nusantara awal abad 16 11

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 11



 rlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni. 

Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka 

mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa-

rupanya semua akan jadi beres.” 

Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: “Bukan 

adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia 

merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia 

baru manda, bukan Wira?” 

“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu 

warung,” tegur Wirangmandala . 

“Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak 

ada pekerjaan.”  

“Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. 

Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi 

akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertama itu 

meneruskan. Suaranya berkobar-kobar. 

“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali 

bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati 

Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, 

Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban, 

barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu 

tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani 

bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak 

oleh Gusti Adipati.”  

‘Tapi hari ini kau yang menang, Wira.” 

“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah 

binasakan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat, 

mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai 

sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. 

Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari 

kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.” 

“Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari 

orang-orang Islam,” seseorang menambahi dengan gemas. 

“Kalau tidak, celakalah kita semua.” 

“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, 

kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, 

tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan. 

“Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak 

baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan Islam 

menengahi. “Apakah bukan orang Islam yang merampas 

Jepara? Apakah bukan orang Islam yang sekarang 

membikin gaduh di pedalaman?” 

Wirangmandala  tahu, kalau percakapan ini diteruskan, 

orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi 

datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya 

sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua 

orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak 

lebih baik. freddy kruger  dan Pada telah dijatuhi hukuman 

mati tanpa jelas perkaranya. 

“Hancurkan kapal Peranggi itu,” tiba-tiba seseorang 

membakar-bakar gemas. 

“Husy,” cegah Syahbandar-muda. “Itu melanggar 

amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri 

dihancurkan di bandar asing? Dihancurkan tanpa sebab 

perang seperti tingkah Peranggi? Kalian sendiri tak suka. 

Dan di Tuban tidak ada perang.”  

“Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut 

digulung.”  

“Lebih dari patut.” 

“Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.” 

“Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya pura-

pura tidak tahu.” 

Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara 

bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang 

angkat bicara. 

“Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub?” 

Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya 

sendiri ke jurusan kesyahbandaran. 

Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya 

hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan 

lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran. 

Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga 

para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju 

ke sana. 

Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang 

Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu 

tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan 

lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: 

“Ayoh, tambahi dengan lima babi!” 

Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang 

dianiaya itu orang-orang Muslimin. 

Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orang-

orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah. 

Darah Wirangmandala  tersirap. Ia tegah mereka. Dan 

justru sebab nya pentung mereka berpindah sasaran 

padanya. 

“Lima babi!” Portugis yang lain ikut berteriak menuntut. 

Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda 

menangkisi pukulan. lalu  menggeletar pekikannya: 

“Ini yang kau pinta!” pikulannya berputar menghantam 

tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung. 

Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia 

melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka 

tergeletak berkaparan. 

“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada 

berdatangan. 

“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, 

“mengapa kalian dipukuli?” 

“Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. 

Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu 

kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. 

Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi.” 

“Kalian berdua pedagangnya?” 

“Benar, Wira.” 

“Dan memang kurus sapi-sapi kalian?” 

“Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking, 

cacingan hampir mati.” 

“Dasar rakus!” Syahbandar-muda meludah ke tanah. 

Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke 

dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus 

dirawat di warung Yakub. 

Wirangmandala  kembali ke syahbandaran. 

0o-dw-o0 

 

Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan 

tugasnya. 

Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh 

upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih 

sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az-

Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru 

ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, 

hilang sikap besar yang selama ini selalu 

dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak 

mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka 

mulut. 

Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: 

ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka 

dengan Syahbandar. namun  ia belum berani meneruskan. 

Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula tengkorak  

dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya. 

“Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini,” juara 

gulat itu mengadu pada istrinya. “Orang Peranggi pertama-

tama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka 

menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!” 

tengkorak  tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari 

punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: 

“Sudah malam, Kang.” 

“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan 

berkeruyuk,” ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan 

pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang 

mencurigakan itu. 

tengkorak  telah tertidur di samping Gelar. 

