kemerdekaan aceh 5
an bahwa "Dengan berlakunya pemusatan kekuasaan sipil dan militer kepada Gubernur Militer di daerah- daerah militer Istimewa, jabatan Gubernur- Gubernur Propinsi di Sumatra buat sementara dihapuskan".
1<n
Karena kesulitan komunikasi antara daerah - daerah yang dibawahi oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, maka untuk memudahkan dalam koordinasinya ditetapkan Kapten
Nip Karim, sebagai petugas Militer dan Teungku Maimun sebagai
petugas dalam pemerintahan sipil di daerah Langkat. Sedangkan
untuk Tanah Karo, ditetapkan Mayor Jamin Gintings sebagai petugas Militer dan Bupati Rakutta Sembiring sebagai petugas dalam
bidang pemerintahan sipil.
Dalam rangka penertiban aparat - aparat pemerintahan, Pemerintah Republik Indonesia Darurat, pada tanggal 17 Mai 1949, telah mengeluarkan sebuah keputusan No. 24/Pem/PDRI, mengenai
ketentuan - ketentuan pengangkatan, pemberhentian sementara
dan pemindahan pegawai - pegawai negeri. Dan sehubungan dengan ketetapan ini, Kepala Polisi Sumatera, telah pula mengeluarkan
sebuah instruksi tanggal 21 Mai 1949 No. Pol./153/UG. untuk pelaksanaan dari pada keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tersebut. Dengan adanya berbagai perubahan dalam struktur pemerintahan di daerah, terutama pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, seperti telah diutarakan di atas, tentu saja
menimbulkan kebimbangan -kebimbangan baik bagi aparat - aparat
negara, sebagai pelaksana peraturan2 Negara maupun bagi rakyat
awam. Karenanya Komisaris Pemerintah pada tanggal 11 Juni 19-
49, telah mengirim suatu radiogram kepada Pemerintah Republik
Indonesia Darurat, untuk meminta penjelasan tentang keputusankeputusan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut.102
Dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 20
Agustus 1949, Pemerintah Republik Indonesia Darurat dibubarkan
Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam jabatannya selaku Wakil Perdana Menteri, sebagai mewakili Pemerintah Pusat, berkedudukan
di Kutaraja. Mengingat masa Revolusi Kemerdekaan merupakan
masa transisi, maka tidak mengherankan bila setiap waktu terjadi
perubahan - perubahan. Misalnya dengan pembubaran pemerintah
Republik Indonesia Darurat dan penempatan Mr. Syafruddin Prawiranegara di daerah Aceh sebagai Wakil Perdana Menteri, maka
yntuk kesekian kalinya terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan di Aceh. Dengan wewenang yang ada padanya, maka
Wakil Perdana Menteri mengadakan penempatan - penempatan
baru yang menurut anggapannya baik atas Pulau Sumatera. Dalam
pelaksanaan tugasnya Wakil Perdana Menteri dibantu oleh suatu
Badan Penasehat yang terdiri dari Komisaris Pemerintah, Panglima
Territorial Territorium Sumatera dan beberapa orang yang ditunjuk,103
Berdasarkan ketetapan Wakil Perdana Menteri, sebagai
pengganti peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM, tahun 1949,
Propinsi Sumatera Utara dibagi lagi untuk kesekian kalinya, menjadi dua Propinsi, yaitu : Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera
Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950.104
Masingmasing Propinsi ini dibawahi deh Tgk. Mohammad Daud Beureueh (Sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo) dan Dr. F.L Tobing (bekas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Sumatera Utara) sebagai Gubernur. Setelah terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia Serikat, atau setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Kerajaan Belanda
kepada Indonesia, maka susunan pemerintahan di seluruh Indonesia mengalami perubahan lagi, yakni sebagai hasil dari pada persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang berkedudukan di Yogyakarta). Dengan tercapainya persetujuan itu pada
tanggal 19 Mai 1950 No. 21 tahun 1950, dan sidang Dewan Menteri tanggal 18 Agustus 1950, yang melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950, tanggal 14 Agustus 1950, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas 10 Propinsi, telah
menimbulkan suatu masalah baru, sehubungan dengan kedudukan
Daerah Aceh dalam hal pelaksanaan ketetapan pemerintah tersebut. Dalam hal ini Daerah Aceh ditetapkan sebagai bagian dari
pada Propinsi Sumatera Utara. Timbul berbagai protes dari pemuka- pemuka masyarakat Aceh, baik dari kalangan Pamongpraja,
mulai dari tingkat Gubernur sampai kepada kepala - kepala Mukim
Juga dikalangan pemimpin - pemimpin masyarakat lainnya diluar
kalangan pemerintahan. Mereka menginginkan supaya Aceh tetap
berstatus sebagai Propinsi yang berdiri sendiri.
106
Terjadi beberapa pertemuan antara Pemerintah Pusat dengan tokoh- tokoh masyarakat Aceh di Kutaraja, tetapi dalam kenyataan Pemerintah Pusat tetap pada pendiriannya , Propinsi Aceh dihapus, dan Aceh berada dibawah Propinsi Sumatera Utara. Dan sebagai Wakil Pemerintah Sumatera Utara untuk Aceh ditempatkan seorang koordinator, yaitu Residen R,M Margono Danubroto.107
Rentetan - rentetan peristiwa diatas, merupakan awal dari kemelut yang timbul
di Aceh sesudah beberapa tahun berikutnya.
Seperti telah disinggung di atas,di Aceh pada masa awal revolusi kemerdekaan, telah terdapat sebuah pemancar Radio dengan
kekuatan 1 kilowatt. Mulanya Radio ini ditempatkan di wilayah
Bireun ( Aceh Utara ), yaitu di Krueng-Simpo', 20 Km ke jurusan
Takengon, dan kemudian dipindahkan kearah Aceh Tengah dan di-
tempatkan di Rimba Raya (62 km. dari kota Bireun ke arah Takengon). Mungkin itulah sebabnya maka pemancar tersebut pada
mulanya dikenal dengan nama "Radio Rimba Raya". Radio ini
memakai gelombang 19-2 5 atau 60 meter, berada di udara dari
jam 5 petang sampai 6 pagi.
108
Menurut buku Sendam I Iskandar
Muda, Dua Windhu Kodam I Iskandar Muda, Radio Rimba Raya
ini mempunyai riwayat sendiri, sebagai berikut : pada masa agresi
Belanda I, berhasil dimasukkan sebuah pemancar radio dari Malaya
melalui Tanjungpura ke Aceh dengan Speed Boat yang dipimpin
oleh Mayor John Lie. Radio ini mula - mula ditempatkan di Krueng Simpo' dan kemudian dipindahkan ke Kutaraja. Sehari sesudah agresi Militer Belanda II, pemacar ini ditempatkan di sebuah
desa yaitu Rimba Raya dan yang berjasa dalam pemasangan ini adalah seorang Indo Jerman yang sudah menjadi warga negara Indonesia
namanya W. Schultz. Mengenai sasaran penyiaran radio ini dipegang oleh Kolonel Husin Yusuf, sedang koordinasi dan teknik
penyiaran dilakukan oleh A. Gani Mutyara. Berita - berita disiarkan dalam 6 bahasa, yaitu Indonesia, Inggeris, Belanda, Arab, Cina dan Urdu. Radio Rimba Raya ini telah memegang peranan penting dalam menyiarkan dan mengobarkan semangat perjuangan,
membantah siaran bohong Belanda yang dipancarkan melalui Radio Medan dan Batavia. Radio Rimba Raya ini juga dapat berhubungan dengan pemancar radio Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Suliki, Sumatera Barat. Juga dapat berhubungan denganKepala
Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Jendral Mayor Simatupang di Banaran. Melalui siaran ini juga instruksi - instruksi dari
Pemerintah Darurat RI, dapat disalurkan kepada Perwakilan Republik Indonesia Dr. Sudarsono di India dan Palar di PBB. Karenanya Radio ini tidak saja berperan sebagai alat komunikasi umum,
tetapi juga sebagai alat perang yang amat strategis.
109
Selama berlangsungnya Revolusi Kemerdekaan Republik
Indonesia, di daerah Aceh juga terdapat beberapa mass media lain-
nya, seperti surat - surat kabar dan majalah - majalah. Surat kabar
yang paling awal terbit pada masa itu adalah Semangat Merdeka",
yaitu yang terbit pada tanggal 18 Oktober 1945, di Kutaraja.
n o
Selanjutnya muncul pula majalah-majalah seperti Pendekar Rakjat", "Pahlawan", yang merupakan majalah tengah bulanan resmi
Tentera Republik Indonesia Divisi Gadjah Sumatera denean pemimpin umum A.G Mutyara dan Wakilnya Suryadi, mulai terbit 1
Januari 1947; "Fragmenta Politica" yang diterbitkan oleh Pejabat
Penerangan Aceh dan merupakan majalah Tri Bulanan Politik; sebagai ketua pelaksana - Editornya Osman Raliby, Perencana pembantu Mr. S.M. Amin, Soetikno Padmo Soemarto dan Talsya.111
Juga majalah "Kebangunan Islam", Dharma " , "Dunia Peladjar",
"Mimbar Rakyat", "Bebas Puspa" dan "Kesuma", . Sedangkan
majalah yang distensil adalah "Mestika", "Dewan Pers". "Perpindo" (Persatoean Peladjar Indonesia), dan "Bagian Karang- Mengarang Daerah Atjeh Kutaradja.
Menjelang Persetujuan KMB.
Perkembangan - perkembangan yang dilalui bangsa Indonesia
sejak awal kemerdekaannya hingga perwujudan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dapat dilihat melalui bentuk - bentuk kegiatan yang bertujuan untuk menegakkan, mempertahankan dan
mengamankan kemerdekaan dari bermacam gangguan, baik yang
datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Peperangan dan
Diplomasi (yang diakhiri dengan Konperensi Meja Mundar di Den
Haag Negeri Belanda pada Bulan Nopember 1949), merupakan sarana - sarana perjuangan untuk mencapai tujuan pada masa itu1
Ancaman akan kembalinya kekuasaan Kolonial telah menimbulkan kegelisahan yang ekplosif pada setiap pejuang yang mendambakan kemerdekaan. Karenanya mereka selalu berada dalam situasi kesiap siagaan. Mereka membentuk berbagai organisasi, baik
yang bersifat lokal maupun yang bersifat Nasional, yang merupakanbarisan perjuangan dan pertahanan bersama- mereka. Setiap
organisasi ini pada dasarnya mengandung nilai - nilai umum revolusi
2
, yang telah memberikan corak - corak khusus kepada organisasi itu berupa ekpresi kerja sama mereka, yang dapat dikaitkan
dengan motivasi rakyat yang bersedia untuk mempertaruhkan segala - galanya.
3
Sejajar dengan keamanan dan pertahanan pada masa itu, kegiatan golongan pemuda dan pelajar di Aceh lebih menonjol dari pa-
da golongan lain. Mereka ikut berpartisipasi dalam berbagai organic
sasi kelasykaran perjuangan. Berdasarkan sebuah maklumat yang
berisi panggilan umum yang 'ditujukan kepada segenap pemuda Indonesia di Aceh yang berumur 18 tahun ke atas, agar ikut mengambil bagian dalam suatu wadah kepemudaan, dapat dilihat bagaimana peranan golongan pemuda di Aceh pada masa itu.4
Seda'ngkan pada golongan angkatan tua masih memperhatikan keraguraguan mereka, masih ada yang kebimbangan, ketidak kompakan,
masih ada yang saling bertentangan dan kurang kesadaran nasionalnya
5
. Sehubungan dengan situasi golongan tua ini sekelompok pemuda, mengeluarkan sebuah peringatan dalam bentuk surat yang
ditujukan kepada Ketua Komite Nasional Daerah Aceh, supaya diteruskan kepada angkatan tua6
. Inti dari surat tersebut yaitu, golongan pemuda mengharapkan petunjuk - petunjuk dan contoh -
contoh yang baik dari generasi tua. Dan mereka tidak mau lagi
mendengar adanya perpecahan dan perselisihan dalam masyarakat
Aceh
7 Sementara itu para Ulama yang tergabung dalam organisasi
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) juga belum menampakkan
keaktifannya ikut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan
terutama pada masa - masa awal revolusi?Tetapi ada juga para pemuda yang bergabung dalam PUSA yang memasuki berbagai organisasi kelasykaran yang ada pada masa itu. Dan ada pula empat tokoh Ulama yang terkenamuka, yang mengatasnamakan Ulama
seluruh Aceh mengeluarkan sebuah .pernyataan bersama yang
berisikan ajakan perang Sabil kepada seluruh rakyat Aceh dalam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Memang pada
setiap perjuangan menentang penjajahan seperti ini, semangat agama juga ikut berperanan mengikat rakyat seluruhnya. Daerah-daerah yang kuat agama seperti Aceh. Banten dan Sulawesi Selatan
adalah sukar dimasuki oleh Belanda (baca penjajah).10
Karena tekanan - tekanan emosional para pemuda dan pelajar
siap untuk mengabungkan diri dalam organisasi - organisasi kepemudaan dan kelasykaran. Para pelajar banyak yang meninggalkan
bangku sekolah dan mereka bergabung dalam kesatuan - kesatuan
bersenjata. Seperti telah disinggung dalam Bab III di atas, bahwa
sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, organisasi pertahanan bersama rakyat Aceh yang berstatus sebagai pertahanan lokal ialah API (Angkatan Pemuda Indonesia atau Angkatan
Perang Indonesia), yang lahir pada awal Oktober 1945, sebagai hasil pertemuan dan pembicaraan antara Residen Republik Indonesia
yang pertama untuk daerah Aceh, Teuku Nyak Arief dengan beberapa bekas opsir Gyungun (tentera sukarela pada masa pendudukan Jepang), diantaranya Syamaun Gaharu, Usman Nyak Gade,
Teuku Hamid Azwar, Nyak Neh Rika, Said Usman dan Said Abdullah. Dan mereka ini juga yang sebagian duduk sebagai pengurus
Markas Daerah dan Wakil - Wakil Markas Daerah API yang pertama kali untuk daerah Aceh.11
Dalam perkembangannya organisasi API ini diubah namanya menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) agar sesuai dengan maklumat yang telah dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945, yang berbunyi :
"Untuk memperkuat Perasaan Keamanan Umum Maka Diadakan
Satu Tentera Keamanan Rakyat " 1 2
.
Organisasi API cepat berkembang dan menjalar keseluruh
Mukim - mukim dan gampong - gampong di Aceh, melalui suatu
lembaga yang disebut BAPA (Badan Penyokong API), yang berfungsi mengumpulkan dana dan memperluas keanggotaan API di
Aceh.13
Organisasi - organisasi lain yang lahir hampir bersamaan
dengan waktu lahirnya API ialah IPI (Ikatan Pemuda Indonesia)
BPI (Barisan Pemuda Indonesia), PRI (Pemuda Rakyat Indonesia), PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), Lasykar Mujahidin,
Pasukan Berani Mati dan kemudian berbagai organisasi kelasykaran lokal lainnya, yang semuanya merupakan wadah kegiatan
pemuda dan pelajar pada waktu itu. Dalam perkembangannya
agar berbagai ragam organisasi kepemudaan dan kelasykaran terkoordinir dalam suatu wadah persatuan, maka dianggap perlu untuk "membubarkan " lasykar- lasykar ini. Dan berdasarkan ketetapan Presiden Republik Indonesia Soekarno tanggal 5 Mei 1947,
yang menginstruksikan Persatuan Tentera Republik Indonesia
dengan lasykar - lasykar Rakyat, menjadi tentera resmi dengan
nama TNI (Tentara Nasional Indonesia ) 1 4
.
Berkat koordinasi yang berjalan lancar sempurna dan dari berbagai organisasi kelasykaran dan kepemudaan, maka percobaan-percobaan agresi Militer Belanda ke Daerah Aceh dapat digagalkan.
Dua. Jcali agresi Militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik
yang akibatnya sangat dirasakan di daerah - daerah lain di Indonesia
di Aceh bebas dari agresi ini. Dan karena daerah Aceh sebagai satusatunya daerah yang tidak berhasil dimasuki lagi oleh Belanda (kecuali Pulau Weh, Sabang), sejak kekalahan mereka dengan Jepang
pada tahun 1942, maka daerah Aceh mendapat julukan kehormatan
sebagai "Daerah Modal Perjuangan Republik Indonesia. Sebutan
ini pertama kali diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang
pertama Soekarno, ketika menyampaikan amanatnya pada tanggal
16 Juni 1948, kepada Rakyat Aceh dalam suatu rapat raksasa yang
diadakan dilapangan "explanade" (sekarang lapangan Biang Padang)
Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Dan dalam wejangan yang diberikannya kepada anggota - anggota Badan Pemerintahan Daerah Kere-
sidenan Aceh di Pendopo Keresidenan Aceh pada waktu itu
B. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sikap
Masyarakat Aceh.
Ideologi revolusi yang mencakup idee persamaan nasib dan hidup, telah membangkitkan harapan - harapan baru. Untuk lebih
mempererat kesatuan kebulatan tekad, diciptakan pula simbol - simbol dan semboyan - semboyan umum yang berhubungan semangat
bangsa. Hampir pada setiap lengan baju, ikat kepala dan topi - topi
yang dikenakan pejuang - pejuang kemerdekaan pada waktu
itu dihiasi dengan tempelan - tempelan merah putih yang merupakan simbol perjuangan mereka Hal ini juga tercermin dalam berbagai selogan dan semboyan - semboyan, baik yang dikumandangkan
lewat udara, maupun yang dicoretkan pada dinding- dinding tembok dan dilukiskan di atas kain - kain bagor selama masa itu. Pekik
"Merdeka" dengan tangan yang dikepalkan ke atas adalahsalam resmi pada masa revolusi kemerdekaan (revolusi fisik). Dan dimanamana diseluruh Indonesia diteriakkan semboyan - semboyan yang
senada, yang membuktikan adanya integrasi nasional pada masa revolusi kemerdekaan itu.
Demikian pula di Aceh, semboyan - semboyan seperti "Merdeka" 100%", "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", Enyahlah Penjajah",
"Hidup Merdeka atau Syahid", dan beberapa yang ditulis dalam bahasa Inggeris yang mungkin ditujukan kepada dunia luar, seperti
"Freedom or Death", "Once Free Forever Free", menghiasi dinding - dinding tembok Toko, dinding - dinding meunasah, balai - balai pemuda, gerbong - gerbong kereta api, kenderaan - kenderaan
umum dan pada tempat - tempat lainnya.17
. Bagi mereka yang tidak mau menjawab dengan Merdeka atau "Tetap", dicap sebagai
antek "Nica" (Nederland Indies Civil Administration), suatu badan
yang dibentuk oleh Belanda terutama di kota - kota yang telah didu-
duki oleh sekutu, yang merupakan pusat Administrasi kolonialnya untuk melicinkan jalan ke arah pemulihan kedaulatan Belanda
kembali atas Indonesia. Merdeka dan NICA adalah dua hal yang
sangat bertentangan ketika itu, bagi orang - orang republik NICA
adalah sesuatu yang harus dihancurkan, sedang bagi Pemerintah Belanda dan kaki tangannya "Merdeka" adalah sesuatu yang harus mereka hindarkan.
Unjuk perasaan yang diperlihatkan rakyat di daerah Aceh sebagai
tanda kecintaan mereka terhadap kemerdekaan, dapat dilihat antara
lain dalam sambutan yang mereka berikan ketika kunjungan Presiden Soekarno ke Aceh pada bulan Juni 194818
. Kunjungan ini dianggap rakyat Aceh sebagai kunjungan bersejarah. Cinta rakyat kepada Presidennya, kesediaan mengorbankan segala sesuatu untuk
kepentingan Negara, semangat bertempur, keinginan hendak merdeka, segalanya ini dapat dilihat dalam kesempurnaan yang telah mereka berikan dalam menyambut kedatangan Kepala Negara mereka
yang pertama ke- Aceh19
.
Maklumat No.2/1948/G.S.O., yang dikeluarkan oleh Gubernur
Sumatera Utara Mr. S.M. Amin di Kutaraja pada tanggal 6 September 1948, sehubungan dengan penyelesaian masalah "Cumbok Affaire" di Aceh,2C
mengandung nada ke arah persatuan bangsa. Kebijaksanaan yang diambil karena ekses - ekses yang terjadi sebagai
akibat peristiwa tersebut, lebih diutamakan kepentingan - kepentingan lainnya. Isi dari pada maklumat tersebut adalah sebagai berikut : Terhadap mereka yang baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung, telah campur dengan pembunuhan - pembunuhan
yang bersangkutan dengan Peristiwa Cumbok, tidak akan dilakukan
tuntutan karena kepentingan menghendaki diletakkannya diluar
tuntutan"21
-Kebijaksanaan lainnya yang diambil oleh pemerintah di Aceh yang
nadanya juga sama dengan yang di atas, yaitu lebih mengutamakan
kepentingan keselamatan kelangsungan Negara Republik Indonesia
dari pada kepentingan - kepentingan lainnya, dapat dilihat pula dari
beberapa kasus seperti di bawah ini. Dalam bulan Agustus 1948, di
Kutaraja timbul suatu gerakan yang dikenal dengan nama "Gerakan
Said Ali Cs." Gerakan ini dipimpin oleh seorang penduduk Kutaraja
yang bernama Said Ali Al Sagaaff dan dibantu oleh beberapa temannya (mungkin itulah sebabnya dinamakan gerakan Said Ali Cs). yaitu, Waki Harun, Haji Mukhsin, Teuku Syamaun Latif, Tgk Muhammad Asyik, Muhammad Meuraxa dan Nyak Sabi. Tujuan gerakan ini
adalah menuntut pergantian beberapa personalia pemerintahan di
Aceh, dengan jalan memutasikan beberapa pejabat pemerintahan
yang memegang posisi penting jabatan pemerintahan padamasa itu,
yang mereka anggap telah melakukan penyelewengan - penyelewengan dan melalaikan kepentingan nasib rakyat. Sehubungan
dengan gerakan ini, pemerintah telah mengeluarkan dua buah maklumat, yang pertama pada tanggal 20 Agustus 1948 oleh Gubernur
Sumatera Utara Mr. S.M. Amin, dan yang ke dua pada tanggal 4 Nopember 1948, oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Maklumat yang terakhir
ini terkenal dengan nama Maklumat No. G.M. 14 - M. Isi kedua
maklumat tersebut secara garis besar adalah, Pemerintah menganggap gerakan menyimpang dari Undang - undang yang berlaku
dan karenanya dapat menimbulkan kekeruhan dan kekacauan yang
sangat merugikan keselamatan Negara dan rakyat pada umumnya22
Pada mulanya terhadap pelaku - pelaku gerakan tersebut ditahan,
tetapi dalam perkembangannya, mengingat demi kepentingan Negara , maka pada tanggal 27 Desember 1949, atas nama Wakil Presiden Republik Indonesia, Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, kepada mereka diberikan abolisi (Pembebasan dari
tuntutan hukum) dengan syarat bahwa mereka buat sementara
waktu harus meninggalkan daerah Aceh dan dengan ketentuan
bahwa mereka akan ditahan dan dituntut kembali, bila janji itu
mereka langgar23
.
Pada waktu permulaan pelaksanaan Undang - undang pembagian Sumatera dalam tiga Propinsi, yang dimulai dengan pembentukan suatu Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara yang dilaksanakan di Tapak Tuan ( Aceh Selatan) pada tanggal 13 sampai
16 Desember 1948, rakyat Aceh umumnya dan rakyat Aceh Selatan khususnya, telah memberikan bantuan dan sokongan kepada
panitia rapat pembentukan dewan itu.. Hal ini juga sebagai bukti
adanya kecintaan rakyat Aceh dan keinginan mereka untuk melangkahkan kakinya ke arah persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia24
-
Agresi - agresi militer Belanda (yang pertama tanggal 21 Juli
1947, dan yang ke dua pada tanggal 19 Desember 1948), baik atas
Jawa maupun dibeberapa tempat di Sumatera dengan tujuan untuk melenyapkan Negara Republik Indonesia, telah meningkatkan
kesiapsiagaan rakyat Aceh kearah pertahanan Negara. Dengan kebulatan tekad persatuan dan tujuan untuk mempertahankan kemerdekaannya telah menghapuskan perselisihan - perselisihan paham diantara golongan - golongan dalam lapisan masyarakat Aceh,
seperti yang telah diutarakan di atas.25
Akibat kegawatan agresi Militer Belanda yang kedua dibeberapa tempat di Jawa dan Sumatera, maka Panglima TNI (Tentera
Nasional Indonesia) Komandemen Sumatera Kolonel Hidayat
(Angkatan Darat), Kolonel Subiakto ( Angkatan Laut) dan Overste
Suyono Karsono ( Angkatan Udara), telah memindahkan markasmarkasnya ke Aceh
26
. Di Aceh bersama - sama dengan rakyat
TNI telah melakukan tindakan - tindakan yang berhubungan dengan peningkatan pertahanan. Dan hasilnya seperti telah disinggung
di atas, selain hanya beberapa gangguan yang dialami oleh pertahanan udara dari beberapa serangan musuh, maka daerah Aceh tidak
berhasil dimasuki lagi oleh Belanda.
Keeratan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah atau rakyat Aceh, yang juga mengandung unsur - unsur persatuan dapat dilihat pula dari beberapa kunjungan tokoh - tokoh
Pusat'Pemerintahan dari Jawa ke daerah Aceh.
Rombongan tamu dari pusat pemerintahan yang pertama kali
mengunjungi Aceh ialah rombongan Mr. Hermani dan Mr. Abdul
Majid Djojoadiningrat Mereka merupakan wakil - wakil Pemerintah Pusat yang untuk pertama kali mengadakan kunjungan kerja
ke Aceh. Selama berada di Aceh mereka telah memberikan wejangan - wejangan yang sangat berharga bagi rakyat Aceh, terutama mengenai makna dan arti kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada waktu yang hampir bersamaan datang lagi-rombongan DR.
A.K. Gani yang pada waktu itu sebagai Koordinator Keamanan
Pusat! Selama di Aceh DR. A.K. Gani juga telah memberikan petunjuk - petunjuk mengenai yang menyangkut dengan masalahmasalah keamanan di Indonesia umumnya dan daerah Aceh khususnya.
27
Dan seperti telah disinggung di atas, pada tanggal 15
Juni 1948 daerah Aceh juga mendapat kunjungan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Dan dalam suatu rapat
raksasa di lapangan Biang Padang Kutaraja (Banda Aceh) Presiden
Soekarno selain telah menyebut daerah Aceh sebagai "daerah Modal Perjuangan Bangsa Indonesia" , antara lain juga mengatakan
sebagai berikut :
" . . . . Dari ribuan kilometer kami datang disini spesial untuk
bertemu dengan rakyat Atjeh jang terkenal sebagai satu
rakjat yang selalu berdjuang untuk Kemerdekaan, jang selalu
menjadi kampiun dan peloporperdjuangan Kemerdekaan rakjat Indonesia. Segenap rakjat Indonesia di tanah Djawa, Sumatera dan lain-lain kepulauan, Sunda Ketjil, Kalimantan, Sulawesi
mengarahkan matanja kepada saudara- saudara".
28
Lebih lanjut dalam pidatonya di depan ribuan rakyat Aceh terse-
but, Presiden Soekarno juga menegaskan : " Rakyat Aceh adalah
contoh perjuangan kemerdekaan Seluruh Rakyat Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia mengetahui hal ini, seluruh rakyat Indonesia
melihat ke Aceh, mencari kekuatan batin dari Aceh, dan Aceh tetap menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia
29
.
Pada tanggal 5 Juni 1949, Wakil Presiden Republik Indonesia
yang pertama , Mohammad Hatta beserta rombongannya, yang antara lain terdiri dari Mr. A.G. Pringgodigdo sebagai sekretaris Negara, Mr. Ah Sastroamidjojo sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri
Mohammad Natsir sebagai Menteri Penerangan, Z. Baharuddin sebagai Anggota Badan Pengurus Komite Nasional Pusat, A. R Baswedan sebagai pegawai Tinggi Negara dan Syarif Kasim Sultan Siak
juga mengadakan kunjungan kerja ke Aceh, dalam rangka peningkatan pertahanan dan pembangunan Negara. Dalam menyambut
rombongan wakil Presiden dan pembesar -pembesar negara lainnya, rakyat Aceh telah mengadakan suatu pawai atau arak - arakan
yang megah dan berdefile dihadapan rombongan wakil Presiden
yang berdiri di tangga Pendopo Kegubernuran Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada waktu itu. Dan pada kesempatan itu,
Wakil Presiden juga telah memberikan amanatnya dalam suatu rapat Samudera yang dikunjungi puluhan ribu rakyat Sebagian dari
Wakil. Presiden tersebut adalah sebagai berikut :
Sering kita mendengar sembojan, bersatu kita teguh berpecah kita djatuh. Tjamkanlah sembojan ini dalam hati saudarasaudara. Baiklah untuk sementara kita lupakan perselisihan
antara kita sesama kita yang perselisihan itu kemudian hari
hari mungkin dapat dibereskan setjara damai, setjara mudah
sekali, akan tetapi pokok tudjuan kita bersama adalah, mencapai rakyat jang makmur, rakjat jang merdeka, rakjat jang
sedjahtera. Tetapi dalam masih memperdjuangkan tjita-tjita
kita, padulah persatuan, djagalah persatuan. Kalau tidak
dengan persatuan kita akan hantjur".
80
Pada tanggal 23 Agustus 1949, Wakil Perdana Menteri Mr.Syaf-
ruddin Prawiranegara bersama dengan Menteri Agama Kyai Haji
Masykur juga mengadakan kunjungan kerja ke Aceh. Selanjutnya
pada tanggal 23 September 1949, datang pula Menteri Pertahanan
merangkap Acting Perdana Menteri Sri Sultan Hamangkubuono
beserta rombongan yang terdiri dari Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, Mr. Assaat dan Menteri Penerangan Mr. Syamsuddin.
Dan pada tanggal 18 Oktober 1949, berdatangan pula Menteri
Keuangan, Mr. Lukman Hakim, Menteri Kemakmuran I. Kasimo
dan Menteri Sosial & perburuhan Kusna.
Sebaliknya juga terdapat tokoh-tokoh masyarakat Aceh yang
mengadakan kunjungan ke Pusat Pemerintahan di Jawa, dalam
rangka melaksanakan tugas - tugas Negara. Misalnya pada awal tahun 1947, beberapa tokoh yang mewakili masyarakat Aceh yang
juga sebagai anggota - anggota Komite Nasional Pusat yang telah
dipilih oleh partai - partai yaitu, Mr. S.M. Amin sebagai wakil Ketua Badan Eksekutif Komite Nasional Aceh, Sutikno Padmosumarto, sebagai Wakil Kepala Kehakiman Daerah Aceh dan Amelz sebagai pemimpin Harian Semangat Merdeka di Kutaraja pada waktu
itu, mengadakan kunjungan kerja ke Jawa untuk menghadiri rapat
pleno Komite Nasional Pusat, yang membicarakan dan mengambil
ketetapan pendapat tentang rencana Persetujuan Linggarjati.
31
o
Kesediaan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirimkan
amanatnya pada tanggal 19 Maret 1948 dari Yogyakarta, untuk
dibacakan pada kongres Pembangunan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) Aceh, yang berlangsung pada tanggal 20 Maret 1948,
juga menunjukkan tanda.adanya keharmonisan hubungan antara
Pemerintah Pusat (yang pada waktu itu berkedudukan di Yogyakarta) dengan daerah Aceh. Sebagian isi amanat Wakil Presiden tersebut adalah sebagai berikut :
"Besok adik-adikku mengadakan Kongres didasarkan kepada pembangunan Negara. Kami doakan mudah-mudahan kongres berhasil
dengan peninjauan yang tegas bahwa pemuda berjuang untuk kemerdekaan Nusa dan Bangsa dan pula menjadi pelopor dalam
pembangunan Negara dan masyarakat agar supaya bangsa Indonesia dimasa mendatang menjadi bangsa makmur, makanan dalam segala
lapisan. Kita berjuang untuk mencapai kemerdekaan, bukan semata - mata untuk merdeka saja, melainkan supaya kemerdekaan
yang kita capai itu memberi kemakmuran rohani dan jasmani bagi
rakyat jelata seluruhnya.
Berjuanglah terus dengan darah muda, yang sudi berkorban dan
berbakti kepada kepentingan umum dengan menyingkirkan kepentingan sendiri.-32
Jadi kesemua perhatian timbal balik antara Pemerintah Pusat
dan Daerah serta dari kunjungan Wakil - wakil Pemerintah Pusat ke
Aceh seperti telah diutarakan di,atas, menandakan adanya suatu
jalinan kerjasama antara Pemerintah Pusat dan rakyat di daerah
Aceh. Dan kerjasama ini, tentu saja telah ikut menentukan keberhasilan - keberhasilan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia
pada umumnya dan di daerah Aceh khususnya.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa pada tanggal 29 September 1945, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen pertama
Republik Indonesia untuk daerah Aceh. Hal ini berarti bahwa mulai sejak itu sebagai satu-satunya pemerintahan yang ada di daerah A
ceh adalah pemerintah Republik Indonesia.Masaantaratahunl945
sampai tahun 1950 adalah masa penuh transisi. Berbagai kegiatan
telah ditempuh oleh bangsa Indonesia umumnya dan rakyat Aceh
khususnya, dalam menegakkan, mempertahankan dan, mengamankan Negara Republik Indonesia. Bermacam idee ke arah persatuan
bangsa telah terlihat melalui kegiatan - kegiatan seperti telah disebutkan di atas. Dari beberapa pandangan yang telah dikemukakan
oleh tokoh - tokoh masyarakat Aceh pada masa itu, seperti dari
uraian berikut ini, juga masih akan ditemui idee - idee persatuan
tersebut.
Sebagian isi pidato Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M Amin
dalam sidang pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera
Utara yang berlangsung di Tapak Tuan ( Aceh Selatan) pada tanggal 13 Desember 1948, jelas mengandung idee - idee tersebut. Mr.
S.M. Amin menegaskan bahwa adanya pengkotakan - pengkotakan pada pemerintahan - pemerintahan lokal seperti kesatuan Keresidenan, yang didasarkan atas pertimbangan - pertimbangan kelompok etnis atau kesatuan kesukuan yang sempit, seperti Keresidenan Aceh didasarkan atas kesatuan suku Aceh, Keresidenan Tapanuli atas kesatuan suku Batak, Keresidenan Sumatera Timur atas
kesatuan suku Melayu, adalah tidak seharusnya dipergunakan lagi
di Republik ini. Oleh karena itu, pembentukan suatu Propinsi,
janganlah didasarkan atas dasar Kelompok ethnis yang sempit seperti tersebut di atas, tetapi atas baru, seperti atas dasar kesatuan
ekonomi, persatuan politik dan sebagainya.33
Pada bagian lain
dari pidato tokoh masyarakat Aceh tersebut mengatakan sebagai
berikut:
"Kita mengetahui, bahwa oleh Wakil Presiden kita dengan pihak Belanda, sekarang sedang dilakukan pembicaraan sebagai
persiapan untuk perundingan jang akan dilaksanakan kembali. Nampaknya belum dapat djuga diatasi segala kesulitan2
jang menjadi halangan dan rintangan untuk memperoleh perse
tujuan antara republik dengan Belanda. Mengingat keadaan
jang demikian rupa maka adalah pada tempatnya, bilamana
seluruh rakjat Indonesia tetap memberi sokongan jang sebaik
baiknja kepada pemerintah pusat; sokongan bathin maupun
sokongan lahir. Salah satu dari bantuan yang berharga adalah,
discipline nasional,yang harus kita tunjukkan.Seterusnjakein
safan jang sungguh sungguh pada setiap Negara.34
Dari kutipan kalimat di atas, juga terkandung idee - idee ke arah
persatuan bangsa Indonesia.
Ketika tercapai suatu persetujuan antara RIS (Republik Indonesia Serikat) dengan RI ( Republik Indonesia), mengenai penetapan 10 buah Propinsi di Seluruh Indonesia (yaitu persetujuan
tanggal 19 Mei No. 21, 1950) di mana Aceh ditetapkan sebagai bagian dari pada Propinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh melalui wakil - wakilnya ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh) pada
tanggal 12 Agustus 1950, telah mengeluarkan suatu mosi sehubungan dengan penetapan itu. Dalam mosi itu dikemukakan keinginan - keinginan dan alasan - alasan mengapa mengapa rakyat
Aceh berkeberatan dan mengapa mereka tetap bersikeras mempertahankan Aceh sebagai Propinsi Sendiri di bawah Pemerintahan
Pusat. Hampir bersamaan dengan Mosi tersebut, telah dikeluarkan
pula suatu pernyataan mengenai alasan - alasan dan tentang manfaatnya Aceh berpropinsi sendiri, sebagai daerah otonomi yang
langsung di bawah Pemerintah Pusat. Sebagai kesimpulan dari pernyataan tersebut, ditekankan bahwa persatuan yang berabad-abad
yang telah berlangsung itu, jangan dipisah- pisah dengan berpusat
ke "kiblat" yang baru. Dengan segala potensi yang ada Aceh meminta mengurus dirinya sendiri di bawah pengawasan Pemerintah
Pusat. Karena Aceh berkeinginan mempersiapkan dirinya dahulu
supaya lebih mudah untuk ditempat di dalam kerangka Indonesia.
Dalam kesimpulan tersebut juga ditekankan bahwa Aceh bukan
hendak menyisihkan atau memisahkan diri dari saudara-saudaranya
yang lain di Indonesia, tetapi Aceh tetap setia pada Pemerintah Pusat dan kepada saudara - saudaranya yang lain di seantoro Tanah
Air
5
. Demikian pokok - pokok kesimpulan dari pernyataan rakyat Aceh tersebut, yang tentunya juga tidak lepas dari unsur -unsur atau idee-idee kearah persatuan bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan persoalan di atas, sebelum itu atau pada
tanggal 13 Mei 1950, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
beserta rombongan berkunjung ke Aceh dalam rangka menjajaki
seberapa jauh Aceh akan tetap berpropinsi sendiri atau akan ditempatkan di bawah Propinsi Sumatera Utara yang akan dibentuk.
Dalam suatu pertemuan yang dilangsungkan di tempat kediaman
Gubernur Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh guna membahas masalah tersebut, beberapa tokoh masyarakat Aceh telah
memberikan pandangan pandangan mereka. Salah satu tokoh masyarakat Aceh tersebut yang juga sebagai anggota Dewan Pemerintahan Daerah Aceh, yaitu T.M. Amin mengemukakan pandangannya antara lain, "Kami mengharapkan supaya Negara kita menjadi
Negara Kesatuan, dalam mana Aceh menjadi daerah Propinsi.Pada saat berlangsung pertemuan yang kedua antara rombongan Pemerintah Pusat (yang tiba di Aceh pada tanggal 26 September 1950), dengan pejabat - pejabat pemerintah di Aceh atau
wakil-wakil rakyat Aceh, guna mencari penyelesaian persoalan
Propinsi Aceh, telah berbicara pula Gubernur Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh ( yang pada kesempatan itu sebagai
pembicara terakhir). Sehubungan dengan persoalan Propinsi Aceh
tersebut, Gubernur telah menyangkal dengan keras pendapat yang
disinyalir oleh oknum oknum tertentu, yang mengatakan bahwa,
bila tuntutan otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan, maka tidak
ada jaminan keamanan dan mungkin akan menimbulkan hal - hal
yang tidak diinginkan. Lebih lanjut tokoh masyarakat Aceh itu,
juga mengatakan bahwa sekalipun tuntutan ekonomi Aceh ditolak
oleh Pemerintah Pusat, rakyat Aceh akan tetap berdiri dibelakang
Pemerintah Pusat bila masih diperlukan.37
Berdasarkan atas beberapa data yang telah diutarakan di atas;
kiranya telah cukup membuktikan adanya sikap masyarakat Aceh
ke arah cita - cita persatuan bangsa Indonesia seperti yang telah
diperlihatkan dalam berbagai tindakan terutama melalui wakil -wakil mereka. Dan tentunya juga tidak dapat disangkal bahwa,
unsur - unsur persatuan itu telah membawa keberhasilan - keberhasilan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
C. Kegiatan Masyarakat Dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Sebagai negara yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya, Republik Indonesia pada waktu itu mengalami berbagai krisis dalam segala lapangan kehidupan. Situasi yang demikian ini dialami oleh hampir seluruh daerah di Indonesia. Aceh sebagai
daerah yang letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan, juga
tidak luput dari situasi krisis tersebut. Stabilitas politik, ekonomi,
dan sosial belum terjamin. Sebagai contoh misalnya keadaan kehidupan rakyat yang serba kekurangan, terutama bagi pegawai - pegawai pemerintah yang sering kali tidak pernah menerima gaji secara teratur dan juga karena gaji yang diterimanya tidak mencukupi
kebutuhannya.
38
Gaji seorang polisi yang berpangkat Inspektur
Kl. II, ialah lima ratus lima puluh rupiah uang Jepang. Gaji ini dibayar sebagian dengan uang Jepang dan sebagian lagi dengan
URIPSU (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara).
Dengan uang Jepang dibayar sejumlah dua ratus enam puluh lima
rupiah dan sisanya dibayar dengan URIPSU sebanyak 10 rupiah.
Satu rupiah URIPSU nilainya sama dengan 300 uang Jepang.39
Karena gaji tidak mencukupi maka pegawai Negeri di Aceh
terutama mereka yang bukan asli dari Aceh ( pendatang ) sangat
mengharapkan ada perbaikan. Suatu pemberian catu dan tunjangan tambahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada Desember
1949, tetap tidak dapat memberikan nafkah yang cukup kepada
mereka. Sedangkan harga bahan keperluan hidup sehari - hari semakin meningkat.4
'
Semula (pada awal revolusi kemerdekaan) alat pembayaran
atau uang yang digunakan di Aceh adalah uang Republik Indonesia. Tetapi kemudian karena sulitnya komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat di Jawa seperti telah disinggung di atas, maka Propinsi Sumatera Utara terpaksa mengeluarkan uang sendiri. Dan dengan semakin gawatnya keadaan serta
juga karena Pusat Pemerintahan Sumatera dengan Keresidenan
Aceh, maka Keresidenan Aceh juga terpaksa harus mengeluarkan
uang sendiri, yang dikenal dengan nama URIDA (Uang Republik
Indonesia Daerah Aceh). Sesudah daerah Aceh dimasukkan menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara yang dibentuk pada akhir
tahun 1948, Propinsi Sumatera Utara juga mengeluarkan uang sendiri, dengan alasan karena banyak uang kertas Propinsi Sumatera
yang telah dipalsukan. Dan uang Sumatera Utara ini dikenal dengan nama URIPSU seperti tersebut diatas. Uang ini khusus dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang berkedudukan
di Kutaraja dan berlakulah untuk seluruh Propinsi Sumatera Utara.
Pengeluaran pertama URIPSU ini dilakukan pada tanggal 1 Maret
1949.41
Selain URIPSU dan URIDA juga terdapat alat pembaya-
ran khusus lainnya berupa Bon Contan atau cek, yang dikeluarkan
oleh markas - markas pertahanan setempat di Aceh. Misalnya Bon
Contan yang dikeluarkan oleh Markas Pertahanan Aceh Timur di
Langsa pada tanggal 2 Januari 1949, yang ditandatangani oleh Usman Adamy selaku Ketua Markas Pertahanan Aceh dan di persaksikan oleh Bupati Aceh Timur pada waktu itu, Tk. Maimun. Bon
Contan ini dianggap sah dan diterima serta dipercaya oleh masyarakat. Dan juga dipergunakan untuk membiayai pasukan - pasukan
pejuang Aceh yang berada di Wilayah Aceh Timur, di daerah perbatasan dengan Sumatera Timur, daerah Langkat dan Tanah Karo
setelah agresi Militer Belanda yang kedua.42
Sistim pembayaran misalnya untuk membayar gaji - gaji pegawai pemerintah, berbeda dengan sistim sekarang. Pada waktu itu
setiap Kantor menerima Bon Contan atau cek tersebut dari kantor
Keuangan setempat, kemudian dijual kepada saudagar - saudagar
atau pedagang - pedagang dengan memberikan komisi untuk mereka atau kepada orang yang memerlukannya.
Misalnya kalau Bon Contan itu bernilai Rp 200.000, maka kepada
yang menukarkannya itu dijual dengan harga Rp 180.000 atau Rp.
175.000 saja.
3 Jadi sipembeli menerima keuntungan sekitar 10
sampai 15 %.
Mulanya Uang kertas Sumatera Utara (URIPSU) dapat dipertahankan kursnya, meskipun dicetak dalam jumlah yang banyak.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, jumlah uang kertas yang dicetak sejak tanggal 2 Mei sampai 8 Mei 1949 ( berarti dalam tujuh hari) sejumlah Rp 156.750.000 URIPSU terdiri atas lembaran Rp.
250 URIPSU sebanyak 405.000 lembar dan lembaran Rp 500
URIPSU sebanyak 111.000 lembar.44
Yang mengurusi percetakan
dan pengedaran URIPSU ini, ditugaskan tanggung jawabnya kepada salah seorang karyawan pegawai keuangan yang bernama Abdul
Muid. Nilai URIPSU dibandingkan dengan Dollar Singapura pada
waktu itu atau waktu yang sama, dapat dipertahankan. Dan terdapat keseimbangan antara produksi dengan uang yang beredar. Tetapi dalam perkembangannya keseimbangan ini tidak dapat dipertahankan. Untuk mengatasi hal ini pada tanggal 16 Mei 1949, Pemerintah mengeluarkan suatu ketetapan No. 302/G.S.O., RI, yaitu menarik dari peredaran URIPSU sebanyak Rp 500.000.000.45
Seperti telah dikatakan di atas, bahwa keadaan kehidupan pada
waktu itu serba kekurangan dan agak sukar. Bermacam kesulitan
timbul dalam masyarakat berbagai akibat dari berbagai sebab pula,
seperti naiknya harga barang kebutuhan sehari - hari setiap saat,
berkurangnya import barang - barang keperluan rakyat dan sukarnya mendapatkan makanan pokok seperti beras yang menghilang
dari pasaran.
Dan jikapun beras ada dipasaran, tetapi harganya cukup tinggi. Situasi yang demikian itu menjadikan suatu tantangan, tidak saja kepada rakyat tetapi juga kepada Pemerintah Daerah. Dan pemerintah juga menyadari bahwa bila perbaikan tidak cepat diusahakan,
mungkin sekali akan menimbulkan efek - efek negatif yang akan
mengganggu kestabilan pemerintahan dan keamanan.47
Untuk mengatasi kesulitan - kesulitan penghidupan rakyat, pemerintah telah mengambil langkah - langkah tertentu, misalnya dengan mengeluarkan uang (alat pembayaran) sendiri, seperti telah dijelaskan di atas. Pembentukan suatu badan yang diketuai oleh Badan
Eksekutif, Teungku Muhammad Nur el Ibrahimy untuk berusaha
meningkatkan produksi dari berbagai usaha rakyat dan mengusahakan import barang barang yang diperlukan dari luar negeri, juga sebagai salah satu usaha Pemerintah ke arah perbaikan penghidupan
rakyat.48
Selain usaha Pemerintah Daerah dari pemerintah Pusat
juga mencoba mengatasi keadaan dengan mengirimkan wakilnya
ke Sumatera Utara. Misalnya pada bulan Agustus 1949 dikirim
Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan di sana telah mengeluarkan bebeberapa peraturan,. Antara lain yang dikenal dengan nama peraturan wakil Perdana Menteri yang bertanggal 22 September 1949, No. 2 /1949/WPM, yang berhubungan dengan masalah larangan ekspor barang - barang dari Sumatera Utara. Juga peraturan Wakil
Perdana Menteri tanggal 17 Oktober 1949, No. 1/1949/WPM, yang
mencabut Ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera Utara
tanggal 14 Agustus 1948 No. 7/1948 yang mengutip bea eksport
dan perhitungan dollar untuk pembelian hasil bumi. Apa yang dijalankan oleh Wakil Perdana Menteri ini sebenarnya bertentangan
dengan kebijaksanaan yang sebelumnya dijalankan oleh Pemerintah Daerah. Karena kebijaksanaan yang dijalankan Wakil Perdana
Menteri itu berarti menghentikan pemasukan barang dari Luar
Negeri dan mengurangi persediaan barang dan mengurangi pendapatan daerah. Dan memang ternyata kebijaksanaan yang ditempuh
Wakil Perdana Menteri itu, tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, sebaliknya situasi malahan menjadi bertambah buruk.49'
Tetapi kesemua usaha pemerintah tersebut merupakan suatu bukti
adanya perhatian Pemerintah Pusat untuk mengatasi keadaan.
Meskipun situasi pada masa Revolusi Kemerdekaan diliputi
suasana ketidak pastian, tetapi berbagai pula kehidupan rakyat dalam berbagai bentuk kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
nya tetap berjalan. Kegiatan - kegiatan dalam bidang Pertanian,
perdagangan, pertambangan, pertukangan , perikanan dan sebagainya berjalan sebagai mana lazimnya.
Malah beberapa sektor seperti perdagangan , perkebunan dan pertambangan merupakan sumber pendapatan utama pemerintah daerah dan ikut menunjang perbelanjaan buat kepentingan kelancaran
roda pemerintahan dan revolusi pada waktu itu. Beberapa pedagang swasta, yang berkecimpung dalam sektor perdagangan antara lain, Muhammad Saman dari PT. PUSPA Nyak Neh dari Lhok
Nga Co., Muhammad Hasan dari PIM (Perdagangan Indonesia Muda) dan Abdul Gani Mutiara, telah memainkan peranan mereka dalam melakukan perdagangan antara Aceh dengan Malaya (sekarang
Malaysia) dan Singapura pada waktu itu.50
Dengan adanya
perdagangan itu, hasil produksi Daerah Aceh, seperti karet, kelapa
sawit, damar, teh, kopi dan lain - lain sebagainya, baik yang diusa-
hakan oleh rakyat maupun oleh pemerintah, dapat diperdagangkan ke dua daerah tersebut. Dalam sektor perkebunan dapat disebutkan bahwa sesudah proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau sejak bulan Oktober 1945, perkebunan - perkebunan yang sebelumnya diurus oleh Jepang, mulai diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia. Kemudian untuk melancarkan sektor ini, di Kotaraja didirikan sebuah Kantor Pusat perkebunan daerah Aceh yang
dipimpin oleh Raden Elon (Raden Hadri ?). Selain kantor pusat
perkebunan ini, yang didirikan pula suatu badan Kemakmuran
dengan tugas untuk menjual hasil - hasil perkebunan dan menyediakan sarana - sarana untuk keperluan perkebunan. Kemudian pada
tahun 1947, Badan Kemakmuran ini dibubarkan dan diganti dengan kantor Perdagangan juga mempunyai tugas yang sama dengan
Badan Kemakmuran. Pada mulanya hasil - hasil perkebunan
ini tidak memberi hasil seperti yang diharap, tetapi sejak tahun 1948
hasilnya sudah mulai memuaskan. Dan pada bulan Oktober tahun
1948 . Pemerintah Pusat mengambil alih pengurusan perkebunan
yang ada di Aceh dan mengeluarkan Ketetapannya sebagai berikut,
Kantor Perkebunan Daerah Aceh di Kotaraja dihapuskan, Kebun -
kebun bekas milik orang asing dan yang diusahakan oleh pemerintah Daerah Aceh ( Sumatera Utara) menjadi milik pemerintah Pusat dan menjadikan perkebunan Negara (PPN); Kebun - kebun bekas milik orang'Jepang dan kebun - kebun milik pemerintah Hindia Belanda dijadikan perusahaan Perkebunan Republik Indonesia.51
Sektor pertambangan juga sebagai salah satu sektor penting,
yang juga merupakan pendapat bagi daerah Aceh pada awal revolusi Kemerdekaan.52
Misalnya tambang minyak Pangkalan Berandan merupakan sumber keuangan utama pemerintah daerah Aceh
pada masa itu. Tambang minyak ini sebelumnya dikuasai oleh Jepang dan seketika meninggalkan pangkalan Berandan, mereka
menghancurkan tambang ini. Tetapi kemudian oleh pekerja - pekerja Indonesia dapat dibetulkan kembali sehingga dapat mengha-
silkan minyak lagi. Tambang ini mendapatkan minyak dari Perlak
(Aceh Timur) yang disalurkan melalui pipa - pipa ke Pangkalan Berandan. Pada masa itu terdapat sekitar 3.000 pekerja yang bekerja
pada tambang minyak itu.53
Seperti telah disinggung bahwa kehidupan perekonomian rakyat
pada masa itu agak sukar. Hal ini dialami oleh pekerja - pekerja
pada tambang minyak itu. Mereka tidak cukup terjamin kesejahteraannya Karenanya mereka yang tergabung dalam suatu perkumpulan, yaitu "Serikat Buruh Minyak Sumatera Utara" yang berkedudukan di Langsa (Aceh Timur) di bawah Pimpinan R. Senikentara, mengorganisir suatu pemogokan dalam rangka menuntut perbaikan nasib mereka dalam hubungan dengan penerimaan gaji dan
catu yang selalu terlambat, dan juga mereka menuntut perubahan
struktur organisasi di pertambangan minyak itu.54
Ketidak stabilan situasi, tidak saja terjadi dalam lapangan
ekonomi, tetapi juga dalam lapangan politik dan keamanan. Perubahan yang terus menerus terjadi dalam lapangan pemerintahan
(lihat BAB IV di atas), munculnya berbagai gerakan seperti Revolusi sosial yang timbul sebagai akibat akumulasi bermacam-macam
unsur dari latar belakang yang sama, Gerakan Teungku Amir Husiein Al Mujahid, yang merupakan lanjutan dari pada Revolusi Sosial
(lihat BAB III di atas) Gerakan Said Ali Al Sagaff, yang menginginkan adanya Clean government atau pemerintahan yang bersih, di
Aceh, Resolusi Partai Syarikat Islam Indonesia Cabang Aceh, yang
tidak puas terhadap sistim pemerintahan daerah Aceh, peristiwa
Langsa, yang menuntut perbaikan nasib pekerja-pekerja tambang
minyak serta protes terhadap penguasa setempat. Gerakan Badan
Keinsafan Rakyat yang menginginkan pemerintahan yang bersih,
cukup membuktikan belum terdapat stabilitas politik serta keamanan yang mantap pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia di
Daerah Aceh ;
Kegelisahan sehubungan dengan perubahan pemerintahan dapat dikemukakan contoh sebagai berikut, berdasarkan Undang-undang NO 2. tahun 1949, Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia (Mr. Syafruddin Pra wir an égara) pada tanggal 18 Desember 19-
49, mengeluarkan suatu peraturan mengenai Pembagian Propinsi
Sumatera Utara dalam dua Propinsi, yaitu Propinsi Aceh dan Propinsi Tapanuli - Sumatera Timur. Dengan penetapan ini telah menimbulkan pendapat - pendapat dalam masyarakat Aceh, yang menurut Mr. S.M. Amin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :
1. Mereka yang sebagian besar yang tidak merasa berkepentingan
(interesse) dalam soal dua atau satu Propinsi, yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai pengertian sedikit jua - pun tentang masalah ini.
2. Mereka yang sebagian kecil tidak menghendaki pembagian ini
3. Mereka yang sebagian lebih kecil lagi, yang mengingini pembagian ini dan berusaha dengan giat menciptakan keinginan ini
menjadi suatu kenyataan.65
Mereka atau kelompok (termasuk golongari intelektual) yang tidak
menghendaki pembagian ini, menganggap penetapan ini tidak pada
tempatnya, mengingat situasi Negara Republik Indonesia pada
waktu itu masih dalam Komplik dengan Kerajaan Belanda. Karena
hasil KMB (Konperensi Meja Bundar) yang akan berakhir pada
tanggal 17 Desember 1949, belum diketahui. Dan mungkin saja setiap saat Belanda akan mengulangi lagi agresi militernya terhadap Negara Republik Indonesia.56
Dengan adanya masalah tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa pada akhir tahun 1949 (menjelang Penyerahan Kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia), iklim
di Aceh diliputi perasaan gelisah ( terutama pada golongan intelektual).
Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Alfian untuk generasi
kita sekarang, bahwa salah satu hal yang sangat menonjol sebagai
hasil Kemerdekaan ialah perkembangan dalam bidang pendidikan
terutama pendidikan umum.
57
Tetapi apa yang dikatakan Alfian
itu tentu saja belum berlaku untuk mereka yang hidup atau generasi pada masa awal Revolusi. Karena pada mula Kemerdekaan Republik Indonesia , tidak saja untuk daerah Aceh tetapi untuk seluruh daerah di Indonesia keadaan dalam bidang pendidikan masih sangat menyedihkan. Diperkirakan sekitar 93% penduduk Indonesia pada masa yang sama, masih buta huruf.58
Hal ini tentu berkaitan dengan masa - masa sebelumnya (masa kolonial) dim ana
pintu sekolah pada masa itu secara sengaja diusahakan agar hanya
terbatas kepada kelompok anak- anak dari golongan tertentu saja.
Seperti halnya dalam bidang pemerintahan, perubahan dalam
lapangan pendidikan pun di Aceh mulai tampak sesudah pecahnya
revolusi sosial pada akhir tahun 1946. Sesudah peristiwa itu pintu
sekolah umum juga mulai terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat di Aceh. Tetapi karena pada masa itu merupakan masa revolusi, masa yang penuh dengan berbagai pergolakan, dimana perhatian pemerintah lebih diarahkan kepada hal-hal yang berhubungan
dengan revolusi, maka sekolah-sekolah yang ada sebagai warisan
dari masa kolonial, banyak yang terbengkalai dan ditutup. Hal ini
berkaitan juga karena banyak guru dan murid-muridnya yang meninggalkan bangku sekolah masuk ke dalam barisan -barisan kepemudaan dan kelasykaran seperti telah disinggung di atas.
Meskipun demikian ada juga usaha-usaha dari pemerintah untuk
mengatasi masalah pendidikan pada masa itu. Misalnya dengan
mendirikan beberapa pendidikan guru, seperti KPKPKB (Kursus
Pengajar Kursus Pengantar Kewajiban Belajar), dan Kursus PBH
(Pemberantasan Buta Huruf)-
59
Seiring dengan Pendidikan Umum, Pendidikan Agama boleh
dikatakan lebih menonjol di Aceh pada masa revolusi Kemerdekaan. Sebagai contoh dapat disebutkan , pada'tahun 1949 di Kutaraja didirikan sebuah SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), sebagai lanjutan dari SMI (Sekolah Menengah Islam) yang sudah ada
sebelumnya dan sudah dinegerikan. Selanjutnya atas inisiatif Teungku Ismail Yacob selaku Kepala Kantor Pendidikan Agama Daerah Aceh, SMIA ini diusahakan pula supaya menjadi negeri. Tetapi dengan adanya usul yang diketengahkan oleh Wakil Perdana
Menteri Republik Indonesia Mr. Syafruddin Prawiranegara yang
pada waktu itu berkedudukan di Kutaraja, yaitu supaya SMIA itudijadikan saja SMA (Sekolah Menengah Atas) bagian C yang khusus menerima lulusan SMI, maka pengnegerian SMIA tersebut tidak jadi terlaksana , ' dan SMIAtersebut tetap berstatus swasta
sampai tanggal 31 Desember 1950.61
Kemudian terhitung sejak
tanggal 1 Januari 1951, berdasarkan ketetapan Menteri Agama No.
5/1951. SMIA tersebut diambil alih pengurusannya oleh Pemerintah dan dijadikan SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama).
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Mahkamah Agama Daerah
Aceh yang ada pada masa Jepang bernama (Atjeh Syu Syukyo Hooin, diubah namanya menjadi Dewan Agama Islam Aceh dan sebagai kepalanya ditunjuk Teungku Abdul Rahman Meunasah Meucap
sebagai pengganti Teuku Haji Daj'far Sidiq Lamjabat, yang sudah
memangku jabatan itu semenjak masa pendudukan Jepang. Yang
tersebut terakhir ini berhenti dari jabatan itu karena sudah berusia
lanjut. Pada waktu daerah Aceh sebagai daerah Keresidenan yang
berada di bawah Propinsi Sumatera Utara, di Kutaraja dibentuk
suatu Panitia yang diketuai oleh Muhammad Nur El Ibrahimy, untuk menyusun suatu struktur pejabat Agama Aceh. Dalam struktur
ini ditetapkan bahwa bahagian Pendidikan Agama berada di bawah
Pejabat Agama Keresidenan Aceh. Sebagai Kepala Pejabata Agama,
ditunjuk Teungku Muhmamad Daud Beureuelh dan sebagai Kepala Pendidikan Agama, ditunjuk Teungku Muhammad Nur El Ibrahimy.
6 2
Selanjutnya oleh peja'oat - pejabat agama ini, ditetapkan
sekolah - sekolah Agama yang sebelumnya berstatus swasta, diserahkan pengurusannya kepada pemerintah. Karenanya pada masa
Revolusi Kemerdekaan di Aceh Kepala Bahagian Pendidikan Agama Daerah Aceh, telah menerima penyerahan 180 sekolah Madrasahlbtida - iyah diseluruh Aceh dan nama-namanya dirobah menjadi SRI (Sekolah Rendah Islam). Penyerahan ini dilakukan dengan sepucuk surat penyerahan yang dinamakan "Qanun Penyerahan
' Sekolah - sekolah Agama kepada Pemerintah Daerah Aceh'"63
Dan
semenjak penyerahan itu, maka terdapat lebih kurang 750 orang guru dari 180 buah sekolah Madrasah Ibtida-iyah, yang mendidik
guru negeri dan menerima gaji dari Pemerintah.
Meskipun situasi negara masih dalam suasana revolusi, tetapi
kegiatan-kegiatan dalam rangka untuk menggalakkan peningkatan
kecerdasan rakyat, tetapi tidak dilupakan oleh pemerintah. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut - ketika akan dilangsungkan Konperensi Penerangan Daerah Aceh di Kutaraja pada
akhir Desember 1947 sampai awal Januari 1948, oleh Panitia Konperensi tersebut (dalam hal ini Departemen Penerangan) telah menyebarkan poster dan panflet- panflet di seluruh Aceh, yang isinya
mengajak para putra - putri serta pencinta seni Indonesia pada
umumnya, untuk ikut berlomba melalui karya - karya mereka.
Yaitu melalui lukisan -lukisan, poster - poster, pemandangan-pemandangan, gambar-gambar orang besar dan Pahlawan -Pahlawan
Tanah Air baik yang dahulu maupun yang sekarang, kerajinan
tangan, tekat menekat, sulam menyulam dan berbagai hasil karya
baru pada masa kemerdekaan. Juga kepada pengarang-pengarang
dan penerbit-penerbit buku, diminta supaya mengirimkan bukubuku dan majalah - majalah yang pernah mereka hasilkan atau terlibatkan pada masa itu, Bagi mereka yang karyanya dianggap indah
dan terbaik menurut penilaian Panitia, akan diberikan hadiah yang
lumayan.
Berita mengenai pengakuan Belanda atas kedaulatan Bangsa
Indonesia atas tanah airnya (sebagai salah satu hasil Konperensi
Meja Bundar yang akan ditanda tangani oleh Ratu Belanda Juliana
pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag Negeri Belanda),
6 5
menjadikan kegembiraan yang luar biasa pada sebagian besar
rakyat Indonesia. Sebagai luapan kegembiraan ini, baik di pusat Pemerintahan maupun di daerah - daerah seluruh Indonesia
diadakan upacara-upacara yang bersifat kenegaraan untuk menyambut berita gembira itu. Juga di Aceh, khususnya di Kutaraja
(sebagai Ibukota Propinsi), pada tanggal yang sama atau 27 Desember 1949 dilangsungkan suatu rapat raksasa yang dihadiri selain
oleh tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan pimpinan pemerintahan juga oleh ribuan rakyat Aceh. Pada kesempatan itu, beberapa tokoh
masyarakat Aceh telah memberikan Pidato sambutan mereka, diantaranya termasuk Komisaris Pemerintah Pusat Untuk Sumatera
Utara, Mr. S.M. Amin. Sebagian dari Pidato Mr. S.M. Amin ini adalah sebagai berikut, "Pada saat yang bersejarah ini-saat yang membuka pintu gerbang Kedaulatan yang akan memberikan jaminan
lebih besar kepada Bangsa Indonesia, tercapainya cita-cita kita bersama, kebahagiaan , kesentosaan, kesejahteraan, kemakmuran, ketenteraman dan keamanan " 6 6
Pada bagian lain dari pidato tersebut antara lain juga dikatakan " Bangsa Indonesia
pada saat ini, berdiri dihadap an pintu gerbang untuk memasuki
suatu zaman yang baru kedjajaan dan kebesaran. Akan tetapi,
dalam menudju kearah kedjajaan dan kebesaran jang kekal
abadi , bangsa Indonesia masih akan melakukan perobahan
dalam beberapa hal jang mengenai djiwanja untuk dapat me
. ngatasi segala kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan
jang masih dihadapi"67
Dari sebagian sambutan tokoh masyarakat Aceh seperti disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan adanya pengakuan
kedaulatan itu mulai timbul harapan - harapan baru bagi rakyat
Indonesia umumnya dan rakyat Aceh khususnya terutama dalam
menghadapi masa depan mereka. Dàn harapan akan masa depan
yang lebih cerah, tercermin dalam berbagai kegembiraan rakyat.
Sebenarnya Republik Indonesia Serikat yang merupakan suatu
bentuk federasi yang pertama kali dalam negara Republik Indonesia, belum memuaskan tokoh-tokoh bangsa Indonesia baik di Pusat
maupun di daerah. Meskipun kemerdekaan dan kedaulatan telah
tercapai tetapi perjuangan bangsa Indonesia di dalam mencari susunan dan memperbaiki ikatan-ikatan mereka belum selesai Ben-
tuk federalisme dianggap belum sesuai dengan cita-cita proklamasi
17 Agustus 1945.
Dari pandangan seorang tokoh masyarakat Aceh lainnya pada waktu itu, yaitu T.M. Amin (selaku Dewan Pemerintah Daerah) seperti
di singgung di atas, jelas mengatakan bahwa rakyat Aceh sangat
mengharapkan bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara
Kesatuan.
Dalam perkembangannya berkat perjuangan yang tidak kenal
lelah dari tokoh-tokoh bangsa dan rakyat Indonesia, maka pada 17
Agustus 1950, terbentuklah susunan Negara yang lebih memuaskan perasaan bangsa Indonesia, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
.