kemerdekaan aceh 5

Rabu, 29 Januari 2025

kemerdekaan aceh 5


 



an bahwa "Dengan berlakunya pemu￾satan kekuasaan sipil dan militer kepada Gubernur Militer di dae￾rah- daerah militer Istimewa, jabatan Gubernur- Gubernur Propin￾si di Sumatra buat sementara dihapuskan".

 1<n 

Karena kesulitan komunikasi antara daerah - daerah yang di￾bawahi oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, ma￾ka untuk memudahkan dalam koordinasinya ditetapkan Kapten 

Nip Karim, sebagai petugas Militer dan Teungku Maimun sebagai 

petugas dalam pemerintahan sipil di daerah Langkat. Sedangkan 

untuk Tanah Karo, ditetapkan Mayor Jamin Gintings sebagai petu￾gas Militer dan Bupati Rakutta Sembiring sebagai petugas dalam 

bidang pemerintahan sipil. 

Dalam rangka penertiban aparat - aparat pemerintahan, Peme￾rintah Republik Indonesia Darurat, pada tanggal 17 Mai 1949, te￾lah mengeluarkan sebuah keputusan No. 24/Pem/PDRI, mengenai 

ketentuan - ketentuan pengangkatan, pemberhentian sementara 

dan pemindahan pegawai - pegawai negeri. Dan sehubungan deng￾an ketetapan ini, Kepala Polisi Sumatera, telah pula mengeluarkan 

sebuah instruksi tanggal 21 Mai 1949 No. Pol./153/UG. untuk pe￾laksanaan dari pada keputusan Pemerintah Darurat Republik Indo￾nesia tersebut. Dengan adanya berbagai perubahan dalam struktur pemerintahan di daerah, terutama pada masa Pemerintahan Daru￾rat Republik Indonesia, seperti telah diutarakan di atas, tentu saja 

menimbulkan kebimbangan -kebimbangan baik bagi aparat - aparat 

negara, sebagai pelaksana peraturan2 Negara maupun bagi rakyat 

awam. Karenanya Komisaris Pemerintah pada tanggal 11 Juni 19-

49, telah mengirim suatu radiogram kepada Pemerintah Republik 

Indonesia Darurat, untuk meminta penjelasan tentang keputusan￾keputusan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut.102 

Dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 20 

Agustus 1949, Pemerintah Republik Indonesia Darurat dibubarkan 

Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam jabatannya selaku Wakil Per￾dana Menteri, sebagai mewakili Pemerintah Pusat, berkedudukan 

di Kutaraja. Mengingat masa Revolusi Kemerdekaan merupakan 

masa transisi, maka tidak mengherankan bila setiap waktu terjadi 

perubahan - perubahan. Misalnya dengan pembubaran pemerintah 

Republik Indonesia Darurat dan penempatan Mr. Syafruddin Pra￾wiranegara di daerah Aceh sebagai Wakil Perdana Menteri, maka 

yntuk kesekian kalinya terjadi lagi perubahan dalam struktur pe￾merintahan di Aceh. Dengan wewenang yang ada padanya, maka 

Wakil Perdana Menteri mengadakan penempatan - penempatan 

baru yang menurut anggapannya baik atas Pulau Sumatera. Dalam 

pelaksanaan tugasnya Wakil Perdana Menteri dibantu oleh suatu 

Badan Penasehat yang terdiri dari Komisaris Pemerintah, Panglima 

Territorial Territorium Sumatera dan beberapa orang yang ditun￾juk,103

 Berdasarkan ketetapan Wakil Perdana Menteri, sebagai 

pengganti peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM, tahun 1949, 

Propinsi Sumatera Utara dibagi lagi untuk kesekian kalinya, men￾jadi dua Propinsi, yaitu : Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera 

Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1950.104

 Masing￾masing Propinsi ini dibawahi deh Tgk. Mohammad Daud Beure￾ueh (Sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan 

Tanah Karo) dan Dr. F.L Tobing (bekas Anggota Dewan Perwaki￾lan Rakyat Propinsi Sumatera Utara) sebagai Gubernur. Setelah terbentuknya pemerintahan Republik Indonesia Seri￾kat, atau setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Kerajaan Belanda 

kepada Indonesia, maka susunan pemerintahan di seluruh Indone￾sia mengalami perubahan lagi, yakni sebagai hasil dari pada perse￾tujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang berke￾dudukan di Yogyakarta). Dengan tercapainya persetujuan itu pada 

tanggal 19 Mai 1950 No. 21 tahun 1950, dan sidang Dewan Men￾teri tanggal 18 Agustus 1950, yang melahirkan Peraturan Pemerin￾tah No. 21 tahun 1950, tanggal 14 Agustus 1950, yang menetap￾kan pembagian wilayah Republik Indonesia atas 10 Propinsi, telah 

menimbulkan suatu masalah baru, sehubungan dengan kedudukan 

Daerah Aceh dalam hal pelaksanaan ketetapan pemerintah terse￾but. Dalam hal ini Daerah Aceh ditetapkan sebagai bagian dari 

pada Propinsi Sumatera Utara. Timbul berbagai protes dari pemu￾ka- pemuka masyarakat Aceh, baik dari kalangan Pamongpraja, 

mulai dari tingkat Gubernur sampai kepada kepala - kepala Mukim 

Juga dikalangan pemimpin - pemimpin masyarakat lainnya diluar 

kalangan pemerintahan. Mereka menginginkan supaya Aceh tetap 

berstatus sebagai Propinsi yang berdiri sendiri.

 106

 Terjadi bebera￾pa pertemuan antara Pemerintah Pusat dengan tokoh- tokoh ma￾syarakat Aceh di Kutaraja, tetapi dalam kenyataan Pemerintah Pu￾sat tetap pada pendiriannya , Propinsi Aceh dihapus, dan Aceh be￾rada dibawah Propinsi Sumatera Utara. Dan sebagai Wakil Peme￾rintah Sumatera Utara untuk Aceh ditempatkan seorang koordina￾tor, yaitu Residen R,M Margono Danubroto.107

 Rentetan - rente￾tan peristiwa diatas, merupakan awal dari kemelut yang timbul 

di Aceh sesudah beberapa tahun berikutnya. 

Seperti telah disinggung di atas,di Aceh pada masa awal revo￾lusi kemerdekaan, telah terdapat sebuah pemancar Radio dengan 

kekuatan 1 kilowatt. Mulanya Radio ini ditempatkan di wilayah 

Bireun ( Aceh Utara ), yaitu di Krueng-Simpo', 20 Km ke jurusan 

Takengon, dan kemudian dipindahkan kearah Aceh Tengah dan di-

tempatkan di Rimba Raya (62 km. dari kota Bireun ke arah Ta￾kengon). Mungkin itulah sebabnya maka pemancar tersebut pada 

mulanya dikenal dengan nama "Radio Rimba Raya". Radio ini 

memakai gelombang 19-2 5 atau 60 meter, berada di udara dari 

jam 5 petang sampai 6 pagi.

 108

 Menurut buku Sendam I Iskandar 

Muda, Dua Windhu Kodam I Iskandar Muda, Radio Rimba Raya 

ini mempunyai riwayat sendiri, sebagai berikut : pada masa agresi 

Belanda I, berhasil dimasukkan sebuah pemancar radio dari Malaya 

melalui Tanjungpura ke Aceh dengan Speed Boat yang dipimpin 

oleh Mayor John Lie. Radio ini mula - mula ditempatkan di Kru￾eng Simpo' dan kemudian dipindahkan ke Kutaraja. Sehari sesu￾dah agresi Militer Belanda II, pemacar ini ditempatkan di sebuah 

desa yaitu Rimba Raya dan yang berjasa dalam pemasangan ini ada￾lah seorang Indo Jerman yang sudah menjadi warga negara Indonesia 

namanya W. Schultz. Mengenai sasaran penyiaran radio ini dipe￾gang oleh Kolonel Husin Yusuf, sedang koordinasi dan teknik 

penyiaran dilakukan oleh A. Gani Mutyara. Berita - berita disiar￾kan dalam 6 bahasa, yaitu Indonesia, Inggeris, Belanda, Arab, Ci￾na dan Urdu. Radio Rimba Raya ini telah memegang peranan pen￾ting dalam menyiarkan dan mengobarkan semangat perjuangan, 

membantah siaran bohong Belanda yang dipancarkan melalui Ra￾dio Medan dan Batavia. Radio Rimba Raya ini juga dapat berhubu￾ngan dengan pemancar radio Pemerintah Darurat Republik Indone￾sia di Suliki, Sumatera Barat. Juga dapat berhubungan denganKepala 

Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Jendral Mayor Simatu￾pang di Banaran. Melalui siaran ini juga instruksi - instruksi dari 

Pemerintah Darurat RI, dapat disalurkan kepada Perwakilan Repu￾blik Indonesia Dr. Sudarsono di India dan Palar di PBB. Karena￾nya Radio ini tidak saja berperan sebagai alat komunikasi umum, 

tetapi juga sebagai alat perang yang amat strategis.

 109 

Selama berlangsungnya Revolusi Kemerdekaan Republik 

Indonesia, di daerah Aceh juga terdapat beberapa mass media lain-

nya, seperti surat - surat kabar dan majalah - majalah. Surat kabar 

yang paling awal terbit pada masa itu adalah Semangat Merdeka", 

yaitu yang terbit pada tanggal 18 Oktober 1945, di Kutaraja.

 n o 

Selanjutnya muncul pula majalah-majalah seperti Pendekar Rak￾jat", "Pahlawan", yang merupakan majalah tengah bulanan resmi 

Tentera Republik Indonesia Divisi Gadjah Sumatera denean pemim￾pin umum A.G Mutyara dan Wakilnya Suryadi, mulai terbit 1 

Januari 1947; "Fragmenta Politica" yang diterbitkan oleh Pejabat 

Penerangan Aceh dan merupakan majalah Tri Bulanan Politik; se￾bagai ketua pelaksana - Editornya Osman Raliby, Perencana pem￾bantu Mr. S.M. Amin, Soetikno Padmo Soemarto dan Talsya.111 

Juga majalah "Kebangunan Islam", Dharma " , "Dunia Peladjar", 

"Mimbar Rakyat", "Bebas Puspa" dan "Kesuma", . Sedangkan 

majalah yang distensil adalah "Mestika", "Dewan Pers". "Perpin￾do" (Persatoean Peladjar Indonesia), dan "Bagian Karang- Menga￾rang Daerah Atjeh Kutaradja. 


Menjelang Persetujuan KMB. 

Perkembangan - perkembangan yang dilalui bangsa Indonesia 

sejak awal kemerdekaannya hingga perwujudan Negara Kesatuan 

Republik Indonesia, dapat dilihat melalui bentuk - bentuk kegia￾tan yang bertujuan untuk menegakkan, mempertahankan dan 

mengamankan kemerdekaan dari bermacam gangguan, baik yang 

datang dari luar maupun yang datang dari dalam. Peperangan dan 

Diplomasi (yang diakhiri dengan Konperensi Meja Mundar di Den 

Haag Negeri Belanda pada Bulan Nopember 1949), merupakan sa￾rana - sarana perjuangan untuk mencapai tujuan pada masa itu1 

Ancaman akan kembalinya kekuasaan Kolonial telah menimbul￾kan kegelisahan yang ekplosif pada setiap pejuang yang mendam￾bakan kemerdekaan. Karenanya mereka selalu berada dalam situ￾asi kesiap siagaan. Mereka membentuk berbagai organisasi, baik 

yang bersifat lokal maupun yang bersifat Nasional, yang merupa￾kanbarisan perjuangan dan pertahanan bersama- mereka. Setiap 

organisasi ini pada dasarnya mengandung nilai - nilai umum revo￾lusi

 2

 , yang telah memberikan corak - corak khusus kepada organi￾sasi itu berupa ekpresi kerja sama mereka, yang dapat dikaitkan 

dengan motivasi rakyat yang bersedia untuk mempertaruhkan se￾gala - galanya.

 3 

Sejajar dengan keamanan dan pertahanan pada masa itu, kegi￾atan golongan pemuda dan pelajar di Aceh lebih menonjol dari pa-

da golongan lain. Mereka ikut berpartisipasi dalam berbagai organic 

sasi kelasykaran perjuangan. Berdasarkan sebuah maklumat yang 

berisi panggilan umum yang 'ditujukan kepada segenap pemuda In￾donesia di Aceh yang berumur 18 tahun ke atas, agar ikut meng￾ambil bagian dalam suatu wadah kepemudaan, dapat dilihat bagai￾mana peranan golongan pemuda di Aceh pada masa itu.4

 Seda'ng￾kan pada golongan angkatan tua masih memperhatikan keragu￾raguan mereka, masih ada yang kebimbangan, ketidak kompakan, 

masih ada yang saling bertentangan dan kurang kesadaran nasional￾nya

 5

 . Sehubungan dengan situasi golongan tua ini sekelompok pe￾muda, mengeluarkan sebuah peringatan dalam bentuk surat yang 

ditujukan kepada Ketua Komite Nasional Daerah Aceh, supaya di￾teruskan kepada angkatan tua6

. Inti dari surat tersebut yaitu, golo￾ngan pemuda mengharapkan petunjuk - petunjuk dan contoh -

contoh yang baik dari generasi tua. Dan mereka tidak mau lagi 

mendengar adanya perpecahan dan perselisihan dalam masyarakat 

Aceh

 7 Sementara itu para Ulama yang tergabung dalam organisasi 

PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) juga belum menampakkan 

keaktifannya ikut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan 

terutama pada masa - masa awal revolusi?Tetapi ada juga para pe￾muda yang bergabung dalam PUSA yang memasuki berbagai orga￾nisasi kelasykaran yang ada pada masa itu. Dan ada pula empat to￾koh Ulama yang terkenamuka, yang mengatasnamakan Ulama 

seluruh Aceh mengeluarkan sebuah .pernyataan bersama yang 

berisikan ajakan perang Sabil kepada seluruh rakyat Aceh dalam 

mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Memang pada 

setiap perjuangan menentang penjajahan seperti ini, semangat aga￾ma juga ikut berperanan mengikat rakyat seluruhnya. Daerah-dae￾rah yang kuat agama seperti Aceh. Banten dan Sulawesi Selatan 

adalah sukar dimasuki oleh Belanda (baca penjajah).10 

Karena tekanan - tekanan emosional para pemuda dan pelajar 

siap untuk mengabungkan diri dalam organisasi - organisasi kepe￾mudaan dan kelasykaran. Para pelajar banyak yang meninggalkan 

bangku sekolah dan mereka bergabung dalam kesatuan - kesatuan 

bersenjata. Seperti telah disinggung dalam Bab III di atas, bahwa 

sejak diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, organi￾sasi pertahanan bersama rakyat Aceh yang berstatus sebagai perta￾hanan lokal ialah API (Angkatan Pemuda Indonesia atau Angkatan 

Perang Indonesia), yang lahir pada awal Oktober 1945, sebagai ha￾sil pertemuan dan pembicaraan antara Residen Republik Indonesia 

yang pertama untuk daerah Aceh, Teuku Nyak Arief dengan bebe￾rapa bekas opsir Gyungun (tentera sukarela pada masa pendudu￾kan Jepang), diantaranya Syamaun Gaharu, Usman Nyak Gade, 

Teuku Hamid Azwar, Nyak Neh Rika, Said Usman dan Said Ab￾dullah. Dan mereka ini juga yang sebagian duduk sebagai pengurus 

Markas Daerah dan Wakil - Wakil Markas Daerah API yang per￾tama kali untuk daerah Aceh.11

 Dalam perkembangannya organi￾sasi API ini diubah namanya menjadi TKR (Tentara Keamanan Ra￾kyat) agar sesuai dengan maklumat yang telah dikeluarkan oleh 

Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945, yang berbunyi : 

"Untuk memperkuat Perasaan Keamanan Umum Maka Diadakan 

Satu Tentera Keamanan Rakyat " 1 2

Organisasi API cepat berkembang dan menjalar keseluruh 

Mukim - mukim dan gampong - gampong di Aceh, melalui suatu 

lembaga yang disebut BAPA (Badan Penyokong API), yang ber￾fungsi mengumpulkan dana dan memperluas keanggotaan API di 

Aceh.13

 Organisasi - organisasi lain yang lahir hampir bersamaan 

dengan waktu lahirnya API ialah IPI (Ikatan Pemuda Indonesia) 

BPI (Barisan Pemuda Indonesia), PRI (Pemuda Rakyat Indone￾sia), PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), Lasykar Mujahidin, 

Pasukan Berani Mati dan kemudian berbagai organisasi kelasy￾karan lokal lainnya, yang semuanya merupakan wadah kegiatan 

pemuda dan pelajar pada waktu itu. Dalam perkembangannya 

agar berbagai ragam organisasi kepemudaan dan kelasykaran ter￾koordinir dalam suatu wadah persatuan, maka dianggap perlu un￾tuk "membubarkan " lasykar- lasykar ini. Dan berdasarkan kete￾tapan Presiden Republik Indonesia Soekarno tanggal 5 Mei 1947, 

yang menginstruksikan Persatuan Tentera Republik Indonesia 

dengan lasykar - lasykar Rakyat, menjadi tentera resmi dengan 

nama TNI (Tentara Nasional Indonesia ) 1 4

Berkat koordinasi yang berjalan lancar sempurna dan dari ber￾bagai organisasi kelasykaran dan kepemudaan, maka percobaan-per￾cobaan agresi Militer Belanda ke Daerah Aceh dapat digagalkan. 

Dua. Jcali agresi Militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik 

yang akibatnya sangat dirasakan di daerah - daerah lain di Indonesia 

di Aceh bebas dari agresi ini. Dan karena daerah Aceh sebagai satu￾satunya daerah yang tidak berhasil dimasuki lagi oleh Belanda (ke￾cuali Pulau Weh, Sabang), sejak kekalahan mereka dengan Jepang 

pada tahun 1942, maka daerah Aceh mendapat julukan kehormatan 

sebagai "Daerah Modal Perjuangan Republik Indonesia. Sebutan 

ini pertama kali diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia yang 

pertama Soekarno, ketika menyampaikan amanatnya pada tanggal 

16 Juni 1948, kepada Rakyat Aceh dalam suatu rapat raksasa yang 

diadakan dilapangan "explanade" (sekarang lapangan Biang Padang) 

Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Dan dalam wejangan yang diberi￾kannya kepada anggota - anggota Badan Pemerintahan Daerah Kere-

sidenan Aceh di Pendopo Keresidenan Aceh pada waktu itu

B. Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sikap 

Masyarakat Aceh. 

Ideologi revolusi yang mencakup idee persamaan nasib dan hi￾dup, telah membangkitkan harapan - harapan baru. Untuk lebih 

mempererat kesatuan kebulatan tekad, diciptakan pula simbol - sim￾bol dan semboyan - semboyan umum yang berhubungan semangat 

bangsa. Hampir pada setiap lengan baju, ikat kepala dan topi - topi 

yang dikenakan pejuang - pejuang kemerdekaan pada waktu 

itu dihiasi dengan tempelan - tempelan merah putih yang merupa￾kan simbol perjuangan mereka Hal ini juga tercermin dalam berba￾gai selogan dan semboyan - semboyan, baik yang dikumandangkan 

lewat udara, maupun yang dicoretkan pada dinding- dinding tem￾bok dan dilukiskan di atas kain - kain bagor selama masa itu. Pekik 

"Merdeka" dengan tangan yang dikepalkan ke atas adalahsalam res￾mi pada masa revolusi kemerdekaan (revolusi fisik). Dan dimana￾mana diseluruh Indonesia diteriakkan semboyan - semboyan yang 

senada, yang membuktikan adanya integrasi nasional pada masa re￾volusi kemerdekaan itu. 

Demikian pula di Aceh, semboyan - semboyan seperti "Merde￾ka" 100%", "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", Enyahlah Penjajah", 

"Hidup Merdeka atau Syahid", dan beberapa yang ditulis dalam ba￾hasa Inggeris yang mungkin ditujukan kepada dunia luar, seperti 

"Freedom or Death", "Once Free Forever Free", menghiasi din￾ding - dinding tembok Toko, dinding - dinding meunasah, balai - ba￾lai pemuda, gerbong - gerbong kereta api, kenderaan - kenderaan 

umum dan pada tempat - tempat lainnya.17

. Bagi mereka yang ti￾dak mau menjawab dengan Merdeka atau "Tetap", dicap sebagai 

antek "Nica" (Nederland Indies Civil Administration), suatu badan 

yang dibentuk oleh Belanda terutama di kota - kota yang telah didu-

duki oleh sekutu, yang merupakan pusat Administrasi kolonial￾nya untuk melicinkan jalan ke arah pemulihan kedaulatan Belanda 

kembali atas Indonesia. Merdeka dan NICA adalah dua hal yang 

sangat bertentangan ketika itu, bagi orang - orang republik NICA 

adalah sesuatu yang harus dihancurkan, sedang bagi Pemerintah Be￾landa dan kaki tangannya "Merdeka" adalah sesuatu yang harus me￾reka hindarkan. 

Unjuk perasaan yang diperlihatkan rakyat di daerah Aceh sebagai 

tanda kecintaan mereka terhadap kemerdekaan, dapat dilihat antara 

lain dalam sambutan yang mereka berikan ketika kunjungan Presi￾den Soekarno ke Aceh pada bulan Juni 194818

. Kunjungan ini di￾anggap rakyat Aceh sebagai kunjungan bersejarah. Cinta rakyat ke￾pada Presidennya, kesediaan mengorbankan segala sesuatu untuk 

kepentingan Negara, semangat bertempur, keinginan hendak merde￾ka, segalanya ini dapat dilihat dalam kesempurnaan yang telah me￾reka berikan dalam menyambut kedatangan Kepala Negara mereka 

yang pertama ke- Aceh19

Maklumat No.2/1948/G.S.O., yang dikeluarkan oleh Gubernur 

Sumatera Utara Mr. S.M. Amin di Kutaraja pada tanggal 6 Septem￾ber 1948, sehubungan dengan penyelesaian masalah "Cumbok Af￾faire" di Aceh,2C

 mengandung nada ke arah persatuan bangsa. Ke￾bijaksanaan yang diambil karena ekses - ekses yang terjadi sebagai 

akibat peristiwa tersebut, lebih diutamakan kepentingan - kepen￾tingan lainnya. Isi dari pada maklumat tersebut adalah sebagai be￾rikut : Terhadap mereka yang baik dengan langsung maupun deng￾an tidak langsung, telah campur dengan pembunuhan - pembunuhan 

yang bersangkutan dengan Peristiwa Cumbok, tidak akan dilakukan 

tuntutan karena kepentingan menghendaki diletakkannya diluar 

tuntutan"21

-Kebijaksanaan lainnya yang diambil oleh pemerintah di Aceh yang 

nadanya juga sama dengan yang di atas, yaitu lebih mengutamakan 

kepentingan keselamatan kelangsungan Negara Republik Indonesia 

dari pada kepentingan - kepentingan lainnya, dapat dilihat pula dari 

beberapa kasus seperti di bawah ini. Dalam bulan Agustus 1948, di 

Kutaraja timbul suatu gerakan yang dikenal dengan nama "Gerakan 

Said Ali Cs." Gerakan ini dipimpin oleh seorang penduduk Kutaraja 

yang bernama Said Ali Al Sagaaff dan dibantu oleh beberapa teman￾nya (mungkin itulah sebabnya dinamakan gerakan Said Ali Cs). yai￾tu, Waki Harun, Haji Mukhsin, Teuku Syamaun Latif, Tgk Muham￾mad Asyik, Muhammad Meuraxa dan Nyak Sabi. Tujuan gerakan ini 

adalah menuntut pergantian beberapa personalia pemerintahan di 

Aceh, dengan jalan memutasikan beberapa pejabat pemerintahan 

yang memegang posisi penting jabatan pemerintahan padamasa itu, 

yang mereka anggap telah melakukan penyelewengan - penyele￾wengan dan melalaikan kepentingan nasib rakyat. Sehubungan 

dengan gerakan ini, pemerintah telah mengeluarkan dua buah mak￾lumat, yang pertama pada tanggal 20 Agustus 1948 oleh Gubernur 

Sumatera Utara Mr. S.M. Amin, dan yang ke dua pada tanggal 4 No￾pember 1948, oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Ka￾ro, Teungku Muhammad Daud Beureueh. Maklumat yang terakhir 

ini terkenal dengan nama Maklumat No. G.M. 14 - M. Isi kedua 

maklumat tersebut secara garis besar adalah, Pemerintah meng￾anggap gerakan menyimpang dari Undang - undang yang berlaku 

dan karenanya dapat menimbulkan kekeruhan dan kekacauan yang 

sangat merugikan keselamatan Negara dan rakyat pada umumnya22 

Pada mulanya terhadap pelaku - pelaku gerakan tersebut ditahan, 

tetapi dalam perkembangannya, mengingat demi kepentingan Nega￾ra , maka pada tanggal 27 Desember 1949, atas nama Wakil Presi￾den Republik Indonesia, Wakil Perdana Menteri Syafruddin Pra￾wiranegara, kepada mereka diberikan abolisi (Pembebasan dari 

tuntutan hukum) dengan syarat bahwa mereka buat sementara 

waktu harus meninggalkan daerah Aceh dan dengan ketentuan 

bahwa mereka akan ditahan dan dituntut kembali, bila janji itu 

mereka langgar23

Pada waktu permulaan pelaksanaan Undang - undang pemba￾gian Sumatera dalam tiga Propinsi, yang dimulai dengan pemben￾tukan suatu Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara yang di￾laksanakan di Tapak Tuan ( Aceh Selatan) pada tanggal 13 sampai 

16 Desember 1948, rakyat Aceh umumnya dan rakyat Aceh Sela￾tan khususnya, telah memberikan bantuan dan sokongan kepada 

panitia rapat pembentukan dewan itu.. Hal ini juga sebagai bukti 

adanya kecintaan rakyat Aceh dan keinginan mereka untuk me￾langkahkan kakinya ke arah persatuan dan kesatuan Negara Repu￾blik Indonesia24

-

Agresi - agresi militer Belanda (yang pertama tanggal 21 Juli 

1947, dan yang ke dua pada tanggal 19 Desember 1948), baik atas 

Jawa maupun dibeberapa tempat di Sumatera dengan tujuan un￾tuk melenyapkan Negara Republik Indonesia, telah meningkatkan 

kesiapsiagaan rakyat Aceh kearah pertahanan Negara. Dengan ke￾bulatan tekad persatuan dan tujuan untuk mempertahankan ke￾merdekaannya telah menghapuskan perselisihan - perselisihan pa￾ham diantara golongan - golongan dalam lapisan masyarakat Aceh, 

seperti yang telah diutarakan di atas.25 

Akibat kegawatan agresi Militer Belanda yang kedua dibebe￾rapa tempat di Jawa dan Sumatera, maka Panglima TNI (Tentera 

Nasional Indonesia) Komandemen Sumatera Kolonel Hidayat 

(Angkatan Darat), Kolonel Subiakto ( Angkatan Laut) dan Overste 

Suyono Karsono ( Angkatan Udara), telah memindahkan markas￾markasnya ke Aceh

 26

. Di Aceh bersama - sama dengan rakyat 

TNI telah melakukan tindakan - tindakan yang berhubungan deng￾an peningkatan pertahanan. Dan hasilnya seperti telah disinggung 

di atas, selain hanya beberapa gangguan yang dialami oleh pertaha￾nan udara dari beberapa serangan musuh, maka daerah Aceh tidak 

berhasil dimasuki lagi oleh Belanda. 

Keeratan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerin￾tah atau rakyat Aceh, yang juga mengandung unsur - unsur persa￾tuan dapat dilihat pula dari beberapa kunjungan tokoh - tokoh 

Pusat'Pemerintahan dari Jawa ke daerah Aceh. 

Rombongan tamu dari pusat pemerintahan yang pertama kali 

mengunjungi Aceh ialah rombongan Mr. Hermani dan Mr. Abdul 

Majid Djojoadiningrat Mereka merupakan wakil - wakil Pemerin￾tah Pusat yang untuk pertama kali mengadakan kunjungan kerja 

ke Aceh. Selama berada di Aceh mereka telah memberikan we￾jangan - wejangan yang sangat berharga bagi rakyat Aceh, teru￾tama mengenai makna dan arti kemerdekaan Republik Indonesia. 

Pada waktu yang hampir bersamaan datang lagi-rombongan DR. 

A.K. Gani yang pada waktu itu sebagai Koordinator Keamanan 

Pusat! Selama di Aceh DR. A.K. Gani juga telah memberikan pe￾tunjuk - petunjuk mengenai yang menyangkut dengan masalah￾masalah keamanan di Indonesia umumnya dan daerah Aceh khu￾susnya.

 27

 Dan seperti telah disinggung di atas, pada tanggal 15 

Juni 1948 daerah Aceh juga mendapat kunjungan Presiden Repu￾blik Indonesia yang pertama, Soekarno. Dan dalam suatu rapat 

raksasa di lapangan Biang Padang Kutaraja (Banda Aceh) Presiden 

Soekarno selain telah menyebut daerah Aceh sebagai "daerah Mo￾dal Perjuangan Bangsa Indonesia" , antara lain juga mengatakan 

sebagai berikut : 

" . . . . Dari ribuan kilometer kami datang disini spesial untuk 

bertemu dengan rakyat Atjeh jang terkenal sebagai satu 

rakjat yang selalu berdjuang untuk Kemerdekaan, jang selalu 

menjadi kampiun dan peloporperdjuangan Kemerdekaan rak￾jat Indonesia. Segenap rakjat Indonesia di tanah Djawa, Suma￾tera dan lain-lain kepulauan, Sunda Ketjil, Kalimantan, Sulawesi 

mengarahkan matanja kepada saudara- saudara".

 28 

Lebih lanjut dalam pidatonya di depan ribuan rakyat Aceh terse-

but, Presiden Soekarno juga menegaskan : " Rakyat Aceh adalah 

contoh perjuangan kemerdekaan Seluruh Rakyat Indonesia. Selu￾ruh rakyat Indonesia mengetahui hal ini, seluruh rakyat Indonesia 

melihat ke Aceh, mencari kekuatan batin dari Aceh, dan Aceh te￾tap menjadi obor perjuangan rakyat Indonesia

 29

 . 

Pada tanggal 5 Juni 1949, Wakil Presiden Republik Indonesia 

yang pertama , Mohammad Hatta beserta rombongannya, yang an￾tara lain terdiri dari Mr. A.G. Pringgodigdo sebagai sekretaris Nega￾ra, Mr. Ah Sastroamidjojo sebagai Menteri Pendidikan dan Penga￾jaran dan Kebudayaan, Dr Sukiman sebagai Menteri Dalam Negeri 

Mohammad Natsir sebagai Menteri Penerangan, Z. Baharuddin se￾bagai Anggota Badan Pengurus Komite Nasional Pusat, A. R Bas￾wedan sebagai pegawai Tinggi Negara dan Syarif Kasim Sultan Siak 

juga mengadakan kunjungan kerja ke Aceh, dalam rangka pening￾katan pertahanan dan pembangunan Negara. Dalam menyambut 

rombongan wakil Presiden dan pembesar -pembesar negara lain￾nya, rakyat Aceh telah mengadakan suatu pawai atau arak - arakan 

yang megah dan berdefile dihadapan rombongan wakil Presiden 

yang berdiri di tangga Pendopo Kegubernuran Militer Aceh, Lang￾kat dan Tanah Karo pada waktu itu. Dan pada kesempatan itu, 

Wakil Presiden juga telah memberikan amanatnya dalam suatu ra￾pat Samudera yang dikunjungi puluhan ribu rakyat Sebagian dari 

Wakil. Presiden tersebut adalah sebagai berikut : 

Sering kita mendengar sembojan, bersatu kita teguh berpe￾cah kita djatuh. Tjamkanlah sembojan ini dalam hati saudara￾saudara. Baiklah untuk sementara kita lupakan perselisihan 

antara kita sesama kita yang perselisihan itu kemudian hari 

hari mungkin dapat dibereskan setjara damai, setjara mudah 

sekali, akan tetapi pokok tudjuan kita bersama adalah, men￾capai rakyat jang makmur, rakjat jang merdeka, rakjat jang 

sedjahtera. Tetapi dalam masih memperdjuangkan tjita-tjita 

kita, padulah persatuan, djagalah persatuan. Kalau tidak 

dengan persatuan kita akan hantjur".

 80 

Pada tanggal 23 Agustus 1949, Wakil Perdana Menteri Mr.Syaf-

ruddin Prawiranegara bersama dengan Menteri Agama Kyai Haji 

Masykur juga mengadakan kunjungan kerja ke Aceh. Selanjutnya 

pada tanggal 23 September 1949, datang pula Menteri Pertahanan 

merangkap Acting Perdana Menteri Sri Sultan Hamangkubuono 

beserta rombongan yang terdiri dari Ketua Komite Nasional Indo￾nesia Pusat, Mr. Assaat dan Menteri Penerangan Mr. Syamsuddin. 

Dan pada tanggal 18 Oktober 1949, berdatangan pula Menteri 

Keuangan, Mr. Lukman Hakim, Menteri Kemakmuran I. Kasimo 

dan Menteri Sosial & perburuhan Kusna. 

Sebaliknya juga terdapat tokoh-tokoh masyarakat Aceh yang 

mengadakan kunjungan ke Pusat Pemerintahan di Jawa, dalam 

rangka melaksanakan tugas - tugas Negara. Misalnya pada awal ta￾hun 1947, beberapa tokoh yang mewakili masyarakat Aceh yang 

juga sebagai anggota - anggota Komite Nasional Pusat yang telah 

dipilih oleh partai - partai yaitu, Mr. S.M. Amin sebagai wakil Ke￾tua Badan Eksekutif Komite Nasional Aceh, Sutikno Padmosumar￾to, sebagai Wakil Kepala Kehakiman Daerah Aceh dan Amelz seba￾gai pemimpin Harian Semangat Merdeka di Kutaraja pada waktu 

itu, mengadakan kunjungan kerja ke Jawa untuk menghadiri rapat 

pleno Komite Nasional Pusat, yang membicarakan dan mengambil 

ketetapan pendapat tentang rencana Persetujuan Linggarjati.

 31 

Kesediaan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirimkan 

amanatnya pada tanggal 19 Maret 1948 dari Yogyakarta, untuk 

dibacakan pada kongres Pembangunan PESINDO (Pemuda Sosia￾lis Indonesia) Aceh, yang berlangsung pada tanggal 20 Maret 1948, 

juga menunjukkan tanda.adanya keharmonisan hubungan antara 

Pemerintah Pusat (yang pada waktu itu berkedudukan di Yogya￾karta) dengan daerah Aceh. Sebagian isi amanat Wakil Presiden ter￾sebut adalah sebagai berikut : 

"Besok adik-adikku mengadakan Kongres didasarkan kepada pem￾bangunan Negara. Kami doakan mudah-mudahan kongres berhasil 

dengan peninjauan yang tegas bahwa pemuda berjuang untuk ke￾merdekaan Nusa dan Bangsa dan pula menjadi pelopor dalam 

pembangunan Negara dan masyarakat agar supaya bangsa Indonesia dimasa mendatang menjadi bangsa makmur, makanan dalam segala 

lapisan. Kita berjuang untuk mencapai kemerdekaan, bukan sema￾ta - mata untuk merdeka saja, melainkan supaya kemerdekaan 

yang kita capai itu memberi kemakmuran rohani dan jasmani bagi 

rakyat jelata seluruhnya. 

Berjuanglah terus dengan darah muda, yang sudi berkorban dan 

berbakti kepada kepentingan umum dengan menyingkirkan kepen￾tingan sendiri.-32 

Jadi kesemua perhatian timbal balik antara Pemerintah Pusat 

dan Daerah serta dari kunjungan Wakil - wakil Pemerintah Pusat ke 

Aceh seperti telah diutarakan di,atas, menandakan adanya suatu 

jalinan kerjasama antara Pemerintah Pusat dan rakyat di daerah 

Aceh. Dan kerjasama ini, tentu saja telah ikut menentukan keber￾hasilan - keberhasilan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia 

pada umumnya dan di daerah Aceh khususnya. 

Seperti telah disinggung di atas, bahwa pada tanggal 29 Sep￾tember 1945, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen pertama 

Republik Indonesia untuk daerah Aceh. Hal ini berarti bahwa mu￾lai sejak itu sebagai satu-satunya pemerintahan yang ada di daerah A 

ceh adalah pemerintah Republik Indonesia.Masaantaratahunl945 

sampai tahun 1950 adalah masa penuh transisi. Berbagai kegiatan 

telah ditempuh oleh bangsa Indonesia umumnya dan rakyat Aceh 

khususnya, dalam menegakkan, mempertahankan dan, mengaman￾kan Negara Republik Indonesia. Bermacam idee ke arah persatuan 

bangsa telah terlihat melalui kegiatan - kegiatan seperti telah dise￾butkan di atas. Dari beberapa pandangan yang telah dikemukakan 

oleh tokoh - tokoh masyarakat Aceh pada masa itu, seperti dari 

uraian berikut ini, juga masih akan ditemui idee - idee persatuan 

tersebut. 

Sebagian isi pidato Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M Amin 

dalam sidang pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera 

Utara yang berlangsung di Tapak Tuan ( Aceh Selatan) pada tang￾gal 13 Desember 1948, jelas mengandung idee - idee tersebut. Mr. 

S.M. Amin menegaskan bahwa adanya pengkotakan - pengkotakan pada pemerintahan - pemerintahan lokal seperti kesatuan Keresi￾denan, yang didasarkan atas pertimbangan - pertimbangan kelom￾pok etnis atau kesatuan kesukuan yang sempit, seperti Kereside￾nan Aceh didasarkan atas kesatuan suku Aceh, Keresidenan Tapa￾nuli atas kesatuan suku Batak, Keresidenan Sumatera Timur atas 

kesatuan suku Melayu, adalah tidak seharusnya dipergunakan lagi 

di Republik ini. Oleh karena itu, pembentukan suatu Propinsi, 

janganlah didasarkan atas dasar Kelompok ethnis yang sempit se￾perti tersebut di atas, tetapi atas baru, seperti atas dasar kesatuan 

ekonomi, persatuan politik dan sebagainya.33

 Pada bagian lain 

dari pidato tokoh masyarakat Aceh tersebut mengatakan sebagai 

berikut: 

"Kita mengetahui, bahwa oleh Wakil Presiden kita dengan pi￾hak Belanda, sekarang sedang dilakukan pembicaraan sebagai 

persiapan untuk perundingan jang akan dilaksanakan kemba￾li. Nampaknya belum dapat djuga diatasi segala kesulitan2 

jang menjadi halangan dan rintangan untuk memperoleh perse 

tujuan antara republik dengan Belanda. Mengingat keadaan 

jang demikian rupa maka adalah pada tempatnya, bilamana 

seluruh rakjat Indonesia tetap memberi sokongan jang sebaik 

baiknja kepada pemerintah pusat; sokongan bathin maupun 

sokongan lahir. Salah satu dari bantuan yang berharga adalah, 

discipline nasional,yang harus kita tunjukkan.Seterusnjakein 

safan jang sungguh sungguh pada setiap Negara.34 

Dari kutipan kalimat di atas, juga terkandung idee - idee ke arah 

persatuan bangsa Indonesia. 

Ketika tercapai suatu persetujuan antara RIS (Republik In￾donesia Serikat) dengan RI ( Republik Indonesia), mengenai pene￾tapan 10 buah Propinsi di Seluruh Indonesia (yaitu persetujuan 

tanggal 19 Mei No. 21, 1950) di mana Aceh ditetapkan sebagai ba￾gian dari pada Propinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh melalui wa￾kil - wakilnya ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh) pada 

tanggal 12 Agustus 1950, telah mengeluarkan suatu mosi sehu￾bungan dengan penetapan itu. Dalam mosi itu dikemukakan ke￾inginan - keinginan dan alasan - alasan mengapa mengapa rakyat 

Aceh berkeberatan dan mengapa mereka tetap bersikeras memper￾tahankan Aceh sebagai Propinsi Sendiri di bawah Pemerintahan 

Pusat. Hampir bersamaan dengan Mosi tersebut, telah dikeluarkan 

pula suatu pernyataan mengenai alasan - alasan dan tentang man￾faatnya Aceh berpropinsi sendiri, sebagai daerah otonomi yang 

langsung di bawah Pemerintah Pusat. Sebagai kesimpulan dari per￾nyataan tersebut, ditekankan bahwa persatuan yang berabad-abad 

yang telah berlangsung itu, jangan dipisah- pisah dengan berpusat 

ke "kiblat" yang baru. Dengan segala potensi yang ada Aceh me￾minta mengurus dirinya sendiri di bawah pengawasan Pemerintah 

Pusat. Karena Aceh berkeinginan mempersiapkan dirinya dahulu 

supaya lebih mudah untuk ditempat di dalam kerangka Indonesia. 

Dalam kesimpulan tersebut juga ditekankan bahwa Aceh bukan 

hendak menyisihkan atau memisahkan diri dari saudara-saudaranya 

yang lain di Indonesia, tetapi Aceh tetap setia pada Pemerintah Pu￾sat dan kepada saudara - saudaranya yang lain di seantoro Tanah 

Air

 5

 . Demikian pokok - pokok kesimpulan dari pernyataan ra￾kyat Aceh tersebut, yang tentunya juga tidak lepas dari unsur -un￾sur atau idee-idee kearah persatuan bangsa Indonesia. 

Sehubungan dengan persoalan di atas, sebelum itu atau pada 

tanggal 13 Mei 1950, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 

beserta rombongan berkunjung ke Aceh dalam rangka menjajaki 

seberapa jauh Aceh akan tetap berpropinsi sendiri atau akan di￾tempatkan di bawah Propinsi Sumatera Utara yang akan dibentuk. 

Dalam suatu pertemuan yang dilangsungkan di tempat kediaman 

Gubernur Aceh, Teungku Muhammad Daud Beureueh guna mem￾bahas masalah tersebut, beberapa tokoh masyarakat Aceh telah 

memberikan pandangan pandangan mereka. Salah satu tokoh ma￾syarakat Aceh tersebut yang juga sebagai anggota Dewan Pemerin￾tahan Daerah Aceh, yaitu T.M. Amin mengemukakan pandangan￾nya antara lain, "Kami mengharapkan supaya Negara kita menjadi 

Negara Kesatuan, dalam mana Aceh menjadi daerah Propinsi.Pada saat berlangsung pertemuan yang kedua antara rom￾bongan Pemerintah Pusat (yang tiba di Aceh pada tanggal 26 Sep￾tember 1950), dengan pejabat - pejabat pemerintah di Aceh atau 

wakil-wakil rakyat Aceh, guna mencari penyelesaian persoalan 

Propinsi Aceh, telah berbicara pula Gubernur Aceh, Teungku Mu￾hammad Daud Beureueh ( yang pada kesempatan itu sebagai 

pembicara terakhir). Sehubungan dengan persoalan Propinsi Aceh 

tersebut, Gubernur telah menyangkal dengan keras pendapat yang 

disinyalir oleh oknum oknum tertentu, yang mengatakan bahwa, 

bila tuntutan otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan, maka tidak 

ada jaminan keamanan dan mungkin akan menimbulkan hal - hal 

yang tidak diinginkan. Lebih lanjut tokoh masyarakat Aceh itu, 

juga mengatakan bahwa sekalipun tuntutan ekonomi Aceh ditolak 

oleh Pemerintah Pusat, rakyat Aceh akan tetap berdiri dibelakang 

Pemerintah Pusat bila masih diperlukan.37 

Berdasarkan atas beberapa data yang telah diutarakan di atas; 

kiranya telah cukup membuktikan adanya sikap masyarakat Aceh 

ke arah cita - cita persatuan bangsa Indonesia seperti yang telah 

diperlihatkan dalam berbagai tindakan terutama melalui wa￾kil -wakil mereka. Dan tentunya juga tidak dapat disangkal bahwa, 

unsur - unsur persatuan itu telah membawa keberhasilan - keberha￾silan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. 

C. Kegiatan Masyarakat Dalam Berbagai Bidang Kehidupan 

Sebagai negara yang baru saja memproklamirkan kemerdeka￾annya, Republik Indonesia pada waktu itu mengalami berbagai kri￾sis dalam segala lapangan kehidupan. Situasi yang demikian ini dia￾lami oleh hampir seluruh daerah di Indonesia. Aceh sebagai 

daerah yang letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan, juga 

tidak luput dari situasi krisis tersebut. Stabilitas politik, ekonomi, 

dan sosial belum terjamin. Sebagai contoh misalnya keadaan kehi￾dupan rakyat yang serba kekurangan, terutama bagi pegawai - pe￾gawai pemerintah yang sering kali tidak pernah menerima gaji seca￾ra teratur dan juga karena gaji yang diterimanya tidak mencukupi 

kebutuhannya.

 38

 Gaji seorang polisi yang berpangkat Inspektur 

Kl. II, ialah lima ratus lima puluh rupiah uang Jepang. Gaji ini di￾bayar sebagian dengan uang Jepang dan sebagian lagi dengan 

URIPSU (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara). 

Dengan uang Jepang dibayar sejumlah dua ratus enam puluh lima 

rupiah dan sisanya dibayar dengan URIPSU sebanyak 10 rupiah. 

Satu rupiah URIPSU nilainya sama dengan 300 uang Jepang.39 

Karena gaji tidak mencukupi maka pegawai Negeri di Aceh 

terutama mereka yang bukan asli dari Aceh ( pendatang ) sangat 

mengharapkan ada perbaikan. Suatu pemberian catu dan tunjang￾an tambahan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada Desember 

1949, tetap tidak dapat memberikan nafkah yang cukup kepada 

mereka. Sedangkan harga bahan keperluan hidup sehari - hari se￾makin meningkat.4

 ' 

Semula (pada awal revolusi kemerdekaan) alat pembayaran 

atau uang yang digunakan di Aceh adalah uang Republik Indone￾sia. Tetapi kemudian karena sulitnya komunikasi antara Pemerin￾tah Daerah dengan Pemerintah Pusat di Jawa seperti telah dising￾gung di atas, maka Propinsi Sumatera Utara terpaksa mengeluar￾kan uang sendiri. Dan dengan semakin gawatnya keadaan serta 

juga karena Pusat Pemerintahan Sumatera dengan Keresidenan 

Aceh, maka Keresidenan Aceh juga terpaksa harus mengeluarkan 

uang sendiri, yang dikenal dengan nama URIDA (Uang Republik 

Indonesia Daerah Aceh). Sesudah daerah Aceh dimasukkan men￾jadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara yang dibentuk pada akhir 

tahun 1948, Propinsi Sumatera Utara juga mengeluarkan uang sen￾diri, dengan alasan karena banyak uang kertas Propinsi Sumatera 

yang telah dipalsukan. Dan uang Sumatera Utara ini dikenal deng￾an nama URIPSU seperti tersebut diatas. Uang ini khusus dikeluar￾kan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara yang berkedudukan 

di Kutaraja dan berlakulah untuk seluruh Propinsi Sumatera Utara. 

Pengeluaran pertama URIPSU ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 

1949.41

 Selain URIPSU dan URIDA juga terdapat alat pembaya-

ran khusus lainnya berupa Bon Contan atau cek, yang dikeluarkan 

oleh markas - markas pertahanan setempat di Aceh. Misalnya Bon 

Contan yang dikeluarkan oleh Markas Pertahanan Aceh Timur di 

Langsa pada tanggal 2 Januari 1949, yang ditandatangani oleh Us￾man Adamy selaku Ketua Markas Pertahanan Aceh dan di persak￾sikan oleh Bupati Aceh Timur pada waktu itu, Tk. Maimun. Bon 

Contan ini dianggap sah dan diterima serta dipercaya oleh masya￾rakat. Dan juga dipergunakan untuk membiayai pasukan - pasukan 

pejuang Aceh yang berada di Wilayah Aceh Timur, di daerah per￾batasan dengan Sumatera Timur, daerah Langkat dan Tanah Karo 

setelah agresi Militer Belanda yang kedua.42 

Sistim pembayaran misalnya untuk membayar gaji - gaji pe￾gawai pemerintah, berbeda dengan sistim sekarang. Pada waktu itu 

setiap Kantor menerima Bon Contan atau cek tersebut dari kantor 

Keuangan setempat, kemudian dijual kepada saudagar - saudagar 

atau pedagang - pedagang dengan memberikan komisi untuk mere￾ka atau kepada orang yang memerlukannya. 

Misalnya kalau Bon Contan itu bernilai Rp 200.000, maka kepada 

yang menukarkannya itu dijual dengan harga Rp 180.000 atau Rp. 

175.000 saja.

 3 Jadi sipembeli menerima keuntungan sekitar 10 

sampai 15 %. 

Mulanya Uang kertas Sumatera Utara (URIPSU) dapat diper￾tahankan kursnya, meskipun dicetak dalam jumlah yang banyak. 

Sebagai contoh dapat dikemukakan, jumlah uang kertas yang dice￾tak sejak tanggal 2 Mei sampai 8 Mei 1949 ( berarti dalam tujuh ha￾ri) sejumlah Rp 156.750.000 URIPSU terdiri atas lembaran Rp. 

250 URIPSU sebanyak 405.000 lembar dan lembaran Rp 500 

URIPSU sebanyak 111.000 lembar.44

 Yang mengurusi percetakan 

dan pengedaran URIPSU ini, ditugaskan tanggung jawabnya kepa￾da salah seorang karyawan pegawai keuangan yang bernama Abdul 

Muid. Nilai URIPSU dibandingkan dengan Dollar Singapura pada 

waktu itu atau waktu yang sama, dapat dipertahankan. Dan terda￾pat keseimbangan antara produksi dengan uang yang beredar. Te￾tapi dalam perkembangannya keseimbangan ini tidak dapat diper￾tahankan. Untuk mengatasi hal ini pada tanggal 16 Mei 1949, Pe￾merintah mengeluarkan suatu ketetapan No. 302/G.S.O., RI, yai￾tu menarik dari peredaran URIPSU sebanyak Rp 500.000.000.45 

Seperti telah dikatakan di atas, bahwa keadaan kehidupan pada 

waktu itu serba kekurangan dan agak sukar. Bermacam kesulitan 

timbul dalam masyarakat berbagai akibat dari berbagai sebab pula, 

seperti naiknya harga barang kebutuhan sehari - hari setiap saat, 

berkurangnya import barang - barang keperluan rakyat dan sukar￾nya mendapatkan makanan pokok seperti beras yang menghilang 

dari pasaran. 

Dan jikapun beras ada dipasaran, tetapi harganya cukup tinggi. Si￾tuasi yang demikian itu menjadikan suatu tantangan, tidak saja ke￾pada rakyat tetapi juga kepada Pemerintah Daerah. Dan pemerin￾tah juga menyadari bahwa bila perbaikan tidak cepat diusahakan, 

mungkin sekali akan menimbulkan efek - efek negatif yang akan 

mengganggu kestabilan pemerintahan dan keamanan.47 

Untuk mengatasi kesulitan - kesulitan penghidupan rakyat, peme￾rintah telah mengambil langkah - langkah tertentu, misalnya deng￾an mengeluarkan uang (alat pembayaran) sendiri, seperti telah dije￾laskan di atas. Pembentukan suatu badan yang diketuai oleh Badan 

Eksekutif, Teungku Muhammad Nur el Ibrahimy untuk berusaha 

meningkatkan produksi dari berbagai usaha rakyat dan mengusaha￾kan import barang barang yang diperlukan dari luar negeri, juga se￾bagai salah satu usaha Pemerintah ke arah perbaikan penghidupan 

rakyat.48

 Selain usaha Pemerintah Daerah dari pemerintah Pusat 

juga mencoba mengatasi keadaan dengan mengirimkan wakilnya 

ke Sumatera Utara. Misalnya pada bulan Agustus 1949 dikirim 

Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan di sana telah mengeluarkan be￾beberapa peraturan,. Antara lain yang dikenal dengan nama pera￾turan wakil Perdana Menteri yang bertanggal 22 September 1949, No. 2 /1949/WPM, yang berhubungan dengan masalah larangan ek￾spor barang - barang dari Sumatera Utara. Juga peraturan Wakil 

Perdana Menteri tanggal 17 Oktober 1949, No. 1/1949/WPM, yang 

mencabut Ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera Utara 

tanggal 14 Agustus 1948 No. 7/1948 yang mengutip bea eksport 

dan perhitungan dollar untuk pembelian hasil bumi. Apa yang di￾jalankan oleh Wakil Perdana Menteri ini sebenarnya bertentangan 

dengan kebijaksanaan yang sebelumnya dijalankan oleh Pemerin￾tah Daerah. Karena kebijaksanaan yang dijalankan Wakil Perdana 

Menteri itu berarti menghentikan pemasukan barang dari Luar 

Negeri dan mengurangi persediaan barang dan mengurangi penda￾patan daerah. Dan memang ternyata kebijaksanaan yang ditempuh 

Wakil Perdana Menteri itu, tidak membawa hasil seperti yang diha￾rapkan, sebaliknya situasi malahan menjadi bertambah buruk.49' 

Tetapi kesemua usaha pemerintah tersebut merupakan suatu bukti 

adanya perhatian Pemerintah Pusat untuk mengatasi keadaan. 

Meskipun situasi pada masa Revolusi Kemerdekaan diliputi 

suasana ketidak pastian, tetapi berbagai pula kehidupan rakyat da￾lam berbagai bentuk kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup 

nya tetap berjalan. Kegiatan - kegiatan dalam bidang Pertanian, 

perdagangan, pertambangan, pertukangan , perikanan dan sebagai￾nya berjalan sebagai mana lazimnya. 

Malah beberapa sektor seperti perdagangan , perkebunan dan per￾tambangan merupakan sumber pendapatan utama pemerintah dae￾rah dan ikut menunjang perbelanjaan buat kepentingan kelancaran 

roda pemerintahan dan revolusi pada waktu itu. Beberapa peda￾gang swasta, yang berkecimpung dalam sektor perdagangan anta￾ra lain, Muhammad Saman dari PT. PUSPA Nyak Neh dari Lhok 

Nga Co., Muhammad Hasan dari PIM (Perdagangan Indonesia Mu￾da) dan Abdul Gani Mutiara, telah memainkan peranan mereka da￾lam melakukan perdagangan antara Aceh dengan Malaya (sekarang 

Malaysia) dan Singapura pada waktu itu.50

 Dengan adanya 

perdagangan itu, hasil produksi Daerah Aceh, seperti karet, kelapa 

sawit, damar, teh, kopi dan lain - lain sebagainya, baik yang diusa-

hakan oleh rakyat maupun oleh pemerintah, dapat diperdagang￾kan ke dua daerah tersebut. Dalam sektor perkebunan dapat dise￾butkan bahwa sesudah proklamasi Kemerdekaan Indonesia atau se￾jak bulan Oktober 1945, perkebunan - perkebunan yang sebelum￾nya diurus oleh Jepang, mulai diambil alih oleh pemerintah Repu￾blik Indonesia. Kemudian untuk melancarkan sektor ini, di Kota￾raja didirikan sebuah Kantor Pusat perkebunan daerah Aceh yang 

dipimpin oleh Raden Elon (Raden Hadri ?). Selain kantor pusat 

perkebunan ini, yang didirikan pula suatu badan Kemakmuran 

dengan tugas untuk menjual hasil - hasil perkebunan dan menyedi￾akan sarana - sarana untuk keperluan perkebunan. Kemudian pada 

tahun 1947, Badan Kemakmuran ini dibubarkan dan diganti deng￾an kantor Perdagangan juga mempunyai tugas yang sama dengan 

Badan Kemakmuran. Pada mulanya hasil - hasil perkebunan 

ini tidak memberi hasil seperti yang diharap, tetapi sejak tahun 1948 

hasilnya sudah mulai memuaskan. Dan pada bulan Oktober tahun 

1948 . Pemerintah Pusat mengambil alih pengurusan perkebunan 

yang ada di Aceh dan mengeluarkan Ketetapannya sebagai berikut, 

Kantor Perkebunan Daerah Aceh di Kotaraja dihapuskan, Kebun -

kebun bekas milik orang asing dan yang diusahakan oleh pemerin￾tah Daerah Aceh ( Sumatera Utara) menjadi milik pemerintah Pu￾sat dan menjadikan perkebunan Negara (PPN); Kebun - kebun be￾kas milik orang'Jepang dan kebun - kebun milik pemerintah Hin￾dia Belanda dijadikan perusahaan Perkebunan Republik Indone￾sia.51 

Sektor pertambangan juga sebagai salah satu sektor penting, 

yang juga merupakan pendapat bagi daerah Aceh pada awal revo￾lusi Kemerdekaan.52

 Misalnya tambang minyak Pangkalan Beran￾dan merupakan sumber keuangan utama pemerintah daerah Aceh 

pada masa itu. Tambang minyak ini sebelumnya dikuasai oleh Je￾pang dan seketika meninggalkan pangkalan Berandan, mereka 

menghancurkan tambang ini. Tetapi kemudian oleh pekerja - pe￾kerja Indonesia dapat dibetulkan kembali sehingga dapat mengha-

silkan minyak lagi. Tambang ini mendapatkan minyak dari Perlak 

(Aceh Timur) yang disalurkan melalui pipa - pipa ke Pangkalan Be￾randan. Pada masa itu terdapat sekitar 3.000 pekerja yang bekerja 

pada tambang minyak itu.53 

Seperti telah disinggung bahwa kehidupan perekonomian rakyat 

pada masa itu agak sukar. Hal ini dialami oleh pekerja - pekerja 

pada tambang minyak itu. Mereka tidak cukup terjamin kesejahte￾raannya Karenanya mereka yang tergabung dalam suatu perkum￾pulan, yaitu "Serikat Buruh Minyak Sumatera Utara" yang berke￾dudukan di Langsa (Aceh Timur) di bawah Pimpinan R. Seniken￾tara, mengorganisir suatu pemogokan dalam rangka menuntut per￾baikan nasib mereka dalam hubungan dengan penerimaan gaji dan 

catu yang selalu terlambat, dan juga mereka menuntut perubahan 

struktur organisasi di pertambangan minyak itu.54 

Ketidak stabilan situasi, tidak saja terjadi dalam lapangan 

ekonomi, tetapi juga dalam lapangan politik dan keamanan. Peru￾bahan yang terus menerus terjadi dalam lapangan pemerintahan 

(lihat BAB IV di atas), munculnya berbagai gerakan seperti Revo￾lusi sosial yang timbul sebagai akibat akumulasi bermacam-macam 

unsur dari latar belakang yang sama, Gerakan Teungku Amir Husi￾ein Al Mujahid, yang merupakan lanjutan dari pada Revolusi Sosial 

(lihat BAB III di atas) Gerakan Said Ali Al Sagaff, yang mengingin￾kan adanya Clean government atau pemerintahan yang bersih, di 

Aceh, Resolusi Partai Syarikat Islam Indonesia Cabang Aceh, yang 

tidak puas terhadap sistim pemerintahan daerah Aceh, peristiwa 

Langsa, yang menuntut perbaikan nasib pekerja-pekerja tambang 

minyak serta protes terhadap penguasa setempat. Gerakan Badan 

Keinsafan Rakyat yang menginginkan pemerintahan yang bersih, 

cukup membuktikan belum terdapat stabilitas politik serta keama￾nan yang mantap pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia di 

Daerah Aceh ; 

Kegelisahan sehubungan dengan perubahan pemerintahan da￾pat dikemukakan contoh sebagai berikut, berdasarkan Undang-un￾dang NO 2. tahun 1949, Wakil Perdana Menteri Republik Indone￾sia (Mr. Syafruddin Pra wir an égara) pada tanggal 18 Desember 19-

49, mengeluarkan suatu peraturan mengenai Pembagian Propinsi 

Sumatera Utara dalam dua Propinsi, yaitu Propinsi Aceh dan Pro￾pinsi Tapanuli - Sumatera Timur. Dengan penetapan ini telah me￾nimbulkan pendapat - pendapat dalam masyarakat Aceh, yang me￾nurut Mr. S.M. Amin dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu : 

1. Mereka yang sebagian besar yang tidak merasa berkepentingan 

(interesse) dalam soal dua atau satu Propinsi, yang tidak menge￾tahui dan tidak mempunyai pengertian sedikit jua - pun ten￾tang masalah ini. 

2. Mereka yang sebagian kecil tidak menghendaki pembagian ini 

3. Mereka yang sebagian lebih kecil lagi, yang mengingini pemba￾gian ini dan berusaha dengan giat menciptakan keinginan ini 

menjadi suatu kenyataan.65 

Mereka atau kelompok (termasuk golongari intelektual) yang tidak 

menghendaki pembagian ini, menganggap penetapan ini tidak pada 

tempatnya, mengingat situasi Negara Republik Indonesia pada 

waktu itu masih dalam Komplik dengan Kerajaan Belanda. Karena 

hasil KMB (Konperensi Meja Bundar) yang akan berakhir pada 

tanggal 17 Desember 1949, belum diketahui. Dan mungkin saja se￾tiap saat Belanda akan mengulangi lagi agresi militernya terhadap Ne￾gara Republik Indonesia.56

 Dengan adanya masalah tersebut, maka 

dapat dikatakan bahwa pada akhir tahun 1949 (menjelang Penyera￾han Kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia), iklim 

di Aceh diliputi perasaan gelisah ( terutama pada golongan intelek￾tual). 

Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Alfian untuk generasi 

kita sekarang, bahwa salah satu hal yang sangat menonjol sebagai 

hasil Kemerdekaan ialah perkembangan dalam bidang pendidikan 

terutama pendidikan umum.

 57

 Tetapi apa yang dikatakan Alfian 

itu tentu saja belum berlaku untuk mereka yang hidup atau gene￾rasi pada masa awal Revolusi. Karena pada mula Kemerdekaan Re￾publik Indonesia , tidak saja untuk daerah Aceh tetapi untuk selu￾ruh daerah di Indonesia keadaan dalam bidang pendidikan masih sangat menyedihkan. Diperkirakan sekitar 93% penduduk Indone￾sia pada masa yang sama, masih buta huruf.58

 Hal ini tentu ber￾kaitan dengan masa - masa sebelumnya (masa kolonial) dim ana 

pintu sekolah pada masa itu secara sengaja diusahakan agar hanya 

terbatas kepada kelompok anak- anak dari golongan tertentu saja. 

Seperti halnya dalam bidang pemerintahan, perubahan dalam 

lapangan pendidikan pun di Aceh mulai tampak sesudah pecahnya 

revolusi sosial pada akhir tahun 1946. Sesudah peristiwa itu pintu 

sekolah umum juga mulai terbuka lebar bagi semua lapisan masya￾rakat di Aceh. Tetapi karena pada masa itu merupakan masa revo￾lusi, masa yang penuh dengan berbagai pergolakan, dimana perha￾tian pemerintah lebih diarahkan kepada hal-hal yang berhubungan 

dengan revolusi, maka sekolah-sekolah yang ada sebagai warisan 

dari masa kolonial, banyak yang terbengkalai dan ditutup. Hal ini 

berkaitan juga karena banyak guru dan murid-muridnya yang me￾ninggalkan bangku sekolah masuk ke dalam barisan -barisan kepe￾mudaan dan kelasykaran seperti telah disinggung di atas. 

Meskipun demikian ada juga usaha-usaha dari pemerintah untuk 

mengatasi masalah pendidikan pada masa itu. Misalnya dengan 

mendirikan beberapa pendidikan guru, seperti KPKPKB (Kursus 

Pengajar Kursus Pengantar Kewajiban Belajar), dan Kursus PBH 

(Pemberantasan Buta Huruf)-

 59 

Seiring dengan Pendidikan Umum, Pendidikan Agama boleh 

dikatakan lebih menonjol di Aceh pada masa revolusi Kemerdeka￾an. Sebagai contoh dapat disebutkan , pada'tahun 1949 di Kuta￾raja didirikan sebuah SMIA (Sekolah Menengah Islam Atas), seba￾gai lanjutan dari SMI (Sekolah Menengah Islam) yang sudah ada 

sebelumnya dan sudah dinegerikan. Selanjutnya atas inisiatif Te￾ungku Ismail Yacob selaku Kepala Kantor Pendidikan Agama Dae￾rah Aceh, SMIA ini diusahakan pula supaya menjadi negeri. Teta￾pi dengan adanya usul yang diketengahkan oleh Wakil Perdana 

Menteri Republik Indonesia Mr. Syafruddin Prawiranegara yang 

pada waktu itu berkedudukan di Kutaraja, yaitu supaya SMIA itudijadikan saja SMA (Sekolah Menengah Atas) bagian C yang khu￾sus menerima lulusan SMI, maka pengnegerian SMIA tersebut ti￾dak jadi terlaksana , ' dan SMIAtersebut tetap berstatus swasta 

sampai tanggal 31 Desember 1950.61

 Kemudian terhitung sejak 

tanggal 1 Januari 1951, berdasarkan ketetapan Menteri Agama No. 

5/1951. SMIA tersebut diambil alih pengurusannya oleh Pemerin￾tah dan dijadikan SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). 

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Mahkamah Agama Daerah 

Aceh yang ada pada masa Jepang bernama (Atjeh Syu Syukyo Ho￾oin, diubah namanya menjadi Dewan Agama Islam Aceh dan seba￾gai kepalanya ditunjuk Teungku Abdul Rahman Meunasah Meucap 

sebagai pengganti Teuku Haji Daj'far Sidiq Lamjabat, yang sudah 

memangku jabatan itu semenjak masa pendudukan Jepang. Yang 

tersebut terakhir ini berhenti dari jabatan itu karena sudah berusia 

lanjut. Pada waktu daerah Aceh sebagai daerah Keresidenan yang 

berada di bawah Propinsi Sumatera Utara, di Kutaraja dibentuk 

suatu Panitia yang diketuai oleh Muhammad Nur El Ibrahimy, un￾tuk menyusun suatu struktur pejabat Agama Aceh. Dalam struktur 

ini ditetapkan bahwa bahagian Pendidikan Agama berada di bawah 

Pejabat Agama Keresidenan Aceh. Sebagai Kepala Pejabata Agama, 

ditunjuk Teungku Muhmamad Daud Beureuelh dan sebagai Kepa￾la Pendidikan Agama, ditunjuk Teungku Muhammad Nur El Ibra￾himy.

 6 2

 Selanjutnya oleh peja'oat - pejabat agama ini, ditetapkan 

sekolah - sekolah Agama yang sebelumnya berstatus swasta, dise￾rahkan pengurusannya kepada pemerintah. Karenanya pada masa 

Revolusi Kemerdekaan di Aceh Kepala Bahagian Pendidikan Aga￾ma Daerah Aceh, telah menerima penyerahan 180 sekolah Madra￾sahlbtida - iyah diseluruh Aceh dan nama-namanya dirobah men￾jadi SRI (Sekolah Rendah Islam). Penyerahan ini dilakukan deng￾an sepucuk surat penyerahan yang dinamakan "Qanun Penyerahan 

' Sekolah - sekolah Agama kepada Pemerintah Daerah Aceh'"63

 Dan 

semenjak penyerahan itu, maka terdapat lebih kurang 750 orang guru dari 180 buah sekolah Madrasah Ibtida-iyah, yang mendidik 

guru negeri dan menerima gaji dari Pemerintah. 

Meskipun situasi negara masih dalam suasana revolusi, tetapi 

kegiatan-kegiatan dalam rangka untuk menggalakkan peningkatan 

kecerdasan rakyat, tetapi tidak dilupakan oleh pemerintah. Seba￾gai contoh dapat disebutkan sebagai berikut - ketika akan dilang￾sungkan Konperensi Penerangan Daerah Aceh di Kutaraja pada 

akhir Desember 1947 sampai awal Januari 1948, oleh Panitia Kon￾perensi tersebut (dalam hal ini Departemen Penerangan) telah me￾nyebarkan poster dan panflet- panflet di seluruh Aceh, yang isinya 

mengajak para putra - putri serta pencinta seni Indonesia pada 

umumnya, untuk ikut berlomba melalui karya - karya mereka. 

Yaitu melalui lukisan -lukisan, poster - poster, pemandangan-pe￾mandangan, gambar-gambar orang besar dan Pahlawan -Pahlawan 

Tanah Air baik yang dahulu maupun yang sekarang, kerajinan 

tangan, tekat menekat, sulam menyulam dan berbagai hasil karya 

baru pada masa kemerdekaan. Juga kepada pengarang-pengarang 

dan penerbit-penerbit buku, diminta supaya mengirimkan buku￾buku dan majalah - majalah yang pernah mereka hasilkan atau ter￾libatkan pada masa itu, Bagi mereka yang karyanya dianggap indah 

dan terbaik menurut penilaian Panitia, akan diberikan hadiah yang 

lumayan. 

Berita mengenai pengakuan Belanda atas kedaulatan Bangsa 

Indonesia atas tanah airnya (sebagai salah satu hasil Konperensi 

Meja Bundar yang akan ditanda tangani oleh Ratu Belanda Juliana 

pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag Negeri Belanda),

 6 5 

menjadikan kegembiraan yang luar biasa pada sebagian besar 

rakyat Indonesia. Sebagai luapan kegembiraan ini, baik di pu￾sat Pemerintahan maupun di daerah - daerah seluruh Indonesia 

diadakan upacara-upacara yang bersifat kenegaraan untuk me￾nyambut berita gembira itu. Juga di Aceh, khususnya di Kutaraja 

(sebagai Ibukota Propinsi), pada tanggal yang sama atau 27 De￾sember 1949 dilangsungkan suatu rapat raksasa yang dihadiri selain 

oleh tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan pimpinan pemerintahan ju￾ga oleh ribuan rakyat Aceh. Pada kesempatan itu, beberapa tokoh 

masyarakat Aceh telah memberikan Pidato sambutan mereka, dian￾taranya termasuk Komisaris Pemerintah Pusat Untuk Sumatera 

Utara, Mr. S.M. Amin. Sebagian dari Pidato Mr. S.M. Amin ini ada￾lah sebagai berikut, "Pada saat yang bersejarah ini-saat yang mem￾buka pintu gerbang Kedaulatan yang akan memberikan jaminan 

lebih besar kepada Bangsa Indonesia, tercapainya cita-cita kita ber￾sama, kebahagiaan , kesentosaan, kesejahteraan, kemakmuran, ke￾tenteraman dan keamanan " 6 6

 Pada bagian lain dari pi￾dato tersebut antara lain juga dikatakan " Bangsa Indonesia 

pada saat ini, berdiri dihadap an pintu gerbang untuk memasuki 

suatu zaman yang baru kedjajaan dan kebesaran. Akan tetapi, 

dalam menudju kearah kedjajaan dan kebesaran jang kekal 

abadi , bangsa Indonesia masih akan melakukan perobahan 

dalam beberapa hal jang mengenai djiwanja untuk dapat me 

. ngatasi segala kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan 

jang masih dihadapi"67 

Dari sebagian sambutan tokoh masyarakat Aceh seperti dise￾butkan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan adanya pengakuan 

kedaulatan itu mulai timbul harapan - harapan baru bagi rakyat 

Indonesia umumnya dan rakyat Aceh khususnya terutama dalam 

menghadapi masa depan mereka. Dàn harapan akan masa depan 

yang lebih cerah, tercermin dalam berbagai kegembiraan rakyat. 

Sebenarnya Republik Indonesia Serikat yang merupakan suatu 

bentuk federasi yang pertama kali dalam negara Republik Indone￾sia, belum memuaskan tokoh-tokoh bangsa Indonesia baik di Pusat 

maupun di daerah. Meskipun kemerdekaan dan kedaulatan telah 

tercapai tetapi perjuangan bangsa Indonesia di dalam mencari susu￾nan dan memperbaiki ikatan-ikatan mereka belum selesai Ben-

tuk federalisme dianggap belum sesuai dengan cita-cita proklamasi 

17 Agustus 1945. 

Dari pandangan seorang tokoh masyarakat Aceh lainnya pada wak￾tu itu, yaitu T.M. Amin (selaku Dewan Pemerintah Daerah) seperti 

di singgung di atas, jelas mengatakan bahwa rakyat Aceh sangat 

mengharapkan bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara 

Kesatuan. 

Dalam perkembangannya berkat perjuangan yang tidak kenal 

lelah dari tokoh-tokoh bangsa dan rakyat Indonesia, maka pada 17 

Agustus 1950, terbentuklah susunan Negara yang lebih memuas￾kan perasaan bangsa Indonesia, yaitu Negara Kesatuan Republik 

Indonesia.

.