Tak mungkin kapal ini singgah sebab  tersasar. Sebelum 

berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan 

Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk 

menyerang, sebab  hanya dengan satu kapal. Lagi pula 

Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah 

tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya 

pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu? 

namun  dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan 

jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar 

mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa? Dan untuk 

apa pula singgah di Tuban? Ada apa di Panarukan dan 

Pasuruan sana? 

Ia berpikir dan berpikir. 

Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari 

gendi dan duduk lagi pada tepian ambin. 

Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran 

penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari 

kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan 

Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka 

sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu 

pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa 

kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah 

Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka 

telah jadi miliknya. 

Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka 

yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang 

pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti. 

Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus 

temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. 

Orang-orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan 

terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepat-

cepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin 

merana, mungkin sampai mati. 

Gelar terbangun menangis minta minum. 

0o-dw-o0 

 

13. Meningkatnya Kericuhan 

Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. 

Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya 

berimayat . Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti 

menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti 

serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang 

menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk 

Wirangmandala  mengenakan seluar panjang dari kaliko. 

Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang 

miring dan bersibak pada belahan tengahnya. 

Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang 

perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu 

kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati 

tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah. 

Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti 

baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung 

berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon 

kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang 

biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. 

Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya 

terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari 

Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk 

bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa 

yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu 

berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi 

kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata 

dari ikan perak itu. 

Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut 

kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah. 

Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan 

tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang 

masing-masing. 

Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda 

membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada. 

“Tuan Syahbandar-muda!” seseorang memanggilnya 

dalam Melayu. “Berhenti dulu, Wira.” 

Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya 

suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi 

sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu 

gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan 

berbuah baju kain pula. 

Wirangmandala  turun dari kudanya. Sudah beberapa kali 

ia melihat orang ini, namun  tak pernah tahu nama dan tak 

tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya 

menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya. 

Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya 

sendiri, tersenyum mayat h. Juga matanya yang sipit ikut 

tersenyum. 

“Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan 

Syahbandar-muda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau 

Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub….” 

Wirangmandala  memperhatikan orang yang fasih Melayu 

itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang 

yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah 

berpengalaman di bandar-bandar Nusantara. 

“Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan.” 

Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata 

punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan 

matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat 

mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di 

rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta 

perhatian khusus. 

Syahbandar-muda menyapukan pandang pada 

kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu 

dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya. 

“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.” 

“Dari siapa?” tanya Wirangmandala . 

“Dari Mohammad Firman.” 

“Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu.” 

“Sahaya hanya sekedar menyampaikan.” 

“Islam baru atau lama?” 

“Tak ada Islam lama, Wira, semua baru.” 

“Di mana tinggalnya?” 

“Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang 

musyafir Demak, mengembara ke mana-mana.” 

“Apa itu musyafir Demak?” 

“Semacam pekerjaan, Wira.” 

Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di 

Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga 

dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya – seorang 

Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: “Di mana kau 

bertemu dengannya?” 

“Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama 

sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya, 

sebelum dia masuk Islam,” dan ia tetap tak memperlihatkan 

tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia 

mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam. 

“Apakah balasan diharapkan dengan segera?” 

“Tidak, Wira, tidak.” lalu  ia berkata dengan nada 

lain, “Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke 

kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.” 

“Ya,” dan Wirangmandala  mulai membacanya. 

Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, 

memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu 

masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada 

wajah Wirangmandala  dan memajukan binatang mereka 

beberapa langkah serta menyiapkan tombak. 

Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat 

lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta 

pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu – 

sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang 

Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu 

dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir 

kesayangan. 

Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, 

melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, 

dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan. 

“Pengirim ini bernama Mohammad Firman?” 

“Benar, Wira.” 

“Sebelum masuk Islam apakah namanya? Bukankah 

Pada?” 

“Benar, Tuan Syahbandar-muda.” 

Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wirangmandala  

sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. 

Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh 

perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang telah 

melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun 

terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit 

Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan 

arak juara gulat itu mulai membaca lagi:  

“Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban, 

Wirangmandala . Ketahuilah, Kang mandala , kakangku sendiri, 

dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati 

datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu tengkorak . 

Bagaimana mungkin? Tuban telah membunuh aku dan 

melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap 

menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. 

Pasti engkau mengerti, Kang mandala , kakangku sendiri, betapa 

besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong 

kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya 

seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang 

penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria….” 

Wirangmandala  berhenti membaca. Ia merasa seakan 

disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, 

kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi 

orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga 

tersenyum dengan bibir dan matanya. 

Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan 

membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu 

menghilangkan kecurigaan mandala . Ia meneruskan 

bacaannya:  

“Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, 

kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun 

adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun 

kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap 

kakangnya yang harus dibalas budinya. 

Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam 

surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat 

membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. 

Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah 

sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama 

denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.” 

Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawan-

cawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan 

sebuah cawan sambil berbisik: “Sahaya bersedia membantu 

Tuan Syahbandar-muda,” ia masih juga tersenyum. “Liem 

Mo Han nama sahaya,” suaranya jelas walaupun warung 

itu mayat i dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum. 

Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas. 

Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo 

Han mengajaknya minum, untuk lalu  keluar 

dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya 

yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian 

kalinya memaksa ia menerima ajakannya. 

Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang 

mata semua yang tertinggal. 

Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. 

Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga 

berjalan. 

“Memang sahaya sedia membantu,” Liem Mo Han 

mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam 

Jawa halus. “Mohammad Firman telah membicarakan 

kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. 

Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, 

Wira.” 

Wirangmandala  masih jua belum mengerti maksudnya dan 

diam mendengarkan. 

“Mohammad Firman dan sahaya tahu, ada satu 

kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa 

Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid 

Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang 

dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu, 

Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orang-

orang Peranggi.” 

“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.” 

“Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan 

untuk Wira.” 

“Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu,” 

Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali. 

“Sahaya datang sesudah  dapat mengalahkan keragu-

raguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya 

bacakan?” 

“Nanti pada waktunya, Babah.” 

“Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada 

satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang 

Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari 

dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. 

Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak 

tahu. Baru sesudah  kapal Peranggi itu berangkat, nampak 

mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah 

pelabuhan. 

“Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan 

pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.” 

“Benar, Tuan Syahbandar-muda. namun  Peranggi adalah 

Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan 

hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.” 

“Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di 

Jepara?” 

‘Tidak keliru, Wira, itulah mereka.” 

“Mata-mata.” 

“Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang 

demikian.” 

“Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara. 

Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?” 

“Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan, 

mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi? 

Penembak meriam!” 

“Penembak meriam!” 

“Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah 

perlindungan Tuan Sayid sendiri? Hampir-hampir satu atap 

dengan Wira?” 

“Ha?” seru Wirangmandala , ia mencoba menembusi mata 

Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya. 

“Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman?” 

Wirangmandala  mengangguk membenarkan. “Mohammad 

Firman adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya 

mengatakan yang tidak benar pada Tuan?” 

Wirangmandala  meletakkan kedua belah tangannya yang 

kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang 

meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya. 

“Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi 

itu. Syahbandar Tuban pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak 

ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan? 

Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi? Awas-awaslah selalu, 

tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang 

menyalahi ketentuan.” 

“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti.” 

“Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, 

bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu, 

tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai 

lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama 

soalnya Semarang, persangkutannya selamanya Demak. 

Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah 

memboroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.” 

“Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti,” 

Wirangmandala  memotong. 

“Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang 

asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.” 

“Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembak-

penembak meriam.” 

“Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin 

menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam 

mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak 

meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian. 

Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan 

kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah 

melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku 

belum. Meriam, Wira! sesudah  kekalahan Pati Unus di 

Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan. 

Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu 

mereka bisa membikin untuk Tuban? Biarkan mereka 

tinggal di kesyahbandaran. Pergi!” 

sesudah  menerima Sang Patih dan sesudah  bercengkemayat  

di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam 

harem. 

Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada 

penrsi s baru ia berbisik memperingatkan: “Jangan sampai 

terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan 

kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan 

dijatuhkan lalu  akan lebih berat.” 

Ia diam mendengar-dengarkan. 

Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa 

orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik 

yang terkunci dari dalam. 

“Siapa itu?” bisiknya bertanya. 

“Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari 

kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.” 

“Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu 

sebelum waktunya?” 

“Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang 

begitu.” 

Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di 

tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk 

mendengarkan. 

“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa 

punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa Tuban itu 

mendengar. 

“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara 

yang lain. 

“Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana,” suara yang 

ketiga. 

“Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki 

Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana 

desamu?” 

“Belum sampai ke perbatasan desa kami,” jawab yang ke 

empat. 

“Tapi siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga 

ke sana sekarang?” 

“Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara, 

tentu belum ada yang mempersembahkan,” suara pertama 

menyimpulkan. 

Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi 

yang masih juga bersimpuh di tanah. 

“Berapa umurmu, Daludarmi?” bisiknya bertanya. 

“Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya.” 

“Apakah kau Islam?” 

“Patik, Gusti.” 

“Mengapa menurut perhitungan bulan?” 

“Patik tak tahu menghitungnya, Gusti.” 

“Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi! 

Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga 

jadi selir?” 

“Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang 

menentukan, Gusti.” 

“Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi,” bisik 

Sang Adipati. “Dan kau belum pernah beranak.” Sang 

Adipati mulai merabai tubuh penrsi s harem itu. “Kau 

masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara. 

lalu , “Coba, mana mukamu?” dan ia pandangi 

wanita itu dalam kegelapan malam. 

Ia tak teruskan dengan membikin cinta. 

“Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?” 

“Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang 

keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. 

Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda 

itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.” 

Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya 

Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, lalu  

ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan 

melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih 

sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju 

ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke 

dalam. 

Dua jam lalu  ia keluar lagi dan menuju ke bilik 

ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, namun  

tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab. 

Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang 

Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, lalu  

memanggil-manggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu 

Sekar Pinjung! Nyi Ayu!” 

“Nyi Gedekah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari 

dalam. 

“Nyi?” 

“Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah. 

Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan 

Sang Adipati masuk ke dalam. 

Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan 

riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, 

tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh 

Daludarmi dari luar. 

Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang 

bergolak di dalam hatinya. 

sesudah  mendengar pembicaraan para selir dari balik 

pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani 

mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, 

maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat 

kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk 

diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat 

melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. 

Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat 

dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun 

sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara 

itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri. 

Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala. 

Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun 

ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman. 

Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu 

berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya? 

Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. 

Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali 

lipat. Hampir selama dua tahun ini! namun  ia masih juga 

belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir 

tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar 

Pinjung 

Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang 

mencium kakinya. lalu  tangan gading itu memeluk 

kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. 

Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. 

Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan 

terhadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan, 

Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan 

makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa 

dan adatnya lain. 

Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh 

Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak 

mencabut kembali kata-katanya. 

Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan 

dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu 

kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih 

membekukan. 

Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil sebab  

sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu 

hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa 

membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku 

telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur 

mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang 

hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. 

Betul. Tempat raja-raja tumbang sebab  gosokan. Betul. 

Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap 

bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. 

Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya 

memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil 

terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu 

mencabut kata-kata satria yang keliru? 

Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di 

dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan 

dan berbisik: “Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar 

Pinjung. Berdiri!” 

Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya 

luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. 

Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil sebab  sedu-

sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun. 

Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan 

dia pada dirinya, lalu  dipangkunya. 

Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis 

terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh 

pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi. 

“Daludarmi!” panggil Sang Adipati dari dalam bilik. 

Wanita penrsi s harem itu masuk ke dalam, membawa 

nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju 

pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di 

hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati. 

Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan 

meminumnya habis 

Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. 

“Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan 

itu di meja.” 

Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan 

dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah 

meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan 

negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi 

selama ini. 

Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan 

tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang 

selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum. 

Beberapa hari sesudah  keberangkatan kesatuan-kesatuan 

kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan 

kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu 

seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa 

di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk 

bersila di atas lantai. 

Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: “Betapa 

sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada 

mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa 

kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka 

mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan 

kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa 

kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab 

sekarang juga. Benar-tidak?” 

“Ampun, Gusti Patih,” seorang kuwu mengangkat 

sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, sebab  

terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum 

juga mempersembahkan adalah sebab  patik masih 

berusaha, belum lagi putus-asa.” 

“Pernahkah kalian menang terhadap mereka?”  

“Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum.”  

“Jangan persembahkan teka-teki.” 

“Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang, 

pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari.”  

“Apa kalian sedang main petak?” 

Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah 

menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap 

menunduk. 

“Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?”  

“Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya. 

Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih, 

bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan 

satu kali pun tidak pernah menjebak.”  

“Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?”  

“Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak 

dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”  

“Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu.”  

“Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya 

itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.” 

“Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.”  

“Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala 

desa, bersembah kau yang benar dan patut.” 

“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di 

dalam desamu sendiri?” 

“Kira-kira begitu, Gusti, namun  patik tidak berani 

mempersembahkan dengan pasti.” 

“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri 

persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa 

kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! 

Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang 

Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. 

Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan 

penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian 

sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari 

desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian 

akibatnya?” 

“Tahu, Gusti.” 

“Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau 

kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambil-

alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?” 

“Mengerti, Gusti.” 

“Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau 

balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desa-

desa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu?” 

“Lebih dari cukup, Gusti,” mereka menjawab berbareng. 

lalu  Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan 

cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti 

Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama 

sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kelahirannya 

adalah Iskak Indrajit. 

Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama 

raksasa dalam mayat yana itu, nama yang tidak populer bagi 

negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan 

ketegangan lenyap. 

Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari 

Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari 

kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala, 

maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang 

berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. namun  

bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, 

dan dari ibunya ia mendapat nama Indrajit. 

Sekali lagi penghadap gelak tertawa. 

Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Rupa-

rupanya ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya 

nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. 

Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang 

agak mencolok. 

“namun  keadaan sudah berubah,” Sang Patih 

meneruskan. “Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat 

dipertahankan. la harus diganti. namun  ia tidak rela diganti, 

ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala 

apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya 

kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi 

tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa 

jadi seorang bupati namun  tidak, dengan desa itu ia semakin 

bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari 

berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk 

melawan…. 

Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri 

Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan 

ningrat telah menamakan diri Ki Aji dan mendapatkan, 

banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan 

seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. 

Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, 

seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. 

Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru 

belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari 

beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di 

seluruh pulau Jawa.” 

Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan 

gemas: “Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala 

bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit, 

berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun 

tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai 

berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu 

banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia 

tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: 

tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. 

Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu 

takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, 

sebab  dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para 

dewa. Nah, pergi kalian.” 

Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat 

gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan 

pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara 

Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang. 

Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan 

itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadi-

jadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota 

banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah 

ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar-

pulau, beku. 

Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan 

pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi…. 

0o-dw-o0 

 

Wirangmandala  tak pernah lagi kelihatan seorang diri 

dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: 

menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong. 

Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin 

banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi. 

Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada 

suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya 

telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, 

Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, 

bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput 

Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. 

Dan sesudah  kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada 

barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu 

berangkat. Mereka tinggal di Blambangan. 

Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di 

antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke 

dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah 

rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan 

bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan 

berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri 

Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban 

dari laut dan darat. 

“Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. 

Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa 

terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap 

bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu 

Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan 

penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan 

dari musuh seluruh dunia itu.” 

Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. 

Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia 

mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan 

Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari 

sebab  adanya Portugis. 

“Ya, Peranggi tetap pokok,” ia memutuskan. 

Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: 

Tuban berada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap 

yang pasti terhadap Peranggi. 

“Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam, 

juga tidak sebab  Hindu.” 

Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. 

Namun kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu 

menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam 

memahami dunia yang sedang berubah. 

namun  sahabatnya itu tak pernah bicara tentang 

Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang 

perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan 

tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah 

membuka mulut. Dan Wirangmandala  merasa tak ada 

kebutuhan untuk mengetahui. 

Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk 

menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan 

dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah 

sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang 

setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah 

sahaya membantu dari jauh saja, Wira.” 

Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. 

Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewa-

dewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun 

sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap 

melawan. Ia merasa tersinggung sebab  Liem Mo Han 

menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun 

belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya 

kesempatan saja belum aku peroleh. 

Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. 

Ia selalu bicara tentang praja. 

Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan 

sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan 

pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak 

binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari 

mayat  during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi 

sesuatu, dan masuklah dalam hatinya. 

Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua 

berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak. 

Pagi waktu itu. 

Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari 

memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda 

telah terdengar: “Wira! Wira!” Tholib Sungkar Az-Zubaid 

memanggilnya. 

Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang 

dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa 

juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi 

permainan hindar-menghindar ini. 

Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar 

sedang minum kopi di kamar-kerjanya. 

“Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseri-

seri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama 

sekali. 

“Tuan Syahbandar, inilah sahaya,” jawab Wirangmandala . 

Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari 

punggung orang Moro itu – telah sering ia perhatikan – 

pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya. 

“Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?” 

tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau 

tahu di mana desa Rajeg” 

Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah 

sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji 

Benggala. 

“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?” 

“Apa yang mereka percakapkan?” mata Tholib kelap-

kelip menyelidik. 

Dan waktu nampak olehnya Wirangmandala  tersenyum 

mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-

katanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam: 

“Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak 

memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima 

semua titah Gusti Adipati.” Nada suaranya meningkat lagi, 

“Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. 

Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan 

ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa 

olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan 

itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu 

harus di kembalikan pada Syahbandar.” 

“Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar,” 

Wirangmandala  menyembunyikan keheranannya. 

“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera 

untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus 

mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya 

memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, 

hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya.” 

Wirangmandala  sibuk menerka maksud orang Moro ini, 

namun  belum dapat. 

“Kau tak perhatikan aku, Wira.” 

“Teruskan Tuan Syahbandar.” 

“Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti 

sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid 

Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu 

saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani, 

pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu 

selesaikan pekerjaan ini.” 

Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya 

hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan 

Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi. 

Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini 

pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang 

tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati, 

tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari 

bumi Tuban. 

Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya 

Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk 

terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat 

perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak 

resmi dari praja itu. 

Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari 

pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, 

dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar-

benamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki 

Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak 

sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam 

pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak 

dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan 

pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan 

direncanakan oleh perusuh. 

“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih. 

“Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak. 

Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, 

pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagang-

pedagang Islam yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman ” 

“Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti.” 

“Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang 

bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi 

Sayid Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.” 

“Belum, Gusti.” 

“Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari 

luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu, 

kebesaran Tuban. rusak?” 

“Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti.” 

“Berangkatlah dengan sejahtera.” 

Dan ia pun berangkat. 

la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap 

itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji 

Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam 

hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih 

lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun 

pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh 

cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan 

pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. 

Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa 

lain, sebab  dia pun punya kepentingan dengan kematianku 

pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: 

menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki 

Aji Benggala jelas akan membunuh aku. 

Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang 

pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan 

orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain 

pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap 

diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap 

matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu 

tengkorak . Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan 

membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya? 

Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan 

Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap 

dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam. 

Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, 

sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah 

pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat 

Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia 

sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah 

sebagai raja muda. 

“Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri 

merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada 

satu kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan  dicintai dan 

dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin 

orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira 

mengerti perbandingan ini.” 

Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar 

Tuban menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga 

Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, lalu  ia 

akan menghadap Sang Adipati dan memohon agar tengkorak  

dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki 

apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat 

meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui 

tengkorak  sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat 

mempengaruhi Sang Adipati. 

namun  mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin 

terhadap Gelar, anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah 

ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah, 

mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat 

yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh 

terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, 

memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran? 

Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung… ia 

teringat pada kata-kata mayat  arwah  tentang burung-

burung. 

Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai 

petani memasuki pedalaman. 

Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya 

nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar 

ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada 

mereka dijawab seperlunya tanpa kemayat han dan tiada di 

antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan 

menginap. 

Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah 

dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di 

tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga 

berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya. 

Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu 

juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum 

juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari 

desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para 

pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di 

situ bersama tiga orang temannya untuk dapat 

mendengarkan seorang rsi -pembicara dari seberang, yang 

mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, 

lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa 

semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara 

dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar-

pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti 

betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: rsi  itu 

membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya 

bahasanya juga aneh. 

Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di 

kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman 

mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya 

suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa 

yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong 

putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan 

mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata 

mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh 

para prajurit – tombak-tombak berburu. 

Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang 

tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. 

Yang termuda sekira dua belas tahun. 

Wirangmandala  melirik untuk dapat melihat rambut 

mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul 

Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan 

dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba 

putih – seperti bangau. 

“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak 

berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! 

Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke 

neraka.” 

“Betapa galak,” pikir Wirangmandala . sebelum kena tegur 

lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada 

bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.” 

“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!”  

“mandala , Bapa.” 

Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wirangmandala  

tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga 

menghias. 

“mandala ? Siapa tidak kenal mandala ? Biar pun kau juara 

gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari 

kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!” 

“Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dulu, siapa yang 

aku hadapi ini?” 

“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. 

Siapa hendak kau mata-matai?” 

“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji 

Benggala. Lain tidak.” 

“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang 

berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal 

Adipati Tuban.”  

“Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak 

memusuhinya?”  

“Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah 

orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap 

Jepara? Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten? Malaka 

tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal 

tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!” 

Mengertilah Wirangmandala , benar Ki Aji Benggala telah 

menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan 

dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar, 

Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencari-

cari Ki Aji Benggala – tak tahu tempatnya, – membawa 

surat untuk beliau – surat berbasa dan bertulisan Arab.” 

“Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab 

– munafik itu.” 

“Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu 

bukan dari Gusti Adipati – dari Tuan Syahbandar Tuban, 

dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen.” 

“Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi 

dari Syahbandar keparat itu.” 

“Mengapa keparat, Bapa?” 

“Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau 

bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku 

Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia 

meludah ke tanah. “Dia hanya budak kafir Peranggi. 

Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di 

sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari 

budak kafir Peranggi? Kau, si rambut panjang?” 

Wirangmandala  berusaha terus bicara dengan harapan 

pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya. 

sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang 

seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan 

itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya 

sendiri. 

“Budak dari budak kafir Peranggi,” ia bergumam. 

“Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa 

salahkan orang yang tidak tahu?” 

sesudah  tertawa melecehkan orang itu mengejek: 

“Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak 

tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, 

apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa 

tempat yang dijanjikan.” 

“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.” 

“Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, 

sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa 

sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa 

tempat yang dijanjikan.” 

“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?” 

“Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru 

nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu 

yang patut kau dengar sebelum mati.” 

Dan Wirangmandala  harus bicara terus. 

“Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak 

tahukah, Bapa, rangdesa mandala  ini pernah menyerang 

Peranggi di Malaka? 

“Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.” 

“Maka aku yang mengatakan.” 

“sebab nya makin jelas kebohonganmu.” 

Wirangmandala  kini dapat menjajagi betapa pengaruh 

Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati. 

“Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah 

itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan 

begini?” 

“Nanti dulu, jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil 

menengok sekilas ke belakang. “Lihat dulu surat yang aku 

bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.” 

“Jih!” orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar 

muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari 

pokal kafir hanyalah najis”. 

“Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang 

mereka. 

Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke 

belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal-

pengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata 

menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang 

tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela 

diri. 

“Jangan sentuh aku, kafir!” pekik orang tertua tak 

berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan 

kebencian, kejijikan dan penyesalan. 

Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandang-

pandangan satu sama lain dengan ketakutan. 

“Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa 

tombak,” gumam Syahbandar-muda. “Perdamaian yang 

sungguh tidak jujur, Bapa.” 

“Mata-mata! Telik!” pekik orang itu seperti gila. 

Suaranya menggaung di tepian rimba. “Allah mengutuk 

kau, dunia dan akhirat!” 

“Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah? Ataukah 

Bapa sama dengan Allah?” balas Syahbandar-muda. 

“Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. 

Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu 

sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada