nusantara awal abad 16 15
iada mungkin terkalahkan? Dalam dua
ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan
Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut
maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu,
apa dan siapa Gustimu!
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik,
kepala pasukan pengawal Gusti Adipati tiada rela Tuban
dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun
orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh
pasukan pengawal adalah kulit Gusti Adipati. Barang siapa
menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan
pasukan pengawal, sebab Braja yang akan menjawab.”
“Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira
Majapahit. Kau, Banteng Wareng, bersembah.”
“Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun
pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang
segala yang bergerak menuju ke Tuban dengan kejahatan di
dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa
dijadikan malam, sebagaimana Gusti Adipati titahkan.
Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambuk-
cambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh
durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar
menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporak-
porandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng
Wareng adalah dada Gusti Adipati.”
“Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng
Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah
Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah
yang bersembah.”
“Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya
jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. Tanpa kesudian
Gusti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan
darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan
berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati,
adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang
ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya,
terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam
gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah Gusti
Adipati akan memberikan pada mereka apa yang mereka
kehendaki. Gusti Adipati sesembahan patik, kesetiaan
pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan Gusti,”
“Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku
andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan
gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada
dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud
Barjah.”
“Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang
sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah
persembahkan?”
“Ampun, Gusti, patik persembahkan jumlah yang hilang
tersebut kepada Gusti Patih berdasarkan titah.”
“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape
yang bisa dikeping-keping dan ditelan? Dua ratus sembilan
puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang
Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau,
Rangkum, dan segera.”
sesudah menyembah Rangkum tergopoh-gopoh
mengundurkan diri.
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan
luarbiasa. Jangankan senyum, kemayat han sedikit pun tak
nampak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa
tersenyum itu keunguan sebab murka. Keriput pada
wajahnya nampak semakin dalam.
Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar
Tuban: “Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al-
Masawa,” katanya dalam Melayu. “Dalam bulan ini hanya
ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat,
jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot.
Sekarang tinggal tiga.”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah
membikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia
membikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi
daratan. Itulah usaha manusia, Gusti. namun semua
ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak,
singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik
Tuhan.”
Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di
bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan
nampan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan
bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain
dengan gopoh-gapah mempersembahkan tempolong ludah,
dan lelaki itu meludah ke dalamnya.
Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan
sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.
“Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan
makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana.
Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang membagi-bagi
rejeki di antara ummatNya!”
Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat.
“Sebentar satu bandar dimakmurkan-Nya, sebentar pula
dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang
Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, Gusti.”
“Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan
semarak bandar Tuban?”
“Ampun, Gusti, kejayaan juga berpindah-pindah sebab
bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya sebab bandarnya. Itu
sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya,
hanya bisa memohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindah-
pindah, Gusti, namun bandar tidak. Tak ada kekuasaan di
bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapal-
kapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya
Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan
tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.”
“Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana
usahamu? Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban
untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan
susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh.”
“Segala usaha telah patik tempuh, Gusti, akhirnya
Tuhan jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa
kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di
Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai
dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai.
Tinggal benderanya saja yang masih Tuban.”
“Diam!” bentak Sang Adipati.
Wirangmandala yang duduk sejajar dengan para kepala
pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya
tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di
mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang
harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang
Adipati.
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat
dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda
pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang
sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring,
tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak
terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur
selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang
hari.
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan
menyembah, lalu dengan tak acuh menempati
tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk
dalam.
“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada
waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka
demikian tingkahmu?”
Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut namun tak
berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.
‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan
matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri.
Apakah kurang kami terhadapmu?”
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia
tetap tak bersembah barang sepatah.
Sang Adipati mengernyitkan kening dan membentak:
“Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk
dipersembahkan lagi?”
Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan menyembah
lagi, namun kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak
beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya.
“Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu?”
“Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” kata Sang
Patih parau.
“Apalah lagi yang mesti patik persembahkan? Dalam
satu minggu belakangan ini semua telah patik
persembahkan dan Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik
tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat
murka Gusti Adipati.”
“Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban
tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus
mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal
kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang.
Dan kau Kang Patih, telah kirimkan dua ratus sembilan
puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai.
Bukankah demikian?”
“Patik, Gusti Adipati.”
“Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih
banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara
Tuban akan terkuras habis.”
Sang Patih tidak bersembah.
“Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.”
“Ampun, Gusti Adipati, dua ratus sembilan puluh
adalah kehilangan besar. namun pasukan kaki Tuban
belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya.
Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti
bukan perang, Gusti. Yang demikian tidak mungkin terjadi.
Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu
yang mendahului-Gusti Patih Tuban. Ialah bahwa
hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah
sebab pengkhianatan.”
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum.
Sementara sunyi-senyap.
“Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian?
Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,
kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki.
Mahmud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah
bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat
tambahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.”
“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi
dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang
pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat?”
Kesenyapan menyusul lagi.
“Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan
pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?”
“Demikianlah adanya, Gusti.”
“Dan tanpa sepengetahuan kami?”
“Demikianlah adanya, Gusti.”
“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan
gustimu?”
“Sama sekali tidak keliru, Gusti. Maka jatuhkanlah
hukuman pada patik sebab kekeliruan ini.”
Sang Adipati nampak menghela nafas panjang.
Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya
tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan
untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk
meneruskan persembahannya.
“Kalau permohonan patik untuk mengerahkan
balatentara agar dapat menumpas perusuh secepat-
cepatnya, Gusti, Gusti timbang sebagai kekeliruan juga,
memang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada
sesuatu yang patut patik persembahkan lagi,” ia
mengangkat sembah dan berdiam diri.
“Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah
tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu
kesetiaanmu. namun melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan titah… “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik,
demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau
mengeluarkan lima ratus prajurit, dapat kau ambil dari
berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut,
Wirangmandala , ayoh, persembahkan sesuatu tentang
pasukanmu.”
Wirangmandala mengangkat sembah. Selama itu ia telah
susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan,
meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.
“Ampun, Gusti, sesungguhnya belum lagi lama patik
memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing
tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari,
dengan lampu-lampu dipadamkan. namun kilat di musim
hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara
tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya
juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut
menghadapi Peranggi. Ampun, Gusti, pada waktu itu patik
belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang
mencurigakan itu, Gusti Adipati sesembahan patik,
pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari
laut tidak kalah buruknya dibandingkan darat. Jatuhnya Malaka,
Gusti, jadi peringatan….”
“Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan
besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga,
penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh
ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut
selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau
pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga
yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban?”
Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang
jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok.
Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai
mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar
agak ragu-ragu: “Ampun, Gusti, tentang Malaka itu sahaya
kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.”
“Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang
tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban
bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang Malaka’
Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jari-
jarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari
mulutnya.
Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan
semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban
Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud
Syah. Malaka jatuh sebab usaha manusia untuk memiliki
bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajah-
gajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal
Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajah-
gajahmu.”
“Peringatan Gusti Adipati jadilah ajimat untuk patik.
Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang
dan malam, Gusti, kecuali oleh pawang masing-masing,
sejak jatuhnya Malaka.”
Wirangmandala gelisah di tempatnya sebab
persembahannya belum lagi selesai.
“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?”
Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata
sesuatupun.
Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan
Wirangmandala sendiri merasa jengkel sebab nya.
Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada
semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan
kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang
Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih.
Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata-
kata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa
rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu
tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu
tindakan diambil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia
menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap
melindunginya.
Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. namun pasukan
yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar
harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat
sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran.
Prajurit sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan
memang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak
mempersembahkan pendapatnya? Malah semestinya
meyakinkan Sang Adipati, bahwa lima ratus orang itu tidak
mempunyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud
Barjah dan pasukannya? Mengapa dia hanya menyembah
dan membisu?
“Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan
harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan
coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang
hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki.
Pergunakan lima ratus! Wirangmandala , bagaimana cetbang-
mu?”
“Dalam keadaan siap dan menunggu titah, Gusti?”
“Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran
darat, sebab itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di
darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.”
Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang
dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin
terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin
mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.
“Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat,
kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.”
“Patik laksanakan titah Gusti.”
“Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?”
Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata
sesuatu pun.
“Jadi kau tidak membenarkan kami?” suara Sang
Adipati meledak dengan suara parau.
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan
semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya.
Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan
yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela
kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan
lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang
berguling-guling seperti rsi h yang sedang malas.
Beberapa bentar lalu kewaspadaan itu buyar. Satu
ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang
pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh
gemerasak ke tanah.
Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun,
pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk
untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh
ketentuan.
Tak ada seorang pun bicara.
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan
untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar lalu
gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan
bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.
“Meriam!” seru Syahbandar Tuban. “Masyaallah,
meriam, Gusti, meriam!”
“Meriam!” gumam Sang Adipati.
“Meriam Peranggi!” seru Syahbandar.
“Diam!” bentak Wirangmandala pada Tholib Sungkar Az-
Zubaid. “Tak ada canang dari menara pelabuhan.”
“Betul, tidak dari pelabuhan, Gusti,” baru Sang Patih
bersembah, “meriam Peranggi. Perusuh sudah punya
meriam Peranggi, Gusti. Laut dan darat mengancam.”
“Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang Adipati
mengulangi. “Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya!” ia
berteriak: “Tuban tetap jaya. Gusti Adipati tetap jaya!”
semua penghadap bersorak menyambut.
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah
dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh
antara gapura roboh dengan pendopo.
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya.
Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung
mereka masing-masing. Dan orang mulai membayang-
bayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh
para penghadap jadi penyok kejatuhan. “Persembahkan
sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang Adipati dengan masih
tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo.
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali
lalu membisu lagi.
“Kau Wirangmandala , pelantang dan pelancang,
persembahkan sesuatu.”
“Menurut dugaan patik, Gusti, para perusuh sudah
sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya Gusti
sesembahan, perkenankan patik memohon agar Gusti
menitahkan balatentara Tuban bergerak… tiada kan lama,
dan perusuh itu…”
“Diam, kau, pelancang!”
Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang
Adipati pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi.
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam
kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut
oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh
para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap
pada lehernya, tak ada yang bergerak. lalu terdengar
derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati
gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal
pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan
bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak
berambut. Pada tangannya ia membawa tombak temayat ng.
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang
Adipati yang melihat penunggang itu mendekati.
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang
kuda dari pasukan Tuban yang memburunya.
“Terima ini!” pekik penunggang kuda serba putih itu dan
melemparkan tombaknya ke arah pendopo.
Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah
sebuah tiang pendopo.
Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan
memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka
yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia
melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun,
membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan.
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten
dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, lalu
pun hilang ke arah timur.
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan,
bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia
menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam
kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang
bersembah: “Seorang perusuh, Gusti Adipati Tuban
sesembahan patik, dengan berkuda telah memasuki Tuban
Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke
pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya.
Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia
menyembah dan mengundurkan diri.
“Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau
sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua:
hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban.
Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala
pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!”
“Ampun, Gusti Adipati…,” Sang Patih mencoba
menyela.
Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan
amarah yang telah dicobanya ditindasnya selama ini.
Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk
menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit
pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah,
lalu dengan terburu-buru mempersembahkan:
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan, telah patik
cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya
disertakan lontar ini, Gusti,” dan dipersembahkannya surat
tertulis dalam basa dan huruf Jawa.
“Baca, biar semua dengar,” titah Sang Adipati.
Prajurit itu membawa lontar itu di depan matanya, dan
mulai membacanya dengan suara lantang sehingga
terdengar ke seluruh pendopo: “Adipati Tuban kafir-kufur
Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta,
“Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang
menggetarkan Tuban Kota dan hatimu,”
“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau,
itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri
Tuban selatan.”
“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap
jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, sebab tak akan
ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.”
“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan
bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di
medan perang.”
“Sunan Rajeg tak membutuhkan jawaban dari mulut
atau hati si kafir-kufur tanpa harga.”
Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontar-
lontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang
lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu
pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya.
“Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami.
Dengan jumlah yang telah kami tentukan untukmu.”
Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan
keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong
kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang
oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan
melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada
siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan
pendopo dan hilang dari pemandangan.
Semua penghadap menurunkan sembah, lalu
bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya
membersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya.
Balatentara Tuban mulai bergerak.
0o-dw-o0
18. Dan Pertempuran Meletus
Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya sesudah
menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata
dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana
meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan
peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru
menyeberangi langit di atas padang rumput, lalu di
kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan.
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari
prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus
untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para
pelayannya.
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara
Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua
orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin,
kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya.
Panglima Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat
menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihan-
latihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di
bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai.
Ia membikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak
mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak
memaksanya.
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan
Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk
dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri
bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya,
memastikan, tentaranya jauh lebih unggul dibandingkan Tuban.
“Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng
Sunan,” kata Esteban. “Lain halnya dengan yang langsung
dipimpin oleh panglima Rajeg.”
Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak
bicara lagi.
Esteban memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran
diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah
untuk memenangkan tujuan. namun Sunan Rajeg
membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepat-
tepatnya untuk memukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk
segera menyerang.
Mahmud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala
dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia
melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia
tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara.
Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak
tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada
kepala pasukan Melayu – pelarian dari Malaka itu. Ia turun
sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan.
“Perintah harus dijalankan,” perintahnya.
Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan
Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta
menyaksikan rencana penyerangan.
Mahmud Barjah menggariskan, penyerangan akan
dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di mana-
mana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke
perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak
dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan
punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga
berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang,
memanaskan hati musuh agar keluar ke medan
pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi
pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriam-
meriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu
mereka turun ke gelanggang.
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya
kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu
hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang
dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan
adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti
menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang
pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum
lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai
Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit
prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang
jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak
dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat
berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi
prajurit yang baik.
Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu.
Mahmud Barjah diam saja mendengarkan keterangan
Manan alias Esteban.
Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali
perintahnya.
“Kalau begitu,” kata Esteban alias Manan. “Seluruh
tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam
beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak
semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar
dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan
dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin
bisa menghancurkan seluruh kekuatan Tuban.”
“Bukan dengan bantuan meriam,” bantah Sunan Rajeg,
“meriam yang harus dibantu oleh semuanya.”
“Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua
ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan.
Mahmud Barjah yang tidak mempunyai sesuatu
pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan
dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang
perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara
Peranggi itu dapat membikin para prajurit jadi jari-jari pada
lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. namun dalam
menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus
tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti.
Semua harus menerima garisnya.
Ia membantah Manan, ia pun membantah Sunan Rajeg.
Pertikaian mulai terjadi.
Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan
kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, sebab
dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan
saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi
Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja
sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi.
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan
panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi.
Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah,
terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar
selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya,
ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera
dilakukan.
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan
panglima Mahmud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus
terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua
orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka
berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan
darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. Mahmud Barjah hanya
mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan
itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskar-
laskar.
“Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan
siapa yang memimpin laskar-laskar itu?”
“Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami
hanya menrsi s soal meriam dan pasukan pengawalnya.”
“Apakah meriam juga mendengarkan perintahku?”
“Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus
diselesaikan dulu.” Pertikaian dengan demikian mereda.
Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak
dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti
sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk
mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus
dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan
kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan
langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup
persiapan.
“Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan,” bantah
Mahmud Barjah, “perang adalah perang.”
Dan untuk ke sekian kalinya Panglima Rajeg terdesak
dalam pertikaian tentang makna perang.
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak
dapat lagi dihindari oleh Panglima.
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi.
Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura
yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar
yang sedang meninggalkan kadipaten.
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan
lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengah-
tengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan
tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka
mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak
tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak,
melotot di atas tanah.
Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan
paling depan, berhenti, mengambil peluru dan
mengamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada
yang lain.
Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar
Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang
Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan, termasuk
Wirangmandala .
Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba
memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua
kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya
sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lima ratus orang
prajurit dan musuh punya meriam.
“Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu
mendapat giliran memegang peluru itu.
Wirangmandala menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil
dan menjawab: “Tidak, Gusti,” dan ia lihat kepucatan
sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu.
“Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana
didongengkan orang,” kata Kala Cuwil memberikan
pendapatnya. “Tapi bagaimana mereka bisa sudah memiliki
meriam?” tanyanya lalu sambil menyerahkan peluru
itu pada yang lain.
“Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih Tuban
merangkap Senapati mulai membuka pidatonya di bawah
pohon beringin kurung. lalu kata-katanya keluar
sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui
giginya yang sudah banyak ompong: “Keadaan sungguh
sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun
dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup
kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai
berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara
yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya
perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul
banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian.
Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama
sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan
mengitari beringin kurung. “Sang Adipati menghendaki
dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap
yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak.
Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya
tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan
tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak
bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban
mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu
yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka
gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa
pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban,
Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan
gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas
Demak, namun Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh,
Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandar-
bandar lain di seluruh Jawa.”
Dan Wirangmandala tak bisa mengerti mengapa Sang
Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia
hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud
menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: “Lima ratus
prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke Malaka, Gusti
Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang
Trantang. Gugusan Tuban telah siap bertempur”.
“Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa
sudah kau perbuat di Malaka? Tiada sesuatu, kecuali
melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari
Tuban terlambat berangkat, untuk membuktikan keragu-
raguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.”
Wirangmandala semakin tak mengerti melihat Sang Patih
masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk
menyabarkan diri.
“Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau
pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan sebab
keterlambatan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh.
Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara
gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan
tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara
tertinggal di Malaka. Tuban pulang membawa malu dan
sesal. Tapi Gusti Adipati berhasil menyelamatkan lima
kapal dan lima ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai
Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang
kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak
mampu menderitakan malu, bersumpah takkan
menginjakkan kaki di bumi Tuban.”
“Ampun, Gusti Patih dan Senapati Tuban,”
Wirangmandala menyela. “Kaum perusuh sudah dekat,
Gusti.”
namun Sang Patih tak peduli dan meneruskan: “Ternyata
baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak
pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang
Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang
lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru.
“Lihat itu!” ia menuding pada Syahbandar Tuban yang
berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang
tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.”
“Tidak benar, Gusti Patih dan Senapati Tuban,” bantah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, “tak pernah Gusti Adipati
mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang
yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka
patiklah yang disalahkan.”
“Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan
menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk
dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang Peranggi
yang kami minta itu?”
“Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia
gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara
dengan gerak-gerik tangan mayat i, mata bersinar-sinar dan
senyum terbuka melecehkan: “Ah, Gusti Patih dan Senapati
Tuban, tak pernah leluhur patik membenarkan fitnah,
apalagi sebab hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada
pemfitnah. Demi Allah, bukankah telah patik
persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban?
Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati.
Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan
Pribumi kawula Tuban.”
Wirangmandala meremas-remas tangan. Ia merasa telah
kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak.
Dan ia tak dapat bertindak.
“Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan
padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau
sendiri yang melarikan mereka ke kapal Peranggi?”
“Gusti Patih Senapati Tuban,” Wirangmandala menyela.
“Perlukah disebutkan saksi-saksi? Hei, Syahbandar
Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh Gusti Adipati
Tuban. namun akan tiba masanya….”
“Mereka sedang mendesak Tuban, Gusti Senapati,”
sekali lagi Wirangmandala mencoba memutuskan
perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya
sebagai Senapati.
namun Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya
sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan
perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti.
Tapi menyadarkan Gusti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa
itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia.
Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan?”
Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai
kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wirangmandala
yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan
Sang Patih Senapati dari keasyikan membela kebijaksanaan
sendiri.
“Perusuh sedang mengancam, Gusti Senapati,” sekali
lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan.
“Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh.
Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan
berasal dari kekeliruan Gusti Adipati sendiri. Selama Sang
Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian,
perusuh-perusuh lain akan berdatangan.”
“Sekarang ini perusuh sudah menyerang, Gusti.”
“Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai
penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa
yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan
dihina?”
“Apakah Gusti Patih lupa telah dititahkan jadi
Senapati?”
Sang Patih menatap Wirangmandala tenang-tenang,
mencibir, lalu mengalihkan tatanannya pada para
kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka
dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu.
Juara gulat itu telah bertekad untuk memperingatkan
Senapati akan kewajibannya.
“Kau, Wira, anak baru kemarin!”
“Adakah Gusti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah
sedang membangkang?”
