nusantara awal abad 16 3
putih.
“Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan
putih seperti itu?”
“Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?”
“Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku
tidak mengharapkan perawan atau jandanya tengkorak , Kang.
Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih
juga?”
mandala meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam
hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia
tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja
hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke
dalam asmayat , hendak berdamai dengan hati sendiri. Tapi
kembali ancaman kepala desa memasuki ingatannya. Kalau
dia libatkan diriku pada mayat CIuring, tentu juga tengkorak .
Dia dan majelisnya telah giring kami ke Tuban Kota, ke
hadapan Sang Adipati sendiri.
Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa,
terhadap Sang Adipati, terhadap seorang raja. Hukuman.
Mati. Tak ada tawaran lain. Tapi mayat CIuring tidak
keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk
kawula; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan,
sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan tengkorak akan
ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis
perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang
membebaskan setiap peserta perlombaan yang diasmayat kan
dari segala tuntutan.
Maka aku dan tengkorak harus menang. Harus!
Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami
berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa
bebas, tapi tengkorak ? Mungkinkah dia bisa balik ke Awis
Krambil bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini
tanpa tengkorak , tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan
apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi
seorang Adipati yang berkuasa atas hidup dan mati….?
0o-dw-o0
tengkorak sedang masak waktu mendengar berita itu:
“mandala bingung! mandala bimbang! Dia akan kalah di
gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan
tengkorak . Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: tengkorak
saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.”
‘Teka-teki yang buruk,” tengkorak menanggapi dan belum
begitu menyedari duduk-perkara.
“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.”
“Apa maksudmu sesungguhnya?” ia tinggalkan periuk
dan mendekati teman masaknya.
“Maksudku, tengkorak . Di desamu sana, semua orang
melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau
sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak
gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada
wajahmu. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu
mendekatkan bibir pada kuping tengkorak : “Kau akan tinggal di
keputrian, tengkorak .”
tengkorak membeliak. Centong pada tangannya luruh ke
tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai
gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan
kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk:
‘Kecakapan dan kecantikanmu, tengkorak , akan membantu kau
mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang
menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam
menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam
percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota.
“Ya, tengkorak , pemenang tunggal akhir-akhirnya Gusti
Adipati juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih
mengerti. Sampai sekarang kabarnya Awis Krambil belum
juga mendapat tambahan Raden Bambang, belum ada lagi
Nyi Ayu….”
tengkorak menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku,
mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara
kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur,
hitam diselaputi jelaga tipis.
Temannya memungut centong dan mencucinya dalam
jambang air, lalu membetulkan letak kayu bakar.
“Tak ada pilihan lain bagimu, tengkorak ,” katanya lagi sambil
melewatinya.
Dalam mata batin tengkorak kini terpampang dirinya sendiri,
la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu
doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari
para dewa yang masih punya persediaan kemurahan….
Asmayat itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak
seberapa jauh dari gedung kadipaten.
Di luar asmayat orang-orang terus juga menggerombol
dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan
dapatlah pandang dilemparkan ke dalam.
Hari semakin gelap. Beduk mesjid Kota dan mesjid
pelabuhan telah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak
yang mendesak daratan terdengar azan bilal.
Di depan asmayat orang semakin banyak datang. Hampir
pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: tengkorak
yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu.
Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati
masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. tengkorak !
tengkorak ! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik,
menggonggong dan melolong seperti anjing di musim
kawin. Dan setiap orang di antaranya punya harapan:
seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis
perbatasan itu pada dirinya.
Dan malam itu sesudah mengikuti pelajaran tatakmayat
kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para
punggawa, terutama Sang Adipati sendiri, semua calon
petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing.
Kelelahan berlatih dan bekerja membikin mereka terlalu
rindu pada bantal.
tengkorak masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek
menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan
tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih
dapat menangkap sindiran dari sana-sini.
“Siapa seminggu lalu akan memasuki keputrian?”
dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke
bibir.
tengkorak diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan
duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih
yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti
seorang bayi seminggu yang membutuhkan perawatannya.
Dan ia tak dapat memberikannya.
Tanpa disadarinya matanya telah melepas mutiara-
mutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala
keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari
angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya
sampahnya yang berhamburan tak menentu.
Seorang demi seorang telah mulai tertidur. Akhirnya
tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin
nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang
merobosi sirap.
Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa
membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang,
berdiri sederhana di pinggir hutan. mandala sendiri yang
mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua
akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka
huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak
perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan
itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago
sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang
cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk.
Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan
daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak
sebanyak-banyaknya!
Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal
sekarang ini.
lalu Sang Adipati muncul dalam mata batinnya,
bertolak pinggang, semua rambutnya telah putih, tegap,
gagah, dan mandala dihalau dari hadapannya. Kekasihnya
itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan
sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah
terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki
perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan
tangan dan keris sendiri. Ah, mandala , Kang mandala ! Bahkan
kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi
buat terakhir kali.
Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti
air mata bagi Sang Adipati? Sedang nyawa orang pun
miliknya? Ia tahu, di tangan Sang Adipati tak ada orang
boleh menyentuh dirinya, mandala tidak, orangtuanya
sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah
lelaki, berumur empat belasan, mendadak telah berdiri di
hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang
bercincin mas, terpasang pada bibir – ia memberi isyarat
agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik
selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian
ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja
menyangkal keningratannya, sebab ujung-ujung
pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit,
lebar, berkilauan dengan hiasan perak.
Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik
lontar.
Dan sebelum tengkorak sempat bertanya ia telah keluar dari
bangsal wanita.
Gadis Awis Krambil itu melangkah ke sebuah
damarsewu dan membacanya: “tengkorak , kekasih si Kakang.
Jangan kaget sebab datangnya lontar ini. Di luar sana
malam, tengkorak , namun dalam hatiku kekuatiran yang
merajalela. Kalau nanti, tengkorak , kekasih si Kakang, menang
atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu Gusti Adipati
menghendaki dirimu…. tengkorak , pujaan si Kakang,
bagaimana akan jadinya?”
Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar
itu diciumnya, lalu ia gulung kecil, ia tekuk. Ia
lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya.
Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang
itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan
turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu.
Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong
besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis.
sesudah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul
tulisannya.
Si bocah menongolkan kepala di pintu. tengkorak
menyerahkan lontar balasan.
Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan asmayat ,
lampu harus tetap menyala dari surya tenggelam sampai
terbit….
Gerombolan orang di luar asmayat sudah lama bubar
dengan menyemaikan harapan untuk hari esok.
Dalam bangsal pria, si bocah Pada menyerahkan lontar
balasan pada mandala . Juara gulat tahun lalu itu tanpa
sabarnya segera membacanya.
“Kakang mandala , kakang si adik. Memang semua orang
sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan
aku bisa perbuat, Kang? Gusti Adipati tak dapat kita
hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan
terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa Awis Krambil.
Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan
yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku
dengan kekalahan. Hyang Widhi mengabulkan, Kang.”
mandala menyorong lontar itu pada api damarsewu,
terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di
sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu
pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke
sekeliling asmayat .
Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana
pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar
canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan
mendengarkan. lalu terjadi yang diduganya: keri-
butan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke
ruangan tidur. Para penghuni telah terbangun semua,
bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah
masuk dalam acara.
Pada berdiri tegak. Mata terarah pada tengkorak yang juga
berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi isyarat
agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas
diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan
perhiasannya.
“Para mbokayu calon juara!” katanya lantang tanpa
ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget
jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu
memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di
malam hari seperti ini. Aturan baru, para mbokayu calon
juara! Artinya, para mbokayu calon juara, pada malam ini
kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki
pelabuhan.”
“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?”
seseorang bertanya.
‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama
sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan
supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk
membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang
terpenting, para mbokayu calon juara: warta itu tertuju pada
kadipaten, bukan pada asmayat ini!”
‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan
perang.” seseorang membantah.
”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal
Demak.”
“Demak?”
“Demak menyerbu dari laut?”
“Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua
mbokayu calon juara.”
Gadis-gadis itu terlampau mudah diyakinkan dengan
gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak
ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya.
tengkorak justru mendekati Pada.
“Tidur, mbokayu. Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi
pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat.
“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,”
bisik gadis perbatasan itu tanpa mengindahkan teguran.
“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat
dipercaya?” si bocah berbisik kembali.
“Percintaan memang dilarang di sini mbokayu.”
“Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar
ke sana….” tengkorak menuding ke arah kadipaten, “apa
bakal?”
“Apa bakal jadinya?” ia mencibir,
“Mbokayu celaka, Kang mandala celaka. Aku lebih celaka
lagi. Tentang yang sama itu bukankah Mbokayu sendiri
yang tinggal pilih? Kang mandala sendiri bisa apa? Memilih
seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang
sudah tahu soal Mbokayu dan Kang mandala , dan soal
Mbokayu dengan yang sana?”
“Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat
dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?”
Untuk pertama kali dalam asmayat gadis itu melihat mata
si bocah, yang beberapa tahun lebih muda dibandingkan nya itu,
menyala-nyala memberahikannya.
‘Tak ada orang bisa membantu,” bisiknya berwibawa.
“Hanya Mbokayu sendiri yang bisa menentukan, dan
semua akan selesai. Bukankah Mbokayu seorang wanita di
negeri sendiri?”
“Kau benar, Pada,” ia mengalah sesudah mengherani
kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya
yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dulu lebih
suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas
Angin dengan Parta. Tapi memang tidak semudah itu,
Pada. Kau harus membantu.”
“Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk
membantu.”
”Sudah, tidurlah, Mbokayu calon juara. Makin banyak
melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si
lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur.
0o-dw-o0
Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun
berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada
duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah
panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang
memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh
gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan
bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir
jalan.
“Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan
dihembuskan.
“Kongso – seperti nama orang sebelah barat sana.
Barangkali dia punya darah Jawa dari sebelah sana.”
mandala diam-diam mendengarkan untuk mengetahui
duduk perkara.
“Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun
tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya
dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih
tinggi, juga tidak lebih besar dibandingkan kita.”
“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya mandala bertanya
juga.
“Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna
ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar
tolol perbatasan! Hanya tengkorak saja tahu, itu pun bakal tak
kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.”
“Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, mandala wajib
tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya.
Kongso Dalbi… orang Peranggi. Peranggi pun kau tidak
tahu barangkali?”
mandala menggeleng dan Boris mentertawakannya.
“Peranggi,” pengawas mengulangi. “Ayoh, kalian, siapa
tahu tentang negeri Peranggi? Ayoh katakan siapa yang
tahu.”
Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana
negeri Peranggi, Pengawas?”
“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah
sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.”
“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya,
Boris? Petai hampa?” mandala bertanya.
“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas
juara, bahwasanya ada negeri di Atas Angin yang telah
jatuh di tangan Peranggi. Sebuah negeri bandar. Goa
namanya. Bandar itu sekarang dipergunakan jadi pangkalan
kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapai-
kapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar
sebelum mencoba? Tapi kau jangan coba-coba, Kang
mandala . Di darat mungkin orang-orang Peranggi akan jadi
pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau
banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di
tangan mereka.”
“Betul, mandala ,” pengawas membenarkan. “Hanya agar-
agar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat!
Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan
bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar
sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak per-
batasan juga punya kehormatan dan harga diri. Jangan suka
mengejek tidak sepatutnya.”
“Biar, pengawas, dibandingkan kalah untuk kedua kalinya di
gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar
gelanggang,” mandala melepaskan anak panahnya. “Biar dia
bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.”
“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, mandala ,
uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau
pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing
untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian.
Jangan kalian lupa.”
“Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang mandala ,” kata
Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa
keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang
lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti
datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana surya terbit pada
hari ini….”
Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang
bertalu. Tak lama lalu canang kadipaten menyahuti
bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut
peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti
sebelum sarapan pagi datang.
Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan
pekerja tak punya kekuatan sebelum sarapan, mengambil
kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan
justru sebab canang yang mayat i bersahut-sahutan
pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapal-
kapal Peranggi sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati
Singhala Dwipa.
Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru
seperti seorang pembesar “Para Mbokayu dan Kakang
calon juara – sesuai dengan aturan, tahun ini – dengarkan
baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan
atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh.
Sekarang sudah siap menghadap Gusti Adipati Tuban.
Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: Gusti
Adipati siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak
ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk
melihat iring-iringan penghadap – kalau bisa mengintip –
tapi jangan rusakkan pagar – jangan lewatkan kesempatan!”
“Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani.
Mereka berlompatan berebut dulu meninggalkan
ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan
sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran
depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak
mendapatkannya. Mereka lari ke sana kemari mencari
tumpukan batu atau kayu. Yang mendapatkan tangga
berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada
dengan kemenangannya.
Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun
yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalan-
jalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke
kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak
bersimpuh menghormati iring-iringan, namun berhenti
menonton.
Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan Syahbandar
Tuban Ishak Indrajit, yang lebih biasa disebut Rangga
Ishak. Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban
putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda
berbangsa Arab, berjubah dan bersorban coklat muda. Pada
pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah
seperti halnya dengan Syahbandar. Langkahnya tenang
sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan
kepalanya selalu menunduk seakan sedang menghitung
setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul
para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi
pergunjingan. Orang mendapat kesempatan menaksir-naksir
berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan
orang bertaruh.
Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iring-
iringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip
meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali
ke dalam asmayat untuk mendapatkan sarapan.
0o-dw-o0
Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu
meniup cepat. Benar ia seorang saudagar Arab, bukan
nakhoda dan hanya bisa berbahasa Arab, Syahbandar yang
jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani
terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan Gusti
Adipati Tuban dan untuk keputrian. lalu : batu-batu
permata dari Arabia, Birma dan Singhala Dwipa, kain
khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu Arabia yang
tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri
Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu.
Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia
telah memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu
tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak
diperlukan penterjemah.
“Jadi dia bisa Melayu!” seseorang memberi komentar.
“Mungkin juga pintar Jawa,” yang lain menambahi.
Persoalan baru itu tidak menarik orang.
Di dalam ruangan latihan mandala berdiri di dekat sebuah
meja rendah panjang yang kini telah ditaruhi cobek-cobek
tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan serta cawan
minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada
memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang
punya gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak
makanan dan minuman: Hanya mandala memperhatikan
airmukanya.
“Madu dan telor memang cukup, Pada,” tegur juara
gulat dari Awis Krambil itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada.
Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.”
“Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain membenarkan.
“Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras,
berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada
di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada
seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari
Sang Adipati. “Semestinya Kakang semua ini sudah senang
dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan
untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku?
Tuak dilarang, kataku.”
“Dulu tak begitu banyak larangan,” mandala memprotes.
“Memang. Kang mandala tidak keliru: Dulu, dulu –
sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak
boleh dihidangkan di sini. Di asmayat sini, juga daging
anjing.”
“Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,”
mandala mengancam.
“Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan
diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat
batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau
tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu
belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus
dikumpulkan di alun-alun – besok sampai lusa, sebelum
perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!”
“Apa salahnya batu-batu itu?
“Salahnya, sebab mereka berukir!” jawab Pada ketus.
“Kata orang, Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap
putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam,
jadi rsi pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang.
Dan batu berukir dalam peraturan Islam, katanya, barang-
barang jahat.”
Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam
mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyala-
nyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu
dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai
gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek beserta isinya
jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata
membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding.
Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat
penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh
ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan
tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah
tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh
bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap
hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang
datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak
nampak: kekuasaan Sang Adipati. Kekuasaan mutlak
seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng,
utuh bulat tiada retak tiada rekah.
“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba meredakan.
Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat
jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia
menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun
keluar kata-kata sendu: “Memahat batu dilarang. Lantas
harus kerja apa aku?”
“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak.
“Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu,
“bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup
dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh
memahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir
itu?”
mandala tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheran-
heran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia
belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa
mematahkan lehernya.
Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya.
“Teduh! Teduh!” kata mandala menghibur. “Pada belum
lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.”
“Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris
mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi.
Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan
pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua
belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan
dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi,
tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu.
Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi.
Apakah Gusti Adipati sudah bertekad melawan para
dewa?”
Lambat-laun mandala mengerti, pernahat penantangnya
sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi
kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak
ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya,
juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati
Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.”
“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati-
hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di
atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan
dibongkar. Setiap batu berukir telah dijatuhi hukum buang
ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.”
“Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris meraung, seakan
batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik
semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk
dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghiba-
hiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi!
Jangan dicari. Tak perlu dicari!” Meraung: “Biadaaaaab!”
Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran
depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi
pagar papan kayu.
Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari asmayat !
Lari!”
“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?”
“Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!”
Sebentar lalu seruan-seruan terdengar
menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat
ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai
menggerombol lagi di depan asmayat .
Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu.
Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan
gulat.
“Gila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia
pergi.” Seperti telah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu
lebih baik.”
mandala melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin
bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya
terpaut pada tengkorak ….
Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan
langit dan menyelebungi bumi.
Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa
orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang Adipati
memasuki asmayat . Ia berjalan langsung menuju ke bangsal
wanita.
Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak
mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada
bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat
Sang Adipati masuk semua melompat turun, bersimpuh di
lantai dan mengangkat sembah.
‘tengkorak ! Mana tengkorak !” panggil Sang Adipati. “Mana
tengkorak Awis Krambil?”
Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih
menyala tertimpa sinar damarsewu.
“tengkorak , kekasih Tuban! Mendekat sini, kau, Gadis!”
Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri
kaki Sang Adipati. Tubuhnya menggigil seperti kucing habis
tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia
mengangkat sembah untuk ke sekian kali, lalu
bersujud mencium kaki Sang Adipati sebagaimana di-
ajarkan oleh tatakmayat .
“Bawalah keharuman dari Tuban, semua kalian! Kau
juga, tengkorak , kekasih Tuban. Jangan mengecewakan.
Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan.
Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan
kau, tengkorak , kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga
kali berturut?”
“Inilah patik, Gusti Adipati Tuban,” jawabnya gemetar.
“Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi
cukupkah jadi juara dua kali berturut?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban. Patik sekedar
menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga
gemetar.
“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang
menolaknya?”
“Ampun, Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik. Patik
takkan sanggup hidup di luar desa patik, Gusti. Iagi pula
apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa,
Gusti?”
Sang Adipati tertawa senang.
“Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus.
Bukankah Tuban Kota lebih baik dibandingkan desamu? Pasti
lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.”
Menurut tatakmayat yang diajarkan, apa pun yang telah
dititahkan oleh Sang Adipati, orang tak boleh membantah.
Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah.
Mendapat teguran saja dari seorang raja sama halnya
dengan menerima karunia dari para dewa.
tengkorak bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang
ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki
penguasa sudah tak ada di hadapannya.
Sang Adipati telah meninggalkan asmayat dan memasuki
kegelapan malam.
0o-dw-o0
Melalui jalan belakang Sang Adipati menuju ke sebuah
taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang
kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam
kerumunan nyamuk.
Para pengawal bertugur di kejauhan
Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya.
Waktu seperti ini dipergunakannya untuk mengingat-
ingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini.
Nama saudagar Arab yang memohon menghadap sendiri
itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba.
Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di
antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana gelar mana
tidak. Bahasa Melayunya lancar, indah dan paut.
Alqur’anul Karim yang patik persembahkan, ya Gusti,
adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi
apalah kiranya Gusti Adipati Tuban daiam berpegangan
pada kitab suci ini serta memikirkan ummat Islam di Atas
Angin sana. Tuban dimasyhurkan di Atas Angin sebagai
kerajaan terkuat di Jawa sesudah Majapahit. Raja-raja Islam
mempunyai harapan besar Gusti Adipati Tuban
melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, Gusti,
armada Peranggi tak henti-hentinya berusaha menguasai
dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepan-
jang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama-
sama, ya Allah, pastilah Allah jua yang akan menghukum
semua kita, sebab tak berbuat sesuatu terhadap angkara si
kafir. Bila mereka tidak dibendung, ya Gusti Adipati
Tuban, entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai
semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah
menguasai semua bandar. Bila mereka sampai ke Jawa,
matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan,
matilah bandar-bandar. Yang tinggal hanya Peranggi
dengan angkaranya. Seluruh ummat Islam bisa kehilangan
perlindungan, kekafiran akan menang. Mereka akan
menumpas ajaran Rasulullah s.a.w.
Sang Adipati masih ingat setiap kata dari persembahan
itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari
empat orang raja Atas Angin, semuanya Islam.
Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama
Tuban diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan
kedua ia dianggap sebagai raja Islam. Ia tersenyum dalam
kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak
tahu, satu wilayah Tuban telah dirampas oleh kerajaan
Islam, Demak. Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak
aturan aku titahkan untuk membuat penyesuaian dengan
Demak. Ia semakin tenggelam dalam pikirannya.
Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui
keislamanku. Dan sebab nya mereka menuntut,
berdasarkan keislamanku, agar aku ikut memikirkan dan
bersumbang tangan. Ya-ya, Islam telah banyak mengun-
tungkan kami selama ini. Tapi apakah itu sudah cukup
banyak untuk mempertaruhkan Tuban dalam suatu
peperangan?
Ia mengggeleng lemah.
Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan!
Demak masih harus diemong untuk tidak jadi binal. Jepara
jatuh, tapi dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja
Jepara akan kembali di tangan, juga seluruh Demak. Tidak
dengan perang. Rempah-rempah dari Tuban takkan
memasuki Jepara dan Semarang! Dan apa yang terjadi di
Atas Angin sana, bukan urusan Tuban untuk mencampuri.
lalu ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya
keadaan baru yang menggelombang di Atas Angin.
Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru.
Bandar tetap jadi inti persoalan. Peranggi dan Ispanya pasti
akan datang. Syahbandar harus seorang yang pandai
melayaninya. Ishak Indrajit alias Rangga Iskak tak pandai
berbahasa Peranggi dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa
dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang
yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga
Iskak.
Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa,
teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan
negeri-negeri lain, Gusti, dengan semua kerajaan Islam,
bersama-sama menghancurkan Peranggi dan Ispanya.
Menurut patik, ampunilah patik, ya Gusti Adipati sesem-
bahan patik, itulah satu-satunya jalan menyelamatkan
Tuban. Dan Sang Adipati bertanya, ‘Juga dengan Demak?’
Sang Patih menjawab, ‘Sementara Demak harus dilupakan,
Gusti, Peranggi dan Ispanya lebih berbahaya, lebih
mematikan’
Sang Adipati senang mendengarkan setiap pikiran,
mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan
terimakasih. Tapi dengan diam-diam ia lebih suka mencari
jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi
semacam olahraja.
Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh
tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari
semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai
kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia
berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea
untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan
laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat
kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut
pendapatnya, orang menjadi berbangsa sebab justru punya
kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak
punya, juga tak tahu kebenaran.
Syahbandar harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah
keputusannya malam ini.
0o-dw-o0
Pada waktu Sang Adipati sedang mengukuhkan
kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang
terjadi pada diri Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit alias
Rangga Iskak
Ia sedang gelisah di kesyahbandaran.
Hari ini ia telah dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu.
Saudagar Arab! Kecuali yang berhubungan dengan agama
ia seorang pembend Arab. Setiap orang Arab
mengingatkannya pada abangnya yang telah jatuh sebagai
Syahbandar Malaka, terpaksa merantau dan mati dalam
perantauan. Kejatuhannya disebabkan oleh kelicikan
seorang Arab.
Dan sekarang Abud, saudagar Arab itu, harus ia layani
kebutuhannya selama tinggal di Tuban. Baru saja datang,
dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap
sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan
tidak bisa berbahasa Melayu!
Tadi ia telah panggil Yakub agar datang menghadap
padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu,
membungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya
Tuan Syahbandar!”
Ia bergumam menjawabi dan melambaikan tangan
menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk.
Kursi adalah benda kebesaran, juga di Tuban Kota,
terutama di kesyahbandaran. Ia mengangguk memerin-
tahkan Yakub mendekat. lalu : “Apa yang bisa kau
katakan, Yakub?” tanyanya tajam dalam Melayu.
Yakub berperawakan kecil, berumur sekira dua puluh
delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak
berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan
tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara,
dan: kurangajar.
“Tuan Syahbandar sendiri semestinya sudah tahu.”
jawabnya dalam Melayu juga. “Sang Adipati sudah
memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang
orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden
Said, sekarang sudah mengenakan gelar aneh Ki Aji
Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan Syahbandar,
maksud menggunakan gelar berbahasa Arab, tapi lidah
Jawanya memang lidah kafir terkutuk: Bukankah kali itu
yang dimaksudkannya Kholik?” ‘
Rangga Iskak bertanya tajam: “Bukankah kau tahu
bukan itu yang kutanyakan?”
“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan
itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!”
Sekarang Syahbandar yang tertawa. Dengan kedua belah
tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar
membalikkan badan dan meneruskan tawanya.
Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil
kelihatan Yakub terheran-heran.
“Tuan mengetawakan Yakub?” tanyanya menuduh.
“Apa yang lucu padamu?”
Rangga Iskak tertawa di antara tawanya. “Tak pernah
kau nampak setolol sekarang.”
“Laporan Yakub salah?”
‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu.
Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?”
Yakub memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujung-
ujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang
mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin.
Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap
resmi.
“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil
mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga Iskak. Tapi
sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan
mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping
Syahbandar masih terpaut sejengkal.
Rangga Iskak menelengkan kepala ke atas, seperti seekor
ayam sedang melirik pada elang di langit.
“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan Syahbandar.
Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu
dinar. Sedinar saja, Tuan Syahbandar,” ia menjauhkan
kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan
pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri,
pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Empat kali
belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan
itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang
Adipati, apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.”
“Sayang tidak, Tuan, tapi ini lebih penting dari segala-
galanya.”
“Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud,
saudagar Arab itu, sama sekali tidak membawa atau
mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan
sebab nya lebih penting dari segala-galanya.”
“Tidak, Tuan Syahbandar. Yang belum kukatakan ini
justru yang terpenting. Satu dinar.”
Syahbandar nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke
seluruh ruangan. Selama ini keterangan Yakub selalu benar.
Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap
mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada
sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah
pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau
dibiarkan, dia akan menjadi-jadi.
“Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,”
Yakub merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini
lama?”
Pertahanan Rangga Iskak patah. Dengan berat hati ia
keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya.
Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu
sambil menyumpah.
Yakub menangkapnya, mengujinya di bawah lampu,
tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya
sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat
pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju
itu dan menebah pinggang.
“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini,
mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.”
“Husy!” bentak Rangga Iskak tersinggung. “Katakan”
“Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan
bisiknya Yakub meminta perhatian sambil mencoba
mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore
hari ini juga, Tuan, Sang Adipati telah mengirimkan utusan
ke Trantang. Aku sudah tahu sesungguhnya isi perintah itu:
mulai besok harus sudah dipersiapkan pembikinan delapan
belas cetbang baru.”
“Itu beritamu yang terpenting?”
“Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira telah
mendapat perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas
anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.”
“Dalam berapa lama cetbang harus selesai?”
“Tidak jelas.”
Syahbandar mengawasi bibir Yakub. Tapi bibir itu sudah
tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar
dibandingkan nya telah diperhitungkan harganya. Mengerti
Yakub takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah
Sang Adipati sudah berkunjung ke asmayat wanita?”
“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.”
Ia sorong Yakub. Orang itu keluar dan hilang ke dalam
kegelapan. Rangga Iskak berkecap-kecap menyesali
dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci
pintu dari dalam, lalu duduk termenung di atas
bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya bergumam:
“Penipu yang tertipu itu telah jual dagangannya padaku.
Tuhan akan kutuki kau, Yakub! Apa yang kau dapatkan
dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.”
Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal
sesudah mengetahui Sang Adipati berkunjung ke rumah
asmayat wanita. Ia punya pedoman: Apabila Sang Adipati
masih mempunyai perhatian pada wanita baru, sesuatu
yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari
pikirannya.
Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang
dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar
semua orang tahu, terutama saudagar Arab si Abud keparat
itu diharapkannya terbawa ke Atas Angin….
Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! Tapi aku tak bisa kau
tipu. Rangga Demang! Yakub bisa, tapi aku tidak. Adipati
Tuban, Ishak Indrajit ini tak bisa kau tipu! Kau boleh
berlagak cerdik, tapi hanya Pribumi kawulamu yang bisa
percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau
hendak menggertak Demak. Tapi siapa pun tahu kau lebih
suka berdagang dibandingkan berperang. Tua bangka tak tahu
diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari
dari asmayat . Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu?
Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah
seperti Syahbandar kehilangan bandar. Ya-ya, dia lari
sebagai protes. Tapi kau jangan anggap dapat mudah untuk
kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki
Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya
menghendaki dibenarkan keislamanmu. Kau tetap kafir.
Tapi kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya
Majapahit juga sebab kecerdikanmu!
Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan
Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama
dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk
mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali.
Ia mengangguk-angguk mengerti.
Pecinan Tuban Kota bersetia pada Lao Sam, yang oleh
penduduk; disebut Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toa-
lang, yang oleh penduduk disebut Semarang. Dan
Semarang yang mendirikan kerajaan Demak untuk menjadi
bentengnya terhadap Tuban.
Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu
pada mengabdi pada Demak. Waktu Demak merampas
Jepara untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada
Tuban, semua anakmu yang di Demak diam.
Dan sebab semua itu aku kehilangan satu dinar!
Keparat si Yakub!
Malam itu Rangga Iskak lebih banyak menggiliri istri-
istrinya di kamar-kamar belakang. Namun sesudah itu ia
tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga
yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. sesudah
sembahyang subuh baru ia mendapat ketenangan sedikit. Ia
telah berdoa memohon rezeki yang berlimpahan
Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar
lalu saudagar Abud muncul untuk minta diri.
“Bagaiman sikap Tuan Syahbandar kalau musuh Islam,
Peranggi dan Ispanya, menyerang Tuban?” tanyanya dalam
Arab.
“Mana mungkin, ya Abud?”
“Bagaimana tidak mungkin? Goa jatuh. Dan Malabar.
Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini
Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam
rembang fajar di depan pintu gedung. ‘Tuban terlalu jauh,
ya Abud,” jawabnya tak acuh.
“Benggala pun jauh dari Peranggi.”
“Aku hanya Syahbandar, bukan raja.”
“Setiap Syahbandar yang cerdik bisa lebih dari raja,”
katanya menyarani. “Demi Allah, Tuan Syahbandar
mampu mempengaruhi Sang Adipati untuk sudi bergabung
dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan Islam, melawan
mereka. Allah memberkahi Tuan”
Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud
ke jurusan pelabuhan.
“Arab, jih!” Rangga Iskak meludah ke tanah. “Setiap
gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi
tangannya yang merogo pundi-pundi orang.”
Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi
halimun tipis pagi hari. Matari pun mulai terbit. Samar-
samar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak Yakub yang
masih tutup.
“Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu.
Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.”
lalu ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan
naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu
sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapal-
kapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat Yakub sedang
turun dari kapal si Abud.
“Si keparat itu tentu sudah mendapat dinar lagi. Awas,
kau, bedebah!”
Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya
pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya
yang tua itu membikin ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan
keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut
penjaga menara berganti-ganti.
“Kafir!” makinya dan turun lagi.
0o-dw-o0
4. Sayid Habibullah Al-Masawa
Armada Portugis itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh
dari dermaga. Matari pagi sedang mengusir halimun yang
masih melembayung di seluruh Malaka. Layar kapal-kapal
dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung.
Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal sebab
halimun. Dan matari sendiri baru beberapa derajad dari
permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada
permukaan laut berpendar-pendar lesu.
Jauh di bandar Malaka sana perahu-perahu dan kapal-
kapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai
ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak
hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata
akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari
bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak
merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang
kelihatan mondar-mandir. Semua pria.
Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal Portugis
mulai terbuka. Moncong-moncong meriam mulai
bermunculan dari sebaliknya, Terdengar lalu yang
banyak diceritakan orang: pekik bersama Mariam. Meriam
– meriam bergelegaran. Api bersemburan dari moncong-
moncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut
udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua
menuju ke bandar Malaka.
Atap injuk, ilalang dan sirap di bandar Malaka sana
mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang
mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti
cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas,
membikin kelam udara yang kelabu.
Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman meriam,
api, asap dan kebalauan. Perang Salib dari beberapa abad
yang lalu kini tersasarkan pada kesultanan Malaka.
Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan
berhamburan lari tak jadi menuju ke bandar. Perahu dan
kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian matari pagi,
nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap,
menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba
melarikan diri dan keselamatan.
Bola-bola besi dari kapal Portugis tak membiarkan
mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan
kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang
dari pengelihatan, ditelan laut.
Kapal-kapal dari armada kebanggaan Malaka masih juga
belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah.
Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya
sebagian besar dari kesatuan ini dulu biasa dipimpin oleh
Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh
bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam
ke dasar laut.
Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana.
Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning
pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian
kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang
menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari
meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan prajurit
bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan
yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah
armada Portugis.
Sepucuk laras meriam ditujukan pada mereka. Aba-aba,
dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara,
terbang menyambari barisan prajurit bertombak itu. Mereka
bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan.
Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang
dan serpihan daging.
Tak ada lagi barisan muncul. Bandar telah jadi lautan
api. Meriam-meriam berhenti menggonggong. Kapal-kapal
Portugis mulai menurunkan sekoci. Serdadu-serdadunya
pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu
menuju ke bandar.
Kini balatentara Malaka mulai mengisi semua jalanan
bandar. Tombak dan pedang mereka gemerlapan tertimpa
matari yang telah berhasil mengusir halimun. Di antara
letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka.
Kembali meriam-meriam berdentuman. Peluru beterbangan
dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati
tombak dan pedang dan sorak-sorai. Juga tembakan musket
menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas.
Jalanan kuning di bandar sana makin kelam disirami darah
dan disebari serpihan daging dan tulang para prajurit yang
tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri.
Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap.
Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso
Dalbi-menyerbu dan menduduki Malaka.
Dengan tergopoh-gopoh Sultan Mahmud Syah,
keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan
pasukan gajah. Binatang-binatang raksasa itu didapatkan
telah bergelimpangan termakan racun. Balatentara Malaka
tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam
waktu pendek dihalau oleh peluru musket Portugis. Perang
darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan
mati-matian.
Tapi senjatanya terlalu pendek. Musket dan meriam
tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur,
harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang telah
terpisah dari tulang.
Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Johor, Bintan,
Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas
tahun itu jatuh. Dan bandar kunci Asia ini kini berada di
tangan Portugis.
Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung
merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga
nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesa-
gesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu,
lalu berlayar menuju ke tengah-tengah armada
Portugis. Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau
panjang berjela-jela.
Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerak-
geriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus
mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat
datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau
diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu
berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang
seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada
Portugis. Di bawah tiang utamanya berdiri seorang lelaki
tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali,
berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu
gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan
cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam
oleh beberapa lembar uban.
Portugis tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu
pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu
terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar
bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu
bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di
atas permukaan laut.
Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya.
Berkata dalam Melayu:” Alhamdulillah, ya Tuan Sayid
Mahmud Al-Badawi. Berkah Tuanlah maka kapal sahaya
ini selamat.”
“Kafir-kafir itu takkan berani mengganggu aku,” jawab
penumpang itu angkuh. “Tuhan takkan membiarkan
terlantar ummat-Nya yang beriman.”
“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda.
“Ya, hanya dengan pita hijau,” penumpang itu
membenarkan.
“Bagaimana sahaya harus membalas budi, ya Tuan
Syahbandar Malaka?” nakhoda bertanya menghiba.
Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan:
“Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan sahaya
menuju Tuban, tiadalah sahaya akan menolak, biarpun
upah tiada ditambah.”
‘Tak ada padaku niat hendak ke Tuban.”
“Bukankah dengan datangnya Peranggi Tuan kehilangan
jabatan sebagai Syahbandar dan sebagai penasihat Baginda
Sultan?”
“Tetap. Antarkan aku ke Pasai.”
“Sahaya, Tuan. Tujuan tetap. Ke Pasai.” Nakhoda itu
berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan
sesuatu. Melihat Sayid Mahmud AI-Badaiwi tak juga
bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang
menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki
kedudukan siku, lalu : “sesudah kejadian mengagetkan
ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di Tuban Di
sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa kafir itu.
Biarpun kafir, cukup menyenangkan juga, Tuan
Syahbandar.”
“Dilaknatlah kiranya kafir-kafir itu,” sumpah
penumpang itu bersun gut-sun gut.
“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke Pasai.”
“Bukan begitu, Tuan, yang kafir bisa jadi tidak kafir lagi.
Yang tidak kafir pun bisa berubah jadi kafir, bukan?”
‘Tak pernah ada orang mencoba mengrsi i aku,”
penumpang itu bersungut-sungut.
“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke Pasai.”
Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan
pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah
pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang
luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar
menyeberangi Selat menuju Pasai.
“Cat hitam ini takkan sahaya ubah lagi, Tuan. Wama
keselamatan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya
sahaya bercerita, Tuan?”
Penumpang tak mayat h itu t