Rabu, 14 Juni 2023
Mamak. Ia juga yaitu salah satu dari pemantau
pemilu independen AMAN. Bagi Patih Yusuf, keterlibatan
warga Talang Mamak sebagai pemantau pemilu dipicu oleh
kerisauan pada penyelenggaraan Pemilu 2019. Sebanyak 500
pemilih warga Talang Mamak ingin untuk ikut pemilu, namun
kebingungan mencoblos akibat tuna aksara. Desain surat suara
DPR yang tak menampilkan foto membuat banyak pemilih
tuna aksara kebingungan.
Akhirnya, Batin Urusan menyarankan agar warga
Talang Mamak yang sudah pandai membaca menjadi pemandu
bagi pemilih yang tuna aksara di TPS.Agar tak menimbulkan
masalah saat memandu pemilih, mereka berbondong-bondong
mendaftarkan diri sebagai Pemantau Pemilu Independen
AMAN.
Bagi Talang Mamak, pengerahan adat untuk
berpartisipasi berarti memastikan seluruh hak pilih warganya
terpenuhi.Mereka berusaha untuk menjamin seluruh warga
Talang Mamak dapat menyalurkan hak suaranya dengan
mudah.Dalam hal lain, Talang Mamak menjadikan pemilu
sebagai sarana untuk memperkuat hak mereka sebagai warga-
negara agar dilindungi dan diakui wilayahnya. “Harapan kami
gak banyak, yang penting aman, tenang, senang.Kalau kita gak
aman, kenapa kita memilih,” tutup Patih Yusuf.
Terdengar sederhana, namun bagi warga adat
pemilu yaitu hal yang luar biasa.Dengan berpartisipasi dalam
pemilu, warga adat membangun harapan besar bagi
keberlangsungan kehidupan mereka dan anak cucunya.
Sejak Kongres warga Adat Nusantara ketiga
tahun 2007 di Pontianak, AMAN sebagai organisasi
warga adat dimandatkan untuk memperluas partisipasi
politik dengan mendorong warga adat terlibat masuk
ke dalam ruang-ruang pembuat kebijakan melalui pemilu.
Sejak Pemilu 2009 dan 2014, puluhan warga adat telah
berhasil masuk ke legislatif maupun eksekutif, terutama di
daerah. Sebagian besar dari mereka telah menjadi motor
penggerak lahirnya peraturan daerah tentang pengakuan dan
perlindungan hak warga adat.
Pada Pemilu Serentak 2019, untuk pertama kalinya
warga adat ambil bagian dalam pemantau pemilu
independen yang diakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu
Republik negara kita (Bawaslu RI). Melalui Aliansi warga
Adat Nusantara (AMAN), 235 anak-anak adat mewakili
komunitas adatnya masing-masing terdaftar sebagai pemantau
pemilu independen AMAN. Mereka terlibat memantau di 15
provinsi dan 13 kabupaten.Keterlibatan warga adat dalam
pemantauan ini yaitu manifestasi dari meningkatnya
kesadaran berpartisipasi.Tidak hanya sekadar memakai
hak pilih, bahkan warga adat turut memastikan
penyelenggaraan pemilu yang adil dan legitimate, serta
menjamin aksesibilitas warga adat untuk berpartisipasi
aktif dalam pemilu.
Ada misi besar warga adat melalui AMAN dalam
Pemilu 2019.Pertama,memerangi praktik politik curang (politik
uang) dan mendekatkan warga adat dengan negara.
warga adat melalui AMAN sebagai organisasinya telah
membuktikan bahwa pemilu sebetulnya tidaklah mahal jika
caleg yang maju benar-benar lahir dari proses musyawarah
mufakat di kampung-kampung. Caleg warga adat
tidak perlu mengeluarkan modal yang banyak untuk sekadar
memperoleh suara atau untuk membangun citra tertentu.
Dalam proses ini massa pemilih pun tidak melulu pasif atau
sekadar menjadi pemandu sorak, suara mereka didengar dan
dibawa oleh caleg yang mereka utus.
keikutsertaan politik warga adat yaitu anti-tesis
dari wajah buram partisipasi di negara kita.Lantang menyerukan
esensi partisipasi hingga ke kampung-kampung, menghidupkan
kembali mekanisme musyawarah adat sebagai keaslian nilai
demokrasi di negara kita, mendekatkan wakil rakyat dengan
konstituennya, dan menghadirkan mekanisme tali-mandat
sebagai wujud kedaulatan rakyat.
Jika warga pada umumnya merasa jauh dengan
pemilu , warga adat memilih untuk
terlibat aktif di dalamnya.Pemilu bagi warga adat, tak
sekadarmenjadikan mereka aktif sebagai pemilih.Mereka juga
aktif mencalonkan diri, menjadi pemantau, serta berkampanye.
warga adat sedang memastikan pemimpin yang
dihasilkan melalui pemilu dapat mengakui dan melindungi hak
atas ruang hidupnya yang semakin tergerus.
keikutsertaan Politik warga Adat
Dari penjelasan fakta di atas, partisipasi politik
warga adat melampaui pemisahan partisipasi secara
teoritis oleh Almond dalam yang
membedakan dua bentuk partisipasi politik, yaitu partisipasi
politik konvensional dan non-konvensional. keikutsertaan
warga adat dapat digambarkan secara teoritis melalui
apa yang disebut dalam studi Ilmu Politik sebagai political
participation beyond elections (Norris, 2002). keikutsertaan itu tak
hanya sekadar pemberian suara, ikut dalam diskusi politik,
ikut kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam
kelompok kepentingan sebagaimana bentuk partisipasi politik
konvensional.Terlibat dalam pemilu bagi warga adat pun
juga sebagai bentuk protes terhadap negara yang tak kunjung
mengakui dan menghormati hak mereka atas wilayah dan
sumber daya alam peninggalan leluhur.
Namun, partisipasi politik juga ditentukan dari pilihan
atas sistem dan desain pemilu.Semakin rumit pilihan atas sistem
dan desain pemilu, semakin sulit warga negara untuk turut
berpartisipasi aktif.Tak bisa kita mungkiri bahwa pilihan atas
sistem dan desain Pemilu 2019 masih jauh dari kata sempurna.
Hampir diseluruh wilayah muncul banyak kritik, mulai dari
penyelenggaraannya hingga ragam pelanggaran yang terjadi.
Banyak pihak menilai bahwa Pemilu 2019 yaitu yang paling
berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di negara kita.Hal itu
diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat
dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
Termasuk bagi warga adat, yang masih
menghadapi kendala dalam berpartisipasi secara penuh di
Pemilu 2019.Sebagai contoh desain pendaftaran pemilih
misalnya. Pasal 202 ayat (2) dan Pasal 210 ayat (3) UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pemilih yang
terdaftar dan berhak menyalurkan hak suara di TPS hanya
pemilih yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-
el).
Ada 1 juta warga adat dalam kawasan hutan
tak dapat memakai hak pilihnya dalam Pemilu 2019
sebab tidak memiliki KTP-el. Untuk memperoleh KTP-el
dan terdaftar sebagai pemilih, Kementerian Dalam Negeri
mengharuskan warga dalam kawasan hutan untuk
menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau diharuskan terlebih
dahulu untuk berpindah ke desa sekitar kawasan hutan yang
memiliki legalitas domisili.
Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 cukup
memberikan titik terang bagi pengakomodasian hak memilih
warga negara dengan memperluas tafsiran KTP-el yang meliputi
surat keterangan yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan
dan catatan sipil. Hanya saja putusan ini tak berdampak apapun
bagi warga adat, terutama yang tinggal dalam kawasan
hutan.
Putusan MK ini hanya mengakomodir pemilih
potensial yang telah merekam, namun belum memperoleh
KTP-el fisik dapat mengunakan Surat Keterangan Perekaman
untuk terdaftar sebagai pemilih.Sementara, warga
adat dalam kawasan hutan tidak dapat merekam KTP-el
sebab terhambat status kawasan yang melekat pada wilayah
domisilinya.
Konteks permasalahan diatas menunjukkan bahwa
dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, antara logika
administrasi kependudukan dengan pendaftaran pemilih
yaitu dua hal yang saling kait berkelindan. Administrasi
kependudukan menjadi hulu dan pendaftaran pemilih yaitu
hilirnya. Jika administrasi kependudukannya bermasalah,
maka dengan otomatis warga negara yang telah memiliki hak
pilih akan terhambat untuk terdaftar sebagai pemilih. Logika
ini menjadi hambatan utama bagi warga adat untuk
terdaftar sebagai pemilih.
menunjukkan ada beragam UU sektoral yang
mengatur warga adat dan saling menyandera satu sama
lain. UU sektoral ini lah yang menghambat warga
adat untuk terdaftar sebagai penduduk dan dengan
otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih.Hampir tidak dapat
diprediksikan bahwa problem tenurial ternyata berimplikasi
terhadap hilangnya hak pilih warga adat dengan logika
desain pendaftaran pemilih berbasis KTP-el sesuai UU No 7
Tahun 2017 tentang Pemilu.
Belum lagi desain surat suara tak compatible
dan tidak memberikan kemudahan memilih. Bagi pemilih
penyandang tuna aksara misalnya, desain surat suara DPRD
Kabupaten/Kota hingga DPR RI hanya menampilkan nama
calon, tak menampilkan foto. Sementara regulasi kepemiluan
kita masih abai dalam mengakomodir pemilih tuna aksara untuk
dapat didampingi saat hendak menyalurkan hak suaranya di
TPS.
Ragam contoh di atas menunjukkan bahwa pilihan
atas sistem dan desain pemilu yang diambil boleh jadi membawa
konsekuensi yang tidak diduga. Pilihan ini mungkin
bukan selalu yang terbaik untuk menjamin kemudahan seluruh
warga negara dapat berpartisipasi dalam pemilu dan kadang-
kadang bisa mendatangkan konsekuensi merusak bagi prospek
demokratisnya.
Sistem dan desain pemilu yang baik yaitu yang
dibangun berdasarkan kondisi empiris warga.Para
pemangku kepentingan dan penyelenggara pemilu juga
perlu memakai pendekatan sosio-antropologis terhadap
dinamika sosial-budaya warganya. Asumsinya yaitu
demokrasi yang stabil perlu mengakomodir seluruh hak
warga.
jika sistem dan desain pemilu dipandang tidak
kokoh dan tidak berjalan baik, kredibilitasnya akan berkurang
dan dapat memicu para pemilih mempertanyakan
partisipasi mereka dalam proses pemilu (Wall, 2006). Dengan
demikian, keadilan pemilu yang efektif menjadi elemen kunci
dalam menjaga kredibilitas proses pemilu.
Upaya menciptakan keadilan pemilu menghadapi
tantangan dalam negara multikultur – seperti negara kita. John
Stuart Mill, misalnya, percaya bahwa pemilu tidak sesuai
dengan struktur warga multikultur. Pemilu hanya dapat
diterapkan pada warga yang homogen
Ragam situasi khusus yang berbeda-beda melekat pada diri
warga menuntut pemilu harus mengakomodir dan
menjamin keberlangsungannya. Namun, pertanyaan tentang
apakah dan bagaimana pemilu dapat bertahan dalam negara
multikultur telah lama menjadi sumber kontroversi dalam ilmu
politik.
Tulisan ini bukan kemudian ingin menjustifikasi asumsi
bahwa pemilu tidak relevan diterapkan di dalam negara
yang multikultur, melainkan mencoba menguji sejauh mana
sistem dan desain pemilu di negara kita telah mengakomodir
inisiatif partisipasi warga untuk terlibat di dalam pemilu,
khususnya warga adat. Analisis dalam tulisan ini juga akan
menegaskan bahwa pemilu sebetulnya relevan diterapkan di
negara multikultur selama desain dan sistem pemilu dirancang
dengan prinsip mengakomodir keberagaman sosio-kultural
warga, keadilan, transparansi, aksesibilitas, serta
kesetaraan dan inklusivitas.
Rumusan Masalah
Fakta diatas kemudian mengundang pertanyaan
utama dalam tulisan ini yaitu bagaimana bentuk hambatan-
hambatan partisipasi pemilu yang terjadi pada warga
adat? Pertanyaan itu muncul mengiringi temuan-temuan
awal studi AMAN yang antara lain mengungkap kerumitan
prosedural desain pemilu yang berimplikasi terhadap hilangnya
hak pilih warga adat. Bagian-bagian pada tulisan ini akan
menjawab pertanyaan ini .
Fokus Tulisan
Pemilu kerap dianggap sebagai sebuah proyek
nasional yang tunggal dan, sebab itu, bersifat seragam
(Bayo, 2018).Padahal, struktur kesempatan politik dan model
hambatan partisipasi di berbagai daerah jelas berbeda-beda –
berkembang dinamis sesuai dengan kondisi warga.Oleh
sebab itu, studi tentang pemilu dan demokrasi perlu diperkuat
dengan mengedepankan perspektif lokal. Di tingkat lokallah
terletak pusat-pusat kekuasaan yang satu sama lain saling
berinteraksi. Di tingkat lokal pula imajinasi-imajinasi genuine
tentang praktik berdemokrasi dapat ditemukan.
Alasan-alasan yang menjadi titik berangkat tulisan
ini memperlihatkan ada sejumlah isu penting yang perlu
dieksplorasi untuk mengetahui variasi hambatan partisipasi
warga adat di berbagai konteks di negara kita. Studi ini
mengasumsikan ada tiga isu yang akan dielaborasi lebih jauh
dalam tulisan ini: (1) desain pemilu, (2) regulasi kepemiluan, dan
(3) dinamika sosio-kultural warga. Kita akan mendalami
satu per satu dari ketiga aspek ini .
Metodologi
Tulisan ini dihasilkan dari penelitian yang bersifat
kualitatif.Model kualitatif yang dipakai yaitu kualitatif
deskriptif.Penelitian kualitatif deskriptif yaitu penelitian
dengan metode atau pendekatan studi kasus (case study)
(Moleong, 2013).Penelitian ini memusatkan diri secara insentif
pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu
kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang
bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan
dari berbagai sumber
Ciri-ciri metode deskriptif analitis dapat disimpulkan
sebagai usaha mengakumulasi data, penelitian bergegas
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena dan
pengujian terhadap hipotesis, dipakai teknik wawancara
untuk mengumpulkan data, membuat prediksi dan implikasi
dari suatu masalah yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
studi kasus ini membantu Penulis untuk menggambarkan atau
melukiskan fakta-fakta hambatan partisipasi warga adat
dalam Pemilu 2019.Selain itu studi kasus membantu Penulis
untuk memahami kedalaman fakta secara langsung dalam
kehidupan sebenarnya dari kasus yang diteliti.Adapun subyek
dalam penelitian ini yaitu informan, yang artinya orang
pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Subyek penelitian ini yaitu populasi dan sampel,
menurut (Arikunto ) bahwa populasi yaitu keseluruhan
subyek penelitian yang artinyayaitu komunitas adat Kajang
di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan; komunitas adat
Dayak Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan
Selatan; dan komunitas adat Rakyat Penunggu di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Sedangkan sampel yaitu
sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti, lebih tepatnya
perwakilan 6 (enam) orang dengan pembagian 3 (tiga) laki-laki
dan 3 (tiga) perempuan disetiap komunitas warga adat
yang telah memiliki hak pilih, di mana yang menjadi subyeknya
yaitu Pengurus AMAN Daerah dan perwakilan komunitas.
Pemilihan 3 (tiga) komunitas ini berdasarkan dinamika
hambatan partisipasi yang diadvokasi oleh AMAN saat Pemilu
2019 lalu.AMAN telah terlibat secara langsung untuk meretas
hambatan-hambatan ini dan mendorong pemenuhan
hak pilih warga adat dalam Pemilu 2019. Data-data yang
dihasilkan dari proses advokasi ini lah yang menjadi
sumber utama dalam penulisan ini, sehingga dapat memenuhi
aspek khusus yang dipelajari secara intensif dan mendalam.
Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja
dari kasus yang diteliti, namun juga dapat diperoleh dari semua
pihak yang mengetahui dan mengenal kasus ini dengan
baik. Dengan kata lain, data dalam studi kasus dapat diperoleh
dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang akan
diteliti
Diskusi Pemilu dan warga Adat
Pemilu yaitu instrumen politik paling sahih
dari negara yang bersepakat dengan demokrasi. Sebuah
mekanisme yang menjamin rotasi kekuasaan berjalan dengan
adil dan legitimate, serta bertumpu pada kedaulatan demos
(rakyat). Pertanyaannya, seberapa penting menjamin pemilu
yang adil?Dalam hampir semua kasus, pilihan atas sistem
pemilu tertentu memiliki pengaruh mendalam bagi masa
depan kehidupan politik di negara bersangkutan.
Dalam realitasnya, sistem pemilu seringkali abai
terhadap hak asasi, terjebak pada perspektif prosedural namun
menegasikan substansi (Koelble, 2008).Selama dua dekade
terakhir, warga adat menjadi korban dari sistem pemilu
yang abai terhadap hak asasi.Pilihan atas desain pemilu justru
kontradiktif dengan realitas sosio-kultural yang tumbuh dan
berkembang serta menyulitkan warga adat.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, warga adat
menjadi korban dua kali.Korban dari ganasnya agresi
pembangunan, dan kini mereka harus merelakan hak pilihnya
diretas oleh sistem yang diskriminatif.
Studi yang dilakukan oleh Aliansi warga Adat
Nusantara (AMAN) menyimpulkan tiga hal yang menjadi
persoalan hilangnya hak pilih warga adat dalam pemilu.
Pertama, alasan kultural.Pranata hukum adat yang melekat
pada kehidupan warga adat secara turun-temurun
seringkali tak selaras dan justru kontradiktif dengan ketentuan
administratif untuk terlibat dalam pemilu.
Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah
administratif.Salah satu syarat untuk terlibat dalam pemilu
yaitu kepastian wilayah administratif atau domisili
Sementara, warga adat sangat rentan
kehilangan wilayahnya akibat tak kunjung hadir perlindungan
hukum dan pengakuan dari negara.Hal ini seringkali
memunculkan konflik berkepanjangan dan membuat mereka
terusir dari wilayahnya.Konflik tenurial ternyata berimplikasi
terhadap hilangnya hak pilih warga adat.
Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau.Dalih
yang dipakai oleh negara dan penyelenggara pemilu yaitu
kesulitan menjangkau warga adat yang tinggal di pelosok
dan pulau-pulau kecil – jauh dari pusat administrasi.
Tiga hal ini perlu diuji realitasnya dengan pelaksanaan
pemilu dua dekade kebelakang.Kita mulai dengan Pemilu 1999,
pesta demokrasi pertama pasca runtuhnya otoritarianisme
Orde Baru.Sebagian kalangan percaya bahwa pemilu masa
reformasi yaitu mekanisme pengambilan keputusan paling
demokratis. Tingkat partisipasi mencapai 92,7 persen, tertinggi
kedua setelah Pemilu 1955
Pemilu 1999 menganut sistem periodic list, yakni
sistem pendaftaran pemilih hanya dilakukan setiap kali
hendak menyelenggarakan pemilihan umum.Pemilu masa ini
juga menganut prinsip voluntary registration, bahwa memilih
yaitu hak setiap warga negara dan pemilih dapat memilih
untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih.Warga wajib
menunjukkan kartu tanda kependudukan atau bukti diri lainnya
yang sah sebagai syarat administratif dalam memakai hak pilih
Realitasnya, prosedural administrasi ini justru
menegasikan hak.Ratusan warga adat diretas hak pilihnya
dalam memilih sebab kepercayaan yang mereka anut.Masa
ini, negara tak mengakui agama kepercayaan yang dianut oleh
warga adat.Implikasinya, mereka tak dapat mengurus
identitas kependudukan sebagai syarat dalam memakai
hak pilih dalam pemilu.Hal ini yaitu manifestasi dari nilai
adat yang kontradiktif dengan logika administrasi pemilu.
Polemik ini mengkristal hingga pelaksanaan Pemilu
2004, tanpa ada solusi untuk menjamin warga adat
penganut agama kepercayaan dapat memakai hak
pilihnya.Akibat persoalan privat, mereka harus merelakan
hilangnya hak pilih mereka sebagai warga negara.
Pemilu 2009, persoalan yang dihadapi warga
adat masih sama. Parahnya, desain pemilu kali ini tak ramah
terhadap penyandang tuna aksara.Sementara, mayoritas
warga adat yang jauh dari akses layanan pembangunan
rentan menyandang tuna aksara.
Secara teknis, desain surat suara dalam Pemilu 2009
tak menampilkan foto kandidat, hanya nomor dan nama. Tentu
hal ini memunculkan kegamangan bagi pemilih penyandang
tuna aksara, seiring itu tidak ada regulasi yang menjamin
aksesibilitas dan kemudahan tuna aksara dalam memilih.
Persoalan ini juga tak kunjung menemukan solusi
hingga Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.Bahkan, penyelenggaraan
pemilu kali ini berlangsung dengan syarat administrasi yang
begitu ketat hingga menegasikan hak pilih banyak orang.
Paradoks Administrasi Pemilu: Kajang dan Hambatan
keikutsertaan nya
Komunitas warga Adat Kajangsecara
administrasi berada di bagian timur Kabupaten Bulukumba.
Secara turun -temurun mereka bermukim di Ilalang Embayya’,
yaitu kawasan Kajang Dalam,yang sampai hari ini masih
menganut secara penuh aturan adat atau Pasang,dan sebagian
lagi bermukim di Ipantarang Embayya’, yaitu kawasan
pemukiman warga Adat Kajang yang dalam kehidupan
sehari-harinya sudah bisa memakai peralatan-peralatan
modern.
Dalam kehidupan sehari-hari warga adat
Kajang tetap memang teguh dan melaksanakan Pasang ri
Kajang. Pasang yaitu hukum atau aturan adat yang mengatur
seluruh sendi kehidupan warga adat Kajang, yang
berhubungan dengan urusan sosial, budaya, pemerintahan,
kepercayaan, lingkungan, dan bagaimana mengelola sumber
daya alam di wilayah adat mereka.warga adat Kajang,
dipimpin oleh pemimpin yang bergelar Ammatoa, yang menjadi
simbol tatanan sosial dan sebagai pemangku adat tertinggi
warga adat Kajang.Ammatoa bertempat tinggal di Ilalang
EmbayyaDesa Tana Toa, Kecamatan Kajang.
Pada Pemilu 2019, antusiasme warga adat
Kajang untuk berpartisipasi sangat tinggi.Mereka memakai
pemilu sebagai instrumen untuk mempertahankan wilayah adat
mereka, terutama yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan
karet bernama PT. London Sumatera (Lonsum).warga
adat Kajang percaya, dengan terlibat dalam pemilu dan
memilih pemimpin yang betul-betul mewakili aspirasi mereka,
sengketa wilayah adat dapat terselesaikan dan mereka bisa
terus ada dan berdaulat di wilayah adatnya.
Namun, administrasi kepemiluan yang mengharuskan
warga adat Kajang memiliki KTP-el sebagai syarat
untuk memilih sempat menjadi hambatan bagi mereka untuk
menyalurkan hak pilihnya.Tercatat, ada 275 warga adat
Kajang yang menolak untuk melepas penutup ikat kepala atau
Passapu’pada saat melakukan perekaman KTP-el.Passapu’atau
ikat kepala yaitu merupakansimbol adat untuk laki-lakidi
komunitas adat Kajang.
Bagi orang Kajang, Passapu’tak sekadar ikat kepala.
Passapu’yaitu simbol kosmologis warga adat Kajang
yang juga menandakan ikatan kuat mereka dengan leluhurnya.
Pasang yang berlaku turun-temurun di wilayah adat Kajang juga
mengatursoal ikatikat kepala.Utamanyabagi para uragi sebagai
pemangku adat yang membidangi urusan ritual adat.Aturan
adat tidak memperkenankan membuka Passapu’, sementara
aturan perekaman KTP-el yang mengharuskan laki-laki untuk
tidak memakai ikat kepala atau penutup kepala apa pun. Hal
ini memicu mereka terhambat untuk mengurus
KTP-el sehingga tidak dapat terdaftar sebagai pemilih pada
Pemilu 2019.
Apa yang terjadi pada warga adat Kajang
yaitu salah satu gambaran bahwa ada yang luput dipahami
oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu, yakni dinamika
sosio-kultural yang termanifestasikan melalui aturan adat
yang berkembang dalam warga. Standar administrasi
kependudukan justru menjadi penghambat pemenuhan
hak kewarganegaraan warga adat.Situasi khusus
ini sebetulnya dapat diakomodir oleh pemerintah dan
penyelenggara pemilu dengan memberikan ruang afirmasi,
sebab secara prinsip agar dapat menjamin pemilu yang adil
dan legitimate, penataan desain sistem pemilu harus dilakukan
secara menyeluruh.
Berapapun jumlah pemilih potensial yang tidak
terdaftar sebab hambatan teknis, penyelenggara pemilu
bertanggungjawab untuk pro-aktif dalam melindungi dan
menjamin hak pemilih untuk dapat memilih, salah satunya
dengan mempermudah syarat memilih.
warga Adat Dayak Meratus: Hadapi Pemilu Tanpa
Kenal Aksara
“Saya tidak bisa baca dan tulis. Jadi susah untuk
memilih. sebab sudah tak lagi pakai foto,” ujar Uri mengeluh.Uri
yaitu warga komunitas adat Balay Juhu. Perempuan ini
yaitu satu diantara ribuan orang Dayak Meratus penyandang
tuna aksara yang tersebar di 28 balay di Kecamatan Alai
Batang Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan
Selatan.
Balay yaitu sebutan bagi unit sosial warga
adat Dayak yang bermukim di wilayah Pegunungan Meratus,
Kalimantan Selatan.Selain itu, balay juga yaitu penyebutan
untuk rumah adat Dayak Meratus.Ini yaitu ruang hunian
kolektif tempat berlangsungnya segala aktivitas-aktivitas
sosial warga adat Dayak Meratus.Tak hanya ritual
adat, balay sekaligus menjadi ruang publik untuk membahas
segala sesuatu menyangkut persoalan sosial-politik warga
Dayak Meratus.Semua pengambilan keputusan penting
terkait warga adat dilaksanakan di balay melalui
musyawarah adat, termasuk persoalan Pemilu 2019. Struktur
balay dipimpin oleh seorang Kepala Adat atau Tamanggung
sebagai penanggungjawab sosial tertinggi warga adat di
lingkungan balay.
Namun, warga Adat Dayak Meratus harus
berhadapan dengan diskriminasi dan ekspansi pembangunan.
Ragam diskriminasi dan kriminalisasi telah mereka alami
sebab mempertahankan dan menolak investasi rakus tanah
di wilayah adat mereka.Hal ini tidak saja berdampak atas
hilangnya akses mereka ataswilayah adat dan sumber daya
alamnya, tapi jugaberdampak hilangnya akses mereka mereka
terhadap layanan dasar kesehatan dan pendidikan.
Pada bulan Oktober 2014 misalnya, terjadi
penembakan oleh Kepolisian Resor (Polres) Tanah Bumbu,
Hulu Sungai Selatan yang memicu satu orang anggota
komunitas adat Dayak Meratus tewas. Tiga orang lainnya
mengalami luka serius.Peristiwa ini dipicu oleh tuduhan
tentang praktik illegal logging olehwarga komunitas Dayak
Meratus di wilayah konsesi PT. Kodeko Timber, pemegang
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) ,Tuduhan ini
dianggap tidak masuk akal, sebab kawasan konsesi perusahaan
ini berada di dalam wilayah adat Batulasung. warga
melawan sebab merasa tidak bersalah mengambil kayu di
atas tanah adat mereka sendiri.
Selain HPH, cadangan batu bara juga menjadi sebab
terjadinya kriminalisasi terhadap warga adat Dayak
Meratus. Berdasarkan riset Pusat Sumber Daya Mineral
Batubara dan Panas Bumi – Badan Geologi (PSDG) Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), potensi tambang
di wilayah adat Dayak Meratus ada di dua kecamatan;
Batang Alai Timur dan Haruyan.
Di Batang Alai Timur, ada 15 juta ton dengan nilai
panas 5.000 – 6.000 Kilo Kalori (kkal) per kilogram sedangkan
di Haruyan terdeteksi sekitar 300 ribu ton dengan nilai kalori
mencapai 6.000 – 7.000 kkal per kilogram ,
Hingga saat iniada dua perusahaan besar yang mengantongi
izin dari pemerintah pusat sebagai pemegang Perjanjian Karya
Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).Dua perusahaan
ini yaitu PT. Antang Gunung Meratus dengan luas
arealnya mencapai 3.242 hektar dan PT. Mantimin Coal Mining
yang mengantongi izin seluas 1.964 hektar.
Meskipun rencana pertambangan batu bara
ini memperoleh penolakan dari warga, namun
dua perusahaan dan pemerintah pusat tampaknya tak
memperdulikan. Di tahun 2017, mereka justru memasang
patok di tanah milik warga Dayak Meratus secara diam-diam
tanpa izin warga.
Rentetan berbagai konflik dan kriminalisasi
ini lah yang ikut membentuk kesadaran politik orang-
orang Dayak Meratus. Di Pemilu 2014, secara sadar mereka
bermusyawarah untuk mengutus perwakilan Dayak Meratus
maju sebagai calon anggota legislatif melalui berbagai partai
politik yang ada. Praktik ini dibasiskan pada analisis bahwa
tuntutan dan geliat perjuangan warga adat hanya
akan bisa dimengerti oleh para pengambil kebijakan jika
mereka yaitu berasal dan terlibat aktif di dalam gerakan
memperjuangkan hak warga adat.
Namun, gerakan untuk terlibat di dalam pemilu
menghadapi banyak hambatan, salah satunya yaitu desain
surat suara yang tak menampilkan foto yang ujungnya
membingungkan mereka. Sementara itu KPU tidak
memberikan pendampingan memilih untuk mereka dengan
alasan ketiadaan hukum yang mengatur pendampingan
pemilih tuna aksara.Akhirnya, banyak dari warga Meratus tidak
bisa menyalurkan hak suaranya.Meski gagal, harapan untuk
terus berpartisipasi tidak pernah pupus.
Mereka sadar bahwa perubahan nasib warga
adat tidak bisa didelegasikan kepada orang-orang yang
datang dari luar.Calon-calon anggota parlemen hanya datang
saat musim pemilihan tiba dan menawarkan berbagai janji
perubahan yang belum tentu ditepati.
Tak Kenal Aksara, Ingin Ikut Pemilu
warga Adat Dayak Meratus, juga sering
disebut sebagai Dayak Bukit. Penyebutan ini disebab kan
lokasi tinggal mereka yang berada di sepanjang Pegunungan
Meratus.
Dusun Linau misalnya, berjarak dua jam berjalan kaki
dari pusat Desa Pembakulan, melewati jalan berbatu terjal
yang naik-turun. Selain jalan kaki, hanya ada opsi berkendara
motor dari Pembakulan ke Linau. Selain Pembakulan, ada
puluhan desa lain di Pegunungan Meratus yang lebih sukar
diakses, salah satunya Desa Juhu yang harus ditempuh 18 jam
jalan kaki melewati hutan dan gunung
Desa Pembakulan baru mendapat fasilitas sekolah
tingkat dasar pada tahun 1982.Hampir sebagian besar warga
Meratus yang kini berusia di atas 50 tahun yang tak sempat
mengenyam pendidikan dasar itu (Utama, 2019).
Berdasarkan data sebaran anggota AMAN,
komunitas-komunitas warga adat Dayak Meratus
tersebar di sembilan kabupaten di Kalimantan Selatan.Dan dari
hasil pendataan yang dilakukan oleh Pengurus AMAN Daerah
Hulu Sungai Tengah, ada sebanyak 1.400 warga Dayak Meratus
yaitu pemilih tuna aksara. Ketidakmampuan membaca
dan menulis itu utamanya dipicu oleh diskriminasi
kebijakan dan perampasan hak yang mereka alami selama ini.
Di 28 balay yang tersebar di 11 desa di Alai Batang
Timur, Hulu Sungai Tengah misalnya, minimal ada 100
orang yang memiliki hak pilih di tiap balay.Setengah dari
jumlah ini yaitu penyandang tuna aksara.
Uri, warga komunitas adat Balay Juhu, masuk kategori
ini . Walau buta huruf dan berpotensi salah coblos, ia
menilai pemilu yaitu momentum Dayak Meratus keluar dari
‘diskriminasi’ pembangunan. “Saya kecewa pada pemerintah,
tapi tetap akan ikut dan mendukung pemilu. Dulu tidak ada
satupun guru, jadi saya sama sekali tidak tahu membaca….
Kalau ada yang menemani, saya bisa mencoblos” demikian
semangat partisipasi Uri (Utama, 2019).Ia berharap dengan ikut
Pemilu, mereka bisa memperoleh kembali hak atas wilayah
adat mereka, konflik yang selama ini terjadi dapat terselesaikan
dan warga Dayak Meratus dapatkan hak yang setara dengan
warga negara lainnya. Namun kerumitan desain surat suara
mempersulit mereka untuk menyalurkan hak suaranya.
Tiga dari lima surat suara dalam Pemilu 2019 tak
dilengkapi foto, melainkan hanya berisi nama dan nomor urut
calon anggota DPR serta DPRD tingkat provinsi dan kabupaten.
Adapun, dua surat suara lainnya berisi foto pasangan calon
presiden-wakil presiden dan calon anggota DPD.
Jika ditelisik dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu pada pasal 356 ayat (1); penyandang disabilitas
netra, disabilitas fisik, dan yang memiliki hambatan fisik
lainnya pada saat menyalurkan hak suara di TPS dapat dibantu
oleh orang lain atas permintaan pemilih. Istilah pendamping
pemilih memang cukup dikenal dalam kepemiluan di negara kita,
yang tujuan utamanya untuk memudahkan pemilih yang
memiliki keterbatasan fisik untuk memilih.Namun, apakah
penyandang tuna aksara dapat disebut sebagai disabilitas fisik.
Tentu tidak.Penyandang tuna aksara yaitu keterbatasan
seseorang untuk membaca dan menulis atau disebut juga
dengan buta huruf.Ia tak dapat disamakan dengan disabilitas
netra ataupun fisik.
Kontroversi pemilih tuna aksara tak hanya terjadi
pada Pemilu 2019.Sejak Pemilu 2009 memang belum ada
regulasi yang mengatur pendamping memilih bagi pemilih
penyandang tuna aksara. Seiring itu pula desain surat suara
melulu tak menampilkan foto.
Ketiadaan regulasi ini tentu berimplikasi terhadap
aksesibilitas pemilih tuna aksara dalam menyalurkan hak
memilihnya.Pada Pemilu 2014 misalnya, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Kabupaten Kupang menolak pengajuan
pendampingan memilih bagi pemilih penyandang tuna aksara
(Syahrul, 2014).Alasan penolakan itu didasari atas kekhawatiran
terhadap pemilih penyandang tuna aksara yang dapat dipolitisir
pihak tertentu untuk meraih suara dengan tidak sehat.
Pada Pemilu 2019, berbagai organisasi kepemiluan
pun telah berusaha mendorong hadirnya regulasi yang
menjamin aksesibilitas pemilih penyandang tuna aksara.
Beragam alternatif kebijakan telah ditawarkan kepada KPU,
di antaranya pemilih tuna aksara dapat didampingi oleh
keluarga atau petugas KPPS untuk memperkecil kemungkinan
manipulasi suara.Namun KPU tak dapat memutuskan hal
ini dengan dalih ketiadaan hukum yang mengatur pemilih
tuna aksara.
Rakyat Penunggu dan Konflik Wilayah Adatnya
Rakyat Penunggu yaitu komunitas warga
adat yang mendiami wilayah Serdang, Deli, Medan, Binjai, dan
Langkat.Wilayah ini yaitu daerah subur sebab diapit
oleh dua sungai besar; Sungai Ular dan Sungai Wampu.Kedua
sungai ini yaitu asal muasal sebaran warga adat
Rakyat Penunggu saat merintis kampung, berladang dengan
sistem pertanian gilir balik dan menjaga hutan reba yang
kemudian menjadi satu kesatuan sebagai tanah adat.
Terdapat sekitar 67 kampung, hutan reba, dan
wilayah perladangan yang luasnya mencapai 350.000 hektar
(Barahamin, 2019). Seperti warga adat pada umumnya,
Rakyat Penunggu juga memiliki sistem nilai, hukum, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan adat yang berlaku
dan diwariskan secara turun-temurun.
Dulunya, wilayah adat Rakyat Penunggu yaitu
yaitu daerah penghasil madu, rotan, tembakau, pangan,
dan obat-obatan. Suburnya wilayah adat Rakyat Penunggu
membuat pengusaha-pengusaha dari Hindia Belanda
berbondong-bondong berdatangan untuk melakukan investasi
perkebunan tembakau skala luas.Daun tembakau yang
dihasilkan dari wilayah adat Rakyat Penunggu memiliki kualitas
terbaik dan sangat disukai di manca negara, terutama di Eropa.
Tembakau dari wilayah ini di masa lalu yaitu komoditas
tembakau yang paling terkenal di Eropa.Hal inilah yang
membuat Belanda terus-menerus memperluas perkebunan
tembakaunya di wilayah adat Rakyat Penunggu dengan
menerapkan sistem kontrak. Berbagai kontrak investasi
perkebunan tembakau atas wilayah adat Rakyat Penunggu oleh
Belanda dilakukan untuk menjamin hak-hak warga adat
Rakyat Penunggu atas kepemilikan dan pemanfaatan tanah
adat / ulayat tetap diberi . Kontrak ini disebut dengan Akte
Van Consesi.
Akses Atas Tanah di Masa Penjajahan Jepang dan
Kemerdekaan
Setelah pemerintah kolonial Belanda hengkang,
Model penguasaan dan pengelolaan tanah adat secara kontrak,
kemudian diubah menjadi sepenuhnya di bawah penguasaan
pemerintah kolonial Jepang, dengan memberlakukansistem
tanam paksa untuk memenuhi persediaan stok panganselama
masa perang.Di masa inilah warga adat Rakyat Penunggu
dipaksa menjadi buruh perkebunan palawija seperti padi,
jagung, dan kacang-kacangan.Hasil panen juga sebagian
besar dikuasai kolonial Jepang dan hanya menyisakan sedikit
saja untuk warga komunitas Rakyat Penunggu yang bekerja.
Periode pendudukan Jepang ini tercatat sebagai periode kelam
dalam sejarah warga adatRakyat Penunggu.Tidak sedikit
warga warga adat Rakyat Penunggu yang menjadi korban
kehilangan nyawa akibat penerapan sistem kerja paksa sistem
oleh pemerintah kolonial Jepang.
Setelah Jepang pergi dan negara kita dideklarasikan
sebagai bangsa yang merdeka, perjuangan Rakyat Penunggu
untuk memperoleh kembali wilayah adatnya justru semakin
menghadapi tantangan berat.Terutama saat pemerintah
negara kita yang melakukan nasionalisasi terhadap seluruh aset-
aset yang dikuasai dan dikelola oleh perusahaan pemerintah
kolonial, termasuk wilayah adat Rakyat Penunggu yang
sebelumnya dikontrakkan kepada perusahaan Belanda,
kemudian dijadikan Perusahaan Perkebunan Negara (yang saat
ini sebut sebagai PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) atau
sebelumnya yaitu PTPN IX
Konflik, Berujung Hilangnya Hak Memilih
Konflik wilayah adat yang tak berkesudahan
berimplikasi terhadap kepastian atas wilayah warga adat
Rakyat Penunggu di Deli Serdang.Hingga kini kampung mereka
tidak diakui sebagai desa yang teregistrasi di Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) sebab dianggap sebagai kawasan
sengketa
Desa Amplas salah satunya, yaitu wilayah yang
dihuni oleh sebagian besar warga adat Rakyat Penunggu.
Status Desa Amplas yaitu wilayah yang rawan konflik
sebab berada di dalam kawasan hak guna usaha (HGU)eks-
PTPN II.Problem utama hambatan memilih Rakyat Penunggu
yang bermukim di Desa Amplas, Sumatera Utara yaitu status
domisili mereka tidak diakui sebab berada dalam kawasan
HGU dan sedang berkonflik dengan eks-PTPN II.Kondisi ini
memicu pemerintahan Desa Amplas menolak untuk
melakukan pendataan penduduk yang berujung pada hilangnya
hak mereka untuk terdaftar sebagai pemilih. Tercatat sebanyak
150 KK Rakyat Penunggu yang tidak terdata sebagai pemilih
di Kabupaten Deli Serdang (Ramadhanil, 2019)
Hal serupa juga terjadi di Desa Karang Gading,
Tumpatan Nibung, Bandar Klippa, dan Bandar Khalifah sebagai
kawasan konflik dengan eks-PTPN II.Rakyat Penunggu yang
bermukim di wilayah ini juga terhambat untuk terdaftar
sebagai pemilih. Bukan hanya di Pemilu 2019, saat Pilkada
Serentak 2018 pun mereka tidak dapat menyalurkan hak
memilihnya dipicu oleh status domisili yang belum jelas.
Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu yaitu logika unifikasi antara administrasi kependudukan
dengan pendaftaran pemilih.Dua hal ini menjadi satu-
kesatuan yang tak dapat dipisahkan.Ketika warga negara tidak
terpenuhi haknya dalam administrasi kependudukan maka
dengan otomatis hak untuk terdaftar sebagai pemilih juga turut
terhambat.Apa yang terjadi pada Rakyat Penunggu yaitu
gambaran nyata dari proses ini .
Mengapa daftar pemilih selalu bermasalah? Salah
satu sebabnya yaitu adanya ketidakpastian penggunaan
prinsip de jure maupun de facto dalam pendaftaran pemilih.
Prinsip de jure mengacu pada penggunaan alamat yang ada
dalam kartu keluarga (KK) atau kartu tanda penduduk (KTP),
sementara de facto memakai alamat faktual dimana
pemilih ini tinggal
Selain itu, bagi warga negara yang bermukim
di kawasan konflik masih banyak yang kesulitan untuk
terdaftar sebagai pemilih.Pada posisi inilah instrumen hukum
pendaftaran pemilih harus diperbaiki.Penyelenggara pemilu
bersama dengan pemerintah dan beserta dengan DPR harus
merumuskan peraturan untuk menata sistem pendaftaran
pemilih yang inklusif dan setara. Sistem pendaftaran pemilih
tidak bisa dilepaskan perbaikannya dari setiap peristiwa
kependudukan.Atas dasar itulah peran dari pemerintah
sebagai aktor yang bertanggung jawab mencatat setiap
peristiwa kependudukan penting untuk dilibatkan untuk
mengevaluasi sistem pendaftaran pemilih.
Apa yang dihadapi oleh Rakyat Penunggu yaitu
fenomena yang dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dan
penyelenggara pemilu. Bahwa problem tenurial yang terjadi
pada warga adat ternyata juga berimplikasi terhadap
hilangnya hak pilih mereka.Pemerintah dan penyelenggara
pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi problem
ini dalam jangka panjang, khususnya demi memudahkan
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih.
Bentuk kebijakan ini berupa pemberlakuan surat
keterangan domisili sebagai pengganti KTP-el bagi pemilih
yang wilayahnya sedang bersengketa sebagaimana yang
terjadi pada Rakyat Penunggu. Hal ini dapat ditempuh dengan
pembaharuan hukum pada UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Situasi khusus yang terjadi pada Rakyat Penunggu
yaitu persoalan serius yang perlu diatasi dengan membangun
pemilu yang aksesibel dan membuat kebijakan kompromi
sebagaimana yang sudah tersampaikan diatas. Perkara
kepemilikan KTP-el berkaitan erat dengan hak asasi manusia.
Negara dituntut pro-aktif dalam memenuhi dan melindungi
hak asasi manusia seluruh warga negara di setiap kategori
kependudukan.
Model Advokasi
Untuk meretas ragam hambatan partisipasi di atas,
AMAN bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilu Republik
negara kita (Bawaslu RI) dan bersama jaringan warga
sipil,telah berusaha merumuskan model pendekatan advokasi
untuk menjamin partisipasi warga adat yang efektif di
Pemilu 2019. Riset Perludem bersama AMAN menemukan itu.
Untuk dapat menjamin dan melindungi partisipasi warga
adat diperlukan pendekatan yang tidak bersifat top down,
melainkan kebijakan pemilu berdasarkan nilai-nilai yang
berkembang secara dinamis dalam kehidupan warga
adat.
Di bawah ini yaitu model-model advokasi kebijakan
yang didorong untuk meretas ragam hambatan partisipasi
warga adat dalam Pemilu 2019.
Tindakan Afirmatif
AMAN sebagai organisasi warga adat, telah
membangun diskusi mendalam dengan warga adat
Kajang dalam mencari jalan keluar dari polemik perekaman
KTP-el. Ragam strategi advokasi dirumuskan untuk
mendorong pemerintah dan penyelenggara pemilu agar
melakukan tindakan afirmatif guna menjamin partisipasi
penuh warga adat Kajang dalam Pemilu 2019.Hal ini
kemudian direspons oleh Bawaslu dan Komnas HAM RI dengan
melakukan rapat koordinasi bersama Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri), salah satu agendanya yaitu membahas
tindakan afirmatif terhadap perekaman KTP-el warga
adat Kajang.
Kemendagri, melalui Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil (Dukcapil) Bulukumba mengakui bahwa persoalan
warga adat Kajang tak semudah mengurus kependudukan
warga pada umumnya sebab ada aturan adat yang
mengatur dan perlu dilayani dengan tindakan khusus.Tindakan
khusus ini yaitu dengan memperbolehkan warga
adat Kajang melakukan perekaman KTP-el tanpa membuka
Passapu’.Hal yaitu bentuk affirmative action pemerintah
kepada warga adat Kajang.Pemerintah dalam hal ini
Dukcapil, tidak dapat memaksakan kebijakan administratif
yang justru bertentangan dengan aturan adat.Disinilah
peran pemerintah dibutuhkan untuk pro-aktif menjamin hak
kewarganegaraan warga adat Kajang dengan berbagai
aturan dan kebijakannya.
Apa yang terjadi pada Kajang memberikan pelajaran
bahwa konsekuensi dari penyelenggaraan pemilu di negara
multikultur yaitu pemerintah dan penyelenggara pemilu
dituntut pro-aktif mengakomodir unsur kohesivitas warga
dan mempermudah warga untuk berpartisipasi di
dalam pemilu. Maka dari itu, dibutuhkan asas afirmatif dalam
menciptakan desain pemilu yang aksesibel bagi tiap elemen
warga.
Sebagai contoh, pelaksanaan pemilu di Amerika
Serikat bahkan telah mencoba meningkatkan representasi
kelompok-kelompok tertentu, demi menciptakan desain
pemilu yang adil dan aksesibel. Undang-Undang Hak Pilih (The
Voting Right Act) di Amerika Serikat di masa lalu mengizinkan
pemerintah membuat daerah-daerah pemilihan berbentuk
ganjil dengan satu-satunya tujuan menciptakan distrik-distrik
mayoritas kulit hitam, Latino, atau Asia- Amerika; ini disebut
dengan gerrymandering affirmative.
Tidak hanya itu, negara multikultur lainnya seperti
Kolombia dan India menerapkan kebijakan pencadangan kursi
dalam pemilu.Hal ini sebagai bentuk peran negara dalam
menjamin keterwakilan kelompok-kelompok minoritas etnis.
Perwakilan dari kursi-kursi yang dicadangkan ini biasanya dipilih
dengan banyak cara yang sama seperti perwakilan lainnya.
Contoh diatas menunjukkan bagaimana peran negara
dalam mengadopsi asas kohesivitas yang berkembang pada
warga ke dalam sebuah sistem pemilu.
Tindakan afirmatif dalam hal ini yaitu bagaimana
usaha pemerintah dan penyelenggara pemilu mengakomodir
aturan-aturan adat yang berlaku ke dalam administrasi dan
desain pemilu di negara kita.Hal ini dilakukan dalam rangka
membentuk warga demokrasi yang kuat bersamaan
dengan penegakan hukum dan prosedur-prosedur demokrasi
yang sesuai dan dapat dijalankan seluruh elemen warga.
Diskresi untuk Pemilih Tuna Aksara
Demi menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil,
berbagai ketentuan administratif untuk menyalurkan hak pilih
memang diperlukan. Tanpa batasan itu, potensi kecurangan
akan sulit dikontrol. Hanya saja, batasan administratif
tidak boleh diterapkan secara berlebihan.Apalagi sampai
menegasikan hak konstitusional warga negara.Administratif
harus diletakkan dalam kerangka yang seimbang antara
usaha melayani kemudahan pemilih menyalurkan hak
konstitusionalnya dengan kepentingan administrasi pemilu.
Dalam konsep negara hukum dikenal asas freies
ermessen atau tindakan diskresi yang artinya pejabat publik
tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan
ketiadaan regulasi (Yuhdi, 2017).Pejabat publik diberi
kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya
sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan legalitas.
Tindakan diskresi dapat diambil untuk merespons persoalan
penting yang luput diakomodir dalam ketentuan regulasi.
Dalam hal demikian, administrasi negara harus bertindak cepat
membuat penyelesaian, namun keputusan yang diambil harus
bisa dipertanggungjawabkan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
memang belum tegas mengatur pendampingan memilih untuk
tuna aksara, sementara desain surat suara pada Pemilu 2019
tidak memberikan kemudahan bagi pemilih tuna aksara untuk
menyalurkan hak pilihnya. Dalam situasi ketiadaan hukum,
seharusnya KPU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dapat membuat tindakan diskresi dengan menghadirkan
ketentuan pendampingan pemilih tuna aksara.Namun hal ini
yang tidak terjadi pada Pemilu 2019, KPU berdalih dengan
alasan bahwa pendampingan pemilih tuna aksara tidak diatur
di dalam Undang-Undang sehingga tidak dapat diberi .
Diskresi yaitu salah satu hak penyelenggara
negara.Secara normatif diskresi ini dapat dilakukan oleh setiap
pejabat, baik ditingkat pusat maupun daerah.Keputusan
diskresi hanya dapat dilaksanakan jika tujuannya untuk mengisi
kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dalam
keadaan tertentu guna kepentingan umum. Akan namun suatu
diskresi harus dilandasi oleh kewenangan yang memiliki
batasan meliputi batas waktu berlaku, batas wilayah, dan
wewenang lain yang diberi oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun
2018, masih ada sekitar 3,4 juta warga yang berumur lebih
dari 15 tahun tidak bisa baca tulis. Sebagian besar tersebar di
11 provinsi dimana Papua, NTB, dan NTT yaitu tiga daerah
yang memiliki angka penyandang tuna aksara tertinggi (BPS,
2018).Tingginya angka buta huruf yaitu refleksi kegagalan
negara dalam menyediakan akses atas pendidikan.Kini mereka
harus pula rela kehilangan hak suaranya sebab kesulitan untuk
memilih.
Dalam negara yang heterogen seperti negara kita, tolok
ukur keberhasilan penyelenggara pemilu yaitu seberapa
mampu menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui
kebijakan diskresinya agar pemilih dapat berpartisipasi seluas-
luasnya di dalam pemilu.Tindakan diskresi penting dilakukan
guna merespons setiap perubahan dinamika sosio-kultural yang
terjadi pada warga.Jangan sampai desain dan kebijakan
pemilu justru mengebiri hak pilih setiap warga negara.
Menyelamatkan Hak Pilih warga Adat
Dalam Pemilu 2019, AMAN bersama Perludem
melakukan kajian dan pemantauan atas problem hak pilih
warga adat di komunitas adat Rakyat Penunggu, Deli
Serdang, Sumatera Utara.Pemilihan wilayah ini sebab
ditemukan sebanyak 125 warga Rakyat Penunggu tidak dapat
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu 2019.Mereka tidak
dapat terdaftar sebagai pemilih, dipicu sedang berkonflik
dengan eks-PTPN II.Upaya mendorong penyelenggara
pemilu untuk melakukan perubahan kebijakan yang sangat
fundamental untuk melindungi hak pilih warga negara
sudah berhasil dilakukan, meski belum maksimal, dengan
diberi nya ruang DPT perbaikan pasca-penetapan DPT pada
15 Desember 2018 oleh KPU.
Advokasi yang dilakukan juga berhasil meyakinkan
KPU untuk mengakomodir pemilih yang belum memiliki KTP-
el, serta pemilih yang memang belum masuk ke DPT namun
sudah memenuhi syarat sebagai pemilih melalui penerbitan
Peraturan KPU No 37/2018 yang mengubah Peraturan KPU No
11/2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri.
Dari proses advokasi ini , penyelenggara
pemilu perlu merumuskan suatu kebijakan kompromi untuk
merespons kompleksitas masalah yang berkembang diluar
logika administrasi kepemiluan, khususnya memudahkan
pemilih yang belum memiliki KTP-el untuk dapat memilih.
Bentuk kebijakan kompromi ini yaitu sinkronisasi
data kependudukan antar-aparatur sipil negara.Kategori
data kependudukan ini perlu disinkronisasi untuk dapat
mengidentifikasi hambatan warga negara dalam memperoleh
KTP-el.
Situasi yang terjadi pada komunitas warga
adat Rakyat Penunggu yaitu persoalan serius.Kondisi itu
perlu diatasi dengan membangun pemilu yang aksesibel dan
membuat kebijakan kompromi sebagaimana yang sudah
tersampaikan di atas.Perkara kepemilikan KTP-el berkaitan
erat dengan hak warga negara.Pemerintah dituntut pro-aktif
dalam memberikan layanan dasaradministrasi bagi setiap
warga negara.
Kepastian Hukum Sebagai Solusi
Temuan paling penting dari riset ini yaitu
permasalahankonflik tenurial yang dipicu oleh
ketidakpastian hukum atas hak-hak warga adat.
Permasalahan ini ternyata menjadi salah satu penghambat
utama partisipasi warga adat di dalam pemilu.Apa yang
terjadi pada komunitas adatRakyat Penunggu yaitu gambaran
bahwa konflik tenurial yang terjadi akibat ketidakpastian
hukum berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih mereka dalam
Pemilu 2019.
Problem lain yaitu sektoralisme kebijakan dan
regulasi tentang warga adat yang tumpang tindih dan
saling menyandera satu sama lain. UU sektoral pada Tabel
I menghambat warga adat untuk terdaftar sebagai
penduduk dan dengan otomatis tidak terdaftar sebagai pemilih
sesuai logika pendaftaran pemilih pada UU No 7 Tahun 2017
tentang Pemilu.
Saat ini memang sudah banyak undang-undang yang
mengatur tentang keberadaan dan hak-hak warga adat,
terutama undang-undang di bidang sumber daya alam.Namun,
alih-alih mengakui dan melindungi hak warga adat,
undang-undang ini justru ‘mempersulit’ warga
adat untuk memperoleh hak konstitusionalnya, terutama
hak untuk memilih dalam pemilu.Oleh sebab itu, perluadanya
sebuah undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-
hak warga adat.
Undang-undang ini penting untuk menata ulang
hubungan antara warga adat dengan negara,baik
hubungannya di masa lalu dan di masa yang akan datang,
dengan mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, transparansi,
hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi, dan menjamin
partisipasi. Adanya undang-undang ini bisa mengatasi
persoalan sektoralisme yang selama ini terjadi di berbagai
instansi lembaga negara, terutama yang berurusan dengan
warga adat.
Dengan carademikian, warga adat dapat
menjadi warga Negara negara kita yang seutuhnya. Hal ini
penting sebab apa yang dialamioleh warga adat
selama ini yaitu dampak dari tidak adanyapengakuan dan
perlindungan, yang terjadi kemudian yaitu warga adat
tidak dipandang sebagai warga negara.
Kesimpulan
warga adat menyadari bahwa berbagai
pelanggaran hak yang dialami bersumber dari politik hukum
yang memang dirancang sehingga abai terhadap kepentingan
warga adat.Untuk itu, pemilu bagi warga adat tak
sekadar aktif sebagai pemilih.Pemilu yaitu arena penting untuk
memastikan masa depan mereka dan memastikannegarabisa
benar-benar hadir ditengah-tengah warga adat dengan
wajah yang sesungguhnya.
Tulisan ini telah mengelaborasi lebih jauh bagaimana
hambatan-hambatan warga adat untuk berpartisipasi
di dalam Pemilu 2019 serta mengenali ragam model advokasi
pemilu untuk warga adat. Oleh sebab itu simpulan dalam
tulisan ini yaitu sebagai berikut:
1. Standar administrasi dan desain pemilu justru menjadi
penghambat utama partisipasi warga adat dalam
Pemilu 2019. Kerangka dalam UU Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu yaitu logika unifikasi antara
administrasi kependudukan dengan pendaftaran
pemilih.
2. Problem tenurial dan konflik pada warga adat
ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak pilih
mereka dalam Pemilu 2019.
3. Administrasi pemilu harus diletakkan dalam kerangka
yang seimbang antara usaha melayani kemudahan
pemilih menyalurkan hak konstitusional nya dengan
kepentingan administrasi pemilu.
4. Ragam tindakan afirmatifsudah dilakukan oleh
pemerintah dan penyelenggara pemilu guna merespons
dinamika hambatan partisipasi pada warga adat,
meski belum maksimal.
5. Adanya kepastian hukum bagi warga adat
sangat penting untuk meretas problem konflik tenurial
dan akan menjamin partisipasi warga adat
secarapenuh dalam proses-proses pemilu.
Rekomendasi
1. Instrumen hukum pendaftaran pemilih harus
diperbaiki. Penyelenggara pemilu bersama dengan
pemerintah beserta dengan DPR harus merumuskan
peraturan untuk menata sistem pendaftaran pemilih
yang inklusif, akurat, transparan, dan terpercaya.
Sistem pendaftaran pemilih tidak bisa dilepaskan
perbaikannya dari setiap peristiwa kependudukan.
Atas dasar itulah peran pemerintah sebagai aktor
yang bertanggungjawab mencatat setiap peristiwa
kependudukan penting untuk dilibatkan untuk
mengevaluasi sistem pendaftaran pemilih.
2. Perlu ada mekanisme pembaharuan data pemilih
yang terus-menerus dan terkonsolidasi antara data
pemerintah dengan data yang dimiliki dan diolah oleh
KPU.
3. Jaminan kepastian terhadap kelompok warga
adat yang terkendala dokumen kependudukan untuk
diberi perlakuan yang adil tanpa memandang problem
tenurial dan situasi khusus yang melekat pada
warga adat.
4. Menghadirkan regulasi pendampingan bagi pemilih
penyandang tuna aksara di negara kita
5. Menghadirkan kemudahan bagi pemilih melalui
kebijakan-kebijakan afirmatifuntuk merespons
ragam dinamika sosio-kultural warga adat serta
menjamin kemudahan bagi mereka untuk dapat
berpartisipasi seluas-luasnya di dalam pemilu.
6. Pemerintah perlu segera mengesahkan Undang-
Undang warga Adat untuk memberi kepastian
hukum dan perlindungan atas hak konstitusional
warga adat. Undang-Undang ini nantinya
yang akan menjadi instrumen utama dalam
menyelesaikanproblem konflik tenurial, dan hadirnya
layanan dasar pembangunan bagi warga
Adatyang akan menjamin secara penuh partisipasi
warga adat dalam proses pemilu.