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi
Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan
Wirangmandala dibandingkan nya. Tapi yang dijauhkan mendesak
terus untuk mendekat.
“Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengah-
tengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah
yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang
menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya
sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas
kepalanya?”
“Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, Gusti
Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam!”
sambar Wirangmandala yang menjadi galak.
“Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? Kiai
Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi? Atau kedua-duanya?
Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga
Iskak telah melepaskan peluru Peranggi? Rangga Iskak
adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu
Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana
dia si kumis-kumis Peranggi itu? Biar aku tunjukkan pada
kalian semua.”
“Percuma, Gusti. Yang datang bukan Peranggi, tapi
Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.”
“Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa
menghinakan. “Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa
Peranggi? Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban
bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama
sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh
kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si
trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid
keparat itu perencananya. Peranggi membutuhkan
pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah.
Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang
jadi incaran!”
Kepala-kepala pasukan tetap membisu, juga tetap
melindungi mereka.
“Gusti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,”
bantah Wirangmandala . “Perintahkan saja apa yang kami
harus perbuat sekarang ini.”
“Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, mandala ,
Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar
Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk
itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan memasuki
Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus
berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban menang, kita akan
hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan
muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.”
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak
menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah
Wirangmandala , Senapati Tuban memang tidak mempunyai
niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan
Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya
sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melompat
menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang
Patih pada pinggangnya.
Orang-orang itu terpekik.
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris
dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu
keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut
Wirangmandala .
“Ampuni patik, Gusti Patih Senapati Tuban!” pekik
juara gulat itu dengan suara lantang.
“Baik. Aku ampuni kau, mandala . Berangkatlah ke medan
perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan
seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan
percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati,
gustiku.”
Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya.
Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah.
“Aku ampuni, kau.”
Sang Patih Senapati Tuban mati di tempat.
Dengan keris berlumuran darah di tangan Wirangmandala
memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat
matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi
seorang. Mata itu membeliak siaga “Siapa tidak suka?
Maju!”
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak
bergerak. “Kalian saksikan, Wirangmandala telah bunuh
Gusti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi
pembunuhan ini.”
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi,
Wirangmandala telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.”
“Semua!” bentaknya sambil berkeliling memutari
lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak
keras namun masih tetap ragu-ragu.
“Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali
lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.”
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang,
mengumandang ke seluruh alun-alun.
“Sebutkan: Tuban dan Gusti Adipati harus
diselamatkan.” … Dengan suara menggelora kepala-kepala
pasukan mengulangi. “Sekarang Wilangmandala Senapati
Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras.”
“Wirangmandala Senapati kami!”
“Wirangmandala Senapatiku!”
Wirangmandala membetulkan. “Wirangmandala
Senapatiku!”
Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang
dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun
sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya peluru-
peluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari
alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam
kadipaten.
“Kepala-kepala pasukan tinggal di sini,” perintahnya.
“Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera
kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!”
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti
adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak.
“Tak perlu kalian sembah aku,” katanya
memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat.
“Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wirangmandala
Senapati Tuban?” Tak berjawab.
“Tak ada yang tidak setuju?”
“Kami menyetujui,” jawab Kala Cuwil, kepala pasukan
gajah.
“Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku,
Senapati Tuban!” perintahnya.
Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di
tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu
mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka
menyembah pada mayat itu lalu melolosi tanda-tanda
jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung,
keris, permata pada destar dan ikat pinggang.
Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru.
“Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang
semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada
kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan
berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku
bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar
kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak
cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan
mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya
dengan tembakanmu. Hati-hati, sebab semua kapal perang
dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke
suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian
dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu.”
“Gusti!”
“Panggil aku Senapatiku.”
“Senapatiku,” ulangnya rikuh.
“Jalankan perintah itu dan pergi kau.”
“Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku?”
“Kosongkan dari pengawalan.”
Braja pergi untuk menjalankan perintah.
“Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku.
Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke
medan pertempuran, kalian dan aku.”
“Senapatiku!” mereka menyahut.
“Tidak ada pembangkangan!” perintahnya.
“Senapatiku, tidak ada pembangkangan.”
“Berangkat!”
“Senapatiku, berangkat!”
Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun.
Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di
bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang
sunyi senyap.
Sayup-sayup terdengar rsi h, namun tak ada peluru
meriam datang menyambar. Tuban Kota semakin senyap.
sesudah melepaskan berturut-turut empat butir peluru
pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriam-
meriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman.
Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak
obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar
diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda
datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal
meriam telah menyiapkan tombak.
Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga.
Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke
pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap
untuk berkelahi.
Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa
pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak
menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang
berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!”
ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah
menghinakan.
“Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang!” Jawab
Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat
dengan meriam.”
“Kalian sudah tinggalkan gelanggang!”
“Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau
bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan
bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak,
dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh.
Dan kita tak punya pasukan kuda.”
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang
hanya beberapa meter tingginya.
Mahmud Barjah masih tetap marah, namun cambuk
perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya.
Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan,
Mahmud tak membantah.
Laskar tombak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba
putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri
pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan
nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang
merangkaki jalanan.
Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri
diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang
itu bertikai dalam Melayu.
Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya
menetakkan kata-katanya: “Bukankah telah disetujui dan
diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh
sebelum mereka turun ke gelanggang?”
“Benar sekali, Panglima. namun juga menurut keputusan
tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan
musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat
mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke Tuban.
Kalau mengikuti Panglima, meriam-meriam kita bisa jadi
takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita
sendiri di tangan mereka.”
“Aku Panglima.”
“Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam
adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi
meriam-meriam ini takkan berguna.”
Mahmud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa
meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah
datangnya laskar, mencari kesatuannya.
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan
jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda
sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di
tengah-tengah pertigaan.
Panglima Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu
turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke
tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah.
“Gusti Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat
tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat
pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang
yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh
pasukan kuda. Hujan tombak telah membikin dia terjungkal
bersama kudanya. Mati, Gusti Panglima.”
“Surat itu sudah sampai?”
“Sampai dengan pasti.”
“Baik. Bagaimana hasil meriam?”
“Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan
kadipaten seperti disengaja, Gusti. Waktu itu sudah terjadi
perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah
matinya Patih Tuban, sedang mayatnya dibiarkan tergeletak
di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini
ini.”
“Siapa Senapati Tuban?”
“Tidak bersenapati, Gusti Panglima, sejauh sahaya
dengar. Belum tahu sekarang ini.”
“Tidakkah balatentara Tuban bergerak?”
“Belum nampak ada tanda-tanda, Gusti.”
“Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg.”
“Gusti.”
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain.
Mahmud Barjah memacu kudanya. Pada suatu pinggiran
hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia
perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan
panji-panji.
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat
jalan.
“Lebih cepat!” perintahnya lagi.
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju
setengah lari.
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya
mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan
hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah
hampir sampai di perbatasan Tuban Kota.
Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di
belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang
mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia
perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digeleng-
gelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh
seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut
bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara
lalu jatuh menaburi bumi.
Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya.
Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar
pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari
rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah.
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang
pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah
barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih.
Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap
orang membawa empat batang tombak yang langsing.
Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata
tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan
berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain
terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji
dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin
cepat langkah para prajurit.
Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu
rsi h, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang
menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan
menghiba-hiba.
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul
di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di
belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin
nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paru-
paru mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi
mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina
dengan kata-kata sekotor mungkin.
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar
panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa,
mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan
ejekan dan cacian.
Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan
Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis.
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan
melonjak.
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian
tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan
pedang sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari
gunung: Mau cari apa ke Tuban?” dan menggeletarkan
cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya.
“Kirik Tuban! Anjing Peranggi!” balas lawannya. “Ayoh
mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!”
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng
Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledek-
ledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan
Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh
lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi.
Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung
sebab caci-maki dan geletar cambuk.
Panglima Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi
tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi
parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan
menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!”
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan sorak-
sorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang.
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia
hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi
menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan
terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki
Tuban sebelum matari tenggelam.
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan
cacian. Banteng Wareng memerintahkan melemparkan
batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batu-
batu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak
sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang
yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah
menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh
dan terinjak-injak oleh barisan sendiri.
Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu
sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat
meriam. namun yang dicari-cari tidak nampak. Mereka
lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan.
Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram
amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sor