nusantara awal abad 16 9

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 9



 ya. 

“Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.” 

Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. namun  ia pura-

pura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat 

suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan 

pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian 

kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita – tangis 

bahagia tanpa ukuran. 

“Kau kurus, tengkorak , Kau terlalu banyak menari.” 

“Ah, kau, Kang mandala , berapa bulan aku harus tunggu 

kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku 

seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang 

sudah mengintip di bawah jantung ini.” 

“Mengandung! Kau mengandung, tengkorak ?” ia letakkan 

kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain tengkorak . Ia ciumi 

anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya 

mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku 

sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau 

belaka, tengkorak , mereka semua memohon untuk 

kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga. 

Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka 

bilang, kau sudah mendapat karunia gelar….” 

Dan malam datang dengan cepatnya. 

Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak 

meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi 

malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu. 

tengkorak  tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati 

kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang 

sedang tergolek juga. 

Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang 

menembusi masa silam dan masa yang baru saja 

dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang 

punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugas-

tugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap 

berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil 

pekerjaannya itu. Sang Patih telah membawanya 

menghadap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada 

Sang Patih untuk mengundurkan diri, lalu  sendiri 

berkata padanya: ‘Tidak salah pilihanku, kau, 

Wirangmandala , kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah 

orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan 

kebesaran masa silam untuk Tuban. Mungkin kau sendiri 

belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu 

sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang 

seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau 

ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu 

rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering 

menari di sini.’ 

Ia berbesar hati sebab  semua pujian itu. Pujian dari 

Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang 

begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk 

menyediakan waktu guna memahami di mana hasil 

pekerjaannya di Jepara dan Demak selama ini.  

“Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya.  

“Terlampau lama kutinggalkan kau, tengkorak . Tak bisa 

lain.”  

“Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum 

juga menceritakan sesuatu.” 

“Aku rindu, tengkorak . Kau rindu juga?” dan tengkorak  tak 

menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?”  

“Aku selalu ketakutan, Kang.” 

“Aku tahu apa yang kau takutkan,” Wirangmandala  

membayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban. 

“namun  aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai 

melakukan itu.” 

tengkorak  merangkulnya. Suaranya gemetar: “Di tanganku 

ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan 

ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. sebab , Kang, dia 

datang dalam impian.” 

“Dan kata orang tua-tua,” Wirangmandala  meneruskan, 

”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih 

ingat itu, tengkorak ?” 

“Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada 

cundrik di tanganku.” 

“Kau sedang bercericau, tengkorak ! Bicaramu begini aneh,” 

dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa 

maksudmu?” 

Berceritalah tengkorak  tentang pengalaman mimpi yang 

berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari. 

Dan Wirangmandala  mendengarkan cermat-cermat 

sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari 

kekasihnya. 

Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang, 

sekiranya impian itu benar?” 

“Impian tinggallah impian.” 

“Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan 

anakmu?”  

“Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada.”  

“Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si 

anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan 

tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di 

samping bangkai ibunya. lalu  kau akan lari, lari, lari 

entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam 

hati. namun  tak ada tempat di mana kau akan pernah 

sampai. sebab  ingatanmu selahi akan kembali pada 

kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri….” 

“Kau semakin aneh, tengkorak . Diam, diamlah. Impian 

tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau 

haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di 

ladang?” 

tengkorak  terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: 

rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang 

itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan. 

Dan Wirangmandala  membiarkannya. Angan Syahbandar-

muda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang 

penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua 

dimulai dengan cipta, kata mayat  during. Semua itu tak 

bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin 

pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta? 

rsi -rsi nya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. 

Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa 

yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: 

kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaik-

baiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan 

inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran 

dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang 

Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan 

kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa 

restu seorang raja? Benar. Semua benar. Dan terpampang di 

hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: 

Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang 

menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau…. 

Semua akan terjadi sebab  jasa-nya, jasa Wirangmandala . 

Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. 

Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil 

kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba 

haridepan. Mereka tak tahu! 

Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia 

mengucapkan terimakasih pada mendiang mayat  arwah  

dan semua rsi -pembicaraan yang pernah didengamya. 

Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam 

hati suaminya, tengkorak  berbisik lembut: “Nampaknya desa 

kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasa-

rasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana.” 

“Sampai,” bisik juara gulat itu. 

“Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu, 

Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan 

berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita 

takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.” 

“Bisa.” 

“Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau 

tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan 

membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.” 

Wirangmandala  tertawa dan ditariknya kuping is trinya: 

“Makin tua kau makin cerewet.” 

Dan tengkorak  tetap memeluk suaminya, menekankan 

kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan 

deburan laut. 

Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan 

kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa 

batas. 

Apa kata mayat  arwah ? ‘Aku bicara tidak tentang 

kematian, namun  tentang kehidupan yang bercipta dan 

mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, sebab  tanpa 

dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’. 

Mengapa tengkorak  lebih suka bicara tentang kematian? Tidak 

betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan 

geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya 

mencipta. 

Pagi-pagi benar tengkorak  sudah memulai dengan kata-

katanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela 

rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan 

dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka Syahbandar 

Tuban. 

“Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu 

mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa 

kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu 

malam.” 

“Diam, tengkorak . Kau terganggu sebab  kandunganmu.” 

Wirangmandala  dapat menangkap kilat pada mata Thotib 

Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan 

cerita istrinya bukan tidak punya dasar. 

Namun ia tetap tidak menanggapi. 

0o-dw-o0 

 

11. Menyerang Malaka 

Duta Tuban yang menghadap Sultan Demak telah 

kembali dengan membawa serta Raden Kusnan, salah 

seorang putra Sang Adipati. 

Beberapa minggu sesudah  itu pasukan laut Tuban naik ke 

atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada 

dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima 

ratus prajurit laut akan berangkat meninggalkan Tuban. 

Dan genderang mayat i bertalu ditingkah oleh bunyi kenong. 

Prajurit-prajurit itu telah menjalani latihan ulangan 

selama tiga bulan. 

Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan 

para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk 

mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari 

galangan. Dan memang tak pernah selama kekuasaan 

Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi 

pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang. 

Tahun 1513 Masehi. 

Gugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden 

Kusnan. Wirangmandala  dengan resmi telah diangkat jadi 

pembantu-utamanya. Sang Adipati sendiri yang melantik 

beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: Jepara. 

Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, sebab  

nampaknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak 

dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik 

Tuban itu. 

Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati 

menjatuhkan titah kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan, 

kami percayakan gugusan pasukan laut Tuban ini. 

Berangkat kau sampai ke Jepara. Jangan tidak, bergabung 

kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang 

apa yang harus kau perbuat. sesudah  bergabung kau berada 

di bawah perintah Gusti Adipati Unus Jepara, yang akan 

bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu 

dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu 

dan anak-buahmu.” 

Layar-layar pun menggelembung dan lima buah 

kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan 

cetbang bikinan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup 

baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju 

pelayaran tidak dipergunakan. 

Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema 

bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat 

sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-umbul dan 

selendang dan tangan. 

Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan 

oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu 

berpisahan dengan alam dan manusia Tuban. 

Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah 

baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai 

membuka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di 

atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai 

merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu. 

Pada hari pertama itu Wirangmandala  lebih ban yak 

berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan 

diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang 

menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau 

tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak 

enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia 

akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus 

berjalan mondar-mandir begini ia harap akan mendapatkan 

daya-tahan yang mencukupi 

namun  penghormatan yang berlebihan itu membikin ia 

menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian orang. 

Dan ia tahu ia lebih diperhatikan dibandingkan  Raden Kusnan. 

Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih 

memperhatikan pejabat yang berasal dari orang 

kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, 

bukanlah suatu keluarbiasaan bila menduduki jabatan pen 

ting. namun  anak desa, hanya sebab  keist ime waan saja 

bisa meningkat ke atas. 

Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams 

beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya 

untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab 

pandang mata bawahannya dengan senyum mayat h. Ia 

dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan per-

hatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak 

bicara mereka yang nampak termenung-menung 

mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha 

menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat 

yang memperhatikan. 

Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia 

merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum 

layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi 

Syahbandar-muda selalu saja orang menyuguhkan pandang 

kagum seperti itu. Dan sebagai Syahbandar-muda ia pun 

masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan 

sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih 

banyak mondar-mandir dibandingkan  melakukan pengawasan. 

Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang 

pembikinan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda 

gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa. 

Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi 

kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa 

yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-

duanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam 

hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan 

waspada. 

Ia mulai mendapat ketentemayat nnya waktu matari sudah 

tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk 

barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan 

permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-

layar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondar-

mandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia 

sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada 

tengkorak , pada Gelar, si anak itu. 

Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang prajurit 

yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar 

olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya Gusti Adipati 

tidak berputra, pastilah Syahbandarmuda Wirangmandala  

yang memimpin gugusan kita ini.” 

Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. 

Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjung-

sanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat 

menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak. 

Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: 

Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan 

kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa 

lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. sebab : 

pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah. 

Pada malam pertama itu ia mendapat tugas melakukan 

pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah, 

di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda 

pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa. 

Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk 

merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya. 

Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya 

salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia 

menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan 

dengan diam-diam. 

“Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu? Orang 

bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu 

terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari 

tandunya! Mana pernah ada?” 

“Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat, 

takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang 

membantu mereka. Wirangmandala  dan tengkorak  merangkak 

bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan 

prihatin ke arah Sela Baginda.” 

“Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang 

menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita 

Wirangmandala . Siapa pun tahu di balik senyum dan 

kemayat hannya: batin yang teraniaya di bawah timbunan 

batu.” 

“Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang 

bilang tak mungkin tengkorak  mau dengan sukarela. Bahkan 

Sang Adipati pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia 

sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana 

mungkin tengkorak  bisa menerima burung aneh dari Espanya 

itu?” 

“Siapa tahu Guti Adipati sendiri yang memaksanya 

untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?” 

“Memang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan 

oleh Sang Adipati,” seorang lain menggarami. “Manusia 

terkutuk!” 

“Kalau Nyi Gede tengkorak  berani menantang maut 

menolak Gush Adipati, tak mungkin dia mau menerima 

Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan Gusti Adipati. Dia 

akan tetap memilih maut. Lagi pula apa sesungguhnya 

kepentingan Gusti Adipati? Ia sendiri memberahikannya.” 

“Lagi pula mengapa Gusti Adipati tak juga mangkat? 

Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis 

cantik kita.” 

Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan 

perasaannya masing-masing, iba pada Wirangmandala  dan 

istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap 

Syahbandar Tuban. 

“Kabamya Syahbandar-muda itu jarang pulang,” 

seseorang memulai lagi. 

“Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya – 

lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang itu-

itu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa.” 

“Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu?” 

“Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu. 

Celakanya dia dilindungi oleh Sang Adipati. Kalau tidak, 

sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban. 

Orang semacam itu tidak patut terkena keris. Pedang pun 

mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.” 

“Wirangmandala  sendiri yang sepatutnya melakukannya.” 

“Justru dia yang melarang anak-anak Tuban 

melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang, 

‘jangan’. Anak-anak Tuban bertanya, ‘mengapa jangan? itu 

bertentangan dengan adat Tuban’. Aku sendiri ikut waktu 

itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang, 

‘Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus 

dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban’”. 

“Jadi cerita itu bukan omong kosong?” 

“Tidak, aku sendiri menyaksikan.” 

“Ah.” 

“Coba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa 

tidak meluap? Orang asing pula. Dengan cara yang 

kurangajar pula.” 

“Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari 

kesyahbandaran. katanya berasal dari Nyi Gede Kati. tengkorak  

tidak dipaksa oleh Gusti Adipati untuk melayani Say id 

Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan 

obat bius setiap tengkorak  habis menari dari kadipaten.” 

Wirangmandala  berdiri dari duduknya, pergi menghindar 

bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru 

pelan: “Celaka! Bukankah itu Wirangmandala  sendiri?” 

Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri 

seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung 

melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir 

cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat 

pada cerita mayat  arwah  tentang lunas kapal-kapal 

Majapahit. 

Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan 

kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah 

setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan 

sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan 

perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul. 

Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi 

masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak 

lebih dari setengah tahun yang lampau…. 

0o-dw-o0 

 

Ia rasakan betapa lama tengkorak  pergi tetirah ke Awis 

Krambil dengan Nyi Gede Kati. Sang Adipati telah 

meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. 

Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serombongan 

orang untuk menandu pujaan Tuban yang akan melahirkan 

itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari 

ulung ini titahnya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung 

jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala si 

pelanggar.’ 

Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban. 

Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia 

sendiri tak mungkin berkunjung ke desa. 

lalu  datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang 

diri di dalam kamar. Ia lihat tengkorak  berjalan mengendap-

endap mendekati serambi. Perutnya telah kempes. Jelas ia 

sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya 

gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-elukan. 

Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga 

lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada 

suami untuk dibunuh. 

tengkorak  nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura 

tak melihat kalung melati itu. 

“Mengapa kau, tengkorak ? Kau begitu pucat!” 

Ia lihat tengkorak  memandangnya begitu sayu. Waktu 

ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan 

pada badan istrinya. 

Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung 

melati itu dan ia lemparkan ke pelataran. 

“Kau sakit.” 

“Tidakl” jawab tengkorak  tegas namun  menggigil. 

“Mana anakku?” 

tengkorak  menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab. 

Wirangmandala  merasa mau memekikkan tanya: matikah 

anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran. 

“Anakmu belum lahir, Kang.” 

“Kau sudah melahirkan, tengkorak .” 

“Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku,” 

jawab tengkorak  dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih 

juga terdengar gigilan di dalamnya. 

“Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke 

dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat 

Mana anakmu?” 

“Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang 

digendong Nyi Gede Kati.” 

“Beristirahatlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari 

untuk menjemput anaknya. 

tengkorak  mencegah, memegangi tangan dan berkata terbata-

bata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu 

itu,” tegahnya, “dengarkan dulu kata-kataku.” 

Ia duduk dan dengan isyarat memaksa istrinya duduk 

pula. 

Wajah tengkorak  yang pucat itu kelihatan memohon amat 

sangat dan bersungguh-sungguh. 

“Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu 

tentang impianku… dan anganku, dan cundrikku yang tiada 

berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian… Tuan 

Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang.” 

Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih 

juga terheran-heran. 

“Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan 

kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga 

bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni 

aku, Kang, Kang, Kang—” 

Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari 

balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali 

kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan 

tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya. 

Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini 

menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak 

nyata: “Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik 

pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia 

telah menerima seorang lelaki lain dalam impiannya.” 

“Dayu!” pekik Wirangmandala . 

“… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu. 

Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah 

bilang begitu juga pada Nyi Gede Kali. Sudah, Kang… 

ampunilah aku… istrimu yang tidak setia…” 

“Mengapa kau ini, Dayu?” 

Tangan tengkorak  yang gemetar itu masih memegangi mata 

cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada 

suaminya. 

“Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang mandala ….” 

Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia 

membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik 

waktu tengkorak  menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri. 

Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya. 

“tengkorak , tengkorak , adik si Kakang.” 

“Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti 

betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi,” 

suara tengkorak  tak lagi menggigil. “Telah kukumpulkan 

seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi 

saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?” suaranya 

merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas. 

“Tidur. Tidur. Kau lelah, tengkorak .” 

‘Tidak!” 

“Betapa menderita kau sebab  impian itu,” ia angkat 

istrinya dan ditidurkan di atas ambin. Tariklah nafas 

panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau 

hati sedang tidak tenang.” 

Kelibat bayang-bayang menyebabkan Wirangmandala  

menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi Gede 

Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada 

tangannya tergendong bayi dalam bungkusan. 

“Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.” 

“Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.” 

“Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan 

keluar. 

Nyi Gede Kati nampak waspada. 

“Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang 

untuk mengantarkannya untuk melihat ibunya.” 

“Mengapa hanya melihat?” 

“… melihat ibunya untuk penghabisan kali.” 

“Mengapa hanya untuk penghabisan kali?” 

“Barangkali susunya masih sempat diisapnya.” 

0o-dw-o0 

 

“Wiral” seseorang berteriak. 

Wirangmandala  terbangun dari kenangannya. Ia berjalan 

melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden 

Kusnan telah berdiri di hadapannya dengan bertolak-

pinggang. 

“Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?” 

“Malaka, Gusti,” jawabnya sambil menyembah. 

“Bedebah! Dari mana mereka tahu?” 

“Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, Gusti.” 

“Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan 

bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, 

Wira?” 

“Patik, Gusti.” 

“Pernah kau berperang, Wira?” 

“Belum, Gusti.” 

“Apalagi perang laut.” 

“Apalagi perang laut, Gusti.” 

“Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan 

kau.” 

Dari kata-katanya itu Wirangmandala  tahu, Raden Kusnan 

pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang 

laut. namun  ia tak menanggapi. 

Gugusan Tuban terus berlayar tanpa sesuatu halangan. 

Pada suatu senja sampailah gugusan itu di bandar 

Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal 

masing-masing untuk melihat Jepara yang beberapa tahun 

belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang 

terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke 

man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi 

milik Tuban. 

namun  pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu 

nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan 

beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali Wiso. 

Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden 

Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten 

Jepara. Di sana tak ada mereka jumpai Adipati Unus 

Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki 

Aji Kalijaga. 

Wirangmandala  melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan 

tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan 

terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: 

“Buyung! Mengapa Tuban lima hari terlambat datang?” 

Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun, 

Kakanda Aji, 

pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik 

Tidak lain dari ayahanda sendiri Gusti Adipati Tuban.” 

Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya. 

“Itu tidak patut,” katanya pelahan. “Biarpun seorang 

ayah, seorang adipati, orang tak patut membikin malu 

anaknya.” 

“Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda?” 

“Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah 

memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu 

kakandamu.” 

Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang 

masuk ke dalam kadipaten. 

Raden Kusnan dan Wirangmandala  kembali bergegas ke 

kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi isyarat 

pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan 

mengembangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua 

dayung. 

“Wira!” teriaknya memanggil pembantu-utamanya 

dengan nada berang. 

Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat 

wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini 

merah-hitam dibakar oleh kemarahan. 

“Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu 

tentang keterlambatan Tuban yang disengaja ini. Lima hari! 

Terlambat lima hari!” 

“Mereka semua sudah tahu, Gusti.” 

“Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?” 

“Mereka tak melihat armada Jepara.” 

“Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di 

depan kita. Mengerti?” 

“Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan 

kapal, Gusti.” 

“Aku tak percaya mereka tahu.” 

“Ya, Gusti, mengapa Gusti berkata demikian? Bukankah 

semua mereka kawula Gusti sendiri? Bukankah mereka 

bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa, 

Gusti, tapi kawula Gusti sendiri? 

Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan 

kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya 

dipukulkannya pada telapak tangan kirinya. 

“Memalukan,” gumamnya. “Di mana harus 

kusembunyikan mukaku ini?” 

“Perang akan menghapuskannya, Gusti.” 

“Ya-ya, perang,” ia berhenti berputar-putar. 

Wirangmandala  pergi ke geladak dan mencoba bemayat h-

tamah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua 

bertanya mengapa Tuban terlambat. Dan mereka semua 

tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat 

berapa hari. 

Ia hanya dapat menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat 

ditempuh. Laju, lebih laju.” 

Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membikin 

perhitungan dengan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita 

mendarat, dan.,..” 

“Husy!” 

Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah 

dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu 

mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan 

bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan 

mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. namun  

pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk 

kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi 

angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh 

seperti gila untuk mengejar ketinggalan. 

Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung 

tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri. 

Angin tetap terasa kurang, sangat kurang. 

Dalam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga 

nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi 

sampai jauh-jauh di ufuk barat sana. 

Gugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu 

di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air 

mulai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh 

mendapatkan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan 

terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa 

singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan 

petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan 

perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang 

semakin tipis. 

Dalam keadaan terpaksa gugusan Tuban memasuki 

bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan 

cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi sebab  

soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus 

dalam biliknya. 

Syahbandar Banten, seorang Koja, membawa Raden 

Kusnan dan pembantu-utamanya pergi ke kesyahbandaran 

yang terbuat juga dari batu, namun  tidak sebesar dan seindah 

kesyahbandaran Tuban. Mereka dijamu dan mendapat 

keterangan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah 

meninggalkan pesan untuk gugusan Tuban. Dan pesan itu 

akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada 

yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di Banten. 

Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia 

sendiri akan menjemput perwira armada Jepara. Dan 

tengah malam ia datang lagi beserta orang yang dicarinya. 

“Anak sangat terlambat,” tegur Aji Usup. 

“Sahaya telah kerahkan pendayung, Pamanda,” jawab 

Raden Kusnan. 

“Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan 

pendayung.” 

“Ampun, Pamanda, memang sahaya yang terlambat 

sejak semula.” 

Aji Usup memerintahkan pada Syahbandar Banten 

untuk memunggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban. 

Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan. 

Wirangmandala  duduk di suatu jarak mendengarkan 

dengan diamdiam. 

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan 

dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru, 

merugikan persiapan perang. Gugusan Tuban berlayar 

bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia 

menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang 

menyebabkan gugusan harus berlabuh di Banten untuk 

beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus memulihkan 

kekuatannya. 

“Sahaya memang tidak punya pengalaman laut, 

Pamanda,” Raden Kusnan meminta maaf. 

“Barangkali kau pernah dengar pendayungan terus-

menerus kapal-kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal 

Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya 

bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang 

menjalani hukuman sampai mati.” 

“Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal 

tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di 

Banten….” 

“Kami mendapat titah dari Gusti Kanjeng Laksamana 

untuk menjadi tetua gugusan Tuban. Jangan hendaknya 

jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.” 

Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu. 

Wirangmandala  mendeham, tapi Aji Usup tak 

menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari duduk-

perkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja 

memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai 

perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas 

gugusan Tuban, kapal dan anakbuahnya dan prajuritnya, 

termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban. 

0o-dw-o0 

 

Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal. 

Raden Kusnan dan Wirangmandala  untuk kedua kalinya 

harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui 

mulut Aji Usup. 

“Insya Allah,” kata Aji Usup lalu , “kita masih 

akan dapat menyusul Kanjeng Gusti Laksamana di Riau 

atau Tumasik.” 

sesudah  itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah 

jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra, 

memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan 

gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan 

pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara 

Malaka. Gugusan-I telah berangkat dan hanya singgah 

sehari di Banten. Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin 

sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai 

sebelah timur Sumatra dan bergabung dengan gugusan 

pasukan laut Jambi-Riau. 

Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu 

gugusan Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari 

Malaka yang menggunakan kapal-kapal dagang yang telah 

dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan 

pendaratan dan penyerangan dari selatan Malaka. 

Aji Usup lalu  melakukan pemeriksaan di semua 

kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah 

sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan 

ditunmkan di Banten. 

Pembicaraan yang lalu  diteruskan membuat 

Wirangmandala  mengerti, bahwa armada Jepara menunggu 

Tuban di Banten selama delapan hari. namun  semua itu tak 

menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa, 

Demak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan 

Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu 

kali Demak akan memukul dan menaldukkan Tuban. 

Tuban sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur 

waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul 

Demak dengan jalan lain dan cara lain la pernah 

mendengar. Sang Adipati tidak menyukai perang Maka 

boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada Demak-

Jepara hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya 

dalam penghamburan kekuatan di Jepara, dan dengan 

demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai 

bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar. 

Dan waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai 

menyambut pengumuman, bahwa Gugusan Tuban akan 

meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada 

Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga 

dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji 

Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden 

Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan Tuban itu 

tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup. 

la catat semua yang dianggap kelicikan Demak-Jepara 

dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan 

dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini 

Gugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari 

lalu . Kapal-kapal dagang para pelarian Malaka yang 

dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari 

ukuran kecil. Ia mendapat keterangan, Gu-gusan-II akan 

menampung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para 

pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi 

sesudah  Malaka jatuh. 

Di Riau ternyata Gugusan-II telah berangkat lebih ke 

utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari 

Laksamana sebab  keterlambatannya. Raden Kusnan telah 

kehilangan semangat harus menelan 

kemarahan tiga kali berturut. Aji Usup berusaha 

menghibumya, namun  temyata semangatnya telah patah. 

Pimpinan gugusan Tuban diambilnya sama sekali, dan 

dengan sendirinya Wirangmandala  naik menggantikannya, 

juga atas perintah Aji Usup. 

Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk 

melakukan tindakan yang memutuskan, bila Demak-Jepara 

bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji 

Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan 

akan dilakukan atas Tuban. Dan ia akan melakukannya 

tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana freddy kruger  telah naik 

ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya 

yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh 

ayahnya. 

Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak 

dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya harus tetap 

dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan. 

Gugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin. 

Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul 

gugusan pelarian Malaka di Banten. 

Bukannya empat hari, namun  lima setengah hari Adipati 

Unus telah menunggu gugusan Tuban di Riau sambil 

memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima 

penggabungan gugusan Aceh. sesudah  ternyata Tuban tak 

juga nampak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji 

dan ia hapus dari perhitungan perang. 

Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya 

telah bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang 

perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat 

sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajurit-

prajurit Jepara-Demak dan Aceh terdapat kelainan pakaian 

yang menyolok. Jepara-Demak menggunakan celana dan 

baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada 

pada kelainan ikat-pinggang. Prajurit-prajurit Aceh 

bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwira-

perwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya 

yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi 

dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda: 

tombak, pedang, perisai. sebab  mereka mengharapkan 

perang lapangan, mereka tidak menggunakan panah. Pada 

para perwira terdapat senjata-senjata jabatan. 

Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran. 

Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tanda-

tanda yang diberikan oleh Gugusan-I. Portugis takkan 

diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut. 

Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukuman, atau 

dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah 

timur. 

Laksamana Adipati Unus telah memperhitungkan: 

waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat Malaka 

kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah 

ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh 

yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di 

Malaka. sesudah  itu musuh boleh melakukan serangan 

balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus 

memutuskan kemenangan. 

Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadapan 

Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun. 

Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan isyarat. Tapi 

tidak, peluru-peluru cetbang dibandingkan nya mulai 

beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi 

dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di 

sebelah utara sana tak ada nampak kapal Portugis. 

Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: 

juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis. 

Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan prajurit-prajurit 

Aceh-DemakJepara, hitam dan putih mulai mendarat, 

lalu  kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara 

Malaka dan membasminya dengan tembakan-tembakan 

cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh sorak-

sorai Gugusan-II. 

Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari 

Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan 

tak lama lalu  mereka melihat api dan asap mulai 

membubung ke udara. 

namun  Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman 

perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar 

bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi, 

sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka 

semua, membendung, membubarkan dan menghancurkan. 

Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan 

yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya menggunakan 

penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar 

menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya 

dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya 

di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata musuhnya 

lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut. 

Dan meriam-meriam mereka mulai terdengar 

beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang 

setengah jam lalu  tembakan-tembakan musket mulai 

terdengar. namun  kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar 

juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota. 

Gugusan-II makin menghampiri bandar. 

Gugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru 

cetbang dari kapal dan mulai menurunkan prajurit yang 

tersisa. Nampaknya tak ada seorang prajurit pun sudi 

ketinggalan menikmati kemenangan atas Portugis. Kapal-

kapal mereka tersauh kosong. 

Laksamana Adipati Unus memerintah memberikan 

tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, namun  tidak 

digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong 

tercancang pada jangkar masing-masing. 

Gugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbang-

cetbangnya mulai diarahkan ke bandar. Peluru-peluru api 

itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan 

pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi 

di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan meniup 

api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi. 

Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat meriam-

meriam Portugis mulai mayat i diarahkan pada kapal-

kapalnya. namun  cetbang menyapu sarang-sarang mereka. 

Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balik-

balik pepohonan yang masih utuh. 

Sekarang peluru-peluru besi Portugis mulai beterbangan 

mencari sasaran. namun  hujan petir cetbang menghalangi 

mereka menembak dengan baik. 

Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar 

sorak-sorai prajurit gabungan dari Gugusan-I, yang dengan 

kecepatan luar biasa mendesak ke selatan. 

sebab  kebingungan melayani serangan dari darat dan 

laut meriam-meriam Portugis mulai berjatuhan sepucuk 

demi sepucuk. 

Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan 

garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal 

Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah 

lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding 

itu. Sebentar lalu  selembar papan baru telah nampak 

ditambalkan dari dalam. 

Dan sorak-riuh mengikuti. 

Sebutir peluru besi lainnya telah memagas mancung 

haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia 

sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang 

bikinan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu. 

“Dengarkan!” katanya sambil mengangkat tangan tinggi-

tinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. Gencarkan 

tembakan kalian!” 

Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapal-

kapal lain. 

“Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti!” 

Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di 

sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah 

pecah ambyar. 

Unus meneruskan perintahnya: “Hari ini si kafir harus 

angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau 

Peranggi telah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian 

selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi 

milik kita bersama lagi.” 

Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di 

belakangnya: “Lihat peluru Peranggi itu. Dipaprasnya 

mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. 

Tapi insya Allah, mereka akan menerima 

paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, 

Peranggi! Habiskan!” ia tertawa senang. 

“Tembakannya semakin berkurang juga, Gusti.” 

“Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan 

ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.” 

“Tak ada nampak armada Peranggi, Gusti.” 

“Alhamdulillah.” 

“Betapa indahnya hari ini, Gusti.” 

“Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal 

berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhan-

pelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka. 

Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk 

dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?” 

“Patik, Gusti.” Seorang perwira yang agak jauh memuji-

muji: “Perhitungan Kanjeng Gusti Adipati tepat. Malaka 

jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan 

sembah. 

“Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak. 

Malaka telah jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya 

Allah, ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana 

telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu, 

lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak 

tertinggai kosong.” 

Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. 

namun  Gugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan. 

“Mendaratkah kita, Gusti?” 

“Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I menyebabkan 

kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi 

Kantommana – kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang 

juga.” 

Sebuah sampan diturunkan dan orang bercepat-cepat 

mengayuh ke arah bandar. 

“Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas, 

sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati 

kapal-kapal Gugusan-I. Waspada ke sebelah utara!” 

Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap 

kanan Gugusan-II mulai bergerak maju. 

“Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua 

kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.” 

“Patik, Gusti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah, 

akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.” 

“Insya Allah, kelambatan dan keteledoran dalam sehari 

ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok: 

pendaratan, perkubuan, pemburuan terhadap Peranggi….” 

Malam pun jatuh. 

Langit di atas Malaka merah-hitam oleh api dan asap. 

Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak prajurit-

prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara mondar-mandir 

menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari 

daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga 

tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada 

tubuh kapal. 

Sampan utusan tiba dan membawa surat dari perwira 

Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang 

menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk 

besok hari. Sampan dikirimkan kembali, memerintahkan 

agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan 

kekuatan. 

Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang 

magrib dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani 

dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. lalu  

dilanjutkan dengan sembahyang isya! 

Sampan utusan datang kembali, membawa berita bahwa 

prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi 

dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan, 

dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan. 

Surya memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda 

dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga 

perairan Malaka. Gugusan-I tetap kosong dari penjagaan. 

Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi. 

Mereka telah terbenam dalam arus prajurit gabungan. 

Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di 

mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat. 

Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit 

gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa 

gugusan Tuban dan Banten. 

Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera 

dan mempersembahkan pada Laksamana Unus, bahwa 

Malaka sudah siap untuk didarati. 

Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia 

mendapat keyakinan, Gugusan-I memang tidak mematuhi 

rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa 

jawaban. 

Tepat pada waktu perahu itu sampai ke bandar, dari 

sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan 

tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayup-

sayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layarnya yang 

tinggi bergambar salib itu kembung sepenuhnya. Kapal-

kapal itu meluncur cepat ke selatan. 

“Peranggi!” orang memekik dari atas tiang utama. 

Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II 

bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya 

armada musuh. 

Pada sayap kanan Gugusan-II yang telah ada di sebelah 

atas Malaka 

Unus memerintahkan agar berlawan sambil 

mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan. 

Pada daratan diisyaratkan pada Gugusan-I yang lengah, 

bahwa Portugis sedang mendatangi, dan mendesak agar 

kapal-kapalnya diisi kembali. 

Mengikuti tradisi Majapahit, cetbang hanya 

dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak 

diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang 

merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I 

yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam. 

Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi 

kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang 

menduduki tempatnya masing-masing menghadapi perang 

laut. 

Armada Portugis ternyata lebih maju dibandingkan  yang 

diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari Gugusan-I 

turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masing-

masing, rsi h meriam Portugis sudah mulai kedengaran. 

lalu  disusul oleh tembakan balasan dari cetbang-

cetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan-

I. Armada Portugis itu maju terus sambil menembak – lima 

buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja 

putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari 

Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis 

dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa 

tempat. 

Pertempuran laut antara armada Portugis dengan sayap 

kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti 

perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan 

lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyambar. Dan 

kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian 

diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada 

kehancuran yang mendatangi. 

Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan 

Gugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat 

membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal 

Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan 

meriamnya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan 

dan pada keperkasaan layarnya. 

Sebuah kapal Portugis nampak terbakar layar-layamya 

terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat 

sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan 

dindingnya terbongkar, lalu  dengan ragu-ragu 

menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan 

dayung menghindari derasnya hujan peluru. namun  peluru 

logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan 

kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan, 

lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena 

terjang dadal tak dapat bertahan. 

Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan 

tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan 

meriam Portugis dengan mata kepala sendiri, dan mengakui 

keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap 

kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri. 

Dan Portugis maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas 

dirinya. 

Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah, 

hilang ke dasar laut. 

Portugis mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang 

kosong dari prajurit, kosong dari pengawalan. Sampan-

sampan prajurit bubar tak berani meneruskan memasuki 

kapalnya. Gelegar meriam Portugis dan ledakan cetbang 

Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah 

demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar 

laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri. 

Dan armada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya 

yang terbakar layamya tertinggal di belakang. 

Unus memerintahkan semua dayung dipersiapkan. 

Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat 

melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah 

melawan. 

Dan armada Portugis semakin mendekat, semakin jelas 

dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung. 

Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru. 

Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar 

dibandingkan  kapal bendera Demak-Jepara. 

Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil 

melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II. 

Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api 

dan ledakan, tembok penghadang. namun  dalam pada itu 

setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak 

lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan 

membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal 

Portugis tetap tak dapat dicapai oleh cetbang. 

Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti 

ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari 

Blambangan. Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis 

tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama. 

Peluru-pelurunya tak mengindahkan tembok api dan 

ledakan cetbang. 

Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian 

dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan 

sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang 

menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan. 

“Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini,” Adipati Unus 

mengangkat tangan ke atas. 

Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak henti-

hentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga telah 

menangguhkan pendaratan yang kemarin. 

“Perintah Gusti Kanjeng Adipati ditunggu,” seorang 

perwira menyedarkannya. 

Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat 

beberapa buah kapalnya telah pada mulai miring, hancur 

pada lambung, menungging sebab  pecah haluan. 

Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai 

mereka…. 

“Ya Allah, bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan 

pada semua kapal untuk meninggalkan perairan Malaka!” 

Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung. 

“Cetbang tak mampu, Gusti.” 

“Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih 

unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang 

mereka, sudah melawan dan mendatangi.” 

Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga 

pendayung. 

“Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap 

meriam? Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu?” 

“Warta-warta itu ternyata tidak bohong, Gusti. Senjata 

mereka lebih unggul.” 

“Ya, persiapan kita kurang sempurna.” 

Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar 

haluan, armada Portugis semakin menggencarkan serangan 

sebab  mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa 

kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring lalu  

tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada 

gudangsendawanya. Api menyemburat ke langit dan kapal 

itu sendiri ambyar berkeping-keping. 

Armada Portugis semakin mendekat juga. 

Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiang-

tiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan 

petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. 

Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih 

seperti lontar. Sebuah