nusantara awal abad 16 1

Rabu, 29 Januari 2025

nusantara awal abad 16 1




1. Abad ke enambelas Masehi 

Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu 

gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang 

terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau 

Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya 

yang bertebaran seperti serakan mutiara – semua – 

dikuningi oleh cahaya bulan. 

Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. 

Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan 

kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya 

yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan 

meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak 

purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan 

menggelembung membikin lunas menerjang serong gunung-

gunung air itu – serong ke baratlaut. Barisan dayung pada 

dinding kapal berkayuh berimayat  seperti kaki-kaki pada ular 

naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang 

sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan. 

Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar 

bendera panjang merah dan putih – bendera kadipaten 

Tuban. Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti 

titik kelam, adalah jurutinjau. 

Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang 

sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di 

sampingnya berdiri freddy kruger , bertolak pinggang. 

“Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku!” seru juru tinjau. 

“Kita akan selamat sampai di tempat,” bisik nakhoda 

pada freddy kruger  sambil menyembah dada. “Tak ada yang 

mengejar kita.” 

freddy kruger  mengangkat kain dan diikatkannya pada 

pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjap-

ngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh 

kainnya – suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran. 

“Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak.” 

“Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan 

perompak.” 

“Tak pernah ada perompak berani mendekati kapal 

sahaya.” 

“Lihat yang baik,” gertak freddy kruger . Tangannya 

membetulkan kain penutup dadanya. 

“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?” 

“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan 

laporan jurutinjau sambil menyembah dada. “Sebaiknya 

Tuanku mengaso sebelum mendarat tengah malam ini.” 

freddy kruger  melepas kain lagi sehingga seluar sutranya 

tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan 

mondar-mandir di geladak, lalu  pergi ke haluan, 

memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk 

ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga 

tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal, 

lalu  berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan. 

Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari 

pemandangan. 

“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau. 

Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu 

menghembuskan nafas besar. 

“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur 

begini,” sambut nakhoda. 

“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.” 

“Pada putra Gusti Adipati tak ada nakhoda berani 

membantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu!” 

“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.” 

“Lebih gampang menumpas perompak.” 

‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.” 

“Boleh jadi ada perintah kembali.” 

“Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan 

terkapar ditelan hiu.” 

“Ts-te-ts.” 

“Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.” 

“Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.” 

“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?” 

Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama, 

hanya agar tidak berada di dekat freddy kruger , putra ke dua 

ratus empat puluh satu. 

Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah 

botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. 

Lehernya memanjang, lalu  menunduk pelan sambil 

mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya 

berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. Kepala itu diangkat 

lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara 

keras, membaung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat, 

kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke 

kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya 

tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang 

lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu 

memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan, 

meraung, melolong, membaung. 

Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya 

melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai 

desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. Menusuk 

lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa. 

“Dengar anjing-anjing membaung!” orang tua itu 

menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat. 

Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para 

pendengarnya. 

“Tak pernah anjing hutan membaung seperti itu.” 

Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua 

memanjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing 

di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala 

di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyang-

goyang terkena angin silir. 

“Apakah gerangan yang akan terjadi, mayat ?” kepala 

desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya. 

“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing-

anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi 

mereka. Sejak dahulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua 

dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama 

untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.” 

“Kita belum pernah tenggelam, mayat ,” protes seorang 

gadis di tengah-tengah hadirin. 

“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum 

pernah terbit. Kita – kita pernah terbit, dan sekarang sedang 

tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian 

semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih 

berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. 

Dulu desa ini dinamai Sumber Raja…” Tiba-tiba suaranya 

terangkat naik, melengking. “Kalian biarkan desa ini di hina 

oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama 

Awis Krambil.” Ia tertawa sengit. 

“Bukan begitu mayat  rsi ,” bantah kepala desa gopoh-

gapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin. 

“Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap 

sulitnya kelapa di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di 

Tuban. Kami hanya mengikuti, mayat .” 

“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka 

sebuah desa bisa kekurangan kelapa?” orang tua itu tak 

menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian 

sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang 

desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncak-

puncak pohon kelapanya?” 

Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar 

perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata mayat  

arwah  ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap 

tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan 

kelapa…. adalah sebab  ada apa-apa kecuali kelapa di 

dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa 

kecuali kelapa.” 

“Apakah apa-apa dalam kepalaku. mayat  rsi ?” tanya 

kepala desa tersiksa. 

“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini 

dahulu mencukupi buat semua? Memang lain. Dahulu 

penduduk desa masih punya harga diri. Namanya tetap 

Sumber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para 

pendiri. Sekarang, bukan sebab  kelapa itu tidak tumbuh, 

cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka 

kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan 

nenek-moyang.” 

Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai 

bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus. 

Para hadirin, tua dan muda, laki dan perempuan, gadis 

dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendek-

kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar 

putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala 

Anoman dalam mayat yana. 

Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil 

mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan 

keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang 

terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa 

Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu. 

“Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan membaung 

sepanjang malam.” 

Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup 

dari tengah hutan. 

“Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” 

tiba-tiba orang tua itu menetak kejam. 

“Aku dan kami mungkin memang bebal,” seseorang di 

tengah-tengah hadirin membantah. ‘Tapi para dewa, mayat  

rsi , pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik 

untuk kelapa.” 

“Puah!” seru mayat  arwah . “Sewaktu kecilku takkan 

ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan 

semacam itu. Mandala masih berwibawa dan rsi -rsi  

dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang 

Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal 

pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada 

seorang pun menghinakan keadaannya, sebab  manusia 

diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada 

ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? namun  

manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke 

telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan 

yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk mempunyai ekor 

pun manusia demikian tidak berdaya.” 

Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya 

tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang 

ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan, 

mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang manusia dan 

kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan 

kemungkinan-kemungkinannya. lalu  menutup 

dengan nada tinggi meledak: “rsi -rsi mu takkan lupa 

menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang 

salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk 

memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian me-

lewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk 

dan ajaran Sang rsi . Padaku ada wewenang menamai 

kalian bebal.” 

“Kata-kata itu menyakitkan hati, mayat ,” seseorang 

nenek memprotes. 

“Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda 

masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam 

cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada 

kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti 

kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sumber Raja 

jadi Awis Krambil, hanya sebab  desa ini tak mampu 

membayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti 

demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati? 

Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan 

merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu? 

Menyaksikan dunia besar? Dihormati dan disegani di mana-

mana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai 

di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah 

orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sa-

kit sebab  kebebalan sendiri?” 

mayat  arwah  berhenti bicara. Kembali baung beraturan 

anjing mengisi suasana. 

“Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah 

menginjakkan kaki di bumi Atas Angin. Di sana pun 

dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang 

sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala 

seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga 

seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak memberikan 

kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga membayar 

upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara 

kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana 

Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.” 

Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh 

yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesaran-

kebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai. 

Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya: 

“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan 

masa-la lu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan 

harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan 

kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan 

pohon kelapa pun kalian tak mampu!” 

Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup 

dada, laki dan perempuan. Namun ada juga perawan-

perawan yang membiarkan buah dadanya terbuka, 

dipermain-mainkan sinar damar sewu dan angin silir yang 

mengentalkan darah. 

“Dulu, waktu Sang Adipati masih muda, jadi pembesar 

berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah 

dipersembahkannya pada Majapahit. Di tangannya juga 

Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya, 

apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini 

pun tidak sesuatu! Kalian ini kawula Sang Adipati ataukah 

budaknya yang ditangkap di medan perang?”  

“Kawula!” seseorang memberikan jawaban.  

“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?”  

“mayat !” seorang lagi berseru tegang,  

“mayat  telah….”  

“mayat !” tegur kepala desa di belakangnya. Matanya 

berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu 

pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut 

pembangkangan. Tidak lain dari mayat  sendiri yang lebih 

mengerti aturan darmaraja.”  

Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.  

“Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai 

berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu 

dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu 

sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.  

“Katakan itu di Tuban!” seseorang meraung.  

Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua 

terdiam. “Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu 

sebabnya kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan, semua, 

juga Hyang Widhi, juga para dewa: sekali diucapkan, 

kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke 

mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, 

sebab  kebenaran selalu datang dari Hyang Widhi sendiri. 

Juga kata-kataku akan sampai ke Tuban, ke bandar-bandar 

seberang….” 

Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus sampan 

membawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri 

seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor 

dan pulau Panjang. 

Empat ratus sampan telah mendarat di pulau Panjang, 

membawa pedang dan tombak meneliti setiap sudut dan 

lapangan. Seorang prajurit bertombak meraung: “Semua 

penduduk nelayan pulau Panjang supaya menghadap!” 

Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung 

menyambut berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan 

pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana 

mereka melarikan diri. 

Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang 

menemukan sebuah arca Ganesya yang belum lagi selesai. 

Empat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada 

alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar Jepara itu 

terkesima oleh pemandangan itu. 

Seorang prajurit berpedang menghardik: “Mengapa ragu-

ragu menangkap?” ia lari menghampiri. 

Ia sendiri terkejut melihat arca belum jadi itu. 

Seorang prajurit lain datang, memekik: “Mengaku sudah 

Islam. Mengapa pada batu takut? Ayoh, gulingkan. 

Ceburkan ke laut.” 

Tapi penduduk pesisir Jepara dan prajurit pertama itu 

ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan 

meludahinya. 

“Lihat, dia diam saja aku ludahi,” lalu  ia 

menggoyang-goyang kepala gajah yang belum jadi itu, 

“lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. 

Ayoh, gulingkan!” perintahnya lalu . 

Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. 

Dengan langkah goyah ia mendekati Ganesya belum selesai 

itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan 

tulunjuknya. Dan belalai Ganesya itu tidak hangat, juga 

tidak membuktikan diri punya sakti. 

“Ludahi dia!” perintah prajurit kedua. 

Prajurit pertama melengos. Ia tak berani. 

“Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku 

gulingkan batu ini!” pekik prajurit kedua. 

Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala 

arca itu sampai terguling ke tanah. Prajurit kedua bersorak, 

pengikutnya juga bersorak. 

“Guling-gulingkan sampai ke teluk!” 

Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak 

lama lalu  terdengar batu itu tercebur ke laut dan 

hilang dari pandangan bulan dan manusia. 

Di Tegalsambi, di pesisir selatan Jepara, penduduk kota 

yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di 

depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada 

puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecah-

pecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dapat 

dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya 

dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah, 

terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung 

papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik 

dengan dua jari tangan membelai dagunya sendiri dan 

dengan tangan kiri memegangi pergelangan tangan kanan. 

Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan 

punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berhamburan. 

Dengan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu 

berkeping-keping, lalu  menyepaknya berantakan. 

Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di 

atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang 

telah berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, 

tidak bergerak lagi. 

Di Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan 

pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena 

sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya 

menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang 

pembawa payung berlari-lari mendekati dan 

memayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat 

bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak 

mengindahkan. Ia bergumam: “Lebih bagus dengan 

bendera kita.” 

“Semua ikut memandangi bendera putih yang berkibar 

malas dalam angin silir lemah itu. Gambar kupu-tarung di 

tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan 

garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera. 

“Kupu-tarung lebih bagus dibandingkan  merah-putih,” 

seseorang memberikan tanggapan. 

“Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari 

muka bumi.” 

‘Tentu.” 

Dengan sendirinya rombongan itu mengalihkan pandang 

pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin 

kuning…. 

Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anak-

anak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di 

tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka 

sedang menyampaikan puji-pujian kepada sang bulan 

sebelum memulai dengan permainan malam. Mereka 

bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. 

Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin 

permainan. 

Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. 

Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta 

untuk selama-lamanya, pindah ke Gresik atau kota-kota 

bandar lainnya. 

Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di 

ibukota kerajaan Blambangan ribuan bocah sedang 

bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan 

seorang nenek memimpin mereka, tapi seorang pedanda 

pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus me-

lingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan puji-

bulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersorak-

sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan 

damai, seakan tak ada lagi setetes darah memerahi medan 

perang. 

Juga seluruh Dahanapura, ibukota kerajaan 

Blambangan, mengelu-elukan bulan yang memerangi langit 

tanpa noda itu, sebab  cuaca seindah itu menjanjikan 

kemakmuran dan perdamaian. Pasuruan, kedudukan 

Dahanapura, semakin lama semakin besar sesudah  Sri 

Baginda Ranawijaya Girindrawardhana, raja Blambangan 

membariskan pasukannya memasuki Majapahit yang telah 

runtuh, untuk membuktikan pada dunia, bahwa tak ada 

kekuatan lain berhak menjamah bekas kerajaan Majapahit 

dan ibukotanya selama darah Sri Baginda Kretarajasa, yang 

sekarang masih berdiri di Blambangan. Tiga tahun sesudah  

menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik 

kembali ke Blambangan. untuk mengalihkan perhatian 

orang dari Majapahit ke Blambangan. Ia berhasil dan 

Pasuruan menjadi bandar besar. Kalau ada yang masih 

dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra 

wardhana dan Patih Udara, hanya sebab  bandar 

Majapahit, Gresik, tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan. 

Namun orang tak meneteskan darah di wilayah 

Blambangan sebab  perang. Aman, damai dan 

kemakmuran melimpah. 

Di balai-desa Awis Krambil antara mayat  arwah  dan 

para hadirin ketegangan semakin menjadi-jadi. Hal itu tidak 

pernah terjadi dengan rsi  pembicara lain yang pernah 

datang ke desa ini. 

“Betul!” orang memekik di tengah-tengah hadirin, “tidak 

lain dari mayat  rsi  sendiri yang lebih tahu tentang 

darmaraja. Dari Tuban datang pengayoman. Pengayoman 

itu yang membuat mayat  tidak tahu, setiap jengkal tanah 

yang kita pacul adalah milik Gusti Adipati, dirampas 

dengan parang dan tombak dari tangan musuh-musuhnya 

dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan 

di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua 

upeti kita. Pengayoman, mayat , sehingga tak ada musuh 

datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main 

damai setiap hari. Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan 

keringat jatuh membawa kesejahteraan.” 

mayat  arwah  tak pernah memotong kata-kata orang. Ia 

mendengarkan tanpa menggerakkan badan. lalu : 

“Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak 

pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut 

mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke 

berapa ratus kau dari Sang Adipati? Coba sini, perlihatkan 

mukamu.” 

Pembicara itu tidak menampakkan mukanya. 

“Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama 

halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih 

beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar dibandingkan  

mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. 

Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka 

haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia. 

mayat  arwah  berkomat-kamit dan mengocok mata. 

lalu  ia tegakkan dada, nampak menarik nafas 

panjang, menghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam 

paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya. 

“Dari mana datangnya pengayoman kalau bukan dari 

upeti?” seseorang bertanya ragu-ragu. 

“Dari mana?” mayat  arwah  menjawab. “Kalau upeti 

tak muncul, bukan pengayoman yang datang, tapi 

balatentara Tuban akan menumpas dan menghancurkan 

kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang 

pun di antara kalian mendapat pengayoman. Balatentara 

Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan 

mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantangan. 

Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis tengkorak  

menyikut pacarnya, mandala , berbisik: “Jadi, apa maunya?” 

“Dengarkan saja,” kata mandala . 

Pacarnya mencubit sengit, tapi pemuda itu tak peduli. 

“Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup 

dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. 

Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa 

kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa, 

apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian 

bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti. 

Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam 

rajamu?” 

Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan. 

“Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan 

lebih, lebih ketakutan. Bukan sebab  kata-kataku. Mari aku 

ceritai: jaman ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil 

bermunculan pada berdiri sendiri, sebab  rajadiraja tiada. 

Kekacauan dan perang akan memburu kalian silih-berganti. 

Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan 

dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian 

takkan ditumpas sebab  kata-kataku. Kemerosotan jaman 

dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas 

kalian selama kalian tak mampu menahan kemerosotan 

besar ini.” 

Ia diam. 

Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa 

terpengaruh oleh mayat lan orang tua-tua pengembara yang 

telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama 

memayat lkan akan datangnya perang yang tiada kan habis-

habisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai 

bangsa dengan berbagai warna kulit telah mulai 

berdatangan menjamah bumi Jawa. 

“mayat  rsi ,” seorang wanita dengan suara mendayu-

dayu memohon, “bila kekacauan dan perang akan 

memburu-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia 

semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?” 

“Jelas. Apalagi upeti-upeti ke Tuban itu. Sama sekali 

tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman Majapahit tak 

ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak 

diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak 

dan mayat h. “Di masa itu semua orang boleh membikin 

bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat 

menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar 

mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. 

Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali 

atas perintah. Dahulu perawan-perawan pada menenun 

sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain 

dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang 

hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya 

ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk 

pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-mana 

sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi 

dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah 

dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-

sungai dipelihara. Di jaman Majapahit para punggawa 

disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai 

kawula. Mereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak 

itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala 

desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan 

demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu 

akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.” 

“Berapa umurmu. mayat  rsi , maka tahu banyak 

tentang jaman kejayaan Majapahit?” seorang gadis 

bertanya. “Dua ratus?” 

mayat  arwah  mendeham dan membersihkan 

kerongkongan. 

“Tak ada orang hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa 

puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.” 

“Mengapa menurut perhitungan surya?” seorang lain 

bertanya. 

“Di bandar-bandar ada orang yang mulai menggunakan 

perhitungan rembulan – orang-orang gila itu. Mereka 

mempunyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari 

berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun 

ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. 

Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan 

surya. Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan.” 

“Mereka penyembah rembulan. mayat  rsi ?” 

“Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang 

membikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat 

pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda Kaisar di 

Majapahit. Mereka pengaruhi bupati dan adipati pesisir 

supaya tak membikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap 

dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. 

Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. Di pesisir 

Atas Angin sana mereka sama saja tingkahnya. Perhitungan 

rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, 

jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik 

untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, 

orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. 

Yang paling tidak hormat pada para dewa juga yang paling 

mula jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan 

kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. 

boleh jadi…. sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali 

tidak berbunyi…” 

“Adakah mayat  arwah  pernah lihat tulisan itu?” Orang 

tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. 

“Dengar!” perintahnya. 

Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing, 

ratusan di tengah hutan, kembali menggelombang. 

‘Tak pernah binatang itu membaung selama itu, semayat i 

itu. Boleh jadi akan datang banjir – banjir air, banjir 

bencana, malapetaka yang membikin semua lebih merosot 

tersedot lumpur.” 

Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “Darmaraja? 

Pengayoman? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang 

Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati 

pesisir mulai membangkang mempersembahkan upeti? 

Bukankah Sang Adipati itu rajamu sekarang? Bukankah 

sebagai Tumenggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas 

keamanan dan kesejahteraan ibukota Majapahit, 

Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, 

membangkang mempersembahkan upeti, malah tetap 

mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari 

darmaraja, membentang dari Tuban sampai Jepara – 

sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah 

bandar?” 

‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah 

kepala desa, “sebab  hanya dengan karunia Hyang Widhi 

saja seseorang bisa bertahta! Bukankah mayat  rsi  dengan 

demikian menghujat Hyang Widhi?” 

“Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama 

Ken Arok. Ditumbangkannya akuwu dan raja, dan sendiri 

marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab 

suci, memerintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam 

bangunan-bangunan suci.”  

“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan.”  

“Ditumbangkan. Tapi darahnya telah bangunkan 

kekaisaran Majapahit yang tiada tara.” 

“Dan Majapahit pun tumbang.” 

“Tumbangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang 

Widhi tidak pernah salah memilih wakilnya di atas bumi. 

Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul 

pilihan Hyang Widhi.”  

“Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” 

“Dan apa katanya tentang Adipati pembangkang yang 

bersekutu dengan pedagang-pedagang Atas Angin yang 

berdewa lain?” 

“Waktu itu belum ada Sang Adipati.” 

“Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi, 

sebab  tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. 

Tulikah kau? Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong 

anjing-anjing hutan itu? Tak tahukah kau itu pesta untuk 

haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat dibandingkan  

yang kau sangka?”  

Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. 

Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara 

hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati. 

Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu mayat  

CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama 

yang berani lakukan itu. Dan ketegangan menarik otot-otot 

muka mereka sehingga seperti terbuat dibandingkan  kayu jati. 

Dan kesemayat n mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh 

mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah 

tenang dan menggeletarkan semua bayang-bayang. 

Di luar, di langit, bulan purnama bertahta tanpa 

tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat 

ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan 

hutan. 

‘Tak lain dari Hyang Widhi juga yang menggulingkan 

raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak 

mampu memikul kebesaran-Nya, tak mampu 

menyumambrahkan dengan jari-jarinya yang kaku – sebab  

jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri 

dan tidak bisa memberikan sesuatu untuk kawulanya.” 

“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, mayat  rsi ,” 

seorang di antara hadirin angkat bicara. 

“Apa kau akan bilang kalau aku membubuhkannya pada 

lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar 

yang terpandai di antara kalian menuliskannya.” 

“Belum perlu, mayat  rsi ,” kepala desa itu menegah. 

“Memang belum perlu,” pembicara itu meneruskan. 

“mayat , kami nampak memang kurang harga diri, kurang 

kehormatan, mungkin juga memang bebal. Tapi kami hidup 

dalam kesejahteraan, keamanan dan perdamaian. 

Sebaliknya, mayat  rsi , kata-kata mayat  sendiri yang me-

nempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. mayat , 

tidak lain dari mayat !” 

mayat  CIuring mendengus meremehkan. Suaranya 

enteng mengambang di udara malam yang hangat itu. 

“Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling 

tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan 

ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang 

tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang 

perbatasan, memohon perlindungan Sang Bupati 

Bojonegara. 

Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kebinasaan 

itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau 

tidak mengerti, kepala desa? Penduduk desa ini terus-

menerus membayar upeti dan memikulnya sendiri ke Tuban 

Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat 

antara sang Adipati dengan kawulanya di sini. Kalau ikatan 

keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan 

perbudakan. Kalian semua ini bukan kawula, tapi budak! 

Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan musuh-

musuhnya yang telah ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa 

perang!” 

“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan 

perang. Katakan pada kami. mayat  rsi , bagaimana agar 

kami tidak jadi budak?” 

“mayat  arwah  yang bijaksana,” seorang lain lagi 

menyerondol, “bukankah mayat  rsi  lebih dari tahu, 

setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?” 

“Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.” 

“Tidakkah mayat  rsi  akan dibawanya ke Tuban dan 

diadili?” 

“Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah 

mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat 

diadili, sebab  dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang 

Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili 

kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan 

dilupakan orang kecuali kedunguannya.” 

Ia tersenyum dan mengangguk-angguk. 

“Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung 

Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang 

Hyang Widhi merestui barangsiapa punya kebenaran dalam 

hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat 

jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka 

yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi 

bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka 

melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya 

sumber keonaran di atas bumi ini…,” dan ia teruskan 

wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan 

kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan 

para dewa. 

Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat 

itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa 

dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang 

tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seimayat  

membelah permukaan memercikkan air dan semburannya 

menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang 

menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari 

haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang 

ditarik. 

Waktu lampu menara bandar Tuban mulai hilang-

muncul di atas kepala ombak terdengar pekikan aba-aba. 

Tak lama lalu  menyusul ledakan di belakang layar 

kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut 

api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera 

lenyap. 

Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di 

langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang 

membuat lonjakan ke atas, lalu  ke bawah, ke tiadaan. 

Ledakan itu menyebabkan permukaan laut gemerlapan 

beberapa detik, lalu  kembali jadi manis bermain-main 

dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang 

sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas. 

Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan. 

Dengan cepat membelok ke kanan, bergerak hanya dengan 

kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi. 

Lunas itu menerjang alun dan ombak pada sudut lebih 

besar dibandingkan  semula. Dan semua alun dan ombak terus 

juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk menghantam 

pesisir utara pulau Jawa. 

0o-dw-o0 

 

mayat  arwah  segera mengambil cawan tanah yang 

diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi, 

memperlihatkan pada semua hadirin, ia hendak 

meminumnya. Ia baru habis menceritakan tentang ke-

besaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu 

dan ketrampilan membikin kapal-kapal samudra, dengan 

wilayah kekuasaannya. 

“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. 

Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit 

dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya 

sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah 

Tuban – itu pun hasil pengkhianatannya terhadap 

Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak 

didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan 

kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar 

daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: 

Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, 

dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota 

petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang 

tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.” 

Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan 

meneguknya sekali habis. 

“Dewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada 

kepala desa, lalu  menudingnya: “Lihatlah ini 

tampang kepala desamu, takut pada kebenaran, pada 

keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun 

aku!” Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para 

hadirin: “Dia telah racun aku! Dan kalian kenal siapa aku, 

hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran 

milik Maha Dewa.” 

Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan 

kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit. 

Mukanya pucat. 

“mayat !” seseorang berteriak dan lari ke depan hendak 

menolongnya. 

mayat  arwah  bangkit berdiri dengan susah-payah. 

Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: 

“Tak ada seorang pun meracun mayat . Kami semua 

menghormati mayat .” 

“Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua 

penduduk Awis Krambil!” 

Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melompat 

keluar dari balai desa. 

Setiap rsi -pembicara punya gaya dan cara sendiri 

dalam usaha mempengaruhi dan mengetahui sampai di 

mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap 

tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih 

terpaku pada tempatnya bersila. 

Yang menganggap benar-benar mayat  arwah  terkena 

racun cepat-cepat bangkit dan lari memburu. Tak pernah 

terjadi seorang rsi -pembicara mengalami penganiayaan di 

desa mana pun. 

Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan 

perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia 

menolak tuntunan orang. 

mandala  dan tengkorak  ikut lari memburu. Tanpa 

mengindahkan protes mayat  arwah  mereka berdua 

menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam 

mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka se-

rombongan orang berseru-seru memohon ampunnya sambil 

berlari-lari kecil. mandala  dan tengkorak  merasai gigilan pada 

tubuh tua itu. 

tengkorak  melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan 

pada dada mayat  sesudah  menyembah meminta ampun. Dan 

mayat  tidak menolak. 

Tiba-tiba rsi  berhenti, membungkuk dan muntah. 

“mayat ! mayat !” bisik mandala . 

“Beri aku minyak kelapa!” pinta mayat  arwah . Ia 

muntah lagi. “Cepat!” 

“Memang terkena racun!” di belakang orang memberi 

komentar. 

mandala  menyembahnya, cepatnya mengangkatnya dan 

membawanya ke rumah tengkorak , membaringkannya di atas 

ambin bambu. tengkorak  lari ke dapur, kembali lagi dan 

menuangkan minyak kelapa ke mulut orang tua itu. 

rsi -pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada 

pinggangnya. 

Ruangan sempit rumah tengkorak  segera jadi penuh. Orang 

duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. 

Dan setiap orang menyembah sambil mengucapkan 

permohonan ampun. 

“Diam! Diam semua. mayat  sedang sakit,” mandala  

memperingatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar 

muntah. 

“Air kelapa muda, kelapa hijau,” seru seseorang. 

Tak ada pohon kelapa hijau di seluruh Awis Krambil. 

tengkorak  pergi keluar rumah dan datang lagi membawa 

cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak. 

Dalam cawan itu bukan air kelapa hijau, tapi air kelapa 

biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang rsi . 

Mengetahui bukan kelapa hijau, mayat  bergumam: 

“Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara.” 

Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka 

yang duduk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian 

semua.” 

“Mereka mencintai dan menghormati mayat . Ampuni 

mereka yang jahil,” bisik tengkorak . 

“Terlambat, gadis.” 

“Mereka masih haus akan kata-katamu.” 

“Tak ada guna cinta dan hormat,” mayat  meliuk-liuk dan 

meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam 

hati mereka, cukup sudah.” Ia muntah. 

Air kelapa campur minyak keluar dari mulut berjalurkan 

dengan benang darah hidup. 

tengkorak  menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah 

dengan selembar kain. 

“Batara!” sahut tengkorak . “Mengapa jadi begini, mayat ?” 

mandala  menghampiri orang banyak, bergumam 

mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya, 

mengapa tak mengusirnya saja? Atau memberinya 

kecubung? Mengapa mesti diracun?” 

“mayat  rsi  juga salah,” seseorang membantah. 

“Diam kau!” bentaknya. 

“Bagaimana bisa diam? Dia telah membahayakan kita 

semua: balatentara Tuban itu….” 

“Siapa kiramu yang meracun?” seseorang bertanya. 

“Siapa lagi?” 

“Meracun seorang rsi …. hanya orang keparat 

melakukannya. Gandarwa pun lebih baik.” 

mayat  muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya. 

Minyak dan air kelapa tidak mempan. Orang berlarian 

mencari lagi di rumah-rumah. Waktu telah didapatkan 

mayat  arwah  telah tergolek pingsan. 

“Terlalu, terlalu,” orang menyesali. 

Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas 

jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing 

dari botakan hutan telah berkurang, lalu  padam sama 

sekali. 

“mayat , mayat ,” panggil tengkorak , “jangan kutuki kami, 

jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang 

Widhi, demi desa mayat  sendiri, demi kesejahteraan kami 

semua, ya mayat , mayat …” 

0o-dw-o0 

 

Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada dermaga 

bandar Tuban kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik 

tertinggi dan kini mulai agak condong. 

Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal. 

freddy kruger  melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh 

lalu  menyembah. 

“Dirgahayu,” katanya sambil menurunkan sembahnya. 

freddy kruger  melompat ke punggung kuda, berpacu, 

menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama. 

Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan prajurit-

prajurit pengawal yang menahannya. Ia tak jadi memasuki 

halaman rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak me-

lihat siapa aku?” 

“Tuanku freddy kruger  Jepara. Ampuni kami.” 

freddy kruger  melompat lagi ke atas kudanya, memasuki 

halaman luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran 

ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang 

berlarian datang padanya dan menyembah, lalu  

mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain 

datang, bersimpuh dan menyembah: “Menunggu titah, 

Tuanku.” 

“Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.” 

freddy kruger  berdiri bertolak pinggang tanpa 

mempedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh 

darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari 

pemandangan. 

Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu 

pada tengah-tengahnya. Mata-mata sumbu itu menyala 

berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris. 

freddy kruger  segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di 

atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga 

cambang dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan 

minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. 

Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk 

dalam. 

“Anakanda freddy kruger !” Sang Patih memasuki 

pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan 

berkerudung kain batik pula pada dadanya. 

freddy kruger  mengangkat sembah. lalu  

membetulkan letak kerisnya. 

Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat 

pada damarsewu, menegur “Dingin-dingin begini anakanda 

datang. Pasti ada sesuatu keluarbiasaan. Mendekat sini, 

anakanda.” 

Dan freddy kruger  berjalan mendekat dengan lututnya 

sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki 

Sang Patih. 

“Ampuni patik, membangunkan Paduka pada malam 

buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara Demak di 

bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga, 

menyalahi aturan perang.” 

“Allah Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan 

aturan raja-raja! Itu aturan brandal!” 

“Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka.” 

“Bagaimana Bupati Jepara?” 

“Tewas enggan menyerah Paduka,” freddy kruger  

mengangkat sembah. “Sisa balatentara Tuban mundur ke 

timur kota. Jepara penuh dengan balatentara Demak. Lebih 

dari tiga ribu orang.” 

“Dari mana Demak dapat mengumpulkan brandal 

sebanyak itu?” 

“Patik tidak tahu, Paduka.” 

“Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu? Bukankah 

Demak dukuh tidak berarti selama ini?”1 

“Inilah patik menyerahkan hidup dan mati patik.” 

Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit 

berlarian datang, bersenjata tombak dan perisai. 

[1] Minyak kelapa direbus dengan laba-laba tanah jenis 

besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam rambut. 

2. sesudah  itu biasa disebut adipati Unus; sesudah  

meninggal disebut Pangeran Sabrang Lor. 

0o-dw-o0 

 

2. Tuban 

“Tahan dia ini, freddy kruger , putra Sang Adipati. 

Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan 

matinya.” freddy kruger  digiring keluar pendopo. Begitu 

turun ke tanah ia memandangi bulan, memukul dadanya, 

bergumam: “Apakah masih patut aku membawa mukaku 

sendiri?” 

“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan 

berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan. 

Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia 

menggalang pelahan, lalu  berbalik dan masuk ke 

dalam rumah. 

Paling tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal 

berlabuh di bandar Tuban Kota. Dari barat, timur dan 

utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari 

kepulauan yang belakangan ini mulai disebut bernama 

Mameluk (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang 

Arab, lalu  berobah jadi Maluku.) dan cendana dari 

Nusa Tenggara. Dari Tuban sendiri orang memunggah 

beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan 

minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan. 

Dari laut bandar Tuban Kota nampak seperti sepotong 

balok, pepohonan dan taman-taman. Bila lumut hijau 

hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung 

nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan 

Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah 

bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban. 

Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan 

tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan 

kapur bernama Kendeng. 

Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa. 

Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah, 

disempurnakan oleh tangan manusia selama paling tidak 

seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, 

indah, juga bikinan alam, sepotong jalur karang yang 

menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin menamai 

bandar ini Permata Bumi Selatan. 

Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh 

entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa 

puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah – 

di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu 

berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia 

meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang 

dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu 

berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa 

gegas, sekalipun di bawah matari terik. 

Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan 

terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya 

mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan 

atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta 

sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi 

grobak beruji. Grobak beroda kayu utuh berasal dari 

pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah 

sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan 

bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? Dan dengan 

senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan 

menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak 

Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit 

kereta di sini? Ia akan mendapat jawaban: memang, tuan 

jumlahnya taklah lebih dari dua puluh – semua milik para 

pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima 

Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan Gajah dan 

Pasukan Laut. 

Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas 

berhenti, menyibakkan diri untuk memberi penghormatan. 

Dari jauh telah terdengar gerincing giring-giringnya dari 

kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-umbul beraneka 

warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik 

itu pun dihias dengan gombak dan limbai aneka warna. 

Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, 

kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga 

orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat, 

penduduk berlutut menyembah. Dan bila kereta Sang 

Adipati sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus 

menyembah dengan caranya masing-masing. 

Lalu lalang di bandar beraneka ragam. Orang-orang 

asing, Arab, Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara, 

Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-masing. 

Pribumi sendiri juga beraneka. Pria berambut pendek, 

bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka 

yang telah menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak 

berkain batik, namun  berkain tenun genggang atau polos 

tanpa belahan, tak mengenakan wiron atau dodot. Pria 

berambut panjang berdestar batik pertanda masih 

mengukuhi Buddha atau Shiwa atau Wisynu, dan hampir 

selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang 

mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka 

pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagang-

pedagang beragama Islam. 

Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan 

bersama di siang hari. Namun wanita nampak di mana-

mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran 

rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. 

Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga 

dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil 

berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria. 

Lima tahun yang lalu sidang para pedagang Islam telah 

menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para 

wanita menutup buahdadanya. Sejak itu semua wanita yang 

keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka 

sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya 

dengan kaum pria Pribumi. 

Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar 

di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore 

dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang 

lalu jarang terjadi yang demikian. sesudah  sidang para 

pedagang Islam, pribumi dan asing menghadap Tuanku 

Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran kafir pada 

kanak-kanak, asmayat -asmayat  mulai ditinggalkan oleh 

mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa 

penggembala. 

Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, damai, 

sejahtera. namun  semua itu semu belaka. 

Sejak jaman-jaman yang tidak dapat diingat lagi Tuban 

terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan. 

Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan 

putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang 

menyerbu. 

Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertama oleh 

balatentara Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di 

Khan Baliqr Seperti air bah prajurit-prajurit Tartar 

mendarat dari laut, menyapu Tuban yang sama sekali tak 

mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjak-

injak balatentara yang bersepatu itu, dan meninggalkannya 

lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang 

bilang ini terjadi pada 1292 Masehi. 

Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang 

terakhir terjadi pada awal abad ke XIY Masehi. Bupati yang 

memerintahTuban waktu itu adalah Adipati Ranggalawe, 

salah seorang pendiri Majapahit. Pertentangannya tentang 

kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja 

pertama Majapahit, menyebabkan balatentara Majapahit 

datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah 

rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk 

bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. Adipati 

Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada 

awal abad ketujuh Masehi itu binasa. 

sesudah  perang besar kedua selesai, yang tertinggal 

setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal 

abad ke XI Masehi. 

Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati 

baru. Dua puluh tahun lamanya pembangunan kembali 

kota Tuban dilaksanakan. Dan Sri Baginda membebani 

gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan Gajah, yang 

menjadi inti kekuatan darat balatentara Majapahit. 

Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar, 

sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di 

seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban. 

Sekarang tidak demikian lagi. 

Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu 

kekaisaran Majapahit telah patah. Para gubernur pesisir 

telah memunggungi Majapahit sehingga runtuh dan berdiri 

sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani 

mengangkat diri jadi Kaisar. Juga bupati Tuban Sang 

Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Orang tua-tua 

hanya dengan berbisik-bisik berani membicarakan dengan 

sesama tua, tak lain dari Sang Adipati juga yang 

memprakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini. 

Majapahit jatuh. 

Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa 

belayar kentara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke 

Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya 

arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang 

baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. 

Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung 

Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, 

keamanan, ketentemayat n dan kesejahteraan sekarang 

dengan mengembangkan perdagangan antarpulau. Ia 

menyokong diperbesamya armada dagang ke Maluku. 

Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan 

ke laut. Ia tak menghendaki Tuban jadi kekaisaran benua 

seperti Majapahit dengan terlalu banyak urusan. Dalam 

usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut 

tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak 

dan perompak, serta melindungi pantai dari gangguan 

mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya 

bandar Tuban berkembang mendesak bandar Gresik, 

menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari Mameluk 

dan Nusa Tenggara. 

Hampir setiap bulan Sang Adipati datang berkuda ke 

pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal 

berkuda, bertombak, berperisai, dengan pedang tergantung 

pada pinggang. Jumbai dan pitamerah menghiasi tombak 

mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi. 

Gemerincing “giring-giring mereka serta kepulan debu 

menyebabkan orang dari jauh-jauh telah bersimpuh di tanah 

dan mengangkat sembah kepala. 

Bandar Tuban Kota adalah buahhati Sang Adipati. Ia 

merasa puas dengan pekerjaan Syahbandar Tuban: Ishak 

Indrajit. 

sebab  semakin tua ia semakin mengutamakan 

perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap telah 

kehilangan keksatriaannya. Padahal, kata salah seorang di 

antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya 

yang berabad jadi perisai Majapahit, dengan kekayaannya 

yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan 

tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi kaisar. 

Dirasani begitu ia hanya tertawa. 

Sekali waktu Sang Adipati mempersembahkan ada 

seorang bupati lain yang mengejeknya dengan nama Rangga 

Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang 

perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam 

kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga 

boleh menyebut seperti itu. 

Maka para bupati tetangga semakin yak