nusantara awal abad 16 8

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 8



 perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang 

sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru 

lagi. 

Juga di bandar Jepara tak ada yang mengganggu mereka. 

Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka 

tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membikin 

perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang. 

Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka 

buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti 

Melayu. Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan 

menyuruh pergi 

Esteban dan Rodriguez pergi, namun  datang lagi untuk 

mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez 

menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa 

terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang 

dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa. 

“Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan 

gombal!” seru Rodriguez. 

Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang 

menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. 

namun  sebab  bandar Jepara juga bandar bebas, di mana 

setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak 

ada orang dapat dipeisalahkan hanya sebab  tertawa. 

namun  orang-orang Pribumi, yang temyata pejabat-

pqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua 

orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan 

Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya. 

Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara. 

Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wirangmandala . 

Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam 

kejaran para prajurit. Hanya sebab  tingginya kewaspadaan 

menyebabkan mereka bisa selamat mencapai perahunya 

dan meneruskan pelayaran ke tunur. 

Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah 

seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji 

syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan 

berdoa dan berdoa. 

Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang 

disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas 

lalu  mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu 

lalu  mereka jual di Mesir. 

Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar 

langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan 

mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung, 

namun kelihatan mayat h dan membentangi bandar dari 

badai. 

Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk 

bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata 

sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan 

mondar-mandir tiada bekerja. 

Aturan di bandar ini lain, keras, dan memang bukan 

bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum 

orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak 

menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri 

sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang 

memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka 

terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada 

orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang 

membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang 

berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun 

takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar 

pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi. 

Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, 

dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka 

semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan. 

Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga 

tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat. 

Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk 

disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga 

memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek 

dermaga itu telah penuh dengan orang. Semua 

memperlihatkan sikap yang mengancam. 

Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak 

ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga 

orang itu. 

Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar 

berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga 

orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang 

tangkapan. 

Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada 

sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri. 

Dua jam lalu  mereka diperintahkan masuk lebih ke 

dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak 

kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu 

mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi sebab  mata 

mereka berubah, seperti terbuat dibandingkan  kayu. Mereka 

berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada 

tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka 

mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra, 

dengan lengan tangan lebar. 

Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang 

tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu. 

Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez 

juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada 

perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan 

pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersama-sama 

mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan 

orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan 

tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang 

gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para 

pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin 

tidak mengerti. 

Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. 

Suara mereka mayat i, namun  badan mereka seakan-akan 

terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk 

digerakkan. 

Esteban merasa seperti sedang menonton suatu 

pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. 

Rodriguez juga merasa diundang untuk tertawa. 

Percakapan terpaksa dihentikan. 

Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain, 

wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak 

mengenakan jubah namun  bercelana dan berbaju longgar, 

tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan 

nampak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan 

yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan telah 

terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk 

mengangguk-angguk 

Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan 

Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah 

yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang Portugis 

memang pongah!” tuduhnya dalam bahasa Portugis. 

Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan 

kejutnya.  

“Kau bisa Portugis?” Rodriguez Dez bertanya.  

“Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan 

itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. 

“jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada 

Portugis di sini.” 

Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak 

merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka. 

Esteban mencoba memperlihatkan keunggulan 

bangsanya dengan tawa kecil meremehkan. 

“Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap. 

Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis 

mengerti artinya nasihat.”  

“Kau penterjemah?” Esteban bertanya.  

“Pemeriksa kalian.” 

“Pemeriksa!” Rodriguez tertawa mengejek. “Apa yang 

hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.” 

“Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang 

memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa 

Portugis yang benar.” 

“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah Esteban  

“Kami orang bebas!” gumam Rodriguez. ‘Tak ada alasan 

memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis 

diperiksa di bandar asing.” 

“Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak 

mengerti Melayu.” 

“Siapa bilang kami tak mengerti Melayu? Orang itu,” 

Rodriguez menuding pada si gemuk, “yang tak keruan 

Melayunya.” 

Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan 

kasar. Rodriguez merah-padam sebab  merasa terhina. Tak 

pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu 

terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si 

gendut hendak memprotes. 

Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya 

ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. namun  sikutnya 

terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin 

meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. 

Ia meringis tanpa bisa mengerti. 

“Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri 

orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez. 

“Ingat-ingat, namaku Liem Mo Han.” 

Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang 

mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya 

sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya. 

“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis. 

Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han, 

akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan 

terhadap diriku selama tiga tahun.” 

Esteban diam-diam mendengarkan dan memperhatikan 

tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang 

cukup baik. 

Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis 

kesakitan, lalu  bertanya mencoba mayat h: 

“Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu?” 

“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del 

Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez?” 

Kepala Rodriguez yang berambut pirang itu 

mengangguk. 

“Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan 

nakhoda.” 

Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan. 

“Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian 

telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal 

Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan 

dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai 

membuat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan 

Gong Eng Cu, masih berhati luas, masih dapat menenggang 

kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan 

mesiunya kami tahan untuk disimpan.” 

Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya, 

tidak memberikan kesempatan pada Esteban ataupun 

Rodriguez untuk menyela. 

“Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu 

pekerjaan,” lalu  ia memutuskan. “Hanya punya 

musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu 

kecil di tengah laut.” 

“Tidak benar!” bantah Esteban. 

“Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak,” 

banlnh Rodriguez. 

“Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh 

jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut, 

yang kalian butuhkan telah kalian telan.” 

“Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk 

membajak,” susul Esteban dengan nada tersinggung. 

“Memang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah 

membajak. namun  dengan satu kapal, apalagi satu armada, 

setiap Portugis adalah bajak.” 

“Itu soal tafsiran!” bantah Esteban. “Kami tidak 

membajak, kami berperang.” 

“Itu soal tafsiran!” tuduh Liem Mo Han. “Setiap kapal 

dan armada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan 

setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga 

bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman 

terhadap bajak?” 

“Berperang dan membajak tidak sama,” bantah 

Rodriguez. 

“Ya, tidak sama,” Esteban membenarkan, “berperang 

punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk 

dirinya sendiri.” 

‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang 

terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian 

bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak. 

Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban. 

Hukuman atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah 

kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan 

ketentuan, untuk lalu  menjalani hukuman mati. Kami 

bisa serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban.” 

Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka 

terdiam. 

Gong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo 

Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan 

nampaknya hanya mengiakan. 

“Kepala kami,” Liem Mo Han meneruskan, 

“mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar. 

Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. 

Kami bisa juga jual kalian pada Malaka. pada bangsa kalian 

sendiri. Dan sebab  kalian kelihatan kuat dan segar, bisa 

juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami 

pakai sendiri untuk membajak sawah.” 

Liem Mo Han diam. Gong Eng Cu dan pengapit juga 

diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang 

nampaknya kehilangan diri itu. 

“Kalau kami jual kalian pada Malaka, kalian akan segera 

naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan. 

Kalau kami serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban, 

kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang 

gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan. 

Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan 

mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus 

bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat 

melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu. 

“Nah, pilihlah salah satu di antaranya.” 

Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak 

berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya. 

“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” Liem Mo Han 

memperingatkan. 

“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?” 

“Kami bukan bajak laut,” Rodriguez membela diri. 

“Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.” 

Esteban berpikir keras. 

“Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau!” melihat 

orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, 

“barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga. 

Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan Gong Eng 

Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai 

kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak 

lebih hanya bajak laut.” 

Esteban melangkah maju mendekati Gong Eng Cu, 

membungkuk memberi hormat dan membela diri: “Tuan 

Gong Eng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami memang 

pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan 

sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan 

kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negeri-

negeri Nusantara.” 

sesudah  Liem Mo Han terjemahkan, Gong Eng Cu 

berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya 

melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta, 

kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.” 

“Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu, 

bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua 

itu.” 

“Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa 

tidak akan membawa semua itu, kalau tidak sebab  tidak 

sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian 

mempunyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya 

kalian ini mata-mata Portugis.” 

“Mata-mata?” Esteban berseru kaget. 

Rodriguez terbeliak. 

“Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang 

Adipati Jepara? Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti 

jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan 

baik-baik?” 

Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di 

samping temannya. Berkata: “Sesungguhnya kami memang 

melarikan diri dari Malaka.”  

“Aku percaya,” jawab Gong Eng Cu. “Kalau kalian 

mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak 

juga menyampaikan kami apa rencana Portugis sesudah  

merebut Malaka? Apakah kalian yang sudah bodoh, 

ataukah memang mau membodohi?” 

“Tuan Gong Eng Cu, Portugis sedang menunggu 

datangnya tambahan kekuatan di Malaka. Mereka akan 

terus berlayar ke Maluku.” 

“Ke Maluku? Begitu cepat?” Gong Eng Cu terpekik 

dengan mata membeliak menatap Liem Mo Han. 

lalu  ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo 

Han tidak memportugiskan. 

Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan 

berunding dengan matanya. 

Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka 

dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!” 

“Semua awak kapal tahu,” sekarang Esteban mengambil-

alih. 

‘Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat 

buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga 

datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan Liem Mo 

Han mengerti artinya Desember?”  

Liem Mo Han mengangguk. “Kalau dalam bulan 

Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis 

akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang 

yang ada saja.” 

“Pembohong!” bentak Liem Mo Han. 

“Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka 

membatallcan niatnya,” sambung Esteban. 

“Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang 

akan ditempuh?” 

“Menyusuri Sumatra dan Jawa.” 

“Mengapa?” 

“sebab  hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke 

Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu 

menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku. 

Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga 

bangsa Tionghoa tidak.” 

Gong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan 

terjemahan Liem Mo Han. 

“Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapal-

kapal Jawa di Maluku?” 

“Portugis berangkat untuk berperang,” kembali Esteban 

mendapatkan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak 

pernah kalah.” 

“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu?” 

“Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami 

dikalahkan baik di laut maupun di darat.” 

“Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian 

temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian 

pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur 

kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian, 

mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang 

menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepalaku. 

Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada 

orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal 

Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku 

sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! 

Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”  

“Kami tak pernah tahu tentang itu.” 

“Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari 

mereka selebihnya. Kalian memang selamat di bandar-

bandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian 

tahanan kami.” 

Mereka berdua tak berani membantah. 

“Mengapa diam saja?” Gong Eng Cu mendesak. 

“Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri.” 

“Kalian mata-mata!” tuduh Gong Eng Cu. “Portugis 

sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar 

hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada 

peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. 

Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. 

Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa 

kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke 

Jawa membikin keonaran seperti di Malaka….” 

Gong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan kata-

katanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata. 

“Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya 

Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami 

lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian 

merampasnya?” 

“Kami pesan dari Pribumi Malaka.” sambar Rodriguez. 

“Membeli, memesan ataupun merampas sama saja. 

Kalau Portugis suka merampas atau memesan?” 

“Juga kami tidak mencurinya,” tambah Roodriguez. 

“Memang Portugis tidak pernah mencuri, hanya 

merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. 

Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya. 

Dengarkan, kepala kami, Tuan Gong Eng Cu, ingin melihat 

apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan 

membutuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah, 

apa keahlian kalian?” 

Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan 

berunding dengan matanya. 

“Membuat arak,” Rodriguez menjawab. “Kalau ada 

buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.” 

“Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan 

gentayangan kemari,” Liem Mo Han melecehkan. 

“Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan 

putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negeri-

negeri lain,” Esteban memperkuat.  

”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami,” jawab 

Liem Mo Han. 

“Boleh jadi,” sambung Esteban. “Kami juga bisa 

menukang.” 

Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit Gong Eng 

Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem. 

“Menukang adalah keahlian bagus,” kata Liem Mo Han, 

“dan aku kira takkan ada tukang lebih baik dibandingkan  

bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan 

penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan 

telapak tangan dua orang Portugis itu lalu  

menggeleng-geleng melecehkan.” 

“Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa 

tahun belakangan ini,” Esteban membela diri. 

“Pernahkah kalian menukang membikin kapal?” 

“Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju 

seperti hiu,” Rodriguez menerangkan dengan bersemangat 

“Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa. 

Pernah kalian membikin kapal?” 

Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang 

berunding dengan mata. 

“Pernah,” Esteban mengangguk mengiakan.. 

“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!” 

“Kapal apa? Kapal samudra? Kapal Portugis?” 

“Tentu kapal samudra, kapal Portugis.” Rodriguez 

meyakinkan Liem Mo Han. 

“Aku tak percaya kalian bisa membikin kapal,” Liem Mo 

Han mencoba mematahkan semangat mereka. “Kalian 

terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, 

terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu 

tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap 

tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya 

pembual” 

“Betul, kami berpengalaman,” Rodriguez meyakinkan 

lagi. 

“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,” 

Liem Mo Han terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah 

hanya menonton orang membikin kapal besar.” 

“Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin 

kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata 

Esteban. 

Gong Eng Cu melambaikan tangan menyuruh dua orang 

itu menjauh dibandingkan nya. lalu  ia berundingan 

dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang 

gendut itu lalu  memberi perintah pada Liem Mo Han. 

“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala 

kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa 

Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu. 

memerintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam 

sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal 

Portugis datang kemari untuk mencari kalian… kalian 

sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.” 

“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat 

Nusantara,” bantah Esteban. 

namun  Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan: 

“Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan 

pengawalan boleh keluar dan situ.” 

“Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian 

yang memaksa kami mendarat,” bantah Esteban. 

“Dan kami hanya hendak belanja,” sambut Rodriguez. 

“Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya 

dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah 

memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di 

galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana 

kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat 

sekedamya.” 

Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. 

“Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami 

mengambil sesuatu keputusan,” Liem Mo Han 

memberanikan mereka. 

Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. 

“Ya, kau bisa lakukan itu,” kata Rodriguez pada 

temannya, “dan aku bisa membantumu. Terimalah.” 

Tapi Esteban masih juga menimbang-nimbang. 

“Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa 

memperrayai kalian.” 

“Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?” 

tanya Esteban. 

“Kami yang menentukan. Bukan kau,” Liem Mo Han 

melecehkan dengan bibimya. “Hanya sebab  sikap 

pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan 

saja.” Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum 

juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak 

kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar 

ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah. 

Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian 

sanggup!” 

“Ya, kami sanggup,” jawab Esteban. 

“Betapa cepat keputusan itu,” Gong Eng Cu 

memberikan komentar. 

“Makin kelihatan petualangan kalian,” kata Liem Mo 

Han. ”Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami 

telah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara 

kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang 

kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada 

kami. Begitu kalian….” 

”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.” 

Esteban menanggapi. 

“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari 

Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira 

untuk kalian.” 

Esteban yang merasa tersinggung membalas “Kelak. 

kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas 

dendam, membajak salah sebuah kapal Portugis yang 

pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak 

kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.” 

“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami 

keturunan awak armada Ceng He yang besar….” 

Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. sesudah  

armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini 

lalu  berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri 

dengan Malaka dan membuka pangkalan-pangkalan di 

Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat 

perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan 

pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang. 

Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan 

perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai memasuki 

Laut Merah. 

Untuk membikin awak armada ini tidak lenyap ditelan 

oleh Pribumi, baik sebab  perkawinan mau pun sebab  

kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah 

organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga 

peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan 

Lung atau Naga Selatan. 

Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang 

dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai 

utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai 

Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia 

diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toa-

lang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan 

kerajaan Demak 

Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka. 

Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhati-

hati. 

“Membajak adalah penghinaan untuk awak armada 

Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” Liem Mo 

Han memperingatkan. “Kalau bukan sebab  kehendak 

kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala 

kalian. Hati-hati.” 

Gong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan 

tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: “Tempat 

kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian 

akan dipenuhi.” 

“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,” 

jawab Esteban, “tapi kembalikan barang-barang kami.” 

“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barang-

barangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian 

dapatkan dari kami” kata Gong Eng Cu. “Jangan banyak 

bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat 

kemurahan terlalu banyak.” 

Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang 

menghampiri mereka. Dengan isyarat mereka 

memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu. 

Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu 

kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar 

rumah batu dan terus-menerus dikawal. 

Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih 

berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar 

dari mulut mereka. lalu  dengan serentak mereka 

berlutut dan membikin salib dengan jarinya. 

Gong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap 

mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng 

He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh 

armada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat membalas. 

Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini 

hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan 

Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat memberikan sedikit 

tekanan pada Portugis. 

Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada 

umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal 

di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke Malaka. 

Gong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak armada 

Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang 

di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao 

Sam. namun  ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak 

mempunyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja 

setempat. 

sesudah  menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan 

sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia 

kembali ke Tuban. 

0o-dw-o0 

 

10. tengkorak , Kamaratih Tuban 

Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam 

tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun 

yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka 

gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah 

dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampu-

lampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna 

yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau 

perasaan. 

Seakan langsung dari langit melawan serombongan 

kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang 

berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka 

lalu  berkitar-kitar, berkelompok dan pecah. 

Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah 

lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang 

berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang 

menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup 

sampai ke dasar cawan. 

Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal 

bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan 

gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua 

menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak 

mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya. 

Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan 

kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu. 

Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam 

lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Dicerai-

beraikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu 

dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih 

tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina 

yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan 

perkasa. 

Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik 

sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang 

kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi 

sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, 

tersangsang pada selembar daun bunga. 

Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu 

adalah tengkorak . Kamaratih Tuban. 

Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana 

berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi 

ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya 

membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua 

gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang 

memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: tengkorak ! 

tengkorak ! 

Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang 

adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah 

semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan 

punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil 

menebarkan pandang pada semua orang yang duduk 

melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan 

mendesiskan keluh kesakitan. 

Sebelum tengkorak  turun menari di kalangan, satu barisan 

gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan 

keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan 

wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih 

salah seorang di antaranya. 

tengkorak ! tengkorak ! Hanya tengkorak ! Mengapa anak desa 

perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia 

menghembuskan nafas keluh dan ratap yang 

ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan se-

orang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun! 

Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah 

Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus 

merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi, 

menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlenggang-

lenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan, 

tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa 

jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang 

membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia 

dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis. 

tengkorak  nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan 

kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya, 

seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang 

kehilangan akal dan berputus asa. 

Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang 

memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan 

geletar jari-jari yang mengundang bercengkemayat  dan 

bercinta itu…. 

Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal, 

seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam 

genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun 

utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya! 

Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compang-

camping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada 

langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib 

Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih 

baru itu tidak lain dari dirinya. 

Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di 

belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampir-

hampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata 

rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan 

dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya 

terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak 

tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan 

kepayahannya menrsi s pemborongan rempah-rempah 

dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya. 

Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu 

mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan 

menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. tengkorak  menata 

diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang 

mengundurkan diri dari kalangan. 

Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham. 

Pertunjukan selesai. 

Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung 

masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan 

bayangan tentang tengkorak . Sebuah pintu rahasia telah 

membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya 

sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah 

pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke 

dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang 

memasuki ruangan rahasia. 

Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya 

ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang 

membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga 

bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan 

dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. 

Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib 

adipati yang digantikannya – tertumpas punah oleh 

ekspedisi hukuman Majapahit. Maka dibikinnya 

terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari 

kepungan. sesudah  bajak-bajak ini menyelesaikan 

pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan 

dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah 

dibuka lagi. 

Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit 

rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan 

larangan. 

Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia 

mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat 

kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki 

dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak. 

Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang 

menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu 

melapuk selama lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang 

basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang 

Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan 

tangan lain ia menanting pelita gantung. 

Gambar tengkorak  kembali mengunjungi pikirannya, dan 

dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih 

tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Krambil 

yang terindah itu. namun  tengkorak  telah jadi milik seseorang, 

telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia 

tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia 

harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia telah 

kirimkan Wirangmandala  jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh 

lakukan itu. 

Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia 

keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan. 

Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan 

dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang 

telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah 

hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai 

melumut di sana sini. 

Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di 

tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan 

pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang 

lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia 

tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia 

tutup dengan papan di dekat ujung, sebab  ia takut kalau-

kalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya. 

Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan 

gambaran tengkorak  silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap 

kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana Peranggi 

berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi 

yang akan diambilnya, gambaran tengkorak  juga yang muncul. 

Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. 

Ia keluar dan menuju ke keputrian. 

Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih 

membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis 

nama Wirangmandala  dengan huruf Jawa. Pada papan-papan 

yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang 

bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat 

itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu 

pulang dari Jepara. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang. 

Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya 

tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan. 

Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam 

tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, 

melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia 

mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya 

sekarang tak pernah terdapat jahawe. 

Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke 

dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur 

terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air 

dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari 

saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam 

gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan 

mengangguk. 

Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. 

Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan 

tangan menggerayang. 

Tak lebih dari setengah jam lalu  muncul tengkorak  

membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya 

nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap 

hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti. 

Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali 

nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di 

bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar 

dan meletakkannya di atas meja. lalu  ia 

meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin 

dan deburan laut malam ini. 

Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru 

sebab nya terdengar lebih keras dan menggelisahkan 

pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun 

tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was 

ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar. 

Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan 

nampan di atas meja, juga pelita itu. lalu  sambil 

berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada 

Hyang Widhi sebab  tarian telah ia lakukan dengan baik 

tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia 

tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkut-

paut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa 

rusuh sekarang ini sesudah  menarikannya. 

Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya 

terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu 

itu. 

Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok 

gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan 

menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik. 

Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada 

ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya 

berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu 

semalam ini? 

Dengan cundriknya tengkorak  menepak binatang mayat h itu 

sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara 

kakinya terpenggal. 

Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di 

sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. tengkorak  

melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali 

langit-langit dari jajaran papan. 

Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya 

lalu  menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. 

sesudah  itu ia pun minum dari gendi. 

Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok 

gigi. sesudah  itu, sebelum tidur, ia akan membacakan 

mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya 

kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan 

tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai 

berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan 

menuju ke ambin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada 

tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar 

tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan 

lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak 

atau digerakkan. 

Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia 

masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia 

ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus 

memasaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada 

tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa 

tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di 

awang-awang. Ia heran dan gugup, namun  tak dapat berbuat 

sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia 

terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari 

badan. Yang tersisa hanya suatu kesumayat n. 

Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke 

dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, namun  bersarong 

dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan 

tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya 

dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan 

disinarinya wajah tengkorak  yang terkapar di lantai, tertidur. 

Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita lalu  

dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati-

hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas 

ambin…. 

Keesokannya matari telah tinggi di langit sesudah  dengan 

susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri 

itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para 

nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya 

masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. 

EM dapur kesyahbandaran Nyi Gede Kati sudah sibuk 

memasak. 

tengkorak  belum juga muncul. 

Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke 

semua mataangin, tengkorak  baru membukakan mata. 

Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu 

impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia 

menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya. 

Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk. 

Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di 

tempatnya. Siapa gerangan telah memindahkan dari 

tempatnya yang biasa? 

Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali 

ada orang masuk ke kamamya ataukah mandala  sudah 

pulang? 

Ia hendak melompat turun. Tapi tubuhnya dirasainya 

sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya 

tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong. 

Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam 

sarongnya yang juga tergeletak di lantai. 

Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam 

sebelum tidur. 

Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas ambin. 

Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit 

dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki 

kecuak. Pelita gantung itu masih menyala namun  tidak di 

tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat 

dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan 

hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia 

dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata 

cumbu pada kupingnya. 

Ia memekik, namun  tak ada suara keluar dari mulutnya. 

Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke 

ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi 

bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangu-

mangu. Apakah benar impin itu? Tuan Syahbandar Tuban 

Sayid Habibullah Almasawa? 

Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang 

bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil 

dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas. 

Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari 

impian semalam. 

Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada 

tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian 

apakah yang kau berikan padaku ini?” 

Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. 

“Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi Gede Kati 

menolongnya berdiri. “Kau sakit?” 

Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di 

lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi 

ke tempat mandi. 

Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari 

itu ia nampak murung. namun  impian itu memburunya 

terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon, 

membaca mantera…. 

Tiga hari lalu , tengah malam, ia menghadap pada 

Hyang Widhi, memohon: “Kalau impian itu benar, duh 

Gusti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini? 

Ambillah dia kembali, Gusti.” 

Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan 

kepadanya. 

Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga 

Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan 

sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk 

menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang 

melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya 

bicara tentang itu. 

Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini 

barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan 

tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang 

sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. 

Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa 

datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk, 

dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan 

sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai 

sentuhan jenggot, kumis dan cambang-bauknya. 

Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. 

Mengapa dalam alam impian tak dapat? 

Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa 

sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa 

daya. 

Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan 

Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan 

pikiran itu saja sudah membikin ia bergidik, merasa diri tak 

ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada 

perlindungan Hyang Widhi. 

Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan 

kesyahbandaran dan pulang ke desa. namun  sang Adipati 

tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani 

mempersembahkan alasan. 

Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini: 

ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung. 

Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang 

Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda 

belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di 

ambin kayu berukir. 

“Kau pucat dan kurus, tengkorak , Kamaratih Tuban. Ada 

apa gerangan, pujaan Tuban?” 

”Ampun, Gusti sesembahan patik, justru itulah sebabnya 

patik datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun Gusti 

Adipati pada patik, sebab  patik berhalangan untuk menari 

dalam beberapa bulan ini.” 

”Ah-ya, tengkorak , agaknya kami mengerti. Barangkali kau 

mengandung.”  

“Demikianlah adanya, Gusti sesembahan patik.”  

“Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak 

berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. 

Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.” 

Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya 

yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk 

membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam 

impian tidak punya kemampuan. “Adakah lagi yang 

hendak kau persembahkan?”  

“Ampun, Gusti, bila diperkenankan, patik memohon 

diperkenankan pulang ke desa Gusti.” 

Sang Adipati tertawa mayat h dan tulus. 

‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta 

pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan 

itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala tengkorak  dan 

hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya 

kembali. 

“Jangan,” larangnya sesudah  duduk kembali di ambin. 

“Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan 

seseorang untuk membantu atau menemanimu di 

rumah….” 

Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang 

bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk tengkorak . 

“Dengar, tengkorak , seluruh Tuban dan kami sendiri sangat 

menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan 

kawula Tuban dan kami selama ini. Kau sekarang 

mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami 

tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah 

hiburan untukmu, majulah tengkorak , dan terimalah.” tengkorak  

mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang 

Adipati. 

“Dan sejak hari ini. tengkorak , kami berkenan mengangkat 

kau dengan gelar Nyi Gede,” lalu  pada menteri-

dalam, “hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada 

sore hari ini juga,” dan kembali pada tengkorak , “pulanglah 

kau, Nyi Gede, sejahtera untukmu!” 

Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan 

sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya. 

Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan 

berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih 

Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk 

menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi 

semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang 

dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh 

negeri di lalu  hari. 

Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong 

mengerumuni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Paman 

Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan 

sumbangan kepada tengkorak . 

Sebaliknya tengkorak  semakin berkecil hati. Semakin hari ia 

semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan 

sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari 

balik kulitnya. 

Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di 

ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk 

setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya 

dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti 

tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu 

kata. 

Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari 

kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakan-

teriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah 

kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang 

mandala . Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia 

anak Kang mandala . 

Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba 

meyakinkan diri sendiri: ”Kau anak Kang mandala , Nak, 

anak Kang mandala , tidak bisa lain.” Sambil membelai 

perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau 

drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku? 

Kau anak Kang mandala .” 

Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada 

tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu 

mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan 

Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak 

Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, tengkorak ! Tetap tak ada 

seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu 

tentangnya. 

Nyi Gede Kati pernah menegumya: “Banyak wanita tak 

bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau, 

tengkorak , mengapa murung seperti tak rela mendapatkan 

karunia?” 

Ia semakin kurus juga dan ketentemayat n batinnya tak 

juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut 

menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan 

mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku 

mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya 

Batara, dan berikan pada kami impian dulu dan selalu kami 

pohonkan dulu kepada-Mu. 

Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang 

Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguh-

sungguh telah kehilangan kesemayat n dan kesungguhan. 

Dan: Ya, Batara, biarlah Kang mandala  tahu lebih dahulu 

anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia 

puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi 

haknya, sebab  hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada 

gunanya.. 

0o-dw-o0 

 

Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseru-

seru riang: ‘Tuan Syahbandar-muda datang, Nyi Gede!” 

tengkorak  merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki 

seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa 

pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, 

kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin. 

Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin 

perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminyakinya 

dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan 

sendiri. lalu  dengan terburu-buru menggosok gigi 

dengan tepung arang. 

Kang mandala  datang, hatinya ia paksa menyanyi keras 

untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap 

kesempatan itu. 

Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu 

suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di 

depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya. 

Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya. 

Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul. 

“Benar, Nyi Gede,” jawab Paman Marta. “Sahaya 

sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di 

bandar.” 

Lelaki itu bergegas meninggalkan pelataran 

kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseri-

seri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta 

yang sedang merana itu. Tak lama lalu  ia muncul lagi 

dan berdiri menekur di hadapan tengkorak ; “Orang bilang, Nyi 

Gede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.” 

Nyi Gede Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan 

berdarah, tengkorak . Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu? 

Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu?” 

“Bolehkah sahaya pergi, Nyi Gede?” Paman Marta 

minta diri. 

tengkorak  mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk 

meneruskan pekerjaannya. 

“Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi Gede.” 

“Sebaiknya kau kenakan, Nak.” 

“Mengapa dia tak langsung pulang?” tengkorak  bertanya 

dengan nada protes. 

“Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus 

menghadap dulu. Itu kewajibannya.” 

tengkorak  masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk 

mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian 

karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia 

yang telah diterimanya sesudah  kepergian suaminya. Suatu 

kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian 

tenunan sendiri. 

Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu 

nampak memasuki pelataran depan. tengkorak  berdiri 

menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya telah 

merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu 

sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan membisikkan kata-

kata cumbu. 

Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya 

buyar. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni 

tangga kesyahbandaran dan memanggil suaminya yang 

sedang berjalan menuju padanya. 

mandala  berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk 

pada Syahbandar, majikannya. 

Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia 

tegakkan bongkok, melambai lalu  bertepuk-tepuk: 

“Wira, Ah, Wira!” 

Dan Wirangmandala  mengiringkannya masuk ke gedung 

utama. 

“Semua orang memilikinya, kecuali aku,” tengkorak  

memprotes. 

“Mari ke gedung utama, tengkorak ,” Nyi Gede Kati 

mengajak. 

Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: 

“Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau 

pulang, biarlah tak muncul lagi.” 

“Cemburu kau, tengkorak ?” 

tengkorak  tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya, 

tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia 

Nyi Gede Kati menghibumya. 

“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, lalu  

melangkah cepat-cepat ke gedung utama. tengkorak  masuk ke 

dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal telah 

mengasari Nyi Gede Kati yang selama itu begitu baik 

terhadapnya. Tak lama lalu  diketahuinya suaminya 

masuk. Terdengar olehnya suaran