nusantara awal abad 16 14

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 14



 ai. Mereka melompat-

lompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke 

dalam kulit. 

“Tolong, Tuan Yakub,” pinta Esteban, “ada binatang 

masuk ke celana.” 

“Tidak mati kau sebab  binatang celaka itu. Dia sendiri 

yang bakal mati. Tidur.” 

Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada 

Yakub yang menyala-nyala marah. 

Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling. 

Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka 

jalan terus tanpa menggubris. 

Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur. 

Juga orang-orang Portugis. 

Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru 

angin, dan deburan ombak, dan nyala api. 

Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur. 

0o-dw-o0 

 

17.  Balatentara Tuban Turun Tangan 

Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua 

punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan 

Rangga Iskak telah mempersembahkan pagardesa mereka 

tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji 

Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak 

terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang 

menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti 

terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang. 

Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang 

Patih telah terlampau sia-sia. 

Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai 

menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, namun  

sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi 

jadi Sunan Rajeg. 

“Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian telah 

menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak 

ada jalan lain dibandingkan  mengirimkan balatentara ke 

pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa 

kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian 

mengeluh sebab  harus makan lebih sedikit dan bekerja 

lebih banyak.” 

Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-masing di 

bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan 

desa terancam dengan perintah untuk mendesak para 

perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga 

Iskak dan memukul mereka di kandang sendiri. 

Mereka berangkat sesudah  mendapat restu Sang Patih, 

berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa, 

wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang 

menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan 

gendang sama sekali tidak berbunyi. 

sesudah  hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia 

mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula 

tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan 

ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik 

bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut 

serta berpesta pora. 

Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu 

yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan 

pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas. 

Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam 

bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban 

Kota. 

Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa 

belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang 

anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke 

mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban. 

Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan 

atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang 

pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah 

mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan 

itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan 

baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih. 

Sang Patih telah memerintahkan satu kesatuan berkuda 

untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak 

berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa 

bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri. 

sesudah  penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia 

menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di serambi belakang. 

“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang Adipati 

acuh tak acuh. 

Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah 

menjalar Kiai Benggala. 

“Jangan gegabah,” Sang Adipati menjawab. “Tidak kami 

benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana 

kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata 

tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di 

hadapan.” 

Ia masih mencoba meyakinkan gustinya. 

“Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh 

keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.” 

“namun  bawahannya, Gusti Adipati sesembahan patik, 

barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau 

tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mempersembahkan 

hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan 

regu prajurit kaki. “Ular berbisa itu, Gusti Adipati Tuban 

sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor, 

pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera 

ditumpas.” 

“Apa yang kakang Patih inginkan?” 

Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan 

mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, 

seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang 

paling cakap. 

“Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, Gusti, 

cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.” 

Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan 

tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat: 

“Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. 

Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya 

sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang 

seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu? 

Pergi!” 

Sang Patih pulang membawa kejengkelan – kejengkelan 

semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap 

gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada 

cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang 

sebab  sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit 

sampai ke dasarnya. 

Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil 

kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal 

yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang 

Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu 

untuk memimpin dua ratus orang prajurit kaki untuk 

memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak 

alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg. 

“Sahaya akan segera berangkat, Gusti,” sembah 

Mahmud Barjah. “Hanya ijinkan sahaya 

mempersembahkan sedikit pikiran, sebab  sahaya orang 

Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.” 

Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih 

sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia 

diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya. 

Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah 

Mahmud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang, 

untuk menumpas para perusuh di pedalaman. 

Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang, 

cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tombak. 

Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit 

pilihan…. 

0o-dw-o0 

 

Belum lagi Mahmud Barjah dan pasukannya 

meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk 

bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya 

Sang Adipati. 

Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah 

sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin 

gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang 

pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan 

perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan 

untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa 

kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat 

dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada 

kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid 

Habibullah bilamana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan 

dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara. 

Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan 

itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang 

Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di 

belakangnya mengikuti Nyi Gede Daludarmi. 

Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan 

tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih 

sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik 

dibandingkan  depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk 

menuding Sang Patih dan membentak: “Kerjakan apa yang 

telah tertitahkan. Kami yang menentukan.” 

Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya 

segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina 

seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih 

di hadapan seorang selir dan seorang penrsi s keputrian. 

Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah 

dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus 

menggandeng selir baru dalam iringan Nyi Gede 

Daludarmi. 

Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia 

mengangkat sembah lagi, lalu  berjalan terburu-buru 

pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya. 

Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku? 

Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri? 

Memang ia memahami alasan Sang Adipati: bila 

balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya 

para bupati tetangga, terutama Demak bisa menyerbu 

dengan leluasa. Memang sudah lama bandar Tuban yang 

indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya sebab  

kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai 

sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang 

bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa 

kekuasaan persekutuan. namun  Demak adalah kekuatan 

yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan 

darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru. 

Dan memang Sang Adipati punya hak mencemburui 

dirinya sebagai patih. 

Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai 

persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat 

diriku sendiri. Memang, memang. namun  menyakiti hati 

patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan 

sehina ini? 

Ia tak dapat menerima. 

Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan, 

Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain 

dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus 

disingkirkan. Selama itu Sang Adipati hanya mendengarkan 

tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi, 

pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya. 

Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah 

bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu 

mementingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri 

Tuban. Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan 

gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati 

menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, 

para perusuh akan dapat ditumpas. Gustinya tak pernah 

mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan 

Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang 

Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari 

perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan 

kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri 

Tuban sudah terjamah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah 

itu – akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu – akan 

jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap 

dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar. 

Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya 

dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan 

Ispanya akan datang sebagai sahabat – seperti dilakukan 

oleh Giri Dahanapura Blambangan? Terlalu banyak yang 

dipertaruhkan untuk keselamatan Sayid Habibullah. 

Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai 

Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan. 

‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan 

meriam?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang 

kuat di Nusantara ini tak ada yang mempunyai, apa pula 

hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari 

Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu 

berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal Islam pada kabur 

berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam 

tangannya Peranggi dan Ispanya memang tidak bisa 

ditahan – mereka sedang naik pada jaman jayanya.’ 

Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran 

Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut 

jaya. 

Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang 

di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan 

sendiri. 

Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi 

pandangannya yang lama yang membikin Sang Adipati 

cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri 

Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban. 

Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan 

Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat 

dalam hatiku untuk membikin kau menungging di bawah 

kakiku. 

Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh 

pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk 

melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda 

menyambar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran, 

bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila 

perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah 

hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan 

garuda menyambar elang juga terhadap gustinya sendiri, 

dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk 

mengabdi pada gustinya sampai mati. 

Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati 

yang itu juga. 

Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan 

gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan 

ketidakpedulian. 

0o-dw-o0 

 

Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua 

datang menyusul, dan tidak terduga-duga. 

Dari persembahan para penghubung didapat keterangan: 

Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas. 

Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira 

pengawal. 

Pukulan kedua itu hanya membikin semakin parah 

kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia 

merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, 

sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya 

sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya. 

Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung 

di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka 

terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan 

bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh 

kapal-kapal peronda pantai. 

Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan 

dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun 

kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke 

belakang. 

Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang 

rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak 

kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orang-

orang Portugis segera membongkari perkemahan mereka, 

mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat 

entah ke mana. 

Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutan-

hutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez 

meraung seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka 

tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut 

makanan hiu.” 

Belum lagi Esteban sempat memuaskan kejengkelannya, 

Yakub telah datang dan memerintahkan dengan kasar, 

semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia 

tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua 

orang Portugis itu mulai sibuk. 

Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat 

ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana 

tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan. 

Dengan petunjuk Esteban orang mulai membongkari 

meriam dari roda-rodanya, lalu  semua dipikul. Juga 

peti-peti obat dan peluru besi. 

Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang 

itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, 

makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan 

dengan parang terhunus sebagai pembuka jalan. 

sesudah  tiga hari perjalanan mereka baru sampai di 

sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan 

terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi 

berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang 

dikuasai oleh Sunan Rajeg. 

Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka, 

menggabungkan diri dan mengganti memikul bemayat i-

mayat i sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani 

orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang 

badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi 

depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam, 

dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju. 

Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan 

penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki 

perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin 

melewatkan keanehan sekali ini. 

Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di 

depan rumah joglo Sunan Rajeg. 

Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu, 

berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia 

mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas 

Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban 

putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari 

dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar 

tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau. 

Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di 

samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk 

dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatang-

pendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang 

duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang 

mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez 

duduk di tanah pula dan menyembah. 

Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan 

terikat ke belakang. 

Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang melihat dua orang 

kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak 

tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia 

turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam. 

Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip 

pada mulut meriam, lalu  membersihkan tangan 

dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul 

pendopo. 

“Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg,” seru Yakub 

mengacarai serah terima meriam dan penembaknya. 

“Keselamatan untuk kalian semua.” 

“Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk 

meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi 

penembaknya,” katanya dalam Melayu. “Hei, kalian, 

Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.” 

“Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut 

Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas. 

“Alhamdulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya 

berkumandang ke seluruh Rajeg. 

Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke 

hadapan Kiai Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri 

di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan memberi 

hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari 

kemuakan. 

“Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat!” teriak 

Yakub di tempatnya dalatri Melayu. 

Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia 

berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua 

orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang 

mereka. 

“Hormat! Hormati kanjeng Sunan Rajeg,” orang-orang 

berseru-seru memperingatkan dalam Jawa. 

“Tiada kalian dengar itu?” Sunan Rajeg memperkuat 

perintah mereka dalam Melayu. 

Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez 

beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil 

menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka 

sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula 

ke bawah sampai mencium debu. 

“Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini,” kata Sunan 

Rajeg. “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! 

Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan 

bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian 

jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian 

sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan 

Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup 

atau mati kalian berada dalam tanganku.” 

Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri 

memprotes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata 

Esteban, “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada 

Tuan,” dalam Melayu yang cukup jelas. “Mengapa kami 

diperlakukan begini?” 

“Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang 

Tuan tak pernah kenal ini?” tambah Rodriguez. 

“Kesalahan kalian?” Sunan Rajeg kini menarik airmuka 

bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding 

dirinya sendiri, kemu- 

dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang 

di hadapannya, “pada seluruh ummat Islam. Dungu! Tak 

mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa 

diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa 

semut pun lebih berharga dibandingkan  kalian! Hei, semua 

pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas 

tanpa seijinku.” 

Satu suara bersama bergalau membubung dari para 

hadirin di depannya. 

“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian? 

Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi? Perompak, 

bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!” 

Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk 

dan menekurkan kepala mereka ke tanah. 

Sunan Rajeg kembali mendapatkan kemayat hannya. Ia 

mengangguk-angguk membenarkan. 

“Kiriman paling memberkahi,” tiba-tiba ia tertawa 

pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu 

mengangguk-angguk menyetujui. 

“Alhamdulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara 

menggelora. 

“Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan 

penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana 

kehendaknya,” katanya dalam Jawa. lalu  dalam 

Melayu. “Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu, 

bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami, 

ummat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada 

tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriam-

meriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa 

saja. Jawab kalau kalian bersedia.” 

“Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat,” 

bantah Rodriguez bengkeng. 

“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, 

ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus 

menembak dengan tangan terbelenggu?” 

“Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai 

manusia yang punya juga kehormatan sebagai manusia.” 

seru Esteban lantang. 

Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya 

terguncang. 

“Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir 

Peranggi punya kehormatan, tapi hanya sebab  kalian 

bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, 

dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah!” 

“Demi Allah!” para pengikat mendengung mengulangi. 

“Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi, 

kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui 

kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.” 

“Kami bukan kafir!” bantah Rodriguez, mukanya merah-

padam sebab  marah. 

“Bukan kafir?” pekik Sunan Rajeg. “Baik, kurung 

mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan 

makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi 

selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing 

minta ampun. Kurung!” 

Dan dikurunglah mereka. 

0o-dw-o0 

 

Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu 

kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan 

kelaparan. 

Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah 

memohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg. 

Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo. 

Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri 

di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga peti-

peti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang 

bertombak, tak ada para pengikut. 

“Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” Sunan Rajeg 

mendahului dari bendul pendopo. 

“Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan,” kata 

Esteban. 

“Mengapa baru sekarang menjawab?” 

“Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan 

boleh gusar sebelumnya, jangan lalu . Maka kami 

pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.” 

“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu 

teruskan persembahanmu.” 

“Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari 

Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani 

meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah, 

Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan 

disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?” 

“Rusak?” Sunan Rajeg memekik. lalu  

menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si 

bedebah!” 

“Kalau terjadi kemacetan…,” Rodriguez menambahi. 

Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang 

pada meriam-meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat 

semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya 

berseri kembali. 

“Tidak apa,” katanya, “meriam adalah meriam. Yang 

penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barang-

barang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan 

atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi 

Tuban yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang 

apa dari logam.” 

“Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan 

sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.” 

“Bagaimana dengan belenggu kami?” Rodriguez 

mendesak. 

“Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian 

kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian 

menuntut bebas.” 

Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseru-

seru mayat i. lalu  disusul dengan suara orang 

berlarian. 

Sunan Rajeg memanggil seorang pengantar tangkapan 

itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum 

suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak, 

berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun. 

lalu : “Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan 

diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.” 

“Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau 

mati!” Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, “Juga 

kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani 

meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila 

kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku – 

kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan 

kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum 

kehilangan kepalanya yang dua.” 

Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg 

terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub. 

“Ya, bagaimana persembahan kalian?” 

“Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah 

Tuan.” jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg 

sudah mulai agak mayat h. 

“Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam?” 

“Ya, tuan.” Esteban memperkuat. 

“Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuh-

musuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.” 

Esteban terdiam dan Rodriguez menyambar: “Kami 

sanggup, Tuan.” 

“Mengapa kau diam saja?” tanya pada Esteban. 

“Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami 

berdua,” jawabnya. 

“Baik. Apa lagi?” 

“Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan 

berperang cara Eropa, secara Peranggi.” 

Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias 

Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil 

memperlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin 

kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. Tapi 

kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada 

kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian – sudah 

bergelimang dengan banyak dosa.” 

“Kami memang Peranggi, tapi bukan kafir.” Rodriguez 

membantah. “Kami Kristen.” 

Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa menang, dan tertawanya 

terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan 

itu. 

“Memang tidak suka dinamai kafir? Bukankah kalian 

menamai kami juga kafir?” 

Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin 

untuk tidak menjawab. 

“Mengapa diam? Bukankah kami kafir untuk kalian dan 

kalian kafir untuk kami?” 

Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu 

mengandung ancaman maut. 

“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” Sunan Rajeg 

mendesak terus. 

sesudah  agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu: 

“Semua yang Tuan inginkan.” 

“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan 

kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. sebab  tiada 

sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari 

bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya, 

dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, 

kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan. 

Tapi ingat, aku tak mempunyai kafir.” 

Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam, 

merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan 

batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki 

oleh Sunan Rajeg. 

“Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam?” 

Esteban bertanya ragu-ragu. 

Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya 

berkilau-kilau semakin mayat h. Ia pandangi tenang-tenang 

dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar kata-

kata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa 

aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam? Kalian 

sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. 

Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, sebab  kalian 

sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang 

lain.” 

“Kami bersedia,” Rodriguez menyambar. 

“Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam,” Sunan 

Rajeg memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri, 

kerelaan sendiri dan suka sendiri.” 

“Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan,” Rodriguez 

membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah. 

Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk 

memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah 

penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah 

dalam terik matari menunggu kata-katanya: “Dengarkan 

kalian, bahwa pada hari ini,” ia memulai dalam Jawa. 

“Orang Peranggi yang ompong ini…” tiba-tiba dalam 

Melayu, “siapa namamu, ompong?” 

“Rodriguez, Kanjeng Sunan.” 

“… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk 

Islam. Syukur Alhamdulillah.” 

“Syukur Alhamdulillah,” orang-orang mengulangi 

dengan suara menggelora. 

“Dan kau, siapa pula namamu?” 

“Esteban, Kanjeng Sunan.” 

“Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu?” 

“Sama saja. Kanjeng Sunan.” 

Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah 

lolos dan tak dapat ditemukan lagi…. 

Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyambut 

peng-Islaman Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga 

terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu 

semakin lama semakin dekat, lalu  nampak 

serombongan orang desa mengantarkan seorang 

penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan, 

berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam dibandingkan  Sunan 

Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban, 

perwira pengawal. 

Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul 

pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur. 

“Assalamu alaikum!” perwira itu memulai sambil turun 

dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg. 

“Paman!” dan diulurkan tangannya sesudah  membuat 

sembah dada. 

Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk 

pertama kali penduduk melihat orang bersalaman. 

“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah 

dada pula. 

Khaidar membalas dengan sembah dada pula. 

“Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,” 

kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh 

istri dan tamunya. 

Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung 

masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu. 

Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua 

di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg 

menghalau orang-orang yang masih menggerombol di 

depan pendopo. Mereka bubar sesudah  menyembah. 

“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali Sunan Rajeg 

membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi 

tamunya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia 

memulai dengan menggunakan Melayu. 

“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah 

mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.” 

“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rumah berkobar-

kobar. 

Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup 

mulutnya. 

Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang 

telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu 

membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja 

itu tertarik jadi siku-siku. 

“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” Sunan Rajeg 

memperingatkan. 

Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari 

tawanya. 

“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan 

sahaya untuk menindas Paman,” ia tak dapat menahan 

tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg 

untuk ikut tawa. 

“Teruskan, teruskan.” 

“sebab  bernafsu untuk menindas Paman dengan 

terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar 

dibandingkan  yang diperkenankan oleh Gusti Adipati. Dua ratus 

prajurit!” 

“Dua ratus!” seru Sunan Rajeg. “Teruskan, Nak.” 

“Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman, 

di samping diri sahaya sendiri.” 

Sunan Rajeg merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan 

yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau. 

Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.” 

“Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman.” 

“Kau pilih sendiri!” 

“Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak 

laut pelawan ombak penakluk pulau!” 

“Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?” 

“Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk 

dari Kanjeng Sunan Rajeg.” 

“Betapa tahu adat, kau ini, Nak.” 

“Sahaya adalah seorang perwira, Paman.” 

“Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka 

masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan?” 

“Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi 

menjemput mereka. Dua ratus, Paman. Tidak sedikit. 

Sediakan tempat dan makannya?” 

“Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglimaku datang, 

panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah 

mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk memberi 

isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi. 

Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan 

perpacu hilang di balik debu mengepul. 

Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil 

orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan 

orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan 

pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo Sunan 

Rajeg. Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya: 

dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan 

mereka. 

“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban 

sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama 

dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!” 

Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba. 

Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka. 

Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari 

tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak 

mungkin. 

Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun. 

Mahmud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam 

rumah Sunan Rajeg. 

Lain lagi yang terjadi di gedung utama kesyahbandaran. 

Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban 

sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak 

berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar 

nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal 

beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari 

menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan 

tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan 

membikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri. 

Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. 

Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan 

kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani 

membayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya 

pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti 

rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila 

daratnya kocar-kacir? 

Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. 

Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para 

pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri 

sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk 

berkeping-keping. 

Tuban harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam. 

Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar 

Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan 

dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi 

selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau 

Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di 

Andalusia, Ispanya. 

Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga 

tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan 

senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup 

selanjutnya. 

Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi. 

Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita Arab 

semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia, 

mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang 

keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, 

filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir 

atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina… 

Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah dibandingkan  

Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa 

lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya, 

Tuban sedang dalam keadaan runtuh. 

Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa 

mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan 

dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, 

manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti 

merak, kau tengkorak ! Apalah artinya kau! Ia tindas 

kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus 

dibandingkan  kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana. 

Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang, 

kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta 

penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk 

dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke 

dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat 

selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa 

persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa nama-

haremnya. 

Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui, 

orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tanda-

tanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda 

kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai 

menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya 

Purnawisesa jatuh sesudah  menyelir Ratna Subanci anak 

saudagar Gresik, Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan 

sebutan Babah Ba tong itu? 

Melihat Nyi Gede Kati sedang datang membawa 

nampan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi Gede’ 

Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiap-

siap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia 

tinggal berdiri di hadapannya. 

“Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi Gede?” 

“Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nama itu.” 

“Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi Gede. 

Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, 

Kati?” 

“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu 

Campa sahaya tidak tahu.” 

“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai 

menyembunyikan sesuatu dibandingkan ku?” 

“Tidak, Tuan, demi Allah.” 

“Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu, 

Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang?” 

“Bukankah sahaya telah menjawab, Tuan Sayid?” 

“Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.” 

“Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan 

menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah. 

Tidak untuk kedua kalinya.” 

“Itu salah benar, Kati, Nyi Gede. Hubungan lama jangan 

dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak 

melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya 

berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, 

sedikit pun jadi. Bukankah begitu?” 

“Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.” 

“Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan 

permintaan, tapi perintah.” 

“Betul, Tuan, perintah.” 

“Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri 

tidak patut menolak perintah suami. Orang harus 

melakukannya. Bukan, Kati?” 

“Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak 

sedia.” 

“Kau membangkang, Kati,” kata Syahbandar itu tak 

bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa. 

“Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua 

kalinya pada Gusti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban, 

Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan 

tempat ini entah ke mana-mana.” 

“Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan 

kuatir,” Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya 

sendiri. 

“Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya.” 

“Tapi kau istriku!” Syahbandar menekan. 

“Sahaya istri Tuan Sayid.” 

“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras. 

“Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot. 

“Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami 

sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.” 

“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya 

berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan 

lama,” Tholib Sungkar menurunkan kembali nada 

suaranya. 

“Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu 

besok sahaya akan pergi ke desa Awis Krambil, 

mengantarkan tengkorak  untuk melahirkan.” 

“Binatang,” desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari 

tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya. 

“Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya 

tenang, “tidak lagi seperti Tuan.” 

“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya rambut 

Nyi Gede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai 

hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk 

kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan 

itu seperti hendak menotok biji matanya. 

“Lepaskan sahaya, Tuan,” pohon Nyi Gede. 

Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan 

cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. “Ampun, 

Tuan, lepaskan sahaya.” 

Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke 

belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya 

nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. 

Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke 

atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi Gede. 

Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas 

penrsi s harem itu mengisarkan badan sambil mengait 

sebelah kaki Tholib Sungkar. lalu  ia berguling 

berputar. 

Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseimbangan 

dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak 

terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala 

kehormatan, lalu  berhenti mendarat pada kaki meja. 

Dan belum ia mendapatkan keseimbangannya dan 

kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya, 

istrinya telah melompat dan membikinnya jadi 

tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang 

dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya.  

“Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan.”  

Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan. 

Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan 

tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat 

yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri 

sebelum terpental.  

“Jangan, Nyi Gede, jangan.” 

“Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan 

yang mulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan 

sendiri.” 

Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya 

menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke 

samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka 

mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi 

Gede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti 

terbuat dari ketan hitam.  

“Lepaskan aku,” rintihnya.  

“Mintalah ampun, Tuan.” 

Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi Gede Kati 

menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki 

itu mengaduh, mengerang dan merintih. 

“Ya-ya, ampun, Nyi Gede.” 

Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu 

jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk 

suaminya, berdiri, lalu  dengan tangan sendiri 

menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban, 

menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan 

orang terhadap anak-anak anjing yang nakal. 

“Ampun, ampun, ampun, Nyi Gede!” rintih Syahbandar 

dengan kata-kata yang tak terdengar jelas. 

“Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong 

suaminya berdiri. 

Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu 

menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari 

lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari 

pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan: 

“Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?” 

Nyi Gede Kati mengait topi itu dengan kaki, 

mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan 

kepala suaminya di dalamnya. 

“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya lelaki jangkung 

itu sambil memperbaiki letak tarbusnya. 

“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan 

sungguh tidak patut.” 

“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya. 

“Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga 

tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau 

suami itu sudah begitu kurangajarnya….” 

“Aku…. ?” 

“Siapa lagi, Tuan,” Nyi Gede berjalan beberapa langkah 

dan mengambil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan 

mendengarkan sahaya?” melihat lelaki itu mengangguk lesu 

ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-

bodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau 

dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, 

seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai 

ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang 

dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya 

seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya 

sebagai suami saja, juga sebagai rsi nya dan sebagai 

dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya 

sampaikan ini agar Tuan mengerti, sebab  semua itu 

mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.” 

Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan 

cemayat h yang bodoh itu. 

“Kau wajib minta ampun pada suamimu.” 

“Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengembalikan 

tongkat pada pemiliknya. “Sahaya minta ampun. Sekiranya 

terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah 

tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.” 

“Perempuan haibat! Tak pernah aku temui,” ia 

menggeleng-geleng pusing. 

Nyi Gede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan 

tanpa menghormatinya. 

Syahbandar membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali 

menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan 

rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan 

bengkung merajawali, lalu  mengenangkan dengan 

tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu. 

Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan 

seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia 

dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya. 

Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, 

pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina 

seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti 

dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung 

dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan 

sanggup membendung kekuatan Portugis, kekuatan yang 

sedang jaya. 

Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada 

kekalahannya terhadap tengkorak . Di mana harus 

kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu 

tadi? Tidakkah Nyi Gede akan menyampaikan gempa bumi 

ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, 

bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung 

kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah 

membikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu! 

0o-dw-o0 

 

Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg 

memperkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu 

Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez. 

“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembak-

penembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita 

itu.” 

“Meriam? seru Mahmud Barjah. “Meriam betul? 

Meriam Peranggi?” 

Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk membenarkan. 

“Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih 

anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi.” 

Mahmud Barjah mengernyitkan kening. 

Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata 

Mahmud, Sunan Rajeg buru-buru menambahkan: “Dan 

perwira Tuban ini, Mahmud Barjah, adalah panglimaku. 

Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah 

perintahmu, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud, 

perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi 

Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya 

dari Peranggi. 

“Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi?” 

Barjah mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku 

dengar atau lihat.” 

“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak 

bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh, 

bersalam-salaman kalian.” 

Mereka bersalam-salaman. Dan segera sesudah  itu 

Mahmud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat 

anakbuahnya. 

Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu 

hati panglimanya. Panglima Rajeg itu muncul lagi 

menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung 

dengan semua makmum sampai isya. lalu  semua 

orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg 

menyampaikan wejangannya pada seluruh penduduk yang 

sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa 

tikar masing-masing. 

Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan. 

Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan 

pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu 

terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah. 

Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam 

pendopo. Di belakangnya duduk Mahmud Barjah dan para 

tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan 

panglima baru, lalu  diteruskan dengan wejangan yang 

biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah 

kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini, 

Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah 

Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap 

wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya. 

Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur 

jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang 

selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya 

kerajaan Islam yang pertama-tama.” 

Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit. 

“Siapa yang menamakan itu? Pasti bukan Sunan Rajeg,” 

ia meneruskan. “Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan 

dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.” 

Mahmud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan 

sebab  itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang 

penduduk sudah hafal di luar kepala: “Kalian tahu benar 

siapa musafir-musafsir Demak itu – ratusan orang yang 

dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk 

bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak, 

rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan 

anggota-anggotanya,” ia menengok pada Mahmud Barjah. 

“Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia 

meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan 

Islam pertama-tama di Jawa tidak di Demak, tapi di sini!” 

dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyala-

nyala pada para hadirin di depannya. 

Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak 

ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di 

belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan 

patung-patung tembaga pada sebuah candi. 

“Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki 

dan merias muka Sultan Al-Fatah dan memajang-majang 

Demak, sebab  muka 

Sultan itu bopeng dan sebab  Demak itu busuk. Ingat-

ingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan 

dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga 

tidak ada hak Demak menamakan kerajaan Islam pertama-

tama di Jawa’ 

Dengan pandang menantang seakan Demak ada di 

depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Kata-

katanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan 

panglimanya. 

“Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu 

mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa 

rsi mu? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah 

dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian 

menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar? Apa 

dasarmu dan dasar kalian?” 

Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya 

menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan 

kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya. 

Mahmud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati 

bahu dan punggung pemimpinnya, namun  tak berani. Para 

hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat 

bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk, 

apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang 

gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan 

untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan 

dirinya. 

Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta 

bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap 

tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh 

pemimpin yang terbongkok-bongkok sebab  batuknya 

masuk ke dalam. 

Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar 

sebab  sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya 

Mahmud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk 

memberikan perintah bubar. 

Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani 

bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri membelakangi para tetua. Ia 

dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan 

dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak 

memaklumi. 

sesudah  mengucapkan salam, yang disambut menggelora, 

ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang 

pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap 

Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban, 

tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita 

bukan muhrim, namun tanpa malu adipati itu menamai diri 

Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak 

pernah menyebut Demak. 

Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan 

perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat 

berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan 

dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari. 

Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih 

terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga. 

Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para 

tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia 

tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintang-

pukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari 

pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah. 

Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar 

negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasana-

gadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di 

pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, 

para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal 

kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala 

Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan 

kaki. 

Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah 

Wirangmandala . Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun. 

Ia duduk sebagai kepala pasukan laut. 

Tempat Sang Patih masih juga kosong. 

Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkali-

kali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap 

kosong. sebab  tak dapat menahan kesabarannya, keluar 

suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina: 

“Di manakah kakang Patih?” 

Tiada berjawab. Semua menunduk. 

“Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?” 

Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh 

penghadap. 

“Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu 

dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap 

perusuh?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” salah 

seorang yang tertua di antara mereka bersembah, 

“demikianlah adanya.” 

“Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?” 

“Ampun, Gusti,” sembah Banteng Wareng, 

“demikianlah adanya.” 

“Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa 

bekas?” 

“Ampun, Gusti, sesembahan, demikianlah adanya,” 

sembah Rangkum. 

“Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang 

peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud 

Barjah juga lenyap tanpa bangkai?” 

“Demikianlah adanya,” sembah Rangkum. 

“Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan 

Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan 

sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus 

tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh sebab  

balatentaranya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukan-

pasukan Tuban t