nusantara awal abad 16 16

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 16


 


ak 

kembali membelah udara. 

Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil 

memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka 

yang sedang kejangkitan semangat perang itu 

memperhatikan. 

Mahmud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai. 

Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung 

masuk ke Tuban Kota. 

Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambar-

nyambarkan cambuk perang pada tubuh para prajurit 

Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah 

mengucur. Perintah-perintah Mahmud sudah tidak 

didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak 

dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat 

ditangkap tangan sebab  tajamnya gerigi baja. Tangan yang 

tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi 

teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah. 

Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan 

merenggut keluar biji dari rongganya. 

Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda 

musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat 

membela diri dan mulai menyerang. 

“Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg!” pekik 

Mahmud Barjah parau, “jangan tinggalkan barisan!” 

Barisan pedang semakin banyak meninggalkan 

laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu 

musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan 

pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar 

pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan 

lagi. 

Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah 

berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk 

membinasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya. 

Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai 

memburu, Banteng Wareng memerintahkan untuk 

memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian 

tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang, 

dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung 

barisan yang telah membubarkan diri. 

Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama 

lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke 

depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari 

tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke 

belakang. 

“Manan keparat! Rois laknat!” sumpah Mahmud Barjah. 

“Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya. 

Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!” 

Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya. 

Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu 

barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan 

sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang 

sangat pendek semua tentara Mahmud Baijah telah 

bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda 

Tuban. 

Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia 

perintahkan membikin gerakan pengepungan semu, 

semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan 

tombak mulai beterbangan di udara. 

Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan 

dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada 

gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar 

mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas 

dataran. 

Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan 

lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan 

diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas 

ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik, 

memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap 

ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di 

bawah pengendalian pawang-pawangnya, binatang-

binatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan 

dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan 

kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.  

“Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak. 

Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu 

keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ 

terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah 

sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang 

dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti 

jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh 

anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang 

binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah 

baja yang melindungi tumitnya. 

“Tentara putihhhhhhh!” Mahmud Barjah memekik. 

“Gajah! Awas gajah datang!” 

“Gajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana. 

Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan 

gajah dan dari gajah ke kuda. 

Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah 

dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu 

keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar, 

melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya. 

Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan 

pertempuran. 

Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi. 

Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia 

perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu. 

Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari 

atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan 

pedang: “Goblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur! 

Terobos itu kepungan kuda!” 

“Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang 

Banteng Wareng. “Perlihatkan moncongmu yang besar 

itu.” 

namun  Mahmud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk 

mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia 

hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah. 

Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos. 

Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos, 

menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging. 

Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun 

mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka 

yang sedang berbunuh-bunuhan. 

Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan 

barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang 

bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya 

merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh 

bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih 

mereka dan bumi negerinya sendiri. 

“Trobos kuda sambil memekik kencaaaang!” perintah 

Mahmud. Suaranya semakin parau. 

Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang 

jatuh untuk lalu  dihujani dengan tombak dan pedang. 

Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam 

kegalauan medang perang. 

Kepungan semu lalu  bobol. Dan tak bisa lain. 

Gajah-gajah itu telah memasuki tengah-tengah medan 

pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya 

menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap 

akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk 

lalu  jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selama-

lamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan 

ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa 

peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang 

pengganda yang menggerincing sebab  krenyaknya. Barang 

siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari 

belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban, 

gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti 

jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas 

terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya 

dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan 

Batara Yamadipati. Tak ada bisa meluputkan diri. 

Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg 

menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng, 

membuyar lari ke segala jurusan. 

Dan Banteng Wareng memerintahkan anakbuahnya 

untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang 

dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka 

menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan 

raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah 

bergelantangan anak panah lawannya. 

Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi 

telah menjadi merah sebab  darah dan daging menganga. 

Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil 

bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak 

dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar. 

Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan 

kocar-kacir. 

Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras, 

duduk Wirangmandala  dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda 

pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan 

di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya 

tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia 

menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang 

berlangsung. 

Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda 

berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang 

kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambai-

lambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan 

kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali 

tak digubrisnya. 

“Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu,” katanya. 

“Itulah Mahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja.” 

“Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha 

mengundurkan tentaranya dalam keselamatan.” 

Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata mayat  

arwah  sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah 

kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah 

habis di dalam keputrian.’ 

“Pantas,” ia mengulangi; “Peranakan Koja.” 

“Apanya yang dikagumi, Senapatiku?” 

“Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan 

dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka 

dapat jatuh begitu mudah.” 

Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak 

mengerti. 

“Lihat!” Wirangmandala  berseru, “dia telah kehilangan 

kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap 

berusaha. Lihat!” 

Kala Cuwil nampaknya tak senang mendengarkan puji-

pujian untuk musuh dan pengkhianat itu. 

“Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini?” 

“Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam.” 

“Sorong terus sampai matari tenggelam,” Kala Cuwil 

mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat 

panji-panji dengan menuding ke depan. 

Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke 

arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya 

melesit seperti binatang beralih menembusi awan coklat dan 

putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima 

Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya 

pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya. 

Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu 

terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah 

terkena garu, licin dan rata. 

“Banteng Wareng!” Senapati Tuban berteriak dengan 

tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik 

pasukanmu!” 

Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar. 

“Dia akan tangkap Mahmud, Senapatiku,” Kala Cuwil 

mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah, 

jera dan kehabisan senjata.” 

“Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.” 

“Dia akan mudah ditangkap,” Kala Cuwil mencoba 

menerangkan untuk ke sekian kalinya. 

“Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu. 

Kita harus lihat sampai di mana Mahmud bisa urus 

anakbuahnya.” lalu  menjerit: “Banteng Wareng! 

Kembali!” 

Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan 

teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan 

pertempuran…. 

Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud 

menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia 

kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di 

selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi Banteng 

Wareng. 

“Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!” 

“Didekatkan pada mereka, Senapatiku!” 

Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu 

sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil 

bersuling. 

“Biar dia mendapat kesempatan selamatkan dan 

undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan 

bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam 

perangkap. Lepaskan dia!” 

Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembela-

pembela Mahmud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda. 

Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut. 

Prajurit-prajurit Rajeg yang membela panglimanya tak 

dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak 

semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung 

oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat 

bergerak sebagaimana harusnya. 

Mahmud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk 

itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu 

anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata 

pedang anakbuah sendiri. 

“Banteng Wareng, lepaskan dia!” teriak Wirangmandala . 

Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas 

jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban 

melambai-lambaikan tangan. namun  pasukan kuda tak 

mengerti maksud isyaratnya dan terus mendesak. 

Mahmud Barjah dengan para pengawalnya telah berada 

dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat. 

Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang 

demi seorang. 

“Matari hampir tenggelam, Senapatiku!” 

Matari sudah lama hilang ditelan mendung. 

“Hentikan pengejaran!” perintah Senapati. 

“Pengejaran dihentikan, Senapatiku,” Kala Cuwil 

mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya. 

Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda matari di barat. 

Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam. 

Mahmud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan. 

Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala 

penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas 

punggung kuda. 

“Berhenti!” teriak Wirangmandala  dari atas gajahnya. 

Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki 

Mahmud. 

Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan 

tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda. 

Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang 

mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki 

Mahmud tak jadi tertebang tatas. 

Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan 

mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala 

Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh 

semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati 

mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi 

kau, Mahmud! Pergi kau dengan damai!” 

Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masing-

masing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia 

jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya 

dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu, 

Wirangmandala , anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa 

lagi!” 

Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi 

bangkai yang bertebaran di tanah, lalu  memacu tanpa 

menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan 

yang diselaputi rembang senja. 

Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh 

malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan 

mereka. Tentara Tuban berhenti di tempat dan mesanggrah. 

Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga 

melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah 

padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paru-

parunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan, 

bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan 

untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua 

keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajurit-

prajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga 

keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada 

musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit 

Mahmud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak 

lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia 

undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia punya 

kesetiaan pada anakbuahnya.” 

“Dia hanya pengkhianat!” pekik Banteng Wareng 

membantah tanpa pikir panjang. 

“Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap Gusti Adipati 

dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan 

anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian 

ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan 

turun.” 

Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang 

telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang. 

Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar 

kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang 

mulai mengancam. 

Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur 

nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua 

butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit 

bermendung melewati perbatasan kota. 

Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kuda-

kuda meringkik lemah. 

lalu  sunyi senyap. 

0o-dw-o0 

 

 

19. Kesepian di Tuban 

Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar 

seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar 

pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu 

kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang 

melompong dengan pintu semua terbuka. 

Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada 

sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan 

pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada 

meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke 

mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur 

sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak 

dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa 

pemilik. 

Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu 

tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya. 

Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu 

datangnya hujan deras untuk lalu  tenggelam. 

Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar 

berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di 

Gresik, ia telah membuka warung tuak di sana. Berita lain 

menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan. 

Berita ketiga mengabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada 

balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas 

warungnya tinggal tutup. 

Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah 

pun. Semua telah diungsikan ke Gresik atas perintah 

Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri 

terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-mandir 

sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa 

membikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa 

berguna kembali. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan 

harian. Ia kelihatan lebih kurus dibandingkan  biasanya. Jarang ia 

nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam 

kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak 

sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagian-

bagian pelabuhan yang membutuhkan perbaikan. Dana 

untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan 

kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat 

melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur. 

Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal 

canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi. 

Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak. 

Kesyahbandaran lebih sunyi dibandingkan  di mana pun. 

Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama 

pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu 

kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah 

ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. Syahbandar sendiri 

jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis 

Gelar. Ia dibawa oleh tengkorak  ke Awis Krambil. Nyi Gede 

Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap 

hari kelihatan menrsi s taman. 

Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat 

difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan 

tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari 

tanpa pekerjaan. sebab  tiada keris pada pinggang dan 

tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya 

menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan 

diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah 

pelabuhan. 

Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara 

mereka segera tahu, mereka tidak lain dibandingkan  anggota-

anggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian 

prajurit. Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang 

tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka 

kerjakan. sebab  di balik semak-semak hutan yang 

membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak 

berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua 

diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka 

disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya 

Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara 

pertempuran sedang terjadi di pedalaman. 

Perkampungan non-Nusantara juga sepi sebab  sesudah  

terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah 

meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya 

penduduk Pecinan tidak susut, sebab  hukum Tuban 

melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua 

prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak 

diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk 

kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk 

biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang, 

sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari 

mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan 

dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit 

atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He 

dengan Adipati Tuban memperkokoh perjanjian itu untuk 

ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli 

Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah 

mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi 

keselamatan warganya. 

Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat kemayat ian 

dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki 

di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya, 

ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas 

diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah 

membikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang 

tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang 

dan menerjang-nerjang pelataran tetangga. 

Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari 

tempat semula sebab  serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut 

pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh 

penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya. 

Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan. 

Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu 

murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal 

menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus 

bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya 

kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak 

berubah. 

Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa 

pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah 

diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal 

atas perintah Wirangmandala . 

Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti, 

tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan 

menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu 

pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh 

para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata 

menghadapi ujian. Dan justru sebab  pengetahuan baru itu 

ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus 

diperbuatnya. 

Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin, 

kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia, 

untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan 

damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal 

dari Dia yang membikin hidup. Maka sudah menjadi 

patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja, 

membangkangnya, adalah juga melanggar dan 

membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang? 

Sang Patih jelas telah membangkang terhadap dirinya. 

Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah 

sudah sepatutnya sebagai satria – mendapat tikaman keris 

sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membikin 

hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak 

mati sebab  Wirangmandala , pasti sebab  perintahnya. Dan 

itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap 

kawula. sebab  itu setiap permohonan untuk memelihara 

dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan. 

namun  Wirangmandala ! Apakah yang diperbuatnya? Dia 

telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban. 

Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret 

Tuban seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran 

pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia 

membiarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah 

kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa. 

Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa 

saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama 

tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri 

dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri 

– seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama 

dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan 

tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi 

mata dan hati. Makanan hilang rasa: namun  jantung terus 

juga berdenyut. 

Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam. 

Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggaman 

tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi 

kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia 

akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan 

untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia 

lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di 

dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya 

kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya. 

Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan 

badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh 

dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu 

arti lagi baginya. 

Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya 

waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada 

penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: 

hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang 

dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut 

sebab  lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah sebab  

kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana 

saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah sebab  

hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya 

boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap 

saat ia bersedia mati baik sebab  usia mau pun sebab  

kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan. 

Bila ternyata Wirangmandala  kelak melakukan 

pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai 

kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut, 

dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia 

yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas 

penghabisan sebagai satria dengan kehormatan. Dan apalah 

salahnya selama ia tetap satria? Putra-putranya akan 

mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan 

mengerti dan menghormatinya. 

Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan 

mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat 

mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman 

itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, sebab  

jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan  Batara 

Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau 

Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat 

tempatnya. 

namun  yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan. 

Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di 

selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri 

kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa 

kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah. 

Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang 

tak tahu adat. Seorang anak desa telah membunuh saudara 

sepupunya, lalu  mengangkat diri sendiri menjadi 

Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka 

dia berbuat tanpa titahku? 

Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak 

akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat 

hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan 

berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya 

demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi se-

bangsanya. 

Dan praja sekarang lumpuh. 

Dan praja adalah raja. 

Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia 

kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga: 

Wirangmandala , seorang anak desa tanpa makna yang telah 

berani membunuh seorang dari darah Majapahit, darah 

tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa 

lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa 

setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak 

untuk menjadi raja. 

Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa Majapahit 

bisa berdiri hanya sebab  bantuan orang-orang kebanyakan, 

dan orang-orang itu lalu  diangkat oleh Sri Baginda 

Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu 

melenyapkan dendamnya pada Wirangmandala . Ia harus 

membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun 

sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya. 

Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu 

ini: ia dicintai dan dihormati oleh kawula Tuban. 

Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai 

dan menghormatinya? Tidakkah kawula Tuban akan 

melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukuman 

padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada 

raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula sebab nya 

ingkar dan membangkang terhadap dirinya? 

Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan 

kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata 

dewa-dewa juga berpihak pada manusia…. 

Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing. 

Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya 

haremnya. 

Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon 

beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban. 

Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap. 

Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong 

Wirangmandala  ke pojokan sebagai biangkeladi segala 

keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun 

pengampunan dibandingkan nya. 

“Wira, si anak desa itu, Gusti, telah berani melanggar 

titah sesudah  dia mengangkat diri jadi Patih Senapati 

Tuban,” Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, “bukan 

hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah 

perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan 

menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama 

menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah 

membikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih 

dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya Gusti, 

seperti membunuh anak kambing.” 

Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan: 

“Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan 

dia?” 

“Takut, Gusti. Setan telah merasuki dirinya.” 

Sang Adipati mengerti, bukan sebab  takut mereka 

mendengarkannya. Juga bukan sebab  kerasukan setan. 

Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa 

itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewa-

dewa. Dan tidak mungkin kalau hanya sebab  kepala-

kepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya 

mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah 

berkenan, mereka akan mendengarkannya juga. 

Yang teringat olehnya adalah pemberontakan-

pemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa 

kejayaan Majapahit, hanya sebab  pembagian kekuasaan 

antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir 

kadipaten Tuban? 

Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing. 

Syahbandar Tuban tak membiarkan kesempatan berlalu 

tanpa membakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak 

terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda. 

“Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi 

Patih dan Senapati sekaligus, Gusti, itu adalah menyalahi 

darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan 

ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat. 

namun  Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingat-

ingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke 

atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga 

pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja 

jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken 

Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di 

Jawa lalu . namun  Wirangmandala  takkan jadi Patih 

Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selama Adipati Tuban 

Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari 

muka bumi. 

Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun 

Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling 

kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke 

mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang Adipati. 

Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu 

membikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban – 

satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara. 

Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar 

suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di 

pedalaman. namun  Sang Adipati tidak pernah melayaninya. 

Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu 

menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin 

dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wirangmandala  

ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan menang. 

Tidak percuma selama dua ratus tahun jadi andal-andal 

Majapahit. 

Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang 

Wirangmandala  makin jelas gambaran anak desa itu di 

hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu 

akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh 

telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan 

balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada 

waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat 

diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap 

menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing 

yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia 

akan menunggu datangnya karunia dari tanganku. 

