kemerdekaan aceh 1

Rabu, 29 Januari 2025

kemerdekaan aceh 1


 



Sejak diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 

Agustus 1945, status Daerah Aceh termasuk sal ah satu keresidenan 

dari Propinsi Sumatra yang dîbentuk sejak tanggal 3 Oktober 1945; 

dan sebagai kota kedudukan residennya, seperti juga pada masa ko￾lonial Belanda dan Jepang ialah Kutaraja ( sekarang Banda Aceh ). 

Bersamaan dengan itu daerah-daerah yang disebut bunshu dan gun 

(masing-masing diperintah oleh Bunshutyo dan Guntyo) dalam wi￾layah keresidenan Aceh, kembali dinamakan seperti nama pada ma￾sa sebelum pendudukan Jepang yaitu : Afdeeling dan Onderafdce￾ling dengan kepala pemerintahannya disebut Asisten- Residen dan 

Kontroleur. Kemudian dalam perkembangan berikutnya pada waktu 

itu nama kedua daerah tersebut dirobah lagi menjadi Kabupaten 

dan Kewedanaan yang masing-masing diperintah oleh seorang Bupa￾ti dan Wedana Demikian pula daerah-daerah yang dinamakan son￾dengan kepala pemerintahannya disebut Sontyo (daerah-daerah 

Zelfbestuur atau Uleebalangschap pada masa pemerintahan koloni￾al Belanda; kepalanya itu terdiri dari para Uleebalang yang meme￾rintah secara tu run-temu nan, tetapi Sontyo yang diangkat Jepang 

tidak mesti harus seorang Uleebalang, sehingga status "istimewa" 

nya itu dapat dikatakan hilang pada waktu itu ) kembali diakui 

sebagai daerah Uleebalang yang diperintah oleh para Uleebalang 

( Teuku Chiek, Keujrueun, Bentara dsb ). Tetapi setelah "revolusi 

sosial" yang meletus pada awal tahun 1946, status "istimewa" dari 

daerah-daerah Uleebalang itu dihapuskan; dan daerah-daerah terse￾but selanjutnya dijadikan "Negeri" yang diperintah oleh 5 orang 

Dewan Pemerintahan Negeri ( Bestuur Comisie ) dan salah seorang 

di antara mereka, dipilih atau ditunjuk sebagai Kepala Negeri (da￾lam perkembangan selanjutnya daerah Kenegerian tersebut dijadi￾kan sebagai Kecamatan yang dikepalai oleh seorang Asisten Wedana 

yang kemudian disebut dengan Camat ). 

Selain itu daerah-daerah yang dikenal dengan nama Ku ( dikepalai 

oleh Kutyo ) dan Kumi ( dikepalai oleh Kumityo ) dikembalikan 

kepada nama semula, yaitu : Mukim dan Gampong yang masing￾masing dikepalai oleh Imum Mukim ( Kepala Mukim) dan Keuchiek. Untuk menggerakkan roda pemerintahan Republik Indonesia 

di Daerah Aceh, seperti juga di daerah-daerah lain yang menjadi wi￾layah negara Republik Indonesia yang baru diproklamirkan itu, da￾lam waktu yang relatif singkat telah berhasil disusun nama-nama 

para pejabat pemerintahan, sejak dari residen, pejabat kehakiman 

daerah, pejabat penerangan daerah dan lain-lain hingga kepada ang￾gota Dewan Pemerintahan Negeri, di samping susunan anggota Ko￾mite Nasional Daerah. Dan dalam rangka mempertahankan prokla￾masi dari kemungkinan serangan musuh dibentuk pula kesatuan ke￾tentaraan serta kelaskaran rakyat, tidak saja di kota-kota besar, bah￾kan tersebar sampai ke pelosok-pelosok di seluruh daerah. 

Dalam perkembangan selanjutnya selama Revolusi Kemerdeka￾an, kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara 

Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, sei￾rama dengan gerak revolusi pada waktu itu. Pada awal tahun 1947 

Keresidenan Aceh berada di bawah daerah administratif Sumatra 

Utara ( pada waktu itu Propinsi Sumatra dibagai menjadi 3 wilayah 

administratif : Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Sela￾tan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Gubernur Muda). 

Dan pada bulan Agustus 1947, berhubung dengan dilancarkannya 

aksi militer Belanda Pertama terhadap negara Republik Indonesia, 

berdasarkan keputusan Wakil Presiden Republik Indonesia, No. 3/ 

BPKU/47, tanggal 26'Agustus 1947, daerah Aceh bersama Kabupa￾ten Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer, 

yang diperintah oleh Gubernur Militer yang berkedudukan di 

Kutaraja, meskipun status keresidenan masih tetap dipertahankan. 

Pada tahun 1948, daerah administratif Sumatra Utara diting￾katkan statusnya menjadi propinsi Sumatra Utara dengan memba￾wahi tiga keresidenan, yaitu : Keresidenan Aceh, Keresidenan Su￾matra Timur dan Keresidenan Tapanuli. Sejak waktu itu, Kutaraja 

yang sebelumnya menjadi ibukota Keresidenan Aceh dan Daerah Mi￾liter Aceh, Langkat dan Tanah Karo, juga menjadi ibukota Propinsi 

Sumatra Utara, sehingga Daerah Aceh umumnya dan Kutaraja khu￾susnya menjadi pusat kegiatan administratif pemerintahan sipil dan 

militer propinsi Sumatra Utara. Tetapi, setelah terjadi agresi militer 

Belanda kedua, berdasarkan ketetapan Pemerintah Darurat Repub￾lik Indonesia No. 21/Pem./PDRI, tanggal 16 Mei 1949, kekuasaan 

sipil dan militer dialihkan kepada satu tangan, yaitu kepada Guber￾nur Militer; sedang jabatan gubernur-gubernur di Sumatra untuk se￾mentara dihapuskan. Dengan demikian jabatan-jabatan sipil di Su-

matra Utara khususnya pada waktu itu tidak berfungsi lagi, dan 

bekas gubernur diangkat menjadi komisaris Pemerintah Pusat yang 

diberi hak untuk mengawasi daerah-daerah otonomi (status pro￾pinsi sendiri tidak dihapuskan ). 

Setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta 

dan Pemerintah Darurat dibubarkan, sejak bulan Agustus 1949 Wa￾kil Perdana Menteri Republik Indonesia yang mewakili Pemerintah 

Pusat untuk Sumatra ditempatkan di Kutaraja. Tindakan Wakil Per￾dana Menteri setelah menduduki posnya adalah menghapuskan ja￾batan-jabatan Komisaris Pemerintah Pusat serta Gubernur Militer 

di seluruh Sumatra dan mengfungsikan kembali daerah-daerah oto￾nomi. Khusus bagi keresidenan Aceh yang sebelumnya berada di 

bawah Propinsi Sumatra Utara, berdasarkan Peraturan Wakil Perda￾na Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah, No. 8/Des./WPM/1949, 

tanggal 17 Desember 1949, statusnya ditingkatkan menjadi Propin￾si yang berdiri sendiri dengan wilayahnya ditambah sebagian daerah 

Kabupaten Langkat yang terletak di luar daerah Negara Bagian Su￾matra Timur dan Propinsi Tapanuli Sumatra Timur ( bekas Propinsi 

Sumatra Utara setelah dikeluarkan Propinsi Aceh dan Negara Bagian 

Sumatra Timur ). Tetapi Propinsi Aceh yang pertama ini, tidak be￾rumur panjang; berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Un￾adang-Undang No. 5 tahun 1950, yang mulai berlaku sejak tanggal 

15 Agustus 1950, Daerah Aceh kembali menjadi sebuah keresidenan 

yang berada di bawah Propinsi Sumatra Utara 

Dewasa ini daerah Aceh dikenal dengan nama Propinsi Daerah 

Istimewa Aceh (status propinsi mulai sejak tanggal 1 Januari 1957 

berdasarkan undang-undang no.24 tahun 1956 dan sebutan "daerah 

istimewa" dimulai sejak tanggal 26 Mei 1959, berdasarkan keputu￾san Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi 1959). Letak 

geografisnya adalah di ujung Barat Laut Pulau Sumatra dengan 

batas-batasnya: di sebelah Utara dengan Selat Malaka: sebelah Se￾latan dengan Samudra Hindia: dan sebelah Timur dengan Selat Ma 

laka dan Propinsi Sumatra Utara Adapun pembagian wilayahnya 

terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 kotamadya yaitu: Kabupaten Aceh 

