teroris 1

Rabu, 16 Agustus 2023

teroris 1


 Keberhasilan membuat suatu perangkat hukum yang baik belum tentu 
membawa dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus
apapun produk hukum yang ada tidak akan ada artinya apabila tidak disertai dengan
penerapan yang baik. Demikian juga dengan masalah penanganan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme, sebaik apapun niat Pemerintah untuk 
mengatasi masalah terorisme, tidak akan mencapai hasil yang maksimal apabila 
dilaksanakan dengan melanggar hak-hak asasi. Oleh
karenanya:
Meningkatkan upaya penegakan hukum yang menyeluruh, sebagian 
dengan cara menjamin bahwa pengamanan yang memadai akan 
diberikan kepada saksi, jaksa, hakim dan pengacara/pembela; untuk 
memfasilitasi pengadilan yang adil dan transparan. Selain itu juga 
menjamin bahwa tindak pidana terorisme yang dilakukan di wilayah 
konflik akan ditangani dan diperlakukan sama seriusnya seperti tindak
pidana lain di Indonesia.
Meningkatkan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, antara 
lain dengan menjamin bahwa tersangka yang ditangkap tidak akan 
diperlakukan secara buruk selama dalam masa tahanan maupun pada
saat interogasi.
Menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk 
hak-hak tersangka/terdakwa terorisme, merupakan langkah terbaik 
dalam menangani dan mencegah terjadinya tindak pidana terorisme di
masa yang akan datang
2. Keberhasilan institusi pengadilan dalam mengadili perkara tindak pidana 
teroris juga tidak terlepas dari hasil penyidikan yang dilakukan Polri dan 
kemampuan penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa, oleh karena 
itu perlu dibangun koordinasi yang baik antara lnstitusi, Kepolisian, Kejaksaan
dan Pengadilan.
3. Dalam menanggulangi kejahatan terorisme aparat penegak hukum Indonesia 
seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, perlu mendapat pelatihan bersama, 
duduk bersama mendiskusikan hal-hal yang dianggap sangat urgen dalam 
menanggulangi kejahatan teroris. Perlunya ada jaksa-jaksa dan hakim-hakim 
spesialis untuk menangani perkara-perkara teroris. Jaksa-jaksa dan hakim yang menangani perkara teroris harus mengetahui cara kerja organisasi dan 
jaringan teroris, struktur organisasi teroris.
4. Kejahatan teroris menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan nasional, 
regional dan lntemasional, dan menjadi ancaman bagi perekonomian 
nasional dan perekonomian global .
5 Kekhususan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini antara 
lain sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan 
ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya 
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan 
ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus 
merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang 
bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat 
ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan 
lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
c. Peraturan Pemerintah Penggantl Undang-undang ini memuat 
ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi 
tersangka/terdakwa yang disebut "safe guarding rules". Ketentuan 
tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam 
hukum acara pidana yang disebut dengan "hearing• dan berfungsi 
sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh 
dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik 
untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas
dugaan adanya tindakan terorisme.
d. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini 
ditegaskan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak 
pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak 
pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam 
wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan
secara lebih efektif.
e. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini 
dimuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan 
tugas anti teror. Eksistensi satuan tersebut dilandaskan kepada 
prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) 
dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) 
sehingga dapat segera dihindarkan kemungkinan penyalahgunaan 
wewenang yang dimiliki oleh satuan dimaksud
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat 
ketentuan tentang yurisdiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, 
asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan 
dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana 
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-undang ini yang melampaui batas-batas teritorial 
Negara Republik Indonesia. Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat juga 
ketentuan mengenai kerjasama internasional.
g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat
ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai 
tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat 
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana 
Pencucian Liang.
h. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang• 
undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan 
pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila 
dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi 
tindakan yang mengandung unsur pidana, maka diberlakukan 
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan 
perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
i. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap 
dipertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus 
untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak
pidana terorisme.'
6. Alasan diberlakukannya UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No.
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-Undang dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan PERPU No. 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang 
Pemberantasan Tlndak Pidana Terorisme pada peristiwa peledakan Born Bali 
tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-Undang, didasarkan pada:
a. Rangkalan peledakan born telah menyebabkan rasa takut masyarakat 
luas, llilangnya nyawa, karugian harta benda serta mempengaruhi 
kehidupan sosial, ekonomi, politik hubungan dunia lnternasional
b. Peledakan born kini telah menjadi fenomena umum, dengan modus 
terorisme di berbagai negara. Terorisme merupakan kejahatan linta~ 
negara, terorganisasi, tindak pidana lntemasional yang mempunya1 
jaringan luas, yang mangancam perdamaian dunia
c. Pemerintah berkewajiban mengamankan kedaulatan negara dan
menjaga perdamaian dunia
7. Disadari, pelaksanaan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan 
perundang-undangan tersebut, masih mengandung banyak kelemahan dan 
hambatan, yakni :
a. . Hambatan dari segi struktur :
- lnstrumen Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
lingkungan peradilan masih menimbulkan bias penafsiran pada
beberapa ketentuan hukumnya;
- Koordinasi Penanggulangan bahaya tindak pidana terorisme dan
pencegahannya, walaupun telah diatur dengan UU dan INPRES, 
namun belum dipahami secara baik dan benar oleh para 
aparatur hukum. Sementara adanya kerjasama antara berbagai 
organisasi terorisme meskipun terdapat perbedaan tujuan politik;
- Tunduknya suatu pemerintah untuk memenuhi. tuntutan kaum 
teroris (sikap give - in).
b. Hambatan dari sosial kemasyarakatan
- Kompleksitas masalah sosial yang dihadapi (ekonomi, 
pengangguran, pendidikan, frustasi sosial).
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam masalah keamanan 
(skeptis, sinis, apatis terhadap ketidakmampuan aparat keamanan).
Sistem demokrasi yang tidak dapat membedakan ekspresi 
kebebasan dan ketertiban.
Belum adanya kesatuan pendapat mengenai teror sehingga 
adanya bantuan dan dukungan dari orang-orang (bahkan 
negara) tertentu.
7. Oleh karena itulah memperhatikan isi dalam peraturan perundang-undangan 
tersebut, maka dengan memperhatikan karakteristik dan sifat tindak pidana 
terorisme penegakan hukum pemberantasan tindak pidana terorisme di 
Indonesia perlu dilakukan pergeseran paradigma hukum pidana dengan 
responsibilitas paradigma baru, tindak pidana terorisme dapat dieksplesitkan 
lebih kongkrit, sehingga hukum mempunyai kemampuan yang lebih tajam
untuk memecahkan masalah-masalah baru dan aktual yang senantiasa 
berkembang seiring dengan perkembangan dan dinamika jaman. Dihara~kan, 
dengan pergeseran paradigma hukum yang baru misi pemberantasan tmdak 
pidana terorisme dapat berhasil dengan baik. Misi tersebut adalah :
- Mengalahkan organisasi teroris dengan menghancurkan 
persembunyiannya, kepemimpinan, komando, kontrol, 
komunikasi, dukungan moril dan keuangan
- Meningkatkan kewaspadaan agar Indonesia tidak dijadikan 
tempat persembunyian para teroris dan tempat tumbuhnya ideologi
terorisme
- Menghilangkan faktor-fakator korelatif penyebab yang dapat 
dijadikan alasan pembenar kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik
politik dan SARA
- Upaya berkelanjutan pemberantasan tindak pidana terorisme.
a. Kerjasama lntemasional sangat diperlukan dalam memerangi kejahatan 
terorisme. Organisasi Teroris lntemasional saat ini sedang berupaya 
mendapatkan senjata "Weapons of Mass Destruction" yaitu senjata pemusnah
masal seperti senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologi (senjata gas sarin 
yang merusak saraf), dan senjata hidrogen. Melalui kerjasama lntemasional 
yang intens, keinginan organisasi teroris intemasional yang berupaya memiliki 
senjata pemusnah masal tersebut dapat dicegah.
9. Dalam upaya untuk mencegah dan melaksanakan pemberantasan tindak 
pidana terorisme Pemerintah Indonesia secara terus-menerus melakukan 
kerja sama lntemasional dengan negara-negara lain dibidang lntelijen, kepolisian,
dan kerjasama sesama penegak hukum dan kerjasama teknis lainnya dalam
kaitannya dengan perang global melawan terorisme.
1 o. Melalui Resolusi 1373 ini, pada intinya PBB meminta negara-negara di dunia
untuk saling bekerjasama dalam menanggulangi dan memerangi masalah
terorisme. Langkah-langkah yang dapat dilakukan negara-negara di dunia, 
antara lain :
a. Menemukan. jalan untuk mengintensifkan dan mempercepat 
pertukaran mformasi operasional, terutama tentang aksi-aksi atau 
gerakan-gerakan orang-orang atau jaringan-jaringan teroris; dokumen￾dokumen perjalanan palsu; lalulintas senjata, bahan peledak atau 
bahan-bahan sensitif; penggunaan teknologi informasi oleh kelompok￾kelompok teroris; dan ancaman oleh pemilikan senjata pemusnah massal
oleh kelompok-kelompok teroris;b. Bertukar informasi sesuai dengan hukum intemasional dan domestik 
dan bekerjasama dalam masalah-masalah administratif dan yuridis untuk
mencegah aksi-aksi teroris;
c. Bekerjasama, khususnya melalui pengaturan dan perjanjian bilateral
dan multilateral, untuk mencegah dan menumpas serangan-serangan 
teroris dan mengambil tindakan terhadap pelaku-pelaku aksi 
seperti itu;
d. Menjadi peserta secepat mungkin dalam konvensi-konvensi dan
protokol intemasional yang relevan yang berkaitan dengan terorisme, 
termasuk the International Convention for the Suppression of the
Financing of Terrorism of9 December 1999;
e. Meningkatkan kerjasama dan sepenuhnya melaksanakan konvensi•
konvensi dan protokol-protokol intemasional yang relevan yang 
berhubungan dengan terorisme dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan
1269 (1999) dan 1368 (2001);
f. Mengambil langkah-langkah yang tepat sesuai dengan ketentuan• 
ketentuan yang relevan dari hukum nasional dan intemasional, termasuk
standar internasional tentang HAM, sebelum memberi status pengungsi,
untuk memastikan bahwa pencari suaka belum 
merencanakan, memfasilitasi atau ikut serta dalam aksi-aksi teroris;
g. Pastikan, sesuai dengan hukum intemasional, bahwa status 
pengungsi tidak disalahgunakan oleh pelaku, organisator atau fasilitator
aksi-aksi teroris, dan bahwa klaim atas motivasi politik tidak diakui
sebagai alasan untuk menolak permintaan akan ekstradisi dari 
tersangka teroris;
9. Disamping resolusi 1373 tersebut di atas, PBB juga membentuk sebuah Komite 
Pemberantasan Terorisme (Counter Terorism Commitee) yang berada dibawah 
Dewan Keamanan yang bertugas untuk melaksanakan resolusi 1373, 
memberikan asistensi terhadap negara-negara dalam memberantas terorisme, 
termasuk menerima laporan secara periodik dari negara-negara anggota PBB
berkaitan dengan langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka
merealisasikan resolusi PBB 1373.
10. Dari tahun 1963 hingga tahun 2005 terdapat setidaknya 13 konvensi berikut 
protocol mengenai pemberantasan tindak terorisme yang dihasilkan. yakni:
1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board
Aircraft
(Aircraft Convention) Tahun 1963.
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft
(Unlawful Seizure Convention) Tahun 19703. Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of
Civil Aviation (Civil Aviation Convention) Tahun 1971
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against
Internationally Protected Persons (Diplomatic agents Convention) Tahun
1973
5. International Convention against the Taking of Hostages
(Hostages Convention) Tahun 1979
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material
(Nuclear Materials Convention) Tahun 1980
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports
Serving International Civil Aviation, supplementary to the Convention for
the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation 
(Extends and supplements the Montreal Convention on Air Safety)(Airport 
Protocol) Tahun 1988
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of
Maritime Navigation (Maritime Convention) Tahun 1988
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed
Platforms Located on the Continental Shelf (Fixed Platform Protocol)
Tahun 1988
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of
Detection
(Plastic Explosives Convention) Tahun 1991
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings
{Terrorist Bombing Convention) Tahun 1997
12. International Convention for the Suppression of the Financing of
Terrorism {Terrorist Financing Convention) Tahun1999
International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism
(Nuclear Terrorism Convention) Tahun 2005








Indonesia sebagai suatu negara hukum, tentunya harus menempatkan hukum 
sebagai dasar dalam memberikan perlindungan kepada seluruh warga masyarakat. 
Sebagai suatu kumpulan kaidah yang bersifat umum, hukum diwujudkan dalam 
bentuknya yang kongkrit sebagai peraturan perundang-undangan. Selanjutnya. peraturan 
perundang-undangan ini hendaknya dapat dimengerti oleh setiap orang. Dengan 
demikian, hukum dapat memberikan pemikiran, prediksi dan akibat dari suatu
perbuatan yang dilakukan olehnya. Penegakan hukum, diharapkan dapat memberikan 
jaminan kepastian dan keadilan hukum serta mewujudkan ketertiban sosial di
masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan idealisme untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh 
masyarakat, tentunya fokus utama dalam proses pembentukan dan penegakan 
hukum harus dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk menghonnati hukum. 
Kewibawaan lembaga dan aparatur hukum harus terus ditingkatkan, sehingga 
peranannya untuk memberikan rasa aman dan tentram dapat terwujud dengan baik. 
Hukum semestinya dapat menyelesaikan problem sosial yang terjadi dalam dinamika 
masyarakat. Hukum harus diberdayakan dan mampu mengatasi pelanggaran dan 
kejahatan yang terjadi, termasuk kejahatan terorisme.
Konstilasi politik dunia pasca perang dingin dan proses reformasi di Indonesia, tidak 
dapat dipungkiri temyata juga mempunyai ekses, yakni lahimya kelompok ekstrem
yang kerap melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran, termasuk adanya tindak
pidana terorisme. Jaringan dan kegiatan terorisme kini telah menjadi momok yang
menakutkan. Indonesia dengan berbagai kultur politik, sosial, budaya dan letak
geografisnya selain telah menjadi korban akibat aksi terorisme, temyata juga 
melahirkan pelaku terorisme yang melakukan kegiatannya di berbagai negara lain.
Semula, aksi para teroris tersebut, telah membuat bingung dan tidak siapnya aparatur 
penegak hukum dalam mengungkapkan dan menangani kasus terorisme. Kelemahan 
perangkat hukum, minimnya sumber daya manusia, terbatasnya sarana dan prasarana
serta tidak mengertinya dan kurangnya kesadaran hukum masyarakatmenjadi kendala dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorism_e. ini. 
Disamping itu, sangatlah sukar untuk memberikan pemahaman dan mendefims1kan 
kegiatan teroris. Akibatnya, sangat sulit untuk mengungkapkan jaringan dan melakukan
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.
Dapatlah disimpulkan adanya berbagai ledakan born di beberapa tempat, 
menunjukkan bahwa hukum saat itu dalam keadaan chaos. Fungsi dan berjalannya 
hukum tidak normal. Sementara itu, proses penegakan hukum dalam rangka 
pemberantasan tindak pidana terorisme yang sedang berlangsung, sering dipersoalkan. 
Penegakan hukum tindak pidana terorisme dianggap makin menjauhkan nilai keadilan
yang ingin diwujudkan dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya, karena pendekatan 
paradigma hukum yang dipakai semata-mata hanya menempatkan hukum sebagai
suatu alat represif semata. Padahal, tujuan utama hukum adalah mewujudkan 
ketertiban dan keadilan di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran untuk 
mewujudkan hukum ke arah yang lebih progresif, sehingga mampu menampung 
dan mewujudkan aspirasi sosial masyarakat yang dinamis. Perubahan paradigms 
hukum pidana yang baru diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi hukum sebagai
pengayom masyarakat.
B. Motif Munculnya Tindak Pidana Terorisme
Banyak studi dan analisa tentang penyebab terjadinya tindak pidana terorisme. 
Saat ini diskursus tentang tindakan teror atas nama agama sering dimunculkan. 
Dalam perkembangannya, kecenderungan kegiatan terorisme yang mengatas• 
namakan agama terus meningkat. DR. AC. Manulang mengungkapkan :
Membaca tren yang berkembang, teror yang mengatasnamakan agama terkait 
sejumlah alasan berdasarkan apraisal situasi, yaitu beberapa masalah mendasar, antara
lain :
1. Adanya wawasan agama yang keliru
2. Penyalahgunaan simbol agama
3. Lingkungan yang tidak kondusifterkait dengan kemakmuran dan keadilan
4. Faktor ekstemal - adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu 
kelompok atau negara terhadap komonitas. Akibatnya, komonitas yang 
merasa diperlakukan tidak adil bereaksi lewat jalan kekerasan'
Dari berbagai kasus yang terungkap di pengadilan, menunjukkan kegiatan 
terorisme kini dilatarbelakangi pada adanya suatu gerakan dan ideologi dengan motifagama tertentu untuk meraih kekuasaan. Anarkisme yang terjadi senantiasa didasari 
pada sikap fundamentalisme yang dibenarkan dengan sikap fanatisme yang sempil 
Para pelaku di dalam sidang pengadilan pada pokoknya mengungkapkan bahwa 
tindakan yang mereka lakukan didorong untuk menegakkan keyakinan dalam ajaran 
agamanya. Mereka berpendapat, tatanan kehidupan sosial dan politik masyarakat 
saat ini harus dirubah, karena dianggapnya kafir. Oleh karenanya mesti disucikan 
dengan caranya. Tindakan pengeboman dan kegiatan teror yang dilakukannya 
merupakan salah satu cara untuk mewujudkan keinginannya. Mereka yakin bahwa 
tempat di surga menjadi harapannya. Padahal, dalam sejarahnya kegiatan yang 
dilakukan oleh berbagai kelompok yang mengatasnamakan agama, senantiasa menjadi
catatan buram, karena tindakan kekerasan yang dilakukan seringkali menimbulkan 
korban dan kekacauan. Sementara itu, tindakannya justru mencederai nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam ajaran agamanya.
Agama sebagai suatu sistem sosial, mempunyai posisi strategis untuk dijadikan 
alasan pembenar dari tindakan dan kegiatan suatu kelompok. Menurut HASYIM MUZADI 
: Faktor radikalisme agama di Indonesia disebabkan :
Pertama : Salah pengertian dan pemakaian atribut-atribut agama untuk 
kepentingan lain. Fenomena ini tidak saja terjadi dalam Islam, tetapi 
pada hampir semua agama.
·- Kedua Karena lingkungan yang tidak adil dan tidak sejahtera, disamping 
kebodohan. Perasaan ditindas menyebabkan mereka berontak secara 
radikal tanpa mempertimbangkan akal sehat.
Ketiga Adanya serangan terhadap beberapa daerah dan negara oleh Amerika
Serikat dan sekutunya. 2
Dugaan Indonesia sebagai sarang teroris intemasional mulai terungkap dengan 
adanya berbagai kasus peledakan born yang terjadi di berbagai daerah. Motifasi 
para pelaku pada umumnya di dasarkan pads sikap dan pandangan radikalisme 
pada ajaran agama tertentu, yaitu membagun kelompok eksklusif sebagai modal dan 
identitas kelompok mereka.
Latar belakang keberadaan teroris di Indonesia antara lain didasarkan pada 
sikap radikalisme agama dengan membangun komonitas yang eksklusif. Sistem 
yang ada dipandang sebagai dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan. 
Mereka meyakini dirinya yang paling benar dan dekat dengan Tuhan. Sistem yang 
ada dianggap kafir, sehingga wajib diperangi. Kematian dianggap jalan menuju pintu 
Surga Aksi kekerasan dipandangnya sebagai Jihad Terdapat kelompok-kelompok 
kecil radikal. Mereka meyakini bahwa dunia harus di hancurkan dan di musnahkan,karena dianggap telah dikuasai oleh iblis. Pandangan mereka dianggapnya paling 
benar, sehingga berperang dan menghancurkan dunia yang dianggapnya kafir 
merupakan suatu kewajiban, sedangkan kematian menjadi landasan mereka untuk 
menuju surga.
Perkembangan tatanan masyarakat dunia yang menimbulkan krisis multidimensi
memang telah melahirkan kelompok radikal yang terus melakukan aksinya untuk
menimbulkan kekacauan. Kecenderungan penggunaan born, senjata dan amunisi
digunakan dalam berbagai kerusuhan. Akibatnya, teror dan kekerasan terjadi di mana￾mana. Walaupun, agama senantiasa mengajarkan kebaikan, akan tetapi di sisi lain
dalam praktiknya banyak orang melakukan tindakan yang justru berlawanan dengan
nilai-nilai luhur yang di ajarkan agama.
Satu hal yang menarik untuk diungkapkan adalah kenapa para teroris melakukan 
aksinya. Meskipun, belum banyak data dan penelitian yang dilakukan untuk
melakukan hal tersebut, tetapi Hidayat Nur Wahid mengungkapkan hubungan 
radikalisme dan teror sebagai berikut :
Salah satu jawaban yang masuk akal adalah, karena tercerabutnya penghayatan
dan pengalaman fisi yang luhur dalam praktisis sosial sehari-hari. Sebagian diantara
kita masih mementingkan kesalehan (profetik) individual, dan kehilangan akan 
kesalehan sosial dakwah dan pengajaran agama lebih mementingkan menghafal -
verbalisme - ketimbang upaya perwujudan perilaku yang sesuai dengan agama. 3
Radikalisme agama yang telah berkembang menjadi ideologi atau paham dari 
teroris, telah melahirkan cara yang kas dalam menyelesaikan suatu masalah. 
Jaringan mereka kini telah berkerja di berbagai negara. Dengan kata lain, teroris 
telah bekerja secara intemasional. Ada indikasi mereka telah berkerja sama dalam 
merancang dan melaksanakan aksinya. Peledakan born yang terjadi di Indonesia 
beberapa tahun yang lalu telah di lakukan dengan sengaja, sistematis, dan 
terencana. Karenanya kejadian tersebut dilakukan dengan persiapan yang matang 
dan kerjasama yang terencana dari berbagai orang yang ada di Indonesia dan 
di luar negeri.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, dari berbagai kasus peledakan born telah 
berhasil diungkapkan bahwa pelaku kejahatan terorisme tidak hanya terdiri dari 
warga negara Indonesia, tetapi juga warga negara asing. Radikalisme agama juga 
dibantu oleh para perancang dan donatur dari negara asing. Hal ini membuktikan, 
bahwa kejahatan terorisme adalah suatu kejahatan lintas negara. Di luar negeri, 
serangan terorisme di World Trde Centre dan gedung Pentagon di Amerika Serikat 
tanggal 11 September 2001 telah mengagetkan seluruh dunia. Akhimya masyaraka
International dengan sponsor Perserikatan Bangsa-Bangsa bersepakat untuk mencegah 
dan memberantas tindak pidana terorisme dan menjadikan tero~sme sebagai 
musuh bersama dengan mengeluarkan berbagai Resolusi dan Konvens1.
Sebagai bagian dari masyarakat intemasional, Indonesia juga telah turut 
menjadi pihak pada dua konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni International 
Convention For The Suppession of Terrorist Bombing, 1997 (Konvensi lntemasional 
Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997) dan lntematonal Convention For 
The Suppression of Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi lntemasional 
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Dengan turut menjadi pihak pada 
konvensi tersebut, maka tugas pemerintah Republik Indonesia khususnya dalam 
lingkup pembangunan di bidang hukum ditindaklanjuti dengan pembentukan 
perangkat hukum nasionaldalam rangka pemberantasantindak pidana terorisme.
C. Pengertian Dan KarakteristikTerorisme
Dalam sejarahnya kehidupan manusia senantiasa dilingkupi dengan perbuatan 
"teror" menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan dengan cara kekerasan agar 
menyebarkan rasa takut Terorisme digunakan sebagai cara yang lazim dalam 
masyarakat. lstilah terorisme sendiri muncul dari kata terror, berasal dari bahasa 
latin terrere yang berarti; kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain 
ketakutan. Dimasa post revolusi Perancis dikenal istilah /e terreur yang pada waktu 
itu dipakai untuk menyebut tindak kekerasan yang dilakukan oleh rezim hasil revolusi 
Perancis terhadap para pembangkangyang diposisikan sebagai musuh negara.
Selanjutnya, istilah terorisme berkembang dan berkonotasi peyoratif, sehingga 
sering dipolitisasi. Keragaman pandangan dan kekaburan pengertiannya membuka 
peluang disalah gunakan demi kepentingan politis. Memberikan batasan apa yang 
dimaksud dengan terorisme, disadari akan mengalami kesulitan. Apalagi manakala 
batasan tersebut memuat dimensi politiis tertentu. Oleh karena itulah, untuk 
memberikan suatu definisi yang lengkap dan obyektif tentang terorisme haruslah 
dibebaskan dari identitas pelaku atau alasan mereka. Terorisme dapat diinditifikasi 
karakteristiknya dari kualitas aksi mereka. Walaupun demikian, sampai saat ini 
batasan atau definisi tentang terorisme masih diperdebatkan. Hal tersebut terkait 
dengan kompleksitas masalah dan cara pandang yang melingkupi terorisme. Oteh 
karena itulah, pengertian dan interpretasi tentang terorisme masih dipahami secara 
berbeda.Cara lain mendefinisikan terorisme adalah dengan cara menggambarkan sifat 
serangan yang biasa pada aksi-aksi teroris, yang dikecam oleh komunitas intemasional.
Serangan dengan kekerasan yang sembarangan, khususnya yang melibatkan orang￾orang sipil yang tidak berdosa, atau setiap bentuk kekerasan sembarangan yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok sub-nasional atau agen-agen gelap. Serangan teroris 
ditandai oleh kekerasan sembarangan terhadap orang-orang sipil, tanpa hormat pada 
nilai-nilai kemanusiaan dan keinginan ekstrim akan publikasi. Kampanye teror yang
berkelanjutan memerlukan dukungan finansial, cadangan senjata dan bahan peledak
terus-menerus dan seringkali dukungan suatu jaringan intemasional.
Walter Lequeur menyimpulkan unsur-unsur yang signifikan dari batasan pengertian
terorisme yang dirumuskan oleh berbagai kalangan, yakni:
1. Terorisme memiliki ciri utama digunakannya ancaman kekerasan dan 
tindak kekerasan
2. Terorisme umumnya didorong oleh motivasi politik, ideologi atau adanya 
fanatisme keagamaan.
3. Tindakan teror dimaksudkan untuk memberikan dampak psikologis dan 
ketakutan
4. Arah target teror adalah non combatans
Amalya (2002) menguraikan beberapa ciri utama terorisme :
- Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan tertentu 
secara sistematis maupun kampanye kekerasan yang dirancang untuk 
menciptakan ketakutan
- Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan tanpa 
pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu untuk mencapai 
tujuan-tujuan politik tertentu.
- Sengaja bertujuan untuk menciptakan dampak psikologis atau fisik 
terhadap kelompok masyarakat atau korban tertentu, dalam rangka mengubah 
sikap dan perilaku politik sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku terror
- Pelakunya dapat beroperasi sendiri atau sebagai anggota kelompok 
terorganisasi, bahkan suatu rezim pemerintahan.Motivasi bisa bersifat pribadi, destruksi atas pemerintahan atau kekuasaan
kelompok. Jangkauan bisa terbatas lokal seperti penggulingan ream 
tertentu atau global seperti revolusi simultan diseluruh dunia.
Beragam modus seperti, penculikan, pembajakan, atau pembunuhan
yang sangat kejam untuk memperkuat kredibilitas ancaman.
Aksi dirancang untuk menarik perhatian dunia atas eksitensinya, untuk itu
korban dan targetnya dapat saja tidak berkaitan sama sekali dengan 
target langsung dari perjuangan sipelaku
Aksi teror dilakukan karena motivasi politik atau keyakinan kebenaran
yang melatarbelakangi melalui cara-cara kekerasan yang ditempuhnya.6
International Law Commision memberikan pengertian :
1. Any act causing death or greivous bodily arms ao loss of liberty to a head 
state, person exercising the prerogatives oh head of states, their heredity 
or designated successors, the spouse of such persons, or persons
charged with public fuctions or holding public positions when the act is 
directed against them in their public capacity
2. Acts calculated to destroy or damage public property or property devoted 
to public purpose
3. Any act likely to imeril human lives through the creation of public danger, 
in particular the siezure of aircraft the taking of hostages and any form of 
violence directed international protection or diplomatic immunity
4. The manufacture, obtaining, possesion or supplying of arms, ammuntion, 
explosives or harmful substances with a view to the commmision of 
terrorist act7 -
Pada tahun 1972 Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Commite 
on Terrorism, namun setelah tujuh tahun komite tersebut juga gagal merumuskan 
definisi terorisme. Hal ini disebabkan factor beragam dan berbedanya pandangan 
negara-negara anggota PBB disatu sisi dan beragamnya pendapat para pakar hukum
intemasional mengenai terorisme. Bahkan dalam konstelasi politik dunia saat itu 
beberapa anggota non blok berpendapat tindakan terorisme yang dilakukan oleh suatu
bangsa tertindas yang ditujukan kepada bangsa penjajahannya dapat dikategorikan
dan dimaklumi sebagai tindakan yang sah dalam kerangka hak untuk menentukan
nasibnya sendiri (legitimate right to self determination). Akhimya definisi terorisme
diserahkan kepada masing-masing negara, sesuai dengan yurisdiksi hukum
domestiknya.

Definisi yang dirumuskan oleh Panel Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
November 2004 :
Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non 
combatans when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a
population or compel a government or international organization to do or 
abstain from doing any act (Berbagai aksi yang dimaksudkan untuk 
menyebabkan kematian atau Iuka yang serius terhadap penduduk sipil, non 
combatan, dimana tujuan dari konteks aksi tersebut adalah untuk menakuti
suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi intemasional untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tindakan.9
Di Indonesia definisi tentang terorisme dapat dicema dari rumusan PERPU No. 1
TAHUN 2002 jo UU No. 15 TAHUN 2003 yang mendefinisikan : Tindak pidana 
terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang sengaja menggunakan 
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut 
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal, dengan 
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang 
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik. Berdasarkan pengertian dan 
kegiatan aksinya, selanjutnya menurut Prof. Dr. Muladi, SH menginditifikasi kegiatan 
terorisme sebagai berikut :
Tindak pidana terorisme dapat dikatagorikan "ma/a perse11 atau "ma/a 
inse11 - adalah kejahatan atas nurani (crime against conscience) menjadi 
jahat bukan karena diatur atau dilarang undang-undang, tetapi memang 
tercela (natural wrong atau act wrong in themselves) .
Tindakan ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). 
Disamping menimbulkan ketakutan. Teror dan kekerasan menimbulkan 
mencuatnya aneka sentimen di masyarakat antara pro dan kontra
sehingga memicu konflik lebih lanjut10
Selain pengertian atau batasan (definisi} dan klasifikasi mengenai terorisme 
tersebut di atas, DR. A.C Manullang juga memberikan pokok bahasan tentang 
kegiatan tindak pidana terorisme, berdasarkan kegiatan para pelakunya. 
Berdasarkan pengalamannya selaku intelejen dan beberapa kasus yang terungkap
di pengadilan serta penelitian yang tela~ dilakukan oleh beberapa ahli, ternyata kegiatan
yang dilakukan oleh para terons dalam melakukan aksmya mempunyai karakteristik, 
operasi, methode dan taktik yang berbeda dengan tindak pidana blasa pada umumnya. 
11
D. Keberadaan Dan Jejak Rekam Aksi Terorisme di Indonesia
Selain sebagai korban dari kejahatan terorisme, temyata Indonesia juga diduga 
sebagai sarang tokoh teroris intemasional. Sinyalemen tersebut menguat ketika dari 
berbagai penangkapan para pelaku dan pengungkapan kasus di pengadilan dapat 
diketemukan adanya kerjasama kelompok teroris intemasional, seperti adanya 
jaringan Al Qaeda dan Jamaah lslamiyah (JI) dalam berbagai aksinya di Indonesia 
dan Asia Tenggara. Peledakan born di Bali 12 September 2002 dengan jumlah 
korban yang banyak, mendorong kerjasama intemasional untuk mengungkapkan 
kasus tersebut. Hasilnya, aparatur hukum di Indonesia berhasil mengindentifikasikan
11 KARAKTERISTIKTERORISME
 Organisasinyabaik, berdisiplinttnggi dan militan
 Merupakankelompok kecil yang diindoktrinasidan dilatih bertahun-tahun
 Untuk rnencapai tujuan politik, melakukan perbuatan krirninal
 Tidak mengindahkan norrna-norma yang berlaku, rnengabaikan agarna, hukum dan norma 
lainnya
 Dalam aksinya, mernilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis tinggi dengan 
menebarkanrasa takutlewat publikasi luas
OPERASITERORIS
Dilakukan kelompok clandestine Oaringan bawah tanah) yang terorganisasi dan terlatth secara 
khusus. Biasanya dibuat sistem sel sebelurn menghancurkantarget. Pengintaian dilakukan personal 
intel khusus. Dilakukan sirnulasi serangan untuk mernastikan keberhasilan. Biasanya teroris mencari 
titik lernah sasaran yang tidak dilindungi atau kurang pengarnanannya
METODETERORIS
Beroperasi dalarn unit kecil. Personil terlatih. Menggunakan senjata otornatis ringan, granat 
tangan, bahan peledak, amunisi, radio transistorserta peralatan pendukung.
Sebelurn pelaksanaanberbaur dengan masyarakat setempat agar penarnpilannyatidak menyolok 
dan tidak rnudah dipantau. Setelah operasi, mereka kernbali berbaur, sehinggasulit dideteksi.
Di Indonesia peracikan born, biasanya dilakukan di rurnah kost atau kontrakan yang padat 
penduduknya. Mereka melakukankarnuflase.
TAKTIKTERORIS
 Peledakanborndi ternpat strategis dan vital
 Pernbajakan
 Pembunuhan
 Penghadangan
 Penculikan
 Penyanderaan
 Perarnpokan
 Ancarnan/lntimidasi

dan menangkap sejumlah pelaku. Mereka antara lain, Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas,
Ali lmrom dan lain-lain. Namum, satu hal yang masih perlu dituntaskan adalah 
apakah aksi tersebut benar hanya dilakukan oleh mereka ataukah sampai kini masih
ada tokoh kuat lainnya yang belum tertangkap. Padahal, mereka sesungguhnya adalah
yang memegang peran penting dalam membangun jaringan dan melaksanakan 
aksinya. Pendapat ini didasarkan pada hasil pemeriksaan, temyata dapat 
disimpulkan para pelaku tersebut, merupakan anggota sebuah jaringan organisasi 
Jamaah lslamiyah (JI). Kelompok ini secara intemasional telah diindentifikasikan
sebagai teroris yang menggunakan teror sebagai usaha untuk mencapai cita-citanya
membangun Khilafa lslamiah di Asia Tenggara.
Majalah Tempo melaporkan peristiwa peledakan born malam Natal 2000 
hingga tragedi born Bali merupakan aksi dari Jama'ah lslamiyah, yaitu kelompok 
organisasi yang didirikan di Malaysia pada tahun 1990 an oleh sekelompok warga 
negara lndonesia.12 Data intelejen Kepolisian RI mengindentifikasi jaringan kelompok 
ini sebagai berikut :
Kini teror dalam bentuk peledakan born, dalam skala kecil maupun dahsyat 
sering berulang terjadi dengan berbagai motif. Hal ini disebabkan :
- Adanya ruang yang tersedia dan ketidakstabilan politik di Indonesia.
- Pelaku merasa aman melakukan operasinya karena mekanisme hukum 
tidak berfungsi maksimal dan tertutup oleh justifikasi perbuatan pelaku.14
Selain itu, kegiatan terorisme juga didasarkan pada sentimen kesukuan yang 
mengarah sparatisme. Kelompok ini melakukan aksi teror dengan tujuan memperoleh 
kemerdekaan politik. Pemicu teror karena daerah merasa diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah Pusat. Aksi terorisme juga dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu 
yang menimbulkan kekacauan. Aksi teror demi kepentingan politik, ekonomi dan 
sosial tertentu. Didorong adanya ketidakstabilan politik. Kemajuan teknologi cyber 
- digunakan sebagai alat menghimpum dana dan rekrultmen anggota.15
Sesungguhnya dalam sejarahnya di Indonesia jejak rekam pelaku tindak 
pidana terorisme antara lain dapat direkam sebagai berikut :
o 1972 - Yogjakarta - Pembajakan pesawat MNA - Pembajak ditembak 
mati oleh Capt. Pilot
o 1976 - Bukit Tinggi - Diketemukan born di RS. lmannuel - "Angkatan
Muda Mujahid Darul lslam"
o 1976 - Padang - born di Masjid Nurul Imam - Angkatan Muda Mujahid
Darul Islam
o 1976 - Medan - Peledakan Gereja Methodist dll saat kebaktian natal -
Angkatan Muda Mujahid Darul Islam
o 1976 - Medan - Peledakan di bioskop Riang - Angkatan Muda Mujahid
Darul Islam
o 1977 - Jakarta - Pembajakan pesawat Garuda, TRIYUDO orang frustasi
o 1977 - Jakarta - Peledakan born di percetakan Kencana - Pelaku tidak 
diketahui
o 1978 - Jakarta - Peledakan born di WC Sekretariat MPR - Pelaku tidak
Diketahui
o 1978 - Jakarta - Perencanaan peledakan di pusat-pusat perbelanjaan,
rumah pejabat dan tempat vital - Anggota Gerakan Pemuda Islam
0 1978 - Jakarta - Peledakan born plastik di masjid lstiqal - Pelaku tidak 
diketahui
0 1978 - Jakarta- Peledakan Born di Taman Ismail Marzuki - Pelaku tidak 
diketahui
0 1980 - Padang Sidempuan - Peledakan di beberapa toko setelah 
menerima paket - Pelaku tidak tertangkap
0 1980 - Pembakaran Kompartemen bagasi Garuda DC 9 namum pesawat 
berhasil mendarat di Surabaya - Pelaku tidak diketahui
0 1980 - Pembakaran kompartemen bagasi pesawat Mandala, pesawat 
berhasil mendarat di Surabaya - Pelaku tidak diketahui
0 1980 - Jakarta - Peledakan ruang ICCU RS. Cipto Mangunkusumo -
Pelaku tidak diketahui
0 1980 - Padang Sidempuan - Peledakan di Pengadilan Negeri - Pelaku 
tidak diketahui
0 1981 - Pembajakan pasawat Garuda PK-GNJ WOYLA - Pilot HERMAN 
RANTE dan anggota Kopassus KIRANG tewas diternbak, Pelaku
MAHRIZAL, ABU SOFYAN, ZULFIKAR. ABDULLAH MULYANA, WENDI
(Dipimpin IMRON) Pembajak dilumpuhkan di Bandara Don Muang
Bangkok
0 1982 - Jakarta - Peledakan di rumah Kol. (Pum) Kafrawi anggota DPR
dari fraksi ABRI - Pelaku tidak diketahui
0 1983 - ldi Aceh Timur- Paket pos meledak di stasiun bus - Pelaku tidak 
diketahui
0 1983 - Bandung - Peledakan Jembatan yang menghubungkan Alun-Alun 
dan Masjid Agung - Pelaku tidak diketahui
0 2000 - Medan - Peledakan di Beberapa Gereja Dan Rumah pendeta -
Pelaku Edy Sugiharto dihukum 11 tahun, Pelaku Lain Awaluddin Sitorus -
dibebaskan - Menuntut Pra Peradilan dan ganti kerugian KMA
0 2000 - Peledakan di malam natal pada Gereja-Gereja di Batam, Pekan
Baru, Kudus, Mojokerto dan Cicadas, Bandung - Pelaku tidak diketahui
0 2002 - Peledakan Born di Bali - Pelaku Imam Samudera, Mukhlas,
Amrozy, Abdul Rauf - Terpidana mati/seumur hidup - Dalam LP. 
Krobokan menstransfer uang dan menerima pengiriman Laptop untuk 
mengaktifkan situs jihad.
0 2000 - Peledakan Born di Perusahaan Emas Newmont dan Gereja serta 
pekuburan Kristen - Pelaku tidak diketahui
0 2000 - 2004 - Jakarta - Peledakan Born di gereja HKBP, kediaman 
Dubes Filipina, Gereja Katedral dll - Pelaku DR. AZHARI, NURDIN M. 
TOP, ASMAR LATIN SANI, TARMIZI - Pelaku tewas, tertanggakap dan 
buron
o 2002 - Makasar - Restoran Mc. Donalds dll - Pelaku tertangkap dan di 
pidana- lainnya buron
o 2001 s/d 2005 - Konflik di Poso, Amborn dll. - Pelaku diadili dan dipidana
lainnya buron16
E. Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Memperhatikan karakteristik dan keberadaan tindak pidana terorisme yang ada 
di Indonesia, maka kebijakan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana 
terorisme di Indonesia harus didasarkan pada paradigma yang sesuai dengan ciri 
negara hukum Indonesia. Disadari, sistem ketatanegaraan yang ingin diwujudkan 
dalam UUD 1945 mempunyai karakteristik tersendiri yakni dengan menganut 
kedaulatan rakyat, juga dianutnya asas legalitas dan dihorrnatinya hak asasi 
manusia dengan mewujudkan peradilan yang bebas dan mandiri. Hal tersebut 
sesuai dengan konsep negara hukum yang modem seperti yang diungkapkan oleh 
Max Weber yang mengungkapkan ciri negara yang rasional antara lain : Aturan 
hukumnya memiliki suatu kualitas normative yang umum dan abstrak, merupakan 
hukum positif yang diputuskan secara sadar diperkuat oleh kekuasaan yang 
memaksa dari negara dalam bentuk sanksi, sistematis dan substansi hukum sama 
sekali terpisah dari pertimbangan-pertimbanganagama dan ethis. 11
Memperhatikan gagasan negara hukum dalam fungsinya seperti diungkapkan 
oleh Max Weber tersebut di atas, maka kebijakan pemberantasan tindak pidana 
terorisme diwujudkan sebagai upaya mewujudkan fungsi dan ciri hukum 
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yakni Indonesia sebagai negara hukum 
harus melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang merugikan 
yang datang dari sesamanya dan atau kelompok masyarakat, termasuk yang 
dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan yang datang dari luar, yang ditujukan 
terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hak asasinya, memberikan keadilan 
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia dibebani oleh amanat sebagaimana
dikemukakan datam Pembukaan UUD 1945 yakni, agar negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara berkewajiban untuk 
melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik yang bersifat 
nasional, trans-nasional apalagi bersifat intemasional. Negara juga berkewajiban 
untuk mempertahankan kedaulatannya serta memelihara keutuhan dan integeritas 
nasional dari setiap bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dan luar
Untuk itu, pemberantasan tindak pidana terorisme dilakukan dengan bersandar 
pada ketentuan dalam UUD 1945 yang dirumuskan dalam norma hukum yang dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang. Dengan demikian, langkah melakukan kebijakan di dalam
negeri yang meliputi :
- Kesadaran perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak
- Kebijakan dan langkah untuk menyusun Undang-Undang tentang 
Terorisme bukan karena desakan negara lain
- Langkah-langkah pemberantasan yang tidak melanggar HAM, memberi 
kepastian hukum dan batas yang jelas tindakan yang dapat dan yang 
tidak dapat dilakukan apparat
- Tidak diskriminatif dan hanya ditujukan pada kelompok tertentu
- Koordinasi lintas instansi
- Membangun kerjasama intemasional, mendorong masyarakat memahami 
ancaman terorisme
Kebijakan untuk membentuk perangkat peraturan perundang-undangan 
pemberantasan tindak pidana terorisme sudah barang tentu tidak dapat dipisahkan 
dari atau menyelaraskan dengan :
1. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1438 Tahun 2002 yang mengutuk 
sekeras-kerasnya peledakan born di Bali;
2. Resolusi No. 1373 Tahun 2001 yang menyerukan kepada semua negara 
untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Republik 
Indonesia untuk mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa 
peledakan born Bali dan membawanya ke pengadilan
Pasca peledakan bom di Bali yang pertama membuat pemerintah melakukan 
langkah-langkah sebagai berikut:
- Pemerintah menyatakan perang dengan terorisme - PERPU No. 1/2002. 
PERPU No. 2/2002. INPRES No. 4/2002
- PENETAPAN SURAT KEPUTUSAN MENKOPOLKAM Nomor : 
Kep.26/Menkopolkam/11/2002 - Pembentukan Desk Koordinasi 
Terorisme
- PERPU No. 1/2002. PERPU No. 2/2002. Disahkan menjadi UU No.
15/2003 dan UU No. 16/2003
- Banyak negara memberi perhatian dan bantuan investigasi
Peristiwa 11 September 2001 dan Born Bali 2002 telah menempatkan perang 
terhadap terorisme sebagai agenda intemasional, termasuk Indonesia yang merupakan 
salah satu negara yang gencar mengkampanyekan anti terorisme. Olehkarena itulah kebijakaan intemasional dilakukan dengan cara melakukan upaya 
komprehensif secara lintas instansi dan lintas negara. Langkah Indonesia ini sedikit 
banyak dipengaruhi kebijakan PBB dan Amerika Serikat dalam upayanya memberantas 
terorisme di seluruh dunia (war against terrorism)1B
Kebijakan Indonesia dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme 
juga dilakukan sejalan dengan program PBB, yakni :
Bertukar informasi sesuai dengan hukum intemasional dan domestik dan 
bekerjasama dalam masalah-masalah administratif dan yuridis untuk 
mencegah aksi-aksi teroris;
Bekerjasama, khususnya melalui pengaturan dan perjanjian bilateral dan 
multilateral, untuk mencegah dan menumpas serangan-serangan teroris 
dan mengambil tindakan terhadap pelaku-pelaku aksi seperti itu;
Menjadi peserta secepat mungkin dalam konvensi-konvensi dan protokol
intemasional yang relevan yang berkaitan dengan terorisme, termasuk the 
International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 
of9 December 1999;
Meningkatkan kerjasama dan sepenuhnya melaksanakan konvensi• konvensi
dan protokol-protokol intemasional yang relevan yang berhubungan dengan 
terorisme dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan
1269 (1999) dan 1368 (2001);
Mengambil langkah-langkah yang tepat sesuai dengan 
ketentuan-ketentuan yang relevan dari hukum nasional dan intemasional, 
termasuk standar intemasional tentang HAM, sebelum memberi status 
pengungsi, untuk memastikan bahwa pencari suaka belum merencanakan,
memfasilitasi atau ikut serta dalam aksi-aksi teroris;Memastikan, sesuai dengan hukum intemasional, bahwa status pengungsi
tidak disalahgunakan oleh pelaku, organisator atau fasilitator aksi-aksi 
teroris, dan bahwa klaim atas motivasi politik tidak diakui sebagai
alasan untuk menolak permintaan akan ekstradisi dari tersangka teroris.19
Kajian yang menarik untuk diamati adalah apakah kebijakan yang 
melahirkan instrumen hukum dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang PENETAPAN 
PERPU No. 1 Tahun 2002 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME 
MENJADI UNDANG-UNDANG dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang PENETAPAN 
PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang PEMBERLAKUAN PERPU No. 1 tahun 2002 
tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PADA PERISTIWA 
PELEDAKAN BOM BALI TANGGAL 12 OKTOBER 2002 MENJADI UNDANG-UNDANG, 
telah tepat sebagai wujud kebijakan institusionalisasi hukum untuk mengatasi tindak
pidana terorisme di Indonesia.
Masyarakat sebagai sistem sosial merupakan wadah bagi anggota-anggotanya 
di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam kaitan ini maka kebijakan 
pembangunan hukum hendaknya dilakukan dengan pendekatan sistem hukum. 
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH melihat sistem mempunyai dua pengertian, pertama: 
pengertian sistem jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu 
disini menunjuk kepada pranata struktur yang tersusun dari bagian-bagian, kedua : 
sistem sebagai suatu rencana, methode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. 
Selanjutnya, dikemukakan bahwa dalam suatu sistem terkandung beberapa hal :
1. Sistem itu berorientasi kepada tujuan.
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya.
3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu 
lingkungannya (keterbukaan sistem).
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang 
berharga (tranformasi).
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme control).
Memperhatikan hukum sebagai suatu sistem, maka ketentuan peraturan 
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam implementasinya harus 
dapat mencerminkan dan mewujudkan hukum yang memberikan keadilan dan 
perlindungan bagi masyarakat. Oleh karena itulah memperhatikan keadaan yang 
ada dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, pembentukan hukum melalui PERPU
menurut sifatnya yang memang dibuat dalam keadaan yang mendesak dan kegentingan
yang memaksa, harus segera dirubah dengan membuat hukum yang responsive yang 
mampu mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat dengan proses partisipatif bukan
sekedar formalitas belaka. Saat ini produk hukum yang responsif tersebut, juga harus
dibangun sistemnya sampai pada penegakannya di masyarakat. Oleh karenanya, juga 
perlu perubahan paradigma hukum pidana baru untuk mengatasi tindak pidana
terorisme.
lnstitusionalisasi hukum dan paradigms hukum di bidang pemberantasan tindak 
pidana terorisme juga harus memperhatikan problematika dan dinamika hukum di 
dunia intemasional. Adanya peristiwa serangan 11 September 2001 telah mendapat 
respon dari dunia intemasional, termasuk organisasi bangsa-bangsa dunia (PBB). 
Pasca peristiwa ini PBB melalui Security Council berdasarkan kewenangannya 
mengeluarkan sebuah resolusi yang mengajak negara-negara anggota PBB untuk 
mengambil tindakan-tindakan khusus untuk melawan terorisme.21
Berbagai konvensi lnternasional dan regional yang mengatur tindak pidana 
terorisme perlu diperhatikan dengan baik. Konvensi tersebut, meliputi :
International Civil Aviation Organization, Convention on Offences and 
Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditanda-tangani di Tokyo 
tanggal 14 September 1963, mulai berlaku tanggal 4 Desember 1969. 
International Civil Aviation Organization, Convention for the suppression of 
Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16
Desember 1970, mulai bertaku tanggal 14 Oktober 1971.
International Civil Aviation Organization, Convention for the Suppression 
of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di 
Montreal tanggal 23 September 1971, mulai berlaku tanggal 26
Januari 1973.United Nation, Convention on the Prevention and Punishment of Crimes 
against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents. 
Diterima oleh Majelis Umurn dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 14
Desember 1973, mulai berlaku tanggal 20 Februari 1977.
United Nation, International Convention against the Taking of Hostages.
Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember
1979, mulai berlaku tanggal 3 Juni 1983.
International Atomic Energy Agency.Convention on the Physical Protection 
of Nuclear Material. Ditandatangani di Vienna dan New York tanggal 3
Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979, mulai berlaku tang
gal 8 Februari 1987.
International Civil Aviation Organization, Protocol for the Suppression of
Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. 
Tambahan untuk Convention for the Suppression.of Unlawful Acts against the 
Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24
Februari 1988, mulai berlaku tanggal 6 Agustus 1989.
International Maritime Organization, Convention for the Suppression of
Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma 
tanggal 10 Maret 1988, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
International Maritime Organization Protocol for the Suppression of
Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platform Located on the 
Continental Shelf. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988, mulai berlaku 
tanggal 1 Maret 1992.
International Civil Aviation Organization, Convention on the Marking of Plastic 
Explosives for the Puspose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 
Maret 1991, mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998.
United Nation, International Convention forthe Suppression of Terrorist
Bombing, Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal
15 Desember 1997, mulai berlaku tanggal 23 Mei 2001.
United Nation, International Convention on the Suppression of Financing 
of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 54/109
tanggal 9 Desember 1999, mulai berlaku tanggal 10 April 2002.
League of Arab States, Arab Convention on the Suppression of Terrorism. 
Ditanda tangani di Kairo tanggal 22 April 1998, mulai berlaku 7 Mei 1999. 
Organization of the Islamic Conference, Convention on Combating 
International Terrorism. Diterima di Quagadoudou tanggal 1 Juli 1999 dan 
belum berlaku.
Council of Europe, European Convention on the Suppression of
Terrorism. Mulai Ditandatangani di Starsbourg Perancis tanggal 27
Januari 1977, mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1978.
Organization of American States, Convention to Prevent and Punish the 
Acts of Terorism Taking the Form of Crimes against Persons and Related 
Extortion that are of International Significance. Ditandatangani di 
Washington tanggal 2 Februari 1971, mulai berlaku 16 Oktober 1973. 
African Union (formely Organization of African Unity), Convention on the 
Prevention and Combating of Terrorism. Diterima di Algies tanggal 14 Juli
1999 tetapi belum diberlakukan.
South Asian Association for Regional Coperation, Regional Convention on
Suppression of Terrorism. Ditandatangani di Kathmandu tanggal 4
November 1987, mulai berlaku tanggal 22 Agustus 1988.
Commonwealth of Independent States, Treaty on Cooperation among the 
States Members of the Commonwealth of Independent States in 
Combating Terrorism. Diterima di Minsk tanggal 4 Juni 1999.
F. Mewujudkan Paradigma Hukum Pidana Baru Sebagai Salah Satu Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Alasan diberlakukannya UU No. 15 Tahun 2003 tentang PENETAPAN PERPU 
No. 1 Tahun 2002 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME 
MENJADI UNDANG-UNDANG dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang PENETAPAN 
PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang PEMBERLAKUAN PERPU No. 1 tahun 2002 
tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PADA PERISTIWA 
PELEDAKAN BOM BALI TANGGAL 12 OKTOBER 2002 MENJADI
UNDANG-UNDANG, didasarkan pada:
1. Rangkaian peledakan born telah menyebabkan rasa takut masyarakat 
luas, hilangnya nyawa, kerugian harta benda serta mempengaruhi kehidupan 
sosial, ekonomi, politik hubungan dunia lntemasional
2. Peledakan born kini telah menjadi fenomena umum, dengan modus 
terorisme di berbagai negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas
~e?ara, terorganisasi, tindak pidana lntemasional yang mempunyai
Janngan luas, yang mangancam perdamaian dunia
3. Pemerintah berkewajiban mengamankan kedaulatan negara dan menjaga 
perdamaian dunia
. Manakala pelembagaan hukum yang dituangkan dalam PERPU yang ak~imya 
d~undangkan menjadi Undang-Undang untuk melakukan pemberantasan tindak 
pldana te~orisme tersebut, dikaji dengan pendapat Ernest ~einri~ dalam bukunya 
yang beijudul Legal Formalism : on the immanent Rationality of law, yang
menggambarkan hukum sebagai sebuah struktur yang implislt, antecedent atau
mendahului permasalahan masyarakat, internal, dan rasional dari hukum. Maka
penegakan hukum, harus dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi berdasarkan 
tahap-tahap yang harus dilalui dalam upaya pelembagaan hukum. Dimulai dari 
pencemaan nilai-nilai sosial dan kepentingan dimasukkan ke dalam norma 
hukum-norma hukum, kemudian tahap pembudayaan norma hukum. Dalam pandangan
legal theory, pada umumnya orang melihat hukum sebagai suatu sistem, rasional,
berpikir linier, positivism dan merupakan angan-angan (dunia cita-cita). Dengan kata
lain, orang memahami hukum apa adanya seperti rumusan yang ada dalam pasalnya, 
yang sepertinya tidak melihat terhadap praktik kehidupan nyata yang sangat berbeda
yakni eksistensi hukum telah berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.22 
Disini hukum membutuhkan predictable hukum untuk dapat menjawab tantangan
jaman.
Melihat dinamika perkembangan masyarakat dikaitkan dengan tindakan terorisme,
tentunya ketentuan dalam UU. Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut, 
harus diamati dalam kaitannya dengan fungsi hukum di masyarakat. Menurut
Charles Stampford dalam bukunya The Disorder of Law A Critique of legal theory, ia 
mengkritik berbagai theory posivism yang menekankan pada aspek formalisme. Kritik
utamanya adalah bahwa masyarakat itu bersistem, sehingga kalau terjadi social me/ee
atau kesemerawutan/kekisruhan/huru hara sosial, maka hukum sebagai bagian
integeral dari masyarakat sudah barang tentu juga tidak beraturan. Belajar dari sini,
maka dalam pembentukan dan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana
terorisme juga harus memperhatikan hal tersebut. Caranya dengan merubah cara
pandang (membawa paradigma) baru dalam penegakan hukum tindak pidana 
terorisme, dengan memperhatikan karakteristiknya yang khusus dan spesifik dalam
kejahatan terorisme, yakni terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang
korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya
kemerdekaan, serta kerugian harta benda.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembentukan dan penegakan hukum 
pemberantasan tindak pidana terorisme harus membawa paradigma baru dalam 
penegakan hukum pidana, yakni mengharuskan aparatur hukum untuk meninggalkan
visi lama positivistik hukum yang bersifat represif dan kembali kepada tujuan hukum
yang utama, yaitu mewujudkan keadilan. Dalam kaitan ini Gustav Radbruck
menyatakan "hukurn merupakan suatu unsur kebudayaan", maka seperti unsur-unsur
kebudayaan lain, hukum mewujudkan salah satu nilai dalam kehidupan
kongkrit manusia.23 Disadari, tindak pidana terorisme karena sifatnya merupakan 
suatu tindak pidana khusus yang merupakan extra ordinary crime. Oleh karena itu 
penangannya juga harus dilakukan secara khusus, karena terorisme dinyatakan sebagai 
musuh bersama umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, kejahatan 
transnasional dan intemasional. Dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang (PERPU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah 
terdapat sejumlah ketentuan khusus dan spesifik, karena memuat 
ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan 
yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab 
Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kekhususan dari PERPU pengganti undang-undang ini antara lain 
sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini merupakan ketentuan 
payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan 
dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
2. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini merupakan ketentuan
khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang yang bersifat koordinatif (coordinating
act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan didalam peraturan
Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak
pidana erorisme.
3. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini memuat ketentuan khusus 
tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut
"safe guarding rules". Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga
hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan "hearing" dan 
berfungsi sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh dokumen
atau laporan intelejen yang disampaikan oleh penyidik untuk menetapkan 
diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya
tindakan terorisme.
4. Di dalam Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini ditegaskan
bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak ptdana politik atau 
tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan. politik 
sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral 
dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
s. Di dalam Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini dimuat ketentuan 
yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror. Eksistensi 
satuan tersebut dilandaskan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas 
publik (sunshine principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunshine 
principle) sehingga dapat segera dihindari kemungkinan penyalahgunaan 
wewenang yang dimiliki oleh satuan dimaksud.
6. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini memuat ketentuan tentang 
yurisdiksi yang didasarka kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas
nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangka
terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan 
Pemerintah pengganti Undang-undang ini yang melampaui batas-batas 
teritorial Negara Republik Indonesia. Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut 
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini memuat juga ketentuan 
mengenai kerjasama intemasional.
7. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini memuat ketentuan tentang 
pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga
sekaligus juga memperkuat UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
8. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini tidak 
berlaku bagi kemerdekaan penyampaian pendapat di muka umum, baik melalui 
unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila
dalam mengandung unsur pidana, maka diberlakukan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
9. Di dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini tetap
dipertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk 
memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme24.
Disadari, pelaksanaan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang￾undangan tersebut, masih mengandung banyak kelemahan dan hambatan, yakni :
a. Hambatan dari segi struktur :
lnstrumen Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di lingkungan 
peradilan masih menimbulkan bias penafsiran pada beberapa ketentuan 
hukumnya
Koordinasi penanggulangan bahaya tindak pidana terorisme dan 
pencegahannya, walaupun telah diatur dengan UU. dan INPRES, namun 
belum dipahami secara baik dan benar oleh para aparatur hukum. Sementara 
adanya kerjasama antara berbagai organisasi terorisme meskipun terdapat
perbedaan tujuan politik;
Tunduknya suatu pemerintah untuk memenuhi tuntutan kaum teroris
(sikap give - in)
b. Hambatan dari sosial kemasyarakatan:
Kompleklsitas masalah sosial yang dihadapi (ekonomi, pengangguran, 
pendidikan, frustasi sosial)
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam masalah keamanan (skepris, 
sinis, apatis terhadap ketidakmampuan aparat keamanan)
Sistem hukum demokrasi yang tidak dapat membedakan ekspresi 
kebebasan dan ketertiban
Belum adanya kesatuan pendapat mengenai teror sehingga adanya 
bantuan dan dukungan dari orang-orang (bahkan negara) tertentu.
Oleh karena itulah memperhatikan isi dalam peraturan perundang-undangan 
tersebut, maka dengan memperhatikan karakteristik dan sifat tindak pidana 
terorisme penegakan hukum pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia 
perlu dilakukan pergeseran paradigma hukum pidana dengan responsibilitas paradigms
baru, tindak pidana terorisme dapat dieksplesitkan lebih konkrit, sehingga hukum 
mempunyai kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah￾masalah baru dan aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan 
dan dinamika jaman. Diharapkan, dengan pergeseran paradigma hukum yang baru 
misi pemberantasan tindak pidana terorisme dapat berhasil
dengan baik. Misi tersebut adalah :
Meningkatkan kewaspadaan agar Indonesia tidak dijadikan tempat 
persembunyian para teroris dan tempat tumbuhnya ideologi terorisme. 
Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat dijadikan 
alasan pembenaran kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan
SARA.
Upaya berkelanjutan pemberantasan tindak pidana terorisme












Selain kesepakatan yang bersifat bilateral dan regional untuk melawan 
kejahatan terorisme ada beberapa konvensi lntemasional yang mengatur 
tentang kejahatan terorisme antara lain sbb :
1. Convensi Chicago (disetujui pada 1944 - penentuan wilayah hukum yang 
menyangkut pesawat udara)
• menyatakan bahwa pesawat udara menyandang kebangsaan negara 
tempat pesawat tersebut terdaftar;
• flag state (negara yang benderanya digunakan) boleh menerapkan hukum 
pidana terhadap pelaku tindakan di atas pesawat itu;
• negara yang wilayahnya menjadi ajang tindak kriminal itu boleh 
menerapkan hukum pidana mereka.2. Convention on Offenses and Certain Other Acts Committed On Board 
Aircraft (Konvensi tentang Pelanggaran dan Tindakan Tertentu Lainnya yang 
Dilakukan di Atas Pesawat Udara) (Konvensi Tokyo, disetujui pada bulan 
SeptemberTahun 1963 keselamatan penerbangan):
berlaku untuk tindakan yang mempengaruhi keselamatan dalam pesawat;
memberikan wewenang kepada komandan pesawat untuk melakukan 
tindakan yang wajar, termasuk penangkapan, setiap orang yang menurut 
pendapatnya telah atau akan melakukan tindakan tersebut, jika diperlukan 
untuk melindungi keselamatan pesawat dan untuk alasan terkait; 
mengharuskan negara yang dirugikan menahan para pelaku dan 
mengembalikan kontrol pesawat itu kepada komandan yang sah.
3. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Konvensi 
untuk Meredam Perampasan Pesawat secara Melawan Hukum) (Konvensi Den 
Haag, disetujui pada 12ll0-pembajakan pesawat udara):
termasuk pelanggaran jika ada orang di dalam pesawat yang sedang terbang
[untuk] "secera melanggar hukum, dengan kekerasan atau ancaman, atau 
bentuk intimidasi lainnya, [untuk] merampas atau mengambil alih kontrol 
atas pesawat itu" atau berupaya melakukan hal terse but;
mengharuskan pihak-pihak dalam Konvensi menyatakan bahwa 
pembajakan bisa dihukum dengan "hukuman berat;"
mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi 
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum; 
mengharuskan pihak-pihak untuk sating membantu sehubungan dengan 
prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi.
4. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of 
Civil Aviation (Konvensi untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum terhadap 
Keselamatan Penerbangan Sipil) (Konvensi Montreal, disetujui pada 9ll1-
berlaku untuk aksi sabotase penerbangan seperti serangan born di atas 
pesawat yang sedang terbang):
termasuk pelanggaran jika ada orang yang secara melawan hukum dan 
secara sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang di 
atas pesawat yang sedang terbang, jika tindakan itu cenderung 
membahayakan keselamatan pesawat; meletakkan alat peledak di atas 
pesawat; dan mengupayakan tindakan itu atau menjadi pembantu orang 
yang melakukan atau berupaya melakukan tindakan tersebut; 
mengharuskan pihak-pihak dalam Konvensi menyatakan bahwa 
pelanggaran itu bisa dihukum dengan "hukuman berat;"
mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi 
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum; 
mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan 
prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi.
5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against 
Internationally Protected Persons (Konvensi tentang Pencegahan dan 
Penghukuman Kejahatan terhadap Orang yang Dilindungi secara lntemasional) 
(disetujui pada 12/73-melindungi pejabat pemerintah dan diplomat senior):
- mendefinisikan orang yang dilindungi secara intemasional sebagai Kepala 
Negara, Menteri Luar Negeri, perwakilan atau pejabat negara atau pejabat 
organisasi intemasional yang berhak mendapatkan perlindungan khusus 
dari serangan menurut hukum intemasional;
- mengharuskan setiap pihak untuk mempidana dan menghukum "dengan 
hukuman yang wajar dengan mempertimbangkan sifat keganasan," 
pembunuhan, penculikan, atau serangan lain yang disengaja terhadap orang 
atau kebebasan orang yang dilindungi secara intemasional, serangan ganas 
terhadap kompleks resmi, tempat tinggal pribadi, atau sarana transportasi
orang tersebut; serangan atau upaya untuk melakukan serangan tersebut;
dan tindakan yang "tergolong berpartisipasi
sebagai pembantu ;"
- mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi 
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum;
- mengharukskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan 
dengan pros1dmg p1dana yang dinyatakan dalam Konvensi.
6. Convention. on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi 
tentang. Perhndungan Fisik terhadap Bahan Nuklir) (Konvensi Bahan Nuklir, 
d1setuJu1 pada 10/79-memerangi pengambilan dan penggunaan bahan nukir
secara melawan hukum):
- mempidana pemilikan, penggunaan, transfer, dll. yang dilakukan secara 
melawan hukum, yang menyangkut bahan nuklir, pencurian bahan nuklir, 
dan ancaman untuk menggunakan bahan nuklir untuk menyebabkan
kematian atau cedera parah pada orang atau kerusakan parah pada 
property
- mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi 
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum;
- mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan 
pros,dmg prdana yang dinyatakan dalam Konvensi.
7. International Convention Against the Taking of Hostages (Konvensi
lnternasional tentang Penyanderaan) (Konvensi Sandera, disetujui
pada 12/79) :
menyatakan "setiap oranq yang merampas atau menahan dan
mengancam untuk membunuh, mencederai, atau terus menahan orang 
lain untuk memaksa pihak ketiga. yakni suatu negara, organisasi 
antar-neqera internasional, pribadi hukum atau badan hukum, atau 
kelompok orang, untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan 
sebagai kondisi tersurat maupun tersirat untuk pembebasan sandera telah 
melakukan pelanggaran penyanderaan menurut arti dalam Konvensi ini; 
"-mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk 
mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut 
secara hukum;
mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan 
prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi.
8. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports 
Serving International Civil Aviation (Protokol untuk Meredam Tindakan 
Melawan Hukum yang Menyangkut Kekerasan di Bandara yang Melayani 
Penerbangan Sipil lntemasional) (disetujui pada 2/88-memperluas dan
melengkapi Konvensi Montreal):
memperluas provisi Konvensi Montreal (lihat No. 3 di atas) untuk 
mencakup aksi teror di bandara yang melayani penerbangan sipil 
intemasional.
9. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of 
Maritime Navigation (Konvensi untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum 
yang Menyangkut Keselamatan Navigasi Maritim), (disetujui pada 3/88-berlaku 
untuk aksi teror di atas kapal):
menetapkan prosedur hukum yang bisa diberlakukan pada tindakan 
terhadap navigasi maritim intemasional yang serupa dengan prosedur 
hukum yang ditetapkan untuk penerbangan internasional;
termasuk pelanggaran jika ada orang yang secara melawan hukum dan 
secara sengaja merampas atau mengambil alih kontrol atas sebuah kapal 
dengan kekerasan, ancaman, atau intimidasi; melakukan tindakan kekerasan 
terhadap orang di atas kapal jika tindakan itu cenderung membahayakan 
keselamatan navigasi kapal; meletakkan alat atau bahan yang bisa merusak 
di atas kapal; dan tindakan lain yang membahayakan
keselamatan kapal;
mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi 
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum; 
mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan 
presiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi.
10. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed 
Platforms Located on the Continental Shelf (Protokol untuk Meredam 
Tindakan Melawan Hukum yang Menyangkut Keselamatan Platform Tetap 
yang Berlokasi di Dasar Benua) (disetujui pada 3/88-berlaku untuk aksi teror di 
platform tetap di lepas pantai) :
menetapkan prosedur hukum yang bisa diberlakukan pada tindakan terhadap 
platform tetap di dasar benua yang serupa dengan prosedur hukum yang
ditetapkan untuk penerbangan intemasional;
mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi
si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum; 
mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan 
prosiding pidana yang dinyatakan dalam Protokol.
11. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of 
Identification (Konvensi tentang Menandai Bahan Peledak Plastik untuk Maksud 
ldentifikasi) (disetujui pada 3/91--dimaksudkan untuk penandaan secara
kimia untuk memudahkan mendeteksi bahan peledak plastik, mis. untuk 
memerangi sabotase pesawat udara):
(Terdiri atas dua bagian: Konvensi itu sendiri, dan Lampiran Teknis yang 
merupakan bagian terpadu dari Konvensi)
dirancang untuk mengawasi dan membatasi penggunaan bahan peledak 
plastik yang tidak ditandai dan tidak terdeteksi (dibicarakan setelah 
kejadian serangan born pada Pan Am 103);
pihak-pihak wajib dalam wilayahnya masing-masing untuk menjamin 
pengawasan efektif terhadap bahan peledak "tidak bertanda", yakni bahan 
peledak yang tidak mengandung salah satu dari zat pendeteksi yang diuraikan
dalam Lampiran Teknis;
pada dasamya, setiap pihak harus, antara lain : mengambil tindakan yang 
diperlukan dan efektif untuk melarang dan mencegah produksi bahan peledak 
tidak bertanda; mengambil tindakan yang diperlukan dan efektif untuk 
melarang dan mencegah pemindahan bahan peledak tidak bertanda
ke dalam atau keluar dari wilayahnya; mengambil tindakan yang diperlukan
untuk melaksanakan pengawasan yang ketat dan efektif dalam hal pemilikan
dan transfer bahan peledak tidak bertanda yang dibuat atau diimpor sebelum 
pemberlakuan konvensi; mengambil tindakan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua persediaan bahan peledak tidak 
bertanda tersebut yang tidak disimpan oleh militer atau polisi dihancurkan 
atau digunakan, ditandai, atau dibuat menjadi tidak efektif secara 
permanen dalam waktu tiga tahun; mengambil tindakan yang diperlukan 
untuk menjamin bahwa bahan peledak tidak bertanda disimpan oleh 
militer atau polisi dihancurkan atau digunakan, ditandai, atau dibuat menjadi
tidak efektif secara permanen dalam waktu lima belas tahun; dan, mengambil 
tindakan yang diperlukan untuk menjamin penghancuran, secepat mungkin,
bahan peledak tidak bertanda yang diproduksi setelah tanggal pemberlakuan
konvensi untuk negara tersebut.
tidak menciptakan sendiri pelanggaran baru yang bisa mengharuskan 
dilakukannya pemidanaan atau prosedur ekstradisi, meskipun semua negara 
diharuskan menjamin bahwa provisi ini dipatuhi di dalam wilayahnya.
12. International Conventionfor the Suppression of Terrorist Bombing
(Konvensi lntemasional untuk Meredam Serangan Born Teror) (disetujui pada
12/97-rneluaskan kerangka hukurn untuk kerja sama intemasional dalarn 
penyelidikan, pemidanaan, dan ekstradisi pelaku serangan born teror) :
menciptakan prosedur untuk wilayah hukum universal tentang penggunaan
secara melawan hukum dan dengan sengaja bahan peledak dan alat
pembunuh lainnya di dalam, ke dalam, atau terhadap berbagai tempat
umum tertentu dengan niat membunuh atau menyebabkan cedera tubuh 
yang parah, atau dengan niat menyebabkan kerusakan parah tempat
umum;
seperti beberapa konvensi terdahulu tentang orang yang dilindungi dan 
penyanderaan, mengharuskan pihak-pihak untuk mernpidana, menurut 
hukurn mereka sendiri, beberapa jenis tindak pidana tertentu, dan juga 
rnengharuskan pihak-pihak untuk mengekstradisi atau menyerahkan 
untuk dipidana orang yang dituduh melakukan atau mernbantu rnelakukan 
tindak pidana tersebut.
13. InternationalConvention for the Suppression of Terrorist Financing
(Konvensi lntemasional untuk Meredam Pembiayaan Teror) (disetujui pada
12/99 menyediakan kerangka hukum untuk menyelidiki dan mempidana 
mereka yang terfibat dalam pemberian bantuan keuangan untuk terorisme):
• pihak-pihak negara dianjurkan untuk mempertimbangkan mengambil 
tindakan lebih l_anjut, misalnya, untuk menyelia semua badan yang 
melakukan pemmdahan uang dan untuk mendeteksi atau memantau transfer
uang kas yang melintasi perbatasan.
• kerja sama antara pihak-pihak negara dalam pencegahan pelanggaran 
harus dilakukan dengan pertukaran informasi dan berbagai tindakan 
administrasi dan tindakan lain yang dikoordinasikan untuk memperbaiki 
kerja sama penyelidikan.
• ditetapkan bahwa pihak-pihak negara dapat bertukar informasi melalui
International Criminal Police Organization
Konvensi meminta pihak-pihak negara mengambil tindakan untuk melarang 
kegiatan ilegal di wilayahnya yang dilakukan oleh orang atau organisasi yang 
secara sadar menganjurkan, memprakarsai, mengorganisasi atau melakukan 
aksi teror.
14. United Nations Convention against Transnational Organized Crime 
(Konvensi PBB Tentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional} Tahun 2000 
di Palermo, Sisilia, Italia dalam pertemuan selama 3 (tiga) hari tersebut, perwakilan 
dari 124 negara termasuk Indonesia telah menandatangani Konvensi
tersebut. Negara-negara penandatangan berkomitmen untuk 
mengkriminalisasi pencucian uang (money laundering), korupsi (corruption) dan 
pengrusakan terhadap keadilan (obstruction of justice). Kemudian terdapat
3 (tiga) protokol pendukung dalam pemberantasan penyelundupan 
migran/manusia dan perdagangan anak/perempuan, serta pembuatan dan 
penyelundupan senjata api secara illegal.
Semua konvensi ini dimaksudkan untuk meredam aksi teror intemasional 
(meskipun tidak didefiniskan sebagai hal tersebut) dengan menetapkan kerangka 
untuk kerja sama intemasional antar-negara. Konvensi tentang orang yang 
dilindungi, misalnya, mengharuskan negara yang meratifikasinya untuk: "Bekerja 
sama untuk mencegah, di dalam wilayahnya, persiapan serangan terhadap 
orang yang dilindungl secara intemasional di dalam atau di luar wilayah 
mereka; dan bertukar informasi dan mengkoordinasikan tindakan administrasi 
dan tindakan lainnya terhadap serangan tersebut."
Dari beberapa Konvensi lntemasional yang berkaitan dengan pemberantasan 
tindak pidana terorisme tersebut diatas pada tanggal 07 Maret 2006 Pemerintah dan DPR 
telah sepakat untuk meratifikasi 2 (dua) Konvensi lnternasional yang berkaitan dengan 
pemberantasan tindak pidana 1erorisme dan menyetujuinya menjadi Undang￾undang. Konvensi lntemasional yang telah diratifikasi tersebut adalah "Konvensi
lntemasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris Tahun 1997 (International 
Convention for The Suppression of Terrorist Bombings 1997) dan Konvensi 
lntemasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International 
Convention of the Suppression of the financing of Terrorism 1999). Kedua Konvensi 
lntemasional ini sangat bennanfaat bagi Indonesia dalammemerangi kejahatan teroris. Sebagaimana dikatakan Menteri Luar Negeri Indonesia 
Hasan Wirajuda di hadapan anggota DPR, dalam rapat paripuma DPR, dalam 
rangka meratifikasi kedua Konvensi lntemasional tentang terorisme tersebut 
mengatakan bahwa "keberpihakan kita pada kedua konvensi itu akan memudahkan 
kerjasama lntemasional guna memperkuat pranata hukum, kelembagaan, dan kapasitas 
kita memerangi terorisme. Sifat lntemasional dari kejahatan terorisme sudah sangat 
jelas, baik dari sisi organisasi, pelaku, maupun pendanaan. Contohnya peledakan born
di Atrium Senen tahun 2000, otak pelaku born Bali dan Jakarta yang adalah warga
negara Malaysia dengan dukungan dana luar. Sebaliknya, teroris dari Indonesia juga 
ada yang mencari pertindungan dan pelatihan di daerah konflik di Filipina Selatan.
Hanya dengan kerja sama lntemasional yang efektif terorisme dapat diberantas.17
Di dalam pasal 2 Konvensi lntemasional Pemberantasan Pengeboman oleh 
Teroris 1997 dinyatakan bahwa : Setiap orang yang dianggap telah melakukan 
tindak pidana, apabila orang tersebut secara melawan hukum dan sengaja mengirimkan, 
menempatkan, melepaskan, atau meledakkan, suatu bahan peledak atau alat
mematikan lainnya di, ke dalam, atau terhadap tempat umum, fasilitas negara atau
pemerintah, sistem transportasi masyarakat, atau fasilitas infrastruktur yang dilakukan 
dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, Iuka berat, atau dengan tujuan untuk
menghancurkan tempat, fasilitas atau sistem yang mengakibatkan kerugian ekonomi
yang besar. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang yang melakukan percobaan atas
tindak pidana tersebut dan bagi mereka yang turut serta dalam terjadinya tindak 
pidana tersebut. Dalam pasal 6 dinyatakan bahwa : Setiap negara pihak wajib
mengambil upaya yang mungkin perlu, termasuk, apabila diperlukan, mengesahkan
peraturan nasional, untuk menjamin bahwa tindakan kejahatan dalam ruang lingkup
Konvensi ini tidak termasuk hal yang dapat dibenarkan dengan pertimbangan politis, 
filosofis, idiologis, ras, etnis, agama atau hal lain yang sifatnya sama dan dijatuhi 
hukuman yang sesuai beratnya kejahatan. Selanjutnya dalam pasal 6 menyatakan 
tentang Yurisdiksi : "Tindak pidana dilakukan dalam negara pihak d iatas kapal laut
atau pesawat terbang berbendera negara tersebut atau terdaftar di negara tersebut 
pada saat tindak pidana dilakukan, dan apabila tindak pidana tersebut dilakukan 
oleh warga negara dari negara tersebut. Negara pihak juga memiliki yurisdiksi 
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap warga negaranya, fasilitas negara 
atau pemerintahan negara tersebut di
luar negeri.
Untuk Konvensi lntemasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 
dalam pasal 2 (dua) dinyatakan bahwa : Setiap orang dianggap telah melakukan 
tindak pidana apabila orang tersebut secara langsung atau tidak langsung, secara
melawan hokum dan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana 
dengan niat akan digunakan atau dengan sepengetahuannya akan digunakan, 
secara keseluruhan atau sebagian, untuk melakukan tindakan yang dapat menimbulkan 
suatu akibat yang tercakup dan dirumuskan dalam salah satu Konvensi yang
tercantum dalam lampiran. Konvensi juga menetapkan tindakan lain yang ditujukan
untuk menyebabkan kematian atau Iuka berat terhadap warga negara sipil atau orang
lain yang tidak secara aktif ikut serta dalam dalam konflik bersenjata. Tindakan itu 
bermaksud, dengan sengaja, untuk mengintimidasi sejumlah orang. untuk memaksa 
pemerintah atau organisasi intemasional untuk melakukan atau tidak melakukan. 
Pasal 8 : "Mengatur kewajiban negara pihak untuk mengidentifikasi, mendeteksi, dan
membekukan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dana 
tersebut selanjutnya dapat dirampas negara sesuai dengan hukum nasional. Pasal 9
: "Mengatur kewajiban negara pihak untuk melakukan penahanan terhadap tersangka 
pelaku tindak pidana untuk tujuan penuntutan atau ekstradisi setelah memiliki bukti
penahanan yang cukup.
Sebagai implementasi yang utama dalam semua konvensi ini adalah bahwa 
adanya kewajiban yang jelas kepada negara-negara yang ikut meratifikasi untuk 
menangkap tersangka pelaku dalam wilayah mereka; dan mengekstradisi si 
tersangka atau menyerahkan kasus tersebut kepada negara si tersangka untuk 
mengadilinya.
Dunia lntemasional mengutuk kejahatan terorisme dan sudah banyak pelaku 
kejahatan terorisme dijatuhi hukuman di berbagai negara, akan tetapi kejahatan terorisme 
ini tiap tahun semakin bertambah baik kwalitas maupun kwantitasnya di seluruh dunia
bahkan dengan "kecenderungan melakukan serangan born bunuh diri" yang
mengakibatkan korban meninggal dunia dalam jumlah yang sangat besar. Oleh sebab 
itu untuk mengatasi terorisme selain dengan cara-cara melalui penegakkan hukum
cara lain yang juga dianggap paling efektif dalam melawan terorisme adalah dengan
menyebarkan ajaran toleransi antar manusia dan Dunia lntemasional harus bekerja 
sama menemukan akar masalah yang memicu timbulnya aksi terorisme di seluruh
dunia.
 keberhasilan penanganan perkara tindak pidana teroris 
tidak terlepas dari proses legislasi.
Kemajuan llmu Pengetahuan dan Teknologi, serta Teknologi lnformasi, telah 
digunakan pelaku kejahatan untuk melaksanakan tindakan mereka, sehingga dapat 
dinyatakan bahwa semakin majunya tingkat IPTEK berbarengan pula dengan kemajuan
dan kwalitas kejahatan tersebut, dengan kata lain kemajuan llmu pengetahuan dan 
teknologi telah digunakan menjadi sarana untuk melakukankejahatan secara canggih, terrnasuk dalam kejahatan terorisme. KUHP kita sudah 
ketinggalan jaman, dan tidak mampu sebagai perangkat hukum untuk menanggulangi 
kejahatan-kejahatan terorganisir yang muncul sekarang ini, meskipun masih mampu 
menanggulangi kejahatan-kejahatan konvensional. Namun untuk kejahatan terorganisir
(organized Crime), Transnational Crime, Kejahatan Teroris, Perdagangan manusia,
Pencucian Uang, Kejahatan Perbankan, kejahatan korporasi, tidak ada diatur dalam
KUHP kita. Untuk tindak pidana tertentu Kita mempunyai perangkat UU yang tersebardi 
luar KUHP.
Untuk kejahatan tindak pidana teroris adalah kejahatan yang baru masuk 
dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, yaitu sejak terjadinya 
Born Bali pada tahun 2002. Sementara di negara-negara lain perkara kejahatan 
teroris sudah lama masuk dalam perundang-undangan nasional negara tersebut.
Sekitar tahun 1967 - 1970 an negara Perancis sudah mempunyai
undang-undang khusus tentang teroris, kemudian pada tahun 1986 Pemerintah
Perancis memasukkan kembali "tindak kejahatan teroris" dalam hukum Pidana Perancis
(Code Penal) sebagai delik dan di Kejaksaan didirikan seksi khusus teror termasuk 
di bentuknya spesialisasi hakim-hakim teroris di Pengadilan. Undang￾undang teroris tahun 1986 di Perancis di perkuat lagi oleh UU teroris tahun
1996. UU ini dianggap penting karena UU tahun 1996 ini UU yang dibentuk secara 
khusus untuk melawan teroris. Dalam UU teroris ini dimasukkan untuk pertama 
kalinya "permufakatan jahat sebagai delik. Bahwa manfaat yang sangat dirasakan
setelah adanya perubahan UU teroris yang lama menjadi UU teroris yang baru tahun
1996 ini adalah bahwa temyata 26 (dua puluh enam) serangan-serangan yang 
direncanakan oleh organisasi teroris untuk mem BOM kota-kota di Perancis dapat
terungkap dan pelakunya dapat diadili. Kemudian Pemerintah dan Parlemen 
Perancis kembali pada tahun 2001 membuat UU Khusus tentang pendanaan dan 
sel-sel teroris. Terakhir pada bulan November 2005 ini Perancis sedang merevisi kembali 
Undang-undang teroris untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada
pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan teroris.
Terhadap masalah kejahatan teroris di Perancis disebutkan bahwa penyusunan
hukum acara pidana sangat membantu dalam perang melawan teroris
dan penyesuaian Undang-undang terhadap ancaman teroris selalu dilakukan di Perancis.
Jaksa-jaksa teroris adalah jaksa nasional yang berkedudukan di Paris demikian juga
Hakim-hakim penyidik teroris dan Hakim-hakim majelis berada berkedudukan di Paris.
Hakim-hakim teroris ditetapkan hanya 7 (tujuh ) orang dan berkedudukan di Paris 
dengan tugas mengadili perkara-perkara teroris. Hakim-hakim teroris ini mempunyai 
Jurisdiksi Nasional dan pada setiap tingkatan pengadilan, proses persidangan 
berjalan secara independen. Hakim penyidik yang melakukan penyidikan terhadap
perkara teroris dicari hakim-hakim yang sudah berpengalaman dan mempunyai 
pengetahuan yang luas tentang teroris dan jaringannya serta carakerja organisasi teroris. Kejahatan Terortsme adalah kejahatan yang paling serius di 
Perancis untuk kejahatan teroris ada 7 (tujuh) orang Hakim yang mengadilinya dan di 
adili di Pengadilan Paris atau yang dikenal dengan sebutan Cour D'assisses. Korban 
akibat kejahatan teroris biasanya mendapat biaya penggantian ganti rugi dari
Pemerintah Perancis.
Keberhasilan negara Perancis dalam menangani perkara tindak pidana 
terorisme adalah adanya dukungan dari Parlemen Perancis dalam proses legislasi, 
dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Perancis 
untuk melakukan segala upaya penegakan hukum dalam perang melawan teroris. 
Apabila kita melihat keberhasilan Pemerintah Perancis dalam memerangi kejahatan 
teroris tersebut, tentunya Pemerintah Indonesia juga bisa menggunakan gagasan 
untuk mendapatkan dukungan dari Parlemen, agar diberikan dukungan melalui 
proses legislasi untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah 
dalam memerangi kejahatan teroris tersebut .
Kelihatannya saat ini, dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah 
RI mendapat dukungan politik yang kuat dari DPR, dukungan tersebut termasuk 
dibidang legislasi, sekalipun dikatakan bahwa "jika proses legislasi itu adalah suatu