presiden soekarno 11

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 11


 


mendurhakai sosialisme! 

 

namun  Alhamdulillah, tidak semua “sosialis” yaitu  

pendurhaka sosialisme, tidak semua kaum “progresif” yaitu  

iblis berpakaian dewa. Perjoangan kita dengan senjata Negara 

itu dibenarkan, diberi simpati, dibantu, dibela oleh golongan-

golongan yang benar-benar progresif di seluruh dunia. Di 

Australia mereka membela, di Rusia dan di Eropa Timur, di 

seluruh Asia, di banyak tempat di Amerika dan Eropa Barat, -

ya, di negeri Belanda sendiri pun ada golongan-golongan 

sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid!) yang membela kita. 

Apa sebab golongan-golongan ini membela kita? Mereka yakin 

261 

 

akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: “Een volk dat 

een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn”. “Satu 

rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdeka”. 

 

Sekali lagi, Insya Allah, dengan senjata Negara kita, dengan 

mengerahkan rakyat secara totaliter, dengan bantuan dari 

luar, -kita akan menang. Kita akan menang dalam 

mempertahankan Negara Republik negara kita  ini terhadap 

kepada baja dan dinamitnya peperangan kolonial. Dan kita 

akan menang pula lalu , dalam perjoangan mendirikan 

Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita . Kita di situ 

pun akan menang, oleh sebab  obyektif kita pasti  menang: 

Negara Nasional negara kita  yaitu  satu keharusan sejarah, 

satu kemustian dalam evolusi warga , satu keharusan 

sosial-historis. 

 

Oleh sebab  itulah kita obyektif harus menetapi tugas 

kewajiban tingkatan Revolusi kita sekarang ini, kita obyektif 

harus kenali dan penuhi “tugas bersejarah” Tingkatan 

Revolusi kita sekarang ini: Tingkatan Nasional, sebab  

memang masih dalam periode Nasional, dengan tugas 

kewajiban Revolusi Nasional, yaitu mendirikan Negara 

Nasional. Dan oleh sebab  masih dalam tingkatan Nasional, 

maka penunaian tugas-kewajiban Revolusi itupun obyektif 

harus dan dapat dikerjakan oleh segenap rakyat negara kita  

yang 70.000.000, dari segenap golongan dan segenap lapisan, 

dari segenap kepercayaan dan segenap agama, dalam 

persatuan yang seerat-eratnya dan sehebat-hebatnya. 

 

“Obyektif kita pasti menang, Apakah ini berarti, bahwa dus 

dengan sendirinya kita pasti menang? Tiada kemenangan 

dengan tiada perjoangan! Tiada kemenangan dengan tiada 

kemauan subyektif dari manusia, untuk mencapai 

kemanangan itu! Segenap semangat kita harus dikobar-

kobarkan, segenap kesediaan kita untuk membanting tulang 

dan bermandi keringat harus dijelmakan, segenap keuletan 

kita dalam perjoangan harus diamalkan, segenap kerelaan kita 

untuk berkorban, berkorban, berkorban, dan sekali lagi 

berkorban, harus diwujudkan, -di atas dasar-dasar obyektif 

itu- untuk mencapai kemenangan itu. Kemenangan tidak 

akan tercapai jikalau manusia tidak mau mencapai 

262 

 

kemenangan itu, dan kemenangan pasti tercapai jikalau 

anasir-anasir obyektif memungkinkan kemenangan itu, dan 

manusia  mau  mencapai kemenangan itu. 

 

“Pada akhirnya, manusialah yang menentukan”. 

Demikianlah kalimat yang dituliskan oleh Fritz Sternberg 

sebagai kalimat pengunci dibandingkan  bukunya tentang Nazi 

Jermania yang bernama “Hoe lang kan Hitler oorlog voeren?” 

Di dalam buku itu ia buktikan, bahwa obyektif kapitalisme 

pasti akan mati, facisme pasti akan runtuh, rakyat jelata 

pasti akan menang, namun  ia pun memperingatkan, bahwa 

pada akhirnya manusialah yang menentukan. Jikalau 

“manusia” rakyat jelata ini tidak berbuat, -tidak berdiri, tidak 

membangun, tidak berjoang, tidak melawan, tidak 

berkorban-, maka ... ya ... maka ...(Sternberg tidak sebutkan 

ini) ... maka kapitalisme dan fascisme mungkin masih lama 

akan berdiri, - atau ... maka dunia akan jatuh di dalam chaos 

(kekacauan) yang sekalut-kalutnya dan segelap-gelapnya, 

chaos yang “peteng dedet lilimengan”, Entah berapa puluh 

tahun lamanya atau berapa windu atau abad lamanya pula. 

Kapitalisme dan fascisme pasti akan runtuh, -itu bukan soal  

lagi-, pasti akan runtuh, oleh sebab  terobek-robek oleh 

pertentangan-pertentangan dalam tubuh dan batin sendiri, 

namun  apakah yang akan berkembang di atas runtuhan-

runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu, bilamana tidak 

dari tadinya ada rakyat jelata sebagai “manusia” yang 

bertindak meruntuhkan kapitalisme dan fascisme itu, dan 

cukup kekuatan dan keuletan pula untuk mencipta, 

membangun, menyusun dunia baru di atas runtuhan-

runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu? 

 

Karl Marx sendiri di dalam salah satu tulisannya menyata-kan 

dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak otomatis 

berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyalah berdiri 

jikalau didirikan. Jikalau tidak ada tenaga-tenaga yang 

mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang 

tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch 

noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh chaos yang tiada 

hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun! 

 

263 

 

Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan 

“keharusan sosial historis” mengandung arti, bahwa (pada 

suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya 

diganti oleh sosialisme. Padahal sebagai dinyatakan oleh Marx 

tadi tidak demikian! Kapitalisme (pada suatu tingkatan 

evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat jelata 

bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang 

“pasti” itu hanyalah adanya anasir-anasir obyektif pada suatu 

tingkatan evolusi: anasir-anasir obyektif guna runtuhnya 

kapitalisme, anasir-anasir obyektif guna berdirinya sosialisme. 

 

Maka demikian pulalah keadaan kita sekarang ini: Anasir-

anasir obyektif untuk pasti menangnya Revolusi Nasional kita 

telah ada semuanya, telah tersedia semuanya, sebagai yang 

saya terangkan di muka tadi. Maka berdirilah, hai kawan-

kawan semua, di atas anasir-anasir obyektif itu, janganlah 

menyimpang sedikit pun dibandingkan  anasir-anasir obyektif itu, 

namun  janganlah pula kurang hebat memobilisir anasir-anasir 

subyektif yang ada pada kita. Perhebatlah semangat, 

bulatkanlah tekad sekeras baja, berkorbanlah seikhlas-

ikhlasnya, bantinglah tulang dan peraslah keringat, 

berjoanglah sehebat-hebatnya sehingga gemuruhnya 

perjoanganmu itu terdengar di lima benua dan di tujuh 

samudera, -berjoanglah massal semassal-massalnya dengan 

semangat Persatuan Bangsa yang sehidup-hidupnya. Jangan 

memprovosir pertentangan kelas di dalam fase sekarang ini, 

jangan curiga-mencurigai satu sama lain, jangan terpecah-

belah satu sama lain, bersatulah, rukunlah, isi mengisilah 

satu sama lain, kuat perkuatkanlah satu sama lain! Jangan 

memeluk tangan! Perkawinkanlah anasir-anasir obyektif itu 

dengan anasir-anasir subyektif secara sedinamis-dinamisnya 

dan sehebat-hebatnya, buatlah dua pool itu selalu 

mengelektris satu sama lain sedahsyat-dahsyatnya, -

gelorakanlah dinamik Amal Nasional! 

 

Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Henriette Roland Holst 

(meski beliau sekarang sudah banyak sekali luntur) di dalam 

bukunya yang terakhir “Een overgang tot het Socialisme” 

(1945): “Ya, het kapitalisme is dood, althans in Europa, 

evengoed dood als het Tzaristisch-theocratische Rusland dit 

was in 1927. Het zal niet weder opstaan. Maar wat in zijn 

264 

 

plaats komen zal, dat moog in de sterren geschreven of, 

theologisch uitgedrukt, door Gods ondoorgrondelijk 

raadsbesluit van eeuwigheid af vastgesteld zijn. Een zachte 

stem in ons binnenste zegt met een accent van absolute 

overtuiging: “Het mensenlot is in mensenhand gegeven”, en 

wij voelen dat zij waarheid spreekt. De groei naar het 

socialisme voltrekt zich met  noodzakelijk als de groei van een 

dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en 

de middelen tot verwezen-lijking, vaste wil en wijsheid, 

zelfbeheersing en zelfver-loochening ... Zich allerlei 

opofferingen getroosten terwille van de algemene zaak; met 

zorgvuldige hand uitgaan tot zaaien, wetend, dat anderen 

zullen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de 

Russische bolsjewisten: “Wij zijn mest op de velden der 

toekomst”. O neen, menselijke wezens zijn Dimmer enkel mest. 

Wij willen de dragers der toekomst zijn, de stenen aandragen 

tot haar bouw, haar fundamenten leggen. Wij zijn akkers, ook 

in ons ontkiemt het zaad!”. Artinya: “Ya, kapitalisme memang 

telah mati, setidak-tidaknya di Eropa, sama matinya dengan 

Rusia Tzaristis teokratis di tahun 1927. Ia tak akan bangun 

kembali. namun  apa yang akan menggantinya, itu boleh jadi 

telah tertulis di bintang-bintang atau telah ditetapkan di 

dalam Luh Mahfudz. Satu suara kecil dalam jiwa kita berkata 

dengan keyakinan yang pasti: “Nasib manusia terletak dalam 

tangan manusia sendiri”, dan kita merasa, bahwa suara itu 

benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti 

pertumbuhannya binatang atau tanaman. Pertumbuhan ke 

arah sosialisme itu meminta pengetahuan yang terang tentang 

ujud-ujudnya dan cara-cara melaksanakannya, kemauan yang 

keras dan kebijaksanaan, pengekangan diri dan peniadaan diri 

... Keridlaan berkorban untuk keperluan umum; dengan 

cermat menyebar benih, meski mengetahui, bahwa orang 

lainlah yang akan memetik buah; -itulah yang perlu. Kita tidak 

berkata seperti kaum bolshevik Rusia “Kita ini pupuk tahi sapi 

saja di ladang-ladangnya hari lalu ”. O tidak, makhluk 

manusia bukan hanya pupuk tahi sapi belaka! Kita mau 

menjadi pemikul-pemikul hari lalu , membawakan batu-

batu yang perlu untuk membinanya, memasang alas-alasnya. 

Kita yaitu  ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi 

benih!”  

 

265 

 

Alangkah bagusnya kata-kata penyair ini: Menselijke wezens 

zijn nimmer enkelmest! Wij zijn akkers, ook in ons 

ontkiemt het zaad! -Manusia bukan hanya pupuk tahi-sapi 

belaka! Kita yaitu  ladang, di dalam pangkuan kita juga 

bersemi benih! Kita tidak harus sekedar menunggu. Kita 

harus bertindak, berjoang, membangun, membina! 

 

Sekali lagi, kemenangan pasti di pihak kita, asal kita berjoang 

sehebat-hebatnya, dan asal kita berdiri tepat di atas kewajiban 

obyektif dibandingkan  tingkatan evolusi sekarang: Tugas kewajiban 

Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional, sebab  masih 

dalam tingkatan dan periode Nasional. Apakah ini berarti, 

bahwa kita dus sama sekali tidak boleh berangan-angan 

sosialisme? Tidak boleh menyebar-nyebarkan cita-cita 

sosialisme? Tidak boleh berideologi anti kapitalisme? 

 

Tidak boleh dari sekarang juga bekerja dan berjoang untuk 

terlaksananya cita-cita sosialisme? 

 

Sama sekali tidak! Alangkah piciknya orang yang menyangka 

begitu! Kalau semua hal yang ditanyakan itu tidak boleh, -

buat apa saya menulis ini buku? Buat apa saya sendiri 

Marhaenis? Buat apa saya dengan susah-payah menjelas-

jelaskan kepada kaum wanita, bahwa hanya di dalam 

warga  sosialismelah mereka dapat menjumpai 

kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna? Buat apa kita 

telah dari sekarang berikhtiar supaya Negara kita itu satu 

“jembatan” antara Negara burgerlijk dan Negara sosialis? Buat 

apa kita dari sekarang telah mengucapkan perkataan 

“kesejahteraan sosial”? 

 

Justru oleh sebab  saya bercita-cita sosialis, maka saya 

menulis ini buku. Justru oleh sebab  kita mengidam-idamkan 

warga  sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana 

caranya kita dapat sampai di warga  sosialis itu. Justru 

oleh sebab  kita ingin menuju kepada warga  sosialis, 

maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan 

tuntunan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim 

warga , sosialisme yaitu  pula satu teori, satu ilmu, satu 

tuntunan-perjoangan, satu cara berfikir, satu denk methode. 

Teori sosialismelah yang membawa kita kepada pengertian 

266 

 

tentang keadaan-keadaan obyektif di dalam warga  

negara kita  sekarang dan warga  dunia. Teori sosialismelah 

yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan 

Revolusi kita sekarang tak mungkin lain dibandingkan  tingkatan 

Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang 

menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang 

kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme. 

 

Itulah “jasa” teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita 

sekarang nasionalis? Justru sebab  sosialisme itulah, maka 

kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita itu terangkat 

naik ke tingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru 

sebab  sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan 

kita itu secara yang sekarang ini; memusatkan, 

membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat 

kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga 

perjoangan dibandingkan  segenap rakyat itu kepada benteng 

kolonialisme asing untuk memerdekakan negara kita  dari 

penjajahan, -mempraktekkan satu Persatuan Nasional 

Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang di 

dalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu 

Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, namun  pula terbangun 

syarat-syarat tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu 

pergaulan hidup yang sosialistis. 

 

Semua itu berkat “jasa” teori sosialisme, sesuai dengan 

kebenaran bahwa “tiada gerakan revolusioner dengan tiada 

teori revolusioner”! 

 

sebab  itu, sekali lagi saya katakan: piciklah orang yang 

mengatakan, bahwa sebab  tingkatan sekarang tingkatan  

Nasional, orang dus tak boleh berfikir dan berjoang 

“sosialistis”. Picik! Sebab perjoangan untuk mendirikan Negara 

Nasional dengan isi-isi sebagai yang saya terangkan di 

muka, yaitu  berarti perjoangan untuk tercapainya 

sosialisme. Nasionalis negara kita  yang sosio-nasionalistis di 

dalam fikirannya dan di dalam segenap tindakan-tindakannya, 

yaitu  sosialis di dalam arti yang sesehat-sehatnya. namun  

sebaliknya “sosialis” negara kita  yang dari sekarang telah 

nabyak-nabyak hendak “mengadakan” revolusi sosial, dia 

yaitu  “sosialis” pengrusak Revolusi! 

267 

 

 

Sungguh, berangan-angan sosialisme yaitu  perlu. namun  

tidak kurang perlu pula yaitu  berilmu sosialisme. Siapa yang 

berangan-angan sosialisme, -di dalam dadanya dapat 

bersarang satu idealisme yang hidup, satu idealisme yang 

menyala-nyala, yang dapat mewahyui dia untuk bekerja habis-

habisan dengan tiada mengenal lelah, berjoang mati-matian 

dengan berani menghadapi segala rintangan dan risiko, 

berkorban seikhlas-ikhlasnya dengan tidak menghitung-

hitung untung rugi bagi dirinya sendiri. Ucapan Krishna 

dalam Bagavad Gita kepada Arjuna, yang berbunyi: 

“Kerjakanlah kewajibanmu dengan tiada menghitung-

hitung akan akibatnya bagimu”, -ucapan itu hanyalah dapat 

menjadi semboyan hidupnya orang yang bercita-cita. Dan 

oleh sebab nya, hanya orang yang bercita-citalah dapat 

mengamalkan perbuatan-perbuatan yang Besar. 

 

namun  angan-angan itu janganlah angan-angan yang kosong. 

Berapakah tidak, di dalam sejarah dunia ini, tenaga manusia 

dan jiwa manusia terbuang tersia-sia sebagai sampah, sebab  

mengejar cita-cita yang kosong? Sosialisme yang harus 

menjadi angan-angan kita itu janganlah “sosialisme angan-

angan”, yaitu janganlah sosialisme utopis  yang merindukan 

bulan dan yang tak dapat dilaksanakan, namun  haruslah 

sosialisme penjelmaan evolusi warga  yang sebenarnya. 

Haruslah sosialisme yang berdasarkan anasir-anasir yang 

bukan anasir-anasir pengalamunan, namun  anasir-anasir yang 

nyata, -sosialisme yang “obyektif”. 

 

Sosialisme yang demikian itulah yang boleh! Yang boleh 

diangan-angankan dari sekarang; yang boleh dicita-citakan 

dari sekarang; dan yang boleh dipakai dari sekarang sebagai 

pedoman perjoangan. Dengan memahami sosialisme yang 

demikian itu (wetenschappelijk socialisme), kita dapat 

mempelajari berapa jauhnya tingkat evolusi warga  kita 

pada waktu sekarang, menentukan sifat apa harusnya 

Revolusi kita sekarang, menyusun strategi perjoangan kita 

sekarang. Dengan dia kita dapat memimpin Revolusi kita ke 

tingkatan yang lebih tinggi, menentukan arah yang harus 

diambilnya, mempastikan kemenangan. Oleh sebab  itu, 

janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -meski 

268 

 

sosialisme yang “obyektif” sekalipun!- namun  kita harus 

memahami teori sosialisme, memahami cara berfikir 

sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar 

supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme! 

 

Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para 

pemegang obor, harus memahami ilmu itu. Dapatkah orang 

memimpin dengan baik, - menunjukkan jalan kepada rakyat, 

mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga-

bekerja dan tenaga perjoangan rakyat, mencapai hasil yang 

sebesar-besarnya dengan mengorbankan korban yang 

sesedikit-sedikitnya-, bila orang tidak tahu jalan-jalan apa 

yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-

tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin 

dengan baik, bila tidak dengan tuntunan ilmu? Dapatkah 

orang memimpin dengan baik, bila sendiri tidak tahu jalan? 

 

Dan angan-angan sosialisme serta ilmu sosialisme itu tidak 

hanya “baik” buat pemimpin saja, rakyat jelata pula (sedapat 

mungkin) harus memahaminya. Berilah kursus sebanyak-

banyaknya dan sepopuler-populernya kepada rakyat jelata itu. 

namun  terutama sekali angan-angan sosialisme harus dinyala-

nyalakan di kalangan rakyat jelata itu, dikobar-kobarkan 

dalam jiwa mereka, angan-angan sosialisme harus menjadi 

Bintang Bimashaktinya perjoangan mereka. Mereka harus 

insyaf akan arti mereka dalam perjoangan dan dalam proses 

produksi sekarang dan proses produksi yang akan datang, 

mereka harus mengerti, bahwa dunia sosialisme yaitu  dunia 

mereka, dan bahwa dus perjoangan Nasional sekarang ini 

(yang menuju kepada sosialisme) harus buat sebagian besar 

terpikul oleh semangat mereka, keringat mereka, korbanan 

mereka, darah dan daging mereka. 

 

lni berarti: Rakyat jelata harus dibuat sedar akan arti-

golongannya sendiri. Mereka harus dibuat zelf-bewust, -

harus dibuat self-conscious.  

 

Mereka harus diinsyafkan harga kelasnya, -harus dibuat 

class-conscious. Mereka harus diinsyafkan, bahwa hanya 

dalam warga  sosialismelah mereka dapat sejahtera, 

namun  juga, bahwa warga  sosialisme itu tidak dapat 

269 

 

tercapai jika tidak dengan tenaga mereka. Mereka harus 

mengerti, bahwa mereka lah soko-gurunya hari yang akan 

datang. Mereka harus mengerti bahwa tingkatan Nasional ini 

ialah tingkatan-mutlak ke arah Revolusi Sosialisme, -artinya, 

bahwa mereka dalam tingkatan sekarang ini harus 

mengutamakan “kenasionalan”- boleh berkesadaran kelas, 

namun  tidak boleh mengobarkan perjoangan kelas! -bekerja 

bersama-sama dengan semua golongan dan lapisan yang 

menghendaki kemerdekaan nasional, -namun  juga jangan 

diperdulikan oleh sesuatu golongan yang lain untuk 

kepentingan golongan yang lain itu. 

 

Mengetahui arti golongan sendiri dan tidak mau diper-

kudakan untuk kepentingan golongan lain, -itulah makna 

perkataan sadar akan diri sendiri dan berkesadaran kelas. 

 

Tidakkah “perkudaan” itu sering terjadi, terutama bila 

perjoangan bersifat perjoangan “nasional”, dalam mana semua 

golongan dan semua lapisan berjoang bahu-membahu? Dalam 

perjoangan-perjoangan “nasional” itu sering sekali pada 

zahirnya “seluruh bangsa” yang bergerak, namun  pada 

hakekatnya golongan borjuis atau golongan feodallah yang 

“berjoang”, dengan memperkudakan rakyat jelata. 

Hakekatnya perjoangan nasional Jerman yaitu  demikian, 

hakekatnya perjoangan nasional Jepang yaitu  demikian. Dan 

hakekatnya perjoangan nasional di negeri-negeri lain yaitu  

demikian pula. 

 

sebab  itu, jagalah jangan sampai rakyat-jelata kita 

diperkudakan orang: Buatlah rakyat-jelata kita sadar akan 

diri sendiri! 

 

Ini sungguh bukan satu kejahatan. Ini bukan mengadu-

dombakan golongan dengan golongan, ini bukan (dan jangan!) 

menghidup-hidupkan perjoangan kelas. lni bukan memecah-

belah bangsa. Salahlah mengkobarkan perjoangan kelas di 

dalam Revolusi Nasional! Saya selalu mengatakan, bahwa 

semua golongan dan lapisan di dalam Revolusi Nasional ini 

harus bekerja bersama-sama menyusun satu Persatuan 

Nasional yang kuat, menghantam dan menggempur 

imperialisme. Saya tetap berkata: bersatulah, bekerjalah 

270 

 

bersama-sama, bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh! namun  

bekerja bersama-sama itu tidak berarti, bahwa satu 

golongaan boleh memperkudakan golongan  yang lain. 

Membuat rakyat jelata sadar akan diri sendiri hanya berarti, 

bahwa rakyat jelata harus diberi pengertian tentang tugas 

bersejarah golongan rakyat jelata itu sendiri. Mereka, rakyat 

jelata, yaitu  basis sosial perjoangan kita. Hanya dengan 

rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, kita dapat 

memobilisir segenap tenaga-tenaga potensiil yang ada di 

kalangan mereka. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan 

diri sendiri Revolusi kita dapat berjalan pesat, dapat bersifat 

Revolusi yang progresif,  yang menuju kepada  tingkatan 

sosial yang lebih tinggi. Hanya dengan rakyat jelata yang 

sadar akan diri sendiri, Revolusi kita dapat bersifat Revolusi 

yang revolusioner, dan bukan Revolusi yang dipengaruhi oleh 

anasir-anasir kontra-revolusioner. 

 

Alangkah sering ditakuti orang, perkataan “kesadaran diri” ini, 

jika ditinjau dari sudut kenasionalan! Sering orang berkata: 

”Jaga persatuan bangsa, jaga persatuan semua golongan, -

jangan massa dibuat sadar akan diri sendiri”. Atau: “Buatlah 

masing-masing golongan melupakan kepentingan golongan 

sendiri, hilangkanlah kesedaran golongan, buatlah semua 

golongan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja!”. 

Demikianlah sering sekali diucapkan orang. Terutama, sekali 

golongan-golongan yang bukan golongan rakyat jelata sangat 

fanatik mencintai “kebijaksanaan” semacam ini! Apa sebab? 

Oleh sebab  golongan-golongan itu sendiri memang “tidak 

membuat dirinya sendiri berkesadaran diri”! Althans pada 

zahirnya! Pada batinnya, sudah barang tentu mereka membela 

kepentingan golongan sendiri, namun  mereka (untuk 

pembelaan kepentingan mereka itu)  membutuhkan 

bantuannya seluruh Bangsa, membutuhkan tenaganya dan 

simpatinya semua golongan dalam lingkungan Bangsa. Oleh 

sebab  itu, maka mereka lantas pura-pura tidak sadar akan 

diri sendiri, pura-pura tidak mementingkan golongan sendiri, -

dan mengharap supaya lain-lain golongan (terutama sekali 

golongan rakyat jelata) sungguh-sungguh tidak sadar akan 

diri sendiri, dan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja. 

Lama-kelamaan pun mereka sendiri lantas seperti sama 

sekali “nasional”. Sama sekali “Pro Patria”! “Untuk tanah air”!  

271 

 

 

“Untuk Bangsa”! “Untuk Negara”! namun  coba ancam 

kepentingan mereka itu! Coba bahayakan kepentingan mereka 

itu! Mereka akan membela kepentingan mereka itu mati-

matian, meski misalnya ternyata bahwa kepentingan Bangsa 

menghendaki lain. Mereka akan merapatkan barisan di 

golongan mereka sendiri, membuat front pertahanan yang 

kuat, berteriak dari semua atap rumah bahwa “keselamatan 

Bangsa” dalam bahaya. 

 

Ya, merekalah yang anti kesadaran dirinya rakyat jelata. 

namun  saya harap semua orang yang menghendaki Revolusi 

kita sekarang ini berjalan pesat dan progresif, mengerti bahwa 

perlu sekali rakyat jelata kita dibuat sadar akan diri sendiri. 

Dan, oleh sebab  itu, saya harap kita pun mengerti perlunya 

persatuan yang erat dengan rakyat jelata. Terjunlah di 

kalangan rakyat, bergaul lah dengan mereka, didiklah mereka, 

berjoanglah dengan mereka dan untuk mereka, -buatlah 

rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan 

tindakannya, buatlah Revolusi kita semassal-massalnya, 

buatlah Rakyat jelata itu betul-betul basis sosialnya Revolusi. 

 

Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separoh 

dibandingkan  politisi kita yaitu  salon politisi, yang mengenal 

Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira 

dapat menyelesaikan Revolusi sekarang ini, meski 

tingkatannya tingkatan Nasional sekalipun, tidak dengan 

rakyat murba? Politikus yang demikian itu sama dengan 

seorang jenderal tak bertentara. Kalau dia memberi komando, 

dia seperti orang berteriak di padang pasir. namun  betapakah 

orang dapat menarik rakyat jelata, jika tidak terjun di 

kalangan mereka, mendengarkan kehendak-kehendak mereka, 

menyusun program ekonomi yang menarik mereka, 

menyadarkan mereka akan diri mereka sendiri, membuat 

Revolusi ini Revolusi mereka?   

 

Terutama sekali program-ekonomi (buat sekarang dan buat 

lalu ) yang menarik hati mereka, -itulah yang amat 

penting. namun , untuk semua itu, perlulah bekerja di kalangan 

massa. Dan bekerja di kalangan massa itu yaitu  baik pula 

buat si pemimpin sendiri:  Di sana, di kalangan rakyat murba, 

272 

 

di sana, laksana intan yang tiap-tiap hari digosok oleh ribuan 

pasir lembut, ia dapat membersihkan diri dari pengaruh-

pengaruh reaksioner, dapat makin lama makin menjadi “sosial 

revolusioner”, dapat benar-benar menjadi penyala api 

kancahnya Revolusi. Di sana ia dapat mengajar Massa dan 

belajar dibandingkan  massa. Tahukah kita, pemimpin-pemimpin 

dan kaum intelek, penyakit kita yang paling sangat? Penyakit 

kita yang paling sangat ialah, bahwa kita senantiasa gemar 

mengajar kepada massa namun  tidak pernah sudi belajar 

dibandingkan  massa! Penyakit yang demikian itu yaitu  penyakit 

yang paling buruk. Jikalau pemimpin tidak terjun di kalangan 

massa, maka pimpinannya sering terlalu “teoretis”, dan 

hampir selamanya terlalu “eenzijdig”. Pemimpin melihat segala 

keadaan selalu “dari atas”, tidak pernah “dari bawah”. Massa 

melihat segala keadaan “dari bawah”, tidak “dari atas”. Kedua-

duanya “eenzijdig”. namun  jikalau pemimpin dan massa 

bersatu, massa dan pemimpin isi mengisi satu sama lain, 

maka segala hal lantas terlihat dari atas dan dari bawah, -

pengalaman pemimpin disempurnakan oleh pengalaman 

massa, -Revolusi berjalan dengan baik dan pesat, Revolusi ... 

revolusioner! 

 

“Gerakkanlah Massa itu”! 1tu yaitu  semboyan yang benar. 

namun  dapatkah orang menggerakkan Massa jika tidak 

mengetahui kehendak-kehendak massa, dan dapatkah orang 

mengetahui kehendak-kehendak massa, jika tidak bergaul 

dengan mereka! Alexander Herzen pernah berkata, bahwa 

kita hanya dapat menarik orang lain, apabila kita dapat 

melihat keinginan orang lain itu  lebih terang  dibandingkan  dia 

sendiri. Maka untuk melihat keinginan massa lebih terang 

dibandingkan  massa sendiri, perlulah terjun di kalangan massa itu 

dan bergaul dengan massa itu. Dan bilamana kita telah 

mengetahui kehendak-kehendak massa itu lebih terang 

dibandingkan  mereka sendiri, baru bilamana demikian, kita dapat 

mempengaruhi mereka, menarik mereka, membangkitkan 

mereka berjoang, memenuhi semboyan yang saya katakan 

benar itu tadi: “Gerakkanlah massa itu!”  

 

Dan dalam pada menggerakkan massa itu, -dengan membuat 

mereka sadar akan diri sendiri-,  maka kita harus 

menggabungkan tenaga massa itu dengan semua,  sekali lagi 

273 

 

semua tenaga anti imperialisme yang ada di dalam pagar, dan 

dengan semua tenaga anti imperialisme yang ada di luar 

pagar. Nasional kita pelihara persatuan, internasional kita 

pelihara pula persatuan. Nasional kita gabungkan tenaga 

massa itu dengan tenaga kaum intelek negara kita , kaum alim-

ulama negara kita , dlsb. yang sama-sama anti imperialisme, 

sama-sama menghendaki kemerdekaan negara kita , -

berkesadaran kelas, namun  jangan mengobarkan perjoangan 

kelas, kata saya tadi-, internasional kita hubungkan dengan 

pergerakan-pergerakan buruh dan pergerakan-pergerakan 

nasional di negeri-negeri lain. 

 

Dan di atas lapangan internasional ini, kita tidak harus hanya 

mencari bantuan dari luar, namun  kalau dapat juga memberi 

bantuan kepada luar. Sebab, sungguh pun pada hakekatnya 

Revolusi kita telah berarti bantuan kepada Revolusi Umum 

(Revolusi Dunia): anti imperialisme dan anti kapitalisme, -

sebab  satu bagian dibandingkan nya-, maka tidak ternilai artinya 

sesuatu bantuan yang nyata yang kita berikan kepada 

sesuatu cabang perjoangan itu di dunia luaran. Rasa 

persatuan perjoangan sedunia menjadi tebal oleh sebab nya, 

rasa persatuan nasib menjadi lebih rill, rasa menghadapi 

musuh yang sama menjadi lebih menjelma. Dan rasa 

bertindak -aktif dan positif- menjadi lebih kuat. Hilangkanlah 

negativisme yang hanya mengharap pertolongan dari luaran, 

hilangkanlah jiwa lemah yang selalu menunggu-menunggu 

dan menyambat-nyambat. Hilangkanlah segenap bencana jiwa 

yang diwariskan oleh perbudakan kolonial beratus-ratus 

tahun yang bernama inferioriteits complex. Jiwa kita menjadi 

jiwa yang di dalam perjoangan bersifat  ofensif, jiwa 

menyerang, jiwa berani, jiwa memberi, jiwa positif yang tidak 

menggantungkan nasib kepada orang lain.  

 

namun  “tidak menggantungkan nasib kepada orang lain” itu 

tidak boleh berarti, bahwa kita tidak harus insyaf bahwa 

perjoangan kemerdekaan kita yaitu  bergandengan erat 

dengan Revolusi Dunia. Tadi saya telah katakan, bahwa 

perjoangan kita itu yaitu  satu bagian dari Revolusi Dunia 

itu. Kita sekarang harus mengatasi fase fikiran yang dahulu, 

bahwa kita dapat menyelesaikan perjoangan kemerdekaan kita 

itu tidak dengan hubungan dengan dunia. Tidakkah fikiran 

274 

 

yang demikian itulah salah satu kesalahan kita di periode 

perjoangan yang lalu? Di muka telah saya katakan, bahwa 

salahnya Partai Nasional negara kita  yang saya pimpin dulu itu 

ialah bahwa Partai Nasional negara kita  itu  terlalu  

menjatuhkan titik berat kepada “percaya kepada kekuatan diri 

sendiri”, kepada “self-help”, kepada “self-reliance”. Terlalu! 

Sebab, ya benar, percaya kepada diri sendiri yaitu  mutlak 

perlu self-help dan self-reliance yaitu  menguatkan dan 

mempositifkan jiwa, namun  jikalau titik berat terlalu 

dijatuhkan di atasnya, maka menjadilah ia semacam politik 

katak di bawah tempurung. Menjadilah ia semacam politik 

“menyendiri”, semacam politik  isolasionisme. Menjadilah ia 

bibit chauvinisme, -bibit kecongkakan nasional. Dan 

menjadilah ia satu siasat perjuangan yang salah, yang 

merugikan, bahkan membahayakan kedudukan perjoangan 

kita, sebab  tidak sesuai dengan kenyataan obyektif: 

persatuannya imperialisme internasional. 

 

Terhadap kepada imperialisme yang bersambung-sambung 

satu sama lain laksana rantai itu, kita dulu terlalu berjoang 

secara “sendiri”. Padahal teranglah sudah, bahwa imperialisme 

internasional hanya dapat dikalahkan secara internasional. 

Hanya dapat dikalahkan dengan hantaman internasional! 

 

Dulu, di dalam abad kesembilanbelas, imperialisme belumlah 

bersambung satu sama lain. Dulu ekonomi belumlah ekonomi 

dunia, namun  ekonomi itu dulu bersifatlah ekonomi “negeri 

sendiri-sendiri”, “ekonomi negeri individuil”. Sekarang ekonomi 

itu telah bersifat ekonomi dunia, dan imperialisme pun 

bersifat imperialisme dunia. Sekarang rakyat di negeri 

sendiri-sendiri tidak dapat menghantam mati imperialisme itu, 

jika tidak bersama-sama rakyat-rakyat korban imperialisme di 

negeri-negeri lain. Sekarang perjoangan harus perjoangan 

internasional. 

 

namun  pembaca mungkin akan menanya: Tidakkah kita telah 

nyata meledakkan Revolusi kita pada tanggal 17 Agustus 1945 

itu “atas kekuatan sendiri”? Tidakkah dus kita merebut 

kemerdekaan kita itu tidak dengan bantuan orang lain, tidak 

dengan hubungan internasional? 

 

275 

 

Orang yang bertanya demikian yaitu  salah kupas. Pertama: 

Situasi-situasi revolusioner yang saya uraikan di muka tadi, 

yang memungkinkan proklamasi kemerdekaan kita itu, yaitu  

hasil dibandingkan  pergolakan dan pergeseran internasional. 

Dapatkah kita memperoleh situasi revolusioner yang masak 

untuk proklamasi itu, jika tidak terlebih dulu dunia 

imperialisme internasional terbakar sehebat-hebatnya, 

terkacau kalut mawut oleh peperang-an dunia ke II laksana 

kebun ubi dirusak oleh babi? Dapatkah kita mendapat situasi 

revolusioner itu jika kekacau-balauan internasional itu tidak 

meremuk-redamkan imperialisme Belanda? Jika tidak 

sekeliling negara kita  seluruh dunia Timur gegap-gempita 

bergerak menuntut merdeka laksana menjadi kawah 

Candradimuka? Jika tidak di seluruh dunia segala kaum 

progresif menentang penjajahan dan bersimpati kepada kita? 

 

Dan sebagai di muka saya katakan, soal kita bukan saja 

memproklamasikan kemerdekaan, namun  juga 

mempertahankan kemerdekaan itu seterusnya. Di dalam 

mempertahankan kemerdekaan itu kita lebih-lebih lagi butuh 

kepada simpati dan bantuan internasional. Perjoangan kita 

yang berupa pertahanan konkrit, usaha kita di lapangan 

diplomasi, jerih-payah kita di lapangan pembangunan, semua 

itu jangan sampai terpencil, jangan sampai kena diisolir, 

semua itu harus kita usahakan dalam suasana internasional. 

Tidakkah fihak Belanda selalu mencoba mengisolir pertikaian 

negara kita -Belanda ini menjadi satu soal “dalam negeri”? 

 

Memang banyak sekali orang heran, bahwa justru di 

negara kita  dan di Vietnam revolusi meledak, dua negeri yang 

orang kira pergerakan nasionalnya tidak terlalu hebat. 

Mengapa tidak di Korea? Atau di India? Atau di Philipina? 

Mengapa justru di negara kita  dan di Vietnam? 

 

Keterangannya ialah, bahwa dunia imperialisme SEBAGAl 

SATU KESELURUHAN -dengan ekonominya yang telah 

ekonomi dunia-, telah masak untuk revolusi. Maka di dalam 

keseluruhan dari Barat sampai ke Timur, dari Utara sampai ke 

Selatan yang telah masak untuk revolusi itu, revolusi 

meledak di tempat-tempat di mana rantai imperialisme itu 

paling lemah. 

276 

 

 

Dan di mana rantai imperialisme itu paling lemah? Di 

negara kita  dan di Vietnam. Di dua negeri itu imperialisme 

Belanda di satu fihak dan imperialisme Perancis di lain fihak 

paling mendapat pukulan-pukulan hebat dari peperangan 

dunia ke II, di dua negeri itu rakyatnya paling tertindas, paling 

terhisap, paling jembel, paling dendam dan paling marah. Di 

dua negeri itu bisul revolusi yang menghinggapi seluruh tubuh 

imperialisme dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai 

ke Selatan, paling dulu menjebrot dan memecah! Di dua negeri 

itu rantai imperialisme terputus, dan oleh sebab nyalah maka 

sekarang semua cincin-cincin rantai itu yang belum terputus 

lantas bekerja bersama-sama untuk menyambungkan lagi 

rantai imperialisme itu di tempat-tempat yang terputus itu. 

 

Inilah artinya ofensif-umum dibandingkan  imperialisme-

internasional yang sekarang sedang bertubi-tubi di atas 

tubuhnya Republik negara kita  dan Republik Vietnam, yang 

kedua-duanya digempur dengan bom dan dinamit, dengan 

tank dan kapal-udara! 

 

namun  terutama rakyat negara kita  mempertahankan diri 

dengan gagah dan berani. Segenap tenaga nasionalnya 

dimobilisir, segenap tenaga progresif sedunia dipanggilnya. 

 

Kontra revolusi di negara kita  dan di Vietnam yaitu  satu 

bagian saja dibandingkan  kontra revolusinya imperialisme sebagai 

satu keseluruhan, namun  Revolusi di negara kita  dan di Vietnam 

pun yaitu  satu bagian saja dibandingkan  Revolusi Internasional 

yang merobek-robek tubuhnya imperialisme sebagai satu 

keseluruhan. 

 

Kesudahannya tak dapat disangsikan lagi! 

Imperialisme pasti binasa, -Kemerdekaan pasti menang! 

............................................................................................... 

 

Agak panjang uraian saya tentang beberapa soal yang 

mengenai perjongan Republik kita. Pokok-pokoknya ialah: 

 

Bahwa fase perjoangan kita sekarang ini ialah fasenya 

Revolusi Nasional. Dharma kita di dalam fase ini ialah 

277 

 

menyusun Kemerdekaan Nasional, dan mengisi 

Kemerdekaan Nasional itu dengan syarat-syarat jiwa dan 

syarat-syarat materiil, agar supaya Kemerdekaan Nasional 

itu dapat menjadi batu loncatan kepada Kemerdekaan 

Sosial di lalu  hari. 

 

-“Penuhilah sepenuh-penuhnya segala syarat Revolusi 

Nasional, perkuatkanlah Negara, -sekali lagi perkuatkanlah 

Negara-, susunlah persatuan Nasional, kejar dan capailah 

Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita  dan yang 

berdaulat seratus prosen! Isilah Revolusi Nasional ini dengan 

angan-angan sosialisme dan dengan syarat-syarat  yang 

diperlukan untuk penyelenggaraan sosialisme itu: buatlah 

teknik kita dan ekonomi kita berkembang, buatlah semangat 

kita semangat gotong-royong, didiklah rakyat jelata kita 

menjadi rakyat jelata yang benar-benar sadar akan diri sendiri 

namun  jangan sekali-kali mengadakan perjoangan kelas, carilah 

hubungan rapat dengan segenap tenaga progresif di seluruh 

dunia!”, demikianlah sari-patinya anjuran-anjuran yang saya 

anggap penting. 

 

namun , -apakah keajiban wanita dalam penyelenggaraan 

segala hal-hal itu? 

  

Jawab saya yaitu  tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti, 

bahwa hanya sosialisme sajalah yang dapat menolong dia, dan 

sebab nya, wanita harus ikut serta dalam penyelenggaraan 

segala hal-hal yang saya sebutkan sebagai pokok-pokok 

perjoangan kita itu dengan cara yang sehebat-hebatnya. Tidak 

saya akan puas dengan “setengah-setengahan”! Tidak saya 

akan berhenti, sebelum wanita negara kita  seluruhnya betul-

betul ikut aktif dalam Revolusi Nasional dengan isi yang saya 

maksudkan itu. Pernah saya di waktu masih muda remaja 

tertangkap hati oleh anjuran Ernest Douwes Dekker 

(Setyabudi)  yang berbunyi: “Men moet zich geheel geven, 

geheel! De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder!” -

yang artinya: “Janganlah setengah-setengahan, berilah jiwa-

ragamu sama sekali!” - maka anjuran yang demikian itu pula 

sekarang saya berikan kepada wanita negara kita  di dalam 

Revolusi kita. Tidakkah segenap macam perjoangan yang saya 

sebutkan di atas itu pada intinya berarti menyusun hari 

278 

 

lalu  wanita juga? namun  bagai-mana wanita dapat ikut 

serta sehebat-hebatnya, kalau wanita sendiri belum sadar, 

dan kalau fihak laki-laki emoh kepada ikut sertanya wanita 

itu, sebab  laki-laki sendiri masih dihinggapi oleh faham-

faham kolot tentang wanita? 

 

Ah ya, terutama kepada kaum laki-laki saya serukan supaya 

mengerti betul-betul mutlak perlunya wanita ikut serta dan 

dapat ikut serta dalam perjoangan itu. Ingatlah pengalaman-

pengalaman perjoangan di negeri lain! Apa sebab misalnya 

hasil perjoangan rakyat India kurang memuaskan? Oleh 

sebab  wanita India belum ikut serta semutlak-mutlaknya 

dalam perjoangan bangsa. Gandhi sendiri dengan tegas 

menyatakan (bacalah “India of my dreams”): “Banyak sekali 

pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh 

sebab  keadaan kaum wanita kita”. namun  apa sebab, 

misalnya lagi, pemerintahan sovyet dapat mengadakan 

kemajuan yang begitu pesat di segala lapangan di Rusia 

Timur, yang dulunya toh begitu amat terbelakangnya? 

Kemajuan di atas lapangan pengajaran, di atas lapangan 

pertanian, di atas lapangan pemerintahan, di atas lapangan 

ketentaraan, sampai pun di atas lapangan teknik dan 

industrialisasi? 

 

Tak lain tak bukan, ialah oleh sebab  pemerintah sovjet siang-

siang sekali mengerti, bahwa wanita di Rusia Timur, 

bagaimanapun juga kolotnya dan bagaimanapun juga 

jumudnya, harus lekas-lekas dididik dan dibawa ikutserta 

mutlak di dalam kesadaran, -di “ingeschakeld” mutlak di 

dalam perjoangan dan pembangunan! Tidak dapat Rusia 

Timur itu dibawa ke padang kemajuan, kalau hanya fihak 

laki-laki saja yang dikerahkan, atau lebih tegas lagi: kalau 

fihak wanita tidak dibawa ikut serta sehebat-hebatnya di 

dalam pengerahan jiwa dan tenaga itu, -demikianlah 

kenyataan yang siang-siang dimengerti oleh pemerintah 

sovjet itu. Oleh sebab  itulah maka boleh dikatakan yang 

paling dulu diusahakan oleh pemerintah sovjet di Rusia Timur 

ialah: menyadarkan wanita, membuka mata wanita, 

memutuskan belenggu wanita, “merevolusionerkan” wanita. 

Wanita, wanita, separoh dari tenaga manusia, harus 

disadarkan lebih dahulu! Wanita sadar yaitu  syarat mutlak 

279 

 

bagi pembangunan warga  vertikal dan horizontal! Dan 

hasil dari pembangunan umum yang dicapai dengan lebih 

dulu menyadarkan wanita itu, di Rusia Timur yaitu  

mengagumkan. Fannina W. Halle menceritakan tentang hal ini 

di dalam bukunya yang telah saya sebutkan. 

 

Malah mungkin sekali bahwa pemerintah sovjet siang-siang 

mengerti pentingnya soal wanita itu, bukan hanya oleh sebab  

“tahu teori”, yaitu teori yang telah disusun oleh pemimpin-

pemimpin wanita tingkat ketiga. Mungkin sekali pengalaman 

pun memberi petunjuk kepada mereka. 

 

Apakah pengalaman itu? Pengalaman itu ialah, bahwa revolusi 

proletar di Rusia Pusat itu dipelopori oleh wanita. Umum 

belum begitu mengetahui akan hal ini. Umum mengira bahwa 

revolusi di Rusia Pusat itu hanya dipelopori oleh kaum buruh 

laki-laki saja. namun  bacalah pernyataan-pernyataan dari 

historisi yang saya sitir di bawah ini! 

 

“Kesadaran kelas yang sehat membuat kaum buruh wanita 

menyokong pemogokan-pemogokan, dan tidak jarang wanita-

wanita itu mengorganisir sendiri dan memimpin sendiri 

pemberontakan-pemberontakan paberik”. 

 

Demikianlah pernyataan Alexandra Kollontay yang saya baca 

dalam kitab Fannina W. Halle. namun  lebih tegas yaitu  

pernyataan-pernyataan berikut: “Kaum buruh wanita sudah 

ikut serta aktif pada pemberontakan-pemberontakan buruh 

dalam tahun 1874 di Petersburg di paberik-paberik tenun. 

