kemerdekaan aceh 3
180 pucuk
senjatanya, akibat kepungan API bersama dengan barisan rakyat disana dan besoknya dilanjutkan dengan penyerahan 3 pucuk meriam
dan 3 gudang amunisi64
. Akibat kepungan API dan barisan rakyat itu, tanggal 3 Desember 1945 pasukan Jepang meninggalkan Seulinrim menuju lapangan udara Biang Bintang, tempat pemusatan ten-
tera Jepang untuk diberangkatkan keluar daerah Aceh. Kemudian,
di Lhok Nga setelah terjadi pertempuran sengit tanggal 1 Desember, pihak Jepang menyerahkan 10 pucuk senjata; dan pada waktu
pasukan Jepang mengosongkan Lhok Nga tanggal 6 Desember
1945 untuk seterusnya menuju Biang Bintang, pihak TKR dan
PRI telah berhasil menguasai sejumlah besar meriam pantai bersama dengan tujuh gudang amunisi
65
. Sasaran berikutnya ialah
Biang Bintang; penyerangan dilakukan pada tanggal 7 Desember,
tetapi pihak TKR dan Barisan Rakyat (PRI) tidak berhasil menguasai berhubung kuatnya pertahanan tentera Jepang di sana.
Sementara itu Tyokan (Residen) Aceh, S. Iino, berhubung adanya
tekanan yang terus menerus, juga telah menyerah terimakan 600
pucuk senjata kepada pihak TKR
66
Demikian pula di tempat-tempat lain di luar Wilayah Aceh
Besar. Dengan taktik yang serupa TKR bersama dengan barisan
rakyat selalu berhasil memperoleh senjata dari pihak Jepang.
Umumnya, di Sigli (Pidie), akhir Nopember 1945, sebanyak 200
pucuk senjata; di Aceh Utara ; yaitu : di Bireuen dan Lhok
Seumawe (tanggal 18 Nopember, masing-masing sebanyak 320 dan
300 pucuk, di Juli (20 Nopember, 6 buah Tank, 3 meriam pantai,
3 senapan mesin, 2 buah truk, 72 karabin dan 7 gudang amunisi),
di Gelanggang Labu (22 Nopember, sebanyak 620 pucuk), dari
Krueng Panjoe (tanggal 24 Nopember, disini terjadi pertempuran
sengit selama 3 hari dan berakhir dengan penyerahan 300 pucuk
senjata); di Aceh Timur, terutama di Idi dan Langsa, masing-masing tanggal 9 dan 13 Desember 1945 sebanyak 220 dan 300 pucuk senjata
67
. Selain itu juga di daerah-daerah Aceh Barat,
Aceh Selatan dan Aceh Tengah (Aceh Tenggara pada waktu itu
termasuk Wilayah Aceh Tengah)
68
.
Untuk sekedar perbandingan mengenai hasil yang dicapai
selama kegiatan perebutan dan pelucutan senjata dari Jepang itu
' dapat dicatat : pada upacara memperingati 6 bulan Kemerdekaan
Indonesia (17 Pebruari 1946) di Lapangan Biang Padang Kutaraja
TRI telah dapat mengadakan parade dengan satu resimen pasukan
lengkap dengan persenjataannya
69
. Ini belum lagi persenjataan
yang dimiliki oleh TRI dan lasykar-lasykar rakyat di daerah-daerah kabupaten dan kewedanaan di seluruh Aceh.
Rupanya aksi perebutan dan pelucutan senjata yang dilancarkan oleh API/TK R bersama dengan barisan rakyat telah menyebabkan posisi tentera penjajahan,Jepang semakin terdesak. Tampaknya mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi di
Aceh. Oleh karena tentera Jepang yang telah dikonsentrasikan di
Biang Bintang, pada tanggal 15 Desember 1945 meninggalkan lapangan terbang itu menuju pelabuhan Ulee Lheue. Dalam perjalanan sampai di Kutaraja, mereka sempat juga menyandra beberapa tokoh pimpinan TKR, seperti Syamaun Gaharu, Teuku A. Hamid Azwar, Teuku Mohd. Syah dan lain-lain, yang dibawa bersama
mereka ke Ulee Lheue. Tetapi, kemudian, setelah melalui perundingan yang dilakukan oleh Tuanku Mahmud dengan para pejabat
Jepang dan disusul pula dengan ultimatum yang dikeluarkan oleh
Residen Teuku Nyak Arief, para perwira TKR itu dibebaskan
kembali. Dan pada tanggal 18 Desember 1945 tentera Jepang bersama dengan pegawai sipil pemerintahannya dengan kapal sekutu
meninggalkan Ulee Lheue setelah lebih dahulu meledakkan sebagian besar kenderaan bermotornya
Selain itu tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Langsa
(Aceh Timur), pada tanggal 22 Desember 1945 juga meninggalkan
Aceh menuju Sumatera Timur (Medan). Tetapi kemudian pihak
sekutu memerintahkan mereka kembali ke Aceh untuk mengambil
senjata yang ditinggalkan disana, yakni senjata-senjata yang telah
berhasil direbut oleh TKR dan lasykar rakyat, bukan senjata yang
ditinggalkan dengan sengaja yang memang tidak ada. Ini berarti
tentara Jepang harus menghadapi kembali TKR dan Lasykar
rakyat yang sudah lengkap persenjataannya - yang hampir seluruhnya berasal dari mereka pula, sehingga sudah dapat diperkirakan, bagaimanapun, mereka akhirnya akan menerima kegagalan;
namun karena perintah itu datang dari sekutu yang telah mengalahkannya, mereka tidak bisa mengelak dan terpaksa harus melaksanakannya. Untuk membendung tentara Jepang yang menyerbu ke wilayah Aceh Timur itu pihak TKR mendatangkan pasukan tambahan dari Kutaraja, Bireuen, Takengon, Lhok Seumawe dan Lhok
Sukon, sedang pasukan TKR dan Lasykar rakyat yang berada di
bagian Timur, seperti dari Idi dan lain-lain, sebagian besar dipusatkan ke sekitar kota Langsa. Tujuan tentera Jepang pertama-tama
adalah menduduki kembali kota Kuala Simpang dan Langsa. Maka
terjadilah pertempuran sengit di sekitar ke dua kota tersebut, seperti : Kampung Durian dan Kampung Tupak (tanggal 24 Desember 1945); pada hari itu juga Kuala Simpang berhasil diduduki1
dan menyusul Langsa tanggal 25 Desember setelah terjadi pertempuran di Kampung Upak dan Bukit Meutuah; Tetapi pasukan
Jepang itu tanggal 26 Desember terpaksa mundur kembali ke
Kuala Simpang. Dan setelah pertempuran berlangsung selama
hampir satu bulan, maka pada tanggal 20 Januari 1946 pihak TKR
bersama lasykar rakyat berhasil memukul mundur tentera Jepang
kembali ke Medan.71
Dengan demikian daerah Aceh berhasil dibersihkan dari tentera Jepang dan kekalahannya itu merupakan pukulan berat tidak saja bagi Jepang, tetapi juga bagi sekutu sendiri
D. Kedatangan tentara Sekutu dan tentara Nica di Daerah Aceh.
Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian pendahuluan,
bahwa satu-satunya wilayah daerah Aceh yang berhasil diduduki
oleh sekutu/Belanda selama Revolusi Kemerdekaan adalah Pulau
Weh (Sabang). Pulau yang terletak di ujung paling Utara Sumatera
itu, dilihat dari segi kemiliteran memang cukup strategis, sebagai
basis pertahanan terdepan dari arah Barat Laut Indonesia; karena
tidak mengherankan, apabila Jepang menjelang saat kekalahannya
menempatkan kira-kira 10.000 kekuatan tentaranya disana di
bawah komando Vice Admiral Hirose . Demikian pula dengan
tentara Sekutu/Belanda, pertama-tama perhatiannya diarahkan ke
pulau tersebut.
