nusantara awal abad 16 12
para
pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat!
Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya
pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas tali-
pengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan
menyasarkan, sebab paman dan saudara-saudaramu bisa
binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.”
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan
bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki
Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada
orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat
baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang
mata yang nampak heran memandanginya: seorang
berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit
dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap
tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah.
Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja
untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan.
Beberapa desa telah dilewati. lalu sampailah
mereka di Rajeg.
Wirangmandala heran melihat wajah-wajah yang sudah
dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah
penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau
berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya
menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum
dan salamnya pun tidak.
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan
juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya
jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan
Wirangmandala menyadari betapa sulit keadaannya.
Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu
berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo
beratap sirap. Tiang-tiang rsi terbuat dibandingkan balok-balok
kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya
terbuat dibandingkan tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di
tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja
rendah di atasnya.
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di
pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa
tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia
angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak
olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar
depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali
itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya.
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas
tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat
men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah,
nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terus-
menerus bergoyang gelisah.
“Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya.
Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah.
Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-
harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih
tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan
langkah ragu ia mendekati Wirangmandala . berhenti di
depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua
belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala-
nyala gusar: “Wirangmandala !” raungnya.
“Sahaya, Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan
menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu
mesti meraung.
“Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk
serahkan nyawa.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Syahbandar-muda, juara gulat….”
“Sahaya, Ki Aji.”
Dari suara-suara di belakangnya Wirangmandala tahu,
beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk
sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya.
“Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji
tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang
sebagai kau?”
“Sahaya, Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat
menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang
menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah
penolongku, pintanya dalam hati. “Sahaya menghadap
hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Utusan siapa? Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk
menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu?”
ia diam dan menolak ke belakang.
Wirangmandala mengangkat pandang dan melihat waktu
itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri,
bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia
Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita
itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk.
lalu ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu
pergi. namun yang disuruhnya manda saja.
“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wirangmandala ,
“hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang
kemari,” ia mengangguk-angguk.
“Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki
Aji, namun Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.”
“Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas
Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang
mengetahuinya.”
Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari
belakang, lalu menepuk bahunya. Kembali suara Ki
Aji menjadi lunak.
“Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi
bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada
Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada
Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke
Malaka begitu juga. Datang di Tuban… apalagi yang
sedang diperbuatnya sekarang? Dan adipatimu, si goblok
yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan
pangkal keadaan….”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.”
Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan
kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat
dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk
dilihat oleh Ki Aji. namun orang di depannya itu tak
menggubrisnya.
“Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini,” ia
terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu-
ragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan isyarat
dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.
“.Ya,” gumamnya lalu , “Nabi pun berkirim surat
pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul
juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini
surat itu.”
Wirangmandala memanjangkan badan dan
menyampaikan.
“Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya
alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan memata-
matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi
keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan
melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian
kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa
lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam,
tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan
itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan
semakin genting.
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan,
lalu memberikan isyarat pada Wirangmandala agar
menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di
tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil
dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk
dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata
assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu.
Ki Aji Benggala kembali menatap Wirangmandala .
“Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu
alaikum. Lebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi
tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,”
katanya lebih pada diri sendiri, “membalasnya. Ya, wajib,
di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.”
la diam dan nampak berpikir. lalu tersenyum dan
memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.
“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah
menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu.”
“Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya
sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.”
“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri
rupanya, mandala . Kau memang pandai, licik.”
“Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa
perbuat selain menjalankan perintah?”
“Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan
balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan
tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan
sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika
mengenainya.”
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan
itu tapi tiada berkata sesuatu pun.
Dan lama ia harus menunggu.
Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di
samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah
menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.
Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat.
“Hei, kau, Wirangmandala , sampaikan oleh mulutmu
sendiri pada tuanmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji
Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima
suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku
perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia
akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka.”
“Sahaya, Ki Aji.”
“Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan
jangan balik kalau tak bosan hidup.”
Wirangmandala mengangkat sembah. sesudah Ki Aji pergi
dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan
jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu
menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan
membiarkannya pergi.
“Hasalamu alaikoooom!” ia mendahului beruluk salam.
Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata
tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga
beruluk salam tanpa jawaban.
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan.
0o-dw-o0
14. Syahbandar, tengkorak dan Gelar
Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah
ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan
tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan
semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala
menerkam.
“Selamat bagimu, tengkorak !” katanya lunak, memikat dan
membujuk sekaligus.
Cepat cepat tengkorak menepiskan Gelar pada dada, begitu
keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap.
Melihat tengkorak terkejut, Tholib Sungkar tertawa
menghibur dengan gerak tangan mayat i. lalu : “Masa
begitu saja terkejut, tengkorak !”
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan
merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu.
“Mengapa kau begitu aneh, tengkorak ?”
“Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-megap.
“Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede.”
“Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi Gede masih tidur.”
“Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan
Paman Marta.”
“Buat apa, tengkorak ? Bukan pekerjaanmu membersihkan
taman. Lagi pula Paman Marta sedang menrsi s mayat
anaknya.”
“Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini”
“tengkorak , Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa
murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka
bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? tengkorak !” Ia
bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.
“Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan
jangan masuki rumah sahaya.”
Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah.
“Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?”
“Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami
sahaya.”
“Apa kau harapkan dari suamimu?”
“Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.”
“Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan
pada tubuh yang semolek ini….”
“Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun
memadai, Tuan ” jawab tengkorak mulai berani sesudah terbebas
dari kejut.
Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas.
Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya
bergerak binal.
“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain-
main sendiri seperti biasanya.”
“Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi
ayahnya.”
“Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi
pula dia belum lagi pulang.”
“Ayah tidak pergi, bukan, Gelar? Ayahmu tidak pergi,
bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam
ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.”
“Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar.”
“Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu.”
Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar
dengan mata ter-heran-heran.
“Mak!” serunya lalu .
“Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari
dekat.”
tengkorak memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah
itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai
besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu
bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.
“Ya, Gelar,” tengkorak meneruskan, “itu ayahmu sendiri.
Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….”
Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam.
Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai.
Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan
berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya
maka dia anakku?”
“Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak
menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang
asli.”
“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng.
“Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu,
Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya.
Makin hari kau akan makin kenal….”
“Jangan teruskan, tengkorak ,” Syahbandar sekarang
merajuk.
“… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.”
“tengkorak , kau ajari anak itu kurangajar.”
“Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari.”
“tengkorak diam!”
“Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia
meminjam dulu kata-kata ibunya’
“Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.”
“Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu
sejarah kelahirannya?”
“Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan
sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah
Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya
membeliak memperingatkan.
“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan
anak Tuan sendiri.”
“Aku tak beranakkan dia!” Tholib Sungkar hampir
membentak.
“Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk
di dunia dan untuk di lalu hari.”
Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap
Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini
dilihatnya. namun melihat wajah orang itu berubah jadi
galak, ia menjerit ketakutan.
tengkorak kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara
seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, punya
ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah
nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya….”
“tengkorak !”
“… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada
gandarwa.”
“Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari
berbaik, tengkorak ,” katanya lagi membujuk. “Dengarkan dulu
aku, jangan ditentang juga. Kau ini, tengkorak , belum lagi
mengenal dunia.”
“Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal
dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak
mau. Nasib.”
“Diamlah, tengkorak . Apa kataku tadi? Kau belum lagi
mengenal dunia.”
“Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya
seperti yang Tuan lihat?”
“Haiyaaa.”
Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan
pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan,
masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa
kekerasan.
“Itulah, tengkorak , itulah, justru sebab tak kenal dunia, kau
anggap semua sudah mencukupi.”
“Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan
kasih-sayang suami sahaya, si mandala anak desa yang
bodoh itu.”
“Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang
seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi…
jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri
orang lain.”
“Apalah gunanya?”
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa mayat h. Ia tegakkan
bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas
bahu, lalu bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana,
tengkorak , pastilah kau akan jadi ratu.”
“Huh!” tengkorak berpaling melecehkan.
“… Tidak jadi istri seorang mandala yang selalu pergi,
membiarkan kau merana dalam menunggu.”
“Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang
berbahagia menunggu suami pulang.”
“Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain.
Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah.
“Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia.”
“Mak, turun, Mak,” pinta Gelar.
“Jangan, Nak, temani dulu emakmu.”
Gelar meronta lagi minta turun dan tengkorak
membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke
pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung
menuju ke dapur.
Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat
langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia
sebab menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik
dibandingkan menunggu. Malah, tengkorak , kau tak tahu pula apa
yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat
penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya
berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa
mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi
untuk selama-lamanya….”
“Apalah yang sahaya herani bila suami mati?”
“Jadi kau mengharapkan dia mati?”
“Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid? Tiadakah
pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana
wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti
suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan
dengar? Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi.
Pergilah ke pedalaman.”
“Jangan, tengkorak . Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan.
Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan
kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil
mendekat lagi.
“Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba
masuki rumahku,” tengkorak memperingatkan. “Sahaya sedang
jaga, tidak mimpi dalam tidur.”
“Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari
kesyahbandaran? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?”
“Sahaya bilang: jangan.”
“Layani aku, tengkorak , lupakan suamimu.”
Syahbandar melangkah menerjang hadangan tengkorak
sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.
tengkorak meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya
Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak.
Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!”
gumam Syahbandar.
“Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini?” kata
tengkorak cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan Sayid, keluar
dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu
mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari
kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia
mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di
mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa
melecehkan, “apa lagi, kau, tengkorak . Sampai di mana
kekuatanmu? Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan
berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya.
Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.
“Pukullah, Tuan.”
namun lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa
mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan?
Wirangmandala ? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia
sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal
tulang-tulang berantakan termakan anjing.”
“Memang itulah yang Tuan kehendaki.”
“… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau,
perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat…
kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan
tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia
minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.”
“Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari
sahaya?” tengkorak bertanya bodoh.
“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran
sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?”
“Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana
keinginan Tuan.”
“Masih juga kau bercericau!”
“Mari sahaya ceritai, Tuan,” tengkorak bermanis-manis.
“Barangkali Tuan mau mendengarkan.”
Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada
tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan
tengkorak yang masih juga mengamangkan senjatanya.
“Apa ceritamu, tengkorak ?”
“Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih
bagaimana cara berlawan atau mati.”
“Kau tetap melawan aku, tengkorak ?”
“Sahaya sedang melawan, Tuan.”
“Keris Wira akan menembusi dadamu!”
“Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan
sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri
ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak
Tuan sendiri, sebab memang dia anak Tuan.”
“Tiada aku beranakkan dia!” lelaki itu membentak.
“Keluar!” pekik tengkorak . “Takkan ada orang datang
menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan.
Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.”
tengkorak melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya
bersiaga dengan tongkatnya.
Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya.
tengkorak melompat maju sambil menyerang dengan
cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak.
Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat
lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang
bercundrik. tengkorak menarik tangan dan berputar menikam
punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari
meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan
bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan.
Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. tengkorak
keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari
anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang
muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil.
Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia
selit-kan pada sanggul. lalu ia berjongkok
menyambut anaknya.
Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam
gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.
“Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada
mengakuimu.”
Gelar memeluk leher ibunya.
“Sayang kau pada emak?”
Gelar mengencangkan pelukannya.
0o-dw-o0
15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar
langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke
belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata
Syahbandar dalam Melayu: “… tak ada hak patik untuk
mengusirnya….”
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang
kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih Tuban
mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak
meriam. Maka itu kami mengundang mereka.”
Wirangmandala meneruskan jalannya dan masuk ke dapur
kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu
Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk
di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat
Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan
menyilakannya duduk.
“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat
perjalananmu.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah
ia telah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis
menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk
menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang
menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati
berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan
mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami
persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia,
Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang
Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas.
Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi
itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dulu, mereka toh
masih berada di bawah perlindungan Syahbandar.
Bagaimana kepergianmu?”
Dan Wirangmandala bersembah.
“Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak
bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang
dan melawan. Mana surat itu?”
Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk.
“Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada
keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau
selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil
menghadap Mashud bersama denganmu.”
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang
dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud.
0o-dw-o0
“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan
padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan
terjemahkan baris demi baris pula.”
Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan:
“Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh Allah
kiranya padamu taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi,
“Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,”
selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang
diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan
menyampaikan, melindungi mempertahankan dan
mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang
kami sebutkan di bawah ini….”
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan
bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti
keranjingan.
“Mengapa, Bapa Mashud?”
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah
dan meneruskan. namun kata-katanya sudah tak jelas lagi
artinya.
Sang Patih memerintahkannya berhenti dan
menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan
pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada
Sang Patih rsi dibandingkan Mashud. Ia seorang Campa yang
sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga,
barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat
dan sorban coklat pula.
Dengan tenang dan percaya diri ia mulai
menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang
memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk-
nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud.
Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi.
Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu
pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan
kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiap-
siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak
bersorban, namun berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap
dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama
Kamang Sani.
Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada
kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga.
Sang Patih memerintahkannya pergi.
“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di
dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para
penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan
Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi
ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang
Tuban ”
Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan
yang lain.
“Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar,
juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan
dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga
Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan
Peranggi.”
“Barang tentu surat gawat, Gusti.”
“Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan
yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.”
Dan dengan demikian mendaratlah Wirangmandala di
bandar Gresik.
0o-dw-o0
Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih
mayat i, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang
lalu peranannya jauh lebih penting dibandingkan Tuban, dan
sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa.
Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku,
sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari,
dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia.
Tiga ratus tahun sesudah menjadi bandar tanpa tuan,
mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan
oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan
angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke
sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri
Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan
bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga
pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara,
Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian
angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan
Asia dan Afrika.
Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga
Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh
pendatang-pendatang dari Tiongkok. sesudah jatuhnya
Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan
tanpa tuan lagi. namun perdagangan berjalan terus seakan-
akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai
sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan,
sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh
Darmawangsa.
Satu kekuasaan yang lalu timbul lagi adalah justru
sebab ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini.
Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya
Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain
sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari
Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki
wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan
kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja
Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak
tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri
Dahanapura atau Blambangan.
Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap
berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk
memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri,
Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran
militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali
dengan Gresik dalam keadaan utuh.
0o-dw-o0
Keadaan memang agak lengang waktu Wirangmandala
mendarat. Namun jauh lebih sibuk dibandingkan Tuban. Orang-
orang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat
dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju
juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak
lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai
oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak
mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman,
terbuat dibandingkan kulit kayu, pelepah atau kulit kambing
mentah.
Dan Wirangmandala terheran-heran melihat betapa sedikit
orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan
pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan
desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali
tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria
memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.
sesudah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari
keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya
seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas
dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa
menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan
destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya
tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang
setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa.
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar
tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu,
bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik
orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan
keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para
dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya
seorang untuk mencukur rambutnya.
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk
melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut
panjang seorang kafir, sebab ada orang dan tempat tertentu
untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya,
baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena
kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren.
lalu ia ketahui pesantren adalah tempat para santri,
dan santri sendiri tidak lain dari ucapan rsi agama dari
seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang
terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi
Kiai oleh rsi -rsi agama dari seberang itu pula.
Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah
sebuah asmayat pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia
sudah lakukan satu kekeliruan.
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang
yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanak-
keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan
rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh
membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu
masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras
tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia
datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik.
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak
menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu
mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab
pertanyaan dan permintaannya pun segan.
Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan
yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung
sarong itu menegurnya: “Hei, rambut panjang, apa
keperluanmu?”
“Sahaya bermaksud mencukurkan rambut,” jawabnya
merendah.
“Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan
mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana
pula syarat untuk hajad?”
Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta
diterangkan.
“Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat.”
“Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan
panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.”
Dan rambut itu pun dipotong sambil Wirangmandala
menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si
pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama sebab memang
tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar
memendekkan sejari dari kulit kepala.
“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut
itu boleh kau buang ke kali.”
Buru-buru Wirangmandala mengumpulkan potongan
rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan
menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang
patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur,
para dewa dan Hyang Widhi.
“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi.
Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?”
“Itung.”
“Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya
Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa
menghafalnya? Salasa, sebab kau datang kemari pada hari
ke tiga.”
“Salasa.”
“Pulanglah dengan selamat.”
“Bolehkah kiranya sahaya…,” ia tak tahu bagaimana
menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agama baru di
sini?”
“Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti
pendidikan.
Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa
mayat h, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan.
“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di
sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka
dan berkelakuan baik.”
“Kalau sudah tidak suka lagi?”
“Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik
sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi
santri?”
Wirangmandala mengangguk mengiakan.
“Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu.”
Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda
itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya
disusun ambin-ambin seperti dalam asmayat di pedalaman.
Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.
“Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa.”
Wirangmandala tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia
berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan
berkata: “Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya
kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, namun sahaya
tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah
jawakan tulisan ini pada sahaya.” Orang itu menerima surat
itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.
“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana
kau dapat?”
“Jauh, jauh dari sini.”
“Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan
pada Bapa Kiai.”
Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing
dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah
ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa
Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya
terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain
menyertainya.
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan
bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu:
“Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada
keperluan apa maka kau datang menghadap?”
Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu
menjawabkan Wirangmandala sambil mengulurkan surat
tulisan Arab.
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh
memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya,
kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai
nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata-
bata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan
pengantar menjawakan.
“Nun di pinggir jalan di desa sahaya.”
“Di mana desamu?”
“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan,
mungkin lebih.”
“Nama, nama desamu.”
“Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang.”
“Kabupaten mana itu anakku?”
“Bojanegara, Bapa Kiai.”
“Sedang ada apa di desamu?”
“Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.”
“Atau di dekat-dekat desamu?”
“Juga tak ada apa-apa, Bapa.”
“Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.”
“Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai?”
Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi
Wirangmandala , menaksir-naksir badannya yang besar.
Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut
mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan
surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang
seperti kau.”
“Itu sahaya punya, Bapa Kiai.”
“Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau
simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.”
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak
memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat.
Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat
itu. Bapa Kiai memekik. Wirangmandala menguguh
mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekik-
mekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wirangmandala
untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung
meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang
bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka
yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat
menghalang-halanginya.
sesudah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon
mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan
yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain
tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di
antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan
perang kecil.
Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan sesudah
mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya
begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada
tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia
merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran
menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari
tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti
gerak kesedarannya.
Benarkah aku sekarang sudah Islam? Muslim? Bernama
Salasa?
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali
kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti
kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut.
Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu
pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti
yang lain.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan
kesamaannya.
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!
Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan
melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri
siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong
rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas
kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan
sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu
sendiri.
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari
terjemahan? Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah
beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia
akan mulai panjang.
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri
sendiri? Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini.
Pusing sebab pertikaian di dalam diri sendiri ia
melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya
makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal-
soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren
baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian
orang terhadap diriku? Teringat ia pada Liem Mo Han:
Wira, Tuan adalah orang berbahagia, sebab dicintai dan
dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini? Tak ada orang
mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku?
Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa
berbahagia.
Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat
orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan
kata-katanya.
lalu mayat arwah muncul di depan mata
batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak
membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku
hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.
Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han
berseru, sebab dia tidak hidup dalam jamannya sendiri
atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke
mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah
dalam dirinya.
Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama
saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari-
hari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore
hari dan belajar membaca disore hari.
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu.
Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia
perhatikan galanya.
Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang
dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar.
Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya
mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai.
0o-dw-o0
Genap seminggu lalu ia sudah mulai memayat hi
Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita
padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati.
Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak
ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri
Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan
tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja
negeri – sama halnya yang didapat oleh asmayat -asmayat
Buddha.
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya
Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi,
dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda,
dan dititahkannya semua memindahkan harta dan
perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.
“Lihat, bagaimana hebatnya Gresik,” ia meneruskan.
“Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri
Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah,
Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, namun
Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!”
Danu adalah seorang patriot Gresik.
Wirangmandala tak sempat membikin perbandingan
dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan
untuk bisa berdua saja dengan Danu.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.
Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam
belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang
bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu
yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata
baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang
habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung.
Sekali-dua terdengar sayup rsi h menggerutu seperti dari
perut bumi.
Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya.
“Biar aku cuci paculmu, Kang Danu!” dan tanpa
menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran
dan mencucinya dengan setekam rumput.
“Kalau aku sudah tamat nanti,” katanya menambahi
sambil menyerahkan pacul Danu, “aku akan masuk ke
daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri.”
“Kau!” Danu tertawa geli, “belum lagi dua minggu
belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya kersi -
rsi an meneruskan. “Abangku sudah setahun di
Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan
dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau
tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa
Tenggara.”
“Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah.”
“Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang.”
“Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang.”
“Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik.”
“Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik.
Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan
sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun
punya bandar dan angkatan laut.”
“Buh!” Danu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah
perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti tentara
berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, namun
hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau
mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?”
“Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada
yang membuka perrsi an, kata orang, menyebarkan agama
sendiri. Itu kata orang, Kang.”
“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku,
beberapa waktu yang lalu,” Danu mulai berjalan di atas
pematang menuju ke desa dan Wirangmandala mengikutinya
dari belakang.
“Di mana abangmu sekarang, Kang Danu?”
“Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di
Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam,
dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan
tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya.
Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan
pada Kongso Dalbi di Malaka…. Tahu siapa Kongso
Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan
Wirangmandala . “Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata
abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi
sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di
Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana
berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan
pengukirnya.”
“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?”
“Satu adegan dari mayat yana, Lesmana dan Sinta di
dalam hutan.”
“Pengukirnya, Kang?”
“Pengukir asal Tuban, Borisrawa.”
Wirangmandala mengangguk di belakang Danu. Dia sudah
di sana, pikirnya. namun yang keluar dari mulutnya:
“Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang?”
“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir
utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil
semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati
Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon
bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus
kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya.”
“Apa meriam itu, Kang?”
“Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon
udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.”
Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya
dari belakang, memanggul pacul masing-masing.
“Apakah Peranggi suka memberikan meriam?”
“Pada lawan Islam? Boleh jadi,” jawab Danu ragu-ragu.
“sebab itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya
bisa besar dan ampuh.”
“Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu
dengan kafir Peranggi?”
“Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi,
Peranggi sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu
nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah
mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan
Panarukan.”
Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan
berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka
bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah
barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur
angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wirangmandala
mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan
agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil
memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri
lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata-
kata Danu yang mengrsi i. Dan begitu jarak mereka telah
nampak jauh, Wirangmandala membuka maksudnya:
“Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat,
tapi aku tak tahu tuah di dalamnya,” ia keluarkan
bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, sesudah
meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.
Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka
bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu.
“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.”
Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan
mulai membaca.
“Ini bukan ajimat,” katanya sesudah membaca sebaris-
dua. “Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat
surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam,
di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi
paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak….”
“Kalau tidak, apa Kang?”
“Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya Danu
mendesak dan bersungguh-sungguh.
“Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku
ceritai kau.”
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa
yang sunyi itu. Wirangmandala memperhatikan dengan
pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap
mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di
tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia
mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya
ditambah lebih banyak.
“Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum
selesai.”
Dan Danu sudah melepaskan sikap kersi -rsi annya.
Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan.
Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak
memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai.
Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali
juga terjemahanku tidak benar.”
“Jangan, Kang, jangan.”
“Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan
hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak
bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar
akan kusampaikan pada Bapa Kiai, lalu pada Gusti
Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi.
Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!”
“Jangan, Kang, jangan,” tegah Wirangmandala dengan
suara ketakutan.
“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.”
Tangan Wirangmandala cepat melayang, menangkap
tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan
kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu
patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air
liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia
lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia
lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu
lebih jauh lagi.
“Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa
Batara.”
Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya….
0o-dw-o0
Ia tak menempuh jalan laut.
sesudah dapat menangkap makna isi surat ia langsung
mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang
perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang
dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah
yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini?
Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku?
Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan
pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang
bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi
bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan
kelangsungan hidup praja Tuban.
Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan
masasilam pada guagarba haridepan? Untuk Tuban?
Inikah?
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun
aku salah.
Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia
simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di
pinggir hutan.
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak,
jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari.
Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan
kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang.
Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam
Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap
kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat
naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati
Tuban.
“Ya,” katanya sesudah agak lama berdiam diri, “berikan
surat ini pada yang berhak.”
Wirangmandala berjalan cepat menuju ke Syahbandaran.
Sekilas ia lihat tengkorak berjalan dari dapur menuju ke kamar,
dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke
gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang
duduk membaca kitab.
“Hasalamu alaikooom!” serunya.
Tholib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat
Wirangmandala mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan
menelan ludah. Awan dengan lambat berarak
meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: “Wa
alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira.
Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan
bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek
begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan
lebih bersih dan lebih berbahagia.”
“Alhamdulillah, tuan Syahbandar.”
“Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga Iskak?”
“Tidak salah, Tuan Syahbandar.”
“Tak pernah kau nampak begitu periang seperti
sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa
lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak?”
“Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat
balasan.”
“Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana
perjalananmu.”
Dan Wirangmandala membikin-bikin cerita sendiri, bahwa
perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu
aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya
dengan tertawa-tawa senang.
“Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana.
mana?”
Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama
tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara
kepura-puraan dari kesungguhan.
“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering
sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.”
Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam
padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum
mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi
bersungguh-sungguh.
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu,
pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu
nampak berubah-ubah. lalu Syahbandar itu berhenti
membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki
wajahnya.
“Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada
matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?”
“Tidak, tuan Syahbandar.”
“Memang orang keparat,” katanya dan kembali
mempelajari keadaan surat itu.
“Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga
Iskak?”
“Demi Allah, Tuan.”
“Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah
memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat
dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?”
“Demi Allah, Tuan Syahbandar.”
Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa
dirinya diragukan.
“Kalau begitu lama pergi,” Tholib Sungkar Az-Zubaid
meneruskan penyelidikannya.
“Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah
salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan
pulang.”
“Siapa saja pernah membaca ini?”
“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang
bisa menulis dan membaca Arab.”
“Kau bohong!” tuduhnya.
“Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah
kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondar-
mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi,
lalu berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung
pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan
tiba-tiba berhenti di hadapan Wirangmandala .
“Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang
membaca surat ini.”
“Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai
sahaya lagi.”
“Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara
keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.”
“Kalau Tu