nusantara awal abad 16 3

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 3


 


putih. 

“Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan 

putih seperti itu?” 

“Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?” 

“Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku 

tidak mengharapkan perawan atau jandanya tengkorak , Kang. 

Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih 

juga?” 

mandala  meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam 

hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia 

tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja 

hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke 

dalam asmayat , hendak berdamai dengan hati sendiri. Tapi 

kembali ancaman kepala desa memasuki ingatannya. Kalau 

dia libatkan diriku pada mayat  CIuring, tentu juga tengkorak . 

Dia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke 

hadapan Sang Adipati sendiri. 

Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa, 

terhadap Sang Adipati, terhadap seorang raja. Hukuman. 

Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi mayat  CIuring tidak 

keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk 

kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan, 

sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan tengkorak  akan 

ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis 

perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang 

membebaskan setiap peserta perlombaan yang diasmayat kan 

dari segala tuntutan. 

Maka aku dan tengkorak  harus menang. Harus! 

Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami 

berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa 

bebas, tapi tengkorak ? Mungkinkah dia bisa balik ke Awis 

Krambil bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini 

tanpa tengkorak , tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan 

apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi 

seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati….? 

0o-dw-o0 

 

tengkorak  sedang masak waktu mendengar berita itu: 

“mandala  bingung! mandala  bimbang! Dia akan kalah di 

gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan 

tengkorak . Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: tengkorak  

saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.” 

‘Teka-teki yang buruk,” tengkorak  menanggapi dan belum 

begitu menyedari duduk-perkara.  

“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.”  

“Apa maksudmu sesungguhnya?” ia tinggalkan periuk 

dan mendekati teman masaknya. 

“Maksudku, tengkorak . Di desamu sana, semua orang 

melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau 

sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak 

gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada 

wajahmu. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu 

mendekatkan bibir pada kuping tengkorak : “Kau akan tinggal di 

keputrian, tengkorak .” 

tengkorak  membeliak. Centong pada tangannya luruh ke 

tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai 

gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan 

kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk: 

‘Kecakapan dan kecantikanmu, tengkorak , akan membantu kau 

mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang 

menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam 

menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam 

percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota. 

“Ya, tengkorak , pemenang tunggal akhir-akhirnya Gusti 

Adipati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih 

mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Krambil belum 

juga mendapat tambahan Raden Bambang, belum ada lagi 

Nyi Ayu….” 

tengkorak  menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku, 

mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara 

kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur, 

hitam diselaputi jelaga tipis. 

Temannya memungut centong dan mencucinya dalam 

jambang air, lalu  membetulkan letak kayu bakar. 

“Tak ada pilihan lain bagimu, tengkorak ,” katanya lagi sambil 

melewatinya. 

Dalam mata batin tengkorak  kini terpampang dirinya sendiri, 

la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu 

doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari 

para dewa yang masih punya persediaan kemurahan…. 

Asmayat  itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak 

seberapa jauh dari gedung kadipaten. 

Di luar asmayat  orang-orang terus juga menggerombol 

dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan 

dapatlah pandang dilemparkan ke dalam. 

Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid 

pelabuhan telah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak 

yang mendesak daratan terdengar azan bilal. 

Di depan asmayat  orang semakin banyak datang. Hampir 

pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: tengkorak  

yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu. 

Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati 

masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. tengkorak ! 

tengkorak ! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik, 

menggonggong dan melolong seperti anjing di musim 

kawin. Dan setiap orang di antaranya punya harapan: 

seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis 

perbatasan itu pada dirinya. 

Dan malam itu sesudah  mengikuti pelajaran tatakmayat  

kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para 

punggawa, terutama Sang Adipati sendiri, semua calon 

petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing. 

Kelelahan berlatih dan bekerja membikin mereka terlalu 

rindu pada bantal. 

tengkorak  masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek 

menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan 

tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih 

dapat menangkap sindiran dari sana-sini. 

“Siapa seminggu lalu  akan memasuki keputrian?” 

dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke 

bibir. 

tengkorak  diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan 

duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih 

yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti 

seorang bayi seminggu yang membutuhkan perawatannya. 

Dan ia tak dapat memberikannya. 

Tanpa disadarinya matanya telah melepas mutiara-

mutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala 

keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari 

angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya 

sampahnya yang berhamburan tak menentu. 

Seorang demi seorang telah mulai tertidur. Akhirnya 

tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin 

nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang 

merobosi sirap. 

Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa 

membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang, 

berdiri sederhana di pinggir hutan. mandala  sendiri yang 

mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua 

akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka 

huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak 

perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan 

itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago 

sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang 

cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk. 

Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan 

daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak 

sebanyak-banyaknya! 

Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal 

sekarang ini. 

lalu  Sang Adipati muncul dalam mata batinnya, 

bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap, 

gagah, dan mandala  dihalau dari hadapannya. Kekasihnya 

itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan 

sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah 

terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki 

perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan 

tangan dan keris sendiri. Ah, mandala , Kang mandala ! Bahkan 

kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi 

buat terakhir kali. 

Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti 

air mata bagi Sang Adipati? Sedang nyawa orang pun 

miliknya? Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang 

boleh menyentuh dirinya, mandala  tidak, orangtuanya 

sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah 

lelaki, berumur empat belasan, mendadak telah berdiri di 

hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang 

bercincin mas, terpasang pada bibir – ia memberi isyarat 

agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik 

selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian 

ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja 

menyangkal keningratannya, sebab  ujung-ujung 

pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit, 

lebar, berkilauan dengan hiasan perak. 

Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik 

lontar. 

Dan sebelum tengkorak  sempat bertanya ia telah keluar dari 

bangsal wanita. 

Gadis Awis Krambil itu melangkah ke sebuah 

damarsewu dan membacanya: “tengkorak , kekasih si Kakang. 

Jangan kaget sebab  datangnya lontar ini. Di luar sana 

malam, tengkorak , namun  dalam hatiku kekuatiran yang 

merajalela. Kalau nanti, tengkorak , kekasih si Kakang, menang 

atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu Gusti Adipati 

menghendaki dirimu…. tengkorak , pujaan si Kakang, 

bagaimana akan jadinya?” 

Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar 

itu diciumnya, lalu  ia gulung kecil, ia tekuk. Ia 

lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya. 

Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang 

itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan 

turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu. 

Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong 

besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis. 

sesudah  selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul 

tulisannya. 

Si bocah menongolkan kepala di pintu. tengkorak  

menyerahkan lontar balasan. 

Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan asmayat , 

lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai 

terbit…. 

Gerombolan orang di luar asmayat  sudah lama bubar 

dengan menyemaikan harapan untuk hari esok. 

Dalam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar 

balasan pada mandala . Juara gulat tahun lalu itu tanpa 

sabarnya segera membacanya. 

“Kakang mandala , kakang si adik. Memang semua orang 

sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan 

aku bisa perbuat, Kang? Gusti Adipati tak dapat kita 

hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan 

terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Krambil. 

Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan 

yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku 

dengan kekalahan. Hyang Widhi mengabulkan, Kang.” 

mandala  menyorong lontar itu pada api damarsewu, 

terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di 

sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu 

pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke 

sekeliling asmayat . 

Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana 

pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar 

canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan 

mendengarkan. lalu  terjadi yang diduganya: keri-

butan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke 

ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua, 

bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah 

masuk dalam acara. 

Pada berdiri tegak. Mata terarah pada tengkorak  yang juga 

berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi isyarat 

agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas 

diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan 

perhiasannya. 

“Para mbokayu calon juara!” katanya lantang tanpa 

ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget 

jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu 

memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di 

malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon 

juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini 

kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki 

pelabuhan.” 

“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?” 

seseorang bertanya. 

‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama 

sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan 

supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk 

membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang 

terpenting, para mbokayu calon juara: warta itu tertuju pada 

kadipaten, bukan pada asmayat  ini!” 

‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan 

perang.” seseorang membantah. 

”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal 

Demak.”  

“Demak?” 

“Demak menyerbu dari laut?” 

“Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua 

mbokayu calon juara.” 

Gadis-gadis itu terlampau mudah diyakinkan dengan 

gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak 

ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya. 

tengkorak  justru mendekati Pada. 

“Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi 

pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat. 

“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,” 

bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindahkan teguran. 

“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat 

dipercaya?” si bocah berbisik kembali.  

“Percintaan memang dilarang di sini mbokayu.”  

“Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar 

ke sana….” tengkorak  menuding ke arah kadipaten, “apa 

bakal?”  

“Apa bakal jadinya?” ia mencibir,  

“Mbokayu celaka, Kang mandala  celaka. Aku lebih celaka 

lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri 

yang tinggal pilih? Kang mandala  sendiri bisa apa? Memilih 

seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang 

sudah tahu soal Mbokayu dan Kang mandala , dan soal 

Mbokayu dengan yang sana?” 

“Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat 

dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?” 

Untuk pertama kali dalam asmayat  gadis itu melihat mata 

si bocah, yang beberapa tahun lebih muda dibandingkan nya itu, 

menyala-nyala memberahikannya. 

‘Tak ada orang bisa membantu,” bisiknya berwibawa. 

“Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan 

semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di 

negeri sendiri?” 

“Kau benar, Pada,” ia mengalah sesudah  mengherani 

kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya 

yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih 

suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas 

Angin dengan Parta. Tapi memang tidak semudah itu, 

Pada. Kau harus membantu.”  

“Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk 

membantu.” 

”Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak 

melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si 

lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur. 

0o-dw-o0 

 

Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun 

berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada 

duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah 

panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang 

memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh 

gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan 

bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir 

jalan. 

“Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan 

dihembuskan. 

“Kongso – seperti nama orang sebelah barat sana. 

Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.” 

mandala  diam-diam mendengarkan untuk mengetahui 

duduk perkara. 

“Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun 

tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya 

dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih 

tinggi, juga tidak lebih besar dibandingkan  kita.” 

“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya mandala  bertanya 

juga. 

“Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna 

ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar 

tolol perbatasan! Hanya tengkorak  saja tahu, itu pun bakal tak 

kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.” 

“Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, mandala  wajib 

tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya. 

Kongso Dalbi… orang Peranggi. Peranggi pun kau tidak 

tahu barangkali?” 

mandala  menggeleng dan Boris mentertawakannya. 

“Peranggi,” pengawas mengulangi. “Ayoh, kalian, siapa 

tahu tentang negeri Peranggi? Ayoh katakan siapa yang 

tahu.” 

Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana 

negeri Peranggi, Pengawas?” 

“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah 

sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.” 

“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya, 

Boris? Petai hampa?” mandala  bertanya. 

“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas 

juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah 

jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. Goa 

namanya. Bandar itu sekarang dipergunakan jadi pangkalan 

kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapai-

kapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar 

sebelum mencoba? Tapi kau jangan coba-coba, Kang 

mandala . Di darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi 

pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau 

banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di 

tangan mereka.” 

“Betul, mandala ,” pengawas membenarkan. “Hanya agar-

agar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat! 

Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan 

bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar 

sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak per-

batasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka 

mengejek tidak sepatutnya.” 

“Biar, pengawas, dibandingkan  kalah untuk kedua kalinya di 

gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar 

gelanggang,” mandala  melepaskan anak panahnya. “Biar dia 

bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.” 

“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, mandala , 

uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau 

pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing 

untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian. 

Jangan kalian lupa.” 

“Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang mandala ,” kata 

Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa 

keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang 

lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti 

datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana surya terbit pada 

hari ini….” 

Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang 

bertalu. Tak lama lalu  canang kadipaten menyahuti 

bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut 

peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti 

sebelum sarapan pagi datang. 

Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan 

pekerja tak punya kekuatan sebelum sarapan, mengambil 

kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan 

justru sebab  canang yang mayat i bersahut-sahutan 

pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapal-

kapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati 

Singhala Dwipa. 

Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru 

seperti seorang pembesar “Para Mbokayu dan Kakang 

calon juara – sesuai dengan aturan, tahun ini – dengarkan 

baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan 

atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh. 

Sekarang sudah siap menghadap Gusti Adipati Tuban. 

Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: Gusti 

Adipati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak 

ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk 

melihat iring-iringan penghadap – kalau bisa mengintip – 

tapi jangan rusakkan pagar – jangan lewatkan kesempatan!” 

“Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani. 

Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan 

ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan 

sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran 

depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak 

mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari 

tumpukan batu atau kayu. Yang mendapatkan tangga 

berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada 

dengan kemenangannya. 

Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun 

yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalan-

jalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke 

kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak 

bersimpuh menghormati iring-iringan, namun  berhenti 

menonton. 

Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar 

Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga 

Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban 

putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda 

berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada 

pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah 

seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang 

sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan 

kepalanya selalu menunduk seakan sedang menghitung 

setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul 

para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi 

pergunjingan. Orang mendapat kesempatan menaksir-naksir 

berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan 

orang bertaruh. 

Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iring-

iringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip 

meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali 

ke dalam asmayat  untuk mendapatkan sarapan. 

0o-dw-o0 

 

Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu 

meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan 

nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang 

jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani 

terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan Gusti 

Adipati Tuban dan untuk keputrian. lalu : batu-batu 

permata dari Arabia, Birma dan Singhala Dwipa, kain 

khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu Arabia yang 

tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri 

Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu. 

Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia 

telah memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu 

tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak 

diperlukan penterjemah. 

“Jadi dia bisa Melayu!” seseorang memberi komentar. 

“Mungkin juga pintar Jawa,” yang lain menambahi. 

Persoalan baru itu tidak menarik orang. 

Di dalam ruangan latihan mandala  berdiri di dekat sebuah 

meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek 

tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan 

minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada 

memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang 

punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak 

makanan dan minuman: Hanya mandala  memperhatikan 

airmukanya. 

“Madu dan telor memang cukup, Pada,” tegur juara 

gulat dari Awis Krambil itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada. 

Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.” 

“Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain membenarkan. 

“Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras, 

berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada 

di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada 

seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari 

Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang 

dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan 

untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku? 

Tuak dilarang, kataku.” 

“Dulu tak begitu banyak larangan,” mandala  memprotes. 

“Memang. Kang mandala  tidak keliru: Dulu, dulu – 

sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak 

boleh dihidangkan di sini. Di asmayat  sini, juga daging 

anjing.” 

“Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,” 

mandala  mengancam. 

“Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan 

diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat 

batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau 

tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu 

belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus 

dikumpulkan di alun-alun – besok sampai lusa, sebelum 

perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!” 

“Apa salahnya batu-batu itu? 

“Salahnya, sebab  mereka berukir!” jawab Pada ketus. 

“Kata orang, Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap 

putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, 

jadi rsi  pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang. 

Dan batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, barang-

barang jahat.” 

Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam 

mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyala-

nyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu 

dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai 

gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya 

jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata 

membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding. 

Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat 

penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh 

ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan 

tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah 

tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh 

bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap 

hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang 

datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak 

nampak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mutlak 

seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng, 

utuh bulat tiada retak tiada rekah. 

“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba meredakan. 

Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat 

jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia 

menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun 

keluar kata-kata sendu: “Memahat batu dilarang. Lantas 

harus kerja apa aku?” 

“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak. 

“Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu, 

“bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup 

dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh 

memahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir 

itu?” 

mandala  tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheran-

heran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia 

belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa 

mematahkan lehernya. 

Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya. 

“Teduh! Teduh!” kata mandala  menghibur. “Pada belum 

lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.” 

“Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris 

mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi. 

Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan 

pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua 

belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan 

dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi, 

tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu. 

Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi. 

Apakah Gusti Adipati sudah bertekad melawan para 

dewa?” 

Lambat-laun mandala  mengerti, pernahat penantangnya 

sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi 

kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak 

ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya, 

juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati 

Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.” 

“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati-

hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di 

atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan 

dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang 

ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.” 

“Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan 

batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik 

semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk 

dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghiba-

hiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi! 

Jangan dicari. Tak perlu dicari!” Meraung: “Biadaaaaab!” 

Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran 

depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi 

pagar papan kayu. 

Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari asmayat ! 

Lari!” 

“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?” 

“Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!” 

Sebentar lalu  seruan-seruan terdengar 

menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat 

ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai 

menggerombol lagi di depan asmayat . 

Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu. 

Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan 

gulat. 