Pada tanggal 25 Agustus 1945 armada Sekutu yang terdiri
dari beberapa kapal perang Inggeris telah berada di muka pelabuh-
an Sabang. Dalam pasukan ini ikut serta Kesatuan Marine Belanda
dan juga Pemerintah Belanda yang menjadi bagian dari AMACAB
(Allied Military Administration Civil Affairs Branch). Pada hari
itu juga Hirose menyerah terimakan Pulau Weh kepada Sekutu
yang disusul dengan pendaratan tentara serta pengibaran bendera
Inggeris da« bendera Belanda di kota pelabuhan tersebut. Kemudian, untuk menggerakkan administrasi pemerintahan di pulau
Weh ditetapkan seorang perwira Belanda, Letnan Hamers yang
bertindak atas nama Panglima Sekutu, tetapi dengan tidak langsung seperti ternyata kemudian atas nama pemerintah Hindia
Belanda. Setelah itu dipertahankan pula agar Jepang segera mengembalikan ribuan kuli kebun, yang berasal dari daerah Aceh,
Sumatera Timur dan Tapanuli dan yang selama ini bekerja sebagai
rumusnya disana, ke tempat asal mereka masing-masing
78
-
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Sekutu memanggil Guntyo
Sabang, Teuku Abaih, ke kapalnya untuk diberitahukan, bahwa
Jepang telah menyerah dan karenanya pulau Weh telah diserahkan
kembali kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini
Teuku Abaih, sebagai Kepala pemerintahan angkatan Jepang,
khususnya dan rakyat pada umumnya, mengingat kekuatan tentara Sekutu dan Jepang yang besar di sana, tidak mungkin melakukan tindakan apa-apa selain dari menerima pemberitahuan tentara Sekutu tersebut. Semenjak itu, dengan dukungan sekutu,
pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration)
mulai dirintis di pulau Weh. Dan sejak tanggal 3 September 1945,
Letnan Hamers yang selama ini bertindak atas nama sekutu, digantikan oleh seorang pegawai Nica, bernama; CA. Sani dalam kedudukannya selaku Comanding Officer. Untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari, CA. Sani dibantu oleh seorang kepala PID
(Politike Inlichtingen Dienst) yang bernama Emil Dahniel
Dengan berhasilnya diduduki pulau Weh berarti pula Tentara NICA mempunyai basis pertahanan yang kuat di ujung Barat
Laut Indonesia. Dari sini, selama Revolusi Kemerdekaan, mereka selalu melancarkan operasi Militer, melakukan pengawasan yang
ketat diperairan Selat Malaka dan Samudera Indonesia, terutama
dalam kaitan dengan usaha mereka untuk mendarat ke daratan
Aceh dan membendung kegiatan rakyat Aceh mengadakan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Namun usaha-usaha mereka
itu dapat dikatakan selalu menemui kegagalan, sampai pengakuan
kedaulatan Indonesia, mereka tidak pernah berhasil mendarat disana dan rakyat Aceh selalu berhasil menembus blokade Belanda itu.
Di wilayah daerah Aceh lainnya, juga sekutu berusaha untuk
mendaratkan tentaranya. Beberapa waktu menjelang kekalahan
Jepang tanggal 14 Agustus 1945, sekelompok pasukan dari 1.3.6.
force, di bawah pimpinan bekas kepala Pabean Belanda di Sigli,
B.W. Lefrandt, telah berada di sekitar pegunungan Seulimeum
(Aceh Besar) dalam rangka membuat persiapan untuk memungkinkan penerjunan pasukan payung Sekutu yang akan menunjang
rencana penyerbuan pertahanan pantai Jepang di pesisir Aceh
75
Tetapi penyerbuan ini tidak jadi dilaksanakan berhubung Jepang
telah lebih dahulu menyerah dari rencana penyerbuan vang dipersiapkan itu.
Selanjutnya kira-kira dua bulan setelah Jepang menyerah,
satu kelompok dari A.D.C.8. 1.3.6. force di bawah pimpinan
Mayor Marteen J. Knottenbelt tiba di Kutaraja dalam rangka penyelidikan mengenai keadaan militer, politik dan ekonomi di Aceh.
M.J. Knottenbelt adalah anggota pasukan Belanda dan datang ke
Aceh atas perintah SACSEA (Supreme Allied Commander South
East Asia). Tanggal 1 Oktober 1945, ia bersama dengan seorang
Kapten Inggeris dan seorang Letnan Belanda diterjunkan di dekat
Medan: untuk sampai ke tujuannya, yaitu ke ibukota Daerah
Aceh, Kutaraja, di Medan Knottenbelt menghubungi para pejabat
Jepang guna memperoleh perlengkapan dan tambahan rombongan.
Pada tangal 4 Oktober 1945 sebagian rombongannya berangkat
melalui darat, sedang besoknya tanggal 5 Oktober, Knottenbelt
berangkat dengan pesawat pembom ringan milik Jepang dan mendarat di Lhok Nga (Lapangan Udara Militer yang dibuat oleh Jepang, kira-kira 14 km arah ke selatan Kutaraja)
76
Meskipun Knottenbelt datang selaku wakil sekutu, namun
pada mobilnya selalu dikibarkan bendera kecil Belanda, sehingga
menjadikan suasana semakin panas karena meluapnya amarah
rakyat. Selama di Kutaraja, dalam rangka tugasnya, ia berusaha
untuk mengadakan kontak dengan para pemimpin Indonesia;
dan kepada berbagai instansi Jepang ia mengirimkan sejumlah angket yang menyangkut dengan keadaan militer,"politik dan ekonomi di Aceh. Berdasarkan jawaban angket yang diterima dari
para pejabat Jepang, pada tanggal 14 Oktober 1945 Knottenbelt
dapat mengirimkan laporan kepada Markas Besarnya; dan sejak itu
dianggap tugasnya telah selesai, meskipun belum berhasil menghubungi para pejabat Indonesia.
Berdasarkan saran-saran yang diterima dari pihak Jepang,
rombongan segera akan meninggalkan Kutaraja kembali ke Medan
atau ke" Sabang. Tetapi berhubung datangnya perintah atasan untuk mengamati perkembangan selanjutnya maka rencana keberangkatan tersebut diurungkan. Karena itu Knottenbelt kembali berusaha untuk mengadakan kontak dengan para pemimpin Indonesia, meskipun dihalangi oleh para pejabat Jepang yang merasa takut, kemungkinan akan dituduh oleh pihak Sekutu, bahwa mereka
banyak memberi "angin" kepada para pemimpin rakyat dalam
menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia di daerah
Aceh.
Pada tanggal 15 Oktober 1945, atas "jasa baik" seorang Cina
peranakan , Goh Moh Wan yang dimasa pendudukan Jepang
menjadi juru bahasa Kompeitai, Knottenbelt berhasil bertemu
dengan Residen Aceh Teuku Nyak Arief. Dalam pertemuan yang
diliputi oleh suasana ketegangan pada hari itu, Teuku Nyak Arief
sambil mengepalkan tangannya dengan nada keras — sesuai dengan
yang ditulis oleh Knottenbelt sendiri — menegaskan, bahwa
"ia suka bekerja sama dengan Sekutu, tetapi tidak dengan orangorang Belanda, Penguasa-penguasa Belanda - babi-babi sombong -
tentara Belanda yang keparat ! 77
Selanjutnya Teuku Nyak
Arief menegaskan lagi, bahwa masalah pelucutan senjata Jepang
menjadi tanggungannya; oleh karena itu tentara sekutu tidak ada
gunanya datang ke daerah Aceh. Dalam pada itu Knottenbelt
sempat pula bertemu dengan beberapa tokoh pemimpin Indonesia
lainnya, seperti dengan Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah
Aceh, Tuanku Mahmud, namun pertemuan-pertemuan tersebut lebih banyak menemui kegagalan bahkan dengan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh utusan Sacsea itu tampak turut lebih memperuncing suasana di daerah Aceh.
Sampai dengan awal Nopember 1945 semakin terasa lagi
bagi Knottenbelt, bahwa keselamatan dirinya di daerah Aceh kian
hari semakin tidak terjamin; hampir tiap malam selalu datang
ancaman, berupa pelemparan batu dari jauh dan sebagainya ke
arah rumah tempat tinggalnya dipinggiran lapangan Biang Padang.
Karena itu ia mengambil keputusan untuk tidak perlu lagi lamalama tinggal di Kutaraja dan tanggal 10 Nopember ia kembali ke
Medan. Betapa gawat keadaan pada waktu itu dapat dilihat pada
hari keberangkatan rombongan Knottenbelt; kenderaan; Teuku
Nyak Arief terpaksa berjalan di depan sekali untuk menghindari
hal-hal yang mungkin dapat mengancam jiwa utusan SACSEA
.. 78
itu.
Hasil penyelidikan Knottenbelt selama satu bulan lebih di
daerah Aceh dituangkan dalam bentuk laporan sementara yang
sekaligus juga merupakan sebuah rekomendasi yang berharga bagi
Sekutu dan Belanda dalam menentukan sikap selanjutnya. Adapun
isi laporan itu seluruhnya adalah sebagai berikut :
Hendaknya dianggap sebagai kewajiban saya untuk memperingatkan disini, bahwa, menurut hemat saya, adanya utusan
Sekutu di Aceh dapat lebih memperburuk suasana. Sebabsebabnya ialah: pertama; perselisihan paham yang timbul antara pihak Jepang dengan Indonesia mengenai masalah 'siapayang berkuasa sekarang' yang sehari kesehari menjadi semakin parah; kedua, dengan adanya utusan sekutu di tempat
tahulah orang-orang Jepang, bahwa tindak-tanduk mereka itu
diamat-amati dan tahu pula orang-orang Indonesi, bahwa
mereka tidak dapat mempengaruhi orang-orang Jepang untuk
tidak mentaati perintah-perintah SECSEA; ke tiga, Aceh
dapat diibaratkan sebagai sebuah tong mesiu yang untuk meledaknya hanya diperlukan sebuah nyala api kecil, sementara
seorang utusan SECSEA yang bijak sana dan ahli tidak akan
mungkin dapat memadamkannya jika ia telah meledak, akan
tetapi ia akan berguna sekiranya tangan yang mematikan api
itu belum sempat mendatangkan suatu malapetaka."
79
. Berdasarkan laporan tersebut, maka pihak Sekutu tidak mendatangkan lagi utusannya ke Aceh dan rencana untuk menduduki
daerah ini juga diurungkan. Demikian pula dengan pihak NICA,
meskipun tidak sepenuhnya, mereka juga terpengaruh oleh rekomendasi Knottenbelt itu. Disini ditulis "tidak sepenuhnya" dan
"terperfgaruh", karena, seperti juga telah disinggung dimuka,
tentara Nica, baik yang ditempatkan di Sabang maupun di Medan,
selalu berusaha untuk mendarat di daerah Aceh, tetapi dengan perhitungan yang teliti dan hati-hati. Rencana pendaratan ini lebih
digiatkan lagj setelah pecahnya aksi Militer Belanda II, 18 Desember J 948. Pada waktu itu berkali-kali dilancarkan serangan
udara terutama terhadap Komando AÏteleri TNI di Lapangan
Udara Lhok Nga dan beberapa kota lainnya, seperti Ulee
Lheu , Sigli, Lhok Seumawe, Langsa, Meulaboh dan sebagainya.
Terhadap serangan-serangan tersebut selalu dibalas dengan meriammeriam anti pesawat, yang di Aceh pada waktu itu dikenal dengan
nama : pompom
s0
. Demikianpula dengan marine Belanda selalu
berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat
yang strategis dan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Aceh,
seperti : Ulee Lheue, Uyong Bateç, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareung, Lhok Seumawe, Kuala Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan
lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi
di perairan Aceh pada waktu itu, antara lain Jan van Bukker, Banda
dan Jan van Gallen
8 1
. Tetapi karena kuatnya pertahanan pantai
yang di perlengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan
dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang
bergelora untuk mempertahankan Kemerdekaan dan hal-hal ini
selalu diselidiki oleh pihak Belanda, a.l. melalui nelayan yang sedang mencari ikan dengan menyeret mereka ke kapal untuk diminta berbagai keterangan mengenai situasi di darat maka rencana
pendaratan Belanda itu selalu ditemui kegagalan. Rupanya apa
yang ditunggu Belanda agar suatu waktu Aceh tidak lagi, sebagaimana disebutkan oleh Knottenbelt, sebagai tong mesiu yang kalau
dinyalakan, dengan nyala api yang kecil sekalipun, akan mendatangkan malapetaka (tentunya bagi sipenyala sendiri), tidak pernah tiba sampai mereka mengakui Kemerdekaan Indonesia. REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA DI ACEH
A. Peristiwa Cumbok dan Aksi TPR
Pada masa proklamasi kemerdekaan muncul beberapa ke
lompok elite di Aceh, yang mempunyai orientasi politik tertentu.
Orientasi politik yang mereka anut tercermin dalam cara mereka
memberi tanggapan dan penafsiran terhadap proklamasi kemerdekaan. Karena itu konstelasi politik sesudah proklamasi atau selama masa revolusi di Aceh merupakan refleksi dari interaksi yang
berlangsung antara masing-masing kelompok elite.
Kelompok elite pertama adalah golongan uleebalang, yang
secara tradisional menduduki jabatan pemerintahan lokal di Aceh.
Sungguhpun secara sederhana uleebalang digolongkan kepada satu
kelompok, tetapi sebenarnya mereka mempunyai status yang berbeda-beda. Perbedaan status ini berkaitan erat dengan usia silsilah
dengan Sultan Aceh, dan otoritas politik dalam tata feodal seperti
luas daerah kekuasaan, dan sebagainya.
l
Kedua, elite ulama, yang secara tradisional merupakan pemimpin spiritual dalam masyarakat Aceh. Seperti halnya dengan
golongan bangsawan atau uleebalang, mereka yang tergolong dalam kelompok elite ulama ini memiliki status yang berbeda sejalan
dengan kwalitas ilmu yang dimilikinya. Di samping itu, elite ulama ini dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu elite
ulama modernis dan elite ulama ortodoks. Di antara kedua kelompok ini tampaknya elite ulama modernis yang sudah mempunyai organisasi yang agak teratur yaitu PUSA. Dengan demikian
mereka mempunyai jaringan komunikasi dengan seluruh anggotanya yang tersebar di seluruh Aceh. Sejak masa pendudukan Jepang, elite ulama modernis sudah banyak menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan
keagamaan
l
. Sedangkan elite ulama ortodok umumnya masih
tetap meneruskan peran tradisionalnya, terutama di pesantren-pesantren.
Kelompok elite ketiga adalah elite pemuda. Secara kasar
mereka dapat digolongkan kepada dua golongan, yaitu elite-pemuda yang mendapat pendidikan militer Jepang dan elite pemuda
yang mendapat pendidikan sekolah keagamaan modernis. Mereka
yang termasuk kelompok elite pertama umumnya bersatu untuk
membentuk angkatan bersenjata di Aceh yaitu API . Sedangkan
kelompok elite kedua, membentuk badan-badan kelasykaran.
Sungguhpun di antara mereka terdapat kepentingan politik tertentu, tetapi di antara para elitenya mempunyai hubungan tradisional melalui organisasi Pemuda PUSA
Kelompok elite yang keempat, yaitu elite minoritas. Mereka
ini terdiri dari para cendekiawan ataupun pemimpin golongan minoritas yang berasal dari daerah luar Aceh. Oleh karena itu mereka
hanya terdiri dari beberapa orang saja.
Proklamasi kemerdekaan dan kevakuman kekuasaan akibat
penyerahan kekuasaan Jepang kepada sekutu, diberi tafsiran dan
tanggapan oleh masing-masing kelompok. Di antara kelompok
elite itu tampaknya kelompok elite ulama (terutama modernis)
dan pemuda yang amat bernafsu untuk meraih pengaruh pada
waktu itu. Mereka melihat jalur militer merupakan jalur yang
ampuh untuk meraih kekuasaan. Justeru itu, mereka membentuk
lembaga militer atau kelasykaran, yang bakal dijadikan ujung tombak bagi perwujudan orientasi politiknya.
