan kepala pecah 

kena peluru meriam. Ia digotong keluar gelanggang oleh 

anakbuahnya. 

Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi 

rata. Prajurit-prajurit Rajeg yang berada di dalamnya tak 

dapat melukai dan mengenai binatang-binatang itu ataupun 

penunggangnya, terhalang oleh semak-semak 

persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri 

mereka terdengar riang penuh kemenangan. 

Meriam tiba-tiba berhenti menembaki. 

Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran. 

Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak. 

Senapati mengerti berhentinya penembakan meriam 

disebabkan sebab  senjata-senjata itu juga terpaksa 

diundurkan. 

Mahmud Barjah dengan senyum puas memerintahkan 

seluruh tentaranya mundur. Ia telah terhibur sebab  telah 

dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada 

seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang. 

Beberapa orang saja terkena cedera sebab  kecelakaan. 

Sekarang ia mendapatkan keseimbangannya lagi. Ia akan 

tidak malu lagi menghadap pada Sunan Rajeg. Kalau perlu 

Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak 

berarti di mata Sunan. 

Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai 

merencanakan pembikinan parit yang tidak lengkung tapal 

kuda tapi lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos 

pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan 

tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia 

menyadari, ketinggian gajahlah yang menyebabkan 

jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus 

tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali 

pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan. 

Wirangmandala , sesudah  melihat kerusakan pada pasukan 

kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi 

Rangkum. 

Kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia 

datang. 

“Pasukanku rusak, Senapatiku.” 

“Benar. Tapi kau tidak kalah. Juga tidak hancur.” 

“Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup 

bergerak terus.” 

Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya 

menginginkan kuda baru. 

Dan Senapati merasa bersyukur. Ia mengerti maksud 

Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan 

penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum 

memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh 

sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi 

menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak. 

Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, sebab  

tentara Rajeg toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman. 

Pertemuan itu terjadi di pendopo antara Sunan Rajeg, 

Mahmud Barjah, Esteban dan Rodriguez. 

Panglima Rajeg dengan bersemangat melaporkan tentang 

jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan 

diperoleh. Bahwa pasukan kaki Tuban rusak, dan tak ada 

sesuatu kerugian pada pihak Rajeg. 

Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak 

memberikan sesuatu pendapat. 

Mahmud Barjah lalu  menjanjikan kemenangan 

gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia telah mempunyai 

rencana yang masak. 

Sunan Rajeg tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh 

semangat kemenangan. 

“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman 

Sunan?” tanyanya lalu . 

“Tentu kau yang lebih mengetahui dibandingkan  aku. 

Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik. 

Teruskan saja,” ia berpaling pada Esteban dan Rodriguez, 

“bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?” 

“Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan,” Manan 

memuji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan 

api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah 

takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.” 

“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,” 

susul Rois. Tidakkah Kanjeng Sunan punya tenaga yang 

bisa membikinnya? Barang sepuluh orang?” 

Sunan Rajeg menjanjikan akan memberikan tenaga itu. 

Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan 

berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan 

gajah. Dan Sunan Rajeg mengharap pada Manan dan Rois 

yang punya pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk 

menyatakan pendapatnya. 

“Memang ada jalan yang mudah,” Rois alias Rodriguez 

memulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. Binatang 

yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, sebab  

kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang 

dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya 

orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya 

lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai 

mati.” 

“Betul, Kanjeng Sunan, itu memang bukan rahasia. 

Semua prajurit yang berpengalaman di benua hitam tahu 

akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.” 

“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek Mahmud 

Barjah, “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di 

mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan 

sambar tumit itu dengan kapak atau tombak… beres. Lihat, 

tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma 

bila setiap ekor gajah Tuban diiringkan oleh paling sedikit 

limapu-luh prajurit kaki. Mereka bukan hanya menyerang 

ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.” 

“namun  Rois betul,” Manan membenarkan temannya. 

“Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada 

kita memang mudah. sebab  tiada, harus diadakan 

penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap 

pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit 

binatang itu.” 

“Di mana pengalaman perang kalian?” Mahmud 

mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan 

di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan 

zirahbaja? Dengarkan, gajah perang Tuban bila berjalan, 

zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti 

kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak 

demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di 

negeri orang itu.” 

Sunan Rajeg tertawa mendamaikan. 

“Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat 

mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.” 

“Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi 

dengan cepat dalam serangan mendadak,” Mahmud 

membantah. 

“Setiap bikinan manusia dapat dihancurkan oleh 

manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependek-

pendeknya. Lihatlah, Paman Sunan, pembongkaran zirah 

itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli 

dibandingkan  pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai, 

serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan 

saja tidak akan mendapat tumit, tidak akan mendapat 

zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke 

bumi”. 

“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,” 

Manan berkukuh. 

Dan untuk ke sekian kalinya Mahmud tak berhasil 

menyudutkan dua orang saingannya itu. 

Pembicaraan itu terputus sebab  datangnya seorang 

penghubung: memberitakan: ada beberapa orang 

penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan 

jebakan baru. 

“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah 

Mahmud Barjah. Dan sesudah  penghubung itu pergi, ia 

meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak. 

Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman 

Sunan. Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita 

bersiap-siap.” 

Sunan Rajeg berpaling pada Manan, berkata: “Manan, 

aku ikut bersama dengan meriammu.” 

Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran. 

0o-dw-o0 

 

Meriam-meriam Portugis itu telah ditempatkan pada 

sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk. 

Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu. 

Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah 

roda-roda meriam. Para pelayan pada berdiri dengan 

tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka 

tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan 

titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal 

meriam bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti 

bulu di selingkaran mata. 

Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di 

antara yang dua. 

Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang 

sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya 

telah cuwil, tebalnya tidak rata lagi. Bila dipergunakan 

salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak. 

Melihat adanya kejanggalan itu segera Sunan Rajeg 

menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan? 

“Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab 

Manan mantap. 

Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda Tuban 

bergerak pelahan mengapit pasukan gajah. 

Sunan Rajeg menuding ke jurusan mereka. 

“Mereka nampak sudah lelah mencari-cari,” katanya 

memberi perhatian. “Hajarlah dengan meriammu, biar 

segera tumpas!” 

“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng Sunan, sebelum 

mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum 

diberikan oleh Panglima Mahmud.” 

“Aku lebih tinggi dibandingkan  Mahmud.” 

Rois tertawa. 

Dan Sunan Rajeg tersinggung mendengar tawa itu, 

berpaling padanya dan membentak: “Tertawa.” 

“Kita sudah menguasai medan Kanjeng Sunan,” Manan 

cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak. 

Mereka belum lagi sampai di tempat yang telah kita 

tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak 

lelah. Kalau dalam keadaan begitu meriam ditembakkan, 

pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.” 

“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan balatentara 

Sunan Rajeg, kalian, Manan dan Rois?” tetak Sunan. Ia 

menuding Rois dengan tongkatnya. 

Beberapa orang dari pengawal meriam datang berlarian, 

langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak 

mereka. 

“Aku tahu apa aku kehendaki,” Sunan Rajeg 

meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti 

Sunan Rajeg harus saksikan mereka, kafir-kafir itu 

bergelimpangan sebab  meriamnya? Manan! mengapa kau 

diam saja?” 

“Kanjeng Sunan,” Manan datang mendekati Sunan. 

“Seorang prajurit penembak meriam Peranggi bersumpah 

sehidup semati dengan meriamnya. Dia tidak boleh 

menembak tanpa perhitungan. Meriam adalah dirinya 

sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan meriamnya bila 

dalam keadaan bahaya dan dia….” 

“Diam!” bentak Sunan Rajeg, “kalian bukan lagi 

penembak meriam Peranggi. Kalian penembak meriamku.” 

Sunan Rajeg terpaksa menghentikan curah katanya. 

Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya. 

Keadaan itu dipergunakan oleh Manan untuk 

menyelamatkan keadaannya menolong Sunan Rajeg 

meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng 

Sunan menghendaki kemenangan kecil tapi akan berpanen 

kehancuran. Kalau itu yang Sunan kehendaki, baik, kami 

akan menembak!” 

Sunan Rajeg mengebaskan diri dari tangan Manan. 

Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang 

menentukan. Hanya Allah.” 

Rois hendak membantu temannya namun  telah kena 

bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur sebab  

ditarik ke belakang oleh para pengawal meriam. 

“Semua Allah yang menentukan, Kanjeng Sunan,” 

Manan masih juga membuka mulut. “Semua Kanjeng 

Sunan, namun  yang tahu bertanggung jawab hanyalah 

manusia.” 

“Ajaran kafir. Dari mana datangnya ajaran 

tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada 

kalian. Kalian pelayan meriam. Atau Sunan Rajeg 

sendirikah kau ini?” 

“Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari 

tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap. 

Atas isyarat Sunan para pengawal meriam lari menuruni 

bukit dan melakukan tugasnya. 

Sunan Rajeg mundur menjauh sambil menutupi dua 

belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan 

tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu. 

Rois telah memasukkan obat ke dalam kamar ledak. 

Manan memasukkan peluru dari moncong meriam. 

lalu  laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada 

musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan 

roda-roda meriam itu meninggalkan bekas dalam sesudah  

digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di 

bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar. 

Kiai Benggala Sunan Rajeg mundur lima langkah lagi 

dan semakin merapatkan tangan pada telinga. lalu  

semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga 

orang lain. Sunan Rajeg menghadap ke arah musuh untuk 

melihat bagaimana mereka menerima maut dari 

meriamnya. 

Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak. 

Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia. 

Meriam itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke 

angkasa. Api menyemburat dari moncong meriam 

melemparkan peluru. 

Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu 

terbang cepat membelah udara menuju ke arah balatentara 

musuh yang sedang bergerak 

Mereka berada di luar jarak tembak…. 

Mendengar ledakan meriam dan melihat peluru jatuh di 

hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya 

pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah 

membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan 

sarang meriam untuk mengepung dan membinasakannya. 

“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng Sunan!” 

Manan memperingatkannya. 

“Tembaki terus!” 

‘Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak.” 

“Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab Sunan Rajeg 

pelahan. “Ayoh tembaki, tembaki terus.” 

“Pengawal” raung Rois, “selamatkan Sunan Rajeg!” 

Mahmud Barjah datang dengan kudanya. Mukanya 

merah-padam sebab  marah. Tangan kirinya memegang 

kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda. 

“Bangsat!” Pekiknya murka sambil mencambuk Manan. 

Yang dicambuk melompat menghindar. “Siapa perintahkan 

menembak?” 

“Kanjeng Sunan,” jawab Rois. 

“Apakah kalian sudah buta? Mahmud Barjah Panglima,” 

dengan cambuknya Mahmud menyambar kepala Rois yang 

juga melompat mengelak. 

“Mereka datang kemari!” teriak Manan. 

Panglima Rajeg itu mencambuk penggul kudanya dan 

berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap 

kudanya makin terdengar pelan lalu  hilang sama 

sekali, ditelan oleh semak. 

Dengan dipapah Sunan Rajeg menuruni bukit sambil 

berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas 

tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa. 

0o-dw-o0 

 

sesudah  diurut dengan cermat dan dapat menggunakan 

tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum 

menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi 

kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia 

memimpin kembali pasukan kakinya. 

Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang 

melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak 

pasukan kuda. 

Terhenti sebab  parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu 

melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk 

melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan 

ujung-ujung parit. 

Mahmud Barjah tak menghendaki mereka menemukan 

ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. namun  

musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus 

bergerak meninggalkan jebakan. 

Dari balik-balik semak di seberang parit terjal 

bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai 

bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh teman-

teman sendiri. 

Prajurit-prajurit Tuban yang telah berhasil mencapai 

ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang 

parit. Pertempuran terjadi. Meriam Manan dan Rois 

berdentuman. Pelurunya berjatuhan tepat pada tempat yang 

telah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani 

menembaki musuh yang telah menyusup dalam semak-

semak di belakang jebakan. 

Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam 

pertempuran kedua, pasukan kaki Tuban sama sekali tak 

mengindahkan bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung 

parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan, 

mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak 

dan tertebang. Panah tak bisa dipergunakan. Tombak 

mengambil alih. 

Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang 

mengamuk. 

Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di 

depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti 

pasukan gajah. Dan balatentara Tuban mendesak terus. 

Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah. 

Melihat tentara Rajeg terdesak Manan segera 

memerintahkan mengungsikan meriam dan segala 

perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari 

naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari 

ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa 

bebannya seperti serombongan kucing menggondol 

anaknya sendiri. Dan pucuk meriam itu menuruni bukit 

dengan gampang. Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan 

sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri. 

Tentara Rajeg yang terdesak tak mampu lagi menyusun 

barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam 

rumpunan semak yang lebih dalam. Mahmud Barjah tak 

mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya 

terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri. 

Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini 

Wirangmandala  tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia 

memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak 

mau tentaranya menderita lelah hanya untuk mencari-cari. 

Sorak-sorai tentara Tuban yang mengrsi h dari dalam 

semak-semak menjadi pertanda Rajeg telah terdesak dan 

didesak. 

Sorak-sorai tentara Tuban itu terdengar semakin 

mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut 

meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan. 

Waktu pasukan Banteng Wareng datang, mereka sudah 

tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal. 

Pecahan-pecahan tentara Rajeg yang bersebaran di 

medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam 

hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera 

hilang di antara kehijauan dan kecoklatan. 

Tandu Kiai Benggala Sunan Rajeg tergoncang-goncang 

dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar 

terdengar Sunan berseru-seru memperingatkan dari atas 

tandunya. 

Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas: 

“Ampun, Kanjeng Sunan, mereka sudah dekat’ dan terus 

lari tak peduli tandu semakin berguncangan. 

Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul 

memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan 

menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan 

Tuban sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan 

cambuk perang ke udara. 

Dengan serta merta mereka turunkan tandu. 

“Lari, Kanjeng Sunan, lari, lari dengan kaki sendiri.” 

Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu, 

dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan…. 

0o-dw-o0 

 

Matahari belum lagi tenggelam. 

Banteng Wareng dan pasukannya menyisiri setiap 

jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi tentara Rajeg untuk 

menandingi kelajuan dan kesigapan mereka. 

Pasukan kaki di bawah Rangkum lalu  datang 

menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan. 

Baru lalu  nampak pasukan gajah sebagai bukit-

bukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan 

hidungnya. 

Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan 

dua tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi 

semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di 

tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi 

rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang 

dapat ditangkapnya, lalu  melambai-lambaikan 

puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan 

dan keangkuhan. 

Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki 

menerjang semak. Sorak-sorai telah padam. Unggas hutan 

telah dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya 

sendiri… 

O0-dw-oO 

 

21, Keributan di Bandar Tuban 

Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya 

hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar 

Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak. 

Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, 

berdiri dengan diam-diam, bukan sebab  menunggu 

langganan yang tak kunjung datang. 

“Yakinkah tuan kita masih selamat dan tetap akan 

selamat?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan 

diri. 

“Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, 

Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten?” 

“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih 

tetap aman buat si Yakub ini?” 

“Lebih aman dibandingkan  di pangkuan ibumu sendiri.” 

“Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun 

sahaya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan 

siapkan surat balasan itu…” 

‘Tak ada surat balasan Yakub”. 

Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan 

Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk 

diam-diam mengikuti pikiran masing-masing. 

“Ya, memang terlalu sepi,” Syahbandar membenarkan 

keluhannya. ‘Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari 

tuak, arak dan penipuan.” 

“Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa 

tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri 

dari maut dengan pertolongan Allah saja.” 

“Cukup baik. Tuban takkan melupakan jasa-jasamu.” 

“Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan?” 

“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan mayat i 

kembali.” 

“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin 

hanya Tuan dengan Yakub menghabiskan arak ini.” 

“Kau belum lagi bercerita, Yakub.” 

“Hanya satu yang sahaya dengar di Blambangan sana. 

Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di 

Nusa Tenggara sana”. 

“Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira 

sebab  kapal-kapal Gresik terlalu berani menerobos ke 

Maluku – pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau 

Peranggi membuka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu 

untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira 

bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang 

didudukinya”. 

“O, itu mulai kelihatan orang berdatangan,” seru Yakub 

pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar 

kegelisahan hatinya. 

Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya 

orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa menengok 

ke arah warung. 

“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.” 

“Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada 

apa gerangan?” 

namun  Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi 

cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa. 

Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.” 

“Hampir sama dengan hewan,” Yakub membenarkan. 

“Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan 

meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan? Ya 

begitulah cetbang, dan begitulah meriam,” Syahbandar 

Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk 

senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun 

tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak 

hidup di jaman meriam ini, Yakub.” 

“Memang meriam saja yang menentukan dunia sekarang 

ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu 

berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.” 

Syahbandar Tuban meneguk. Yakub kembali 

memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga 

menuju ke bandar. 

“Dan biadab!” Syahbandar menambahi. “Arakmu cocok 

sekali hari ini”. 

“Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. 

Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua, 

dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak 

busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-

robek anjing. Dan tiada seorang Islam pun memeliharanya. 

Dan mereka mengaku Islam pula, Tuan.” 

“Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.” 

“Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling 

bandar, di balik semak-semak?” tiba-tiba Yakub 

mengalihkan percakapan. 

“Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?” 

“Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya 

lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di 

Gresik. Orang-orang Gresik pada bernafsu untuk 

menyewanya ke Maluku.” 

“Tentu tak ada yang menyewakan.” 

“Memang tak ada, Tuan.” 

‘Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi 

yang kau kua-tirkan?” 

“Boleh jadi Demak sana membantu.” 

Mula-mula Yakub hendak menuntut upah untuk 

keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan 

keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar 

Az-Zubaid menyebabkan ia mengendalikan diri. lalu  

memulai dengan ragu-ragu. 

“Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.” 

Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, namun  

matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya. 

‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah 

keluarnya upah. “Masa seorang Syahbandar bisa tidak 

tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang 

dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik. 

“Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan. 

Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya 

Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah 

juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang 

sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah 

merugikan orang.” 

“Jangan terlalu rakus, Yakub,” Syahbandar menasihati, 

“katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok 

dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.” 

Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub 

berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak. 

“Apa itu. Tuan Syahbandar?” mata Yakub menjadi liar. 

“Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka 

keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di 

balik punggung, juga berjalan ke arah bandar. 

“Masyaallaaaaah!” teriak Syahbandar waktu dilihatnya 

sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali 

pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!” 

teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke 

pelabuhan. 

Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat memenuhi 

dermaga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa 

yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan 

kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan 

untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih 

keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia. 

Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah 

kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka. 

Padatan orang itu lalu  diketahuinya bersenjatakan 

tongkat kayu. 

Ia melihat Liem Mo Han menelisip di antara mereka dan 

menjadi bagian dari mereka. lalu  bukan hanya 

punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di 

dalam kepadatan manusia itu. 

“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak 

seorang Portugis dalam Melayu. “Panggilkan Syahbandar. 

Francisco de Sa perlu dilayani.” 

“Syahbandar tak ada!” teriak yang lain menjawab. 

“Syahbandar sudah mampus!” teriak yang lain. 

Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam. 

Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana 

dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi 

tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari 

penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di 

sini!” 

Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja 

menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan 

mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak 

mencukupi. 

“Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar!” pekiknya. 

Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan 

tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibar-

kibar. Dan tetap sia-sia. 

“Beri jalan!” pekik Francisco de Sa. “Portugis akan 

temui Sang Adipati.” 

“Gusti Adipati tak menerima siapa pun!” orang berteriak 

berbareng dengan berbagai cara dan nada. 

“Kembali kalian, Peranggi!” 

“Ayoh, kembali!” 

“Bukan cara Portugis diperlakukan begini!” pekik de Sa. 

“Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii!” Tholib Sungkar 

meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug 

dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan 

Syahbandar!” 

Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan 

menengok ke belakang dan menertawakannya bemayat i-

mayat i. 

Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis: 

“Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini,” sambil 

mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti 

burung gereja. 

Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang 

kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya 

kembang-kempis. 

“Yesus! Bunyikan meriam!” perintahnya dalam Melayu. 

“Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau 

tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam 

Melayu. 

Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. 

“Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam Portugis, 

“kembali dan bu nyikan.” 

“Kalian Peranggi!” tuding Liem Mo Han dalam 

Portugis, “yang letak kan kekuatan pada meriam semata. 

Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!” 

“Siapa bicara Portugis itu?” tanya Francisco de Sa 

melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan 

menembak!” 

“Kami bisa menembak kalian lebih dulu. Pergi! 

Tinggalkan Tuban!” jawab Liem Mo Han. 

Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. 

Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal 

Portugis mulai mengalir turun dari kapal membawa segala 

macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa 

musket. 

Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan 

manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan 

mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke 

kapal. 

Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan 

tongkat. 

Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah 

kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan 

tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus Laslo tidak urung 

terpaksa masuk ke kapal juga. 

Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali 

kapal. Orang makin mayat i bersorak berjingkrak melambai-

lambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak. 

“Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke 

Peranggi! Tinggalkan Tuban!” 

“Kapal celaka! Pergi!” 

Kapal Portugis itu memasang layar. Tak ada seorang pun 

di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan 

kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga 

sendiri orang terus juga meledak dan mengejek. 

“Francisco de Sa akan datang lagi!” teriak Portugis itu. 

“Awas!” 

sesudah  kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan 

oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian 

meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang 

juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang 

mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas 

berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan 

untuk ikut berjingkrak dengan majikannya. 

Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari 

pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang 

dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka. 

Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka 

menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah 

Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak 

oleh orang banyak. 

Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu 

yang melekat pada kulit dan pakaiannya. 

“Tongkatku!” perintahnya. 

Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan 

menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan 

memberengut. 

“Tarbusku!” perintahnya lagi. 

Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik 

pitam. 

“Tarbus! Goblok,” waktu dilihatnya tarbus itu 

menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna 

merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan 

terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! 

punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu, 

lalu  menciumnya. 

Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki 

meninggalkan daerah bandar. 

Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az-

Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid 

Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya 

kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada 

tongkatnya. 

Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang 

bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu 

telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lambat 

tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak 

tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan 

ornamen haluan yang indah lagi gagah. 

Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu 

pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung 

agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri 

seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal 

Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia 

melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal 

tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya. 

Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpah-

nyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang 

paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap 

tak peduli dan semakin menjauh. 

“Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar!” 

suaranya parau menghiba-hiba. 

Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal. 

Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar. 

Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib 

Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru 

mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak 

menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan 

tembakan kedua memaksa Syahbandar merangkak-rangkak 

sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporak-

porandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan 

kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan 

memanggil-manggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung 

panjang bengkung itu menghadap ke warung Yakub. 

Pewarung itu tidak kelihatan. 

Bondongan peluru yang ke tiga membikin Tholib 

terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari 

rangkakannya. 

Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam 

warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak 

menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan 

arak dan barang-barang dagangan. 

Bondongan tembakan ke empat membikin Syahbandar 

itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di 

depan kamar kerja kesyahbandaran. 

lalu  Portugis menghentikan tembakannya. 

Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai 

menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti 

bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala 

ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir 

pun mencapai sasaran. 

Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam 

tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur 

Alhamdulillah, sebab  yakin tak ada sepasang dan sebelah 

mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak 

henti-hentinya berkomat-kamit. 

Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang 

mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia. 

Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia 

kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan 

tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh. 

Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai 

menyumpahi pandai-pandai Trantang. lalu  ia dengar 

juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru. 

Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang 

sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak 

kaget terpandangi oleh pemimpinnya. 

“Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku,” 

tegurnya. “Memang dia orang desa namun dia lebih 

dibandingkan  hanya kalian. Tutup mulut kalian.” 

Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat 

cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan 

perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon. 

Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar, 

menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam 

daun pisang kering dalam ikat pinggangnya. 

“Cari Senapati sampai dapat,” perintahnya pada dua 

orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja 

menunggu di tempat. Pergi.” 

sesudah  menerima lontar, dua orang melompat ke atas 

kudanya, memasuki kota, lalu  ke pedalaman. 

0o-dw-o0 

 

22. Pertempuran Penentuan 

Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. 

Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah 

kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di 

seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang 

beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar 

dibandingkan  sebelumnya. Kini diketahui tentara Rajeg 

menggunakan alat pelempar api. 

Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak 

terkendali. 

Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratus-

ratus kentongan bambu dipukul berbareng. 

Binatang-binatang raksasa itu bingung. 

Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil memberi 

isyarat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar 

segera meninggalkan tempat itu. 

Tak terdengar sorak-sorai balatentara Tuban. 

Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di 

seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan 

kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan 

bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan 

membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang 

dan berlari-larian liar merusak tubuh balatentara sendiri. 

“Mundur! Cepat mundur!” pekik Kala Cuwil sambil 

menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan. 

Di sampingnya berdiri Wirangmandala  yang mencoba 

menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan 

pandangnya. 

“Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini. 

Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada. 

Memalukan,” gumam Kala Cuwil. “Dan hanya melawan 

orang desa!” 

“Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau 

orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang. 

Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.” 

Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu 

menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut 

itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-

bentar menyebabkan orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu 

dapat menginjak mereka. 

Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak 

menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh. 

Tapi Kala Cuwil dengan tombak pimpinan mencegah 

mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama 

sekali. 

Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan 

dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di 

ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu 

lalu  juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan 

jebakan. 

Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling 

sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajurit-

prajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi 

dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba 

berdiri, la jatuh lagi. 

Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin 

meningkat. Sorak kemenangan. 

Sebuah peluru telah menyambar kotak benteng seekor 

gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah 

ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang 

kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka 

tanpa bisa dihalang-halangi. 

Kala Cuwil dengan tombak pimpinan terus sibuk 

memberikan perintah mundur. 

Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling 

marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. 

Sulingnya makin lama makin pelahan, lalu  terhenti 

dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya 

menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh 

ditinggalkan oleh yang lain-lain. Meriam berhenti 

menembaki. 

Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan, 

tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit 

dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai 

mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan. 

Banteng Wareng menghampiri gajah Senapati 

sebagaimana telah diperintahkan kepadanya.  

“Kudamu takut pada api?” tanya Senapati Tuban.  

‘Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah 

berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah 

biasa.” 

“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah 

mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar 

mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. 

Mereka membutuhkan waktu untuk melemparkan apinya. 

Gajah akan berbalik lagi.” 

Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas 

tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang 

bersembunyi di dalam hutan. 

Waktu seluruh pasukan gajah telah meninggalkan medan 

jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari 

jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng 

Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang, 

membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. 

Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas 

tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda 

sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran. 

Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas 

titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal 

sambil memperingatkan teman-temannya. 

Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat melarikan diri 

di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti 

kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan. 

Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi 

mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang 

memilukan menggantikan sorak-sorai. 

Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan 

jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi 

bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali. 

“Apa boleh buat,” Wirangmandala  bergumam, 

“penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.” 

“Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan, 

Senapatiku,” Kala Cuwil memperingatkan. 

“Mahmud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan 

anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia 

membutuhkan untuk kemenangan dan keamanannya 

sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan 

ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. 

Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi, 

dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan 

mereka sama sekali.” 

“Tidak patut Senapati berbelas kasihan.” 

“Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil, 

yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak,” ia 

menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka 

itu sanak dan kenalanku sendiri.” 

“Apa boleh buat.” 

“Ya, apa boleh buat. Dan sesudah  ini tinggal prajurit-

prajurit sejati saja masih akan berlawan.” 

Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini 

terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat 

sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Membawa diri 

sendiri pun sudah sulit. 

Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam 

jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng 

dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan. 

Dan malam itu hujan berhenti. 

Langit merah dan bulan pun mengambang dengan 

manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari 

bekas medan perang. 

Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap 

Wirangmandala , menyampaikan beberapa lembar lontar. 

Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk. 

Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati 

membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan 

orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala 

pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal meriam 

memang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita 

akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang 

hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. 

Jangan kalian punya pikiran Senapati hendak 

memerintahkan kalian berperang melawan meriam 

Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan 

cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal 

pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi 

dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk 

melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi 

mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi 

mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan kata-

kataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, 

hanya sebab  cetbang tak dapat kalahkan meriam.” 

sesudah  mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: 

“Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah tentara 

Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya?” 

“Terlalu banyak, Senapatiku.” 

“Tinggal berapa kiranya kekuatannya?” 

“Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali.” 

“Dua kali!” Senapati Tuban mengulangi. “Bagaimana 

pendapatmu Banteng Wareng?” 

“Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada 

kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.” 

“Apa pun kekuatannya,” Kala Cuwil menambahi, “yang 

tersisa sudah tidak akan lebih kuat.” 

“Dua kali pertempuran lagi”, Senapati mengulangi kata-

kata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku 

mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara 

Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita 

menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran 

penentuan.” 

“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, 

Senapatiku.” 

“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, 

sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku 

perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai 

menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan. 

Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat 

temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak 

beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.” 

Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam-

diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang 

bulan dan langit yang cerah. 

Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai 

merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud 

Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak 

pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai 

sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut 

dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya 

namun  dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh 

jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak