kemerdekaan aceh 4

Rabu, 29 Januari 2025

kemerdekaan aceh 4


 



, dan serangan yang 

berlangsung sekitar 30 menit itu, dilakukan dengan menggunakan 

senapan mesin dan granat. Lhok Nga merupakan pangkalan udara 

RI di Aceh yang tangguh dan memiliki perlengkapan perang yang 

cukup baik menurut ukuran masa itu. Memiliki senjata berat dan 

ringan, meriam penangkis udara, meriam pantai, bengkel persenja￾taan yang mampu membuat senjata-senjata ringan dan memperbaiki 

senjata berat. Selain Lhok Nga, Ulee Lheue, Kutaraja, Sigli, Lhok 

Seumawe, Idi, Langsa, Calang, Meulaboh, Tapak Tuan, Ujung 

Batee, Krueng Raya dan Lhok Seudu juga mendapat serangan dari 

pihak Belanda, baik dari laut maupun dari udara. 

Akibat kegawatan ini, maka pada tanggal 12 Agustus 1947, 

di Kutaraja dalam suatu pertemuan Dewan Pertahanan Daerah, 

dibentuk suatu Badan Koordinasi Daerah Aceh, yang dihadiri oleh 

partai-partai dan organisasi-organisasi seperti Masyumi, PNI, Pe￾sindo, PGRI, PUSA dan Muhammadiyah. Sebagai ketua adalah 

Amelz, dibantu oleh Oesman Raliby dan M. Abduh Syam. Tujuan 

Badan Koordinasi Daerah Aceh ini adalah : 

1. Mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan 100% Negara 

Republik Indonesia atas dasar kesatuan dan persatuan. 

2. Membina NRI yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat dan ke￾adilan Sosial. 

3. Mengusahakan dan menegakkan suatu pemerintahan yang 

kokoh, progresif dan berdaulat. 4. Melaksanakan Mobilisasi Umum. 

5. Menyesuaikan kehidupan politik, ekonomi dan sosial untuk ke￾pentingan pertahanan Tanah Air

 47

 . 

Sehubungan dengan agresi I tersebut, Panglima Sumatra 

Suhardjo Hardjo Wardoyo mengirim sebuah radiogram yang ber￾bunyi sebagai berikut : 

pemimpin-pemimpin rakyat aceh. 

pengembalian kota medan terletak ditangan saudara-saudara 

segenap penduduk aceh ttk 

jangan sangsi ttk 

alirkan terus kekuatan aceh ke medan dan jangan berhenti 

sebelum medan jatuh ttk hbs 

panglima Sumatra

 4 8 

Dengan adanya radiogram tersebut, beban yang harus dipikul 

rakyat Aceh menjadi bertambah. Rakyat Aceh memang telah 

membantu Medan Perang Sumatra Timur sejak akhir tahun 1946, 

kini tinggal meningkatkannya lagi. Tugas yang diinstruksikan oleh 

Panglima Sumatra itu, disambut rakyat Aceh dengan penuh tang￾gung jawab. 

Pada tanggal 17 Agustus 1947, bertepatan dengan hari Raya 

Idul Fitri, dibuka suatu tugu peringatan kemerdekaan yang terle￾tak di Taman San Kutaraja. Residen Aceh T.M. Daud Syah mem￾baca teks Proklamasi dan A. Hasjmy selaku anggota Badan pekerja 

perwakilan, membuka selubung tugu yang berwarna merah-putih. 

Setelah hening cipta, Residen membaca amanat Presiden. Dan 

pada malam harinya diadakan suatu rapat umum di salah satu 

gedung bioskop Kutaraja. 

Berhubung dengan masuknya tentara Belanda di beberapa 

daerah di bawah tanggung jawab Divisi X, maka pada tanggal 22 

Agustus 1947, di Bireun disusun kembali sektor-sektor yang ber￾ada di bawah Divisi X, antara lain :

Sektor I daerah pertempuran RIMA dipimpin oleh Letnan 

Kolonel Hasballah Haji, terdiri dari 3 batalyon lebih. 

- Sektor II Tanah Karo, Deli dan Serdang, dipimpin oleh Letnan 

Kolonel Djamin Ginting, terdiri dari 2 batalyon. 

- Sektor III di Simalungun, dipimpin oleh Letnan Kolonel R.Sia￾haan, terdiri dari 2 batalyon. 

- Sektor IV di Asahan dan Labuhan Batu dipimpin oleh Kolonel 

Kasim Nasution, terdiri dari 3 batalyon. 

- Sektor V Aceh Tengah, dipimpin oleh Mayor Teuku Manyak, 

terdiri dari 1 batalyon lebih. 

- Sektor VI, dipimpin oleh Tjut Rachman dengan daerah tang￾gung jawab Resimen V Divisi X, terdiri dari 4 batalyon. 

- Sektor VII daerah tanggung jawab Resimen IV Divisi X dipim￾pin oleh Mayor Hasan Ahmad. 

- Sektor VIII daerah tanggung jawab Resimen Divisi X dipimpin 

oleh Letnan Kolonel A. Wahab Makmur, terdiri dari 2 batalyon. 

Untuk kelancaran komando maka di Sumatra Timur, dibentuk 

sub komando Divisi X dipimpin oleh Mayor A.H. Siahaan °-

Sejak awal agresi I di samping Angkatan Bersenjata yang telah 

disebutkan di atas, tumbuh pula dua resimen Tentara Pelajar, yaitu 

Resimen Tentara Pelajar Islam (TPI) di bawah pimpinan A.K. 

Yakoby dan Resimen Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) 

di bawah pimpinan Yahya Zamzami. TRIP dibentuk secara resmi 

pada tanggal 24 September 1947, dihadiri oleh Wakil Gubernur 

Militer Mayor Sofyan Harun. Anggota TRIP adalah terdiri dari 

pelajar-pelajar SMP, Sekolah Guru Sekolah Tehnik dan SMA, se￾dang anggota TPI umumnya berasal dari pelajar Sekolah Menengah 

Islam dan Perguruan Islam lainnya51

Sebagai akibat dari beberapa serangan pihak Belanda, yang 

berlangsung sejak tanggal 17 - 8 - 1947 sampai dengan Oktober 

1947, atas beberapa tempat strategis di Aceh, yang berarti juga 

peningkatan ancaman Belanda terhadap Aceh, maka Gubernur 

Militer Daud Beureueh pada tanggal 4 Oktober 1947 menyampai￾kan seruannya kepada seluruh rakyat Aceh. Tentara dan lasykar supaya tabah dalam perjuangan dan agar setiap tindakan yang di￾lakukan hendaklah disesuaikan dengan kepentingan negara yang 

sedang menjadi perhatian Internasional

 52

-

Penyempurnaan susunan ketentaraan berjalan terus, pada tang￾gal 10 Nopember 1947, diresmikan pembaharuan susunan Staf 

Divisi Ksatria Pesindo dan Pelantikan Resimen I dengan batalyon￾batalyon dan kompi-kompi yang berada di Kabupaten Aceh Besar. 

Suatu komunike pada tanggal 13 Desember 1947 dari juru bicara 

Divisi Rencong menyatakan, bahwa Kepala Staf Umum Divisi 

Rencong telah melantik Abdurrachman dan Hasan Abbas, masing￾masing dengan pangkat Senapati dan Senapati Muda pada Resimen 

Istimewa Pertambangan. Pada tanggal 14 Desember 1947, dilang￾sungkan konfrensi Mujahiddin seluruh Aceh untuk reorganisasi 

barisan-barisannya. Pada hari itu pula berlangsung Konperensi 

Kilat Kesatria Pesindo Divisi Rencong, yaitu antara para Koman￾dan semua Resimen, untuk memperbincangkan soal-soal sekitar 

pembentukan T.N.I. Dan pada tanggal 18 Desember 1947, ins￾truksi Pesindo daerah Sumatra mengeluarkan pengumuman sebagai 

berikut: 

1. Mulai tanggal pengumuman, segenap angkatan perang Kesatria 

Pesindo seluruh Sumatra serentak untuk mengambil bagian da￾lam usaha pembentukan T.N.I. secara resmi. 

2. Tentang pelaksanaan dalam praktek berkenaan dengan tehnik, 

dan lain-lain dilaksanakan dengan seksama dan bijaksana atas 

dasar perundingan bersama di seluruh Keresidenan oleh pimpi￾nan-pimpinan Dewan Daerah dengan penuh bertanggung jawab 

kepada Dewan Pusat dalam waktu secepat mungkin. 

Akan tetapi masih banyak tindakan yang perlu dilakukan sebe￾lum terwujud satu Tentara Nasional Indonesia yang sungguh￾sungguh53

Setelah kota Tanjung Pura jatuh ke tangan musuh, tentara 

dan lasykar kita mundur ke Pangkalan Brandan dan kota ini dija￾dikan Pusat Markas Komando Pertahanan kita di sektor Barat -

Utara (K S B O) Medan Area. Panglima Tertinggi Angkatan Perang 

Republik Indonesia pada tanggal 4 Agustus 1947 mengumumkan 

perintah penghentian tembak menembak sesuai dengan seruan 

Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Karena bebe￾rapa kesulitan, perintah gencatan senjata di daerah Komando 

Sektor Barat — Utara (KSBO) - baru dapat dilaksanakan pada bu￾lan Pebruari 1948. Pada tanggal 6 Agustus 1947 Panglima Divisi 

X Kolonel Husin Yusuf membentuk Staf Komando Sektor Barat￾Utara dengan komandannya Letnan Kolonel Hasballah Haji. 

Kekuatan KSBO ini terdiri dari 11 Batalyon dan pasukan-pasukan 

lasykar rakyat lainnya54

 Memang agak sulit bagi pasukan kita me￾lawan Belanda di Sumatera Timur. Keadaan medan yang datar 

tidak cocok untuk pertempuran gerilya. Keadaan persenjataan kita 

tidak sesuai untuk pertempuran frontal apalagi untuk menghadapi 

tank dan pesawat udara. 

Pada tanggal 20 Maret 1948, berlangsung Konperensi ke 4 

Pesindo daerah Aceh, dengari mengambil keputusan sebagai beri￾kut : 

1. Memperkokoh susunan organisasi ke dalam untuk menuju masa 

organisasi 

2. Menuju sentralisasi organisasi Pesindo Sumatra Utara. 

3. Melaksanakan rencana 6 pasal Pesindo Daerah Aceh, menuju 

pembangunan dalam masa 3 tahun. Mengusahakan penyempur￾naan TNI dan adanya pertahanan rakyat semesta. 

4. Mengajak segenap rakyat agar menyokong dan berusaha segiat￾giatnya sebagai faktor yang penting bagi pemerintah untuk me￾laksanakan program politik 6 pasal. 

Pada tanggal 23 Mei 1948, Panglima Divisi Rencong dan 

Ketua Umum Pesindo daerah Aceh mengumumkan, bahwa mulai 

tanggal 1 Juni 1948, Kesatria Pesindo Divisi Banteng bergabung ke 

dalam TNI. Gubernur Militer Aceh, Daud Beureueh mempersiap￾kan dekritnya untuk meng-TNI-kan seluruh badan-badan bersen￾jata di Aceh. Namun usaha ini menjadi terbengkalai, oleh karena 

datangnya Presiden Republik Indonesia Sukarno ke Aceh pada 

wakatu itu

 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa; selama masa 

agresi militer Belanda I, di Aceh sudah tersusun suatu kekuatan 

yang terpadu antara pemerintah, tentara, lasykar-lasykar bersen￾jata termasuk pelajar-pelajar dan seluruh lapisan masyarakat. 

Rakyat Aceh dengan segala potensi yang ada, sudah mampu meng￾gagalkan seluruh usaha Belanda yang mengancam kota-kota dan 

tempat-tempat lainnya yang strategis baik di pantai sebelah Timur 

di perairan Selat Malaka maupun di pantai sebelah Barat di perai￾ran Samudra Hindia (Samudra Indonesia). Kemudian rakyat Aceh 

secara aktif mengerahkan kekuatan di daerah pertempuran Medan 

Area Sektor Barat Utara dalam rangka membendung usaha 

Belanda memasuki Aceh melalui Daerah Sumatra Timur. 

Seperti juga di daerah-daerah lain, sesudah persetujuan 

"Renville", keadaan di Aceh semakin bertambah sulit. Situasi yang 

demikian ini menyebabkan daerah Langkat untuk sementara diga￾bungkan dengan daerah Aceh. Tetapi kemudian timbul suatu ma￾salah, yaitu, pelaksanaan satu organisasi tentera tidak dapat di￾realisir, karena tiap-tiap komponen mempunyai hubungan dengan 

politik tertentu. Pimpinan Divisi X, yang dipegang oleh Kolonel 

Husin Yusuf serta Kolonel Sitompul, tidak dapat menguasai selu￾ruh badan bersenjata. Gubernur Militer Tgk. Muhammad Daud 

Beureueh menjadi satu-satunya pergantungan gezag negara dewasa 

itu di Aceh. Akan tetapi pembatasan hak/kewajiban antara Guber￾nur Militer, Panglima dan Pemerintah Sipil, tidak jelas/tegas. Dae￾rah Sumatera Timur yang digabungkan dengan Aceh, tetap me￾nunjukkan gejala hendak melepaskan diri. Bekas-bekas lasykar 

yang belum mendapat penempatan yang wajar, seperti T. Yusuf 

dkk, tampak sebagai suatu golongan yang tidak berdiam diri dan 

menerima begitu saja keadaan baru. Dalam pada itu, di kalangan 

tertentu tetap terdapat ikhtiar-ikhtiar untuk menjadikan Aceh 

suatu daerah Istimewa.56 

Divisi X sebagai gabungan Divisi Gajah I (Aceh) dan Divisi 

Gajah II (Sumatera Timur), adalali suatu gabungan yang tidak 

utuh oleh karena penggabungan itu tidak mempunyai dasar yang 

kuat tetapi hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa orang￾orang Aceh-Tapanuli, dapat bersatu. Lagi pula Divisi yang begitu 

besar tidak dapat dikomando oleh tenaga-tenaga manusia yang 

ada pada waktu itu, mengingat faktor-faktor geografis, etnologis, 

psikologis dan lain-lain faktor. Aliran pikiran pada waktu itu sudah 

mengarah ke sentralisasi komando, sedangkan hal-hal di atas di 

tambah dengan kecakapan perwira-perwira yang ada, mengharus￾kan adanya desentralisasi. Dengan demikian perasaan kesukuan 

belum dapat teratasi, dan orang Tapanuli merasa tidak dapat hi￾dup di Aceh dan kembali ke Tapanuli tanpa perintah.

 57 

Pada tanggal 3 Juni 1947 pemerintah mengeluarkan peneta￾pan yang dimuat dalam Berita Negara No. 24 - tahun 1947, anta￾ra lain berbunyi : 

a. Mulai tanggal 3 Juni 1947 disahkan berdirinya Tentara Nasional 

Indonesia. 

b. Segenap anggota Angkatan Perang dan segenap Lasykar-Lasykar 

bersenjata mulai saat ini dimasukkan serentak kedalam Tentera 

Nasional Indonesia. 

c. Pucuk pimpinan Tentera Nasional Indonesia dipegang oleh 

Panglima Besar Tentera Nasional Indonesia. 

Berhubung seluruh perhatian sedang diarahkan untuk menghada￾pi Agresi Militer Belanda, maka realisasi penggabungan semua 

Lasykar -bersenjata kedalam Tentera Nasional Indonesia di Daerah 

Aceh belum dapat diselenggarakan tepat pada waktunya. 

Guna merealisir penetapan Pemerintah tersebut, dalam rang￾ka penyusunan Tentera Nasional Indonesia di Daerah Aceh, maka 

bulan Desember 1947 Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat dan 

Tanah Karo mengadakan sidang-sidang pendahuluan bersama-sama 

dengan Divisi X/TRI Komandemen Sumatera di satu pihak dan ke￾satuan-kesatuan lasykar bersenjata di lain pihak, yaitu Divisi 

Rencong. Divisi X Tgk. Chiek Ditiro, Divisi Tgk. ChiekPaya Bakong 

dan Divisi Hisbullah. Sidang-sidang itu dipimpin langsung oleh 

Gubernur Militer Jendral Mayor Tituler Tgk. Mohd Daud Beure￾ueh dan dibantu oleh penasehat-penasehat militernya. Adapun 

wakil dari masing-masmg kesatuan ditentukan, yaitu Komandan/Panglimanya dengan disertai oleh 3 orang pengikutnya sebagai 

berikut : 

a. Divisi X/TRI Komandemen Sumatera: Kolonel Husin Yusuf de￾ngan 3 orang pengikutnya. 

b. Divisi Rencong : Nyak Neh dengan 3 orang pengikutnya. 

c. Divisi X/Tgk. Chiek Ditiro: Cek Mat Rahmany dengan 3 orang 

pengikutnya. 

d. Divisi Tgk. Chiek Paya Bakong: Ajad Musi dengan 3 orang pengi￾kutnya. 

e. Divisi Hisbullah : Zainal Arifin Abbas dengan 3 orang pengikut￾nya. 

Pada tanggal 8 Desember 1947 mula-mula dibentuk Panitia Badan 

Perancang Pembentukan TNI dengan susunan keanggotaannya se￾bagai berikut : 

a. Ketua : Kolonel R.M.S. Suryosularso. 

b. Pembantu-pembantu : Jenderal Mayor Tituler Tgk. Amir Husin 

al Mujahid, Letnan Kolonel Tituler Tgk. A. Wahab, Letnal Kolo￾nel Tituler Sutiknp P. Sumarto, Mayor Tituler A. Adami, Mayor 

Tituler Hasan Ali. 

Badan perancang ini setelah mengadakan penyelesaian rencananya, 

maka mengajukan kepada sidang Staf Gubernur Militer yang di 

langsungkan berturut-turut sejak tanggal 20 s/d 31 - Desember 

1947, suatu konsepsi di mana dengan ini dibentuklah sebuah 

Dewan Pimpinan Sementara TNI dengan susunan keanggotaannya 

adalah sebagai berikut : 

a. Ketua : Letnan Kolonel Tituler Tgk. A. Wahab. 

b. Wakil Ketua : Kolonel R.M.S. Kolonel Suryosularso. 

c. Penasehat-penasehat: l.T.M. Daud Syah Residen Aceh. 

2. Tuanku Mahmud Residen Inspektur. 

3. T.M. Amin, Kepala Bahagian Pemerin￾tahan Umum. 

d. Staf Umum : 

Ketua : Kolonel Suryosularso 

Anggota-Anggota 1. Komandan Divisi X TRI Komande￾men Sumatera. 

2. Komandan Divisi Rencong. 3. Komandan Divisi X Tgk. Chiek Ditno. 

4. Komandan Divisi Tgk. Chiek Paya Ba￾kong.

 59 

Pada akhir bulan Mai 1948, Gubernur Militer Daud Beureueh 

berhasil menyatukan Badan-badan bersenjata Aceh menjadi satu 

organisasi TNI. Pada tanggal 13 Juni 1948 dikeluarkan penetapan 

Gubernur Militer Aceh No. GB/59/S-Pen. yang berbunyi sebagai 

berikut : 

1. Mulai tanggal 1 Juni 1948 dalam daerah kemiliteran Aceh, 

Langkat dan Tanah Karo telah ditetapkan 'TNI" yang buat 

sementara waktu dinamakan APRI Divisi X Sumatra. 

2. Mulai tanggal tersebut di atas seluruh kesatuan kelasykaran 

Mujahiddin Divisi Tgk. Chiek Paya Bakong dan lain-lain kesatu￾an bersenjata dalam daerah kemiliteran Aceh, Langkat dan Ta￾nah Karo menjadi lebur dan digabungkan menjadi angkatan 

Perang Divisi X Sumatra. 

3. Mulai tanggal pembentukan Komando dan Staf Komando dari 

Angkatan Perang TNI Divisi tersebut, pimpinan ketenteraan se￾luruhnya berada dibawah pimpinan Komando dan Staf Koman￾do Angkatan Parang TNI Divisi X Sumatra. 

Selain itu .diumumkan pula susunan Divisi X TNI Sumatera 

sebagai berikut : 

1. Komandan Divisi Jenderal Mayor Tituler Tgk. Mohd Daud Beu￾reueh yang pada bulan Oktober 1948 diganti oleh Kolonel 

Husin Yusuf. 

2. Kepala Staf adalah, Letnan Kolonel Cek Mat Rahmany. Anggo￾ta Staf lainnya adalah Abdul Muthallib, Letnan Kolonel M. 

Nasir, Kapten A. Bakar Majid, Mayor Nyak Neh, Mayor Hasan 

Ahmad, Mayor Dr. Sudono, Mayor T. Hamzah, Mayor A. Mu￾zakkir Walad, Letnan Satu T. Ibrahim, Kapten M. Husin, Kap￾ten M. Adam, Mayor A.G. Mutiara, Mayor Z. Arifin Abbas. 

3. Resimen-resimen yang tergabung dalam Divisi ini adalah : 

— Resimen I di Kutaradja dipimpin oleh Letnan Kolonel Has￾ballah Haji. — Resimen II di Bireuen, dipimpin oleh Mayor A. Rahman 

— Resimen III di Meulaboh, dipimpin oleh Mayor T. Manyak. 

- Resimen IV di Kutacane, dipimpin oleh Mayor Jamin Gin￾tings. 

- Resimen V di Kuala Simpang, dipimpin oleh Letnan Kolo￾nel A. Wahab Mamur. 

Kalau kita perhatikan susunan Staf nampaklah tokoh-tokoh 

gabungan dari TRI Divisi X, Divisi Rencong dan Divisi Tgk. Chiek Di 

Tiro. Oleh karena itu peleburan segala pasukan bersenjata ke dalam 

wadah TNI tidak mengalami kesukaran. Dengan demikian di Aceh 

hanya ada satu Angkatan Perang yaitu TNI; dan Acehlah yang mu￾la pertama berhasil membentuk TNI seperti yang direncanakan 

Pemerintah Pusat.61 

Ketika Presiden Sukarno datang di Aceh dengan pesawat RI-

002 mendarat di lapangan Lhok Nga, pada tanggal 15 Juni 1948, 

disambut dengan meriah, baik oleh Pemerintah Daerah maupun 

oleh pemimpin-pemimpin TNI yang baru saja terbentuk. Di lapa￾ngan Udara Lhok Nga, Presiden memeriksa barisan kehormatan 

dan menyaksikan senjata-senjata berat yang kita miliki. Kedata￾ngan Presiden ini disamping untuk membakar semangat rakyat 

yang memang belum pernah dilakukannya di Aceh, sekaligus pula 

menyaksikan kekuatan rakyat Indonesia di Aceh. Selain itu dalam 

suatu rapat raksasa dan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyara￾kat Aceh, Presiden mengharapkan bantuan Pemerintah dan Rakyat 

Aceh untuk membeli pesawat terbang, dalam rangka melancarkan 

komunikasi antar pulau di Indonesia dan dengan Luar Negeri 

(uraian lanjutan mengenai pembelian pesawat terbang ini, lihat 

dalam Sub C di bawah ini ). 

Sesuai dengan perkembangan maka Medio Nope m be r 1948. 

Wakil Presiden mengadakan reorganisasi di Komando Sumatra. 

Mayor Jendral Suhardjo ditarik ke Jawa. Penggantinya Kolonel 

Hidayat, sedang jabatan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan 

Tanah Karo diserahkan kepada Letnan Kolonel Askari.62 

Jatuhnya Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, baru 

diketahui di Aceh pada sore harinya. Setelah menerima berita ini 

A. Gani Mutyara selaku perwira dan Kepala Penerangan TNI Divi￾si X Sumatra melaporkan peristiwa tersebut, kepada Gubernur 

Militer Teungku Mohd Daud Beureueh. Setelah itu A. Gani Mutya￾ra berpidato di Studio Radio Republik Indonesia Kutaradja, men￾jelaskan situasi yang sedang dihadapi dan langkah-langkah yang 

harus di ambil. Kemudian berpidato pula Osman Raliby, Kepala 

Jawatan Penerangan Daerah Aceh dalam nada dan isi yang sama. 

Keesokannya baru berpidato Gubernur Militer dengan penuh se￾mangat yang ditujukan kepada seluruh rakyat, tentera dan pasu￾kan gerilya di Medan Area. Beliau menganjurkan supaya penyera￾ngan yang sudah dimulai dilaksanakan dengan kemenangan.63 

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa di Aceh se￾belum agresi II telah tersusun TNI tanpa ada ekses-eksesnya. Juga 

pemerintah sipil telah mempunyai aparatnya sampai kedesa-desa. 

