nusantara awal abad 16 5
ahagiaanmu, tengkorak . Kebahagiaan
yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di
bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah
melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi
keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. tengkorak , juara tiga
kali berturut, kau mendapatkan….”
Juga mandala menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya
menggeletar, sebab cemburu, sebab geram, sebab
ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri Tuban,
sebab tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai kata-
kata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai
pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah
arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan
oleh mayat arwah ? Dengan kekuatan batin luar biasa ia
tindas semua perasaannya. Dan sesudah semua tertindas,
dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada
hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang
harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan?
Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman
takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja
ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang.
Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan tengkorak
sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang
Adipati.
Keringat dingin mulai bermanik-manik pada
tengkuknya.
Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan:
“Pertama, dengarkan baik-baik, tengkorak dan semua kawula
Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai
penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama
dua puluh tahun ini….”
Sorak-sorai. mandala mengangkat pandang menetak
wajah Sang Adipati.
“… Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta
pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan…
permata….” Sorak-sorai!
“Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau,
pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar…
Ayoh!”
mandala bukan hanya mengangkat pandang ia
mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana
menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa
Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu
menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat
kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak
mau melihat itu. tengkorak ! Jangan sentuh tangan berkarunia
itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, tengkorak .
Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang
pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat tengkorak
merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar
mengangkat sembah.
Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada
tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya
tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang
Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke
atasnya.
“Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan
segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami
ada rencana untukmu.”
Sunyi-senyap.
Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang
terhormat tamu Gusti Adipati Tuban, bernama Sayid
Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan
bersembah.”
“Ya, Gusti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!”
Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul
dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun.
“Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban!”
seseorang memekik.
Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru.
“Titah Gusti Adipati selanjumya,” peseru meneruskan,
“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, tengkorak ,
hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap,
“hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak
mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan
kepatuhan yang berlaku.”
Sorak-sorai bergulung-gulung.
Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya
perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam
jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat
menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga
duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani
mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai
orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap
seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh
pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang
sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar.
Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala
yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh
berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!
Di tempat duduknya, di belakang tengkorak . mandala merasa
seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis
Krambil beringsut mendekatinya.
“Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang
mandala ” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya
lengan juara gulat itu.
mandala membalas hiburan dengan meletakkan tangan
pada lengan orang itu. Berbisik membalas: “Hidup atau
mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.”
Dan tengkorak masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia
masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati.
Semua mata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya.
Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid
memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan
seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam
diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata
yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu
memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus,
bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih
dibandingkan itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku.
Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar.
lalu : “Mengapa kau menangis, tengkorak ?” para peseru
meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang
berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar menunggu
permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu,
puaskan tangismu, juara, sebab kebahagiaan yang lebih
besar lagi sedang menunggumu. Juga semua kawula Tuban
ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik
matari di alun-alun sana, tengkorak !”
mandala memusatkan pandang pada Sang Adipati,
penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung
tengkorak yang tersengal-sengal. Kalau tengkorak menyerahkan
dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan
merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung
tombak yang menunggu. tengkorak takkan menyerahkan
dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan
kehormatan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,”
mayat arwah merestui sebelum meninggalnya. “Semoga
keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu
mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang.”
mayat arwah lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak
yang kini dihadapinya.
Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para
pembesar, mengetahui betapa mayat h dan manis Sang
Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan
kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.
”Sudah siapkah kau, tengkorak ?” Sang Adipati bertanya
lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa
menjauh lagi? Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan
airmatamu?!”
Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali
menyusul. “Ayoh persembahkan permohonan.”
“Ampun! Gusti Adipati Tuban sesembahan patik,”
akhirnya keluar juga kata-kata tengkorak yang menggigil
tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbata-
bata. “Apa yang patik akan persembahkan,… sebagai
permohonan….”
mandala mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya
menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa
menahan gelombang perasaan yang memukul menggebu-
gebu. Mengapa lama betul tengkorak menyelesaikan kata-
katanya?
“Harapan patik… semoga permohonan patik… yang
tiada sepertinya takkan menggusarkan Gusti Adipati Tuban
sesembahan patik.” Kata-kata tengkorak tersekat macat.
Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia telah
serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia
bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit,
mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran
bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualang-
petualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantau-
perantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba
keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya
sebentar terkejut, lalu seluruh jaringan syarafnya akan
lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah Syahbandar
lama atau baru, sebab ia tetap dan akan tetap jadi
Syahbandar Tuban. namun di mana Yakub? Mengapa ia tak
juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan
tugasnya?
Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang
peseru meneruskan: “Ayoh, tengkorak …!”
Sekarang tengkorak berdatang sembah: “Ampunilah patik, ya
Gusti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak
menggusarkan Gusti. Permohonan patik yang tidak
sepertinya adalah…”
“Betapa susah berhadapan dengan Gusti Adipati”
seseorang menyeletuk.
“Diam!” bentak seorang peseru.
“Nah, aku teruskan persembahan tengkorak . Dengarkan…
adalah… adalah… Gusti Adipati Tuban sendiri.. adalah…
Kakang mandala … Juara gulat!”
Sekarang Gusti Adipati Tuban bertanya: “Kami tidak
mengerti, tengkorak . Apa maksudmu!?”
namun para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka.
Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun
lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka
berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak
mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas
tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada
Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud tengkorak .
Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga
memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan
ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak
untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada
kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil.
Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang
Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa
maksudmu? Katakan yang jelas!”
mandala tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa
disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh sesudah
menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang
menghiburnya.
Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam-
diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang
Kamajaya, untuk mendapatkan kekuatan cinta semacam itu
juga. lalu ia belai-belai punggung mandala .
“Patik memohon, ya Gusti Adipati Tuban sesembahan
patik,’ mendadak suara tengkorak menjadi keras, kuat dan
tabah sesudah diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga Gusti
Adipati Tuban berkenan, Gusti Adipati Tuban sendiri,
merestui patik dan Kakang mandala sebagai istri dan suami.”
tengkorak telah mempersembahkan keinginannya sebagai
hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati
semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya
yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang.
Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, lalu
mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah.
Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam.
Mati kau, tengkorak ! Mati kau di ujung keris, pikir orang.
Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala
untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu.
Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak
tangan kiri, meringis.
Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah.
Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu.
Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman
pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di
samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki
letak kaki.
Gelombang sorak-sorai: masih membeludag
memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang
makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu,
I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti
kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa,
tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati.
Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedan-
sedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya
sebagai makhluk pilihan para dewa.
Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup
mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon:
“Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah
bagi cinta setia. Kau pilih petani desa dibandingkan adipati
berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman
seindah ini.”
Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai
keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing
dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli
pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi
pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa
Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa
agama mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam.
Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban.
Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. Mendengar
mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi
lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di
hadapan tengkorak . Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua
belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu
pada tangan berkuasa itu.
Orang telah bayangkan tengkorak mati di ujung keris,
menjelempah bermandi darah, sebab demikian memang
adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, mandala akan
maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga
menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang
berdebaran kencang.
Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, tengkorak ,
wanita utama Awis Krambil dan Tuban. Seluruh Tuban
bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian
puja untukku…, Dengarkan orang bersorak-sorai
untukmu….” kata-kata Sang Adipati tersekat pada
tenggorokan.
Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua
kali – suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap.
Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati
langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati
meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “tengkorak , kekasih
Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan mandala .”
Sorak-sorai gila di alun-alun.
“mandala ! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!”
mandala maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti
katak, menyembah beberapa kail lalu duduk di
samping kekasihnya.
“Benarkah ini yang bernama mandala , tengkorak ? Pria yang
engkau cintai?”
“Benar, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”
“Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.”
“Benar, Gusti, tidak keliru.”
“Tidakkah kau akan menyesal, tengkorak ?”
“Demi Hyang Widhi, tidak, Gusti Adipati sesembahan
patik”
“Katakan ‘demi Allah’”, Tholib Sungkar Az-Zubaid
berseru dari tempatnya.
“Demi Allah, ya Gusti.”
“Kau yang bemama mandala dari Awis Krambil?”
