nusantara awal abad 16 10

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 10



  peluru lagi menyambar siku haluan, 

dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar 

lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung 

itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam 

laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan 

serpihan besi beterbangan. 

Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak 

bermandi darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya. 

Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi-

Riau-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang 

itu binasa dengan kekalahan…. 

0o-dw-o0 

 

Tumasik telah di depan mata. 

“Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utama. 

Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di 

belakangnya mengikuti Wirangmandala . Semenanjung 

nampak semakin nyata. 

Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak. 

Tumasik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang 

lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ. 

‘Tidak singgah, langsung ke Malaka.” 

Gugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar 

kembang. 

sesudah  setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu 

dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya 

mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak 

lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga 

pendayung. 

Wirangmandala  naik ke atas tiang utama, menghampiri 

juru-tinjau. 

“Barangkali kapal bendera Jepara,” kata juru-tinjau. 

Wirangmandala  tak menanggapi. Memang kapal bendera 

Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada 

Aji Usup. 

“Gustiku! Gustiku!” sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke 

haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, 

dan kapal bendera yang somplak: “Gustiku, Gustiku! Ya 

Allah, Gustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana 

mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir 

Peranggi. Gustiku! Gustiku!” 

Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke 

jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: 

“Gustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat 

memenuhi janji.” 

Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan 

adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh 

nampak seperti merpati compang-camping dalam 

keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah 

gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. 

Bendera Jepara, putih dengan gambar kupu-tarung, tidak 

nampak – telah terbabat oleh peluru Portugis. 

Aji Usup memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk. 

Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masing-

masing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan 

mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan 

Wirangmandala  turun ke biduk menuju ke kapal bendera, 

naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang 

menghilang ke dalamnya. 

Mereka memasuki kamar Laksamana. 

Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang. 

Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang 

itu. 

Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di 

atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin 

nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di 

sana-sini balut itu ditembusi darah. 

Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang 

nampak. 

“Gusti, Gusti!” ratap Aji Usup. 

Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak 

lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: “Masih juga 

terlambat kau, Aji Usup?” 

“Inilah patik, Gusti, hukumlah patik!” 

“Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna.” 

“Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang menghadap, 

Gusti,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patik, bunuhlah 

patik, Gusti. Tak patut lagi patik mengabdi pada Gusti. 

Gusti! Gusti!” 

“Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati 

janji.” 

“Ampun, Gusti Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi, 

namun  seseorang telah mendorongnya keluar. 

Wirangmandala  mengantarkan Kusnan kembali ke biduk 

Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang 

pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti-

hentinya menangis. Dan juara gulat itu telah memutuskan 

dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya 

pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban 

ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan 

kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil 

tindakan terhadap bekas pimpinannya itu. 

Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka 

mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden 

Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. 

Wirangmandala  memerintahkan pada seluruh gugusan untuk 

mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan 

upacara berkabung. 

“Sampaikan juga pada kapal-kapal Banten supaya 

kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh 

meneruskan pelayaran.” 

Di Riau, kapal-kapal Riau-Jambi yang masih selamat 

memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada 

kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat: 

selamat jalan pada armada yang pulang membawa 

kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan 

sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa 

luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal. 

Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk 

memunggah perbekalan, lalu  meneruskan pelayaran 

ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus 

mengiringkan. 

Wirangmandala  sempat melihat bagaimana orang 

berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa 

armada yang somplak compang-camping itu. Semua 

mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang 

nampak oleh mereka bukan sisa armada, namun  kegagahan 

Peranggi. 

Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan 

Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba 

mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar 

Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwira-

perwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai 

Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang 

tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh 

punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat 

dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelas-

jelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju 

Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan 

membenarkan semua. namun  juga membenarkan: Adipati 

Unus satu-satunya orang yang berani berusaha 

mempersatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani 

melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan 

kekalahan perang, namun  kegagalan dalam mengatur 

kekuatan sendiri. lalu  ia menyimpulkan: armada 

gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia mengangguk-

angguk mengerti. 

Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang 

datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal 

berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal 

bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal 

bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas 

mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap 

peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak 

kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi, 

bahkan semakin memberati kapal. 

Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang dibandingkan  

kekalahan sendiri. 

Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri 

Sultan Demak, juga datang mengelu-elukan. 

Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh 

Wirangmandala  turun ke biduk untuk menyertai Laksamana 

mendarat. 

Dari kapal bendera yang somplak compang-camping 

diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat 

di atasnya. Raden Kusnan dan Wirangmandala  mendekati 

tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke 

darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri. 

Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. 

Semua orang bersimpuh dan menyembah. 

“Pulang, kau, putraku, Adipati Unus?” tanya Ratu. 

“Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan 

kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini – menyembah dan 

mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.” 

Wanita tua itu menghampiri putranya dan 

menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari 

balik balutan. 

“Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu 

sekarang tahu. 

Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah 

mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.” 

Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu 

mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua 

mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang 

bereampur dengan desau angin dan deburan laut: 

“Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah 

mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah 

pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain 

berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara 

telah mendatangi dan menyerang mereka!” 

“Perhatikan semua itu, seluruh kawula!” Adipati Unus 

memperkuat dengan suara lemah. lalu  keluar kata-

katanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “Adipati Unus 

Jepara terluka, pulang tidak membawa kemenangan, tapi 

tidak membawa kekalahan. Jepara sudah bertempur 

melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai 

oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana, 

tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh 

dunia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi 

dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana 

sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali 

kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!” 

Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wirangmandala  

telah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul. 

Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan 

bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas 

tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa. 

Tiga hari Wirangmandala  tinggal di Jepara sebagai 

Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak 

habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu 

menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat 

menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri 

sambil bersungut-sungut: “Kafir! Pengkhianat dari Tuban! 

Kafir!” 

Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil 

meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di Jepara 

telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus 

terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung 

semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban. 

Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri. 

Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk 

mendapatkan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua 

tentang Tuban dan dari Tuban!” 

Hatinya terluka. 

Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu 

Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: 

“Kau, Wirangmandala  dari Tuban, kembali kau pada Gusti 

Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati. 

Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu permulaan 

yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah 

memberkahimu.” 

Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan 

langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera 

memerintahkan mancal. 

Jamal Konong, pemimpin gugusan Banten, 

menghadangnya di dermaga: “Tuanku Wirangmandala , 

kepala gugusan Tuban,” katanya sambil menyembah dada, 

“raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk 

mendarat di Banten untuk selama-lamanya. Kami hendak 

menyatakan bergabung dengan Jepara, namun  tak ada 

punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan 

Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami 

menggabung pada Tuanku.” 

“Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap?” 

“Utuh, Tuanku.” 

“Baik. Mari mancal.” 

0o-dw-o0 

 

Gugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara 

menuju ke Tuban. 

Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di 

bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat 

semua dalam keadan utuh dan selamat. 

Waktu Wirangmandala  mempersembahkan akan kapal-

kapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia 

tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat. 

Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan. 

0o-dw-o0 

 

12.  Timbulnya Kerincuhan 

Wirangmandala  mengangkat bocah yang sedang bermain-

main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat 

dan kotor seperti bocah-bocah di desa. 

Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata 

kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan 

ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut 

tertawa. 

Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu 

menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira sebab nya. 

“Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu tengkorak  

sedang di dapur. 

Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya 

armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat 

itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu… pasti ia tidak 

akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini. 

Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, 

menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah 

lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas 

ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat 

melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan 

itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi 

Peranggi lebih penting dibandingkan  menghancurkan sisa 

kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi 

membutuhkan pangkalan! 

Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta 

datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah. 

Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia 

mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku 

hanya seorang anak desa?” 

“Sahaya, paduka Wira.” 

“Husy.” tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: 

“Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.” 

“Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.” 

Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya 

dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang. 

“Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, 

Jepara kalah. Mau apa lagi?” 

“Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira?” 

“Apa itu paduka?” 

“Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira? 

“Apa itu bendara? Ya, Peranggi memang hebat.” 

“Baru saja sahaya dengar, paduka Wira….” 

“Husy. Apa yang kau dengar?” 

“sesudah  Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka 

tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu 

mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi 

sesudah  itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai 

mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, 

Wira?” 

Kening Wirangmandala  mengernyit. Tanpa bicara ia 

serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki 

gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang 

dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke 

bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru 

pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan 

masuk ke dalam gedungnya. 

Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman 

Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis. 

‘Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira,” katanya 

sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung. 

Wirangmandala  melompat masuk ke dalam. 

“Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,” 

sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di 

belakang meja tulis. 

“Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke 

tangan Peranggi sesudah  Jepara kalah?” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan 

berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: 

“Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah 

kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh 

dunia. Lupa kau sudah? Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat 

sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau 

mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, 

rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah 

kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana 

manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka 

menggunakannya.” Kata-katanya membanjir seakan tak 

bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan 

dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan 

hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan 

dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.” 

Wirangmandala  pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu 

masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari 

Syahbandar membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, 

tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar 

Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wirangmandala  akan 

ikut serta melakukannya! 

Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya 

sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan. 

Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya 

Paman Marta telah menunggunya membawa Gelar yang 

meronta-ronta dalam gendongan. 

Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya 

sendiri. 

Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan 

meronta. Matanya sayu, lalu  jatuh tertidur dengan 

kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan 

diletakkan si bocah di atas ambin. 

Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya 

Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar 

Tuban itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. lalu  

ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin 

menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala 

yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang 

bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung 

bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia 

mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu. 

Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat 

lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali 

memasuki kamar ini… 

0o-dw-o0 

 

Nyi Gede Kati mengira tengkorak  telah mati di ujung 

cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga 

sebab  kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu 

apa lagi, seperti tak sedarkan diri. 

Bekas penrsi s harem itu masuk sambil melindungi si 

bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan 

dari Wirangmandala . 

“Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, 

Wira,” katanya. 

Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati 

mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya. 

“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? tengkorak  sedang 

tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk 

membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar 

aku gendong bayi itu.” 

“Jangan!” Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya 

nampak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. tengkorak  

berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang mandala ’. 

Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.” 

Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap 

waspada mendekati tengkorak , yang tergolek di ambin. 

Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: “tengkorak , 

pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka 

hidupmu, Nak.” 

“Dia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat 

membetulkan. 

‘Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk 

menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk 

menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan 

dicintai.” 

“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah 

mandala . 

“Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, 

seorang wanita utama, dikagumi semua orang. tengkorak , ah, 

tengkorak !” 

“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya. 

“Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini, 

tengkorak . Manakah darahmu, biar kucium sebagai 

penghormatan dari semua yang mencintaimu?” 

“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia 

membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede 

meneruskan ratapannya. 

Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh tengkorak , 

dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak 

padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau, 

Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada 

Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung 

cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.” 

“Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?” 

Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan 

pada leher  tengkorak . Ia dekatkan matanya pada leher itu dan 

baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan 

leher itu pun tidak cedera. 

“Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?” 

“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat 

buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.” 

Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi 

dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya. 

Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa 

banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula 

cerita tengkorak  tentang impiannya yang temyata kejadian 

sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah 

membicarakannya: tengkorak  terkena bius setiap habis pulang 

dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka 

membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau 

percaya? Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan 

seorang bayi itu anaknya atau tidak? 

Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. 

Ia pandangi tengkorak  yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. 

Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung 

cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata 

itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau 

senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas. 

Mengapa yang menderita harus menerima hukuman? 

Mengapa bukan si penyebab penderitaan? 

Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombak-

tombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu 

menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu 

terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga 

keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya. 

“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku 

punahkan.” 

Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang 

Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus 

membatalkan pelepasan dendam terhadap musuh-

pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat 

menampung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan 

tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah 

mematah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban. 

namun  lalu  melengking suara mayat  arwah  yang 

mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan 

kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati 

yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan 

itu terpanggil tanpa restu seorang raja. 

Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja 

Sayid Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan 

aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku 

keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang 

banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku 

mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan 

langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati 

penghalang jalanan ini! 

Kedua belah tangannya menggigil dan keringat 

kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan 

tangan telanjang menuju ke gedung utama. 

Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang 

kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting 

telah memerlukan tenaganya…. 

Tidak lebih dari sebulan sesudah  kedatangannya dan 

Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah 

menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara 

kapal-kapalnya datang ke sana, namun  hanya mencari lada 

dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi 

diikuti dengan perkelahian kecil di darat. lalu  kapal-

kapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil. 

Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok 

bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah 

melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua 

minggu Portugis menduduki Sabang, lalu  pergi lagi 

ke Malaka. 

Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai 

kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan 

Selatan, lalu  juga di perairan Jawa sendiri. 

Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk 

memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam 

hati para raja Nusantara. namun  pemboikotan 

sesungguhnya bukan sebab  seruan itu. Para raja Nusantara 

memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di 

Malaka. 

Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang 

populer. 

Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja 

selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan 

bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka 

membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan 

mereka. 

Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya 

telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka 

bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu 

abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang 

pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak 

akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan 

Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi 

kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani 

memayat lkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya 

adalah sebab  masih disibuki oleh perkara-perkara lain. 

Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk 

memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, mencerai-

beraikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan, 

membunuhi dan membinasakan pedagang-pedagang 

pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini 

memegang monopoli atas Maluku. 

Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban 

merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan 

sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak 

laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri. 

Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati 

Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak 

habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya 

Tuban membantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin 

Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli 

pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau 

Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang 

sekarang ini. 

Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan 

jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh 

Nusantara. Nasi telah menjadi bubur. 

Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi 

berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka 

bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, 

Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai. 

Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan 

hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban. 

Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di 

pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak 

perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah 

perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayu-

kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat…. 

Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik 

dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada 

yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya. 

Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. 

Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, 

penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan 

merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman. 

Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja 

galangan tak dapat lagi mengharapkan upah. 

Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari 

Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapal-

kapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka 

toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan 

dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman: 

ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam 

kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan 

atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci, 

memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban. 

Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama 

mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam 

menghormati dewa mereka. namun  ada juga segolongan 

kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. 

Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara 

penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang 

membenci kejayaan golongan Islam. Pertentangan-

pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang 

lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan 

mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar-

golongan. 

Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para 

pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam 

juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-

pemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada 

usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa 

dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa 

perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, 

tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di 

antara putra-putranya dari selir, sesudah  sekian lama 

mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di 

barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: 

hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja 

mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, 

sekalipun kalah. Tapi kelak? 

Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. 

Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita 

tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewa-

dewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si 

manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi 

penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan 

putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru 

ini. 

namun  kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya 

akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi 

raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah 

Tuban sudah berubah, dari mayat i menjadi lengang, 

kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi 

sepi. 

Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak 

lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian 

dari Malaka. Mereka ditampung dalam asmayat  di luar kota. 

Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk 

melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah 

dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis 

di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan 

dan minum. 

Dan pada suatu hari, seluruh asmayat  itu kosong. isinya 

hilang-lenyap tanpa bekas. 

Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk 

melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa 

mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar 

Tuban. 

Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang 

Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu 

telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai 

maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu 

ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia 

memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti 

kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu 

meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di 

pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa. 

Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga 

mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk 

mendirikan perrsi an untuk mengembangkan agama baru 

itu. Masih juga ia memohon tambahan desa. 

Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah 

menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan 

luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah 

dikenal selama itu, yang menyebabkan penduduk desa 

bekerja dua kali lipat dibandingkan  biasanya. Perumahan 

didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga 

memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa 

batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa 

yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya 

menjadi patuh padanya. 

Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar 

itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban. 

Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa 

itu mengibarkan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia 

tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orang-

orang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda 

Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelopori 

persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam 

dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupati-

bupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan 

keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula 

yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan 

berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam 

pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah 

mengambil sikap memusuhinya. 

Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, 

kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi… semua 

itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju 

pada dirinya. 

Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh 

prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan 

Rangga Iskak di desa Rajeg. 

Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di 

Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru 

pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun 

di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam 

hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan 

sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putra-

putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah 

sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban 

terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul. 

Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan 

Wirangmandala  ke Demak sebab  bagaimana pun putra-putra 

itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan tengkorak  

juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus 

memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa 

tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah 

permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus 

kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid 

Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk 

mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. 

Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wirangmandala  

untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu, 

biar apa pun kata orang tentang dirinya. 

Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: 

perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan 

balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban 

akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi 

Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. 

Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan 

dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, 

bahwa orang-orang Tionghoa yang mendapat perlindungan 

di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa 

mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum 

memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara 

suatu permulaan, namun  kekalahannya di Malaka juga 

menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman 

itu sudah setimpal dengan kejahatannya. 

Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya 

sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai 

kebencian terhadap perang – dan perang merugikan. 

Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi 

Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg’adi ini: Bulan 

sedang menerangi alam. Tengah malam. 

Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan 

seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang. 

Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang 

berjalan seorang diri dalam kesepian. 

Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. 

Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah 

meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi 

ini. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. 

Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. lalu  

ia berhenti. 

Dan Wirangmandala  yang berjalan agak jauh di 

belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik 

sebatang pohon asam. 

Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. 

Hilang-timbul di balik puncak ombak, lalu  terayun 

naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu 

menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua 

orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat.  

Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut 

salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu 

matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang 

pendarat itu dibandingkan  kulitnya, juga membedakannya dari 

kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana, 

sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal 

Portugis dengan layar-layar tergulung. 

Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid 

Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu 

lalu  turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut 

lagi, menuju ke kapal. 

Wirangmandala  mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar 

taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang 

itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini 

Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendarat-

pendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini? 

Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka? Dan 

adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada 

Sang Patih? 

Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati 

tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap 

gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, 

mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut 

itu terlalu keras. 

sesudah  orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia 

berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik 

ke atas. 

Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur 

nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia 

memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun. 

Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya 

persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia 

perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. 

Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi 

dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan. 

Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke 

dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja 

Syahbandar. 

Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di 

hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar 

dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya 

tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, 

masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia 

menginjakkan kaki di bumi Tuban. 

Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang 

bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang. 

Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali 

ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga 

itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai 

mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu 

nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang 

kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga. 

Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka 

mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata 

dengan malas. 

Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka 

masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak 

dengan mata belum sepenuhnya terbuka. 

Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari 

adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat 

pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata 

Wirangmandala  yang tajam mengancam dan wajahnya 

terbuka. 

Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan 

memohon ampun. 

“Keparat kalian!” sumpah Wirangmandala  berang dan 

menyorong kepala mereka dengan kakinya. “Apakah kalian 

kira sebab  tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai 

begini siang?” 

“Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur 

sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang 

di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, 

ampun.” 

‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.” 

Mereka mencoba mencium kaki Wirangmandala , namun  

Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki 

lemah. 

“Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur 

berbareng seperti ini?” 

“Justru sebab  keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah 

hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….” 

“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga 

keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini…” 

Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk 

mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga 

memberikan. 

“Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian 

lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk 

penghabisan kali?” 

“Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira….” 

“Kemarin sore,” desak Syahbandar-muda. 

“Betul. Masih ada di sini, Wira.” 

”Apa diperbuatnya di sini?” 

“Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.” 

“Bangun kalian! Itu saja ceritanya?” 

“Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira. 

Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti 

bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?” 

“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian 

tanyakan padanya sendiri?” 

“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya 

hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana 

mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa 

dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, 

katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, 

hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang 

senang bergigi-hitam.” 

“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan 

Ispanya.” 

“Diperintahkannya pada kami untuk membayang-

bayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan 

Syahbandar, jangan sampai salah membayangkan. Rambut 

mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila 

tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya, 

kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang 

seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila 

dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya 

seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?” 

“Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian 

melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.” 

“Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, 

Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara 

celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke 

Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu, 

lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas 

sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal 

nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami.” 

“Mengapa tertawa?” 

“Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia 

perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal 

itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh 

dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah 

kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil 

terus tertawa di belakang kami.”  

“Apa lalu ?” 

“Kami kira dia sedang mabok tuak. sesudah  itu dia turun 

dan pergi entah ke mana.” 

“lalu  kalian makan,” Wirangmandala  mendakwa. 

‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.”  

“lalu  kalian minum.”  

“Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.”  

“Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?”  

“Tidak, Wira. Hanya minum.”  

“Terlalu banyak tuak,” Wirangmandala  mendakwa 

lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di 

sini. Kami hanya minum dari gendi, lalu , entah 

bagaimana…” 

“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua 

orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayoh, makan dulu 

sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.”  

“Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium 

kakinya.  

“Makan, kataku!” perintahnya Dan sesudah  mereka 

makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, 

“minum segera sebelum kita berangkat, sebab  Sang Patih 

sedang di luar kota.” 

Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada 

antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat 

seperti hendak bengkak.  

“Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka bergumam berat, 

lalu  menggelesot tidur di geladak. 

Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia 

tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia. 

Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat 

bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia 

menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi. 

Betapa jadinya kalau tengkorak  dulu kubunuh? Dia telah 

teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi 

penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. 

tengkorak ! tengkorak ! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan. 

Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau! 

Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah 

ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib 

dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya 

matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, 

yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu 

membayang-bayangkan? 

Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian 

dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan 

sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul 

bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam 

tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. 

Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun 

dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian 

kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan 

menuju ke dermaga. 

Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke 

atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, 

tapi lalu  berjalan terus. 

Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi mayat i. Wanita-

wanita berlari-larian membawa barang dagangannya 

menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk 

mendapatkan tempat terbaik. Menyusul lalu  

pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau 

menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah 

dan sayur-mayur. 

Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan 

segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang 

pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, 

dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan 

meronta untuk lalu  mati terkapar sekarang juga. Dia 

akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: 

hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa 

tengkorak  lalu  pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya. 

Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang 

noda itu tetap tiada kan terhapus. 

Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan 

persoalannya. 

0o-dw-o0 

 

Untuk pertama kali Wirangmandala  ikut dalam iring-

iringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk 

pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. 

Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, 

langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara 

seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana 

kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembah-

menyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari 

pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup 

dan keringat nampak membasahi punggung mereka. 

Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan 

sepotong kain, lalu  memasukkannya ke dalam saku 

baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain 

nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya. 

Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di 

belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di 

belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang 

adalah dirinya. 

Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. 

Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan 

padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan 

rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah 

yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar? 

Apa pula isi surat itu? 

Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada 

hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. 

Kalau tidak mengapa kapal berlabuh sesudah  semalam 

mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan 

siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis 

hubungan ini? 

Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala 

makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya 

telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. 

Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir 

tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. 

Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. 

Mungkinkah sebab  kebenciannya pada Sang Adipati ia 

menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka? 

Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan. 

Di penghadapan hanya Wirangmandala  duduk di 

kejauhan. 

Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak 

pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar 

Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. 

Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa 

ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan 

sekali ini nampak kehilangan wibawa. 

Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamu-

tamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa 

sesuatu persembahan. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada 

Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk 

pertama kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka 

belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adat-

kebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir 

menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk 

pendatang-pendatang baru itu. 

Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu 

Wirangmandala  tak dapat melihat perubahan-perubahan pada 

wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis 

mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung 

keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan 

Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: “Bukan 

maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang 

menuju ke Pasuruan atau Panarukan, namun  sesat di jalan. 

Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami 

mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat 

perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah 

jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah. 

Tentang ini akan kami persembahkan nanti…” 

“Gusti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke 

Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa, 

bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini 

telah mengenal Peranggi, sebab  dunia ada di tangan kami. 

Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan 

lain….” 

“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang Adipati gusar. 

“Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti,” tambah 

Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.” 

“Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti.” 

Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar 

meneruskan: “Kami datang dan membutuhkan beras, 

sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang 

akan kami bayarkan. Mas Peranggi.” 

“Tuan Syahbandar,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk 

urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar? 

Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati 

Tuban?” 

Sekilas Wirangmandala  dapat melihat wajah Sang Adipati 

dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam 

sebab  tersinggung. Sebentar saja: 

Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga 

Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap. 

Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam 

kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan 

pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka. 

Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: 

“Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?” 

“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang 

mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya 

mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya,” 

sembah Sang Patih. 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban,” Syahbandar 

meneruskan. “Adapun pekerjaan patik memang menrsi si 

semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.” 

“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi 

kebutuhannya.” 

Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang 

Portugis kembali ke pelabuhan. 

0o-dw-o0 

 

Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya 

menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wirangmandala  

ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani. 

Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan 

orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar 

bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. 

Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka. 

“Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang 

Peranggi itu!” 

Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah 

terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan 

awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang 

memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam 

pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas. 

“Wira! Syahbandar-muda!” dua orang berlarian 

menghampiri. “Mereka merampas, mengamuk dan 

melukai.” 

Dalam Melayu Wirangmandala  berseru-seru: “Peranggi, 

hentikan!” 

Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam 

kepungan beberapa belas orang Portugis. 

“Syahbandar-muda bicara di bandarnya’ ia berseru 

dengan nada memperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian. 

Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!” 

Orang-orang Portugis itu mengejek dan 

mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka 

memperlihatkan sikap hendak menyerang. 

“Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, 

Wirangmandala , sudah bicara. Kembali! Kembali!”  

Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada 

mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya 

perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. 

Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang 

lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung 

seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil 

memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orang-

orang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu 

berjalan hanya beberapa detik. lalu  ia sempat 

menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, 

lalu  ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas teman-

temannya sendiri. 

Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu 

nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia 

rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. 

Beberapa kali kepalanya menggeleng sebab  terkena tetakan 

dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan 

tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang 

dapat ditangkapnya. 

Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan 

orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada 

kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi 

kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling 

untuk membubarkan kepungan. 

Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, 

jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. 

Kawan-kawannya merubungnya. 

“Kembali! Kembali ke kapal!” raung Wirangmandala . 

Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang 

berlabuh. 

Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. 

Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis 

mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. 

Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambat-

lambat mulai lenyap dibawa angin lalu. 

Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar 

segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan 

lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan 

tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah 

begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan teman-

temannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah 

bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi? Belum lagi 

mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak 

tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau…. 

Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah 

Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan 

orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa 

Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan 

kerisnya pada tubuh orang terbenci itu? 

Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: 

Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah 

mencederai orang-orang Peranggi. Wirangmandala ! Tidak 

lain dari Wirangmandala ! Dan di Tubanlah mereka dicederai! 

Di Tuban! 

Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesar-

pembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu 

atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar. 

Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak. 

Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang 

sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan 

hendak mendengarkan berita yang lebih baru. 

Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. 

Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala 

sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: 

“Kau benar, Wira, kau benar.” 

Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, 

berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir 

semua akan jadi baik lagi seperti dulu sebab  berbaik 

dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. 

Kete