kemerdekaan aceh 3

Rabu, 29 Januari 2025

kemerdekaan aceh 3




  180 pucuk 

senjatanya, akibat kepungan API bersama dengan barisan rakyat di￾sana dan besoknya dilanjutkan dengan penyerahan 3 pucuk meriam 

dan 3 gudang amunisi64

. Akibat kepungan API dan barisan rakyat i￾tu, tanggal 3 Desember 1945 pasukan Jepang meninggalkan Seuli￾nrim menuju lapangan udara Biang Bintang, tempat pemusatan ten-

tera Jepang untuk diberangkatkan keluar daerah Aceh. Kemudian, 

di Lhok Nga setelah terjadi pertempuran sengit tanggal 1 Desem￾ber, pihak Jepang menyerahkan 10 pucuk senjata; dan pada waktu 

pasukan Jepang mengosongkan Lhok Nga tanggal 6 Desember 

1945 untuk seterusnya menuju Biang Bintang, pihak TKR dan 

PRI telah berhasil menguasai sejumlah besar meriam pantai bersa￾ma dengan tujuh gudang amunisi

 65

. Sasaran berikutnya ialah 

Biang Bintang; penyerangan dilakukan pada tanggal 7 Desember, 

tetapi pihak TKR dan Barisan Rakyat (PRI) tidak berhasil me￾nguasai berhubung kuatnya pertahanan tentera Jepang di sana. 

Sementara itu Tyokan (Residen) Aceh, S. Iino, berhubung adanya 

tekanan yang terus menerus, juga telah menyerah terimakan 600 

pucuk senjata kepada pihak TKR

 66 

Demikian pula di tempat-tempat lain di luar Wilayah Aceh 

Besar. Dengan taktik yang serupa TKR bersama dengan barisan 

rakyat selalu berhasil memperoleh senjata dari pihak Jepang. 

Umumnya, di Sigli (Pidie), akhir Nopember 1945, sebanyak 200 

pucuk senjata; di Aceh Utara ; yaitu : di Bireuen dan Lhok 

Seumawe (tanggal 18 Nopember, masing-masing sebanyak 320 dan 

300 pucuk, di Juli (20 Nopember, 6 buah Tank, 3 meriam pantai, 

3 senapan mesin, 2 buah truk, 72 karabin dan 7 gudang amunisi), 

di Gelanggang Labu (22 Nopember, sebanyak 620 pucuk), dari 

Krueng Panjoe (tanggal 24 Nopember, disini terjadi pertempuran 

sengit selama 3 hari dan berakhir dengan penyerahan 300 pucuk 

senjata); di Aceh Timur, terutama di Idi dan Langsa, masing-ma￾sing tanggal 9 dan 13 Desember 1945 sebanyak 220 dan 300 pu￾cuk senjata

 67

. Selain itu juga di daerah-daerah Aceh Barat, 

Aceh Selatan dan Aceh Tengah (Aceh Tenggara pada waktu itu 

termasuk Wilayah Aceh Tengah)

 68

Untuk sekedar perbandingan mengenai hasil yang dicapai 

selama kegiatan perebutan dan pelucutan senjata dari Jepang itu 

' dapat dicatat : pada upacara memperingati 6 bulan Kemerdekaan 

Indonesia (17 Pebruari 1946) di Lapangan Biang Padang Kutaraja 

TRI telah dapat mengadakan parade dengan satu resimen pasukan 

lengkap dengan persenjataannya

 69

. Ini belum lagi persenjataan 

yang dimiliki oleh TRI dan lasykar-lasykar rakyat di daerah-dae￾rah kabupaten dan kewedanaan di seluruh Aceh. 

Rupanya aksi perebutan dan pelucutan senjata yang dilancar￾kan oleh API/TK R bersama dengan barisan rakyat telah menye￾babkan posisi tentera penjajahan,Jepang semakin terdesak. Tam￾paknya mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi di 

Aceh. Oleh karena tentera Jepang yang telah dikonsentrasikan di 

Biang Bintang, pada tanggal 15 Desember 1945 meninggalkan la￾pangan terbang itu menuju pelabuhan Ulee Lheue. Dalam perja￾lanan sampai di Kutaraja, mereka sempat juga menyandra bebera￾pa tokoh pimpinan TKR, seperti Syamaun Gaharu, Teuku A. Ha￾mid Azwar, Teuku Mohd. Syah dan lain-lain, yang dibawa bersama 

mereka ke Ulee Lheue. Tetapi, kemudian, setelah melalui perun￾dingan yang dilakukan oleh Tuanku Mahmud dengan para pejabat 

Jepang dan disusul pula dengan ultimatum yang dikeluarkan oleh 

Residen Teuku Nyak Arief, para perwira TKR itu dibebaskan 

kembali. Dan pada tanggal 18 Desember 1945 tentera Jepang ber￾sama dengan pegawai sipil pemerintahannya dengan kapal sekutu 

meninggalkan Ulee Lheue setelah lebih dahulu meledakkan seba￾gian besar kenderaan bermotornya 

Selain itu tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Langsa 

(Aceh Timur), pada tanggal 22 Desember 1945 juga meninggalkan 

Aceh menuju Sumatera Timur (Medan). Tetapi kemudian pihak 

sekutu memerintahkan mereka kembali ke Aceh untuk mengambil 

senjata yang ditinggalkan disana, yakni senjata-senjata yang telah 

berhasil direbut oleh TKR dan lasykar rakyat, bukan senjata yang 

ditinggalkan dengan sengaja yang memang tidak ada. Ini berarti 

tentara Jepang harus menghadapi kembali TKR dan Lasykar 

rakyat yang sudah lengkap persenjataannya - yang hampir selu￾ruhnya berasal dari mereka pula, sehingga sudah dapat diperkira￾kan, bagaimanapun, mereka akhirnya akan menerima kegagalan; 

namun karena perintah itu datang dari sekutu yang telah menga￾lahkannya, mereka tidak bisa mengelak dan terpaksa harus melak￾sanakannya. Untuk membendung tentara Jepang yang menyerbu ke wi￾layah Aceh Timur itu pihak TKR mendatangkan pasukan tam￾bahan dari Kutaraja, Bireuen, Takengon, Lhok Seumawe dan Lhok 

Sukon, sedang pasukan TKR dan Lasykar rakyat yang berada di 

bagian Timur, seperti dari Idi dan lain-lain, sebagian besar dipusat￾kan ke sekitar kota Langsa. Tujuan tentera Jepang pertama-tama 

adalah menduduki kembali kota Kuala Simpang dan Langsa. Maka 

terjadilah pertempuran sengit di sekitar ke dua kota tersebut, se￾perti : Kampung Durian dan Kampung Tupak (tanggal 24 Desem￾ber 1945); pada hari itu juga Kuala Simpang berhasil diduduki1 

dan menyusul Langsa tanggal 25 Desember setelah terjadi pertem￾puran di Kampung Upak dan Bukit Meutuah; Tetapi pasukan 

Jepang itu tanggal 26 Desember terpaksa mundur kembali ke 

Kuala Simpang. Dan setelah pertempuran berlangsung selama 

hampir satu bulan, maka pada tanggal 20 Januari 1946 pihak TKR 

bersama lasykar rakyat berhasil memukul mundur tentera Jepang 

kembali ke Medan.71

 Dengan demikian daerah Aceh berhasil diber￾sihkan dari tentera Jepang dan kekalahannya itu merupakan pu￾kulan berat tidak saja bagi Jepang, tetapi juga bagi sekutu sendiri 

D. Kedatangan tentara Sekutu dan tentara Nica di Daerah Aceh. 

Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, 

bahwa satu-satunya wilayah daerah Aceh yang berhasil diduduki 

oleh sekutu/Belanda selama Revolusi Kemerdekaan adalah Pulau 

Weh (Sabang). Pulau yang terletak di ujung paling Utara Sumatera 

itu, dilihat dari segi kemiliteran memang cukup strategis, sebagai 

basis pertahanan terdepan dari arah Barat Laut Indonesia; karena 

tidak mengherankan, apabila Jepang menjelang saat kekalahannya 

menempatkan kira-kira 10.000 kekuatan tentaranya disana di 

bawah komando Vice Admiral Hirose . Demikian pula dengan 

tentara Sekutu/Belanda, pertama-tama perhatiannya diarahkan ke 

pulau tersebut. 

Pada tanggal 25 Agustus 1945 armada Sekutu yang terdiri 

dari beberapa kapal perang Inggeris telah berada di muka pelabuh-

an Sabang. Dalam pasukan ini ikut serta Kesatuan Marine Belanda 

dan juga Pemerintah Belanda yang menjadi bagian dari AMACAB 

(Allied Military Administration Civil Affairs Branch). Pada hari 

itu juga Hirose menyerah terimakan Pulau Weh kepada Sekutu 

yang disusul dengan pendaratan tentara serta pengibaran bendera 

Inggeris da« bendera Belanda di kota pelabuhan tersebut. Kemu￾dian, untuk menggerakkan administrasi pemerintahan di pulau 

Weh ditetapkan seorang perwira Belanda, Letnan Hamers yang 

bertindak atas nama Panglima Sekutu, tetapi dengan tidak lang￾sung seperti ternyata kemudian atas nama pemerintah Hindia 

Belanda. Setelah itu dipertahankan pula agar Jepang segera me￾ngembalikan ribuan kuli kebun, yang berasal dari daerah Aceh, 

Sumatera Timur dan Tapanuli dan yang selama ini bekerja sebagai 

rumusnya disana, ke tempat asal mereka masing-masing

 78

-

Pada tanggal 29 Agustus 1945 Sekutu memanggil Guntyo 

Sabang, Teuku Abaih, ke kapalnya untuk diberitahukan, bahwa 

Jepang telah menyerah dan karenanya pulau Weh telah diserahkan 

kembali kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini 

Teuku Abaih, sebagai Kepala pemerintahan angkatan Jepang, 

khususnya dan rakyat pada umumnya, mengingat kekuatan ten￾tara Sekutu dan Jepang yang besar di sana, tidak mungkin mela￾kukan tindakan apa-apa selain dari menerima pemberitahuan ten￾tara Sekutu tersebut. Semenjak itu, dengan dukungan sekutu, 

pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) 

mulai dirintis di pulau Weh. Dan sejak tanggal 3 September 1945, 

Letnan Hamers yang selama ini bertindak atas nama sekutu, digan￾tikan oleh seorang pegawai Nica, bernama; CA. Sani dalam ke￾dudukannya selaku Comanding Officer. Untuk melaksanakan tu￾gasnya sehari-hari, CA. Sani dibantu oleh seorang kepala PID 

(Politike Inlichtingen Dienst) yang bernama Emil Dahniel 

Dengan berhasilnya diduduki pulau Weh berarti pula Tenta￾ra NICA mempunyai basis pertahanan yang kuat di ujung Barat 

Laut Indonesia. Dari sini, selama Revolusi Kemerdekaan, mereka selalu melancarkan operasi Militer, melakukan pengawasan yang 

ketat diperairan Selat Malaka dan Samudera Indonesia, terutama 

dalam kaitan dengan usaha mereka untuk mendarat ke daratan 

Aceh dan membendung kegiatan rakyat Aceh mengadakan hubu￾ngan perdagangan dengan luar negeri. Namun usaha-usaha mereka 

itu dapat dikatakan selalu menemui kegagalan, sampai pengakuan 

kedaulatan Indonesia, mereka tidak pernah berhasil mendarat di￾sana dan rakyat Aceh selalu berhasil menembus blokade Belanda itu. 

Di wilayah daerah Aceh lainnya, juga sekutu berusaha untuk 

mendaratkan tentaranya. Beberapa waktu menjelang kekalahan 

Jepang tanggal 14 Agustus 1945, sekelompok pasukan dari 1.3.6. 

force, di bawah pimpinan bekas kepala Pabean Belanda di Sigli, 

B.W. Lefrandt, telah berada di sekitar pegunungan Seulimeum 

(Aceh Besar) dalam rangka membuat persiapan untuk memung￾kinkan penerjunan pasukan payung Sekutu yang akan menunjang 

rencana penyerbuan pertahanan pantai Jepang di pesisir Aceh

 75

Tetapi penyerbuan ini tidak jadi dilaksanakan berhubung Jepang 

telah lebih dahulu menyerah dari rencana penyerbuan vang di￾persiapkan itu. 

Selanjutnya kira-kira dua bulan setelah Jepang menyerah, 

satu kelompok dari A.D.C.8. 1.3.6. force di bawah pimpinan 

Mayor Marteen J. Knottenbelt tiba di Kutaraja dalam rangka penye￾lidikan mengenai keadaan militer, politik dan ekonomi di Aceh. 

M.J. Knottenbelt adalah anggota pasukan Belanda dan datang ke 

Aceh atas perintah SACSEA (Supreme Allied Commander South 

East Asia). Tanggal 1 Oktober 1945, ia bersama dengan seorang 

Kapten Inggeris dan seorang Letnan Belanda diterjunkan di dekat 

Medan: untuk sampai ke tujuannya, yaitu ke ibukota Daerah 

Aceh, Kutaraja, di Medan Knottenbelt menghubungi para pejabat 

Jepang guna memperoleh perlengkapan dan tambahan rombongan. 

Pada tangal 4 Oktober 1945 sebagian rombongannya berangkat 

melalui darat, sedang besoknya tanggal 5 Oktober, Knottenbelt 

berangkat dengan pesawat pembom ringan milik Jepang dan men￾darat di Lhok Nga (Lapangan Udara Militer yang dibuat oleh Je￾pang, kira-kira 14 km arah ke selatan Kutaraja)

 76

Meskipun Knottenbelt datang selaku wakil sekutu, namun 

pada mobilnya selalu dikibarkan bendera kecil Belanda, sehingga 

menjadikan suasana semakin panas karena meluapnya amarah 

rakyat. Selama di Kutaraja, dalam rangka tugasnya, ia berusaha 

untuk mengadakan kontak dengan para pemimpin Indonesia; 

dan kepada berbagai instansi Jepang ia mengirimkan sejumlah ang￾ket yang menyangkut dengan keadaan militer,"politik dan eko￾nomi di Aceh. Berdasarkan jawaban angket yang diterima dari 

para pejabat Jepang, pada tanggal 14 Oktober 1945 Knottenbelt 

dapat mengirimkan laporan kepada Markas Besarnya; dan sejak itu 

dianggap tugasnya telah selesai, meskipun belum berhasil meng￾hubungi para pejabat Indonesia. 

Berdasarkan saran-saran yang diterima dari pihak Jepang, 

rombongan segera akan meninggalkan Kutaraja kembali ke Medan 

atau ke" Sabang. Tetapi berhubung datangnya perintah atasan un￾tuk mengamati perkembangan selanjutnya maka rencana keberang￾katan tersebut diurungkan. Karena itu Knottenbelt kembali ber￾usaha untuk mengadakan kontak dengan para pemimpin Indone￾sia, meskipun dihalangi oleh para pejabat Jepang yang merasa ta￾kut, kemungkinan akan dituduh oleh pihak Sekutu, bahwa mereka 

banyak memberi "angin" kepada para pemimpin rakyat dalam 

menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia di daerah 

Aceh. 

Pada tanggal 15 Oktober 1945, atas "jasa baik" seorang Cina 

peranakan , Goh Moh Wan yang dimasa pendudukan Jepang 

menjadi juru bahasa Kompeitai, Knottenbelt berhasil bertemu 

dengan Residen Aceh Teuku Nyak Arief. Dalam pertemuan yang 

diliputi oleh suasana ketegangan pada hari itu, Teuku Nyak Arief 

sambil mengepalkan tangannya dengan nada keras — sesuai dengan 

yang ditulis oleh Knottenbelt sendiri — menegaskan, bahwa 

"ia suka bekerja sama dengan Sekutu, tetapi tidak dengan orang￾orang Belanda, Penguasa-penguasa Belanda - babi-babi sombong -

tentara Belanda yang keparat ! 77

 Selanjutnya Teuku Nyak 

Arief menegaskan lagi, bahwa masalah pelucutan senjata Jepang 

menjadi tanggungannya; oleh karena itu tentara sekutu tidak ada 

gunanya datang ke daerah Aceh. Dalam pada itu Knottenbelt 

sempat pula bertemu dengan beberapa tokoh pemimpin Indonesia 

lainnya, seperti dengan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah 

Aceh, Tuanku Mahmud, namun pertemuan-pertemuan tersebut le￾bih banyak menemui kegagalan bahkan dengan kegiatan-kegiatan 

yang dilakukan oleh utusan Sacsea itu tampak turut lebih mem￾peruncing suasana di daerah Aceh. 

Sampai dengan awal Nopember 1945 semakin terasa lagi 

bagi Knottenbelt, bahwa keselamatan dirinya di daerah Aceh kian 

hari semakin tidak terjamin; hampir tiap malam selalu datang 

ancaman, berupa pelemparan batu dari jauh dan sebagainya ke 

arah rumah tempat tinggalnya dipinggiran lapangan Biang Padang. 

Karena itu ia mengambil keputusan untuk tidak perlu lagi lama￾lama tinggal di Kutaraja dan tanggal 10 Nopember ia kembali ke 

Medan. Betapa gawat keadaan pada waktu itu dapat dilihat pada 

hari keberangkatan rombongan Knottenbelt; kenderaan; Teuku 

Nyak Arief terpaksa berjalan di depan sekali untuk menghindari 

hal-hal yang mungkin dapat mengancam jiwa utusan SACSEA 

.. 78 

itu. 

Hasil penyelidikan Knottenbelt selama satu bulan lebih di 

daerah Aceh dituangkan dalam bentuk laporan sementara yang 

sekaligus juga merupakan sebuah rekomendasi yang berharga bagi 

Sekutu dan Belanda dalam menentukan sikap selanjutnya. Adapun 

isi laporan itu seluruhnya adalah sebagai berikut : 

Hendaknya dianggap sebagai kewajiban saya untuk memper￾ingatkan disini, bahwa, menurut hemat saya, adanya utusan 

Sekutu di Aceh dapat lebih memperburuk suasana. Sebab￾sebabnya ialah: pertama; perselisihan paham yang timbul an￾tara pihak Jepang dengan Indonesia mengenai masalah 'siapayang berkuasa sekarang' yang sehari kesehari menjadi sema￾kin parah; kedua, dengan adanya utusan sekutu di tempat 

tahulah orang-orang Jepang, bahwa tindak-tanduk mereka itu 

diamat-amati dan tahu pula orang-orang Indonesi, bahwa 

mereka tidak dapat mempengaruhi orang-orang Jepang untuk 

tidak mentaati perintah-perintah SECSEA; ke tiga, Aceh 

dapat diibaratkan sebagai sebuah tong mesiu yang untuk me￾ledaknya hanya diperlukan sebuah nyala api kecil, sementara 

seorang utusan SECSEA yang bijak sana dan ahli tidak akan 

mungkin dapat memadamkannya jika ia telah meledak, akan 

tetapi ia akan berguna sekiranya tangan yang mematikan api 

itu belum sempat mendatangkan suatu malapetaka."

 79 

. Berdasarkan laporan tersebut, maka pihak Sekutu tidak men￾datangkan lagi utusannya ke Aceh dan rencana untuk menduduki 

daerah ini juga diurungkan. Demikian pula dengan pihak NICA, 

meskipun tidak sepenuhnya, mereka juga terpengaruh oleh re￾komendasi Knottenbelt itu. Disini ditulis "tidak sepenuhnya" dan 

"terperfgaruh", karena, seperti juga telah disinggung dimuka, 

tentara Nica, baik yang ditempatkan di Sabang maupun di Medan, 

selalu berusaha untuk mendarat di daerah Aceh, tetapi dengan per￾hitungan yang teliti dan hati-hati. Rencana pendaratan ini lebih 

digiatkan lagj setelah pecahnya aksi Militer Belanda II, 18 De￾sember J 948. Pada waktu itu berkali-kali dilancarkan serangan 

udara terutama terhadap Komando AÏteleri TNI di Lapangan 

Udara Lhok Nga dan beberapa kota lainnya, seperti Ulee 

Lheu , Sigli, Lhok Seumawe, Langsa, Meulaboh dan sebagainya. 

Terhadap serangan-serangan tersebut selalu dibalas dengan meriam￾meriam anti pesawat, yang di Aceh pada waktu itu dikenal dengan 

nama : pompom

 s0

. Demikianpula dengan marine Belanda selalu 

berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat 

yang strategis dan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Aceh, 

seperti : Ulee Lheue, Uyong Bateç, Krueng Raya, Sigli, Ulee Ka￾reung, Lhok Seumawe, Kuala Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan 

lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi 

di perairan Aceh pada waktu itu, antara lain Jan van Bukker, Banda 

dan Jan van Gallen

 8 1

 . Tetapi karena kuatnya pertahanan pantai 

yang di perlengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan 

dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang 

bergelora untuk mempertahankan Kemerdekaan dan hal-hal ini 

selalu diselidiki oleh pihak Belanda, a.l. melalui nelayan yang se￾dang mencari ikan dengan menyeret mereka ke kapal untuk di￾minta berbagai keterangan mengenai situasi di darat maka rencana 

pendaratan Belanda itu selalu ditemui kegagalan. Rupanya apa 

yang ditunggu Belanda agar suatu waktu Aceh tidak lagi, sebagai￾mana disebutkan oleh Knottenbelt, sebagai tong mesiu yang kalau 

dinyalakan, dengan nyala api yang kecil sekalipun, akan menda￾tangkan malapetaka (tentunya bagi sipenyala sendiri), tidak per￾nah tiba sampai mereka mengakui Kemerdekaan Indonesia. REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA DI ACEH 

A. Peristiwa Cumbok dan Aksi TPR 

Pada masa proklamasi kemerdekaan muncul beberapa ke 

lompok elite di Aceh, yang mempunyai orientasi politik tertentu. 

Orientasi politik yang mereka anut tercermin dalam cara mereka 

memberi tanggapan dan penafsiran terhadap proklamasi kemerde￾kaan. Karena itu konstelasi politik sesudah proklamasi atau sela￾ma masa revolusi di Aceh merupakan refleksi dari interaksi yang 

berlangsung antara masing-masing kelompok elite. 

Kelompok elite pertama adalah golongan uleebalang, yang 

secara tradisional menduduki jabatan pemerintahan lokal di Aceh. 

Sungguhpun secara sederhana uleebalang digolongkan kepada satu 

kelompok, tetapi sebenarnya mereka mempunyai status yang ber￾beda-beda. Perbedaan status ini berkaitan erat dengan usia silsilah 

dengan Sultan Aceh, dan otoritas politik dalam tata feodal seperti 

luas daerah kekuasaan, dan sebagainya.

 l 

Kedua, elite ulama, yang secara tradisional merupakan pe￾mimpin spiritual dalam masyarakat Aceh. Seperti halnya dengan 

golongan bangsawan atau uleebalang, mereka yang tergolong da￾lam kelompok elite ulama ini memiliki status yang berbeda sejalan 

dengan kwalitas ilmu yang dimilikinya. Di samping itu, elite ula￾ma ini dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu elite 

ulama modernis dan elite ulama ortodoks. Di antara kedua ke￾lompok ini tampaknya elite ulama modernis yang sudah mempu￾nyai organisasi yang agak teratur yaitu PUSA. Dengan demikian 

mereka mempunyai jaringan komunikasi dengan seluruh anggota￾nya yang tersebar di seluruh Aceh. Sejak masa pendudukan Je￾pang, elite ulama modernis sudah banyak menduduki jabatan ter￾tentu dalam pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan 

keagamaan

 l

. Sedangkan elite ulama ortodok umumnya masih 

tetap meneruskan peran tradisionalnya, terutama di pesantren-pe￾santren. 

Kelompok elite ketiga adalah elite pemuda. Secara kasar 

mereka dapat digolongkan kepada dua golongan, yaitu elite-pe￾muda yang mendapat pendidikan militer Jepang dan elite pemuda 

yang mendapat pendidikan sekolah keagamaan modernis. Mereka 

yang termasuk kelompok elite pertama umumnya bersatu untuk 

membentuk angkatan bersenjata di Aceh yaitu API . Sedangkan 

kelompok elite kedua, membentuk badan-badan kelasykaran. 

Sungguhpun di antara mereka terdapat kepentingan politik terten￾tu, tetapi di antara para elitenya mempunyai hubungan tradi￾sional melalui organisasi Pemuda PUSA 

Kelompok elite yang keempat, yaitu elite minoritas. Mereka 

ini terdiri dari para cendekiawan ataupun pemimpin golongan mi￾noritas yang berasal dari daerah luar Aceh. Oleh karena itu mereka 

hanya terdiri dari beberapa orang saja. 

Proklamasi kemerdekaan dan kevakuman kekuasaan akibat 

penyerahan kekuasaan Jepang kepada sekutu, diberi tafsiran dan 

tanggapan oleh masing-masing kelompok. Di antara kelompok 

elite itu tampaknya kelompok elite ulama (terutama modernis) 

dan pemuda yang amat bernafsu untuk meraih pengaruh pada 

waktu itu. Mereka melihat jalur militer merupakan jalur yang 

ampuh untuk meraih kekuasaan. Justeru itu, mereka membentuk 

lembaga militer atau kelasykaran, yang bakal dijadikan ujung tom￾bak bagi perwujudan orientasi politiknya. 

Di pihak lain. kelompok elite bangsawan yang masih tetap 

meneruskan tradisi pemerintah lokal pada mulanya tidak memben￾tuk pasukan militer ataupun kelasykaran. Keadaan demikian 

barangkali karena mereka sudah cukup puas dengan membina API 

yang dibentuk oleh para pemuda bekas Gyu Gun pada bulan Okto￾ber 1945 yang lalu. Tetapi pembentukan lasykar-lasykar yang me￾rupakan "tentara bayangan" di samping API menimbulkan perasa￾an curiga di kalangan sebagian kelompok elite uleebalang, teruta￾ma di daerah Aceh Pidie. Sikap kecurigaan demikian bisa difahami 

bila dihubungkan dengan hubungan yang terjalin antara pemimpin 

kelasykaran dan pengurus PUSA yang berkedudukan di Pidie tam￾bahan lagi kekuatan API yang belum begitu tangguh. 

Sikap kecurigaan itu pada tingkat tertentu membawa kepada 

konflik seperti yang telah terjadi antara Asisten Residen Teuku 

Cut Hasan dengan satuan lasykar BPI pada waktu upacara pengi￾baran bendera Sang Saka Merah Putih di Sigli, demikian juga hal￾nya dengan peristiwa yang sama antara satuan BPI dengan uleeba￾lang Cumbok di Lameulo.

 6 

Insiden Sigli dan Lameulo itu menimbulkan reaksi luas dalam 

kalangan elite ulama dan kelasykaran, yang mereka tafsirkan sebagai 

perlawanan terhadap pemerintahan republik. Sebaliknya para 

uleebalang di Pidie merasa dirinya terancam oleh reaksi dari pihak 

elite ulama dan kelasykaran. Tambahan lagi persekutuan yang 

terjadi antara sebagian golongan mereka (Teuku Nyak Arief dan 

Teuku Panglima Polem Muhammad Ali) dengan para lasykar dalam 

kedua kasus itu. 

Menyadari situasi demikian, Teuku Umar Keumangan, 

Beureunun, mengambil prakarsa untuk melaksanakan pertemuan 

uleebalang pada tanggal 22 Oktober 1945 di Beureunun, Pidie. 

Pertemuan untuk membicarakan masalah konsolidasi kekuatan 

dan memperkuat solidaritas antara para elite uleebalang tampak￾nya tidak semulus yang diharapkan. Hal demikian tampak pada 

ketidak hadiran beberapa orang di antara mereka. Di sini jelas menunjukkan terjadinya perbedaan kepentingan dari masing-ma￾sing uleebalang. 

Sungguhpun terdapat beberapa uleebalang di daerah Pidie 

yang tidak menghadiri pertemuan itu, namun mereka berhasil 

mengambil sikap terhadap gerakan-gerakan revolusioner yang se￾dang berkembang di daerah Aceh umumnya dan Pidie khususnya. 

Sikap itu diwujudkan dalam langkah usaha pembentukan markas 

uleebalang dibawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Cumbok 

dengan berkedudukan di Lameulo. Untuk menandingi lasykar- la￾sykar yang sudah terbentuk di Aceh, lalu mereka memandang per￾lu untuk membentuk badan kelasykaran yang akan menjadi ujung 

tombak mereka, yaitu Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dan Per￾himpunan Indonesia. 

Di antara kedua kelasykaran itu hanya BPK yang tumbuh dan 

berkembang. Lasykar tersebut dalam perkembangan berikut dipe￾cah atas 3 satuan, yang masing-masing mempunyai missi khusus. 

Ketiga satuan tersebut adalah sebagai berikut : 

1. Barisan Cap bintang dengan tugas utama menghadapi per￾lawanan rakyat yang menentang kekuasaan para uleeba￾lang. 

2. Barisan cap sauh dengan tugas utama di bidang usaha 

keuangan untuk membiayai gerakan mereka. 

3. Barisan cap tombak dengan tugas utama menangkap para 

pemimpin rakyat (lasykar) yang menentang atau meng￾halang-halangi mereka

Sifat dan tujuan yang melandasi pembentukan lasykar BPK 

ini tentu menimbulkan suasana yang tidak nyaman dengan lasykar lainnya, terutama BPI/PRI yang sudah mengembangkan sayap di 

daerah-daerah keuleebalangan di Pidie. Suasana tidak nyaman 

terasa dalam rangka meraih pengaruh di kalangan masyarakat luas, 

terutama di daerah basis BPK, yaitu Lameulo. Suasana tidak aman 

dalam proses inter-aksi mereka pada tingkat tertentu menimbulkan 

konflik. Di antaranya dapat disebutkan tindakan penangkapan 

terhadap beberapa anggota satuan PRI di Lameulo pada tanggal 

3 November 1945. Malahan pada tanggal 8 November 1945 kan￾tor PRI Lameulo mereka duduki.

 10 

Perlakuan yang diterima oleh satuan lasykar PRI di Lameulo 

dengan segera disampaikan ke markas induknya di Kutaraja sehing￾ga menjadi persoalan yang pelik bagi pemerintah daerah. Karena 

PRI adalah juga merupakan suatu lasykar yang cukup tangguh 

pada waktu itu di Aceh. Karena itu pemerintah daerah mengkha 

watirkan jangan terjadi tindakan balas dendam. Mengha 

dapi situasi demikian. Tuanku Mahmud yang menjabat sebagai 

Ketua Komite Nasional Daerah terpaksa mengirimkan wakil ke 

Lameulo untuk memperdamaikan sengketa yang terjadi antara 

PRI dan BPK "

Suasana hubungan yang berlangsung antara markas Ulee￾balang dengan lasykar-lasykar di Aceh tampaknya kian hari kian 

bertambah tegang. Dalam suasana tegang itu berkembang 

issue tentang pembentukan Comité van ontvangst di Lameulo 

yang bertujuan untuk mempersiapkan kedatangan Belanda. Issue 

tersebut dipergunakan oleh pihak kelasykaran dan kelompok revo￾lusioner untuk menyudutkan gerakan markas uleebalang Setelah berhasil mematahkan gerakan PRI di Lameulo, Markas 

Uleebalang mengalihkan perhatiannya ke Sigli, yaitu untuk mem￾peroleh senjata dari serdadu Jepang yang bakal meninggalkan 

daerah Aceh. Tindakan ini perlu dilakukan secepatnya agar sen￾jata itu jangan jatuh ke tangan lasykar-lasykar revolusioner. -Un￾tuk mewujudkan rencana tersebut satuan BPK berangkat me￾masuki kota Sigli pada tanggal 25 November 1945. Rencana pihak 

BPK itu cepat diketahui oleh PRI. Oleh karena itu satuan mereka 

juga memasuki kota Sigli untuk menghalang-halangi agar senjata 

jangan diserahkan kepada pihak BPK. 

Kedatangan dua kelompok lasykar yang saling bertentangan 

untuk memperoleh senjata dari tangan serdadu Jepang menimbul￾kan suatu hal yang pelik baik di pihak Jepang maupun di pihak 

TKR. yang pada waktu itu amat kecil jumlahnya. Ini dapat di￾mengerti karena kedua satuan lasykar saling mengklaim dirinya 

sebagai yang berhak. Untuk menghindari jangan sampai terjadi 

krisis antara kedua lasykar, pihak TKR menawarkan jasa baik agar 

pihak Jepang mau menyerahkan senjata kepada TKR. Namun 

pihak Jepang tampaknya tidak berhasil diyakinkan oleh TKR. 

Malahan mereka memberi jawaban bahwa pemerintah pendudukan 

Jepang masih terikat perjanjian dengan sekutu

 13

Tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata Jepang me￾nyerahkan sebagian senjata kepada satuan lasykar BPK. Tindakan 

itu menimbulkan suasana genting antara BPK dengan PRI. Akibat￾nya terjadilah bentrokan senjata antara kedua lasykar itu pada 

permulaan Desember 1945. Bentiokan senjata yang berlangsung 

antara BPK dan PRI di Sigli mengundang perhatian pemerintah 

daerah. Atas inisiatif pemerintah daerah melalui TKR , pertempu￾ran yang berlangsung di Sigli dapat dihentikan (6 Desember 19-

45). Jalan penyelesaian yang ditempuh yaitu pengosongan kota 

Sigli oleh kedua lasykar, penyerahan- keamanan kota Sigli kepada 

TKR , dan penyerahan senjata kepada TKR.

 14

-

Dengan terhentinya pertempuran di kota Sigli tidak berarti 

perdamaian telah tercapai. Ketetapan yang telah disetujui bersama itu, tidak seluruhnya ditaati. Pertempuran masih saja berlangsung 

di luar kota; dan Markas Uleebalang ternyata tidak mengembali￾kan seluruhnya senjata yang diperoleh dari Jepang kepada TKR. 

Kemudian, tanggal 10 Desember Markas Uleebalang untuk kedua 

kalinya mengadakan pertemuan di kediaman Teuku Laksamana 

Umar, Uleebalang Njong di Luengputu. Hasil pertemuan itu telah 

turut memperuncing suasana kembali dan ini berarti tidak meng￾hiraukan lagi ketentuan yang telah disepakati bersama di Sigli, 

adalah mereka setuju agar Markas Uleebalang bertindak lebih 

tegas lagi untuk menanggapi dan kalau perlu membunuh para 

pemimpin yang menentang gerakan mereka. Dan diharapkan akhir 

Desember 1945, pelaksanaan rencana ini sudah dapat selesai. 

Untuk merealisasi keputusan pertemuan Luengputu, tentara 

Markas Uleebalang, BPK, segera bertindak. Mereka mulai melepas￾kan tembakan-tembakan terhadap kampung-kampung yang diper￾kirakan sebagai tempat pemusatan kekuatan lawan mereka; ke￾mudian disusul pula dengan aksi pembakaran gedung-gedung yang 

diperhitungkan akan digunakan sebagai pertahanan atau tempat 

pertemuan pemuda-pemuda dan pemimpin-pemimpin lawannya 

itu. Tanggal 16 Desember 1945, BPK dengan senjata-senjata berat 

yang dimilikinya, menembaki kampung-kampung di sekitar 

Luengputu dan Meutareum yang memang selama ini menjadi tem￾pat pemusatan para pemuda, terutama dari organisasi PRI. Dan 

tanggal 20 Desember 1945 mereka membakar gedung sekolah 

agama di Tieteu serta kantor-kantor kehakiman di beberapa tem￾pat. 

Untuk menghadapi tindakan Markas Uleebalang yang sema￾kin meningkat itu, di pihak lain para pemimpin dan pemuda yang 

jiwanya tampak semakin terancam, mulai pula mengkoordinir diri 

secara lebih terpadu. Pada tanggal 22 Desember 1945, mereka 

mendirikan suatu organisasi yang diberi nama : Markas Besar Rak￾yat Umum (MBRU) dengan tempat kedudukan sementara di 

Gam pong Garut dan kemudian dipindahkan ke kota Sigli. Organi￾sasi ini ternyata mendapat sambutan hangat dari sebagian besar 

rakyat kecil; di mana-mana di seluruh daerah Pidie didirikan ba￾risan-barisan perjuangan yang tunduk di bawah komando MBRU 

itu. Akibatnya Markas Uleebalang lebih meningkatkan lagi serang￾an-serangannya; pada tanggal 30-3 1 Desember 1945, tembakan￾tembakan mereka kembali diarahkan ke Meutereum.Langga, Ilot 

dan Lala, sehingga kampung-kampung di sekitarnya mengalami 

kerusakan berat. 

Dalam pada itu Markas Besar Rakyat Umum (MBRU) juga 

mulai bergerak. Gerakan mereka diawali dengan sebuah Maklumat 

y'ang ditujukan kepada kaum muslimin pengikut mereka yang po￾kok isinya adalah jangan membakar rumah dan mengambil harta 

orang, serta orang-orang yang ditangkap harus diperlakukan de￾ngan baik

 18

. Suatu seruan yang secara psikologis telah dapat 

menarik simpati rakyat tetapi sebelumnya dilupakan oleh pihak 

Markas Uleebalang walaupun mungkin saja, seperti umumnya da￾lam suatu pertempuran, isi maklumat tersebut tidak terlaksana 

sepenuhnya. Sementara itu kekacauan tidak saja terjadi di wila￾yah-wilayah Lameulo, Beureunun dan Luengputu, tetapi telah me￾luas hampir ke seluruh wilayah Pidie, sejak dari Meureudu perba￾tasan Aceh Utara sampai ke daerah uleebalang XII Mukim Pidie 

pada perbatasan Aceh Besar. 

Dengan bertambah luasnya "perang saudara" di wilayah 

Pidie itu, Pemerintah Daerah di Kutaraja semakin khawatir akan 

bahaya yang sedang mengancam, terutama dalam kaitan dengan 

kekuatan perjuangan yang pada waktu itu sangat dibutuhkan un￾tuk menghadapi kemungkinan tentara NICA, yang memang se￾bagaimana telah diuraikan di muka telah merencanakan, melan￾carkan penyerbuan ke daerah Aceh. Karena itu, tanggal 6 Janu￾ari 1946 Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat 

Daerah Aceh (badan yang mengkoordinir kegiatan militer di 

daerah Aceh, didirikan dalam bulan Desember 1945) mengadakan 

sidangnya yang pertama untuk membahas situasi di Pidie. Dan 

kemudian dilanjutkan dengan sidangnya yang kedua tanggal 

8 Januari; dalam memberikan pendapat dan juga laporan, ialah Ketua Markas Umum sendiri (Syammaun Gaharu, dari TKR), 

Teungku Mohammad Daud Beureueh dari Mujahidin, Ali Hasjmy 

dari Pesindo (keduanya dalam sidang pertama tidak hadir), Ismail 

Yakob (salah seorang tokoh PUSA, tetapi di sini mewakili PNI) 

serta Husein Yusuf dan Teuku Muhammad Syah, yang keduanya 

mewakili TKR . Setelah sidang selesai dan demikian pula sete￾lah adanya desakan dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah 

Aceh, pada tanggal 8 Januari itu Pemerintah Republik Indonesia 

Daerah Aceh, bersama dengan Markas Umum Perjuangan dan Per￾tahanan Rakyat Daerah Aceh (disingkat Markas Umum Daerah 

Aceh) mengeluarkan Maklumat dan Ultimatum yang ditujukan 

kepada Markas Uleebalang di Lameulo. Kedua pernyataan ini 

ditandatangani oleh Wakil Residen Aceh, Teuku Panglima Polem 

Mohammad AH dan Syammaun Gaharu, selaku ketua Markas 

Umum Daerah Aceh. 

Dalam Maklumat tersebut Pemerintah Daerah dan Markas 

Umum Daerah Aceh menyatakan, setelah diadakan penyelidikan 

secara mendalam, bahwa mereka yang mengadakan perlawanan di 

daerah Cumbok, Lameulo dan di tempat-tempat lain dalam wila￾yah Pidie adalah "musuh Negara Republik Indonesia". Dan di￾peringatkan bagi orang-orang yang telah terpengaruh agar meng￾hindari diri dari mereka, kalau tidak mereka juga akan dikenakan 

hukuman'sesuai dengan kesalahannya . Sedang Ultimatum 

yang mengiringi Maklumat tersebut, isinya memerintahkan me￾reka, yang telah dinyatakan sebagai musuh Negara Republik 

Indonesia itu, mulai hari Kamis tanggal 10 Januari 1946, jam 12 

siang, supaya menghentikan perlawanan dan menyerah; kalau 

tidak, mereka akan ditundukkan dengan kekerasan . 

Ternyata Ultimatum yang dikeluarkan Pemerintah itu tidak 

diindahkan sama sekali oleh pihak Markas Uleebalang. Aksi-aksi 

mereka tidak menjadi reda, bahkan semakin meningkat. Daerah￾daerah yang cukup parah dilanda oleh aksi perlawanan mereka, selain Lameulo, juga Keumala, Beureunun, Luengputu, Panteraja, 

Trienggading, Meureudu dan lain-lain. Ada dua faktor yang cukup 

menentukan, sehingga Markas Uleebalang menolak untuk menye￾rah. Pertama, perhitungan mengenai adanya kemampuan mereka 

untuk bertempur sampai tercapai kemenangan, mengingat per￾senjataan yang mereka miliki jauh lebih kuat, bila dibandingkan 

dengan TKR, apa lagi dengan senjata yang dimiliki barisan pengi￾kut Markas Besar Rakyat Umum (MBRU). Kedua, "hukuman" 

yang dijatuhkan kepada mereka justeru oleh Pemerintah sendiri , 

melalui Maklumatnya itu sebagai pengkhianat dan musuh Negara, 

bahkan dipertegas lagi oleh kelompok lawannya, sebagai kaki 

tangan NICA

 22

 . pengkhianat Bangsa dan Agama

 23

. tampak￾nya terlampau berat dirasakan dan besar sekali konsekwensinya. 

Dengan "hukuman" yang dijatuhkan itu mereka telah dapat mem￾perkirakan setelah menyerah akhirnya juga mereka setidak- tidak￾nya terbatas terhadap para pemimpin mereka-akan dihadapkan ke 

"pengadilan revolusi" sesuai dengan suasana revolusi pada waktu 

itu. Oleh karena itu mereka bertekad lebih baik meneruskan per￾lawanan dan mati di medan pertempuran. 

Setelah batas waktu yang ditentukan berlalu, maka TKR 

dengan didukung oleh barisan yang berada di bawah komando 

MBRU mulai bertindak. Satu demi satu kota-kota. seperti Meureu￾du, Luengputu, Beureunun dll.. dalam waktu yang relatif singkat 

berhasil dibersihkan dari pengikut Markas Uleebalang. Kemudian 

seluruh kekuatan diarahkan ke Lameulo. yang belum dapat di￾kuasai. Dengan didukung oleh satuan-satuan tambahan yang khu￾sus didatangkan dari Kutaraja. akhirnya pada tanggal 13 Januari 

1946, TKR berhasil merebut kota kedudukan Markas Uleebalang 

itu, meskipun selama ini tentara mereka. Barisan Penjaga Keaman￾an (BPK) dengan sekuat tenaga selalu mempertahankannya. 

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dalam 

suasana kemenangan, pada hari itu juga (13 Januari) Markas Besar 

Rakyat Umum (MBRU) mengeluarkan sebuah Maklumat yang 

memberitahukan bahwa kekuatan Markas Uleebalang telah dapat 

dipatahkan dan karena itu diharapkan kepada seluruh lapisan ma￾syarakat agar tetap tenang. Ditegaskan lagi, bahwa merampas dan 

menggelapkan harta pihak lawan dilarang keras; sedangkan senja￾ta-senjata yang dirampas dari mereka harus diserahkan kembali 

kepada Markas Besar Rakyat Umum (MBRU)

 24

Setelah kota Lameulo jatuh, sisa-sisa pasukan Barisan penjaga 

keamanan (BPK) bersama dengan para pemimpin Markas Ulee￾balang lainnya, termasuk Teuku Muhammad Daud Cumbok sendi￾ri, mengundurkan diri ke gunung-gunung dengan maksud hendak 

meneruskan perlawanan secara bergerilya. Namun dalam waktu 

tiga hari saja, yaitu pada tanggal 16 Januari 1946, mereka dapat 

ditangkap semuanya. Mereka yang tertangkap itu terutama para 

pemimpin mereka, dibawa ke Sigli, lalu ke Sanggeue untuk dimin￾takan berbagai keterangan sehubungan dengan kegiatan mereka 

selama ini; dan selanjutnya untuk "diadili". Kemudian untuk 

lebih diketahui dan dipahami oleh segenap lapisan masyarakat 

mengenai gerakan Markas Uleebalang yang telah berhasil dipatah￾kan itu, pada tanggal 17 Januari 1946, sekali lagi Markas Besar 

Rakyat Umum (MBRU) mengeluarkan sebuah Maklumat. Pada 

dasarnya isi Maklumat, yang diberi nama "Maklumat Penjelasan" 

itu, adalah merupalcan kelengkapan penjelasan dari Maklumat yang 

terdahulu ( 13 Januari)

 2 

Kekalahan yang diderita oleh pihak gerakan Cumbok di 

Pidie itu agaknya disebabkan oleh pelbagai faktor. Faktor perta￾ma yaitu gerakan mereka kurang mendapat bantuan dari para 

elite uleebalang di daerah lain, karena para uleebalang di Aceh 

pada waktu itu terpecah atas beberapa golongan mengenai panda￾ngan mereka terhadap kemerdekaan. Akibatnya gerakan Cumbok 

itu hanya terbatas pada beberapa daerah keuleebalangan yang 

mempunyai ikatan solidaritas dengan Teuku Muhammad Daud 

Cumbok. Faktor kedua yaitu kelihaian dan kepintaran golongan 

lasykar rakyat menggunakan simbol-simbol keagamaan dan kemer￾dekaan dalam rangka menarik perhatian dan pengaruh dari seba￾gian besar rakyat Aceh. Dengan mengemukakan simbil-simbol ke￾agamaan dan kemerdekaan, pihak lasykar memandang dan meng￾klaim gerakan mereka sebagai tugas suci keagamaan. Untuk mene￾guhkan gerakan mereka, pihak lasykar tidak segan-segan mengemu￾kakan fatwa-fatwa yang diperoleh dari beberapa orang ulama. 

Reaksi emosional yang dipertunjukkan oleh para anggota BPK 

seperti penganiayaan kepada ulama dari pihak lasykar dan tem￾bakan yang mereka lakukan terhadap bangunan keagamaan, ma￾langnya dimanfaatkan oleh pihak lasykar untuk membenarkan 

tuduhan mereka. 

Faktor ketiga yaitu keberhasilan dari para elite kelasykaran 

mempengaruhi pendapat umum di ibukota keresidenan Aceh. Me￾dia komunikasi yang terdapat di Kutaraja, terutama surat kabar 

Semangat Merdeka sangat aktif mempengaruhi pendapat umum 

mengenai gerakan itu . Keberhasilan mereka mempengaruhi 

massa lewat media, karena media tersebut dikelola oleh para 

aktivis mereka. 

Faktor yang terakhir yaitu keberhasilan mereka merangkul 

pihak pemerintah daerah baik sipil maupun militer. Keberhasilan 

ini tampak aliansi yang berbentuk antara pihak lasykar revo￾lusioner dengan pemerintah daerah (residen dan komite nasional 

daerah) dan militer, yaitu TKR dalam menumpas gerakan cumbok 

tersebut. 

Penumpasan terhadap gerakan Cumbok itu rupanya belum 

memuaskan hati bagi sebagian pemuda revolusioner yang terlalu 

berharap banyak. Amir Husin Al Mujahid, yang pada waktu se￾belumnya adalah ketua pemuda PUSA, memandang bahwa masih 

banyak pejabat baik bersifat lokal maupun kedaerahan (keresi-

denan) yang harus dibersihkan . Untuk merealisasikan renca￾nanya itu ia membentuk satuan lasykar khusus dengan sebutan 

Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pada bulan Januari 1946 di 

Idie. 

Langkah pembersihan pertama yang ia lakukan yaitu terha￾dap beberapa orang uleebalang yang mereka pandang feodal di 

Aceh Timur. Beberapa orang uleebalang, di antaranya Teuku 

Abdullah Paloh, Teuku Ali Basyah, Teungku Arifin dan Teungku 

Sulong dicopot dari jabatan mereka baik sebagai zelfbesturder 

maupun sebagai kontroleur atau asisten residen. Sebagai penggan￾tinya ditunjuk orang-orang yang mereka anggap revolusioner 

Setelah melakukan gerakan pembersihan di Aceh Timur, 

mereka mengalihkan perhatian ke bagian Aceh lainnya, terutama 

ke daerah Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar. Teungku Amir 

Husein Al Mujahid menyadari bahwa satuan TPR yang ia miliki 

tidak begitu kuat untuk melakukan gerakan yang demikian besar. 

Untuk* mengamankan dan melicinkan gerakan yang ia lakukan, 

perlu diadakan persekutuan dengan pihak TRI. Lalu ia menjalin 

hubungan dengan Mayor Husin Yusuf, yang pada waktu itu men￾jabat sebagai ajudan dan staf umum Divisi V TRI di Bireun

 2Ö

Dan rupanya kedua tokoh ambisius ini mempunyai kesamaan pi￾kiran dalam melakukan gerakan pembersihan. 

Kerjasama yang dijalin antara TPR dan TRI ini memberi 

dorongan pada Teungku Amir Husin Al Mujahid untuk meng￾gerakan satuan TPR ke luar daerah Aceh Timur. Dalam gerakan 

penjarahan yang ia lakukan tatkala ia menuju ke Kutaraja, satuan 

lasykar TPR Teungku Amir Husin Al Mujahid berhadapan dengan 

lasykar Teuku Inbrahim Panglima Agung di Cunda, Lhok Seu￾mawe

 30

 . Akibatnya terjadi bentrokan fisik antara kedua lasykar tersebut, yang masing-masing pihak ingin mempertahankan kedau￾latannya. Rupanya pasukan Teuku Ibrahim Panglima Agung cu￾kup tangguh untuk dikalahkan oleh TPR. Oleh karena itu, pihak 

TPR terpaksa meminta bantuan lasykar Mujahiddin dari Teungku 

Muhammad Daud Beureuh untuk mengakhiri perlawanan yang di￾berikan oleh pasukan Teuku Ibrahim tersebut.

 31 

Setelah berhasil mengalahkan perlawanan lasykar Teuku 

Ibrahim, maka lasykar TPR scara lempang menuju ke Kutaraja. 

Sepanjang rote yang dilalui, mereka melakukan penjarahan terha￾dap uleebalang-uleebalang yang mereka anggap perlu diganti. Di 

Kutaraja satuan TPR mendapat bantuan dari lasykar kesatria Pesin￾do. Gabungan lasykar TPR dengan Pesindo inilah yang menerus￾kan gerakan penjarahan terhadap uleebalang-uleebalang di pantai 

Barat Aceh.

 32 

Kerjasama yang terjalin antara TPR - TRI (Husin Yusuf) -

lasykar Pesindo, menimbulkan nafsu yang meluap-luap pada diri 

Teungku Amir Husein Al Mujahid. Tambahan lagi mabuk keme￾nangan yang ia peroleh selama gerakan penjarahan. Kesemua ini 

mendorong dirinya untuk menuntut lebih banyak. Sikapnya itu 

dituangkan dalam bentuk tuntutan agar residen Teuku Nyak 

Arief dan Komandan Divisi V TRI Sumatera di Aceh Kolonel 

Syammaun Gaharu supaya meletakkan jabatan.

 33 

Demi untuk tetap terpeliharanya keutuhan dan persatuan 

bangsa yang sangat dibutuhkan pada waktu itu dan untuk tidak 

terjadi pertumpahan darah yang lebih besar lagi. maka Teuku 

Nyak Arief dan Syammaun Gaharu bersedia meletakkan jabatan￾nya. Pada awal bulan Maret 1946, Teuku Nyak Arief menyerah￾terimakan jabatan Residen Aceh kepada Teuku Muhammad Daud-Syah, uleebalang Idi Rayeuk yang sebelumnya telah me￾mangku jabatan sebagai Asisten Residen Aceh Timur dan kemu￾dian sebagai Asisten Residen diperbantukan pada kantor Residen 

Aceh. Sedang jabatan Teuku Nyak Arief sebagai Staf Umum TRI 

Komandemen Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler, 

tanpa lebih dulu mendapat persetujuan Komandan Tertinggi TRI 

Sumatra, telah diserah-terimakan bersama dengan pangkatnya — 

kepada Teungku Amir Husein Al Mujahid, pimpinan tertinggi 

TPR itu. Kemudian Teuku Nyak Arief diasingkan ke Takengon 

dan pada tanggal 4 Mei 1946 Pemimpin Rakyat yang telah meng￾habiskan usianya untuk kemerdekaan tanah airnya itu meninggal 

diinia di saria

 3

 . 

Selanjutnya, setelah staf Divisi TRI mengadakan pertemuan 

di rumah kediaman Teuku Panglima Polem Muhammad Ali (Wakil 

Residen Aceh), maka Kolonel Syammaun Gaharu juga menyerah￾terimakan jabatannya kepada Husin Yusuf, salah seorang ba￾wahannya (Ajudan Staf Umum Divisi dengan pangkat Mayor) yang 

telah mengadakan hubungan rahasia di Bireun dengan Teungku 

Amir Husein Al Mujahid, sehubungan dengan rencana gerakan 

TPR itu

 35

. Dan tanggal 12 Maret 1946, berdasarkan Maklumat 

TRI No. 4 tahun- 1946 yang dikeluarkan oleh "Jendral Mayor 

Teungku Amir Husin Al Mujahid", selaku "Anggota Staf Umum 

TRI Komandemen Sumatra" (pangkat dan jabatan yang diperoleh 

dari Teuku Nyak Arief) disusunlah staf pimpinan TRI Aceh (Di￾visi V TRI Sumatera) yang baru, yaitu : Sebagai Komandan Divisi, 

Husin Yusuf dengan pangkat sama dengan Syammaun Gaharu, 

Kolonel; Wakil, Nurdin Sufi dengan pangkat letnan Kolonel dan 

Kepala Staf Divisi, Bachtiar dengan pangkat Mayor; serta dileng￾kapi dengan personalia, kepala-kepala bagian divisi sampai kepada 

. e 36 

staf pimpinan resimen. Tindakan-tindakan Teungku Amir Husin Al Mujahid bersama 

dengan TPR-nya itu, rupanya telah menimbulkan kegelisahan da￾lam masyarakat Aceh, termasuk dalam kalangan militer sendiri. 

Banyak yang tersinggung dengan perlakukan mereka, yang diang￾gap tidak wajar, terhadap para pemimpin yang salama ini dinilai 

oleh rakyat besar jasanya dalam membina Negara Republik Indo￾nesia di daerah Aceh. Rasa tidak senang itu semakin meluas, sete￾lah ternyata Teungku Amir Husin Al Mujahid sendiri, kemudian 

menjadi orang terkemuka dalam militer dan berkuasa di Aceh. 

Karena itu tidak mengherankan ketika dari kalangan militer tim￾bul sebuah kelompok yang merencanakan untuk menyatuhkan 

Teungku Amir Husin Al Mujahid dari kedudukannya. Pada akhir 

April 1946 kelompok ini berhasil menculik Teungku Amir Husin 

Al Mujahid di tempat ia menginap, Hotel Aceh, Kutaraja. Kemu￾dian dia dibawa ke Sigli dan diserahkan kepada Teungku Abdul 

Wahab Seulimum, seorang tokoh Markas Besar Rakyat Umum 

(MBRU) yang pada waktu itu telah ditunjuk sebagai pejabat Bu￾pati Kabupaten Pidie. Di Sigli, Teungku Amir Husin Al Mujahid, 

direncanakan oleh kelompok yang menculiknya, akan dipertemu￾kan dengan Syammaun Gaharu dan dalam pertemuan itu ia akan 

diminta untuk memberi penjelasan serta sekaligus mempertang￾gungjawabkan apa yang telah dikerjakannya selama ini. Tetapi di 

sana, berkat usaha para pengikutnya. Teungku Amir Husin Al 

Mujahid berhasil dibebaskan dan selamat dari baliaya yang sedang 

mengancamnya, sehingga ia dapat kembali menduduki jabatannya 

semula37

Setelah peristiwa penculikan Teungku Amir Husin al Muja￾hid, maka berakhir pula revolusi sosial yang telah banyak menelan 

korban jiwa, harta dan tenaga justeru disaat sedang bergeloranya 

Revolusi Kemerdekaan Indonesia di daerah Aceh. Sejalan dengan 

aksi tersebut, daerah-daerah keuleehalangan yang terdapat di Aceh 

dirubah sebutannya menjadi negeri yang kemudian berubah lagi 

menjadi kecamatan. Pada setiap negeri dibentuk lembaga peme￾rintahan yang disebut bestuur comitie (dewan pemerintali negeri) yang beranggota lima orang wakil rakyat. Salah seorang di antara￾nya menjabat sebagai kepala negeri 

Dengan berakhirnya revolusi sosial, tidak berarti kegelisahan 

dalam masyarakat Aceh berakhir pula. Adanya usaha-usaha dari 

anasir-anasir yang tidak berhak untuk mengambil harta peninggal￾an pihak uleebalang yang telah dikalahkan itu dan tidak terjamin￾nya keselamatan jiwa, dengan adanya penganiayaan-penganiayaan 

terhadap famili mereka atau yang dianggap sebagai sisa-sisa pengi￾kut mereka, bukan tidak mustahil akan menyebabkan meletusnya 

perang saudara kembali. Untuk ini pemerintah daerah harus me￾ngatasinya secepat mungkin. Sehubungan dengan harta pening￾galan mereka, Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Badan 

Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, pada tanggal 24 

Juni 1946 telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 1/1946, 

yaitu : "Peraturan Tentang Menguasai atau Memiliki Harta Benda 

Peninggalan Uleebalang-Uleebalang Daerah Aceh" . 

Dalam peraturan itu (pasal 1) dikemukakan, untuk menyelesaikan 

masalah tersebut, Pemerintah Daerah ditugaskan untuk memben￾tuk Majlis Penimbang. Adapun susunan pengurus Majlis Penim￾bang yang kemudian dibentuk oleh Pemerintah Daerah itu, adalah 

sebagai berikut : sebagai ketua I, II, III, IV, V dan VI, masing-ma￾sing ditunjuk, Teungku Abdul Wahab Seulimum (Bupati Pidie), 

M. Husein, Teungku Haji Mustafa Ali, Hasan Ali, Teuku Moham￾mad Amin dan Teungku Itam Peureulak; sedang Panitera umum 

ditunjuk Teungku Nyak Umar

 4 

Sehubungan dengan masalah adanya gangguan/penganiayaan 

terhadap famili atau yang dituduh sebagai sisa-sisa pengikut Mar￾kas Uleebalang, dalam rangka menjamin keselamatan mereka, 

juga Pemerintah Daerah mengeluarkan sebuah ketetapan, yaitu : 

Ketetapan Residen Aceh tertanggal 13 Agustus 1946, No. 59/ 

NRI

 41

. Dalam ketetapan itu disebutkan tempat tinggal khusus bagi mereka dan selama di sana kepada mereka diberikan sokong￾an sebanyak 100 Rupiah,- sebulan ditambah dengan sumbangan 

beras seperti yang diberikan/dibagikan kepada pegawai negeri 

pada waktu itu. Adapun tempat yang dimaksud sebagai tempat 

tinggal mereka yang dianggap "berbahaya" itu tidak lain adalah 

Kota Takengon dan sekitarnya. Di sana mereka ditempatkan pada 

tiga tempat yang terpisah, yaitu : desa Sadong (Teuku Nyak Arief 

ditempatkan di sini), penjara Takengon, dan penginapan Suka 

Jaya

 42

. Dan di antara mereka yang dinyatakan ditahan, tetapi 

tidak sempat dibawa ke Takengon berhubung keluar dari Daerah 

Aceh, ialah Syammaun Gaharu dan Teuku A. Hamid Azwar, dua 

tokoh militer yang sebelumnya aktif berusaha untuk mengakhiri 

perang saudara di daerah Pidie, namun karena keduanya berseli￾sih paham dengan pihak TPR, maka mereka dinyatakan juga se￾bagai orang yang "berbahaya", dan karenanya perlu "diaman￾kan". Mereka yang ditahan itu, kemudian secara bertahap mulai 

dibebaskan, yaitu setelah dilakukan penilaian oleh Badan Penye￾lidik Keadaan orang-orang Tahanan Rakyat, suatu Badan yang di￾bentuk Pemerintah Daerah pada bulan April 1947 dengan ang￾gota-anggotanya terdiri dari Teuku Mohammad Amin (mewakili 

pemerintah), Teungku Abdurrachman dari Masyumi dan Teungku 

Ishak Amin dari Pesindo Namun baru pada tahun 1949 para 

tahanan itu dinyatakan bebas semuanya. 

Dengan usaha-usaha yang ditempuh Pemerintah Daerah, se￾bagaimana diuraikan di atas, diharapkan perang saudara yang telah 

berlangsung selama 6 bulan lebih itu tidak akan terulang lagi. 

Dengan demikian seluruh tenaga dapat diarahkan sepenuhnya bagi 

perjuangan menghadapi ancaman pihak kolonial Belanda yang 

pada waktu itu semakin giat berusaha untuk menduduki Indonesia 

kembali. 

B. Masa Agressi dan Pergantian-pergantian Bentuk Pemerintahan 

Di Aceh

Dan masa proklamasi hingga aksi militer I hampir seluruh wi￾layah Aceh - kecuali pulau Weh - luput dari pendudukan Belan￾da. Rupanya Belanda agak kurang bernafsu untuk menundukkan 

Aceh terlebih dulu. Sikap demikian barangkali berkaitan erat de￾ngan pengalaman yang mereka alami baik dalam perang Aceh mau￾pun tatkala menjelang pendudukan Jepang di Aceh. Hal lain yang 

tidak kurang penting yaitu perhatian mereka (Belanda) yang masih 

terpusat untuk memusnahkan pemerintah pusat Republik Indone￾sia di Yogyakarta. 

Namun bagaimanapun, sebagai bagian dari wilayah Republik 

Indonesia, pergolakan-pergolakan yang terjadi pada bagian Indo￾nesia lainnya ikut bergema ke daerah Aceh sebagaimana diperli￾hatkan dalam pelbagai bentuk. Oleh karena itu setiap kebijaksana￾an yang ditempuh oleh pemerintah pusat Republik Indonesia 

akan terpengaruh dalam kehidupan pemerintahan di Aceh.Demi￾kian halnya dengan setiap tindakan yang dilakukan oleh Belanda 

terhadap pemerintah republik. 

Salah satu di antaranya yaitu penataan kembali terhadap 

organisasi ketentaraan yang dilakukan oleh pemerintah republik 

pada bulan April 1947. Dalam penataan tersebut, divisi Gajah I 

digabungkan dengan divisi Gajah II dengan sebutan Divisi X TRI, 

dengan kedudukan komandonya di Bireuen

 44

. Pemilihan lokasi 

Bireuen itu dilakukan karena kota Medan sudah berada di bawah 

kekuasaan sekutu. 

Di samping Divisi X, di Aceh juga sudah tumbuh beberapa 

satuan bersenjata kelasykaran yang secara umum mempunyai 

tujuan yang sama dalam mempertahankan pemerintah republik. 

Satuan kelasykaran tersebut meliputi, kesatria Pesindo/Divisi 

Rencong, Divisi Teungku Chiek Ditiro, Divisi Teungku Chiek 

Paya Bakong (TPR), dan Mujahiddin. Pasukan bersenjata yang terdapat di Aceh baik TRI maupun 

lasykar-lasykar bersenjata tersebut di atas, ikut ambil bagian un￾tuk menghadang tentara sekutu, tatkala mereka mendarat di 

Medan (bulan Desember 1946). Dari bulan ke bulan pasukan 

Aceh yang ikut ambil bagian di Medan Area semakin bertambah. 

Maka untuk mengkoordinasi pasukan tersebut, dibentuk suatu 

resimen yang diberi nama Resimen Istimewa Medan Area, yang 

lebih dikenal dengan nama singkatan RIMA. Pimpinan RIMA 

nula-mula adalah Mayor Hasan Ahmad, kemudian Mayor Tjut 

Rahman. Susunan dan kedudukan dari pasukan RIMA adalah 

sebagai berikut : 

- Batalyon I dipimpin oleh Kapten Hanafiah, berkedudukan di 

Kampung Lalang. 

- Batalyon II, pimpinannya adalah Kapten Nyak Adam Kamil, 

berkedudukan di Kerambil Lima. 

- Batalyon III, berkedudukan di Kelumpang; pimpinannya 

berganti-ganti, yaitu Kapten Alamsyah, Kapten Ali Hasan dan 

Kapten Hasan Saleh. 

- Batalyon IV, pimpinannya Kapten Burhanuddin, berkeduduk￾an di Binjai 

- Batalyon di bawah pimpinan Wiji Alfiah, di Sunggal. 

- Batalyon dari Divisi Rencong, di bawah pimpinan Mayor Nyak 

Neh berkedudukan di Kampung Lalang. 

Kesatuan lasykar dari Divisi Teungku Chiek Di Tiro dan dari Divisi 

Teungku Chiek Paya Bakong masing-masing dipimpin oleh Teung￾ku Thaleb dan Gam Basyah Samalanga. Ditambah lagi lasykar dari 

Aceh Tengah di bawah pimpinan Teungku Ilyas Leube

 46

 . 

Dari apa yang telah dikemukakan di atas ternyata bahwa mes￾kipun Belanda belum memasuki daerah Aceh, namun rakyat Aceh 

telah menggerakkan/mengerahkan pasukan dan lasykar bersenjata 

ke daerah Sumatera Timur, bukan hanya untuk membantu perla￾wanan di sana, tetapi juga sekaligus untuk menutup pintu bagi 

Belanda masuk ke Aceh. Dengan dilakukannya agresi militer Belanda I, pada tanggal 

21 Juli 1947, maka hampir seluruh wilayah Tanah Air kita dilanda 

oleh serangan Belanda tersebut. Daerah Aceh yang mempunyai 

kawasan pantai yang ratusan kilo meter panjangnya siap meng￾hadapi blokade Belanda. Sehari sebelum meletusnya agresi terse￾but, di Kutaraja telah dipersiapkan pertahanan pantai dan penga￾walan umum untuk menghadapi setiap kemungkinan. Pada hari 

agresi itu, terjadi serangan angkatan udara Belanda di Lhok Nga, 

suatu lapangan terbang dekat Kutaraja. Pesawat Belanda tersebut 

datang dari Sabang melalui Ulee Lhuee

 4