nusantara awal abad 16 8
perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang
sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru
lagi.
Juga di bandar Jepara tak ada yang mengganggu mereka.
Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka
tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membikin
perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang.
Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka
buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti
Melayu. Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan
menyuruh pergi
Esteban dan Rodriguez pergi, namun datang lagi untuk
mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez
menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa
terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang
dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa.
“Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan
gombal!” seru Rodriguez.
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang
menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung.
namun sebab bandar Jepara juga bandar bebas, di mana
setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak
ada orang dapat dipeisalahkan hanya sebab tertawa.
namun orang-orang Pribumi, yang temyata pejabat-
pqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua
orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan
Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya.
Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara.
Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wirangmandala .
Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam
kejaran para prajurit. Hanya sebab tingginya kewaspadaan
menyebabkan mereka bisa selamat mencapai perahunya
dan meneruskan pelayaran ke tunur.
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah
seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji
syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan
berdoa dan berdoa.
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang
disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas
lalu mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu
lalu mereka jual di Mesir.
Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar
langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan
mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung,
namun kelihatan mayat h dan membentangi bandar dari
badai.
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk
bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata
sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan
mondar-mandir tiada bekerja.
Aturan di bandar ini lain, keras, dan memang bukan
bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum
orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak
menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri
sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang
memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka
terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada
orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang
membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang
berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun
takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar
pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi.
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih,
dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka
semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.
Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga
tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat.
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk
disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga
memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek
dermaga itu telah penuh dengan orang. Semua
memperlihatkan sikap yang mengancam.
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak
ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga
orang itu.
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar
berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga
orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang
tangkapan.
Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada
sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.
Dua jam lalu mereka diperintahkan masuk lebih ke
dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak
kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu
mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi sebab mata
mereka berubah, seperti terbuat dibandingkan kayu. Mereka
berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada
tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka
mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra,
dengan lengan tangan lebar.
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang
tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu.
Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez
juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada
perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan
pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersama-sama
mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan
orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan
tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang
gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para
pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin
tidak mengerti.
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya.
Suara mereka mayat i, namun badan mereka seakan-akan
terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk
digerakkan.
Esteban merasa seperti sedang menonton suatu
pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan.
Rodriguez juga merasa diundang untuk tertawa.
Percakapan terpaksa dihentikan.
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain,
wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak
mengenakan jubah namun bercelana dan berbaju longgar,
tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan
nampak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan
yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan telah
terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk
mengangguk-angguk
Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan
Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah
yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang Portugis
memang pongah!” tuduhnya dalam bahasa Portugis.
Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan
kejutnya.
“Kau bisa Portugis?” Rodriguez Dez bertanya.
“Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan
itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan.
“jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada
Portugis di sini.”
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak
merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.
Esteban mencoba memperlihatkan keunggulan
bangsanya dengan tawa kecil meremehkan.
“Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap.
Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis
mengerti artinya nasihat.”
“Kau penterjemah?” Esteban bertanya.
“Pemeriksa kalian.”
“Pemeriksa!” Rodriguez tertawa mengejek. “Apa yang
hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.”
“Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang
memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa
Portugis yang benar.”
“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah Esteban
“Kami orang bebas!” gumam Rodriguez. ‘Tak ada alasan
memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis
diperiksa di bandar asing.”
“Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak
mengerti Melayu.”
“Siapa bilang kami tak mengerti Melayu? Orang itu,”
Rodriguez menuding pada si gemuk, “yang tak keruan
Melayunya.”
Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan
kasar. Rodriguez merah-padam sebab merasa terhina. Tak
pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu
terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si
gendut hendak memprotes.
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya
ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. namun sikutnya
terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin
meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan.
Ia meringis tanpa bisa mengerti.
“Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri
orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez.
“Ingat-ingat, namaku Liem Mo Han.”
Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang
mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya
sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya.
“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis.
Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han,
akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan
terhadap diriku selama tiga tahun.”
Esteban diam-diam mendengarkan dan memperhatikan
tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang
cukup baik.
Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis
kesakitan, lalu bertanya mencoba mayat h:
“Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu?”
“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del
Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez?”
Kepala Rodriguez yang berambut pirang itu
mengangguk.
“Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan
nakhoda.”
Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan.
“Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian
telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal
Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan
dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai
membuat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan
Gong Eng Cu, masih berhati luas, masih dapat menenggang
kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan
mesiunya kami tahan untuk disimpan.”
Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya,
tidak memberikan kesempatan pada Esteban ataupun
Rodriguez untuk menyela.
“Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu
pekerjaan,” lalu ia memutuskan. “Hanya punya
musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu
kecil di tengah laut.”
“Tidak benar!” bantah Esteban.
“Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak,”
banlnh Rodriguez.
“Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh
jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut,
yang kalian butuhkan telah kalian telan.”
“Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk
membajak,” susul Esteban dengan nada tersinggung.
“Memang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah
membajak. namun dengan satu kapal, apalagi satu armada,
setiap Portugis adalah bajak.”
“Itu soal tafsiran!” bantah Esteban. “Kami tidak
membajak, kami berperang.”
“Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal
dan armada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan
setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga
bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman
terhadap bajak?”
“Berperang dan membajak tidak sama,” bantah
Rodriguez.
“Ya, tidak sama,” Esteban membenarkan, “berperang
punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk
dirinya sendiri.”
‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang
terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian
bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak.
Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban.
Hukuman atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah
kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan
ketentuan, untuk lalu menjalani hukuman mati. Kami
bisa serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban.”
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka
terdiam.
Gong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo
Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan
nampaknya hanya mengiakan.
“Kepala kami,” Liem Mo Han meneruskan,
“mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar.
Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian.
Kami bisa juga jual kalian pada Malaka. pada bangsa kalian
sendiri. Dan sebab kalian kelihatan kuat dan segar, bisa
juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami
pakai sendiri untuk membajak sawah.”
Liem Mo Han diam. Gong Eng Cu dan pengapit juga
diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang
nampaknya kehilangan diri itu.
“Kalau kami jual kalian pada Malaka, kalian akan segera
naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan.
Kalau kami serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban,
kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang
gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan.
Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan
mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus
bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat
melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu.
“Nah, pilihlah salah satu di antaranya.”
Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak
berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” Liem Mo Han
memperingatkan.
“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?”
“Kami bukan bajak laut,” Rodriguez membela diri.
“Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.”
Esteban berpikir keras.
“Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau!” melihat
orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan,
“barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga.
Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan Gong Eng
Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai
kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak
lebih hanya bajak laut.”
Esteban melangkah maju mendekati Gong Eng Cu,
membungkuk memberi hormat dan membela diri: “Tuan
Gong Eng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami memang
pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan
sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan
kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negeri-
negeri Nusantara.”
sesudah Liem Mo Han terjemahkan, Gong Eng Cu
berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya
melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta,
kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.”
“Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu,
bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua
itu.”
“Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa
tidak akan membawa semua itu, kalau tidak sebab tidak
sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian
mempunyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya
kalian ini mata-mata Portugis.”
“Mata-mata?” Esteban berseru kaget.
Rodriguez terbeliak.
“Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang
Adipati Jepara? Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti
jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan
baik-baik?”
Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di
samping temannya. Berkata: “Sesungguhnya kami memang
melarikan diri dari Malaka.”
“Aku percaya,” jawab Gong Eng Cu. “Kalau kalian
mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak
juga menyampaikan kami apa rencana Portugis sesudah
merebut Malaka? Apakah kalian yang sudah bodoh,
ataukah memang mau membodohi?”
“Tuan Gong Eng Cu, Portugis sedang menunggu
datangnya tambahan kekuatan di Malaka. Mereka akan
terus berlayar ke Maluku.”
“Ke Maluku? Begitu cepat?” Gong Eng Cu terpekik
dengan mata membeliak menatap Liem Mo Han.
lalu ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo
Han tidak memportugiskan.
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka
dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!”
“Semua awak kapal tahu,” sekarang Esteban mengambil-
alih.
‘Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat
buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga
datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan Liem Mo
Han mengerti artinya Desember?”
Liem Mo Han mengangguk. “Kalau dalam bulan
Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis
akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang
yang ada saja.”
“Pembohong!” bentak Liem Mo Han.
“Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka
membatallcan niatnya,” sambung Esteban.
“Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang
akan ditempuh?”
“Menyusuri Sumatra dan Jawa.”
“Mengapa?”
“sebab hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke
Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu
menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku.
Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga
bangsa Tionghoa tidak.”
Gong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan
terjemahan Liem Mo Han.
“Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapal-
kapal Jawa di Maluku?”
“Portugis berangkat untuk berperang,” kembali Esteban
mendapatkan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak
pernah kalah.”
“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu?”
“Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami
dikalahkan baik di laut maupun di darat.”
“Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian
temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian
pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur
kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian,
mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang
menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepalaku.
Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada
orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal
Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku
sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun!
Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”
“Kami tak pernah tahu tentang itu.”
“Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari
mereka selebihnya. Kalian memang selamat di bandar-
bandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian
tahanan kami.”
Mereka berdua tak berani membantah.
“Mengapa diam saja?” Gong Eng Cu mendesak.
“Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri.”
“Kalian mata-mata!” tuduh Gong Eng Cu. “Portugis
sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar
hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada
peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja.
Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai.
Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa
kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke
Jawa membikin keonaran seperti di Malaka….”
Gong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan kata-
katanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata.
“Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya
Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami
lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian
merampasnya?”
“Kami pesan dari Pribumi Malaka.” sambar Rodriguez.
“Membeli, memesan ataupun merampas sama saja.
Kalau Portugis suka merampas atau memesan?”
“Juga kami tidak mencurinya,” tambah Roodriguez.
“Memang Portugis tidak pernah mencuri, hanya
merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara.
Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya.
Dengarkan, kepala kami, Tuan Gong Eng Cu, ingin melihat
apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan
membutuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah,
apa keahlian kalian?”
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
“Membuat arak,” Rodriguez menjawab. “Kalau ada
buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.”
“Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan
gentayangan kemari,” Liem Mo Han melecehkan.
“Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan
putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negeri-
negeri lain,” Esteban memperkuat.
”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami,” jawab
Liem Mo Han.
“Boleh jadi,” sambung Esteban. “Kami juga bisa
menukang.”
Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit Gong Eng
Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem.
“Menukang adalah keahlian bagus,” kata Liem Mo Han,
“dan aku kira takkan ada tukang lebih baik dibandingkan
bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan
penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan
telapak tangan dua orang Portugis itu lalu
menggeleng-geleng melecehkan.”
“Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa
tahun belakangan ini,” Esteban membela diri.
“Pernahkah kalian menukang membikin kapal?”
“Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju
seperti hiu,” Rodriguez menerangkan dengan bersemangat
“Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa.
Pernah kalian membikin kapal?”
Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang
berunding dengan mata.
“Pernah,” Esteban mengangguk mengiakan..
“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!”
“Kapal apa? Kapal samudra? Kapal Portugis?”
“Tentu kapal samudra, kapal Portugis.” Rodriguez
meyakinkan Liem Mo Han.
“Aku tak percaya kalian bisa membikin kapal,” Liem Mo
Han mencoba mematahkan semangat mereka. “Kalian
terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun,
terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu
tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap
tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya
pembual”
“Betul, kami berpengalaman,” Rodriguez meyakinkan
lagi.
“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,”
Liem Mo Han terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah
hanya menonton orang membikin kapal besar.”
“Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin
kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata
Esteban.
Gong Eng Cu melambaikan tangan menyuruh dua orang
itu menjauh dibandingkan nya. lalu ia berundingan
dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang
gendut itu lalu memberi perintah pada Liem Mo Han.
“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala
kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa
Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu.
memerintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam
sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal
Portugis datang kemari untuk mencari kalian… kalian
sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.”
“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat
Nusantara,” bantah Esteban.
namun Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan:
“Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan
pengawalan boleh keluar dan situ.”
“Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian
yang memaksa kami mendarat,” bantah Esteban.
“Dan kami hanya hendak belanja,” sambut Rodriguez.
“Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya
dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah
memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di
galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana
kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat
sekedamya.”
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya.
“Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami
mengambil sesuatu keputusan,” Liem Mo Han
memberanikan mereka.
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin.
“Ya, kau bisa lakukan itu,” kata Rodriguez pada
temannya, “dan aku bisa membantumu. Terimalah.”
Tapi Esteban masih juga menimbang-nimbang.
“Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa
memperrayai kalian.”
“Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?”
tanya Esteban.
“Kami yang menentukan. Bukan kau,” Liem Mo Han
melecehkan dengan bibimya. “Hanya sebab sikap
pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan
saja.” Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum
juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak
kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar
ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah.
Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian
sanggup!”
“Ya, kami sanggup,” jawab Esteban.
“Betapa cepat keputusan itu,” Gong Eng Cu
memberikan komentar.
“Makin kelihatan petualangan kalian,” kata Liem Mo
Han. ”Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami
telah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara
kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang
kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada
kami. Begitu kalian….”
”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.”
Esteban menanggapi.
“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari
Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira
untuk kalian.”
Esteban yang merasa tersinggung membalas “Kelak.
kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas
dendam, membajak salah sebuah kapal Portugis yang
pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak
kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.”
“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami
keturunan awak armada Ceng He yang besar….”
Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. sesudah
armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini
lalu berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri
dengan Malaka dan membuka pangkalan-pangkalan di
Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat
perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan
pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang.
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan
perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai memasuki
Laut Merah.
Untuk membikin awak armada ini tidak lenyap ditelan
oleh Pribumi, baik sebab perkawinan mau pun sebab
kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah
organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga
peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan
Lung atau Naga Selatan.
Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang
dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai
utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai
Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia
diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toa-
lang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan
kerajaan Demak
Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka.
Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhati-
hati.
“Membajak adalah penghinaan untuk awak armada
Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” Liem Mo
Han memperingatkan. “Kalau bukan sebab kehendak
kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala
kalian. Hati-hati.”
Gong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan
tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: “Tempat
kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian
akan dipenuhi.”
“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,”
jawab Esteban, “tapi kembalikan barang-barang kami.”
“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barang-
barangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian
dapatkan dari kami” kata Gong Eng Cu. “Jangan banyak
bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat
kemurahan terlalu banyak.”
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang
menghampiri mereka. Dengan isyarat mereka
memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu.
Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu
kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar
rumah batu dan terus-menerus dikawal.
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih
berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar
dari mulut mereka. lalu dengan serentak mereka
berlutut dan membikin salib dengan jarinya.
Gong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap
mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng
He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh
armada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat membalas.
Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini
hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan
Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat memberikan sedikit
tekanan pada Portugis.
Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada
umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal
di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke Malaka.
Gong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak armada
Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang
di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao
Sam. namun ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak
mempunyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja
setempat.
sesudah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan
sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia
kembali ke Tuban.
0o-dw-o0
10. tengkorak , Kamaratih Tuban
Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam
tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun
yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka
gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah
dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampu-
lampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna
yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau
perasaan.
Seakan langsung dari langit melawan serombongan
kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang
berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka
lalu berkitar-kitar, berkelompok dan pecah.
Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah
lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang
berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang
menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup
sampai ke dasar cawan.
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal
bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan
gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua
menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak
mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan
kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu.
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam
lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Dicerai-
beraikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu
dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih
tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina
yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan
perkasa.
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik
sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang
kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi
sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping,
tersangsang pada selembar daun bunga.
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu
adalah tengkorak . Kamaratih Tuban.
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana
berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi
ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya
membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua
gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang
memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: tengkorak !
tengkorak !
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang
adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah
semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan
punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil
menebarkan pandang pada semua orang yang duduk
melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan
mendesiskan keluh kesakitan.
