nusantara awal abad 16 15

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 15



 iada mungkin terkalahkan? Dalam dua 

ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan 

Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut 

maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu, 

apa dan siapa Gustimu! 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik, 

kepala pasukan pengawal Gusti Adipati tiada rela Tuban 

dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun 

orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh 

pasukan pengawal adalah kulit Gusti Adipati. Barang siapa 

menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan 

pasukan pengawal, sebab  Braja yang akan menjawab.” 

“Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira 

Majapahit. Kau, Banteng Wareng, bersembah.” 

“Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun 

pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang 

segala yang bergerak menuju ke Tuban dengan kejahatan di 

dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa 

dijadikan malam, sebagaimana Gusti Adipati titahkan. 

Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambuk-

cambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh 

durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar 

menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporak-

porandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng 

Wareng adalah dada Gusti Adipati.” 

“Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng 

Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah 

Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah 

yang bersembah.” 

“Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya 

jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. Tanpa kesudian 

Gusti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan 

darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan 

berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati, 

adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang 

ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya, 

terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam 

gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah Gusti 

Adipati akan memberikan pada mereka apa yang mereka 

kehendaki. Gusti Adipati sesembahan patik, kesetiaan 

pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan Gusti,” 

“Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku 

andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan 

gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada 

dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud 

Barjah.” 

“Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang 

sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah 

persembahkan?” 

“Ampun, Gusti, patik persembahkan jumlah yang hilang 

tersebut kepada Gusti Patih berdasarkan titah.” 

“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape 

yang bisa dikeping-keping dan ditelan? Dua ratus sembilan 

puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang 

Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, 

Rangkum, dan segera.” 

sesudah  menyembah Rangkum tergopoh-gopoh 

mengundurkan diri. 

Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan 

luarbiasa. Jangankan senyum, kemayat han sedikit pun tak 

nampak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa 

tersenyum itu keunguan sebab  murka. Keriput pada 

wajahnya nampak semakin dalam. 

Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar 

Tuban: “Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al-

Masawa,” katanya dalam Melayu. “Dalam bulan ini hanya 

ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat, 

jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. 

Sekarang tinggal tiga.” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah 

membikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia 

membikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi 

daratan. Itulah usaha manusia, Gusti. namun  semua 

ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, 

singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik 

Tuhan.” 

Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di 

bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan 

nampan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan 

bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain 

dengan gopoh-gapah mempersembahkan tempolong ludah, 

dan lelaki itu meludah ke dalamnya. 

Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan 

sirih secepat itu, tanpa menikmatinya. 

“Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan 

makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. 

Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang membagi-bagi 

rejeki di antara ummatNya!” 

Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat. 

“Sebentar satu bandar dimakmurkan-Nya, sebentar pula 

dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang 

Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, Gusti.” 

“Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan 

semarak bandar Tuban?” 

“Ampun, Gusti, kejayaan juga berpindah-pindah sebab  

bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya sebab  bandarnya. Itu 

sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, 

hanya bisa memohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindah-

pindah, Gusti, namun  bandar tidak. Tak ada kekuasaan di 

bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapal-

kapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya 

Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan 

tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.” 

“Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana 

usahamu? Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban 

untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan 

susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh.” 

“Segala usaha telah patik tempuh, Gusti, akhirnya 

Tuhan jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa 

kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di 

Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai 

dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai. 

Tinggal benderanya saja yang masih Tuban.” 

“Diam!” bentak Sang Adipati. 

Wirangmandala  yang duduk sejajar dengan para kepala 

pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya 

tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di 

mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang 

harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang 

Adipati. 

Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat 

dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda 

pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang 

sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, 

tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak 

terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur 

selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang 

hari. 

Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan 

menyembah, lalu  dengan tak acuh menempati 

tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk 

dalam. 

“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada 

waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka 

demikian tingkahmu?” 

Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut namun  tak 

berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula. 

‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan 

matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri. 

Apakah kurang kami terhadapmu?” 

Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia 

tetap tak bersembah barang sepatah. 

Sang Adipati mengernyitkan kening dan membentak: 

“Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk 

dipersembahkan lagi?” 

Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan menyembah 

lagi, namun  kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak 

beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya. 

“Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu?” 

“Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” kata Sang 

Patih parau. 

“Apalah lagi yang mesti patik persembahkan? Dalam 

satu minggu belakangan ini semua telah patik 

persembahkan dan Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik 

tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat 

murka Gusti Adipati.” 

“Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban 

tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus 

mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal 

kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang. 

Dan kau Kang Patih, telah kirimkan dua ratus sembilan 

puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai. 

Bukankah demikian?” 

“Patik, Gusti Adipati.” 

“Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih 

banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara 

Tuban akan terkuras habis.” 

Sang Patih tidak bersembah. 

“Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.” 

“Ampun, Gusti Adipati, dua ratus sembilan puluh 

adalah kehilangan besar. namun  pasukan kaki Tuban 

belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. 

Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti 

bukan perang, Gusti. Yang demikian tidak mungkin terjadi. 

Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu 

yang mendahului-Gusti Patih Tuban. Ialah bahwa 

hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah 

sebab  pengkhianatan.” 

Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. 

Sementara sunyi-senyap. 

“Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian? 

Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, 

kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki. 

Mahmud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah 

bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat 

tambahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.” 

“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi 

dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang 

pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat?” 

Kesenyapan menyusul lagi. 

“Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan 

pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?” 

“Demikianlah adanya, Gusti.” 

“Dan tanpa sepengetahuan kami?” 

“Demikianlah adanya, Gusti.” 

“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan 

gustimu?” 

“Sama sekali tidak keliru, Gusti. Maka jatuhkanlah 

hukuman pada patik sebab  kekeliruan ini.” 

Sang Adipati nampak menghela nafas panjang. 

Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya 

tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan 

untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk 

meneruskan persembahannya. 

“Kalau permohonan patik untuk mengerahkan 

balatentara agar dapat menumpas perusuh secepat-

cepatnya, Gusti, Gusti timbang sebagai kekeliruan juga, 

memang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada 

sesuatu yang patut patik persembahkan lagi,” ia 

mengangkat sembah dan berdiam diri. 

“Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah 

tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu 

kesetiaanmu. namun  melakukan sesuatu yang bertentangan 

dengan titah… “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik, 

demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau 

mengeluarkan lima ratus prajurit, dapat kau ambil dari 

berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, 

Wirangmandala , ayoh, persembahkan sesuatu tentang 

pasukanmu.” 

Wirangmandala  mengangkat sembah. Selama itu ia telah 

susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan, 

meluncur mereka seperti air pada saluran sawah. 

“Ampun, Gusti, sesungguhnya belum lagi lama patik 

memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing 

tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, 

dengan lampu-lampu dipadamkan. namun  kilat di musim 

hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara 

tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya 

juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut 

menghadapi Peranggi. Ampun, Gusti, pada waktu itu patik 

belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang 

mencurigakan itu, Gusti Adipati sesembahan patik, 

pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari 

laut tidak kalah buruknya dibandingkan  darat. Jatuhnya Malaka, 

Gusti, jadi peringatan….” 

“Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan 

besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga, 

penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh 

ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut 

selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau 

pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga 

yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban?” 

Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang 

jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. 

Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai 

mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar 

agak ragu-ragu: “Ampun, Gusti, tentang Malaka itu sahaya 

kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.” 

“Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang 

tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban 

bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang Malaka’ 

Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jari-

jarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari 

mulutnya. 

Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan 

semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban 

Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud 

Syah. Malaka jatuh sebab  usaha manusia untuk memiliki 

bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajah-

gajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal 

Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajah-

gajahmu.” 

“Peringatan Gusti Adipati jadilah ajimat untuk patik. 

Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang 

dan malam, Gusti, kecuali oleh pawang masing-masing, 

sejak jatuhnya Malaka.” 

Wirangmandala  gelisah di tempatnya sebab  

persembahannya belum lagi selesai. 

“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?” 

Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata 

sesuatupun. 

Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan 

Wirangmandala  sendiri merasa jengkel sebab nya. 

Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada 

semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan 

kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang 

Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. 

Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata-

kata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa 

rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu 

tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu 

tindakan diambil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia 

menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap 

melindunginya. 

Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. namun  pasukan 

yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar 

harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat 

sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. 

Prajurit sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan 

memang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak 

mempersembahkan pendapatnya? Malah semestinya 

meyakinkan Sang Adipati, bahwa lima ratus orang itu tidak 

mempunyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud 

Barjah dan pasukannya? Mengapa dia hanya menyembah 

dan membisu? 

“Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan 

harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan 

coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang 

hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki. 

Pergunakan lima ratus! Wirangmandala , bagaimana cetbang-

mu?” 

“Dalam keadaan siap dan menunggu titah, Gusti?” 

“Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran 

darat, sebab  itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di 

darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.” 

Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang 

dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin 

terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin 

mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu. 

“Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat, 

kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.” 

“Patik laksanakan titah Gusti.” 

“Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?” 

Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata 

sesuatu pun. 

“Jadi kau tidak membenarkan kami?” suara Sang 

Adipati meledak dengan suara parau. 

Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan 

semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya. 

Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan 

yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela 

kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan 

lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang 

berguling-guling seperti rsi h yang sedang malas. 

Beberapa bentar lalu  kewaspadaan itu buyar. Satu 

ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang 

pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh 

gemerasak ke tanah. 

Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, 

pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk 

untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh 

ketentuan. 

Tak ada seorang pun bicara. 

Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan 

untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar lalu  

gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan 

bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah. 

“Meriam!” seru Syahbandar Tuban. “Masyaallah, 

meriam, Gusti, meriam!” 

“Meriam!” gumam Sang Adipati. 

“Meriam Peranggi!” seru Syahbandar. 

“Diam!” bentak Wirangmandala  pada Tholib Sungkar Az-

Zubaid. “Tak ada canang dari menara pelabuhan.” 

“Betul, tidak dari pelabuhan, Gusti,” baru Sang Patih 

bersembah, “meriam Peranggi. Perusuh sudah punya 

meriam Peranggi, Gusti. Laut dan darat mengancam.” 

“Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang Adipati 

mengulangi. “Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya!” ia 

berteriak: “Tuban tetap jaya. Gusti Adipati tetap jaya!” 

semua penghadap bersorak menyambut. 

Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah 

dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh 

antara gapura roboh dengan pendopo. 

Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya. 

Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung 

mereka masing-masing. Dan orang mulai membayang-

bayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh 

para penghadap jadi penyok kejatuhan. “Persembahkan 

sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang Adipati dengan masih 

tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo. 

Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali 

lalu  membisu lagi. 

“Kau Wirangmandala , pelantang dan pelancang, 

persembahkan sesuatu.” 

“Menurut dugaan patik, Gusti, para perusuh sudah 

sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya Gusti 

sesembahan, perkenankan patik memohon agar Gusti 

menitahkan balatentara Tuban bergerak… tiada kan lama, 

dan perusuh itu…” 

“Diam, kau, pelancang!” 

Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang 

Adipati pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi. 

Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam 

kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut 

oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh 

para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap 

pada lehernya, tak ada yang bergerak. lalu  terdengar 

derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati 

gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal 

pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan 

bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak 

berambut. Pada tangannya ia membawa tombak temayat ng. 

Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang 

Adipati yang melihat penunggang itu mendekati. 

Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang 

kuda dari pasukan Tuban yang memburunya. 

“Terima ini!” pekik penunggang kuda serba putih itu dan 

melemparkan tombaknya ke arah pendopo. 

Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah 

sebuah tiang pendopo. 

Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan 

memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka 

yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia 

melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, 

membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan. 

Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten 

dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, lalu  

pun hilang ke arah timur. 

Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, 

bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia 

menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam 

kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang 

bersembah: “Seorang perusuh, Gusti Adipati Tuban 

sesembahan patik, dengan berkuda telah memasuki Tuban 

Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke 

pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya. 

Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia 

menyembah dan mengundurkan diri. 

“Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau 

sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua: 

hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban. 

Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala 

pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!” 

“Ampun, Gusti Adipati…,” Sang Patih mencoba 

menyela. 

Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan 

amarah yang telah dicobanya ditindasnya selama ini. 

Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk 

menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit 

pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah, 

lalu  dengan terburu-buru mempersembahkan: 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan, telah patik 

cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya 

disertakan lontar ini, Gusti,” dan dipersembahkannya surat 

tertulis dalam basa dan huruf Jawa. 

“Baca, biar semua dengar,” titah Sang Adipati. 

Prajurit itu membawa lontar itu di depan matanya, dan 

mulai membacanya dengan suara lantang sehingga 

terdengar ke seluruh pendopo: “Adipati Tuban kafir-kufur 

Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta, 

“Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang 

menggetarkan Tuban Kota dan hatimu,” 

“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, 

itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri 

Tuban selatan.” 

“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap 

jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, sebab  tak akan 

ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.” 

“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan 

bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di 

medan perang.” 

“Sunan Rajeg tak membutuhkan jawaban dari mulut 

atau hati si kafir-kufur tanpa harga.” 

Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontar-

lontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang 

lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu 

pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya. 

“Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami. 

Dengan jumlah yang telah kami tentukan untukmu.” 

Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan 

keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong 

kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang 

oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan 

melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada 

siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan 

pendopo dan hilang dari pemandangan. 

Semua penghadap menurunkan sembah, lalu  

bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya 

membersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya. 

Balatentara Tuban mulai bergerak. 

0o-dw-o0 

 

 

18. Dan Pertempuran Meletus 

Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya sesudah  

menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata 

dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana 

meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan 

peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru 

menyeberangi langit di atas padang rumput, lalu  di 

kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan. 

Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari 

prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus 

untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para 

pelayannya. 

Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara 

Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua 

orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin, 

kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya. 

Panglima Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat 

menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihan-

latihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di 

bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai. 

Ia membikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak 

mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak 

memaksanya. 

Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan 

Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk 

dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri 

bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya, 

memastikan, tentaranya jauh lebih unggul dibandingkan  Tuban. 

“Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng 

Sunan,” kata Esteban. “Lain halnya dengan yang langsung 

dipimpin oleh panglima Rajeg.” 

Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak 

bicara lagi. 

Esteban memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran 

diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah 

untuk memenangkan tujuan. namun  Sunan Rajeg 

membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepat-

tepatnya untuk memukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk 

segera menyerang. 

Mahmud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala 

dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia 

melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia 

tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara. 

Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak 

tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada 

kepala pasukan Melayu – pelarian dari Malaka itu. Ia turun 

sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan. 

“Perintah harus dijalankan,” perintahnya. 

Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan 

Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta 

menyaksikan rencana penyerangan. 

Mahmud Barjah menggariskan, penyerangan akan 

dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di mana-

mana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke 

perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak 

dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan 

punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga 

berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang, 

memanaskan hati musuh agar keluar ke medan 

pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi 

pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriam-

meriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu 

mereka turun ke gelanggang. 

Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya 

kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu 

hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang 

dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan 

adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti 

menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang 

pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum 

lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai 

Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit 

prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang 

jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak 

dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat 

berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi 

prajurit yang baik. 

Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu. 

Mahmud Barjah diam saja mendengarkan keterangan 

Manan alias Esteban. 

Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali 

perintahnya. 

“Kalau begitu,” kata Esteban alias Manan. “Seluruh 

tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam 

beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak 

semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar 

dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan 

dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin 

bisa menghancurkan seluruh kekuatan Tuban.” 

“Bukan dengan bantuan meriam,” bantah Sunan Rajeg, 

“meriam yang harus dibantu oleh semuanya.” 

“Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua 

ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan. 

Mahmud Barjah yang tidak mempunyai sesuatu 

pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan 

dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang 

perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara 

Peranggi itu dapat membikin para prajurit jadi jari-jari pada 

lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. namun  dalam 

menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus 

tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti. 

Semua harus menerima garisnya. 

Ia membantah Manan, ia pun membantah Sunan Rajeg. 

Pertikaian mulai terjadi. 

Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan 

kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, sebab  

dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan 

saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi 

Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja 

sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi. 

Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan 

panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi. 

Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah, 

terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar 

selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya, 

ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera 

dilakukan. 

Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan 

panglima Mahmud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus 

terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua 

orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka 

berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan 

darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. Mahmud Barjah hanya 

mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan 

itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskar-

laskar. 

“Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan 

siapa yang memimpin laskar-laskar itu?” 

“Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami 

hanya menrsi s soal meriam dan pasukan pengawalnya.” 

“Apakah meriam juga mendengarkan perintahku?” 

“Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus 

diselesaikan dulu.” Pertikaian dengan demikian mereda. 

Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak 

dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti 

sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk 

mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus 

dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan 

kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan 

langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup 

persiapan. 

“Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan,” bantah 

Mahmud Barjah, “perang adalah perang.” 

Dan untuk ke sekian kalinya Panglima Rajeg terdesak 

dalam pertikaian tentang makna perang. 

Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak 

dapat lagi dihindari oleh Panglima. 

Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi. 

Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura 

yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar 

yang sedang meninggalkan kadipaten. 

Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan 

lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengah-

tengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan 

tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka 

mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak 

tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak, 

melotot di atas tanah. 

Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan 

paling depan, berhenti, mengambil peluru dan 

mengamatinya sebentar, lalu  menyerahkannya pada 

yang lain. 

Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar 

Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang 

Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan, termasuk 

Wirangmandala . 

Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba 

memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua 

kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya 

sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lima ratus orang 

prajurit dan musuh punya meriam. 

“Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu 

mendapat giliran memegang peluru itu. 

Wirangmandala  menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil 

dan menjawab: “Tidak, Gusti,” dan ia lihat kepucatan 

sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu. 

“Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana 

didongengkan orang,” kata Kala Cuwil memberikan 

pendapatnya. “Tapi bagaimana mereka bisa sudah memiliki 

meriam?” tanyanya lalu  sambil menyerahkan peluru 

itu pada yang lain. 

“Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih Tuban 

merangkap Senapati mulai membuka pidatonya di bawah 

pohon beringin kurung. lalu  kata-katanya keluar 

sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui 

giginya yang sudah banyak ompong: “Keadaan sungguh 

sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun 

dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup 

kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai 

berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara 

yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya 

perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul 

banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian. 

Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama 

sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan 

mengitari beringin kurung. “Sang Adipati menghendaki 

dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap 

yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. 

Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya 

tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan 

tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak 

bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban 

mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu 

yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka 

gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa 

pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban, 

Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan 

gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas 

Demak, namun  Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh, 

Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandar-

bandar lain di seluruh Jawa.” 

Dan Wirangmandala  tak bisa mengerti mengapa Sang 

Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia 

hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud 

menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: “Lima ratus 

prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke Malaka, Gusti 

Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang 

Trantang. Gugusan Tuban telah siap bertempur”. 

“Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa 

sudah kau perbuat di Malaka? Tiada sesuatu, kecuali 

melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari 

Tuban terlambat berangkat, untuk membuktikan keragu-

raguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.” 

Wirangmandala  semakin tak mengerti melihat Sang Patih 

masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk 

menyabarkan diri. 

“Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau 

pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan sebab  

keterlambatan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh. 

Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara 

gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan 

tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara 

tertinggal di Malaka. Tuban pulang membawa malu dan 

sesal. Tapi Gusti Adipati berhasil menyelamatkan lima 

kapal dan lima ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai 

Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang 

kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak 

mampu menderitakan malu, bersumpah takkan 

menginjakkan kaki di bumi Tuban.” 