“Inilah patik, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”
“Jadi kaukah kekasih tengkorak ?”
“Demikian adanya, Gusti.”
Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: “Dengarkan
dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan
kekuasaan kami, di kawinkan juara tari tengkorak dengan juara
gulat mandala , dua-duanya dari desa Awis Krambil.”
Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa.
“Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia
akan menjadi keturunan kalian….”
“Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga Iskak.
Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati:
”Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu
mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku Islam pula.
Munafik. Kufur.”
‘Tidak syah!” gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam
bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan
hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, tengkorak dengan
begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap
milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang
akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat
yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar.
Otakmu cuma sebesar biji korma kering.
“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.”
Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat
sembah. lalu dengan suara pelahan: “Ampun, Gusti
Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah Gusti
ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat
memuja cinta yang murni, ya Gusti. Dan bukan tanpa
bahaya tengkorak memilih suaminya.”
Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo,
membenarkan Sang Patih. lalu hening.
“Juga bukan tanpa bahaya bagi mandala . Ia pun telah
menunjukkan kejantanan, Gusti Adipati Tuban sesembahan
patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau
bukan sebab pemurah Gusti, bukan kekasih ia dapatkan,
tapi ujung keris.”
“Kau benar, Kakang Patih.”
“Ampun, Gusti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari
penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini
penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah
pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan.
Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan
mereka.”
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan
wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka
bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da
pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul lalu
datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan
minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh
tungku.
Di dalam rumah-rumah Tuban Kota orang tua-tua
memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih-
Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta
menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an
mereka sendiri.
“Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah
wanita utama seperti tengkorak . Untuk cintanya dia berani
hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di
bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi,
sebab raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir.
Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.
Malam itu tengkorak dan mandala mendapat tempat sendiri-
sendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut
bagi dua orang anak desa perbatasan.
tengkorak dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya
dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam
jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari
giginya, lalu memaraminya untuk mendapatkan kulit
yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.
Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya.
Ia berbahagia sebab dapat membahagian kekasihnya.
Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan untuknya
lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya,
lalu nenek itu menerangkan artinya dan memberikan
tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacara-
upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam
upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari
suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman
dan kebesaran.
Lain halnya dengan mandala . Sekalipun ia dilingkari pria-
pria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti
seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali,
ingatannya tak juga mau lepas dari mayat arwah dan
segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa
itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan.
Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati
sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya
dari muka bumi.
Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan
tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang
melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain
pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan
nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti
burung berkicau.
mandala berusaha keras mengingat-ingat kembali….
Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah
serba putih sebab tuanya dengan cepat mengutip Negara
Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan,
negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di
bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut
Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun
hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga
hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan
Candrakirana.
“Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu
kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai
kawula, namun sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam
perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari
kalian. Barang bakal dan barang jadi…!”
“Jangan ditahan kaki ini, mandala biar aku tekuk,” salah
seorang pemijit menegur.
Dan mandala mengendorkan otot-otot kakinya.
”Bagian ini sangat tegang, mandala , terlalu lelah.”
Kembali ia mengenangkan mendiang mayat arwah :
Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri,
kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di
mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan
kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka
yang tak membutuhkan kebenaran….
“Telentang, kau, mandala !”
Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher
sekarang mendapat giliran.
“Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar
nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.”
“Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana,” ia
menjawabi.
Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia
merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di
alam mimpi…
Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan
belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar
gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut,
membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas
mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepat-
eepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan
membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih
dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya
juga memasuki rumah dan hati mereka. lalu mereka
membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan
dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang.
Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut.
Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai
wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh
pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur
kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu
Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.
Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di
pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan
datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan
orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma.
Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah
jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan
pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan
tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala
dua orang pengantin desa itu.
Bunyi gamelan semakin riuh – dari mana-mana. Dalam
rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling
depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari,
untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk
mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak
dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah
riang sekali sebab terlalu tua dan terlalu bersemangat
orang memukulnya.
Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an
dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera
turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung
lalu padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap
itu membikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain.
Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gula-
santan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi
menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang
berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu
didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang
mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam,
kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu
perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang
untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan:
tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar
gemilang.
Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten,
memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan
melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta Buddha
membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah
memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang
dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan
itu. Akan ditempuh pengantin.
Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantra-
mantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti
berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah
keheningan: “Sambutl” Giring-giring. Berbunyi lagi.
Berhenti. “Sambut!” pekik orang tua itu. Giring-giring.
Pekikan. Giring-giring. Pekikan Gumam Pendeta Buddha.
Pekikan. Susul-menyusul lalu bergulung jadi nyanyi
bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu
di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut
menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah
terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi.
lalu semua tangan terangkat ke langit seakan hendak
menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan
turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para
penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai
berjalan pelan menuju ke gapura.
Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para
pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan
tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu
itu sendiri terbuat dibandingkan kayu berukir. Atap dan
dindmgnya terbuat dibandingkan sutra kuning tipis terpilih dan
berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru
laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati
berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung
dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala
semua manusia.
Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh
berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang
penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih
menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari
lain mereka memainkan riwayat mandala dan tengkorak di
sepanjang jalan arak-arakan.
Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka
tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu.
Sebentar jalan.
tengkorak mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat.
Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan
pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. mandala
bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas
dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula
dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari
mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo
bertatahkan intan baiduri.
Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin
kerajaan.
Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai
menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi
dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda
bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu
nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan,
oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin
itu tetap agung duduk di tempatnya.
Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela
Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin
mendesak untuk menghampiri tengkorak . Mereka tak dapat
menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk
mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka
berebut dahulu untuk menyentuh mandala .
Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu
lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak
melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan
deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.
Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban
mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun
mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan
berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit
pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus
disintuh.
Mengerti akan keinginan mereka, tengkorak dan mandala
mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan
para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak
berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bunga-
bungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan
lenyap dari penglihatan mata.
Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan
makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang
mulai menyerang dinding dan atap tandu.
Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan
pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan
angin.
Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus
juga bertalu. Dan para penari terus juga berlenggang-
lenggok sepasang jalan.
Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para
perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambil-
alih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat
menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat
serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di
udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.
Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang.
Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan
antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara,
menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin
terguncang-guncang.
tengkorak lupa pada sikap resminya. Tangannya
berpegangan erat-erat pada tiang tandu. mandala berusaha
mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah
tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran
heran bertanya-tanya.
Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut
seorang nenek pengawal tengkorak : “Dewa Batara! Jangan
biarkan jatuh tandu itu’.”
Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, lalu
hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli
pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika.
Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun
membeku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan
teriknya.
Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu,
lalu meraung: “Ampun, Dewa Batara, ampun!”
Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan
kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara
sedu-sedan dan memohon ampun pada Hyang Widhi mulai
menggelombang.
Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi
pengantin yang terjatuh dari atas tandu.
Ketegangan dan kekejangan.
Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para
dewa, sebab membiarkan pengantin kekasih Kamajaya
dan Kamaratih terguling dari kedudukannya.
Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari mana-
mana membubung dengung mantra-mantra.
Dalam kerumunan orang tengkorak berdiri dari tanah,
mandala melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak
bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan
menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak
menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru
sesudah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami
tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa
harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik
lagi. mandala dan tengkorak menolak.
Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka
meneruskan perjalanan. Kemayat ian membuncah lagi. Tapi
para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu.
Pengantin menolak ditunjang.
Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air
bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua
membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali,
lalu menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup
bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa
ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit
ke permukaan air.
Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah memanjang
pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut,
seperti sedang meneropong hari depan sendiri.
Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun
bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin
menjauhi pantai.
Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya
bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal
kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh,
melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh
… jauh….
0o-dw-o0
6. Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta
Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan
orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung
berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang
yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah
yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman
sebab darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya
penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban.
Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan
Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua
berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur
yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa
Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama
Kartarajasa.
Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak
memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan
yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga
Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda
menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah
sebab kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang
berlebihan.
namun , pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini,
demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit
biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya
jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka
tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya
semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka,
namun kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang
bijaksana.
Juga Sang Adipati Tuban tahu dari rsi praja: sejak
masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa
telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara
dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia
sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke
negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin
gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana,
Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer
dengan Campa. sesudah menjadi raja Majapahit pertama,
Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kekaisaran
dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.
Dari rsi praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda
Kartarajasa mempunyai dua jalan untuk mempersatukan
Nusantara. Pertama jalan kecil sebab keciilah
kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok –
dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat
untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang
kedua adaiah jalan besar, sebab besarlah kemungkinannya,
yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke
Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak
terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat
menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai.
Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa
mengawini putri Melayu bergelar Dara Petak artinya Gadis
Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala
Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin
kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian
menyelamatkan Selat Semenanjung.
Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri
Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini.
Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra,
hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri
mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri
Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah
Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga
benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga? Mereka
tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus
jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat
mempertahankan Selat Semenanjung.
Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda,
tapi semangat menjadi-jadi.
Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu,
kata rsi praja pada Sang Adipati semasa masih kanak-
kanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang
dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra
mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas
desanya sendiri. Gubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling
keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri
Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, namun sia-sia.
Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang Adipati.
Sang Adipati Tuban Arya Teja, sebab kebijaksanaan
dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat
jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah
sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda
Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih
Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka
untuk membangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah
semangat, perhatiannya lalu ia tumpahkan pada
wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri
Tuban. namun Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari
selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai
bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang
memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk
memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di
pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk
persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk
semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara
Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit.
Majapahit telah lama runtuh. namun Adipati Tuban tak
mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja Majapahit. Ia
pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang
kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang
Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang
berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban
adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara
mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan.
Dan sekarang, bahwa ia mengangkat tengkorak dan mandala
pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga sebab
tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat
lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.
Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernah-
menggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan
tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang
kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersorak-
sorai di alun-alun dan membenarkan tengkorak , seketika itu
juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan
impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan
bernama tengkorak dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai
itu.
Dan ia tahu, peristiwa tengkorak -mandala tak boleh berhenti
sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk
memelihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka
mandala harus juga mendapat jabatan yang patut.
sesudah upacara perkawinan agung selesai sering ia
duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di
tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat
kehebatan berahinya pada tubuh tengkorak . namun sesudah
kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala,
menyambar dan membakar dalam dada tuanya.
Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat
membantunya.
Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak
dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu
mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang…
betapa… betapa… tidak, ia meyakinkan diri sesudah teringat
pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek
Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak
kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia
kebaskan berahinya.
Selama tengkorak , seorang wanita, apakah bedanya dengan
wanita lain? Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa
didapatkan lagi?
Dan dialahkan pikirannya sekarang pada mandala . Di
mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya
tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan
kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan
Gajah Mada sebagai seseorang? Namun wajah dunia telah
berubah sebab mereka berdua, anak-anak desa itu:
Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai,
Jalan besar terbuka, Majapahit jaya.
Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan
sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan
Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya
hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang
mampu melawan dia. Tuban pun tidak. namun selama
Tuban di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa
pun juga.
0o-dw-o0
Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat
sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah:
“Ya, mandala , pengantin baru yang berbahagia, adakah
sesuatu hendak kau persembahkan?”
Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah
mencoba menyusun kata.
“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.
Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah
memohon perkenan dari Gusti Adipati Tuban…”
Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat
itu. sesudah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam
kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu
terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah
hilang. tengkorak telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang
adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu
datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui
segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya
untuk melakukan sesuatu kerja menyebabkan
kegelisahannya semakin menjadi-jadi.
“Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah
ada…?”
“Lebih dari cukup, Gusti, patik hanyalah petani biasa.
Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, Gusti.”
“Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya?
Bukankah kau mengabdi pada adipatimu?”
Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya.
Badannya sudah kuyup.
“Kau, mandala , kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan
pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.”
Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia
mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat
badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh.
Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di
bawahnya itu – bahu pegulat yang kukuh seperti baja.
Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati.
Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa.
Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan
gedung bekas asmayat telah menyelesaikan tugasnya. Sang
Adipati sendiri yang telah memerintah mereka. Dan sesudah
itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi
Rangga Iskak ke bekas asmayat tersebut. Sang Adipati
menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan
sepatutnya. “Ya, mandala , pergi, kau!” perintah Sang
Adipati.
Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan
menyembah lagi, lalu hilang dari penglihatan Sang
Adipati.
Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap
untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit,
berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke
kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara
binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si
gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat
pemelihara itu lalu duduk di samping binatangnya,
menyembah pada Sang Adipati. Gajah itu sendiri
mengangkat belalai.
Sang Adipati tertawa terhibur.
0o-dw-o0
Tidak lebih dari lima hari lalu , di taman di tentang
kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan
rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir
ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa
dan bertulisan Jawa.
Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan
Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar Malaka
berkebangsaan Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi.
Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok,
setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk
yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali.
Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat
orang tersebut, hanya sebab terbujuk oleh kefasihan
tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang.
Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat
kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir
diangkat menjadi wazir.
Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarah-
sedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati
terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban,
sebab orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah
perlindungan Peranggi.
Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang
dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa.
Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak.
Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang
lebih tinggi dibandingkan duta rahasia Sultan Mahmud Syah.
Dan sesudah membacanya surat kertas itu dilipatnya baik-
baik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta
berkata dalam Melayu: “Kami telah baca baik-baik surat
ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan
Mahmud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama
Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan
Duta?”
“Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran
Ispanya, negerinya Andalusia, Gusti.”
“Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?”
“Barangtentu, Gusti.”
“Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi?”
“Jelas seperti matari, Gusti, sebab dia dapat juga
melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu.”
“Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini?”
“Wara-wara Gusti Adipati Tuban di atas Malaka telah
didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban
yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi,
Gusti. Dia akan datang kemari.”
“Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan
mengubah namanya sekiranya memasuki Tuban?”
“Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga
bertugas menjejak bekas Syahbandar Malaka?”
“Barang tentu, Gusti. Patik telah singgah di Pasai,
Jambi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju
Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana
pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar
bagi nyawanya. Dan ternyata, Gusti, benar belaka, Sayid
Mahmud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi
Gusti Adipati Tuban, bahkan telah Gusti angkat jadi
Syahbandar Tuban.”
“Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu
tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang? Sayid
Habibullah Almasawa?”
“Betul, Gusti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas
Syahbandar Malaka.”
“Dan sesudah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini,
adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami?”
“Kalau sekiranya berkenan di hati Gusti Adipati
Tuban… ampun, Gusti, bukan buatan terkejut patik
melihatnya di bandar Gusti… dia tak mengenal patik tapi
patik mengenal dia… dalam hati patik membersitlah satu
doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang
Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan
betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan
kepada patik,” Duta rahasia itu terdiam.
Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya
harapan.
Sang Adipati membuang pandang ke arah kandang
gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam
walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang
sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang
kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Ad-
ipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam.
Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada
orang di hadapannya itu.
Matari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu
terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu
mempersembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan
Arab dan berbulu mas bertatahkan zamrud.
”Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka
kerajaan Malaka ini, Gusti, sebagai harapan dapat
terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan,
untuk tidak menyinggahi Malaka selama dikuasai
Peranggi.”
“Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah
pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban
Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan
sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan
Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan
pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana
persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan?”
“Ampun, Gusti, Adipati, tentang itu pastikah bukan
patik yang harus mempersembahkan.”
Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari
tenggelam sama sekali.
Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang
Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu.
Betapa bodoh menrsi si yang telah masuk masa silam,
pikirnya.
Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan
menitahkan agar mandala datang menghadap. Dan waktu
pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia
memulai: “mandala , apa yang kau ketahui dari kebesaran
masa silam?”
Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan
ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan:
“Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.”
mandala tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam
menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa
daya-perlawanannya menjadi layu sesudah memperistri
tengkorak , dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman.
“Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan
malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang Adipati,
sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacau-
balau. Mengetahui mandala tak juga berdatang sembah, ia
mendesak: “Cepat, mandala . Kami tahu, kau telah banyak
mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain
dari kau dan tengkorak yang telah menrsi s mayat arwah
sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek
gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik.” suara
juara gulat itu gemetar.
“Kau takut, mandala . Juara gulat yang takut bersembah!”
Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya.
Suaranya menjadi agak lunak. “Dulu rsi -rsi pembicara
seperti mayat arwah banyak berkeliaran dan membual di
kota-kota. arwah itu mungkin sisa dari gerombolan
mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh
oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara
berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil.
Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu rsi -
pembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.”
“Ampun, Gusti, kata mayat arwah , hendaknya orang
memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam
pada guagarba hari depan?”
“Dari seluruh bualan arwah hanya itu saja yang teringat
olehmu?”
Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu
seakan bersarang dalam kepalanya.
“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah,
bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari
depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi.
Kau percaya pada kata-kata mayat arwah ?”
Kepala mandala semakin mendekati tanah.
“Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin
kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan
pembicara-pembicara membual?”
“Ampun, Gusti, memang demikian halnya.”
“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu
datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara
gulat?”
“Patik ada di sini, Gusti!”
“Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat,
badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki
pikiranmu, sebab kau anak terpelajar, ingin banyak
mengetahui, sebab itu sering mendengarkan rsi
berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, sebab kau tak
dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami
menghendaki jiwamu, sebab tak ada kebesaran datang
tanpa petaruh jiwa. mandala , kembalikan kejayaan dan
kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini
untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga,
kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau
berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri,
gandok Islam. Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa
Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan
pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar
dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa
Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah
Almasawa. Berangkat!”
sesudah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan
berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten.
Seminggu lalu di taman itu juga Sang Adipati
menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu.
Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang
sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia
belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta
berdiri di belakangnya.
“Ya, Gusti, patik adalah utusan pribadi Gusti Kanjeng
Adipati Unus dari Jepara. Nama patik Aji Usup, Gusti.”
‘Teruskan, Aji Usup yang terhormat.”
“Salam bahagia dari Gusti Kanjeng Jepara, dan
pesan….” Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam
menahan kemarahan. Matanya membelalak: “Pesan? Pesan
untuk Adipati Tuban? Ataukah maksud Tuan ancaman?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu
memang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik
datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari
tindakan Demak, Gusti.”
“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Memasuki
dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka
gelanggang perkelahian? Hanya sebab ingin punya bandar
sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah
Tuban pernah menjamah Demak dengan kuda atau
gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya,
memanggil kaki dan kuda dan gajah Tuban?”
“Ampun, Gusti, Demak tahu benar akan kekuatan
perkasa dari Tuban.”
Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup
mengikuti dari belakang.
“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh
Demak rata dengan tanah.”
“Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, Gusti
Adipati Tuban, ampuni patik.”
“Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan
perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang
memerintah Demak?” Sang Adipati memilin-milin kumis
putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan
Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai
raja?”
“Inilah nyawa patik, Gusti, bila Gusti perlukan untuk
ditumpas, patik persembahkan dengan rela.”
“Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.”
“sebab memang ada yang lebih penting dibandingkan hati
mati, Gusti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.”
“Apakah sebab memikirkan nasib seluruh Jawa, maka
Demak merasa dibenarkan memasuki Jepara?”
“Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan Gusti Adipati
Tuban. Ampun, Gusti.”
“Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia
sendiri tahu tentang nasib Jawa?”
“Jauh dari itu, ya Gusti Adipati Tuban yang mulia,”
susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan
Demak ke seberang dan Atas Angin, Gusti….”
“Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari
Sampo Toalang?” Sang Adipati memotong. “Adakah
Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami
hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji
Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo
Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang
Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh
sebab nya. Bandamya tetap jaya. lalu Lao Sam atau
Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban.
Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam?
Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami
ijinkan. Tuban takkan jadi pudar sebab nya. Bukankah
kerajaan Demak didirikan untuk membentengi Semarang
dari Tuban? Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng
sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat
mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara.”
“Patik, Gusti.”
“Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan
Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu
kesopanan itu.”
“Patik, Gusti.”
“Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah
lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang