nusantara awal abad 16 14
ai. Mereka melompat-
lompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke
dalam kulit.
“Tolong, Tuan Yakub,” pinta Esteban, “ada binatang
masuk ke celana.”
“Tidak mati kau sebab binatang celaka itu. Dia sendiri
yang bakal mati. Tidur.”
Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada
Yakub yang menyala-nyala marah.
Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling.
Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka
jalan terus tanpa menggubris.
Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur.
Juga orang-orang Portugis.
Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru
angin, dan deburan ombak, dan nyala api.
Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur.
0o-dw-o0
17. Balatentara Tuban Turun Tangan
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua
punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan
Rangga Iskak telah mempersembahkan pagardesa mereka
tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji
Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak
terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang
menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti
terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang.
Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang
Patih telah terlampau sia-sia.
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai
menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, namun
sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi
jadi Sunan Rajeg.
“Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian telah
menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak
ada jalan lain dibandingkan mengirimkan balatentara ke
pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa
kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian
mengeluh sebab harus makan lebih sedikit dan bekerja
lebih banyak.”
Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-masing di
bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan
desa terancam dengan perintah untuk mendesak para
perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga
Iskak dan memukul mereka di kandang sendiri.
Mereka berangkat sesudah mendapat restu Sang Patih,
berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa,
wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang
menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan
gendang sama sekali tidak berbunyi.
sesudah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia
mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula
tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan
ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik
bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut
serta berpesta pora.
Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu
yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan
pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam
bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban
Kota.
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa
belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang
anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke
mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban.
Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan
atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang
pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah
mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan
itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan
baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih.
Sang Patih telah memerintahkan satu kesatuan berkuda
untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak
berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa
bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri.
sesudah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia
menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di serambi belakang.
“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang Adipati
acuh tak acuh.
Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah
menjalar Kiai Benggala.
“Jangan gegabah,” Sang Adipati menjawab. “Tidak kami
benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana
kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata
tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di
hadapan.”
Ia masih mencoba meyakinkan gustinya.
“Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh
keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.”
“namun bawahannya, Gusti Adipati sesembahan patik,
barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau
tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mempersembahkan
hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan
regu prajurit kaki. “Ular berbisa itu, Gusti Adipati Tuban
sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor,
pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera
ditumpas.”
“Apa yang kakang Patih inginkan?”
Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan
mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar,
seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang
paling cakap.
“Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, Gusti,
cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.”
Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan
tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat:
“Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang.
Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya
sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang
seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu?
Pergi!”
Sang Patih pulang membawa kejengkelan – kejengkelan
semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap
gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada
cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang
sebab sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit
sampai ke dasarnya.
Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil
kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal
yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang
Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu
untuk memimpin dua ratus orang prajurit kaki untuk
memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak
alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg.
“Sahaya akan segera berangkat, Gusti,” sembah
Mahmud Barjah. “Hanya ijinkan sahaya
mempersembahkan sedikit pikiran, sebab sahaya orang
Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.”
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih
sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia
diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah
Mahmud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang,
untuk menumpas para perusuh di pedalaman.
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang,
cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tombak.
Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit
pilihan….
0o-dw-o0
Belum lagi Mahmud Barjah dan pasukannya
meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk
bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya
Sang Adipati.
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah
sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin
gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang
pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan
perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan
untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa
kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat
dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada
kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid
Habibullah bilamana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan
dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara.
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan
itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang
Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di
belakangnya mengikuti Nyi Gede Daludarmi.
Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan
tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih
sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik
dibandingkan depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk
menuding Sang Patih dan membentak: “Kerjakan apa yang
telah tertitahkan. Kami yang menentukan.”
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya
segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina
seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih
di hadapan seorang selir dan seorang penrsi s keputrian.
Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah
dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus
menggandeng selir baru dalam iringan Nyi Gede
Daludarmi.
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia
mengangkat sembah lagi, lalu berjalan terburu-buru
pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya.
Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku?
Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri?
Memang ia memahami alasan Sang Adipati: bila
balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya
para bupati tetangga, terutama Demak bisa menyerbu
dengan leluasa. Memang sudah lama bandar Tuban yang
indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya sebab
kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai
sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang
bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa
kekuasaan persekutuan. namun Demak adalah kekuatan
yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan
darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru.
Dan memang Sang Adipati punya hak mencemburui
dirinya sebagai patih.
Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai
persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat
diriku sendiri. Memang, memang. namun menyakiti hati
patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan
sehina ini?
Ia tak dapat menerima.
Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan,
Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain
dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus
disingkirkan. Selama itu Sang Adipati hanya mendengarkan
tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi,
pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya.
Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah
bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu
mementingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri
Tuban. Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan
gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati
menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah,
para perusuh akan dapat ditumpas. Gustinya tak pernah
mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan
Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang
Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari
perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan
kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri
Tuban sudah terjamah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah
itu – akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu – akan
jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap
dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar.
Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya
dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan
Ispanya akan datang sebagai sahabat – seperti dilakukan
oleh Giri Dahanapura Blambangan? Terlalu banyak yang
dipertaruhkan untuk keselamatan Sayid Habibullah.
Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai
Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan.
‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan
meriam?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang
kuat di Nusantara ini tak ada yang mempunyai, apa pula
hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari
Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu
berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal Islam pada kabur
berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam
tangannya Peranggi dan Ispanya memang tidak bisa
ditahan – mereka sedang naik pada jaman jayanya.’
Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran
Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut
jaya.
Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang
di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan
sendiri.
Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi
pandangannya yang lama yang membikin Sang Adipati
cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri
Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban.
Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan
Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat
dalam hatiku untuk membikin kau menungging di bawah
kakiku.
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh
pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk
melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda
menyambar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran,
bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila
perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah
hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan
garuda menyambar elang juga terhadap gustinya sendiri,
dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk
mengabdi pada gustinya sampai mati.
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati
yang itu juga.
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan
gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan
ketidakpedulian.
0o-dw-o0
Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua
datang menyusul, dan tidak terduga-duga.
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan:
Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas.
Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira
pengawal.
Pukulan kedua itu hanya membikin semakin parah
kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia
merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih,
sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya
sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya.
Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung
di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka
terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan
bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh
kapal-kapal peronda pantai.
Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan
dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun
kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke
belakang.
Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang
rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak
kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orang-
orang Portugis segera membongkari perkemahan mereka,
mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat
entah ke mana.
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutan-
hutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez
meraung seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka
tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut
makanan hiu.”
Belum lagi Esteban sempat memuaskan kejengkelannya,
Yakub telah datang dan memerintahkan dengan kasar,
semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia
tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua
orang Portugis itu mulai sibuk.
Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat
ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana
tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan.
Dengan petunjuk Esteban orang mulai membongkari
meriam dari roda-rodanya, lalu semua dipikul. Juga
peti-peti obat dan peluru besi.
Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang
itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara,
makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan
dengan parang terhunus sebagai pembuka jalan.
sesudah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di
sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan
terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi
berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang
dikuasai oleh Sunan Rajeg.
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka,
menggabungkan diri dan mengganti memikul bemayat i-
mayat i sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani
orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang
badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi
depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam,
dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju.
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan
penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki
perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin
melewatkan keanehan sekali ini.
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di
depan rumah joglo Sunan Rajeg.
Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu,
berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia
mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas
Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban
putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari
dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar
tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di
samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk
dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatang-
pendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang
duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang
mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez
duduk di tanah pula dan menyembah.
Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan
terikat ke belakang.
Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang melihat dua orang
kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak
tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia
turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam.
Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip
pada mulut meriam, lalu membersihkan tangan
dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul
pendopo.
“Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg,” seru Yakub
mengacarai serah terima meriam dan penembaknya.
“Keselamatan untuk kalian semua.”
“Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk
meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi
penembaknya,” katanya dalam Melayu. “Hei, kalian,
Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.”
“Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut
Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas.
“Alhamdulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya
berkumandang ke seluruh Rajeg.
Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke
hadapan Kiai Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri
di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan memberi
hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari
kemuakan.
“Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat!” teriak
Yakub di tempatnya dalatri Melayu.
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia
berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua
orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang
mereka.
“Hormat! Hormati kanjeng Sunan Rajeg,” orang-orang
berseru-seru memperingatkan dalam Jawa.
“Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memperkuat
perintah mereka dalam Melayu.
Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez
beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil
menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka
sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula
ke bawah sampai mencium debu.
“Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini,” kata Sunan
Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir!
Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan
bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian
jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian
sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan
Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup
atau mati kalian berada dalam tanganku.”
Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri
memprotes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata
Esteban, “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada
Tuan,” dalam Melayu yang cukup jelas. “Mengapa kami
diperlakukan begini?”
“Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang
Tuan tak pernah kenal ini?” tambah Rodriguez.
“Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik airmuka
bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding
dirinya sendiri, kemu-
dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang
di hadapannya, “pada seluruh ummat Islam. Dungu! Tak
mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa
diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa
semut pun lebih berharga dibandingkan kalian! Hei, semua
pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas
tanpa seijinku.”
Satu suara bersama bergalau membubung dari para
hadirin di depannya.
“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian?
Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi? Perompak,
bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!”
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk
dan menekurkan kepala mereka ke tanah.
Sunan Rajeg kembali mendapatkan kemayat hannya. Ia
mengangguk-angguk membenarkan.
“Kiriman paling memberkahi,” tiba-tiba ia tertawa
pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu
mengangguk-angguk menyetujui.
“Alhamdulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara
menggelora.
“Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan
penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana
kehendaknya,” katanya dalam Jawa. lalu dalam
Melayu. “Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu,
bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami,
ummat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada
tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriam-
meriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa
saja. Jawab kalau kalian bersedia.”
“Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat,”
bantah Rodriguez bengkeng.
“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei,
ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus
menembak dengan tangan terbelenggu?”
“Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai
manusia yang punya juga kehormatan sebagai manusia.”
seru Esteban lantang.
Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya
terguncang.
“Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir
Peranggi punya kehormatan, tapi hanya sebab kalian
bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku,
dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah!”
“Demi Allah!” para pengikat mendengung mengulangi.
“Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi,
kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui
kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.”
“Kami bukan kafir!” bantah Rodriguez, mukanya merah-
padam sebab marah.
“Bukan kafir?” pekik Sunan Rajeg. “Baik, kurung
mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan
makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi
selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing
minta ampun. Kurung!”
Dan dikurunglah mereka.
0o-dw-o0
Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu
kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan
kelaparan.
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah
memohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg.
Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo.
Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri
di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga peti-
peti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang
bertombak, tak ada para pengikut.
“Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” Sunan Rajeg
mendahului dari bendul pendopo.
“Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan,” kata
Esteban.
“Mengapa baru sekarang menjawab?”
“Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan
boleh gusar sebelumnya, jangan lalu . Maka kami
pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.”
“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu
teruskan persembahanmu.”
“Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari
Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani
meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah,
Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan
disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?”
“Rusak?” Sunan Rajeg memekik. lalu
menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si
bedebah!”
“Kalau terjadi kemacetan…,” Rodriguez menambahi.
Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang
pada meriam-meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat
semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya
berseri kembali.
“Tidak apa,” katanya, “meriam adalah meriam. Yang
penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barang-
barang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan
atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi
Tuban yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang
apa dari logam.”
“Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan
sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.”
“Bagaimana dengan belenggu kami?” Rodriguez
mendesak.
“Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian
kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian
menuntut bebas.”
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseru-
seru mayat i. lalu disusul dengan suara orang
berlarian.
Sunan Rajeg memanggil seorang pengantar tangkapan
itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum
suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak,
berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun.
lalu : “Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan
diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.”
“Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau
mati!” Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, “Juga
kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani
meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila
kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku –
kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan
kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum
kehilangan kepalanya yang dua.”
Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg
terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub.
“Ya, bagaimana persembahan kalian?”
“Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah
Tuan.” jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg
sudah mulai agak mayat h.
“Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam?”
“Ya, tuan.” Esteban memperkuat.
“Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuh-
musuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.”
Esteban terdiam dan Rodriguez menyambar: “Kami
sanggup, Tuan.”
“Mengapa kau diam saja?” tanya pada Esteban.
“Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami
berdua,” jawabnya.
“Baik. Apa lagi?”
“Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan
berperang cara Eropa, secara Peranggi.”
Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias
Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil
memperlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin
kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. Tapi
kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada
kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian – sudah
bergelimang dengan banyak dosa.”
“Kami memang Peranggi, tapi bukan kafir.” Rodriguez
membantah. “Kami Kristen.”
Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa menang, dan tertawanya
terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan
itu.
“Memang tidak suka dinamai kafir? Bukankah kalian
menamai kami juga kafir?”
Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin
untuk tidak menjawab.
“Mengapa diam? Bukankah kami kafir untuk kalian dan
kalian kafir untuk kami?”
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu
mengandung ancaman maut.
“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” Sunan Rajeg
mendesak terus.
sesudah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu:
“Semua yang Tuan inginkan.”
“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan
kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. sebab tiada
sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari
bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya,
dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini,
kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan.
Tapi ingat, aku tak mempunyai kafir.”
Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam,
merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan
batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki
oleh Sunan Rajeg.
“Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam?”
Esteban bertanya ragu-ragu.
Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya
berkilau-kilau semakin mayat h. Ia pandangi tenang-tenang
dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar kata-
kata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa
aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam? Kalian
sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun.
Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, sebab kalian
sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang
lain.”
“Kami bersedia,” Rodriguez menyambar.
“Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam,” Sunan
Rajeg memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri,
kerelaan sendiri dan suka sendiri.”
“Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan,” Rodriguez
membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah.
Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk
memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah
penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah
dalam terik matari menunggu kata-katanya: “Dengarkan
kalian, bahwa pada hari ini,” ia memulai dalam Jawa.
“Orang Peranggi yang ompong ini…” tiba-tiba dalam
Melayu, “siapa namamu, ompong?”
“Rodriguez, Kanjeng Sunan.”
“… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk
Islam. Syukur Alhamdulillah.”
“Syukur Alhamdulillah,” orang-orang mengulangi
dengan suara menggelora.
“Dan kau, siapa pula namamu?”
“Esteban, Kanjeng Sunan.”
“Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu?”
“Sama saja. Kanjeng Sunan.”
Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah
lolos dan tak dapat ditemukan lagi….
Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyambut
peng-Islaman Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga
terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu
semakin lama semakin dekat, lalu nampak
serombongan orang desa mengantarkan seorang
penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan,
berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam dibandingkan Sunan
Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban,
perwira pengawal.
Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul
pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.
“Assalamu alaikum!” perwira itu memulai sambil turun
dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg.
“Paman!” dan diulurkan tangannya sesudah membuat
sembah dada.
Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk
pertama kali penduduk melihat orang bersalaman.
“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah
dada pula.
Khaidar membalas dengan sembah dada pula.
“Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,”
kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh
istri dan tamunya.
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung
masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua
di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg
menghalau orang-orang yang masih menggerombol di
depan pendopo. Mereka bubar sesudah menyembah.
“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali Sunan Rajeg
membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi
tamunya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia
memulai dengan menggunakan Melayu.
“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah
mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.”
“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rumah berkobar-
kobar.
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup
mulutnya.
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang
telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu
membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja
itu tertarik jadi siku-siku.
“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” Sunan Rajeg
memperingatkan.
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari
tawanya.
“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan
sahaya untuk menindas Paman,” ia tak dapat menahan
tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg
untuk ikut tawa.
“Teruskan, teruskan.”
“sebab bernafsu untuk menindas Paman dengan
terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar
dibandingkan yang diperkenankan oleh Gusti Adipati. Dua ratus
prajurit!”
“Dua ratus!” seru Sunan Rajeg. “Teruskan, Nak.”
“Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman,
di samping diri sahaya sendiri.”
Sunan Rajeg merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan
yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau.
Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.”
“Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman.”
“Kau pilih sendiri!”
“Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak
laut pelawan ombak penakluk pulau!”
“Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?”
“Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk
dari Kanjeng Sunan Rajeg.”
“Betapa tahu adat, kau ini, Nak.”
“Sahaya adalah seorang perwira, Paman.”
“Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka
masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan?”
“Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi
menjemput mereka. Dua ratus, Paman. Tidak sedikit.
Sediakan tempat dan makannya?”
“Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglimaku datang,
panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah
mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk memberi
isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi.
Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan
perpacu hilang di balik debu mengepul.
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil
orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan
orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan
pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo Sunan
Rajeg. Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya:
dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan
mereka.
“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban
sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama
dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!”
Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba.
Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka.
Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari
tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak
mungkin.
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun.
Mahmud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam
rumah Sunan Rajeg.
Lain lagi yang terjadi di gedung utama kesyahbandaran.
Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban
sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak
berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar
nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal
beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari
menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan
tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan
membikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya.
Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan
kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani
membayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya
pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti
rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila
daratnya kocar-kacir?
Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam.
Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para
pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri
sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk
berkeping-keping.
Tuban harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam.
Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar
Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan
dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi
selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau
Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di
Andalusia, Ispanya.
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga
tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan
senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup
selanjutnya.
Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi.
Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita Arab
semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia,
mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang
keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia,
filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir
atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina…
Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah dibandingkan
Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa
lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya,
Tuban sedang dalam keadaan runtuh.
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa
mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan
dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh,
manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti
merak, kau tengkorak ! Apalah artinya kau! Ia tindas
kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus
dibandingkan kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana.
Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang,
kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta
penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk
dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke
dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat
selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa
persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa nama-
haremnya.
Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui,
orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tanda-
tanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda
kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai
menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya
Purnawisesa jatuh sesudah menyelir Ratna Subanci anak
saudagar Gresik, Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan
sebutan Babah Ba tong itu?
Melihat Nyi Gede Kati sedang datang membawa
nampan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi Gede’
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiap-
siap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia
tinggal berdiri di hadapannya.
“Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi Gede?”
“Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nama itu.”
“Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi Gede.
Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia,
Kati?”
“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu
Campa sahaya tidak tahu.”
“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai
menyembunyikan sesuatu dibandingkan ku?”
“Tidak, Tuan, demi Allah.”
“Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu,
Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang?”
“Bukankah sahaya telah menjawab, Tuan Sayid?”
“Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.”
“Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan
menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah.
Tidak untuk kedua kalinya.”
“Itu salah benar, Kati, Nyi Gede. Hubungan lama jangan
dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak
melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya
berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak,
sedikit pun jadi. Bukankah begitu?”
“Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.”
“Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan
permintaan, tapi perintah.”
“Betul, Tuan, perintah.”
“Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri
tidak patut menolak perintah suami. Orang harus
melakukannya. Bukan, Kati?”
“Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak
sedia.”
“Kau membangkang, Kati,” kata Syahbandar itu tak
bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.
“Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua
kalinya pada Gusti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban,
Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan
tempat ini entah ke mana-mana.”
“Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan
kuatir,” Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya
sendiri.
“Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya.”
“Tapi kau istriku!” Syahbandar menekan.
“Sahaya istri Tuan Sayid.”
“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras.
“Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot.
“Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami
sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.”
“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya
berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan
lama,” Tholib Sungkar menurunkan kembali nada
suaranya.
“Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu
besok sahaya akan pergi ke desa Awis Krambil,
mengantarkan tengkorak untuk melahirkan.”
“Binatang,” desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari
tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya.
“Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya
tenang, “tidak lagi seperti Tuan.”
“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya rambut
Nyi Gede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai
hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk
kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan
itu seperti hendak menotok biji matanya.
“Lepaskan sahaya, Tuan,” pohon Nyi Gede.
Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan
cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. “Ampun,
Tuan, lepaskan sahaya.”
Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke
belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya
nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya.
Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke
atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi Gede.
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas
penrsi s harem itu mengisarkan badan sambil mengait
sebelah kaki Tholib Sungkar. lalu ia berguling
berputar.
Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseimbangan
dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak
terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala
kehormatan, lalu berhenti mendarat pada kaki meja.
Dan belum ia mendapatkan keseimbangannya dan
kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya,
istrinya telah melompat dan membikinnya jadi
tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang
dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya.
“Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan.”
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan.
Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan
tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat
yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri
sebelum terpental.
“Jangan, Nyi Gede, jangan.”
“Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan
yang mulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan
sendiri.”
Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya
menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke
samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka
mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi
Gede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti
terbuat dari ketan hitam.
“Lepaskan aku,” rintihnya.
“Mintalah ampun, Tuan.”
Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi Gede Kati
menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki
itu mengaduh, mengerang dan merintih.
“Ya-ya, ampun, Nyi Gede.”
Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu
jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk
suaminya, berdiri, lalu dengan tangan sendiri
menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban,
menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan
orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.
“Ampun, ampun, ampun, Nyi Gede!” rintih Syahbandar
dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.
“Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong
suaminya berdiri.
Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu
menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari
lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari
pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan:
“Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?”
Nyi Gede Kati mengait topi itu dengan kaki,
mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan
kepala suaminya di dalamnya.
“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya lelaki jangkung
itu sambil memperbaiki letak tarbusnya.
“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan
sungguh tidak patut.”
“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya.
“Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga
tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau
suami itu sudah begitu kurangajarnya….”
“Aku…. ?”
“Siapa lagi, Tuan,” Nyi Gede berjalan beberapa langkah
dan mengambil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan
mendengarkan sahaya?” melihat lelaki itu mengangguk lesu
ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-
bodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau
dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan,
seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai
ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang
dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya
seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya
sebagai suami saja, juga sebagai rsi nya dan sebagai
dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya
sampaikan ini agar Tuan mengerti, sebab semua itu
mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.”
Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan
cemayat h yang bodoh itu.
“Kau wajib minta ampun pada suamimu.”
“Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengembalikan
tongkat pada pemiliknya. “Sahaya minta ampun. Sekiranya
terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah
tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.”
“Perempuan haibat! Tak pernah aku temui,” ia
menggeleng-geleng pusing.
Nyi Gede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan
tanpa menghormatinya.
Syahbandar membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali
menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan
rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan
bengkung merajawali, lalu mengenangkan dengan
tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan
seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia
dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka,
pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina
seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti
dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung
dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan
sanggup membendung kekuatan Portugis, kekuatan yang
sedang jaya.
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada
kekalahannya terhadap tengkorak . Di mana harus
kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu
tadi? Tidakkah Nyi Gede akan menyampaikan gempa bumi
ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar,
bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung
kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah
membikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu!
0o-dw-o0
Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg
memperkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu
Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez.
“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembak-
penembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita
itu.”
“Meriam? seru Mahmud Barjah. “Meriam betul?
Meriam Peranggi?”
Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk membenarkan.
“Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih
anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi.”
Mahmud Barjah mengernyitkan kening.
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata
Mahmud, Sunan Rajeg buru-buru menambahkan: “Dan
perwira Tuban ini, Mahmud Barjah, adalah panglimaku.
Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah
perintahmu, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud,
perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi
Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya
dari Peranggi.
“Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi?”
Barjah mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku
dengar atau lihat.”
“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak
bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh,
bersalam-salaman kalian.”
Mereka bersalam-salaman. Dan segera sesudah itu
Mahmud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat
anakbuahnya.
Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu
hati panglimanya. Panglima Rajeg itu muncul lagi
menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung
dengan semua makmum sampai isya. lalu semua
orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg
menyampaikan wejangannya pada seluruh penduduk yang
sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa
tikar masing-masing.
Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan.
Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan
pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu
terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah.
Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam
pendopo. Di belakangnya duduk Mahmud Barjah dan para
tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan
panglima baru, lalu diteruskan dengan wejangan yang
biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah
kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini,
Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah
Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap
wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya.
Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur
jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang
selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya
kerajaan Islam yang pertama-tama.”
Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit.
“Siapa yang menamakan itu? Pasti bukan Sunan Rajeg,”
ia meneruskan. “Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan
dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.”
Mahmud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan
sebab itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang
penduduk sudah hafal di luar kepala: “Kalian tahu benar
siapa musafir-musafsir Demak itu – ratusan orang yang
dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk
bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak,
rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan
anggota-anggotanya,” ia menengok pada Mahmud Barjah.
“Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia
meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan
Islam pertama-tama di Jawa tidak di Demak, tapi di sini!”
dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyala-
nyala pada para hadirin di depannya.
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak
ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di
belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan
patung-patung tembaga pada sebuah candi.
“Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki
dan merias muka Sultan Al-Fatah dan memajang-majang
Demak, sebab muka
Sultan itu bopeng dan sebab Demak itu busuk. Ingat-
ingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan
dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga
tidak ada hak Demak menamakan kerajaan Islam pertama-
tama di Jawa’
Dengan pandang menantang seakan Demak ada di
depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Kata-
katanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan
panglimanya.
“Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu
mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa
rsi mu? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah
dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian
menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar? Apa
dasarmu dan dasar kalian?”
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya
menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan
kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya.
Mahmud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati
bahu dan punggung pemimpinnya, namun tak berani. Para
hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat
bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk,
apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang
gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan
untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan
dirinya.
Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta
bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap
tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh
pemimpin yang terbongkok-bongkok sebab batuknya
masuk ke dalam.
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar
sebab sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya
Mahmud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk
memberikan perintah bubar.
Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani
bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri membelakangi para tetua. Ia
dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan
dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak
memaklumi.
sesudah mengucapkan salam, yang disambut menggelora,
ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang
pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap
Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban,
tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita
bukan muhrim, namun tanpa malu adipati itu menamai diri
Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak
pernah menyebut Demak.
Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan
perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat
berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan
dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari.
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih
terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga.
Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para
tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia
tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintang-
pukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari
pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah.
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar
negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasana-
gadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di
pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua,
para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal
kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala
Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan
kaki.
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah
Wirangmandala . Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun.
Ia duduk sebagai kepala pasukan laut.
Tempat Sang Patih masih juga kosong.
Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkali-
kali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap
kosong. sebab tak dapat menahan kesabarannya, keluar
suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina:
“Di manakah kakang Patih?”
Tiada berjawab. Semua menunduk.
“Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?”
Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh
penghadap.
“Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu
dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap
perusuh?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” salah
seorang yang tertua di antara mereka bersembah,
“demikianlah adanya.”
“Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?”
“Ampun, Gusti,” sembah Banteng Wareng,
“demikianlah adanya.”
“Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa
bekas?”
“Ampun, Gusti, sesembahan, demikianlah adanya,”
sembah Rangkum.
“Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang
peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud
Barjah juga lenyap tanpa bangkai?”
“Demikianlah adanya,” sembah Rangkum.
“Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan
Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan
sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus
tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh sebab
balatentaranya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukan-
pasukan Tuban t