nusantara awal abad 16 10
peluru lagi menyambar siku haluan,
dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar
lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung
itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam
laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan
serpihan besi beterbangan.
Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak
bermandi darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya.
Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi-
Riau-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang
itu binasa dengan kekalahan….
0o-dw-o0
Tumasik telah di depan mata.
“Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utama.
Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di
belakangnya mengikuti Wirangmandala . Semenanjung
nampak semakin nyata.
Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak.
Tumasik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang
lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ.
‘Tidak singgah, langsung ke Malaka.”
Gugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar
kembang.
sesudah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu
dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya
mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak
lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga
pendayung.
Wirangmandala naik ke atas tiang utama, menghampiri
juru-tinjau.
“Barangkali kapal bendera Jepara,” kata juru-tinjau.
Wirangmandala tak menanggapi. Memang kapal bendera
Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada
Aji Usup.
“Gustiku! Gustiku!” sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke
haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit,
dan kapal bendera yang somplak: “Gustiku, Gustiku! Ya
Allah, Gustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana
mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir
Peranggi. Gustiku! Gustiku!”
Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke
jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba:
“Gustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat
memenuhi janji.”
Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan
adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh
nampak seperti merpati compang-camping dalam
keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah
gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga.
Bendera Jepara, putih dengan gambar kupu-tarung, tidak
nampak – telah terbabat oleh peluru Portugis.
Aji Usup memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk.
Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masing-
masing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan
mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan
Wirangmandala turun ke biduk menuju ke kapal bendera,
naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang
menghilang ke dalamnya.
Mereka memasuki kamar Laksamana.
Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang.
Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang
itu.
Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di
atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin
nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di
sana-sini balut itu ditembusi darah.
Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang
nampak.
“Gusti, Gusti!” ratap Aji Usup.
Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak
lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: “Masih juga
terlambat kau, Aji Usup?”
“Inilah patik, Gusti, hukumlah patik!”
“Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna.”
“Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang menghadap,
Gusti,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patik, bunuhlah
patik, Gusti. Tak patut lagi patik mengabdi pada Gusti.
Gusti! Gusti!”
“Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati
janji.”
“Ampun, Gusti Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi,
namun seseorang telah mendorongnya keluar.
Wirangmandala mengantarkan Kusnan kembali ke biduk
Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang
pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti-
hentinya menangis. Dan juara gulat itu telah memutuskan
dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya
pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban
ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan
kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil
tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.
Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka
mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden
Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi.
Wirangmandala memerintahkan pada seluruh gugusan untuk
mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan
upacara berkabung.
“Sampaikan juga pada kapal-kapal Banten supaya
kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh
meneruskan pelayaran.”
Di Riau, kapal-kapal Riau-Jambi yang masih selamat
memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada
kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat:
selamat jalan pada armada yang pulang membawa
kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan
sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa
luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal.
Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk
memunggah perbekalan, lalu meneruskan pelayaran
ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus
mengiringkan.
Wirangmandala sempat melihat bagaimana orang
berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa
armada yang somplak compang-camping itu. Semua
mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang
nampak oleh mereka bukan sisa armada, namun kegagahan
Peranggi.
Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan
Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba
mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar
Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwira-
perwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai
Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang
tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh
punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat
dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelas-
jelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju
Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan
membenarkan semua. namun juga membenarkan: Adipati
Unus satu-satunya orang yang berani berusaha
mempersatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani
melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan
kekalahan perang, namun kegagalan dalam mengatur
kekuatan sendiri. lalu ia menyimpulkan: armada
gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia mengangguk-
angguk mengerti.
Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang
datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal
berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal
bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal
bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas
mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap
peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak
kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi,
bahkan semakin memberati kapal.
Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang dibandingkan
kekalahan sendiri.
Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri
Sultan Demak, juga datang mengelu-elukan.
Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh
Wirangmandala turun ke biduk untuk menyertai Laksamana
mendarat.
Dari kapal bendera yang somplak compang-camping
diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat
di atasnya. Raden Kusnan dan Wirangmandala mendekati
tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke
darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.
Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah.
Semua orang bersimpuh dan menyembah.
“Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?” tanya Ratu.
“Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan
kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini – menyembah dan
mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.”
Wanita tua itu menghampiri putranya dan
menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari
balik balutan.
“Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu
sekarang tahu.
Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah
mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.”
Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu
mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua
mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang
bereampur dengan desau angin dan deburan laut:
“Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah
mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah
pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain
berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara
telah mendatangi dan menyerang mereka!”
“Perhatikan semua itu, seluruh kawula!” Adipati Unus
memperkuat dengan suara lemah. lalu keluar kata-
katanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “Adipati Unus
Jepara terluka, pulang tidak membawa kemenangan, tapi
tidak membawa kekalahan. Jepara sudah bertempur
melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai
oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana,
tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh
dunia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi
dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana
sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali
kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!”
Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wirangmandala
telah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul.
Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan
bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas
tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa.
Tiga hari Wirangmandala tinggal di Jepara sebagai
Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak
habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu
menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat
menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri
sambil bersungut-sungut: “Kafir! Pengkhianat dari Tuban!
Kafir!”
Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil
meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di Jepara
telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus
terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung
semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban.
Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri.
Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk
mendapatkan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua
tentang Tuban dan dari Tuban!”
Hatinya terluka.
Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu
Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten:
“Kau, Wirangmandala dari Tuban, kembali kau pada Gusti
Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati.
Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu permulaan
yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah
memberkahimu.”
Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan
langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera
memerintahkan mancal.
Jamal Konong, pemimpin gugusan Banten,
menghadangnya di dermaga: “Tuanku Wirangmandala ,
kepala gugusan Tuban,” katanya sambil menyembah dada,
“raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk
mendarat di Banten untuk selama-lamanya. Kami hendak
menyatakan bergabung dengan Jepara, namun tak ada
punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan
Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami
menggabung pada Tuanku.”
“Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?”
“Utuh, Tuanku.”
“Baik. Mari mancal.”
0o-dw-o0
Gugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara
menuju ke Tuban.
Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di
bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat
semua dalam keadan utuh dan selamat.
Waktu Wirangmandala mempersembahkan akan kapal-
kapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia
tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.
Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan.
0o-dw-o0
12. Timbulnya Kerincuhan
Wirangmandala mengangkat bocah yang sedang bermain-
main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat
dan kotor seperti bocah-bocah di desa.
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata
kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan
ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut
tertawa.
Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu
menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira sebab nya.
“Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu tengkorak
sedang di dapur.
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya
armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat
itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu… pasti ia tidak
akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini.
Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri,
menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah
lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas
ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat
melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan
itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi
Peranggi lebih penting dibandingkan menghancurkan sisa
kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi
membutuhkan pangkalan!
Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta
datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.
Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia
mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku
hanya seorang anak desa?”
“Sahaya, paduka Wira.”
“Husy.” tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya:
“Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.”
“Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.”
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya
dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang.
“Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya,
Jepara kalah. Mau apa lagi?”
“Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira?”
“Apa itu paduka?”
“Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira?
“Apa itu bendara? Ya, Peranggi memang hebat.”
“Baru saja sahaya dengar, paduka Wira….”
“Husy. Apa yang kau dengar?”
“sesudah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka
tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu
mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi
sesudah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai
mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian,
Wira?”
Kening Wirangmandala mengernyit. Tanpa bicara ia
serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki
gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang
dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke
bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru
pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan
masuk ke dalam gedungnya.
Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman
Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis.
‘Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira,” katanya
sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung.
Wirangmandala melompat masuk ke dalam.
“Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,”
sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di
belakang meja tulis.
“Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke
tangan Peranggi sesudah Jepara kalah?”
Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan
berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya:
“Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah
kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh
dunia. Lupa kau sudah? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat
sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau
mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita,
rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah
kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana
manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka
menggunakannya.” Kata-katanya membanjir seakan tak
bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan
dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan
hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan
dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.”
Wirangmandala pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu
masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari
Syahbandar membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak,
tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar
Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wirangmandala akan
ikut serta melakukannya!
Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya
sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.
Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya
Paman Marta telah menunggunya membawa Gelar yang
meronta-ronta dalam gendongan.
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya
sendiri.
Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan
meronta. Matanya sayu, lalu jatuh tertidur dengan
kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan
diletakkan si bocah di atas ambin.
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya
Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar
Tuban itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. lalu
ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin
menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala
yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang
bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung
bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia
mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.
Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat
lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali
memasuki kamar ini…
0o-dw-o0
Nyi Gede Kati mengira tengkorak telah mati di ujung
cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga
sebab kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu
apa lagi, seperti tak sedarkan diri.
Bekas penrsi s harem itu masuk sambil melindungi si
bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan
dari Wirangmandala .
“Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali,
Wira,” katanya.
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati
mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya.
“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? tengkorak sedang
tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk
membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar
aku gendong bayi itu.”
“Jangan!” Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya
nampak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. tengkorak
berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang mandala ’.
Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.”
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap
waspada mendekati tengkorak , yang tergolek di ambin.
Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: “tengkorak ,
pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka
hidupmu, Nak.”
“Dia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat
membetulkan.
‘Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk
menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk
menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan
dicintai.”
“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah
mandala .
“Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya,
seorang wanita utama, dikagumi semua orang. tengkorak , ah,
tengkorak !”
“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya.
“Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini,
tengkorak . Manakah darahmu, biar kucium sebagai
penghormatan dari semua yang mencintaimu?”
“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia
membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede
meneruskan ratapannya.
Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh tengkorak ,
dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak
padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau,
Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada
Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung
cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.”
“Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?”
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan
pada leher tengkorak . Ia dekatkan matanya pada leher itu dan
baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan
leher itu pun tidak cedera.
“Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?”
“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat
buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.”
Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi
dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa
banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula
cerita tengkorak tentang impiannya yang temyata kejadian
sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah
membicarakannya: tengkorak terkena bius setiap habis pulang
dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka
membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau
percaya? Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan
seorang bayi itu anaknya atau tidak?
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya.
Ia pandangi tengkorak yang lelap-nyenyak mendekati pingsan.
Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung
cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata
itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau
senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas.
Mengapa yang menderita harus menerima hukuman?
Mengapa bukan si penyebab penderitaan?
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombak-
tombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu
menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu
terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga
keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya.
“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku
punahkan.”
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang
Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus
membatalkan pelepasan dendam terhadap musuh-
pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat
menampung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan
tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah
mematah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban.
namun lalu melengking suara mayat arwah yang
mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan
kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati
yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan
itu terpanggil tanpa restu seorang raja.
Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja
Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan
aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku
keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang
banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku
mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan
langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati
penghalang jalanan ini!
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat
kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan
tangan telanjang menuju ke gedung utama.
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang
kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting
telah memerlukan tenaganya….
Tidak lebih dari sebulan sesudah kedatangannya dan
Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah
menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara
kapal-kapalnya datang ke sana, namun hanya mencari lada
dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi
diikuti dengan perkelahian kecil di darat. lalu kapal-
kapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok
bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah
melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua
minggu Portugis menduduki Sabang, lalu pergi lagi
ke Malaka.
Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai
kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, lalu juga di perairan Jawa sendiri.
Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk
memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam
hati para raja Nusantara. namun pemboikotan
sesungguhnya bukan sebab seruan itu. Para raja Nusantara
memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di
Malaka.
Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang
populer.
Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja
selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan
bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka
membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan
mereka.
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya
telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka
bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu
abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang
pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak
akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan
Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi
kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani
memayat lkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya
adalah sebab masih disibuki oleh perkara-perkara lain.
Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk
memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, mencerai-
beraikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan,
membunuhi dan membinasakan pedagang-pedagang
pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini
memegang monopoli atas Maluku.
Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban
merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan
sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak
laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.
Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati
Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak
habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya
Tuban membantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin
Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli
pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau
Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang
sekarang ini.
Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan
jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh
Nusantara. Nasi telah menjadi bubur.
Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi
berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka
bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten,
Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai.
Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan
hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban.
Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di
pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak
perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah
perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayu-
kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat….
Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik
dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada
yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya.
Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja.
Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan,
penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan
merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.
Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja
galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.
Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari
Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapal-
kapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka
toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan
dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman:
ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam
kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan
atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci,
memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban.
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama
mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam
menghormati dewa mereka. namun ada juga segolongan
kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka.
Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara
penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang
membenci kejayaan golongan Islam. Pertentangan-
pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang
lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan
mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar-
golongan.
Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para
pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam
juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-
pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada
usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa
dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa
perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah,
tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di
antara putra-putranya dari selir, sesudah sekian lama
mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di
barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu:
hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja
mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi,
sekalipun kalah. Tapi kelak?
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru.
Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita
tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewa-
dewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si
manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi
penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan
putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru
ini.
namun kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya
akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi
raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah
Tuban sudah berubah, dari mayat i menjadi lengang,
kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi
sepi.
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak
lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian
dari Malaka. Mereka ditampung dalam asmayat di luar kota.
Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk
melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah
dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis
di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan
dan minum.
Dan pada suatu hari, seluruh asmayat itu kosong. isinya
hilang-lenyap tanpa bekas.
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk
melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa
mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar
Tuban.
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang
Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu
telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai
maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu
ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia
memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti
kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu
meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di
pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa.
Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga
mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk
mendirikan perrsi an untuk mengembangkan agama baru
itu. Masih juga ia memohon tambahan desa.
Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah
menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan
luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah
dikenal selama itu, yang menyebabkan penduduk desa
bekerja dua kali lipat dibandingkan biasanya. Perumahan
didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga
memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa
batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa
yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya
menjadi patuh padanya.
Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar
itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban.
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa
itu mengibarkan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia
tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orang-
orang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda
Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelopori
persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam
dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupati-
bupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan
keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula
yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan
berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam
pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah
mengambil sikap memusuhinya.
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru,
kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi… semua
itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju
pada dirinya.
Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh
prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan
Rangga Iskak di desa Rajeg.
Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di
Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru
pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun
di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam
hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan
sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putra-
putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah
sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban
terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan
Wirangmandala ke Demak sebab bagaimana pun putra-putra
itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan tengkorak
juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus
memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa
tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah
permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus
kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid
Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk
mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya.
Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wirangmandala
untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu,
biar apa pun kata orang tentang dirinya.
Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu:
perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan
balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban
akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi
Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang.
Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan
dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu,
bahwa orang-orang Tionghoa yang mendapat perlindungan
di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa
mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum
memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara
suatu permulaan, namun kekalahannya di Malaka juga
menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman
itu sudah setimpal dengan kejahatannya.
Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya
sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai
kebencian terhadap perang – dan perang merugikan.
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi
Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg’adi ini: Bulan
sedang menerangi alam. Tengah malam.
Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan
seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang.
Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang
berjalan seorang diri dalam kesepian.
Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar.
Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah
meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi
ini.
Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga.
Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. lalu
ia berhenti.
Dan Wirangmandala yang berjalan agak jauh di
belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik
sebatang pohon asam.
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat.
Hilang-timbul di balik puncak ombak, lalu terayun
naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu
menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua
orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat.
Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut
salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu
matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang
pendarat itu dibandingkan kulitnya, juga membedakannya dari
kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana,
sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal
Portugis dengan layar-layar tergulung.
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid
Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu
lalu turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut
lagi, menuju ke kapal.
Wirangmandala mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar
taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang
itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini
Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendarat-
pendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini?
Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? Dan
adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada
Sang Patih?
Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati
tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap
gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan,
mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut
itu terlalu keras.
sesudah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia
berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik
ke atas.
Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur
nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia
memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun.
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya
persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia
perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu.
Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi
dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke
dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja
Syahbandar.
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di
hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar
dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya
tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah,
masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia
menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang
bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali
ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga
itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai
mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu
nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang
kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga.
Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka
mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata
dengan malas.
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka
masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak
dengan mata belum sepenuhnya terbuka.
Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari
adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat
pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata
Wirangmandala yang tajam mengancam dan wajahnya
terbuka.
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan
memohon ampun.
“Keparat kalian!” sumpah Wirangmandala berang dan
menyorong kepala mereka dengan kakinya. “Apakah kalian
kira sebab tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai
begini siang?”
“Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur
sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang
di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun,
ampun.”
‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.”
Mereka mencoba mencium kaki Wirangmandala , namun
Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki
lemah.
“Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur
berbareng seperti ini?”
“Justru sebab keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah
hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….”
“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga
keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini…”
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk
mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga
memberikan.
“Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian
lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk
penghabisan kali?”
“Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira….”
“Kemarin sore,” desak Syahbandar-muda.
“Betul. Masih ada di sini, Wira.”
”Apa diperbuatnya di sini?”
“Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.”
“Bangun kalian! Itu saja ceritanya?”
“Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira.
Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti
bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?”
“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian
tanyakan padanya sendiri?”
“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya
hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana
mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa
dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam,
katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh,
hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang
senang bergigi-hitam.”
“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan
Ispanya.”
“Diperintahkannya pada kami untuk membayang-
bayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan
Syahbandar, jangan sampai salah membayangkan. Rambut
mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila
tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya,
kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang
seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila
dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya
seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?”
“Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian
melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.”
“Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya,
Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara
celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke
Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu,
lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas
sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal
nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami.”
“Mengapa tertawa?”
“Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia
perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal
itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh
dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah
kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil
terus tertawa di belakang kami.”
“Apa lalu ?”
“Kami kira dia sedang mabok tuak. sesudah itu dia turun
dan pergi entah ke mana.”
“lalu kalian makan,” Wirangmandala mendakwa.
‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.”
“lalu kalian minum.”
“Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.”
“Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?”
“Tidak, Wira. Hanya minum.”
“Terlalu banyak tuak,” Wirangmandala mendakwa
lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di
sini. Kami hanya minum dari gendi, lalu , entah
bagaimana…”
“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua
orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayoh, makan dulu
sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.”
“Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium
kakinya.
“Makan, kataku!” perintahnya Dan sesudah mereka
makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi,
“minum segera sebelum kita berangkat, sebab Sang Patih
sedang di luar kota.”
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada
antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat
seperti hendak bengkak.
“Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka bergumam berat,
lalu menggelesot tidur di geladak.
Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia
tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat
bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia
menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi.
Betapa jadinya kalau tengkorak dulu kubunuh? Dia telah
teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi
penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah.
tengkorak ! tengkorak ! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan.
Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau!
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah
ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib
dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya
matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya,
yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu
membayang-bayangkan?
Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian
dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan
sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul
bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam
tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah.
Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun
dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian
kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan
menuju ke dermaga.
Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke
atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu,
tapi lalu berjalan terus.
Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi mayat i. Wanita-
wanita berlari-larian membawa barang dagangannya
menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk
mendapatkan tempat terbaik. Menyusul lalu
pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau
menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah
dan sayur-mayur.
Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan
segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang
pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram,
dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan
meronta untuk lalu mati terkapar sekarang juga. Dia
akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan:
hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa
tengkorak lalu pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya.
Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang
noda itu tetap tiada kan terhapus.
Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan
persoalannya.
0o-dw-o0
Untuk pertama kali Wirangmandala ikut dalam iring-
iringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk
pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat.
Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol,
langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara
seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana
kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembah-
menyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari
pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup
dan keringat nampak membasahi punggung mereka.
Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan
sepotong kain, lalu memasukkannya ke dalam saku
baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain
nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya.
Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di
belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di
belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang
adalah dirinya.
Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan.
Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan
padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan
rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah
yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar?
Apa pula isi surat itu?
Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada
hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi.
Kalau tidak mengapa kapal berlabuh sesudah semalam
mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan
siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis
hubungan ini?
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala
makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya
telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir.
Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir
tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya.
Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain.
Mungkinkah sebab kebenciannya pada Sang Adipati ia
menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka?
Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.
Di penghadapan hanya Wirangmandala duduk di
kejauhan.
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak
pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar
Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo.
Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa
ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan
sekali ini nampak kehilangan wibawa.
Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamu-
tamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa
sesuatu persembahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada
Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk
pertama kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka
belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adat-
kebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir
menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk
pendatang-pendatang baru itu.
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu
Wirangmandala tak dapat melihat perubahan-perubahan pada
wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis
mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung
keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan
Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: “Bukan
maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang
menuju ke Pasuruan atau Panarukan, namun sesat di jalan.
Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami
mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat
perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah
jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah.
Tentang ini akan kami persembahkan nanti…”
“Gusti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke
Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa,
bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini
telah mengenal Peranggi, sebab dunia ada di tangan kami.
Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan
lain….”
“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang Adipati gusar.
“Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti,” tambah
Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.”
“Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti.”
Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar
meneruskan: “Kami datang dan membutuhkan beras,
sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang
akan kami bayarkan. Mas Peranggi.”
“Tuan Syahbandar,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk
urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar?
Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati
Tuban?”
Sekilas Wirangmandala dapat melihat wajah Sang Adipati
dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam
sebab tersinggung. Sebentar saja:
Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga
Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam
kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan
pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka.
Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih:
“Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?”
“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang
mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya
mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya,”
sembah Sang Patih.
“Ampun, Gusti Adipati Tuban,” Syahbandar
meneruskan. “Adapun pekerjaan patik memang menrsi si
semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.”
“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi
kebutuhannya.”
Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang
Portugis kembali ke pelabuhan.
0o-dw-o0
Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya
menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wirangmandala
ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan
orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar
bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan.
Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka.
“Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang
Peranggi itu!”
Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah
terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan
awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang
memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam
pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.
“Wira! Syahbandar-muda!” dua orang berlarian
menghampiri. “Mereka merampas, mengamuk dan
melukai.”
Dalam Melayu Wirangmandala berseru-seru: “Peranggi,
hentikan!”
Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam
kepungan beberapa belas orang Portugis.
“Syahbandar-muda bicara di bandarnya’ ia berseru
dengan nada memperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian.
Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!”
Orang-orang Portugis itu mengejek dan
mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka
memperlihatkan sikap hendak menyerang.
“Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda,
Wirangmandala , sudah bicara. Kembali! Kembali!”
Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada
mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya
perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking.
Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang
lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung
seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil
memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orang-
orang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu
berjalan hanya beberapa detik. lalu ia sempat
menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan,
lalu ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas teman-
temannya sendiri.
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu
nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia
rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya.
Beberapa kali kepalanya menggeleng sebab terkena tetakan
dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan
tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang
dapat ditangkapnya.
Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan
orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada
kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi
kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling
untuk membubarkan kepungan.
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya,
jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar.
Kawan-kawannya merubungnya.
“Kembali! Kembali ke kapal!” raung Wirangmandala .
Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang
berlabuh.
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu.
Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis
mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya.
Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambat-
lambat mulai lenyap dibawa angin lalu.
Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar
segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan
lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan
tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah
begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan teman-
temannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah
bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi? Belum lagi
mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak
tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau….
Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah
Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan
orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa
Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan
kerisnya pada tubuh orang terbenci itu?
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan:
Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah
mencederai orang-orang Peranggi. Wirangmandala ! Tidak
lain dari Wirangmandala ! Dan di Tubanlah mereka dicederai!
Di Tuban!
Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesar-
pembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu
atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar.
Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.
Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang
sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan
hendak mendengarkan berita yang lebih baru.
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka.
Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala
sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan:
“Kau benar, Wira, kau benar.”
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan,
berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir
semua akan jadi baik lagi seperti dulu sebab berbaik
dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru.
Kete