nusantara awal abad 16 4

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 4



 ak mengacuhkannya. Dan 

nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan, 

tersenyum manis dan memulai: “Bukan cerita, Tuan 

Syahbandar Malaka, tapi warta. Warta sesungguhnya 

sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus 

untuk Tuan saja.” 

Penumpang itu menoleh padanya namun  tak bertanya 

sesuatu.  

“Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam 

sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting 

terinjak. Semoga Tuhan melapangkan jalan mereka di alam 

arwah’ Semalam, Tuan, sesudah  Tuan meninggalkan kapal 

sahaya, sahaya sudah bicara dengan nakhodanya, seorang 

anak muda, uh, anak semuda itu telah dilepas jadi nakhoda. 

Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. Sahaya tak 

tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk 

kafir-kafir Atas Angin sana. Tapi memang ada muatan 

penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan. 

Lagi pula sahaya tidak melanggar amanatnya, sebab  kita 

sudah berada di atas Malaka.” 

Penumpang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan 

kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya 

berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut. 

”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai 

balas-jasa. “Kapal itu dari Tuban. Dan warta itu, Tuan, 

muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan 

di negeri-negeri di atas Malaka. Katanya: Adipati Tuban 

Tumenggung Wilwatikta mencari Syahbandar baru 

yang….” 

Keangkuhan, kecemberutan dan kesemayat n penumpang 

itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada 

nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk. 

“Begitulah wartanya.”  

“Matikah Syahbandar Tuban?” 

“Sayang, itu tak termaktub dalam warta. Pendeknya 

Adipati Tuban mencari Syahbandar baru. Syarat-

syaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada 

Tuan: bisa menulis, membaca, dan berbahasa Arab dengan 

baik, dan Tuan sendiri keturunan Sayid-sayid Arab yang 

mulia….”  

“Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi 

Syahbandar.”  

“Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai 

berbahasa Melayu. Jangan tertawakan dulu, Tuan. Inilah 

syarat gila menurut perasaan sahaya yang bodoh ini: Harus 

juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis 

serta membacanya.” 

Penumpang tunggal itu menegakkan bongkoknya, 

mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari 

menggaruk rambut di bawah tarbus. Matanya bersinar-

sinar. Satu pikiran sedang membersit menerangi wajahnya. 

“Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,” 

penumpang itu membongkok seperti semula. “Kata 

nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” Sayid 

Mahmud Al-Badaiwi, yang kemarin masih Syahbandar 

Malaka sesungguhnya bemama Tholib Sungkar Az-Zubaid. 

Nama barunya itu dipergunakan sejak jadi Syahbandar 

Malaka. Nakhoda dan semua orang Malaka tak pernah 

mengetahui. “Jadi ke Tuban tujuan kita, Tuan?”  

“Tidak. Pasai.” 

“Jadi tetap ke Pasai,” dengan demikian kapal tetap ke 

tujuan semula. Sesampainya di Pasai, Tholib Sungkar Az-

Zubaid alias Sa yid Mahmud Al-Badaiwi menyewa kapal 

Aceh yang bertujuan Banten dan ia membayar khusus 

untuk pelayaran ini. 

Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari 

Banten menuju ke Tuban pikirannya tidak disesaki lagi oleh 

ingatan pada api yang menjolak-jolak membakar bekas 

bandarnya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan 

barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang 

belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan balatentara 

Malaka yang sama sekali tiada berdaya…. 

Umbul-umbul berkibaran di sekelilirig alun-alun Tuban, 

tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura-

gapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan 

meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan 

makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini. 

Penduduk Tuban memang keranjingan seni dan 

olahraga. Larangan memahat batu dan perlntah membuangi 

peninggalan Hindu seakan telah mereka lupakan untuk 

sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri 

menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta. 

Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang 

Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata serta 

menyelitkan keris berhulu mas berukir pada tentang perut. 

Beberapa orang tidak mengenakan kain batik, tapi sarong 

berkotak-kotak seperti pedagang seberang. 

Para wanita mengenakan penutup dada dan selendang 

sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan 

dari selendang sutranya. 

Santri-santri yang kadang bersarong putih, berambut 

pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun 

berbondong-bondongdari perrsi annya masing-masing. 

Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan kafir 

yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi 

dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-umbai. 

Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun 

bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan 

dan telor bcrwarna membentuk lingkaran sari bunga di 

dalamnya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah 

pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki 

udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan 

penganan di tangan. Semua mengenakan pakaian dan 

destar baru. Dan rombongan-rombongan dari desa-desa tak 

henti-hentinya memasuki kota. 

Pembukaan pesta telah diawali dengan pawai para 

peserta lomba. Umbul-umbul mempelopori barisan desa 

masing-masing. Di belakangnya menyusul perangkat-

perangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan 

kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi puji-

pujian kepada Hyang Widhi, tanpa suara manusia, tanpa 

tari. 

Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di 

pelabuhan. sesudah  tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan 

juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat 

membubarkan diri. 

Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan asmayat . Di 

antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama 

tengkorak  bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama 

itu semakin semerbak dengan semakin mendekati 

pembukaan. Kunjungan Sang Adipati ke bangsal wanita di 

dalam asmayat  telah meyakinkan semua orang: gadis 

perbatasan yang menawan hati Tuban itu pasti keluar 

sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan 

isyarat dari Sang Adipati. 

Orang harus mengerti tanpa bertanya. 

Hari-hari mengintip di depan asmayat  tanpa hasil 

membikin orang seperti dicurahkan memadati kiri-kanan 

pawai di mana tengkorak  berada. Anak-anak kecil yang 

terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat, 

hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak 

menentu. Pria dewasa membelaikan pandang berahi. 

Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada 

tengkorak . 

Semua peserta wanita berkalung rangkaian melati. 

Peserta pria masing-masing membawa setangkai dedaunan 

beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikan-

lambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong. 

Tidak seperti satu atau dua tahun sebelumnya kini tengkorak  

gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan 

pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap 

juga olehnya pandang yang memberahikan, merajuk, 

merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak 

melihatnya. Peluh telah membasahi tubuhnya. Ia rasai pada 

matari mendidih dalam dirinya, sebab  di desa sendiri ia 

tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas 

dalam-dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri. 

Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi 

seakan di atas kepala pawai tumbuh semak pohon beringin. 

Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti 

tertelan rekah bumi. 

Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon 

beringin melambai-lambai tinggi di atas kepala mereka. 

lalu  sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak 

bergerak di tempatnya masing-masing. Kenong bertalu. 

Tiba-tiba membubung nyanyian bersama dari semua gadis 

peserta, disahuti oleh nyanyian bersama semua pria peserta. 

Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa, 

dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap. 

Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimpuh 

di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu 

keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang 

Adipati menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan. 

Semua peserta mengangkat sembah. Tandu berjalan lambat-

lambat dengan gerak kaki seimayat  dari para pengusungnya, 

dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar 

negeri berbaris, juga melangkah lambat-lambat seimayat . 

Juga seperti menari. 

Tandu Sang Adipati menghampiri ujung barisan yang 

satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain 

sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta. 

Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang 

Adipati dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali 

masuk ke kadipaten. 

Para peserta menurunkan sembahnya, lalu  lambat-

lambat mengangkat sembah lagi tiga kali berturut mengikuti 

tabuhan canang. 

Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari 

penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lambat 

mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten 

lagi mereka mengangkat sembah seimayat  dengan paluan 

canang kadipaten. lalu  mereka menuju ke Sela 

Baginda. 

Dan inilah saat yang ditakuti oleh tengkorak . la jera terhadap 

orang banyak, terhadap pengagum-pengagumnya. Di dalam 

barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan, 

dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar 

segera ia lari mendapatkan mandala , berlindung di balik 

bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya 

rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton. 

“tengkorak ! tengkorak !” orang berseru mencari-cari, kecewa, 

jengkel, membujuk, merayu, “di mana kau, tengkorak ? Di 

mana?” 

Gadis dan perjaka Awis Krambil menjadi gumpalan 

pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan. 

Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang 

umbul-umbul desa berjalan mendahului. 

Sampai di alun-alun gumpalan ketat Awis Krambil 

langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan 

telah aman. Aturan tidak membenarkan orang 

menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton 

pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di 

pagi atau siang hari. 

Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan 

dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya 

oleh para prajurit peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak 

putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum 

dimulai. Mula-mula lapangan yang tersedia seakan disapu 

oleh sebarisan prajurit menabuh gendang dengan berlari 

dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari 

Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan 

bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding 

berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang 

mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat. 

Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda telah 

meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda 

mengelilingi lapangan. lalu  dua petanding 

ditinggalkan untuk mengawali perlombaan. 

Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang 

bertentangan. Dua barisan prajurit dari Pasukan Kaki 

masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu 

sodor pada mereka. lalu  mereka lari meninggalkan 

lapangan. 

Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke 

tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayu-

kayu sodor teracukan di atas kepala kuda. Dan bila sorak-

sorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda 

seseorang telah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang 

pertandingan harus diulang-ulang sebab  tak ada yang 

segera teralahkan. 

Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas 

Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala 

sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan surya. 

Permainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama 

sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi 

desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan 

diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding. 

Canang bertalu. Mereka menyembah pada penonton, 

berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka 

yang bercawat, memamerkan lengan dan paha dan dada 

dan punggung dan kepala, dan mengangkat kaki 

memamerkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap 

seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra, 

membengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar. 

Tak bisa lain, sebab  berminggu sebelum bertanding kulit 

mereka digosok dengan lumatan daun tapak liman untuk 

mematikan perasaan kulit. 

Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di 

bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang 

akan berkelahi. Masing-masing bersenjatakan sebilah rotan 

yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding 

mempunyai kebebasan memukul dan memilih sasaran. 

Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, membabat 

dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu, 

dada, kaki, kepala. Sasaran yang menjatuhkan adalah batok 

kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya 

melompat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi 

syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan 

syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang 

kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka 

melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si 

pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya 

sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh 

memberikan pukulan balasan. 

Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis, 

mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejap-

ngejapkan mata seperti sekelompok monyet kehilangan akal 

pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti 

dicekam, diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang 

roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga 

bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau 

menghembuskan nafas panjang. 

Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut 

diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala yang dipukul 

bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan 

lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak 

panggung. Lomba banteng lain lagi ceritanya. Pada 

pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. Peserta 

hanya dari kalangan prajurit perjaka. Juga tidak setiap 

tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para prajurit 

sendiri, yang ingin melompat jadi perwira Pengawal. 

Lomba khusus ini, bila ada, selalu dipergelarkan pada sore 

hari tanpa disaingi oleh lomba-lomba lain. 

Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor 

banteng lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak. 

Binatang lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan 

mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan. 

Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton. 

Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang prajurit 

penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia melompat ke atas 

leher binatang lawannya dan berusaha, dengan kedua belah 

tangan berpegangan pada tanduk, membantingnya. Belum 

tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan 

nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan 

darah dan isi perut. 

Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari 

membiarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan 

tenaga. Baru lalu  ia mengguguh mata lawannya 

sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan 

guguhan pada mata yang lain banteng buta itu kehilangan 

daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai 

tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma 

adalah bila penantang dapat meremukkan kepala lawannya 

dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai 

menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, menggotong si 

pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu 

adalah gadis-gadis Tuban. Maka juga para penonton 

kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang banteng 

punya maksud Iain dibandingkan  hanya ingin melompat jadi 

perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa sebab  

kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis 

Sang Adipati akan menyambutnya pada anak tangga 

kadipaten. Di sana ia diturunkan, mendapat pangkat dan 

nama dan gelar ketentaraan yang menjadi haknya. Tanda-

tanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan 

keris, dan kalung. Begitu ia mendapat pengangkatannya ia 

dapat memilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan 

pada hari itu. Dan masyarakat Tuban yang mengagungkan 

kepahlawanan ikut serta merayakan kegembiraan mereka 

berdua. 

Lomba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi 

hari. Prajurit tidak diperkenankan serta. Penonton dari 

desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-masing. 

Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya 

memercikkan air pada para petanding sehingga lantai 

panggung jadi basah, kotor dan licin – keadaan yang 

membikin petanding lebih menarik. Para petanding hanya 

mengenakan cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus 

disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan. 

Pada tahun yang lalu mandala  telah memenangkan 

kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad 

memenangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima 

belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus 

mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi 

kebiasaan bagi juara gulat mendapat banyak tantangan. 

Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan 

seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung. 

Dalam pertandingan awal mandala  berkelahi seperti orang 

keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan 

ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri. 

Sang Adipati harus tahu: si mandala  bukan perjaka yang 

mudah melepaskan tengkorak  apa pun yang terjadi, tengkorak  

hanya untuk diri dan kebahagiaannya. 

Dua-tiga orang penantang telah dibantingnya dan nyaris 

mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para 

petugas ragu-ragu atas sikap juara dari Awis Krambil. Ia 

lebih banyak tampil sebagai pembunuh dibandingkan  

olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila 

idaman hidup direnggutkan orang dibandingkan nya. Tak peduli 

orang itu Sang Adipati atau punggawa praja. 

Dengan titah Sang Adipati pertandingan gulat 

diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang 

terpojokkan. Kunjungan penguasa Tuban pada kekasihnya 

di asmayat  telah membikinnya kalap. Ia akan tunjukkan 

pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa 

saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada 

tengkorak  melawan penantang gulat ataupun penantang 

tombak-tombak para pengawal. 

Pada awal perlombaan menari tengkorak  dipancari semangat 

tinggi. Dua tahun berturut-turut ia telah memenangkan 

kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk 

memenangkan lagi. Bukan sebab  kunjungan Sang Adipati 

yang jadi isyarat pada para penilai. Ia harus menang sebab  

kejuaraan tiga kali berturut memberinya sesuatu rencana 

kemungkinan: ia punya rencana. Dalam setiap 

pertandingan mandala  memerlukan hadir. Bukan sebab  

hendak menonton, hanya hendak mematahkan batang leher 

orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap tengkorak . 

Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya. 

Perlombaan telah berjalan beberapa hari. Setiap pulang 

dari menari tengkorak  langsung pergi ke tempat kekasihnya 

untuk menrsi tnya. Ia tak peduli pada larangan yang 

berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya, 

mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu 

dapat berkumpul untuk lalu berpisahn buat selama-

lamanya…. 

Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seru-

serunya berjalan. 

Syahbandar Rangga Iskak sedang sibuk di pelabuhan 

mencatati nama orang dan kapal peiarian yang 

berbondongan datang dari Malaka dan telah ditolak di 

bandar-bandar lain di Sumatra dan Jawa. Di Tuban mereka 

bermaksud memohon perlindungan pada Sang Adipati 

Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Jatuhnya 

Malaka ke tangan Kongso Dalbi telah jadi pengetahuan 

umum. 

Di antara para pendatang terdapat bekas Syahbandar 

Malaka Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Tholib Sungkar 

Az-Zubaid. 

Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang 

Arab – Arab yang dibencinya. la berbenah dalam hati, 

menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik 

mungkin. 

Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok, 

berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan 

halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut 

mendarat. Ia agak heran, namun  tidak menanyakan. Kapal 

itu akan berlayar terus menuju Gresik. 

“Tuan Syahbandar Tuban,” bekas Syahbandar Malaka 

memulai dalam Arab. “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini. 

Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus 

berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh 

untuk sehari akulah yang membayamya. Namaku Sayid 

Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud 

menghadap Sang Adipati Tuban.” 

“Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan 

terpenuhi.” 

Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti 

barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara 

dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan. 

Canang kadipaten menjawab. 

Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas 

Syahbandar Malaka, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid 

Mahmud Al-Badaiwi dan sekarang bernama Sayid 

Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka 

menyusul para pemikul persembahan. 

Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal 

menonton pertandingan. Umbul-umbul berkibaran tinggi di 

mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan 

jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di 

negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka 

tinggalkan sedang terlanda Portugis. 

Pendatang yang menamakan diri Sayid Habibullah 

Almasawa memperhatikan semua dengan kuping dan 

matanya. 

“Tuban sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak 

alias Ishak Indrajit menerangkan dalam Melayu. Ia tak 

meneruskan, membisu, tak memberi kesempatan pada para 

pendatang untuk bertanya. Orang Arab yang seorang itu 

merusuhkan hatinya. 

Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat 

datang dan menyampaikan tata-tertib. Mereka melepas 

semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali keris. 

Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan 

bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo 

dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan 

kursi gading kedudukan Sang Adipati. 

Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang 

ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di 

bawahnya. Itulah tempat Sang Adipati meletakkan kakinya. 

Menurut peraturan penghadapan secara Tuban, orang-

orang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan 

menyembah. Bangku atau kursi duduk tidak pernah 

disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak 

duduk harus mengambil tempat di pinggir. 

Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah 

kiri dan kanan tahta Sang Adipati. Pada tangannya mereka 

membawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang 

kuningan tempat ludah. Menyusul lalu  bentara kiri 

dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan 

belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan 

perisai. Baru lalu  datang Sang Adipati dalam iringan 

Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi 

menyusul para pengawal. 

Para penghadap yang duduk menyembah bersama-sama. 

Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan hormat 

dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala, 

termasuk Syahbandar Tuban, berdiri sambil mengangkat 

sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk 

bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang Adipati, juga 

mengangkat sembah. 

Upacara penghadapan selesai. Syahbandar Tuban 

membacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan 

dan permohonannya. lalu  seorang demi seorang 

maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan 

persembahannya sambil memuji-muji barangnya. sesudah  

persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri. 

Sang Adipati duduk mendengarkan, tanpa bicara, 

mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan 

tersenyum. 

Semua penghadap tahu belaka, satria Jawa tidak berbaju 

dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan 

ini. 

Bekas Syahbandar Malaka tercantum dalam daftar 

terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam 

Melayu: “Patik datang dari Malagasi, ya Gusti Adipati 

Tuban yang termasyhur pengasih di sepanjang pantai Atas 

Angin. Orang memanggil patik Sayid Habibullah 

Almasawa. Kata silsilah keluarga, patik adalah keturunan 

ke empat puluh dari Nabi Besar Muhammad s.a.w.” 

Rangga Iskak mengemyitkan dahi. Giginya berkerut. Ia 

tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya: 

Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu! 

“Patik hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar 

dari bandar ke bandar. Mujur tak dapat diraih, malang tak 

dapat ditolak, Tuhan belumlah memberkahi, ya Gusti 

Adipati Tuban. Sesampai di Malaka, Peranggi sedang 

menggagahi bandar. Semua isi kapal patik dirampas dan 

kapal patik dibakar. Alhamdulillah Tuhan masih ingat pada 

hamba-Nya ini. Segala puji untuk Yang Maha Pengasih dan 

Maha Penyayang.” 

Bekas Syahbandar Malaka itu masih juga tak 

mempersembahkan sesuatu barang. 

Si penipu itu! pikir Rangga Iskak. Dia sedang 

memainkan lidahnya. 

“Larilah patik ke Bengkulu. Dengan kapal patik yang 

ada di )ambi patik belayar kemari untuk memohon 

perlindungan Gusti Adipati Tuban. Adapun harta benda 

patik seluruhnya telah habis untuk membayar kerugian di 

Malaka. Ampun, Gusti, bila patik tidak mampu 

mempersembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.” 

Nampak Sang Adipati mulai kehilangan kesabarannya. 

Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju. 

Gelang-gelang mas pada tangannya, berukir dan 

bertatahkan intan permata, berkilauan. Namun ia tidak 

memberi isyarat mencegah penghadap itu meneruskan kata-

katanya. 

“Adapun harta-benda yang tersisa pada patik hanyalah 

kecakapan berbahasa Arab, sebab  itulah bahasa nenek-

moyang patik, berbahasa Melayu, sebab  itulah 

penghidupan patik sebagai saudagar rempah-rempah. Yang 

tersisa pada sahaya juga bahasa Ispanya, Gusti Adipati 

Tuban…” 

Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang 

Adipati mendeham dan memanjangkan leher mengawasi 

pembicara fasih itu dengan perhatian. 

“… sebab  di negeri Ispanya patik dilahirkan, di sebuah 

negeri yang indah bernama Andalusia, ya Gusti Adipati,” 

bekas Syahbandar Malaka meneruskan, “dan juga sebab  

itu patik berdarah Ispanya pula. lalu  bahasa 

Peranggi, ya Gusti Adipati Tuban, sebab  itulah bahasa 

yang patik pelajari sejak kecil.” 

Rangga Iskak merasa seakan lantai yang diinjaknya 

terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung 

bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang 

hendak menumbangkan kedudukannya sebagai Syahbandar 

Tuban. Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik 

jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam 

pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang Adipati 

menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai 

mayat i dengan tangan memberikan tekanan pada kata-

katanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan mendapat 

hukuman dera. 

“Ya, Gusti AdipTuban yang mulia, dilindungi oleh 

Allah, kiranya Gusti Adipati. Sedang patik hina-dina lagi 

melarat begini, ya Gusti yang tersohor bijaksana dan 

pemurah di sepanjang pantai Atas Angin, limpahkan 

kiranya pada patik suatu perlindungan, sebab  hanya Allah 

jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan Gusti Adipati 

adalah berkah dibandingkan -Nya juga.” 

Tanpa diduga-duga Sang Adipati melambaikan tangan 

dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga Iskak 

menterjemahkan dalam Melayu. 

”Permohonan Tuan kami terima, tuan Sayid. Tuan 

Syahbandar Tuban akan menrsi smu sebagai tamu pribadi 

kami….” 

Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan 

terjemahannya. Ia membelalak mengetahui, tamu yang 

mengaku diri Sayid Habibullah Almasawa telah berkenan 

di hati Sang Adipati. Celaka, pikirnya, sekali seorang Moro 

mendapat setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan 

berubah, bumi tempat berpijak akan goyah. 

“Apalagi yang masih akan dipersembahkan?” tanya Sang 

Adipati. Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan 

sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun, 

Gusti, perkenankanlah kiranya patik mempersembahkan 

sesuatu yang langsung berupa karunia dari Allah. Memang 

nampaknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan 

berkahnya.” 

Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya 

yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa 

persembahan si cerewet. Permata! tak bisa lain, orang 

menduga. 

“Berat tak seberapa, Gusti,” bekas Syahbandar Malaka 

itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk. 

“Enteng tak terkira.” 

Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang 

Adipati menjadi murka dan membatalkan semua 

perlindungan yang telah dikaruniakan. Dan memang Sang 

Adipati nampak tersinggung, tapi masih menahan diri. 

Rangga lskak gelisah. 

“Selaksa kali lebih berharga dibandingkan  in tan, mutiara, 

zamrud atau delima, sebab  memang karunia Allah 

sendiri!” 

Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi 

kekuatirannya melihat Sang Adipati bicara untuk ketiga 

kali, hanya pada seorang penghadap: “Apakah itu, Tuan 

Sayid keturunan Nabi?” 

‘Tidak lain dari benih baru, ya Gusti, dari seberang dan 

seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya 

Gusti. Sepuluh kali lebih besar dibandingkan  beras biasa. Bila 

disantap sewaktu muda, ya Gusti, hanya ditunu di atas 

bara, gemeratak bunyinya, tapi rasanya takkan kalah 

dengan emping ketan bercampur kelapa dan gula. 

Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam 

pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat 

tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang. 

Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-

Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa menaruh 

sejumput bening kuning dari dalam pundi-pundi dan 

diletakkan di atas telapak tangan kiri. 

“Orang-orang dungu di Ispanya dan Peranggi mengenai 

ini beras Turki, ya Gusti. Orang-orang Turki memang suka 

menipu, Gusti. Tidak benar ini beras Turki. Yang benar 

Zhagung namanya, Gusti. Dalam jangka waktu lima kali 

musim panas, seluruh negeri Tuban akan makan beras besar 

ini, Gusti, insya Allah.” 

Ia melangkah maju sesudah  mengembalikan benih dari 

telapak tangan ke dalam pundi-pundi dan 

mempersembahkan kepada penguasa Tuban. 

Orang terheran-heran melihat Sang Adipati tersenyum 

berseri menerimanya. 

“Telah kami terima persembahanmu, Tuan Sayid. Segala 

yang berasal dari Tuhan adalah berkah/’ lalu  

menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah. 

“Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi 

sekarang sedang musim kering.” 

Sang Patih menyembah rajanya, lalu  menerima 

pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya. 

“Dan Tuan Sayid, apa nama negeri asal beras besar ini?” 

“Negeri itu, Gusti Adipati Tuban yang mulia – orang 

mulai menamainya Amerika.” 

“Di mana itu?” 

“Di balik bumi manusia ini, GustL” 

“Di balik bumi?” Sang Adipati berseru berolok, “tentu 

mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung 

pada kaki?” 

“Tidak, Gusti, mereka sama dengan kita, demikian cerita 

pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.” 

“Merah?” 

“Merah, Gusti, seperti batu bata.” 

Rangga Iskak mengerutkan gigi dan mengemyitkan dahL 

Kegemayat nnya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan 

bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuat-

kuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya 

sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang 

Adipati berkata: “Tuan Syahbandar, apakah yang Tuan 

ketahui tentang bangsa kulit merah?” 

“Tidak pernah disebut dalam kitab apa pun, Gusti 

Adipati Tuban. Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua 

ada, Gusti. Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata. 

Tak pernah tersebut ada manusia makhluk Allah hidup 

dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.” 

Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga 

Iskak, dan tersenyum mayat h sambil mengangguk. 

“Tentang itu panjang ceritanya, ya Gusti. Sembilan 

tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan 

Isabella, telah memberikan pangestu pada pelaut-pelaut 

Amerigo dan Colombo untuk mencari negeri asal rempah-

rempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat…” dan 

bercerita bekas Syahbandar Malaka tentang pelayaran besar 

dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah 

seperti tampah namun  bulat seperti buah kelapa, bahwa di 

mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada 

kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki. 

Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di 

akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk 

mengetahui dari mana Tholib Sungkar Az-Zubaid alias 

Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah 

Almasawa mendapatkan beras besar yang bukan beras 

Turki. 

Dalam pada itu Sang Adipati sendiri sedang 

mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala 

pernah menduga dunia ini memang tidak seperti tampah 

tapi bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal 

orang putih telah mampu muncul dari balik Ujung Selatan 

Wulungga yang selama ini dianggap sebagai batas akhir 

dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke 

kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ. 

Mereka telah belayar sampai ke balik dunia dan 

mendapatkan beras besar. 

Ia berpaling pada Syahbandar Tuban. Rangga Iskak 

sedang merah-padam keunguan. Memahami akan adanya 

sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan 

Sayid Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di 

pinggir pendopo. 

“Patireja!” perintahnya pada menteri-dalam, “tempatkan 

tuan Sayid sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.” 

Beberapa jam sesudah  penghadapan selesai pecahlah 

berita ke seluruh Tuban Kota: Sang Adipati telah dihadap 

oleh seorang tamu asing, seorang Arab bemama Sayid 

Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang 

kadipaten. Berita besar, sebab  itulah untuk pertama kali 

seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras 

besar orang tak memberitakan. Dan sekarang Tuban 

memiliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit 

merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada 

tangan dan dengan kaki melambai-lambai di udara. 

Tholib Sungkar Az-Zuibaid alias Sayid Mahmud Al-

Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa merasa puas 

dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa telah berkenan di 

hati Sang Adipati. Sebentar lagi bendera Tuban akan 

dikuasainya. Syahbandar yang sekarang harus menyingkir! 

Harus! 

Pulang dari kadipaten Rangga Iskak langsung menuju ke 

pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal Sayid. Temyata 

kapal itu telah berangkat ke Gresik. Dengan jengkel ia 

pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua 

orang Arab di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut 

dalam Alkitab dan Tarikh. 

Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara Sayid 

dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa Melayu. Pada 

pandai melayani orang-orang besar dan Sayid pandai 

mengambil hati orang. 

Padalah yang mengantarkan tamu itu menghadap Sang 

Patih. Ia duduk di belakangnya. 

Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat 

orang yang barn datang dari Bonang – murid-murid Ki Aji 

Bonang – dan dianggap tahu berbahasa Arab. 

Bekas Syahbandar Malaka itu duduk di antara mereka 

berempat. Dan ujian diadakan. 

Tamu Sang Adipati tertay/a geii dalam hati mengetahui 

sedang menghadapi ujian bahasa Arab. Seratus orang 

penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa Arabkuf 

sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa 

ibunya sendiri, sedikit Melayu dan sedikit Arab! Tulisan 

latin mereka takkan bisa. Ayoh, ujilah aku, tantangnya. 

Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan 

padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa. 

“Tuan Sayid bisa membaca ini?” tanyanya. 

Ia ambil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng 

melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu. 

“Tulisan kafir,” gumamnya. 

“Jadi Tuan Sayid dapat membacanya?” 

Ia menggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya. 

“Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi 

ukara. Ini tulisan Jawa, namun  berbahasa Melayu. Tulis oleh 

Tuan terjemahannya dalam bahasa Peranggi. Tuan sendiri 

punya kertas dan kalam.” 

Dan dengan demikian ujian dimulai. 

Dari setumpukan lontar Iain Tholib Sungkar Az-Zubaid 

alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah 

Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang 

dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan Peranggi. 

Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih. 

Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada 

ia menghadapi ujian yang memakan waktu lama. Ia tak 

pernah menyangka akan menghadapi ujian pengalaman gila 

itu. Para penguji memberikan kembali terjemahan Peranggi 

padanya, lalu  menunjuk pada baris-baris tertentu dan 

bekas Syahbandar Malaka diminta untuk melisankannya 

dalam Melayu. 

Peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia mengakui 

terjemahan Peranggi itu ditulisnya dengan gegabah. 

Kalimat-kalimat dan kalimat itu bermunculan di hadapan 

matanya seperti barisan mara. Ia menyesal telah 

melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele. 

Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara 

terjemahan Melayu orang ujian itu dengan teks Melayu 

dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang 

sama dialaminya sewaktu memelayukan Ispanya tulisannya 

sendiri. Banyak selisihnya dengan teks Melayu di atas 

lontar. 

“Gusti Patih Tuban,” salah seorang penguji melaporkan. 

“Memang Arabnya tidak meragukan, Peranggi dan 

Ispanya-nya nampak agak sembarangan, Gusti.” 

“Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih. 

‘Tidak Gusti, hanya sembarangan.” 

Untuk pertama kali dalam hidupnya Tholib Sungkar Az-

Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid 

Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi 

keringat sebanyak itu. 

Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan 

pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal 

makan orang telah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi 

gamelan tak henti-hentinya berlagu. 

Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan 

pertandingan. Pada hari penutupan Sang Adipati akan 

datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para 

pengawal.Semua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka 

akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua 

gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para 

pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring 

serta kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan 

setiap orang di antara mereka akan membawa umbul-umbul 

kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul 

barisan pengawas pertandingan, semua menabuh genderang 

kecil. 

Dan begitu Sang Adipati dan rombongan datang orang 

pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu 

rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegap-

gempita. 

Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab 

sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rombongan, 

semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan 

sekedar sebab  kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan 

mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang Adipati bila 

berhadapan dengan tengkorak . 

Di dalam rombongan pembesar terdapat Tholib Sungkar 

Az-Zubaid, di Tuban Kota mulai dikenal sebagai Sayid 

Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai 

keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak 

bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung 

dan membawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung 

bengkungnya menjadi sasaran setiap mata. 

“Itulah Tuan Ulasawa!” seseorang berbisik pada 

temannya. 

Seorang lain tertawa keheranan, memberi komentar: 

“Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi 

berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.” 

“Puh!”, yang lain lagi mendengus, “Gusti kita memang 

kranjingan orang asing – dan semua saja tidak beres.” 

Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat 

diketahui: itulah tamu terhormat yang telah berkenan di 

hati Sang Adipati. 

Dan dalam hati mereka, yang memang sudah tidak 

senang pada orang asing yang mendapat jabatan tinggi, 

timbul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan 

diterimanya? Pada umumnya orang menebak: penghulu 

negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan, 

mengingat penghulu sebelumnya telah banyak mengurangi 

kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih 

juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru, 

selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan 

kota Tuban terkenal pencinta kebebasan. 

Tak jauh dari Tholib Sungkar berjalan Syahbandar 

Tuban, juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah, 

tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang 

berjalan menunduk Tak ada nampak sinar kegembiraan 

pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang 

membeludag itu. 

Damarsewu dan cempor menyala di mana-mana, 

mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan 

manusia. Namun semua lampu itu tak kuasa mengusir 

bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia telah 

mendapat firasat Sayid Habibullah Almasawa tidak lain 

dari Syahbandar Malaka yang dahulu menjatuhkan 

abangnya, dan sekarang datang ke Tuban untuk 

menjatuhkan pula sebagai Syahbandar. Tidak salah lagi, 

kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini 

bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang 

Moro itu dari Tuban sebelum Sang Adipati mengambil 

sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si 

pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu 

harus punah! 

Begitu rombongan memasuki ruangan tari, ia sudah 

mempunyai rencana. Gamelan membubungkan lagi 

sambutan. tengkorak  muncul di atas panggung menarikan tarian 

penghormatan. Kepalanya bermahkotakan bunga-bungaan 

sedang pakaian tarinya yang serba ketat memperagakan 

resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting 

senyum kemenangan. Matanya memancar penuh 

keyakinan dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah 

gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan 

pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri 

dan kanan. Dan Rangga Iskak tak melihat semua itu. 

Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang Adipati 

mengangguk-angguk menyetujui. 

“Itulah tengkorak , Tuan Sayid,” Sang Adipati berkata dalam 

Melayu, “kekasih Tuban, bunga seluruh Tuban. Tiada 

tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara 

tiga kali berturut.” 

“Patik,Gusti.” Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid 

menyala-nyala, ia angkat tongkatnya turun-naik, 

mengagumi tarian tengkorak . 

“Dahulu gadis seperti itu akan meneruskan pertandingan 

ke Wilwatikta, ibukota Majapahit.” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid mencantolkan tongkat pada 

lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuk-

tepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri 

terah patik lihat, ya Gusti. Yang ini memang tiada tara! 

Namanya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai 

betapa cantik, kau, tengkorak !” gumamnya. “Allah telah 

menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.” 

Mata Sang Adipati bersinar-sinar hampir tiada berkedip. 

Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu. 

Semua tertarik pada tengkorak . Tetap hanya Rangga Iskak 

antara sebentar melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. 

“Aduh, Aduh, Aduh, Gusti!” gumam bekas Syahbandar 

Malaka itu seperti kesakitan. 

“Apa, Tuan Sayid?” tanya Sang Adipati seperti pada 

seorang sahabat lama. 

“Serba indah, Gusti, serba cantik, serba mengikat. Kalau 

di Ispanya sana, Gusti,” ia bertepuk bersemangat, “tidak 

salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal.” 

“Apa?” 

“Hiasan istana raja Ispanya, Gusti.” 

“Hiasan istana raja….” Sang Adipati berbisik 

mengulangi sambil tersenyum. lalu  agak keras, 

“sayang hanya anak desa.” 

“Tuban menciptakan makhluknya tanpa perbedaan, 

Gusti, baik desa mau pun kota milik Allah juga.” 

Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum 

tarian tengkorak  selesai…. Rangga Iskak tidak kembali ke alun-

alun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya 

melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri 

dan ke kanan. Sampai di depan waning tuak dan ciu-arak ia 

berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia 

mengetuk dan mengetuk. Tak lama lalu  pintu itu 

terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu, 

Yakub?” 

“Tidak salah, Tuan, Yakub ada di sini menunggu Tuan. 

Tuan tidak masuk?” 

Syahbandar Tuban itu masuk ke dalam, duduk pada 

salah sebuah bangku sesudah  menggerayanginya dengan 

hati-hati. 

Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya. 

Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum 

matari dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan, 

seperti rsi  di kejauhan, tanpa nada: “Sang Adipati ini lain 

dari putra-putranya, Yakub. Raden Sayid itu sepenuh hati 

mengabdikan diri pada Islam, Sang Adipati ini, hanya 

perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar 

Rangga Demang….” 

“Tapi Sang Adipati jelas berpihak pada Islam, Tuan,” 

Yakub membantah. 

“Dari mana pikiranmu itu?” 

“Uah, tuan Syahbandar Tuban, bukankah sudah aku 

sampaikan, Sang Adipati sudah bersiap-siap dengan 

cetbang?” 

“Benar, bersiap-siap berperang terhadap Demak.” 

Yakub berdiam. 

“Lantas di mana Islamnya, Yakub?” 

“Banyak yang bilang tidak begitu. Sang Adipati tak 

pernah memperlihatkan kegusaran Jepara diambil oleh 

Demak, Tuan Syahbandar. Jepara direlakan, sebab  Demak 

Islam yang mengambil. Orang bilang Tuban bersiap-siap 

terhadap Peranggi.” 

“Bodoh, kau, Yakub. Mari aku bilangi. Tak kau lihat 

tadi Sayid palsu Habibullah Almasawa sudah mulai 

mengiringkan Sang Adipati?” 

“Semua orang sudah melihat, Tuan.” 

“Tandanya dia akan gantikan aku jadi Syahbandar 

Tuban.” 

“Tidak mungkin, Tuan.” 

“Untuk melayani kapal-kapal Peranggi dan Ispanya. Dia 

tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah mengujinya, dan 

dia dianggap lulus. Maka tak mungkin Sang Adipati punya 

sikap terhadap Peranggi atau Ispanya. Dia sendiri kafir! 

Dan akan mati sebagai kafir! Dia munafik, kafir yang 

munafik. Pada saudagar-saudagar Islam ia perlihatkan diri 

seorang Islam demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar, 

dan persembahan. Berapa perempuannya? Tak ada orang 

bisa menghitung.” Bisikannya semakin mengandung 

amarah, “Coba, orang-orang lain diperintahkannya 

bersembahyang untuknya, yang Buddha, yang Wisynu, 

yang Syiwa. Juga mandi junub, Yakub, dia tak lakukan 

sendiri, orang lain harus mewakilinya.” 

“Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang Adipati 

itu. Tapi bagaimana pun, Tuan, Sayid itu takkan mungkin 

dapat menggantikan Tuan.” 

“Mengapa tidak.” 

“Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi 

Syahbandar Tuban, biar pun Sang Adipati menghendaki. 

Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, Yakub, 

masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan 

bagaimana jalan dan caranya.” 

Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan, 

semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru 

bertemu sesudah  berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana 

tertimpalah pada malam itu juga: Sayid Habibullah 

Almasawa disingkirkan dari Tuban, hidup atau mati. 

Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan seteliti-

telitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai 

sepenuhnya. Dan waktu Syahbandar akan pulang terdengar 

suara Yakub yang agak keras: “Nanti dulu, Tuan. Belum 

lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si Yakub miskin dan 

teman-temannya.” 

“Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut 

biaya. Berapa kau kehendaki?” 

“Lima dinar, Tuan.” 

“Husy. Dengan lima dinar aku bisa beli kepalamu 

sampai kepala nenekmu sendiri.” 

“Uah, uah,” lalu  Yakub tertawa senang, “hanya 

lima dinar harga jabatan Tuan? Tinggal pilih, Tuan. Yakub 

sih, sekedar tenaga murah.” 

Rangga Iskak berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya: 

“Dalam waktu berapa hari semua selesai?” 

“Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten, 

jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.” 

“Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi 

tanpa menoleh lagi. 

Yakub tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan 

mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam 

pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus 

keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau 

emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar 

buaya darat!” 

Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-

Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa masih 

mendengkur di gandok belakang kadipaten…. 

0o-dw-o0 

 

5. tengkorak  dan mandala  

Pagihari. 

Semua orang datang ke alun-alun membawa bekal 

makan. 

Pelabuhan sunyi. Jalan-jalan senyap. Semua 

berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri 

keputusan Sang Adipati di hadapan para petanding. 

Alun-alun lebih mayat i dibandingkan  kemarin atau kemarin 

dulu. Bangsal-bangsal pertunjukan telah terbongkar. Dan 

orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli 

rakyat biasa saudagar ataupun orang asing. 

Penduduk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya 

penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya 

Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. 

Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan 

tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bunga-

bungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan 

diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian 

adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada 

manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah 

wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya. 

Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para 

peserta pertandingan telah duduk di dalam pendopo 

kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi 

sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar 

tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris 

orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan 

pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari 

dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar 

mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di mana-

mana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan 

destarnya. Dari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit 

sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan 

percakapan yang terjadi di pendopo nanti. 

Di dalam pendopo sendiri Sang Adipati telah duduk di 

atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk 

bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari 

kebiasaan, Tholib Sungkar Az-Zubaid mendapat kursi kayu. 

Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak 

mendapat kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di 

pinggir kiri, dan dengan demikian mendapat kebebasan 

menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu. 

Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin 

had tangannya semakin mendekati bandarku juga. Dengan 

dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan 

terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segemayat n dan 

kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu 

mendarat di Tuban. Sekarang dia mendapatkan bangku 

pula! Alamat Sang Adipati telah jatuh ke dalam 

genggamannya. Keparat! Laknat! 

Dan para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu 

akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti 

mungkin akan diumumkan. 

Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, 

dengan lisan telah mempersembahkan nama para juara 

yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para 

peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para 

peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang 

lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai 

berderaian mengegongi. 

mandala  tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, 

dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak 

yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari 

Awis Krambil membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan 

ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang 

bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun 

terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya. 

Nama para juara telah selesai disebutkan. Orang masih 

juga tak dengar nama tengkorak . Seluruh hadirin sunyi 

membisu dalam kecucukan dan ketegangan. tengkorak ! 

mengapa dia? Mengapa tak disebut? Apa sedang terjadi? 

Tapi akhirnya nama itu disebutkan juga: “Juara tiga kali 

berturut untuk tari, tengkorak , dari desa perbatasan Awis 

Krambil!” Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun. 

Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang 

semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi. 

“sesudah  dua puluh tahun ini, muncul, sekarang juara 

tiga kali berturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan 

namanya: tengkorak . Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang 

Adipati Tuban berkenan bertitah….” Sunyi-senyap. 

Di dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak henti-

hentinya melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu 

sedang duduk tenang menikmati kegembiraan yang 

berlangsung di depan matanya sambil mencicipi 

kehormatan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi 

kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang 

atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan, 

dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain? 

”]uara tiga kali berturut” Sang Adipati memulai dengan 

suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut 

nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang 

mencicipi madu. 

Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, 

berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun. 

“Ketahuilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak 

pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan 

tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! 

Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam 

hidupnya seorang dewi tiada tandingan.” 

Dan kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati 

rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang 

Adipati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan, 

atau Allah, atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang 

Hyang Widhi. la sengaja hendak menenggang semua agama 

rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau 

tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama. 

“Sang Adipati Tuban,” ia meneruskan, “dan seluruh 

negeri Tuban. tengkorak , memuja kau. Kami dapat mengerti 

mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat 

dikagumi dan dipuja di ibukota ini” 

Sang Adipati berhenti bicara, memberikan kesempatan 

pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang 

bersorak ragu, lalu  menggelimbang sejadi-jadinya, 

lalu  ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, 

sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi 

peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda. 

Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia 

mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia 

pandangi tengkorak  di tempat duduknya dan sedang 

mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk 

menekuri lantai. 

“Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui,” 

Sang Adipati meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga 

setuju.” 

tengkorak  tetap menekuri lantai. 

“Orang tua-tua mengerti, tengkorak , dan kami, Adipati 

Tuban juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga 

kali berturut. tengkorak ! Mengapa kau menggigil?” 

Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada, 

berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. 

Sebentar sorak-sorai meledak, lalu  mendadak padam. 

Sunyi-senyap. 

“Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. 

Siapa pun mengerti keb