nusantara awal abad 16 5

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 5



 ahagiaanmu, tengkorak . Kebahagiaan 

yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di 

bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah 

melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi 

keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. tengkorak , juara tiga 

kali berturut, kau mendapatkan….” 

Juga mandala  menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya 

menggeletar, sebab  cemburu, sebab  geram, sebab  

ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri Tuban, 

sebab  tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai kata-

kata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai 

pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah 

arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan 

oleh mayat  arwah ? Dengan kekuatan batin luar biasa ia 

tindas semua perasaannya. Dan sesudah  semua tertindas, 

dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada 

hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang 

harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan? 

Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman 

takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja 

ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. 

Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan tengkorak  

sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang 

Adipati. 

Keringat dingin mulai bermanik-manik pada 

tengkuknya. 

Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan: 

“Pertama, dengarkan baik-baik, tengkorak  dan semua kawula 

Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai 

penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama 

dua puluh tahun ini….” 

Sorak-sorai. mandala  mengangkat pandang menetak 

wajah Sang Adipati. 

“… Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta 

pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan… 

permata….” Sorak-sorai!  

“Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau, 

pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar… 

Ayoh!” 

mandala  bukan hanya mengangkat pandang ia 

mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana 

menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa 

Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu 

menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat 

kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak 

mau melihat itu. tengkorak ! Jangan sentuh tangan berkarunia 

itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, tengkorak . 

Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang 

pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat tengkorak  

merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar 

mengangkat sembah. 

Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada 

tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya 

tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang 

Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke 

atasnya. 

“Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan 

segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami 

ada rencana untukmu.” 

Sunyi-senyap. 

Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang 

terhormat tamu Gusti Adipati Tuban, bernama Sayid 

Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan 

bersembah.” 

“Ya, Gusti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!” 

Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul 

dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun. 

“Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban!” 

seseorang memekik. 

Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru. 

“Titah Gusti Adipati selanjumya,” peseru meneruskan, 

“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, tengkorak , 

hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap, 

“hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak 

mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan 

kepatuhan yang berlaku.” 

Sorak-sorai bergulung-gulung. 

Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya 

perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam 

jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat 

menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga 

duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani 

mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai 

orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap 

seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh 

pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang 

sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar. 

Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala 

yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh 

berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro! 

Di tempat duduknya, di belakang tengkorak . mandala  merasa 

seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis 

Krambil beringsut mendekatinya. 

“Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang 

mandala ” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya 

lengan juara gulat itu. 

mandala  membalas hiburan dengan meletakkan tangan 

pada lengan orang itu. Berbisik membalas: “Hidup atau 

mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.” 

Dan tengkorak  masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia 

masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati. 

Semua mata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya. 

Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid 

memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan 

seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam 

diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata 

yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu 

memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus, 

bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih 

dibandingkan  itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku. 

Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. 

lalu : “Mengapa kau menangis, tengkorak ?” para peseru 

meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang 

berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar menunggu 

permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu, 

puaskan tangismu, juara, sebab  kebahagiaan yang lebih 

besar lagi sedang menunggumu. Juga semua kawula Tuban 

ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik 

matari di alun-alun sana, tengkorak !” 

mandala  memusatkan pandang pada Sang Adipati, 

penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung 

tengkorak  yang tersengal-sengal. Kalau tengkorak  menyerahkan 

dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan 

merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung 

tombak yang menunggu. tengkorak  takkan menyerahkan 

dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan 

kehormatan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,” 

mayat  arwah  merestui sebelum meninggalnya. “Semoga 

keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu 

mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang.” 

mayat  arwah  lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak 

yang kini dihadapinya. 

Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para 

pembesar, mengetahui betapa mayat h dan manis Sang 

Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan 

kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu. 

”Sudah siapkah kau, tengkorak ?” Sang Adipati bertanya 

lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa 

menjauh lagi? Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan 

airmatamu?!” 

Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali 

menyusul. “Ayoh persembahkan permohonan.” 

“Ampun! Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,” 

akhirnya keluar juga kata-kata tengkorak  yang menggigil 

tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbata-

bata. “Apa yang patik akan persembahkan,… sebagai 

permohonan….” 

mandala  mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya 

menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa 

menahan gelombang perasaan yang memukul menggebu-

gebu. Mengapa lama betul tengkorak  menyelesaikan kata-

katanya? 

“Harapan patik… semoga permohonan patik… yang 

tiada sepertinya takkan menggusarkan Gusti Adipati Tuban 

sesembahan patik.” Kata-kata tengkorak  tersekat macat. 

Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia telah 

serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia 

bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit, 

mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran 

bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualang-

petualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantau-

perantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba 

keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya 

sebentar terkejut, lalu  seluruh jaringan syarafnya akan 

lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah Syahbandar 

lama atau baru, sebab  ia tetap dan akan tetap jadi 

Syahbandar Tuban. namun  di mana Yakub? Mengapa ia tak 

juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan 

tugasnya? 

Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang 

peseru meneruskan: “Ayoh, tengkorak …!”  

Sekarang tengkorak  berdatang sembah: “Ampunilah patik, ya 

Gusti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak 

menggusarkan Gusti. Permohonan patik yang tidak 

sepertinya adalah…” 

“Betapa susah berhadapan dengan Gusti Adipati” 

seseorang menyeletuk. 

“Diam!” bentak seorang peseru.  

“Nah, aku teruskan persembahan tengkorak . Dengarkan… 

adalah… adalah… Gusti Adipati Tuban sendiri.. adalah… 

Kakang mandala … Juara gulat!”  

Sekarang Gusti Adipati Tuban bertanya: “Kami tidak 

mengerti, tengkorak . Apa maksudmu!?” 

namun  para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka. 

Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun 

lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka 

berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak 

mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas 

tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada 

Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud tengkorak . 

Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga 

memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan 

ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak 

untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada 

kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil. 

Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang 

Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa 

maksudmu? Katakan yang jelas!” 

mandala  tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa 

disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh sesudah  

menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang 

menghiburnya. 

Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam-

diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang 

Kamajaya, untuk mendapatkan kekuatan cinta semacam itu 

juga. lalu  ia belai-belai punggung mandala . 

“Patik memohon, ya Gusti Adipati Tuban sesembahan 

patik,’ mendadak suara tengkorak  menjadi keras, kuat dan 

tabah sesudah  diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga Gusti 

Adipati Tuban berkenan, Gusti Adipati Tuban sendiri, 

merestui patik dan Kakang mandala  sebagai istri dan suami.” 

tengkorak  telah mempersembahkan keinginannya sebagai 

hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati 

semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya 

yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang. 

Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, lalu  

mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah. 

Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam. 

Mati kau, tengkorak ! Mati kau di ujung keris, pikir orang. 

Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala 

untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. 

Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak 

tangan kiri, meringis. 

Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah. 

Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu. 

Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman 

pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di 

samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki 

letak kaki. 

Gelombang sorak-sorai: masih membeludag 

memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang 

makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, 

I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti 

kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, 

tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati. 

Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedan-

sedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya 

sebagai makhluk pilihan para dewa. 

Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup 

mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: 

“Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah 

bagi cinta setia. Kau pilih petani desa dibandingkan  adipati 

berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman 

seindah ini.” 

Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai 

keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing 

dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli 

pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi 

pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa 

Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa 

agama mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam. 

Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban. 

Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. Mendengar 

mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi 

lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di 

hadapan tengkorak . Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua 

belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu 

pada tangan berkuasa itu. 

Orang telah bayangkan tengkorak  mati di ujung keris, 

menjelempah bermandi darah, sebab  demikian memang 

adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, mandala  akan 

maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga 

menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang 

berdebaran kencang. 

Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, tengkorak , 

wanita utama Awis Krambil dan Tuban. Seluruh Tuban 

bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian 

puja untukku…, Dengarkan orang bersorak-sorai 

untukmu….” kata-kata Sang Adipati tersekat pada 

tenggorokan. 

Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua 

kali – suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap. 

Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati 

langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati 

meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “tengkorak , kekasih 

Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan mandala .” 

Sorak-sorai gila di alun-alun. 

“mandala ! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!” 

mandala  maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti 

katak, menyembah beberapa kail lalu  duduk di 

samping kekasihnya. 

“Benarkah ini yang bernama mandala , tengkorak ? Pria yang 

engkau cintai?” 

“Benar, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” 

“Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.” 

“Benar, Gusti, tidak keliru.” 

“Tidakkah kau akan menyesal, tengkorak ?” 

“Demi Hyang Widhi, tidak, Gusti Adipati sesembahan 

patik” 

“Katakan ‘demi Allah’”, Tholib Sungkar Az-Zubaid 

berseru dari tempatnya. 

“Demi Allah, ya Gusti.” 

“Kau yang bemama mandala  dari Awis Krambil?” 

“Inilah patik, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” 

“Jadi kaukah kekasih tengkorak ?” 

“Demikian adanya, Gusti.” 

Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: “Dengarkan 

dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan 

kekuasaan kami, di kawinkan juara tari tengkorak  dengan juara 

gulat mandala , dua-duanya dari desa Awis Krambil.” 

Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa. 

“Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia 

akan menjadi keturunan kalian….” 

“Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga Iskak. 

Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: 

”Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu 

mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku Islam pula. 

Munafik. Kufur.” 

‘Tidak syah!” gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam 

bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan 

hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, tengkorak  dengan 

begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap 

milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang 

akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat 

yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar. 

Otakmu cuma sebesar biji korma kering. 

“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.” 

Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat 

sembah. lalu  dengan suara pelahan: “Ampun, Gusti 

Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah Gusti 

ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat 

memuja cinta yang murni, ya Gusti. Dan bukan tanpa 

bahaya tengkorak  memilih suaminya.” 

Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, 

membenarkan Sang Patih. lalu  hening. 

“Juga bukan tanpa bahaya bagi mandala . Ia pun telah 

menunjukkan kejantanan, Gusti Adipati Tuban sesembahan 

patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau 

bukan sebab  pemurah Gusti, bukan kekasih ia dapatkan, 

tapi ujung keris.” 

“Kau benar, Kakang Patih.” 

“Ampun, Gusti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari 

penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini 

penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah 

pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan. 

Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan 

mereka.” 

Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan 

wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka 

bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da 

pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul lalu  

datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan 

minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh 

tungku. 

Di dalam rumah-rumah Tuban Kota orang tua-tua 

memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih-

Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta 

menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an 

mereka sendiri. 

“Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah 

wanita utama seperti tengkorak . Untuk cintanya dia berani 

hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di 

bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, 

sebab  raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. 

Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri. 

Malam itu tengkorak  dan mandala  mendapat tempat sendiri-

sendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut 

bagi dua orang anak desa perbatasan. 

tengkorak  dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya 

dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam 

jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari 

giginya, lalu  memaraminya untuk mendapatkan kulit 

yang lunak dan berseri pada keesokan harinya. 

Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya. 

Ia berbahagia sebab  dapat membahagian kekasihnya. 

Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan untuknya 

lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, 

lalu  nenek itu menerangkan artinya dan memberikan 

tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacara-

upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam 

upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari 

suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman 

dan kebesaran. 

Lain halnya dengan mandala . Sekalipun ia dilingkari pria-

pria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti 

seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, 

ingatannya tak juga mau lepas dari mayat  arwah  dan 

segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa 

itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan. 

Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati 

sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya 

dari muka bumi. 

Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan 

tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang 

melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain 

pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan 

nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti 

burung berkicau. 

mandala  berusaha keras mengingat-ingat kembali…. 

Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah 

serba putih sebab  tuanya dengan cepat mengutip Negara 

Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, 

negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di 

bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut 

Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun 

hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga 

hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan 

Candrakirana. 

“Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu 

kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai 

kawula, namun  sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam 

perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari 

kalian. Barang bakal dan barang jadi…!” 

“Jangan ditahan kaki ini, mandala  biar aku tekuk,” salah 

seorang pemijit menegur. 

Dan mandala  mengendorkan otot-otot kakinya. 

”Bagian ini sangat tegang, mandala , terlalu lelah.” 

Kembali ia mengenangkan mendiang mayat  arwah : 

Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri, 

kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di 

mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan 

kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka 

yang tak membutuhkan kebenaran…. 

“Telentang, kau, mandala !” 

Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher 

sekarang mendapat giliran. 

“Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar 

nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.” 

“Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana,” ia 

menjawabi. 

Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia 

merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di 

alam mimpi… 

Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan 

belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar 

gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut, 

membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas 

mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepat-

eepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan 

membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih 

dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya 

juga memasuki rumah dan hati mereka. lalu  mereka 

membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan 

dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang. 

Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut. 

Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai 

wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh 

pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur 

kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu 

Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya. 

Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di 

pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan 

datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan 

orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma. 

Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah 

jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan 

pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan 

tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala 

dua orang pengantin desa itu. 

Bunyi gamelan semakin riuh – dari mana-mana. Dalam 

rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling 

depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari, 

untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk 

mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak 

dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah 

riang sekali sebab  terlalu tua dan terlalu bersemangat 

orang memukulnya. 

Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an 

dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera 

turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung 

lalu  padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap 

itu membikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. 

Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gula-

santan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi 

menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang 

berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu 

didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang 

mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam, 

kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu 

perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang 

untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan: 

tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar 

gemilang. 

Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten, 

memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan 

melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta Buddha 

membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah 

memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang 

dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan 

itu. Akan ditempuh pengantin. 

Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantra-

mantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti 

berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah 

keheningan: “Sambutl” Giring-giring. Berbunyi lagi. 

Berhenti. “Sambut!” pekik orang tua itu. Giring-giring. 

Pekikan. Giring-giring. Pekikan Gumam Pendeta Buddha. 

Pekikan. Susul-menyusul lalu  bergulung jadi nyanyi 

bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu 

di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut 

menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah 

terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi. 

lalu  semua tangan terangkat ke langit seakan hendak 

menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan 

turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para 

penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai 

berjalan pelan menuju ke gapura. 

Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para 

pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan 

tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu 

itu sendiri terbuat dibandingkan  kayu berukir. Atap dan 

dindmgnya terbuat dibandingkan  sutra kuning tipis terpilih dan 

berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru 

laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati 

berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung 

dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala 

semua manusia. 

Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh 

berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang 

penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih 

menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari 

lain mereka memainkan riwayat mandala  dan tengkorak  di 

sepanjang jalan arak-arakan. 

Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka 

tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. 

Sebentar jalan. 

tengkorak  mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat. 

Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan 

pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. mandala  

bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas 

dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula 

dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari 

mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo 

bertatahkan intan baiduri. 

Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin 

kerajaan. 

Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai 

menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi 

dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda 

bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu 

nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan, 

oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin 

itu tetap agung duduk di tempatnya. 

Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela 

Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin 

mendesak untuk menghampiri tengkorak . Mereka tak dapat 

menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk 

mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka 

berebut dahulu untuk menyentuh mandala . 

Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu 

lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak 

melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan 

deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli. 

Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban 

mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun 

mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan 

berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit 

pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus 

disintuh. 

Mengerti akan keinginan mereka, tengkorak  dan mandala  

mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan 

para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak 

berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bunga-

bungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan 

lenyap dari penglihatan mata. 

Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan 

makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang 

mulai menyerang dinding dan atap tandu. 

Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan 

pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan 

angin. 

Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus 

juga bertalu. Dan para penari terus juga berlenggang-

lenggok sepasang jalan. 

Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para 

perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambil-

alih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat 

menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat 

serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di 

udara seperti biduk terkena terjang angin beliung. 

Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang. 

Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan 

antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara, 

menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin 

terguncang-guncang. 

tengkorak  lupa pada sikap resminya. Tangannya 

berpegangan erat-erat pada tiang tandu. mandala  berusaha 

mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah 

tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran 

heran bertanya-tanya. 

Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut 

seorang nenek pengawal tengkorak : “Dewa Batara! Jangan 

biarkan jatuh tandu itu’.” 

Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, lalu  

hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli 

pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika. 

Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun 

membeku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan 

teriknya. 

Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu, 

lalu  meraung: “Ampun, Dewa Batara, ampun!” 

Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan 

kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara 

sedu-sedan dan memohon ampun pada Hyang Widhi mulai 

menggelombang. 

Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi 

pengantin yang terjatuh dari atas tandu. 

Ketegangan dan kekejangan. 

Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para 

dewa, sebab  membiarkan pengantin kekasih Kamajaya 

dan Kamaratih terguling dari kedudukannya. 

Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari mana-

mana membubung dengung mantra-mantra. 

Dalam kerumunan orang tengkorak  berdiri dari tanah, 

mandala  melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak 

bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan 

menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak 

menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru 

sesudah  ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami 

tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa 

harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik 

lagi. mandala  dan tengkorak  menolak. 

Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka 

meneruskan perjalanan. Kemayat ian membuncah lagi. Tapi 

para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu. 

Pengantin menolak ditunjang. 

Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air 

bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua 

membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali, 

lalu  menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup 

bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa 

ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit 

ke permukaan air. 

Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah memanjang 

pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, 

seperti sedang meneropong hari depan sendiri. 

Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun 

bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin 

menjauhi pantai. 

Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya 

bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal 

kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh, 

melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh 

… jauh…. 

0o-dw-o0 

 

6. Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta 

Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan 

orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung 

berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang 

yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah 

yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman 

sebab  darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya 

penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban. 

Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan 

Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua 

berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur 

yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa 

Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama 

Kartarajasa. 

Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak 

memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan 

yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga 

Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda 

menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah 

sebab  kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang 

berlebihan. 

namun , pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini, 

demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit 

biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya 

jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka 

tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya 

semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka, 

namun  kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang 

bijaksana. 

Juga Sang Adipati Tuban tahu dari rsi  praja: sejak 

masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa 

telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara 

dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia 

sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke 

negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin 

gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana, 

Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer 

dengan Campa. sesudah  menjadi raja Majapahit pertama, 

Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kekaisaran 

dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia. 

Dari rsi  praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda 

Kartarajasa mempunyai dua jalan untuk mempersatukan 

Nusantara. Pertama jalan kecil sebab  keciilah 

kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok – 

dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat 

untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang 

kedua adaiah jalan besar, sebab  besarlah kemungkinannya, 

yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke 

Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak 

terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat 

menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai. 

Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa 

mengawini putri Melayu bergelar Dara Petak artinya Gadis 

Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala 

Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin 

kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian 

menyelamatkan Selat Semenanjung. 

Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri 

Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini. 

Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra, 

hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri 

mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri 

Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah 

Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga 

benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga? Mereka 

tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus 

jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat 

mempertahankan Selat Semenanjung. 

Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda, 

tapi semangat menjadi-jadi. 

Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu, 

kata rsi  praja pada Sang Adipati semasa masih kanak-

kanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang 

dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra 

mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas 

desanya sendiri. Gubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling 

keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri 

Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, namun  sia-sia. 

Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang Adipati. 

Sang Adipati Tuban Arya Teja, sebab  kebijaksanaan 

dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat 

jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah 

sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda 

Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih 

Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka 

untuk membangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah 

semangat, perhatiannya lalu  ia tumpahkan pada 

wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri 

Tuban. namun  Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari 

selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai 

bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang 

memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk 

memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di 

pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk 

persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk 

semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara 

Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit. 

Majapahit telah lama runtuh. namun  Adipati Tuban tak 

mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja Majapahit. Ia 

pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang 

kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang 

Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang 

berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban 

adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara 

mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan. 

Dan sekarang, bahwa ia mengangkat tengkorak  dan mandala  

pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga sebab  

tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat 

lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati. 

Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernah-

menggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan 

tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang 

kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersorak-

sorai di alun-alun dan membenarkan tengkorak , seketika itu 

juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan 

impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan 

bernama tengkorak  dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai 

itu. 

Dan ia tahu, peristiwa tengkorak -mandala  tak boleh berhenti 

sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk 

memelihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka 

mandala  harus juga mendapat jabatan yang patut. 

sesudah  upacara perkawinan agung selesai sering ia 

duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di 

tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat 

kehebatan berahinya pada tubuh tengkorak . namun  sesudah  

kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, 

menyambar dan membakar dalam dada tuanya. 

Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat 

membantunya. 

Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak 

dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu 

mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang… 

betapa… betapa… tidak, ia meyakinkan diri sesudah  teringat 

pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek 

Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak 

kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia 

kebaskan berahinya. 

Selama tengkorak , seorang wanita, apakah bedanya dengan 

wanita lain? Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa 

didapatkan lagi? 

Dan dialahkan pikirannya sekarang pada mandala . Di 

mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya 

tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan 

kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan 

Gajah Mada sebagai seseorang? Namun wajah dunia telah 

berubah sebab  mereka berdua, anak-anak desa itu: 

Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai, 

Jalan besar terbuka, Majapahit jaya. 

Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan 

sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan 

Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya 

hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang 

mampu melawan dia. Tuban pun tidak. namun  selama 

Tuban di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa 

pun juga. 

0o-dw-o0 

 

Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat 

sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah: 

“Ya, mandala , pengantin baru yang berbahagia, adakah 

sesuatu hendak kau persembahkan?” 

Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah 

mencoba menyusun kata. 

“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. 

Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah 

memohon perkenan dari Gusti Adipati Tuban…” 

Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat 

itu. sesudah  perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam 

kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu 

terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah 

hilang. tengkorak  telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang 

adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu 

datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui 

segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya 

untuk melakukan sesuatu kerja menyebabkan 

kegelisahannya semakin menjadi-jadi. 

“Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah 

ada…?” 

“Lebih dari cukup, Gusti, patik hanyalah petani biasa. 

Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, Gusti.” 

“Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya? 

Bukankah kau mengabdi pada adipatimu?” 

Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. 

Badannya sudah kuyup. 

“Kau, mandala , kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan 

pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.” 

Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia 

mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat 

badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh. 

Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di 

bawahnya itu – bahu pegulat yang kukuh seperti baja. 

Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati. 

Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa. 

Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan 

gedung bekas asmayat  telah menyelesaikan tugasnya. Sang 

Adipati sendiri yang telah memerintah mereka. Dan sesudah  

itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi 

Rangga Iskak ke bekas asmayat  tersebut. Sang Adipati 

menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan 

sepatutnya. “Ya, mandala , pergi, kau!” perintah Sang 

Adipati. 

Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan 

menyembah lagi, lalu  hilang dari penglihatan Sang 

Adipati. 

Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap 

untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, 

berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke 

kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara 

binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si 

gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat 

pemelihara itu lalu  duduk di samping binatangnya, 

menyembah pada Sang Adipati. Gajah itu sendiri 

mengangkat belalai. 

Sang Adipati tertawa terhibur. 

0o-dw-o0 

 

Tidak lebih dari lima hari lalu , di taman di tentang 

kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan 

rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir 

ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa 

dan bertulisan Jawa. 

Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan 

Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar Malaka 

berkebangsaan Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. 

Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, 

setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk 

yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali. 

Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat 

orang tersebut, hanya sebab  terbujuk oleh kefasihan 

tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang. 

Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat 

kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir 

diangkat menjadi wazir. 

Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarah-

sedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati 

terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban, 

sebab  orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah 

perlindungan Peranggi. 

Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang 

dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa. 

Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak. 

Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang 

lebih tinggi dibandingkan  duta rahasia Sultan Mahmud Syah. 

Dan sesudah  membacanya surat kertas itu dilipatnya baik-

baik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta 

berkata dalam Melayu: “Kami telah baca baik-baik surat 

ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan 

Mahmud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama 

Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan 

Duta?” 

“Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran 

Ispanya, negerinya Andalusia, Gusti.” 

“Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?” 

“Barangtentu, Gusti.” 

“Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi?” 

“Jelas seperti matari, Gusti, sebab  dia dapat juga 

melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu.” 

“Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini?” 

“Wara-wara Gusti Adipati Tuban di atas Malaka telah 

didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban 

yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi, 

Gusti. Dia akan datang kemari.” 

“Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan 

mengubah namanya sekiranya memasuki Tuban?” 

“Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga 

bertugas menjejak bekas Syahbandar Malaka?” 

“Barang tentu, Gusti. Patik telah singgah di Pasai, 

Jambi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju 

Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana 

pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar 

bagi nyawanya. Dan ternyata, Gusti, benar belaka, Sayid 

Mahmud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi 

Gusti Adipati Tuban, bahkan telah Gusti angkat jadi 

Syahbandar Tuban.” 

“Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu 

tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang? Sayid 

Habibullah Almasawa?” 

“Betul, Gusti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas 

Syahbandar Malaka.” 

“Dan sesudah  Tuan Duta mengetahui dia ada di sini, 

adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami?” 

“Kalau sekiranya berkenan di hati Gusti Adipati 

Tuban… ampun, Gusti, bukan buatan terkejut patik 

melihatnya di bandar Gusti… dia tak mengenal patik tapi 

patik mengenal dia… dalam hati patik membersitlah satu 

doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang 

Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan 

betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan 

kepada patik,” Duta rahasia itu terdiam. 

Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya 

harapan. 

Sang Adipati membuang pandang ke arah kandang 

gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam 

walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang 

sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang 

kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Ad-

ipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam. 

Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada 

orang di hadapannya itu. 

Matari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu 

terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu 

mempersembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan 

Arab dan berbulu mas bertatahkan zamrud. 

”Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka 

kerajaan Malaka ini, Gusti, sebagai harapan dapat 

terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan, 

untuk tidak menyinggahi Malaka selama dikuasai 

Peranggi.” 

“Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah 

pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban 

Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan 

sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan 

Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan 

pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana 

persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan?” 

“Ampun, Gusti, Adipati, tentang itu pastikah bukan 

patik yang harus mempersembahkan.” 

Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari 

tenggelam sama sekali. 

Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang 

Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu. 

Betapa bodoh menrsi si yang telah masuk masa silam, 

pikirnya. 

Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan 

menitahkan agar mandala  datang menghadap. Dan waktu 

pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia 

memulai: “mandala , apa yang kau ketahui dari kebesaran 

masa silam?” 

Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan 

ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan: 

“Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” 

mandala  tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam 

menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa 

daya-perlawanannya menjadi layu sesudah  memperistri 

tengkorak , dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. 

“Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan 

malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang Adipati, 

sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacau-

balau. Mengetahui mandala  tak juga berdatang sembah, ia 

mendesak: “Cepat, mandala . Kami tahu, kau telah banyak 

mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain 

dari kau dan tengkorak  yang telah menrsi s mayat  arwah  

sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek 

gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” suara 

juara gulat itu gemetar. 

“Kau takut, mandala . Juara gulat yang takut bersembah!” 

Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya. 

Suaranya menjadi agak lunak. “Dulu rsi -rsi  pembicara 

seperti mayat  arwah  banyak berkeliaran dan membual di 

kota-kota. arwah  itu mungkin sisa dari gerombolan 

mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh 

oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara 

berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. 

Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu rsi -

pembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.” 

“Ampun, Gusti, kata mayat  arwah , hendaknya orang 

memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam 

pada guagarba hari depan?” 

“Dari seluruh bualan arwah  hanya itu saja yang teringat 

olehmu?” 

Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu 

seakan bersarang dalam kepalanya. 

“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah, 

bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari 

depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. 

Kau percaya pada kata-kata mayat  arwah ?” 

Kepala mandala  semakin mendekati tanah. 

“Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin 

kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan 

pembicara-pembicara membual?” 

“Ampun, Gusti, memang demikian halnya.” 

“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu 

datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara 

gulat?” 

“Patik ada di sini, Gusti!” 

“Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat, 

badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki 

pikiranmu, sebab  kau anak terpelajar, ingin banyak 

mengetahui, sebab  itu sering mendengarkan rsi  

berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, sebab  kau tak 

dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami 

menghendaki jiwamu, sebab  tak ada kebesaran datang 

tanpa petaruh jiwa. mandala , kembalikan kejayaan dan 

kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini 

untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, 

kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau 

berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri, 

gandok Islam. Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa 

Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan 

pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar 

dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa 

Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah 

Almasawa. Berangkat!” 

sesudah  juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan 

berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten. 

Seminggu lalu  di taman itu juga Sang Adipati 

menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu. 

Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang 

sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia 

belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta 

berdiri di belakangnya. 

“Ya, Gusti, patik adalah utusan pribadi Gusti Kanjeng 

Adipati Unus dari Jepara. Nama patik Aji Usup, Gusti.”  

‘Teruskan, Aji Usup yang terhormat.”  

“Salam bahagia dari Gusti Kanjeng Jepara, dan 

pesan….” Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam 

menahan kemarahan. Matanya membelalak: “Pesan? Pesan 

untuk Adipati Tuban? Ataukah maksud Tuan ancaman?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu 

memang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik 

datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari 

tindakan Demak, Gusti.” 

“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Memasuki 

dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka 

gelanggang perkelahian? Hanya sebab  ingin punya bandar 

sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah 

Tuban pernah menjamah Demak dengan kuda atau 

gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya, 

memanggil kaki dan kuda dan gajah Tuban?” 

“Ampun, Gusti, Demak tahu benar akan kekuatan 

perkasa dari Tuban.” 

Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup 

mengikuti dari belakang. 

“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh 

Demak rata dengan tanah.” 

“Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, Gusti 

Adipati Tuban, ampuni patik.” 

“Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan 

perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang 

memerintah Demak?” Sang Adipati memilin-milin kumis 

putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan 

Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai 

raja?” 

“Inilah nyawa patik, Gusti, bila Gusti perlukan untuk 

ditumpas, patik persembahkan dengan rela.” 

“Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.” 

“sebab  memang ada yang lebih penting dibandingkan  hati 

mati, Gusti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.” 

“Apakah sebab  memikirkan nasib seluruh Jawa, maka 

Demak merasa dibenarkan memasuki Jepara?” 

“Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan Gusti Adipati 

Tuban. Ampun, Gusti.” 

“Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia 

sendiri tahu tentang nasib Jawa?” 

“Jauh dari itu, ya Gusti Adipati Tuban yang mulia,” 

susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan 

Demak ke seberang dan Atas Angin, Gusti….” 

“Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari 

Sampo Toalang?” Sang Adipati memotong. “Adakah 

Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami 

hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji 

Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo 

Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang 

Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh 

sebab nya. Bandamya tetap jaya. lalu  Lao Sam atau 

Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban. 

Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam? 

Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami 

ijinkan. Tuban takkan jadi pudar sebab nya. Bukankah 

kerajaan Demak didirikan untuk membentengi Semarang 

dari Tuban? Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng 

sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat 

mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara.” 

“Patik, Gusti.” 

“Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan 

Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu 

kesopanan itu.” 

“Patik, Gusti.” 

“Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah 

lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang