kemerdekaan aceh 2
ba tidak kepastian itu pada mulanya tidak ditanggapi secara serius oleh para pembesar Jepang di Aceh. Tyokan
sendiri, sebagai penguasa tertinggi di sana tidak pernah memberikan keterangan resmi mengenai kekalahan Jepang itu. Hal ini
mungkin di dasarkan pada pertimbangan, bahwa jika situasi yang
sesungguhnya diketahui oleh rakyat, diperkirakan mereka akan
mendapat perlawanan dari rakyat, sebagai mana yang telah dialami
oleh Belanda sebelumnya, yaitu pada waktu mereka akan meninggalkan Aceh (apa yang diduga itu, seperti akan diuraikan dalam
bagian berikutnya, memang benar terjadi).
Karena situasi daerah semakin tidak menentu, maka pada
tanggal 23 Agustus 1945 Tyokan S. Iino terpaksa memanggil
para pemimpin rakyat ke tempat kediamannya (pendopo Gubernur sekarang). Adapun tokoh-tokoh pemimpin yang dipanggil itu
ialah : ' Teuku Nyak Arief, Teuku Panglima Polem Mohd. Ali,
Tengku Mohd.Daud Beureueh, Said Abu Bakar dan Teuku Ahmad
Danu . Dalam pertemuan itu S. Iino secara resmi menyampaikan hal-hal yang menyangkut dengan situasi daerah Aceh dan posisi Jepang pada waktu itu, tetapi tidak sedikitpun menyinggung
mengenai.Proklamasi Kemerdekaan Indonesia; Ia hanya menegaskan bahwa perang telah selesai dan kepada para pemimpin rakyat
dianjurkan untuk bersama dengan pemerintah Jepang menjaga
keamanan di daerah Aceh. Selain itu pada tanggal 24 Agustus
1945 Bunsyutyo Aceh Timur, Obara, juga telah menyampaikan
hal yang serupa kepada para guntyo, suntyo dan kutyo yang
ada dalam wilayahnya. Ditambahkan lagi olehnya kata-kata :
"Apa boleh buat perang sudah damai, jadi Indonesia tidak dapat
merdeka lagi" * (yang dimaksudkan tentu kemerdekaan "hadiah" Jepang, sebab kemerdekaan yang diproklamirkan oleh
bangsa Indonesia sendiri telah terjadi tujuh hari sebelumnya;
dan ini tidak diberitahukan kepada yang hadir pada waktu itu).
Pembicaraan antara pemimpin rakyat dengan Tyokan S. Iinotanggal 23 Agustus itu tidak diketahui oleh rakyat umum, berhubung pertemuan diadakan tertutup dan yang hadir juga terbatas. Karena itu mengingat pentingnya, diminta agar Tjokan mengumumkan secara resmi mengenai apa yang telah disampaikannya
dalam pertemuan tersebut kepada segenap lapisan masyarakat.
Untuk maksud inilah pada tanggal 25 Agustus 1945 Tyokan
S. Iino mengeluarkan sebuah maklumat yang ditujukan kepada
seluruh rakyat Aceh. pada hari itu juga, setelah semua pegawai
gunseibu, baik bangsa Jepang maupun bangsa Indonesia, hadir
di halaman pendopo, Tyokan memberikan penjelasan mengenai
telah terjadinya perdamaian antara Dai Nippon dengan sekutu.
Penjelasan itu diberikan berdasarkan maklumat Soematera Saikosikikan Kakka, yang menyatakan bahwa peperangan Asia
Timur Raya telah berakhir dan kemaharajaan Dai Nippon telah
bersedia melangsungkan perdamaian dengan Amerika, Inggris,
Rusia dan China. Selanjutnya Tyokan S. Iino juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala bantuan
rakyat Aceh serta kerja sama yang baik dengan Dai Nippon sela-
. - 14
ma ini
Maklumat resmi yang dikeluarkan oleh Atjeh Syu Tyokan itu
dalam waktu yang relatif singkat telah tersebar luas keseluruh
pelosok daerah Aceh. Harian Atjeh Sinbun yang terbit sebagai
edisi terakhir pada hari keluarnya maklumat tersebut juga memuat
nya, karena dianggap isinya penting untuk diketahui secepat
mungkin oleh rakyat umum dan tentu juga sebagai kenang-kenangan terakhir pada penutup usianya itu
15
. Demikian pula halnya
dengan para pemuda yang telah memperoleh maklumat tersebut;
secara cepat diperbanyak dan ditempelkannya disetiap sudut kota,
bahkan secara meraton dikirimkan keluar Kutaraja, sehingga dalam waktu beberapa hari saja sebagian besar rakyat telah mengetahui keadaan yang sesungguhnya
16
.
Mengenai dengan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia
yang diucapkan oleh Bung Karno dan Hatta tanggal 17 Agustus
1945 juga terlambat beberapa hari di terima di Aceh. Agaknya hal ini juga menjadi salah satu faktor sehingga setelah diketahui Jepang telah menyerah kalah, timbul keragu - raguan pada sebagian
masyarakat Aceh terutama di wilayah-wilayah afdeeling, siapa sebenarnya, setelah Jepang, yang akan mendarat lagi ke Aceh,
Amerika, Inggeris, Australia, China atau Belanda; bahkan orang
China telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tentara
Tjiang Kai Sek pada waktu itu . Tetapi keadaan segera berobah
setelah berita proklamasi Kemerdekaan diterima dengan pasti dan
khususnya para pemuda mulai bertindak tegas dengan mengorganisir dirinya ke dalam barisan-barisan Pemuda.
Sebelum berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Aceh
umumnya rakyat di sana hanya mengetahui, bahwa dari pulau
Sumatera ada wakil yang ditunjuk untuk mewakili Sumatera sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka
ini terdiri dari Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Amir dan Mr. Abbas,
yang pada tanggal 7 Agustus 1945 berangkat ke Jakarta melalui
Singapura untuk menantikan kembalinya Bung Karno dari Saigon.
Dari Singapura tanggal 14 Agustus mereka bersama-sama Bung
Karno menuju ke Jakarta.
18
Mengenai apa kegiatan ketiga wakil
dari Sumatera itu sejak keberangkatannya tanggal 7 Agustus
tidak diketahui dengan pasti, oleh karena komunikasi antara
Daerah Aceh dengan Jakarta, tidak lancar lagi terutama sejak
menjelang dan setelah kapitulasi Jepang.
Mr. Teuku Mohd. Hasan bersama dengan ke dua rekannya
itu baru kembali ke Sumatera melalui Palembang pada tanggal
24 Agustus 1945. Di Palembang Mr. Mohd. Hasan, yang telah
diangkat menjadi Wakil Pemimpin Besar untuk Sumatera sejak
tanggal 22 Agustus, meminta kepada Dr. A.K. Gani untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Selatan dan mengharapkan agar dapat menyiarkan berita Proklamasi
Kemerdekaan ke daerah-daerah lain menurut cara yang mungkin
ditempuhnya. Dari Palembang ketiga Tokoh pemimpin ini meneruskan perjalanan menuju ke Medan dengan singgah dibeberapa
kota seperti Jambi, Bukit Tinggi, Tarutung dan baru sampai di sana pada tanggal 29 Agustus 1945. Di kota-kota yang disinggahi itu Mr. T. Mohd. Hasan juga menganjurkan pembentukan
KNI daerah setempat serta menyebarluaskan berita proklamasi
kemerdekaan. Di Bukit Tinggi anjuran itu disampaikan tanggal
26 Agustus melalui Adinegoro dan Muhammad Syafii, selaku
ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera (Soematera TyoSangiIn) 19
Setelah tiba di Medan, Mr. T. Mohd. Hasan sebagai wakil
Pemerintah Pusat R.I. untuk Sumatera juga segera melaksanakan
tugasnya seperti yang telah dilakukan sebelumnya di daerahdaerah lain di Sumatera, yaitu menyampaikan berita proklamasi
dan anjuran pembentukan KNI daerah di Sumatera bagian Utara,
termasuk daerah Aceh. Namun sebelum datang berita resmi itu,
secara tidak resmi sebenarnya berita Proklamasi Kemerdekaan
juga telah lebih dahulu diterima di daerah Aceh; hanya pada
waktu itu belum meluas diketahui oleh seluruh rakyat di sana,
tetapi terbatas pada beberapa orang pemuka masyarakat saja.
Menurut Hoesin Yoesoef (bekas Panglima Devisi X TNI Sumatera)
berita yang pertama diketahui tentang Proklamasi Kemerdekaan
adalah di Bireuen pada tanggal 19 Agustus 1945. Berita itu diketahui oleh Hoesin Yoesoef, yang pada waktu itu bekerja pada
staf intelgen resmi Fojoka dengan pangkat Letnan Gyugun, melalui sebuah radio Jepang yang di tempatkan di sana. Kemudian
berita tersebut segera disampaikan kepada perwira-perwira Gyugun lainnya, seperti kepada Agus Husein dan lain-lain, serta kepada pemuka-pemuka masyarakat di sekitar Kota Bireuen.
Di Kutaraja berita tentang Proklamasi Kemerdekaan baru
diketahui pada tanggal 21 Agustus 1945, yaitu melalui para pemuda (Ghazali Yunus dan kawan-kawan) yang bekerja pada
kantor berita Jepang, Domei. Mereka secara rahasia berhasil
mendengarkan radio yang ditempatkan disana dan setelah itu
segera memberi tahukannya kepada teman-teman akrap mereka,
sehingga pada hari itu juga para pemuda Indonesia yang bekerja pada Hodoka (Kantor Berita penerangan Jepang) dan harian
Atjeh Sinbun di Kutaraja telah mengetahui berita gembira itu
Selanjutnya, beberapa hari kemudian Teuku Nyak Arief juga
menerima kawat pemberitahuan tentang Proklamasi Kemerdekaan dari Dr. A.K. Gani di Palembang, serta Muhammad Syafei dan
Adinegoro di Bukit Tinggi yang secara resmi melalui Mr. Teu^u
Mohd. Hasan — telah mengetahui berita tersebut, seperti disebutkan di atas, masing-masing tanggal 24 dan 26 Agustus yang lalu
22
Setelah itu, sampai tibanya berita resmi dari wakil Pemerintah
Pusat yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Sumatera,
Mr. Teuku Mohd. Hasan, selama akhir Agustus - September 1945
berita Proklamasi Kemerdekaan dengan cepat mulai tersebar ke
seluruh pelosok daerah Aceh, sejak dari pesisir utara, Timur,
Barat dan Selatan sampai ke daerah Aceh Tengah dan Tenggar a 2 3
Seiring dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di tempat-tempat, itu dilakukan pula pengibaran bendera
sang merah putih. Pengibaran bendera itu terutama dilakukan
di depan kantor-kantor resmi pemerintah Jepang yang selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari tentara Jepang24
- Kemudian
meluas ke tempat-tempat umum, seperti tanah lapang, toko-toko
dan lain-lain yang juga selalu dihalang-halangi oleh pihak penguasa
Jepang yang masih berkuasa atas nama sekutu pada waktu itu.
Dari sekian tempat yang telah dikibarkan bendera Sang
Merah Putih, yang terpenting adalah yang dilakukan pada tanggal
24 Agustus 1945 di depan kantor Keimubu (Kantor Polisi Jepang;
Kantor Baperis sekarang) oleh para pegawai bangsa Indonesia.
Dalam penaikan bendera di sini telah timbul insiden dengan serdadu Jepang yang sedang mengawal Tyokan tidak jauh dari kantor
itu (Pendopo Gubernur sekarang). Insiden ini terjadi sewaktu
Muhammad Hasyim, Wakil Kepala Polisi yang diangkat Jepang sedang memimpin penaikan bendera Merah Putih di sana. Pada
waktu itu Muhammad Hasyim ditegur dan dihalang-halangi; bahkan kemudian bendera yang telah dikibarkan itu diturunkannya.
Perbuatan serdadu Jepang itu tidak diterima dan pada saat itu
pula seorang peserta, yaitu Muhammad Amin Bugis, dengan
bersemangat merampas kembali Bendera Merah Putih dari serdadu Jepang itu, lalu menaiki tiang bendera untuk selanjutnya
mengikat tali bersama bendera kembali. Tindakan dengan semangat yang meluap ini tidak berhasil dihalangi oleh pihak Jepang,
sehingga mereka membiarkan saja Bendera Merah Putih berkibar
di depan kantor Keimubu itu
25
. Dan di tempat ini pula kemudian dibangunkan sebuah tugu untuk memperingati penaikan
bendera Merah Putih yang sampai saat ini dianggap pertama kali
di daerah Aceh (tugu tersebut sekarang dapat kita saksikan di depan Kantor Baperis).
Selanjutnya pada tanggal 25 Agustus 1945, pemuda A. Hasjmy beserta rekan-rekannya juga menaikkan bendera Merah Putih
di depan kantor Aceh Sinbun. Di sini juga mendapat tantangan
dari pihak pembesar Jepang, antara lain dari H. Nagamatsu, seorang pejabat teras pada Hodoka (Kantor penerangan Jepang),
namun usaha mereka menemui kegagalan
26
. Setelah itu kegiatan
penaikan bendera Merah Putih semakin bersemangat dilakukan
ditempat-tempat lain di Kutaraja dan sekitarnya. Dan selama
bulan September sampai awal Oktober 1945 pengibaran Bendera
Merah Putih telah berlangsung di Kota-kota lain di seluruh Aceh,
seperti : Sigli, Bireuen, Lho' seumawe, Lho' sukon, Idi, Langsa,
Kuala Simpang, Kuta Cane, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan
lain-lain
27
.
Untuk lebih meratakan pengibaran bendera Merah Putih
sampai ke pelosok-pelosok desa dan sejalan pula dengan memperingati dua bulan Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 13 Oktober
1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh, melalui
Maklumat No. 2 secara resmi memerintahkan pengibaran bendera
sampai tanggal 17 Oktober pada tiap-tiap rumah di seluruh Daerah
Aceh. Adapun isi maklumat tersebut selengkapnya
28
, ialah :
MAKLOEMAT NO. 2
Dipermakloemkan kepada segenap pendoedoek bangsa Indonesia di daerah Atjeh, soepaja dimoeka tiap-tiap roemah
dikibarkan bendera kebangsaaan Indonesia, dengan ketentuan :
a. dikibarkan moelai ini hari sampai tanggal 17 Oktober
1945.
b. Bendera dikibarkan moelai djam 7 pagi sampai djam 6
sore (Sumatera).
c. Djikalau waktoe hoedjan, bendera tidak usah dikibarkan.
Koetaradja, 13 Oktober 1945, Ketoea Poesat
Komite Nasional
Toeankoe Mahmoed.
Mengenai pembentukan KNI daerah Aceh, yang sampai saat
itu telah mengeluarkan tiga buah maklumat (yang pertama, tanggal 4 Oktober tidak bernomor mengenai pemerintahan R.I. di Sumatera dan Aceh; kedua tanggal 10 Oktober maklumat no. 1 mengenai uang kertas Jepang masih berlaku dan uang kertas Belanda
cetakan baru tidak berlaku di daerah Aceh
29 ), sebenarnya telah
dirintis sebelum bulan Oktober. Pada tanggal 28 Agustus 1945
Teuku Nyak Arief, setelah menerima kawat dari Dr. A.K. Gani
dan Muhammad Syafie, telah mengambil inisiatif untuk itu. Sebagai ketua pertama terpilih Teuku Nyak Arief yang selama ini
juga memangku jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
bentukan Jepang (Aceh - Syu Sangi-Kai) dan sebagai wakil ketua
terpilih Tuanku Mahmud. Tetapi pada waktu susunan anggotanya
belum sempurna; baru setelah secara resmi pemerintahan R.I.
di daerah Aceh terbentuk (Keresidenan Aceh sejak tanggal 3 Oktober 1945), susunan anggotanya disempurnakan, yakni sejumlah
65 orang (lihat lampiran) dan ditunjuk (belum mungkin diadakan
pemilihan) berdasarkan pencalonan dari partai-partai. Selanjutnya jabatan ketua, sejak tanggal 10 Oktober 1945, seperti terlihat dari
maklumat yang dikeluarkan, digantikan oleh Tuanku Mahmud,
sedang Teuku Nyak Arief tetap memangku Jabatan residen Aceh,
yang telah dijabatnya sejak 3 Oktober 1945. Adapun kantor KNI
Daerah Aceh yang pertama adalah bekas Centraalkantoor derlandschapskassen di Kutaraja (JalanCut Mutia sekarang)dan kemudian
berpindah kesebuah gedung bekas milik seorang pengusaha Belanda, bernama Kerlen (sekarang menjadi Kantor Polisi Resort Kotamadya Banda Aceh/Kabupaten Aceh Besar di jalan Cut Mutia)30
Selain itu dapat juga ditambahkan, bahwa sejak berita Proklamasi Kemerdekaan diterima di daerah Aceh, Teuku Nyak Arief
selalu mengibarkan bendera Merah Putih kecil pada mobil
81" Hal
ini juga menyebabkan rakyat semakin berani bertindak untuk mengibarkan bendera, baik di tempat-tempat umum, maupun di depan rumahnya sendiri.
Dan beriringan dengan kegiatan pengibaran bendera Sang Merah
Putih di seluruh Daerah Aceh berlangsung pula tindakan pengambil-alihan kekuasaan dan perebutan senjata dari pihak Jepang serta
membentuk pemerintahan R.I. di sana. Hal ini akan dibicarakan
lebih lanjut dalam bagian berikut dibawah ini.
B. Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Daerah Aceh.
Meskipun berita Proklamasi Kemerdekaan telah tersebar luas
di Daerah Aceh sejak akhir Agustus - September 1945, namun
pemerintahan R.I. yang definitif baru terbentuk dan digerakkan
di sana sejak tanggal 3 Oktober 1945, yaitu setelah keluarnya
pengumuman resmi Gubernur Sumatera yang menyatakan bahwa:
"Pemerintahan Negara Repoeblik Indonesia moelai dengan resmi dijalankan dengan Poelaoe Soematera, dengan pengangkatan residenresiden seloeroeh dan staf Goebernoer dengan mempergoenakan
kekoeasaan yang diberikan Presiden Negara Repoeblik Indonesia"
32
. Tetapi ini tidak berarti pada waktu sebelumnya para
pemimpin di Aceh tidak berusaha ke arah itu, bahkan pengumuman tersebut lebih merupakan pengesahan dari pihak atasan kepadapemerintah daerah keresidenan Aceh yang telah disusun sebelumnya dan telah menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia, serta kendatipun adanya hambatan-hambatan
dari pemerintahan pendudukan Jepang yang masih berkuasa atas
nama sekutu pada waktu itu mulai menggerakkan roda pemerintahan disana.
Sehubungan dengan di atas, pada bulan September 1945
Teuku Nyak Arief dalam kedudukannya selaku Atjeh-syu Sangikai-tyo (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh; dan secara
tidak resmi pada waktu itu Teuku Nyak Arief juga telah menjadi
ketua Komite Nasional Daerah Aceh), telah membuat surat Perintah kepada Teuku Panglima Polem Mohd. Ali (Panglima Sagi
XXII Mukim Aceh Besar) untuk menemui Atjeh Syu Sei Tyo
"Somubu—tyo (Kepala Urusan Pemerintahan umum pada Kantor
Keresidenan Aceh). Dalam surat itu Teuku Nyak Arief meminta
agar Somubu Tyo menghadap Atjeh Syu Tjokan (Residen Aceh)
S. Iino untuk membicarakan penyerahan pemerintahan dari
Jepang kepada Teuku Panglima Polem. Ditegaskan juga melalui
Panglima Polem, bahwa sejak waktu itu Teuku Nyak Arief tidak
bersedia lagi mengadakan hubungan dengan Jepang. Pembicaraan
pada hari itu tidak memperoleh hasil yang positif; alasannya ialah
Tyokan (Residen) tidak dapat bertindak lebih jauh selain dari
yang telah ditentukan oleh sekutu. Namun, nampaknya sikap
Tyo kan S. Iino tidak sekeras lad seperti pada waktu yang lalu.
Hal ini tampak juga dari kedatangan Somubu Tyo ke rumah Teuku
Panglima Polem pada sore harinya dengan membawa uang sebanyak R. 100.000,— (seratus ribu rupiah Jepang) yang katanya
berasal dari pemberian Tyokan untuk dapat dipergunakan dimana
perlu. Uang itu kemudian oleh Teuku Panglima Polem diserahkan
kepada Teuku Nyak Arief yang dipergunakan sebagai modal pertama untuk menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia
di Daerah Aceh
33
Karena sikap Tyokan S. Iino yang demikian menyebabkan
para pemimpin di Aceh menentukan sikapnya sendiri. Mereka
segera bertindak untuk menyusun aparat pemerintahan Keresidenan Aceh. Dan dalam bulan September 1945 itu juga semua
pegawai bangsa Indonesia, yang selama ini bekerja pada kantor
pemerintahan Jepang di ibukota Kutaraja, disumpahkan oleh
Teungku Ismail Ja'cob menjadi pegawai Pemerintah Republik
Indonesia
34
- Kegiatan pengambil alihan pemerintahan dari tangan Jepang secara bertahap terus ; dilaksanakan; dan tampaknya
tentara Jepang tidak mampu mengatasinya, walaupun Tyokan
S. Iino sejak tanggal 25 Agustus 1945 telah mengeluarkan maklumat yang mengancam: "Barang siapa yang melaksanakan keamanan atau mengganggoe kesentosaan negeri akan dikenakan
hoekoeman berat"
36
.
Hal ini tentu erat hubungannya dengan adanya semangat rakyat
yang meluap-luap, terutama dalam rangka kegiatan mereka merebut senjata dari tentara Jepang, di samping sikap keras dan diplomatis para pemimpin Aceh dalam menghadapi pejabat teras pemerintahan Jepang di sana, sehingga membuat mereka, yang pada
waktu itu memang tidak bersemangat lagi, menjadi lemah dan
tidak berdaya.
Langkah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian segera
adalah mengenai kepala pemerintahan di daerah-daerah seluruh
Aceh. Untuk ini para pegawai Indonesia, yang selama ini ditetapkan oleh Jepang sebagai Fuku Bunsyu—tyo (Wakil Asisten
Residen ; Asisten t Residen adalah orang Jepang sendiri) sementara
ditunjuk untuk menjabat Asisten di daerahnya. Sedang Guntyo
(Contreleur atau Kepala Wilayah ) dan Suntyo yang mengepalai
daerah Uleebalang sebagaimana biasa tetap mengepalai pemerintahan di daerah mereka masing-masing. Mengenai nama-nama daerah_tersebut pada mulanya dikem balikan seperti nama sebelum masa
pendudukan Jepang, yaitu : daerah-daerah yang dikepalai oleh
Asisten Residen disebut Afdeeling (kemudian tahun 1946, menjadi Kabupaten di kepalai oleh Bupati) dan daerah-daerah yang
dikepalai oleh Contreleur atau kepala Wilayah disebut Onderafdeeling ( tahun 1946 menjadi wilayah dan kemudian Kewedanaan) Sedang daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang
uleebalang (Teuku Chik, Keujruen, Raje dsb), namanya tidak dikembalikan menjadi daerah Zelfbestuur atau uleebalang seperti
pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, melainkan tetap dise-
but daerah Uleebalang (setelah terjadi revolusi sosial, pada awal
tahun 1946 daerah ini disebut Negeri dengan dikepalai oleh 5
orang Dewan Pemerintahan Negeri ).
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas menjadi jelas,
bahwa, sekalipun ada tekanan dan hambatan dari tentara dan
pemerintahan Jepang yang pada waktu itu masih berkuasa atas
nama sekutu, secara tidak resmi unsur-unsur pemerintahan negara
Republik Indonesia di daerah Aceh telah mulai bekerja sebelum
keluarnya pengumuman dan penetapan resmi Gubernur Propinsi Sumatera (salah satu Propinsi , yang membawahi beberapa
keresidenan, termasuk keresidenan Aceh di Sumatera, dari 8 Propinsi Negara Republik Indonesia sesuai dengan keputusan sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustus
1945).
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Ir. Soekarno atas nama pr
mimpin Besar Bangsa Indonesia pada waktu itu mengangkat M
Teuku Muhammad Hasan, anggota Panitia Persiapan Kemerdek
an Indonesia dari Sumatera, sebagai wakilnya di Sumatera; ôi
"mewajibkan beliaoe serta memberikannya koeasa oentoek m
nyelenggarakan segala kepoetoesan yang diambil dalam sida M
Panitia Persiapan Kemerdekaan dan Oentoek mewoejoedkan ci
cita yang lain, yang telah dilahirkan dalam sidang tersebut.
Kemudian, untuk lebih mempertegas pengangkatan ini, pada tai
gal 29 September 1945, Presiden Negara Republik Indones
Ir. Sukarno, menetapkan Mr. Teuku Muhammad Hasan menj.
Gubernur Propinsi Sumatera dan wakil Pemerintah Pusat disan
Berdasarkan wewenang yang diberikan itu, mak pada tanggal 3 Oi>
tober 1945 Gubernur Sumatera mengeluarkan pengumuman sepe
ti yang telah disebutkan di muka yang kemudian disusul dengan
ketetapan-ketetapan mengenai pengangkatan residen di seluruh
Sumatera, susunan staf pemerintahan Sumatera dan jawatan-jawatan beserta dengan kepala Jawatan masing-masing, baik pada tingkat propinsi maupun pada tingkat Keresidenan. Sebagai wakil
pemerintah pusat Negara Republik Indonesia, Gubernur Sumatera
juga menetapkan sejumlah peraturan yang seharusnya menjadi
wewenang pemerintah pusat, seperti : Peraturan tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Sumatera (tanggal 12 April 1946, no. 8/
M.G.S.), Peraturan Gaji Pegawai Negeri di Sumatera (PGS 1946,
tanggal 22 Juli 1946, no. 128 a), Peraturan tentang pengeluaran
uang/tanda pembayaran resmi di Sumatera (tanggal 8 April 1947,
no. 92/K.O) dan masih banyak lagi37
Dengan ketetapan-ketetapan ini, maka administrasi pcmenntan
Republik Indonesia secara resmi telah mulai dijalankan di Sumatera, termasuk juga di daerah Aceh.
Sejak tanggal 3 Oktober 1945, berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatera dari Negara Republik Indonesia No. 1/X, Teuku
Nyak Arief selama ini seperti telah disebutkan di muka selaku Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh telah banyak berperanan dalam menggerakkan roda pemerintah Republik Indonesia
di sana, diangkat menjadi Residen Aceh.38
Setelah itu disusul
pula dengan sejumlah ketetapan lain, seperti Ketetapan Gubernur
tanggal 28 Desember 1945, no. 71, tanggal 23 Pebruari 1946,
no. 48, tanggal 11 Agustus 1946, No. 204 dan lain-lain, yang
berhubungan dengan pembagian Wilayah administrasi keresidenan
Aceh, penunjukan kepala-kepala Jawatan, asisten residen dan
kepala-kepala wilayah (controleur) di seluruh daerah Aceh (untuk
daerah-daerah Uleebalang kepala Pemerintahan dipegang secara
turun temurun dan segera beralih setelah terjadi revolusi sosial,
dimana status daerah-daerah tersebut menjadi negeri yang dalam
proses selanjutnya menjadi Kecamatan). Pada dasarnya ketetapanketetapan yang dikeluarkan itu adalah merupakan pengesahan terhadap kebijaksanaan yang telah ditempuh ^sebelumnya oleh para
pemimpin daerah-Aceh pada umumnya- dan Teuku Nyak Arief
khususnya. Mengenai para pejabat yang diangkat itu pada umumnya terdiri dari pejabat-pejabat, seperti juga telah disinggung di
muka, yang telah pernah di tetapkan oleh pemerintah Jepang sebelumnya (Fuku Bunsyutyo, Guntyo dsb); dan sebagian besar
dari mereka adalah terdiri dari para uleebalang yang memang mempunyai keahlian untuk itu, berhubung dengan tingkat pendidikan
mereka yang pernah diperoleh pada masa pemerintahan kolonial
Belanda dahulu. Hal ini akan banyak mengalami pergeseran nanti
pada tahun 1946, setelah terjadinya revolusi sosial (mengenai nama-nama pejabat pemerintahan sampai tahun 1948, pembagian
wilayah administrasi Keresidenan Aceh, lihat lampiran dan bandingkan nama-nama pejabat tersebut sebelum dan sesudah terjadi
revolusi sosial).
Dalam menjalankan Pemerintahan sehari-hari Residen T. Nyak
Arief dibantu oleh wakil Residen T. Mohd. Ali Panglima Polem
dan Badan Eksekutif Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah
Istimewa Aceh yang diketahui Tuanku Mahmud (Wakil Ketua,
kçmudian ketua KNI Daerah Aceh) dengan di dampingi oleh
anggota staf harian KNI yang terdiri dari M. Hoesin, Teuku Hanafiah, S.M. Geudong, Hasan Basri dan M. Mochtar.
89
Demikian
juga di afdeeling-afdeeling (Kabupaten), asisten Residen menjalankan pemerintahan di sana bersama-sama dengan Komite Nasional setempat. Mengenai pembentukan Cabang Komite Nasional di sini, juga tidak luput dari hambatan-hambatan tentara
Jepang, sehingga ada daerah-daerah baru pada awal tahun 1946
berhasil membentuknya, seperti daerah Aceh Tengah umpamanya
secara definitif pembentukannya baru dapat dilakukan pada tanggal 19 Pebruari 1946, yang dilantik oleh Residen Teuku Muhammad Daudsyah (Residen Aceh yang ke dua) dengan susunan pengurusnya terdiri dari Ketua I dan II : Saleh Yafas dan Muda sedang,
setia usaha Mukhtar S.K. dan beberapa orang anggota40
.
Untuk dapat diketahui secara lebih luas mengenai pembentukan
pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera umumnya dan daerah Aceh khususnya serta mengenai situasi negara pada waktu itu
setelah satu hari pengangkatannya, Residen Teuku Nyak Arief selaku ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh pada
tanggal 4 Oktober 1945 mengeluarkan maklumat yang ditujukan
kepada seluruh rakyat di daerah Aceh. Mengingat pentingnya maklu
mat tersebut, sebagai maklumat pertama (bukan Makloemat No.I) yang secara resmi dikeluarkan oleh KNI Daerah Aceh, baiklah isi
seluruhnya dikutip seperti berikut.41
MAKLOEMAT.
1. Siaran pihak Belanda, bahwa Ir. Soekarno dan Drs. Hatta
ditangkap bohong semata-mata.
2. Republik Indonesia de facto diakoei, de jure beloem.
3. Van der Plas dan Van Mook ingin mengadakan moesjawarah dengan Soekarno.
4. Belanda tidak dibolehkan oleh Sekoetoe mendatangkan
lasjkarnja sebab mungkin terjadi peperangan antara Indonesia dan Belanda.
5. Goebernoer Soematera Mr. T. M. Hasan.
6. Residen Aceh Teuku Nyak Arief.
7. Pemerintah Republik Indonesia bekerdjasama antara tentara Inggris dan India sebagai wakil sekoetoe oentoek
menjaga keamanan.
8. Amerika, Inggris, Sovjet dan Tjoengkin-g sekarang sedang membentoek Madjelis Tinggi Oentoek Oeroesan
Asia Tim oer Raja.
9. Sjech Djamil Djambek Menjeroekan kepada Kaoem
Moeslimin seloeroeh Soematera oentoek mencoerahkan
segala tenaga lahir dan bathin oentoek Repoeblik Indonesia.
10. Di Langsa dan Tapak Tuan telah berdiri barisan Pemoeda.
Pengoeroes Komite Nasional Daerah Atjeh
Teuku Nyak Arief.
Dengan terbentuknya badan Pemerintah Republik Indonesia di
Daerah Aceh dan disusul pula dengan maklumat tersebut di atas
kedudukan pemerintah Jepang di sana semakin terdesak; apalagi
setelah Tuanku Mahmud secara diam-diam menyerukan kepada
pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang bekerja pada kantor-kantor
pemerintah Jepang di Kutaraja agar mereka tidak melakukan
tugasnya selama 3 hari dân berhasil baik42
. Sementara itu pada
mobil Residen Teuku Nyak Arief selalu dikibarkan bendera Merah
Putih kecil yang juga turut memberi pengaruh psikologis kepada
pegawai-pegawai bangsa Jepang, terutama dalam kaitan dengan
usaha pegawai-pegawai bangsa Indonesia untuk menguasai kantorkantor pemerintahan. Dan berkat sikap diplomatis Tuanku Mahmud selaku Ketua Badan Eksekutif KNI Daerah Aceh dalam menghadapi perundingan -perundingan dengan Tyokan S. Iino (Residen
Jepang), satu demi satu kantor-kantor pemerintahan Jepang itu
berhasil dikuasai oleh pegawai-pegawai bangsa Indonesia, yang sebenarnya, setelah disumpah pada bulan September 1945, telah
menjadi pegawai negeri Republik Indonesia, tanpa banyak menghadapi rintangan dan bentrokan.
Bagaimanapun, Pemerintahan Republik Indonesia di daerah
Aceh, yang baru dibentuk dibawah pimpinan Residen Teuku
Nyak Arief dan Tuanku Mahmud selaku Ketua Badan Exsekutif
KNI daerah Aceh, harus menghadapi berbagai masaalah yang mendesak sesuai dengan situasi negara pada waktu itu, adapun masalah-masalah tersebut-yang memerlukan penyelesaian dengan secepat mungkin, dalam garis besarnya dapat diperinci sebagai berikut :
1. Masalah pertahanan negara yang menghadapkan pemerintah
daerah dalam waktu singkat harus mengorganisir kekuatan bersenjata di seluruh daerah Aceh.
2. Masalah tentara pendudukan Jepang yang belum meninggalkan
daerah Aceh dan kedatangan utusan sekutu, di samping tujuan
lain yang mereka sembunyikan (dimaksudkan di sini adalah
mempelajari situasi daerah Aceh untuk membuka jalan, kalau
mungkin, bagi masuknya tentara kolonial Belanda kembali ke
sana).
3. Perpecahan antara sesama pemimpin Aceh dan kemudian menjurus kepada pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama revolusi sosial.
Meskipun Teuku Nyak Arief, sebagai Residen Aceh,hanya
4 bulan memimpin pemerintahan di sana, namun ke tiga masalah
pokok yang disebutkan di atas berhasil diselesaikannya dengan
baik sekali. Pada waktu ia meletakkan jabatan, pada bulan Januari 1946, dasar-dasar pemerintahan R.I. yang permanent telah
terwujud di sana, sehingga penggantinya, Residen Teuku Muhammad Daudsyah dapat meneruskan ke arah kesempurnaan. Ba-
gaimana peranan Teuku Nyak Arief, dalam mendarma baktikan
tenaganya bagi kepentingan Negara Republik Indonesia selama
masa jabatannya yang singkat itu, akan diuraikan lebih lanjut
dalam bagian-bagian berikut dibawah ini :
C. Pembentukan Organisasi Kemiliteran dan Kelasykaran Rakyat
Sejak berita proklamasi diterima di daerah Aceh, khususnya
di Kutaraja, para pemimpin di sana telah memikirkan dan berusaha ke arah pembentukan Organisasi pertahanan dan keamanan
rakyat di daerah Aceh, dalam rangka mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan itu. Inisiatif ini pada
mulanya datang dari beberapa bekas perwira Gyugun (organisasi
pertahanan rakyat atau tentara sukarela yang dibentuk Jepang dan
kemudian dibubarkan) di Kutaraja, antara lain : Syamaun Gharu,
Nyak Neh Rika, Usman Nyak Gade, Teuku Hamid Anwar, Said
Usman, Bakhtiar Idham dan masih banyak lagi.
Pada tanggal 27 Agustus 1945 (hari Senin) para perwira tersebut berkumpul di salah satu kamar Hotel Sentral, Jalan Mohd.
Jam Kutaraja (sekarang telah dibongkar). Pertemuan yang pertama kali ini dan tidak resmi karena menghindari pengawasan Jepang
telah menghasilkan suatu keputusan, yaitu : mengirim utusan yang
terdiri dari Syammaun Gaharu dan T. Hamid Azwar kepada
Teuku Nyak Arief, guna mendengar pendapat beliau mengenai
gagasan mereka. Hasil konsultasi itu ternyata sangat memuaskan;
Teuku Nyak Arief, yang pada waktu itu belum menjadi residen
Aceh, tetapi selalu diminta pertimbangannya sesuatu yang oleh
para pemimpin disana, menyambut baik idee pembentukan suatu
badan (organisasi) yang dapat mempersatukan semua bekas Gyugun, Heiho, Tokubetsu Hikojo Kinmutai dan Tokubetsu Keisatsutai, yang akan menjadi dasar bagi tumbuhnya angkatan perang
Indonesia di Aceh nanti. Disarankan juga agar dalam pembentukan
itu diikut sertakan bekas tentara KNIL (tentara Hindia Belanda)
dahulu, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengalaman dan
keahliannya bagi Negara Indonesia merdekaSetelah melakukan pembicaraan yang mendalam melalui
beberapa kali musyawarah, akhirnya diputuskan untuk mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) diseluruh daerah Aceh.
Maka pada permulaan bulan Oktober 1945 tersusunlah secara definitif struktur dan susunan pengurus API di Aceh, yang terdiri
dari :
1. Markas daerah, berkedudukan di Kutaraja (markasnya mulamula di Hotel Sentral, kemudian berpindah ke Toko J. Pinke
Ujung Peunayong, Toko B. Naas sekarang Sabang Coy., Asrama Kuta Alam dan akhirnya ke Asrama Keraton) dengan susunan pengurus, Ketua/Komandan : Syamaun Gaharu ; Kepala
Staf : T.A. Hamid Azwar; Sekretaris : Husin Yusuf; anggota
sekretariat : Ishak; Anggota : Nyak Neh Rika, Said Usman,
Said Ali, T.M. Daud Samalanga, T. Sarong, Bakhtiar Idham,
T. Abdullah dan Saiman.
2. Wakil Markas Daerah, untuk sementara dibemuk hanya 4 daerah, yaitu :
2.1. 'Wakil Markas daerah Aceh Besar dan Pidie, di bawah
pimpinan Nyak Neh;
2.2. Wakil Markas Daerah Aceh Utara dan Tengah, di bawah
pimpinan T.M. Syah;
2.3. Wakil Markas Daerah Aceh Timur, di bawah pimpinan
Bakhtiar; dan
2.4. Wakil Markas Daerah Aceh Barat dan Aceh Selatan, dibawah pimpinan Tjut Rachman.
44
Setelah staf pengurus API daerah Aceh berhasil di susun,
pada tanggal 6 Oktober 1945, jam 13.00 waktu setempat, dikeluarkan seruan yang ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat
agar membantu dan menyokong API yang lahir itu. Seruan yang
telah mengejutkan pemerintah Jepang di Kutaraja pada waktu itu,
selengkapnya berbunyi :
SEROEAN TANAH AIR.
46
Di seloeroeh Atjeh telah berdiri Angkatan Pemoeda Indonesia - A . P . I. A.P.I, akan mendjadi dasar tentara Repoeblik Indonesia.
A.P.I. akan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
A.P.I. akan mendjaga keamanan dan ketenteraman Oemoem.
SOKONGLAH A. P. I.
Bentoeklah badan penjokong API (Bapa) disegala pelosok.
Bapa moesti berdiri di samping API kalau tidak API ta'
moengkin bergerak.
Kaoem hartawan ! ! Lemparlah Keradjaan toean-toean pada
ini waktoe oentoek Indonesia Merdeka.
Kaoem bangsawan !! Bangoen, sadar dan toendjanglah tjitatjita jang soetji ini.
Segala lapisan dan segala golongan !
Korbankanlah harta, tenaga dan pikiran
harta djiwa sekalipoen asal oentoek Kemerdekaan INDONESIA.
API mempoenjai poeloehan pasoekan
dan riboean Angkatan Pemoeda di seloeroeh Atjeh.
A.P.I. menoenggoe B.A.P.A.
Markas Daerah Angkatan
Pemoeda Indonesia (M.D.A.P.I).
Dengan lahirnya API di Daerah Aceh maka dasar yang kuat
untuk tumbuhnya tentara resmi Negara Republik Indonesia di
sana telah mulai diletakkan. Dalam proses selanjutnya API bertukar nama menjadi TKR (Tentera Keamanan, kemudian Keselamatan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia)
dan akhirnya menjadi TNI (Tentera Nasional Indonesia) sesuai dengan ketentuan dari pemerintah Pusat. Dan pada uraian-uraian
berikut selanjutnya akan dikemukakan peranan API dalam mengemban tugasnya, seperti yang telah diikrarkan, yaitu : mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta menjaga keamanan
dan ketenteraman umum (lihat di atas).
Sementara itu, pada bulan September 1945, bekas anggota
KNIL (Tentera Hindia Belanda) juga mengambil inisiatif untuk membentuk polisi istimewa di Kutaraja. Pasukan Kepolisian
ini, setelah dibentuk polisi tentara, pada bulan Februari 1946
dilebur menjadi pasukan meriam di bawah pimpinan bekas Letnan II KNIL, Lintong, yang berasal dari daerah Minahasa
(Sulawesi Utara)
46
. Pasukan Meriam ini diperlengkapi dengan
senjata-senjata berat yang direbut dari Jepang, terutama dalam
pertempuran yang terjadi di Lho 'Nga pada bulan Desember 1945
(lihat di bawah); dan telah turut berjasa di samping pasukan
meriam lainnya, dalam menjaga pantai di sekitar Kutaraja selama
Revolusi Kemerdekaan. Selanjutnya dari pihak Kepolisian, mulai
tampak kegiatan Polisi-polisi bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri dari ikatan pemerintah Jepang. Bahkan di Langsa, Aceh
Timur, sejak 1 Oktober 1945 Kepala Polisi di sana Abdullah Husein telah mulai bertindak kearah itu; dan dalam bulan Oktober
itu juga ia beserta anak buahnya telah menyatakan diri menjadi
Polisi dari Negara Republik Indonesia.
47
Di Kutarajal
Wakil
Kepala Polisi Daerah Aceh, Muhammad Hasyirn, setelah menerima kawat tanggal 1 Oktober 1945 dari bawahannya, Abdullah
Husein di Langsa, juga segera bertindak untuk menguasai Kantor
Polisi daerah Aceh. Seperti telah disebutkan dimuka pada akhir
1945 dengan pistol ditangan ia telah memimpin penaikan bendera
Merah Putih di samping Kantor Polisi Jepang.
Atas inisiatifnya dalam waktu relatif singkat barisan Kepolisian
Negara Republik Indonesia berhasil dibentuk di daerah Aceh dan
Muhammad Hasyim pada awal Revolusi Kemerdekaan ditunjuk
menjadi Kepala Polisi R.I. yang pertamadi sana.
48
Dipihak lain, para pemuda yang tidak bergabung dalam API
juga berusaha untuk mendirikan badan Perjuangan Rakyat dengan
tujuan yang sama, yaitu mempertahankan proklamasi dari segala
rong-rongan musuh, baik yang datang dari luar maupun dari dalam
daerah. Di kantor Surat Kabar Aceh Sinbun (Surat Kabar masa
Pendudukan Jepang di bawah asuhan tenaga-tenaga Indonesia dan
Jepang; setelah Proklamasi tidak terbit lagi), para pengasuh surat
kabar tersebut seperti A. Hasjmy, Talsya dan lain-lain, sejak berita
Proklamasi diterima di sana telah melakukan kegiatan untuk mendirikan sebuah organisasi pemuda yang diberi nama Ikatan Pemuda
Indonesia (IPI). Pada tanggal 4 Oktober 1945 susunan pengurus IPI yang pertama telah tersiar, terdiri dari, Ketua I dan II : A. Hasjmy dan T. Manyak Arief; Setia Usaha I dan II : Usman dan
Anwar Manyak; Bendahara : Zaini Bakry; Pembantu - pembantu
M. Saleh Rahmany, Muhammad ZZ. Tuanku Abdul Wahab dan
Muhammad Juned; dan diperlengkapi dengan komisaris-komisaris
Tuanku Hasyim, Ghazaly Yunus, Murdani, Tungku Idris, Asman
Potan Harahap, Mukhtar Lubis, Said Ahmad Dahlan dan H. Jamin.
49
Kemudian pada tanggal 6 Oktober 1945 IPI bertukar
nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dengan susunan
pengurus yang diperbaharui, terdiri dari, Ketua Umum, I dan II :
A. Hasjmy, M.Saleh Rahmany dan Muhammad Z.Z.; Setia Usaha
Umum, I, II, III, dan IV, masing-masing terdiri dari Tuanku Hasyim, Potan Harahap, Sulaiman Arsyad Abubakar dan Sang Syarif:
Bendahara : H. Jamin ; dan diperlengkapi dengan, badan Keuangan, ketua : Muhammad Junat ; Badan Penerangan Ketua : Said Ahmad Dahlan ; Badan pengarahan tenaga, Ketua : Sauni dan Zaini
Bakry; Badan Kepanduan, ketua: Murdani, dan Badan Palang
Merah, Ketua : Asman .
50
Dengan terbentuknya API dan BPI berarti dasar-dasar organisasi kemiliteran dan perjuangan telah mulai diletakkan di Aceh.
Dalam waktu relatif singkat ke dua organisasi itu meluas ke seluruh daerah. Dan ini, seperti telah disinggung juga di atas, sangat
mengejutkan pemerintah Jepang di Kutaraja. Karena itu pada
malam hari tanggal 6 Oktober 1945, setelah siangnya keluar seruan
API dan terbentuk susunan pengurus BPI, Atjeh Syu Tyokan
S. Iino mengundang para pemimpin Aceh ke rumahnya guna
membicarakan situasi ibukota Kutaraja khususnya dan daerah
Aceh pada umumnya.
Mereka yang turut hadir pada malam itu, dari pihak Aceh : Teuku
Nyak Arief (Residen R.I. Daerah Aceh), Tuanku Mahmud (Ketua KNI Aceh), Teumjku Muhammad Daud Beureueh (Ketua
PUSA dan anggota KNI Daerah Aceh), Syamaun Gaharu (Ketua
Markas API), A. Hasjmy (Ketua BPI), T. Ahmad Jeunieb (Asisten
Residen R.I. Aceh Besar), T. Tjut Hasan (Konsul Muhammadyah
Daerah Aceh) dan Said Aboe Bakar (pelopor fujiwara kikan); dari
pihak Jepang: Tyokan S. Iino sendiri, Atjeh Syu Seityo S. Masubutsi, Keimutyo (Kepala Polisi), Bo-ei Tai tyo (Kepala Pertahanan), Kempei Taityo (Kepala Polisi Militer) dan Juru Bahasa
T. Eiri Dalam pertemuan itu S. Iino menegaskan bahwa, meskipun Jepang telah kalah, namun masih diberi kuasa oleh sekutu
dan bertanggung jawab di dalam hal pemerintahan dan keamanan
daerah ini. Karena itu segala kegiatan yang dilakukan harus dengan izin pemerintah Jepang. Dan diminta agar API dan BPI yang
telah didirikan tanpa seizinnya serta mengarah seperti organisasi
ketentaraan segera dibubarkan. Teuku Nyak Arief, seperti biasa
kalau berhadapan dengan penjajah, menjawab dengan pedas,
yang intinya, bahwa Jepang harus tahu diri mereka telah kalah
dan tidak berhak lagi mengatur rakyat Indonesia, seperti pada
masa mereka berkuasa dulu. Sedang Syamaun Gaharu menegaskan, bahwa tidak seorangpun berhak memerintahkan untuk membubarkan API, kecuali kalau Residen Negara Republik Indonesia
yang memerintahkannya.
51
Dapat dikatakan pertemuan malam
itu gagal total dan merupakan pukulan berat bagi pemerintah
Jepang di daerah Aceh.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 Teuku Nyak Arief, selaku Residen Aceh dari Negara Republik Indonesia memerintahkan agar
API sebagai dasar dari Tentara Republik Indonesia harus lebih
disempurnakan, sehingga benar-benar mengarahkan kepada organisasi ketenteraan yang lengkap. Karena itu Syamaun Gaharu selaku Ketua Markas Daerah segera melaksanakan perintah itu. Wakil
Markas Daerah (WMD) yang sebelumnya hanya 4 buah ditambah
menjadi 8 WMD dan pada tiap-tiap WMD dibentuk 3- 4 pasukan
yang dipimpin oleh seorang Komandan pasukan; kemudian disusul pula dengan Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh bekas
prajurit Gyugun, Heiho dll. agar dalam waktu singkat segera mendaftarkan diri pada WMD atau pasukan setempat (mengenai namanama WMD dan pasukan beserta Komandannya masing-masing
lihat lampiran).
Pada tanggal 12 Oktober 1945 Residen T. Nyak Arief melantik API seluruh daerah Aceh secara serentak di Kutaraja (dalam
surat edaran yang disebutkan di atas pelantikan itu akan dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober; jadi mundur dua hari dari rencana
semula). Semenjak itu secara resmi API Daerah Aceh menjadi
organisasi Tentara Republik Indonesia yang sah di sana. Dalam
proses selanjutnya, sejak tanggal 1 Desember 1945, API bertukar
nama menjadi TKR (Pada waktu itu tidak lagi Tentara Keamanan
Rakyat, tetapi Tentara Keselamatan Rakyat) dengan Komandannya tetap seperti semula yaitu Syamaun Gaharu (berpangkat Kolonel) dan Teuku Nyak Arief, selaku residen Aceh, dengan pangkat
Jenderal Mayor Tituler, menjadi pelindungnya. Sejak tanggal 24
Januari 1946, sejalan dengan keputusan Pemerintah Pusat tanggal
8 Januari 1946 mengenai penggantian nama TKR Menjadi TRI
(Tentara Republik Indonesi), TKR Aceh menjadi TRI Devisi V
Sumatera. Dalam penyempurnaan selanjutnya, setelah penggantian
Komandan Komandan pada bulan Maret 1946 dari Syamaun
Gaharu kepada Husen Yusuf, TRI Aceh (Devisi V Sumatera) dijadikan Devisi Gajah I/dengan pengecualian kesatuan di Kutacane
yang dijadikan Batalyon I Resimen I Devisi Gajah II (Sumatera
Timur); dan pada bulan April 1947, Devisi Gajah I digabung
dengan Devisi Gajah II menjadi TRI Devisi X Sumatera, yang pada
waktu aksi Militer Belanda pertama markasnya berkedudukan di
Bireuen(Aceh Utara), dengan Panglima dan Kepala Stafnya masing-masing Kolonel Husein Yusuf dan Kolonel H. Sitompul,
bekas komandan devisi gajah II. Selanjutnya di Aceh juga dibentuk Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA), yang dipimpin oleh
Said Usman (Kutaraja), H. Daud Daryah (Meulaboh) M. Adam
(Langsa)dan lain-lain.
53
Sementara itu barisan Pemuda Indonesia (BPI), dalam rangka
lebih meningkatkan organisasi itu sebagai Barisan Kelasykaran dan
penyebaran keseluruh daerah, pada tanggal 12 Oktober 1945
mengadakan konperensi pertama dengan mengambil tempat di
rumah Tuanku Abdul Azis, Jalan Mohd. Jam No. 1. Konperensi
di ikuti oleh para pemuda yang datang dari berbagai pelosok daerah Aceh atas undangan Husein Al Mujahid yang pada mulanya
dimaksudkan untuk membentuk suatu gerakan pemuda dengan
tujuan mempertahankan proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi berhubung telah ada BPI rencana itu dibatalkan. Dalam konperensi itu diputuskan, bahwa pengurus pusat BPI yang telah disusun sebelumnya disetujui dan ditempatkan di Kutaraja, sedang
di daerah-daerah Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Selatan, masing-masing ditempatkan seorang wakil majlis Daerah (WMD), yaitu Teungku Abdul Jalil Amin, Teungku Abdul Gani, Teungku
Usman Peureulak dan Teungku Muhammad Abdul Syam.54
-
Selanjutnya 5 hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Oktober 1945, BPI bertukar namanya menjadi Pemuda Republik
Indonesia (PRI); dan sejak waktu itu PR1 Daerah Aceh mulai
membentuk cabang-cabangnya diseluruh wilayah daerah Aceh,
bahkan juga ranting-rantingnya di Kemukiman (Daerah di bawah
Negeri atau Kecamatan sekarang). Pada hari itu juga PRI Daerah
Aceh mengeluarkan Maklumat No. 4, berisi "panggilan umum"
yang ditujukan kepada seluruh Pemuda Indonesia yang berumur
18 tahun ke atas untuk mendaftar diri menjadi anggota PRI di
wilayah atau ranting setempat. Ditegaskan pula dalam maklumat
itu, bahwa : "Kemerdekaan Tanah Air tidak didapati dengan
jalan mengemis, tetapi ia harus ditempa oleh tangan Poeteranya
sendiri". Kemudian pada tanggal 20 Desember 1945 berdasarkan
Ketetapan markas Tertinggi Pemuda Republik Indonesia di Yogyakarta, nama PRI Daerah Aceh mengalami perobahan lagi. yaitu
Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO ) Daerah Aceh, dengan
Ketuanya tetap seperti semula, ialah : A. Hasjmy.
Dapat ditambahkan, bahwa, meskipun Pesindo daerah Aceh
bernaung di bawah Pesindo Pusat, namun orientasi idiologi -
nya jauh berbeda, sehingga akibat sikapnya yang demikian Komisariat Dewan Pusat Pesindo Sumatera menganggap Pesindo daerah
Aceh tidak sah; dan setelah meietus peristiwa Madiun (Pemberontakan PKI/Muso), pada tanggal 19 Oktober 1948 Pesindo daerah
Aceh melepaskan hubungan organisasinya dengan Pesindo Pusat
yang telah turut campur dalam pemberontakan PKI itu.
bb
Karena Pesindo daerah Aceh mempunyai cabang dan ranting
tersebar diseluruh Wilayah, maka dengan tidak banyak menemui
kesukaran organisasi itu berhasil baik mengkoordinir Lasykarnya,
yaitu : Kesatria Pesindo, yang kemudian dikenal dengan nama :
Devisi Rencong, Barisan Kelasykaran ini terdiri dari 7 resimen, masing-masing ditempatkan di Kutaraja, Sigli (Pidie), Lhokseumawe (Aceh Utara), Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Barat dan
Aceh Selatan; ditarribah dengan resimen wanita Pocut Baren dengan Komandannya dari wanita sendiri, ialah : Zahara dan satu
Batalyon Istimewa Altileri yang dipimpin langsung oleh Komandan Devisi Nyak Neh Lhok Nga. Selain itu, devisi juga diperlengkapi dengan a.l. perbekalan/persenjataan, di Lhok Nga, pelayaran di Ulee Lheue dan Bank Pesindo di Kutaraja (mengenai struktur organisasi dan personalia Divisi Rencong selengkapnya, lihat
lampiran)
Devisi Rencong Pesindo merupakan badan kelasykaran yang
terlengkap, baik dari segi struktur organisasinya, maupun dari segi
persenjataannya dan yang pertama lahir di daerah Aceh. Setelah
itu menjelang tahun 1946dibentuk pula Barisan Mujahidin di bawah pimpinan Teungku Mohd. Daud Beureueh dan Cek Mat
Rahmany. Barisan Kelasykaran Mujahidin dikenal dengan nama
Devisi X/Teungku Chik Di Tiro yang pada mula, Komandan Devisinya Hasballah Daud, kemudian Cek Mat Rachmany; dan terdiri dari 5 resimen, yang masing-masing resimen membawahi beberapa batalyon (Susunan selengkapnya, lihat lampiran). Pada
pertengahan tahun 1946 dibentuk lagi Barisan Berani Mati Lasykar
Teungku Chik Paya Bakong, sebagai penjelmaan Tentera Perjuangan Rakyat (TPR) yang lahir pada permulaan tahun 1946. Markas
Devisi ini tidak di tempatkan di Kutaraja seperti dua badan Kelasykaran yang disebutkan terdahulu, melainkan di Idi (Aceh Timur), yaitu kota kelahiran Tentara Perjuangan Rakyat (TPR), di
bawah pimpinan Amir Husein Al Mujahid.
Adapun struktur organisasi divisi terdiri dari staf pimpinan
divisi, komandan batalyon divisi berani mati, anggota staf Tentara
Perjuangan Rakyat, staf Istimewa/mobilisasi dan staf istimewa/mobilisasi wanita (personalia tiap bagian itu,lihat lampiran). Selain tiga
badan kelasykaran yang telah disebutkan itu, di daerah juga terdapat
dua resimen Tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP, dibentuk
Bulan September 1947); dan ke dua, yang dibentuk pada bulan
Desember 1947 dan langsung berada di bawah Komando Divisi X
TNI Sumatera, adalah Tentara Pelajar Islam (TPI). Badan Kelasykaran Pelajar ini juga diperlengkapi dengan bagian Palang Merah
dan Dapur Umum (Struktur organisasi dan personalia kedua resimen tentara pelajar ini, selengkapnya lihat lampiran.
5V
Perlu juga dikemukakan, bahwa selama Revolusi Kemerdekaan (1945 — 1949) antara kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata
resmi (TKR/TRI) dan badan-badan kelasykaran di daerah Aceh,
yang pada masa sekarang anggota-anggotanya itu dihitung sebagai
veteran pejuang Kemerdekaan dan jumlahnya diperkirakan tidak
kurang dari 60.000 orang, tetapi yang baru terdaftar secara resmi
pada kantor Administrasi Veteran I, Pusat Cadangan Nasional Daerah Aceh hanya 35.075 orang,
58
Dalam berbagai kegiatan perjuangan yang mereka lancarkan, selalu tampak berada dalam suatu
koordinasi yang utuh; tidak terdapat unsur-unsur pemecahan dan
persaingan yang berarti yang dapat melemahkan perjuangan pada
waktu itu. Hal ini, nanti setelah keluarnya penetapan pemerintah
(Berita Negara no. 24 tahun 1947) dan Ketetapan Wakil Presiden,
Selaku Panglima Tertinggi TRI pada waktu itu, tertanggal Bukit
Tinggi, 26 Agustus 1947, no. 3/BKPU/47 mengenai penyatuan
TRI dengan lasykar-lasykar Rakyat menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, merupakan faktor yang
memperlancar proses penyatuan TRI dengan Badan-badan Kelasykaran (Divisi Rencong, Teungku Chik di Tiro, Teungku Chik
Paya Bakong, Resimen TRIP dan TPI) di daerah Aceh.
Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia
dan Badan Perjuangan (API dan IPI/BPI) di daerah Aceh, maka
mulai direncanakan perebutan senjata dari Jepang secara lebih
intensif. Sebelumnya kegiatan pengumpulan senjata juga telah
dilakukan, yaitu senjata-senjata yang berasal dari kesatuan
Gyugun, direbut secara diplomasi atau disembunyikan pada
saat organisasi militer itu dibubarkan oleh Jepang. Dalam hubungan ini, umpamanya seperti yang disembunyikan di sebelah Utara
kota Bakongan (Aceh Selatan) sebanyak 12 pucuk senjata beserta
6.000 peluru atas inisiatif Abdullah Syarief dan kemudian diserahkan kepada kesatuan API di sana.
60
; juga di Calang (Aceh Barat),
atas inisiatif A.K. Jailani beserta dengan kawan-kawannya, 2 senapan mesin 4 bren dan 50 pucuk karabin tidak berhasil dilucuti oleh
pihak Jepang.
61
Ada dua faktor yang juga turut memberi dorongan dan semangat kepada seluruh rakyat Aceh dalam merebut senjata dari
Jepang, yaitu : Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh dan seruan
kepada kaum Muslimin, berasal dari seorang Ulama Besar di Aceh,
Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, mengenai kewajiban mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang baru di proklamirkan itu.
Maklumat Ulama tersebut, tertanggal Kutaraja 15 Oktober 1945,
ditandatangani oleh 4 orang ulama besar, yaitu : Teungku Haji
Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhd. Daud Beureueh , Teungku
Haji Jakfar Sidiq Lamjabat dan Teungku Haji Ahmad Hasballah
Indrapuri serta disetujui oleh residen Aceh, Teuku Nyak Arief
dan Ketua Komite Nasional Daerah Aceh, Tuanku Mahmud.
Isi pokoknya adalah, selain seruan bersatu padu di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno, juga penegasan bahwa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan adalah perjuangan suci yang disebut
dengan "perang sabil" (perang di jalan Allah), suatu penegasan
yang mendahului revolusi Muktamar Umat Islam Indonesia di
Yogyakarta, tanggal 7- 8 Nopember 1945 dengan isi yang serupa,
yaitu : 60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia siap berdjihad
Fi Sabilillah. Perang di Djalan Allah oentoek menentang tiaptiap pendjadjahan"62
(mengenai isi selengkapnya maklumat ulama itu lihat lampiran).
Mengenai seruan yang dikeluarkan oleh Teungku Haji Hasan
Krueng Kalee pada tanggal 18 Zulkaedah 1364 H (akhir Oktober
1945) dan kemudian disiarkan oleh Pimpinan daerah PRI secara
meluas keseluruh Aceh dengan surat pengantar tanggal 8 Nopember 1945, no. 116/1945 , intisari isinya tidak berbeda dengan
maklumat ulama yang terdahulu, yaitu kewajiban mengorbankan
jiwa dan harta untuk memerangi kafir penjajah membela kemerdekaan tanah air. Tegasnya kedua pernyataan tersebut telah memberi kekuatan batin bagi rakyat Aceh dalam berjuang selama
revolusi Kemerdekaan yang diawali dengan perebutan kekuasaan Dalam proses perebutan senjata tersebut, langkah-langkah
yang ditempuh oleh rakyat Aceh pada umumnya dan badan perjuangan/ketentaraan (API/TKR; BPI/PRI) khususnya, adalah pada
mula-mula dengan jalan diplomasi dan intimidasi, tetapi kalau
menemui kegagalan, diikuti pula dengan tindakan kekerasan, yaitu
dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos konsentrasi
tentara Jepang. Cara ini, dalam garis besarnya, dapat dijelaskan sebagai berikut. Mula-mula sekelompok rakyat yang dikoordinir
oleh API/TKR dan/atau BPI/PRI dengan bersenjatakan rencong,
tombak, pedang dan sebagainya, turun ke-
kota-kota dan membayangi pos-pos tentara Jepang di sana. Kadang-kadang sebelum
tindakan ini dimulai, lebih dahulu telah dikeluarkan selebaranselebaran berisi berbagai ancaman, yang pada dasarnya seakanakan keselamatan Jepang tidak terjamin lagi di Aceh. Hal ini
menjadikan tentara Jepang, yang sudah kalah dan tidak bersemangat lagi pada waktu itu, gelisah dan ketakutan. Karenanya mereka segera memanggil para pemimpin rakyat dikota tersebut,
baik yang duduk dalam badan pemerintahan R.L, ketentaraan,
atau kelasykaran. Dalam pertemuan yang berlangsung itu, para
pemimpin rakyat menekankan, bahwa yang diinginkan oleh rakyat adalah senjata dari Jepang dan diancam pula, sekiranya Jepang
tidak memberikannya, rakyat akan menyerang. Dan memang
kalau pertemuan gagal penyerangan segera dimulai, yang setelah
berlangsung beberapa waktu, kadang-kadang dilanjutkan dengan
perundingan kembali yang berakhir dengan kemenangan dipihak
pemimpin rakyat.
Dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, kegiatan perebutan senjata dari pihak Jepang selalu terjadi di kota-kota/tempat-tempat di mana tentara Jepang ditempatkan, di seluruh daerah Aceh. Dalam wilayah Aceh Besar, di Seulimum tanggal 25
Nopember 1945 tentara Jepang terpaksa menyerahkan