nusantara awal abad 16 13

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 13


 


an lebih mempercayai dia, perintahkan 

padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.” 

“Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih 

denganku.” 

“Bukankah sahaya tak bisa memaksa Tuan Syahbandar 

percaya pada sahaya? Terserah saja pada Tuan sendiri 

hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak membutuhkan 

kepercayaan Tuan. Sungguh.” 

Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan 

tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir 

itu selalu membikin orang tertarik pada persambungannya 

dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga 

tertangkup jadi satu. 

Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, 

dengan nada membujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat 

ini kau simpan?” 

“Segera sesudah  sahaya menerimanya.” 

“Aku percaya padamu, Wira,” ia diam lagi. 

Dan Wirangmandala  tahu, ia tak percaya. 

“Aku senang kau telah masuk Islam, Wira.” 

“Salasa nama sahaya, Tuan.” 

“Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, 

tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga 

artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain 

kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, 

Salasa? 

“Tentu saja, Tuan Syahbandar.” 

“Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang 

kau sudah masuk Islam. namun  istrimu masih kafir. Kau 

harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. 

Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu 

sudah selayaknya, sebab  dia kafir, tak tahu ajaran. Kau 

jauh lebih mulia dibandingkan  kafir mana pion, Salasa, apalagi 

dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang Adipati ataupun 

Sang Patih. Mengerti kau?” 

“Belum, Tuan Syahbandar.” 

“Di hadapan Allah kau lebih mulia dibandingkan  semua 

mereka.” 

“Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan 

mereka sendiri bagaimana, Tuan?” 

“Tentu saja tetap seperti biasa.” 

Wirangmandala  menahan tawanya. Ia menunduk dalam. 

“Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, sebab  kau sudah 

bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. 

Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang 

pergi….” 

Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya. 

“Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu 

sahaya tahu.” 

“Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira?”   

“Bagaimana menyempurnakannya, Tuan Syahbandar?”   

“Menari di pendopo, Wira,… Sang Adipati. Ah, 

bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti.” 

Wirangmandala  menunduk dalam. 

“Mengapa kau diam saja?” 

“Baik, Tuan Syahbandar.” 

“Syukurlah kalau kau mengerti.” 

“Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi 

Tuan?” 

“Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah 

dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa 

hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri…. 

Pulanglah, Tuhan memberimu petunjuk dan keselamatan 

dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di 

hadapan Allah.” 

Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, 

melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban 

bagi tubuhnya sendiri. 

0o-dw-o0 

 

tengkorak  tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu 

kedatangannya di dalam kamar. Gelar tidak nampak. Ia 

nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah 

sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan 

matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. 

Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. 

“Mengapa kau diam saja, tengkorak ?” 

Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi 

suaminya. 

“Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?” 

tengkorak  menunduk. 

“Sakitkah kau?” 

Ia menggeleng. 

“Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?” 

“Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau 

memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang 

pendek.” 

Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu 

istrinya. 

“Berubahkah aku, Dayu?” 

“Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam 

nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan 

perubahanmu, perubahan sikapmu,” suara tengkorak  semakin 

pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh 

mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah 

tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku….” 

“Mengapa kau bicara begitu?” dan duduklah ia di 

samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal. 

“Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa 

cundrik sambil duduk begitu.” 

“Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa 

yang sudah terjadi?” 

“Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, 

banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: 

berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar.” 

“Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku?” 

“Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri 

di hadapanmu?” 

“Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus.” 

“Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. 

Kang.” 

“Kau masih suka dipanggil menari?” 

“Masih, Kang.” 

“Dan mimpi lagi seperti dulu?” 

“Tidak, Kang.” 

“Apakah Syahbandar masih suka mengintip seperti itu?” 

tengkorak  mengangkat kepala dan melihat sebagian dari 

muka Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia 

mengangguk. 

“Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?” 

“Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku.” 

mandala  mempermain-mainkan cundrik kecil. 

“Mana sarongnya ini, Dayu?” 

“Sarong yang mana?” 

Wirangmandala  mengangkat pandang ke arah jendela 

gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada. 

“Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan 

tinggalkan kau terlalu lama, tengkorak .” 

“Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan 

ragaku.” 

“Ceritai aku tentang Gusti Adipati.” 

“Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka 

menonton kalau aku menari. lalu  wanita kadipaten 

itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.” 

“Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.” 

“Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar 

aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri namun  

ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar 

kau membutuhkan sarong yang lama? Tidakkah kau 

menghendaki yang baru?” 

Wirangmandala  berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali 

di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. tengkorak  

memeluknya dan air-mata membasahi mukanya. 

0o-dw-o0 

 

16. Datangnya Meriam Portugis 

Pesta laut itu tidak semeriah biasanya. 

Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela 

Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta. 

Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar 

turun gerimis kecil. 

Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan 

bunga-bungaan dan ketupat telah ditebarkan ke laut orang 

pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api. 

namun  pesta itu kini telah ditiadakan. Dahulu dalam 

pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar 

bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak 

yang harus dibakar. Bila abunya telah diambil, janda-janda 

pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat 

jadi abu pula. 

Pesta api sudah tiada. Orang-orang Islam telah berusaha 

melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil 

memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang 

menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula 

dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu 

dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan 

mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula 

dalam pembisuannya menerima Islam tanpa sepengetahuan 

suaminya. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti 

bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali 

kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di 

dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam 

hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras 

dan lalu  hilang seperti tertiup angin badai. 

Sebagai akibatnya Tuban mulai menghadapi masalah 

janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau 

mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial 

bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk 

memberikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari 

hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan. 

Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampung-

kampung para perantau untuk mendapatkan sekedar 

makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila 

nasib baik mereka memang bisa mendapatkan dirinya 

sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus 

bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak 

kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang 

kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun 

kelapa. 

Walau pun pada umumnya penduduk negeri Tuban 

beragama Buddha, namun  pengaruh Hindu dan adat-

istiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja sebab  

perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi 

pergantian agama: Syiwa, Wisynu, Brahma dan Buddha, 

bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri 

tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut 

salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang 

menyebabkan pembakaran janda tetap umum di mana-

mana di negeri Tuban. Dan wanita yang menceburkan diri 

ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai 

sebagai wanita setiawan dan terpuji. 

Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka – 

sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api – 

makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal 

adalah sumber penghidupan mereka yang pokok. 

Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal 

yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membikin 

mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang 

hidup. Pejabat-pejabat bandar tak jarang mengalami 

kesulitan sebab  mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa. 

Bandar Tuban adalah bandar bebas, juga untuk mereka, 

Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang. 

Dan kini kelengahan bandar telah mengancam 

penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang 

dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan 

daerah bandar, mengembara ke mana-mana untuk 

mendapat sekedar makan. 

Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki 

gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan 

untuk ikut memeriahkannya, sebab  itu mengingatkan 

mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan 

segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada 

kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan 

penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera 

mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan 

merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya. 

Demikianlah pada pesta air ini Liem Mo Han menjadi 

korban mereka…. 

Malam itu mendung menutup semua bintang di 

cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti 

mata bencana sedang mengintip dunia. 

Liem Mo Han datang ke pelabuhan untuk mencari 

Wirangmandala . 

Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari 

tunggal di depan umum. namun  ia tak dapat 

menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu 

selesainya pertunjukan. 

Serombongan janda gelandangan telah menyergapnya. Ia 

meronta dan melawan, tapi sia-sia. Ia tahu mereka adalah 

wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus 

menggunakan kekerasan. Adalah memalukan 

kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan 

dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang 

menyeretnya. Lebih baik begini dibandingkan  jadi tertawaan 

seluruh negeri, pikirnya. 

Kuncirnya yang panjang telah dicengkeram oleh tak 

kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga 

bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang 

kecil itu terjatuh. 

Tapi ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa 

yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di 

lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar 

dari rahim ibunya. 

Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan. 

Dan larilah Liem Mo Han dalam malam gelap 

bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan. 

Mula-mula ia menuju ke warung Yakub. Ternyata pintunya 

tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke syahbandaran, 

tanpa mengindahkan larangan untuk memasuki daerah itu 

tanpa seijin Syahbandar. Dan bersembunyi ia di sesuatu 

tempat sambil menunggu kedatangan Wirangmandala . 

Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana 

sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di 

gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih 

tenang dan lengang. 

Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap 

serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa 

ampun. Dan kepalanya terasa panas seakan tengkoraknya 

sudah menganga sesudah  sebanyak itu tangan yang 

menjahili kuncirnya. 

Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali 

melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa 

kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksir-

taksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi 

pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya. 

Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orang-

orang yang selama ini diburunya: Esteban del Mar dan 

Rodriguez Dez. Ternyata mereka berada dalam sebuah 

ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar. 

Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat 

kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan 

bicara lepas-lepas: “Anjing Moro itu mau jual kita pada 

Malaka.” 

“Bagaimana kita bisa terantai begini?” Esteban 

menggerutu gusar dengan menyesali diri. “Bukan untuk 

dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas. 

Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk 

itu?” 

“Kau masih ingat kata-katanya? Seperti sudah jadi kaisar 

saja. ‘Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke mana-

mana’, katanya, seperti Tuban ini sudah jadi miliknya 

pribadi.” 

Esteban mendengus jengkel. lalu : “Seperti sudah 

setinggi langit kekuasaannya. ‘Tuan-tuan aman dalam 

perlindunganku’, katanya. Dan kita aman dalam perantaian 

seperti ini. ‘Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang Adipati, 

sebab  matilah Tuan-tuan di tangannya.’ Uih, bangun-

bangun sudah terantai begini.” 

“Barangkali Sang Adipati memang menghendaki jiwa 

kita?” 

“Psss. Dia bukan sekutu Demak,” Esteban barangkali 

sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Ah, tunggu, 

benar, dia toh sekutu Jepara. Tapi kita tak ada sesuatu 

urusan.” 

Liem Mo Han mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia 

lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran: 

“Siapa?” dalam Melayu. 

Ia lari berputar ke belakang Syahbandaran dan menuju 

ke gandok kiri. 

Justru pada waktu Wirangmandala  bersama istrinya 

sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam 

rumah. 

“Kaukah itu, Wira Salasa?” 

“Sahaya, Tuan Syahbandar.” 

“Dengan istrimu, Wira?” 

“Sahaya, tuan Syahbandar.” 

“Tak ada kau lihat orang berjalan di sini?” 

“Tidak. Sahaya justru baru datang.” 

Percakapan itu selesai. Wirangmandala  bersama istrinya 

masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu 

mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan: 

“Wira, Wira, keluar sebentar, sahaya ada di sini. Liem Mo 

Han di sini, Wira.” 

Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan 

tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman 

kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan 

pesalin. 

“Mari aku antarkan keluar dari sini,” Wirangmandala  

menawarkan jasanya. 

“Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada 

sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan 

masih juga belum percaya.” 

Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan. 

Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya 

bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan 

hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di hadapan dua orang 

Portugis yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti 

tadi. Pada tangan Syahbandar terdapat selembar nampan 

dengan cerek tembikar di atasnya. Syahbandar-muda tak 

mengerti Portugis. Ia serahkan celah pada temannya. Dan 

ia menjaganya. 

Liem Mo Han melihat Esteban del Mar dan Rodriguez 

Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri Syahbandar 

sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam 

tidak begitu terang. 

Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas. 

namun  suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka 

sedang memaki-maki. 

“Pengecut, penipu!” suara Rodriguez. “Kau rantai kami 

dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini. 

Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.” 

“Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau? Anjing? 

Bukankah kami tamumu, yang makan garammu?” suara 

Esteban, agak lunak. 

“Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus sesudah  

begitu lama tidur? Di luar sana pesta air baru saja selesai. 

Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan menggunakan 

kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah,” 

Syahbandar membuka pidatonya. 

“Lepaskan rantai ini,” Rodriguez meraung. 

“Jangan keras-keras,” Syahbandar memperingatkan. 

“Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud 

Tuan-tuan tercapai juga maksudku.” 

“Binatang!” suara Rodriguez. “Aku bisa meraung sekuat 

paru-paruku.” 

“Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut 

Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi 

dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam 

balatentara Tuban. Nasibku sendiri? Takkan jauh dari 

Tuan-tuan – celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri 

dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah.” 

“Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu? Hanya si 

goblok saja mau dengarkan kafir Moro. Lepaskan,” 

Rodriguez mengancam. “Awas, jangan sampai aku marah.” 

“Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah 

yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku. 

Syahbandar dilindungi kuat oleh Sang Adipati selama 

kalian tidak lepas,” jawab Syahbandar sesudah  menaruh 

cerek tembikar di atas lantai, lalu  diambilnya tongkat 

dari bahu dan mengamang-amangkan. “Tidakkah kalian 

bisa sopan barang sedikit? Sudah lenyapkah kesopanan 

yang leluhur ajarkan pada bangsamu?” 

Rodriguez menjawab dengan semburan ludah pada 

muka Tholib Sungkar Az-Zubaid. Yang belakangan ini 

menyeka muka dengan lengan jubahnya, lalu  

meludah sendiri ke lantai. 

“Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan,” dengan 

ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga Rodriguez 

mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor 

gemerincing. 

“Sudah, sudah, hentikan itu,” Esteban menyabarkan 

Syahbandar. 

“Sekarang begini, Tuan Syahbandar. Kau ini hanya 

bajingan tengik. Kami   akui, kami pun bajingan petualang 

belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa 

kerjasama?” 

“Baik, aku dengarkan usulmu.” 

“Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau 

begundal d’Albuquerque? Kalau kau hanya begundal raja 

Pribumi, Sang Adipati itu, katakan saja apa dia mau, dan 

kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap 

bekerjasama denganmu.” 

“Indah sekali. Teruskan.” 

“Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d’Albuquerque, 

kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.” 

“Bagus. Andaikan aku begundal Sang Adipati, 

bagaimana usulmu setepatnya,” ia terbatuk-batuk. “Nah, 

kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan.” 

“Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal.” 

“Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, rsi  

dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu. 

Ayoh, mulai. Aku dengarkan kata demi kata.” 

Rodriguez telah siap dengan makian baru. Esteban 

mencegahnya. 

Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain 

sandiwara. 

“Jangan kalian kira aku belajar Portugis untuk 

dengarkan maki-maki-annya. Aku yakin lebih banyak buku 

Portugis aku baca dibandingkan  kalian. Teruskan, Esteban.” 

Tapi Esteban masih sibuk menyabarkan temannya. 

“Kau benar, Esteban. Kau nampaknya lebih tua dan 

lebih punya pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku 

bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti 

kalian.” 

“Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan Syahbandar 

masih mau dengarkan aku, tidak?” 

“Ayoh, mulailah.” 

“Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita 

bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang 

Pribumi? Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan 

kami berdua pembantumu yang paling setia.” 

“Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka punya alat 

pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di 

Eropa.” 

“Semua itu bisa diakali, Tuan Syahbandar. Dan Tuan 

sendiri punya banyak akal dalam persediaan.” 

“Usulmu ternyata lebih bodoh dibandingkan  orang Pribumi. 

Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang Adipati 

Tuban mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli 

meriam. Ia menghendaki kalian mengajarkan membikin 

meriam….”  

Rodriguez tertawa terbahak. 

“Mengapa tidak dari kemarin bicara? Aku sanggup, apa 

lagi Esteban. Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.” 

“Sabar, nanti dulu. Kalau aku menyanggupinya, matilah 

aku di sini,” Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan 

pidatonya. “Kalian hanya penembak meriam. Lebih tidak. 

Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam? Kalau 

kalian punya keahlian lebih dari menembak, menembaki 

kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan 

kebohongan kalian.” 

“Kafir!” maki Rodriguez. 

“Jadi aku punya rencana lain, agar kalian selamat dan 

aku pun tak kurang suatu apa.” 

“Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat 

semua orang,” gertak Rodriguez. 

“Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku 

rantai? Aku mengerti darah Portugis. Kalau kalian orang 

Ispanya, barangkali lebih dibandingkan  rantai. Mungkin kalian 

aku pakukan pada tiang ini.” 

“Jadi dia mau jual kita pada d’Albuquerque, Esteban.” 

“Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.” 

“Tidak. Kalian bocah-bocah Portugis. Aku tahu kalian 

membutuhkan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk 

menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan – 

terutama laut,” Syahbandar Tuban meneruskan. “Biarlah 

kalian mendapatkan kembali kesempatan mengabdi pada 

raja dan negeri kalian.” 

“Tak ada urusan,” bentak Rodriguez. 

“Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku 

bawakan cerek ini,” dengan tongkatnya Tholib Sungkar 

menuding pada cerek di atas lantai, “tak perlu kuantarkan 

kemari, biar kalian mampus kehausan.” 

“Diam kau, Rodriguez. Biar aku yang bicara. Nah, 

teruskan Tuan Syahbandar Tuban. Kami yang 

mendengarkan sekarang.” 

“Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan, 

kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke Maluku. Kapal-

kapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan 

seluas ini. Pangkalan baru masih dibutuhkan. Lebih banyak 

lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk 

kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan 

padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana 

kedua ini. Kalian akan merasa puas di lalu  hari dan 

akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuan-

tuan benci ini.” 

“Dia memang hendak jual kita pada Malaka!” Rodriguez 

memperingatkan. “Hati-hati, Esteban.” 

“Tidak, demi Allah. Lagi pula d’Albuquerque sudah tak 

ada di Malaka. Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara 

ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan 

dapat tambahan real.” 

“Tuan Syahbandar,” Esteban menyela. “Ingatkah kau 

bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami?” 

“Aku kelahiran Ispanya.” 

“Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang 

Spanyol atau Portugis, bahkan bayi dalam kandungan pun, 

bisa percaya pada mulut Moro,” Esteban menambahi. 

“Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu 

Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian 

makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang,” 

Tholib Sungkar menyorong cerek arak dengan ujung 

tongkat ke dekat mereka, “orang Moro juga yang melayani 

Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan 

menolaknya. Minumlah.” 

“Mengapa kau sorong dengan tongkat? Kurangajar! 

Terlalu mahalkah tanganmu?” Esteban memprotes. 

“Dijauhkan oleh Allah kiranya aku dari tangan kalian.” 

Rodriguez menghentak-hentak lantai dan rantai tegang 

kembali sebab  ia mencoba menyambar Tholib Sungkar 

Az-Zubaid. 

“Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan,” 

gumam Rodriguez gemas. Ia tak berhasil menyambar 

Syahbandar. 

“Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di 

tanganku.” 

Esteban pun kehilangan kesabarannya. Tholib Sungkar 

pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali. 

Dan Syahbandar kembali berbalik dengan tangkai tongkat 

hendak menarik cerek. 

“Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro 

busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang,” katanya 

mengancam. Rodriguez menangkap cerek yang hendak 

ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru lalu  

disorongkan pada Esteban yang juga segera meminum 

isinya. sesudah  kosong dilemparkannya cerek itu pada muka 

Syahbandar. 

Tholib Sungkar tak sempat mengelak. Benda itu 

berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang 

di lantai. Tak pecah. 

“Begitulah orang Portugis menyatakan terimakasihnya,” 

ia menggerutu sambil menyeka lukanya. “Tapi kalian 

memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.” 

“Ayoh, dekat-dekat sini kau!” tiba-tiba Esteban meluap. 

“Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyah-

kunyah jakunmu! Ayoh, dekat sini.” 

“Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar 

Pribumi bikin meriam, sebentar lagi aku lepas. Sayang 

Tuan-tuan takkan dapat membikinnya untuk sisa hidup 

kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membikin 

meriam, pulang ke Lisboa!” 

Tanpa diduga-duga Tholib Sungkar Az-Zubaid 

menghantamkan tongkatnya pada Rodriguez. 

“Ampun, ampun,” gumam Rodriguez dengan suara 

semakin lemah tak nyata, lalu  terguling, tertidur. 

“Kau pun mendapat bagianmu,” tongkatnya 

menghantami punggung Esteban. 

Orang Portugis yang dihantami itu nampak seperti orang 

yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya 

tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama lalu  ia 

tersungkur dan juga jatuh tertidur. 

Syahbandar menyorong-nyorongkan kepala mereka 

dengan terompahnya, bergumam tak nyata, keluar dari 

ruangan dan memasak pintu dari luar. 

Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang 

mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap 

bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati 

gedung utama, langsung ke pintu gandok Wirangmandala  dan 

mendengar-dengarkan. lalu  ia pergi meninggalkan 

kesyahbandaran. 

0o-dw-o0 

 

Bulan tua itu mengintip dari celah mendung. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid masih juga tak tahu sedang 

diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung 

yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti 

oleh beberapa orang. Sampai di kesyahbandaran ia 

menuding ke arah gandok kanan, lalu  masuk ke 

dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti 

segerombolan orang itu ke gandok kanan. 

Mereka semua masuk ke tempat Esteban dan Rodriguez 

terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua. 

Sampai di gedung utama Syahbandar memberikan sesuatu 

pada Yakub dan orang itu memeriksanya, langsung 

memasukkan ke dalam sakunya. 

Syahbandar masuk ke rumah dan tak keluar lagi. 

Wirangmandala  dan Liem Mo Han mengikuti 

penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik 

ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata 

sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka 

belum lagi tersinggung. 

Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari 

bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu 

tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu 

dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di 

atasnya adalah gerombolan Yakub membawa Esteban del 

Mar dan Rodriguez Dez. 

“Jelek benar nasibnya,” kata Liem Mo Han. “Kalau 

mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan 

dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah 

lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam 

kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti 

mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di 

sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang 

ke laut untuk hiu.” 

“Hanya Sang Adipati saja tidak percaya Syahbandarnya 

hanya orangnya Peranggi,” kata Wirangmandala . 

“Sang Adipati mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang 

cerdiknya dibandingkan  siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat 

sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk 

tidak akan menggunakan kekerasan dalam mencapai semua 

maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga 

sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama 

Syahbandar itu masih bisa dipergunakannya untuk 

keselamatan dirinya dan Tuban, dia akan tetap dilindungi 

dan mendapatkan hak-haknya.” 

“Dan nampaknya Peranggi akan mencoba membikin 

pangkalan di Jawa.” 

“Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa 

mengepung Maluku dari semua jurusan. Mereka punya 

kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa 

dengan Maluku. Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa 

Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang Adipati 

menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah Maluku. 

Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. Peranggi lain 

lagi, Wira. Maka itu Gusti Kanjeng Adipati Unus 

seluruhnya benar, musuh pertama adalah Peranggi, mereka 

harus dihalau dari perairan Nusantara.” 

Wirangmandala  mendengarkan dengan diam-diam. 

Pengetahuan semacam itu takkan dapat diperolehnya dari 

para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para 

nakhoda. 

Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke 

dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak 

dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan 

sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi 

dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar 

dari ruang kehidupan. 

0o-dw-o0 

 

Esteban terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal 

dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. Tapi 

pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan 

peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia 

berusaha lagi untuk duduk. lalu  dirasainya tangan 

dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang 

tidak beres. Tapi ingatannya menolak disuruhnya bekerja. 

Dirasainya punggungnya memar dan kepalanya 

berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti 

diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak 

berhasil. lalu  ia tutup kembali matanya dan 

menopangkan kepala di atas lutut. 

Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh 

pengelihatannya, samar dan tidak meyakinkan. Bundaran 

cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan 

diketahuinya itu tak lain dibandingkan  sebuah patrisporta kapal. 

Patrisporta kapal! Kapal apa? Di mana? Dan mengapa 

sampai bisa datang ke mari? Sekarang ingatannya mulai 

berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan 

pandang ke sekelilingnya. Kapal apa? Kapal Siapa? 

Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di 

sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak 

merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya 

berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di 

sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu 

tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding. 

lalu  ia menyedari adanya Rodriguez yang tidur 

miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya 

terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai 

udara. Kepalanya miring dan air liur menetes dari sudut 

mulurnya. Dengan sendirinya Esteban menyeka sudut 

mulut sendiri dengan bahu. 

Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia 

terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal 

Portugis! 

“Maut,” bisiknya, dan dibangunkannya temannya. 

“Aha!” seseorang berseru dari belakangnya. 

Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang 

terkirai seorang perwira sedang mengintipnya. 

Esteban mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh 

terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari 

mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu – ia 

tidak tahu waktu. 

“Puas berpetualang, he?” ejek perwira itu. 

Ia tak tahu bagaimana harus menjawab. 

“Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga?” 

Jantung Esteban mulai berdebaran kencang. Ia mencoba 

untuk berdiri lagi. Tapi perwira itu telah hilang. Pintu 

tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha 

membangunkan temannya. 

Rodriguez hanya menggeliat malas, lalu  

meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut. 

“Bangun, bangun kau,” ia goyang-goyangkan temannya 

dengan tangannya yang terikat. Melihat Rodriguez tak juga 

bangun ia membisikkan pada telinganya, “Bangun kau, 

anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam 

kamar perwira! Bangun, anjing!” 

Ia sorong-sorong temannya. Rodriguez menggeliat lagi 

lalu  mencoba membuka tapuk matanya yang berat. 

Dan mata itu tertutup kembali. 

“Anjing terkutuk!” makinya, “menikmati tidur, tak tahu 

kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya.” 

Melihat temannya tak juga mau bangun ia pergunakan sikut 

untuk menyakitinya. 

Rodriguez bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi 

pengalaman Esteban. Ia buka matanya dengan tapuk berat. 

“Memang kita masih mabuk,” kata Esteban. “Sebentar lagi 

kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.” 

Rodriguez telah menutup matanya kembali. Dengan dua 

tinjunya yang terikat Esteban memukul pipinya, dan 

temannya jatuh di geladak sambil menggeram. Esteban 

menggunakan sikutnya lagi dan Rodriguez bangun 

menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola 

matanya mengintip.  

“Hhhh?” tanyanya. 

“Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup 

waktu untuk tidur.” 

Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk 

dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak 

menghadapi orang Moro atau Pribumi, tapi bangsanya 

sendiri. 

Dengan sikutan dan tonjokan Rodriguez menjadi sadar. 

Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya. 

Ia siap hendak memaki.  

“Sttt,” cegah Esteban. “Jangan gaduh. Kita sedang di 

kapal Portugis.”  

Kesedaran membikin Rodriguez terkejut, lalu  

pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke 

dalam membawa sebilah tongkat: “Anak maut!” katanya 

menggigit pahit. Ia pandangi Rodriguez yang berjuang 

hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya 

dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya. 

Rodriguez berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.  

“Habis suka datang duka, he? Akhirnya di geladak yang 

lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat? 

Sekali lagi Rodriguez berjuang untuk dapat bangun. 

Esteban tinggal duduk di tempat. 

“Bagaimana? Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak 

maut terkutuk?” Rodriguez berdiri dan Esteban berdiri pula 

dengan berpegangan pada dinding. 

Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka 

berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak 

pada mukanya. 

“Kalau semua pemuda Portugis semacam kalian ini, apa 

jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian? 

Bagaimana dengan tugas suci kalian? Ha? Memang hanya 

tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!” 

Mereka berdua memberi hormat. Tapi perwira itu tidak 

membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke 

tumit: “Mana sepatu kalian?” 

“Sudah lama hancur, Tuan,” jawab Esteban. “Pakaian 

apa kalian kenakan itu? Merampas kepunyaan kafir 

perbegu?” 

Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan 

mereka dan meninju muka Esteban. Ia menggelepar jatuh 

miring di geladak.  

“Bangun!” perintahnya. 

Sebelum ia dapat bangun, Rodriguez mendapat giliran. 

Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih 

tangan sendiri.  

“Apa kataku? Bangun!” 

Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam 

pengawasan kejam perwira itu. 

“Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap 

maju ke pengadilan kapal? Mengapa diam saja? Sudah tak 

punya lidah? Sudah kau gadaikan lidah itu pada kafir 

perbegu? Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar 

saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam 

kuah. Jawab.” 

“Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan.”  

“Bagus. Begitulah pemuda Portugis menghadapi 

mautnya.” Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku 

dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka. 

Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga 

jam. lalu : “Jadi kalian sudah banyak tahu tentang 

daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dulu 

dengan perintah,” ia tertawa mengejek, “Sri Baginda dan 

Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik 

istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian, 

sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan. 

Kalau tidak boleh jadi kalian akan mendapatnya. Siapa 

tahu mungkin diangkat jadi laksamana… Barisan 

kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan 

mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana. 

Apa sekarang? Aku pun muak melihat kalian. Mengapa 

gemetar? Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi?” 

Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat 

belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di 

dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah 

untuk dapat mempertahankan keseimbangannya.  

“Jawab!” 

“Dua hari satu malam kami belum lagi makan,” jawab 

Esteban del Mar. 

“Kasihan hiu-hiu itu. Tentu kau terlalu kurus untuk 

mereka. Kasihan, bukan?” melihat mereka tak juga 

menjawab, ia menggertak: “Kasihan, bukan?” 

“Ya, Tuan, kasihan sekali,” jawab Rodriguez.  

“Mengapa dengan sekali?” 

“sebab  mungkin mereka seminggu belum makan.”  

“Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang?” teriaknya 

pada Rodriguez, lalu  mendadak menuding Esteban:  

“Tiang gantungan, Tuan.” 

“Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu?” 

mendadak ia alihkan tudingan pada Rodriguez: “Indah, 

Tuan.” 

“Tanpa sekali?” 

“Kalau Tuan membutuhkan yang sekali….” 

Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya 

Rodriguez jatuh. Tapi perwira itu menyambarnya dengan 

pertanyaan: “Tanpa sekali, tanyaku.” 

“Tanpa sekali, Tuan,” jawab Rodriguez sambil berdiri. 

“Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu 

sekarang?” ia tunggu Rodriguez kukuh dalam tegaknya. 

“Kau simpan di mana?” 

Rodriguez bingung untuk menjawabnya. 

“Di mana?” pekik perwira itu. 

“Sudah tertelan, Tuan.” 

“Tertelan? Jadi dalam perut?” dan dipukulnya perut 

Rodriguez. 

Dan sekali ini Rodriguez Dez tak bangun lagi. Ia 

pingsan. 

“Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang 

gantungan?” 

“Seperti seorang penari, Tuan.” 

“Penari? Coba terangkan mengapa seperti penari.” 

“Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan. 

Kalau lelaki dia gagah, Tuan.” 

“Juga tanpa sekali, Tuan.” 

“Kira-kira tanpa, Tuan.” 

“Anak maut! Mengapa tanpa?” 

“sebab  Tuan belum menghendakinya.” 

Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan 

menjenguk keluar. Memanggil-manggil: “Kelasi. He, 

kelasi!” ia kembali ke tempatnya dan duduk. 

Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan 

berdiri di tempat. 

“Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini 

biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.” 

Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan. 

Rodriguez masih nyenyak dalam pingsannya. 

“Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu 

bangun lagi,” dan pada Esteban, “mengerti kau? Dengan 

kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.” 

“Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang 

gantungan.” 

“Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan, 

apakah kau akan membalas dendam padaku?” 

“Tidak, Tuan.” 

“Mengapa tidak, kau, calon iblis?” 

“sebab  Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri 

Ratu dan negeri Portugis.” 

“Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan 

sekarang ia pura-pura.” 

Dan Rodriguez bangun terburu-buru. 

“Nah itulah tingkah pemuda Portugis yang tidak patut. 

Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng 

ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka 

sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan.” 

“Lebih cepat dari sekarang, Tuan.” 

“Lantas?” 

“Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat 

gemetarnya seseorang harus membantunya.” 

“Cuma itu saja?” 

‘Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi 

basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentar-

sebentar menelan ludah, kerongkongannya kering.” 

“Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah 

menggantung o-rang.” 

“Pekerjaan tambahan, Tuan.” 

“Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan, 

kelasi.” 

“Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak 

dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati. 

Celakalah yang lehernya kuat.” 

“Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh?” 

“Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti 

bunyi kecil ‘klik’ dari persambungan tulang leher yang 

patah. sesudah  itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan, 

sebagai pertanda: saat itu….” 

“Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis.” 

“Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada 

apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher, 

dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan, 

Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.” 

“Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk 

digantung orang?” 

“Selama bersetia pada Portugis, Tuan, Sri Baginda, Sri 

Ratu dan negeri… Tuhan takkan membiarkan diri ini mati 

di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing 

kepanasan.” 

“Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan, 

kelasi!” 

“Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu 

dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari 

tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang 

melemparkannya ke laut. Selanjutnya…” 

“Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum 

berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir 

lima tahun menghilang.” 

“Empat tahun,” Esteban membetulkan. 

“Nafsu hidupmu masih menyala, Esteban!” tegur 

perwira itu. “Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal 

hidup ini?” 

‘Tiang gantungan yang indah itu, Tuan.” 

“Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi?” 

“Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.” 

“Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada 

anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita sesudah  mereka 

nanti gentayangan sebagai iblis?” 

Kelasi itu membuat gerak salib dan perwira itu terdiam, 

lalu : “Cukup, pergi kau.” 

Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu 

mengawasinya sampai hilang di balik pintu. 

“Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh 

menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda Portugis 

yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa 

kepatuhan yang jadi sendi kebesaran Portugis dan Salib, 

negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian telah 

dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara 

kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian 

meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya 

untuk kebesaran Portugis dan Salib?” 

“Demikianlah pada mulanya, Tuan,” sambar Rodriguez. 

“Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan 

juga.” 

Rodriguez terdiam lagi, nampaknya menyesal telah 

menyambar. Esteban memperhatikan tangan perwira itu. 

Nampaknya pikirannya beku. 

“Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak punya 

pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan 

pada Salib tetap dijunjung tinggi-” 

“Kami sanggup mengabdi lebih baik!” Rodriguez 

mendesis. 

“Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya.” 

“Ya, Tuan.” 

“Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu?” 

“Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih 

baik.” 

“Bukankah itu sudah terlambat?” 

“Kami masih hidup, Tuan,” sekarang Esteban 

memperkuat. 

Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya. 

Secuwil senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya 

memancarkan cahaya mayat h. Dan terdengar suaranya yang 

mayat h pula, memikat dan menawarkan: “Ya, tentu, lebih 

dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya 

kalian masih sanggup melayani meriam sesudah  

berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum 

lupa, kan?” 

“Meriam itu rasanya masih hangat dalam genggaman, 

Tuan,” sambar Rodriguez. 

“Dan mengapa temanmu membisu saja, Rodriguez?” 

“Lebih dari melayani meriam kami pun sanggup, Tuan.” 

“Nah, begitu pemuda Portugis,” perwira itu tertawa, 

memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan 

matanya berseri-seri mengejek. 

“Nafsu hidup kalian memang besar.” Ia keluarkan 

sepucuk surat dari kantong. “Kalian sudah pandai 

berbahasa Melayu dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian 

kenal juga siapa itu Tholib Sungkar Az-Zubaid.” 

‘Tidak, Tuan,” jawab Esteban del Mar mencoba 

memayat hi perwira itu. 

“Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau 

Malaka, bukan Portugis. “Siapa yang menangkap kalian 

kalau bukan Tholib Sungkar Az-Zubaid? Syahbandar 

Malaka?” 

“Bukan, Tuan, Sayid Habibullah Almasawa, Syahbandar 

Tuban,” Esteban mendapatkan semangatnya pribadi. 

“Serigala pun lebih cerdik dibandingkan  kalian.” 

“Ya, Tuan.” 

“Dengarkan: Tholib Sungkar Az-Zubaid, bekas 

Syahbandar Malaka, apakah namanya Tholib Sungkar 

ataukah Sayid Mahmud ataukah Sayid Habibullah, telah 

meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian. 

Dengar?” 

“Ya, Tuan,” mereka menjawab berbareng. 

“Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali 

tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya. 

dibandingkan  kalian jadi makanan hiu, pintanya, baiklah kalian 

diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian 

barangkali sekarang lebih mengerti: Tholib Sungkar itu 

penyelamat nyawa kalian. Tapi entahlah bagaimana kalian 

nanti menjawab di depan pengadilan kapal.” 

“Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda 

dan Sri Ratu, demi Portugis, demi Salib,” Esteban 

mewakili. 

Dan perwira itu tidak menggubris. 

“Mari aku bawa kalian ke pengadilan.” 

Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. Esteban dan 

Rodriguez mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke 

belakang. 

0o-dw-o0 

 

Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap 

kapal Portugis. Pandang mata sepanjang jalan tidak 

menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting 

dibandingkan  pandang orang. 

namun  mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya 

pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka 

terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke 

dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan 

gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung. 

Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak 

atau setengah rusak dan meriam-meriam dengan atau tanpa 

roda. 

“Pada mulanya,” perwira itu memulai lagi, “dua pucuk 

ini akan kukirimkan ke Pasuruan.” Mendadak ia tertawa 

dengan muka tertengadah pada langit-langit. “Kafir-kafir 

dungu itu mengira, dengan meriam orang bisa jadi segagah 

Portugis. Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke 

Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, Esteban 

dan Rodriguez, sanggupkah kalian melayani dua pucuk 

meriam ini?” 

‘Tapi ini barang rusak, Tuan,” Rodriguez menyambar. 

Tinju itu menghantam mulut Rodriguez dan ia meliuk. 

Darah keluar dari mulutnya. Ia meludahkan darah dan gigi. 

“Kami bisa betulkan, Tuan,” Esteban memperbaiki. 

“Betul. Itu jawaban gaya Portugis. Kalian bisa betulkan 

sendiri. Memang meriam rusak semua ini. Kalian justru 

harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini. 

Kalaulah tidak sebab  ini, tali gantungan yang akan kalian 

temui.” 

“Ya, Tuan,” Esteban menjawab sangat sopan. “Kami 

pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan.” 

“Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan.” 

“Ya, Tuan,” Esteban menjawab lebih sangat sopan lagi. 

“Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata 

ini…. Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup 

atau mati pada senjata ini.” 

Dan Esteban dan Rodriguez justru tak dapat berpikir. 

“Bagaimana?” 

“Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan,” 

jawab Esteban. 

“Betul? Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai 

pemuda Portugis?” 

“Betul, Tuan.” 

Perwira itu tertawa melecehkan. lalu : “Memang, 

tali lebih berat dibandingkan  meriam. Hanya sekali ini 

kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan 

memperbaiki diri. Tidak benar? Tali gantungan juga yang 

kalian parani.” 

“Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia 

padanya sampai mati,” Esteban hampir-hampir mengulangi 

sumpahnya sebagai kanonir. 

Perwira itu memberi isyarat. Ia berjalan lebih dahulu dan 

dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari 

belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang 

tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada 

persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan 

orang bukan Portugis sedang berdiri menggerombol dan 

tersenyum-senyum memandangi mereka. 

“Ya!” seru perwira itu pada mereka, lalu  dalam 

Melayu, “bawa mereka turun!” 

Dengan bantuan beberapa orang Esteban dan Rodriguez 

diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung 

besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke 

belakang. 

Hari telah malam dan mendung tebal mengapung di 

udara. 

Lampu-lampu dari atas kapal membikin mereka dapat 

melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang 

berpakaian Pribumi. namun  dari raut mukanya mereka 

nampaknya peranakan Arab atau Benggal. Di tengah-

tengah perahu besar itu berdiri dua buah meriam beroda 

dan peluru-peluru besi. 

Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan 

tenggelam, pikir Esteban. Dan dengan tangan terikat 

begini… maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai 

mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin 

menjauhi kapal Portugis, menuju ke arah titik nyala nun 

jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak. 

Para pendayung itu tak ada yang bicara. 

Esteban mencoba menembusi kegelapan dengan 

matanya yang sudah kehilangan keawasannya sebab  lapar 

dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat 

beberapa biduk Portugis mengikuti dari belakang. 

Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik 

nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membikin Esteban 

dan Rodriguez merasa kedinginan. 

“Makan!” tiba-tiba Rodriguez meraung. 

Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan 

diam-diam. Dan Rodriguez tidak merasa terhina, juga tidak 

menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan 

giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap. 

Esteban duduk merenung-renung. Seseorang 

memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi 

kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia 

mengenalnya: Yakub, pewarung arak dan tuak. Ia merasa 

agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa 

jahat. Ia mengunyah dan menelannya. 

“Lagi!” teriak Rodriguez dalam Melayu. “Dan minum, 

bedebah!” Ia mendapatkan apa yang dipintanya dan 

terdiam. 

Juga Esteban mendapat tambahan dan minum sampai 

kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama 

sebab  minum manis itu. 

“Lepaskan tali ini,” raung Rodriguez memerintah. 

“Ayoh, bedebah! Lepaskan!” 

Ia lihat Yakub berdiri, mendekati Rodriguez dan 

meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok 

lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan 

biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik 

nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan 

gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih 

sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang 

menuju ke arah barat. 

“Moga-moga kapal kafir itu tak melihat kita,” doa 

Yakub. 

“Mereka akan menduga kita nelayan.” 

Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi. 

Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal Portugis 

bila diburu. namun  kapal peronda itu tidak melepaskan 

eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti 

bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut 

tanpa bergerak maju. 

Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal peronda itu 

semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh. 

Yakub memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah 

semua iring-iringan, namun  ke arah cahaya yang timbul-

tenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya. 

0o-dw-o0 

 

Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak 

rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan 

mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di 

belakang mereka orang-orang Portugis memaki-maki dalam 

bahasanya sendiri. 

Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan 

batang yang menghalangi. 

Pantai itu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah 

api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas, 

namun  hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya. 

Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu. 

Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang 

terbuka. 

Hanya Esteban dan Rodriguez tinggal di atas perahu itu. 

Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk 

makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap 

yang keluar dari obor. Dan orang-orang Portugis itu tak 

juga berhenti menyumpah-nyumpah. 

Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai. 

Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol 

mayat i. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng, 

mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: “Yakub?” 

“Ya, Yakub di sini,” ia menjenguk ke perahu dan 

memerintahkan Esteban dan Rodriguez turun. 

Orang mulai sibuk menurunkan meriam dan peluru. 

Juga orang-orang Portugis yang beberapa belas itu 

menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing: 

peluru, onderdil meriam dan perlengkapan sendiri. 

Esteban dan Rodriguez menghindarkan mukanya dari 

sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk 

menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk, 

lalu  merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan 

mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya. 

Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri. 

Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam 

keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang 

sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri 

api unggun, menghangati makanan lalu  makan, tanpa 

datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya Esteban merasa 

disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan 

sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya, 

juga tersingkirkan dibandingkan nya. Ia merasa nelangsa. Dan ia 

tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di 

tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri. 

“Setidak-tidaknya,” bisik Rodriguez, “sampai detik ini 

kita masih hidup. Sambar gledek mereka.” 

Esteban menutup matanya dengan melindungkan 

mukanya pada rumputan. Seperti Rodriguez ia pun tidur 

tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu 

tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpah-

nyumpah, lupa akan keadaan. 

Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak 

dapat menggunakan tangan untuk menggaruk. Dalam 

serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia. 

Mereka gigit pundak, tapi tak samp