kemerdekaan aceh 2

Rabu, 29 Januari 2025

kemerdekaan aceh 2


 



ba tidak kepastian itu pada mulanya tidak di￾tanggapi secara serius oleh para pembesar Jepang di Aceh. Tyokan 

sendiri, sebagai penguasa tertinggi di sana tidak pernah memberi￾kan keterangan resmi mengenai kekalahan Jepang itu. Hal ini 

mungkin di dasarkan pada pertimbangan, bahwa jika situasi yang 

sesungguhnya diketahui oleh rakyat, diperkirakan mereka akan 

mendapat perlawanan dari rakyat, sebagai mana yang telah dialami 

oleh Belanda sebelumnya, yaitu pada waktu mereka akan mening￾galkan Aceh (apa yang diduga itu, seperti akan diuraikan dalam 

bagian berikutnya, memang benar terjadi). 

Karena situasi daerah semakin tidak menentu, maka pada 

tanggal 23 Agustus 1945 Tyokan S. Iino terpaksa memanggil 

para pemimpin rakyat ke tempat kediamannya (pendopo Guber￾nur sekarang). Adapun tokoh-tokoh pemimpin yang dipanggil itu 

ialah : ' Teuku Nyak Arief, Teuku Panglima Polem Mohd. Ali, 

Tengku Mohd.Daud Beureueh, Said Abu Bakar dan Teuku Ahmad 

Danu . Dalam pertemuan itu S. Iino secara resmi menyampai￾kan hal-hal yang menyangkut dengan situasi daerah Aceh dan posi￾si Jepang pada waktu itu, tetapi tidak sedikitpun menyinggung 

mengenai.Proklamasi Kemerdekaan Indonesia; Ia hanya menegas￾kan bahwa perang telah selesai dan kepada para pemimpin rakyat 

dianjurkan untuk bersama dengan pemerintah Jepang menjaga 

keamanan di daerah Aceh. Selain itu pada tanggal 24 Agustus 

1945 Bunsyutyo Aceh Timur, Obara, juga telah menyampaikan 

hal yang serupa kepada para guntyo, suntyo dan kutyo yang 

ada dalam wilayahnya. Ditambahkan lagi olehnya kata-kata : 

"Apa boleh buat perang sudah damai, jadi Indonesia tidak dapat 

merdeka lagi" * (yang dimaksudkan tentu kemerdekaan "ha￾diah" Jepang, sebab kemerdekaan yang diproklamirkan oleh 

bangsa Indonesia sendiri telah terjadi tujuh hari sebelumnya; 

dan ini tidak diberitahukan kepada yang hadir pada waktu itu). 

Pembicaraan antara pemimpin rakyat dengan Tyokan S. Iinotanggal 23 Agustus itu tidak diketahui oleh rakyat umum, ber￾hubung pertemuan diadakan tertutup dan yang hadir juga terba￾tas. Karena itu mengingat pentingnya, diminta agar Tjokan me￾ngumumkan secara resmi mengenai apa yang telah disampaikannya 

dalam pertemuan tersebut kepada segenap lapisan masyarakat. 

Untuk maksud inilah pada tanggal 25 Agustus 1945 Tyokan 

S. Iino mengeluarkan sebuah maklumat yang ditujukan kepada 

seluruh rakyat Aceh. pada hari itu juga, setelah semua pegawai 

gunseibu, baik bangsa Jepang maupun bangsa Indonesia, hadir 

di halaman pendopo, Tyokan memberikan penjelasan mengenai 

telah terjadinya perdamaian antara Dai Nippon dengan sekutu. 

Penjelasan itu diberikan berdasarkan maklumat Soematera Sai￾kosikikan Kakka, yang menyatakan bahwa peperangan Asia 

Timur Raya telah berakhir dan kemaharajaan Dai Nippon telah 

bersedia melangsungkan perdamaian dengan Amerika, Inggris, 

Rusia dan China. Selanjutnya Tyokan S. Iino juga menyampai￾kan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala bantuan 

rakyat Aceh serta kerja sama yang baik dengan Dai Nippon sela-

. - 14 

ma ini 

Maklumat resmi yang dikeluarkan oleh Atjeh Syu Tyokan itu 

dalam waktu yang relatif singkat telah tersebar luas keseluruh 

pelosok daerah Aceh. Harian Atjeh Sinbun yang terbit sebagai 

edisi terakhir pada hari keluarnya maklumat tersebut juga memuat 

nya, karena dianggap isinya penting untuk diketahui secepat 

mungkin oleh rakyat umum dan tentu juga sebagai kenang-kenang￾an terakhir pada penutup usianya itu

 15

 . Demikian pula halnya 

dengan para pemuda yang telah memperoleh maklumat tersebut; 

secara cepat diperbanyak dan ditempelkannya disetiap sudut kota, 

bahkan secara meraton dikirimkan keluar Kutaraja, sehingga da￾lam waktu beberapa hari saja sebagian besar rakyat telah menge￾tahui keadaan yang sesungguhnya

 16

Mengenai dengan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia 

yang diucapkan oleh Bung Karno dan Hatta tanggal 17 Agustus 

1945 juga terlambat beberapa hari di terima di Aceh. Agaknya hal ini juga menjadi salah satu faktor sehingga setelah diketahui Je￾pang telah menyerah kalah, timbul keragu - raguan pada sebagian 

masyarakat Aceh terutama di wilayah-wilayah afdeeling, siapa se￾benarnya, setelah Jepang, yang akan mendarat lagi ke Aceh, 

Amerika, Inggeris, Australia, China atau Belanda; bahkan orang 

China telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tentara 

Tjiang Kai Sek pada waktu itu . Tetapi keadaan segera berobah 

setelah berita proklamasi Kemerdekaan diterima dengan pasti dan 

khususnya para pemuda mulai bertindak tegas dengan meng￾organisir dirinya ke dalam barisan-barisan Pemuda. 

Sebelum berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Aceh 

umumnya rakyat di sana hanya mengetahui, bahwa dari pulau 

Sumatera ada wakil yang ditunjuk untuk mewakili Sumatera se￾bagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka 

ini terdiri dari Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Amir dan Mr. Abbas, 

yang pada tanggal 7 Agustus 1945 berangkat ke Jakarta melalui 

Singapura untuk menantikan kembalinya Bung Karno dari Saigon. 

Dari Singapura tanggal 14 Agustus mereka bersama-sama Bung 

Karno menuju ke Jakarta.

 18

 Mengenai apa kegiatan ketiga wakil 

dari Sumatera itu sejak keberangkatannya tanggal 7 Agustus 

tidak diketahui dengan pasti, oleh karena komunikasi antara 

Daerah Aceh dengan Jakarta, tidak lancar lagi terutama sejak 

menjelang dan setelah kapitulasi Jepang. 

Mr. Teuku Mohd. Hasan bersama dengan ke dua rekannya 

itu baru kembali ke Sumatera melalui Palembang pada tanggal 

24 Agustus 1945. Di Palembang Mr. Mohd. Hasan, yang telah 

diangkat menjadi Wakil Pemimpin Besar untuk Sumatera sejak 

tanggal 22 Agustus, meminta kepada Dr. A.K. Gani untuk mem￾bentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Sela￾tan dan mengharapkan agar dapat menyiarkan berita Proklamasi 

Kemerdekaan ke daerah-daerah lain menurut cara yang mungkin 

ditempuhnya. Dari Palembang ketiga Tokoh pemimpin ini mene￾ruskan perjalanan menuju ke Medan dengan singgah dibeberapa 

kota seperti Jambi, Bukit Tinggi, Tarutung dan baru sampai di sana pada tanggal 29 Agustus 1945. Di kota-kota yang dising￾gahi itu Mr. T. Mohd. Hasan juga menganjurkan pembentukan 

KNI daerah setempat serta menyebarluaskan berita proklamasi 

kemerdekaan. Di Bukit Tinggi anjuran itu disampaikan tanggal 

26 Agustus melalui Adinegoro dan Muhammad Syafii, selaku 

ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera (Soematera Tyo￾SangiIn) 19 

Setelah tiba di Medan, Mr. T. Mohd. Hasan sebagai wakil 

Pemerintah Pusat R.I. untuk Sumatera juga segera melaksanakan 

tugasnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya di daerah￾daerah lain di Sumatera, yaitu menyampaikan berita proklamasi 

dan anjuran pembentukan KNI daerah di Sumatera bagian Utara, 

termasuk daerah Aceh. Namun sebelum datang berita resmi itu, 

secara tidak resmi sebenarnya berita Proklamasi Kemerdekaan 

juga telah lebih dahulu diterima di daerah Aceh; hanya pada 

waktu itu belum meluas diketahui oleh seluruh rakyat di sana, 

tetapi terbatas pada beberapa orang pemuka masyarakat saja. 

Menurut Hoesin Yoesoef (bekas Panglima Devisi X TNI Sumatera) 

berita yang pertama diketahui tentang Proklamasi Kemerdekaan 

adalah di Bireuen pada tanggal 19 Agustus 1945. Berita itu dike￾tahui oleh Hoesin Yoesoef, yang pada waktu itu bekerja pada 

staf intelgen resmi Fojoka dengan pangkat Letnan Gyugun, me￾lalui sebuah radio Jepang yang di tempatkan di sana. Kemudian 

berita tersebut segera disampaikan kepada perwira-perwira Gyu￾gun lainnya, seperti kepada Agus Husein dan lain-lain, serta ke￾pada pemuka-pemuka masyarakat di sekitar Kota Bireuen. 

Di Kutaraja berita tentang Proklamasi Kemerdekaan baru 

diketahui pada tanggal 21 Agustus 1945, yaitu melalui para pe￾muda (Ghazali Yunus dan kawan-kawan) yang bekerja pada 

kantor berita Jepang, Domei. Mereka secara rahasia berhasil 

mendengarkan radio yang ditempatkan disana dan setelah itu 

segera memberi tahukannya kepada teman-teman akrap mereka, 

sehingga pada hari itu juga para pemuda Indonesia yang bekerja pada Hodoka (Kantor Berita penerangan Jepang) dan harian 

Atjeh Sinbun di Kutaraja telah mengetahui berita gembira itu 

Selanjutnya, beberapa hari kemudian Teuku Nyak Arief juga 

menerima kawat pemberitahuan tentang Proklamasi Kemerdeka￾an dari Dr. A.K. Gani di Palembang, serta Muhammad Syafei dan 

Adinegoro di Bukit Tinggi yang secara resmi melalui Mr. Teu^u 

Mohd. Hasan — telah mengetahui berita tersebut, seperti disebut￾kan di atas, masing-masing tanggal 24 dan 26 Agustus yang lalu

 22

Setelah itu, sampai tibanya berita resmi dari wakil Pemerintah 

Pusat yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sumatera, 

Mr. Teuku Mohd. Hasan, selama akhir Agustus - September 1945 

berita Proklamasi Kemerdekaan dengan cepat mulai tersebar ke 

seluruh pelosok daerah Aceh, sejak dari pesisir utara, Timur, 

Barat dan Selatan sampai ke daerah Aceh Tengah dan Tengga￾r a 2 3 

Seiring dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan 

Indonesia di tempat-tempat, itu dilakukan pula pengibaran bendera 

sang merah putih. Pengibaran bendera itu terutama dilakukan 

di depan kantor-kantor resmi pemerintah Jepang yang selalu men￾dapat tantangan dan perlawanan dari tentara Jepang24

- Kemudian 

meluas ke tempat-tempat umum, seperti tanah lapang, toko-toko 

dan lain-lain yang juga selalu dihalang-halangi oleh pihak penguasa 

Jepang yang masih berkuasa atas nama sekutu pada waktu itu. 

Dari sekian tempat yang telah dikibarkan bendera Sang 

Merah Putih, yang terpenting adalah yang dilakukan pada tanggal 

24 Agustus 1945 di depan kantor Keimubu (Kantor Polisi Jepang; 

Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai bangsa Indonesia. 

Dalam penaikan bendera di sini telah timbul insiden dengan ser￾dadu Jepang yang sedang mengawal Tyokan tidak jauh dari kantor 

itu (Pendopo Gubernur sekarang). Insiden ini terjadi sewaktu 

Muhammad Hasyim, Wakil Kepala Polisi yang diangkat Jepang sedang memimpin penaikan bendera Merah Putih di sana. Pada 

waktu itu Muhammad Hasyim ditegur dan dihalang-halangi; bah￾kan kemudian bendera yang telah dikibarkan itu diturunkannya. 

Perbuatan serdadu Jepang itu tidak diterima dan pada saat itu 

pula seorang peserta, yaitu Muhammad Amin Bugis, dengan 

bersemangat merampas kembali Bendera Merah Putih dari ser￾dadu Jepang itu, lalu menaiki tiang bendera untuk selanjutnya 

mengikat tali bersama bendera kembali. Tindakan dengan sema￾ngat yang meluap ini tidak berhasil dihalangi oleh pihak Jepang, 

sehingga mereka membiarkan saja Bendera Merah Putih berkibar 

di depan kantor Keimubu itu

 25

. Dan di tempat ini pula kemu￾dian dibangunkan sebuah tugu untuk memperingati penaikan 

bendera Merah Putih yang sampai saat ini dianggap pertama kali 

di daerah Aceh (tugu tersebut sekarang dapat kita saksikan di de￾pan Kantor Baperis). 

Selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1945, pemuda A. Ha￾sjmy beserta rekan-rekannya juga menaikkan bendera Merah Putih 

di depan kantor Aceh Sinbun. Di sini juga mendapat tantangan 

dari pihak pembesar Jepang, antara lain dari H. Nagamatsu, se￾orang pejabat teras pada Hodoka (Kantor penerangan Jepang), 

namun usaha mereka menemui kegagalan

 26

. Setelah itu kegiatan 

penaikan bendera Merah Putih semakin bersemangat dilakukan 

ditempat-tempat lain di Kutaraja dan sekitarnya. Dan selama 

bulan September sampai awal Oktober 1945 pengibaran Bendera 

Merah Putih telah berlangsung di Kota-kota lain di seluruh Aceh, 

seperti : Sigli, Bireuen, Lho' seumawe, Lho' sukon, Idi, Langsa, 

Kuala Simpang, Kuta Cane, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan 

lain-lain

 27

Untuk lebih meratakan pengibaran bendera Merah Putih 

sampai ke pelosok-pelosok desa dan sejalan pula dengan mempe￾ringati dua bulan Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 13 Oktober 

1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh, melalui 

Maklumat No. 2 secara resmi memerintahkan pengibaran bendera 

sampai tanggal 17 Oktober pada tiap-tiap rumah di seluruh Daerah 

Aceh. Adapun isi maklumat tersebut selengkapnya

 28

, ialah : 

MAKLOEMAT NO. 2 

Dipermakloemkan kepada segenap pendoedoek bangsa Indo￾nesia di daerah Atjeh, soepaja dimoeka tiap-tiap roemah 

dikibarkan bendera kebangsaaan Indonesia, dengan keten￾tuan : 

a. dikibarkan moelai ini hari sampai tanggal 17 Oktober 

1945. 

b. Bendera dikibarkan moelai djam 7 pagi sampai djam 6 

sore (Sumatera). 

c. Djikalau waktoe hoedjan, bendera tidak usah dikibarkan. 

Koetaradja, 13 Oktober 1945, Ketoea Poesat 

Komite Nasional 

Toeankoe Mahmoed. 

Mengenai pembentukan KNI daerah Aceh, yang sampai saat 

itu telah mengeluarkan tiga buah maklumat (yang pertama, tang￾gal 4 Oktober tidak bernomor mengenai pemerintahan R.I. di Su￾matera dan Aceh; kedua tanggal 10 Oktober maklumat no. 1 me￾ngenai uang kertas Jepang masih berlaku dan uang kertas Belanda 

cetakan baru tidak berlaku di daerah Aceh

 29 ), sebenarnya telah 

dirintis sebelum bulan Oktober. Pada tanggal 28 Agustus 1945 

Teuku Nyak Arief, setelah menerima kawat dari Dr. A.K. Gani 

dan Muhammad Syafie, telah mengambil inisiatif untuk itu. Se￾bagai ketua pertama terpilih Teuku Nyak Arief yang selama ini 

juga memangku jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh 

bentukan Jepang (Aceh - Syu Sangi-Kai) dan sebagai wakil ketua 

terpilih Tuanku Mahmud. Tetapi pada waktu susunan anggotanya 

belum sempurna; baru setelah secara resmi pemerintahan R.I. 

di daerah Aceh terbentuk (Keresidenan Aceh sejak tanggal 3 Ok￾tober 1945), susunan anggotanya disempurnakan, yakni sejumlah 

65 orang (lihat lampiran) dan ditunjuk (belum mungkin diadakan 

pemilihan) berdasarkan pencalonan dari partai-partai. Selanjutnya jabatan ketua, sejak tanggal 10 Oktober 1945, seperti terlihat dari 

maklumat yang dikeluarkan, digantikan oleh Tuanku Mahmud, 

sedang Teuku Nyak Arief tetap memangku Jabatan residen Aceh, 

yang telah dijabatnya sejak 3 Oktober 1945. Adapun kantor KNI 

Daerah Aceh yang pertama adalah bekas Centraalkantoor derland￾schapskassen di Kutaraja (JalanCut Mutia sekarang)dan kemudian 

berpindah kesebuah gedung bekas milik seorang pengusaha Belan￾da, bernama Kerlen (sekarang menjadi Kantor Polisi Resort Ko￾tamadya Banda Aceh/Kabupaten Aceh Besar di jalan Cut Mutia)30 

Selain itu dapat juga ditambahkan, bahwa sejak berita Prok￾lamasi Kemerdekaan diterima di daerah Aceh, Teuku Nyak Arief 

selalu mengibarkan bendera Merah Putih kecil pada mobil

 81" Hal 

ini juga menyebabkan rakyat semakin berani bertindak untuk me￾ngibarkan bendera, baik di tempat-tempat umum, maupun di de￾pan rumahnya sendiri. 

Dan beriringan dengan kegiatan pengibaran bendera Sang Merah 

Putih di seluruh Daerah Aceh berlangsung pula tindakan pengam￾bil-alihan kekuasaan dan perebutan senjata dari pihak Jepang serta 

membentuk pemerintahan R.I. di sana. Hal ini akan dibicarakan 

lebih lanjut dalam bagian berikut dibawah ini. 

B. Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Daerah Aceh. 

Meskipun berita Proklamasi Kemerdekaan telah tersebar luas 

di Daerah Aceh sejak akhir Agustus - September 1945, namun 

pemerintahan R.I. yang definitif baru terbentuk dan digerakkan 

di sana sejak tanggal 3 Oktober 1945, yaitu setelah keluarnya 

pengumuman resmi Gubernur Sumatera yang menyatakan bahwa: 

"Pemerintahan Negara Repoeblik Indonesia moelai dengan resmi di￾jalankan dengan Poelaoe Soematera, dengan pengangkatan residen￾residen seloeroeh dan staf Goebernoer dengan mempergoenakan 

kekoeasaan yang diberikan Presiden Negara Repoeblik Indone￾sia"

 32

. Tetapi ini tidak berarti pada waktu sebelumnya para 

pemimpin di Aceh tidak berusaha ke arah itu, bahkan pengumum￾an tersebut lebih merupakan pengesahan dari pihak atasan kepadapemerintah daerah keresidenan Aceh yang telah disusun sebe￾lumnya dan telah menyatakan sumpah setia kepada Negara Re￾publik Indonesia, serta kendatipun adanya hambatan-hambatan 

dari pemerintahan pendudukan Jepang yang masih berkuasa atas 

nama sekutu pada waktu itu mulai menggerakkan roda pemerin￾tahan disana. 

Sehubungan dengan di atas, pada bulan September 1945 

Teuku Nyak Arief dalam kedudukannya selaku Atjeh-syu Sangi￾kai-tyo (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh; dan secara 

tidak resmi pada waktu itu Teuku Nyak Arief juga telah menjadi 

ketua Komite Nasional Daerah Aceh), telah membuat surat Pe￾rintah kepada Teuku Panglima Polem Mohd. Ali (Panglima Sagi 

XXII Mukim Aceh Besar) untuk menemui Atjeh Syu Sei Tyo 

"Somubu—tyo (Kepala Urusan Pemerintahan umum pada Kantor 

Keresidenan Aceh). Dalam surat itu Teuku Nyak Arief meminta 

agar Somubu Tyo menghadap Atjeh Syu Tjokan (Residen Aceh) 

S. Iino untuk membicarakan penyerahan pemerintahan dari 

Jepang kepada Teuku Panglima Polem. Ditegaskan juga melalui 

Panglima Polem, bahwa sejak waktu itu Teuku Nyak Arief tidak 

bersedia lagi mengadakan hubungan dengan Jepang. Pembicaraan 

pada hari itu tidak memperoleh hasil yang positif; alasannya ialah 

Tyokan (Residen) tidak dapat bertindak lebih jauh selain dari 

yang telah ditentukan oleh sekutu. Namun, nampaknya sikap 

Tyo kan S. Iino tidak sekeras lad seperti pada waktu yang lalu. 

Hal ini tampak juga dari kedatangan Somubu Tyo ke rumah Teuku 

Panglima Polem pada sore harinya dengan membawa uang seba￾nyak R. 100.000,— (seratus ribu rupiah Jepang) yang katanya 

berasal dari pemberian Tyokan untuk dapat dipergunakan dimana 

perlu. Uang itu kemudian oleh Teuku Panglima Polem diserahkan 

kepada Teuku Nyak Arief yang dipergunakan sebagai modal per￾tama untuk menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia 

di Daerah Aceh

 33

Karena sikap Tyokan S. Iino yang demikian menyebabkan 

para pemimpin di Aceh menentukan sikapnya sendiri. Mereka 

segera bertindak untuk menyusun aparat pemerintahan Keresi￾denan Aceh. Dan dalam bulan September 1945 itu juga semua 

pegawai bangsa Indonesia, yang selama ini bekerja pada kantor 

pemerintahan Jepang di ibukota Kutaraja, disumpahkan oleh 

Teungku Ismail Ja'cob menjadi pegawai Pemerintah Republik 

Indonesia

 34

- Kegiatan pengambil alihan pemerintahan dari ta￾ngan Jepang secara bertahap terus ; dilaksanakan; dan tampaknya 

tentara Jepang tidak mampu mengatasinya, walaupun Tyokan 

S. Iino sejak tanggal 25 Agustus 1945 telah mengeluarkan mak￾lumat yang mengancam: "Barang siapa yang melaksanakan ke￾amanan atau mengganggoe kesentosaan negeri akan dikenakan 

hoekoeman berat"

 36

Hal ini tentu erat hubungannya dengan adanya semangat rakyat 

yang meluap-luap, terutama dalam rangka kegiatan mereka mere￾but senjata dari tentara Jepang, di samping sikap keras dan diplo￾matis para pemimpin Aceh dalam menghadapi pejabat teras pe￾merintahan Jepang di sana, sehingga membuat mereka, yang pada 

waktu itu memang tidak bersemangat lagi, menjadi lemah dan 

tidak berdaya. 

Langkah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian segera 

adalah mengenai kepala pemerintahan di daerah-daerah seluruh 

Aceh. Untuk ini para pegawai Indonesia, yang selama ini dite￾tapkan oleh Jepang sebagai Fuku Bunsyu—tyo (Wakil Asisten 

Residen ; Asisten t Residen adalah orang Jepang sendiri) sementara 

ditunjuk untuk menjabat Asisten di daerahnya. Sedang Guntyo 

(Contreleur atau Kepala Wilayah ) dan Suntyo yang mengepalai 

daerah Uleebalang sebagaimana biasa tetap mengepalai pemerin￾tahan di daerah mereka masing-masing. Mengenai nama-nama dae￾rah_tersebut pada mulanya dikem balikan seperti nama sebelum masa 

pendudukan Jepang, yaitu : daerah-daerah yang dikepalai oleh 

Asisten Residen disebut Afdeeling (kemudian tahun 1946, men￾jadi Kabupaten di kepalai oleh Bupati) dan daerah-daerah yang 

dikepalai oleh Contreleur atau kepala Wilayah disebut Onderaf￾deeling ( tahun 1946 menjadi wilayah dan kemudian Kewedana￾an) Sedang daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang 

uleebalang (Teuku Chik, Keujruen, Raje dsb), namanya tidak di￾kembalikan menjadi daerah Zelfbestuur atau uleebalang seperti 

pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, melainkan tetap dise-

but daerah Uleebalang (setelah terjadi revolusi sosial, pada awal 

tahun 1946 daerah ini disebut Negeri dengan dikepalai oleh 5 

orang Dewan Pemerintahan Negeri ). 

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas menjadi jelas, 

bahwa, sekalipun ada tekanan dan hambatan dari tentara dan 

pemerintahan Jepang yang pada waktu itu masih berkuasa atas 

nama sekutu, secara tidak resmi unsur-unsur pemerintahan negara 

Republik Indonesia di daerah Aceh telah mulai bekerja sebelum 

keluarnya pengumuman dan penetapan resmi Gubernur Pro￾pinsi Sumatera (salah satu Propinsi , yang membawahi beberapa 

keresidenan, termasuk keresidenan Aceh di Sumatera, dari 8 Pro￾pinsi Negara Republik Indonesia sesuai dengan keputusan sidang 

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustus 

1945). 

Pada tanggal 22 Agustus 1945 Ir. Soekarno atas nama pr 

mimpin Besar Bangsa Indonesia pada waktu itu mengangkat M 

Teuku Muhammad Hasan, anggota Panitia Persiapan Kemerdek 

an Indonesia dari Sumatera, sebagai wakilnya di Sumatera; ôi 

"mewajibkan beliaoe serta memberikannya koeasa oentoek m 

nyelenggarakan segala kepoetoesan yang diambil dalam sida M 

Panitia Persiapan Kemerdekaan dan Oentoek mewoejoedkan ci 

cita yang lain, yang telah dilahirkan dalam sidang tersebut. 

Kemudian, untuk lebih mempertegas pengangkatan ini, pada tai 

gal 29 September 1945, Presiden Negara Republik Indones 

Ir. Sukarno, menetapkan Mr. Teuku Muhammad Hasan menj. 

Gubernur Propinsi Sumatera dan wakil Pemerintah Pusat disan 

Berdasarkan wewenang yang diberikan itu, mak pada tanggal 3 Oi> 

tober 1945 Gubernur Sumatera mengeluarkan pengumuman sepe 

ti yang telah disebutkan di muka yang kemudian disusul dengan 

ketetapan-ketetapan mengenai pengangkatan residen di seluruh 

Sumatera, susunan staf pemerintahan Sumatera dan jawatan-jawat￾an beserta dengan kepala Jawatan masing-masing, baik pada ting￾kat propinsi maupun pada tingkat Keresidenan. Sebagai wakil 

pemerintah pusat Negara Republik Indonesia, Gubernur Sumatera 

juga menetapkan sejumlah peraturan yang seharusnya menjadi 

wewenang pemerintah pusat, seperti : Peraturan tentang Pemben￾tukan Dewan Perwakilan Sumatera (tanggal 12 April 1946, no. 8/ 

M.G.S.), Peraturan Gaji Pegawai Negeri di Sumatera (PGS 1946, 

tanggal 22 Juli 1946, no. 128 a), Peraturan tentang pengeluaran 

uang/tanda pembayaran resmi di Sumatera (tanggal 8 April 1947, 

no. 92/K.O) dan masih banyak lagi37

Dengan ketetapan-ketetapan ini, maka administrasi pcmenntan 

Republik Indonesia secara resmi telah mulai dijalankan di Suma￾tera, termasuk juga di daerah Aceh. 

Sejak tanggal 3 Oktober 1945, berdasarkan ketetapan Guber￾nur Sumatera dari Negara Republik Indonesia No. 1/X, Teuku 

Nyak Arief selama ini seperti telah disebutkan di muka selaku Ke￾tua Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh telah banyak berpe￾ranan dalam menggerakkan roda pemerintah Republik Indonesia 

di sana, diangkat menjadi Residen Aceh.38

 Setelah itu disusul 

pula dengan sejumlah ketetapan lain, seperti Ketetapan Gubernur 

tanggal 28 Desember 1945, no. 71, tanggal 23 Pebruari 1946, 

no. 48, tanggal 11 Agustus 1946, No. 204 dan lain-lain, yang 

berhubungan dengan pembagian Wilayah administrasi keresidenan 

Aceh, penunjukan kepala-kepala Jawatan, asisten residen dan 

kepala-kepala wilayah (controleur) di seluruh daerah Aceh (untuk 

daerah-daerah Uleebalang kepala Pemerintahan dipegang secara 

turun temurun dan segera beralih setelah terjadi revolusi sosial, 

dimana status daerah-daerah tersebut menjadi negeri yang dalam 

proses selanjutnya menjadi Kecamatan). Pada dasarnya ketetapan￾ketetapan yang dikeluarkan itu adalah merupakan pengesahan ter￾hadap kebijaksanaan yang telah ditempuh ^sebelumnya oleh para 

pemimpin daerah-Aceh pada umumnya- dan Teuku Nyak Arief 

khususnya. Mengenai para pejabat yang diangkat itu pada umum￾nya terdiri dari pejabat-pejabat, seperti juga telah disinggung di 

muka, yang telah pernah di tetapkan oleh pemerintah Jepang se￾belumnya (Fuku Bunsyutyo, Guntyo dsb); dan sebagian besar 

dari mereka adalah terdiri dari para uleebalang yang memang mem￾punyai keahlian untuk itu, berhubung dengan tingkat pendidikan 

mereka yang pernah diperoleh pada masa pemerintahan kolonial 

Belanda dahulu. Hal ini akan banyak mengalami pergeseran nanti 

pada tahun 1946, setelah terjadinya revolusi sosial (mengenai na￾ma-nama pejabat pemerintahan sampai tahun 1948, pembagian 

wilayah administrasi Keresidenan Aceh, lihat lampiran dan ban￾dingkan nama-nama pejabat tersebut sebelum dan sesudah terjadi 

revolusi sosial). 

Dalam menjalankan Pemerintahan sehari-hari Residen T. Nyak 

Arief dibantu oleh wakil Residen T. Mohd. Ali Panglima Polem 

dan Badan Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah 

Istimewa Aceh yang diketahui Tuanku Mahmud (Wakil Ketua, 

kçmudian ketua KNI Daerah Aceh) dengan di dampingi oleh 

anggota staf harian KNI yang terdiri dari M. Hoesin, Teuku Hana￾fiah, S.M. Geudong, Hasan Basri dan M. Mochtar.

 89

 Demikian 

juga di afdeeling-afdeeling (Kabupaten), asisten Residen menja￾lankan pemerintahan di sana bersama-sama dengan Komite Na￾sional setempat. Mengenai pembentukan Cabang Komite Nasio￾nal di sini, juga tidak luput dari hambatan-hambatan tentara 

Jepang, sehingga ada daerah-daerah baru pada awal tahun 1946 

berhasil membentuknya, seperti daerah Aceh Tengah umpamanya 

secara definitif pembentukannya baru dapat dilakukan pada tang￾gal 19 Pebruari 1946, yang dilantik oleh Residen Teuku Muham￾mad Daudsyah (Residen Aceh yang ke dua) dengan susunan pengu￾rusnya terdiri dari Ketua I dan II : Saleh Yafas dan Muda sedang, 

setia usaha Mukhtar S.K. dan beberapa orang anggota40

Untuk dapat diketahui secara lebih luas mengenai pembentukan 

pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera umumnya dan dae￾rah Aceh khususnya serta mengenai situasi negara pada waktu itu 

setelah satu hari pengangkatannya, Residen Teuku Nyak Arief se￾laku ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh pada 

tanggal 4 Oktober 1945 mengeluarkan maklumat yang ditujukan 

kepada seluruh rakyat di daerah Aceh. Mengingat pentingnya maklu 

mat tersebut, sebagai maklumat pertama (bukan Makloemat No.I) yang secara resmi dikeluarkan oleh KNI Daerah Aceh, baiklah isi 

seluruhnya dikutip seperti berikut.41 

MAKLOEMAT. 

1. Siaran pihak Belanda, bahwa Ir. Soekarno dan Drs. Hatta 

ditangkap bohong semata-mata. 

2. Republik Indonesia de facto diakoei, de jure beloem. 

3. Van der Plas dan Van Mook ingin mengadakan moesja￾warah dengan Soekarno. 

4. Belanda tidak dibolehkan oleh Sekoetoe mendatangkan 

lasjkarnja sebab mungkin terjadi peperangan antara Indo￾nesia dan Belanda. 

5. Goebernoer Soematera Mr. T. M. Hasan. 

6. Residen Aceh Teuku Nyak Arief. 

7. Pemerintah Republik Indonesia bekerdjasama antara ten￾tara Inggris dan India sebagai wakil sekoetoe oentoek 

menjaga keamanan. 

8. Amerika, Inggris, Sovjet dan Tjoengkin-g sekarang se￾dang membentoek Madjelis Tinggi Oentoek Oeroesan 

Asia Tim oer Raja. 

9. Sjech Djamil Djambek Menjeroekan kepada Kaoem 

Moeslimin seloeroeh Soematera oentoek mencoerahkan 

segala tenaga lahir dan bathin oentoek Repoeblik Indo￾nesia. 

10. Di Langsa dan Tapak Tuan telah berdiri barisan Pemoeda. 

Pengoeroes Komite Nasional Daerah Atjeh 

Teuku Nyak Arief. 

Dengan terbentuknya badan Pemerintah Republik Indonesia di 

Daerah Aceh dan disusul pula dengan maklumat tersebut di atas 

kedudukan pemerintah Jepang di sana semakin terdesak; apalagi 

setelah Tuanku Mahmud secara diam-diam menyerukan kepada 

pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang bekerja pada kantor-kantor 

pemerintah Jepang di Kutaraja agar mereka tidak melakukan 

tugasnya selama 3 hari dân berhasil baik42

. Sementara itu pada 

mobil Residen Teuku Nyak Arief selalu dikibarkan bendera Merah 

Putih kecil yang juga turut memberi pengaruh psikologis kepada 

pegawai-pegawai bangsa Jepang, terutama dalam kaitan dengan 

usaha pegawai-pegawai bangsa Indonesia untuk menguasai kantor￾kantor pemerintahan. Dan berkat sikap diplomatis Tuanku Mah￾mud selaku Ketua Badan Eksekutif KNI Daerah Aceh dalam meng￾hadapi perundingan -perundingan dengan Tyokan S. Iino (Residen 

Jepang), satu demi satu kantor-kantor pemerintahan Jepang itu 

berhasil dikuasai oleh pegawai-pegawai bangsa Indonesia, yang se￾benarnya, setelah disumpah pada bulan September 1945, telah 

menjadi pegawai negeri Republik Indonesia, tanpa banyak meng￾hadapi rintangan dan bentrokan. 

Bagaimanapun, Pemerintahan Republik Indonesia di daerah 

Aceh, yang baru dibentuk dibawah pimpinan Residen Teuku 

Nyak Arief dan Tuanku Mahmud selaku Ketua Badan Exsekutif 

KNI daerah Aceh, harus menghadapi berbagai masaalah yang men￾desak sesuai dengan situasi negara pada waktu itu, adapun masa￾lah-masalah tersebut-yang memerlukan penyelesaian dengan se￾cepat mungkin, dalam garis besarnya dapat diperinci sebagai beri￾kut : 

1. Masalah pertahanan negara yang menghadapkan pemerintah 

daerah dalam waktu singkat harus mengorganisir kekuatan ber￾senjata di seluruh daerah Aceh. 

2. Masalah tentara pendudukan Jepang yang belum meninggalkan 

daerah Aceh dan kedatangan utusan sekutu, di samping tujuan 

lain yang mereka sembunyikan (dimaksudkan di sini adalah 

mempelajari situasi daerah Aceh untuk membuka jalan, kalau 

mungkin, bagi masuknya tentara kolonial Belanda kembali ke 

sana). 

3. Perpecahan antara sesama pemimpin Aceh dan kemudian men￾jurus kepada pecahnya perang saudara yang dikenal dengan na￾ma revolusi sosial. 

Meskipun Teuku Nyak Arief, sebagai Residen Aceh,hanya 

4 bulan memimpin pemerintahan di sana, namun ke tiga masalah 

pokok yang disebutkan di atas berhasil diselesaikannya dengan 

baik sekali. Pada waktu ia meletakkan jabatan, pada bulan Ja￾nuari 1946, dasar-dasar pemerintahan R.I. yang permanent telah 

terwujud di sana, sehingga penggantinya, Residen Teuku Muham￾mad Daudsyah dapat meneruskan ke arah kesempurnaan. Ba-

gaimana peranan Teuku Nyak Arief, dalam mendarma baktikan 

tenaganya bagi kepentingan Negara Republik Indonesia selama 

masa jabatannya yang singkat itu, akan diuraikan lebih lanjut 

dalam bagian-bagian berikut dibawah ini : 

C. Pembentukan Organisasi Kemiliteran dan Kelasykaran Rakyat 

Sejak berita proklamasi diterima di daerah Aceh, khususnya 

di Kutaraja, para pemimpin di sana telah memikirkan dan berusa￾ha ke arah pembentukan Organisasi pertahanan dan keamanan 

rakyat di daerah Aceh, dalam rangka mempertahankan Kemerde￾kaan Indonesia yang baru diproklamirkan itu. Inisiatif ini pada 

mulanya datang dari beberapa bekas perwira Gyugun (organisasi 

pertahanan rakyat atau tentara sukarela yang dibentuk Jepang dan 

kemudian dibubarkan) di Kutaraja, antara lain : Syamaun Gharu, 

Nyak Neh Rika, Usman Nyak Gade, Teuku Hamid Anwar, Said 

Usman, Bakhtiar Idham dan masih banyak lagi. 

Pada tanggal 27 Agustus 1945 (hari Senin) para perwira ter￾sebut berkumpul di salah satu kamar Hotel Sentral, Jalan Mohd. 

Jam Kutaraja (sekarang telah dibongkar). Pertemuan yang per￾tama kali ini dan tidak resmi karena menghindari pengawasan Jepang 

telah menghasilkan suatu keputusan, yaitu : mengirim utusan yang 

terdiri dari Syammaun Gaharu dan T. Hamid Azwar kepada 

Teuku Nyak Arief, guna mendengar pendapat beliau mengenai 

gagasan mereka. Hasil konsultasi itu ternyata sangat memuaskan; 

Teuku Nyak Arief, yang pada waktu itu belum menjadi residen 

Aceh, tetapi selalu diminta pertimbangannya sesuatu yang oleh 

para pemimpin disana, menyambut baik idee pembentukan suatu 

badan (organisasi) yang dapat mempersatukan semua bekas Gyu￾gun, Heiho, Tokubetsu Hikojo Kinmutai dan Tokubetsu Keisat￾sutai, yang akan menjadi dasar bagi tumbuhnya angkatan perang 

Indonesia di Aceh nanti. Disarankan juga agar dalam pembentukan 

itu diikut sertakan bekas tentara KNIL (tentara Hindia Belanda) 

dahulu, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengalaman dan 

keahliannya bagi Negara Indonesia merdekaSetelah melakukan pembicaraan yang mendalam melalui 

beberapa kali musyawarah, akhirnya diputuskan untuk mendiri￾kan Angkatan Pemuda Indonesia (API) diseluruh daerah Aceh. 

Maka pada permulaan bulan Oktober 1945 tersusunlah secara de￾finitif struktur dan susunan pengurus API di Aceh, yang terdiri 

dari : 

1. Markas daerah, berkedudukan di Kutaraja (markasnya mula￾mula di Hotel Sentral, kemudian berpindah ke Toko J. Pinke 

Ujung Peunayong, Toko B. Naas sekarang Sabang Coy., As￾rama Kuta Alam dan akhirnya ke Asrama Keraton) dengan su￾sunan pengurus, Ketua/Komandan : Syamaun Gaharu ; Kepala 

Staf : T.A. Hamid Azwar; Sekretaris : Husin Yusuf; anggota 

sekretariat : Ishak; Anggota : Nyak Neh Rika, Said Usman, 

Said Ali, T.M. Daud Samalanga, T. Sarong, Bakhtiar Idham, 

T. Abdullah dan Saiman. 

2. Wakil Markas Daerah, untuk sementara dibemuk hanya 4 dae￾rah, yaitu : 

2.1. 'Wakil Markas daerah Aceh Besar dan Pidie, di bawah 

pimpinan Nyak Neh; 

2.2. Wakil Markas Daerah Aceh Utara dan Tengah, di bawah 

pimpinan T.M. Syah; 

2.3. Wakil Markas Daerah Aceh Timur, di bawah pimpinan 

Bakhtiar; dan 

2.4. Wakil Markas Daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan, di￾bawah pimpinan Tjut Rachman.

 44 

Setelah staf pengurus API daerah Aceh berhasil di susun, 

pada tanggal 6 Oktober 1945, jam 13.00 waktu setempat, dike￾luarkan seruan yang ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat 

agar membantu dan menyokong API yang lahir itu. Seruan yang 

telah mengejutkan pemerintah Jepang di Kutaraja pada waktu itu, 

selengkapnya berbunyi : 

SEROEAN TANAH AIR.

 46 

Di seloeroeh Atjeh telah berdiri Angkatan Pemoeda Indo￾nesia - A . P . I. A.P.I, akan mendjadi dasar tentara Repoeblik Indonesia. 

A.P.I. akan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. 

A.P.I. akan mendjaga keamanan dan ketenteraman Oemoem. 

SOKONGLAH A. P. I. 

Bentoeklah badan penjokong API (Bapa) disegala pelosok. 

Bapa moesti berdiri di samping API kalau tidak API ta' 

moengkin bergerak. 

Kaoem hartawan ! ! Lemparlah Keradjaan toean-toean pada 

ini waktoe oentoek Indonesia Merdeka. 

Kaoem bangsawan !! Bangoen, sadar dan toendjanglah tjita￾tjita jang soetji ini. 

Segala lapisan dan segala golongan ! 

Korbankanlah harta, tenaga dan pikiran 

harta djiwa sekalipoen asal oentoek Ke￾merdekaan INDONESIA. 

API mempoenjai poeloehan pasoekan 

dan riboean Angkatan Pemoeda di se￾loeroeh Atjeh. 

A.P.I. menoenggoe B.A.P.A. 

Markas Daerah Angkatan 

Pemoeda Indonesia (M.D.A.P.I). 

Dengan lahirnya API di Daerah Aceh maka dasar yang kuat 

untuk tumbuhnya tentara resmi Negara Republik Indonesia di 

sana telah mulai diletakkan. Dalam proses selanjutnya API ber￾tukar nama menjadi TKR (Tentera Keamanan, kemudian Kese￾lamatan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) 

dan akhirnya menjadi TNI (Tentera Nasional Indonesia) sesuai de￾ngan ketentuan dari pemerintah Pusat. Dan pada uraian-uraian 

berikut selanjutnya akan dikemukakan peranan API dalam me￾ngemban tugasnya, seperti yang telah diikrarkan, yaitu : mem￾pertahankan kemerdekaan Indonesia serta menjaga keamanan 

dan ketenteraman umum (lihat di atas). 

Sementara itu, pada bulan September 1945, bekas anggota 

KNIL (Tentera Hindia Belanda) juga mengambil inisiatif un￾tuk membentuk polisi istimewa di Kutaraja. Pasukan Kepolisian 

ini, setelah dibentuk polisi tentara, pada bulan Februari 1946 

dilebur menjadi pasukan meriam di bawah pimpinan bekas Letnan II KNIL, Lintong, yang berasal dari daerah Minahasa 

(Sulawesi Utara)

 46

. Pasukan Meriam ini diperlengkapi dengan 

senjata-senjata berat yang direbut dari Jepang, terutama dalam 

pertempuran yang terjadi di Lho 'Nga pada bulan Desember 1945 

(lihat di bawah); dan telah turut berjasa di samping pasukan 

meriam lainnya, dalam menjaga pantai di sekitar Kutaraja selama 

Revolusi Kemerdekaan. Selanjutnya dari pihak Kepolisian, mulai 

tampak kegiatan Polisi-polisi bangsa Indonesia untuk melepaskan 

diri dari ikatan pemerintah Jepang. Bahkan di Langsa, Aceh 

Timur, sejak 1 Oktober 1945 Kepala Polisi di sana Abdullah Hu￾sein telah mulai bertindak kearah itu; dan dalam bulan Oktober 

itu juga ia beserta anak buahnya telah menyatakan diri menjadi 

Polisi dari Negara Republik Indonesia.

 47

 Di Kutarajal

 Wakil 

Kepala Polisi Daerah Aceh, Muhammad Hasyirn, setelah meneri￾ma kawat tanggal 1 Oktober 1945 dari bawahannya, Abdullah 

Husein di Langsa, juga segera bertindak untuk menguasai Kantor 

Polisi daerah Aceh. Seperti telah disebutkan dimuka pada akhir 

1945 dengan pistol ditangan ia telah memimpin penaikan bendera 

Merah Putih di samping Kantor Polisi Jepang. 

Atas inisiatifnya dalam waktu relatif singkat barisan Kepolisian 

Negara Republik Indonesia berhasil dibentuk di daerah Aceh dan 

Muhammad Hasyim pada awal Revolusi Kemerdekaan ditunjuk 

menjadi Kepala Polisi R.I. yang pertamadi sana.

 48

Dipihak lain, para pemuda yang tidak bergabung dalam API 

juga berusaha untuk mendirikan badan Perjuangan Rakyat dengan 

tujuan yang sama, yaitu mempertahankan proklamasi dari segala 

rong-rongan musuh, baik yang datang dari luar maupun dari dalam 

daerah. Di kantor Surat Kabar Aceh Sinbun (Surat Kabar masa 

Pendudukan Jepang di bawah asuhan tenaga-tenaga Indonesia dan 

Jepang; setelah Proklamasi tidak terbit lagi), para pengasuh surat 

kabar tersebut seperti A. Hasjmy, Talsya dan lain-lain, sejak berita 

Proklamasi diterima di sana telah melakukan kegiatan untuk men￾dirikan sebuah organisasi pemuda yang diberi nama Ikatan Pemuda 

Indonesia (IPI). Pada tanggal 4 Oktober 1945 susunan pengurus IPI yang pertama telah tersiar, terdiri dari, Ketua I dan II : A. Ha￾sjmy dan T. Manyak Arief; Setia Usaha I dan II : Usman dan 

Anwar Manyak; Bendahara : Zaini Bakry; Pembantu - pembantu 

M. Saleh Rahmany, Muhammad ZZ. Tuanku Abdul Wahab dan 

Muhammad Juned; dan diperlengkapi dengan komisaris-komisaris 

Tuanku Hasyim, Ghazaly Yunus, Murdani, Tungku Idris, Asman 

Potan Harahap, Mukhtar Lubis, Said Ahmad Dahlan dan H. Ja￾min.

 49

 Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1945 IPI bertukar 

nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dengan susunan 

pengurus yang diperbaharui, terdiri dari, Ketua Umum, I dan II : 

A. Hasjmy, M.Saleh Rahmany dan Muhammad Z.Z.; Setia Usaha 

Umum, I, II, III, dan IV, masing-masing terdiri dari Tuanku Ha￾syim, Potan Harahap, Sulaiman Arsyad Abubakar dan Sang Syarif: 

Bendahara : H. Jamin ; dan diperlengkapi dengan, badan Keuang￾an, ketua : Muhammad Junat ; Badan Penerangan Ketua : Said Ah￾mad Dahlan ; Badan pengarahan tenaga, Ketua : Sauni dan Zaini 

Bakry; Badan Kepanduan, ketua: Murdani, dan Badan Palang 

Merah, Ketua : Asman .

50 

Dengan terbentuknya API dan BPI berarti dasar-dasar orga￾nisasi kemiliteran dan perjuangan telah mulai diletakkan di Aceh. 

Dalam waktu relatif singkat ke dua organisasi itu meluas ke se￾luruh daerah. Dan ini, seperti telah disinggung juga di atas, sangat 

mengejutkan pemerintah Jepang di Kutaraja. Karena itu pada 

malam hari tanggal 6 Oktober 1945, setelah siangnya keluar seruan 

API dan terbentuk susunan pengurus BPI, Atjeh Syu Tyokan 

S. Iino mengundang para pemimpin Aceh ke rumahnya guna 

membicarakan situasi ibukota Kutaraja khususnya dan daerah 

Aceh pada umumnya. 

Mereka yang turut hadir pada malam itu, dari pihak Aceh : Teuku 

Nyak Arief (Residen R.I. Daerah Aceh), Tuanku Mahmud (Ke￾tua KNI Aceh), Teumjku Muhammad Daud Beureueh (Ketua 

PUSA dan anggota KNI Daerah Aceh), Syamaun Gaharu (Ketua 

Markas API), A. Hasjmy (Ketua BPI), T. Ahmad Jeunieb (Asisten 

Residen R.I. Aceh Besar), T. Tjut Hasan (Konsul Muhammadyah 

Daerah Aceh) dan Said Aboe Bakar (pelopor fujiwara kikan); dari 

pihak Jepang: Tyokan S. Iino sendiri, Atjeh Syu Seityo S. Masu￾butsi, Keimutyo (Kepala Polisi), Bo-ei Tai tyo (Kepala Perta￾hanan), Kempei Taityo (Kepala Polisi Militer) dan Juru Bahasa 

T. Eiri Dalam pertemuan itu S. Iino menegaskan bahwa, meski￾pun Jepang telah kalah, namun masih diberi kuasa oleh sekutu 

dan bertanggung jawab di dalam hal pemerintahan dan keamanan 

daerah ini. Karena itu segala kegiatan yang dilakukan harus deng￾an izin pemerintah Jepang. Dan diminta agar API dan BPI yang 

telah didirikan tanpa seizinnya serta mengarah seperti organisasi 

ketentaraan segera dibubarkan. Teuku Nyak Arief, seperti biasa 

kalau berhadapan dengan penjajah, menjawab dengan pedas, 

yang intinya, bahwa Jepang harus tahu diri mereka telah kalah 

dan tidak berhak lagi mengatur rakyat Indonesia, seperti pada 

masa mereka berkuasa dulu. Sedang Syamaun Gaharu menegas￾kan, bahwa tidak seorangpun berhak memerintahkan untuk mem￾bubarkan API, kecuali kalau Residen Negara Republik Indonesia 

yang memerintahkannya.

 51

 Dapat dikatakan pertemuan malam 

itu gagal total dan merupakan pukulan berat bagi pemerintah 

Jepang di daerah Aceh. 

Pada tanggal 9 Oktober 1945 Teuku Nyak Arief, selaku Re￾siden Aceh dari Negara Republik Indonesia memerintahkan agar 

API sebagai dasar dari Tentara Republik Indonesia harus lebih 

disempurnakan, sehingga benar-benar mengarahkan kepada orga￾nisasi ketenteraan yang lengkap. Karena itu Syamaun Gaharu sela￾ku Ketua Markas Daerah segera melaksanakan perintah itu. Wakil 

Markas Daerah (WMD) yang sebelumnya hanya 4 buah ditambah 

menjadi 8 WMD dan pada tiap-tiap WMD dibentuk 3- 4 pasukan 

yang dipimpin oleh seorang Komandan pasukan; kemudian disu￾sul pula dengan Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh bekas 

prajurit Gyugun, Heiho dll. agar dalam waktu singkat segera men￾daftarkan diri pada WMD atau pasukan setempat (mengenai nama￾nama WMD dan pasukan beserta Komandannya masing-masing 

lihat lampiran). 

Pada tanggal 12 Oktober 1945 Residen T. Nyak Arief me￾lantik API seluruh daerah Aceh secara serentak di Kutaraja (dalam 

surat edaran yang disebutkan di atas pelantikan itu akan dilaksana￾kan pada tanggal 14 Oktober; jadi mundur dua hari dari rencana 

semula). Semenjak itu secara resmi API Daerah Aceh menjadi 

organisasi Tentara Republik Indonesia yang sah di sana. Dalam 

proses selanjutnya, sejak tanggal 1 Desember 1945, API bertukar 

nama menjadi TKR (Pada waktu itu tidak lagi Tentara Keamanan 

Rakyat, tetapi Tentara Keselamatan Rakyat) dengan Komandan￾nya tetap seperti semula yaitu Syamaun Gaharu (berpangkat Ko￾lonel) dan Teuku Nyak Arief, selaku residen Aceh, dengan pangkat 

Jenderal Mayor Tituler, menjadi pelindungnya. Sejak tanggal 24 

Januari 1946, sejalan dengan keputusan Pemerintah Pusat tanggal 

8 Januari 1946 mengenai penggantian nama TKR Menjadi TRI 

(Tentara Republik Indonesi), TKR Aceh menjadi TRI Devisi V 

Sumatera. Dalam penyempurnaan selanjutnya, setelah penggantian 

Komandan Komandan pada bulan Maret 1946 dari Syamaun 

Gaharu kepada Husen Yusuf, TRI Aceh (Devisi V Sumatera) di￾jadikan Devisi Gajah I/dengan pengecualian kesatuan di Kutacane 

yang dijadikan Batalyon I Resimen I Devisi Gajah II (Sumatera 

Timur); dan pada bulan April 1947, Devisi Gajah I digabung 

dengan Devisi Gajah II menjadi TRI Devisi X Sumatera, yang pada 

waktu aksi Militer Belanda pertama markasnya berkedudukan di 

Bireuen(Aceh Utara), dengan Panglima dan Kepala Stafnya ma￾sing-masing Kolonel Husein Yusuf dan Kolonel H. Sitompul, 

bekas komandan devisi gajah II. Selanjutnya di Aceh juga diben￾tuk Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA), yang dipimpin oleh 

Said Usman (Kutaraja), H. Daud Daryah (Meulaboh) M. Adam 

(Langsa)dan lain-lain.

 53 

Sementara itu barisan Pemuda Indonesia (BPI), dalam rangka 

lebih meningkatkan organisasi itu sebagai Barisan Kelasykaran dan 

penyebaran keseluruh daerah, pada tanggal 12 Oktober 1945 

mengadakan konperensi pertama dengan mengambil tempat di 

rumah Tuanku Abdul Azis, Jalan Mohd. Jam No. 1. Konperensi 

di ikuti oleh para pemuda yang datang dari berbagai pelosok dae￾rah Aceh atas undangan Husein Al Mujahid yang pada mulanya 

dimaksudkan untuk membentuk suatu gerakan pemuda dengan 

tujuan mempertahankan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, te￾tapi berhubung telah ada BPI rencana itu dibatalkan. Dalam kon￾perensi itu diputuskan, bahwa pengurus pusat BPI yang telah di￾susun sebelumnya disetujui dan ditempatkan di Kutaraja, sedang 

di daerah-daerah Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Selatan, ma￾sing-masing ditempatkan seorang wakil majlis Daerah (WMD), yai￾tu Teungku Abdul Jalil Amin, Teungku Abdul Gani, Teungku 

Usman Peureulak dan Teungku Muhammad Abdul Syam.54

-

Selanjutnya 5 hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Okto￾ber 1945, BPI bertukar namanya menjadi Pemuda Republik 

Indonesia (PRI); dan sejak waktu itu PR1 Daerah Aceh mulai 

membentuk cabang-cabangnya diseluruh wilayah daerah Aceh, 

bahkan juga ranting-rantingnya di Kemukiman (Daerah di bawah 

Negeri atau Kecamatan sekarang). Pada hari itu juga PRI Daerah 

Aceh mengeluarkan Maklumat No. 4, berisi "panggilan umum" 

yang ditujukan kepada seluruh Pemuda Indonesia yang berumur 

18 tahun ke atas untuk mendaftar diri menjadi anggota PRI di 

wilayah atau ranting setempat. Ditegaskan pula dalam maklumat 

itu, bahwa : "Kemerdekaan Tanah Air tidak didapati dengan 

jalan mengemis, tetapi ia harus ditempa oleh tangan Poeteranya 

sendiri". Kemudian pada tanggal 20 Desember 1945 berdasarkan 

Ketetapan markas Tertinggi Pemuda Republik Indonesia di Yog￾yakarta, nama PRI Daerah Aceh mengalami perobahan lagi. yaitu 

Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO ) Daerah Aceh, dengan 

Ketuanya tetap seperti semula, ialah : A. Hasjmy. 

Dapat ditambahkan, bahwa, meskipun Pesindo daerah Aceh 

bernaung di bawah Pesindo Pusat, namun orientasi idiologi -

nya jauh berbeda, sehingga akibat sikapnya yang demikian Komi￾sariat Dewan Pusat Pesindo Sumatera menganggap Pesindo daerah 

Aceh tidak sah; dan setelah meietus peristiwa Madiun (Pemberon￾takan PKI/Muso), pada tanggal 19 Oktober 1948 Pesindo daerah 

Aceh melepaskan hubungan organisasinya dengan Pesindo Pusat 

yang telah turut campur dalam pemberontakan PKI itu.

 bb 

Karena Pesindo daerah Aceh mempunyai cabang dan ranting 

tersebar diseluruh Wilayah, maka dengan tidak banyak menemui 

kesukaran organisasi itu berhasil baik mengkoordinir Lasykarnya, 

yaitu : Kesatria Pesindo, yang kemudian dikenal dengan nama : 

Devisi Rencong, Barisan Kelasykaran ini terdiri dari 7 resimen, masing-masing ditempatkan di Kutaraja, Sigli (Pidie), Lhokseuma￾we (Aceh Utara), Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Barat dan 

Aceh Selatan; ditarribah dengan resimen wanita Pocut Baren de￾ngan Komandannya dari wanita sendiri, ialah : Zahara dan satu 

Batalyon Istimewa Altileri yang dipimpin langsung oleh Ko￾mandan Devisi Nyak Neh Lhok Nga. Selain itu, devisi juga diper￾lengkapi dengan a.l. perbekalan/persenjataan, di Lhok Nga, pelaya￾ran di Ulee Lheue dan Bank Pesindo di Kutaraja (mengenai struk￾tur organisasi dan personalia Divisi Rencong selengkapnya, lihat 

lampiran) 

Devisi Rencong Pesindo merupakan badan kelasykaran yang 

terlengkap, baik dari segi struktur organisasinya, maupun dari segi 

persenjataannya dan yang pertama lahir di daerah Aceh. Setelah 

itu menjelang tahun 1946dibentuk pula Barisan Mujahidin di ba￾wah pimpinan Teungku Mohd. Daud Beureueh dan Cek Mat 

Rahmany. Barisan Kelasykaran Mujahidin dikenal dengan nama 

Devisi X/Teungku Chik Di Tiro yang pada mula, Komandan De￾visinya Hasballah Daud, kemudian Cek Mat Rachmany; dan ter￾diri dari 5 resimen, yang masing-masing resimen membawahi be￾berapa batalyon (Susunan selengkapnya, lihat lampiran). Pada 

pertengahan tahun 1946 dibentuk lagi Barisan Berani Mati Lasykar 

Teungku Chik Paya Bakong, sebagai penjelmaan Tentera Perjuang￾an Rakyat (TPR) yang lahir pada permulaan tahun 1946. Markas 

Devisi ini tidak di tempatkan di Kutaraja seperti dua badan Ke￾lasykaran yang disebutkan terdahulu, melainkan di Idi (Aceh Ti￾mur), yaitu kota kelahiran Tentara Perjuangan Rakyat (TPR), di 

bawah pimpinan Amir Husein Al Mujahid. 

Adapun struktur organisasi divisi terdiri dari staf pimpinan 

divisi, komandan batalyon divisi berani mati, anggota staf Tentara 

Perjuangan Rakyat, staf Istimewa/mobilisasi dan staf istimewa/mo￾bilisasi wanita (personalia tiap bagian itu,lihat lampiran). Selain tiga 

badan kelasykaran yang telah disebutkan itu, di daerah juga terdapat 

dua resimen Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP, dibentuk 

Bulan September 1947); dan ke dua, yang dibentuk pada bulan 

Desember 1947 dan langsung berada di bawah Komando Divisi X 

TNI Sumatera, adalah Tentara Pelajar Islam (TPI). Badan Kelasy￾karan Pelajar ini juga diperlengkapi dengan bagian Palang Merah 

dan Dapur Umum (Struktur organisasi dan personalia kedua resi￾men tentara pelajar ini, selengkapnya lihat lampiran.

 5V 

Perlu juga dikemukakan, bahwa selama Revolusi Kemerdeka￾an (1945 — 1949) antara kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata 

resmi (TKR/TRI) dan badan-badan kelasykaran di daerah Aceh, 

yang pada masa sekarang anggota-anggotanya itu dihitung sebagai 

veteran pejuang Kemerdekaan dan jumlahnya diperkirakan tidak 

kurang dari 60.000 orang, tetapi yang baru terdaftar secara resmi 

pada kantor Administrasi Veteran I, Pusat Cadangan Nasional Dae￾rah Aceh hanya 35.075 orang,

 58

 Dalam berbagai kegiatan per￾juangan yang mereka lancarkan, selalu tampak berada dalam suatu 

koordinasi yang utuh; tidak terdapat unsur-unsur pemecahan dan 

persaingan yang berarti yang dapat melemahkan perjuangan pada 

waktu itu. Hal ini, nanti setelah keluarnya penetapan pemerintah 

(Berita Negara no. 24 tahun 1947) dan Ketetapan Wakil Presiden, 

Selaku Panglima Tertinggi TRI pada waktu itu, tertanggal Bukit 

Tinggi, 26 Agustus 1947, no. 3/BKPU/47 mengenai penyatuan 

TRI dengan lasykar-lasykar Rakyat menjadi Tentara Nasional 

Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, merupakan faktor yang 

memperlancar proses penyatuan TRI dengan Badan-badan Ke￾lasykaran (Divisi Rencong, Teungku Chik di Tiro, Teungku Chik 

Paya Bakong, Resimen TRIP dan TPI) di daerah Aceh. 

Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia 

dan Badan Perjuangan (API dan IPI/BPI) di daerah Aceh, maka 

mulai direncanakan perebutan senjata dari Jepang secara lebih 

intensif. Sebelumnya kegiatan pengumpulan senjata juga telah 

dilakukan, yaitu senjata-senjata yang berasal dari kesatuan 

Gyugun, direbut secara diplomasi atau disembunyikan pada 

saat organisasi militer itu dibubarkan oleh Jepang. Dalam hubung￾an ini, umpamanya seperti yang disembunyikan di sebelah Utara 

kota Bakongan (Aceh Selatan) sebanyak 12 pucuk senjata beserta 

6.000 peluru atas inisiatif Abdullah Syarief dan kemudian diserah￾kan kepada kesatuan API di sana.

 60

 ; juga di Calang (Aceh Barat), 

atas inisiatif A.K. Jailani beserta dengan kawan-kawannya, 2 sena￾pan mesin 4 bren dan 50 pucuk karabin tidak berhasil dilucuti oleh 

pihak Jepang.

 61 

Ada dua faktor yang juga turut memberi dorongan dan se￾mangat kepada seluruh rakyat Aceh dalam merebut senjata dari 

Jepang, yaitu : Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh dan seruan 

kepada kaum Muslimin, berasal dari seorang Ulama Besar di Aceh, 

Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, mengenai kewajiban memper￾tahankan Kemerdekaan Indonesia yang baru di proklamirkan itu. 

Maklumat Ulama tersebut, tertanggal Kutaraja 15 Oktober 1945, 

ditandatangani oleh 4 orang ulama besar, yaitu : Teungku Haji 

Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhd. Daud Beureueh , Teungku 

Haji Jakfar Sidiq Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah 

Indrapuri serta disetujui oleh residen Aceh, Teuku Nyak Arief 

dan Ketua Komite Nasional Daerah Aceh, Tuanku Mahmud. 

Isi pokoknya adalah, selain seruan bersatu padu di bawah kepe￾mimpinan Ir. Soekarno, juga penegasan bahwa perjuangan mem￾pertahankan Kemerdekaan adalah perjuangan suci yang disebut 

dengan "perang sabil" (perang di jalan Allah), suatu penegasan 

yang mendahului revolusi Muktamar Umat Islam Indonesia di 

Yogyakarta, tanggal 7- 8 Nopember 1945 dengan isi yang serupa, 

yaitu : 60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia siap berdjihad 

Fi Sabilillah. Perang di Djalan Allah oentoek menentang tiap￾tiap pendjadjahan"62

 (mengenai isi selengkapnya maklumat ula￾ma itu lihat lampiran). 

Mengenai seruan yang dikeluarkan oleh Teungku Haji Hasan 

Krueng Kalee pada tanggal 18 Zulkaedah 1364 H (akhir Oktober 

1945) dan kemudian disiarkan oleh Pimpinan daerah PRI secara 

meluas keseluruh Aceh dengan surat pengantar tanggal 8 Nopem￾ber 1945, no. 116/1945 , intisari isinya tidak berbeda dengan 

maklumat ulama yang terdahulu, yaitu kewajiban mengorbankan 

jiwa dan harta untuk memerangi kafir penjajah membela kemer￾dekaan tanah air. Tegasnya kedua pernyataan tersebut telah mem￾beri kekuatan batin bagi rakyat Aceh dalam berjuang selama 

revolusi Kemerdekaan yang diawali dengan perebutan kekuasaan Dalam proses perebutan senjata tersebut, langkah-langkah 

yang ditempuh oleh rakyat Aceh pada umumnya dan badan per￾juangan/ketentaraan (API/TKR; BPI/PRI) khususnya, adalah pada 

mula-mula dengan jalan diplomasi dan intimidasi, tetapi kalau 

menemui kegagalan, diikuti pula dengan tindakan kekerasan, yaitu 

dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos konsentrasi 

tentara Jepang. Cara ini, dalam garis besarnya, dapat dijelaskan se￾bagai berikut. Mula-mula sekelompok rakyat yang dikoordinir 

oleh API/TKR dan/atau BPI/PRI dengan bersenjatakan rencong, 

tombak, pedang dan sebagainya, turun ke-

 kota-kota dan mem￾bayangi pos-pos tentara Jepang di sana. Kadang-kadang sebelum 

tindakan ini dimulai, lebih dahulu telah dikeluarkan selebaran￾selebaran berisi berbagai ancaman, yang pada dasarnya seakan￾akan keselamatan Jepang tidak terjamin lagi di Aceh. Hal ini 

menjadikan tentara Jepang, yang sudah kalah dan tidak bersema￾ngat lagi pada waktu itu, gelisah dan ketakutan. Karenanya me￾reka segera memanggil para pemimpin rakyat dikota tersebut, 

baik yang duduk dalam badan pemerintahan R.L, ketentaraan, 

atau kelasykaran. Dalam pertemuan yang berlangsung itu, para 

pemimpin rakyat menekankan, bahwa yang diinginkan oleh rak￾yat adalah senjata dari Jepang dan diancam pula, sekiranya Jepang 

tidak memberikannya, rakyat akan menyerang. Dan memang 

kalau pertemuan gagal penyerangan segera dimulai, yang setelah 

berlangsung beberapa waktu, kadang-kadang dilanjutkan dengan 

perundingan kembali yang berakhir dengan kemenangan dipihak 

pemimpin rakyat. 

Dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, kegiatan pere￾butan senjata dari pihak Jepang selalu terjadi di kota-kota/tem￾pat-tempat di mana tentara Jepang ditempatkan, di seluruh dae￾rah Aceh. Dalam wilayah Aceh Besar, di Seulimum tanggal 25 

Nopember 1945 tentara Jepang terpaksa menyerahkan