Dalam pemberontakan buruh yang termasyhur di Orjechowo 

Sujewo, di daerah tekstil Wladimir, yang berhasil mencapaikan 

larangan kerja malam bagi wanita dan kanak-kanak dari 

pemerintah, maka wanitalah yang berdiri di barisan yang 

paling depan. Memang yaitu  menarik perhatian, bahwa 

sumber-sumber pemogokan-pemogokan dan pemberontakan-

pemberontakan buruh, yang selalu menggelorakan dunia 

proletar Rusia di kanan-kirinya tahun tujuh puluhan dan di 

bagian pertama dari tahun delapan puluhan, terutama sekali 

terdapat pada cabang-cabang perusahaan tenun, yaitu 

cabang-cabang perusahaan yang kaum buruhnya buat bagian 

yang terbesar terdiri dari wanita. Dengan demikian maka 

280 

 

tidaklah dilebih-lebihkan, jika orang mengatakan, bahwa 

bagian yang terbesar (het leeuwen aandeel) dibandingkan  

perjoangan-perjoangan ekonomis dan politis dalam masa itu 

ialah dilakukan oleh wanita!”. 

 

Dan bagaimanakah rol wanita dalam revolusi-revolusi Rusia 

yang lalu ? 

 

Trotzky menceritakan tentang Revolusi Maret 1917 (di Rusia 

dinamakan Revolusi Februari): “Adpokat-adpokat dan 

jurnalis-jurnalis dibandingkan  kelas-kelas yang terhantam oleh 

Revolusi ini tidak sedikit menghamburkan tinta untuk 

membuktikan, bahwa dalam bulan Februari itu sebenarnya 

telah terjadi satu pemberontakan wanita, yang lalu  

dilimpahi oleh pemberontakan serdadu”. namun  keadaan pada 

zahirnya memang sebenarnya begitu! Sebab Trotzky sendiri 

mengatakan juga: “Kenyataan tetaplah, bahwa revolusi 

Februari itu mulainya ialah dari bawah, dan inisiatifnya 

datanglah secara spontan dari bagian proletar yang paling 

tertindas dan paling tertekan, yaitu kaum buruh tenun 

wanita, sedangkan di antara mereka itu banyak juga isteri-

isteri serdadu ... Kurang lebih sembilan puluh ribu kaum 

buruh wanita mogok pada hari itu. Semangat perjoangan 

meletus dengan berbentuk demonstrasi-demonstrasi, rapat-

rapat umum dan perkelahian-perkelahian dengan polisi ... 

Sejumlah besar wanita-wanita, malahan bukan semuanya 

wanita kaum buruh, berarak-arak ke balai kota dengan 

maksud meminta roti ... Hari wanita ini berakhir dengan hasil 

yang memuaskan, dengan semangat, dan dengan tiada 

korban”. 

 

Seorang-orang lain jang menyaksikan kejadian-kejadian pada 

waktu itu, menceritakan tentang hari 23 Februari (8 Maret) 

sebagai berikut: “Sebagai angin taufan yang membinasakan 

segala sesuatu yang mengadang di jalannya, bergeraklah 

kaum buruh wanita yang telah mata gelap sebab  siksaannya 

lapar dan siksaannya peperangan itu. Bangkitnya kaum 

buruh wanita yang dendam-benci kepada penindasan yang 

telah ratusan tahun, itulah cetusan api yang menyalakan 

api revolusi Februari, revolusi yang nantinya meremuk-

redamkan Tzarisme sama sekali”. 

281 

 

 

Dan surat kabar Pravda menulis seminggu lalu : “Lama 

sebelum perang, maka Internasional Proletar telah 

memproklamasikan hari 8 Maret (23 Februari) sebagai Hari 

Pesta Wanita Internasional. namun  seminggu sebelumnya 

maka pemerintah di Petrograd telah mengeluarkan larangan 

merayakan hari itu. Sebagai akibat larangan itu terjadilah 

mula-mula perkelahian-perkelahian di paberik-paberik 

Putilow, yang lalu  menjalar menjadi satu rapat-raksasa, 

satu revolusi. 

 

Hari pertama dari revolusi, -itulah Hari Wanita, hari 

Internasional kaum buruh wanita. Hormat kepada wanita! 

Hormat kepada Internasionale! Wanitalah yang paling dulu 

keluar ke jalan-jalan Petrograd pada hari mereka itu. Di 

Moskow wanita pada hari itu acapkali menentukan sikapnya 

prajurit-prajurit militer: mereka masuk ke asrama-asrama, 

menasehati serdadu-serdadu supaya memihak kepada 

revolusi, -dan serdadu-serdadu itu mengikuti seruannya. 

 

Hormat kepada Wanita!” 

 

Dan pada hari-hari yang berikutpun, wanita tetap memelopori 

revolusi. Trotzky menceritakan tentang hari-hari yang berikut 

itu demikian: “Dengan keberanian yang melebihi keberanian 

laki-laki, wanita-wanita itu mendesak-mendekati barisan-

barisan serdadu, senapan-senapan serdadu itu dipegangnya, 

dan mereka meminta, ya hampir-hampir memerintah: 

“Balikkanlah bayonetmu, pindahlah ke pihak kami!” Maka 

serdadu-serdadu itu terkena hatinya, mereka merasa malu, 

mereka memandang satu sama lain, mereka goyang hatinya 

seorang-orang dibandingkan  mereka mulailah memberanikan diri -

dan bayonet-bayonet itu berputar di atas pundak-pundak 

wanita yang mendesak mendekati mereka itu, pagar batin 

yang memisahkan mereka itu gugur, dan pekik hura yang 

penuh dengan kegembiraan dan rasa terimakasih bergegap-

gempitalah memenuhi angkasa, serdadu-serdadu itu 

dikerumuni sama sekali, pembicaraan-pembicaraan, usul-usul 

dan peringatan-peringatan mulailah dengan asyiknya, -

revolusi telah maju ke depan selangkah lagi” . 

 

282 

 

Fannina Halle menambah pernyataan-pernyataan ini dengan 

kata-kata berbunyi: “Maka demikianlah kita melihat wanita 

Rusia itu di atas jalan yang panjang dan penuh duri, -jalannya 

Revolusi yang menuju kepada Rusia yang baru: wanita dengan 

keberanian hati yang sering sekali membuat malu kawan-

kawan yang laki-laki, dengan penuh penyerahan jiwa-raga, 

dengan tak takut kepada maut, dengan berjalan di sana-sini di 

tempat yang paling depan, dengan selalu kepalanya tegak, 

dengan pandangan-mata yang menuju ke masa depan yang 

telah melambai-lambai di seberangnya perjoangan dan 

korbanan-korbanan darahnya itu”. 

 

Dan akhirnya bacalah pendapat bapak revolusi Rusia sendiri 

yang saya cantumkan di bawah ini, yaitu pendapat Lenin! 

 

“Di Petrograd, dan di Moskow sini, di kota-kota dan di pusat-

pusat industri, di daerah-daerah pedalaman, wanita-wanita 

proletar bersikap dengan cara yang mengagumkan. 

 

Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak 

mungkin kita capai … 

  

ltulah keyakinan saya. Alangkah beraninya mereka itu dulu, 

alangkah beraninya mereka itu sekarang! Coba bayangkan 

segenap penderitaan-penderitaan dan kemelaratan-

kemelaratan yang mereka derita. Mereka tahankan semua 

penderitaan itu, oleh sebab  mereka menghendaki adanya 

sovyet, dan oleh sebab  menghendaki kemerdekaan, 

menghendaki komunisme. 

 

Ya, sesungguhnya, wanita-wanita proletar kita yaitu  wanita-

wanita pejoang kelas yang amat jempol. Mereka selayaknya 

harus kita hormati, mereka harus kita cintai!” 

 

Kulebih-lebihkankah, jikalau aku mengatakan tadi, bahwa 

revolusi di Rusia Pusat jaya oleh sebab  dipelopori oleh 

wanita? Atau setidak-tidaknya: oleh sebab  wanitanya ikut 

serta mutlak dalam revolusi itu? 

 

“Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak 

mungkin kita capa!”... Demikianlah, kata demi kata, -

283 

 

“woordelijk”-, ucapan Lenin! Maka sebagai saya katakan tadi, 

mungkin pengalaman di Rusia-Pusat inilah -di samping segala 

teori- yang menjadi sebabnya pemerintah sovyet pagi-pagi 

telah mengerti, bahwa buat pembangunan di Rusia Timur 

yang warga nya masih kolot bin kolot itu, yang paling 

dulu harus disadarkan, disemangatkan, dibangkitkan, 

digelorakan, ialah fihak wanita-wanitanya. 

 

Dan itulah mereka kerjakan! Wanita di Rusia Timur mereka 

“serbu”. lalu : dengan warga  wanita yang telah 

sadar itu, pembangunan umum di Rusia Timur (sudah barang 

tentu juga dengan warga  laki-laki yang disadarkan pula) 

berjalanlah dengan pesatnya: pertanian, pengajaran, 

pemerintahan, pertahanan, peternakan, pengkolektivan, 

teknik!, industrialisasi, -semuanya melancar pesat di luar 

dugaan, semuanya lantas membuat Rusia Timur menjadi satu 

dunia “laksana sulapan”, sebagai dikatakan oleh seorang 

penulis yang namanya saya lupa, -kalau tidak salah Arthur 

Feiler. 

 

Dan bagaimana kita? 

 

Ah, apakah barangkali memang benar, bahwa beberapa 

kekalahan yang kita derita di dalam revolusi kita ini, sebabnya 

antara lain ialah oleh sebab  wanita kita belum mutlak ikut 

serta di dalam revolusi kita itu? 

 

Apa sebab fase pertama dibandingkan  revolusi kita di Kalimantan 

belum berhasil memuaskan? Mungkinkah sebab  wanita 

Kalimantan belum aktif seluruhnya? Apa sebab di Sulawesi 

pula fase pertama itu tidak jaya? Dan di Kepulauan Sunda 

Kecil? Dan tidakkah kita di Jawa dan Sumatera pula 

menderita beberapa kekalahan? Lagi-lagi saya ingat kepada 

ucapan Gandhi yang telah saya sitir tadi itu: “Banyak sekali 

pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh 

sebab  keadaan kaum wanita kita”, dan lagi-lagi pula saya 

ingat pernyataan Lenin yang dengan tegas menyatakan bahwa 

“Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak 

mungkin kita capai”! 

 

284 

 

Ah, teringatlah saya lagi kepada mata wanita di belakang tabir 

dulu itu! Berapa laksa atau keti, mungkin berapa milyun 

wanita negara kita , terutama sekali di luar pulau Jawa, masih 

hidup secara begitu! Dapatkah kita berjoang sehebat-

hebatnya, membangun sehebat-hebatnya, dengan warga  

yang berisi milyunan wanita yang begitu itu? Dan di pulau 

Jawa sendiri, ya, pingitan sudah jauh berkurang atau hampir 

habis sama sekali, -namun  berapa prosenkah sudah ikut 

berjoang secara mutlak, dan dari itu lagi berapa prosenkah 

berjoangnya dengan penuh faham-kesadaran? 

 

Banyak golongan-golongan yang harus kita sadarkan dan 

harus kita kerahkan, banyak lapisan yang harus kita 

dinamisir. Pemuda, buruh, tani, pegawai, pedagang, alim-

ulama, semuanya kita tarik ke dalam kancah, sekarang 

marilah kita dengan lebih banyak energi lagi mendinamisir 

pula kaum wanita,  di seluruh negara kita . Kita, -artinya 

pemimpin-pemimpin wanita dan pemimpin laki-laki pula! 

 

Sebab, terhadap kepada soal wanita ini, -soal wanita dalam 

segala seluk-beluknya-, sebenarnya pihak laki-laki masih 

harus rnengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara 

yang sehebat-hebatnya. Dalam, ya amat dalam dilihatnya 

orang laki-laki, sekali pun laki-laki yang mulutnya selalu 

mengkernak-kernikkan “persamaan hak antara laki-laki dan 

wanita ” atau yang selalu mendengung-dengungkan 

“sosialisme” – sama rasa sama rata”, seringkali masihlah ber-

semayam Sang Hantu “Aku Laki-laki, Tuannya wanita”, Sang 

Hantu “wanita blasteran dewi dan si tolol”! 

 

Sampai di kalangan-kalangan sosialis-sosialis kiri, malahan di 

kalangan-kalangan komunis, penyakit “patriarchat” ini belum 

juga sembuh. Bacalah sekali lagi misalnya keluhan Emilia 

Marabini yang saya sitir di muka itu. Atau bacalah ucapan 

Lenin di bawah ini: 

 

“Perjoangan komunistis kita di antara kaum wanita, 

perjoangan politik kita di antara mereka itu harus berisi pula 

satu bagian besar perjoangan mendidik kaum laki-laki. Kita 

harus mencabut jiwa ‘Tuan’ itu sampai ke akar-akarnya habis-

285 

 

habisan. Mencabut, di kalangan partai dan di kalangan 

massa.”  

 

Saya bukan orang komunis. namun  maksud ucapan Lenin 

yang mengemukakan perlunya pendidikan kepada kaum laki-

laki atau pendidikan diri-sendiri oleh kaum laki-laki itu, saya 

setujui sama sekali. Memang, hantu kecongkakan patriarchat 

belum mati sama sekali. Umumnya kaum laki-laki (obyektif) 

masih produknya periode “pemerintahan kaum lelaki”. namun  

sekali pun umpamanya tidak untuk membela pendirian 

“wanita  sederajat dengan laki-laki”, atau “wanita  

sama rata dengan laki-laki” -bangkitkanlah wanita itu ikut 

serta mutlak sehebat-hebatnya dalam revolusi kita ini guna 

kepesatan revolusi itu. Buatlah wanita itu di Jawa dan lebih-

lebih lagi di kepulauan negara kita  yang lain di mana keadaan 

wanita masih begitu amat terbelakang, benar-benar menjadi 

roda perjoangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi 

sayap garuda nasional kita yang satu lagi. Jika wanita tiada 

mutlak ikut serta, kereta kita terdampar di tanah, garuda 

nasional kita terpaku di bumi. Belajarlah mengerti, bahwa soal 

wanita yaitu  soal kita yang teramat penting. Belajarlah 

menilaikan wanita itu sebagai elemen mutlak dalam 

perjoangan kita. 

 

Dengan sengaja saya beri kepada kitab saya ini dua motto 

ucapan Gandhi dan ucapan Lenin tentang wanita, dan saya 

cantumkan dua motto itu di kaca yang paling depan, dan di 

bawah ini buat keempat kalinya lagi, untuk menonjolkan 

harga wanita itu dalam perjoangan. Perhatikanlah isi 

peringatan itu benar-benar. 

 

-“Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di 

tengah jalan, oleh sebab  keadaan kaum wanita kita” -

Gandhi. 

 

-“Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak 

mungkin kita capai” - Lenin 

 

Dan kamu, kaum wanita negara kita , -akhirnya nasibmu yaitu  

di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada 

kaum laki-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka 

286 

 

tentang hargamu dalam perjoangan, namun  kamu sendiri harus 

menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam 

perjoangan. Dan di dalam perjoangan yang garis-garis 

besarnya telah saya guratkan di muka tadi itu, bantu-

membantu mutlak antara laki-laki dan wanita  harus 

diselenggarakan benar-benar. Perkataan saya bahwa syarat 

mutlak bagi kemenangan Revolusi Nasional ialah Persatuan 

Nasional, sudah barang tentu juga mengenai perhubungan 

wanita dan laki-laki. Janganlah di dalam Revolusi Nasional ini 

wanita misalnya terlalu meletakkan titik berat kepada 

mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan 

tuntutan-tuntutannya perjoangan membela kemerdekaan 

Negara dan kemerdekaan Bangsa. Sebaliknya, adakanlah 

penggabungan tenaga antara wanita  dan laki-laki yang 

sehebat-hebatnya, adakanlah perjoangan nasional yang 

sebulat-bulatnya. Laki-laki dan wanita  bersama kesatu 

tujuan, -tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer. Feminis 

atau sosialis, jikalau golongan-golongan itu ada-, janganlah 

menentang satu sama lain, namun  berjoanglah bahu-membahu 

serapat-rapatnya membela kemerdekaan nasional. Semua, 

semua tenaga harus diarahkan kesatu arah, kesatu tujuan 

revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan 

Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita  dan yang 

merdeka sepenuh-penuhnya. 

 

Saya tahu, seribu satu soal-soal cabang dibandingkan  soal wanita 

ini harus kita pecahkan. Saya sendiri telah seringkali ber-

musyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita negara kita , 

dan selamanya banyaklah soal-soal cabang yang menjadi 

acara permusyawaratan itu. Demikian pula   sering sekali saya 

menerima keluhan-keluhan dari kalangan wanita, yang 

mengemukakan keluhan bermacam-macam ragam. Misalnya 

soal bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit 

kompleks inferieur yang telah turun-temurun bersarang dalam 

jiwa mereka, soal bagaimana mendinamiskan jiwa wanita itu, 

soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka 

pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal 

kesehatan dan kebidanan, soal mengeficientkan rumah 

tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit tentara 

sekarang, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam 

teorinya telah diakui yuridis politis dalam undang-undang 

287 

 

dasar Republik, soal hal wanita di daerah-daerah pendudukan 

Belanda, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa 

dan wanita di pulau-pulau lain, dan lain-lain soal seribu satu 

lagi yang penting-penting, namun  juga sampai yang setetek-

bengek-setetek-bengeknya pun, -soal-soal cabang yang 

demikian itu sudah sering saya hadapi. Soal-soal itu ada yang 

mirip-mirip “tingkat kesatu”, ada yang nyata-nyata soalnya 

“tingkat kedua”, dan ada yang mengenai “retak” yang di muka 

tadi berulang-ulang telah saya bicarakan berhubung dengan 

“tingkat ketiga” dibandingkan  perjoangan wanita itu. 

 

Itu sama sekali tergantung dari sifatnya kalangan yang 

mengemukakan soal itu. Memang warga  kita terdiri dari 

kalangan-kalangan yang obeyektif masih hidup di atas salah 

satu dibandingkan  tiga “tingkat” itu: Ada golongan atasan, ada 

golongan buruh dan tani, ada golongan yang terkungkung oleh 

faham-faham agama yang masih kolot. namun  di dalam 

permusyawaratan-permusyawaratan yang demikian itu, saya 

selalu hanya memberi petunjuk garis-garis besar saja, dan 

selalu saya peringatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat 

diselesaikan oleh wanita sendiri. Terutama sekali di dalam 

prakteknya pemecahan soal-soal cabang, soal-soal ranting, -

siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak 

memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak 

beraksi, tidak pula mencari jalan?   

 

Saya sefaham dengan Vivekananda yang selalu, jikalau 

ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan 

wanita (soal-soal yang tidak prinsipiil) lantas menjawab: 

“Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu 

menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku? ... Engkau 

itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal 

wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau 

menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap wanita ? Hands 

off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!”  

 

Ya, wanita sendiri harus bertindak, wanita sendiri harus 

berjoang! namun  ini tidak berarti, bahwa wanita harus 

berusaha terpisah sama sekali dari fihak laki-laki. Tidak, 

untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda 

hebat dalam Revolusi Nasional; wanita di dalam Revolusi kita 

288 

 

ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus 

bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, 

jangan bersaing-saingan! Jangan ada yang memeluk tangan! 

Di dalam Revolusi Nasional kita ini semua golongan harus 

didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan ke satu 

tujuan pula, -jangan ada dua golongan, walau yang sekecil-

kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh sebab  

itulah, maka sejak dari tahun 1928 saya menganjurkan 

kepada wanita negara kita  untuk memborong ketiga-tiga ke 

tingkatan itu di dalam satu gelombang yang maha sakti, 

memborong tingkat kesatu + tingkat kedua + tingkat 

ketiga itu (yang di dalam warga  kita obyektif tentu 

ada) di dalam satu sintese program perjoangan wanita, 

yang bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki) 

betul-betul menggegap-gempitakan tenaga nasional. Dan 

sekarang di dalam Revolusi Nasional kita ini, lebih-lebih lagi 

saya mendengungkan kepada wanita negara kita , supaya 

pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintese-program 

yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, 

membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita negara kita  

dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat 

dibandingkan  Revolusi Nasional kita ini, -Revolusi Nasional 

Totaliter-, dengan isi-isi sebagai yang saya uraikan panjang-

lebar di muka tadi. 

 

Jikalau umpamanya di negara kita  ini ada bermacam-macam 

perserikatan-perserikatan wanita atau partai-partai wanita, -

entah dari tingkat kesatukah, atau feminiskah, atau neo-

feminis-kah, atau sosialiskah, - jadikanlah perserikatan-

perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin 

berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang 

maha besar yang di bawah panji-panjinya sintese program itu 

menggelombang ke satu arah, ke arah benteng penjajahan, 

yang harus diremuk-redamkan bersama-sama, dihantam 

hancur-lebur bersama-sama. Buatlah Revolusi negara kita  ini 

betul-betul Revolusi Nasional, Revolusi Nasional yang 

Totaliter! 

 

Revolusi Nasional yang Totaliter, dengari isi-isi sebagai yang 

saya uraikan itu, sebagai pembuka pintu kepada warga  

 

 

sosialisme, -satu-satunya warga  yang dapat memberi  

kebahagiaan kepada wanita! 

 

Apakah ini berarti satu anjuran tersembunyi kepada wanita 

negara kita , supaya menjadi anggota dibandingkan  mitsalnya “Partai 

Sosialis?” Sama sekali tidak! Saya mengharap wanita 

bergerak, namun  saya bukan propagandis sesuatu partai. Saya 

tidak mengutamakan sesuatu partai. Faham sosialisme saya 

kemukakan di dalam kitab ini di dalam artinya yang umum, 

tidak berhubungan dengan anggapan atau program atau 

organisasi sesuatu partai. Cita-cita sosialisme memang bukan 

monopolinya sesuatu partai, bukan milik sendirinya sesuatu 

golongan manapun juga. Lama sebelum partai-partai yang 

sekarang ini berdiri, lama sebelum Revolusi kita ini berjalan, 

ya, lama sebelum perang Pasifik pecah yang memungkinkan 

Revolusi kita itu meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi 

dadanya banyak kaum pergerakan negara kita  yang sadar, -

sudah mewahyui nasionalisme kita menjadi sosio-

nasionalisme dan demokrasi kita menjadi sosio-demokrasi. 

 

Ya benar, saya memakai perkataan “sosialisme”, -namun  

pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya 

sama, yakni satu warga  yang berkesejahteraan sosia1 

dan berkeadilan sosial. Yang di dalamnya tiada eksploatasi 

manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia oleh 

negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada 

perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara, 

sebab  memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang 

menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen sebab  

siksaan penyakit “retak” yang membingungkan menggilakan 

kepadanya. Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh 

sebab  perkataan sosialisme telah lazim, oleh sebab  saya tak 

dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh 

sebab  dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca 

dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosia-lisme dan 

gerakan wanita sosialis di buku-buku lain, -bukan oleh sebab  

saya hendak mengutamakan sesuatu partai. Saya hanya 

mengharap, bahkan membangkitkan segenap jiwa-ragaku 

dalam usaha, supaya seluruh rakyat negara kita  laki-laki 

wanita , tua-muda, berjoang, berjoang, berjoang dan sekali 

lagi berjoang, -aktif dan dinamis-, di dalam perjoangan 


 

nasional bersama dengan isi-isi tujuan ke arah sosialisme itu, 

tidak perduli di dalam partai manapun juga atau gerakan 

manapun juga. Saya mengutamakan keaktifan dan isi 

keaktifan itu, tidak mengutamakan nama-nama dan 

formalitas! 

 

Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi 

Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme, 

namun  saya cinta pula kepada sosialisme oleh sebab  fikiran 

saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam warga  

sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat. Saya 

mengajak segenap wanita negara kita  dan segenap rakyat 

negara kita  mencintai dan mengejar sosialisme itu (via Revolusi 

Nasional) oleh sebab  fikiran saya berkata, bahwa hanya 

dalam sosialisme lah wanita negara kita  dan rakyat negara kita  

dapat kebahagiaan, bahkan seluruh wanita sedunia dan 

seluruh kemanusiaan sedunia pula. Memang kebahagiaan 

kemanusiaan sedunia itulah tujuan sosial kita yang terakhir, 

idam-idaman sosial kita yang terakhir! 

 

Dan ... entah ini dimengerti orang atau tidak ... saya mencintai 

sosialisme, oleh sebab  saya ber-Tuhan dan menyembah 

kepada Tuhan. Saya mencintai sosialisme, oleh sebab  saya 

cinta kepada Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjoang 

untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah 

kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di 

dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita 

sukmaku aku ini sama sekali theis: Sama sekali percapa 

kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan. 

namun  untuk menerangkan hal ini, bukanlah tempatnya di 

dalam kitab ini. 

 

Saja menulis kitab ini melulu buat mengupas soal wanita dan 

membicarakan kewajiban wanita dalam perjoangan Republik 

negara kita . Buat mencoba mencetuskan api idam-idaman 

jiwaku kepada segenap wanita negara kita , yang jika tiada 

mereka tak mungkin kita mencapai kemenangan sosial. Wahai 

wanita negara kita , buat engkaulah kitabku ini, buat engkaulah 

aku menggoyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin 

sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah, 

bangkitlah, berjoanglah menurut petunjuk-petunjuk yang 


 

kuberikan itu! Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya, 

sebab sebagai tadi pun telah kukatakan, tiada orang lain 

dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri! 

 

Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap 

kuman inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan 

perjoangan ringan, perjoanganmu yaitu  perjoangan raksasa. 

Memang tujuan yang kugambarkan di kitab ini bukan tujuan 

yang kecil, namun  tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar 

dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada 

mengatasi kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan 

pengorbanan-pengorbanan. 

 

August Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut 

namanya di muka tadi, mengunci bukunya “Die Frau und der 

Sozialismus” dengan kata-kata: “Juga di atas pundak 

wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam 

perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan 

mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus 

membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat 

mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa 

depan yang lebih baik itu, - bahwa mereka telah bertetap hati 

ikut serta dalam perjoangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban, 

membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka 

yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta 

mereka dalam perjoangan. 

 

Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah, 

dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak 

ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, 

tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang 

dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-

menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang 

bagaimana kerasnya pun juga. Dan tetesan-tetesan air 

menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah 

sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai 

benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk 

menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula 

keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan; 

selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita 


 

bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir 

pasti nanti datang. 

 

Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua 

orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara 

yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita 

masih akan melihat permulaannya periode kebudayaan yang 

lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami 

permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan 

semacam itu tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak 

boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah 

kita injak. 

 

Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-

mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, 

sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa 

dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, namun  

harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita 

lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan 

sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak 

memperdulikan soal “di mana” atau “kapan” batu-batu 

tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan 

dipasang. 

 

Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka 

turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan 

demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah 

memenuhi kewajiban kita sebagai manusia, dan dengan 

keyakinan, bahwa tujuan kita pasti tercapai, bagaimanapun 

juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya 

tujuan itu!”  

 

Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada 

kamu, wanita-wanita negara kita . Malah saya tambah lagi: 

bandingkanlah zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang 

ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-

undang Sosialis sekalipun, masih bernama aman jika 

dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita, kita 

sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang sepuluh, 

seratus kali lebih gegap-gempita dibandingkan  zamannya Bebel itu. 

Kita sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya, 

 

 

meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur di 

angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, 

kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan 

api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, -segenap 

tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk 

mempertahankan Republik kita yang diserang itu. Sungguh 

seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan 

dengan keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala 

Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh 

ketinggalan, - betapa pula dengan kita sekarang ini? 

Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan, 

namun  juga segala isi alam ini, yang berupa apapun, harus kita 

gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan untuk membela Negara 

yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania yaitu  

dulu itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang 

Sosialis, namun  di sini perjoangan yaitu  perjoangan membela 

hidup terhadap serangan kontra-revolusi yang sedang 

memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang 

mengamuk, membinasa, membunuh, membakar! Tidak 

seorang pun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang 

semacam itu! 

 

Wanita negara kita , kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah 

serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan 

nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam 

usaha menyusun Negara Nasional. 

 

Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal 

sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam 

usaha menyusun warga  keadilan sosial dan 

kesejahteraan-sosial. 

 

Di dalam warga  keadilan sosial dan kesejahteraan sosial 

itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang 

Merdeka! 

 

***