nusantara awal abad 16 16
ak
kembali membelah udara.
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil
memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka
yang sedang kejangkitan semangat perang itu
memperhatikan.
Mahmud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai.
Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung
masuk ke Tuban Kota.
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambar-
nyambarkan cambuk perang pada tubuh para prajurit
Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah
mengucur. Perintah-perintah Mahmud sudah tidak
didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak
dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat
ditangkap tangan sebab tajamnya gerigi baja. Tangan yang
tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi
teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah.
Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan
merenggut keluar biji dari rongganya.
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda
musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat
membela diri dan mulai menyerang.
“Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg!” pekik
Mahmud Barjah parau, “jangan tinggalkan barisan!”
Barisan pedang semakin banyak meninggalkan
laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu
musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan
pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar
pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan
lagi.
Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah
berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk
membinasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya.
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai
memburu, Banteng Wareng memerintahkan untuk
memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian
tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang,
dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung
barisan yang telah membubarkan diri.
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama
lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke
depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari
tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke
belakang.
“Manan keparat! Rois laknat!” sumpah Mahmud Barjah.
“Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya.
Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!”
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya.
Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu
barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan
sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang
sangat pendek semua tentara Mahmud Baijah telah
bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda
Tuban.
Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia
perintahkan membikin gerakan pengepungan semu,
semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan
tombak mulai beterbangan di udara.
Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan
dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada
gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar
mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas
dataran.
Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan
lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan
diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas
ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik,
memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap
ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di
bawah pengendalian pawang-pawangnya, binatang-
binatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan
dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan
kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.
“Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak.
Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu
keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ
terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah
sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang
dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti
jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh
anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang
binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah
baja yang melindungi tumitnya.
“Tentara putihhhhhhh!” Mahmud Barjah memekik.
“Gajah! Awas gajah datang!”
“Gajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana.
Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan
gajah dan dari gajah ke kuda.
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah
dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu
keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar,
melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya.
Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan
pertempuran.
Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi.
Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia
perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu.
Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari
atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan
pedang: “Goblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur!
Terobos itu kepungan kuda!”
“Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang
Banteng Wareng. “Perlihatkan moncongmu yang besar
itu.”
namun Mahmud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk
mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia
hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah.
Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos.
Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos,
menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging.
Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun
mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka
yang sedang berbunuh-bunuhan.
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan
barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang
bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya
merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh
bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih
mereka dan bumi negerinya sendiri.
“Trobos kuda sambil memekik kencaaaang!” perintah
Mahmud. Suaranya semakin parau.
Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang
jatuh untuk lalu dihujani dengan tombak dan pedang.
Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam
kegalauan medang perang.
Kepungan semu lalu bobol. Dan tak bisa lain.
Gajah-gajah itu telah memasuki tengah-tengah medan
pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya
menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap
akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk
lalu jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selama-
lamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan
ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa
peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang
pengganda yang menggerincing sebab krenyaknya. Barang
siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari
belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban,
gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti
jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas
terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya
dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan
Batara Yamadipati. Tak ada bisa meluputkan diri.
Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg
menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng,
membuyar lari ke segala jurusan.
Dan Banteng Wareng memerintahkan anakbuahnya
untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang
dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka
menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan
raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah
bergelantangan anak panah lawannya.
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi
telah menjadi merah sebab darah dan daging menganga.
Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil
bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak
dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar.
Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan
kocar-kacir.
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras,
duduk Wirangmandala dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda
pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan
di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya
tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia
menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang
berlangsung.
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda
berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang
kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambai-
lambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan
kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali
tak digubrisnya.
“Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu,” katanya.
“Itulah Mahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja.”
“Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha
mengundurkan tentaranya dalam keselamatan.”
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata mayat
arwah sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah
kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah
habis di dalam keputrian.’
“Pantas,” ia mengulangi; “Peranakan Koja.”
“Apanya yang dikagumi, Senapatiku?”
“Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan
dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka
dapat jatuh begitu mudah.”
Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak
mengerti.
“Lihat!” Wirangmandala berseru, “dia telah kehilangan
kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap
berusaha. Lihat!”
Kala Cuwil nampaknya tak senang mendengarkan puji-
pujian untuk musuh dan pengkhianat itu.
“Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini?”
“Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam.”
“Sorong terus sampai matari tenggelam,” Kala Cuwil
mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat
panji-panji dengan menuding ke depan.
Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke
arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya
melesit seperti binatang beralih menembusi awan coklat dan
putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima
Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya
pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya.
Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu
terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah
terkena garu, licin dan rata.
“Banteng Wareng!” Senapati Tuban berteriak dengan
tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik
pasukanmu!”
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar.
“Dia akan tangkap Mahmud, Senapatiku,” Kala Cuwil
mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah,
jera dan kehabisan senjata.”
“Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.”
“Dia akan mudah ditangkap,” Kala Cuwil mencoba
menerangkan untuk ke sekian kalinya.
“Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu.
Kita harus lihat sampai di mana Mahmud bisa urus
anakbuahnya.” lalu menjerit: “Banteng Wareng!
Kembali!”
Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan
teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan
pertempuran….
Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud
menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia
kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di
selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi Banteng
Wareng.
“Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!”
“Didekatkan pada mereka, Senapatiku!”
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu
sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil
bersuling.
“Biar dia mendapat kesempatan selamatkan dan
undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan
bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam
perangkap. Lepaskan dia!”
Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembela-
pembela Mahmud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda.
Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut.
Prajurit-prajurit Rajeg yang membela panglimanya tak
dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak
semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung
oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat
bergerak sebagaimana harusnya.
Mahmud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk
itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu
anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata
pedang anakbuah sendiri.
“Banteng Wareng, lepaskan dia!” teriak Wirangmandala .
Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas
jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban
melambai-lambaikan tangan. namun pasukan kuda tak
mengerti maksud isyaratnya dan terus mendesak.
Mahmud Barjah dengan para pengawalnya telah berada
dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat.
Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang
demi seorang.
“Matari hampir tenggelam, Senapatiku!”
Matari sudah lama hilang ditelan mendung.
“Hentikan pengejaran!” perintah Senapati.
“Pengejaran dihentikan, Senapatiku,” Kala Cuwil
mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya.
Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda matari di barat.
Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam.
Mahmud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan.
Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala
penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas
punggung kuda.
“Berhenti!” teriak Wirangmandala dari atas gajahnya.
Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki
Mahmud.
Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan
tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda.
Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang
mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki
Mahmud tak jadi tertebang tatas.
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan
mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala
Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh
semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati
mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi
kau, Mahmud! Pergi kau dengan damai!”
Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masing-
masing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia
jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya
dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu,
Wirangmandala , anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa
lagi!”
Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi
bangkai yang bertebaran di tanah, lalu memacu tanpa
menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan
yang diselaputi rembang senja.
Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh
malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan
mereka. Tentara Tuban berhenti di tempat dan mesanggrah.
Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga
melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah
padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paru-
parunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan,
bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan
untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua
keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajurit-
prajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga
keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada
musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit
Mahmud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak
lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia
undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia punya
kesetiaan pada anakbuahnya.”
“Dia hanya pengkhianat!” pekik Banteng Wareng
membantah tanpa pikir panjang.
“Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap Gusti Adipati
dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan
anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian
ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan
turun.”
Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang
telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang.
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar
kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang
mulai mengancam.
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur
nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua
butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit
bermendung melewati perbatasan kota.
Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kuda-
kuda meringkik lemah.
lalu sunyi senyap.
0o-dw-o0
19. Kesepian di Tuban
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar
seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar
pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu
kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang
melompong dengan pintu semua terbuka.
Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada
sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan
pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada
meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke
mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur
sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak
dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa
pemilik.
Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu
tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya.
Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu
datangnya hujan deras untuk lalu tenggelam.
Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar
berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di
Gresik, ia telah membuka warung tuak di sana. Berita lain
menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan.
Berita ketiga mengabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada
balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas
warungnya tinggal tutup.
Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah
pun. Semua telah diungsikan ke Gresik atas perintah
Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri
terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-mandir
sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa
membikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa
berguna kembali.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan
harian. Ia kelihatan lebih kurus dibandingkan biasanya. Jarang ia
nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam
kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak
sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagian-
bagian pelabuhan yang membutuhkan perbaikan. Dana
untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan
kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat
melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur.
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal
canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi.
Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak.
Kesyahbandaran lebih sunyi dibandingkan di mana pun.
Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama
pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu
kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah
ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. Syahbandar sendiri
jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis
Gelar. Ia dibawa oleh tengkorak ke Awis Krambil. Nyi Gede
Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap
hari kelihatan menrsi s taman.
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat
difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan
tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari
tanpa pekerjaan. sebab tiada keris pada pinggang dan
tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya
menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan
diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah
pelabuhan.
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara
mereka segera tahu, mereka tidak lain dibandingkan anggota-
anggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian
prajurit. Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang
tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka
kerjakan. sebab di balik semak-semak hutan yang
membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak
berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua
diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka
disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya
Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara
pertempuran sedang terjadi di pedalaman.
Perkampungan non-Nusantara juga sepi sebab sesudah
terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah
meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya
penduduk Pecinan tidak susut, sebab hukum Tuban
melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua
prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak
diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk
kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk
biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang,
sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari
mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan
dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit
atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He
dengan Adipati Tuban memperkokoh perjanjian itu untuk
ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli
Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah
mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi
keselamatan warganya.
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat kemayat ian
dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki
di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya,
ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas
diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah
membikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang
tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang
dan menerjang-nerjang pelataran tetangga.
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari
tempat semula sebab serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut
pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh
penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya.
Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan.
Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu
murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal
menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus
bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya
kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak
berubah.
Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa
pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah
diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal
atas perintah Wirangmandala .
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti,
tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan
menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu
pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh
para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata
menghadapi ujian. Dan justru sebab pengetahuan baru itu
ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus
diperbuatnya.
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin,
kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia,
untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan
damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal
dari Dia yang membikin hidup. Maka sudah menjadi
patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja,
membangkangnya, adalah juga melanggar dan
membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang?
Sang Patih jelas telah membangkang terhadap dirinya.
Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah
sudah sepatutnya sebagai satria – mendapat tikaman keris
sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membikin
hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak
mati sebab Wirangmandala , pasti sebab perintahnya. Dan
itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap
kawula. sebab itu setiap permohonan untuk memelihara
dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan.
namun Wirangmandala ! Apakah yang diperbuatnya? Dia
telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban.
Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret
Tuban seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran
pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia
membiarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah
kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa.
Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa
saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama
tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri
dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri
– seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama
dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan
tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi
mata dan hati. Makanan hilang rasa: namun jantung terus
juga berdenyut.
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam.
Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggaman
tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi
kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia
akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan
untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia
lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di
dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya
kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya.
Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan
badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh
dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu
arti lagi baginya.
Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya
waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada
penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria:
hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang
dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut
sebab lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah sebab
kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana
saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah sebab
hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya
boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap
saat ia bersedia mati baik sebab usia mau pun sebab
kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan.
Bila ternyata Wirangmandala kelak melakukan
pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai
kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut,
dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia
yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas
penghabisan sebagai satria dengan kehormatan. Dan apalah
salahnya selama ia tetap satria? Putra-putranya akan
mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan
mengerti dan menghormatinya.
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan
mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat
mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman
itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, sebab
jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan Batara
Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau
Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat
tempatnya.
namun yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan.
Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di
selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri
kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa
kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah.
Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang
tak tahu adat. Seorang anak desa telah membunuh saudara
sepupunya, lalu mengangkat diri sendiri menjadi
Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka
dia berbuat tanpa titahku?
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak
akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat
hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan
berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya
demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi se-
bangsanya.
Dan praja sekarang lumpuh.
Dan praja adalah raja.
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia
kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga:
Wirangmandala , seorang anak desa tanpa makna yang telah
berani membunuh seorang dari darah Majapahit, darah
tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa
lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa
setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak
untuk menjadi raja.
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa Majapahit
bisa berdiri hanya sebab bantuan orang-orang kebanyakan,
dan orang-orang itu lalu diangkat oleh Sri Baginda
Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu
melenyapkan dendamnya pada Wirangmandala . Ia harus
membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun
sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya.
Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu
ini: ia dicintai dan dihormati oleh kawula Tuban.
Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai
dan menghormatinya? Tidakkah kawula Tuban akan
melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukuman
padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada
raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula sebab nya
ingkar dan membangkang terhadap dirinya?
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan
kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata
dewa-dewa juga berpihak pada manusia….
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing.
Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya
haremnya.
Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon
beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban.
Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap.
Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong
Wirangmandala ke pojokan sebagai biangkeladi segala
keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun
pengampunan dibandingkan nya.
“Wira, si anak desa itu, Gusti, telah berani melanggar
titah sesudah dia mengangkat diri jadi Patih Senapati
Tuban,” Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, “bukan
hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah
perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan
menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama
menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah
membikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih
dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya Gusti,
seperti membunuh anak kambing.”
Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan:
“Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan
dia?”
“Takut, Gusti. Setan telah merasuki dirinya.”
Sang Adipati mengerti, bukan sebab takut mereka
mendengarkannya. Juga bukan sebab kerasukan setan.
Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa
itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewa-
dewa. Dan tidak mungkin kalau hanya sebab kepala-
kepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya
mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah
berkenan, mereka akan mendengarkannya juga.
Yang teringat olehnya adalah pemberontakan-
pemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa
kejayaan Majapahit, hanya sebab pembagian kekuasaan
antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir
kadipaten Tuban?
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing.
Syahbandar Tuban tak membiarkan kesempatan berlalu
tanpa membakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak
terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda.
“Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi
Patih dan Senapati sekaligus, Gusti, itu adalah menyalahi
darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan
ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat.
namun Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingat-
ingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke
atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga
pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja
jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken
Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di
Jawa lalu . namun Wirangmandala takkan jadi Patih
Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selama Adipati Tuban
Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari
muka bumi.
Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun
Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling
kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke
mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang Adipati.
Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu
membikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban –
satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara.
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar
suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di
pedalaman. namun Sang Adipati tidak pernah melayaninya.
Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu
menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin
dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wirangmandala
ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan menang.
Tidak percuma selama dua ratus tahun jadi andal-andal
Majapahit.
Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang
Wirangmandala makin jelas gambaran anak desa itu di
hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu
akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh
telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan
balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada
waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat
diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap
menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing
yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia
akan menunggu datangnya karunia dari tanganku.
Kambing yang mengembik itu takkan mendapat umpan.
Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton.
Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali
seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan
sendiri. Sederhana.
Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram
pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang
perbuatan Wirangmandala . Tak ada seorang kawula yang
mempunyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih.
Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak
desa itu yang membunuhnya? Mengapa Wirangmandala ?
Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu?
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi
pengantin agung dengan tengkorak . Semua orang ikut bersuka
cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang
menggoncangkan itu bukan telah dimayat lkan dalam
jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai Senapati
Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk?
Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya?
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang
suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah
terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya
pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban,
gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak
desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok.
Tetap tak ada yang dapat memayat lkan apa yang bakal
terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran
di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali
seperti semula.
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa
Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang
dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru
menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang
pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak
tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati.
Dan tengkorak ? Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang
tetirah ke Awis Krambil untuk melahirkan. Dan mungkin
juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan
diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar
terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan
terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu
memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan
ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih
gemilang dibandingkan kedua orangtuanya.
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah
oleh rsi h dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di
kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan
menunggu datangnya taufan.
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan
semakin membikin hati gundah.
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan
menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur,
sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah.
Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari
Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa
mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya.
Ia merasa masih mempunyai cukup kehormatan: Ia tidak
akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja
Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. Tuban
tidak perlu mengakui keunggulan Malaka….
0o-dw-o0
20. Pertempuran dan Pertempuran
Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan
balatentara Tuban. Malam gelap-pekat. Angin kencang
antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding
daun kelapa setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat
mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok
anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk.
Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah
pelita minyak kelapa memancari wajah dan tubuh beberapa
orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita
itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak
berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia namun makhluk
menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka
tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan
kesungguhan mereka menegangkan suasana.
“Yang telah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini
bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka,” kata
Kala Cuwil. “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di
mana disembunyikan meriam itu kita belum lagi tahu.”
“Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah
tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya.
“Jelas seperti siang. Tapi meriam bisa berpindah setiap
waktu.”
“Dia tetap akan meninggalkan bekas.”
“Orang bisa membikin supaya tidak berbekas.”
“Mereka takkan mempunyai cukup waktu untuk itu.”
“Moga-moga.”
“Selama mereka masih menembakkan meriamnya, induk
pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum,
kepala pasukan kaki.
“Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala Cuwil
meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka
takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk
melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang
mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, Tuban
akan diterkam bahaya kelaparan. Sedang bandar akan
hanya menjadi beban.”
“Kita akan usahakan mereka tak punya kemampuan
untuk berperang lama,” Banteng Wareng
memperdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu
subur. Daerah Tuban Kota sendiri tandus. Selama ini hanya
kebesaran bandar yang diagung-agungkan. Kalau
pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kelaparan yang
ada.”
“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita
inilah kunci’ Wirangmandala menyarani. “Kalau mereka
menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membikin
pendek.”
Banteng Wareng mengangkat muka. Suatu perasaan tak
senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia
memperdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga
memegang kunci atas kita. Menyesal sekali Mahmud Barjah
dilepas murah.”
Kala Cuwil mendengus menahan kegusaran Banteng
Wareng. Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak
pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap
katanya: “Ikan besar umpan pun besar.”
“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah Banteng Wareng,
“lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang
berperang.”
“Dengarkan, kau, Rangkum,” Senapati Tuban
membelokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari
pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku.
Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu telah terputus
dari induk pasukannya sendiri!”
“Tak pernah ada balatentara bergerak di waktu malam,”
bantah Banteng Wareng.
“Apakah Senapati kalian kira keturunan raja? Aturan
perang Senapati kalian bukan berasal dari para raja. Apa
katamu, Kala Cuwil?”
“Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang menjawab.”
“Mereka sudah terlalu lelah, Senapatiku,” jawab
Rangkum. “Besok mereka masih membutuhkan tenaganya
sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka
mengasoh. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari
jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, Senapatiku.”
Dan Wirangmandala tahu, hanya Senapati tidak bijaksana
disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan
mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di
atas atap daun kelapa itu kembali terdengar oleh mereka.
“Senapatiku belum lagi selesaikan perbincangan ini,”
Banteng Wareng memperingatkan.
“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu,
hari ini kita telah mendapatkan kemenangan gemilang.”
“Senapati baru sekali ini berperang,” bantahnya.
“Dalam seumur hidupku, balatentara Tuban hanya
sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih
banyak dari aku,” jawab Senapati. Dengan sendirinya
tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak
layak sesudah kemenangan gemilang hanya sebab dirinya
yang memerintahkan dimulainya gerakan, la telah
pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kesenapatian.
Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang.
Dan ia tak mendapat sokongan. Juga Kala Cuwil tak
menyokongnya.
“Tak ada yang bilang mereka tak boleh mengasoh.
Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud
Senapati,” katanya menyarani. “Kalian memang boleh
menyanggah seorang Senapati anak desa, tapi perang
adalah perang.”
“Kepala pasukan kaki tidak menyanggah, Senapatiku.
Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap Senapatiku
bijaksana.”
“Kala Cuwil!” panggil Senapati. “Juga kau sendiri tahu,
yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak
dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari
pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai
separoh. Bagaimana jawaban ini?”
“Rangkum menolak, Senapatiku, sebagaimana pada
sebaliknya Senapatiku melepaskan Mahmud Barjah dari
kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan
anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas.
“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu
pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti
ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini.
Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada
yang mau berangkat. Siapa siap berangkat?”
Tak berjawab. Senapati masih memerlukan memandangi
kepala-kepala pasukan sekali lagi untuk mendapat jawaban.
Sia-sia.
“Baik,” katanya lalu , “Banteng Wareng, sediakan
untukku seekor kuda yang segar.”
“Kemana Senapatiku akan pergi, seorang diri?”
“Memutuskan mereka dari induk pasukannya.”
Banteng Wareng menatap Senapati dengan diam-diam.
Melihat Wirangmandala tetap pada pendiriannya, lambat-
lambat tapi pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh
pasukan kuda akan bergerak mengikuti Senapatiku, malam
ini juga.”
“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan
sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu
aturan perang para raja ini bertarung.”
Sejenak kepala-kepala pasukan itu terdiam. Banteng
Wareng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini
mengangguk.
“Senapatiku,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan
bergerak malam ini juga, mengikuti Senapatiku.”
Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu
bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat
menerangi bumi barang sekejap.
Tanah berumput di bawah kaki memudahkan
perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan
berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi
padang rumput berbatu-batu, lalu memasuki jalanan
desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan
bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung.
Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar
berkeruyuk. lalu unggas-unggasan yang lain mulai
menyanyi dari segala pelosok, dan matari pun mulai
memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di
timur sana.
Laskar-laskar Rajeg yang dicari ternyata tiada.
“Apa katamu sekarang. Rangkum?”
“Senapatiku benar. Mereka bergerak di malam hari.”
“Apa artinya itu, Rangkum?”
“Artinya, kita sudah binasa, bila mereka menyerang
dengan sepenuh kekuatan, Senapatiku.”
Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak
di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan.
Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua
bergerak menyusul Senapati.
Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada
siang kemarin telah terhapus oleh hujan.
Berita, bahwa Tuban terpancing turun ke gelanggang
tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun
penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati
kelaparan, kehujanan dan kedinginan.
sesudah magrib, di depan pendopo, di hadapan para
pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum isya:
“Anak-anakku, kawulaku, sudah berkali-kali aku ajarkan
pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka
bilang dewa-dewa yang telah pilih mereka jadi ningrat
untuk memerintah orang desa.”
“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita
pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa
Majapahit. Di Tuban aku pun sudah banyak dengar tentang
itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang
punya perhatian pada kejayaan Majapahit di masa silam.
Juga punya perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar
itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.”
“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang
Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya sebab
tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani
Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan
kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga
masih ingat, bahwa dalam kekuasaan Majapahit hampir
semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu
pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir
seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?”
“Lebih sepuluh tahun aku telah mengabdi pada Adipati
Tuban sebagai Syahbandar. Aku sudah jelajahi bandar-
bandar di Jawa, dari Banten sampai Panarukan. Sama saja
di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di
bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.”
Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang
menamakan diri pewaris tunggal Majapahit. Bukankah
sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis meriam
pada Peranggi? Pada Kongso Dalbi di Malaka? Begitulah
ningrat Jawa. Untuk mengambil hati Peranggi, raja
Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang
tanah dan tenaga kerja pada Peranggi-peranggi di
Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di
Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan
rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah Islam datang
pada kalian sebab meriam? Dan disertai orang Arabnya
sekali? Tidak! Tak ada orang Arab menyampaikan ajaran di
Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan
Nusantara ini. Orang-orang Arab datang hanya untuk
memaneni jerih-payah orang lain. Islam datang dari
kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati
mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti
berkembangnya bunga jambu. Lain dengan Peranggi
dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan meriam,
dan dengan Perangginya sekali. Islam datang tanpa
meminta tanah. Mereka datang dan membutuhkan tanah.”
Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada
Rois dan Manan, Peranggi mualaf, membersihkan
tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang
bukan sebagai Peranggi Blambangan. Mereka berdua
datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara
sendiri.”
Dari kejauhan telah terdengar rsi h bergumam dan
gerimis tipis mulai turun. Kiai Benggala Sunan Rajeg tak
juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau
Tuban telah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan,
mengusir Hindu dan Nasrani dan Peranggi dari
Blambangan. Tak ada alasan Tuban bisa mengalahkan kita.
Adipati Tuban sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah,
tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati,
tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang.
Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah
dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih dua ratus tahun jadi
perisai Majapahit. Mengaku Islam. Sekarang Majapahit
tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan,
jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan.
Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Ward-
hana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari Peranggi,
sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya
sendiri pada lari meninggalkannya.
Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam
kekuasaannya di Rajeg ia mempersilakan para pengikut
masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu.
Dan ia terpaksa meneruskan wejangannya, sebab
memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: Demak.
“Nah,” ia meneruskan sesudah semua mendapat
tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap
dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian
memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak
sesederhana itu namanya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam
Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang
dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir
Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit.
Bohong! Semua pemasyhuran tentang Demak oleh musafir-
musafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini
takkan punya kemampuan membuat sesuatu yang baru,
apalagi mendirikan kerajaan Islam pertama.
“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir
Demak, hei, kau bekas musafir Demak, benarkah Sultan
Demak orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian
sebut Sultan Demak orang itu sama sekali tidak bisa baca
dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara
sedikit Melayu. Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan
tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja,
kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa.
Hei, kau bekas musafir Demak, cobalah jawab: sipit atau
tidakkah Sultan Demak?”
Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan
badan dan leher dan menjawab: “Sahaya belum pernah
melihatnya, Ki Aji.”
“Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia
memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan
percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir
Demak. Mari aku ceritai kalian: “Sultan Demak memang
tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh
kawulanya sendiri. sebab itu dia membutuhkan musafir
untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.”
“Jadi siapa gerangan, Kanjeng Sunan?”
Pertanyaan itu menyebabkan orang tergugah dari
kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka
ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang Syahbandar.
Selama ada Syahbandar di pelabuhan-pelabuhan di Jawa,
orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar
tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian
harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara.
Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya,
“ada tersebut dalam kitab para Syahbandar, datanglah
armada dari utara sana, memang bukan untuk
menaklukkan negeri-negeri seperti Peranggi dan Ispanya,
bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk
membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih telah terusir
dari negerinya dan minta perlindungan pada Majapahit.
Tidak lain dari Sang Adipati Tuban yang lebih tahu
bagaimana isi perjanjian itu, sebab dialah waktu itu
ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnawisesa untuk
melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao
Sam sekarang dan Semarang sekarang, namun mereka tidak
boleh memasuki perairan Maluku. Mereka boleh
mendapatkan rempah-rempah hanya dari bandar-bandar di
Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo
Awang. Orang hanya mengenal gelarnya: Ceng He.
“Memang mereka tidak seperti Peranggi dan Ispanya. Dan
mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai
perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui
jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapal-
kapal Jawa.”
“Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar
armada Majapahit di masa jayanya. Dan sebab waktu itu
di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya
memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang
itu, namun ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.”
“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka
datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka
datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang,
tidak menembak dengan meriam atau cet-bang, tidak
merampas bandar orang dan tidak menumpas rajanya.”
“Di mana armada itu sekarang, Kanjeng Sunan, sebab
menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di
pantai Rembang.”
“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak
bandar!”
Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh
tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan.
“Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri.
Mereka tersekat di sini sebab di negerinya sendiri terjadi
pergantian kaisar.
Berdasarkan persetujuan dengan Majapahit, dengan
Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah
rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi bandar
perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang.
“Dulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak
penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan mendapat
pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan Tuban sewaktu
aku masih jadi Syahbandar.
“Dengan jatuhnya Majapahit kelompok besar armada
musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur
untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir
perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan
kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat
adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari
timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya.
Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik
sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan
benteng Sampo Toa-lang itulah Demak.”
“Bukan Kanjeng Sunan, bukan begitu babad berdirinya
Glagah Wangi Demak,” seseorang membantah berapi-api
sambil berjongkok meninggikan badan.
“Bukankah kau bekas musafir Demak, Firman?”
“Betul, Kanjeng Sunan, bukan begitu. Sungguh bukan
begitu.”
“Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk
jadi musafir Demak. Coba, adakah pernah seorang raja
Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa.
Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya
untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan
asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan Majapahit, anak
Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari Gresik.
Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang
Tionghoa Islam. Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku
mengenal dia, sebab beberapa kali dia memang pernah
berlayar ke Malaka. Benar anaknya telah diselir oleh Sri
Baginda Bhre Wijaya, namun tidak benar anaknya itu
dihadiahkan pada Arya Damar, Adipati Palembang dan
melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam
lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada
yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi Syahbandar!
“Tidak, Firman, anak ganteng. Retna Subanci tidak
pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh
ayahnya ke Malaka semasa masih gadis kecil. Memang dia
mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi
anak itu lalu mati. Dia sangat menderita di dalam
keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu
merengek minta menjenguk orangtuanya. Sri Baginda
dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada
Sang Adipati Tuban, ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi
hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu
dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak
yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca.
Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum
meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk
dididik.”
“Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa
b