Sebelum tengkorak turun menari di kalangan, satu barisan
gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan
keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan
wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih
salah seorang di antaranya.
tengkorak ! tengkorak ! Hanya tengkorak ! Mengapa anak desa
perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia
menghembuskan nafas keluh dan ratap yang
ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan se-
orang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun!
Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah
Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus
merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi,
menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlenggang-
lenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan,
tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa
jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang
membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia
dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis.
tengkorak nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan
kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya,
seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang
kehilangan akal dan berputus asa.
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang
memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan
geletar jari-jari yang mengundang bercengkemayat dan
bercinta itu….
Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal,
seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam
genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun
utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!
Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compang-
camping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada
langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib
Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih
baru itu tidak lain dari dirinya.
Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di
belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampir-
hampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata
rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan
dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya
terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak
tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan
kepayahannya menrsi s pemborongan rempah-rempah
dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu
mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan
menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. tengkorak menata
diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang
mengundurkan diri dari kalangan.
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham.
Pertunjukan selesai.
Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung
masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan
bayangan tentang tengkorak . Sebuah pintu rahasia telah
membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya
sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah
pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke
dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang
memasuki ruangan rahasia.
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya
ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang
membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga
bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan
dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap.
Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib
adipati yang digantikannya – tertumpas punah oleh
ekspedisi hukuman Majapahit. Maka dibikinnya
terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari
kepungan. sesudah bajak-bajak ini menyelesaikan
pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan
dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah
dibuka lagi.
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit
rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan
larangan.
Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia
mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat
kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki
dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang
menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu
melapuk selama lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang
basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang
Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan
tangan lain ia menanting pelita gantung.
Gambar tengkorak kembali mengunjungi pikirannya, dan
dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih
tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Krambil
yang terindah itu. namun tengkorak telah jadi milik seseorang,
telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia
tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia
harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia telah
kirimkan Wirangmandala jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh
lakukan itu.
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia
keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan.
Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan
dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang
telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah
hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai
melumut di sana sini.
Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di
tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan
pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang
lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia
tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia
tutup dengan papan di dekat ujung, sebab ia takut kalau-
kalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya.
Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan
gambaran tengkorak silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap
kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana Peranggi
berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi
yang akan diambilnya, gambaran tengkorak juga yang muncul.
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk.
Ia keluar dan menuju ke keputrian.
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih
membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis
nama Wirangmandala dengan huruf Jawa. Pada papan-papan
yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang
bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat
itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu
pulang dari Jepara.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang.
Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya
tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.
Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam
tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga,
melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia
mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya
sekarang tak pernah terdapat jahawe.
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke
dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur
terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air
dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari
saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam
gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan
mengangguk.
Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan.
Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan
tangan menggerayang.
Tak lebih dari setengah jam lalu muncul tengkorak
membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya
nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap
hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti.
Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali
nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di
bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar
dan meletakkannya di atas meja. lalu ia
meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin
dan deburan laut malam ini.
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru
sebab nya terdengar lebih keras dan menggelisahkan
pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun
tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was
ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan
nampan di atas meja, juga pelita itu. lalu sambil
berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada
Hyang Widhi sebab tarian telah ia lakukan dengan baik
tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia
tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkut-
paut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa
rusuh sekarang ini sesudah menarikannya.
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya
terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu
itu.
Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok
gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan
menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik.
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada
ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya
berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu
semalam ini?
Dengan cundriknya tengkorak menepak binatang mayat h itu
sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara
kakinya terpenggal.
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di
sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. tengkorak
melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali
langit-langit dari jajaran papan.
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya
lalu menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja.
sesudah itu ia pun minum dari gendi.
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok
gigi. sesudah itu, sebelum tidur, ia akan membacakan
mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya
kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan
tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai
berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan
menuju ke ambin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada
tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar
tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan
lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak
atau digerakkan.
Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia
masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia
ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus
memasaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada
tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa
tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di
awang-awang. Ia heran dan gugup, namun tak dapat berbuat
sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia
terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari
badan. Yang tersisa hanya suatu kesumayat n.
Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke
dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, namun bersarong
dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan
tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya
dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan
disinarinya wajah tengkorak yang terkapar di lantai, tertidur.
Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita lalu
dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati-
hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas
ambin….
Keesokannya matari telah tinggi di langit sesudah dengan
susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri
itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para
nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya
masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar.
EM dapur kesyahbandaran Nyi Gede Kati sudah sibuk
memasak.
tengkorak belum juga muncul.
Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke
semua mataangin, tengkorak baru membukakan mata.
Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu
impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia
menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya.
Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk.
Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di
tempatnya. Siapa gerangan telah memindahkan dari
tempatnya yang biasa?
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali
ada orang masuk ke kamamya ataukah mandala sudah
pulang?
Ia hendak melompat turun. Tapi tubuhnya dirasainya
sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya
tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong.
Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam
sarongnya yang juga tergeletak di lantai.
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam
sebelum tidur.
Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas ambin.
Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit
dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki
kecuak. Pelita gantung itu masih menyala namun tidak di
tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat
dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan
hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia
dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata
cumbu pada kupingnya.
Ia memekik, namun tak ada suara keluar dari mulutnya.
Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke
ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi
bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangu-
mangu. Apakah benar impin itu? Tuan Syahbandar Tuban
Sayid Habibullah Almasawa?
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang
bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil
dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas.
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari
impian semalam.
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada
tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian
apakah yang kau berikan padaku ini?”
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya.
“Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi Gede Kati
menolongnya berdiri. “Kau sakit?”
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di
lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi
ke tempat mandi.
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari
itu ia nampak murung. namun impian itu memburunya
terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon,
membaca mantera….
Tiga hari lalu , tengah malam, ia menghadap pada
Hyang Widhi, memohon: “Kalau impian itu benar, duh
Gusti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini?
Ambillah dia kembali, Gusti.”
Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan
kepadanya.
Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga
Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan
sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk
menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang
melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya
bicara tentang itu.
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini
barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan
tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang
sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil.
Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa
datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk,
dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan
sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai
sentuhan jenggot, kumis dan cambang-bauknya.
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya.
Mengapa dalam alam impian tak dapat?
Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa
sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa
daya.
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan
Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan
pikiran itu saja sudah membikin ia bergidik, merasa diri tak
ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada
perlindungan Hyang Widhi.
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan
kesyahbandaran dan pulang ke desa. namun sang Adipati
tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani
mempersembahkan alasan.
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini:
ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung.
Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang
Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda
belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di
ambin kayu berukir.
“Kau pucat dan kurus, tengkorak , Kamaratih Tuban. Ada
apa gerangan, pujaan Tuban?”
”Ampun, Gusti sesembahan patik, justru itulah sebabnya
patik datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun Gusti
Adipati pada patik, sebab patik berhalangan untuk menari
dalam beberapa bulan ini.”
”Ah-ya, tengkorak , agaknya kami mengerti. Barangkali kau
mengandung.”
“Demikianlah adanya, Gusti sesembahan patik.”
“Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak
berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati.
Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.”
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya
yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk
membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam
impian tidak punya kemampuan. “Adakah lagi yang
hendak kau persembahkan?”
“Ampun, Gusti, bila diperkenankan, patik memohon
diperkenankan pulang ke desa Gusti.”
Sang Adipati tertawa mayat h dan tulus.
‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta
pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan
itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala tengkorak dan
hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya
kembali.
“Jangan,” larangnya sesudah duduk kembali di ambin.
“Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan
seseorang untuk membantu atau menemanimu di
rumah….”
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang
bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk tengkorak .
“Dengar, tengkorak , seluruh Tuban dan kami sendiri sangat
menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan
kawula Tuban dan kami selama ini. Kau sekarang
mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami
tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah
hiburan untukmu, majulah tengkorak , dan terimalah.” tengkorak
mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang
Adipati.
“Dan sejak hari ini. tengkorak , kami berkenan mengangkat
kau dengan gelar Nyi Gede,” lalu pada menteri-
dalam, “hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada
sore hari ini juga,” dan kembali pada tengkorak , “pulanglah
kau, Nyi Gede, sejahtera untukmu!”
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan
sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya.
Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan
berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih
Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk
menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi
semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang
dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh
negeri di lalu hari.
Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong
mengerumuni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Paman
Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan
sumbangan kepada tengkorak .
Sebaliknya tengkorak semakin berkecil hati. Semakin hari ia
semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan
sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari
balik kulitnya.
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di
ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk
setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya
dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti
tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu
kata.
Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari
kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakan-
teriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah
kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang
mandala . Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia
anak Kang mandala .
Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba
meyakinkan diri sendiri: ”Kau anak Kang mandala , Nak,
anak Kang mandala , tidak bisa lain.” Sambil membelai
perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau
drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku?
Kau anak Kang mandala .”
Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada
tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu
mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan
Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak
Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, tengkorak ! Tetap tak ada
seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu
tentangnya.
Nyi Gede Kati pernah menegumya: “Banyak wanita tak
bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau,
tengkorak , mengapa murung seperti tak rela mendapatkan
karunia?”
Ia semakin kurus juga dan ketentemayat n batinnya tak
juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut
menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan
mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku
mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya
Batara, dan berikan pada kami impian dulu dan selalu kami
pohonkan dulu kepada-Mu.
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang
Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguh-
sungguh telah kehilangan kesemayat n dan kesungguhan.
Dan: Ya, Batara, biarlah Kang mandala tahu lebih dahulu
anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia
puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi
haknya, sebab hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada
gunanya..
0o-dw-o0
Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseru-
seru riang: ‘Tuan Syahbandar-muda datang, Nyi Gede!”
tengkorak merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki
seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa
pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi,
kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin.
Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin
perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminyakinya
dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan
sendiri. lalu dengan terburu-buru menggosok gigi
dengan tepung arang.
Kang mandala datang, hatinya ia paksa menyanyi keras
untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap
kesempatan itu.
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu
suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di
depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya.
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya.
Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul.
“Benar, Nyi Gede,” jawab Paman Marta. “Sahaya
sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di
bandar.”
Lelaki itu bergegas meninggalkan pelataran
kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseri-
seri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta
yang sedang merana itu. Tak lama lalu ia muncul lagi
dan berdiri menekur di hadapan tengkorak ; “Orang bilang, Nyi
Gede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.”
Nyi Gede Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan
berdarah, tengkorak . Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu?
Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu?”
“Bolehkah sahaya pergi, Nyi Gede?” Paman Marta
minta diri.
tengkorak mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk
meneruskan pekerjaannya.
“Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi Gede.”
“Sebaiknya kau kenakan, Nak.”
“Mengapa dia tak langsung pulang?” tengkorak bertanya
dengan nada protes.
“Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus
menghadap dulu. Itu kewajibannya.”
tengkorak masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk
mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian
karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia
yang telah diterimanya sesudah kepergian suaminya. Suatu
kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian
tenunan sendiri.
Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu
nampak memasuki pelataran depan. tengkorak berdiri
menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya telah
merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu
sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan membisikkan kata-
kata cumbu.
Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya
buyar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni
tangga kesyahbandaran dan memanggil suaminya yang
sedang berjalan menuju padanya.
mandala berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk
pada Syahbandar, majikannya.
Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia
tegakkan bongkok, melambai lalu bertepuk-tepuk:
“Wira, Ah, Wira!”
Dan Wirangmandala mengiringkannya masuk ke gedung
utama.
“Semua orang memilikinya, kecuali aku,” tengkorak
memprotes.
“Mari ke gedung utama, tengkorak ,” Nyi Gede Kati
mengajak.
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu:
“Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau
pulang, biarlah tak muncul lagi.”
“Cemburu kau, tengkorak ?”
tengkorak tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya,
tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia
Nyi Gede Kati menghibumya.
“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, lalu
melangkah cepat-cepat ke gedung utama. tengkorak masuk ke
dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal telah
mengasari Nyi Gede Kati yang selama itu begitu baik
terhadapnya. Tak lama lalu diketahuinya suaminya
masuk. Terdengar olehnya suaran