“Ampun, Gusti Patih dan Senapati Tuban,” 

Wirangmandala  menyela. “Kaum perusuh sudah dekat, 

Gusti.” 

namun  Sang Patih tak peduli dan meneruskan: “Ternyata 

baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak 

pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang 

Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang 

lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru. 

“Lihat itu!” ia menuding pada Syahbandar Tuban yang 

berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang 

tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.” 

“Tidak benar, Gusti Patih dan Senapati Tuban,” bantah 

Tholib Sungkar Az-Zubaid, “tak pernah Gusti Adipati 

mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang 

yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka 

patiklah yang disalahkan.” 

“Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan 

menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk 

dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang Peranggi 

yang kami minta itu?” 

“Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia 

gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara 

dengan gerak-gerik tangan mayat i, mata bersinar-sinar dan 

senyum terbuka melecehkan: “Ah, Gusti Patih dan Senapati 

Tuban, tak pernah leluhur patik membenarkan fitnah, 

apalagi sebab  hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada 

pemfitnah. Demi Allah, bukankah telah patik 

persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban? 

Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati. 

Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan 

Pribumi kawula Tuban.” 

Wirangmandala  meremas-remas tangan. Ia merasa telah 

kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak. 

Dan ia tak dapat bertindak. 

“Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan 

padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau 

sendiri yang melarikan mereka ke kapal Peranggi?” 

“Gusti Patih Senapati Tuban,” Wirangmandala  menyela. 

“Perlukah disebutkan saksi-saksi? Hei, Syahbandar 

Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh Gusti Adipati 

Tuban. namun  akan tiba masanya….” 

“Mereka sedang mendesak Tuban, Gusti Senapati,” 

sekali lagi Wirangmandala  mencoba memutuskan 

perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya 

sebagai Senapati. 

namun  Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya 

sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan 

perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti. 

Tapi menyadarkan Gusti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa 

itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia. 

Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan?” 

Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai 

kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wirangmandala  

yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan 

Sang Patih Senapati dari keasyikan membela kebijaksanaan 

sendiri. 

“Perusuh sedang mengancam, Gusti Senapati,” sekali 

lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan. 

“Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh. 

Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan 

berasal dari kekeliruan Gusti Adipati sendiri. Selama Sang 

Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian, 

perusuh-perusuh lain akan berdatangan.” 

“Sekarang ini perusuh sudah menyerang, Gusti.” 

“Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai 

penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa 

yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan 

dihina?” 

“Apakah Gusti Patih lupa telah dititahkan jadi 

Senapati?” 

Sang Patih menatap Wirangmandala  tenang-tenang, 

mencibir, lalu  mengalihkan tatanannya pada para 

kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka 

dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu. 

Juara gulat itu telah bertekad untuk memperingatkan 

Senapati akan kewajibannya. 

“Kau, Wira, anak baru kemarin!” 

“Adakah Gusti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah 

sedang membangkang?” 

Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi 

Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan 

Wirangmandala  dibandingkan nya. Tapi yang dijauhkan mendesak 

terus untuk mendekat. 

“Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengah-

tengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah 

yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang 

menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya 

sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas 

kepalanya?” 

“Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, Gusti 

Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam!” 

sambar Wirangmandala  yang menjadi galak. 

“Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? Kiai 

Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi? Atau kedua-duanya? 

Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga 

Iskak telah melepaskan peluru Peranggi? Rangga Iskak 

adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu 

Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana 

dia si kumis-kumis Peranggi itu? Biar aku tunjukkan pada 

kalian semua.” 

“Percuma, Gusti. Yang datang bukan Peranggi, tapi 

Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.” 

“Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa 

menghinakan. “Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa 

Peranggi? Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban 

bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama 

sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh 

kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si 

trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid 

keparat itu perencananya. Peranggi membutuhkan 

pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah. 

Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang 

jadi incaran!” 

Kepala-kepala pasukan tetap membisu, juga tetap 

melindungi mereka. 

“Gusti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,” 

bantah Wirangmandala . “Perintahkan saja apa yang kami 

harus perbuat sekarang ini.” 

“Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, mandala , 

Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar 

Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk 

itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan memasuki 

Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus 

berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban menang, kita akan 

hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan 

muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.” 

Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak 

menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah 

Wirangmandala , Senapati Tuban memang tidak mempunyai 

niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan 

Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya 

sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melompat 

menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang 

Patih pada pinggangnya. 

Orang-orang itu terpekik. 

Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris 

dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu 

keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut 

Wirangmandala . 

“Ampuni patik, Gusti Patih Senapati Tuban!” pekik 

juara gulat itu dengan suara lantang. 

“Baik. Aku ampuni kau, mandala . Berangkatlah ke medan 

perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan 

seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan 

percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati, 

gustiku.” 

Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. 

Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah. 

“Aku ampuni, kau.” 

Sang Patih Senapati Tuban mati di tempat. 

Dengan keris berlumuran darah di tangan Wirangmandala  

memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat 

matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi 

seorang. Mata itu membeliak siaga “Siapa tidak suka? 

Maju!” 

Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak 

bergerak. “Kalian saksikan, Wirangmandala  telah bunuh 

Gusti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi 

pembunuhan ini.” 

Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi, 

Wirangmandala  telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.” 

“Semua!” bentaknya sambil berkeliling memutari 

lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak 

keras namun  masih tetap ragu-ragu. 

“Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali 

lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.” 

Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang, 

mengumandang ke seluruh alun-alun. 

“Sebutkan: Tuban dan Gusti Adipati harus 

diselamatkan.” … Dengan suara menggelora kepala-kepala 

pasukan mengulangi. “Sekarang Wilangmandala  Senapati 

Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras.” 

“Wirangmandala  Senapati kami!” 

“Wirangmandala  Senapatiku!”  

Wirangmandala  membetulkan. “Wirangmandala  

Senapatiku!” 

Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang 

dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun 

sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya peluru-

peluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari 

alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam 

kadipaten. 

“Kepala-kepala pasukan tinggal di sini,” perintahnya. 

“Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera 

kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!” 

Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti 

adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak. 

“Tak perlu kalian sembah aku,” katanya 

memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat. 

“Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wirangmandala  

Senapati Tuban?” Tak berjawab. 

“Tak ada yang tidak setuju?” 

“Kami menyetujui,” jawab Kala Cuwil, kepala pasukan 

gajah.  

“Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku, 

Senapati Tuban!” perintahnya. 

Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di 

tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu 

mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka 

menyembah pada mayat itu lalu  melolosi tanda-tanda 

jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung, 

keris, permata pada destar dan ikat pinggang. 

Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru. 

“Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang 

semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada 

kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan 

berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku 

bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar 

kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak 

cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan 

mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya 

dengan tembakanmu. Hati-hati, sebab  semua kapal perang 

dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke 

suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian 

dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu.”  

“Gusti!” 

“Panggil aku Senapatiku.” 

“Senapatiku,” ulangnya rikuh. 

“Jalankan perintah itu dan pergi kau.” 

“Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku?” 

“Kosongkan dari pengawalan.” 

Braja pergi untuk menjalankan perintah. 

“Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku. 

Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke 

medan pertempuran, kalian dan aku.” 

“Senapatiku!” mereka menyahut. 

“Tidak ada pembangkangan!” perintahnya. 

“Senapatiku, tidak ada pembangkangan.” 

“Berangkat!” 

“Senapatiku, berangkat!” 

Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun. 

Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di 

bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang 

sunyi senyap. 

Sayup-sayup terdengar rsi h, namun  tak ada peluru 

meriam datang menyambar. Tuban Kota semakin senyap. 

sesudah  melepaskan berturut-turut empat butir peluru 

pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriam-

meriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman. 

Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak 

obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar 

diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda 

datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal 

meriam telah menyiapkan tombak. 

Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga. 

Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke 

pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap 

untuk berkelahi. 

Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa 

pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak 

menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang 

berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!” 

ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah 

menghinakan. 

“Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang!” Jawab 

Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat 

dengan meriam.”  

“Kalian sudah tinggalkan gelanggang!” 

“Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau 

bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan 

bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak, 

dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh. 

Dan kita tak punya pasukan kuda.” 

Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang 

hanya beberapa meter tingginya. 

Mahmud Barjah masih tetap marah, namun cambuk 

perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya. 

Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan, 

Mahmud tak membantah. 

Laskar tombak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba 

putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri 

pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan 

nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang 

merangkaki jalanan. 

Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri 

diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang 

itu bertikai dalam Melayu. 

Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya 

menetakkan kata-katanya: “Bukankah telah disetujui dan 

diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh 

sebelum mereka turun ke gelanggang?” 

“Benar sekali, Panglima. namun  juga menurut keputusan 

tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan 

musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat 

mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke Tuban. 

Kalau mengikuti Panglima, meriam-meriam kita bisa jadi 

takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita 

sendiri di tangan mereka.”  

“Aku Panglima.” 

“Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam 

adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi 

meriam-meriam ini takkan berguna.” 

Mahmud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa 

meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah 

datangnya laskar, mencari kesatuannya. 

Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan 

jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda 

sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di 

tengah-tengah pertigaan. 

Panglima Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu 

turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke 

tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah. 

“Gusti Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat 

tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat 

pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang 

yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh 

pasukan kuda. Hujan tombak telah membikin dia terjungkal 

bersama kudanya. Mati, Gusti Panglima.” 

“Surat itu sudah sampai?” 

“Sampai dengan pasti.” 

“Baik. Bagaimana hasil meriam?” 

“Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan 

kadipaten seperti disengaja, Gusti. Waktu itu sudah terjadi 

perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah 

matinya Patih Tuban, sedang mayatnya dibiarkan tergeletak 

di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini 

ini.” 

“Siapa Senapati Tuban?” 

“Tidak bersenapati, Gusti Panglima, sejauh sahaya 

dengar. Belum tahu sekarang ini.” 

“Tidakkah balatentara Tuban bergerak?” 

“Belum nampak ada tanda-tanda, Gusti.” 

“Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg.” 

“Gusti.” 

Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain. 

Mahmud Barjah memacu kudanya. Pada suatu pinggiran 

hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia 

perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan 

panji-panji. 

Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat 

jalan. 

“Lebih cepat!” perintahnya lagi. 

Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju 

setengah lari. 

Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya 

mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan 

hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah 

hampir sampai di perbatasan Tuban Kota. 

Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di 

belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang 

mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia 

perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digeleng-

gelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh 

seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut 

bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara 

lalu  jatuh menaburi bumi. 

Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya. 

Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar 

pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari 

rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah. 

Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang 

pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah 

barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih. 

Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap 

orang membawa empat batang tombak yang langsing. 

Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata 

tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan 

berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain 

terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji 

dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin 

cepat langkah para prajurit. 

Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu 

rsi h, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang 

menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan 

menghiba-hiba. 

Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul 

di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di 

belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin 

nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paru-

paru mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi 

mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina 

dengan kata-kata sekotor mungkin. 

Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar 

panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa, 

mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan 

ejekan dan cacian. 

Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan 

Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis. 

Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan 

melonjak. 

Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian 

tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan 

pedang sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari 

gunung: Mau cari apa ke Tuban?” dan menggeletarkan 

cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya. 

“Kirik Tuban! Anjing Peranggi!” balas lawannya. “Ayoh 

mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!” 

Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng 

Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledek-

ledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan 

Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh 

lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi. 

Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung 

sebab  caci-maki dan geletar cambuk. 

Panglima Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi 

tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi 

parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan 

menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!” 

Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan sorak-

sorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang. 

Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia 

hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi 

menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan 

terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki 

Tuban sebelum matari tenggelam. 

Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan 

cacian. Banteng Wareng memerintahkan melemparkan 

batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batu-

batu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak 

sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang 

yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah 

menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh 

dan terinjak-injak oleh barisan sendiri. 

Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu 

sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat 

meriam. namun  yang dicari-cari tidak nampak. Mereka 

lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan. 

Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram 

amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sor