nusantara awal abad 16 2

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 2



 in, Sang Adipati 

memang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi 

sudra. 

Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala 

julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap: 

perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang. 

Bandar harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas 

Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri Tuban 

sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah Tuban 

yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur 

setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan 

pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh 

satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak. 

Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang mengiri 

akan kesejahteraan dan kekayaan Tuban suka merasani, 

hanya jadi beban kawula. Sekali ada yang menyerbu, 

jatuhlah negeri ini jadi jarahan. 

Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan 

terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor 

gajah sama ampuhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang 

tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi 

khianat. 

Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat 

kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil 

hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar 

Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa 

sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan 

menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang Adipati telah 

menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri. 

Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti 

sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan 

dengan tambahan khusus: 

jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan 

pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan 

dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan 

penghasilan bandar. Dan Ishak Indrajit yang menrsi s 

semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas 

tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan. 

Sang Adipati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin 

terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai 

penghidupan yang layak. Semua lelaki dapat menghias 

dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagus-

bagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu 

sampai ia mati dan juga sesudah  ia mati, untuk selama-

lamanya. 

Walau ia membiarkan runtuhnya Majapahit, malah ikut 

mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak 

urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris 

kekaisaran benua yang sudah runtuh itu. Ia pergunakan 

bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya, 

merah-putih, hanya lebih panjang dibandingkan  yang lama. 

Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi 

Majapahit pula hanya di waktu perang seorang adipati atau 

menteri ditunjuk memegang jabatan itu. sesudah  Majapahit 

jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebiasaan tak 

berpanglima diteruskan. Keamanan Tuban Kota dilakukan 

oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya. 

Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan 

Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang 

juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan 

oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan. 

Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin 

banyak yang memeluk Islam, ia telah perintahkan 

berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. Dalam 

waktu pendek bangunan itu telah menjadi suatu 

perkampungan Islam dari orang-orang Melayu, Aceh, 

Bugis, Gujarat, Parsi dan Arab. 

Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan 

timbulnya pertentangan sebab  agama. Sejak purbakala 

penduduk Tuban tak punya prasangka keagamaan. Orang 

berpindah agama sebab  kesulitan dalam penghidupan, 

merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka 

dicarinya dewa sembahan lain. 

Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah 

klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk 

Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap 

terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat 

pelabuhan. 

Keamanan, kedamaian, ketentemayat n dan kesejahteraan 

yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam 

kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat: 

Demak mulai bergerak dan merampas Jepara, daerah 

kekuasaan Tuban…. 

Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati 

Sang Adipati yang telah lanjut usia itu. 

Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih 

mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana 

telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke 

laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada 

Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki 

sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang 

pengawal yang menungging. 

Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu  

segera berjongkok dan menyembah. 

Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni 

kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya 

nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya 

yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot 

yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari 

Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala. 

“Mereka bukan saja telah menduduki Jepara… 

Bagaimana, Kakang Patih?” 

“Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga 

telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.” 

“Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.” 

“Ampun, Gusti, sesudah  Adipati Kudus Pangeran 

Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang 

dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati 

Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru 

penguasa lautan.” 

“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” 

“Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan 

perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke 

timur.” 

“Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” 

“Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya 

Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari 

Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya 

Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa 

itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” : 

“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal 

besar di Jepara.” 

“Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” 

“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya 

untuk mengimbangi.” 

“Patik, Gusti.” 

Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah 

ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke 

laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat 

pulang. 

Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di 

kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang 

sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya 

menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak 

menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah. 

Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar 

pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. 

Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada 

pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas 

Angin singgah.” 

Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, 

mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana 

sudah berubah, Gusti,” lalu  dengan jarinya 

menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-

kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang 

mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung 

yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.” 

Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, 

jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah 

tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. 

Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang 

hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman 

benang sutra kurung. 

“Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti, 

menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-

kapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak 

lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari 

kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, namun  layarnya jauh 

lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, 

dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung 

menepis permukaan laut seperti camar.” 

“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang 

Adipati memberanikan. 

“Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.” 

“Salib?” 

“Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang 

bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, 

garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan 

karunia dewa di atas pada kerajaannya.” 

“Apa bedanya dengan swastika Buddha?” 

“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.” 

Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, 

besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan 

dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih 

sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” 

“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan 

Wulungga yang kemayat t itu, Kakang Patih?” 

‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan patik,” 

jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan 

meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-

kira dari kapal-kapal baru itu. 

“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati 

memancing-mancing pendapat. 

Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati 

Sang Adipati yang telah lanjut usia itu. 

Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih 

mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana 

telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke 

laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada 

Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki 

sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang 

pengawal yang menungging. 

Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu  

segera berjongkok dan menyembah. 

Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni 

kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya 

nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya 

yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot 

yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari 

Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala. 

“Mereka bukan saja telah menduduki Jepara… 

Bagaimana, Kakang Patih?” 

“Ampun, Gusti,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga 

telah mendirikan galangan-galangan kapal besar.” 

“Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut.” 

“Ampun, Gusti, sesudah  Adipati Kudus Pangeran 

Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang 

dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati 

Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru 

penguasa lautan.” 

“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” 

“Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan 

perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke 

timur.” 

“Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan.” 

“Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya 

Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari 

Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya 

Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa 

itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita.” : 

“Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal 

besar di Jepara.” 

“Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi.” 

“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya 

untuk mengimbangi.” 

“Patik, Gusti.” 

Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah 

ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke 

laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat 

pulang. 

Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di 

kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang 

sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya 

menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak 

menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah. 

Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar 

pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. 

Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada 

pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas 

Angin singgah.” 

Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, 

mengangkat sembah: “Keadaan di lautan Atas Angin sana 

sudah berubah, Gusti,” lalu  dengan jarinya 

menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-

kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang 

mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga – tanjung 

yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.” 

Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, 

jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah 

tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. 

Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang 

hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman 

benang sutra kuning. 

“Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti, 

menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-

kapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak 

lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari 

kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, namun  layarnya jauh 

lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, 

dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung 

menepis permukaan laut seperti camar.” 

“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang 

Adipati memberanikan. 

“Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa.” 

“Salib?” 

“Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang 

bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, 

garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan 

karunia dewa di atas pada kerajaannya.” 

“Apa bedanya dengan swastika Buddha?” 

“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti.” 

Sang Patih membikin salib di atas pasir. “Sebab itu besar, 

besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan 

dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih 

sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.” 

“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan 

Wulungga yang kemayat t itu, Kakang Patih?” 

‘Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan 

patik,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk 

lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat 

gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu. 

“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang Adipati 

memancing-mancing pendapat. 

“Kalau hanya sekedar bajak, Gusti, mereka bisa 

dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari. 

Bukan saja sebab  kelajuannya, sebab  layarnya yang 

berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati, 

sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong 

kosong, dapat cepat digulung…, ya Gusti….” 

“Maksudmu meriamnya?” 

“Benar, Gusti, meriamnya, senjatanya itu, dapat 

memuntahkan api dan….” 

“Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak 

itu.” 

“Ampun, Gusti. Dongengan kanak-kanak itu sekarang 

sudah jadi kenyataan.” 

“Kenyataan!” Sang Adipati terpekik. “Memuntahkan 

api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada 

bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit? Ada 

di negeri Atas Angin sana? Kakang Patih tidak hendak 

mendongeng lagi?” 

“Ampun, Gusti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di 

Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih 

dahsyat, Gusti.” 

“Lebih dahsyat!” Sang Adipati berseru menyepelekan, 

tertawa kosong. Bergumam: “Ada yang lebih dahsyat dari 

cetbang Majapahit,” ia menuding pada langit tanpa 

mengangkat kepala. “Dari mana pula dongengan menarik 

itu berasal, kiranya?” 

Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia 

bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauh-

jauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan 

kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu 

yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan 

tiang-tiangnya menuding langit. 

”Teruskan, Kakang Patih.” 

“Ampun, beribu ampun, Gusti. Dongengan patik yang 

indah ini datang menghadap Gusti untuk jadi bahan 

periksa, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada gentar. Orang 

bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar 

lautan. Semua pedagang mengimpikan dan memburu 

keuntungan, Gusti, maka benua dan lautan ditempuh. 

Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal Peranggi, 

bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka 

mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan 

di rumah masing-masing di bandar sendiri.” 

“Maka makin berkurang kapal-kapal Atas Angin 

datang?” 

“Demikian adanya, Gusti sesembahan patik.” 

Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan 

berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke 

atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan 

menebarkan pandang pada laut, lalu  pada langit. 

Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat 

dari cetbang?” 

“Beribu ampun, Gusti, cetbang mereka bukan sekedar 

dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan 

bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah 

kelapa” 

“Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak?” 

“Gusti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah 

kelapa itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan 

dapat remukkan setiap kapal, Gusti.” 

Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta 

terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar 

menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang 

menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main 

dengan sinar surya. Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa 

kata kakang tadi?” 

“Peranggi, Gusti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga 

sama hebatnya, Ispanya namanya, Gusti. Kapal-kapal Atas 

Angin pada ketakutan, Gusti, biarpun hanya melihat dari 

kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan 

tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu, 

Gusti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam 

rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal 

Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah 

dalam rombongan. sebab  persaingan satu dengan yang 

lain, baik di laut mau pun di darat.” 

“Dalam rombongan seperti armada Majapahit?” 

“Benar, Gusti.” 

“Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?” 

“Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau 

Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di 

Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti 

kapur, seperti bawang putih….” 

“Barangkali sebangsa hantu laut?” 

“Gusti berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak 

berolok-olok, Gusti. Keadaan dunia sungguh-sungguh 

sudah berubah. Gusti. Mereka punya negeri dan rajanya 

sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan 

meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin… 

“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.” 

“Ampun, Gusti. Dari dulu orang tua-tua sudah 

mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng 

tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang Islam 

tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang 

dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia 

berkulit putih sesungguhnya ada.” 

Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir 

bergumam. 

“Siapa tahu, Gusti….” 

“Lebih keras!” 

“Ampun, Gusti, siapa tahu, barangkali pada suatu kali 

jin dan iblis dan setan orang-orang Islam juga punya negeri 

sendiri kapal dan cetbang.” 

Sang Adipati memperbaiki letak keris, lalu  

dilambainya Syahbandar agar mendekat. Yang dilambainya 

bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala. 

“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?” 

“Bangsa kafir itu, Gusti, bangsa berkulit putih, tapi 

hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, Gusti, hitam seperti 

jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang 

Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang 

Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk 

Buddha. Mereka penyembah patung, Gusti.” 

“Kafir atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau 

tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau 

putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung, 

apa peduli? Allah Maha Besar telah memberikan pada 

manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang 

membawa kesejahteraan untuk bandar Tuban… siapa saja 

baik.”  

“Auzubillah min zalik!” seru Syahbandar.  

“Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar?”  

“Diampuni oleh Allah apalah kiranya… Baik Peranggi, 

Gusti, maupun lspanya, memusuhi semua bangsa, 

memusuhi semua orang Islam, dan Yahudi, dan Buddha, 

dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai 

segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari 

muka bumi.” 

“Kapan Tuhan mengenyahkan mereka?” 

“Semua bangsa, Gusti,” sembah Ishak Indrajit terus 

dalam Melayu, “dengan bimbingan Allah. Kalau semua 

bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita 

semua….” 

“Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat 

mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?” 

“Jauh, Gusti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun 

Turki. Negerinya ada di atas Atas Angin.” 

“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat 

dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagah-

berani. Mereka telah lewati Ujung Selatan Wulungga yang 

tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang Adipati 

pada bangsa yang belum dikenal itu. 

“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan, 

Gusti Adipati Tuban,” susul Syahbandar pada Sang Adipati 

tak senang. 

Sang Adipati tak memperhatikan. Pandangnya 

ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu 

nelayan. Angin yang meniupi dadanya membikin bulu dada 

yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat 

hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil 

kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan. 

“Bangsa-bangsa Atas Angin takut pada mereka,” tiba-

tiba ia berpaling pada Syahbandar. 

“Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam 

takut pada kafir?” 

“Senjata dari iblis!” Sang Adipati mengulangi. 

“Sihir namanya, Gusti.” 

“Sihir!” Sang Adipati mengulangi, melecehkan. “Kalau 

begitu orang Islam pasti punya mantra-mantra penangkal.” 

Syahbandar terdiam, menunduk lebih dalam, tak 

menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi 

jangkung nampak meriut kecil. 

“Ampun, Gusti sesembahan patik,” sela Sang Patih 

sambil menyembah, “adapun senjata itu sama sekali bukan 

sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa 

lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan 

kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.” 

“Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua 

kapal?” 

“Benar, Gusti, dan terutama kapal-kapal berbendera 

bulan dan bintang, semua kapal Islam, juga kapal-kapal 

bukan Islam dari Benggala, semua.” 

“Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula 

namanya tadi?” 

“Peranggi, Gusti,” sembah Sang Patih. “Semua, Gusti, 

semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.” 

Tiba-tiba Sang Adipati tertawa senang dan bergumam 

pada angin mendesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapal-

kapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!” 

“Beribu ampun, Gusti,” Sang Patih meneruskan, “para 

nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi, 

memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan. 

Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat 

lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah 

mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah 

menduduki Goa. Ya, Gusti, bila senjata mereka berdentum, 

langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut. 

Burung-burung lumpuh sayap dan berjatuhan mati. Bola-

bola besi sebesar kelapa bersemburan, mendesis di udara. 

Tumpaslah kapal yang terkena.” 

Sang Adipati tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya, 

pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan 

Syahbandar, meriam bukan nama senjata itu?” 

“Ampun, Gusti, dikutuk oleh Allah apalah kiranya 

mereka itu. Gusti, Mereka namai senjata itu dengan nama 

Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, Gusti. Bukan mereka 

sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum 

mereka mendentumkan senjatanya, bemayat i-mayat i mereka 

memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun 

menyemburat dari moncong senjatanya dan bola besi itu 

melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak 

dapat ditangkap oleh mata. lalu  senjata itu dinamai 

Meriam.” 

Sang Adipati mulai bosan mendengar keterangan bertele. 

Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada 

kudanya. Semua prajurit pengawal menyembah dan 

beringsut menjauhkan diri. Prajurit pengawal pemegang 

kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali 

padanya, menyembah lagi. bersujud ke tanah, lalu  

menungging untuk jadi anak tangga. 

Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang Adipati naik 

ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan 

kaki lain melompat ke atas punggung kuda. 

Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak 

mengiringkan Sang Adipati. Syahbandar tertinggal di 

tempatnya…. 

0o-dw-o0 

 

Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih, 

rempah-rempah, salib… semua menjadi masalah ganda 

yang berjubal dalam kepala Sang Adipati. Ia membutuhkan 

waktu untuk memikirkan semua itu. 

Bangsa-bangsa menjadi kaya sebab  berdagang rempah-

rempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul sebab  

mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang 

takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya sebab  

memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi 

unggul hanya sebab  punya senjata unggul? Hhhh, 

pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membikin dan 

menggunakan senjata unggul. Ada suatu lembaga yang 

membikin mereka jadi unggul, maka segala yang 

ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka 

pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan. 

Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih 

unggul. Salib itukah mungkin lambang lembaganya? 

Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab, 

dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dulu 

bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari 

atas Atas Angin, bangsa-bangsa yang telah menaklukkan 

Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus 

kapal-kapal Majapahit. Tapi mereka membutuhkan 

rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka 

juga bisa dikendalikan melalui kebutuhannya. Tuban punya 

rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui 

kebutuhannya mereka akan aku kendalikan! 

0o-dw-o0 

 

Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu telah berubah di 

dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana. 

Senjata baru, meriam itu, sesungguhnya sama nenek-

moyangnya dengan cetbang Majapahit. Tahun tolaknya 

dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan 

balatentara Kublai Khan yang melakukan expedisi 

penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang 

Majapahit dibawa serta di samping kuda perang dari 

Mongolia dan Korea3. Majapahit semasa Mahapatih Gajah 

Mada telah mengembangkan senjata api ini jadi cetbang. 

Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini 

“sihir api petir”, sebab  dari bawah ia memancarkan api 

dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan 

cetbang, dalam hanya dua puluh tahun Majapahit Gajah 

Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi 

kekaisaran Malasya, kekaisaran Asia Tenggara. sesudah  itu 

cetbang tidak berkembang lagi. 

Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari 

Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di 

Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga 

sesudah  matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung 

ke Tiongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mulai 

mencoba-coba membikin sendiri. Perkembangan 

selanjutnya melahirkan musket. Dengannya Portugis dan 

Spanyol mengusir penjajahan Arab di negeri mereka, 

semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa 

menjadi meriam. Dengannya mereka mempersenjatai 

kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti 

halnya dengan Majapahit, dengan kapal dan senjatanya 

mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya, 

menaklukkan dan menjajah negeri. 

Cetbang dan kapal unggul Majapahit pada suatu kali 

telah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang 

Paregreg. Juga Spanyol dan Portugis akan musnah 

sebab nya sekiranya Tahta Sua tidak segera turun tangan 

meleraikan dua negeri ini dengan Jus Patronatus atau 

Padroado, yang membelah dunia non-Kristen jadi dua 

bagian, sebagian untuk Portugis dan yang lain untuk 

Spanyol. Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu 

menjelajahi dunia dengan salib sebagai panji-panjinya, 

menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang 

dianggapnya dalam belah dunia bagiannya…. 

Dalam perjalanan Sang Adipati memerlukan menengok 

ke belakang. Diberinya Sang Patih isyarat agar mendekat 

Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring 

dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih, 

bukankah telah Kakang ketahui sendiri bagaimana telah 

kami petaruhkan hari depan pada kejayaan Islam? 

Bukankah banyak di antara putra-putra kami telah 

menggunakan nama Islam yang diberikan oleh rsi -

rsi nya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami 

agama Atas Angin ini, dan sekarang jadi pemuka Islam 

yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa, 

berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di 

antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada 

raja Islam Demak, sebab  percaya Islamlah yang jaya kelak. 

Apa sekarang? Kapal-kapal Islam takut pada kafir-kafir 

Peranggi dan Ispanya….” 

“Patik, Gusti,” Sang Patih menunduk dan mengangkat 

sembah.  

“Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?”  

“Allah Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa 

menjawab.  

“Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota Demak 

sesudah  merampas Jepara, wilayah kami?” 

“Belum banyak yang dapat dipersembahkan. Gusti.” 

“Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari Tuban. 

Tak punya laut. Selmrang membutuhkan bandar sendiri. 

Adakah kota Semarang sudah menolak memunggah 

barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami? 

Apakah Demak sudah bercekeok dengan Semarang?”  

“Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, Gusti.”  

Sang Adipati tidak menanggapi, meneruskan dengan 

suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota 

Demak merampas wilayah kami, Jepara, untuk 

membangun sebuah Angkatan Laut?” 

“Demikian konon wartanya, ya Gusti. Sudah sejak lama, 

sejak kecil Adipati Unus, putra mahkota Demak, ditimang-

timang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan 

dan lautan. Gusti.” 

Sang Adipati tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih 

melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di 

belakang. 

Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang Adipati 

menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan 

kudanya: “Apakah putra mahkota Demak, Adipati Unus, 

sudah memerintahkan pembikinan kapal perang?” 

“Baru pendirian galangan-galangan, Gusti,” sembah 

Sang Patih.  

“Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang 

dan Demak, sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu 

di Jepara. Kakang Patih, keterangan itu harus didapatkan.”  

“Patik, Gusti.” 

“Dan lebih berhati-hati terhadap Lao Sam. Setiap ada 

sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja bandar itu.” 

“Patik Gusti. Lao Sam nampaknya tetap tenang, tidak 

membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun 

sangat dekat dengan Tuban. Dalam tiga hari pasukan Gusti 

Adipati sudah dapat mencapainya melewati pesisir. 

Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru Jepara, 

Gusti. Konon putra mahkota Demak, Adipati Unus, mulai 

mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.” 

“Pandai-pandai itu tentunya Hindu.”  

“Tidak bisa lain, Gusti.” 

“Jadi Islam bisa kerjasama dengan Hindu?” 

“Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada 

persiapan membikin cetbang di sana.” 

“Kalau itu benar, raja Islam itu sedang punya persiapan 

membikin yang berbahaya. Segera kirimkan telik.” 

“Patik, Gusti sesembahan.” 

“Apakah menurut dugaanmu Unus berani mengeluari 

Peranggi dan Ispanya?” 

“Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan 

dan belakang. 

“Konon kabarnya, Gusti, putra mahkota itu telah 

bersumpah akan membentengi Islam di belah bumi sini, 

bumi selatan.” 

Sang Adipati mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan 

lagi dan berjalan melewati gapura. 

“Brandal-brandal itu hendak beramin jadi satria.” 

Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat 

sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di 

atas bumi. Sang Adipati tak memperhatikan, langsung 

berkendara menuju ke pendopo. 

Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain 

menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun 

tapi tak langsung masuk ke dalam. 

Sang Patih mengerti masih diperlukan. sesudah  turun dari 

kuda ia datang menghadap dan langsung mendapat 

teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan 

selama ini.” 

“Ampun, Gusti. Patik telah persembahkan semua, ya 

Gusti. Nampaknya Gusti kurang mengkaruniakan 

perhatian. Ampun, Gusti, tentulah sebab  banyak hal lain 

sedang jadi pikiran Gusti.” 

“Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan 

Kakang, Unus dapat mengalahkan mereka? Tanpa meriam 

dan hanya dengan cetbang bikinan pandai cor 

Blambangan?” 

“Ya, Gusti, bagaimana patik harus persembahkan? 

Waktu patik masih kecil, nenek patik pernah bercerita 

tentang kapal-kapal Majapahit, dan menurut katanya pula 

Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri 

Baginda Kaisar Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang 

bisa melalui Ujung Selatan Wulungga tertitahkan untuk 

menguasai buana, Peranggi dan Ispanya bukan hanya 

melalui, mereka telah datang dari balik Ujung Selatan.” 

“Nyata Majapahit tak pernah berhasil melaluinya.” 

“Tidak pernah, Gusti. Ujung Selatan selama ini selalu 

dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi 

di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.” 

“Dan kapal-kapal mereka telah melewatinya. Datang 

langsung dari neraka itu! Kapal-kapal Unus barangkali 

masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan 

Wulungga.” 

Sang Adipati berbalik meninggalkan Sang Patih dan 

masuk ke dalam kadipaten. 

Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat 

sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang prajurit 

pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi 

sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda telah 

menyusulnya. Sang Adipati sedang menunggunya di dalam 

kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten. 

Ia dapati Sang Adipati sedang duduk berfikir dengan 

wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah 

mengangkat sembah. 

“Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang 

Patih. Tentu mereka telah kalahkan kapal-kapal Parsi, 

Mesir, Turki, Arabia, Benggali dan Langka. Mereka akan 

kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan Melayu, Jawa dan 

Tuban sendiri.”  

“Gusti.” 

“Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah 

kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan 

kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenek-

moyang, kecuali orang-orang Tartar yang dibinasakan itu.” 

“Nampaknya Peranggi dan Ispanya lain dibandingkan  yang 

lain, Gusti. Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan 

rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk 

mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak 

merampas semua untuk dirinya sendiri.”  

“Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi?”  

“Konon wartanya, Gusti, mereka tadinya bangsa miskin. 

Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia, 

mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru 

dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar 

melihat sajian, ya Gusti.”  

Sang Adipati tersenyum. 

“Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya 

barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini 

juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka telah kenyang 

dalam perjalanan.”  

“Kerakusan tidak mengenal kenyang, Gusti.”  

“Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang 

memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal 

unggul, kelaparan unggul. Sebaliknya, Kakang Patih, 

mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan 

rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam 

kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari 

rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus 

memahami ini, Kakang?” 

”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. Gusti, hanya para 

pendita bijaksana dapat menerangkan.” 

“Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil 

kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau 

berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata, 

membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin 

mendekati Tuban. Rasa-rasanya telah dapat kami dengar 

bunyi meriamnya, memekakkan dan melumpuhkan burung-

burung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan 

mendekati bisikan: “Tapi Adipati Tuban tidak gentar, 

Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana: 

Semarang, Demak, Jepara, Lao Sam.” 

Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbang-

nimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya, 

padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu, 

seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang 

kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok 

dermaga Tuban.” Sekarang ia tertawa, semakin riang, 

“untuk Tuban, Kakang Patih, mereka tidak akan 

mendatangkan kebinasaan atau kehancuran….”  

“Allah Dewa Batara membimbing Gusti Adipati 

Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa 

kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga, 

sutra, intan, permata, akan berjatuhan, berhamburan di 

Tuban, dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka 

bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai 

minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah! 

Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke 

Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke Tuban. Itu perintah 

kami.” 1 

Sang Adipati masuk ke peraduan dan memusatkan 

seluruh pikirannya untuk mendapatkan keuntungan dari 

perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang 

bisa didapatkan dari kapal-kapal Islam, Nusantara dan 

Tiongkok. 

0o-dw-o0 

 

Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh 

dari Tuban, kejadian-kejadian besar telah datang silih-

berganti, baik di negeri Portugis maupun Ispanya. Pada 

1492 Kristoforus Colombo telah menyeberangi samudra 

Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama 

lalu  Ispanya dan Portugis merajai benua baru itu. 

Enam tahun lalu , pada 1498 pelaut Portugis Yasco 

da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panji-

panji Jus Patronatus yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada 

4 Mei 1493. Kapalnya memasuki Malabar dan Goa dan 

ikut serta pula kekuasaannya. 

Jalan laut kapal-kapal Islam mulai terdekat. Pangkalan-

pangkalan diambil-alih dengan meriam…. 

0o-dw-o0 

 

Turunan kuda Korea di Jawa lalu  disebut kuda 

Kore. 

Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang 

dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan 

ledakan. 

0o-dw-o0 

 

3. Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga 

Dulu di Wilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua 

istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang 

Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat Buddha. 

Sekarang di Tuban Kota terdapat dua gedung utama. 

Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri 

ummat Islam Tuban. 

Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi 

ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. namun  beberapa hari 

belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan 

kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari 

sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga 

depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam. 

Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang, 

telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati. 

Dahulu ia diangkat untuk menrsi si soal-soal agama 

penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak 

pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi rsi  putra-putra Sang 

Adipati. namun  ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang 

masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang 

gedung utama kedua itu tertinggal kosong. 

sesudah  pelataran dipagari tinggi orang justru pada 

datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba 

dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah 

ke seluruh kota: Bidadari Awis Krambil, I dayu, juara tari 

dua kali berturut, telah datang ke Tuban Kota untuk 

menggondol kejuaraan ketiga kalinya. 

Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk 

takkan balik ke desanya lagi – sebagai bunga perbatasan 

pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari 

itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan 

datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa 

pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir 

dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi. 

Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Krambil 

belum lagi tiba. 

Desas-desus telah datang mendahului, memercik ke 

seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan 

tak lain dari kepala desa Awis Krambil sendiri yang 

merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang 

belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang 

melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya: 

Wejangan terakhir mayat  arwah  telah membawa desa 

Awis Krambil ke tepi kebinasaan. Dengan keputusan 

sendiri ia telah meracuni rsi -pembicara itu. Dan pada up-

acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, 

terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang 

pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia 

mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah 

meracunnya untuk menghindari murka Sang Adipati. 

sesudah  itu ia datang pada tengkorak  dan mandala , membatalkan 

rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai 

sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua telah 

merawat mayat  arwah  sampai matinya. Mereka harus 

digiring ke Tuban Kota, biar Sang Adipati segera dapat 

menjatuhkan hukumannya. 

Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah 

sampai pada Sang Patih dan Sang Adipati. Dan desas-desus 

itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Krambil, 

pada mayat  arwah , mandala  dan tengkorak , dan: tindakannya 

yang bijaksana. 

Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan. 

Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-

umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua 

untuk senang menerima kedatangannya. 

Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan 

bersorak-sorai gegap-gempita. 

“Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu tengkorak !” 

Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan 

tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau 

setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu 

sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. 

Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. 

Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang 

pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, 

nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk 

menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, 

kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris 

terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda 

menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam 

rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi 

caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung 

rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang 

pada tengkorak , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan 

buahdadanya. 

Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-

bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, 

dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang 

destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan 

menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan 

bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang 

menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya 

dengan pandang rakus. 

Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa 

melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-

sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: 

“Dirgahayu Awis Krambil!” 

“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, 

meledak serentak. 

“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya 

penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. 

“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun 

yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. 

Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun 

semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan 

tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari 

pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan 

ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus 

menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” 

Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang 

pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti 

Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” 

Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi 

menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin 

gemuruh. 

“Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah 

dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” 

Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka 

pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian 

dari upacara, sesudah  keluarnya larangan. Semua wanita 

pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah 

kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk 

merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak 

bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. 

Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa 

mudanya. 

“Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat, 

sebab  seluruh Kota sudah menunggu.” 

Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan 

pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian 

yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian 

semakin indah. 

Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan. 

Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-

umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua 

untuk senang menerima kedatangannya. 

Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan 

bersorak-sorai gegap-gempita. 

“Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu tengkorak !” 

Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan 

tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau 

setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu 

sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. 

Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun. 

Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang 

pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, 

nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk 

menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, 

kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris 

terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda 

menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam 

rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi 

caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung 

rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang 

pada tengkorak , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan 

buahdadanya. 

Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-

bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, 

dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang 

destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan 

menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan 

bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang 

menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya 

dengan pandang rakus. 

Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa 

melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-

sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: 

“Dirgahayu Awis Krambil!” 

“Dirgahayuuuuuuu,” semua, pendatang dan penonton, 

meledak serentak. 

‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya 

penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang. 

“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun 

yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya. 

Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun 

semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan 

tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari 

pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan 

ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus 

menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.” 

Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang 

pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, Gusti 

Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!” 

Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi 

menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin 

gemuruh. 

“Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah 

dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!” 

Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka 

pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian 

dari upacara, sesudah  keluarnya larangan. Semua wanita 

pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah 

kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk 

merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak 

bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. 

Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa 

mudanya. 

“Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat, 

sebab  seluruh Kota sudah menunggu.” 

Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan 

pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian 

yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian 

semakin indah. 

Rombongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang. 

Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah 

tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada 

melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia. 

Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambut-

sambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri 

yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti. 

Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di 

tengah-tengah pintu. Ia berkain. sebab  tubuhnya tinggi, 

kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak 

mengenakan selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di 

tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan 

kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai. 

“Dari mana semua ini, maka membikin onar di Kota?” 

“Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan, 

“dari desa perbatasan Awis Krambil.” 

“Apa keperluanmu, pelancang?” gertak penyambut 

sambil mengamangkan pedangnya. 

Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda 

dengan tombaknya. 

“Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah 

pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab 

kepala desa. 

“Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah 

itu orang desa!” 

“Berilah kami kesempatan!” 

“Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah 

kau dari sini.” 

Dan dengan demikian rombongan Awis Krambil masuk, 

kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau 

memanggil-manggil tengkorak . 

Dan pintu pagar tertutup rapat. 

0o-dw-o0 

 

Dua hari rombongan peserta Awis Krambil telah 

diasmayat kan. Pria menempati bangunan sebelah kanan, 

wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang. 

Latihan pun sudah dimulai 

Di bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi 

mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang 

Adipati ke asmayat  untuk mengunjungi tengkorak . Datang 

berarti bidadari Awis Krambil akan terambil jadi selir. 

Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal, 

malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di 

atas bumi dan kepala manusia Tuban Kota. 

Punggawa-punggawa desa Awis Krambil semakin giat 

meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja 

sekarang tak tahu tentang itu: tengkorak  sendiri, mandala  dan 

Sang Adipati 

Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran 

menghadapi kemungkinan datangnya Portugis dan 

Spanyol. Juga tengkorak  tak kurang sibuknya: berlatih dan 

melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama: 

memasak dan membersihkan asmayat . mandala  pun sibuk 

melatih otot-ototnya. 

Mereka turun ke kota dan memasuki asmayat  dengan hati 

berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus 

disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari 

punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan 

segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka 

hendak melangsungkan perkawinan. lalu  tak lain 

dari kepala desa sendiri yang datang. ‘Desa kita telah 

dicemarkan oleh mendiang mayat  arwah ’, katanya. 

‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala desa itu 

menuding mandala , ‘kau bertanggungjawab juga dalam 

pencemaran itu!’ mandala  membantah dan punggawa itu 

tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya 

pada pengawal perbatasan. 

Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa 

daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah 

tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih 

mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di 

Tuban Kota nanti. Kembalikan kehormatan Awis Krambil! 

Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa, 

dan ia harus menggondol kemenangan. 

0o-dw-o0 

 

mandala  sedang menimba sumur asmayat  waktu 

didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu 

ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama 

Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang 

tajam menyayat kata-katanya. 

mandala  meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam 

segala ukuran Boris kalah dibandingkan nya, namun 

semangatnya untuk menang memancar kemilau pada 

matanya. 

“Kang mandala ,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke Tuban 

Kota tahun ini.” 

“Kau juga, Boris.” 

Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek: 

“Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan 

tengkorak ?” 

Darah mandala  tersirap. Sekarang jelas padanya arti 

sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak 

dalam asmayat  ini. 

Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan 

lepas dari hukuman Sang Adipati. Sekarang gelombang 

sindiran tentang kehilangan tengkorak . Siapa bakal mampu 

merampas kekasih dibandingkan nya kalau bukan punggawa? Ia 

masih dapat mengingat kebencian mayat  arwah  terhadap 

para punggawa – kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan 

pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk 

turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat 

mengingat waktu tengkorak  menolak, dan rapat desa diadakan 

dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat 

penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan 

diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada 

penduduk desa diperkenankan hadir. Dan lalu  desas-

desus ini mata Sang Adipati tak lepas-lepas dari gadisnya, 

tengkorak . 

“tengkorak , Kang – rupanya kau sudah relakan dia,” 

tetaknya. 

mandala  mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan 

telah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari 

para punggawa itu, tapi Sang Adipati sendiri bakal 

merampas kekasihnya. 

“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?” 

Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya 

hatinya. 

“Ya,” jawabnya hambar. 

Sebelum kepergian terakhir ke Tuban ia selalu merasa 

bangga melihat pandang pria yang memberahikan 

kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan 

mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu 

merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya 

masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum 

punggawa, terutama Sang Adipati sendiri bukan sekedar 

gumpalan otot perkasa dan kecekatan menggunakannya. 

Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati. 

“Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?” 

Begitu dilihatnya mandala  menjatuhkan pandang ke tanah 

basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna 

marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani 

menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau 

marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu. 

Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.” 

Di luar dugaan Boris, mandala  tersenyum. Giginya 

lalu  muncul, nampak dan gemerlapan