Oleh karena itu dalam menghadapi agresi II bagi Aceh sudah lebih 

baik keadaannya bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di 

Indonesia. Dalang menghadapi agresi Militer Belanda, Aceh telah 

menyiapkan rencana sebagai ber,ikvt : 

a. Mempersiapkan kekuatan bersenjata untuk perang gerilya, bila 

keadaan menghendaki demikian. Dan memberi penjelasan 

seluas-luasnya kepada masyarakat; tugas ini dilakukan oleh 

Penerangan TNI Divisi X, Penerangan Sipil ditambah badan￾badan penerangan dari partai-partai dan oreanisasi massa lain￾nya. 

b. Mempersiapkan tambahan senjata dari luar negeri, terutama dari 

Malaya. Senjata itu diangkut oleh TNI yang ditugaskan untuk 

itu atau diseludupkan dengan tongkang dan motor boot oleh 

para saudagar. Salah seorang tokoh yang terkenal yang mema￾sukkan senjata ini adalah Mayor John Lie, sebagai pejuang dan pelaut yang ulung sudah sejak Perang Dunia II. 

c. Mempersiapkan aparat-aparat yang harus mengenal tempat￾tempat penting seperti lapangan udara, pemancar radio dll. 

d. Mempersiapkan dana untuk biaya pertahanan daerah Aceh 

sendiri, untuk biaya pasukan di Sumatra Timur, biaya para 

diplomat RI di luar negeri. Sumber dana ini adalah hasil ekspor 

Aceh dan dari dana yang dikumpulkan oleh pedagang-pedagang 

Aceh, seperti N.V. Permai di Penang. 

e. Mempersiapkan logistik dan menentukan lokasi logistik bila 

terjadi perang gerilya. Dan memindahkan gudang-gudang per￾bekalan ke arah pedalaman. 

f. Mempersiapkan lokasi baru bagi pasukan, bila kota direbut 

musuh. Mempersiapkan Kutaradja, Tangse dan Takengon seba￾gai ibu-kota Republik Indonesia untuk menggantikan Yogya.64 

Karena kegagalan agresinya melalui beberapa serangan laut 

di beberapa tempat di Aceh, maka Belanda mencoba menempuh 

dengan cara lain. Yaitu mereka mengadakan propokasi melalui 

Radio Medan yang sudah mereka kuasai. Pada awal Januari 1949, 

Radio Medan menyiarkan bahwa seluruh Aceh telah dikuasai oleh 

Tentera Belanda. Kota-kota besar seperti Kutaradja, Sigli, Langsa 

dan lain-lain telah direbut oleh tentara kerajaan Belanda. Berita 

ini disiarkan pada siang hari dan ditangkap oleh Kepala Perwartaan 

Jawatan Penerangan TNI Divisi X Sumatra, Letnan H Muchtar 

Nasution. Tetapi berita ini kemudian dibantah oleh Radio Rimba 

Raya (Radio Pemerintah RI di Aceh pada masa itu). 

C.Peristiwa-Peristiwa Di Daerah Dalam Kaitan Dengan Kejadian 

Bersejarah Tingkat Nasional. 

Seperti telah diuraikan dalam BAB II di atas, bahwa pada 

masa awal Revolusi, terjadi pertempuran-pertempuran antara ba￾risan-barisan bersenjata Indonesia dan pasukan-pasukan Jepang di 

semua kota-kota besar di Indonesia. Pihak Indonesia beranggapan 

bahwa dalam wilayah kekuasaan Negara Indonesia yang merdeka 

hanya boleh ada satu pemerintah berdaulat, dan kedaulatan itu 

dilambangkan oleh kekuatan bersenjata yang menegakkannya. 

Pengalaman-pengalaman pahit selama minggu-minggu pertama 

merdeka, telah menimbulkan keyakinan bahwa diplomasi tanpa 

dukungan angkatan bersenjata tidak ada hasilnya. Diplomasi ha￾rus berdasarkan kedudukan yang kuat. Salah satu unsur kekuatan 

itu adalah angkatan bersenjata. Karena itu pada tanggal 5 Oktober 

1945, Presiden mengeluarkan sebuah maklumat, mengenai pem￾bentukan Tentera Keamanan Rakyat.65

 Dengan dikeluarkannya 

maklumat tersebut, maka di Aceh juga didirikan API (Angkatan 

Pemuda Indonesia atau Angkatan Perang Indonesia), kemudian 

agar sesuai dengan Maklumat Presiden tersebut, dirubah namanya 

menjadi TK R. 

Agresi Militer Belanda yang pertama, pada tanggal 21 Juli 

1947, terhadap Republik Indonesia, menjadikan persoalan Indone￾sia dibicarakan di forum Internasional. Sehubungan dengan ini 

dibentuk suatu komisi jasa-jasa baik yang lebih dikenal dengan 

nama KTN (Komisi Tiga Negara) yang anggota-anggotanya terdiri 

dari negara Australia (pilihan Republik Indonesia), Belgia (pilihan 

Belanda), dan Amerika Serikat Serikat (pilihan anggota Australia 

dan Belgia). Salah satu tugas komisi ini adalah menyelesaikan ma￾salah pelaksanaan genjatan senjata. Dalam rangka membicarakan 

pelaksanaan masalah ini, tiga opsir KTN, pada tanggal 10 Maret 

1948, telah mengadakan kunjungan ke Aceh untuk melihat situasi 

di sana. Selama di Aceh ketiga opsir ini telah diterima oleh Guber￾nur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Tgk. Mohd. Daud 

Beureueh di Kutaradja. Dan dalam menyambut opsir-opsir KTN 

ini (diantaranya terdapat seorang opsir Tiongkok) perkumpulan 

Chung Hui (suatu perkumpulan orang-orang Cina) Kutaradja, 

telah diadakan suatu resepsi yang dihadiri juga oleh beberapa 

tokoh masyarakat Aceh.66 

Hasil kerja KTN, mengecewakan pejuang-pejuang Indonesia, 

karena dalam kenyataannya Republik Indonesia diharuskan me-

ngakui hasil agresi Militer Belanda. Sesudah diadakan lagi perun￾dingan-perundingan antara RI dengan Belanda, maka pada tanggal 

17 Januari 1948, dicapai lagi suatu persetujuan baru, yaitu Perse￾tujuan Renville. Dalam persetujuan ini Republik Indonesia menga￾kui garis yang ditetapkan van Mook (yaitu suatu garis yang meng￾hubungkan pucuk pasukan Belanda yang oleh pihak Belanda.meru￾pakan tapal-tapal batas antara daerah Republik dan daerah pendu￾dukan Belanda). Juga ditekankan lagi mengenai pembentukan 

Republik Indonesia Serikat üi mana Republik Indonesia merupa￾kan salah satu negara bagian.67

 Keputusan-keputusan yang diam￾bil berdasarkan persetujuan Renville ini, diterima oleh rakyat Aceh 

dengan perasaan was-was, tetapi mereka tidak mengatakan meno￾lak.68 

Setelah persetujuan Renville, van Mook meneruskan pem￾bentukan negara-negara boneka, yang kemudian disusunnya dalam 

suatu federasi boneka. Daerah Aceh sebagai bagian dari Republik 

Indonesia, tidak luput/inceran van Mook untuk dijadikan sebagai 

salah satu Negara Federal. Melalui Tgk. Dr. Mansur, yang menjadi 

Wali Negara Sumatera Timur (sebagai salah satu federal), mengajak 

Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Tgk. Moham￾mad Daud Beureueh, untuk membentuk negera Federal Aceh, 

serta ikut menghadiri dan mengorganisir "Muktamar Sumatra".69 

Ajakan ini disampaikan dalam bentuk surat yang dijatuhkan dari 

pesawat terbang di atas Kutaradja; selain itu juga disebarkan 

pamflet-pamflet atau surat selebaran dibeberapa tempat di Aceh, 

untuk mempengaruhi pendapat umum, agar mendesak Gubernur 

mereka, menerima ajakan itu. Isi surat yang ditanda tangani Dr. 

Mansur tersebut, berbunyi sebagai berikut : 

Kehadapan Paduka Yang Mulia 

Gubernur Militer Aceh di 

Kutaradja. 

Perkembangan perjalanan politik di Indonesia menunjukkan 

semakin jelas, bahwa adalah berfaedah dan baik bagi suku-suku bangsa Sumatera untuk mencapai suatu kerja sama yang akan 

dapat terkoordinir bukan saja dalam lapangan politik, ekonomi, 

tetapi juga dengan beberapa banyak cara lain. 

Itulah sebabnya maka saya boleh memulai menggerakkan 

untuk mengundang wakil-wakil segala daerah Sumatera buat turut 

serta dalam Muktamar Sumatera yang akan dilangsungkan di 

Medan pada tanggal 28 Maret ini. Tujuan konperensi ini yang 5 

hari lamanya mengadakan perhubungan yang pertama di antara 

daerah-daerah dan suku-suku bangsa Sumatera yang berbagai-bagai 

itu, dan saya menyatakan penghargaan saya moga-moga perhubu￾ngan yang pertama ini berangsur-angsur menjadi pertalian yang 

bertambah tambah eratnya untuk kebahagian bangsa Sumatera 

dan bangsa Indonesia seluruhnya. Negara Sumatera Timur akan 

merasa suatu kehormatan untuk menerima perutusan Tuan sebagai 

tamu selama Muktamar ini. yang diundang ialah : 

Aceh 

Tapanuli 

Nias 

Minangkabau 

Lampung 

Inderagiri 

Bengkalis 

Bangka 

Belitung 

S. Selatan 

Bengkulu 

Jambi 

Riau. 

Terlepas dari segala perbedaan paham politik saya menyatakan 

penghargaan saya. supaya Aceh juga akan mengirim suatu perutu￾san mewakilinya pada Muktamar pertama dari suku-suku bangsa 

Sumatera ini. Pembesar-pembesar di Sabang telah diperintahkan 

untuk menyambut perutusan Tuan dan mengawaninya ke Medan 

dengan kapal terbang. 

Wali Negara Sumatera Timur 

Tgk. Dr. Mansur. 

Sehubungan dengan surat ajakan Wali Negara Sumatera 

Timur itu. Gubernur Militer Aceh. Langkat dan Tanah Karo, Tgk. 

Mohd. Daud Beuieueh. mengeluarkan suatu selebaran yang dimuat 

dalam surat kabar Semangat Merdeka tanggal 23 Maret 1949 di Kutaradja, yang isinya menolak ajakan Tgk. Dr. Mansur terse￾but.71

 Isi selengkapnya surat selebaran tersebut adalah, : Perasaan 

kedaerahan di Aceh tidak ada, sebab itu kita tidak bermaksud 

untuk membentuk satu Aceh Raya dan lain-lain karena kita disini 

adalah bersemangat Republiken. Sebab itu juga undangan dari 

Wali Negara Sumatera Timur itu kita pandang sebagai tidak ada 

saja, dari karena itulah kita tidak balas. Di Aceh tidak terdapat 

salah paham sebagaimana diterangkan oleh Belanda itu, bahkan 

kita mengerti betul apa yang dimaksud Belanda dengan Muktamar 

Sumatera itu. Maksud Belanda supaya mendiktekan Tgk. Dr. Man￾sur supaya menjalankan politik dévide et impera nya. Aceh telah 

siap menanti segala kemungkinan yang bakal timbul dari sikap pe￾nolakan itu. Kita yakin bahwa mereka/telah menerima baik unda￾ngan Tgk. Dr. Mansur tersebut, bukanlah orang Republiken, tetapi 

adalah kaki-tangan dan budak kolonialisme Belanda. 

Berdasarkan surat tanggapan Gubernur Militer Aceh, Langkat 

dan Tanah Karo tersebut, jelas bahwa rakyat Aceh tidak mengi￾ngini bentuk Negara Federal gaya van Mook tersebut. 

Mengingat Republik Indonesia masih dalam cengkeraman 

Belanda dan sulitnya komunikasi antar pulau di Indonesia, serta 

hubungan keluar, dan hubungan dengan peningkatan Angkatan 

Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Udara, maka 

pemerintah telah menginstruksikan kepada semua residen dalam 

wilayah Republik Indonesia, supaya membentuk suatu panitia 

(Dakota Fonds) dalam rangka mengumpulkan biaya buat pembeli￾an pesawat udara Dakota.73

 Pada waktu kunjungan Presiden 

Sukarno ke Kutaradja, dalam suatu rapat raksasa dihadapan ribuan 

rakyat Aceh, Presiden telah menyinggung pula masalah itu. Dan 

dalam suatu pertemuan antara Presiden beserta rombongannya de￾ngan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh) ber￾tempat di Atjeh Hotel Kutaradja, Presiden selain telah membicara￾kan berbagai hal sehubungan dengan situasi Negara pada waktu 

itu, juga pada kesempatan itu Presiden telah mengusulkan kepada 

pihak GASIDA apakah mereka sanggup menyediakan sebuah pe￾sawat terbang Dakota (bekas pakai) yang berharga 120.000 Dollar 

Malaya atau sekitar 25 kg. emas. Menjelang akhir pertemuan itu, 

juga Presiden mengatakan, tidak akan mau makan sebelum mende￾ngar jawaban dari GASIDA ya atau tidak, atas usul tersebut. Ketua 

GASIDA M. Djuned Yusuf, Pak Haji Zainuddin dan sesepuh GASI￾DA lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan kepa￾da T.M. Ali Panglima Polem (selaku juru bicara) bahwa mereka 

menerima usul Presiden tersebut. Selanjutnya GASIDA memben￾tuk suatu panitia (untuk pelaksanaan pembelian pesawat itu), 

yang diketuai oleh T.M. Ali Panglima Polem. Berdasarkan pem￾bicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan Aceh akan 

membeli 2 pesawat terbang Dakota, yang satu atas nama GASIDA 

dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. 

Pada bulan Agustus 1>948, T.M. Ali Panglima Polem selaku 

Ketua Panitia pembelian pesawat tersebut, menerima sebuah surat 

dari Residen Aceh beserta sebuah Telegram yang bertanggal dan 

bernomor 23 Agustus 1948, No.3470/KSU/48 dan No. 3461/ 

KSU/48, yang berasal dari Kepala Staf Angkatan Udara Komande￾men Sumatera di Bukit Tinggi, Soejono. Isi telegram tersebut me￾nyebutkan bahwa cek sebesar 120.000 dan 140.000 M.$, telah 

diterima, yang tersebut terakhir diterima pada waktu kunjungan 

Presiden kesana. Dan kedua cek tersebut, telah diteruskan ke KSU 

AURI (Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia) di Yogya. 

Kommodor Suryadharma selaku Kepala Staf, mengucapkan ba￾nyak terima kasih kepada rakyat Aceh atas bantuan itu.75

 Kedua 

pesawat yang dibeli dengan uang rakyat Aceh tersebut masing￾masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Pesawat-pesawat 

ini mulanya mengambil route luar negeri, yaitu Ranggoon (Burma) 

dan India. Sehubungan dengan pembelian pesawat Dakota ini, 

team peneliti belum mengetahui, apakah keresidenan-keresidenan 

lain yang juga membentuk panitia (Dakota Fonds) pada waktu itu, 

juga berhasil membeli pesawat tersebut, seperti yang dilakukan 

oleh rakyat Aceh. Selain memberikan sumbangan 2 pesawat Dakota, untuk ke￾pentingan Revolusi Republik Indonesia, rakyat Aceh juga me￾nyumbang biaya-biaya untuk Pemerintah Pusat di Yogyakarta. 

Pada tahun 1949, Pemerintah Daerah Aceh telah mengeluarkan 

biaya untuk keperluan Pemerintah Pusat di Yogyakarta, sebesar 

S $ 500.000 (Straits Dollar) dengan perincian, untuk perwakilan 

luar negeri (Mr: Maramis) S $ 100.000, untuk Indonesia Office 

Singapore S $ 50.000, untuk Angkatan Perang S $ 250.000 dan 

untuk pengembalian Pemerintah ke Yogya S $ 100.000. Ketika 

semakin meningkatnya pertempuran disekitar Medan (Medan 

Area), banyak pejuang-pejuang Aceh yang dikirim ke sana (lihat 

sub bab B di atas). Dan untuk membantu pejuang-pejuang itu, atas 

inisiatif T.M. Ali Panglima Polem, Aceh telah mengirim pula 48 

ekor kerbau kesana; dan berdasarkan surat yang diterima oleh 

T.M. Ali Panglima Polem dari Bahagian Perbekalan Front KSBO 

(Komando Sektor Barat Utara) di Langsa. kiriman tersebut telah 

diterima di sana. 

D.Usaha Masyarakat Aceh Dalam Beberapa Bidang Kegiatan. 

Munculnya bermacam-macam organisasi pertahanan lokal 

di Aceh pada periode Revolusi Kemerdekaan (1945 - 1950), 

seperti telah disinggung di atas (Bab III), juga ikut membantu 

jalannya pemerintahan lokal di Aceh, yang pada periode itu se￾dang mengalami transisi dalam koordinasinya, yaitu dari sistem 

birokrasi tradisionil seperti dalam bentuk daerah-daerah Uleeba￾lang atau daerah-daerah yang berpemerintahan sendiri (Uleeba￾langschappen atau Zelfbesturende landschappen), ke arah sistem 

birokrasi modern seperti dalam bentuk-bentuk Kecamatan, Kabu￾paten dan sebagainya. Dan seperti di daerah-daerah lain di Indone￾sia yang juga mempunyai berbagai corak barisan kelasykaran dan 

kepemudaan yang berkriteria sendiri-sendiri, maka di daerah Aceh 

juga mempunyai ciri khas tersendiri. Misalnya dalam setiap usaha 

dan gerakan perjuangan kelasykaran/kepemudaan di daerah Aceh 

senantiasa menyadari dan menempatkan dirinya sebagai aparat 

pendukung pemerintah.78 

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, organisasi-organisasi 

seperti API (Angkatan Pemuda Indonesia atau Angkatan Perang 

Indonesia), BKR (Barisan Keamanan Rakyat), TKR (Tentera 

Keamanan Rakyat), BPI (Barisan Pemuda Indonesia), PRI (Pemu￾da Republik Indonesia), PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) 

dan berbagai organisasi kepemudaan dan kelasykaran lainnya, 

ikut menentukan kelancaran pemerintahan di Aceh. Dalam penyu￾sunan penempatan pejabat-oejabat dalam berbagai lembaga peme￾rintahan tingkat daerah, organisasi-organisasi lokal tersebut ikut 

serta menentukannya. 

Sebagai titik awal perubahan pemerintahan di daerah Aceh 

terjadi setelah pecahnya "Peristiwa Cumbok" atau yang lebih 

dikenal dengan istilah "Revolusi Sosial", pada awal tahun 1 946. 

Setelah peristiwa itu mulai terjadi pergeseran-pergeseran dan per￾gantian-pergantian kepemimpinan dalam beberapa lembaga peme￾rintahan tradisionil di Aceh. Misalnya sebelum tahun 1946, istilah 

Kecamatan dan Kabupaten belum dikenal di daerah Aceh. Dan 

istilah-istilah ini baru populer digunakan masyarakat Aceh setelah 

pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh Kerajaan 

Belanda pada awal tahun 1950. Sebelum itu apa yang sekarang di 

sebut wilayah kecamatan adalah semula terdiri dari daera-daerah 

Uleebalang seperti telah disebutkan di atas, yang jumlahnya mele￾bihi dari seratus banyaknya. Daerah-daerah ini adalah daerah yang 

sejak berabad-abad lamanya tidak mengenal pemerintahannya 

yang bercorak collegiaal. Dan sejarah daerah-daerah ini meriwayat￾kan bahwa penduduknya sejak beratus tahun lamanya hidup di 

bawah perintah para Uleebalang yang melaksanakan pemerintahan 

secara dictatoriaal. 

Setelah tahun 1946, seperti yang telah disinggung pada 

awal bab ini, bahwa dalam waktu yang relatif singkat, daerah￾daerah Uleebalang (zelfbestuur) itu terhapus dan sebagai gantinya 

ber-diri kesatuan-kesatuan daerah dengan sebutan "negeri". Seba-

gai pimpinan negeri ini kemudian penetapannya dikeluarkan oleh 

pemerintah Republik Indonesia di Kutaradja. 

Pada awal masa kemerdekaan (tahun 1945), daerah Aceh 

masih berstatus sebagai satu Keresidenan otonom yang berpusat 

pada Propinsi Sumatra Utara, yang berkedudukan di Pematang 

Siantar. Seperti telah disinggung dalam Bab III di atas, bahwa da￾erah Aceh pada masa itu merupakan bagian dari Propinsi Sumate￾ra. Dan pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia di Aceh, 

mulai resmi berjalan setelah Teuku Nyak Arief pada tanggal 29 

September 1945, diangkat sebagai Residen Republik Indonesia 

yang pertama untuk Daerah Aceh, serta Teuku Muhammad Ali 

Panglima Polem (anak Panglima Polem Muhammad Daud, pejuang 

terkenal pada akhir abad XIX dan awal abad XX), sebagai wakil 

Residen, yang diangkat oleh Gubernur Sumatera Mr. T.M. Ha￾san. Residen, pertama Teuku Nyak Arief, dalam menjalankan 

pemerintahannya dibantu oleh suatu lembaga yang juga baru di￾bentuk, yaitu suatu badan perwakilan daerah yang dinamakan 

Komite Nasional Daerah. Badan ini terdiri dari beberapa anggota 

yang ditentukan dari hasil pemilihan rakyat yang telah ditunjuk atas 

pencalonan partai-partai.80

 Dan juga suatu Badan Eksekutif 

Komite Nasional Daerah Aceh, yang terdiri dari beberapa anggo￾ta yang dipilih oleh dan dari kalangan anggota-anggota Komite 

Nasional Daerah sendiri. 

Dengan adanya kedua lembaga seperti tersebut di atas ber￾arti telah terjadi suatu perubahan pokok (prinsipil) dalam sistem 

pemerintahan yang berlaku sebelumnya. Pada masa Hindia Belan￾da, di seluruh Aceh baik di daerah yang disebut Zelfbestuurgebied 

atau daerah yang berpemerintahan sendiri, maupun di daerah 

yang disebut Rechtstreek bestuurd gebied atau daerah yang di￾perintah langsung oleh Belanda, pemerintahan dijalankan oleh per￾seorangan (Uleebalang), yang memperoleh jabatan itu secara tu￾run-temurun. Dan pemerintahan itu dijalankan oleh pejabat itu atas 

kebijaksanaan sendiri yang tidak terikat dengan suatu badan hu￾kum lain. Juga dengan adanya lembaga Eksekutif KomiteNasional Daerah itu, maka mulai tampak adanya Demokrasi 

dalam sistem pemeritahan otonomi lokal di Aceh. Tetapi karena 

sistem itu baru dalam peringkat awal, tentu saja tidak dapat ber￾jalan dengan sempurna atau belum dapat berfungsi sebagai mesti￾nya. Meskipun demikian pemerintahan Republik Indonesia yang 

pertama di daerah Aceh di bawah pimpinan Teuku Nyak Arief, 

yang merupakan pemerintahan pertama dalam alam kemerdekaan, 

adalah suatu langkah penting ke arah pemerintahan rakyat.82 

Karena beberapa persoalan, mengakibatkan pemerintahan 

pertama di bawah pimpinan Teuku Nyak Arief, tidak berlangsung 

lama. Pada Pebruari 1946, Residen Teuku Nyak Arief meletakkan 

jabatan dan sebagai gantinya diangkat Teuku Muhammad Daud 

Syah bekas Zelfbestuurder atau Uleebalang Landschap Idi, di 

Aceh Timur. Dan juga pengurus Badan Eksekutif Komite Nasio￾nal Daerah mengalami perubahan. Ketuanya yang lama, Tuanku 

Machmud diganti dengan Mr. S.M. Amin, yang sebelumnya men￾jabat sebagai Kepala Kehakiman Keresidenan Aceh. 

Seperti telah disinggung di atas, organisasi-organisasi kelasyka￾ran juga ikut menunjang jalannya pemerintahan di daerah Aceh, 

terutama pada masa-masa awal kemerdekaan. Baik semasa Residen 

Teuku Nyak Arief maupun di bawah Residen Teuku Muhammad 

Daud Syah, keduanluanya sama-sama mengikut-sertakan unsur-un￾sur kelasykaran ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Karena ber￾bagai kesulitan (adanya pertentangan-pertentangan dalam masyara￾kat, masalah-masalah dengan Jepang dan lain sebagainya), harus di￾hadapi oleh pemerintah, maka Residen Teuku Nyak Arief dalam 

kenyataannya lebih menyerupai pimpinan dari pada TKR (Tentara 

Keamanan Rakyat).83

 Begitu juga masa Residen Teuku Daud 

Syah, karena timbul berbagai masalah (seperti perselisihan antar 

golongan, peristiwa Cum bok, masalah Husin Al Mujahid, dan lain 

sebagainya), juga mengikut sertakan keaktifan organisasi PESIN￾DO, khususnya Badan Keamanan PESINDO, untuk menjalankan 

pekerjaan kepolisian atau tugas-tugas lain yang berhubungan de-

- ngan masalah keamanan. Dan berkat adanya kerja sama diantara 

pemerintah dengan lasykar-lasykar rakyat dan kepemudaan, maka 

Komite Nasional di bawah pimpinan Residen Teuku Daud Syah, 

segala sesuatu baik yang mengenai pemerintahan dalam arti yang 

terbatas, maupun yang mengenai perekonomian, kesehatan, perta￾nian, kepolisian, keuangan dan sebagainya, berlangsung dengan 

memuaskan.

 85 

Pada permulaan tahun 1947, karena kesulitan komunikasi 

antara Gubernur Sumatera dengan daerah-daerah di Sumatera, 

maka untuk melancarkan roda pemerintahan ini, Sumatra dibagi 

dalam tiga bagian administratif, yaitu Sumatra Utara, Sumatra 

Tengah dan Sumatra Selatan. Dan pada masing-masing daerah ini 

ditempatkan Wakil-Wakil Gubernur dengan sebutan Gubernur 

Muda. Untuk Sumatra Utara sebagai Gubernur Muda, diangkat 

Mr. S.M. Amin (yang sebelumnya sebagai Wakil Ketua Dewan 

Perwakilan Aceh), untuk Sumatra Tengah, Mr. M. Nasroen dan un￾tuk Sumatra Selatan, Dr. Muhammad Isa. 

Sebagai akibat kegawatan agresi Militer Belanda yang pertama 

pada tanggal 21 Juli 1947, yang telah berhasil menduduki sebagian 

daerah Republik Indonesia, termasuk diantaranya Pematang Sian￾tar, tempat kedudukan Gubernur Sumatra, maka Gubernur beserta 

Stafnya terpaksa mengungsi ke Bukit Tinggi. Gubernur Muda Su￾matra Utara dapat ditawan oleh Belanda dan dibawa ke Medan, 

kemudian via Penang kembali ke Kutaradja.86

 Meskipun daerah 

Aceh bebas dari agresi itu, tetapi karena kesibukan-kesibukan yang 

berhubungan dengan masalah peningkatan keamanan, juga kega￾watannya semakin meningkat. Sehubungan dengan hal ini. Wakil 

Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta, dalam fungsinya 

sebagai Wakil Panglima Tertinggi Tentera Republik Indonesia, 

yang sedang menjalankan kekuasaan Pemerintah Pusat Republik 

Indonesia untuk Sumatra di Sumatra, berdasarkan surat kepu￾tusannya No. 3/BPKU/47, tanggal 26 Agustus 1947, yang dike￾luarkan di Bukit Tinggi, menetapkan bahwa Daerah Keresidenan 

Aceh, Kabupaten Langkat dan Tanah Karo, sebagai suatu daerah 

Militer. Dan sebagai pimpinannya diangkat Teungku Muhammad 

Daud Beureueh (yang sebelumnya menjabat Kepala Jawatan Aga￾ma Daerah Keresidenan Aceh), sebagai Gubernur Militer dengan 

pangkat Jendral Mayor Kehormatan. Selanjutnya ditetapkan pula 

Penasehata Gubernur Militer dan pembantunya, yaitu Kolonel 

R.M.S. Suryosularso sebagai Kepala Staf A Ajudan Umum Koman￾demen Sumatra dan Letnan M. Nasir, sebagai Kepala Seksi II.87 

Tugas utama Gubernur Militer, ialah menyusun dan menyatu￾kan Tentera dan Lasykar-Lasykar rakyat ke dalam Daerah kekua￾saan Gubernur Militer, supaya terdapat satu kesatuan Komando. 

Selain itu juga mengkoordinir urusan-urusan umum, baik yang me￾ngenai sipil maupun militer, asalkan saja urusan-urusan ini terma￾suk dalam lingkungan pertahanan. Jadi Residen dan aparat-aparat 

pemerintahan sipil lainnya tetap menjalankan pemerintahan sipil 

sebagaimana biasa. Dengan demikian sebenarnya tugas dan kewaji￾ban Gubernur Militer adalah tetap terletak pada masalah yang ber￾hubungan dengan bidang pertahanan atau kemiliteran saja.88 

Dasar hukum keputusan tugas dan kewajiban ini adalah, Undang￾Undang keadaan dalam bahaya, tanggal 6 Juni 1946 No. 6 dan Pe￾raturan Dewan Pertahanan Negara No. 30, fasal I, Surat dari 

Panglima Tentera Komandemen Sumatra tanggal 25 Agustus 1947 

No. 5/PLL/BPK/47.89 

Tahun 1948 terjadi perubahan lagi dalam status pemerinta￾han Keresidenan Aceh. Berdasarkan Undang-Undang No. 10-1948, 

dibentuk Propinsi Sumatra Utara yang terdiri atas daerah-daerah 

Aceh, Tapanuli dan Sumatra Timur. Sebagai Gubernur yang perta￾ma diangkat Mr. S.M. Amin (jabatan sebelumnya Gubernur Muda 

Sumatra Utara). Pelantikan Gubernur ini dilaksanakan oleh Presi￾den Sukarno yang kebetulan pada waktu itu sedang berada di Ku￾taradja dalam perlawatannya ke daerah Aceh. Perubahan pemerin￾tahan ini menjadikan Pulau Sumatera terbagi atas tiga Propinsi, 

yaitu Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Juga 

dengan penetapan Komisaris Negara untuk Sumatra, Kota Sibolga (yang sebelumnya sebagai ibukota Keresidenan Tapanuli) meng￾gantikan Kutaradja (sebagai tempat kedudukan Gubernur Muda 

Sumatera Utara) sebagai ibukota sementara Propinsi Sumatera 

Utara. 

Dengan pembagian itu, mulai tampak lagi perubahan-peruba￾han, terutama dengan munculnya beberapa lembaga baru dalam 

bidang pemerintahan di Sumatra umumnya dan di Aceh khusus￾nya. Keresidenan Aceh dan Tapanuli yang sebelumnya menyerupai 

Keresidenan otonom, dihapuskan, sedangkan Residen-Residennya 

diperbantukan pada Gubernur. Seterusnya dibentuk Kabupaten￾Kabupaten sebagai kesatuan-kesatuan wilayah yang memperoleh 

otonomi di bawah Bupati, bersama dengan Dewan Kabupaten 

yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih. Para Bupati dalam 

penyelenggaraan urusan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh 

suatu Badan Eksekutif Dewan Perwakilan Kabupaten yang terdiri 

dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Kabupaten. 

Akibat dari pada perubahan dalam lapangan pemerintahan 

ini, timbul masalah-masalah baru yang menyangkut reaksi dari se￾bagian rakyat. Di antara mereka ada yang pro, yang anti dan yang 

tidak menunjukkan sesuatu reaksi atas perubahan itu. Sehubungan 

dengan penunjukan Sibolga sebagai ibukota sementara Sumatera 

Utara, sebagian besar rakyat Aceh menganggap penetapan itu tidak 

tepat dan mereka berusaha supaya penetapan itu dicabut kembali 

dan Kutaradja dijadikan sebagai penggantinya, selama mengharap￾kan Medan dapat direbut kembali.91

 Berbagai pernyataan atau 

resolusi dari organisasi-organisasi kelasykaran, partai-partai dan 

surat-surat kabar dikeluarkan, yang nadanya semua menginginkan 

Kutaradja supaya ditetapkan sebagai ibu kota Propinsi Sumatera 

Utara. 

Seperti telah disinggung di atas, bahwa pelaksanaan Undang￾Undang pembagian Sumatera dalam tiga propinsi, dimulai dengan 

pembentukan suatu Dewan Perwakilan Sumatera Utara yang ter￾diri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Sumatra Utara yang te￾lah dihapuskan dan yang didalam Dewan Perwakilan Sumatra ini me-

wakili Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Rapat pembentukan 

itu dilaksanakan di Tapak Tuan ( Aceh Selatan ). Dan pada saat 

sidang pertama dilaksanakan (pada tanggal 13 - 12 - 1948), Gu￾bernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin (sebagai Ketua Dewan Per￾wakilan mengucapkan sambutan pengarahannya, yang antara lain 

adalah sebagai berikut : 

". . . . kita semua pada saat ini berkumpul diruangan ini di￾kota Tapak Tuan dipantai Atjeh Barat jang indah permai ini, 

dengan maksud melaksanakan kewadjiban jang diletakkan 

atas bahu kita masing - masing jaitu kewajiban memben￾tuk Dewan Perwakilan Provincie Sumatra Utara. Kewajiban 

ini adalah untuk menjempurnakan bunji Undang-Undang 

No. 10 tahun 1948 jang telah disusun sebagai akibat dari 

Undang-Undang Dasar kita jang menghendaki supaja daerah￾daerah kesatuan dalam Republik Indonesia kita ini mempu￾njai Pemerintahan jang bertjorak demokratisch. Bilamana 

nanti Dewan Perwakilan Provincie Sumatra Utara telah 

terbentuk, maka dapatlah dinjatakan bahwa kita telah mem￾peroleh kemadjuan selangkah lagi dalam usaha kita menudju 

kearah pembentukan Negara jang berdasarkan kedaulatan 

rakjat.92 

Dewan perwakilan Sumatra Utara ini beranggotakan 45 orang, 

yang mewakili golongan-golongan dan partaH>artai (Partai Ma￾syumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, 

Partai Nasional Indonesia, SOBSI, Partai Komunis Indonesia, 

PESINDO, Parkindo dan Barisan Tani Indonesia), yang ada di 

Sumatra Utara pada waktu itu. Ke 45 anggota-anggota tersebut 

ialah : 1. Tgk. Ismail Yaccob, 2. Sutikno Padmo Sumarto, 3. 

Amelz, 4. H. Mustafa Salim, 5. Karim Muhammad Duryat, 6. M.Isa 

Daud, 7. Abdul Mukti, 8. Apan Daulay, 9. Tgk. Abdul Wahab, 10. 

M. Abduh Syam, 11. M. Saridin, 12. Bagindo Bujang, 13. Tgk. M. 

Nur El Ibrahimy, 14. Hadely Hasibuan, 15. A. Sutarjo, 16. A. Ka￾rim M.S., 17. Agus Salim, 18. Herman Siahaan, 19. Abdul Rahman 

Syihab, 20. M. Yusuf Abdullah, 21. Dr. Gin do Siregar, 22. Dr. R. 

Sunario, 23. Bachtiar Yunus,« 24.. Dr. Casmir Harahap, 25. D. Dyar

Karim, 26. M. Siregar, 27. Kario Siregar, 28. Nulung Sirait, 29. M. 

Hutasoit, 30. M. Yunus Nasution, 31. S.M. Tarigan, 3 2. Lokot 

Batubara, 33. A. St. Soaloan, 34. S.M. Simanjuntak, 35. Mr. H. 

Silitonga, 36. Mr. R.L. Tobing, 37. Dr. H.L. Tobing, 38. Dr. Warsi￾to, 39. Fachruddin Nasution, 40. Abdul Hakim, 41. Rustelumba￾nua, 42, Patuan R. Natigor. 43. St. Mangaraja Muda, 44. Haji A. 

Azis, 45. Yahya Siregar.93

 Diantara ke 45 anggota-anggota yang 

tersebut di atas, yang hadir dalam sidang Pembentukan Dewan 

Perwakilan Rakyat itu hanya 29 anggota. Dan pada kesempatan 

itu juga telah dipilih 5 orang anggota untuk duduk dalam suatu 

Badan Eksekutif, yaitu Tgk. Muhammad El Ibrahimy (Partai Ma￾syumi), Yahya Siregar (Partai Masyumi) Muhammad Yunan 

Nasution (Partai Masyumi), Amelz (Partai Syarikat Islam Indone￾sia), dan Melanton Siregar (Partai Kristen Indonesia). 

Sidang pembentukan Dewan Perwakilan Propinsi Sumatra 

Utara ini, berakhir pada tanggal 16 Desember 1948. Karena ada￾nya berbagai pernyataan atau resolusi yang dikeluarkan oleh ber￾macam media massa, sehubungan dengan keinginan rakyat Aceh 

supaya Kutaradja ditetapkan sebagai ibu kota sementara Pro￾pinsi Sumatera Utara, maka di antara kcputusannya yang diambil 

dalam sidang itu adalah memenuhi hasrat rakyat Aceh tersebut. 

Dengan sendirinya keputusan Komisaris Negara untuk Sumatera 

sebelumnya, yang telah menetapkan Sibolga sebagai ibu-kota 

Propinsi Sumatera Utara, dicabut kembali. Dan mereka yang 

menghendaki supaya Sibolga dijadikan ibu-kota tersebut, mema￾tuhi keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut. Keputusan 

lain yang diambil dalam sidang tersebut, adalah penetapan pem￾bentukan empat Kabupaten di Keresidenan Tapanuli, setelah 

mengdengar usul dari salah seorang anggota sidang dan kemudian 

didukung oleh beberapa anggota lainnya. Selain itu. sebuah usul 

supaya Wakil Wanita juga terdapat dalam Dewan Perwakilan 

Rakyat itu, juga diterima sidang dengan suara bulat. Baik dari tujuan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat 

Sumatera Utara itu, maupun dari sambutan Gubernur Sumatra 

Utara Mr. S.M. Amin, dan diantara keputusan-keputusan yang 

diambil dari sidang itu, mulai tampak lagi kecendrungan-kecen￾drungan ke arah Kesatuan Republik Indonesia^ dengan suatu pe￾merintahan yang demokratis. Suatu Negara yang segala sesuatu di￾laksanakan atas dasar keinginan rakyat dan setiap tindakan di￾lakukan untuk kepentingan bersama. 

Akibat kegawatan yang ditimbulkan oleh agresi Militer 

Belanda yang kedua kali atas Republik ini pada tanggal 19 De￾sember 1948, yang dalam waktu singkat telah berhasil mendudu￾ki hampir seluruh Daerah di Indonesia, termasuk Yogyakarta 

(tempat pusat kegiatan Pemerintah Republik Indonesia pada 

waktu itu), maka Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moham￾mad Hatta, memberi mandat kepada Mr. Syafruddin Prawira￾negara (selaku Menteri Kemakmuran Republik Indonesia pada 

waktu itu), untuk membentuk suatu Pemerintahan Republik 

Indonesia Darurat di Sumatra.96

 Dan berdasarkan mandat ijii 

Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama dengan beberapa kawan 

seperjuangannya di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), pada tanggal 

22 Desember 1948, membentuk suatu Pemerintahan Republik 

Indonesia Darurat, dengan susunan jabatan dan personalia sebagai 

berikut: 1.Ketua merangkap menteri Pertahanan, Penerangan dan 

mewakili urusan Luar Negeri, Mr. Syafruddin Prawiranegara, 2. Men￾teri Luar Negeri Mr. A.A. Maramis, 3. Menteri Pengajaran, Pendidi￾kan, Kebudayaan, mewakili urusan Dalam Negeri dan Agama. Mr. 

Teuku Muhammad Hasan, 4. Menteri Keuangan dan mewakili 

Kehakiman, Mr. Lukman Hakim, 5. Menteri Perburuhan Sosial, 

Pembangunan dan Pemuda serta Keamanan, Mr. Sutan Muhammad 

Rasyid, 6. Menteri Pekerjaan Umum dan mewakili Kesehatan, 

Dr. Sitompul, 7. Menteri Perhubungan dan mewakili Kemakmu￾ran, Ir. Indracahya. 

Untuk melancarkan roda pemerintahan di daerah Aceh, Ko￾misaris Pemerintahan Pusat di Bukit Tinggi telah menetapkan peja-

bat-pejabat pada lembaga - lembaga pemerintahan daerah, yaitu 

Osman Raliby, sebagai Kepala Jabatan Penerangan J.P Pusposucip￾to, sebagai Kepala Jabatan Keuangan , Ali Hasmy, sebagai Kepala 

Jabatan Sosial , Dr. M Mahyuddin sebagai Kepala Jabatan Keseha￾tan, R. Hadri, sebagai Kepala Jabatan Pertanian, Perikanan dan Ke￾hewanan, Ir. Muhammad Taher, sebagai Kepala Jabatan Pengairan 

Jalan Jalan dan Gedung - gedung, serta Karim M. Duryat, sebagai 

Kepala Jabatan Perguruan, Pendidikan, Kebudayaan .

 98 

Hampir bersamaan waktunya dengan serangan terhadap Yog￾yakarta (Agresi Militer Belanda yang kedua), tentera Belanda juga 

menyerang dan merebut Bukit Tinggi (ibukota Republik Indonesia 

Darurat) dari tangan pejuang -pejuang Republik Mr. Syafruddin 

Prawiranegara beserta Stafnya terpaksa menyingkir dari sana. Ka￾rena di Sumatera daerah Aceh sebagai satu - satunya daerah yang 

bebas dari agresi ini, maka Mr. Syafruddin kemudian pindah ke 

Aceh ( Kutaraja). 

Dalam sidangnya pada tanggal 27 Januari 1949, Dewan Peme￾rintah Daerah, telah menetapkan "Peraturan Pembentukan Kabu￾paten-Kabupaten Daerah Aceh" (Ketetapan No. 5/GSO/ tahun 

1949) dengan bertitik tolak pada Undang - Undang No. 10 tahun 

1948, sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Si￾dang Dewan Perwakilan Rakyat Sumut di Tapak Tuan." Sehu￾bungan dengan perubahan dalam sistem pemerintahan ini, bebera￾pa tokoh masyarakat yang juga anggota- anggota Dewan Perwaki￾lan Rakyat Sumatra Utara (di antaranya Tgk. Muhammad Nur El 

Ibrahimy dan M. Junan Nasution). telah mengadakan perjalanan 

keliling ke beberapa Kabupaten di Aceh, untuk memberi penjela￾san kepada rakyat tentang makna dan isi dari pada unsur otono￾mi dalam pemerintahan demokrasi dan perwakilan yang harus dila￾kukan melalui suatu pemilihan umum yang sebenar - benarnya. 

Propinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari Daerah Aceh, Tapa￾nuli dan Sumatera Timur, yang dibentuk di Tapak Tuan pada bu￾lan Desember 1948, hanya berlangsung kurang lebih 6 bulan. Peru￾bahan sistem pemerintahan yang menyangkut daerah tersebut diatas , terjadi untuk kesekian kalinya. Daerah Aceh bersama dengan 

Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo disatukan lagi menjadi 

satu daerah militer, dan sebagai pimpinannya (Gubernur Militer) 

diangkat lagi Tgk. Muhammad Daud Beureueh dengan pangkat 

Jendral Mayor tituler.100

 Perubahan ini berdasarkan ketetapan 

Pemerintah Darurat Republik Indonesia, tanggal 16 Mei 1949, No 

21/pem/PDRI. Dalam ketetapan ini ditegaskan bahwa kekuasaan 

pemerintahan, baik sipil, maupun militer, dialihkan kepada Gu￾bernur Militer. Jadi dengan sendirinya posisi dari Propinsi Suma￾tera Utara menjadi berakhir. Dan dengan keputusan Pemerintah 

Darurat Republik Indonesia tanggal 17 Mei 1949, No. 22/pem/ 

PDRI, pada pasal I menetapk