Di pihak lain. kelompok elite bangsawan yang masih tetap
meneruskan tradisi pemerintah lokal pada mulanya tidak membentuk pasukan militer ataupun kelasykaran. Keadaan demikian
barangkali karena mereka sudah cukup puas dengan membina API
yang dibentuk oleh para pemuda bekas Gyu Gun pada bulan Oktober 1945 yang lalu. Tetapi pembentukan lasykar-lasykar yang merupakan "tentara bayangan" di samping API menimbulkan perasaan curiga di kalangan sebagian kelompok elite uleebalang, terutama di daerah Aceh Pidie. Sikap kecurigaan demikian bisa difahami
bila dihubungkan dengan hubungan yang terjalin antara pemimpin
kelasykaran dan pengurus PUSA yang berkedudukan di Pidie tambahan lagi kekuatan API yang belum begitu tangguh.
Sikap kecurigaan itu pada tingkat tertentu membawa kepada
konflik seperti yang telah terjadi antara Asisten Residen Teuku
Cut Hasan dengan satuan lasykar BPI pada waktu upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih di Sigli, demikian juga halnya dengan peristiwa yang sama antara satuan BPI dengan uleebalang Cumbok di Lameulo.
6
Insiden Sigli dan Lameulo itu menimbulkan reaksi luas dalam
kalangan elite ulama dan kelasykaran, yang mereka tafsirkan sebagai
perlawanan terhadap pemerintahan republik. Sebaliknya para
uleebalang di Pidie merasa dirinya terancam oleh reaksi dari pihak
elite ulama dan kelasykaran. Tambahan lagi persekutuan yang
terjadi antara sebagian golongan mereka (Teuku Nyak Arief dan
Teuku Panglima Polem Muhammad Ali) dengan para lasykar dalam
kedua kasus itu.
Menyadari situasi demikian, Teuku Umar Keumangan,
Beureunun, mengambil prakarsa untuk melaksanakan pertemuan
uleebalang pada tanggal 22 Oktober 1945 di Beureunun, Pidie.
Pertemuan untuk membicarakan masalah konsolidasi kekuatan
dan memperkuat solidaritas antara para elite uleebalang tampaknya tidak semulus yang diharapkan. Hal demikian tampak pada
ketidak hadiran beberapa orang di antara mereka. Di sini jelas menunjukkan terjadinya perbedaan kepentingan dari masing-masing uleebalang.
Sungguhpun terdapat beberapa uleebalang di daerah Pidie
yang tidak menghadiri pertemuan itu, namun mereka berhasil
mengambil sikap terhadap gerakan-gerakan revolusioner yang sedang berkembang di daerah Aceh umumnya dan Pidie khususnya.
Sikap itu diwujudkan dalam langkah usaha pembentukan markas
uleebalang dibawah pimpinan Teuku Muhammad Daud Cumbok
dengan berkedudukan di Lameulo. Untuk menandingi lasykar- lasykar yang sudah terbentuk di Aceh, lalu mereka memandang perlu untuk membentuk badan kelasykaran yang akan menjadi ujung
tombak mereka, yaitu Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dan Perhimpunan Indonesia.
Di antara kedua kelasykaran itu hanya BPK yang tumbuh dan
berkembang. Lasykar tersebut dalam perkembangan berikut dipecah atas 3 satuan, yang masing-masing mempunyai missi khusus.
Ketiga satuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Barisan Cap bintang dengan tugas utama menghadapi perlawanan rakyat yang menentang kekuasaan para uleebalang.
2. Barisan cap sauh dengan tugas utama di bidang usaha
keuangan untuk membiayai gerakan mereka.
3. Barisan cap tombak dengan tugas utama menangkap para
pemimpin rakyat (lasykar) yang menentang atau menghalang-halangi mereka
Sifat dan tujuan yang melandasi pembentukan lasykar BPK
ini tentu menimbulkan suasana yang tidak nyaman dengan lasykar lainnya, terutama BPI/PRI yang sudah mengembangkan sayap di
daerah-daerah keuleebalangan di Pidie. Suasana tidak nyaman
terasa dalam rangka meraih pengaruh di kalangan masyarakat luas,
terutama di daerah basis BPK, yaitu Lameulo. Suasana tidak aman
dalam proses inter-aksi mereka pada tingkat tertentu menimbulkan
konflik. Di antaranya dapat disebutkan tindakan penangkapan
terhadap beberapa anggota satuan PRI di Lameulo pada tanggal
3 November 1945. Malahan pada tanggal 8 November 1945 kantor PRI Lameulo mereka duduki.
10
Perlakuan yang diterima oleh satuan lasykar PRI di Lameulo
dengan segera disampaikan ke markas induknya di Kutaraja sehingga menjadi persoalan yang pelik bagi pemerintah daerah. Karena
PRI adalah juga merupakan suatu lasykar yang cukup tangguh
pada waktu itu di Aceh. Karena itu pemerintah daerah mengkha
watirkan jangan terjadi tindakan balas dendam. Mengha
dapi situasi demikian. Tuanku Mahmud yang menjabat sebagai
Ketua Komite Nasional Daerah terpaksa mengirimkan wakil ke
Lameulo untuk memperdamaikan sengketa yang terjadi antara
PRI dan BPK "
Suasana hubungan yang berlangsung antara markas Uleebalang dengan lasykar-lasykar di Aceh tampaknya kian hari kian
bertambah tegang. Dalam suasana tegang itu berkembang
issue tentang pembentukan Comité van ontvangst di Lameulo
yang bertujuan untuk mempersiapkan kedatangan Belanda. Issue
tersebut dipergunakan oleh pihak kelasykaran dan kelompok revolusioner untuk menyudutkan gerakan markas uleebalang Setelah berhasil mematahkan gerakan PRI di Lameulo, Markas
Uleebalang mengalihkan perhatiannya ke Sigli, yaitu untuk memperoleh senjata dari serdadu Jepang yang bakal meninggalkan
daerah Aceh. Tindakan ini perlu dilakukan secepatnya agar senjata itu jangan jatuh ke tangan lasykar-lasykar revolusioner. -Untuk mewujudkan rencana tersebut satuan BPK berangkat memasuki kota Sigli pada tanggal 25 November 1945. Rencana pihak
BPK itu cepat diketahui oleh PRI. Oleh karena itu satuan mereka
juga memasuki kota Sigli untuk menghalang-halangi agar senjata
jangan diserahkan kepada pihak BPK.
Kedatangan dua kelompok lasykar yang saling bertentangan
untuk memperoleh senjata dari tangan serdadu Jepang menimbulkan suatu hal yang pelik baik di pihak Jepang maupun di pihak
TKR. yang pada waktu itu amat kecil jumlahnya. Ini dapat dimengerti karena kedua satuan lasykar saling mengklaim dirinya
sebagai yang berhak. Untuk menghindari jangan sampai terjadi
krisis antara kedua lasykar, pihak TKR menawarkan jasa baik agar
pihak Jepang mau menyerahkan senjata kepada TKR. Namun
pihak Jepang tampaknya tidak berhasil diyakinkan oleh TKR.
Malahan mereka memberi jawaban bahwa pemerintah pendudukan
Jepang masih terikat perjanjian dengan sekutu
13
.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata Jepang menyerahkan sebagian senjata kepada satuan lasykar BPK. Tindakan
itu menimbulkan suasana genting antara BPK dengan PRI. Akibatnya terjadilah bentrokan senjata antara kedua lasykar itu pada
permulaan Desember 1945. Bentiokan senjata yang berlangsung
antara BPK dan PRI di Sigli mengundang perhatian pemerintah
daerah. Atas inisiatif pemerintah daerah melalui TKR , pertempuran yang berlangsung di Sigli dapat dihentikan (6 Desember 19-
45). Jalan penyelesaian yang ditempuh yaitu pengosongan kota
Sigli oleh kedua lasykar, penyerahan- keamanan kota Sigli kepada
TKR , dan penyerahan senjata kepada TKR.
14
-
Dengan terhentinya pertempuran di kota Sigli tidak berarti
perdamaian telah tercapai. Ketetapan yang telah disetujui bersama itu, tidak seluruhnya ditaati. Pertempuran masih saja berlangsung
di luar kota; dan Markas Uleebalang ternyata tidak mengembalikan seluruhnya senjata yang diperoleh dari Jepang kepada TKR.
Kemudian, tanggal 10 Desember Markas Uleebalang untuk kedua
kalinya mengadakan pertemuan di kediaman Teuku Laksamana
Umar, Uleebalang Njong di Luengputu. Hasil pertemuan itu telah
turut memperuncing suasana kembali dan ini berarti tidak menghiraukan lagi ketentuan yang telah disepakati bersama di Sigli,
adalah mereka setuju agar Markas Uleebalang bertindak lebih
tegas lagi untuk menanggapi dan kalau perlu membunuh para
pemimpin yang menentang gerakan mereka. Dan diharapkan akhir
Desember 1945, pelaksanaan rencana ini sudah dapat selesai.
Untuk merealisasi keputusan pertemuan Luengputu, tentara
Markas Uleebalang, BPK, segera bertindak. Mereka mulai melepaskan tembakan-tembakan terhadap kampung-kampung yang diperkirakan sebagai tempat pemusatan kekuatan lawan mereka; kemudian disusul pula dengan aksi pembakaran gedung-gedung yang
diperhitungkan akan digunakan sebagai pertahanan atau tempat
pertemuan pemuda-pemuda dan pemimpin-pemimpin lawannya
itu. Tanggal 16 Desember 1945, BPK dengan senjata-senjata berat
yang dimilikinya, menembaki kampung-kampung di sekitar
Luengputu dan Meutareum yang memang selama ini menjadi tempat pemusatan para pemuda, terutama dari organisasi PRI. Dan
tanggal 20 Desember 1945 mereka membakar gedung sekolah
agama di Tieteu serta kantor-kantor kehakiman di beberapa tempat.
Untuk menghadapi tindakan Markas Uleebalang yang semakin meningkat itu, di pihak lain para pemimpin dan pemuda yang
jiwanya tampak semakin terancam, mulai pula mengkoordinir diri
secara lebih terpadu. Pada tanggal 22 Desember 1945, mereka
mendirikan suatu organisasi yang diberi nama : Markas Besar Rakyat Umum (MBRU) dengan tempat kedudukan sementara di
Gam pong Garut dan kemudian dipindahkan ke kota Sigli. Organisasi ini ternyata mendapat sambutan hangat dari sebagian besar
rakyat kecil; di mana-mana di seluruh daerah Pidie didirikan barisan-barisan perjuangan yang tunduk di bawah komando MBRU
itu. Akibatnya Markas Uleebalang lebih meningkatkan lagi serangan-serangannya; pada tanggal 30-3 1 Desember 1945, tembakantembakan mereka kembali diarahkan ke Meutereum.Langga, Ilot
dan Lala, sehingga kampung-kampung di sekitarnya mengalami
kerusakan berat.
Dalam pada itu Markas Besar Rakyat Umum (MBRU) juga
mulai bergerak. Gerakan mereka diawali dengan sebuah Maklumat
y'ang ditujukan kepada kaum muslimin pengikut mereka yang pokok isinya adalah jangan membakar rumah dan mengambil harta
orang, serta orang-orang yang ditangkap harus diperlakukan dengan baik
18
. Suatu seruan yang secara psikologis telah dapat
menarik simpati rakyat tetapi sebelumnya dilupakan oleh pihak
Markas Uleebalang walaupun mungkin saja, seperti umumnya dalam suatu pertempuran, isi maklumat tersebut tidak terlaksana
sepenuhnya. Sementara itu kekacauan tidak saja terjadi di wilayah-wilayah Lameulo, Beureunun dan Luengputu, tetapi telah meluas hampir ke seluruh wilayah Pidie, sejak dari Meureudu perbatasan Aceh Utara sampai ke daerah uleebalang XII Mukim Pidie
pada perbatasan Aceh Besar.
Dengan bertambah luasnya "perang saudara" di wilayah
Pidie itu, Pemerintah Daerah di Kutaraja semakin khawatir akan
bahaya yang sedang mengancam, terutama dalam kaitan dengan
kekuatan perjuangan yang pada waktu itu sangat dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan tentara NICA, yang memang sebagaimana telah diuraikan di muka telah merencanakan, melancarkan penyerbuan ke daerah Aceh. Karena itu, tanggal 6 Januari 1946 Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat
Daerah Aceh (badan yang mengkoordinir kegiatan militer di
daerah Aceh, didirikan dalam bulan Desember 1945) mengadakan
sidangnya yang pertama untuk membahas situasi di Pidie. Dan
kemudian dilanjutkan dengan sidangnya yang kedua tanggal
8 Januari; dalam memberikan pendapat dan juga laporan, ialah Ketua Markas Umum sendiri (Syammaun Gaharu, dari TKR),
Teungku Mohammad Daud Beureueh dari Mujahidin, Ali Hasjmy
dari Pesindo (keduanya dalam sidang pertama tidak hadir), Ismail
Yakob (salah seorang tokoh PUSA, tetapi di sini mewakili PNI)
serta Husein Yusuf dan Teuku Muhammad Syah, yang keduanya
mewakili TKR . Setelah sidang selesai dan demikian pula setelah adanya desakan dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah
Aceh, pada tanggal 8 Januari itu Pemerintah Republik Indonesia
Daerah Aceh, bersama dengan Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat Daerah Aceh (disingkat Markas Umum Daerah
Aceh) mengeluarkan Maklumat dan Ultimatum yang ditujukan
kepada Markas Uleebalang di Lameulo. Kedua pernyataan ini
ditandatangani oleh Wakil Residen Aceh, Teuku Panglima Polem
Mohammad AH dan Syammaun Gaharu, selaku ketua Markas
Umum Daerah Aceh.
Dalam Maklumat tersebut Pemerintah Daerah dan Markas
Umum Daerah Aceh menyatakan, setelah diadakan penyelidikan
secara mendalam, bahwa mereka yang mengadakan perlawanan di
daerah Cumbok, Lameulo dan di tempat-tempat lain dalam wilayah Pidie adalah "musuh Negara Republik Indonesia". Dan diperingatkan bagi orang-orang yang telah terpengaruh agar menghindari diri dari mereka, kalau tidak mereka juga akan dikenakan
hukuman'sesuai dengan kesalahannya . Sedang Ultimatum
yang mengiringi Maklumat tersebut, isinya memerintahkan mereka, yang telah dinyatakan sebagai musuh Negara Republik
Indonesia itu, mulai hari Kamis tanggal 10 Januari 1946, jam 12
siang, supaya menghentikan perlawanan dan menyerah; kalau
tidak, mereka akan ditundukkan dengan kekerasan .
Ternyata Ultimatum yang dikeluarkan Pemerintah itu tidak
diindahkan sama sekali oleh pihak Markas Uleebalang. Aksi-aksi
mereka tidak menjadi reda, bahkan semakin meningkat. Daerahdaerah yang cukup parah dilanda oleh aksi perlawanan mereka, selain Lameulo, juga Keumala, Beureunun, Luengputu, Panteraja,
Trienggading, Meureudu dan lain-lain. Ada dua faktor yang cukup
menentukan, sehingga Markas Uleebalang menolak untuk menyerah. Pertama, perhitungan mengenai adanya kemampuan mereka
untuk bertempur sampai tercapai kemenangan, mengingat persenjataan yang mereka miliki jauh lebih kuat, bila dibandingkan
dengan TKR, apa lagi dengan senjata yang dimiliki barisan pengikut Markas Besar Rakyat Umum (MBRU). Kedua, "hukuman"
yang dijatuhkan kepada mereka justeru oleh Pemerintah sendiri ,
melalui Maklumatnya itu sebagai pengkhianat dan musuh Negara,
bahkan dipertegas lagi oleh kelompok lawannya, sebagai kaki
tangan NICA
22
. pengkhianat Bangsa dan Agama
23
. tampaknya terlampau berat dirasakan dan besar sekali konsekwensinya.
Dengan "hukuman" yang dijatuhkan itu mereka telah dapat memperkirakan setelah menyerah akhirnya juga mereka setidak- tidaknya terbatas terhadap para pemimpin mereka-akan dihadapkan ke
"pengadilan revolusi" sesuai dengan suasana revolusi pada waktu
itu. Oleh karena itu mereka bertekad lebih baik meneruskan perlawanan dan mati di medan pertempuran.
Setelah batas waktu yang ditentukan berlalu, maka TKR
dengan didukung oleh barisan yang berada di bawah komando
MBRU mulai bertindak. Satu demi satu kota-kota. seperti Meureudu, Luengputu, Beureunun dll.. dalam waktu yang relatif singkat
berhasil dibersihkan dari pengikut Markas Uleebalang. Kemudian
seluruh kekuatan diarahkan ke Lameulo. yang belum dapat dikuasai. Dengan didukung oleh satuan-satuan tambahan yang khusus didatangkan dari Kutaraja. akhirnya pada tanggal 13 Januari
1946, TKR berhasil merebut kota kedudukan Markas Uleebalang
itu, meskipun selama ini tentara mereka. Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dengan sekuat tenaga selalu mempertahankannya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dalam
suasana kemenangan, pada hari itu juga (13 Januari) Markas Besar
Rakyat Umum (MBRU) mengeluarkan sebuah Maklumat yang
memberitahukan bahwa kekuatan Markas Uleebalang telah dapat
dipatahkan dan karena itu diharapkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar tetap tenang. Ditegaskan lagi, bahwa merampas dan
menggelapkan harta pihak lawan dilarang keras; sedangkan senjata-senjata yang dirampas dari mereka harus diserahkan kembali
kepada Markas Besar Rakyat Umum (MBRU)
24
.
Setelah kota Lameulo jatuh, sisa-sisa pasukan Barisan penjaga
keamanan (BPK) bersama dengan para pemimpin Markas Uleebalang lainnya, termasuk Teuku Muhammad Daud Cumbok sendiri, mengundurkan diri ke gunung-gunung dengan maksud hendak
meneruskan perlawanan secara bergerilya. Namun dalam waktu
tiga hari saja, yaitu pada tanggal 16 Januari 1946, mereka dapat
ditangkap semuanya. Mereka yang tertangkap itu terutama para
pemimpin mereka, dibawa ke Sigli, lalu ke Sanggeue untuk dimintakan berbagai keterangan sehubungan dengan kegiatan mereka
selama ini; dan selanjutnya untuk "diadili". Kemudian untuk
lebih diketahui dan dipahami oleh segenap lapisan masyarakat
mengenai gerakan Markas Uleebalang yang telah berhasil dipatahkan itu, pada tanggal 17 Januari 1946, sekali lagi Markas Besar
Rakyat Umum (MBRU) mengeluarkan sebuah Maklumat. Pada
dasarnya isi Maklumat, yang diberi nama "Maklumat Penjelasan"
itu, adalah merupalcan kelengkapan penjelasan dari Maklumat yang
terdahulu ( 13 Januari)
2
Kekalahan yang diderita oleh pihak gerakan Cumbok di
Pidie itu agaknya disebabkan oleh pelbagai faktor. Faktor pertama yaitu gerakan mereka kurang mendapat bantuan dari para
elite uleebalang di daerah lain, karena para uleebalang di Aceh
pada waktu itu terpecah atas beberapa golongan mengenai pandangan mereka terhadap kemerdekaan. Akibatnya gerakan Cumbok
itu hanya terbatas pada beberapa daerah keuleebalangan yang
mempunyai ikatan solidaritas dengan Teuku Muhammad Daud
Cumbok. Faktor kedua yaitu kelihaian dan kepintaran golongan
lasykar rakyat menggunakan simbol-simbol keagamaan dan kemerdekaan dalam rangka menarik perhatian dan pengaruh dari sebagian besar rakyat Aceh. Dengan mengemukakan simbil-simbol keagamaan dan kemerdekaan, pihak lasykar memandang dan mengklaim gerakan mereka sebagai tugas suci keagamaan. Untuk meneguhkan gerakan mereka, pihak lasykar tidak segan-segan mengemukakan fatwa-fatwa yang diperoleh dari beberapa orang ulama.
Reaksi emosional yang dipertunjukkan oleh para anggota BPK
seperti penganiayaan kepada ulama dari pihak lasykar dan tembakan yang mereka lakukan terhadap bangunan keagamaan, malangnya dimanfaatkan oleh pihak lasykar untuk membenarkan
tuduhan mereka.
Faktor ketiga yaitu keberhasilan dari para elite kelasykaran
mempengaruhi pendapat umum di ibukota keresidenan Aceh. Media komunikasi yang terdapat di Kutaraja, terutama surat kabar
Semangat Merdeka sangat aktif mempengaruhi pendapat umum
mengenai gerakan itu . Keberhasilan mereka mempengaruhi
massa lewat media, karena media tersebut dikelola oleh para
aktivis mereka.
Faktor yang terakhir yaitu keberhasilan mereka merangkul
pihak pemerintah daerah baik sipil maupun militer. Keberhasilan
ini tampak aliansi yang berbentuk antara pihak lasykar revolusioner dengan pemerintah daerah (residen dan komite nasional
daerah) dan militer, yaitu TKR dalam menumpas gerakan cumbok
tersebut.
Penumpasan terhadap gerakan Cumbok itu rupanya belum
memuaskan hati bagi sebagian pemuda revolusioner yang terlalu
berharap banyak. Amir Husin Al Mujahid, yang pada waktu sebelumnya adalah ketua pemuda PUSA, memandang bahwa masih
banyak pejabat baik bersifat lokal maupun kedaerahan (keresi-
denan) yang harus dibersihkan . Untuk merealisasikan rencananya itu ia membentuk satuan lasykar khusus dengan sebutan
Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pada bulan Januari 1946 di
Idie.
Langkah pembersihan pertama yang ia lakukan yaitu terhadap beberapa orang uleebalang yang mereka pandang feodal di
Aceh Timur. Beberapa orang uleebalang, di antaranya Teuku
Abdullah Paloh, Teuku Ali Basyah, Teungku Arifin dan Teungku
Sulong dicopot dari jabatan mereka baik sebagai zelfbesturder
maupun sebagai kontroleur atau asisten residen. Sebagai penggantinya ditunjuk orang-orang yang mereka anggap revolusioner
Setelah melakukan gerakan pembersihan di Aceh Timur,
mereka mengalihkan perhatian ke bagian Aceh lainnya, terutama
ke daerah Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar. Teungku Amir
Husein Al Mujahid menyadari bahwa satuan TPR yang ia miliki
tidak begitu kuat untuk melakukan gerakan yang demikian besar.
Untuk* mengamankan dan melicinkan gerakan yang ia lakukan,
perlu diadakan persekutuan dengan pihak TRI. Lalu ia menjalin
hubungan dengan Mayor Husin Yusuf, yang pada waktu itu menjabat sebagai ajudan dan staf umum Divisi V TRI di Bireun
2Ö
.
Dan rupanya kedua tokoh ambisius ini mempunyai kesamaan pikiran dalam melakukan gerakan pembersihan.
Kerjasama yang dijalin antara TPR dan TRI ini memberi
dorongan pada Teungku Amir Husin Al Mujahid untuk menggerakan satuan TPR ke luar daerah Aceh Timur. Dalam gerakan
penjarahan yang ia lakukan tatkala ia menuju ke Kutaraja, satuan
lasykar TPR Teungku Amir Husin Al Mujahid berhadapan dengan
lasykar Teuku Inbrahim Panglima Agung di Cunda, Lhok Seumawe
30
. Akibatnya terjadi bentrokan fisik antara kedua lasykar tersebut, yang masing-masing pihak ingin mempertahankan kedaulatannya. Rupanya pasukan Teuku Ibrahim Panglima Agung cukup tangguh untuk dikalahkan oleh TPR. Oleh karena itu, pihak
TPR terpaksa meminta bantuan lasykar Mujahiddin dari Teungku
Muhammad Daud Beureuh untuk mengakhiri perlawanan yang diberikan oleh pasukan Teuku Ibrahim tersebut.
31
Setelah berhasil mengalahkan perlawanan lasykar Teuku
Ibrahim, maka lasykar TPR scara lempang menuju ke Kutaraja.
Sepanjang rote yang dilalui, mereka melakukan penjarahan terhadap uleebalang-uleebalang yang mereka anggap perlu diganti. Di
Kutaraja satuan TPR mendapat bantuan dari lasykar kesatria Pesindo. Gabungan lasykar TPR dengan Pesindo inilah yang meneruskan gerakan penjarahan terhadap uleebalang-uleebalang di pantai
Barat Aceh.
32
Kerjasama yang terjalin antara TPR - TRI (Husin Yusuf) -
lasykar Pesindo, menimbulkan nafsu yang meluap-luap pada diri
Teungku Amir Husein Al Mujahid. Tambahan lagi mabuk kemenangan yang ia peroleh selama gerakan penjarahan. Kesemua ini
mendorong dirinya untuk menuntut lebih banyak. Sikapnya itu
dituangkan dalam bentuk tuntutan agar residen Teuku Nyak
Arief dan Komandan Divisi V TRI Sumatera di Aceh Kolonel
Syammaun Gaharu supaya meletakkan jabatan.
33
Demi untuk tetap terpeliharanya keutuhan dan persatuan
bangsa yang sangat dibutuhkan pada waktu itu dan untuk tidak
terjadi pertumpahan darah yang lebih besar lagi. maka Teuku
Nyak Arief dan Syammaun Gaharu bersedia meletakkan jabatannya. Pada awal bulan Maret 1946, Teuku Nyak Arief menyerahterimakan jabatan Residen Aceh kepada Teuku Muhammad Daud-Syah, uleebalang Idi Rayeuk yang sebelumnya telah memangku jabatan sebagai Asisten Residen Aceh Timur dan kemudian sebagai Asisten Residen diperbantukan pada kantor Residen
Aceh. Sedang jabatan Teuku Nyak Arief sebagai Staf Umum TRI
Komandemen Sumatera dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler,
tanpa lebih dulu mendapat persetujuan Komandan Tertinggi TRI
Sumatra, telah diserah-terimakan bersama dengan pangkatnya —
kepada Teungku Amir Husein Al Mujahid, pimpinan tertinggi
TPR itu. Kemudian Teuku Nyak Arief diasingkan ke Takengon
dan pada tanggal 4 Mei 1946 Pemimpin Rakyat yang telah menghabiskan usianya untuk kemerdekaan tanah airnya itu meninggal
diinia di saria
3
.
Selanjutnya, setelah staf Divisi TRI mengadakan pertemuan
di rumah kediaman Teuku Panglima Polem Muhammad Ali (Wakil
Residen Aceh), maka Kolonel Syammaun Gaharu juga menyerahterimakan jabatannya kepada Husin Yusuf, salah seorang bawahannya (Ajudan Staf Umum Divisi dengan pangkat Mayor) yang
telah mengadakan hubungan rahasia di Bireun dengan Teungku
Amir Husein Al Mujahid, sehubungan dengan rencana gerakan
TPR itu
35
. Dan tanggal 12 Maret 1946, berdasarkan Maklumat
TRI No. 4 tahun- 1946 yang dikeluarkan oleh "Jendral Mayor
Teungku Amir Husin Al Mujahid", selaku "Anggota Staf Umum
TRI Komandemen Sumatra" (pangkat dan jabatan yang diperoleh
dari Teuku Nyak Arief) disusunlah staf pimpinan TRI Aceh (Divisi V TRI Sumatera) yang baru, yaitu : Sebagai Komandan Divisi,
Husin Yusuf dengan pangkat sama dengan Syammaun Gaharu,
Kolonel; Wakil, Nurdin Sufi dengan pangkat letnan Kolonel dan
Kepala Staf Divisi, Bachtiar dengan pangkat Mayor; serta dilengkapi dengan personalia, kepala-kepala bagian divisi sampai kepada
. e 36
staf pimpinan resimen. Tindakan-tindakan Teungku Amir Husin Al Mujahid bersama
dengan TPR-nya itu, rupanya telah menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat Aceh, termasuk dalam kalangan militer sendiri.
Banyak yang tersinggung dengan perlakukan mereka, yang dianggap tidak wajar, terhadap para pemimpin yang salama ini dinilai
oleh rakyat besar jasanya dalam membina Negara Republik Indonesia di daerah Aceh. Rasa tidak senang itu semakin meluas, setelah ternyata Teungku Amir Husin Al Mujahid sendiri, kemudian
menjadi orang terkemuka dalam militer dan berkuasa di Aceh.
Karena itu tidak mengherankan ketika dari kalangan militer timbul sebuah kelompok yang merencanakan untuk menyatuhkan
Teungku Amir Husin Al Mujahid dari kedudukannya. Pada akhir
April 1946 kelompok ini berhasil menculik Teungku Amir Husin
Al Mujahid di tempat ia menginap, Hotel Aceh, Kutaraja. Kemudian dia dibawa ke Sigli dan diserahkan kepada Teungku Abdul
Wahab Seulimum, seorang tokoh Markas Besar Rakyat Umum
(MBRU) yang pada waktu itu telah ditunjuk sebagai pejabat Bupati Kabupaten Pidie. Di Sigli, Teungku Amir Husin Al Mujahid,
direncanakan oleh kelompok yang menculiknya, akan dipertemukan dengan Syammaun Gaharu dan dalam pertemuan itu ia akan
diminta untuk memberi penjelasan serta sekaligus mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakannya selama ini. Tetapi di
sana, berkat usaha para pengikutnya. Teungku Amir Husin Al
Mujahid berhasil dibebaskan dan selamat dari baliaya yang sedang
mengancamnya, sehingga ia dapat kembali menduduki jabatannya
semula37
.
Setelah peristiwa penculikan Teungku Amir Husin al Mujahid, maka berakhir pula revolusi sosial yang telah banyak menelan
korban jiwa, harta dan tenaga justeru disaat sedang bergeloranya
Revolusi Kemerdekaan Indonesia di daerah Aceh. Sejalan dengan
aksi tersebut, daerah-daerah keuleehalangan yang terdapat di Aceh
dirubah sebutannya menjadi negeri yang kemudian berubah lagi
menjadi kecamatan. Pada setiap negeri dibentuk lembaga pemerintahan yang disebut bestuur comitie (dewan pemerintali negeri) yang beranggota lima orang wakil rakyat. Salah seorang di antaranya menjabat sebagai kepala negeri
Dengan berakhirnya revolusi sosial, tidak berarti kegelisahan
dalam masyarakat Aceh berakhir pula. Adanya usaha-usaha dari
anasir-anasir yang tidak berhak untuk mengambil harta peninggalan pihak uleebalang yang telah dikalahkan itu dan tidak terjaminnya keselamatan jiwa, dengan adanya penganiayaan-penganiayaan
terhadap famili mereka atau yang dianggap sebagai sisa-sisa pengikut mereka, bukan tidak mustahil akan menyebabkan meletusnya
perang saudara kembali. Untuk ini pemerintah daerah harus mengatasinya secepat mungkin. Sehubungan dengan harta peninggalan mereka, Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Badan
Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, pada tanggal 24
Juni 1946 telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 1/1946,
yaitu : "Peraturan Tentang Menguasai atau Memiliki Harta Benda
Peninggalan Uleebalang-Uleebalang Daerah Aceh" .
Dalam peraturan itu (pasal 1) dikemukakan, untuk menyelesaikan
masalah tersebut, Pemerintah Daerah ditugaskan untuk membentuk Majlis Penimbang. Adapun susunan pengurus Majlis Penimbang yang kemudian dibentuk oleh Pemerintah Daerah itu, adalah
sebagai berikut : sebagai ketua I, II, III, IV, V dan VI, masing-masing ditunjuk, Teungku Abdul Wahab Seulimum (Bupati Pidie),
M. Husein, Teungku Haji Mustafa Ali, Hasan Ali, Teuku Mohammad Amin dan Teungku Itam Peureulak; sedang Panitera umum
ditunjuk Teungku Nyak Umar
4
Sehubungan dengan masalah adanya gangguan/penganiayaan
terhadap famili atau yang dituduh sebagai sisa-sisa pengikut Markas Uleebalang, dalam rangka menjamin keselamatan mereka,
juga Pemerintah Daerah mengeluarkan sebuah ketetapan, yaitu :
Ketetapan Residen Aceh tertanggal 13 Agustus 1946, No. 59/
NRI
41
. Dalam ketetapan itu disebutkan tempat tinggal khusus bagi mereka dan selama di sana kepada mereka diberikan sokongan sebanyak 100 Rupiah,- sebulan ditambah dengan sumbangan
beras seperti yang diberikan/dibagikan kepada pegawai negeri
pada waktu itu. Adapun tempat yang dimaksud sebagai tempat
tinggal mereka yang dianggap "berbahaya" itu tidak lain adalah
Kota Takengon dan sekitarnya. Di sana mereka ditempatkan pada
tiga tempat yang terpisah, yaitu : desa Sadong (Teuku Nyak Arief
ditempatkan di sini), penjara Takengon, dan penginapan Suka
Jaya
42
. Dan di antara mereka yang dinyatakan ditahan, tetapi
tidak sempat dibawa ke Takengon berhubung keluar dari Daerah
Aceh, ialah Syammaun Gaharu dan Teuku A. Hamid Azwar, dua
tokoh militer yang sebelumnya aktif berusaha untuk mengakhiri
perang saudara di daerah Pidie, namun karena keduanya berselisih paham dengan pihak TPR, maka mereka dinyatakan juga sebagai orang yang "berbahaya", dan karenanya perlu "diamankan". Mereka yang ditahan itu, kemudian secara bertahap mulai
dibebaskan, yaitu setelah dilakukan penilaian oleh Badan Penyelidik Keadaan orang-orang Tahanan Rakyat, suatu Badan yang dibentuk Pemerintah Daerah pada bulan April 1947 dengan anggota-anggotanya terdiri dari Teuku Mohammad Amin (mewakili
pemerintah), Teungku Abdurrachman dari Masyumi dan Teungku
Ishak Amin dari Pesindo Namun baru pada tahun 1949 para
tahanan itu dinyatakan bebas semuanya.
Dengan usaha-usaha yang ditempuh Pemerintah Daerah, sebagaimana diuraikan di atas, diharapkan perang saudara yang telah
berlangsung selama 6 bulan lebih itu tidak akan terulang lagi.
Dengan demikian seluruh tenaga dapat diarahkan sepenuhnya bagi
perjuangan menghadapi ancaman pihak kolonial Belanda yang
pada waktu itu semakin giat berusaha untuk menduduki Indonesia
kembali.
B. Masa Agressi dan Pergantian-pergantian Bentuk Pemerintahan
Di Aceh
Dan masa proklamasi hingga aksi militer I hampir seluruh wilayah Aceh - kecuali pulau Weh - luput dari pendudukan Belanda. Rupanya Belanda agak kurang bernafsu untuk menundukkan
Aceh terlebih dulu. Sikap demikian barangkali berkaitan erat dengan pengalaman yang mereka alami baik dalam perang Aceh maupun tatkala menjelang pendudukan Jepang di Aceh. Hal lain yang
tidak kurang penting yaitu perhatian mereka (Belanda) yang masih
terpusat untuk memusnahkan pemerintah pusat Republik Indonesia di Yogyakarta.
Namun bagaimanapun, sebagai bagian dari wilayah Republik
Indonesia, pergolakan-pergolakan yang terjadi pada bagian Indonesia lainnya ikut bergema ke daerah Aceh sebagaimana diperlihatkan dalam pelbagai bentuk. Oleh karena itu setiap kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah pusat Republik Indonesia
akan terpengaruh dalam kehidupan pemerintahan di Aceh.Demikian halnya dengan setiap tindakan yang dilakukan oleh Belanda
terhadap pemerintah republik.
Salah satu di antaranya yaitu penataan kembali terhadap
organisasi ketentaraan yang dilakukan oleh pemerintah republik
pada bulan April 1947. Dalam penataan tersebut, divisi Gajah I
digabungkan dengan divisi Gajah II dengan sebutan Divisi X TRI,
dengan kedudukan komandonya di Bireuen
44
. Pemilihan lokasi
Bireuen itu dilakukan karena kota Medan sudah berada di bawah
kekuasaan sekutu.
Di samping Divisi X, di Aceh juga sudah tumbuh beberapa
satuan bersenjata kelasykaran yang secara umum mempunyai
tujuan yang sama dalam mempertahankan pemerintah republik.
Satuan kelasykaran tersebut meliputi, kesatria Pesindo/Divisi
Rencong, Divisi Teungku Chiek Ditiro, Divisi Teungku Chiek
Paya Bakong (TPR), dan Mujahiddin. Pasukan bersenjata yang terdapat di Aceh baik TRI maupun
lasykar-lasykar bersenjata tersebut di atas, ikut ambil bagian untuk menghadang tentara sekutu, tatkala mereka mendarat di
Medan (bulan Desember 1946). Dari bulan ke bulan pasukan
Aceh yang ikut ambil bagian di Medan Area semakin bertambah.
Maka untuk mengkoordinasi pasukan tersebut, dibentuk suatu
resimen yang diberi nama Resimen Istimewa Medan Area, yang
lebih dikenal dengan nama singkatan RIMA. Pimpinan RIMA
nula-mula adalah Mayor Hasan Ahmad, kemudian Mayor Tjut
Rahman. Susunan dan kedudukan dari pasukan RIMA adalah
sebagai berikut :
- Batalyon I dipimpin oleh Kapten Hanafiah, berkedudukan di
Kampung Lalang.
- Batalyon II, pimpinannya adalah Kapten Nyak Adam Kamil,
berkedudukan di Kerambil Lima.
- Batalyon III, berkedudukan di Kelumpang; pimpinannya
berganti-ganti, yaitu Kapten Alamsyah, Kapten Ali Hasan dan
Kapten Hasan Saleh.
- Batalyon IV, pimpinannya Kapten Burhanuddin, berkedudukan di Binjai
- Batalyon di bawah pimpinan Wiji Alfiah, di Sunggal.
- Batalyon dari Divisi Rencong, di bawah pimpinan Mayor Nyak
Neh berkedudukan di Kampung Lalang.
Kesatuan lasykar dari Divisi Teungku Chiek Di Tiro dan dari Divisi
Teungku Chiek Paya Bakong masing-masing dipimpin oleh Teungku Thaleb dan Gam Basyah Samalanga. Ditambah lagi lasykar dari
Aceh Tengah di bawah pimpinan Teungku Ilyas Leube
46
.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas ternyata bahwa meskipun Belanda belum memasuki daerah Aceh, namun rakyat Aceh
telah menggerakkan/mengerahkan pasukan dan lasykar bersenjata
ke daerah Sumatera Timur, bukan hanya untuk membantu perlawanan di sana, tetapi juga sekaligus untuk menutup pintu bagi
Belanda masuk ke Aceh. Dengan dilakukannya agresi militer Belanda I, pada tanggal
21 Juli 1947, maka hampir seluruh wilayah Tanah Air kita dilanda
oleh serangan Belanda tersebut. Daerah Aceh yang mempunyai
kawasan pantai yang ratusan kilo meter panjangnya siap menghadapi blokade Belanda. Sehari sebelum meletusnya agresi tersebut, di Kutaraja telah dipersiapkan pertahanan pantai dan pengawalan umum untuk menghadapi setiap kemungkinan. Pada hari
agresi itu, terjadi serangan angkatan udara Belanda di Lhok Nga,
suatu lapangan terbang dekat Kutaraja. Pesawat Belanda tersebut
datang dari Sabang melalui Ulee Lhuee
4