nusantara awal abad 16 6
belayar ke
sebelah timur pasti kami hancurkan.”
“Yang demikian telah terjadi, Gusti.”
“Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup.”
“Patik, Gusti.”
“Sampai Semarang-Demak mengembalikan Jepara pada
kami dengan hormat dan patut.”
“Patik, Gusti.”
Sang Adipati berjalan menuju ke taman di tentang
kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada
bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding
kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami
pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan.
Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah
kami.”
“Pasti, Gusti.”
Agak lama Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan
segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang.
lalu : “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?”
“Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin
telah membawa keterangan-keterangan penting Peranggi
akan menguasai Jawa, Gusti Adipati Tuban yang mulia.
Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru
memasuki Jepara. Peranggi tidak boleh memasuki tengah-
tengah pulau Jawa ini, Gusti. Sekali masuk, seluruh Jawa
akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak memasuki
Jepara dengan sangat terburu-buru.”
“Jauh manakah Tuban dibandingkan negeri Peranggi, maka
tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta Jepara,
datang jauh sesudah adipatimu memasuki wilayah kami?
Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang
memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah
untuk itu?”
“Patik datang menghadap memang untuk urusan yang
agak lain, Gusti, ampunilah patik.”
“Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!”
“Ampun, Gusti, utusan Demak, dari seberang dan Atas
Angin yang datang dalam bulan ini, Gusti,
mempersembahkan pada Gusti Kanjeng Sultan Demak,
sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan
persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa
jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran
Gusti Adipati yang mendalam. Setidak-tidaknya sebab
Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan
dengan Malaka.”
“Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat.”
“Gusti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya
persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada
Jepara.”
Sang Adipati tersenyum puas.
“Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.”
“Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain,
Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan
seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra
mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu
pernah dilakukan oleh Adipati Tuban?”
“Tidak, Gusti Adipati Tuban.”
“Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan
Glagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah
dusun Demak?”
“Tidak, Gusti Adipati Tuban.”
“Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan
dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara
yang dikinmkan pada Kami?”
”Tidak, Gusti. Soalnya hanya sebab Gusti Kanjeng
Adipati Unus yang menrsi si soal-soal manca-praja, maka
patik dikirimkan dari Jepara kemari.”
“Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah
dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit.
Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toa-
lang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayang-
bayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh
berbelit.”
“Ampun, Gusti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah
keterangan satu-satunya dan tiada lain, Gusti.”
“Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan
sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit sebab dia
mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam.
Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa-
Buddha.”
“Patik, gusti.”
“Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi
pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. Majapahit
yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.”
“Ampun, Gusti, patik tidak ada wewenang untuk
berselisih. Barang tentu Gusti Adipati benar.”
“Ya, dan Demak seluruhnya keliru.”
“Ampun, Gusti Adipati benar.”
“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?”
“Masih tetap soal Peranggi, Gusti. Sekiranya Gusti
Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan-
perselisihan kecil dengan Demak… sekiranya Gusti Adipati
ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap
Peranggi dari Malaka… Itulah Gusti, yang dipikulkan di
atas pundak patik dari Sultan Demak melalui Gusti
Kanjeng Adipati Jepara.”
“Persembahkan, Tuan duta.”
“Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam
satu armada besar, Gusti.”
“Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau
memang pura-pura bukan kawula Semarang?”
“Ampun, Gusti, patik memikul pada bahu patik untuk
jangan sampai menggusarkan hati Gusti Adipati Tuban.”
“Tanpa kau pun Demak telah menggusarkan kami.”
“Ampun, Gusti, patik hanya memikul perintah soal
Peranggi.”
“Persembahkan!”
“Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan
Banten, dan Jamto’ dan Riauw dan Aceh akan sanggup
mengusir Peranggi, Gusti, kalau or laksanakan. Sekiranya
Gusti Adipati berkenan menyertai.”
Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi,
menunggu jawaban.
Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu
penguasa Tuban itu berkata: “Datang kau sebulan lagi,
barangkali kami ada jawaban.”
“Dilimpahi oleh Allah hendaknya Gusti Adipati Tuban
dengan mayat h dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan
usia panjang sehat dan sejahtera….”
Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat
mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat
sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas
kepalanya dan melecehkan Tuban. namun perang ia tidak
menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi
momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung
Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai
sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak
menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan
Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan,
Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya
Malaka. Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi
kemakmuran dunia, hanya sebab dilewati rempah-rempah
Nusantara. namun mengapa orang begitu dungu membatasi
kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata,
seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula
Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke dua-
duanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula?
Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan
dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami
pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang
tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi!
Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini,
kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba,
terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus!
Sang Adipati mencoba membayangkan Adipati Jepara
yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya,
pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak
indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri
kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak
naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia
yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan
lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi
Malaka. Tuban takkan binasa sebab nya!
Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri.
Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak
mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah
perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya
semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan
sebuah lampu gantung bersumbu lima.
Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam,
menggambarkan beberapa orang wanita sedang
bercengkemayat di bawah sebatang pohon jeruk macam di
sebuah taman larangan.
Gubernur Tuban itu menarik seutas tali yang menjulur di
atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni.
Segera lalu pintu berkerait terbuka. Sebidang
pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu
satu terpampang di hadapannya.
Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh
di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya menekur.
Inilah keputrian atau harem Sang Adipati.
“Bagaimana kalian, Nyi Gede Kati?”
“Karunia dan kemurahan Gusti Adipati kuminta tanpa
henti, Gusti,” sembah wanita itu.
Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, lalu
masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi
Ayu Sekar Pinjung.
Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di
pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada
tempat masing-masing. sesudah penguasa itu hilang dalam
bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik
masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi Gede
Kati.
Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat
panjang sebab itulah tugasnya sebagai penrsi s harem dan
sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat
puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin
meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya
bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit.
Pandang matanya tenang namun nampak tajam menembus
segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat
tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam
dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecil-
panjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul,
berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga
berbeda dari para selir Nyi Gede Kati bergigi hitam arang,
sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti
seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau
mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi
Gede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji
jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu.
Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir
tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo
pun hanya sayup-sayup.
Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai
tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada
Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki
penguasa itu dengan selembar kain basah.
Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir
kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu
berkata dengan kenesnya,
“Aduh, Gusti sesembahan patik, betapa lama patik
menunggu selama ini.”
Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian
bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan
tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling
waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya
ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke
keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang
lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah
peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak
bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat
dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk
memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir
kesayangan. “Awaslah jangan terlena, sebab lena adalah
binasa.”
“Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia
memancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu
dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau
kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham?”
“Ampun, Gusti, bukan mas dan bukan perang, ya Gusti
sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah….”
Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan
didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan
sambil meliak-liuk genit.
“Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu
sangat penting.”
“Ampun, Gusti, adapun yang hendak patik
persembahkan, ya Gusti, Gusti sesembahan, bukanlah
sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, Gusti.”
Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang Adipati
bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin
tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan was-
waskan?”
“Ampun, Gusti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada
bangsa berkulit putih bernama Peranggi. Kata orang, tiada
tandingan di seantara jagad raya ini.”
“Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.”
“Maka kata orang itu pula, Gusti, seluruh dunia
memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya
Gusti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang.
Kapal ditudingnya tenggelam, ya Gusti.”
Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala
wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?”
“Kami semua takut dan was-was,” selir itu
menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang
Adipati. lalu meneruskan dengan sura yang tidak
keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya Gusti, sebentar
lagi Peranggi itu akan menaklukkan juga Tuban.”
Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia
tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di
atas ambin. lalu ia berdiri tegak lurus, bertolak
pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar
lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.
Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu
Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke
lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki
itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah
patik, ya Gusti.”
“Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya Adipati itu
pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga
bertolak pinggang.
Hanya sedu-sedan yang menjawab.
“Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa
orangnya?”
Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar.
Sang Adipati membongkok, meraba-raba muka selir
kesayangan. Tangan itu lalu berhenti pada kuping.
Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah
berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan
sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat.
lalu ia cegah sendiri usahanya.
Nampak Sang Adipati sedang berusaha menindas
kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang
sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah
tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut
kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan
kegentaran pada seluruh isi kadipaten?
Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia
cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari
dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa
Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya
sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra
delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang.
Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. namun
kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di
atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta,
sedang Pribumi dengan jelaga.
Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia
memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak
mendapat jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat
ini?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” suara
Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patik hendak
menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan Gusti
sesembahan, memanglah patik tidak tahu siapa
pengirimnya. Ampun, beribu ampun, Gusti.”
“Dari mana kau terima surat dan sutra?”
“Nyi Gede Kati, Gusti.”
Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem.
Beberapa hari sesudah itu ia duduk di serambi belakang
kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan
oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya
pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi
lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih
kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh mandala dalam
penggerayangannya di dalam kamar Syahbandar baru Sayid
Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari
Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan
mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.
Menurut Sang Patih. mandala telah periksa seluruh kamar
Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan benda-
benda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab
dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logam-
logam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan
gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya,
setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama
dan gunanya.
Dasar anak desa! namun itu hanya permulaan, gumam
Sang Adipati.
lalu diambilnya selembar daun sirih dari nampan
kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong
kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya.
Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi.
Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih
mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak
menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai
Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten.
Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk
melakukan pekerjaan itu.
Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang
wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa.
namun tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang
perhiasan itu diterima oleh Nyi Gede Kati? Dan apa jasa
Nyi Gede pada Syahbandar? Siapa pula pengantar dan
penghubung surat? Ha, barangkali Nyi Gede bertindak
sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan
sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami
sendiri harus dapat temukan penghubung itu.
“Panggil Nyi Gede Kati,” ia berseru, lalu
memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita
penrsi s harem itu bersimpuh di bawah serambi dan
mengangkat sembah.
Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya
pada peragaan binatang-binatang itu. Baru sesudah salah
seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia
menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras,
“Mendekat!” perintahnya keras-keras.
Nyi Gede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga
serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai
tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih
mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga
ia sudah hampir pada kakinya.
“Nyi Gede’ ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau
dari luar?”
Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil.
“Ampun Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,”
sebentar suaranya juga menggigil, lalu merata
kembali, “memang benar patik pernah….”
“Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras
bersabar?”
“Ampun, Gusti,” Nyi Gede menurunkan suaranya
sehingga mendekati bisikan, “memang benar patik pernah
menerima surat dari luar, namun patik tak tahu dari siapa.
Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa
patik ketahui siapa pembawanya.”
“Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi Gede.
Bagaimana mungkin, kau yang bertugas menrsi si
keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu
sendiri?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.
Hukumlah, patik, sebab itulah kebenaran yang
sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik Gusti
Adipati!”
“Mana surat itu?”
“Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar.”
“Surat apa, Nyi Gede, lontar ataukah kertas?”
“Lon… lon… lon… kertas barangkali, Gusti, patik tak
tahu namanya. Bukan lontar.”
“Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima?
Adakah real Peranggi pernah kau terima juga?”
“Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, sebab tiada
mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.”
“Real Peranggi, dua,” Sang Adipati mendengus
menghinakan, “dan gelang, bukan?”
“Demikianlah, Gusti, dan gelang.”
“Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud
dan mutiara. Bukan?”
“Ampun, Gusti, semua benar. Perkenankanlah patik
mempersembahkan semua itu ke bawah duli Gusti
sesembahan.”
“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu
dikirimkan untukmu. Kami tahu kau penrsi s keputrian
yang jujur. Pergi!”
Ia perhatikan wanita penrsi s harem itu beringsut-ingsut
mundur, menyembah dan menyembah, lalu berjalan
menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya
perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak
tahu siapa penyampainya.
Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang
berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar
daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar
pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu,
yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia rupa-
rupanya kutu busuk keputrian. Dia!
Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku
bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia
pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa
dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman
dengan mereka. Ya. Si bocah itu!
Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan
bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi?
Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja.
Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat
dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan
lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah
Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar
dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem.
Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari
tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan
ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari
keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan.
Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama
coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan
alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.
Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di
serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu
pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh
kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya.
Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah
kosong. Sang Adipati memperhatikan si bocah yang gelisah
dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan
tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu.
Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap
pada si macan? Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada
menghilang.
Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan
berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi
keputrianku!
Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya
melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan
sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai.
O0-dw-0O
7. Syahbandar Tuban : Rangga Iskak & Sayid
Habibullah Al-Masawa
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu
bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan
Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke
jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki
gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tamu sangat
menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu
kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasa-
penguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula
masuk Islam: mereka membutuhkan ajaran, perlindungan,
kepercayaan lain dari segala yang serba Majapahit….
Gedung kesyahbandaran yang terpampang di
hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri
Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati.
Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat dibandingkan batu.
Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya
berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh
negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap,
injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah
atau kelapa.
Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan
rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bunga-
bungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini.
Dua tahun lalu seorang anak kapal dari Malabar, terdampar
di Tuban, telah membangunnya meniru taman raja-raja
Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di
sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati
dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya.
Sampai di depan pintu para pelayan sewaan telah
berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan
Syahbandar,” kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam
Melayu.
“Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan
tangan dan memberikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa
menoleh ia masuk ke dalam.
Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah
ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap
rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk
menyimpan abu jenasah.
Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari
Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal
kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi
dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan
dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur
menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi.
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan
itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari
lalu sesudah Malaka jatuh dan ia mendengamya, buru-
buru ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah
kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan
abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari
kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu’bah, Syahbandar
Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Paramesywara.
Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampir-
hampir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa
Hisyam Syu’bah, telah mendapatkan pelarian dari
Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita
Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara.
Pertemuan itu terjadi di Tumasik, bandar Majapahit yang
besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan
Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian
agung itu.
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre
Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk
menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk
jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui,
bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan
atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. namun komplotan itu
diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada
tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan
Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre
Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag.
Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya
dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua
belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di
perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang,
ibukota Blambangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin,
kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak
Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam
perang laut di tentang Singaraja.
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam
Syu’bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat
mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan
demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk
menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara
menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil
membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi
raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antar-
benua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancumya Ma-
japahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu’bah diangkat
sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini
yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan
pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri
masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya,
dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi
Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat
Iskandarsyah.
Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka
jatuh sesudah 109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti
kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan
kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya.
namun kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid
Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi dibandingkan
jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia
sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka,
yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam
kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka
sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah
dan lagaknya seperti raja muda Malaka.
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan
bahaya yang mungkin timbul sebab orang Moro itu. Sang
Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan
sesudah jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil
tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak
memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan
banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan
perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan
seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan
kekuatan senjata, telah membikin Sang Patih kehabisan
tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak
mampu menarik perhatiannya.
lalu datang hari yang menutup segala
kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari
pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit
yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya,
menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya
entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang
memimpin pasukan itu.
“Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga,”
jawabnya pendek. “Atas perintah Sang Adipati.”
Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi.
Didapatinya keempat-empat istrinya sedang
menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus
diperbuat.
“Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada
mereka.
“Kita tak tahu apa sedang terjadi.”
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap
tidak mengerti.
“Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi,” jawab Sang
Patih.
“Tapi gedung itu adalah gedung patik!”
“Gedung Tuan?”
“Patik yang membangunkannya.”
“Semua atas biaya bandar Tuban.” jawab Sang Patih.
“Tapi perencanaan….”
“Sampai batu terakhir, kawula Tuban yang
mengambilkan, Tuan Syahbandar. Genteng terakhir yang
didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang
membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil
percuma.”
Syahbandar Tuban masih mencoba memprotes.
“Kalau Tuan tidak mematuhi titah Sang Adipati, Tuan
boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.”
Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran.
Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak
itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asmayat
peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya
segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada
peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung
dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak
memberinya jawaban.
Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid
Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan
menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak
bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung
tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang
satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam
semmggu terakhir ini. Anak keparat itu.
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari
perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud
Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah merasa
puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru
Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-masuk.
pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya.
Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran
itu kini nampak mayat h. Pintu depannya kini selalu terbuka
dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak
merasa hina atau miskin sebab nya. Taman indah di depan
rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang
tiada tertandingi di seluruh Tuban.
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan
membacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau
membacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani
Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum
Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan
bacaannya dan berpindah pada buku lainnya.
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di
waktu malam, sebab semua pembantu harus pulang di
malam hari sesuai dengan ketentuan.
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru mandala -
tengkorak datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama
dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok
kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam.
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat
tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki
kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-sama-
lain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat tengkorak
jauh lebih cantik di dekat mata dibandingkan dari kejauhan.
Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri mayat h
dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu
tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa
kerja.
sesudah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke
gedung utama.
tengkorak mengetoki dinding, lalu terpakukan pada
tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana.
“Mengapa, Dayu?”
“Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh
orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.”
mandala menirunya mengetuki semua dinding.
“Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga
matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu,
putih dan bisu.
“Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk….”
Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya
dalam melayu: “Apa katamu, tengkorak ?”
tengkorak melompat mendekati suaminya dan berlindung di
balik gumpaian otot yang kuat itu.
“Apa kata istrimu?” tanyanya pada juara gulat itu.
“Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah mandala pada
istrinya.
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu.
Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya
yang baru dan segera lalu mulai bekerja sebagai ibu
rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis
Krambil.
Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat
wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia
perlihatkan kemayat han dengan membantu mandala
mengatur barang-barangnya – semua sumbangan dari
penduduk Tuban Kota.
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung,
muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis
itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. mandala tak
mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar
baru itu tertawa-tawa senang melihat mandala tidak mengerti
dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat
muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada
lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti
malam ke tempatku.”
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar
mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerak-
gerak tangan yang mayat i. Juara itu mengangguk mengerti.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang,
lalu pergi.
Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi
hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana.
Mereka bertiga duduk mengepung meja.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara.
Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk,
dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. mandala
terus-menerus mengawasi Syahbandar, memperhatikan
gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang
diucapkannya. tengkorak sebaliknya terus-menerus menunduk.
“Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!”
tuan rumah membuka percakapan, “maafkan aku terlambat
menjamu kalian. Uah…,” alis Syahbandar baru itu
terangkat naik, lalu cepat turun lagi, “… pengantin
masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada
tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri.
Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil,”
katanya cepat pula.
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di
perrsi an dan asmayat mandala berkata: “Sahaya tidak
mengerti, Tuan Syahbandar.”
“Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayoh,
mulai sekarang pergunakan Melayu,” sekarang ia ucapkan
sepatah sepatah. “Melayu! Bukankah kau sekarang
pembantu-utamaku?”
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “Melayu!
Melayu! Mulai bicara Melayu!” Dan bila tengkorak mencuri
pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak
dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung
sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu
diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa.
Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil
tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri
ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu
seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area
lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala
bila menggambarkan dedemit atau gandaran.
mandala , yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu,
lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah
seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya
itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya
sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan
raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini
kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan
dilahirkan di miisim paceklik.
Tanpa mengindahkan adakah tamu-tamunya mengerti
atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata
demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat.
Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas
mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, tengkorak , dan
gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apa-
apa yang dipintanya.
Ia sendiri lalu masuk ke dalam kamar dan tak lama
lalu keluar lagi membawa sesuatu di tangannya.
Begitu tengkorak datang membawa barang-barang yang
dipintanya, ia meneruskan: “Jamuan haibat,” ia
mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di
dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok
tangan lalu bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan
itu dengan air panas, tengkorak ! Hati-hati, jangan sampai
turnpah.”
Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan.
mandala memperhatikan mata Syahbandar yang antara
sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka
Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka
hewan yang baru keluar dari lobang arang, sebab muka itu
dihitami oleh rambut.
“Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana.
Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh,
mandala , tengkorak ! minum!”
Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menelan wajah
tengkorak yang sedang melihat padanya.
“Kahwa, tengkorak !” suaranya merendah lunak dan
memikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali
meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga
kali. Semua membelinya dari pedagang Arab. Dan
pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya sebab tepung
hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu.
Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia
datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan
main-main dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan main-
main. Ayoh minum!”
Di dalam kamar tinggalnya yang baru mandala
menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari
kerak. Nyala itu membesar.
tengkorak bertiduran di ambin kayu. sebab pengaruh kopi
kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam.
“Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai
jantungnya berdebaran kencang.
“Tak perlu kita minum lagi, Kang.”
mandala hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar
olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar
kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan
seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan
itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah.
Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia
tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap
tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di
serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi.
Waktu masuk ke dalam didapatinya tengkorak telah tertidur
dalam kedamaian.
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama
Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal
penduduk Tuban Kota sebagai Wira mandala . namun lama-
kelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan
nama sendiri dan dipanggillah ia Wirangmandala ,
Syahbandarmuda.
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat
penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar sebab ia
seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer,
seorang juara gulat dan suami tengkorak : pujaan Tuban.
Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang
memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan
Syahbandar-muda atau istrinya.
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi
punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan
membikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya
apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang
berlebih-lebihan membikin ia sering ragu-ragu, sedang
kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang
Adipati selalu membikin ia terlalu hati-hati. Sedang
bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak
juga pernah hilang dari kewaspadaannya.
tengkorak tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin
telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang
hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar.
Sekarang keharusan mengenakan kemban membikin
tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin
pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang
memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di
desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak
aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada
suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu.
Biar belum mendapatkan ketenangan dalam
penghidupannya yang baru mandala dapat mengikuti dengan
cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di
ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana.
Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk
memudahkan tuan Syahbandar baru menjalankan
kewajibannya.
Juga mandala tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga
Iskak, telah pindah ke bekas asmayat dan tak juga
mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia
akan diangkat jadi penghulu negeri, namun Sang Adipati tak
juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban
Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa
pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anak-
anak pembesar membaca Alqur’an bahasa dan tulisan Arab.
Dua tiga kali Wirangmandala pernah berpapasan dengan
Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayun-
ayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk
dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah
menampakkan diri di wilayah pelabuhan.
Wirangmandala membenarkan bisik-desus orang bekas
Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang
berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari
seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia
selalu mencari-cari Yakub. namun pewarung itu selalu
menjauhkan diri tak ingin melihatnya.
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama
Syahbandar juara gulat itu harus pula mengawasi galangan-
galangan kapal di bandar Glondong, sebuah pelabuhan lain
lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor
kuda jantan, muda berwarna putih kelabu.
sesudah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita:
Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari
jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama.
lalu terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang
Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan
untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang
Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya.
Berita yang didengamya lalu : beberapa hari
berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda
ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah
pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang
berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan tengkorak .
lalu terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran:
Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap
oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan
wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa,
mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di
belakang wanita itu seorang lelaki memikul beberapa
bungkusan mengikuti.
Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh
Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung
utama. sesudah itu Syahbandar pergi lagi dengan muka
cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan
hampa.
Mungkin sebab kesepian di dalam gedung utama wanita
itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia
bertemu dengan tengkorak yang sedang menyiapkan makan
malam.
“Kaukah itu, tengkorak ?” tegumya dengan lagu dan bahasa
kadipaten.
“Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?”
“Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah
kau jadi istri Syahbandar-muda?” ia tersenyum mayat h dan
nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya
membelai tengkorak dengan persahabatan.
“Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka
tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin
dan deburan laut,” ia bicara sambil terus bekerja.
“Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa
mengindahkan protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini
jugakah tuan Syahbandar?”
“Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini
rupa. Ibu ini siapa….?
“Aku, Nak? Aku istri tuan Syahbandar.”
“Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal?”
“Di dalam kadipaten, tengkorak . Kau tak pernah melihat aku
waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah melihat kau.”
Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan
persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai
dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri.
Istri Syahbandar Tuban itu tak lain dibandingkan Nyi Gede
Kati, bekas penrsi s keputrian Kadipaten.
Dari wanita itu tengkorak mengetahui, ia pernah dipanggil
menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang
pertama kali tentang surat, yang kedua… ia duduk
bersimpuh, lalu datang menghadap juga tuan
Syahbandar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi Gede.
“Tuan Sayid Habibullah Almasawa,!” Sang Adipati
berkata, “inilah Nyi Gede Kati, penrsi s keputrian, wanita
Tuban pertama-tama yang Tuan kenal.”
Terdengar dari belakang Nyi Gede, Sayid Habib
Almasawa menjawab gopoh-gapah: “Ampun, Gusti, patik
belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!”
“Kalau begitu,” kata Sang Adipati lagi, “lihatlah baik-
baik. Mungkin sudah agak lupa!”
Terdengar olehnya Syahbandar baru Tuban itu
membantah.
“Ampun, Gusti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik
melihat perempuan ini.”
“Baik,” kata Sang Adipati, “dan kau, Nyi Gede, telah
kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka
dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa,
ambillah perempuan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan
yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup
Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi Gede, kemasi semua
barangmu dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama
dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban
menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan
berangkatlah kalian sebagai suami istri.”
Kedatangan Nyi Gede di gedung kesyahbandaran
mengurangi kerinduan tengkorak pada orang tua dan Awis
Krambil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap mandala adalah
juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun
segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu
bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam
berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya
mengulang kalimat: Mengapa perempuan bergigi hitam
diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja,
Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering
bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal
dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi
Gede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus
dikawininya di mesjid? Apakah benar wanita itu Nyi Gede
Kati? Ia tak pernah melihatnya sebelumnya.
Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya
menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh
Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru
hanya Nyi Gede sendiri.
sesudah Syahbandar menemukan jalan segera
ditempuhnya.
Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam. Dua buah
lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi Gede.
Di luar kamar tidur mandala sedang mengintip mereka.
Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi Gede Kati
penrsi s keputrian?”
“Inilah sahaya, Tuan Syahbandar,” jawab Nyi Gede juga
dalam Melayu.
“Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati?”
ia menguji.
“Siapa? Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya
sebelum…. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.”
“Mengapa tadinya?”
“Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?”
“Bukankah aku suamimu? dan engkau harus menjawab!”
“Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah
menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak
tahu.”
“Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah Syahbandar
memberikan ujiannya.
“Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap
mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur
hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga
takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.”
“Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang
teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,”
Syahbandar berdoa. lalu : “Katakanlah: Amien”.
“Amien, Tuan.”
“Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, sebab amien
itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar.”
“Amien.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid masih belum dapat
diyakinkan.
“Nyi Gede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barang-
barang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat
bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa,”
katanya dengan suara lebih keras dari semula.
Dengan luwesnya Nyi Gede Kati memperagakan
tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah
menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya:
subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh
menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke
bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing
bersarung mas berukir.
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-
Badaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan
memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah.
“Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak
kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun,” ia
berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini
milikmu;”
“Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya
ambilkan.”
Tak lama lalu terjajar barang-barang berharga
milik pribadi Nyi Gede Kati. Di antaranya seutas kalung
sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan
mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan
dua buah real mas Portugis.
Mata Syahbandar bersinar-sinar. Ia tegakkan
bongkoknya dan bertepuk tangan, lalu menggeserkan
tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas
ketiduran. dan: “Gelang, cincin dari kalung ini jelas
seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama,
dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri
negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.”
“Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri.”
Nyi Gede menerangkan dengan nada bangga. “Yang
menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan
yang sahaya tidak kenal.” Ia melirik pada suaminya.
“Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak
mengenalnya?”
” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya
beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa.”
“Adakah kau balas surat itu?”
“Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang
atau tidak pada isinya, sebab demikian diajarkan pada
kami di perrsi an kami.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega.
lalu : “Bagaimana kau membalas surat pada pengirim
tak dikenal itu, Nyi Gede?”
“Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan
sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat
itu tiada.”
Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering
menembusi udara malam, keluar rumah.
“Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka
masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi Gede?”
“Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya
tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.”
Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran Tholib
Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la
tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan
zamrut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu
belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, lalu :
“Kau istriku, bukan, Nyi Gede? Istriku yang syah.”
“Sahaya, Tuan.”
“Kukawini kau di mesjid.”
“Sahaya, Tuan.”
“Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang
kukagumi ini dan juga dua real Peranggi ini aku simpan
sendiri agar selamat dan aman?”
“Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan.
Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini,
adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.”
Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas.
Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam saku-
dalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit
pipi istrinya: “Semua jadi milikku. Tapi milik siapa
jiwamu?”
“Gusti Adipati, Tuan.”
“Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik
Allah.”
Nyi Gede tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula
mengangguk.
“Dengar, Nyi Gede, mulai besok buanglah kebiasaan
menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih
dibandingkan hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan
kafir perbegu Benggala.”
“Baik, Tuan.”
Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk
menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti
terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah
Wirangmandala dari tempat pengintaiannya. Syahbandar
muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon
menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari
rumah. Dugaannya tidak keliru.
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu
keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia
mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata
menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan memasuki
ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita
minyak kelapa dari satu sumbu.
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang
ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat
Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang
perhiasan pada Yakub. lalu terdengar mereka bicara
dalam Melayu: “Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu
dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di
sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat
untuk Tuan.”
“Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat
kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!”
Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera
Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur.
“Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah
Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya,
Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di
bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan
selamanya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah
panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu
tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung
asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin.
Lagi araknya, Tuan?”
“Cukup, Yakub.”
“Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga
arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya,
dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak
peduli di Tuban atau di tempat lain.”
Dari tempatnya Wirangmandala melihat Syahbandar
mengawasi Yakub