nusantara awal abad 16 6

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 6



  belayar ke 

sebelah timur pasti kami hancurkan.” 

“Yang demikian telah terjadi, Gusti.” 

“Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup.” 

“Patik, Gusti.” 

“Sampai Semarang-Demak mengembalikan Jepara pada 

kami dengan hormat dan patut.” 

“Patik, Gusti.” 

Sang Adipati berjalan menuju ke taman di tentang 

kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada 

bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding 

kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami 

pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. 

Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah 

kami.” 

“Pasti, Gusti.” 

Agak lama Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan 

segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang. 

lalu : “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?” 

“Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin 

telah membawa keterangan-keterangan penting Peranggi 

akan menguasai Jawa, Gusti Adipati Tuban yang mulia. 

Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru 

memasuki Jepara. Peranggi tidak boleh memasuki tengah-

tengah pulau Jawa ini, Gusti. Sekali masuk, seluruh Jawa 

akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak memasuki 

Jepara dengan sangat terburu-buru.” 

“Jauh manakah Tuban dibandingkan  negeri Peranggi, maka 

tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta Jepara, 

datang jauh sesudah  adipatimu memasuki wilayah kami? 

Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang 

memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah 

untuk itu?” 

“Patik datang menghadap memang untuk urusan yang 

agak lain, Gusti, ampunilah patik.” 

“Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!” 

“Ampun, Gusti, utusan Demak, dari seberang dan Atas 

Angin yang datang dalam bulan ini, Gusti, 

mempersembahkan pada Gusti Kanjeng Sultan Demak, 

sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan 

persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa 

jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran 

Gusti Adipati yang mendalam. Setidak-tidaknya sebab  

Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan 

dengan Malaka.” 

“Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat.” 

“Gusti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya 

persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada 

Jepara.” 

Sang Adipati tersenyum puas. 

“Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.” 

“Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain, 

Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan 

seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra 

mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu 

pernah dilakukan oleh Adipati Tuban?” 

“Tidak, Gusti Adipati Tuban.” 

“Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan 

Glagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah 

dusun Demak?” 

“Tidak, Gusti Adipati Tuban.” 

“Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan 

dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara 

yang dikinmkan pada Kami?” 

”Tidak, Gusti. Soalnya hanya sebab  Gusti Kanjeng 

Adipati Unus yang menrsi si soal-soal manca-praja, maka 

patik dikirimkan dari Jepara kemari.” 

“Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah 

dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. 

Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toa-

lang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayang-

bayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh 

berbelit.” 

“Ampun, Gusti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah 

keterangan satu-satunya dan tiada lain, Gusti.” 

“Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan 

sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit sebab  dia 

mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam. 

Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa-

Buddha.” 

“Patik, gusti.” 

“Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi 

pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. Majapahit 

yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.” 

“Ampun, Gusti, patik tidak ada wewenang untuk 

berselisih. Barang tentu Gusti Adipati benar.” 

“Ya, dan Demak seluruhnya keliru.” 

“Ampun, Gusti Adipati benar.” 

“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?” 

“Masih tetap soal Peranggi, Gusti. Sekiranya Gusti 

Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan-

perselisihan kecil dengan Demak… sekiranya Gusti Adipati 

ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap 

Peranggi dari Malaka… Itulah Gusti, yang dipikulkan di 

atas pundak patik dari Sultan Demak melalui Gusti 

Kanjeng Adipati Jepara.” 

“Persembahkan, Tuan duta.” 

“Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam 

satu armada besar, Gusti.” 

“Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau 

memang pura-pura bukan kawula Semarang?” 

“Ampun, Gusti, patik memikul pada bahu patik untuk 

jangan sampai menggusarkan hati Gusti Adipati Tuban.” 

“Tanpa kau pun Demak telah menggusarkan kami.” 

“Ampun, Gusti, patik hanya memikul perintah soal 

Peranggi.” 

“Persembahkan!” 

“Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan 

Banten, dan Jamto’ dan Riauw dan Aceh akan sanggup 

mengusir Peranggi, Gusti, kalau or laksanakan. Sekiranya 

Gusti Adipati berkenan menyertai.” 

Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi, 

menunggu jawaban. 

Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu 

penguasa Tuban itu berkata: “Datang kau sebulan lagi, 

barangkali kami ada jawaban.” 

“Dilimpahi oleh Allah hendaknya Gusti Adipati Tuban 

dengan mayat h dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan 

usia panjang sehat dan sejahtera….” 

Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat 

mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat 

sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas 

kepalanya dan melecehkan Tuban. namun  perang ia tidak 

menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi 

momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung 

Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai 

sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak 

menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan 

Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan, 

Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya 

Malaka. Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi 

kemakmuran dunia, hanya sebab  dilewati rempah-rempah 

Nusantara. namun  mengapa orang begitu dungu membatasi 

kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata, 

seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula 

Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke dua-

duanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula? 

Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan 

dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami 

pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang 

tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi! 

Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini, 

kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba, 

terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus! 

Sang Adipati mencoba membayangkan Adipati Jepara 

yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya, 

pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak 

indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri 

kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak 

naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia 

yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan 

lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi 

Malaka. Tuban takkan binasa sebab nya! 

Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri. 

Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak 

mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah 

perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya 

semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan 

sebuah lampu gantung bersumbu lima. 

Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, 

menggambarkan beberapa orang wanita sedang 

bercengkemayat  di bawah sebatang pohon jeruk macam di 

sebuah taman larangan. 

Gubernur Tuban itu menarik seutas tali yang menjulur di 

atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni. 

Segera lalu  pintu berkerait terbuka. Sebidang 

pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu 

satu terpampang di hadapannya. 

Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh 

di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya menekur. 

Inilah keputrian atau harem Sang Adipati. 

“Bagaimana kalian, Nyi Gede Kati?” 

“Karunia dan kemurahan Gusti Adipati kuminta tanpa 

henti, Gusti,” sembah wanita itu. 

Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, lalu  

masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi 

Ayu Sekar Pinjung. 

Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di 

pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada 

tempat masing-masing. sesudah  penguasa itu hilang dalam 

bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik 

masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi Gede 

Kati. 

Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat 

panjang sebab  itulah tugasnya sebagai penrsi s harem dan 

sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat 

puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin 

meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya 

bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit. 

Pandang matanya tenang namun  nampak tajam menembus 

segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat 

tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam 

dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecil-

panjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul, 

berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga 

berbeda dari para selir Nyi Gede Kati bergigi hitam arang, 

sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti 

seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau 

mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi 

Gede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji 

jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu. 

Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir 

tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo 

pun hanya sayup-sayup. 

Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai 

tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada 

Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki 

penguasa itu dengan selembar kain basah. 

Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir 

kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu 

berkata dengan kenesnya, 

“Aduh, Gusti sesembahan patik, betapa lama patik 

menunggu selama ini.” 

Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian 

bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan 

tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling 

waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya 

ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke 

keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang 

lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah 

peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak 

bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat 

dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk 

memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir 

kesayangan. “Awaslah jangan terlena, sebab  lena adalah 

binasa.” 

“Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia 

memancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu 

dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau 

kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham?” 

“Ampun, Gusti, bukan mas dan bukan perang, ya Gusti 

sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah….” 

Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan 

didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan 

sambil meliak-liuk genit. 

“Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu 

sangat penting.” 

“Ampun, Gusti, adapun yang hendak patik 

persembahkan, ya Gusti, Gusti sesembahan, bukanlah 

sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, Gusti.” 

Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang Adipati 

bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin 

tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan was-

waskan?” 

“Ampun, Gusti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada 

bangsa berkulit putih bernama Peranggi. Kata orang, tiada 

tandingan di seantara jagad raya ini.” 

“Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.” 

“Maka kata orang itu pula, Gusti, seluruh dunia 

memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya 

Gusti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang. 

Kapal ditudingnya tenggelam, ya Gusti.” 

Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala 

wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?” 

“Kami semua takut dan was-was,” selir itu 

menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang 

Adipati. lalu  meneruskan dengan sura yang tidak 

keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya Gusti, sebentar 

lagi Peranggi itu akan menaklukkan juga Tuban.” 

Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia 

tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di 

atas ambin. lalu  ia berdiri tegak lurus, bertolak 

pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar 

lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan. 

Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu 

Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke 

lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki 

itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah 

patik, ya Gusti.” 

“Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya Adipati itu 

pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga 

bertolak pinggang. 

Hanya sedu-sedan yang menjawab. 

“Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa 

orangnya?” 

Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar. 

Sang Adipati membongkok, meraba-raba muka selir 

kesayangan. Tangan itu lalu  berhenti pada kuping. 

Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah 

berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan 

sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat. 

lalu  ia cegah sendiri usahanya. 

Nampak Sang Adipati sedang berusaha menindas 

kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang 

sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah 

tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut 

kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan 

kegentaran pada seluruh isi kadipaten? 

Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia 

cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari 

dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa 

Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya 

sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra 

delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang. 

Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. namun  

kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di 

atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta, 

sedang Pribumi dengan jelaga. 

Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia 

memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak 

mendapat jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat 

ini?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” suara 

Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patik hendak 

menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan Gusti 

sesembahan, memanglah patik tidak tahu siapa 

pengirimnya. Ampun, beribu ampun, Gusti.” 

“Dari mana kau terima surat dan sutra?” 

“Nyi Gede Kati, Gusti.” 

Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem. 

Beberapa hari sesudah  itu ia duduk di serambi belakang 

kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan 

oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya 

pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi 

lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih 

kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh mandala  dalam 

penggerayangannya di dalam kamar Syahbandar baru Sayid 

Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari 

Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan 

mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan. 

Menurut Sang Patih. mandala  telah periksa seluruh kamar 

Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan benda-

benda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab 

dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logam-

logam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan 

gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, 

setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama 

dan gunanya. 

Dasar anak desa! namun  itu hanya permulaan, gumam 

Sang Adipati. 

lalu  diambilnya selembar daun sirih dari nampan 

kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong 

kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya. 

Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi. 

Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih 

mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak 

menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai 

Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. 

Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk 

melakukan pekerjaan itu. 

Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang 

wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa. 

namun  tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang 

perhiasan itu diterima oleh Nyi Gede Kati? Dan apa jasa 

Nyi Gede pada Syahbandar? Siapa pula pengantar dan 

penghubung surat? Ha, barangkali Nyi Gede bertindak 

sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan 

sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami 

sendiri harus dapat temukan penghubung itu. 

“Panggil Nyi Gede Kati,” ia berseru, lalu  

memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita 

penrsi s harem itu bersimpuh di bawah serambi dan 

mengangkat sembah. 

Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya 

pada peragaan binatang-binatang itu. Baru sesudah  salah 

seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia 

menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras, 

“Mendekat!” perintahnya keras-keras. 

Nyi Gede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga 

serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai 

tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih 

mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga 

ia sudah hampir pada kakinya. 

“Nyi Gede’ ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau 

dari luar?” 

Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil. 

“Ampun Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” 

sebentar suaranya juga menggigil, lalu  merata 

kembali, “memang benar patik pernah….” 

“Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras 

bersabar?” 

“Ampun, Gusti,” Nyi Gede menurunkan suaranya 

sehingga mendekati bisikan, “memang benar patik pernah 

menerima surat dari luar, namun  patik tak tahu dari siapa. 

Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa 

patik ketahui siapa pembawanya.” 

“Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi Gede. 

Bagaimana mungkin, kau yang bertugas menrsi si 

keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu 

sendiri?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. 

Hukumlah, patik, sebab  itulah kebenaran yang 

sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik Gusti 

Adipati!” 

“Mana surat itu?” 

“Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar.” 

“Surat apa, Nyi Gede, lontar ataukah kertas?” 

“Lon… lon… lon… kertas barangkali, Gusti, patik tak 

tahu namanya. Bukan lontar.” 

“Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima? 

Adakah real Peranggi pernah kau terima juga?” 

“Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, sebab  tiada 

mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.” 

“Real Peranggi, dua,” Sang Adipati mendengus 

menghinakan, “dan gelang, bukan?” 

“Demikianlah, Gusti, dan gelang.” 

“Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud 

dan mutiara. Bukan?” 

“Ampun, Gusti, semua benar. Perkenankanlah patik 

mempersembahkan semua itu ke bawah duli Gusti 

sesembahan.” 

“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu 

dikirimkan untukmu. Kami tahu kau penrsi s keputrian 

yang jujur. Pergi!” 

Ia perhatikan wanita penrsi s harem itu beringsut-ingsut 

mundur, menyembah dan menyembah, lalu  berjalan 

menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya 

perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak 

tahu siapa penyampainya. 

Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang 

berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar 

daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar 

pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu, 

yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia rupa-

rupanya kutu busuk keputrian. Dia! 

Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku 

bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia 

pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa 

dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman 

dengan mereka. Ya. Si bocah itu! 

Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan 

bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi? 

Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja. 

Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat 

dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan 

lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah 

Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar 

dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem. 

Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari 

tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan 

ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari 

keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan. 

Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama 

coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan 

alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui. 

Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di 

serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu 

pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh 

kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya. 

Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah 

kosong. Sang Adipati memperhatikan si bocah yang gelisah 

dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan 

tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu. 

Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap 

pada si macan? Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada 

menghilang. 

Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan 

berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi 

keputrianku! 

Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya 

melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan 

sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai. 

O0-dw-0O 

 

7. Syahbandar Tuban : Rangga Iskak & Sayid 

Habibullah Al-Masawa  

Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu 

bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan 

Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke 

jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki 

gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tamu sangat 

menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu 

kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasa-

penguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula 

masuk Islam: mereka membutuhkan ajaran, perlindungan, 

kepercayaan lain dari segala yang serba Majapahit…. 

Gedung kesyahbandaran yang terpampang di 

hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri 

Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati. 

Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat dibandingkan  batu. 

Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya 

berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh 

negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap, 

injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah 

atau kelapa. 

Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan 

rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bunga-

bungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini. 

Dua tahun lalu seorang anak kapal dari Malabar, terdampar 

di Tuban, telah membangunnya meniru taman raja-raja 

Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di 

sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati 

dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya. 

Sampai di depan pintu para pelayan sewaan telah 

berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan 

Syahbandar,” kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam 

Melayu. 

“Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan 

tangan dan memberikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa 

menoleh ia masuk ke dalam. 

Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah 

ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap 

rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk 

menyimpan abu jenasah. 

Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari 

Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal 

kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi 

dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan 

dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur 

menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi. 

Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan 

itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari 

lalu  sesudah  Malaka jatuh dan ia mendengamya, buru-

buru ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah 

kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan 

abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari 

kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu’bah, Syahbandar 

Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Paramesywara. 

Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampir-

hampir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa 

Hisyam Syu’bah, telah mendapatkan pelarian dari 

Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita 

Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara. 

Pertemuan itu terjadi di Tumasik, bandar Majapahit yang 

besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan 

Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian 

agung itu. 

Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre 

Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk 

menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk 

jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui, 

bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan 

atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. namun  komplotan itu 

diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada 

tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan 

Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre 

Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag. 

Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya 

dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua 

belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di 

perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang, 

ibukota Blambangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin, 

kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak 

Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam 

perang laut di tentang Singaraja. 

Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam 

Syu’bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat 

mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan 

demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk 

menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara 

menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil 

membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi 

raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antar-

benua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancumya Ma-

japahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu’bah diangkat 

sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini 

yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan 

pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri 

masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya, 

dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi 

Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat 

Iskandarsyah. 

Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka 

jatuh sesudah  109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti 

kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan 

kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya. 

namun  kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid 

Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi dibandingkan  

jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia 

sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka, 

yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam 

kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka 

sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah 

dan lagaknya seperti raja muda Malaka. 

Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan 

bahaya yang mungkin timbul sebab  orang Moro itu. Sang 

Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan 

sesudah  jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil 

tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak 

memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan 

banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan 

perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan 

seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan 

kekuatan senjata, telah membikin Sang Patih kehabisan 

tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak 

mampu menarik perhatiannya. 

lalu  datang hari yang menutup segala 

kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari 

pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit 

yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya, 

menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya 

entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang 

memimpin pasukan itu. 

“Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga,” 

jawabnya pendek. “Atas perintah Sang Adipati.” 

Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi. 

Didapatinya keempat-empat istrinya sedang 

menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus 

diperbuat. 

“Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada 

mereka. 

“Kita tak tahu apa sedang terjadi.” 

Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap 

tidak mengerti. 

“Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi,” jawab Sang 

Patih. 

“Tapi gedung itu adalah gedung patik!” 

“Gedung Tuan?” 

“Patik yang membangunkannya.” 

“Semua atas biaya bandar Tuban.” jawab Sang Patih. 

“Tapi perencanaan….” 

“Sampai batu terakhir, kawula Tuban yang 

mengambilkan, Tuan Syahbandar. Genteng terakhir yang 

didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang 

membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil 

percuma.” 

Syahbandar Tuban masih mencoba memprotes. 

“Kalau Tuan tidak mematuhi titah Sang Adipati, Tuan 

boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.” 

Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran. 

Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak 

itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asmayat  

peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya 

segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada 

peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung 

dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak 

memberinya jawaban. 

Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid 

Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan 

menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak 

bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung 

tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang 

satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam 

semmggu terakhir ini. Anak keparat itu. 

Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari 

perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud 

Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah merasa 

puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru 

Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-masuk. 

pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya. 

Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran 

itu kini nampak mayat h. Pintu depannya kini selalu terbuka 

dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak 

merasa hina atau miskin sebab nya. Taman indah di depan 

rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang 

tiada tertandingi di seluruh Tuban. 

Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan 

membacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau 

membacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani 

Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum 

Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan 

bacaannya dan berpindah pada buku lainnya. 

Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di 

waktu malam, sebab  semua pembantu harus pulang di 

malam hari sesuai dengan ketentuan. 

Keadaan mendadak berobah: pengantin baru mandala -

tengkorak  datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama 

dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok 

kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam. 

la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat 

tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki 

kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-sama-

lain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat tengkorak  

jauh lebih cantik di dekat mata dibandingkan  dari kejauhan. 

Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri mayat h 

dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu 

tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa 

kerja. 

sesudah  menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke 

gedung utama. 

tengkorak  mengetoki dinding, lalu  terpakukan pada 

tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana. 

“Mengapa, Dayu?” 

“Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh 

orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.” 

mandala  menirunya mengetuki semua dinding. 

“Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga 

matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu, 

putih dan bisu. 

“Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk….” 

Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya 

dalam melayu: “Apa katamu, tengkorak ?” 

tengkorak  melompat mendekati suaminya dan berlindung di 

balik gumpaian otot yang kuat itu. 

“Apa kata istrimu?” tanyanya pada juara gulat itu. 

“Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah mandala  pada 

istrinya. 

Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu. 

Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya 

yang baru dan segera lalu  mulai bekerja sebagai ibu 

rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis 

Krambil. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat 

wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia 

perlihatkan kemayat han dengan membantu mandala  

mengatur barang-barangnya – semua sumbangan dari 

penduduk Tuban Kota. 

Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung, 

muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis 

itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. mandala  tak 

mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar 

baru itu tertawa-tawa senang melihat mandala  tidak mengerti 

dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat 

muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada 

lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti 

malam ke tempatku.” 

Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar 

mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerak-

gerak tangan yang mayat i. Juara itu mengangguk mengerti. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang, 

lalu  pergi. 

Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi 

hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana. 

Mereka bertiga duduk mengepung meja. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara. 

Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk, 

dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. mandala  

terus-menerus mengawasi Syahbandar, memperhatikan 

gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang 

diucapkannya. tengkorak  sebaliknya terus-menerus menunduk. 

“Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!” 

tuan rumah membuka percakapan, “maafkan aku terlambat 

menjamu kalian. Uah…,” alis Syahbandar baru itu 

terangkat naik, lalu  cepat turun lagi, “… pengantin 

masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada 

tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri. 

Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil,” 

katanya cepat pula. 

Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di 

perrsi an dan asmayat  mandala  berkata: “Sahaya tidak 

mengerti, Tuan Syahbandar.” 

“Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayoh, 

mulai sekarang pergunakan Melayu,” sekarang ia ucapkan 

sepatah sepatah. “Melayu! Bukankah kau sekarang 

pembantu-utamaku?”  

Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “Melayu! 

Melayu! Mulai bicara Melayu!” Dan bila tengkorak  mencuri 

pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak 

dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung 

sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu 

diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa. 

Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil 

tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri 

ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu 

seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area 

lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala 

bila menggambarkan dedemit atau gandaran. 

mandala , yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu, 

lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah 

seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya 

itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya 

sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan 

raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini 

kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan 

dilahirkan di miisim paceklik. 

Tanpa mengindahkan adakah tamu-tamunya mengerti 

atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata 

demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat. 

Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas 

mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, tengkorak , dan 

gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apa-

apa yang dipintanya. 

Ia sendiri lalu  masuk ke dalam kamar dan tak lama 

lalu  keluar lagi membawa sesuatu di tangannya. 

Begitu tengkorak  datang membawa barang-barang yang 

dipintanya, ia meneruskan: “Jamuan haibat,” ia 

mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di 

dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok 

tangan lalu  bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan 

itu dengan air panas, tengkorak ! Hati-hati, jangan sampai 

turnpah.” 

Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan. 

mandala  memperhatikan mata Syahbandar yang antara 

sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka 

Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka 

hewan yang baru keluar dari lobang arang, sebab  muka itu 

dihitami oleh rambut. 

“Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana. 

Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh, 

mandala , tengkorak ! minum!” 

Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menelan wajah 

tengkorak  yang sedang melihat padanya. 

“Kahwa, tengkorak !” suaranya merendah lunak dan 

memikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali 

meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga 

kali. Semua membelinya dari pedagang Arab. Dan 

pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya sebab  tepung 

hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu. 

Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia 

datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan 

main-main dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan main-

main. Ayoh minum!” 

Di dalam kamar tinggalnya yang baru mandala  

menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari 

kerak. Nyala itu membesar. 

tengkorak  bertiduran di ambin kayu. sebab  pengaruh kopi 

kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam. 

“Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai 

jantungnya berdebaran kencang. 

“Tak perlu kita minum lagi, Kang.” 

mandala  hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar 

olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar 

kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan 

seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan 

itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah. 

Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia 

tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap 

tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di 

serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi. 

Waktu masuk ke dalam didapatinya tengkorak  telah tertidur 

dalam kedamaian. 

Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama 

Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal 

penduduk Tuban Kota sebagai Wira mandala . namun  lama-

kelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan 

nama sendiri dan dipanggillah ia Wirangmandala , 

Syahbandarmuda. 

Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat 

penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar sebab  ia 

seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer, 

seorang juara gulat dan suami tengkorak : pujaan Tuban. 

Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang 

memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan 

Syahbandar-muda atau istrinya. 

Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi 

punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan 

membikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya 

apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang 

berlebih-lebihan membikin ia sering ragu-ragu, sedang 

kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang 

Adipati selalu membikin ia terlalu hati-hati. Sedang 

bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak 

juga pernah hilang dari kewaspadaannya. 

tengkorak  tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin 

telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang 

hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar. 

Sekarang keharusan mengenakan kemban membikin 

tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin 

pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang 

memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di 

desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak 

aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada 

suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu. 

Biar belum mendapatkan ketenangan dalam 

penghidupannya yang baru mandala  dapat mengikuti dengan 

cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di 

ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana. 

Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk 

memudahkan tuan Syahbandar baru menjalankan 

kewajibannya. 

Juga mandala  tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga 

Iskak, telah pindah ke bekas asmayat  dan tak juga 

mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia 

akan diangkat jadi penghulu negeri, namun  Sang Adipati tak 

juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban 

Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa 

pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anak-

anak pembesar membaca Alqur’an bahasa dan tulisan Arab. 

Dua tiga kali Wirangmandala  pernah berpapasan dengan 

Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayun-

ayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk 

dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah 

menampakkan diri di wilayah pelabuhan. 

Wirangmandala  membenarkan bisik-desus orang bekas 

Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang 

berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari 

seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia 

selalu mencari-cari Yakub. namun  pewarung itu selalu 

menjauhkan diri tak ingin melihatnya. 

Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama 

Syahbandar juara gulat itu harus pula mengawasi galangan-

galangan kapal di bandar Glondong, sebuah pelabuhan lain 

lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor 

kuda jantan, muda berwarna putih kelabu. 

sesudah  barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita: 

Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari 

jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama. 

lalu  terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang 

Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan 

untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang 

Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya. 

Berita yang didengamya lalu : beberapa hari 

berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda 

ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah 

pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang 

berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan tengkorak . 

lalu  terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran: 

Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap 

oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan 

wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa, 

mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di 

belakang wanita itu seorang lelaki memikul beberapa 

bungkusan mengikuti. 

Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh 

Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung 

utama. sesudah  itu Syahbandar pergi lagi dengan muka 

cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan 

hampa. 

Mungkin sebab  kesepian di dalam gedung utama wanita 

itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia 

bertemu dengan tengkorak  yang sedang menyiapkan makan 

malam. 

“Kaukah itu, tengkorak ?” tegumya dengan lagu dan bahasa 

kadipaten. 

“Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?” 

“Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah 

kau jadi istri Syahbandar-muda?” ia tersenyum mayat h dan 

nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya 

membelai tengkorak  dengan persahabatan. 

“Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka 

tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin 

dan deburan laut,” ia bicara sambil terus bekerja. 

“Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa 

mengindahkan protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini 

jugakah tuan Syahbandar?” 

“Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini 

rupa. Ibu ini siapa….? 

“Aku, Nak? Aku istri tuan Syahbandar.” 

“Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal?” 

“Di dalam kadipaten, tengkorak . Kau tak pernah melihat aku 

waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah melihat kau.” 

Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan 

persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai 

dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri. 

Istri Syahbandar Tuban itu tak lain dibandingkan  Nyi Gede 

Kati, bekas penrsi s keputrian Kadipaten. 

Dari wanita itu tengkorak  mengetahui, ia pernah dipanggil 

menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang 

pertama kali tentang surat, yang kedua… ia duduk 

bersimpuh, lalu  datang menghadap juga tuan 

Syahbandar. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi Gede. 

“Tuan Sayid Habibullah Almasawa,!” Sang Adipati 

berkata, “inilah Nyi Gede Kati, penrsi s keputrian, wanita 

Tuban pertama-tama yang Tuan kenal.” 

Terdengar dari belakang Nyi Gede, Sayid Habib 

Almasawa menjawab gopoh-gapah: “Ampun, Gusti, patik 

belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!” 

“Kalau begitu,” kata Sang Adipati lagi, “lihatlah baik-

baik. Mungkin sudah agak lupa!” 

Terdengar olehnya Syahbandar baru Tuban itu 

membantah. 

“Ampun, Gusti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik 

melihat perempuan ini.” 

“Baik,” kata Sang Adipati, “dan kau, Nyi Gede, telah 

kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka 

dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa, 

ambillah perempuan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan 

yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup 

Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi Gede, kemasi semua 

barangmu dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama 

dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban 

menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan 

berangkatlah kalian sebagai suami istri.” 

Kedatangan Nyi Gede di gedung kesyahbandaran 

mengurangi kerinduan tengkorak  pada orang tua dan Awis 

Krambil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap mandala  adalah 

juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun 

segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu 

bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam 

berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya 

mengulang kalimat: Mengapa perempuan bergigi hitam 

diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja, 

Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering 

bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal 

dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi 

Gede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus 

dikawininya di mesjid? Apakah benar wanita itu Nyi Gede 

Kati? Ia tak pernah melihatnya sebelumnya. 

Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya 

menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh 

Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru 

hanya Nyi Gede sendiri. 

sesudah  Syahbandar menemukan jalan segera 

ditempuhnya. 

Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam. Dua buah 

lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi Gede. 

Di luar kamar tidur mandala  sedang mengintip mereka. 

Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi Gede Kati 

penrsi s keputrian?” 

“Inilah sahaya, Tuan Syahbandar,” jawab Nyi Gede juga 

dalam Melayu. 

“Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati?” 

ia menguji. 

“Siapa? Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya 

sebelum…. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.” 

“Mengapa tadinya?” 

“Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?” 

“Bukankah aku suamimu? dan engkau harus menjawab!” 

“Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah 

menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak 

tahu.” 

“Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah Syahbandar 

memberikan ujiannya. 

“Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap 

mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur 

hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga 

takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.” 

“Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang 

teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,” 

Syahbandar berdoa. lalu : “Katakanlah: Amien”. 

“Amien, Tuan.” 

“Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, sebab  amien 

itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar.” 

“Amien.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid masih belum dapat 

diyakinkan. 

“Nyi Gede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barang-

barang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat 

bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa,” 

katanya dengan suara lebih keras dari semula. 

Dengan luwesnya Nyi Gede Kati memperagakan 

tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah 

menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya: 

subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh 

menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke 

bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing 

bersarung mas berukir. 

Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-

Badaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan 

memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah. 

“Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak 

kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun,” ia 

berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini 

milikmu;” 

“Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya 

ambilkan.” 

Tak lama lalu  terjajar barang-barang berharga 

milik pribadi Nyi Gede Kati. Di antaranya seutas kalung 

sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan 

mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan 

dua buah real mas Portugis. 

Mata Syahbandar bersinar-sinar. Ia tegakkan 

bongkoknya dan bertepuk tangan, lalu  menggeserkan 

tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas 

ketiduran. dan: “Gelang, cincin dari kalung ini jelas 

seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama, 

dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri 

negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.” 

“Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri.” 

Nyi Gede menerangkan dengan nada bangga. “Yang 

menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan 

yang sahaya tidak kenal.” Ia melirik pada suaminya. 

“Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak 

mengenalnya?” 

” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya 

beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa.” 

“Adakah kau balas surat itu?” 

“Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang 

atau tidak pada isinya, sebab  demikian diajarkan pada 

kami di perrsi an kami.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega. 

lalu : “Bagaimana kau membalas surat pada pengirim 

tak dikenal itu, Nyi Gede?” 

“Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan 

sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat 

itu tiada.” 

Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering 

menembusi udara malam, keluar rumah. 

“Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka 

masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi Gede?” 

“Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya 

tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.” 

Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran Tholib 

Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la 

tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan 

zamrut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu 

belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, lalu : 

“Kau istriku, bukan, Nyi Gede? Istriku yang syah.” 

“Sahaya, Tuan.” 

“Kukawini kau di mesjid.” 

“Sahaya, Tuan.” 

“Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang 

kukagumi ini dan juga dua real Peranggi ini aku simpan 

sendiri agar selamat dan aman?” 

“Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan. 

Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini, 

adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.” 

Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas. 

Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam saku-

dalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit 

pipi istrinya: “Semua jadi milikku. Tapi milik siapa 

jiwamu?” 

“Gusti Adipati, Tuan.” 

“Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik 

Allah.” 

Nyi Gede tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula 

mengangguk. 

“Dengar, Nyi Gede, mulai besok buanglah kebiasaan 

menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih 

dibandingkan  hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan 

kafir perbegu Benggala.” 

“Baik, Tuan.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk 

menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti 

terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah 

Wirangmandala  dari tempat pengintaiannya. Syahbandar 

muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon 

menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari 

rumah. Dugaannya tidak keliru. 

Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu 

keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia 

mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata 

menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan memasuki 

ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita 

minyak kelapa dari satu sumbu. 

Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang 

ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat 

Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang 

perhiasan pada Yakub. lalu  terdengar mereka bicara 

dalam Melayu: “Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu 

dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di 

sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat 

untuk Tuan.” 

“Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat 

kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!” 

Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera 

Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur. 

“Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah 

Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya, 

Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di 

bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan 

selamanya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah 

panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu 

tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung 

asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin. 

Lagi araknya, Tuan?” 

“Cukup, Yakub.” 

“Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga 

arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya, 

dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak 

peduli di Tuban atau di tempat lain.” 

Dari tempatnya Wirangmandala  melihat Syahbandar 

mengawasi Yakub