nusantara awal abad 16 12

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 12


 


para 

pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! 

Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya 

pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas tali-

pengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan 

menyasarkan, sebab  paman dan saudara-saudaramu bisa 

binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.” 

Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan 

bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki 

Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada 

orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat 

baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang 

mata yang nampak heran memandanginya: seorang 

berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit 

dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap 

tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah. 

Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja 

untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu. 

Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. 

Beberapa desa telah dilewati. lalu  sampailah 

mereka di Rajeg. 

Wirangmandala  heran melihat wajah-wajah yang sudah 

dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah 

penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau 

berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya 

menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum 

dan salamnya pun tidak. 

Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan 

juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya 

jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan 

Wirangmandala  menyadari betapa sulit keadaannya. 

Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu 

berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo 

beratap sirap. Tiang-tiang rsi  terbuat dibandingkan  balok-balok 

kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya 

terbuat dibandingkan  tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di 

tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja 

rendah di atasnya. 

Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu. 

Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di 

pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa 

tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia 

angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak 

olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar 

depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali 

itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya. 

Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas 

tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat 

men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, 

nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terus-

menerus bergoyang gelisah. 

“Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya. 

Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah. 

Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-

harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih 

tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan 

langkah ragu ia mendekati Wirangmandala . berhenti di 

depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua 

belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala-

nyala gusar: “Wirangmandala !” raungnya. 

“Sahaya, Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan 

menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu 

mesti meraung. 

“Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk 

serahkan nyawa.” 

“Sahaya, Ki Aji.” 

“Syahbandar-muda, juara gulat….”  

“Sahaya, Ki Aji.” 

Dari suara-suara di belakangnya Wirangmandala  tahu, 

beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk 

sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya. 

“Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji 

tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang 

sebagai kau?” 

“Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat 

menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang 

menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah 

penolongku, pintanya dalam hati. “Sahaya menghadap 

hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.” 

“Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk 

menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?” 

ia diam dan menolak ke belakang. 

Wirangmandala  mengangkat pandang dan melihat waktu 

itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, 

bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia 

Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita 

itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. 

lalu  ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu 

pergi. namun  yang disuruhnya manda saja. 

“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wirangmandala , 

“hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang 

kemari,” ia mengangguk-angguk. 

“Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki 

Aji, namun  Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.” 

“Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas 

Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang 

mengetahuinya.” 

Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari 

belakang, lalu  menepuk bahunya. Kembali suara Ki 

Aji menjadi lunak. 

“Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi 

bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada 

Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada 

Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke 

Malaka begitu juga. Datang di Tuban… apalagi yang 

sedang diperbuatnya sekarang? Dan adipatimu, si goblok 

yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan 

pangkal keadaan….” 

“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.” 

Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan 

kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat 

dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk 

dilihat oleh Ki Aji. namun  orang di depannya itu tak 

menggubrisnya. 

“Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini,” ia 

terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu-

ragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan isyarat 

dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya. 

“.Ya,” gumamnya lalu , “Nabi pun berkirim surat 

pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul 

juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini 

surat itu.” 

Wirangmandala  memanjangkan badan dan 

menyampaikan. 

“Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya 

alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan memata-

matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi 

keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan 

melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian 

kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa 

lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, 

tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.” 

“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan 

itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan 

semakin genting. 

Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, 

lalu  memberikan isyarat pada Wirangmandala  agar 

menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di 

tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil 

dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk 

dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata 

assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu. 

Ki Aji Benggala kembali menatap Wirangmandala . 

“Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu 

alaikum. Lebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi 

tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,” 

katanya lebih pada diri sendiri, “membalasnya. Ya, wajib, 

di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.” 

la diam dan nampak berpikir. lalu  tersenyum dan 

memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip. 

“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah 

menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu.” 

“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya 

sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.” 

“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri 

rupanya, mandala . Kau memang pandai, licik.” 

“Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa 

perbuat selain menjalankan perintah?” 

“Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan 

balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan 

tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan 

sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika 

mengenainya.” 

Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan 

itu tapi tiada berkata sesuatu pun. 

Dan lama ia harus menunggu. 

Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di 

samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah 

menontonnya. Ia tetap menekuri tanah. 

Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat. 

“Hei, kau, Wirangmandala , sampaikan oleh mulutmu 

sendiri pada tuanmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji 

Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima 

suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku 

perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia 

akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.” 

“Sahaya, Ki Aji.” 

“Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.” 

“Sahaya, Ki Aji.” 

“Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka.” 

“Sahaya, Ki Aji.” 

“Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan 

jangan balik kalau tak bosan hidup.” 

Wirangmandala  mengangkat sembah. sesudah  Ki Aji pergi 

dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan 

jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu 

menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan 

membiarkannya pergi. 

“Hasalamu alaikoooom!” ia mendahului beruluk salam. 

Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata 

tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga 

beruluk salam tanpa jawaban. 

Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan. 

0o-dw-o0 

 

14. Syahbandar, tengkorak  dan Gelar 

Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah 

ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan 

tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan 

semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala 

menerkam. 

“Selamat bagimu, tengkorak !” katanya lunak, memikat dan 

membujuk sekaligus. 

Cepat cepat tengkorak  menepiskan Gelar pada dada, begitu 

keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap. 

Melihat tengkorak  terkejut, Tholib Sungkar tertawa 

menghibur dengan gerak tangan mayat i. lalu : “Masa 

begitu saja terkejut, tengkorak !” 

Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan 

merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu. 

“Mengapa kau begitu aneh, tengkorak ?” 

“Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-megap. 

“Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede.” 

“Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi Gede masih tidur.” 

“Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan 

Paman Marta.” 

“Buat apa, tengkorak ? Bukan pekerjaanmu membersihkan 

taman. Lagi pula Paman Marta sedang menrsi s mayat 

anaknya.” 

“Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini” 

“tengkorak , Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa 

murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka 

bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? tengkorak !” Ia 

bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya. 

“Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan 

jangan masuki rumah sahaya.” 

Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah. 

“Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?” 

“Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami 

sahaya.” 

“Apa kau harapkan dari suamimu?” 

“Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.” 

“Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan 

pada tubuh yang semolek ini….” 

“Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun 

memadai, Tuan ” jawab tengkorak  mulai berani sesudah  terbebas 

dari kejut. 

Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. 

Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya 

bergerak binal. 

“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain-

main sendiri seperti biasanya.” 

“Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi 

ayahnya.” 

“Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi 

pula dia belum lagi pulang.” 

“Ayah tidak pergi, bukan, Gelar? Ayahmu tidak pergi, 

bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam 

ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.” 

“Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar.” 

“Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu.” 

Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar 

dengan mata ter-heran-heran. 

“Mak!” serunya lalu . 

“Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari 

dekat.” 

tengkorak  memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah 

itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai 

besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu 

bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya. 

“Ya, Gelar,” tengkorak  meneruskan, “itu ayahmu sendiri. 

Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….” 

Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam. 

Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. 

Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan 

berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya 

maka dia anakku?” 

“Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak 

menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang 

asli.” 

“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng. 

“Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, 

Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. 

Makin hari kau akan makin kenal….” 

“Jangan teruskan, tengkorak ,” Syahbandar sekarang 

merajuk. 

“… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.” 

“tengkorak , kau ajari anak itu kurangajar.” 

“Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari.” 

“tengkorak  diam!” 

“Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia 

meminjam dulu kata-kata ibunya’ 

“Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.” 

“Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu 

sejarah kelahirannya?” 

“Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan 

sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah 

Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya 

membeliak memperingatkan. 

“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan 

anak Tuan sendiri.” 

“Aku tak beranakkan dia!” Tholib Sungkar hampir 

membentak. 

“Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk 

di dunia dan untuk di lalu  hari.” 

Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap 

Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini 

dilihatnya. namun  melihat wajah orang itu berubah jadi 

galak, ia menjerit ketakutan. 

tengkorak  kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara 

seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, punya 

ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah 

nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya….” 

“tengkorak !” 

“… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada 

gandarwa.” 

“Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari 

berbaik, tengkorak ,” katanya lagi membujuk. “Dengarkan dulu 

aku, jangan ditentang juga. Kau ini, tengkorak , belum lagi 

mengenal dunia.” 

“Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal 

dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak 

mau. Nasib.” 

“Diamlah, tengkorak . Apa kataku tadi? Kau belum lagi 

mengenal dunia.” 

“Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya 

seperti yang Tuan lihat?” 

“Haiyaaa.” 

Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan 

pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, 

masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa 

kekerasan. 

“Itulah, tengkorak , itulah, justru sebab  tak kenal dunia, kau 

anggap semua sudah mencukupi.” 

“Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan 

kasih-sayang suami sahaya, si mandala  anak desa yang 

bodoh itu.” 

“Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang 

seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi… 

jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri 

orang lain.” 

“Apalah gunanya?” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa mayat h. Ia tegakkan 

bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas 

bahu, lalu  bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana, 

tengkorak , pastilah kau akan jadi ratu.” 

“Huh!” tengkorak  berpaling melecehkan. 

“… Tidak jadi istri seorang mandala  yang selalu pergi, 

membiarkan kau merana dalam menunggu.” 

“Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang 

berbahagia menunggu suami pulang.” 

“Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain. 

Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah. 

“Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia.” 

“Mak, turun, Mak,” pinta Gelar. 

“Jangan, Nak, temani dulu emakmu.” 

Gelar meronta lagi minta turun dan tengkorak  

membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke 

pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung 

menuju ke dapur. 

Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat 

langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia 

sebab  menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik 

dibandingkan  menunggu. Malah, tengkorak , kau tak tahu pula apa 

yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat 

penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya 

berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa 

mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi 

untuk selama-lamanya….” 

“Apalah yang sahaya herani bila suami mati?” 

“Jadi kau mengharapkan dia mati?” 

“Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah 

pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana 

wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti 

suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan 

dengar? Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi. 

Pergilah ke pedalaman.” 

“Jangan, tengkorak . Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. 

Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan 

kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil 

mendekat lagi. 

“Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba 

masuki rumahku,” tengkorak  memperingatkan. “Sahaya sedang 

jaga, tidak mimpi dalam tidur.” 

“Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari 

kesyahbandaran? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?” 

“Sahaya bilang: jangan.” 

“Layani aku, tengkorak , lupakan suamimu.” 

Syahbandar melangkah menerjang hadangan tengkorak  

sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar. 

tengkorak  meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya 

Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak. 

Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!” 

gumam Syahbandar. 

“Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?” kata 

tengkorak  cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan Sayid, keluar 

dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu 

mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari 

kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia 

mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di 

mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa 

melecehkan, “apa lagi, kau, tengkorak . Sampai di mana 

kekuatanmu? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan 

berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. 

Takkan lagi yang bakal mengagumi kau. 

“Pukullah, Tuan.” 

namun  lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa 

mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan? 

Wirangmandala ? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia 

sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal 

tulang-tulang berantakan termakan anjing.” 

“Memang itulah yang Tuan kehendaki.” 

“… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, 

perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat… 

kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan 

tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia 

minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.” 

“Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari 

sahaya?” tengkorak  bertanya bodoh. 

“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran 

sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?” 

“Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana 

keinginan Tuan.” 

“Masih juga kau bercericau!” 

“Mari sahaya ceritai, Tuan,” tengkorak  bermanis-manis. 

“Barangkali Tuan mau mendengarkan.” 

Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada 

tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan 

tengkorak  yang masih juga mengamangkan senjatanya. 

“Apa ceritamu, tengkorak ?” 

“Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih 

bagaimana cara berlawan atau mati.” 

“Kau tetap melawan aku, tengkorak ?” 

“Sahaya sedang melawan, Tuan.” 

“Keris Wira akan menembusi dadamu!” 

“Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan 

sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri 

ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak 

Tuan sendiri, sebab  memang dia anak Tuan.” 

“Tiada aku beranakkan dia!” lelaki itu membentak. 

“Keluar!” pekik tengkorak . “Takkan ada orang datang 

menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. 

Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.” 

tengkorak  melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya 

bersiaga dengan tongkatnya. 

Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya. 

tengkorak  melompat maju sambil menyerang dengan 

cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. 

Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat 

lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang 

bercundrik. tengkorak  menarik tangan dan berputar menikam 

punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari 

meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan 

bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan. 

Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. tengkorak  

keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari 

anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang 

muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil. 

Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia 

selit-kan pada sanggul. lalu  ia berjongkok 

menyambut anaknya. 

Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam 

gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali. 

“Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada 

mengakuimu.” 

Gelar memeluk leher ibunya. 

“Sayang kau pada emak?” 

Gelar mengencangkan pelukannya. 

0o-dw-o0 

 

15.  Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia 

Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar 

langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke 

belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata 

Syahbandar dalam Melayu: “… tak ada hak patik untuk 

mengusirnya….” 

Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang 

kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih Tuban 

mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak 

meriam. Maka itu kami mengundang mereka.” 

Wirangmandala  meneruskan jalannya dan masuk ke dapur 

kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu 

Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk 

di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat 

Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan 

menyilakannya duduk. 

“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat 

perjalananmu.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah 

ia telah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis 

menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk 

menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang 

menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati 

berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan 

mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami 

persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia, 

Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang 

Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. 

Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi 

itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, mereka toh 

masih berada di bawah perlindungan Syahbandar. 

Bagaimana kepergianmu?” 

Dan Wirangmandala  bersembah. 

“Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak 

bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang 

dan melawan. Mana surat itu?” 

Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk. 

“Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada 

keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau 

selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil 

menghadap Mashud bersama denganmu.” 

Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang 

dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud. 

0o-dw-o0 

 

“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan 

padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan 

terjemahkan baris demi baris pula.” 

Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: 

“Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh Allah 

kiranya padamu taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi, 

“Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,” 

selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang 

diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan 

menyampaikan, melindungi mempertahankan dan 

mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang 

kami sebutkan di bawah ini….” 

Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan 

bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti 

keranjingan. 

“Mengapa, Bapa Mashud?” 

Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah 

dan meneruskan. namun  kata-katanya sudah tak jelas lagi 

artinya. 

Sang Patih memerintahkannya berhenti dan 

menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan 

pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada 

Sang Patih rsi  dibandingkan  Mashud. Ia seorang Campa yang 

sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga, 

barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat 

dan sorban coklat pula. 

Dengan tenang dan percaya diri ia mulai 

menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang 

memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk-

nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. 

Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi. 

Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu 

pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan 

kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiap-

siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak 

bersorban, namun  berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap 

dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama 

Kamang Sani. 

Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada 

kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga. 

Sang Patih memerintahkannya pergi. 

“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di 

dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para 

penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan 

Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi 

ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang 

Tuban ” 

Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan 

yang lain. 

“Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar, 

juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan 

dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga 

Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan 

Peranggi.” 

“Barang tentu surat gawat, Gusti.” 

“Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan 

yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.” 

Dan dengan demikian mendaratlah Wirangmandala  di 

bandar Gresik. 

0o-dw-o0 

 

Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih 

mayat i, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang 

lalu peranannya jauh lebih penting dibandingkan  Tuban, dan 

sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. 

Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, 

sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari, 

dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia. 

Tiga ratus tahun sesudah  menjadi bandar tanpa tuan, 

mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan 

oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan 

angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke 

sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri 

Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan 

bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga 

pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, 

Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian 

angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan 

Asia dan Afrika. 

Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga 

Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh 

pendatang-pendatang dari Tiongkok. sesudah  jatuhnya 

Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan 

tanpa tuan lagi. namun  perdagangan berjalan terus seakan-

akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai 

sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, 

sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh 

Darmawangsa. 

Satu kekuasaan yang lalu  timbul lagi adalah justru 

sebab  ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini. 

Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya 

Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain 

sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari 

Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki 

wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan 

kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja 

Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak 

tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri 

Dahanapura atau Blambangan. 

Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap 

berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk 

memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri, 

Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran 

militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali 

dengan Gresik dalam keadaan utuh. 

0o-dw-o0 

 

Keadaan memang agak lengang waktu Wirangmandala  

mendarat. Namun jauh lebih sibuk dibandingkan  Tuban. Orang-

orang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat 

dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju 

juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak 

lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai 

oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak 

mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, 

terbuat dibandingkan  kulit kayu, pelepah atau kulit kambing 

mentah. 

Dan Wirangmandala  terheran-heran melihat betapa sedikit 

orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan 

pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan 

desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali 

tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria 

memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan. 

sesudah  mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari 

keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya 

seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas 

dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa 

menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan 

destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya 

tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang 

setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa. 

Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar 

tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, 

bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik 

orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan 

keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para 

dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya 

seorang untuk mencukur rambutnya. 

Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk 

melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut 

panjang seorang kafir, sebab  ada orang dan tempat tertentu 

untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, 

baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena 

kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren. 

lalu  ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, 

dan santri sendiri tidak lain dari ucapan rsi  agama dari 

seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang 

terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi 

Kiai oleh rsi -rsi  agama dari seberang itu pula. 

Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah 

sebuah asmayat  pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia 

sudah lakukan satu kekeliruan. 

Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang 

yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanak-

keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan 

rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh 

membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu 

masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras 

tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih. 

Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia 

datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik. 

Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak 

menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu 

mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab 

pertanyaan dan permintaannya pun segan. 

Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan 

yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung 

sarong itu menegurnya: “Hei, rambut panjang, apa 

keperluanmu?” 

“Sahaya bermaksud mencukurkan rambut,” jawabnya 

merendah. 

“Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan 

mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana 

pula syarat untuk hajad?” 

Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta 

diterangkan. 

“Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat.” 

“Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan 

panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.” 

Dan rambut itu pun dipotong sambil Wirangmandala  

menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si 

pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama sebab  memang 

tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar 

memendekkan sejari dari kulit kepala. 

“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut 

itu boleh kau buang ke kali.” 

Buru-buru Wirangmandala  mengumpulkan potongan 

rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan 

menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang 

patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, 

para dewa dan Hyang Widhi. 

“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. 

Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?” 

“Itung.” 

“Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya 

Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa 

menghafalnya? Salasa, sebab  kau datang kemari pada hari 

ke tiga.” 

“Salasa.” 

“Pulanglah dengan selamat.” 

“Bolehkah kiranya sahaya…,” ia tak tahu bagaimana 

menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agama baru di 

sini?” 

“Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti 

pendidikan. 

Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa 

mayat h, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. 

“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di 

sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka 

dan berkelakuan baik.” 

“Kalau sudah tidak suka lagi?” 

“Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik 

sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi 

santri?” 

Wirangmandala  mengangguk mengiakan. 

“Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu.” 

Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda 

itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya 

disusun ambin-ambin seperti dalam asmayat  di pedalaman. 

Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam. 

“Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa.” 

Wirangmandala  tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia 

berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan 

berkata: “Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya 

kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, namun  sahaya 

tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah 

jawakan tulisan ini pada sahaya.” Orang itu menerima surat 

itu dan mengawasinya dengan terheran-heran. 

“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana 

kau dapat?” 

“Jauh, jauh dari sini.” 

“Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan 

pada Bapa Kiai.” 

Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing 

dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah 

ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa 

Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya 

terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain 

menyertainya. 

Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan 

bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu: 

“Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada 

keperluan apa maka kau datang menghadap?” 

Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu 

menjawabkan Wirangmandala  sambil mengulurkan surat 

tulisan Arab. 

Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh 

memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya, 

kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai 

nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata-

bata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan 

pengantar menjawakan. 

“Nun di pinggir jalan di desa sahaya.” 

“Di mana desamu?” 

“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, 

mungkin lebih.” 

“Nama, nama desamu.” 

“Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang.” 

“Kabupaten mana itu anakku?” 

“Bojanegara, Bapa Kiai.” 

“Sedang ada apa di desamu?” 

“Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.” 

“Atau di dekat-dekat desamu?” 

“Juga tak ada apa-apa, Bapa.” 

“Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.” 

“Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai?” 

Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi 

Wirangmandala , menaksir-naksir badannya yang besar. 

Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut 

mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan 

surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang 

seperti kau.” 

“Itu sahaya punya, Bapa Kiai.” 

“Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau 

simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.” 

Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak 

memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. 

Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat 

itu. Bapa Kiai memekik. Wirangmandala  menguguh 

mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekik-

mekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wirangmandala  

untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung 

meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang 

bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka 

yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat 

menghalang-halanginya. 

sesudah  jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon 

mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan 

yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain 

tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di 

antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan 

perang kecil. 

Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan sesudah  

mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya 

begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada 

tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia 

merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran 

menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari 

tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti 

gerak kesedarannya. 

Benarkah aku sekarang sudah Islam? Muslim? Bernama 

Salasa? 

Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali 

kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti 

kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut. 

Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu 

pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti 

yang lain. 

Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. 

Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan 

kesamaannya. 

Tidak beda. Beda! Tidak. Beda! 

Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan 

melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri 

siapa dewa dan pemimpinmu yang baru. 

Tidak, aku masih tetap seperti kemarin. 

Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong 

rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas 

kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan 

sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu 

sendiri. 

Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari 

terjemahan? Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah 

beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia 

akan mulai panjang. 

Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri 

sendiri? Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini. 

Pusing sebab  pertikaian di dalam diri sendiri ia 

melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya 

makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal-

soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren 

baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian 

orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han: 

Wira, Tuan adalah orang berbahagia, sebab  dicintai dan 

dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini? Tak ada orang 

mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku? 

Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa 

berbahagia. 

Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat 

orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan 

kata-katanya. 

lalu  mayat  arwah  muncul di depan mata 

batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak 

membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku 

hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku. 

Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han 

berseru, sebab  dia tidak hidup dalam jamannya sendiri 

atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara. 

Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke 

mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah 

dalam dirinya. 

Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama 

saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari-

hari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore 

hari dan belajar membaca disore hari. 

Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. 

Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia 

perhatikan galanya. 

Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang 

dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar. 

Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya 

mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai. 

0o-dw-o0 

 

Genap seminggu lalu  ia sudah mulai memayat hi 

Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita 

padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. 

Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak 

ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri 

Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan 

tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja 

negeri – sama halnya yang didapat oleh asmayat -asmayat  

Buddha. 

Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya 

Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi, 

dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, 

dan dititahkannya semua memindahkan harta dan 

perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan. 

“Lihat, bagaimana hebatnya Gresik,” ia meneruskan. 

“Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri 

Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah, 

Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, namun  

Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!” 

Danu adalah seorang patriot Gresik. 

Wirangmandala  tak sempat membikin perbandingan 

dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan 

untuk bisa berdua saja dengan Danu. 

Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga. 

Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam 

belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang 

bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu 

yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata 

baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang 

habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. 

Sekali-dua terdengar sayup rsi h menggerutu seperti dari 

perut bumi. 

Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya. 

“Biar aku cuci paculmu, Kang Danu!” dan tanpa 

menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran 

dan mencucinya dengan setekam rumput. 

“Kalau aku sudah tamat nanti,” katanya menambahi 

sambil menyerahkan pacul Danu, “aku akan masuk ke 

daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri.” 

“Kau!” Danu tertawa geli, “belum lagi dua minggu 

belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya kersi -

rsi an meneruskan. “Abangku sudah setahun di 

Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan 

dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau 

tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa 

Tenggara.” 

“Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah.” 

“Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang.” 

“Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang.” 

“Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik.” 

“Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik. 

Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan 

sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun 

punya bandar dan angkatan laut.” 

“Buh!” Danu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah 

perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti tentara 

berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, namun  

hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau 

mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?” 

“Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada 

yang membuka perrsi an, kata orang, menyebarkan agama 

sendiri. Itu kata orang, Kang.” 

“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, 

beberapa waktu yang lalu,” Danu mulai berjalan di atas 

pematang menuju ke desa dan Wirangmandala  mengikutinya 

dari belakang. 

“Di mana abangmu sekarang, Kang Danu?” 

“Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di 

Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, 

dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan 

tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya. 

Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan 

pada Kongso Dalbi di Malaka…. Tahu siapa Kongso 

Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan 

Wirangmandala . “Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata 

abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi 

sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di 

Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana 

berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan 

pengukirnya.” 

“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?” 

“Satu adegan dari mayat yana, Lesmana dan Sinta di 

dalam hutan.” 

“Pengukirnya, Kang?” 

“Pengukir asal Tuban, Borisrawa.” 

Wirangmandala  mengangguk di belakang Danu. Dia sudah 

di sana, pikirnya. namun  yang keluar dari mulutnya: 

“Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang?” 

“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir 

utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil 

semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati 

Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon 

bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus 

kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya.” 

“Apa meriam itu, Kang?” 

“Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon 

udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.” 

Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya 

dari belakang, memanggul pacul masing-masing. 

“Apakah Peranggi suka memberikan meriam?” 

“Pada lawan Islam? Boleh jadi,” jawab Danu ragu-ragu. 

“sebab  itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya 

bisa besar dan ampuh.” 

“Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu 

dengan kafir Peranggi?” 

“Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, 

Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu 

nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah 

mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan 

Panarukan.” 

Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan 

berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka 

bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah 

barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur 

angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wirangmandala  

mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan 

agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil 

memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri 

lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata-

kata Danu yang mengrsi i. Dan begitu jarak mereka telah 

nampak jauh, Wirangmandala  membuka maksudnya: 

“Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat, 

tapi aku tak tahu tuah di dalamnya,” ia keluarkan 

bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, sesudah  

meletakkan pacul di tanah, dan berhenti. 

Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka 

bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu. 

“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.” 

Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan 

mulai membaca. 

“Ini bukan ajimat,” katanya sesudah  membaca sebaris-

dua. “Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat 

surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, 

di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi 

paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak….” 

“Kalau tidak, apa Kang?” 

“Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya Danu 

mendesak dan bersungguh-sungguh. 

“Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku 

ceritai kau.” 

Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa 

yang sunyi itu. Wirangmandala  memperhatikan dengan 

pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap 

mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di 

tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia 

mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya 

ditambah lebih banyak. 

“Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum 

selesai.” 

Dan Danu sudah melepaskan sikap kersi -rsi annya. 

Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. 

Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak 

memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. 

Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali 

juga terjemahanku tidak benar.” 

“Jangan, Kang, jangan.” 

“Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan 

hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak 

bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar 

akan kusampaikan pada Bapa Kiai, lalu  pada Gusti 

Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. 

Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!” 

“Jangan, Kang, jangan,” tegah Wirangmandala  dengan 

suara ketakutan. 

“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.” 

Tangan Wirangmandala  cepat melayang, menangkap 

tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan 

kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu 

patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air 

liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah. 

Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia 

lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia 

lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu 

lebih jauh lagi. 

“Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa 

Batara.” 

Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya…. 

0o-dw-o0 

 

Ia tak menempuh jalan laut. 

sesudah  dapat menangkap makna isi surat ia langsung 

mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang 

perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang 

dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah 

yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini? 

Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku? 

Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan 

pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang 

bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani. 

Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi 

bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan 

kelangsungan hidup praja Tuban. 

Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan 

masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban? 

Inikah? 

Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun 

aku salah. 

Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia 

simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di 

pinggir hutan. 

Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, 

jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. 

Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan 

kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari. 

Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. 

Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam 

Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap 

kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat 

naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati 

Tuban. 

“Ya,” katanya sesudah  agak lama berdiam diri, “berikan 

surat ini pada yang berhak.” 

Wirangmandala  berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. 

Sekilas ia lihat tengkorak  berjalan dari dapur menuju ke kamar, 

dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke 

gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang 

duduk membaca kitab. 

“Hasalamu alaikooom!” serunya. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat 

Wirangmandala  mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan 

menelan ludah. Awan dengan lambat berarak 

meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: “Wa 

alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. 

Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan 

bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek 

begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan 

lebih bersih dan lebih berbahagia.” 

“Alhamdulillah, tuan Syahbandar.” 

“Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga Iskak?” 

“Tidak salah, Tuan Syahbandar.” 

“Tak pernah kau nampak begitu periang seperti 

sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa 

lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?” 

“Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat 

balasan.” 

“Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana 

perjalananmu.” 

Dan Wirangmandala  membikin-bikin cerita sendiri, bahwa 

perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu 

aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya 

dengan tertawa-tawa senang. 

“Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana. 

mana?” 

Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama 

tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara 

kepura-puraan dari kesungguhan. 

“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering 

sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.” 

Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam 

padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum 

mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi 

bersungguh-sungguh. 

Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, 

pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu 

nampak berubah-ubah. lalu  Syahbandar itu berhenti 

membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki 

wajahnya. 

“Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada 

matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?” 

“Tidak, tuan Syahbandar.” 

“Memang orang keparat,” katanya dan kembali 

mempelajari keadaan surat itu. 

“Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga 

Iskak?” 

“Demi Allah, Tuan.” 

“Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah 

memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat 

dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?” 

“Demi Allah, Tuan Syahbandar.” 

Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa 

dirinya diragukan. 

“Kalau begitu lama pergi,” Tholib Sungkar Az-Zubaid 

meneruskan penyelidikannya. 

“Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah 

salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan 

pulang.” 

“Siapa saja pernah membaca ini?” 

“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang 

bisa menulis dan membaca Arab.” 

“Kau bohong!” tuduhnya. 

“Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah 

kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondar-

mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, 

lalu  berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung 

pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan 

tiba-tiba berhenti di hadapan Wirangmandala . 

“Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang 

membaca surat ini.” 

“Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai 

sahaya lagi.” 

“Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara 

keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.” 

“Kalau Tu