nusantara awal abad 16 2
in, Sang Adipati
memang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi
sudra.
Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala
julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap:
perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang.
Bandar harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas
Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri Tuban
sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah Tuban
yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur
setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan
pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh
satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak.
Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang mengiri
akan kesejahteraan dan kekayaan Tuban suka merasani,
hanya jadi beban kawula. Sekali ada yang menyerbu,
jatuhlah negeri ini jadi jarahan.
Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan
terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor
gajah sama ampuhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang
tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi
khianat.
Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat
kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil
hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar
Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa
sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan
menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang Adipati telah
menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri.
Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti
sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan
dengan tambahan khusus:
jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan
pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan
dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan
penghasilan bandar. Dan Ishak Indrajit yang menrsi s
semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas
tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan.
Sang Adipati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin
terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai
penghidupan yang layak. Semua lelaki dapat menghias
dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagus-
bagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu
sampai ia mati dan juga sesudah ia mati, untuk selama-
lamanya.
Walau ia membiarkan runtuhnya Majapahit, malah ikut
mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak
urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris
kekaisaran benua yang sudah runtuh itu. Ia pergunakan
bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya,
merah-putih, hanya lebih panjang dibandingkan yang lama.
Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi
Majapahit pula hanya di waktu perang seorang adipati atau
menteri ditunjuk memegang jabatan itu. sesudah Majapahit
jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebiasaan tak
berpanglima diteruskan. Keamanan Tuban Kota dilakukan
oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya.
Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan
Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang
juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan
oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan.
Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin
banyak yang memeluk Islam, ia telah perintahkan
berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. Dalam
waktu pendek bangunan itu telah menjadi suatu
perkampungan Islam dari orang-orang Melayu, Aceh,
Bugis, Gujarat, Parsi dan Arab.
Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan
timbulnya pertentangan sebab agama. Sejak purbakala
penduduk Tuban tak punya prasangka keagamaan. Orang
berpindah agama sebab kesulitan dalam penghidupan,
merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka
dicarinya dewa sembahan lain.
Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah
klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk
Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap
terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat
pelabuhan.
Keamanan, kedamaian, ketentemayat n dan kesejahteraan
yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam
kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat:
Demak mulai bergerak dan merampas Jepara, daerah
kekuasaan Tuban….
Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati
Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih
mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana
telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke
laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada
Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang
pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu
segera berjongkok dan menyembah.
Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni
kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya
nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya
yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari
Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Mereka bukan saja telah menduduki Jepara…
Bagaimana, Kakang Patih?”
“Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga
telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.”
“Ampun, Gusti, sesudah Adipati Kudus Pangeran
Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang
dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati
Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru
penguasa lautan.”
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.”
“Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan
perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke
timur.”
“Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.”
“Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya
Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari
Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya
Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa
itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” :
“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal
besar di Jepara.”
“Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.”
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya
untuk mengimbangi.”
“Patik, Gusti.”
Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah
ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke
laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat
pulang.
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang
sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya
menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak
menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.
Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata.
Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada
pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas
Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati,
mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana
sudah berubah, Gusti,” lalu dengan jarinya
menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-
kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung
yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.”
Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis,
jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah
tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman
benang sutra kurung.
“Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti,
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-
kapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari
kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, namun layarnya jauh
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung
menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
Adipati memberanikan.
“Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.”
“Salib?”
“Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia,
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika Buddha?”
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.”
Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar,
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang kemayat t itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan patik,”
jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan
meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-
kira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati
memancing-mancing pendapat.
Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati
Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih
mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana
telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke
laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada
Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang
pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu
segera berjongkok dan menyembah.
Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni
kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya
nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya
yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari
Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Mereka bukan saja telah menduduki Jepara…
Bagaimana, Kakang Patih?”
“Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga
telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.”
“Ampun, Gusti, sesudah Adipati Kudus Pangeran
Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang
dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati
Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru
penguasa lautan.”
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.”
“Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan
perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke
timur.”
“Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.”
“Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya
Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari
Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya
Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa
itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” :
“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal
besar di Jepara.”
“Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.”
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya
untuk mengimbangi.”
“Patik, Gusti.”
Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah
ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke
laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat
pulang.
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang
sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya
menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak
menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.
Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata.
Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada
pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas
Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati,
mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana
sudah berubah, Gusti,” lalu dengan jarinya
menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-
kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung
yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.”
Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis,
jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah
tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman
benang sutra kuning.
“Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti,
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-
kapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari
kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, namun layarnya jauh
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung
menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
Adipati memberanikan.
“Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.”
“Salib?”
“Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia,
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika Buddha?”
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.”
Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar,
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang kemayat t itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan
patik,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk
lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat
gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati
memancing-mancing pendapat.
“Kalau hanya sekedar bajak, Gusti, mereka bisa
dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari.
Bukan saja sebab kelajuannya, sebab layarnya yang
berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati,
sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong
kosong, dapat cepat digulung…, ya Gusti….”
“Maksudmu meriamnya?”
“Benar, Gusti, meriamnya, senjatanya itu, dapat
memuntahkan api dan….”
“Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak
itu.”
“Ampun, Gusti. Dongengan kanak-kanak itu sekarang
sudah jadi kenyataan.”
“Kenyataan!” Sang Adipati terpekik. “Memuntahkan
api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada
bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit? Ada
di negeri Atas Angin sana? Kakang Patih tidak hendak
mendongeng lagi?”
“Ampun, Gusti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di
Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih
dahsyat, Gusti.”
“Lebih dahsyat!” Sang Adipati berseru menyepelekan,
tertawa kosong. Bergumam: “Ada yang lebih dahsyat dari
cetbang Majapahit,” ia menuding pada langit tanpa
mengangkat kepala. “Dari mana pula dongengan menarik
itu berasal, kiranya?”
Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia
bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauh-
jauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan
kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu
yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan
tiang-tiangnya menuding langit.
”Teruskan, Kakang Patih.”
“Ampun, beribu ampun, Gusti. Dongengan patik yang
indah ini datang menghadap Gusti untuk jadi bahan
periksa, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada gentar. Orang
bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar
lautan. Semua pedagang mengimpikan dan memburu
keuntungan, Gusti, maka benua dan lautan ditempuh.
Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal Peranggi,
bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka
mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan
di rumah masing-masing di bandar sendiri.”
“Maka makin berkurang kapal-kapal Atas Angin
datang?”
“Demikian adanya, Gusti sesembahan patik.”
Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan
berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke
atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan
menebarkan pandang pada laut, lalu pada langit.
Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat
dari cetbang?”
“Beribu ampun, Gusti, cetbang mereka bukan sekedar
dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan
bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah
kelapa”
“Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak?”
“Gusti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah
kelapa itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan
dapat remukkan setiap kapal, Gusti.”
Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta
terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar
menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang
menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main
dengan sinar surya. Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa
kata kakang tadi?”
“Peranggi, Gusti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga
sama hebatnya, Ispanya namanya, Gusti. Kapal-kapal Atas
Angin pada ketakutan, Gusti, biarpun hanya melihat dari
kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan
tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu,
Gusti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam
rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal
Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah
dalam rombongan. sebab persaingan satu dengan yang
lain, baik di laut mau pun di darat.”
“Dalam rombongan seperti armada Majapahit?”
“Benar, Gusti.”
“Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?”
“Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau
Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di
Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti
kapur, seperti bawang putih….”
“Barangkali sebangsa hantu laut?”
“Gusti berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak
berolok-olok, Gusti. Keadaan dunia sungguh-sungguh
sudah berubah. Gusti. Mereka punya negeri dan rajanya
sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan
meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin…
“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.”
“Ampun, Gusti. Dari dulu orang tua-tua sudah
mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng
tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang Islam
tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang
dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia
berkulit putih sesungguhnya ada.”
Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir
bergumam.
“Siapa tahu, Gusti….”
“Lebih keras!”
“Ampun, Gusti, siapa tahu, barangkali pada suatu kali
jin dan iblis dan setan orang-orang Islam juga punya negeri
sendiri kapal dan cetbang.”
Sang Adipati memperbaiki letak keris, lalu
dilambainya Syahbandar agar mendekat. Yang dilambainya
bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala.
“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?”
“Bangsa kafir itu, Gusti, bangsa berkulit putih, tapi
hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, Gusti, hitam seperti
jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang
Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang
Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk
Buddha. Mereka penyembah patung, Gusti.”
“Kafir atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau
tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau
putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung,
apa peduli? Allah Maha Besar telah memberikan pada
manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang
membawa kesejahteraan untuk bandar Tuban… siapa saja
baik.”
“Auzubillah min zalik!” seru Syahbandar.
“Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar?”
“Diampuni oleh Allah apalah kiranya… Baik Peranggi,
Gusti, maupun lspanya, memusuhi semua bangsa,
memusuhi semua orang Islam, dan Yahudi, dan Buddha,
dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai
segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari
muka bumi.”
“Kapan Tuhan mengenyahkan mereka?”
“Semua bangsa, Gusti,” sembah Ishak Indrajit terus
dalam Melayu, “dengan bimbingan Allah. Kalau semua
bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita
semua….”
“Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat
mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?”
“Jauh, Gusti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun
Turki. Negerinya ada di atas Atas Angin.”
“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat
dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagah-
berani. Mereka telah lewati Ujung Selatan Wulungga yang
tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang Adipati
pada bangsa yang belum dikenal itu.
“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan,
Gusti Adipati Tuban,” susul Syahbandar pada Sang Adipati
tak senang.
Sang Adipati tak memperhatikan. Pandangnya
ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu
nelayan. Angin yang meniupi dadanya membikin bulu dada
yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat
hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil
kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan.
“Bangsa-bangsa Atas Angin takut pada mereka,” tiba-
tiba ia berpaling pada Syahbandar.
“Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam
takut pada kafir?”
“Senjata dari iblis!” Sang Adipati mengulangi.
“Sihir namanya, Gusti.”
“Sihir!” Sang Adipati mengulangi, melecehkan. “Kalau
begitu orang Islam pasti punya mantra-mantra penangkal.”
Syahbandar terdiam, menunduk lebih dalam, tak
menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi
jangkung nampak meriut kecil.
“Ampun, Gusti sesembahan patik,” sela Sang Patih
sambil menyembah, “adapun senjata itu sama sekali bukan
sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa
lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan
kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.”
“Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua
kapal?”
“Benar, Gusti, dan terutama kapal-kapal berbendera
bulan dan bintang, semua kapal Islam, juga kapal-kapal
bukan Islam dari Benggala, semua.”
“Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula
namanya tadi?”
“Peranggi, Gusti,” sembah Sang Patih. “Semua, Gusti,
semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.”
Tiba-tiba Sang Adipati tertawa senang dan bergumam
pada angin mendesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapal-
kapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!”
“Beribu ampun, Gusti,” Sang Patih meneruskan, “para
nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi,
memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan.
Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat
lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah
mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah
menduduki Goa. Ya, Gusti, bila senjata mereka berdentum,
langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut.
Burung-burung lumpuh sayap dan berjatuhan mati. Bola-
bola besi sebesar kelapa bersemburan, mendesis di udara.
Tumpaslah kapal yang terkena.”
Sang Adipati tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya,
pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan
Syahbandar, meriam bukan nama senjata itu?”
“Ampun, Gusti, dikutuk oleh Allah apalah kiranya
mereka itu. Gusti, Mereka namai senjata itu dengan nama
Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, Gusti. Bukan mereka
sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum
mereka mendentumkan senjatanya, bemayat i-mayat i mereka
memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun
menyemburat dari moncong senjatanya dan bola besi itu
melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak
dapat ditangkap oleh mata. lalu senjata itu dinamai
Meriam.”
Sang Adipati mulai bosan mendengar keterangan bertele.
Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada
kudanya. Semua prajurit pengawal menyembah dan
beringsut menjauhkan diri. Prajurit pengawal pemegang
kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali
padanya, menyembah lagi. bersujud ke tanah, lalu
menungging untuk jadi anak tangga.
Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang Adipati naik
ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan
kaki lain melompat ke atas punggung kuda.
Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak
mengiringkan Sang Adipati. Syahbandar tertinggal di
tempatnya….
0o-dw-o0
Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih,
rempah-rempah, salib… semua menjadi masalah ganda
yang berjubal dalam kepala Sang Adipati. Ia membutuhkan
waktu untuk memikirkan semua itu.
Bangsa-bangsa menjadi kaya sebab berdagang rempah-
rempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul sebab
mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang
takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya sebab
memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi
unggul hanya sebab punya senjata unggul? Hhhh,
pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membikin dan
menggunakan senjata unggul. Ada suatu lembaga yang
membikin mereka jadi unggul, maka segala yang
ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka
pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan.
Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih
unggul. Salib itukah mungkin lambang lembaganya?
Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab,
dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dulu
bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari
atas Atas Angin, bangsa-bangsa yang telah menaklukkan
Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus
kapal-kapal Majapahit. Tapi mereka membutuhkan
rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka
juga bisa dikendalikan melalui kebutuhannya. Tuban punya
rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui
kebutuhannya mereka akan aku kendalikan!
0o-dw-o0
Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu telah berubah di
dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana.
Senjata baru, meriam itu, sesungguhnya sama nenek-
moyangnya dengan cetbang Majapahit. Tahun tolaknya
dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan
balatentara Kublai Khan yang melakukan expedisi
penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang
Majapahit dibawa serta di samping kuda perang dari
Mongolia dan Korea3. Majapahit semasa Mahapatih Gajah
Mada telah mengembangkan senjata api ini jadi cetbang.
Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini
“sihir api petir”, sebab dari bawah ia memancarkan api
dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan
cetbang, dalam hanya dua puluh tahun Majapahit Gajah
Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi
kekaisaran Malasya, kekaisaran Asia Tenggara. sesudah itu
cetbang tidak berkembang lagi.
Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari
Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di
Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga
sesudah matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung
ke Tiongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mulai
mencoba-coba membikin sendiri. Perkembangan
selanjutnya melahirkan musket. Dengannya Portugis dan
Spanyol mengusir penjajahan Arab di negeri mereka,
semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa
menjadi meriam. Dengannya mereka mempersenjatai
kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti
halnya dengan Majapahit, dengan kapal dan senjatanya
mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya,
menaklukkan dan menjajah negeri.
Cetbang dan kapal unggul Majapahit pada suatu kali
telah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang
Paregreg. Juga Spanyol dan Portugis akan musnah
sebab nya sekiranya Tahta Sua tidak segera turun tangan
meleraikan dua negeri ini dengan Jus Patronatus atau
Padroado, yang membelah dunia non-Kristen jadi dua
bagian, sebagian untuk Portugis dan yang lain untuk
Spanyol. Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu
menjelajahi dunia dengan salib sebagai panji-panjinya,
menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang
dianggapnya dalam belah dunia bagiannya….
Dalam perjalanan Sang Adipati memerlukan menengok
ke belakang. Diberinya Sang Patih isyarat agar mendekat
Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring
dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih,
bukankah telah Kakang ketahui sendiri bagaimana telah
kami petaruhkan hari depan pada kejayaan Islam?
Bukankah banyak di antara putra-putra kami telah
menggunakan nama Islam yang diberikan oleh rsi -
rsi nya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami
agama Atas Angin ini, dan sekarang jadi pemuka Islam
yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa,
berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di
antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada
raja Islam Demak, sebab percaya Islamlah yang jaya kelak.
Apa sekarang? Kapal-kapal Islam takut pada kafir-kafir
Peranggi dan Ispanya….”
“Patik, Gusti,” Sang Patih menunduk dan mengangkat
sembah.
“Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?”
“Allah Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa
menjawab.
“Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota Demak
sesudah merampas Jepara, wilayah kami?”
“Belum banyak yang dapat dipersembahkan. Gusti.”
“Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari Tuban.
Tak punya laut. Selmrang membutuhkan bandar sendiri.
Adakah kota Semarang sudah menolak memunggah
barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami?
Apakah Demak sudah bercekeok dengan Semarang?”
“Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, Gusti.”
Sang Adipati tidak menanggapi, meneruskan dengan
suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota
Demak merampas wilayah kami, Jepara, untuk
membangun sebuah Angkatan Laut?”
“Demikian konon wartanya, ya Gusti. Sudah sejak lama,
sejak kecil Adipati Unus, putra mahkota Demak, ditimang-
timang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan
dan lautan. Gusti.”
Sang Adipati tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih
melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di
belakang.
Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang Adipati
menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan
kudanya: “Apakah putra mahkota Demak, Adipati Unus,
sudah memerintahkan pembikinan kapal perang?”
“Baru pendirian galangan-galangan, Gusti,” sembah
Sang Patih.
“Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang
dan Demak, sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu
di Jepara. Kakang Patih, keterangan itu harus didapatkan.”
“Patik, Gusti.”
“Dan lebih berhati-hati terhadap Lao Sam. Setiap ada
sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja bandar itu.”
“Patik Gusti. Lao Sam nampaknya tetap tenang, tidak
membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun
sangat dekat dengan Tuban. Dalam tiga hari pasukan Gusti
Adipati sudah dapat mencapainya melewati pesisir.
Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru Jepara,
Gusti. Konon putra mahkota Demak, Adipati Unus, mulai
mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.”
“Pandai-pandai itu tentunya Hindu.”
“Tidak bisa lain, Gusti.”
“Jadi Islam bisa kerjasama dengan Hindu?”
“Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada
persiapan membikin cetbang di sana.”
“Kalau itu benar, raja Islam itu sedang punya persiapan
membikin yang berbahaya. Segera kirimkan telik.”
“Patik, Gusti sesembahan.”
“Apakah menurut dugaanmu Unus berani mengeluari
Peranggi dan Ispanya?”
“Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan
dan belakang.
“Konon kabarnya, Gusti, putra mahkota itu telah
bersumpah akan membentengi Islam di belah bumi sini,
bumi selatan.”
Sang Adipati mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan
lagi dan berjalan melewati gapura.
“Brandal-brandal itu hendak beramin jadi satria.”
Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat
sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di
atas bumi. Sang Adipati tak memperhatikan, langsung
berkendara menuju ke pendopo.
Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain
menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun
tapi tak langsung masuk ke dalam.
Sang Patih mengerti masih diperlukan. sesudah turun dari
kuda ia datang menghadap dan langsung mendapat
teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan
selama ini.”
“Ampun, Gusti. Patik telah persembahkan semua, ya
Gusti. Nampaknya Gusti kurang mengkaruniakan
perhatian. Ampun, Gusti, tentulah sebab banyak hal lain
sedang jadi pikiran Gusti.”
“Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan
Kakang, Unus dapat mengalahkan mereka? Tanpa meriam
dan hanya dengan cetbang bikinan pandai cor
Blambangan?”
“Ya, Gusti, bagaimana patik harus persembahkan?
Waktu patik masih kecil, nenek patik pernah bercerita
tentang kapal-kapal Majapahit, dan menurut katanya pula
Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri
Baginda Kaisar Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang
bisa melalui Ujung Selatan Wulungga tertitahkan untuk
menguasai buana, Peranggi dan Ispanya bukan hanya
melalui, mereka telah datang dari balik Ujung Selatan.”
“Nyata Majapahit tak pernah berhasil melaluinya.”
“Tidak pernah, Gusti. Ujung Selatan selama ini selalu
dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi
di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.”
“Dan kapal-kapal mereka telah melewatinya. Datang
langsung dari neraka itu! Kapal-kapal Unus barangkali
masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan
Wulungga.”
Sang Adipati berbalik meninggalkan Sang Patih dan
masuk ke dalam kadipaten.
Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat
sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang prajurit
pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi
sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda telah
menyusulnya. Sang Adipati sedang menunggunya di dalam
kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten.
Ia dapati Sang Adipati sedang duduk berfikir dengan
wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah
mengangkat sembah.
“Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang
Patih. Tentu mereka telah kalahkan kapal-kapal Parsi,
Mesir, Turki, Arabia, Benggali dan Langka. Mereka akan
kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan Melayu, Jawa dan
Tuban sendiri.”
“Gusti.”
“Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah
kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan
kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenek-
moyang, kecuali orang-orang Tartar yang dibinasakan itu.”
“Nampaknya Peranggi dan Ispanya lain dibandingkan yang
lain, Gusti. Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan
rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk
mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak
merampas semua untuk dirinya sendiri.”
“Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi?”
“Konon wartanya, Gusti, mereka tadinya bangsa miskin.
Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia,
mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru
dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar
melihat sajian, ya Gusti.”
Sang Adipati tersenyum.
“Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya
barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini
juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka telah kenyang
dalam perjalanan.”
“Kerakusan tidak mengenal kenyang, Gusti.”
“Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang
memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal
unggul, kelaparan unggul. Sebaliknya, Kakang Patih,
mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan
rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam
kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari
rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus
memahami ini, Kakang?”
”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. Gusti, hanya para
pendita bijaksana dapat menerangkan.”
“Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil
kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau
berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata,
membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin
mendekati Tuban. Rasa-rasanya telah dapat kami dengar
bunyi meriamnya, memekakkan dan melumpuhkan burung-
burung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan
mendekati bisikan: “Tapi Adipati Tuban tidak gentar,
Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana:
Semarang, Demak, Jepara, Lao Sam.”
Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbang-
nimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya,
padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu,
seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang
kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok
dermaga Tuban.” Sekarang ia tertawa, semakin riang,
“untuk Tuban, Kakang Patih, mereka tidak akan
mendatangkan kebinasaan atau kehancuran….”
“Allah Dewa Batara membimbing Gusti Adipati
Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa
kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga,
sutra, intan, permata, akan berjatuhan, berhamburan di
Tuban, dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka
bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai
minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah!
Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke
Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke Tuban. Itu perintah
kami.” 1
Sang Adipati masuk ke peraduan dan memusatkan
seluruh pikirannya untuk mendapatkan keuntungan dari
perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang
bisa didapatkan dari kapal-kapal Islam, Nusantara dan
Tiongkok.
0o-dw-o0
Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh
dari Tuban, kejadian-kejadian besar telah datang silih-
berganti, baik di negeri Portugis maupun Ispanya. Pada
1492 Kristoforus Colombo telah menyeberangi samudra
Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama
lalu Ispanya dan Portugis merajai benua baru itu.
Enam tahun lalu , pada 1498 pelaut Portugis Yasco
da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panji-
panji Jus Patronatus yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada
4 Mei 1493. Kapalnya memasuki Malabar dan Goa dan
ikut serta pula kekuasaannya.
Jalan laut kapal-kapal Islam mulai terdekat. Pangkalan-
pangkalan diambil-alih dengan meriam….
0o-dw-o0
Turunan kuda Korea di Jawa lalu disebut kuda
Kore.
Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang
dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan
ledakan.
0o-dw-o0
3. Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga
Dulu di Wilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua
istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang
Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat Buddha.
Sekarang di Tuban Kota terdapat dua gedung utama.
Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri
ummat Islam Tuban.
Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi
ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. namun beberapa hari
belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan
kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari
sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga
depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam.
Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang,
telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati.
Dahulu ia diangkat untuk menrsi si soal-soal agama
penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak
pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi rsi putra-putra Sang
Adipati. namun ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang
masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang
gedung utama kedua itu tertinggal kosong.
sesudah pelataran dipagari tinggi orang justru pada
datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba
dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah
ke seluruh kota: Bidadari Awis Krambil, I dayu, juara tari
dua kali berturut, telah datang ke Tuban Kota untuk
menggondol kejuaraan ketiga kalinya.
Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk
takkan balik ke desanya lagi – sebagai bunga perbatasan
pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari
itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan
datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa
pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir
dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi.
Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Krambil
belum lagi tiba.
Desas-desus telah datang mendahului, memercik ke
seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan
tak lain dari kepala desa Awis Krambil sendiri yang
merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang
belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang
melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya:
Wejangan terakhir mayat arwah telah membawa desa
Awis Krambil ke tepi kebinasaan. Dengan keputusan
sendiri ia telah meracuni rsi -pembicara itu. Dan pada up-
acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa,
terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang
pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia
mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah
meracunnya untuk menghindari murka Sang Adipati.
sesudah itu ia datang pada tengkorak dan mandala , membatalkan
rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai
sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua telah
merawat mayat arwah sampai matinya. Mereka harus
digiring ke Tuban Kota, biar Sang Adipati segera dapat
menjatuhkan hukumannya.
Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah
sampai pada Sang Patih dan Sang Adipati. Dan desas-desus
itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Krambil,
pada mayat arwah , mandala dan tengkorak , dan: tindakannya
yang bijaksana.
Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu tengkorak !”
Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun.
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek,
nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk
menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang
pada tengkorak , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
buahdadanya.
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Dirgahayu Awis Krambil!”
“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, sesudah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat,
sebab seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan.
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu tengkorak !”
Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun.
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek,
nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk
menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang
pada tengkorak , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
buahdadanya.
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Dirgahayu Awis Krambil!”
“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, sesudah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat,
sebab seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang.
Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah
tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada
melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia.
Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambut-
sambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri
yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti.
Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di
tengah-tengah pintu. Ia berkain. sebab tubuhnya tinggi,
kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak
mengenakan selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di
tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan
kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai.
“Dari mana semua ini, maka membikin onar di Kota?”
“Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan,
“dari desa perbatasan Awis Krambil.”
“Apa keperluanmu, pelancang?” gertak penyambut
sambil mengamangkan pedangnya.
Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda
dengan tombaknya.
“Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah
pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab
kepala desa.
“Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah
itu orang desa!”
“Berilah kami kesempatan!”
“Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah
kau dari sini.”
Dan dengan demikian rombongan Awis Krambil masuk,
kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau
memanggil-manggil tengkorak .
Dan pintu pagar tertutup rapat.
0o-dw-o0
Dua hari rombongan peserta Awis Krambil telah
diasmayat kan. Pria menempati bangunan sebelah kanan,
wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang.
Latihan pun sudah dimulai
Di bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi
mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang
Adipati ke asmayat untuk mengunjungi tengkorak . Datang
berarti bidadari Awis Krambil akan terambil jadi selir.
Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal,
malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di
atas bumi dan kepala manusia Tuban Kota.
Punggawa-punggawa desa Awis Krambil semakin giat
meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja
sekarang tak tahu tentang itu: tengkorak sendiri, mandala dan
Sang Adipati
Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran
menghadapi kemungkinan datangnya Portugis dan
Spanyol. Juga tengkorak tak kurang sibuknya: berlatih dan
melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama:
memasak dan membersihkan asmayat . mandala pun sibuk
melatih otot-ototnya.
Mereka turun ke kota dan memasuki asmayat dengan hati
berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus
disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari
punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan
segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka
hendak melangsungkan perkawinan. lalu tak lain
dari kepala desa sendiri yang datang. ‘Desa kita telah
dicemarkan oleh mendiang mayat arwah ’, katanya.
‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala desa itu
menuding mandala , ‘kau bertanggungjawab juga dalam
pencemaran itu!’ mandala membantah dan punggawa itu
tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya
pada pengawal perbatasan.
Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa
daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah
tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih
mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di
Tuban Kota nanti. Kembalikan kehormatan Awis Krambil!
Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa,
dan ia harus menggondol kemenangan.
0o-dw-o0
mandala sedang menimba sumur asmayat waktu
didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu
ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama
Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang
tajam menyayat kata-katanya.
mandala meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam
segala ukuran Boris kalah dibandingkan nya, namun
semangatnya untuk menang memancar kemilau pada
matanya.
“Kang mandala ,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke Tuban
Kota tahun ini.”
“Kau juga, Boris.”
Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek:
“Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan
tengkorak ?”
Darah mandala tersirap. Sekarang jelas padanya arti
sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak
dalam asmayat ini.
Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan
lepas dari hukuman Sang Adipati. Sekarang gelombang
sindiran tentang kehilangan tengkorak . Siapa bakal mampu
merampas kekasih dibandingkan nya kalau bukan punggawa? Ia
masih dapat mengingat kebencian mayat arwah terhadap
para punggawa – kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan
pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk
turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat
mengingat waktu tengkorak menolak, dan rapat desa diadakan
dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat
penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan
diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada
penduduk desa diperkenankan hadir. Dan lalu desas-
desus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya,
tengkorak .
“tengkorak , Kang – rupanya kau sudah relakan dia,”
tetaknya.
mandala mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan
telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari
para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal
merampas kekasihnya.
“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?”
Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya
hatinya.
“Ya,” jawabnya hambar.
Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa
bangga melihat pandang pria yang memberahikan
kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan
mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu
merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya
masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum
punggawa, terutama Sang Adipati sendiri bukan sekedar
gumpalan otot perkasa dan kecekatan menggunakannya.
Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati.
“Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?”
Begitu dilihatnya mandala menjatuhkan pandang ke tanah
basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna
marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani
menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau
marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu.
Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.”
Di luar dugaan Boris, mandala tersenyum. Giginya
lalu muncul, nampak dan gemerlapan