Kambing yang mengembik itu takkan mendapat umpan. 

Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton. 

Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid. 

Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali 

seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan 

sendiri. Sederhana. 

Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram 

pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang 

perbuatan Wirangmandala . Tak ada seorang kawula yang 

mempunyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih. 

Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak 

desa itu yang membunuhnya? Mengapa Wirangmandala ? 

Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu? 

Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi 

pengantin agung dengan tengkorak . Semua orang ikut bersuka 

cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang 

menggoncangkan itu bukan telah dimayat lkan dalam 

jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai Senapati 

Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk? 

Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya? 

Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang 

suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah 

terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya 

pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban, 

gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak 

desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok. 

Tetap tak ada yang dapat memayat lkan apa yang bakal 

terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran 

di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali 

seperti semula. 

Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa 

Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang 

dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru 

menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang 

pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak 

tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati. 

Dan tengkorak ? Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang 

tetirah ke Awis Krambil untuk melahirkan. Dan mungkin 

juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan 

diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar 

terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan 

terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu 

memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan 

ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih 

gemilang dibandingkan  kedua orangtuanya. 

Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah 

oleh rsi h dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di 

kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan 

menunggu datangnya taufan. 

Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan 

semakin membikin hati gundah. 

Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan 

menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur, 

sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah. 

Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari 

Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa 

mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya. 

Ia merasa masih mempunyai cukup kehormatan: Ia tidak 

akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja 

Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. Tuban 

tidak perlu mengakui keunggulan Malaka…. 

0o-dw-o0 

 

20. Pertempuran dan Pertempuran 

Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan 

balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang 

antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding 

daun kelapa setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat 

mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok 

anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk. 

Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah 

pelita minyak kelapa memancari wajah dan tubuh beberapa 

orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita 

itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak 

berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia namun  makhluk 

menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka 

tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan 

kesungguhan mereka menegangkan suasana. 

“Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini 

bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka,” kata 

Kala Cuwil. “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di 

mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.” 

“Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah 

tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya. 

“Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap 

waktu.” 

“Dia tetap akan meninggalkan bekas.” 

“Orang bisa membikin supaya tidak berbekas.” 

“Mereka takkan mempunyai cukup waktu untuk itu.” 

“Moga-moga.” 

“Selama mereka masih menembakkan meriamnya, induk 

pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum, 

kepala pasukan kaki. 

“Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala Cuwil 

meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka 

takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk 

melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang 

mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban 

akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan 

hanya menjadi beban.” 

“Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan 

untuk berperang lama,” Banteng Wareng 

memperdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu 

subur. Daerah Tuban Kota sendiri tandus. Selama ini hanya 

kebesaran bandar yang diagung-agungkan. Kalau 

pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kelaparan yang 

ada.” 

“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita 

inilah kunci’ Wirangmandala  menyarani. “Kalau mereka 

menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membikin 

pendek.” 

Banteng Wareng mengangkat muka. Suatu perasaan tak 

senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia 

memperdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga 

memegang kunci atas kita. Menyesal sekali Mahmud Barjah 

dilepas murah.” 

Kala Cuwil mendengus menahan kegusaran Banteng 

Wareng. Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak 

pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap 

katanya: “Ikan besar umpan pun besar.” 

“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah Banteng Wareng, 

“lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang 

berperang.” 

“Dengarkan, kau, Rangkum,” Senapati Tuban 

membelokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari 

pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku. 

Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu telah terputus 

dari induk pasukannya sendiri!” 

“Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu malam,” 

bantah Banteng Wareng. 

“Apakah Senapati kalian kira keturunan raja? Aturan 

perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa 

katamu, Kala Cuwil?” 

“Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang menjawab.” 

“Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku,” jawab 

Rangkum. “Besok mereka masih membutuhkan tenaganya 

sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka 

mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari 

jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, Senapatiku.” 

Dan Wirangmandala  tahu, hanya Senapati tidak bijaksana 

disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan 

mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di 

atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh mereka. 

“Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini,” 

Banteng Wareng memperingatkan. 

“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu, 

hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang.” 

“Senapati baru sekali ini berperang,” bantahnya. 