Besar dengan ibukotanya Banda Aceh; Kabupaten Pidie, ibukotanya 

Sigli, Kabupaten Aceh Utara dengan ibukotanya Lhokseumawe, Ka￾bupaten Aceh Timur, ibukotanya Langsa, Kabupaten Aceh Tengah, 

ibukotanya Takengon; Kabupaten Aceh Barat, ibukotanya M eu la￾boh; Kabupaten Aceh Selatan, ibukotanya Tapaktuan; dan Kabu￾paten Aceh Tenggara dengan ibukotanyaKutacane; KotamadyaSa￾bang; dan Kotamadya Banda Aceh, yang juga menjadi ibukota Pro￾pinsi Daerah Istimewa Aceh

 +X Selama masa Revolusi Kemerdeka￾an (1945 - 1949) wilayah Daerah Aceh, kecuali Sabang, tidak per￾nah berhasil diduduki kembali oleh Belanda, sehingga administrasi 

pemerintah Republik Indonesia di daerah ini relatif lebih teratur bi￾la dibandingkan dengan daerah-daerah lain pada waktu itu (Aceh 

tidak pernah melepaskan diri dari Republik Indonesia, seperti yang 

terjadi dengan beberapa daerah yang menjadi "Negara Bagian" lepas 

dari R.I). 

Uraian di atas merupakan gambaran umum mengenai daerah 

Aceh, terutama yang menyangkut dengan perkembangan bidang 

administrasi pemerintahan wilayah daerah tersebut selama masa 

Revolusi Kemerdekaan. Beriringan dengan terjadinya perubahan 

stniktur tata pemerintahan, di seluruh daerah berlangsung pula per￾juangan rakyat Aceh dalam berbagai bidang kehidupan yang pada 

dasarnya ditujukan untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 

1945. Di antara bidang-bidang tersebut yaitu : pertahanan dan ke￾amanan (dengan dibentuknya kesatuan ketenteraan, kelasykaran, 

dll), pemerintahan, sosial - ekonomi, sosial budaya, agama, pers, ke￾pemudaan, kewanitaan dan sebagainya 

Pada masa sekarang, setelah 35 tahun bangsa Indonesia mempe￾roleh kemerdekaanya, semakin terasa pentingnya nilai-nilai keseja￾rahan yang terkandung di dalam Revolusi Kemerdekaan, mengingat 

perlunya penggalangan kehidupan bangsa dan negara, termasuk 

penyusunan negara dan penataan bangsa serta nilai-nilai kebudayaan 

bangsa Indonesia yang tercermin pada masa itu. Dan pada hakekat￾nya nilai-nilai kesejarahan- dimaksud terdapat di dalam keanekara￾gaman kegiatan perjuangan di daerah-daerah3 termasuk daerMi 

Aceh selama periode tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu 

penulisan yang berupa inventarisasi dan pendokumentasian dari 

kegiatan perjuangan tersebut; dan semoga hasilnya dapat membe-

rikan sumbangan yang berarti bagi perwujudan cita-cita ke-tunggal 

ikaan yang menjadi harapan seluruh bangsa Indonesia. 

Sehubungan dengan kegiatan perjuangan rakyat Aceh yang telah 

dilakukan selama masa Revolusi Kemerdekaan, sampai saat ini be￾lum diperoleh suatu deskripsi (terutama dalam bahasa Indonesia) 

yang menggambarkan secara keseluruhan sejarah Revolusi Kemerde￾kaan (1945-1949) Indonesia di Daerah Aceh; yang ada hanya beru￾pa tulisan-tulisan yang bersifat pragmentaris, yang tersebar dalam 

majallah-majallah dan surat kabar-surat kabar, terutama yang ditulis 

sendiri oleh para pelaku sejarah pada masa itu. Pada hal deskripsi 

yang menggambarkan keseluruhan semacam itu sangat diperlukan, 

terutama untuk memenuhi tujuan serta kepentingan akan nilai-nilai 

kesejarahan sebagaimana telah disebut di atas. 

Selain dari yang telah dikemukakan, masalah tersedianya bahan￾bahan sejarah dari sumber lisan yang primer mengenai masa Revo￾lusi Kemerdekaan Indonesia di daerah Aceh, juga memerlukan peng￾garapan dalam waktu secepat mungkin. Pada masa sekarang para 

pemimpin yang terlibat langsung dalam proses perjuangan untuk 

mempertahankan proklamasi kemerdekaan nasioanal di daerah 

Aceh, sebagian dari mereka telah meninggal dunia Oleh karena itu 

dari mereka yaig masih tinggal dan usianya sudah lanjut pula, perlu 

dikumpulkan bahan-bahan sejarah, terutama yang menyangkut de￾ngan kegiatan perjuangan mereka selama perode tersebut 

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka di￾pandang perlu adanya kegiatan penelitian dan penulisan secara le￾bih luas dan terperinci dalam bentuk naskah Revolusi Kemerdeka￾an Indonesia di Daerah Aceh ( 1945 - 1949 ); sehingga dengan de￾mikian diharapkan akan adanya pengertian yang lebih mendalam 

mengenai periode tersebut, khususnya di Daerah Istimewa Aceh. Pendaratan dan Penaklukan Belanda oleh Jepang di Aceh. 

Dalam membicarakan keadaan kehidupan pemerintahan di 

daerah Aceh pada masa pendudukan Jepang ( 1942 - 1945 ), 

ada baiknya terlebih dahulu dibahas tentang situasi menjelang 

pendaratan Jepang di Aceh. Dengan ini kiranya akan mendapat￾kan suatu gambaran tentang situasi di Aceh pada khususnya dan 

di Sumatra pada umumnya pada saat-saat menjelang berakhir￾nya kekuasaan Belanda di Indonesia. 

Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan 

di Aceh pada khususnya yaitu pada tahun 1941 dan awal tahun 

1942, kebencian rakyat Indonesia terhadap Belanda semakin 

bertambah memuncak. Walaupun Belanda telah berusaha de￾ngan bermacam-macam cara untuk menghadapinya, namun rasa 

kemarahan rakyat tidak dapat dibendung lagi. Hal ini akan ter￾lihat dari berbagai kegiatan rakyat yang bertujuan untuk menen￾tang penjajahan Belanda, baik yang merupakan perjuangan da￾lam bentuk politik maupun dalam bentuk kegiatan fisik. Kedua 

bentuk kegiatan ini pada umumnya dipelopori oleh para ulama 

dan uleebalang, yang keduanya merupakan golongan yang mem￾punyai pengaruh cukup besar di dalam masyarakat Aceh. 

Perjuangan dalam bentuk politik, misalnya dengan menga￾dakan rapat-rapat rahasia untuk menyusun strategi yang tepat 

dalam menghadapi Belanda, serta mengadakan hubungan de￾ngan luar negeri guna mendapatkan bantuan. Ke-semua kegiatan 

ini bertujuan untuk memperoleh kembali kemerdekaan yang su￾dah demikian lama diperjuangkan. Salah satu rapat penting yang 

diselenggarakan dalam rangka menyusun strategi dalam suasana 

perang yang berlangsung antara Jepang dan Belanda, dilangsung￾kan di rumah Teuku Nyak Arief ( sebagai Kepala Sagi XXVI 

Mukim ) pada bulan Desember 1941. Rapat tersebut dihadiri 

oleh beberapa tokoh masyarakat baik dari kalangan ulama mau-pun dari kalangan adat ( uleebalang). Di antaranya dapat dise￾butkan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Ab￾dul Wahab Seulimum yang mewakili Persatuan Ulama Seluruh 

Aceh (PUSA) , Teuku Nyak Arief (panglima-Sagi XXVI Mu￾kim ), Teuku Panglima Polem Muhammad Ali ( Panglima Sagi 

XXII Mukim ), Teuku Ahmad ( uleebalang- Junib- Samalanga) 

yang mewakili kalangan adat ( uleebalang ). Suatu keputusan 

penting yang mereka ambil yaitu dikeluarkannya sebuah per￾nyataan sumpah setia mereka kepada agama Islam, bangsa dan 

Tanah Air serta menyusun pemberontakan bersama melawan 

Belanda dan bekerja sama dengan pihak Jepang

 l : 

Selain mengadakan rapat seperti tersebut di atas, Persatuan 

Ulama Seluruh Aceh ( PUSA ) juga aktif dalam menjalin hubu￾ngan dengan pihak Jepang yang telah berada atau berhasil men￾duduki Malasyia ( waktu itu masih bernama Malaya). Orang￾orang dari PUSA seperti Said Abu Bakar dan Syekh Ibrahim di￾utus secara khusus ke sana (Malaya) guna menjajaki kemungki￾nan masuknya Jepang ke Aceh dengan tujuan secepat mungkin 

dapat mengusir Belanda

 2

. Perjuangan dalam bentuk politik la￾innya adalah berupa suatu tuntutan yang disampaikan oleh Teu￾ku Nyak Arief dalam suatu pertemuan antara Residen Aceh pa￾da waktu itu yaitu J. Pauw dengan para Panglima Sagi dan ulee￾balang-uleebalang lainnya di Kutaraja. 

Dalam pertempuran itu, Teuku Nyak Arief secara tegas me￾ngemukakan kepada Residen Belanda itu agar pemerintahan dise -

rah terimakan ke tangan rakyat Aceh sendiri untuk dapat me￾ngatur pemerintahan sendiri. Selanjutnya Teuku Nyak Arief ju￾ga mengemukakan bahwa rakyat Aceh akan mampu memperta￾hankan tanah airnya dan dapat membela diri sendiri setiap anca￾man yang datang dari luar, jika seandainya pemerintah Belanda 

mengalihkan kekuasaan pemerintahan kepada rakyat Tuntutan 

ini ditolak oleh Residen Pauw dan sejak saat itu Teuku Nyak 

Arief tidak pernah lagi mengadakan hubungan dengan pemerin￾tah BelandaMenyaksikan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh tentara 

Jepang menghadapi sekutu dalam perang Asia Timur Raya mela￾lui pelbagai media, menumbuhkan semangat dan harapan pada 

diri orang Aceh untuk dapat membebaskan diri dari penjajahan 

Belanda. Mereka menyadari suasana perang yang sedang berlang￾sung merupakan kesempatan yang baik untuk menekan peme￾rintah kolonial Belanda bukan saja dari sudut politik tetapi juga 

dari sudut fisik. Seberapa jauh tekanan dalam bentuk fisik yang 

mereka lakukan, dapat diamati pada serangkaian tindakan yang 

mereka lakukan pada penghujung waktu kekuasaan Belanda di 

Aceh. 

Pada tanggal 19-2 0 Januari 1942, terjadi sabotase kawat￾kawat telepon dan rel kereta api yang dilancarkan oleh rakyat 

di Seulimeum dan Indrapuri (wilayah Aceh Besar). Pada tanggal 

24 Januari 1942 Kontroleur Belanda di Seulimeum, yang berna￾ma Tiggelman dibunuh oleh rakyat; dan kegiatan-kegiatan lain 

lagi yang dilakukan oleh rakyat di Aceh Besar. 

Di luar Aceh Besar juga terjadi perlawanan-perlawanan fisik yai￾tu tanggal 25 Januari 1942 Asisten Residen Sigli Van den Berg 

juga mati dibunuh oleh rakyat. Di kawasan Aceh Barat peristi￾wa yang sama juga tidak terhindarkan. Dapat disebutkan misal￾nya, pada tanggal 9 Maret 1942, rakyat di bawah pimpinan Teu￾ku Sabi Lageuen menyerang asrama tentara Belanda di Lageuen 

dan kantor pemerintah di Calang

 4

Dalam menghadapi keadaan yang demikian krisis, baik sua￾sana di dalam daerah maupun suasana di luar daerah, dimana 

tentara Jepang sudah mulai merampas wilayah Hindia Belanda; 

pemerintah kolonial Belanda membentuk dua komando terito￾rial di Pulau Sumatra. Kedua komando itu terdiri dari Komando 

Teritorial Sumatra Tengah dan Utara di bawah Mayor Jendral 

R.T. Overakker; dan Komando Teritorial Aceh yang berada di 

bawah pimpinan kolonel G.F.V. Gosenson5

 . Sedangkan wila￾yah Sumatra Selatan sudah diduduki oleh Jepang. Mayor JendralR.T. Overakker dan Kolonel Gosenson, mem￾buat suatu rencana yang mencoba untuk mempertahankan sisa 

pulau Sumatra dari kejatuhannya ke tangan pemerintah Jepang 

dengan mengambil tempat pertahanan yang terakhir daerah Ga￾yo Luas dan Tanah Alas. Daerah ini memang tepat untuk diper￾gunakan sebagai daerah pertahanan terutama untuk melakukan 

gerilya; disebabkan karena kondisi alamnya yang sangat strategis 

dan untuk memasuki daerah ini hanya melalui dua jalan yaitu 

dari arah Bireun ke Takengon dan dari arah Kabanjahe (Sumate￾ra Utara ) ke Kutacane. Selain daerah ini Kolonel Gosenson ju￾ga mencadangkan daerah Geumpang - Tangse ( Pidie ), karena 

daerah ini juga memiliki kondisi yang sama dengan daerah Gayo 

Luas dan Tanah Alas. Pada permulaannya rencana untukberta￾han di daerah Gayo Luas dan Tanah Alas hanya merupakan ren￾cana lokal yang disusun oleh Kolonel Gosenson sebagai benteng 

pertahanannya yang terakhir untuk bergerilya dalam memper￾tahankan kedudukan mereka di Aceh. Sejalan dengan rencana￾nya itu, pada tanggal 15 Pebruari 1942 Gosenson memindahkan 

Markas Besar Komando Teritorial Aceh dari Kutaraja ke Take￾ngon, yang ditempatkan pada sebuah perkebunan teh Redelong. 

Demikian pula halnya dengan Mayor Jendral Overakker, sejak 

jatuhnya pulau Jawa ke tangan Jepang,dia telah mulai memu￾satkan pasukannya yaitu Komando Teritorial Sumatra Tengah 

dan Utara dengan menempatkan Markas Besarnya di Bukit Ting￾gi. Dari Bukit Tinggi mereka tidak bertahan lama oleh karena 

tenis mendapat desakan dari pihak Jepang; dan akhirnya pada 

tanggal 9 Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker kembali me￾mindahkan Markas Besarnya ke Kabanjahe. Pada tanggal itu pu￾la tentaranya yang berasal dari Jambi, Sumatra Barat dan Tapa￾nuli, turut dipindahkan ke Tanah Alas dan Gayo Luas

 6

. Dan 

sejak waktu itulah daerah Gayo Luas dan Tanah Alas dijadikan 

sebagai pusat pertahanan dari dua Komando Teritorial tersebut. 

Jepang mendarat di Aceh pada tanggal 12 Maret 1942, yang 

pendaratannya dilakukan di tiga tempat, yaitu masing-masing di 

Krueng Raya ( Aceh Besar ), Sabang ( Pulau Weh ) dan Peureu￾lak ( Aceh Timur ) 7

. Pendaratan Jepang ke Aceh berlangsung dengan sukses yaitu tanpa mendapat rintangan, baik dari peme￾rintah Belanda maupun dari rakyat Aceh, malah sebaliknya rak￾yat menyambut baik kedatangan Jepang di Aceh dengan pera￾saan senang serta turut membantunya. Hal yang demikian tidak 

mengherankan, oleh karena jauh sebelum Jepang melakukan 

pendaratan ke Aceh, mereka telah menciptakan suatu suasana 

politik yang menguntungkan, yaitu dengan mengadakan kontak 

langsung dengan para pemimpin rakyat, terutama dai golongan 

PUS A yang selama ini (sebelumnya ) menjadi inti dalam 

melakukan aksi/ perlawanan terhadap Belanda

 8

Sejak saat tentara Jepang mendarat di Aceh, mereka bersa￾ma dengan rakyat terutama barisan "F" , terus melakukan sera￾ngan terhadap tentara Belanda. Jepang melancarkan serangan 

terhadap pasukan Belanda yang berusaha untuk mempertahan￾kan lapangan udara Lhok Nga. Oleh karena lapangan udara itu 

sangat vital kedudukannya. Tetapi pasukan Belanda yang mem￾pertahankan Lhok Nga terpaksa mundur melalui pantai Barat 

guna menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang masih 

berada di pantai Barat dan pantai Selatan dengan tujuan untuk 

mencapai daerah pertahanan di Lawe Butar. Dalam pengunduran 

dari pengejaran tentara Jepang itu, pasukan Belanda tersebut 

dihadang oleh anggota barisan "F " di sepanjang pantai Barat 

Aceh. Karena itu terjadi beberapa kali konflik senjata antara 

pasukan Belanda tersebut dengan para pejuang di pantai Barat 

Aceh, yaitu yang berlangsung dari tanggal 13 hingga 18 Maret 

19429

Selain dari mereka yang mengungsi ke arah pantai Barat dan 

Selatan Aceh, sebagian juga yang masih berada di Aceh Besar 

dan Pidie melarikan diri ke Tangse dan Geumpang(juga wilayah 

Pidie ) yang merupakan benteng pertahanan Belanda kedua sete￾lah Takengon ( di Aceh Tengah ), tetapi tentara Belanda ini te￾rus-menerus dikejar oleh tentara Jepang. Pasukan Jepang berada di daerah ini pada tanggal 19 Maret 1942; 

kemudian menggempur pasukan Belanda yang akhirnya mereka 

menyerah pada hari itu juga10

 . Rencana Belanda yaitu ingin 

mempertahankan pelabuhan udara Lhok Nga dan Tangse-Geum￾pang yang dicadangkan sebagai basis pertahanan kedua, namun 

ternyata kini telah mengalami kegagalan. Sedangkan sisanya, teru￾tama pasukan Belanda yang berada di daerah Aceh Utara, meng￾gabungkan diri dengan pasukan induk yang berkedudukan di 

Taken gon. 

Di daerah Tanah Alas dan Gayo Luas kini ada dua markas teritorial 

yaitu di bawah pimpinan Gosenson dan Overakker. Mulanya Gosen￾son mempertahankan serbuan Jepang dari jumsan Takengon, se￾dangkan Overakker mempertahankan serangan yang dilancarkan da￾ri arah Tanah Karo dengan memusatkan pertahanan di Kutacane. 

Tentara Jepang terus melancarkan serangan untuk menemukan 

dan mendesak kedudukan kedua markas teritorial Belanda itu. Bah￾kan pada tingkat tertentu, tentara Jepang menyerang dari pelbagai 

jumsan dalam rangka memblokade kedudukan Belanda ( 24 Sep￾tember 1942 ). Tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Jepang se￾perti itu menyebabkan Overakker dan Gosenson terpaksa menye￾rah kepada Jepang di Blangkeujeren ( 28 Maret 1942 ). Dengan de￾mikian berakhirlah kekuasaan Belanda secara resmi di daerah Aceh. 

B. Pembentukan Lembaga - Lembaga Pemerintahan dan Militer. 

Langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah pendudu￾kan Jepang yaitu mengadakan penataan terhadap lembaga peme￾rintahan dalam rangka memantabkan kekuasaannya. Seperti 

pendahuluannya, Jepang masih tetap mempertahankan status 

Aceh dalam bentuk Keresidenan yaitu yang disebut Syu Sebagai 

Shu - Chu-chokan (residen) ditunjuk S. Iinoo; Aceh bersama dengan 

9 keresidenan lain di pulau Sumatra, berada di bawah Gunseibu, 

yang berkedudukan di Bukit Tinggi Struktur pemerintahan yang diwarisi oleh Belanda sebelumnya 

dalam bentuk afdeeling, onderafdeeling, zelfbestuur ( keuleeba￾langan), dan gampongmasih tetap diteruskan juga. Hanya saja sebu￾tannya ditukar, yaitu bunshu untuk afdeeling, gun untuk onderaf￾deeling, son untuk uleebalangschaap, ku untuk kemu kirn an, dan ku￾mi untuk gampong

 12

Dalam penempatan jabatan pemerintahan, pemerintah pen￾duduk Jepang tampaknya masih tetap meneruskan tradisi pendahu￾lunya, yaitu dçngan memilih elite bangsawan atau uleebalang untuk 

menduduki jabatan-jabatan tersebut oleh karena itu hampir semua 

jabatan tersebut diduduki oleh para bangsawan. 

Namun ada suatu sikap longgar yang dimiliki oleh Jepang diban￾dingkan dengan pendahulunya, yaitu melepaskan jabatan guncho 

untuk diduduki oleh kalangan bumi putera

 13

Dengan dalih suasana masih dalam keadaan perang, pemerintah 

pendudukan Jepang menekan partai-partai politik atau organisasi￾organisasi massa yang sudah tumbuh sebelumnya di Aceh pada masa 

konsolidasi tersebut. Tindakan ini berakibat organisasi-organisasi 

yang sudah ada di Aceh seperti Taman Siswa, PUSA, Parindra, dan 

Muhammadiyah menjadi lumpuh selama masa pendudukan

 14

. Da￾pat disebutkan misalnya organisasi Taman Siswa, dibubarkan oleh 

Gunseibu, demikian juga Parindra, PUSA dan Muhammadiyah pada 

mulanya tidak aktif, tetapi pada tahun 1943 diaktifkan kembali. 

Tetapi para pemimpinnya sudah disibuki oleh tugas rutin dalam bi￾rokrasi pemerintahan Jepang15

Para simpatisan Jepang terutama dari golongan PUSA, yang se￾belumnya menaruh harapan begitu besar kepada Jepang tentu mera-

sa kurang senang dengan kebijaksanaan yang ditempuh oleh Jepang 

pada masa konsolidasi itu. Sehingga timbul hubungan yang dingin 

antara Jepang dengan mereka Rupanya Jepang menyadari strategi 

yang mereka tempuh tidak menguntungkan bagi strategi jangka 

panjang. Sebab mereka sadar bahwa elite ulama berpengaruh da￾lam kehidupan masyarakat Aceh, yang menempatkan adat de￾ngan hukum ( agama ) sebagai dua sisi mata uangJadi kalau me￾reka mau memperoleh dukungan dari lapisan bawah, potensi ulama 

hams dimanfaatkan

 16

. Lagi pula elite ulama adalah kelompok yang 

sangat membenci Belanda pada masa sebelumnya Justru itu maka 

mereka berusaha untuk menarik elite ulama di Aceh ke dalam orbit-

17 

nya . 

Untuk mewujudkan rencana itu, pemerintah pendudukan Jepang 

membentuk lembaga Majlis Agama Islam Untuk Kemakmuran Asia 

Timur Raya ( Maikbatra ) di Aceh pada tanggal 10 Maret 1943. Se￾bagai ketua ditunjuk Tuanku Abdul Aziz, yang sebelumnya me￾mang merupakan penasehat Chu-chokan dalam urusan Agama Is￾lam

 18

. Lembaga ini bertugas untuk memberi penerangan kepada 

Umat Islam tentang pendudukan Jepang Di samping itu ia juga me￾rupakan wadah konsultatif antara pemerintah Jepang dengan para 

ulama. 

Mengingat tugasnya yang demikian urgen, kepengurusan Maik￾batra disempurnakan dan diperluas sehingga para ulama terwakili di 

dalamnya Lalu dibentuk kepengurusan baru dengan susunan pengu￾rus Ketua dan Wakil Ketua masing-masing, Tu wan ku Abdul Aziz, 

Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan Teungku Hasbi, dan setia 

usaha Teungku M. Joenoes Jamil. Di samping itu terdapat beberapa 

orang komisi dan anggota yang mewakili organisasi atau aliran kea￾gamaan di Aceh. Untuk mengontrol organisasi ini, pemerintalune￾nunjuk beberapa orang pejabat Jepang sebagai dewan penasehat,

Di samping penyempurnaan pengurus, konferensi Maikbatra 

yang berlangsung pada bulan Maret 1943 memilih beberapa orang 

ulama, yang bakal mewakili Aceh dalam kongres ulama-ulama Islam 

Sumatra dan Malaya yang bakal berlangsung di Singapura pada tang 

gal 5- 6 April 1943. 

Konferensi yang disponsori oleh pemerintah pendudukan Jepang itu 

sudah barang tentu bertujuan untuk menggalang persatuan umat Is￾lam serantau bagi membantu Jepang dalam perang Asia Timur Ra￾ya *>. 

Pemerintah pendudukan Jepang menyadari bahwa surat kabar 

atau majalah merupakan salah satu media komunikasi yang ampuh 

untuk menyebarkan propaganda politik. Oleh karena itu Jepang 

mendirikan dan menerbitkan sebuah surat kabar bagi menggantikan 

surat-surat kabar yang sudah ada sebelumnya di Aceh-

 21

. Realisasi 

dari cita-cita tersebut yaitu dengan diterbitkannya surat kabar Atjeh 

Shinbun pada bulan Juni 1942. Koran yang terbit dua kali seminggu 

( Rabu - Sabtu ) itu pada hakekatnya merupakan terompet pemerin￾tah dalam menyebarkan propaganda

 22

Peperangan Asia Timur Raya yang masih terus berlangsung men￾dorong pemerintah pendudukan untuk memobilasj rakyat bagi ke￾perluan perang. Lau pada permulaan tahun 1943 di bentuk lembaga 

Syu Min Koa Hookokai ( Badan Kebaktian Penduduk Aceh Untuk 

Membina Asia ) dan Badan Perlindungan Tanah Air. Seperti lemba￾ga-lembaga lain, lembaga ini berada dibawah naungan Jepang yaitu 

Shu chokan S. Iinoo. Pemimpinnya terdiri dari tokoh-tokoh ulama 

dan uleebalang yang cukup berpengaruh . Dengan demikian Jepang 

berharap melalui lembaga ini akan dapat dikumpulkan dana dan 

daya bagi keperluan perang. Kemajuan-kemjuan yang dicapai oleh tentara sekutu dalam pe￾perangan Asia Timur Raya pada tahun 1943, mempengaruhi Peme￾rintah pendudukan Jepang dalam pengadaan tenaga militer di Aceh. 

Jepang menyadari bahwa rakyat, terutama pemuda harus diikut-ser￾takan dalam tugas kemiliteran, setidak-tidaknya sebagai satuan mili￾ter pembantu disamping satuan tentara reguler yang tersedia Untuk 

merealisasi rencana tersebut perlu dibentuk satuan-satuan militer 

untuk merekrut generasi muda bagi tujuan mobilisasi

 M

Di daerah Aceh, Jepang membentuk beberapa satuan militer yang 

terdiri dari tokubetsu Keisatsutai ( polisi khusus ), Heiho ( serdadu 

pembantu ), dan Gyu gun( tentara sukarela ) 24

Satuan militer yang pertama dibentuk adalah Tokubetsu Keisat￾sutai ( Februari 1943 ). Lembaga ini menjalankan tugas sebagai poli￾si dalam membantu roda pemerintahan. Kecuali itu ia juga diberi tu￾gas untuk menjaga lapangan udara (Trumon dan Biang Peutek ). Pa￾ra anggota satuan ditarik dari pada pemuda Kepada mereka diberi￾kan pengetahuan dasar kepolisian

 25

Beberapa bulan kemudian dibentuk pula satuan Heiho ( Mei 

1943). Seperti halnya dengan Tokubetsu, para anggota kesatuan 

ditarik dari kalangan pemuda Pada mulanya satuan Heiho ini di￾maksudkan untuk mengkoordinir kelompok-kelompok pekerja 

kasar yang setiap saat dapat dikerahkan untuk mengerjakan peker￾jaan-pekerjaan berat bagi keperluar» perlengkapan tentara reguler 

Jepang. Dengan kata lain ia dibentuk sebagai satuan penunjang 

dari tentara reguler. Tetapi lambat laun mereka diberikan latihan 

militer dan digabungkan dalam satuan militer Jepang Kepada mere￾ka diberi pakaian seragam dan sistem kepangkatan sesuai dengan 

aturan yang ditetapkan. 

Berikutnya dibentuk pula satuan militer dalam bentuk Gyu 

gun di Aceh ( November 1943 ). Seperti halnya dengan dua satuan 

terdahulu, para anggota satuan direkrut dari kalangan pemuda di Aceh. Satuan ini diharapkan bisa menjadi barisan kedua setelah ten￾tara reguler Jepang dalam peperangan menghadapi sekutu. Dengan 

kata lain, ia dimaksudkan sebagai pasukan defensif dalam memper￾tahankan wilayah Aceh dari serangan sekutu

 26

Satuan Gyu gun tersebut dikelompokkan atas tiga tingkatan, 

yaitu hei tei ( perajurit ), kasikan ( bintara ), dan syako( perwira ). 

Seseorang anggota Gyu gun akan bisa beralih dari satu tangga ke 

tangga yang lain berdasarkan keahlian dan ketrampilan, yang ia per￾tunjukkan dalam latihan militer. 

Sesuai dengan sifatnya sebagai pasukan defensif, satuan militer 

Gyu gun di Aceh mempunyai dua macam tugas. Pertama satuan 

Gyu gun yang mengawal pantai dan daerah pedalaman. Dan kedua 

satuan Gyu gun yang mengawal lapangan udara. Sejalan dengan tu￾gas yang bakal dilakukan, kedua kelompok itu mendapat latihan 

khusus. Satuan kelompok pertama dilatih di rensetasi (kamp lati￾han) Idi. Sedangkan kelompok kedua dilatih di rensetai Lhok 

Nga 2 7

Satuan-satuan militer baik dalam bentuk tokubetsu keisatsutai, 

heiho, dan Gyu gun tampaknya telah menarik bagi sebagian pemu￾da di daerah Aceh. Motivasi yang mendorong mereka untuk mema￾suki satuan-satuan militer tersebut adalah pelbagai macam. Di anta￾ranya dapat disebutkan keinginan untuk memperoleh jaminan hi￾dup karena kehidupan ekonomi petani yang kurang baik, keinginan 

untuk menghindarkan pelbagai macam kerja rodi bagi kepentingan 

pemerintah militer, keinginan untuk membela tanah air, dan untuk 

memenuhi semangat petualang

 28

Sementara itu, kemerosotan yang dialami oleh tentara Jepang 

dalam perang Asia Timur Raya, mendorong pemerintah pendudukan 

untuk memperluas partisipasi politik bagi bangsa Indonesia. Di sam￾ping untuk memperoleh dukungan bagi mereka, Jepang juga berha￾rap rakyat Indonesia nanti akan bisa mengatur diri sendiri dalam menghadapi sekutu. Sikap dan rencana demikian tercermin pada pi￾dato perdana menteri Tojo di muka diet ( parlemen ) Jepang, mau￾pun dalam kunjungannya ke pulau Jawa pada bulan Juli 1943.

 29

Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah pendudukan 

Jepang, mem be n tu k Atjeh Shu Sangi Kai ( Dewan Penasehat Daerah 

Aceh ) pada tanggal 17 November 1943. Badan ini semacam badan 

legislatif di bawah pimpinan Teuku Nyak Arief, yang beranggota￾kan 30 orang

 30

. Anggotanya terdiri dari pelbagai macam kelompok 

elite dari Aceh. Setahun kemudian ( Februari 1945 ), keanggotaan 

Shu Sangi Kai diperluas oleh Shu chokan S Iinoo. Perluasan itu di￾samping dimaWidkan untuk menyempurnakan susunan anggota, 

juga untuk menarik para elite dari pelbagai macam kelompok di 

Aceh kedalam lembaga tersebut

 31

. Dengan demikian, pemerintah 

pendudukan Jepang secara leluasa mengontrol para elite berpenga￾ruh di Aceh melalui lembaga ini. 

C. Kehidupan Sosial- Ekonomi. 

Peperangan Asia Timur Raya yang berlangsung terus-mene￾rus selama masa pendudukan Jepang di Aceh tampaknya amat 

berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian rakyat Aceh, 

terutama dalam bidang pertanian dan perdagangan. Keadaan de￾mikian barangkali karena Jepang menghadapi blokade ekonomi 

dari sekutu, dan pabrik-pabrik atau perusahaan besar yang bero￾perasi di Indonesia sebelumnya sudah seret karena pemiliknya 

adalah orang Eropa, (terutama orang Belanda,) ditangkap atau 

melarikan diri. Faktor lain yang tidak kurang penting yaitu pe￾ngerahan tenaga rakyat bagi menyelesaikan proyek-proyek besar 

milik militer Jepang 

Pada mulanya Jepang memang bermaksud untuk meningkat￾kan kehidupan perekonomian rakyat Aceh dengan membentuk Atjeh Shu Seityo Sangu kotabutyo ( kepala urusan ekonomi 

dan lalu lintas daerah Aceh ) di bawah pimpinan S. Mashubuti. 

Perangkat lembaga ini mempunyai rencana muluk bagi pening￾katan taraf kehidupan rakyat Aceh. . Beberapa rencana yang 

menjadi perhatiannya antara lain adalah bidang pengairan, per￾luasan areal persawahan, kerajinan ( terutama pemeliharaan ulat 

sutera), dan juga pertenakan

 32

. Kesemua rencana ini mempu￾nyai maksud agar rakyat Aceh berswasembada dalam situasi 

masa perang. 

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata rencana yang 

disusun itu tidak terwujud sepenuhnya Pengairan dan perluasan 

sawah yang merupakan tulang punggung perekonomian Aceh 

tidak banyak dibenah. Pemerintah Jepang hanya mengandalkan 

pengerahan tenaga rakyat bagi perbaikan irigasi. Tambahan para 

petani amat disibuki oleh tugas kerja rodi ataupun membuat 

kubu-kubu pertahanan militer. 

Penyedotan tenaga oleh Jepang terhadap petani tentu mem￾bawa implikasi luas terhadap kehidupan pertanian, terutama sa￾wah di Aceh. Sehingga pengelolaan sawah di Aceh kurang tera￾tur. Tambahan lagi dengan dibentuknya semacam badan BDK 

oleh pemerintah Jepang untuk membeli dan mengutip padi dari 

sisa produksi petani buat keperluan suplai militer

 33

. Kesemua 

faktor ini terjalin sedemikian rupa dan membawa pengaruh ke￾pada kegairahan para petani untuk bersawah. Ini tentu memba￾wa akibat kepada merosotnya produksi padi di Aceh, yang pa￾da gilirannya akan menimbulkan bahaya kelaparan

 34

Kemerosotan perekonomian juga terasa dalam kehidupan 

perniagaan. Dengan berkurangnya barang-barang impor atau 

substitusi impor, terutama tekstil sehingga barang itu menjadi 

langka di pasaran. Kekurangan tekstil ini amat berpengaruh pa￾da kehidupan rakyat Aceh yang mengandalkan tekstil import. Akibatnya sebagian besar penduduk terpaksa menggunakan go￾ni, tikar, bahkan kulit kayu sebagai bahan pakaian -

35

D. Kehidupan Sosial Budaya 

Seperti halnya dengan kehidupan sosial-ekonomi, kehidupan 

sosial budaya ( terutama pendidikan, kesenian, dan kehidupan 

beragama ) masyarakat Aceh amat terpengaruh oleh peperangan 

Asia Timur Raya selama pendudukan Jepang 

Pemerintah pendudukan Jepang amat menyadari bahwa 

pendidikan merupakan salah satu alat yang ampuh bagi proses 

sosialisasi. Oleh karena itu ia amat memperhatikan sistem pen￾didikan yang dijalankan baik oleh sekolah-sekolah pemerintah 

( sebelumnya Belanda ) maupun sekolah-sekolah yang dikelola 

oleh beberapa organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah 

dan Taman Siswa di Aceh. 

Pada dasarnya Jepang mengelompokkan sekolah - sekolah 

umum yang terdapat di Aceh atas dua kelompok. Pertama ada￾lah kokumingko ( sekolah negara ) yang merupakan tingkat 

dasar sebagai ganti volkschool atau vervolgschool sebelumnya 

Dan kedua sekolah menengah, yang terdiri atas dua jenis yaitu 

Shu Takko ( sekolah lanjutan lima tahun ) dan Sih an g Gakko 

( sekolah guru ) 36

Materi pendidikan pada sekolah-sekolah tersebut disesuai￾kan dengan kepentingan kolonialisme Jepang. Bahasa Belanda 

dan Inggris yang sudah diajarkan sebelumnya dihapuskan. Ba￾hasa pengantar yang dipergunakan adalah bahasa Melayu dan 

bahasa Jepang Demikian juga tulisan Hirgana dan Katagana, 

serta lagu-lagu Jepang seperti Kimigayo dan Taiso diajarkan pu￾la Bahkan pada setiap pagi, semua murid diharuskan melaku￾kan upacara sakerei ( sikap badan membungkuk atau rukuk 

menghadap ke istana kaisar di negeri Jepang )Perhatian Jepang bukan saja kepada pendidikan umum yang 

bercorak Barat, malahan juga terhadap lembaga-lembaga pendi￾dikan keagamaan yang sudah tumbuh dan berkembang di Aceh 

baik dalam bentuk pesantren maupun dalam bentuk madrasah. 

Untuk ini ditunjuk seorang inspektur yaitu Teungku Ismail Ya￾kub yang bertugas mengawas dan membina pendidikan keaga￾maan di Aceh

 38

Pagelaran kesenian rakyat yang biasa dilakukan baik dalam 

upacara keagamaan dan upacara daur hidup seperti dalail, dike 

mulod ( syair selawat kelahiran nabi ), seudati, ratoh, laweut, 

dan sebagainya sudah amat kurang dipertunjukkan. Keadaan 

demikian berkaitan erat dengan kehidupan perekonomian rak￾yat yang morat-marit karena situasi masih dalam keadaan pe￾rang

 39

Kehidupan beragama juga terpengaruh sehingga agak kurang 

semarak selama masa pendudukan Jepang. Hal ini disebabkan 

karena bermacam tugas pengerahan tenaga bagi keperluan mili￾ter dan kehidupan ekonomi yang lesu. Oleh sebab itu upacara 

pengajian di mesjid atau meunasah tidak begitu lancar

 40

Sungguhpun pada tingkat desa kehidupan beragama agak 

merosot dan untuk menghindari gejolak akibat hal itu, maka 

Jepang merangkul para elite ulama, terutama yang modernis ke 

dalam orbitnya. Ini dimaksudkan di samping untuk tujuan poli￾tik dan juga untuk menghindari jangan terjadi kelompok elite 

ini membakar semangat rakyat untuk memberontak melawan 

mereka

 41

 . Cara yang ditempuh yaitu dengan menarik dan 

menggiring mereka ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan 

yang sudah dibentuk (Maikbatra, Shu Sangi Kai dsbnya). Mala 

nan untuk memperlihatkan penghargaan mereka kepada agama Islam, Jepang membentuk shu kyo hoin (mahkamah atau lem 

baga pengadilan Islam), pada tanggal 15 Februari 1944. Lemba 

ga yang mempunyai birokrasi sampai ketingkat kampung ini 

kemudian diperluas tugasnya sehingga meliputi juga urusan za￾kat dan wakaf

 42

E. Impak Pemerintah Pendudukan Jepang Terhadap Rakyat Aceh. 

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerin￾tah pendudukan Jepang (1942-1945) yang dimaksudkan dalam 

rangka mewujudkan persekemakmuran Asia Timur Raya mem 

bawa implikasi luas terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Im 

plikasi itu dinyatakan pada struktur pemerintahan, kekuatan 

politik, dan partisipasi masyarakat dalam kekuasaan dengan ka￾dar yang berbeda-beda. 

Perluasan partisipasi kepada para elite di Aceh dengan mem￾berikan kesempatan untuk menduduki pelbagai macam lembaga 

(pemerintah lokal, Maikbatra, Shu Sangi Kai, Shu kyo Hoin dsb 

nya) secara tidak langsung memberikan latihan atau ketrampilan 

untuk menjadi administrator. Pengalaman yang mereka peroleh 

dalam pelbagai kedudukan itu memberi modal bagi diri mereka 

untuk membentuk struktur pemerintahan pada masa berikut￾nya. 

Demikian juga dalam bidang kemiliteran. Satuan-satuan mi￾liter yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang mem 

beri bekal pengalaman tentang pengetahuan militer moderen di 

kalangan pemuda Aceh. Para pemuda yang mendapat pendidi￾kan kemiliteran ini bakal bisa mengorganisir lembaga kemilite 

ran pada masa berikutnya. 

Dukungan yang diberikan oleh pemerintah kolonial terh? 

dap golongan elite ulama dengan maksud mengharapkan partisi 

pasi mereka memberi efek yang dalam pada kehidupan politik 

di Aceh pada masa berikutnya. Kecuali terjadi mobilitas 

vertikal, para ulama mendapat pengalaman baru bagaimana 

menjadikan diri sebagai administrator. Akibat lain lagi yang ti￾dak kurang penting, yaitu semakin luasnya peranan ulama da-

lam kehidupan politik di Aceh (melalui Maikbatra, Atjeh Shu 

sangi kai dsbnya). Malahan organisasi mereka semakin intensif 

melalui lembaga Atjeh Shu Kyo Hoin. 

Di lain pihak, elite uleebalang tidak mendapat konsesi politik 

yang luas seperti elite ulama. Mereka masih tetap meneruskan 

peran tradisionalnya. Kemajuan yang diperoleh yaitu dengan di￾beri kepercayaan menduduki jabatan guncho, yang sebelumnya 

dijabat oleh Belanda. Sungguhpun jabatan guncho tersebut di￾berikan oleh Jepang pada pihak mereka, namun dalam batas ter￾tentu Jepang memperlonggar kedudukan tersebut bagi golongan 

lain. 

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerin￾tah pendudukan Jepang bukan tidak dibayar dengan harga ma￾hal. Tekanan ekonomi yang diderita oleh rakyat, pengerahan te￾naga rakyat bagi keperluan militer Jepang, usaha Japanisasi ter￾hadap kehidupan sosial kultural menimbulkan perasaan frustasi 

di kalangan rakyat Aceh, yang tadinya berharap harap terlalu 

banyak kepada pemerintah pendudukan Jepang. Sikap frustrasi 

ini pada tingkat tertentu menimbulkan konflik seperti yang ter￾jadi pada perang Cot Plieng Bayu, Perang Pandrah Jeunieb, dan 

perlawanan pasukan gyu gun di bawah pimpinan Teuku Hamid. 

Seberapa jauh sikap kurang senang yang dipertunjukkan oleh 

rakyat terhadap Jepang tampak dalam perlawanan fisik yang 

mereka pertunjukkan, tetapi juga dalam ungkapan-ungkapan 

seperti Jajuz Wa Ma'juz dan taleet Asee, ta teurimong buy seba￾gai ungkapan kekesalannya kepada Jepang.

PROKLAMASI KEMERDEKAAN DI ACEH 

A. Sambutan Masyarakat Aceh. 

Seperti telah dijelaskan dalam bab terdahulu, bahwa penda￾ratan Jepang ke Aceh pada mulanya mendapat dukungan sepenuh￾nya dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini tidak lain oleh karena 

rakyat mengharapkan dengan kedatangan Jepang berarti kemerde￾kaan yang telah demikian lama dinantikan akan segera terwujud, 

sesuai dengan janji yang telah pernah diucapkan sebelum mereka 

memasuki Aceh. Janji yang telah mempengaruhi rakyat itu, ter￾utama disampaikan melalui barisan Fujiwara Kikan dan juga seba￾gai hasil pertemuan dengan delegasi PUSA yang diutus ke Malaya 

dan Pulau Pinang. 

Tetapi apa yang diharapkan oleh rakyat itu, ternyata sebalik￾nya yang terjadi. Rakyat Aceh semenjak daerahnya diduduki 

Jepang telah merasa, bahwa perlakuan Jepang kadang-kadang lebih 

kejam dari apa yang telah pernah dipraktekkan oleh pemerintah 

Kolonial Belanda. Seperti telah disinggung juga di muka rakyat 

sangat menderita terutama dalam bidang kehidupan ekonomi. 

Banyak harta rakyat yang dirampas untuk kepentingan perang me￾lalui kaki tangannya, seperti BDK, ; demikian pula tenaga rakyat 

di peras untuk membuat kubu-kubu pertahanan, lapangan terbang 

dan lain-lain melalui pengarahan tenaga rakyat yang dikenal de￾ngan romusha. Hal-hal yang demikian itulah yang menyebabkan 

rasa kebencian rakyat semakin hari semakin bertambah, yang 

untuk ini tercermin dari perlawanan-perlawanan yang dilakukan 

oleh rakyat,seperti peristiwa yang dilancarkan oleh Teungku Abdul 

Jalil, Gerakan Gyugun di bawah pimpinan Teuku Abdul Hamid 

di Meureudu dan Peristiwa Pandrah-Jeunib yang berlangsung 

beberapa bulan sebelum Jepang meninggalkan Daerah Aceh1

Keadaan yang demikian tidaklah akan berlangsung lebih 

lama; tetapi segera berobah, terutama setelah pasukan Sekutu da￾pat menguasai beberapa daerah di Pasifik. Sebagai akibat dari 

perobahan situasi internasional pada waktu itu, menyebabkan Jepang härus mengadakan perobahan berusaha untuk mendekati 

penduduk kembali; berbagai daya upaya dijalankan dengan tujuan 

mengambil hati rakyat yang telah lama membenci mereka. Pelak￾sanaan dari politik yang dianut ini dapat dilihat antara lain, di￾mana-mana diadakan rapat umum; demikian pula dengan meng￾gunakan mass-media, seperti harian Aceh Sinbun, untuk menarik 

hati rakyat. 

Meskipun Jepang telah berusaha semaksimal mungkin agar 

rakyat tetap bersimpati kepada mereka, namun rasa kebencian 

itu tidak dapat terkendalikan lagi; sampai pada saat Jepang akan 

meninggalkan Aceh masih ada saja peristiwa-peristiwa berdarah 

yang diakibatkan dari rasa kebencian itu. Menjelang diumumkan 

kapitulasi atau pada saat-saat telah mulai jatuhnya beberapa 

front pertahanan didaerah-daerah yang telah mereka rebut pada 

awal perang Pasifik keadaan di daerah Aceh semakin bertambah 

genting Dalam saat-saat yang demikian pemerintah Jepang telah 

mengambil beberapa langkah kebijaksanaan yang lebih meru￾pakan pengamanan terhadap rakyat umum. Diantara tindakan 

pengamanan itu adalah menyita pesawat radio yang dimiliki oleh 

dan mengawasi dengan ketat kantor berita Domei yang selama ini 

memonitoring berita -tentang kemenangan Jepang atau pesan-pe￾san pemerintahannya kepada daerah-daerah penduduk. Demikian 

pula halnya dengan mass-media lainnya; bahkan satu-satunya surat 

kabar resmi pada waktu itu di Aceh, yaitu : Aceh Sinbun, juga di￾awasi dengan ketat agar berita-berita tentang kemunduran Jepang 

di front Pasifik, yang mungkin diketahui oleh para anggota redaksi 

secara rahasia (staf redaksi terdiri dari orang Jepang dan Indonesia) 

tidak dimuat sebagai berita. 

Dengan tindakan pemerintah Jepang itu menyebabkan para 

pemimpin di daerah Aceh menjadi sulit dalam mengikuti bagaima￾na perkembangan politik internasional yang sesungguhnya pada 

waktu itu. Dan hal ini pulalah yang menyebabkan hampir tidak 

ada komunikasi lagi antara pemimpin-pemimpin pergerakan di￾suatu daerah dengan daerah lainnya. Kini yang diketahui umum￾nya hanya siaran-siaran resmi pemerintah atau pemberitahuandari pembesar-pem besar Jepang yang selalu menganjurkan agar 

rakyat bersatu padu dalam menghadapi sekutu dan sebagai imba￾lannya Jepang akan tetap memelihara keamanan di Daerah Aceh 

sampai tiba saatnya bangsa Indonesia menerima kemerdekaan 

seperti yang telah pernah di janjikannya. Sehubungan dengan ini 

surat kabar Aceh Sinbun dalam penerbitan istimewanya, Jum'at 

tanggal 8 September 1944 menyiarkan Pidato Radio Perdana 

Menteri Jepang, yang antara lain berbunyi : 

Kemaharajaan Dai Nippon memakloemkan de￾ngan teroes terang, bahwa kemoedian hari Hindia Timoer akan di￾berikan kemerdekaannja soepaja dapat mentjapai kebahagiaannj'a 

jang kekal oentoek bangsanja sendiri. 

Beginilah kejoejoeran Kemaharajaan Nippon atas pendoedoek-pen￾doedoek di Asia Timoer ini Marilah kita bersama - sama 

membaharoei hati dengan kokoh sebagai wadja dan serahkanlah se￾genap tenaga oentoek mentjapai kemenangan bersama-sama majoe 

oentoek memoelihkan Asia oentoek Asia. Kalaoe dilakoekan sede￾mikian dalam peperangan soetji sekarang ini pastilah kita dapat 

menghantjoerkan moesoeh-moesoeh kita Amerika, Inggeris, dan 

Belanda

 4

Selain itu dalam penerbitan lain dimuat pula semboyan : "Bergi￾tong royong membantu Tentara, Menunju kearah Indonesia Mer￾deka" (Aceh Sinbun Kamis 15 Februari 1945 atau 15 Ni Gatu 

2605). Dan tujuh hari sebelum Jepang menyerah, Aceh Sinbun sekali 

lagi memuat berita mengenai kemerdekaan yang dijanjikan Jepang 

itu, yaitu dalam nomor istimewanya yang terbit tanggal 7 Agus￾tus 1945 : 

"Kemerdekaan Indonesia jang di idam-idamkan akan ditjip￾takan dalam masa jang singkat ini, demikian boenji Makloe￾mat Balatentara Kawasan Selatan Dasarnja 

dan Pokoknja Negara Indonesia Merdeka jang akan lahir 

dan soesoenan siasatnja serta hal - hal jang penting, akan di￾tetapkan oleh Panitia Kemerdekaan Indonesia dengan me￾roendingkan seteliti-telitinja. Berhoeboeng dengan ini pada 

hari ini Soematera Saikosikikan Kakka memberi nasehat 

jang menjatakan Kemerdekaan Indonesia akan segera terkabul, 

— Negara Indonesia akan menjadi satoe. bahagian dari lingkungan Asia Timoer Raja yang gilang gemi -

lang jang Nippon sebagai poesatnja

 5

Tetapi bagai manapun ketatnya dilakukan pengawasan agar 

kekalahan mereka tidak diketahui ataupun tidak tersiar kepada 

rakyat, namun kemudian hal itu bisa juga diketahui, terutama me￾lalui perwira-perwira Gyugun yang masih dipekerjakan oleh Jepang 

dan ditempatkan di staf intelijen. Selain itu juga melalui beberapa 

anggota redaksi Aceh Sinbun (disini ditempatkan sebuah radio 

untuk kepentingan Jepang); Secara rahasia, dan sepengetahuan 

redaksi orang Jepang, mereka selalu berusaha untuk mendengar 

berita - berita yang berasal dari pihak sekutu. Kemudian baik 

para perwira Gyugun, maupun para anggota Aceh Sinbun secara 

lisan dan rahasia berusaha pula untuk menyampaikan berita -

berita tersebut, terutama yang menyangkut dengan kedudukan 

Jepang dalam Perang Asia Timur Raya kepada para pemuka 

masyarakat. Penyampaian secara rahasia ini dimaksudkan agar 

terhindar dari jaringan Intelijen Jepang yang selalu mengamat￾amati gerak para pemuka masyarakat.6

 Kalau sekira￾nya diketahui pasti akan membahayakan mereka; bagi pemuka 

masyarakat yang dicurigai atau dituduh tidak memihak Jepang 

akan ditangkap, bahkan ada pula yang dibunuhnya. Penangkapan 

dan pembunuhan dalam jumlah yang besar terhadap orang-orang 

yang dicurigai telah direncanakan7

 dan juga telah pernah dila￾kukan, seperti penangkapan atas diri Teuku Raja Jum'at Lhong, 

Teuku Ali Basyah Peukan Bada dan Teuku Dullah Seulimeunr. 

Demikian pula pembunuhan terhadap Teuku Mohd. Hasan Geu￾leumpang Payong dan Rizal, bekas pengurus perkara-perkara 

di Landraad Kutaraja. Kepada mereka ini dituduh melakukan 

perlawanan terhadap Dai Nippon dan menghambat kemenangan 

dalam perang Asia Timur RayaDi lain pihak, yang makin menambah keyakinan para pemim￾pin rakyat akan kemunduran tentara Jepang disetiap front adalah 

dari tindakan atau perbuatan mereka sendiri dibeberapa tempat di 

Aceh. Tindakan tersebut adalah pemberhentian sukarelawan 

angkatan laut Jepang yang berasal dari bangsa Indonesia, di 

Sabang dan pembubaran kesatuan Gyugun serta menyuruh mereka 

agar pulang ke kampung masing-masing dan jika diperlukan lagi 

akan dipanggil kembali nanti. Dalam pada itu tersiar pula berita 

tentang adanya beberapa opsir Jepang yang melakukan tindakan bu￾nuh diri. Dari kejadian-kejadian tersebut semakin memperkuat du￾gaan mengenai kekalahan yang diderita Jepang, sebab hal-hal yang 

serupa itu sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Jepang di 

Daerah Aceh. 

Sejalan dengan politik yang telah disebutkan di atas, yakni 

politik ingin mendekati rakyat dari berbagai golongan, baik para 

bangsawan, ulama ataupun lain-lain, maka pada bulan Juli 1945 

para pembesar Jepang menghubungi tokoh-tokoh pemuda yang 

ada di" Kutaraja, antara lain Tuanku Hasyim. Dalam pertemuan 

pada waktu itu, pihak Jepang kembali menegaskan, bahwa Dai 

Nippon pasti akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa 

Indonesia. Oleh karena itu mereka meminta untuk mengkoordinir 

pemuda-pemuda sehingga lahir suatu angkatan pemuda yang kuat 

di Aceh. Bahkan beberapa hari kemudian Tuanku Hasyim diminta 

oleh Atjeh Syu Seityo Matsubushi(? ) untuk mengadakan suatu rapat 

pemuda Kutaraja. Juga dijelaskan bahwa Atjeh Syu Tyokan (residen 

Aceh) S. Iino dan ia sendiri akan hadir dan sekaligus menyampai￾kan pidato pada rapat tersebut. Rapat pemuda yang dimintanya 

itu akhirnya dapat dilangsungkan pada tanggal 14 Agustus 1945 

di Atjeh Bioskop Kutaraja dan dihadiri oleh pemuda-pemuda serta 

masyarakat dari setiap unsur. Suatu hal yang mengejutkan para 

pemuda — karena tidak diketahui tempat pada hari itu Jepang 

telah menyerah— adalah tidak hadirnya Syu Tjokan dan satu-satu￾nya yang hadir dari pihak Jepang adalah Matsyubushi, yang me￾ngucapkan pidato singkat tanpa bersemangat. Sedang dipihak 

pemuda telah menyampaikan pidatonya secara penuh membakar 

semangat, tidak saja dari unsur pemuda, seperti Ali Hasjmy, Tuan￾ku Hasyim, tetapi juga telah turut berbicara penuh semangat dua 

orang pemimpin Aceh, yaitu : Teuku Nyak Arief dan Tengku 

Muhammad Daud Beureueh10 

Rapat pemuda yang diadakan tepat pada hari menyerah 

Jepang itu telah memberikan arti yang penting bagi para pemuda, 

terutama yang berada di Kutaraja dan Aceh Besar; mereka telah 

mendengar langsung pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh 

para pemimpin mereka pada waktu itu. Karena tidak mengheran￾kan apabila nanti setelah diketahui Indonesia telah merdeka, para 

pemuda-pemuda cepat berhasil mengorganisir dirinya dalam satu 

barisan pemuda yang diberi nama Ikatan Pemuda Indonesia (lihat 

bagian berikutnya dibawah). Ini adalah merupakan hasil nyata 

dari rapat tersebut, meskipun pada waktu rapat berlangsung tidak 

dengan tegas menyinggung hal-hal yang menyangkut dengan 

perlunya dikoordinir kekuatan pemuda untuk mempertahankan 

kemerdekaan yang akan di proklamirkan (tidak diberikan oleh 

Jepang). 

Dengan gambaran sebagai mana yang telah dikemukakan di 

atas, dapatlah menunjukkan, bahwa suasana di Ibukota Aceh Syu 

(keresidenan Aceh) khususnya dan di tempat-tempat lain di Aceh 

umumnya, pada bulan-bulan terakhir menjelang kekalahan Jepang 

tampaknya kacau dan tidak menentu. Para pemimpin rakyat 

tidak mengetahui dengan pasti apa yang sedang terjadi, sebab 

berita-berita (informasi) umumnya tidak dapat dijadikan pegangan. 

Karena peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada waktu itu 

tidak dapat diketahui dengan segera; kapitulasi Jepang tanggal 

14 Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 

tanggal 17 Agustus 1945 tidak dapat didengar pada saat peristiwa 

itu berlangsung. Kedua peristiwa bersejarah ini baru diketahui 

oleh rakyat Aceh setelah beberapa waktu berselang. 

Mengenai peristiwa kapitulasi Jepang pada mulanya hanya 

diketahui secara samar-samar, yaitu melalui para perwira Gyugun 

yang masih bekerja di staf intelijen Jepang dan juga melalui be￾berapa orang Indonesia (Ghazali Yunus, M. Nur, Amiruddin S, 

Bustamam dan Bustami) yang bekerja pada kantor berita Domai 

di KutarajaMula-mula berita yang samar-samar ini tidak begitu terpengaruh 

dalam masyarakat, tetapi kemudian setelah terlihat tindakan 

dan gerak-gerik Jepang sendiri, sebagaimana telah disebutkan di￾atas maka berita tersebut semakin tersebar luas dalam masyarakat. 

Keadaan yang ser