“Gila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia 

pergi.” Seperti telah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu 

lebih baik.” 

mandala  melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin 

bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya 

terpaut pada tengkorak …. 

Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan 

langit dan menyelebungi bumi. 

Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa 

orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang Adipati 

memasuki asmayat . Ia berjalan langsung menuju ke bangsal 

wanita. 

Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak 

mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada 

bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat 

Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimpuh di 

lantai dan mengangkat sembah. 

‘tengkorak ! Mana tengkorak !” panggil Sang Adipati. “Mana 

tengkorak  Awis Krambil?” 

Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih 

menyala tertimpa sinar damarsewu. 

“tengkorak , kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, Gadis!” 

Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri 

kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis 

tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia 

mengangkat sembah untuk ke sekian kali, lalu  

bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana di-

ajarkan oleh tatakmayat . 

“Bawalah keharuman dari Tuban, semua kalian! Kau 

juga, tengkorak , kekasih Tuban. Jangan mengecewakan. 

Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan. 

Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan 

kau, tengkorak , kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga 

kali berturut?” 

“Inilah patik, Gusti Adipati Tuban,” jawabnya gemetar. 

“Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi 

cukupkah jadi juara dua kali berturut?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban. Patik sekedar 

menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga 

gemetar. 

“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang 

menolaknya?” 

“Ampun, Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik. Patik 

takkan sanggup hidup di luar desa patik, Gusti. Iagi pula 

apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa, 

Gusti?” 

Sang Adipati tertawa senang. 

“Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus. 

Bukankah Tuban Kota lebih baik dibandingkan  desamu? Pasti 

lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.” 

Menurut tatakmayat  yang diajarkan, apa pun yang telah 

dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh membantah. 

Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah. 

Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya 

dengan menerima karunia dari para dewa. 

tengkorak  bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang 

ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki 

penguasa sudah tak ada di hadapannya. 

Sang Adipati telah meninggalkan asmayat  dan memasuki 

kegelapan malam. 

0o-dw-o0 

 

Melalui jalan belakang Sang Adipati menuju ke sebuah 

taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang 

kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam 

kerumunan nyamuk. 

Para pengawal bertugur di kejauhan 

Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya. 

Waktu seperti ini dipergunakannya untuk mengingat-

ingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini. 

Nama saudagar Arab yang memohon menghadap sendiri 

itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba. 

Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di 

antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana gelar mana 

tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut. 

Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya Gusti, 

adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi 

apalah kiranya Gusti Adipati Tuban daiam berpegangan 

pada kitab suci ini serta memikirkan ummat Islam di Atas 

Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai 

kerajaan terkuat di Jawa sesudah  Majapahit. Raja-raja Islam 

mempunyai harapan besar Gusti Adipati Tuban 

melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, Gusti, 

armada Peranggi tak henti-hentinya berusaha menguasai 

dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepan-

jang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama-

sama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum 

semua kita, sebab  tak berbuat sesuatu terhadap angkara si 

kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya Gusti Adipati 

Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai 

semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah 

menguasai semua bandar. Bila mereka sampai ke Jawa, 

matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan, 

matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi 

dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan 

perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan 

menumpas ajaran Rasulullah s.a.w. 

Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan 

itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari 

empat orang raja Atas Angin, semuanya Islam. 

Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama 

Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan 

kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam 

kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak 

tahu, satu wilayah Tuban telah dirampas oleh kerajaan 

Islam, Demak. Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak 

aturan aku titahkan untuk membuat penyesuaian dengan 

Demak. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya. 

Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui 

keislamanku. Dan sebab nya mereka menuntut, 

berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan 

bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak mengun-

tungkan kami selama ini. Tapi apakah itu sudah cukup 

banyak untuk mempertaruhkan Tuban dalam suatu 

peperangan? 

Ia mengggeleng lemah. 

Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan! 

Demak masih harus diemong untuk tidak jadi binal. Jepara 

jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja 

Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh Demak. Tidak 

dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan 

memasuki Jepara dan Semarang! Dan apa yang terjadi di 

Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencampuri. 

lalu  ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya 

keadaan baru yang menggelombang di Atas Angin. 

Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru. 

Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti 

akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai 

melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai 

berbahasa Peranggi dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa 

dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang 

yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga 

Iskak. 

Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa, 

teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan 

negeri-negeri lain, Gusti, dengan semua kerajaan Islam, 

bersama-sama menghancurkan Peranggi dan Ispanya. 

Menurut patik, ampunilah patik, ya Gusti Adipati sesem-

bahan patik, itulah satu-satunya jalan menyelamatkan 

Tuban. Dan Sang Adipati bertanya, ‘Juga dengan Demak?’ 

Sang Patih menjawab, ‘Sementara Demak harus dilupakan, 

Gusti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih 

mematikan’ 

Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran, 

mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan 

terimakasih. Tapi dengan diam-diam ia lebih suka mencari 

jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi 

semacam olahraja. 

Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh 

tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari 

semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai 

kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia 

berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea 

untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan 

laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat 

kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut 

pendapatnya, orang menjadi berbangsa sebab  justru punya 

kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak 

punya, juga tak tahu kebenaran. 

Syahbandar harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah 

keputusannya malam ini. 

0o-dw-o0 

 

Pada waktu Sang Adipati sedang mengukuhkan 

kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang 

terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias 

Rangga Iskak 

Ia sedang gelisah di kesyahbandaran. 

Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu. 

Saudagar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama 

ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab 

mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai 

Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam 

perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan 

seorang Arab. 

Dan sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani 

kebutuhannya selama tinggal di Tuban. Baru saja datang, 

dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap 

sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan 

tidak bisa berbahasa Melayu! 

Tadi ia telah panggil Yakub agar datang menghadap 

padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu, 

membungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya 

Tuan Syahbandar!” 

Ia bergumam menjawabi dan melambaikan tangan 

menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk. 

Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota, 

terutama di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerin-

tahkan Yakub mendekat. lalu : “Apa yang bisa kau 

katakan, Yakub?” tanyanya tajam dalam Melayu. 

Yakub berperawakan kecil, berumur sekira dua puluh 

delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak 

berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan 

tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara, 

dan: kurangajar. 

“Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu.” 

jawabnya dalam Melayu juga. “Sang Adipati sudah 

memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang 

orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden 

Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji 

Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar, 

maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah 

Jawanya memang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu 

yang dimaksudkannya Kholik?” ‘ 

Rangga Iskak bertanya tajam: “Bukankah kau tahu 

bukan itu yang kutanyakan?” 

“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan 

itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!” 

Sekarang Syahbandar yang tertawa. Dengan kedua belah 

tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar 

membalikkan badan dan meneruskan tawanya. 

Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil 

kelihatan Yakub terheran-heran. 

“Tuan mengetawakan Yakub?” tanyanya menuduh. 

“Apa yang lucu padamu?”  

Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. “Tak pernah 

kau nampak setolol sekarang.” 

“Laporan Yakub salah?” 

‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu. 

Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?” 

Yakub memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujung-

ujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang 

mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin. 

Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap 

resmi. 

“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil 

mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi 

sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan 

mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping 

Syahbandar masih terpaut sejengkal. 

Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor 

ayam sedang melirik pada elang di langit. 

“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar. 

Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu 

dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan 

kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan 

pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri, 

pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Empat kali 

belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan 

itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang 

Adipati, apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.” 

“Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segala-

galanya.” 

“Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud, 

saudagar Arab itu, sama sekali tidak membawa atau 

mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan 

sebab nya lebih penting dari segala-galanya.” 

“Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini 

justru yang terpenting. Satu dinar.” 

Syahbandar nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke 

seluruh ruangan. Selama ini keterangan Yakub selalu benar. 

Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap 

mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada 

sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah 

pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau 

dibiarkan, dia akan menjadi-jadi. 

“Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,” 

Yakub merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini 

lama?” 

Pertahanan Rangga Iskak patah. Dengan berat hati ia 

keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya. 

Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu 

sambil menyumpah. 

Yakub menangkapnya, mengujinya di bawah lampu, 

tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya 

sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat 

pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju 

itu dan menebah pinggang. 

“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini, 

mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.” 

“Husy!” bentak Rangga Iskak tersinggung. “Katakan” 

“Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan 

bisiknya Yakub meminta perhatian sambil mencoba 

mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore 

hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan 

ke Trantang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu: 

mulai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan 

belas cetbang baru.” 

“Itu beritamu yang terpenting?” 

“Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah 

mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas 

anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.” 

“Dalam berapa lama cetbang harus selesai?”  

“Tidak jelas.” 

Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah 

tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar 

dibandingkan nya telah diperhitungkan harganya. Mengerti 

Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah 

Sang Adipati sudah berkunjung ke asmayat  wanita?” 

“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.” 

Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam 

kegelapan. Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali 

dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci 

pintu dari dalam, lalu  duduk termenung di atas 

bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam: 

“Penipu yang tertipu itu telah jual dagangannya padaku. 

Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan 

dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.” 

Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal 

sesudah  mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah 

asmayat  wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati 

masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu 

yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari 

pikirannya. 

Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang 

dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar 

semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat 

itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin…. 

Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau 

tipu. Rangga Demang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati 

Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh 

berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa 

percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau 

hendak menggertak Demak. Tapi siapa pun tahu kau lebih 

suka berdagang dibandingkan  berperang. Tua bangka tak tahu 

diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari 

dari asmayat . Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu? 

Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah 

seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari 

sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat mudah untuk 

kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki 

Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya 

menghendaki dibenarkan keislamanmu. Kau tetap kafir. 

Tapi kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya 

Majapahit juga sebab  kecerdikanmu! 

Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan 

Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama 

dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk 

mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali. 

Ia mengangguk-angguk mengerti. 

Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh 

penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toa-

lang, yang oleh penduduk disebut Semarang. Dan 

Semarang yang mendirikan kerajaan Demak untuk menjadi 

bentengnya terhadap Tuban. 

Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu 

pada mengabdi pada Demak. Waktu Demak merampas 

Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada 

Tuban, semua anakmu yang di Demak diam. 

Dan sebab  semua itu aku kehilangan satu dinar! 

Keparat si Yakub! 

Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istri-

istrinya di kamar-kamar belakang. Namun sesudah  itu ia 

tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga 

yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. sesudah  

sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia 

telah berdoa memohon rezeki yang berlimpahan 

Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar 

lalu  saudagar Abud muncul untuk minta diri. 

“Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau musuh Islam, 

Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban?” tanyanya dalam 

Arab. 

“Mana mungkin, ya Abud?” 

“Bagaimana tidak mungkin? Goa jatuh. Dan Malabar. 

Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini 

Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam 

rembang fajar di depan pintu gedung. ‘Tuban terlalu jauh, 

ya Abud,” jawabnya tak acuh. 

“Benggala pun jauh dari Peranggi.” 

“Aku hanya Syahbandar, bukan raja.” 

“Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja,” 

katanya menyarani. “Demi Allah, Tuan Syahbandar 

mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung 

dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan 

mereka. Allah memberkahi Tuan” 

Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud 

ke jurusan pelabuhan. 

“Arab, jih!” Rangga Iskak meludah ke tanah. “Setiap 

gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi 

tangannya yang merogo pundi-pundi orang.” 

Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi 

halimun tipis pagi hari. Matari pun mulai terbit. Samar-

samar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang 

masih tutup. 

“Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu. 

Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.” 

lalu  ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan 

naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu 

sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapal-

kapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat Yakub sedang 

turun dari kapal si Abud. 

“Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas, 

kau, bedebah!” 

Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya 

pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya 

yang tua itu membikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan 

keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut 

penjaga menara berganti-ganti. 

“Kafir!” makinya dan turun lagi. 

0o-dw-o0 

 

4. Sayid Habibullah Al-Masawa 

Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh 

dari dermaga. Matari pagi sedang mengusir halimun yang 

masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal 

dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung. 

Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal sebab  

halimun. Dan matari sendiri baru beberapa derajad dari 

permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada 

permukaan laut berpendar-pendar lesu. 

Jauh di bandar Malaka sana perahu-perahu dan kapal-

kapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai 

ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak 

hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata 

akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari 

bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak 

merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang 

kelihatan mondar-mandir. Semua pria. 

Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis 

mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai 

bermunculan dari sebaliknya, Terdengar lalu  yang 

banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam 

– meriam bergelegaran. Api bersemburan dari moncong-

moncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut 

udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua 

menuju ke bandar Malaka. 

Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana 

mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang 

mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti 

cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas, 

membikin kelam udara yang kelabu. 

Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman meriam, 

api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad 

yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka. 

Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan 

berhamburan lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan 

kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi, 

nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap, 

menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba 

melarikan diri dan keselamatan. 

Bola-bola besi dari kapal Portugis tak membiarkan 

mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan 

kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang 

dari pengelihatan, ditelan laut. 

Kapal-kapal dari armada kebanggaan Malaka masih juga 

belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah. 

Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya 

sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh 

Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh 

bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam 

ke dasar laut. 

Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana. 

Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning 

pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian 

kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang 

menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari 

meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit 

bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan 

yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah 

armada Portugis. 

Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba, 

dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara, 

terbang menyambari barisan prajurit bertombak itu. Mereka 

bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan. 

Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang 

dan serpihan daging. 

Tak ada lagi barisan muncul. Bandar telah jadi lautan 

api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal 

Portugis mulai menurunkan sekoci. Serdadu-serdadunya 

pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu 

menuju ke bandar. 

Kini balatentara Malaka mulai mengisi semua jalanan 

bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa 

matari yang telah berhasil mengusir halimun. Di antara 

letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka. 

Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan 

dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati 

tombak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tembakan musket 

menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas. 

Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah 

dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang 

tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri. 

Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap. 

Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso 

Dalbi-menyerbu dan menduduki Malaka. 

Dengan tergopoh-gopoh Sultan Mahmud Syah, 

keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan 

pasukan gajah. Binatang-binatang raksasa itu didapatkan 

telah bergelimpangan termakan racun. Balatentara Malaka 

tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam 

waktu pendek dihalau oleh peluru musket Portugis. Perang 

darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan 

mati-matian. 

Tapi senjatanya terlalu pendek. Musket dan meriam 

tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur, 

harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah 

terpisah dari tulang. 

Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan, 

Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas 

tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di 

tangan Portugis. 

Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung 

merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga 

nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesa-

gesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu, 

lalu  berlayar menuju ke tengah-tengah armada 

Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau 

panjang berjela-jela. 

Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerak-

geriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus 

mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat 

datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau 

diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu 

berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang 

seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada 

Portugis. Di bawah tiang utamanya berdiri seorang lelaki 

tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali, 

berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu 

gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan 

cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam 

oleh beberapa lembar uban. 

Portugis tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu 

pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu 

terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar 

bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu 

bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di 

atas permukaan laut. 

Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya. 

Berkata dalam Melayu:” Alhamdulillah, ya Tuan Sayid 

Mahmud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya 

ini selamat.” 

“Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku,” jawab 

penumpang itu angkuh. “Tuhan takkan membiarkan 

terlantar ummat-Nya yang beriman.” 

“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda.  

“Ya, hanya dengan pita hijau,” penumpang itu 

membenarkan. 

“Bagaimana sahaya harus membalas budi, ya Tuan 

Syahbandar Malaka?” nakhoda bertanya menghiba. 

Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan: 

“Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan sahaya 

menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun 

upah tiada ditambah.” 

‘Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.” 

“Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan 

jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Baginda 

Sultan?” 

“Tetap. Antarkan aku ke Pasai.”  

“Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai.” Nakhoda itu 

berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan 

sesuatu. Melihat Sayid Mahmud AI-Badaiwi tak juga 

bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang 

menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki 

kedudukan siku, lalu : “sesudah  kejadian mengagetkan 

ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di 

sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa kafir itu. 

Biarpun kafir, cukup menyenangkan juga, Tuan 

Syahbandar.” 

“Dilaknatlah kiranya kafir-kafir itu,” sumpah 

penumpang itu bersun gut-sun gut. 

“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke Pasai.” 

“Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi. 

Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan?” 

‘Tak pernah ada orang mencoba mengrsi i aku,” 

penumpang itu bersungut-sungut. 

“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke Pasai.” 

Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan 

pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah 

pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang 

luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar 

menyeberangi Selat menuju Pasai. 

“Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. Wama 

keselamatan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya 

sahaya bercerita, Tuan?” 

Penumpang tak mayat h itu t