teroris 2

Rabu, 16 Agustus 2023

teroris 2


suatu
proses politik maka tidaklah dapat dipungkiri bahwa proses legislasi
tersebut tidaklah steril dari berbagai kepentingan politik 1a. akan tetapi DPR dan
Pemerintah RI mempunyai sikap dan visi yang sama dan mempunyai kepentingan 
politik yang sama dalam memerangi kejahatan terorisme. Dukungan dari 
Fraksi-fraksi di DPR kepada Pemerintah RI, terbukti dalam rapat Paripuma DPR 
tanggal 07 Maret 2006, Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk meratifikasi 2
{dua) Konvensi lntemasional yang berkaltan dengan pemberantasan tindak pidana
terorisme dan menyetujuinya menjadi Undang-undang. Konvensi lntemasional yang 
telah diratifikasi tersebut adalah "Konvensl lntemasional Pemberantasan Pengeboman 
oleh Teroris Tahun 1997 (International Convention for The Suppression of Terrorist 
Bombings 1997) dan Konvensi lntemasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Tahun 1999 (International Convention of the Suppression of the financing of
Terrorism 1999). Dengan meratifikasi kedua Konvensi lntemasional tentang 
pemberantasan Teroris ini Pemerintah dan Pengadilan semakin kokoh dalam upaya
penegakkan hukum, karena kita semakin mempermudah akses Indonesia (POLRI,
KEJAKSAAN AGUNG) dan Pengadilan Indonesia ke dunia lntemasional, baik itu dalam
pengumpulan alat-alat bukti maupun pertukaran informasi yang berkaitan dengan
kegiatan terorisme domestik maupun terorisme lntemasional.
Memang sampai sekarang PERPU Teroris No.1 Tahun 2002 Pemberantasan
Terorisme Jo Undang-undang Tentang Pemberantasan Terorisme No.15 Tahun
2003, · masih mampu digunakan untuk menangani tindak pidana teroris, akan tetapi 
karena kejahatan teroris, sangat terorganisir dengan rapi, mempunyai jaringan 
lntemasional yang kuat, memiliki dana yang sangat besar, yang dalam 
melaksanakan operasinya kelompok teroris selalu menggunakan "teknologi Hitech". 
Sehingga sangat dibutuhkan dukungan dan kerjasama lntemasional dalam 
penanganannya dan ini sangat membantu POLRI. Sebaiknya Polri perlu diberikan 
kewenangan yang luas, dalam hal yang berkaitan dengan tugasnya untuk 
melakukan penyelidikan, penyidikan dan dalam rangka membongkar jaringan teroris 
yang beroperasi di Indonesia. Sehingga dengan di ratifikasinya kedua Konvensi 
lntemasional tersebut menjadi UU, maka semakin kuat posisi Pemerintah (POLRI) 
untuk memerangi kejahatan teroris dengan dukungan kerjasama lntemasional.
Meskipun Pemerintah telah meratifikasi kedua Konvensi lntemasional tersebut, 
masih sangat diperlukan adanya perbaikan terhadap hukum acara pidana kita, sementara
kita telah meratifikasi 2 (dua) Konvensi lntemasional, akan tetapi hukum acara pidana
kita telah ketinggalan dalam merespon hadimya kejahatan terorganisir dan
Transnational Crime.


Negara Amerika Serikat secara resmi mengumumkan perang terhadap teroris 
di seluruh dunia dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling aktif 
menggalang dukungan lntemasional untuk memerangi kejahatan terorisme. 
Cara-cara Amerika Serikat melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan teroris 
dengan menerapkan cara-cara tindakan militer dan semua teroris ditahan di kamp 
penahanan militer seperti di Kamp militer Guantanamo Kuba. Saat ini sedang 
berlangsung persidangan kejahatan terorisme di Amerika Serikat yang mengadili 
terdakwa yang terlibat dalam Kejatan terorisme yang menabrakkan dua pesawat Jet 
Boing berbadan lebar ke gedung WTC di New York pada tanggal
11 September 2001.
Sementara Indonesia dan negara-negara lainnya di dunia pada juga telah 
melakukan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme. Pengadilan 
Negeri di seluruh Indonesia telah banyak menyelesaikan perkara tindak pidana 
terorisme dan menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. Melalui 
proses persidangan ini sudah banyak teroris yang di hukum di Indonesia. Langkah 
Pemerintah Indonesia menumpas kejahatan teroris melalui proses hukum adalah cara 
yang terbaik, akan tetapi perlu adanya kesiapan aparat penegak hukum terutama polisi,
jaksa dan hakim untuk mengantisipasi pelaku kejahatan teroris yang semakin pintar dengan berusaha melakukan gerakan tutup mulut seperti yang terjadi 
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Para terdakwa teroris di Indonesia sudah 
terlatih untuk menghadapi persidangan, hampir semua terdakwa dan saksi perkara 
teroris mencabut keterangannya dalam persidangan. Oleh karena itu penuntut umum 
harus membuat surat dakwaan yang baik agar terdakwa teroris tidak bisa lolos 
hanya karena adanya kelemahan dalam surat dakwaan. Disamping itu keberhasilan 
penyelesaian perkara tindak pidana teroris juga tidak terlepas dari peranan penuntut 
umum dalam membuat surat dakwaan yang baik dan kemampuan penuntut umum 
membuktikan kesalahan terdakwa. Demikian jug a kiranya hakim dapat menerapkan 
hukum yang tepat terhadap para terdakwa teroris tersebut.






Rentetan aksi-aksi teror yang dilakukan di Indonesia maupun dibelahan dunia 
lainnya, telah menjadikan kesadaran global akan pentingnya kerjasama intemasional 
dalam memerangi terorisme dengan berbagai motif dan latar belakang tujuannya. 
Teror sendiri merupakan satu fenomena yang telah hidup disepanjang peradaban 
manusia. Bahwa tindakan untuk mengintimidasi, kekerasan, hingga penghancuran 
dengan tujuan untuk membuat ketakutan sebagai langkah-langkah taktis/ strategi 
dalam mencapai kekuasaan/ tujuan tertentu/ menjadi keyakinan tertentu, telah 
dipraktikkan sebelum terorisme itu sendiri dikenal sebagai konsep kejahatan. Telah 
menjadi konsensus masyarakat dunia bahwa kini terorisme digolongkan sebagai 
tindak kejahatan yang menghancurkan peradaban dan mengingkari nilai-nilai 
kemanusiaan. Untuk itu menjadi wajar jika terorisme lekat dengan konotasi yang 
buruk/ negatif (peyoratif).
Peristiwa-peristiwa teror dan kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam 
beberapa tahun terakhir, mendorong dibentuknya Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, 
yang selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-undang melalui Undang• undang
Nomor 15 tahun 2002.1 Dengan berlakunya perangkat peraturan perundang• undangan
yang mengatur hukum materiil dan formil secara khusus dalam rangka menangkal
tindak terorisme tersebut, beberapa tindak terorisme yang terjadi di Indonesia dapat
diungkap dan telah diajukan ke pengadilan.
Memang terorisme identik dengan kekerasan politik meskipun tidak semua 
tindakan teror bermuatan politis. Terorisme lekat dengan kekerasan politik karena 
memiliki corak tindakan yang menimbulkan rasa takuU terancam sampai dengan 
mengunakan pembunuhan bahkan penghancuran secara sistematis sebagai sarana 
untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu umumnya korban yang jatuh bukanlah 
menjadi tujuan langsung, namun sebagai sarana untuk menciptakan perang urat 
syaraf atau publisitas.Terorisme memiliki karakeristik yang spesifik yakni karakter kejahatannya yang 
menyerang peradaban manusia yang dibangun atas dasar perdamaian dan anti 
kekerasan. Untuk itulah kejahatan terorisme merupakan ancaman serius bagi keamanan 
dan ketentraman publik serta mengancam perdamaian dunia. Terkait dengan karakter 
kejahatan terorisme tersebut diperlukan pengetahuan terhadap kejahatan terorisme baik 
dari segi konseptual maupun pemahaman atas hukum normatif yang mengatumya. 
Naskah yang disusun ini merupakan pengantar untuk memahami kejahatan terorisme
khususnya segi-segi mengenai konsep terorisme, sejarahnya, dan bagaimana
perkembangannya sehingga menjadi kejahatan yang menjadi musuh peradaban
manusia.
B. Terorisme dalam Kilasan Sejarah
Dari kacamata sejarah, tercatat terorisme sendiri lebih tua umumya daripada 
negara-bangsa modern saat ini. Terorisme sebagai gejala kekerasan berkembang 
seiring dengan usia peradaban manusia. Catalan sejarah menunjukkan bahwa di 
jaman Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM) menguraikan mengenai manfaat dan 
efektifitas perang urat syaraf untuk menimbulkan rasa takut musuh. Bahkan ahli 
strategi perang Sien Tzu secara implisit mengarahkan konsep terror dalam startegi 
perangnya dengan konsep "bunuh satu, sepuluh ribu ketakutan". Terkait dengan relevansi
bahasan mengenai format terorisme saat ini, maka perlu diuraikan konteks kesejarahan
terorisme. Jika dikaitkan dengan bentuk terorisme yang saat ini tengah menjadi 
perhatian public maka dari segi kesejarahan terorisme dapat dibagi dalam dua besaran 
rentang waktu, yakni : pertama bagian sejarah awal terorisme yang terbagi atas tiga
bagian, yakni terorime dapat dilacak dari terror dijaman kuno yakni abad 1-14 M,
awal terbentuknya terorisme pada abad 14 -18, dan perkembangan terorisme pada
fase era modem di abad 19 M. Kedua, terorisme pada abad 20, yang terdiri dari beberapa
babak yaitu; diawal abad 20, masa kebangkitan nasionalisme, masa perang dunia ke II, 
masa perkembangan perang dingin, dan masa intemasionalisasi dari terorisme. 2
Terorisme dijaman kuno, abad 1 - 14 mencatat pada awalnya diketahui satu 
kegiatan yang menunjukkan beberapa aspek dari pengorganisasian teroris modem 
adalah Zealot-Sicarri, kelompok teroris Yahudi, di Judea pada jaman kekaisaran Romawi.
Sicarri (atau manusia belati), merupakan kampanye bawah tanah untuk merespon
pendudukan pasukan Romawi, dengan melakukan pembunuhan warga yang
menimbulkan rasa panik luar biasa. Pada akhimya kelompok Zealott terbuka
kedoknya, setelah dikepung dan berusaha bertahan kelompok ini melakukan bunuh 
diri masal. Selain Zealot terdapat kelompok Assassin (akhir abad 13) yang Juga 
diketahui menunjukkan karakterstik terorisme sebagaimana dikenal saat ini. Faksi 
yang terpecah dari Islam Syiah, yang disebut kelompok Nizari Ismail (pimpina~nya 
adalah Hassam I Sabbah) menggunakan taktik dengan membunuh p1mpinan• 
pimpinan kelompok yang menjadi musuh/ rivalnya (kelompok Suni di jazirah Arab). 
Taktiknya adalah dengan mengirim satu orang pembunuh yang siap mati untuk 
menjalankan misi membunuh pimpinan kunci dari kelompok musuh. Biasanya pembunuh 
menunggu dekat dengan korbannya dan disaat yang tepat sasaran dibunuh atau 
disandera, hal tersebut tentunya menimbulkan perasaan ketakutan yang luar biasa 
dan ketakjuban atas kenekatan pelaku dari para musuhnya. Meskipun keduanya
(Zealot dan Assasin) beroperasi dijaman kuno namun aksi yang dilakukannya sangat 
relevan dengan aksi terorisme saat ini. Pertama, sebagai pelopor dari teroris 
modem dalam aspek motivasi, organisasi, sasaran, dan tujuannya. Kedua,
meskipun secara umum mereka gagal total untuk mencapai tujuannya, faktanya mereka
diingat hingga saat ini, terlebih dampak psikologis hebat yang mereka timbulkan dari
aksi yang dilakukannya.
Abad 14 - 18 menandai fase awal yang menandai kematangan bentuk-bentuk 
aksi teror dan barbarisme sebagai aksi yang lazim dipakai sebagai taktik perang dan 
konflik. Hingga awal kebangkitan negara modern setelah adanya Traktat Westphalia 
di tahun 1648, yang memunculkan kekerasan yang terpusat dan masyarakat yang 
semakin kohesif dengan sistem kekuasaan yang berkembang menjadikan eksistensi 
terorisme semakin menunjukkan pengaruhnya. Ketimpangan komunikasi dan kontrol 
yang makin kuat dari model negara modem dimasa itu mungkin sebagai muasal 
yang mengilhami terorisme (baik yang berlatarbelakang agama, isme/ keyakinan, 
perselisihan antar etnis, dan huru-hara) yang secara khas mendorongnya untuk menjadi
perang terbuka.
Revolusi Perancis adalah yang pertama kali mengunakan kata teroris dan 
terorisme. Kata terror sendiri berasal dari bahasa latin terrere yang memiliki arti 
tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan. Penggunaan kata terorisme 
dimulai pada tahun 1795 dimana menunjukkan satu masa-masa pemerintahan terror 
yang diprakarsai oleh pemerintahan revolusioner hasil Revolusi Perancis (pemerintahan
yang dibangun melalui konsep terror/regime de la terreul}. Anggota• anggota dari 
Komite Keselamatan Publik (Committee of Public Safety) dan Permusyawaratan
Nasional (National Convention) memberlakukan kebijakan• kebijakan "terror" yang
ditujukan bagi orang-orang yang digolongkan sebagai teroris. Revolusi Perancis
menunjukkan satu contoh gambaran dimasa depan tentang bagaimana negara menekan 
warganya. Tindakan tersebut juga menimbulkan satu reaksi oleh para pendukung 
raja dan penentang lain revolusi yang mana mereka bekerja dengan menggunakan
taktik teroris seperti pembunuhan (assassination) dan
intimidasi untuk melawan badan-badan pendukung revolusi. Dalam masa-masa 
tersebut (sebelum, selama, dan sesudah revolusi), terjadi banyak tindakan ekstra 
legal seperti pembunuhan-pembunuhan termasuk terhadap pejabat-pejabat kunci 
pemerintahan dan aristokrat yang sangat keji jauh sebelum guillontine pertama kali 
digunakan.
Memasuki era modem tepatnya di akhir abad 19, teori-teori politik radikal dan 
kemajuan dalam teknologi persenjataan mendorong kelompok-kelompok kecil (small 
groups) yang revolusioner dapat melancarkan serangan secara lebih efektif pada 
negara. Perkembangan ideology politik radikal mulai berkecambah dalam Kranah gerakan 
politik, seperti anarkisme. Terkait dengan terorisme, para penganut anarki 
mempercayai bahwa langkah-langkah propaganda merupakan awal kunci suksesnya 
perjuangan, seperti melakukan usaha-usaha pembunuhan terhadap kepala negara 
dari Rusia, Perancis, Spanyol, ltali, hingga Amerika Serikat. Namun kebuntuan 
pengorganisasian dan kebingungan untuk bekerja sama dengan gerakan sosial lain 
membuat kelompok anarkis tidak efektif sebagai satu gerakan politik. Sebaliknya, 
peran komunisme sebagai satu ideologi yang didasarkan pada terorisme politis 
tengah berkembang, dan semakin berkembang secara signifikan pada abad 20. 
Kecenderungan lain diakhir abad 19 adalah tumbuhnya arus nasionalisme yang 
menggejala keseluruh dunia, yang mengkombinasikan suatu bangsa (sebagai 
identitas dari suatu masyarakat) dan politik negara. Satu negara dimulai dengan 
adanya dorongan pencarian identitas nasional, dan salah satu contoh terbaik mengenai 
konflik nasionalisme yang saat ini belum juga terpecahkan dari abad keabad adalah
perjuangan kaum nasionalis lrlandia. Nasionalisme, seperti halnya komunisme, bergerak
menjadi ideologi yang semakin besar pada abad 20.
Sebagai contoh organisasi teroris di abad 19 adalah Narodya Volya (berarti 
kehendak rakyat) yang dipimpin oleh Mikhail Bukanin. Organisasi ini menggunakan 
cara-cara terror untuk melawan kekuasaan Tsar Alexander II di Rusia, dengan 
melakukan aksi terror terhadap elit penguasa Rusia (dengan pembunuhan￾pembunuhan orang-orang dilingkaran dalam Tsar Rusia} untuk memprakondisikan
terjadinya revolusi. Puncaknya Tsar Alexander II terbunuh dalam revolusi Rus1a. 
Dalam periode ini untuk pertama kalinya dapat dilihat banyak sifat yang melekat 
dalam terorisme (modem), seperti : klandestein, organisasi sel, keengganan dan
ketidakmauan untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian konstituen sebagai 
perwakilan dalam ranah politik formal, dan kecenderungan untuk memompa tingkat 
kekerasan sebagai bentuk tekanan pada kelompok musuh.
Dipertengahan awal abad 20 kita melihat dua peristiwa besar yang berpengaruh 
pada watak asal dari konflik yang terjadi hingga saat ini. Dua moment penting itu 
adalah dua perang dunia yang mengobarkan nafsu perang semua bangsa berikut 
bangkitnya nasionalisme diseluruh penjuru dunia, dan kerusakan
yang parah akibat perang dunia itu membawa pada keabsahaan pemerintahan baru 
dibanyak negara (negara-negara baru merdeka/ terlepas dari penjajahan). dengan 
tatanan intemasional baru.
Nasionalisme semakin menghebat pengaruhnya keseluruh penjuru dunia 
selama awal abad 20. Nasionalisme menjadi satu kekuatan yang sangat luar biasa 
untuk menjadikan rakyat terjajah melawan kekuasaan kolonialis diberbagai belahan 
dunia. Kekuatan nasionalis menjadi satu titik kunci terpenting dalam perlawanan 
rakyat hingga perebutan kekuasaan dari kolonialis, dimana terkadang harus berakhir 
dengan perang terbuka. Selanjutnya secara bertahap konsep mengenai negara bangsa
berkembang dengan tidak membatasi diri dari aspek konsep ras dan etnis, dalam hal
ini sejalan dengan perkembangan dari politik intemasional yang sangat mendukung 
konsep tersebut. Perkembangan konsep negara bangsa itu menimbulkan reaksi,
dalam beberapa kasus anggota dari kelompok etnis merasa disingkirkan 
eksistensinya oleh kelompok lain, hingga pecahlah konflik yang berujung pada
separatisme. Separatisme inilah yang kemudian menjadi pilihan salah satu bentuk
perjuangan untuk mewujudkan ambisi nasionalis dari kelompok etnis yang merasa 
dirugikan dengan system yang ada. Beberapa kelompok itu memilih terror sebagai
metode untuk menjalankan perjuangannya serta menciptakan situasi agar dunia
mengetahui eksistensi dan bersimpati kepada perjuangannya. Sebagai contoh dari
kasus ini adalah yang terjadi di Eropa, yakni kelompok lrlandia (misalnya pada tahun 
1867 telah mulai berkembang Irish Republican Brotherhood, sebuah kelompok
revolusioner nasionalis dengan dukungan dari Irish-Americans) dan Macedonia (IMRO
I Internal Macedonian Revolutionary Organization dan EMRO/ External Macedonian 
Revolutionary Organization) yang menempatkan kampanye teroris sebagai bagian
dari perjuangan yang dijalankan untuk mewujudkan kemerdekaan. Seisin itu pada
tahun 1915 muncul pula satu reinkranasi kelompok yang mengusung suatu doktrin
supremasi kulit putih di Amerika, Ku Klux Klan, yang menggunakan taktik teroris untuk 
memperlihatkan eksistensi dan cita-cita kelompoknya.
Di abad 20 pula dunia menyaksikan terjadinya perang total dilakukan oleh 
semua pihak yang terlibat dengan Perang Dunia II dimana situasi perang itu 
menjustifikasi semua orang dapat melakukan kekerasan dan terror sebagai hal yang 
mutlak dari hukum perang itu sendiri. Kekerasan yang telah terjadi dalam Perang 
Dunia I semakin terakselerasi selama Perang Dunia II. lntensitas konflik diantara 
ideologi yang mutlak bertentangan itu membawa akibat bagi semua pihak yang 
terlibat didalamnya. Senjata-senjata baru dan strategi perang juga ditujukan kepada 
populasi penduduk sipil musuh untuk merusak sendi-sendi ekonomi dan untuk 
memberikan tekanan bahwa penduduk sipil pun akan mengalami hal yang sama 
dengan resiko yang dimiliki setiap kombatan. Hampir semua pihak yang bertikai 
dalam perang dunia mendukung partisannya untuk melakukan perlawanan denganmenggunakan taktik teroris. lni menunjukkan bahwa penduduk sipil pun sah 
dijadikan target, meskipun berbagai aturan/ hukum perang melarangnya.
Dengan usainya Perang Dunia II, tatanan dunia bipolar yang diakibatkan 
adanya perang dingin mengubah persepsi dan konfigurasi konflik diseluruh dunia. 
Dalam masa ini muncul konfrontasi-konfrontasi dalam lingkup yang terbatas diantara 
dua kekuatan namun pada akhimya tidak mencapai eskalasinya dalam perang nuklir 
yang sebenamya. Pada masa ini terorisme berkembang lebih banyak dalam 
berbagai pilihan-pilihan taktiknya, dimana hal ini terlihat pada taktik-taktik yang 
diterapkan oleh pemberontak nasionalis dan berbagai revolusi yang terjadi. 
Terorisme dalam hal ini digunakan pula sebagai salah satu taktik, pada saat 
terorisme akan terlibat dalam satu kerangka besar gerakan yang berjalin dengan 
tindakan-tindakan politik, social, dan militer. Di Vietnam misalnya, gerakan bawah 
tanah Viet Minh menggunakan terror untuk menghancurkan moral Perancis, dimana 
pejuang-pejuang Viet Minh melakukan aksi-aksi pemboman dipusat-pusat keramaian
I fasilitas umum sebagai target serta melakukan pembunuhan-pembunuhan secara
kejam perwira-perwira tentara Perancis. Di Aljazair metode teror juga dilakukan oleh 
para pejuang kemerdekaan dari Front Nasional Pembebasan nasional melawan 
Perancis hingga pemerintahan kolonialis itu kolaps pada tahun 1962, dan Aljazair 
lahir menjadi negara merdeka. Seringkali pula terorisme mendominasi atas aspek￾aspek yang lain dari perjuangan kaum nasionalis, seperti pada perjuangan rakyat 
Palestina dalam melawan Israel yang mengkombinasikan dengan aktivitas lainnya 
(diplomasi politik misalnya). Dalam perang dingin itu pula Uni Soviet menyediakan 
secara langsung atau tidak langsung bantuan agi gerakan-gerakan revolusioner 
diseluruh dunia. Banyak dari gerakan anti kolonialisme bekerjasama dengan 
kelompok ekstrim revolusioner sebagaimana yang ditunjukkan oleh pejuang 
komunis, selain itu para pimpinan pejuang pembebasan nasional banyak yang 
mendapatkan senjata dan pelatihan gratis. Terdapat pula organisasi dan individu￾individu yang menggunakan terorisme untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan 
militer. Kebijakan Uni Soviet untuk mendukung perjuangan revolusioner berlangsung 
dimana-mana, seperti mengeksport gerakan revolusi pada negara-negara 
non komunis dan menyediakan ekstrimis-ekstrimis yang mau melakukan kekerasan
dan terror.
Masa terorisme modem dapat dikatakan dimulai pada tahun 1968, saat 
Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) membajak sebuah pesawat El 
Air rute dari Tel Aviv menuju Roma. Momentum tersebut memulai era 
intemasionalisasi terorisme. Pertama kalinya alat transportasi nasional (pesawat 
yang dimiliki maskapai penerbangan Israel) yang menjadi suatu symbol dari nilai￾nilai yang secara spesifik ditunjukkan dari tujuan operasi teroris. Untuk pertama 
kalinya juga sasaran teroris menggunakan penumpang sebagai sandera dan alat 
untuk membuat publisitas melawan pemerintahan Israel. Kombinasi yang uniktersebut, menunjukkan suatu lingkup intemasional dari operasi teroris yang 
dilakukan, termasuk menjadikan aksi tersebut mendapatkan perhatian yang signifikan
dari media massa. Pendiri PFLP, Dr George Habash, dalam observasinya diakui bahwa
tingkat cakupan aksi dan respon public secara ekstrim meningkat dibandingkan 
daripada perang melawan tentara Israel di wilayah operasinya. "Bahwa pada 
akhimya dunia membicarakan kami sekarang". Kelompok Palestina juga menarik 
perhatian dunia sehingga PBB (melalui Sekjennya waktu itu adalah Kurl Waldheim)
merespon dengan langkah-langkah khusus atas aksi penyanderaan atlet Israel pada
Olimpiade Munich Jerman pada tahun 1972.
Aspek lainnya dari intemasionalisasi terorisme ini adalah adanya kerjasama 
diantara organisasi-organisasi ekstrim dalam melakukan operasi-operasi terorisnya. 
Kerjasama pelatihan diantara kelompok Palestina dengan kelompok-kelompok 
radikal di Eropa dimulai sejak awal tahun 1970 an dan kerjasama operasi diantara 
PFLP dengan Japanesse Red Anny (JRA) dimulai sejak tahun 1974. Contoh lainnya 
adalah pengiriman ahli-ahli perakit born IRA ke Kolombia. Sejak saat inilah 
kerjasama dari organisasi dan teroris-teroris intemasional melalui pelatihan, operasi 
bersama, dan dukungan lainnya tumbuh berlanjut dan terus berlangsung hingga saat 
ini. Terkait dengan latar belakang motif ideologis, sejak tahun 1970 an mulai muncul 
aliansi kelompok-kelompok Marxis Eropa Barat termasuk dalam dukungan 
pembiayaannya. Kelompok-kelompok Tentara Merah di Jerman (the Gennan Red 
Anny Faction/ RAF dikenal sebagai Baader-Meinhof Gangl pimpinan Andreas 
Baader - Ulikrike Meinhof), menebar terror melalui jejaringnya dengan Tentara 
Merah ltali dan Tentara Merah Jepang. Aksi Brigade Merah tersebut yang pemah 
dicatat sebagai salah satu serangan yang memiliki dampak politis besar adalah serangan
pada pertemuan puncak negara-negara penghasil minyak (OPEC) di Wina tahun 1975
dan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Italia Aldo Moro pada tahun
1978.
Paska perang dingin, konstelasi politik dunia yang semula didominasi oleh Blok 
Barat dan Blok Timur berubah drastis dengan tata dunia baru yang makin menglobal, 
dimana batas-batas negara telah dilampaui oleh menguatnya ekspansi tata sosial, 
ekonomi, dan budaya yang mensyaratkan pasar bebas.a Puncak perkembanganterorisme modem paska perang dingin adalah serangan 11 September 2001 pada 
simbol kedigdayaan dan dominasi ekonomi Amerika, World Trade Center. Serangan 
tersebut menandakan bahwa terorisme menjadi metode/ taktik yang dianggap tepat 
dalam situasi tatanan dunia saat ini. Al Qaeda yang mengaku sebagai aktor dibalik 
aksi tersebut, memiliki jaringan diberbagai negara. Dalam ranah teori perang, saat ini 
tengah menjadi diskusi yang cukup menarik, bahwa saat ini tengah berlangsung 
perang dalam generasi keempat. Hal ini tentunya sangat relevan dengan giatnya 
hampir semua negara dibelahan dunia untuk melakukan pemberantasan terhadap 
aksi terorisme, Amerika Serikat sendiri menyatakan sebagai perang melawan terror 
yang dipicu oleh aksi 11 September 2001. Menurut Hammes karakterisktik perang 
generasi keempat adalah menggunakan semua jaringan yang tersedia-politik, ekonomi, 
social, dan militer - untuk menyakinkan pemimpin politik musuh bahwa tujuan 
strategi mereka tidak dapat tercapai atau terlalu mahal untuk diwujudkan. Secara
politik dibangunlah jaringan organisasi transnasional, nasional, atau sub nasional dan 
jaringan-jaringan lainnya untuk menyampaikan pesan kepada sasarannya. Perang 
generasi keempat tidak mencoba untuk menang dalam mengalahkan pasukan militer 
musuh, namun mencegah konfontasi langsung dan sedapat mungkin mencari hasil
maksimal dengan menggunakan material yang ada pada masyarakat yang diserang.4
Uraian yang telah dipaparkan dimaksudkan untuk menegaskan bahwa 
terorisme sendiri bukan merupakan hal baru dalam peradaban manusia, serta 
memberikan deskripsi konkrit perkembangan terorisme untuk menghantarkan pada 
konteks kekinian atas kecenderungan eskalasi kekerasan politik yang meningkat melalui
aksi-aksi teroris dalam decade terakhir ini. Hal lain yang perlu dikemukakan adalah
penekanan mengenai terorisme sebagai metode/ strategi untuk mewujudkan 
keinginan/tujuan suatu kelompok/individu. Bahwa selain terorisme politik yang 
sebagian besar telah diuraiakan pada paparan terdahulu, terdapat pula beberapa tipologi 
terorisme yang pemah dikenali dalam sejarah penggunaan metode kekerasan
dan terror, seperti narcoterrorism di Myanmar dimana terdapat kelompok teroris berlatar
belakang perdagangan narkotika dan obat bius. Terorisme dengan motif balas dendam 
yang jamaknya dilakukan secara individual atau kelompok kecil yang sangat terbatas, seperti yang dilakukan oleh Theodore John Kacynki yang 
melakukan terror born seorang diri selama hampir lima tahun, karena merasa 
kecewa terhadap lembaga riset di universitasnya. Contoh lainnya adalah ~eorr yan~ 
dilakukan sekte keagamaan Aum Shinrikyo, dengan latar belakang keyakman sekte 
tersebut melakukan terror gas beracun di stasiun kereta bawah tanah Tokyo dengan 
dalih merupakan langkah penyelamatan untuk membebaskan manusia dari 
kesengsaraan.5
c. Melihat Karakter Kejahatan; Konsep dan Definisi Terorisme.
Jelas sebenamya terorisme bukanlah hal yang sama sekali baru. Meskipun 
terekam dalam sejarah, terorisme relatif sukar untuk didefinisikan. Lagipula faktual 
sejarah mencatat bahwa terorisme berubah dari waktu ke waktu. Walter Lacquer 
dalam bukunya The Age of Terrrorism menyatakan bahkan tidak mungkin ada 
sebuah definisi yang bisa mencakup ragam terorisme yang pemah muncul dalam 
sejarah.s Lebih lanjut disebutkan Walter Lacquer, lebih dari limapuluh tahun sejak 
tahun 1936, terdapat sebanyak 109 pengertian terorisme yang berbeda yang pemah 
ditulis oleh para pemerhati terorisme. Terdapat paradoks, ketika mengartikan kata 
terror itu sendiri kita bisa jemih memberikan makna terhadap kata tersebut, namun 
ketika kata terror itu ditempatkan untuk mengartikan satu tindakan (acts) atau pelaku 
(actors) dalam satu peristiwa nyata didunia, kenyataannya banyak mendatangkan 
kebimbangan
Untuk mengenal konsep terorisme sebagai suatu kejahatan, maka perlu 
melihat karakter yang terkait dengan tindakan/aksi terorisme. Sebagai salah satu 
contoh kasus yang secara jitu membantu untuk memahami bagaimana logika terror 
bekerja adalah doktrin yang diterapkan pada HSRA (The Hindustan Socialist Republican
Association), mengenai the philosophy of the bomb. Kelompok tersebut telah 
menyakini misi mereka adalah perang sampai akhir dan untuk mewujudkan tujuan
perjuangannya maka dalam doktrin mereka menetapkan bahwa "propaganda tidak saja
hanya melalui tindakan, namun juga propaganda melalui kematan". Untuk itu 
pendekatan yang terbaik untuk memahami terorisme adalah tidak dengan 
mencari jawaban atas "apa yang dimaksud dengan terorisme" tetapi "bagaimana
terorisme bekerja".Konkritnya, dalam melihat konsep terorisme terdapat setidaknya empat ciri 
pokok yang melekat/ identik dengan teronsme.t Pertama, Kekerasan; telah menjadi 
kesepaketan umum bahwa menggunakan/ melibatkan kekerasan maupun ancaman 
kekerasan merupakan karakteristik umum dari terorisme. Meskipun demikian 
karakter kekerasan tersebut tidak serta merta langsung menjadikan setiap kekerasan pasti
terkait dengan terorisme. Banyak tindak kekerasan yang terjadi namun bukan sebagai
tindak terorisme, seperti perang, kerusuhan, kejahatan terorganisasi, kekerasan yang 
berupa penyerangan yang berat terhadap orang lain. Untuk itu kriteria kunci
kekerasan, tidak dapat berdiri sendiri untuk mengindentifikasikan satu kontruksi
sebuah tindakan terorisme.
Kedua, Dampak psikologis dan ketakutan; bahwa dalam terorisme, serangan 
yang dilakukan akan membawa banyak jalan kearah meluasnya kerusakan yang secara 
spesifik menyebabkan dampak psikologis. Suatu tindak terorisme yang
dilakukan hakikatnya adalah merupakan 1 1satu produk" cerminan logika internal dari
setiap orang yang memiliki dampak secara meluas sebagai ketakutan publik. Dalam 
kaitannya dengan dampak psikologis dan ketakutan, maka aksi terorisme hampir
selalu menyerang simbol-simbol nasional untuk memperlihatkan kekuatan mereka 
dan untuk mengoncang dasar-dasar negara dan masyarakat yang mereka musuhi. 
Hal tersebut tentunya akan memberikan akibat negatif terhadap legitimasi suatu 
pemerintahan/negara. Dalam logika teroris ketika legitimasi subyek yang menjadi sasaran 
tersebut meluruh, maka saat itu pula legitimasi yang melekat pada organisasi
teroris dan atau ideologi dibelakangnya makin menguat/ berlimpah.
Ketiga, Dilakukan untuk suatu tujuan politik. Hampir selalu semua serangan 
teroris dilakukan untuk satu tujuan politik yang diyakini oleh para pelaku. Jadi hakikatnya
terorisme adalah suatu taktik politik, Taktik ini jamaknya digunakan ketika pelaku teror
meyakini sudah tidak terdapat lagi cara lain untuk membuat perubahan sesuai dengan
keyakinan yang dianutnya (ideologi atau nilai religi yang diyakininya).
Keempat, Sengaja menyasar pihak yang tidak terlibat pertempuran (non combatan). 
Secara umum dapat diacu mengenai perbedaan mendasar dari maksud dan pilihan 
yang spesifik dari penduduk sipil sebagai target langsung dari aksi teroris. Perlu 
diketahui bahwa sebenamya korban terorisme adalah ditargetkan, namun bukan
karena membahayakan, tetapi karena sasaran korban tersebut memiliki kekhususan 
sebagai simbol, lambang, media, alat, untuk mengirimkan pesan simbolis.
Empat ciri pokok yang dipaparkan tersebut sekaligus telah membatasi lingkup 
bahasan terorisme dalam kacamata kekerasan politis. Karakter terorisme politis 
menurut Paul Wilkinson, adalah : pertama, merupakan intimidasi yang memaksa; 
kedua, memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana 
untuk tujuan tertentu; ketiga, korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan 
perang urat syaraf, "bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang"; keempat, target
aksi terror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas; ke/ima, 
pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal;
keenam, para elaku kebanyakan dimotivasi oleh dealisme yang cukup keras, misalnya
"berjuang demi agama dan kemanuslaan'.? Lebih lanjut Paul Wilkinson membuat suatu
tipologi terorisme yang didasarkan atas tujuan dan ciri aksi teroris,yakni :10
Tabel 1. Tipologi Terorisme Didasarkan pada Tujuan dan Ciri Khas Aksi Teror
Tipe Tujuan Ciri-Ciri
Terorisme 
epifenomenal(terror 
dari bawah
Tan pa tujuan khusus. 
suatu hasil samping 
kekerasan horizontal 
berskala besar
Tak terencana rapi, terjadi 
dalam konteks perjuangan 
yang sengit.
Terorisme 
revolusioner (terror 
dari bawah)
Revolusi atau perubahan 
radikal atas system yang ada
Selalu merukana fenomena 
kelompok, struktur kepemim￾pinan, program ideology, 
konsoirasi, elemen paramiliter
Terorisme 
subrevolusioner 
(terror dari bawah)
Motif politis, menekan 
pemerintah untuk mengu￾bah kebijakan atau hukum, 
perang politis dengan 
kelompok rival, 
menying kirkan pejabat 
tertentu
Dilakukan oleh kelompok kecil,
bias juga individu sulit 
diprediksi, kadang sulit 
dibedakan apakah
psikopatoogis atau krminal.
Terorisme represif Menindas individu atau Berkembang menjadi terror
(terror dari atas/ kelompok (oposisi) yang massa, ada aparat terror, polisi
terorisme negara) tak dikehendaki oleh
penindas (rezim otoriter/ 
totaliter) dengan cara 
likuidasi
rahasia, teknik penganiayaan,
penyebaran rasa cu rig a 
dikalangan rakyat, wahana 
untuk paranoia pemimpin.
Sedangkan tipologi yang didasarkan pada skala aksi dan organisasinya, Paul
Wilkinson membaginya dalam tiga ranah, yakni :
11
Tabel 2. Terorisme Didasarkan pada Skala Aksi dan Organisasi
Terorisme intra nasional Jaringan organisasi dan aksi terbatas oleh territorial
ne ara tertentu
Terorisme intemasional Diarahkan kepada orang-orang dan asset-aset asing, 
diorganisasikan oleh pemerintah atau organisasi yang 
lebih daripada satu negara, bertujuan untuk
mem en aruhi kebi'akan-kebi'akan emerintah asin .
Terorisme transnasional Jaringan global yang mempersiapkan revolusi global 
untuk tatanan dunia baru (bagian dari terorisme
intemasional an rneniadi radikal
The United State National Advis.ory Committee dalam Report of the task Force 
on Disorders and Terrorism tahun 1996 membagi terorisme dalam beberapa tipe, 
yakni ; political terrorism, non political terrorism, quasi terrorism, limited political 
terrorism, dan official terrorism atau state terrorism. Political terrorism merupakan 
bentuk terorisme yang dirancang untuk membuat ketakutan dikalangan masyarakat 
dengan tujuan politik. Memang secara umum terorisme memiliki muatan politik, 
untuk itu terorisme politik ini dominan dan banyak ditemukan dalam berbagai kasus. 
Non political terrorism adalah aksi teroris melalui ancaman kekerasan dan 
kekerasan yang dilakukan diluar motif politik, misalnya dengan tujuan motif ekonomi, 
balas dendam, atau semata-mata kegilaan (madness). Tipe quasi terrorism 
menggambarkan aktivitas criminal dengan memakai metode teror dengan persiapan 
yang rapi dan dirancang serius untuk tujuan tertentu/atau semata-mata didorong 
motif ekonomi. Limited political terrorism adalah terorisme yang jelas memiliki latar 
belakang tujuan politik namun dalam lingkup/skala aksi yang terbatas. Terror tersebut
dilakukan sebagai aksi yang bukan merupakan gerakan untuk meruntuhkan kekuasaan
negara, misalnya pembunuhan tokoh politik. Terakhir adalah official atau
state terrorism yakni aksi terorisme yang dilakukan oleh organisasi atau aparat 
pemerintah, atau mensponsori organisasi-organsasi pelaku terorisme.12
Rama Mani, mengindentifikasi tiga jenis terorisme yang didasarkan pada actor 
atau pelakunya; yakni non state terrorism, state terrorism, dan amphibolous or state￾cum- non state terrorism.13 Non state terrorism dibagi dalam dua tipe yakm self 
determination terrorism yang mana aksi-aksi terorisme umumnya menghendaki 
adanya kemerdekaan, otonomi, atau ekspresi cultural tertentu. Dalam kelompok ini 
dapat dicontohkan Irish Republican Army (IRA), Palestine Liberation Organitation 
(PLO), Liberation Tigers of Tamil Elam (LTTE), Euskadi ta Askatasuna (ETA atau 
Basque Fatherland and Liberty, di Spanyol). Tipe kedua dari non state terrorism 
adalah tipe hate terrorism, dimana didalamya termasuk kelompok￾kelompok ethnocentric, raist, facist, atau beberapa kelompok serupa yang 
melakukan pembakaran, pembunuhan, penangkapan maupun yang disertai pembunuhan 
(lynching), atau aksi kekerasan lainnya terhadap masyarakat umum yang tidak
berdosa atau yang menjadi kambing hitam dikarenakan ras atau identitas kulturalnya. 
Termasuk dalam tipe hate terrorism adalah; Afrikaner Weerstandsbeweging (AWB 
di Afrika Selatan), Kelompok Neo -Nazi di Eropa, kelompok-kelompok kaum 
militant Hindu fundamentalis di India, Union for Total Independence of Angola
(UN/TAJ, Revolutionary United Front (RUF) di Sierra Leone, dan Lord's Resistance
Am1y (LRA) di Uganda.
State terrorism oleh Rama Mani dibagi menjadi dua, yakni national dan extra 
national. National state terrorism terbagi dalam dua bentuk yakni yang disebut 
sebagai proactive terrorism yang menunjuk pada tindakan negar yang memakai aksi• 
aksi teroris untuk menekan kelompok khusus atau populasi tertentu karena
keyakinan politik, ideology, kepercayaan/agama, kebudayaan, ras, atau alasan lain 
yang pada umumnya dianggap membahayakan/atau melawan otoritas negara. 
Seperti perlakukan Turki (dan lrak khsusnya pada jaman Saddam Husein) terhadap 
minoritas Kurdi. Bentuk kedua adalah reactive terrorism menunjuk pada respon 
negara untuk memerangi kelompok gerakan pemberontakan atau kelompok teroris 
lain atau tindakan lain untuk mengamankan penduduk atau otoritas negara dari serangan 
kelompok tersebut. Dicontohkan adalah tindakan pemerintah Spanyol dalam
memerangi ETA, Israel, dan rezim apartheid di Afrika Selatan dahulu.
Extranational state merujuk pada langkah-langkah suatu negara yang mensponsori
terorisme pada kelompok-kelompok dinegara lain baik berupa aktor negara maupun 
aktor bukan negara. Sebagai contoh adalah tindakan pemerintah
Amerika Serikat yang mensponsori kelompok-kelompok untuk melawan 
pemerintahan Sandinista di Nikaragua, Afrika Selatan yang memberikan dukungan 
kepada UNITA untuk melawan pemerintahan Movimento Popular para a Libertacao 
de Angola (MPLA), dan banyaknya kebijakan-kebijakan yang kita saksikan dijaman 
perang dingin yakni adanya persaingan diantara Amerika Serkat dan Uni Soviet 
dalam mensponsori terorisme di Amerika Selatan, Amerika Tengah, Asia serta di 
Eropa Timur.
Tipe ketiga, amphibo/ous or state cum non state terrorism, adalah bentuk dari 
terorisme yang dibangun dari kombinasi dari actor non negara dan actor negara. 
Berkembang setelah berakhimya perang dingin dimana PBB menyebutnya sebagai 
international terrorisme, yang umumnya melakukan ekspansi serangan terhadap 
negara-negara barat. Melalui Resolusi 60 tahun 1994 Majelis Umum menghasilkan 
satu deklarasi "Declaration on Measures to Eliminate International Terrorism" yang 
mengajak kepada warga dunia untuk memberikan perhatian dan negara-negara anggota 
PBB untuk mulai mewaspadai aksi dari terorisme intemasional. Serangan
11 September 2001 menjadi titik balik untuk meredefinisikan terorisme. Al Qaeda 
adalah merupakan bentuk terbaru dari terorisme yang menunjukkan karakter spesifik 
yang belum pemah dijumpai dalam organisasi teroris, karena sifatnya yang tidak 
memiliki format organisasi yang pasti dan rumit (amorphous). Karenanya Al Qaeda 
tidak dapat dikategorikan sebagai non state terrorism, karena adanya kerjasama 
diantara actor negara dan actor non negara melalui jaringan bisnis, dukungan financial, 
dan koneksi kriminal. Karena ambiguitas dan tidak jelasnya aktor yang terlibat serta 
metodenya, dan kombinasi diantara terorisme non negara dan terorisme negara
dengan beragamnya target baik dari tingkat local, nasional, intemasional, dan 
transnasional maka tepatlah bentuk terorisme baru ini disebut sebagai "amphibolous
terrorism" (berwatak amphibi}. Terkait dengan sebab musababnya Rama Mani
menyebutnya setidaknya terdapat tiga akar permasalahan. yakni; kemiskinan dan
keputusasaan (poverty and despairy, kegagalan negara/ pemerintahan yang lemah
atau buruk yang menjadi lahan subur bagi perkembangan terorime (failed states). dan
benturan peradaban. yang dalam konteks saat ini terjadi radikalisasi dari kelompok￾kelompok Islam ekstrim (the clash of civilization)14•
Uraian mengenai pengantar mengenai sejarah, konsep, dan perkembangan 
terorisme telah dipaparkan secara panjang lebar, deskripsi lainnya yang cukup penting
untuk dipaparkan dalam naskah ini adalah bagaimana upaya-upaya pendefinisian dari 
terorisme, bagaimana menjawab konteks terorisme saat ini, khususnya paska peristiwa 
11 September 2001. Bahwa penanganan yang efektifuntuk melawan terorisme adalah bagaimana mendorong kesepahaman mengenai 
pengertian dari terorisme. Tanpa adanya kesepahaman maka bermacam traktat. 
deklarasi, maupun konvensi-konvensi yang ditelah diupayakan penyusunannya akan 
menjadi kurang berguna sebagai rujukan dalam pemberantasan terorisme. Untuk itu 
dalam membuat batasan definitive mengenai terorisme selayaknya dirumuskan 
dalam bentuk peraturan perundang-undangan (dalam ini undang-undangnaws). 
Dalam konteks kekinian lingkup definisi dan rumusan tindak terorisme hendaknya 
mencakup : pertama, pertanggungjawaban hukum (termasuk sanksi hukum/ 
pidananya) atas perbuatan terorisme, kedua, rumusan aksi dengan menggunakan 
metode teroris. ketiga, aspek organisasi kelompok teroris maupun perseorangan. 
keempat, praktik-praktik negara yang mensponsori terorisme, kelima. aktor-aktor lain 
yang terlibat dalam tindak terorisme seperti : pihak yang terlibat pertempuran (dalam 
konteks perang/combatans), angkatan bersenjata, dan perusahaan-perusahaan 
yang dibentuk kaum teroris atau perusahaan yang mendukung pembiayaan 
aksi teroris.15
Beberapa definisi yang dikutip dalam naskah ini diambil dari rumusan￾rumusan yang terdapat pada konvensi ditingkat regional, organisasi-organisasi 
intemasional, maupun badan-badan resmi kenegaraan. Pengutipan ini bertujuan 
untuk memberikan konteks dan gambaran sekaligus mengkaitkannya dengan 
paparan konsep mengenai terorisme yang telah diuraikan sebelumnya.16
Definisi dalam Treaty on Cooperation among the State members of the 
Commonwealth of independent States in Combating Terrorism, 1999 : Terorisme 
adalah tindakan illegal yang diancam hukuman dibawah hukuman pidana yang dilakukan 
dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijkan
oleh penguasa atau moneter penduduk, dan mengambil bentuk :
1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang 
dilindungi hukum
2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan 
obejk materiil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.
3) Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang 
membahayakan bagi masyarakat
4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan 
mengakhiri aktivitas public atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap 
aktivitas tersebut
5) Menyerang perwakilan negara asing atau stat anggota organisasi intemasional 
yang dilindungi secara intemasional, begitu juga tempat-tempat bisnis atau 
kendaraan orang-orang yang dilindungi secara intemasional
6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang• 
undangan nasional atau instrument legal yang diakui secara intemasional yang 
bertujuan memerangi terorisme.
Definisi dalam Convention of the Organisation of Islamic Conference on
Combating International Terrorism, 1999 : Terorisme adalah tindakan kekerasan 
atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk 
menjalankan rencana tindakan kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror 
orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam 
kehidupan, kehonnatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi 
lingkungan dan fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya
atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas intemasional, atau 
mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara￾negara yang merdeka.
Definisi menurut Organization of African Unity (OAU) 1999: Tindakan teroris 
merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana 'neqara anggota" dan bisa 
membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau menyebabkan Iuka 
serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang atau
menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau 
lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau 
dimaksudkan untuk :
(a) mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan atau mempengaruhi 
pemerintah, badan, instansi publik secara umum atau lapisan masyarakat, 
untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan, atau untuk 
mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu, atau
(b) mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik 
atau untuk menciptakan darurat publik; atau
{c) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara;
(d) promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha, 
ancaman, konspirasi, pengorganisasian, atau perekrutan seseorang, dengan 
niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan dalam poin (a) sampai (c).
Definisi dari badan-badan negara di Amerika Serikat :
US Central lnteligene Agency (CIA) : terorisme lntemasional adalah terorisme 
yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau 
diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing: US Federal
Bereau of Investigation (FBI) : terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak 
sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah 
pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan social 
atau politik; US Departments of State and Defense : terorisme adalah 
kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok 
subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan 
maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme lntemasional adalah terorisme
yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
Definisi dalam The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998): 
Terorisme ,.Jalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, 
yang terjad. untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif yang 
menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau 
mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk 
menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta public maupun pribadi atau 
menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.
Definisi yang telah dipaparkan dalam naskah ini menunjukkan beragamnya 
pengertian terhadap terorisme. Untuk menuju suatu pendefinisian terorisme yang 
obyektif. maka kemungkinannya adalah mendefinisikannya bukan dari identitas pelaku 
atau alasan mereka, melainkan dari kualitas aksi mereka. Jika pendefinisian ditarik dari
identifikasi pelaku dapat bertolak dari stigmatisasi, sedangkan identifikasi atas alasan
aksi teroris juga banyak bergantung pada persepsi dan interpretasi.
Dengan melihat kualitas aksi, maka kaitan korban dan target terorisme dapat 
dihapus, karena siapa korban tidaklah penting. Karban hanyalah sarana simbolis 
teknis untuk alasan-alasan aksi teroris. Yang patut ditekankan dalam merumuskan 
terorisme dalam konstruksi perbuatan yang melanggar hukum adalah sebagai aksi 
memuat tindak kekerasan, ancaman, dan terkadang tuntutan yang ekplisist. Kekerasan 
yang dilakukan secara jelas diarahkan pada orang-orang yang tidak melakukan 
perlawanan dan tujuannya politis serta aksi dilakukan demi publisltas yang
maksimal. Menurut F Budi Hardiman, pendekatan dengan melihat kualitas aksi atau
peristiwa lebih menguntungkan karena : pertama, dapat mengidentifikasi pola• pola
yang luas dari aksi;. kedua, dapat mengenali kecenderungan dimasa depan; ketiga,
dapat mengetahu1 pertumbuhan terorisme itu sendiri; dan keempat, dapat 
menemukan penyebarannya didunia."
Sebagai penutup dalam bagian ini, maka perlu dikutip pasal-pasal dalam Undang￾undang Nomor 15 tahun 2003 yang telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme. Dalam konteks negara hukum
Indonesia maka rumusan-rumusan dari perbuatan yang dinyatakan dalam undang• 
undang terorisme inilah yang menjadi pengertian yang dirujuk sebagai batasan 
dalam rumusan definitif mengenai terorisme itu sendiri. 18 :
D. Terorisme dan Perkembangannya dalam Tatanan Hukum lnternasional
Tahun 1994 Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan terorisme kedalam 
salah satu dari 18 kategori kejahatan transnasional/ kejahatan lintas batas negara.19
Menurut Mueller, kejahatan transnasional secara penuh rnemanq belum menjadi
konsep legal, sebab terjadi kebuntuan-kebuntuan dalam memberikan pengertian
yang sesuai dengan presisi dalam ranah juridis. 20 Terorisme telah menjadi agenda 
intemasional sejak tahun 1934, ketika Liga Bangsa-Bangsa rnulai mamba.has 
sebuah draft konvensi Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism. 
Pada akhimya pada tahun 1937 konvensi tersebut diadopsi, namun pada akhimya 
tidak pemah berlaku, karena gagal untuk memenuhi kecukupan persyaratan 
penandatangan negara pihak dan factor lainnya adalah pecahnya Perang Dunia II. 
Dalam definisinya secara lugas, konvensi menyatakan terorisme adalah segala 
tindak kejahatan yang secara spesifik ditujukan kepada negara, dengan maksud 
untuk membuat ketakutan dan terror orang-orang tertentu, kelompok, atau 
masyarakat luas.21 Sebagaimana telah diulas dalam bagian sebelumnya, konsep 
terorisme yang merupakan serangan langsung terhadap suatu negara (against a 
state), paska September 2001 telah bergeser dalam konsep terorisme sebagai 
serangan terhadap dunia secara umum (against the world in general).
dibawah ini menunjukkan jumtah aksi terorisme intemasional sepanjang tahun 1968 
hingga tahun 2001, dimana data/informasi ini memberikan sinyal bahwa terorisme 
dalam berbagai bentuk dan konteks jamannya relatif eksis sebagai pilihan metode
aksi dalam kancah konflik yang terjadi.

Perkembangan hukum dengan basis UN treaty tersebut, tentu menunjukkan 
respon yang cukup memadai dart PBB dalam membangun suatu standart norma dan 
mekanisme penyelesaian pada lini hukum terkait dengan pemberantasan terorisme 
intemasional. Paska September 2001, maka respon PBB dapat diidenifikasi dalam 
dua ranah, Respon pertama adalah respon atas serangan teroris yang datang dari 
badan-badan di PBB yang mana termasuk didalamnya memiliki mandate 
pertanggungjawaban terhadap berbagai tipe terorisme (penerbangan, maritime, 
bahan kimia, dan nuklir). Dalam rangka penanganan counter terrorism diseluruh 
dunla, PBB kemudian membentuk Counter Terrorism Committee (CTC) untuk 
menjalankan mandate tersebut. Selain itu The Terrorism Prevention Branch bertugas 
sebagai clearinghouse untuk informasi dan pengembangan data base secara intensif 
paska September 2001. Badan-badan lainnya juga terlibat dalam counter terrorism 
ini adalah seperti; the International Civil Aviation Organization (ICAO), the Maritim 
Organizaion (IMO), the International Atomic Energy Agency (IAEA), the Organitaton 
of Chemical Weapons (OPCW), dan the Universal Postal Union (UPU).
Respon kedua adalah terkait dengan organisasi dibawah PBB yang memiliki 
mandate social - ekonomi. Seperti the International Labour Organization (ILO). the 
World Health Organization (WHO), the UN High Commisioner for Human Rights 
(UNHCHR). the Commision on Human Rights (CHR). the UN High Commisioner for 
Refugees (UNHCR), dan the World Bank. Melalui dua kanal respon tersebut PBB 
mencoba untuk menangani terorisme dalam dimensi yang utuh, yakni respon atas 
serangan teroris melalui counter langsung terhadap aksi-aksi organisasi-organisasi 
teroris sekaligus melakukan tindakan pencegahan terorisme dengan mengatasi akar 
permasalahannya (prevention of tettottsm by addressing root causes/ seperti 
kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan social).25 Perhatian PBB terhadap terorisme 
yang luar biasa menempatkan kebijakan PBB pada posisi yang unik, dimana alat
utama dari badan/ organisasi PBB memiliki unit-unit yang dibentuk secara khusus26 
dan saling berjalin untuk penanganan terorisme. Perhatian dan kebijakan PBB untuk 
penanganan terorisme intemasional tergambar dalam bagan dibawah ini :
Bagan: PBB dan Terorisme

Pada ranah lain, terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban individual 
atas kejahatan serius yang menjadi musuh peradaban manusia, International 
Criminal Court (ICC) adalah mekanisme yang istimewa sebagai salah satu kanal
yang disediakan untuk mengadili pelaku kejahatan. Beberapa tahun terakhir muncul 
pemikiran untuk memasukkan terorisme sebagai kejahatan yang menjadi jurisdiksi 
Mahkamah Pidana lntemasional tersebut (ICC). Gagasan tersebut terbagi menjadi 
dua kubu, yakni kubu yang menginginkan terorisme sebagai kejahatan yang mandiri 
(as a free standing offence) dalam Statuta Roma, yang berarti ICC menambah satu 
yurisdiksi ratione materiae nya dengan kejahatan terorisme. Kubu yang lain, menyatakan
bahwa terorisme cukup menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity). Perdebatan mengenai masuknya terorisme menjadi yurisdiksi dari 
ICC sempat berlangsung hangat pada Rome Conference tahun 1998. Namun 
gagasan ini menemui jalan buntu yang salah satu sebabnya adalah
ketidaksepahaman mengenai definisi mengenai terorisme itu sendiri.28
E. Puma Wacana
Penanganan terhadap aksi-aksi terorisme disetiap negara tentunya berbeda• beda, 
hal itu tergantung bagaimana suatu negara meresponnya dalam satu kebijakan
dalam negerinya. William Gutteridge membuat suatu pola terkait dengan macam￾macam respon negara dan implikasi-implikasinya yang dibagi dalam lima
karakter respon, yakni :29
1. Membiarkan. Pemerintahan membiarkan aksi teroristis atau tidak menunjukkan 
ketegasan yang dapat dibaca oleh rakyatnya, terbukalah peluang bagi rakyat 
untuk memulai bertindak sendiri dengan membentuk organisasi-organisasi 
paramiliter. Akibat dari situasi tersebut adalah melemahnya sistem negara 
dalam menjamin keamanan rakyatnya, bahwa kontra teror dari rakyat akan 
menghasilkan teror baru, maka rantai kekerasan pun terbentuk.
2. Menekan aksi terorisme dengan kebijakan totaliter. Corak kebijakanya adalah 
adanya upaya untuk menstabilkan/ memperkuat kontrol atas totalitas politis. 
Seperti; membentuk system satu partai, mendirikan spionase, eek rutin 
dokumen-dokumen personal, kontrol atas kebebasan bepergian, control atas media
massa, dan komunikasi massa, penyaringan anggota-anggota 
partai, hingga menyusun hukum yang memungkinkan untuk menjaring musuh• 
musuh politik.
3. Kontra teror terhadap teroris intemasional sebagai langkah penegakan 
demokrasi. Melakukan penyerangan terhadap basis-basis organisasi teroris atas
nama demokrasi
4. Pendekatan lunak terhadap teroris. Misalnya dengan memenuhi keinginan 
kaum teroris. Seringkali efeknya justru merugikan pemerintah, teroris akan 
meningkatkan tuntutan dan ancamannya. Dilain pihak suatu negosiasi dengan 
terorisme dapat dicurigai oleh publik.
5. Pendekatan garis keras. Mengisolasi sel-sel kaum terons, organisasi, pasokan 
logistik, dan pimpinan mereka. Hukum terhadap pelaku terror diperkeras. 
lnstrumen-instrumen antiteroris dipercanggih dengan presisi yang tinggi.
Sebagai penutup naskah ini patut ditekankan, bahwa diperlukan rambu-rambu 
yang panting dijadikan sebagai pegangan semua pihak yang berkepentingan dalam 
rangka pemberantasan terorisme. Prinsip-prinsip yang harus dipegang tersebut 
adalah sebagai berikut :
Petteme, negara harus menunjukkan kehendak politik yang jelas dan tegas 
dalam melawan aksi terorisme dalam kerangka negara hukum {rule of /aw);
Kedua, dalam kerangka penegakan hukum diperlukan peraturan perundang• 
undangan yang memiliki kualitas substansi dan hukum prosedural yang baik dan 
berwibawa;
Ketiga, kebijakan dalam melawan terorisme ditempatkan dalam kontrol publik 
dan otoritas-otoritas yang dibangun dibawah naungan supremasi hukum, sehingga 
diharapkan mampu meminimalkan penyelewengan kekuasaan;














Pada awal tahun 2000-an terjadi dua peristiwa panting secara berturut-turut pada 
waktu dan tempat berbeda yang mengakibatkan dampak yang luar pada kehidupan
ketatanegaraan dan demokrasi di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan jaminan keamanan serta
kenyamanan warga negara Indonesia. Peristiwa pertama berkaitan dengan 
pengeboman World Trade Center di New York DC Amerika Serikat pada 11
September 2001 yang mengakibatkan ribuan orang menjadi korban. Sedangkan
peristiwa kedua adalah serangan terhadap Paddy's Cafe di Jimbaran Bali yang 
terjadi pada bulan November 2002. Kedua peristiwa tersebut disinyalir dilakukan 
oleh kelompok teroris Al Qaeda dan jaringannya yang berada di Indonesia dibawah 
pimpinan Dr. Azahari dan Noordin Mohamad Top.
Benang merah yang menghubungkan keterkaitan antara kedua peristiwa tersebut
berada pada pemyataan bangsa-bangsa di dunia yang dimotori Perserikatan Bangsa￾bangsa dengan dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya lnggris dan Australia,
yang kemudian diikuti oleh Indonesia untuk menempatkan terorisme sebagai salah 
satu dari ancaman paling besar pada keamanan dalam negeri dan sebagaimana
juga pada keamanan regional dan intemasional. Oteh karenanya, perang terhadap
terorisme sebagai agenda intemasional serta memberantas terorisme di seluruh dunia 
(war against tefforism) merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan bangsa￾bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Langkah yang dilakukan bangsa-bangsa di dunia melalui Perserikatan Bangsa• 
bangsa dalam rangka melancarkan perang terhadap terorisme merupakan sesuatu 
yang wajar yang harus dilakukan dalam rangka melindungi manusia dan orang• 
orang yang tidak berdosa dari serangan tidak bertanggungjawab para terori~. 
Demikian juga upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme secara preventif 
maupun represif yang dilakukan Pemerintah Indonesia, merupakan bentuk 
tanggungjawab negara dan pemerintah dalam rangka melindungi keamanan dan 
hak-hak warga negara Indonesia. Namun, walaupun hal tersebut merupakan 
sesuatu yang wajib dilakukan negara dan Pemerintah Indonesia, upaya preventif dan 
represif tersebut juga harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Hal ini untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi 
tindakan-tindakan untuk menutupi, atau membenarkan pelanggaran HAM1
lnilah kerangka pikir yang akan menjadi landasan utama dalam penulisan makalah 
ini. Penanganan terhadap terorisme dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi
manusia.
B. Respon Terhadap Terorisme
Selama kurun waktu 2000-2005, sudah banyak sekali terjadi serangan terorisme 
di berbagai belahan di dunia yang menimbulkan ratusan atau bahkan ribuan korban
sipil yang tidak berdosa. Namun, dalam kesempatan ini hanya akan diuraikan
mengenai respon dilakukan masyarakat intemasional dan Indonesia, khususnya 
terhadap peristiwa serangan 11 September 2001 dan serangan bom Bali
I (Oktober 2002).
1. Respon terhadap Serangan World Trade Center 11 September 2001
Serangan terhadap World Trade Center di New York DC Amerika Serikat pada
11 September 2001 merupakan salah satu serangan yang paling banyak mendapat 
respon dari dunia intemasional, termasuk organisasi bangsa-bangsa dunia (PBB). 
Karena dilakukan terhadap negara yang selama ini dianggap sebagai negara 
adidaya yang bisa mengatur negara-negara lainnya di dunia.
Pasca peristiwa ini, tidak hanya Pemerintah Amerika Serikat saja yang melakukan
upaya dalam rangka memerangi terorisme, tetapi organisasi negara• negara di dunia
yang diwakili Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) langsung melakukan upaya dalam 
rangka menanggulangi masalah terorisme ini. PBB melalui Dewan Keamanan 
(Security Counciij berdasarkan kewenangannya mengeluarkan sebuah resolusi yang
mengajak negara-negara anggota PBB untuk mengambil tindakan-tindakan khusus
untuk melawan terorisme.
17 (tujuh belas) hari setelah peristiwa pemboman World Trade Center, 
tepatnya 28 September 2001, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah 
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1373, yang berkaitan dengan seruan PBB 
kepada negara-negara anggotanya untuk melakukan gerakan terhadap terorisme.
Melalui Resolusi 1373 ini, pada intinya PBB meminta negara-negara di dunia 
untuk saling bekerjasama dalam menanggulangi dan memerangi masalah terorisme. 
Langkah-langkah yang dapat dilakukan negara-negara di dunia, antara lain :
a. Menemukan jalan untuk mengintensifkan dan mempercepat pertukaran 
informasi operasional, terutama tentang aksi-aksi atau gerakan-gerakan 
orang-orang atau jaringan-jaringan teroris; dokumen-dokumen perjalanan 
palsu; lalulintas senjata, bahan peledak atau bahan-bahan s e n s i t i f ;
penggunaan teknologi informasi oleh kelompok-kelompok teroris; dan 
ancaman oleh pemilikan senjata pemusnah massal oleh kelompok- kelompok
teroris;
b. Bertukar informasi sesuai dengan hukum intemasional dan domestik dan 
bekerjasama dalam masalah-masalah administratif dan yuridis untuk 
mencegah aksi-aksi teroris;
c. Bekerjasama, khususnya melalui pengaturan dan perjanjian bilateral dan 
multilateral, untuk mencegah dan menumpas serangan-serangan teroris 
dan mengambil tindakan terhadap pelaku-pelaku aksi seperti itu;
d. Menjadi peserta secepat mungkin dalam konvensi-konvensi dan protokol 
intemasional yang relevan yang berkaitan dengan terorisme, termasuk 
the International Convention for the Suppression of (he Financing of 
Terrorism of9 December 1999;
e. Meningkatkan kerjasama dan sepenuhnya melaksanakan konvensi• 
konvensi dan protokol-protokol intemasional yang relevan yang 
berhubungan dengan terorisme dan resolusi-resolusi Dewan Keamanan
1269 (1999) dan 1368 (2001);
f. Mengambil langkah-langkah yang tepat sesuai dengan ketentuan• 
ketentuan yang relevan dari hukum nasional dan intemasional, termasuk 
standar internasional tentang HAM, sebelum memberi status pengungsi, 
untuk memastikan bahwa pencari suaka belum merencanakan, 
memfasilitasi atau ikut serta dalam aksi-aksi teroris;
g. Pastikan, sesuai dengan hukum intemasional, bahwa status pengungsi 
tidak disalahgunakan oleh pelaku, organisator atau fasilitator aksi-aksi 
teroris, dan bahwa klaim atas motivasi politik tidak diakui sebagai alasan 
untuk menolak permintaan akan ekstradisi dari tersangka teroris;
. Disamping resolusi 1373 tersebut di atas, PBB juga membentuk sebuah 
K.om1te Pemberantasan Terorisme (Counter Terorism commitee) yang berada d1bawah. 
Dewa~ Kea!11anan yang bertugas untuk melaksanakan resolusi 1373, membenkan 
as1~tens1 terhadap negara-negara dalam memberantas terorisme, termasuk 
menenma laporan secara periodik dari negara-negara anggota PBB berkaitan 
dengan langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka
merealisasikan resolusi PBB 1373.2. Respon terhadap Serangan Bom Bali I (Oktober 2002)
Pada akhir 2002, tepatnya 12 Oktober 2002 terjadi suatu peristiwa yang sangat 
mengguncang Indonesia dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat 
intemasional. Pada hari itu terjadi peledakan born di Legian Bali yang menewaskan 
lebih dari 200 (dua ratus) orang, baik warga negara Indonesia rnaupun asing.
Sesaat setelah peristiwa Born Bali tersebut, Pemerintah Indonesia dibawah 
Presiden Megawati langsung mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang tentang 
Pemberantasan Terorisme dan Perppu No. 2 tahun 2002 Tentang Pernberlakuan 
Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa
Peledakan Born Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Disarnping mendapat respon nasional, perhatian-pun dari dunia internasional 
khususnya melalui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang pada tanggal 28
Oktober 2002 mengeluarkan Resolusi 1438, yang berisi pemyataan simpati dan 
belasungkawa PBB terhadap Pemerintah dan rakyat Indonesia, korban dan
keluarganya. Resolusi PBB tersebut juga menegaskan kembali langkah-langkah
untuk memberantas terorisme, dan menyerukan kepada negara-negara di dunia 
untuk bekerjasama membantu menangkap dan menyerahkan pelakunya ke 
pengadilan.
C. Penanganan Terorisme di Indonesia
Saat ini regulasi mengenai tindak pidana terorisrne diatur dalarn UU No. 15 
tahun 2003 yang menetapkan Perppu No. 1 tahun 2002 tentang Pernberantasan 
Terorisme menjadi UU. Melalui UU ini, terorisme dinyatakan sebagai musuh 
bersama umat manusia (hostis humanis generis), kejahatan terhadap peradaban, 
kejahatan transnasional dan intemasional
Tujuan diundangkannya UU ini adalah dalam rangka mernulihkan kehidupan 
masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukurn yang 
kuat dan kepastian hukurn dalarn rnengatasi permasalahan yang mendesak dalarn 
pernberantasan tindak pidana terorisme2.
Secara garis besar, UU ini diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan 
atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik 
Indonesia dan/atau negara lain, baik yang dilakukan terhadap warga negara 
Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia rnaupun terhadap 
fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat 
diplomatik dan konsuler Republik Indonesia; yang dilakukan dengan cara kekerasanatau ancaman kekerasan dengan maksud untuk memaksa pemerintah Republik 
Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu ataupun memaksa 
organisasi intemasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu3•
Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme berdasarkan UU ini 
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan 
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini4, yang rincian 
unsur-unsumya dapat dilihat pada Pasal 6 dan 7 Perppu No. 1 tahun 2002.
Pasal 6 Perppu No. 1 tahun 2002
usetiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara 
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara 
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, 
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital 
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas 
intemasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau 
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 
tahun"
Pasal 7 Perppu No. 1 tahun 2002
usetiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman 
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut 
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal 
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda 
orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap 
obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, 
atau fasilitas intemasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama
seumur hid up".
Selain menetapkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU, Pemerintah bersama dengan 
DPR juga telah meratifikasi dua konvensi intemasional berkaitan dengan 
penanganan terorisme, dimana ratifikasi ini dilakukan jauh sebelum terjadinya Born 
Bali Oktober 2002, yaitu International Convention for Suppression of the Financing of 
Terrorism (1999) dan International Convention for the suppression of Terrorism
Bombings (199'1).Melalui ratifikasi tersebut, bangsa Indonesia bertekad turut berperan aktif 
dalam penanggulangan aksi-aksi terorisme baik yang yang bertaraf intemasional. 
Ratifikasi konvensi tersebut juga merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia 
untuk meningkatkan kerjasama intemasional dalam mencegah peledakan born dan 
pendanaan terorisme. Sementara itu, dalam konteks kerjasama multilateral di bidang 
penanganan terorisme, Indonesia terlibat dalam ASEAN - Republic of Korea Joint 
Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, ASEAN - Pakistan 
Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism, dan ASEAN -
New Zealand Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism,
serta yang paling baru adalah dalam ASEAN Summits yang dilaksanakan pada
Januari 2007, dimana dalam kesempatan ini telah diresmikan kesepakatan ASEAN 
Convention on Counter Terrorisms.
1. Catatan Terhadap Penanganan Masalah Terorisme di Indonesia : Studi 
Kasus Perppu No. 1 tahun 2002 tentang Tindak Pidanan Terorisme
Seluruh cara yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam rangka mencegah 
dan menanggulangi masalah terorisme merupakan suatu keharusan yang pantas 
untuk didukung oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Namun, bagaimana cara 
melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap masalah terorisme ini harus 
tetap memperhatikan prinsip-prinsip penegakan hukum yang fair dan imparsial serta 
prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia intemasional. Sehingga apa yang dilakukan 
Pemerintah Indonesia tersebut akan berhasil menemukan dan mengadili para pelaku 
terorisme, dan sekaligus mencegah terjadinya peristiwa terorisme di masa yang 
akan datang.
Berkaitan penanggulangan masalah terorisme khususnya dengan berlakunya 
UU No. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perppu No. 1 tahun 2002 menjadi undang• 
undang, terdapat beberapa catatan kritis yang akan dikemukakan terkait ketentuan• 
ketentuan yang terdapat dalam Perppu tersebut, antara lain berkaitan dengan :
a. Rumusan pasal-pasal yang bersifat elastis (unpredictable)
b. Kewenangan penyidik yang berlebihan 
c. Minimnya hak-hak tersangka
d. Belum lengkapnya perlindungan terhadap saksi, korban dan aparat penegak 
hukum
e. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
Rumusan-rumusan yang bersifat elastis tersebut terdapat dalam Pasal 6 dan 
Pasal 7 Perppu No. 1 tahun 2002. Rumusan Pasal 6 akan menyulitkan orang yang 
terkena dampak ataupun aparat penegak hukum yang menjadi pelaksana dari berlakunya 
ketentuan ini. Hal ini disebabkan karena terlalu elastisnya rumusan kata• kata yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 6. Bagi masyarakat, mereka harus berfikir apakah 
perbuatan-perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya tidak menyalahi rumusan
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 6. Masyarakat harus mengetahui apa
yang dilakukannya tidak akan menimbulkan usuasana teror atau takut terhadap
orang secara meluas", dimana pengertian "suasana teror atau takut terhadap orang
secara meluasn ini belum ada kuantifikasinya dalam Perppu ini6•
Dari selintas paparan di atas, dapat dilihat bahwa definisi mengenai tindakan
'teronsrne" sebagaimana dimaksud dalam Perppu ini belum dapat digunakan untuk 
mengkalkulasi atau mengkuantifikasi suatu perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut
sehingga perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana terorisme.
Demikian juga dengan ketentuan Pasal 7 Perppu No. 1 tahun 2002 yang menjadikan
kata "bermaksud" sebagai salah satu unsur utama tindak pidana terorisme. Adanya
unsur niat (bermaksud) dalam Pasal 7 ini dikhawatirkan akan menimbulkan kesewenang￾wenangan dari aparat keamanan, khususnya intelejen untuk menggunakan
kekuasaannya untuk menangkap, menahan dan kemudian menyerahkan orang-orang 
yang diduga memiliki 'maksud" untuk melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ini. Hal ini disebabkan karena- berkaitan dengan 
kewenangan yang dimiliki intelejen dalam penanganan masalah terorisme-pihak 
intelejen tidak perlu membuktikan secara materiil unsur "bermaksud" terhadap orang￾orang yang diduga sebagai teroris. Dengan kata lain, pembuktian unsur "bermaksud" 
dapat dilakukan dengan hanya keyakinan subyektif dari pihak intelejen7•
Dari catatan terhadap dua pasal dalam Perppu ini, dapat dikatakan bahwa 
persoalan utama dalam Perppu ini berkaitan dengan sifat elastis dari perumusan 
ketentuan-ketentuannya, yang dikhawatirkan membuka peluang bagi aparat penegak
hukum dan aparat keamanan untuk menggunakan ketentuan-ketentuan secara 
melanggar prinsip-prinsip penegakan hukum yang fair dan prinsip-prinsip hukum
hak asasi manusia intemasional.
Perppu No. 1 tahun 2002 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan 
untuk penanganan tindak pidana terorisme adalah KUHAP, kecuali jika ditentukan 
lain. Namun, dalam kenyataannya terdapat beberapa perbedaan yang cukup 
significant yang diatur dalam UU terutama yang berkaitan dengan kewenangan yang 
dimiliki penyidik untuk mengungkap terjadinya tindak pidana terorisme, misalnya 
yang berkaitan dengan kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan terhadap 
tersangka paling lama 6 {enam) bulan, yang sebenamya ketentuan dasar yang 
terdapat dalam KU HAP paling lama hanya satu minggu {tujuh hari).
Demikian juga dengan Kewenangan penyidik untuk melakukan penangkapan 
terhadap tersangka paling lama 7 X 24 jam. yang bertentangan dengan ketentuan 
dan praktik berdasarkan KUHAP yang berlaku saat ini, dimana dalam KUHAP untuk 
penangkapan hanya ditentukan paling lama 1 X 24 jam. Oleh karenanya harus mendapat 
pengawasan yang ketat, mengingat dalam kondisi, rawan sekali terjadi Penahanan
incommunicado {penahanan tanpa akses terhadap dunia luar) dan juga dapat 
mengakibatkan terjadinya penyiksaan, tindakan menyakitkan dan yang paling buruk,
"penghilangan".
Apabila ini terjadi, tentunya merupakan tindakan atau perlakuan kejam, tidak 
manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU 
No. 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 13 tahun 2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Kewenangan lainnya yang dimiliki penyidik yang perlu mendapatkan perhatian 
serius baik dari masyarakat, aparat penegak hukum pemerintah maupun parlemen 
adalah berkaitan dengan kewenangan untuk:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa 
pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana 
terorisme yang sedang diperiksa.
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga 
digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak 
pidana terorisme untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Hal ini disebabkan karena apabila kewenangan ini tidak diawasi, dikhawatirkan 
akan membuka peluang untuk memberikan justifikasi terjadinya pelanggaran hak• 
hak asasi manusia tertentu yang dimiliki warga negara Indonesia. Terlebih apabila 
dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum terutama penyidik tidak memper• hatikan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 13 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik,
khususnya yang berkaitan dengan : .
a. Hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang 
diperfukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
b. Hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan. 
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis 
sarana yang tersedia.
c. Tidak seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak 
sah dicampuri masalah pribadi, keluarga. rumah atau korespondensinya, atau 
secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
Satu hal panting lainnya yang harus dikoreksi pembuat undang-undang adalah 
diberikannya kewenangan kepada penyidik untuk menggunakan setiap laporan 
intelejen. Masalah yang harus diperhatikan dalam ketentuan ini adalah "apakah 
hanya dengan laporan ini setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana 
terorisme dapat ditangkap atau ditahan?", dan apakah "laporan intelejen" sudah dapat
memenuhi kualifikasi "bukti permulaan yang cukup" sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Hal ini disebabkan karena dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara 
intellegent evidence dengan crime evidence8• Crime evidence dapat mencakup 
intellegent evidence. tetapi intellegent evidence tidak dapat dianggap sebagai crime 
evidence karena intellegent evidence tidak memerlukan suatu fakta hukum untuk 
merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indikasi atau dasar adanya suatu tindak
pidana, karena intellegent evidence seringkali hanya merupakan suatu abstraksi data
yang tidak memerlukan pembuktian sebagaimana crime evidence seperti yang
diterapkan dalam praktik peradilan pidana selama ini.
Selain itu. dalam pasal 26 ayat (1) Perppu No. 1 tahun 2002 disebutkan bahwa :
"Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan 
setiap laporan intelejen".
Penggunaan istilah "dapat menggunakan" dalam ayat (1) tersebut memberikan 
kemungkinan kepada kepolisian menggunakan sumber, data. atau laporan lain untuk 
digunakan sebagai bukti awal yan kuat untuk menduga dan/atau melakukan 
penangkapan dan penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme. Konsekuensi 
logis yang mungkin timbul dalam masalah ini adalah "pengingkaran11 sumber informasi 
apabila terdapat gugatan praperadilan dari tersangka, keluarga, atau penasihat
hukumnya kepada kepolisian.
UU Pemberantasan Terorisme mengatur secara rinci menyebutkan hak dan 
kewenangan yang dimiliki oleh penyidik. penuntut, hakim, dan korban, namun 
khusus untuk hak-hak tersangka maupun terdakwa UU ini belum secara eksplisit 
mengakomodasi hak-hak tersangka maupun terdakwa.
a. Hak untuk Diinformasikan secepatnya Alasan Penangkapan atau
Penahanan
Siapapun yang ditangkap atau ditahan harus diinformasikan secepatnya 
alasan-alasan penangkapan atau penahanan tersebut. Maksud terpenting dari 
diinformasikannya alasan-alasan penangkapan dan penahanan terhadap diri seseorang 
adalah untuk menguji keabsahan (legalitas) penahanan mereka. Karena itu alasan 
yang diberikan haruslah spesifik. yang mencakup penjelasan sejelas• jelasnya dan 
landasan faktual bagi penangkapan dan penahanan. Sehingga "tidaklah cukup 
alasan apabila penangkapan dan penahanan terhadap diri seseorang ditujukan
untuk alasan keamanan, tanpa adanya indikasi yang jelas substansinya9.
b. Hak untuk mengajukan keberatan apabila Ada paksaan atau penyiksaan
Setiap tersangka. terdakwa maupun narapidana memiliki hak untuk mengajukan 
keberatan (complain) kepada pihak berwenang atas penyiksaan atau perlakuan 
menyakitkan lain yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama proses 
penyidikan. penuntutan dan pemenjaraan. dimana terhadap semua keberatan
tersebut aparat yang berwenang harus segera merespon tanpa penundaan yang tidak 
semestinya10• Jika keberatan tersebut ditolak atau ditunda tanpa kejelasan, maka
pihak yang melakukan keberatan berhak untuk mengajukannya ke pengadilan atau 
pihak berwenang lainnya. Keberatan tersebut tidak boleh mengakibatkan ekses negatif
terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana yang mengajukan keberatan.
Apabila terdapat alasan yang kuat bahwa sebuah tindakan penyiksaan atau 
perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat 
kemanusiaan telah dilakukan. maka harus segera dilakukan investigasi (penyelidikan)
yang dilakukan secara fair dan tidak memihak (imparsial)
c. Hak terdakwa untuk memiliki akses terhadap dunia luar
Satu hal penting lainnya yang belum disebutkan secara eksplisit dalam UU 
terorisme adalah hak terdakwa untuk memiliki akses terhadap dunia luar, dimana 
secara prinsip "orang-orang yang berada dalam tahanan berhak atas akses terhadap 
keluarga, pengacara, dokter, aparat hukum dan, jika terdakwa berkewarganegaraan 
asing, ia harus mempunyai akses terhadap staf konsulat (kedutaan) atau akses
terhadap organisasi intemasional yang kompeten 11
” .
Hal ini perlu diatur secara eksplisit mengingat pengalaman menunjukkan 
bahwa akses terhadap dunia luar sangat penting untuk melindungi terdakwa dari 
pelanggaran HAM seperti "penghilangan", penyiksaan atau tindakan menyakitkan 
lainnya serta tindakan-tindakan lain yang menghalangi proses pengadilan yang adil, 
sehingga apa yang terjadi di penjara Guantanamo atau penjara Abu Gharib tidak 
pemah terjadi di Indonesia.
5. Belum Memadainya Perlindungan Terhadap Saksi, Korban Dan Aparat
Penegak Hukum
Secara khusus Perppu No. 1 tahun 2002 telah memberikan perlindungan bagi 
pihak-pihak yang terkait dengan terjadinya tindak pidana terorisme, seperti saksl, 
penyidik, penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara tindak terorisme beserta 
keluarganya. Perlindungan tersebut diberikan dalam melindungi para pihak tersebut
dari adanya kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan atau hartanya, 
baik sebelum, selama maupun sesudah pemeriksaan perkara, yang bentuk
perlindungannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak tersebut, seperti
:
1. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental
2. kerahasiaan identitas saksi
3. pemberian keterangan di muka persidangan dengan tanpa bertatap muka 
dengan terdakwa
Adanya perlindungan yang diberikan Perppu terhadap saksi, penyidik, 
penuntut umum maupun hakim dan keluarganya merupakan suatu perkembangan 
yang baik dalam rangka meningkatkan kualitas perlindungan terhadap para pihak, 
namun karena sudah ada UU baru yang mengatur perlindungan terhadap para pihak 
yang berkaitan dengan terjadinya tindak pidana, khususnya saksi dan korban, yaitu 
UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebaiknya proses 
perlindungan ini dilakukan dengan menyesuaikan hak-hak tersebut dengan
ketentuan yang terdapat dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, seperti 
misalnya hak untuk12 :
a. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
b. Mendapat penerjemah;
c. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
d. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
e. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
f. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
g. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
h. Mendapat nasihat hukum.
Disamping hak-hak di atas, perlindungan terhadap para pihak, khususnya 
saksi dan korban dalam tindak pidana terorisme perlu juga memasukkan hak-hak 
khusus, yakni hak saksi yang akan diberikan karena alasan-alasan khusus, seperti 
adanya ancaman dan intimidasi yang diterima saksi berkenaan dengan keterangan 
yang akan, sedang, atau telah diberikan dalam penanganan kasus tindak pidana 
terorisme:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta 
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian 
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan 
dan dukungan keamanan;
c. mendapat identitas baru;
d. mendapatkan tempat kediaman baru;
e. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
f. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu 
perlindungan berakhir.
Hak-hak harus tersebut diberikan dalam rangka memberikan perlindungan kepada
saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana13•
6. Kompensasi,restitusi, dan rehabilitasi
Satu perkembangan yang baik yang terdapat dalam Perppu No. 1 tahun 2002 
adalah adanya ketentuan mengenai hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. 
Kompensasi dan restitusi diberikan kepada "setiap korban atau ahli waris akibat
tindak pidana terorisme", dimana pembiayaan atas pembayaran kompensasi dan restitusi
ini dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Sedangkan 
rehabilitasi diberikan kepada setiap orang apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dart segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Sayangnya, Perppu ini atau peraturan pelaksanaannya tidak menyebutkan 
secara jelas dan lengkap mengenai prosedur pengajuan kompensasi, restitusi dan 
rehabilitasi tersebut, misalnya tentang bagaimana cara, kapan dan dimana serta 
jangka waktu pengajuan dan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi 
tersebut dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, untuk menghindari tidak efektifnya 
ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana diatur 
dalam Perppu ini, yang nantinya akan berdampak pada semakin menjauhnya hak 
korban maupun orang yang diputus bebas atau lepas oleh pengadilan, maka perlu 
adanya peraturan atau penjelasan lebih lanjut yang mendalam mengenai masalah 
ini, terutama yang berkaitan dengan tatacara atau prosedur kompensasi, restitusi 
dan rehabilitasi, serta cara melakukan penghitungan besaran kompensasi dan 
restitusi yang akan diberikan.
Persoalan ini mungkin akan terjawab ketika Lembaga Perlindungan Saksi yang 
saat ini sedang dalam proses pembentukan, telah terbentuk dan menjalankan tugas 
dan fungsinya dengan baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan




Dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI disebutkan bahwa 
penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan 
dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok adalah menerima,
memeriksa dan memutus serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan 
kepadanya.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk 
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan 
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan 
kehakiman yang merdeka (lndependen) ini mengandung pengertian didalamnya 
kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya,
kekebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
judisial, kecuali dalam hal yang diijinkan Undang-undang. Kebebasan dalam 
melaksanakan wewenang judisial tidaklah mudah sifatnya, karena tugas hakim 
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan 
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi 
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga 
keputusannya mencerminkan peradaban keadilan bangsa dan rakyat Indonesia .2
Pengadilan sebagai bagian dari Kekuasaan Kehakiman mempunyai peran strategis 
dalam penegakkan hukum. Lembaga Peradilan sebagai wujud dari Kekuasaan 
Kehakiman yang lndependen, khususnya lembaga kekusaan Peradilan Umum, harus 
menyelesaikan begitu banyaknya perkara-perkara kriminal maupun teroris di seluruh 
Indonesia. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang memiliki
peranan penting dalam penegakkan hukum, disamping lnstansi penegak hukum
lainnya seperti POLRI dan Kejaksaan Agung RI. Kekuasaan Kehakiman yang
lndependen menjadi salah satu tonggak utama untuk menegakkan keadilan kebenaran 
serta untuk mewujudkan adanya kepastian hukum.
Hakim mempunyai kedudukan sentral dalam penyelenggaraan sistem 
Peradilan, tanpa mengabaikan fungsi, Penyidik Polri dan Penuntut Umum serta 
Penasehat Hukum Terdakwa. Hakim mempunyai tugas utama dalam penyelenggaraan
proses persidangan yaitu menerima, memeriksa dan memutus perkara secara adil dan
bijaksana. Tugas hakim sebagai pengendali proses pembuktian dalam Persidangan 
untuk menentukan salah tidaknya seorang Terdakwa, dengan kata lain Hakimlah yang
menyatakan seseorang Terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Meskipun hakim 
yang menyatakan seseorang terdakwa itu bersalah akan tetapi hal tersebut haruslah
didasarkan pada ketentuan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam 
pasal 6 UU No. 14 Tahun
1970 "tiada seorang juapun dapat dijatuhi hukuman/pidana kecuali apabila 
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat 
keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah 
atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Tidak seorangpun dapat dikenakan 
penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah 
tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur 
dengan undang-undang (pasal 7). Setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, 
dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah 
sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh 
kekuatan hukum yang tetap (pasal 8).
Persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum, untuk memberikan kontrol 
masyarakat dan publik atas jalannya suatu proses persidangan. Dalam pasal 18 
disebutkan bahwa "semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. "Bahwa dalam pasal 1 butir 22
KUHAP disebutkan bahwa "Putusan pengadilan adalah pemyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau 
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini".
Dalam proses penegakan hukum dan untuk adanya jaminan kepastian hukum 
dalam suatu kasus atau perkara putusan hakim menjadi sangat penting artinya 
karena "mata rantai dari penganan suatu perkara pidana akan bermuara pada 
putusan hakim. Pengambilan putusan itu tentunya berdasarkan kepada surat 
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. Sesudah 
proses pemeriksaan selesai, majelis hakim akan mengadakan musyawarah untuk 
mengambil keputusan. Dalam pasal 182 ayat (4) KUHAP dijelaskan bahwa dalam 
musyawarah itu semua anggota majelis hakim akan mengemukakan pendapatnyadisertai pertimbangan dan alasannya.' Dalam mengambil putusan hakim 
melakukannya dengan