“Dalam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya 

sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih 

banyak dari aku,” jawab Senapati. Dengan sendirinya 

tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak 

layak sesudah  kemenangan gemilang hanya sebab  dirinya 

yang memerintahkan dimulainya gerakan, la telah 

pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kesenapatian. 

Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang. 

Dan ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cuwil tak 

menyokongnya. 

“Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh. 

Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud 

Senapati,” katanya menyarani. “Kalian memang boleh 

menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang 

adalah perang.” 

“Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku. 

Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku 

bijaksana.” 

“Kala Cuwil!” panggil Senapati. “Juga kau sendiri tahu, 

yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak 

dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari 

pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai 

separoh. Bagaimana jawaban ini?” 

“Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada 

sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahmud Barjah dari 

kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan 

anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas. 

“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu 

pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti 

ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini. 

Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada 

yang mau berangkat. Siapa siap berangkat?” 

Tak berjawab. Senapati masih memerlukan memandangi 

kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendapat jawaban. 

Sia-sia. 

“Baik,” katanya lalu , “Banteng Wareng, sediakan 

untukku seekor kuda yang segar.” 

“Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri?” 

“Memutuskan mereka dari induk pasukannya.” 

Banteng Wareng menatap Senapati dengan diam-diam. 

Melihat Wirangmandala  tetap pada pendiriannya, lambat-

lambat tapi pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh 

pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam 

ini juga.” 

“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan 

sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu 

aturan perang para raja ini bertarung.” 

Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng 

Wareng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini 

mengangguk. 

“Senapatiku,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan 

bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.” 

Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu 

bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat 

menerangi bumi barang sekejap. 

Tanah berumput di bawah kaki memudahkan 

perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan 

berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi 

padang rumput berbatu-batu, lalu  memasuki jalanan 

desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan 

bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung. 

Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar 

berkeruyuk. lalu  unggas-unggasan yang lain mulai 

menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mulai 

memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di 

timur sana. 

Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada. 

“Apa katamu sekarang. Rangkum?” 

“Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari.” 

“Apa artinya itu, Rangkum?” 

“Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang 

dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.” 

Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak 

di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan. 

Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua 

bergerak menyusul Senapati. 

Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada 

siang kemarin telah terhapus oleh hujan. 

Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang 

tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun 

penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati 

kelaparan, kehujanan dan kedinginan. 

sesudah  magrib, di depan pendopo, di hadapan para 

pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum isya: 

“Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan 

pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka 

bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat 

untuk memerintah orang desa.” 

“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita 

pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa 

Majapahit. Di Tuban aku pun sudah banyak dengar tentang 

itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang 

punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam. 

Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar 

itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.” 

“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang 

Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya sebab  

tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani 

Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan 

kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga 

masih ingat, bahwa dalam kekuasaan Majapahit hampir 

semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu 

pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir 

seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?” 

“Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati 

Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandar-

bandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja 

di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di 

bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.” 

Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang 

menamakan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah 

sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis meriam 

pada Peranggi? Pada Kongso Dalbi di Malaka? Begitulah 

ningrat Jawa. Untuk mengambil hati Peranggi, raja 

Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang 

tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di 

Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di 

Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan 

rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang 

pada kalian sebab  meriam? Dan disertai orang Arabnya 

sekali? Tidak! Tak ada orang Arab menyampaikan ajaran di 

Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan 

Nusantara ini. Orang-orang Arab datang hanya untuk 

memaneni jerih-payah orang lain. Islam datang dari 

kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati 

mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti 

berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi 

dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam, 

dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa 

meminta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.” 

Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada 

Rois dan Manan, Peranggi mualaf, membersihkan 

tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang 

bukan sebagai Peranggi Blambangan. Mereka berdua 

datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara 

sendiri.” 

Dari kejauhan telah terdengar rsi h bergumam dan 

gerimis tipis mulai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak 

juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau 

Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan, 

mengusir Hindu dan Nasrani dan Peranggi dari 

Blambangan. Tak ada alasan Tuban bisa mengalahkan kita. 

Adipati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah, 

tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati, 

tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang. 

Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah 

dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih dua ratus tahun jadi 

perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit 

tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan, 

jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan. 

Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Ward-

hana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi, 

sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya 

sendiri pada lari meninggalkannya. 

Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam 

kekuasaannya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut 

masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu. 

Dan ia terpaksa meneruskan wejangannya, sebab  

memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: Demak. 

“Nah,” ia meneruskan sesudah  semua mendapat 

tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap 

dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian 

memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak 

sesederhana itu namanya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam 

Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang 

dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir 

Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit. 

Bohong! Semua pemasyhuran tentang Demak oleh musafir-

musafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini 

takkan punya kemampuan membuat sesuatu yang baru, 

apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama. 

“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir 

Demak, hei, kau bekas musafir Demak, benarkah Sultan 

Demak orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian 

sebut Sultan Demak orang itu sama sekali tidak bisa baca 

dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara 

sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan 

tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja, 

kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa. 

Hei, kau bekas musafir Demak, cobalah jawab: sipit atau 

tidakkah Sultan Demak?” 

Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan 

badan dan leher dan menjawab: “Sahaya belum pernah 

melihatnya, Ki Aji.” 

“Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia 

memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan 

percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir 

Demak. Mari aku ceritai kalian: “Sultan Demak memang 

tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh 

kawulanya sendiri. sebab  itu dia membutuhkan musafir 

untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.” 

“Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan?” 

Pertanyaan itu menyebabkan orang tergugah dari 

kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka 

ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar. 

Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa, 

orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar 

tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian 

harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara. 

Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya, 

“ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah 

armada dari utara sana, memang bukan untuk 

menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya, 

bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk 

membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan 

rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir 

dari negerinya dan minta perlindungan pada Majapahit. 

Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu 

bagaimana isi perjanjian itu, sebab  dialah waktu itu 

ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnawisesa untuk 

melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao 

Sam sekarang dan Semarang sekarang, namun  mereka tidak 

boleh memasuki perairan Maluku. Mereka boleh 

mendapatkan rempah-rempah hanya dari bandar-bandar di 

Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo 

Awang. Orang hanya mengenal gelarnya: Ceng He. 

“Memang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. Dan 

mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai 

perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui 

jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapal-

kapal Jawa.” 

“Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar 

armada Majapahit di masa jayanya. Dan sebab  waktu itu 

di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya 

memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang 

itu, namun  ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.” 

“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka 

datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka 

datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang, 

tidak menembak dengan meriam atau cet-bang, tidak 

merampas bandar orang dan tidak menumpas rajanya.” 

“Di mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, sebab  

menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di 

pantai Rembang.” 

“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak 

bandar!” 

Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh 

tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan. 

“Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri. 

Mereka tersekat di sini sebab  di negerinya sendiri terjadi 

pergantian kaisar. 

Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan 

Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah 

rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar 

perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang. 

“Dulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak 

penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan mendapat 

pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu 

aku masih jadi Syahbandar. 

“Dengan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada 

musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur 

untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir 

perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan 

kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat 

adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari 

timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya. 

Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik 

sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan 

benteng Sampo Toa-lang itulah Demak.” 

“Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya 

Glagah Wangi Demak,” seseorang membantah berapi-api 

sambil berjongkok meninggikan badan. 

“Bukankah kau bekas musafir Demak, Firman?” 

“Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan 

begitu.” 

“Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk 

jadi musafir Demak. Coba, adakah pernah seorang raja 

Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa. 

Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya 

untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan 

asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan Majapahit, anak 

Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari Gresik. 

Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang 

Tionghoa Islam. Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku 

mengenal dia, sebab  beberapa kali dia memang pernah 

berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri 

Baginda Bhre Wijaya, namun  tidak benar anaknya itu 

dihadiahkan pada Arya Damar, Adipati Palembang dan 

melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam 

lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada 

yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar! 

“Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak 

pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh 

ayahnya ke Malaka semasa masih gadis kecil. Memang dia 

mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi 

anak itu lalu  mati. Dia sangat menderita di dalam 

keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu 

merengek minta menjenguk orangtuanya. Sri Baginda 

dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada 

Sang Adipati Tuban, ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi 

hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu 

dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak 

yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca. 

Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum 

meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk 

dididik.” 

“Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa 

b