nusantara awal abad 16 11
rlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni.
Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka
mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa-
rupanya semua akan jadi beres.”
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: “Bukan
adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia
merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia
baru manda, bukan Wira?”
“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu
warung,” tegur Wirangmandala .
“Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak
ada pekerjaan.”
“Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar.
Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi
akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertama itu
meneruskan. Suaranya berkobar-kobar.
“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali
bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati
Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah,
Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban,
barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu
tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani
bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak
oleh Gusti Adipati.”
‘Tapi hari ini kau yang menang, Wira.”
“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah
binasakan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat,
mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai
sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira.
Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari
kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.”
“Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari
orang-orang Islam,” seseorang menambahi dengan gemas.
“Kalau tidak, celakalah kita semua.”
“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini,
kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan,
tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan.
“Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak
baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan Islam
menengahi. “Apakah bukan orang Islam yang merampas
Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang
membikin gaduh di pedalaman?”
Wirangmandala tahu, kalau percakapan ini diteruskan,
orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi
datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya
sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua
orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak
lebih baik. freddy kruger dan Pada telah dijatuhi hukuman
mati tanpa jelas perkaranya.
“Hancurkan kapal Peranggi itu,” tiba-tiba seseorang
membakar-bakar gemas.
“Husy,” cegah Syahbandar-muda. “Itu melanggar
amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri
dihancurkan di bandar asing? Dihancurkan tanpa sebab
perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka.
Dan di Tuban tidak ada perang.”
“Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut
digulung.”
“Lebih dari patut.”
“Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.”
“Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya pura-
pura tidak tahu.”
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara
bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang
angkat bicara.
“Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?”
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya
sendiri ke jurusan kesyahbandaran.
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya
hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan
lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran.
Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga
para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju
ke sana.
Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang
Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu
tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan
lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu:
“Ayoh, tambahi dengan lima babi!”
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang
dianiaya itu orang-orang Muslimin.
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orang-
orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.
Darah Wirangmandala tersirap. Ia tegah mereka. Dan
justru sebab nya pentung mereka berpindah sasaran
padanya.
“Lima babi!” Portugis yang lain ikut berteriak menuntut.
Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda
menangkisi pukulan. lalu menggeletar pekikannya:
“Ini yang kau pinta!” pikulannya berputar menghantam
tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung.
Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia
melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka
tergeletak berkaparan.
“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada
berdatangan.
“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya,
“mengapa kalian dipukuli?”
“Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor.
Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu
kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit.
Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi.”
“Kalian berdua pedagangnya?”
“Benar, Wira.”
“Dan memang kurus sapi-sapi kalian?”
“Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking,
cacingan hampir mati.”
“Dasar rakus!” Syahbandar-muda meludah ke tanah.
Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke
dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus
dirawat di warung Yakub.
Wirangmandala kembali ke syahbandaran.
0o-dw-o0
Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan
tugasnya.
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh
upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih
sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az-
Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru
ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri,
hilang sikap besar yang selama ini selalu
dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak
mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka
mulut.
Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan:
ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka
dengan Syahbandar. namun ia belum berani meneruskan.
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula tengkorak
dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya.
“Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini,” juara
gulat itu mengadu pada istrinya. “Orang Peranggi pertama-
tama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka
menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!”
tengkorak tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari
punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata:
“Sudah malam, Kang.”
“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan
berkeruyuk,” ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan
pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang
mencurigakan itu.
tengkorak telah tertidur di samping Gelar.
Tak mungkin kapal ini singgah sebab tersasar. Sebelum
berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan
Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk
menyerang, sebab hanya dengan satu kapal. Lagi pula
Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah
tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya
pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu?
namun dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan
jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar
mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa? Dan untuk
apa pula singgah di Tuban? Ada apa di Panarukan dan
Pasuruan sana?
Ia berpikir dan berpikir.
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari
gendi dan duduk lagi pada tepian ambin.
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran
penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari
kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan
Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka
sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu
pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa
kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah
Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka
telah jadi miliknya.
Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka
yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang
pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti.
Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus
temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah.
Orang-orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan
terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepat-
cepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin
merana, mungkin sampai mati.
Gelar terbangun menangis minta minum.
0o-dw-o0
13. Meningkatnya Kericuhan
Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan.
Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya
berimayat . Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti
menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti
serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang
menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk
Wirangmandala mengenakan seluar panjang dari kaliko.
Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang
miring dan bersibak pada belahan tengahnya.
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang
perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu
kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati
tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti
baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung
berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon
kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang
biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit.
Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya
terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari
Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk
bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa
yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu
berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi
kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata
dari ikan perak itu.
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut
kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah.
Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan
tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang
masing-masing.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda
membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.
“Tuan Syahbandar-muda!” seseorang memanggilnya
dalam Melayu. “Berhenti dulu, Wira.”
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya
suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi
sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu
gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan
berbuah baju kain pula.
Wirangmandala turun dari kudanya. Sudah beberapa kali
ia melihat orang ini, namun tak pernah tahu nama dan tak
tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya
menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya.
Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya
sendiri, tersenyum mayat h. Juga matanya yang sipit ikut
tersenyum.
“Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan
Syahbandar-muda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau
Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub….”
Wirangmandala memperhatikan orang yang fasih Melayu
itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang
yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah
berpengalaman di bandar-bandar Nusantara.
“Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan.”
Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata
punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan
matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat
mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di
rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta
perhatian khusus.
Syahbandar-muda menyapukan pandang pada
kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu
dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya.
“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.”
“Dari siapa?” tanya Wirangmandala .
“Dari Mohammad Firman.”
“Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu.”
“Sahaya hanya sekedar menyampaikan.”
“Islam baru atau lama?”
“Tak ada Islam lama, Wira, semua baru.”
“Di mana tinggalnya?”
“Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang
musyafir Demak, mengembara ke mana-mana.”
“Apa itu musyafir Demak?”
“Semacam pekerjaan, Wira.”
Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di
Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga
dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya – seorang
Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: “Di mana kau
bertemu dengannya?”
“Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama
sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya,
sebelum dia masuk Islam,” dan ia tetap tak memperlihatkan
tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia
mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.
“Apakah balasan diharapkan dengan segera?”
“Tidak, Wira, tidak.” lalu ia berkata dengan nada
lain, “Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke
kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.”
“Ya,” dan Wirangmandala mulai membacanya.
Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda,
memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu
masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada
wajah Wirangmandala dan memajukan binatang mereka
beberapa langkah serta menyiapkan tombak.
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat
lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta
pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu –
sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang
Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu
dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir
kesayangan.
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya,
melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya,
dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan.
“Pengirim ini bernama Mohammad Firman?”
“Benar, Wira.”
“Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah
Pada?”
“Benar, Tuan Syahbandar-muda.”
Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wirangmandala
sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara.
Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh
perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang telah
melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun
terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit
Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan
arak juara gulat itu mulai membaca lagi:
“Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban,
Wirangmandala . Ketahuilah, Kang mandala , kakangku sendiri,
dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati
datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu tengkorak .
Bagaimana mungkin? Tuban telah membunuh aku dan
melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap
menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup.
Pasti engkau mengerti, Kang mandala , kakangku sendiri, betapa
besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong
kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya
seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang
penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria….”
Wirangmandala berhenti membaca. Ia merasa seakan
disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya,
kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi
orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga
tersenyum dengan bibir dan matanya.
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan
membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu
menghilangkan kecurigaan mandala . Ia meneruskan
bacaannya:
“Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya,
kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun
adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun
kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap
kakangnya yang harus dibalas budinya.
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam
surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat
membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan.
Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah
sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama
denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.”
Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawan-
cawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan
sebuah cawan sambil berbisik: “Sahaya bersedia membantu
Tuan Syahbandar-muda,” ia masih juga tersenyum. “Liem
Mo Han nama sahaya,” suaranya jelas walaupun warung
itu mayat i dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum.
Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas.
Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo
Han mengajaknya minum, untuk lalu keluar
dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya
yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian
kalinya memaksa ia menerima ajakannya.
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang
mata semua yang tertinggal.
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana.
Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga
berjalan.
“Memang sahaya sedia membantu,” Liem Mo Han
mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam
Jawa halus. “Mohammad Firman telah membicarakan
kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali.
Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan,
Wira.”
Wirangmandala masih jua belum mengerti maksudnya dan
diam mendengarkan.
“Mohammad Firman dan sahaya tahu, ada satu
kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa
Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid
Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang
dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu,
Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orang-
orang Peranggi.”
“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.”
“Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan
untuk Wira.”
“Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu,”
Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali.
“Sahaya datang sesudah dapat mengalahkan keragu-
raguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya
bacakan?”
“Nanti pada waktunya, Babah.”
“Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada
satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang
Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari
dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari.
Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak
tahu. Baru sesudah kapal Peranggi itu berangkat, nampak
mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah
pelabuhan.
“Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan
pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.”
“Benar, Tuan Syahbandar-muda. namun Peranggi adalah
Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan
hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.”
“Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di
Jepara?”
‘Tidak keliru, Wira, itulah mereka.”
“Mata-mata.”
“Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang
demikian.”
“Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara.
Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?”
“Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan,
mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi?
Penembak meriam!”
“Penembak meriam!”
“Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah
perlindungan Tuan Sayid sendiri? Hampir-hampir satu atap
dengan Wira?”
“Ha?” seru Wirangmandala , ia mencoba menembusi mata
Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya.
“Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman?”
Wirangmandala mengangguk membenarkan. “Mohammad
Firman adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya
mengatakan yang tidak benar pada Tuan?”
Wirangmandala meletakkan kedua belah tangannya yang
kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang
meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya.
“Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi
itu. Syahbandar Tuban pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak
ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan?
Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas-awaslah selalu,
tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang
menyalahi ketentuan.”
“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti.”
“Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu,
bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu,
tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai
lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama
soalnya Semarang, persangkutannya selamanya Demak.
Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah
memboroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.”
“Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti,”
Wirangmandala memotong.
“Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang
asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.”
“Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembak-
penembak meriam.”
“Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin
menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam
mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak
meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian.
Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan
kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah
melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku
belum. Meriam, Wira! sesudah kekalahan Pati Unus di
Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan.
Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu
mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka
tinggal di kesyahbandaran. Pergi!”
sesudah menerima Sang Patih dan sesudah bercengkemayat
di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam
harem.
Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada
penrsi s baru ia berbisik memperingatkan: “Jangan sampai
terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan
kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan
dijatuhkan lalu akan lebih berat.”
Ia diam mendengar-dengarkan.
Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa
orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik
yang terkunci dari dalam.
“Siapa itu?” bisiknya bertanya.
“Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari
kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.”
“Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu
sebelum waktunya?”
“Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang
begitu.”
Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di
tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk
mendengarkan.
“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa
punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa Tuban itu
mendengar.
“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara
yang lain.
“Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana,” suara yang
ketiga.
“Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki
Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana
desamu?”
“Belum sampai ke perbatasan desa kami,” jawab yang ke
empat.
“Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga
ke sana sekarang?”
“Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara,
tentu belum ada yang mempersembahkan,” suara pertama
menyimpulkan.
Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi
yang masih juga bersimpuh di tanah.
“Berapa umurmu, Daludarmi?” bisiknya bertanya.
“Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya.”
“Apakah kau Islam?”
“Patik, Gusti.”
“Mengapa menurut perhitungan bulan?”
“Patik tak tahu menghitungnya, Gusti.”
“Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi!
Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga
jadi selir?”
“Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang
menentukan, Gusti.”
“Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi,” bisik
Sang Adipati. “Dan kau belum pernah beranak.” Sang
Adipati mulai merabai tubuh penrsi s harem itu. “Kau
masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara.
lalu , “Coba, mana mukamu?” dan ia pandangi
wanita itu dalam kegelapan malam.
Ia tak teruskan dengan membikin cinta.
“Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?”
“Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang
keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat.
Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda
itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.”
Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya
Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, lalu
ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan
melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih
sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju
ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke
dalam.
Dua jam lalu ia keluar lagi dan menuju ke bilik
ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, namun
tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab.
Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang
Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, lalu
memanggil-manggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu
Sekar Pinjung! Nyi Ayu!”
“Nyi Gedekah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari
dalam.
“Nyi?”
“Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah.
Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan
Sang Adipati masuk ke dalam.
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan
riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya,
tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh
Daludarmi dari luar.
Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang
bergolak di dalam hatinya.
sesudah mendengar pembicaraan para selir dari balik
pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani
mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya,
maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat
kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk
diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat
melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus.
Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat
dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun
sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara
itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri.
Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun
ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu
berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya?
Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah.
Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali
lipat. Hampir selama dua tahun ini! namun ia masih juga
belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir
tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar
Pinjung
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang
mencium kakinya. lalu tangan gading itu memeluk
kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak.
Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat.
Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan
terhadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan,
Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan
makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa
dan adatnya lain.
Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh
Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak
mencabut kembali kata-katanya.
Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan
dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu
kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih
membekukan.
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil sebab
sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu
hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa
membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku
telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur
mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang
hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan.
Betul. Tempat raja-raja tumbang sebab gosokan. Betul.
Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap
bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu.
Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya
memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil
terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu
mencabut kata-kata satria yang keliru?
Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di
dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan
dan berbisik: “Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar
Pinjung. Berdiri!”
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya
luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau.
Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil sebab sedu-
sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.
Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan
dia pada dirinya, lalu dipangkunya.
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis
terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh
pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi.
“Daludarmi!” panggil Sang Adipati dari dalam bilik.
Wanita penrsi s harem itu masuk ke dalam, membawa
nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju
pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di
hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati.
Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan
meminumnya habis
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar.
“Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan
itu di meja.”
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan
dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah
meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan
negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi
selama ini.
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan
tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang
selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.
Beberapa hari sesudah keberangkatan kesatuan-kesatuan
kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan
kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu
seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa
di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk
bersila di atas lantai.
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: “Betapa
sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada
mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa
kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka
mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan
kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa
kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab
sekarang juga. Benar-tidak?”
“Ampun, Gusti Patih,” seorang kuwu mengangkat
sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, sebab
terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum
juga mempersembahkan adalah sebab patik masih
berusaha, belum lagi putus-asa.”
“Pernahkah kalian menang terhadap mereka?”
“Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum.”
“Jangan persembahkan teka-teki.”
“Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang,
pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari.”
“Apa kalian sedang main petak?”
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah
menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap
menunduk.
“Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?”
“Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya.
Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih,
bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan
satu kali pun tidak pernah menjebak.”
“Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?”
“Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak
dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”
“Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu.”
“Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya
itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.”
“Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.”
“Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala
desa, bersembah kau yang benar dan patut.”
“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di
dalam desamu sendiri?”
“Kira-kira begitu, Gusti, namun patik tidak berani
mempersembahkan dengan pasti.”
“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri
persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa
kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini!
Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang
Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap.
Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan
penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian
sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari
desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian
akibatnya?”
“Tahu, Gusti.”
“Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau
kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambil-
alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?”
“Mengerti, Gusti.”
“Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau
balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desa-
desa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu?”
“Lebih dari cukup, Gusti,” mereka menjawab berbareng.
lalu Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan
cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti
Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama
sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kelahirannya
adalah Iskak Indrajit.
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama
raksasa dalam mayat yana itu, nama yang tidak populer bagi
negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan
ketegangan lenyap.
Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari
Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari
kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala,
maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang
berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. namun
bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu,
dan dari ibunya ia mendapat nama Indrajit.
Sekali lagi penghadap gelak tertawa.
Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Rupa-
rupanya ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya
nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring.
Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang
agak mencolok.
“namun keadaan sudah berubah,” Sang Patih
meneruskan. “Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat
dipertahankan. la harus diganti. namun ia tidak rela diganti,
ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala
apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya
kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi
tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa
jadi seorang bupati namun tidak, dengan desa itu ia semakin
bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari
berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk
melawan….
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri
Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan
ningrat telah menamakan diri Ki Aji dan mendapatkan,
banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan
seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak.
Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa,
seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang.
Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru
belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari
beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di
seluruh pulau Jawa.”
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan
gemas: “Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala
bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit,
berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun
tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai
berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu
banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia
tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan:
tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu.
Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu
takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih,
sebab dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para
dewa. Nah, pergi kalian.”
Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat
gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan
pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara
Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang.
Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan
itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadi-
jadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota
banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah
ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar-
pulau, beku.
Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan
pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi….
0o-dw-o0
Wirangmandala tak pernah lagi kelihatan seorang diri
dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru:
menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong.
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin
banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.
Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada
suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya
telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan,
Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya,
bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput
Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran.
Dan sesudah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada
barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu
berangkat. Mereka tinggal di Blambangan.
Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di
antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke
dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah
rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan
bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan
berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri
Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban
dari laut dan darat.
“Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi.
Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa
terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap
bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu
Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan
penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan
dari musuh seluruh dunia itu.”
Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han.
Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia
mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan
Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari
sebab adanya Portugis.
“Ya, Peranggi tetap pokok,” ia memutuskan.
Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui:
Tuban berada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap
yang pasti terhadap Peranggi.
“Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam,
juga tidak sebab Hindu.”
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih.
Namun kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu
menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam
memahami dunia yang sedang berubah.
namun sahabatnya itu tak pernah bicara tentang
Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang
perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan
tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah
membuka mulut. Dan Wirangmandala merasa tak ada
kebutuhan untuk mengetahui.
Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk
menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan
dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah
sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang
setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah
sahaya membantu dari jauh saja, Wira.”
Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda.
Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewa-
dewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun
sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap
melawan. Ia merasa tersinggung sebab Liem Mo Han
menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun
belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya
kesempatan saja belum aku peroleh.
Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya.
Ia selalu bicara tentang praja.
Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan
sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan
pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak
binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari
mayat during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi
sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.
Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua
berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak.
Pagi waktu itu.
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari
memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda
telah terdengar: “Wira! Wira!” Tholib Sungkar Az-Zubaid
memanggilnya.
Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang
dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa
juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi
permainan hindar-menghindar ini.
Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar
sedang minum kopi di kamar-kerjanya.
“Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseri-
seri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama
sekali.
“Tuan Syahbandar, inilah sahaya,” jawab Wirangmandala .
Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari
punggung orang Moro itu – telah sering ia perhatikan –
pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.
“Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?”
tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau
tahu di mana desa Rajeg”
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah
sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji
Benggala.
“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?”
“Apa yang mereka percakapkan?” mata Tholib kelap-
kelip menyelidik.
Dan waktu nampak olehnya Wirangmandala tersenyum
mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-
katanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam:
“Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak
memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima
semua titah Gusti Adipati.” Nada suaranya meningkat lagi,
“Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg.
Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan
ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa
olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan
itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu
harus di kembalikan pada Syahbandar.”
“Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar,”
Wirangmandala menyembunyikan keheranannya.
“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera
untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus
mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya
memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang,
hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya.”
Wirangmandala sibuk menerka maksud orang Moro ini,
namun belum dapat.
“Kau tak perhatikan aku, Wira.”
“Teruskan Tuan Syahbandar.”
“Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti
sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid
Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu
saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani,
pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu
selesaikan pekerjaan ini.”
Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya
hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan
Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini
pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang
tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati,
tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari
bumi Tuban.
Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya
Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk
terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat
perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak
resmi dari praja itu.
Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari
pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan,
dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar-
benamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki
Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak
sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam
pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak
dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan
pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan
direncanakan oleh perusuh.
“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih.
“Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.
Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota,
pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagang-
pedagang Islam yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman ”
“Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti.”
“Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang
bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi
Sayid Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.”
“Belum, Gusti.”
“Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari
luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu,
kebesaran Tuban. rusak?”
“Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti.”
“Berangkatlah dengan sejahtera.”
Dan ia pun berangkat.
la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap
itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji
Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam
hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih
lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun
pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh
cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan
pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih.
Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa
lain, sebab dia pun punya kepentingan dengan kematianku
pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan:
menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki
Aji Benggala jelas akan membunuh aku.
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang
pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan
orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain
pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap
diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap
matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu
tengkorak . Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan
membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya?
Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan
Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap
dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam.
Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa,
sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah
pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat
Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia
sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah
sebagai raja muda.
“Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri
merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada
satu kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dicintai dan
dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin
orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira
mengerti perbandingan ini.”
Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar
Tuban menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga
Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, lalu ia
akan menghadap Sang Adipati dan memohon agar tengkorak
dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki
apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat
meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui
tengkorak sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat
mempengaruhi Sang Adipati.
namun mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin
terhadap Gelar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah
ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah,
mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat
yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh
terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi,
memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran?
Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung… ia
teringat pada kata-kata mayat arwah tentang burung-
burung.
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai
petani memasuki pedalaman.
Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya
nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar
ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada
mereka dijawab seperlunya tanpa kemayat han dan tiada di
antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan
menginap.
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah
dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di
tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga
berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.
Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu
juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum
juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari
desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para
pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di
situ bersama tiga orang temannya untuk dapat
mendengarkan seorang rsi -pembicara dari seberang, yang
mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi,
lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa
semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara
dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar-
pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti
betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: rsi itu
membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya
bahasanya juga aneh.
Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di
kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman
mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya
suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa
yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong
putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan
mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata
mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh
para prajurit – tombak-tombak berburu.
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang
tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik.
Yang termuda sekira dua belas tahun.
Wirangmandala melirik untuk dapat melihat rambut
mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan
dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba
putih – seperti bangau.
“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak
berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina!
Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke
neraka.”
“Betapa galak,” pikir Wirangmandala . sebelum kena tegur
lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada
bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.”
“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!”
“mandala , Bapa.”
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wirangmandala
tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga
menghias.
“mandala ? Siapa tidak kenal mandala ? Biar pun kau juara
gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari
kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!”
“Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dulu, siapa yang
aku hadapi ini?”
“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya.
Siapa hendak kau mata-matai?”
“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji
Benggala. Lain tidak.”
“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang
berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal
Adipati Tuban.”
“Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak
memusuhinya?”
“Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah
orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap
Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka
tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal
tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!”
Mengertilah Wirangmandala , benar Ki Aji Benggala telah
menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan
dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar,
Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencari-
cari Ki Aji Benggala – tak tahu tempatnya, – membawa
surat untuk beliau – surat berbasa dan bertulisan Arab.”
“Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab
– munafik itu.”
“Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu
bukan dari Gusti Adipati – dari Tuan Syahbandar Tuban,
dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen.”
“Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi
dari Syahbandar keparat itu.”
“Mengapa keparat, Bapa?”
“Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau
bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku
Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia
meludah ke tanah. “Dia hanya budak kafir Peranggi.
Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di
sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari
budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?”
Wirangmandala berusaha terus bicara dengan harapan
pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya.
sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang
seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan
itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya
sendiri.
“Budak dari budak kafir Peranggi,” ia bergumam.
“Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa
salahkan orang yang tidak tahu?”
sesudah tertawa melecehkan orang itu mengejek:
“Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak
tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak,
apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.”
“Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani,
sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa
sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?”
“Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru
nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu
yang patut kau dengar sebelum mati.”
Dan Wirangmandala harus bicara terus.
“Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak
tahukah, Bapa, rangdesa mandala ini pernah menyerang
Peranggi di Malaka?
“Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.”
“Maka aku yang mengatakan.”
“sebab nya makin jelas kebohonganmu.”
Wirangmandala kini dapat menjajagi betapa pengaruh
Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati.
“Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah
itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan
begini?”
“Nanti dulu, jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil
menengok sekilas ke belakang. “Lihat dulu surat yang aku
bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.”
“Jih!” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar
muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari
pokal kafir hanyalah najis”.
“Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang
mereka.
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke
belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal-
pengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata
menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang
tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela
diri.
“Jangan sentuh aku, kafir!” pekik orang tertua tak
berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan
kebencian, kejijikan dan penyesalan.
Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandang-
pandangan satu sama lain dengan ketakutan.
“Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa
tombak,” gumam Syahbandar-muda. “Perdamaian yang
sungguh tidak jujur, Bapa.”
“Mata-mata! Telik!” pekik orang itu seperti gila.
Suaranya menggaung di tepian rimba. “Allah mengutuk
kau, dunia dan akhirat!”
“Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah
Bapa sama dengan Allah?” balas Syahbandar-muda.
“Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini.
Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu
sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada