nusantara awal abad 16 7

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 7


 


, barangkali untuk memahami apa yang 

dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat Yakub menunduk 

sambil meneruskan katanya “Betul, juga di sini, Tuan, 

bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di 

mana pun, di Lisboa atau Madrid.” 

Syahbandar itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia 

balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan 

perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah 

dengan senyum pada bibir. 

”Rupa-rupanya kau, Yakub, seperti aku juga, petugas 

Sang Adipati,” ia berkata mencoba-coba. 

“Ohoi!” Yakub berseru pelan. “Terkejut benar 

nampaknya Tuan. Mana bisa Yakub seperti Tuan 

Syahbandar? Biar pun hanya peranakan Arab dengan 

Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si Yakub ini 

mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang 

agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di 

sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan Syahbandar?” ia 

tertawa menyelidik. 

“Allah melindungi aku dari perbuatan menghina. 

sebab , di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi 

terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk 

seluruh umatnya.” 

Yakub tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan 

Tholib Sungkar meneruskan pandang padanya. 

“Allah memberkahi orang yang tak mudah marah. 

Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan Syahbandar? Tuan 

Sayid?” 

“Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah,” 

ia lihat Yakub meneruskan pandang padanya. 

“Tuan agaknya salah tangkap,” Yakub membetulkan. 

“Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan 

selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan Sayid, kapan pun 

Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk 

jasa Yakub yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah, 

Tuan Syahbandar.” 

“Manakah di Tuban yang kecil ini ada jasa yang baik apa 

lagi besar?” 

“Pada Yakub, tuan Sayid, jasa selalu tersedia, besar dan 

baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau 

malam, pagi atau sore.” 

“Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dulu, Yakub. 

Tuban menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila. 

Assalamualaikum,” dan dengan kata itu ia pun pergi 

meninggalkan warung. 

Wirangmandala  mengikutinya pulang ke kesyahbandaran. 

Ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan langsung 

menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, lalu  

mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba 

mengintip dari sana dan sini. sebab  tak melihat sesuatu 

pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam 

gedung utama dari pintu tengah. 

Tahu lah Wirangmandala  sekarang, tidak lain dari tuan 

Syahbandar yang jadi bayangan selama ini. Dan 

keluarganyalah sasarannya. 

0o-dw-o0 

 

8. Wirangmandala  Pergi ke Barat  

tengkorak  mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke 

dalam kapal dagang berbendera Tuban. 

Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. 

Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya. 

Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat 

tengkorak  mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam 

menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu 

keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang 

padanya. 

“Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana 

pun, Kang.” 

“Kapal akan segera berangkat, Dayu.” 

“Aku kuatir, Kang.” 

“Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan 

sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada mayat  arwah ” 

tengkorak  menggandeng tangan suaminya dan turun kembali 

ke dermaga. 

“Apa pun yang terjadi, tengkorak , hadapi semua dengan 

tabah.” 

“Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa 

saja.” 

“Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten? 

Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari Gusti 

Adipati sendiri?” 

“Kang, aku kuatir,” tengkorak  berbisik dan memandangi 

suaminya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. Di desa 

aku tak pernah takut seperti ini.” 

“Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira,” 

seseorang di antara para perubung mengusulkan. 

“Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian 

sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran 

kesyahbandaran.” 

Nahkoda datang mewartakan pada Wirangmandala  layar 

akan segera dipasang dan kapal akan berangkat. 

Wirangmandala  mengusap-usap rambut istrinya. 

“Allah bersama denganmu, Wirangmandala !” seru Tholib 

Sungkar Az-Zubaid. 

“Sejahtera, sejahtera untukmu, mandala , dan istrimu,” 

kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil 

dan makin…. 

Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, 

makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin 

kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu 

mengantarkan tengkorak  sampai ke kesyahbandaran…. 

Wirangmandala  dan Pada memandangi semua yang 

bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari 

pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan 

keleluasaan alam. 

Terdengar Pada mengeluh. Wirangmandala  sambil 

berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada 

dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau 

keluhkan?” 

“Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun 

kadang-kadang mengeluh juga.” 

“Apa yang dikeluhkan kuda?”. 

“Kita akan ke mana, Kang?” 

“Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab. 

Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.” 

“Kita ke Banten, Kang? Betapa jauh dan lama.” 

“Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh 

dari keputrian? Dari para selir?” 

“Kang!” Pada terpekik terkejut. 

Wirangmandala  pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan 

pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa 

yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan 

perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri 

penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan. 

Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing 

hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari. 

Dalam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas 

memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan 

mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang 

aku harus pergi dari Tuban. Apakah yang bakal terjadi? 

Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan 

hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada tengkorak  

sendiri. 

Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan 

pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela 

diri!” Dan pada Nyi Gede Kati ia mengharap agar dia sudi 

ikut menjaga keselamatan tengkorak . 

sesudah  berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan 

pada seorang bekas penrsi s harem. Bekas penrsi s 

harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan 

kesetiaan? Bekas penrsi s harem! Harem! 

“Kang!” Pada mengulangi tegurannya. 

“Mengapa kau terkejut, Pada?” 

“Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku 

dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa 

tentang mereka,” Pada membela diri, menghiba-hiba. 

”Takut benar kau nampaknya, Pada.” 

Dan kapal terus berlayar. 

“Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi Gede Kati telah 

diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke…” 

“Dari mana kau tahu mereka kena hukuman? Dan siapa 

mereka itu?” 

“Semua orang membicarakan, Nyi Gede penrsi s. Nyi 

Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?” 

“Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian 

dan masuk ke dalamnya, Pada?” 

“Kang!” Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya. 

“Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.” 

“Ah, Kang mandala , Kang mandala ,” bisiknya menghiba-

hiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? Dan bagaimana bisa 

aku ke sana?” 

Wirangmandala  menatap Pada sambil menggeleng. 

“Paling tidak,” Syahbandar-muda itu menepuk bahunya 

beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk 

ke sana ” 

“Kang mandala , kakangku sendiri… tega kau berkata 

begitu.” karanya gugup dan megap-megap. 

“… Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu 

tmggi itu, dan kau memanjat masuk.” 

“Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, 

Kang.” 

“Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa 

tentang dirimu sendiri.” 

“Kang!” Pada terpekik lagi. 

“Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi?” 

“Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.” 

“Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku 

kakangmu?” 

“Kang tega, kau, Kang” suara Pada telah menghampiri 

sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya. 

“Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana 

saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam 

keputrian?” 

Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu 

bicara. 

Sewaktu Wirangmandala  melecuti anak itu dengan 

pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, tengkorak . Sekiranya 

tengkorak  dulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir 

sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan 

datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan 

pada tubuh kekasihnya? Darahnya tersirap dan dengan 

sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan 

Pada. 

Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa 

metepaskan kembali. 

Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu, 

lalu  memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut. 

“Di asmayat  dulu kau mengenakan gelang, kalung dan 

cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang 

itu sekarang?” 

“Kau siksa aku begini macarn, Kang.” 

“Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir 

mana yang telah beri kau semua itu?” 

“Kang, tega kau…” 

“Di mana barang-barang itu sekarang, Pada?” 

Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke 

permukaan laut. 

“Bocah berumur lima belas!” Wirangmandala  meludah ke 

geladak. 

“Kata orang, gandarwa berumur dua ratus tahun baru 

mulai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas! 

Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya.” 

“Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memohon. 

Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan telah 

terjadi permusuhan bat in antara mereka. 

Wirangmandala  melepaskan pandang ke sebelah selatan, 

pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di 

kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia 

berada di atas kapal dagang ini. 

Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan 

Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak 

mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau 

menrsi s ternak: babi, sapi, ayam dan anjing. 

“Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang 

lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau 

menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa 

Syahbandar Tuban?” 

“Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran. 

“Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku 

tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa 

kau bodohi begitu gampang?” ia buang pandangnya ke 

tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak 

mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali 

orang harus mengakui kebenaran.” 

Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang 

juara gulat yang mengancam itu. 

“Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” Syahbandar 

muda itu memaksa. “Berapa kali kau tuliskan surat untuk 

Syahbandar?” 

“Kang mandala , bukankah tak lain dari Kakang sendiri 

yang tahu, semua! Kewajibanku telah kulakukan dengan 

baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu 

dan Mbok Ayu tengkorak ? Sekalipun harus melanggar aturan 

yang ada?” 

Wirangmandala  membatalkan niatnya untuk menyakiti 

bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa 

segan melakukan. 

“Sang Adipati juga memuji kecakapanmu. Kalau kau 

anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di lalu  

hari. Aku dan tengkorak  takkan melupakan jasa-jasamu. Yang 

aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah 

kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang 

Adipati?” 

Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak 

itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini: 

untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan 

Wirangmandala  yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang 

yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah 

pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak 

berani mengangkat muka. 

“Kau tak menjawab, Pada,” ia lemparkan pandang jauh-

jauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku 

hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya 

dibandingkan  perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia 

menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. 

“Bukankah masih kau akui aku kakangmu?” 

“Ya, Kang.” 

“Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya.” 

Pada tak juga mau menjawab. 

Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan 

Wirangmandala  mencekam rambut Pada yang jatuh terurai 

dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak 

menyakiti. 

“Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya 

tanpa melihat kepadanya, “mengapa kau suka memasuki 

keputrian?” Juga tak berjawab. “Mengapa kau menulis 

surat di atas kertas untuk Nyi Gede Kati dan Sayid 

Habibullah Almasawa?” Tak berjawab. “Baiklah kau tak 

mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku 

sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan?” 

Tak terduga oleh Wirangmandala  si bocah Pada menjawab 

tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat 

perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang mandala , 

ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku 

tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau 

aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku 

pada Mbokayu tengkorak , Kang. Tak ada sebuah dapat 

kusampaikan pada siapa pun, sebab  tak ada orangtua dan 

sanak padaku.” 

“Mengapa pada tengkorak ?” 

“sebab  seluruh Tuban memujanya, juga aku, Kang. 

Maukah kau?” 

“Katakan sesuatu padaku, Pada.” 

“Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang. 

Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. 

Semua sudah kukatakan dan jawab.” 

“Ayoh, katakan, katakan sesuatu.” 

Anak itu justru membisu. 

Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat 

itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini, 

mandala . Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya 

dari muka bumi sebab  perintah cemburu hatimu sendiri. 

Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di 

hadapanmu ada Gusti Adipati. Dan kau takkan mampu 

melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar 

Tuban, kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu. 

Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. 

Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani 

berbuat, hanya sebab  cemburu yang tidak terbukti. Ba-

gaimana kau ini, mandala ? Pengikut mayat  arwah ? Kau 

bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu. 

Syahbandar muda itu malu punya perasaan cemburu 

terhadap si bocah itu. tengkorak  sendiri lebih tidak berdaya! 

Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat 

menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang Adipati dan 

Syahbandar Tuban? Dia yang tertinggal di daerah larangan, 

di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan Nyi Gede 

Kati, bekas penrsi s harem, yang sudah selayaknya akan 

membantu suaminya menundukkan tengkorak . Mengapa bocah 

ini harus jadi sasaran kekacauanku? 

Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran 

masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondar-

mandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara 

sesuatu. 

Matari makin lama makin condong. Angin laut yang 

bertiup dari belakang menyebabkan rambut mereka tergerai 

di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan 

antara sebentar terdengar gelepar. 

“Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang” tiba-tiba 

Pada berkata seperti pada diri sendiri. 

“Mengapa kau punya pikiran aku akan membunuhmu?” 

“Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila 

orang dianggap merugikannya?” 

“Siapakah aku ini maka harus membunuh kau?” 

“Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan 

membunuh aku atas perintah Gusti Adipati.” 

“Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan 

diri Sayid…” 

“Kalau aku harus dibunuh sebab  surat dan keputrian; 

sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh sebab  yang itu 

juga, hanya surat itu untuk Kang mandala  dan Mbokayu 

tengkorak .” 

“Bukankah telah kukatakan kami berdua 

berterimakasih?” Dan semakin heran ia mengapa si bocah 

itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat 

pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke 

laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: 

“Tiadakah kau takut pada hiu, Pada?” 

Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya. 

“Kata orang,” Pada mulai seperti hendak mendongeng, 

“barangsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut. 

Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu.” 

Kembali mereka berdiam diri. 

Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik 

Wirangmandala  mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari 

tempat. Dan matari dengan lambatnya ma km mendekati 

ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit. 

“Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.” 

Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak 

dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan kata-

katanya ia tak kenal. sesudah  seruan selesai ia merangkul 

Pada dengan mesra. 

“Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata 

benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau 

melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau 

melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya 

nafasmu, Pada?” 

“Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus 

bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke 

Tuban Demi Batara Kala. Percayalah.” 

“Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada 

mbokayumu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, 

aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. 

Cepat, melompat!” 

namun  Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di 

atas geladak itu, menyembah Wirangmandala  mencium 

kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding 

lambung. 

“Aku pergi, Kang.” 

lalu  menyusul bunyi benda jatuh ke laut. 

“Mati!” teriak Wirangmandala  sekuat-kuatnya. “Mau kau, 

Pada! Mati!” 

Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. 

Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka 

dan dengan nada resmi mengumumkan: “Telah kubunuh 

atas titah Gusti Adipati Tuban Arya Teja Tumenggimg 

Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh 

dan kulemparkan dia ke laut.” 

Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan 

menuruni tangga geladak untuk mendapatkan makannya. 

Dari mereka yang tak suka pada Demak, sindiran datang 

tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk: 

“Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat 

yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut 

jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu 

dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir 

musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai. 

Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di 

tepi pantai!” 

Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam 

bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di 

pedalaman, sebab  Peranggi bakal datang! 

Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di 

tengah-tengah Demak sendiri. 

Putra mahkota Demak, Adipati Kudus Pangeran 

Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap 

kesempatan ia memerlukan menangkis: “Mereka bilang, 

Peranggi lelananging jagad, menguasai segala yang 

dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat Demak. 

Suruh dia melihat Demak, dan dia akan melihat 

kuburannya sendiri.” 

Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap 

ayahandanya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, 

memohon satu kesatuan balatentara pilihan. Dengan modal 

itu ia menyerbu Jepara menduduki dan menguasainya. Kini 

Demak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi 

Adipati Demak dengan gelar Adipati Unus. Dan Unus 

dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia 

pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca 

negara. Itulah jawaban Demak terhadap sindiran takut pada 

Peranggi. 

namun  orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar 

putra mahkota. Sindiran terus juga datang. 

Portugis menduduki Malaka. 

Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, Peranggi 

sudah menduduki Malaka. Demak menduduki Jepara. 

Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari bandar 

masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak 

berpandang-pandangan lagi.” 

Adipati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadapan 

para punggawa, yang ditugaskan membangun galangan-

galangan besar, berkata: “Ketahuilah, bila kelak Peranggi 

tidak datang ke Jepara untuk menantang Demak, maka dari 

Jepara akan datang Demak ke Malaka menentang 

Peranggi.” 

Sindiran-sindiran padam sesudah  jelas Adipati Unus 

Jepara tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan 

kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga 

dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari 

Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu 

beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng 

untuk membikin cetbang yang direncanakannya sendiri, 

khusus untuk menghadapi Peranggi. 

Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan 

harus selesai pada waktunya.. Permunculannya 

menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras 

didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal. 

Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang 

cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke 

pinggiran bandar jepara. 

Dengan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka. 

mandala  mendarat di bandar Yuana – bandar milik Tuban 

yang terletak di wilayah paling barat, sesudah  Jepara jatuh ke 

tangan Demak 

Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia 

datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat 

pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia 

perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu 

apa. Tak ada seorang pun dikenalnya. 

Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua 

orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung 

dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong 

atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang 

menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang 

membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah, 

Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang 

melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu 

pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan 

kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana 

kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut. 

Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir 

mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling 

jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin 

kapur. 

Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga 

dengan di bandar galangan Glendong. 

Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang 

baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu 

seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. 

Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban. 

“Hai, kau! Tidak bekerja?” 

Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di 

tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring. 

Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah 

meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa 

kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanmu.” 

“Hanya memikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah 

Jepara. 

“Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul” 

Dengan demikian mulailah Wirangmandala  bekerja 

sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan 

ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang 

membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. 

sesudah  makan malam orang pun merebahkan diri berjajar-

jajar seperti di asmayat  di Tuban dulu, hanya ambin di sini 

tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan 

kepinding menyerang dari segala penjuru. 

Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. Namun 

tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang 

orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang 

tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain, 

mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan 

pengetahuan. 

Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan 

tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang 

yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari 

pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia 

berusaha mendengarkan segala apa yang dapat 

didengamya. 

Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar 

seorang pekerja berkata pada teman-temannya. 

“Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja 

yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak 

bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada 

karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, 

dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak 

kurang suatu apa.” 

“Apakah kau pernah hidup di dalam istana?” 

“Tidak.” 

“Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah 

menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya 

namun dibunuh juga oleh raja?” 

“Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya 

sebab  cemburu kalau-kalau orang itu akan 

menggulingkannya.” 

“Betul, itu memang ada,” orang lain membenarkan. 

“Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang 

cantik.” 

Jantung Wirangmandala  berdebar-debar. tengkorak  muncul 

dalam penglihatan batinnya. Tapi segera lalu  lenyap 

oleh kata-kata orang tersebut. 

“Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan Islam tak ada 

raja lalim, semua adil.” 

“Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiranya raja 

Islam itu lalim, siapa yang menghukumnya? Ataukah tidak 

akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau 

Buddha atau Wisynu?” 

Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. 

Pikirannya sibuk menrsi s kekuatirannya sendiri. 

0o-dw-o0 

 

Beberapa minggu lalu  tahulah ia, pekerja yang 

suka memberikan cemayat h itu tak lain dari seorang musafir 

Demak, seorang di antara para pemasyhur Demak dan 

Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri 

Hayatullah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil 

memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, sebab  dilahirkan 

pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatullah 

menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra 

Adipati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada 

Demak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah 

Demak. 

“Betapa hebatnya kerajaan Islam pertama-tama ini,” ia 

meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum 

seberapa umumya, tapi lebih baik dibandingkan  semua kerajaan 

yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa 

batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu….” 

Dari ujung ambin seseorang membentak “Tutup 

mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan 

membual.” 

Dalam kegelapan itu Wirangmandala  membayangkan 

Hayatullah terduduk dari rndan mencari-cari 

penyangkalnya, sebab  tak lama lalu  terdengar 

musafir Demak itu menanya. 

“Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana 

mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira 

kau seorang pangeran tersasar?” 

“Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah 

malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu 

tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir 

raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak 

keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa, 

ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. 

Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.” 

Ternyata Hayatullah tak mau diam. Dengan berapi-api ia 

ganti menyangkal: “Itu katamu. Siapa yang menjamin hak-

hak itu dilaksanakan?” 

“Goblok kau! Menteri-dalam menrsi s semua itu.” 

“Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan 

kewajibannya?” 

“Yang menjamin Hayatullah alias Anggoro tentu,” 

penyangkal itu berseru jengkel, lalu  sengaja 

memperdengarkan kuapnya. 

“Jangan mempermain-mainkan aturan, kau,” Hayatullah 

memperingatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku 

tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam 

kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan 

biar kau tahu sedikit tentang Demak, sebab  bagaimana 

pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula Demak.” 

Pertentangan itu menyebabkan orang-orang diam 

mendengarkan. 

“Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua 

mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu 

aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang 

bemama Nitisastra.” 

Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek. 

“Hayatullah! Tahu apa kau tentang Nitisastra? 

Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa 

pun kau tak tahu….” 

“Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang 

harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya,” Hayatullah 

meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya. 

“Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra,” seorang 

lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada banyak 

aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku 

sebutkan satu-per-satu?” 

“Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua 

ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” Hayatullah 

meneruskan, “tak dapat dibandingkan dengan Alqur’an 

atau Alkitab atau Alfurkon, sebab  kitab ini berasal dari 

Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para 

raja dan para empu, para pujangga.” 

Untuk ke sekian kalinya Wirangmandala  telah tertidur 

sebelum cemayat h selesai. 

0o-dw-o0 

 

Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba 

memperhatikan Hayatullah. Tubuhnya kecil rapuh, otot-

ototnya pendak dan tipis, namun  ia bekerja tanpa henti-henti. 

Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. 

Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang 

ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi 

menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, 

membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, menggelar 

tikar di bawah sebatang pohon, lalu  bersembahyang. 

Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah 

pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung 

bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh 

para rsi -pembicara di desa-desa. Bedanya, para rsi -

pembicara di desa-desa bicara pada mereka yang 

mempunyai perhatian, musafir Demak ini bicara terus tak 

peduli ada yang dengar atau tidak. 

“Siapakah putra-putra Tuban di Demak?” mandala  

memberanikan diri bertanya. 

“Lidahmu seperti lidah Tuban,” tegur Hayatullah. 

‘Tidak.” 

“Dari Lao Sam barangkali?” 

“Dua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu. 

“Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putra-

putra Tuban yang terkemuka di Demak ialah Raden 

Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota 

Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji, 

Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya 

Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya 

dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya.” 

“Mengapa dibuang gelar dari leluhumya?” 

“Gelar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di 

dalamnya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang yang 

dinilai oleh sesama dan oleh Allah. Perbuatan atau amal Ki 

Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya, 

sebab  barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar.” 

Di Tuban sendiri memang tak pernah terdengar. 

“Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengembara ke 

mana-mana untuk memasyhurkan Islam. Beliau keluar-

masuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa 

seperti para rsi -pembkara yang tak tahu apaapa tentang 

wahyu Allah itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawah-

bawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main 

dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan 

mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut 

mendengarkan. lalu  juga para bapak.” 

“Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah 

para dewa?” 

“Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, sebab  

nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah 

ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, 

menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah. 

Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu 

ngawur.” 

“Siapa bilang para dewa tidak ada?” 

“Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan 

padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju 

dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. Wirangmandala  

diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di 

balai-desa mendengarkan seorang rsi -pembicara. Waktu 

ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatullah yang tak 

mengacuhkan gangguan. 

“Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah 

desa. Mereka adalah orang-orang kafir penyembah Sang 

Kali” 

“Apa kafir itu?” 

“Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para 

nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah 

berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir 

namanya.” 

“Ngawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah 

Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha” 

mandala  membantah sebab  tersinggung. “Kalau kau bilang 

Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan 

saja kepalamu sendiri.” 

namun  Hayatullah tak peduli dan meneruskan. “Anak-

anak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. 

lalu  juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi, 

perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara 

tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya 

mereka dapat ditaubatkan.” 

“Apa artinya ditaubatkan?” 

“Diyakinkan akan kebenaran Islam, dan membawa 

mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. 

Mereka menyembah Allah dan mendengarkan perintah dan 

meninggalkan larangan-Nya.” Ia diam sebentar. “Kau 

sudah tidur?” dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia 

meneruskan, “sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki 

Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk 

seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis 

kerajaan Demak. Tidak sembarang orang bisa. Raja 

Majapahit pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu, 

sebab  pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di 

dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan 

sidangnya, namun  menentukan. Enam hari dalam seminggu 

Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam, 

memasyhurkan Islam dan Demak di desa-desa.” 

Wirangmandala  telah tertidur. 

Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembikinan 

kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, 

tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan 

dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut 

lima ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar 

pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa 

dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa. 

Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat menembusinya. 

Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka 

sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru 

soal-soal lain yang orang percakapkan. 

Pada malam-malam selanjutnya Hayatullah tak muncul. 

Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan, 

sebab  si pengganggu tidur membiarkan mereka 

melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang 

yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desa-

desa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui hal-

hal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini. 

Lama-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang 

diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata 

mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak 

seorang diri bersembahyang. Ia telah mempunyai pengikut, 

dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran 

orang waktu lalu  mengetahui, tak lain dari Sang 

Adipati Unus Jepara sendiri yang memerintahkan 

pembangunan rumah sembahyang di tempat Hayatullah 

biasa bersembahyang. 

Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat 

terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas. 

Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi. 

namun  ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi 

orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau 

menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai 

didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh – 

suka atau tidak suka. 

“Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, tempat 

orang menyembah Hyang baru itu, mengurangi kelajuan 

pembikinan kapal?” sekali waktu seseorang bertanya dalam 

kegelapan. 

“Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?” 

seorang lain lagi bertanya. 

“Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah 

itu menyendatkan pembikinan kapal? Kapal dan Islam akan 

belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah 

arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkembang di antara 

kawulanya? Tidak seperti Hindu dan Buddha, orang-orang 

desa harus bangunkan sendiri asmayat , mandala dan 

perrsi an sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk 

menumpas Peranggi yang jelas-jelas, memusuhi Islam. 

Peranggi tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa, 

sebab  cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk 

Islam.” 

“Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk 

Islam?” 

“Tak ada yang memaksa kalian masuk Islam. Adakah 

aku memaksa kalian masuk Islam dan bertaubat? Adakah 

pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan 

mengikutinya?namun  sebab  aturan Islam adalah yang 

terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang 

tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah 

sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, 

tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.” 

Hayatullah meneruskan kata-katanya tentang agamanya. 

Wirangmandala  tak mendengarkan lagi walaupun belum 

tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara 

mempersiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk 

melindungi Islam, bukan untuk memanggil kejayaan dan 

kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. Unus akan 

membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan 

kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan 

kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak 

ikut jadi bagian dari padanya. 

Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan 

pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai 

Bareng itu temyata lebih besar dibandingkan  buatan Tuban. 

Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilik-

ledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat 

bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan 

dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat 

peluru cetbang. 

Dua bulan lalu  ia tinggalkan juga pekerjaan 

barunya. 

0o-dw-o0 

 

Seorang diri ia berjalan kaki memasuki Demak. namun  

tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan 

penyempumaan pembangunan mesjid raya, pembangunan 

jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah 

perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden 

Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga 

sedang memasuki mesjid. Orang yang tersohor itu 

berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, 

berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup 

badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak 

begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus. 

Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada 

bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut. 

Berbeda dengan di Jepara, di Demak di mana-mana 

orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan 

tentang sekutu Demak yang akan bergabung dalam armada 

kesatuan, semua kerajaan Islam termasuk Tuban. 

Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya, 

walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya. 

Kalau Demak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa, 

mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan 

Islam? Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: Demak 

punya sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua 

akan menyerang Malaka. 

sesudah  lebih enam bulan meninggalkan Tuban ia merasa 

telah cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala 

sesuatu tentang persiapan Adipati Unus Jepara. Ia 

bermaksud pulang. Di tinggalkannya Demak dan berangkat 

kembali ke Jepara. 

Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan 

orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian 

aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut 

hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri 

dari mata pedang dan mata tombak. Orang bersorak-sorak 

mengejamya. 

Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, 

mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar lalu  

layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah 

timur laksana burung camar. 

Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan 

mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada 

tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar. 

Maka pengejaran tak diteruskan. 

Di bandar orang-orang pada duduk menyembah 

seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh 

beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu 

lalu  menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit 

putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam 

setempat: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan 

berkeliaran disini? Jawab, kau, Syahbandar.” 

“Ampun, Gusti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada 

aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya.” 

“Apa katamu?” 

“Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk 

menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar 

saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,” 

Syahbandar Jepara menerangkan. “Atau orang tidak 

melewati daerah bandar. Boleh saja.” 

“Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau 

ijinkan mereka?” 

“Mengapa, Gusti? sebab  Jepara bandar bebas.” 

“Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri? Ini 

pelabuhan Demak, bukan pelabuhan siapa saja.” 

“Ini pelabuhan bebas, Gusti,” Syahbandar 

membangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh 

Gusti Kanjeng Sultan ataupun oleh Gusti Kanjeng 

Adipati.” 

Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam 

sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang 

terhadap pelabuhan ini. namun  mengapa mereka kau 

biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan 

bengkel?” 

“Belum pernah ada larangan.” 

“Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka, 

pendatang-pendatang? berkulit putih itu?” 

“Jepara pelabuhan bebas, Gusti.” 

“Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan 

terhadap Peranggi? Mata-mata dari Malaka, atau 

diturunkan dari kapal Peranggi?” 

“Memang mereka Peranggi, Gusti, dan Jepara masih 

tetap pelabuhan bebas.” 

“Kami akan persembahkan pada Gusti Jepara. Apa 

kebangsaanmu, Syahbandar?” 

“Koja, Gusti. Islam agama sahaya.” 

Wirangmandala  duduk di bawah sebatang pohon kenari 

dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi 

temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum 

lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani orang-orang kulit 

putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang 

memusuhinya. 

“Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa 

saja mereka perbuat di sini?” Syahbandar tak dapat 

menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya 

melihat-lihat sambil tertawa-tawa, Gusti.” 

“Mentertawakan siapa?” 

“Ampun, Gusti,” orang itu meneruskan, “tak ada yang 

mengerti bahasanya.” 

Wirangmandala  menangguhkan kepulangannya. 

Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu 

kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya. 

Kelanjutannya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan 

dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan. 

Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya 

sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. 

Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah 

Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah 

ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah 

Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban? 

Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan 

Benggala itu? Di Tuban orang tidak suka pada Rangga 

Iskak ataupun Sayid Habibullah Alamasawa. Syahbandar 

Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun 

mengherani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga 

menggunakan orang asing. 

Sebelum berangkat ke Tuban ia memerlukan minta diri 

pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke 

galangan dan bengkel. Hayatullah tak dijumpainya. Ia 

temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. 

Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu 

nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di 

hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata 

yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya. 

Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba 

menirukan, namun  tak bisa. Ia dengarkan Hayatullah 

membacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, lalu  

terjemahannya dalam bahasa Melayu, lalu  

terjemahannya dalam bahasa Jawa: “Dengan nama Allah 

yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: 

Berlindung aku pada…,” kata-kata selanjumya 

Wirangmandala  tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang 

diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila 

telah datang. Dan dari bahaya…. Dan dari bahaya orang 

dengki, bila ia marasa dengki….” 

Kalimat-kalimat itu tak punya kesamaan dengan acuan 

sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti. 

Dan Hayatullah alias Anggoro masih juga terus mengajar. 

Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya, 

berjalan pelan menuju ke laut…. 

0o-dw-o0 

 

9. Esteban dan Rodriguez 

Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan 

diri. 

Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud 

hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara 

sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan 

penduduknya yang masih perbegu. 

Dua orang itu adalah pemuda-pemuda Portugis 

keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. 

Dua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal 

Peranggi. 

Berita kemenangan-kemenangan Portugis di seluruh 

permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di 

seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang 

berlimpahan, telah memanggil pemuda-pemuda Portugis, 

meninggalkan desanya masing-masing untuk 

menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan 

berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang 

lautan. 

Juga Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Mereka tak 

mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan 

harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga 

ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan 

diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang 

lain-lain. Mereka diterima sesudah  menyodorkan uang 

sogokan. 

Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal 

lalu  meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, 

menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal 

saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak 

ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu 

melawan. Dengan meriam segala yang nampak di laut dan 

di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi. 

Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi 

melawan armada gabungan negeri-negeri Islam yang 

dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan 

mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap 

Portugis. 

Portugis penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga 

menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu. 

Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian 

bila melihat salib raksasa yang tergambar pada layar. 

Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka 

sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap 

peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang 

menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka, 

seakan memberitahukan: pelurumu kena. 

namun  kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan 

pengembaraan semacam itu, kehidupan tanpa perubahan, 

lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan 

setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu 

yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar 

saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat 

melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri 

sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang 

mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di 

keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan 

diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan 

badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang 

mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan 

kesenangan yang tak terbatas. 

Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan, 

mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat 

kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan 

kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada 

selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai 

putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja 

pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan 

taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. 

Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila 

pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap 

barang. Dan setiap kali menginjak bumi kafir, 

bergemalakan nama Jesus dalam hati: daratan ini akan 

segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih. 

Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga. 

Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki 

lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat 

pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam 

sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh 

Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga 

dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan 

menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka 

ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap 

dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan 

gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar 

hati. 

Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak 

orang tua-tua dulu, yang mungkin mendengamya dari 

orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat 

persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu 

jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu 

sendiri. 

Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosan-

bosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya, 

‘Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, sebab  kalian 

akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang 

Allah di setiap jengkal tanah kafir.’ Pesan itu malah 

diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, sesudah  

ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak 

kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan. 

namun  awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, 

mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke 

tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda 

dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian 

baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor. 

Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang 

untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua 

orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka 

Esteban del Mar dan Rogriguez Dez tak ambil peduli. 

Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya 

dan tersohor sekaligus. 

sesudah  Portugis di bawah Alfonso d’Albuquerque 

menguasai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana 

untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di 

bawah sang salib, mereka berdua giat mempelajari bahasa 

Melayu dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan 

mungkin dapat berdiri sendiri. 

Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan 

sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk 

mereka sendiri. sesudah  jadi, perahu layar kecil itu mereka 

sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di 

selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya. 

Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di 

dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak – semua 

diperolehnya dari gudang perbekalan di bandar Malaka. 

Menjelang Desember 1512, waktu Portugis menyiapkan 

armada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua 

melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan 

mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis. 

Tak sulit mereka mendapatkannya. Dan itu pun secara 

kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang serdadu yang 

sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan 

arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan 

undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan 

mereka pergunakan kesempatan ini. 

Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa 

daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke 

dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil. 

Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, 

mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah 

mereka merasa begitu riang seperti kali ini. Matari pagi 

mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh 

hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan 

kapal-kapal dagang belayar damai. 

Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah 

tahu: di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata 

ampuh kecuali Portugis, musket dan meriam dengan gaya 

ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak 

perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan 

tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung 

berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak 

akan ada yang menghalangi pelayaran mereka. 

Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah 

berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi, 

yang segera nampak dari kejauhan sebab  lubang-lubang 

pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak 

berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka 

berbahaya sebab  cetbangnya, tapi tak pernah menembak 

tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang 

menghalangi pelayaran mereka. 

Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak. 

Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang 

pantai Sumatra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan 

air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana 

pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya 

bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh 

mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan bandar-

bandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk 

menjadi persinggahan rempah-rempah. 

Di setiap bandar segera dua orang petualang itu menjadi 

kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan 

bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan 

mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap bandar yang 

disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di Spanyol 

atau Portugis atau Italia. Tak pernah mereka mengalami 

penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang 

dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu 

kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan 

menangkapnya untuk mendapatkan uang tebusan. Atau 

bisa juga datang dari pihak orang-orang Spanyol yang 

mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko 

atau Tunisia. 

Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda 

Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan 

akhimya berlabuh di bandar Jepara. 

Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain dibandingkan  

yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada 

keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan. 

Galangan-galangan besar berdiri megah membikin kapal-

kapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri, 

Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal 

perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat 

mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah 

dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar 

yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa 

itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat 

susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan 

mereka menyingkir menghindar. 

Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada