presiden soekarno 11
mendurhakai sosialisme!
namun Alhamdulillah, tidak semua “sosialis” yaitu
pendurhaka sosialisme, tidak semua kaum “progresif” yaitu
iblis berpakaian dewa. Perjoangan kita dengan senjata Negara
itu dibenarkan, diberi simpati, dibantu, dibela oleh golongan-
golongan yang benar-benar progresif di seluruh dunia. Di
Australia mereka membela, di Rusia dan di Eropa Timur, di
seluruh Asia, di banyak tempat di Amerika dan Eropa Barat, -
ya, di negeri Belanda sendiri pun ada golongan-golongan
sosialis (bukan dari Partij van den Arbeid!) yang membela kita.
Apa sebab golongan-golongan ini membela kita? Mereka yakin
261
akan kebenaran ajaran Marx yang berbunyi: “Een volk dat
een ander volk onderdrukt, kan niet vrij zijn”. “Satu
rakyat yang menindas rakyat lain, tak mungkin merdeka”.
Sekali lagi, Insya Allah, dengan senjata Negara kita, dengan
mengerahkan rakyat secara totaliter, dengan bantuan dari
luar, -kita akan menang. Kita akan menang dalam
mempertahankan Negara Republik negara kita ini terhadap
kepada baja dan dinamitnya peperangan kolonial. Dan kita
akan menang pula lalu , dalam perjoangan mendirikan
Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita . Kita di situ
pun akan menang, oleh sebab obyektif kita pasti menang:
Negara Nasional negara kita yaitu satu keharusan sejarah,
satu kemustian dalam evolusi warga , satu keharusan
sosial-historis.
Oleh sebab itulah kita obyektif harus menetapi tugas
kewajiban tingkatan Revolusi kita sekarang ini, kita obyektif
harus kenali dan penuhi “tugas bersejarah” Tingkatan
Revolusi kita sekarang ini: Tingkatan Nasional, sebab
memang masih dalam periode Nasional, dengan tugas
kewajiban Revolusi Nasional, yaitu mendirikan Negara
Nasional. Dan oleh sebab masih dalam tingkatan Nasional,
maka penunaian tugas-kewajiban Revolusi itupun obyektif
harus dan dapat dikerjakan oleh segenap rakyat negara kita
yang 70.000.000, dari segenap golongan dan segenap lapisan,
dari segenap kepercayaan dan segenap agama, dalam
persatuan yang seerat-eratnya dan sehebat-hebatnya.
“Obyektif kita pasti menang, Apakah ini berarti, bahwa dus
dengan sendirinya kita pasti menang? Tiada kemenangan
dengan tiada perjoangan! Tiada kemenangan dengan tiada
kemauan subyektif dari manusia, untuk mencapai
kemanangan itu! Segenap semangat kita harus dikobar-
kobarkan, segenap kesediaan kita untuk membanting tulang
dan bermandi keringat harus dijelmakan, segenap keuletan
kita dalam perjoangan harus diamalkan, segenap kerelaan kita
untuk berkorban, berkorban, berkorban, dan sekali lagi
berkorban, harus diwujudkan, -di atas dasar-dasar obyektif
itu- untuk mencapai kemenangan itu. Kemenangan tidak
akan tercapai jikalau manusia tidak mau mencapai
262
kemenangan itu, dan kemenangan pasti tercapai jikalau
anasir-anasir obyektif memungkinkan kemenangan itu, dan
manusia mau mencapai kemenangan itu.
“Pada akhirnya, manusialah yang menentukan”.
Demikianlah kalimat yang dituliskan oleh Fritz Sternberg
sebagai kalimat pengunci dibandingkan bukunya tentang Nazi
Jermania yang bernama “Hoe lang kan Hitler oorlog voeren?”
Di dalam buku itu ia buktikan, bahwa obyektif kapitalisme
pasti akan mati, facisme pasti akan runtuh, rakyat jelata
pasti akan menang, namun ia pun memperingatkan, bahwa
pada akhirnya manusialah yang menentukan. Jikalau
“manusia” rakyat jelata ini tidak berbuat, -tidak berdiri, tidak
membangun, tidak berjoang, tidak melawan, tidak
berkorban-, maka ... ya ... maka ...(Sternberg tidak sebutkan
ini) ... maka kapitalisme dan fascisme mungkin masih lama
akan berdiri, - atau ... maka dunia akan jatuh di dalam chaos
(kekacauan) yang sekalut-kalutnya dan segelap-gelapnya,
chaos yang “peteng dedet lilimengan”, Entah berapa puluh
tahun lamanya atau berapa windu atau abad lamanya pula.
Kapitalisme dan fascisme pasti akan runtuh, -itu bukan soal
lagi-, pasti akan runtuh, oleh sebab terobek-robek oleh
pertentangan-pertentangan dalam tubuh dan batin sendiri,
namun apakah yang akan berkembang di atas runtuhan-
runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu, bilamana tidak
dari tadinya ada rakyat jelata sebagai “manusia” yang
bertindak meruntuhkan kapitalisme dan fascisme itu, dan
cukup kekuatan dan keuletan pula untuk mencipta,
membangun, menyusun dunia baru di atas runtuhan-
runtuhannya kapitalisme dan fascisme itu?
Karl Marx sendiri di dalam salah satu tulisannya menyata-kan
dengan tegas, bahwa runtuhnya kapitalisme itu tidak otomatis
berarti berdirinya sosialisme. Sosialisme hanyalah berdiri
jikalau didirikan. Jikalau tidak ada tenaga-tenaga yang
mendirikan sosialisme itu, maka runtuhnya kapitalisme yang
tidak boleh tidak pasti akan terjadi itu, (historisch
noodwendig), niscayalah akan diikuti oleh chaos yang tiada
hingganya dan tiada taranya berpuluh-puluh tahun!
263
Memang banyak orang yang mengira bahwa perkataan
“keharusan sosial historis” mengandung arti, bahwa (pada
suatu tingkatan evolusi) kapitalisme pasti dengan sendirinya
diganti oleh sosialisme. Padahal sebagai dinyatakan oleh Marx
tadi tidak demikian! Kapitalisme (pada suatu tingkatan
evolusi) pasti diganti oleh sosialisme, bilamana rakyat jelata
bertindak untuk menggantinya dengan sosialisme. Yang
“pasti” itu hanyalah adanya anasir-anasir obyektif pada suatu
tingkatan evolusi: anasir-anasir obyektif guna runtuhnya
kapitalisme, anasir-anasir obyektif guna berdirinya sosialisme.
Maka demikian pulalah keadaan kita sekarang ini: Anasir-
anasir obyektif untuk pasti menangnya Revolusi Nasional kita
telah ada semuanya, telah tersedia semuanya, sebagai yang
saya terangkan di muka tadi. Maka berdirilah, hai kawan-
kawan semua, di atas anasir-anasir obyektif itu, janganlah
menyimpang sedikit pun dibandingkan anasir-anasir obyektif itu,
namun janganlah pula kurang hebat memobilisir anasir-anasir
subyektif yang ada pada kita. Perhebatlah semangat,
bulatkanlah tekad sekeras baja, berkorbanlah seikhlas-
ikhlasnya, bantinglah tulang dan peraslah keringat,
berjoanglah sehebat-hebatnya sehingga gemuruhnya
perjoanganmu itu terdengar di lima benua dan di tujuh
samudera, -berjoanglah massal semassal-massalnya dengan
semangat Persatuan Bangsa yang sehidup-hidupnya. Jangan
memprovosir pertentangan kelas di dalam fase sekarang ini,
jangan curiga-mencurigai satu sama lain, jangan terpecah-
belah satu sama lain, bersatulah, rukunlah, isi mengisilah
satu sama lain, kuat perkuatkanlah satu sama lain! Jangan
memeluk tangan! Perkawinkanlah anasir-anasir obyektif itu
dengan anasir-anasir subyektif secara sedinamis-dinamisnya
dan sehebat-hebatnya, buatlah dua pool itu selalu
mengelektris satu sama lain sedahsyat-dahsyatnya, -
gelorakanlah dinamik Amal Nasional!
Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Henriette Roland Holst
(meski beliau sekarang sudah banyak sekali luntur) di dalam
bukunya yang terakhir “Een overgang tot het Socialisme”
(1945): “Ya, het kapitalisme is dood, althans in Europa,
evengoed dood als het Tzaristisch-theocratische Rusland dit
was in 1927. Het zal niet weder opstaan. Maar wat in zijn
264
plaats komen zal, dat moog in de sterren geschreven of,
theologisch uitgedrukt, door Gods ondoorgrondelijk
raadsbesluit van eeuwigheid af vastgesteld zijn. Een zachte
stem in ons binnenste zegt met een accent van absolute
overtuiging: “Het mensenlot is in mensenhand gegeven”, en
wij voelen dat zij waarheid spreekt. De groei naar het
socialisme voltrekt zich met noodzakelijk als de groei van een
dier of een plant. Die groei vereist helder inzicht in de taken en
de middelen tot verwezen-lijking, vaste wil en wijsheid,
zelfbeheersing en zelfver-loochening ... Zich allerlei
opofferingen getroosten terwille van de algemene zaak; met
zorgvuldige hand uitgaan tot zaaien, wetend, dat anderen
zullen oogsten; daar komt het op aan. Wij zeggen niet als de
Russische bolsjewisten: “Wij zijn mest op de velden der
toekomst”. O neen, menselijke wezens zijn Dimmer enkel mest.
Wij willen de dragers der toekomst zijn, de stenen aandragen
tot haar bouw, haar fundamenten leggen. Wij zijn akkers, ook
in ons ontkiemt het zaad!”. Artinya: “Ya, kapitalisme memang
telah mati, setidak-tidaknya di Eropa, sama matinya dengan
Rusia Tzaristis teokratis di tahun 1927. Ia tak akan bangun
kembali. namun apa yang akan menggantinya, itu boleh jadi
telah tertulis di bintang-bintang atau telah ditetapkan di
dalam Luh Mahfudz. Satu suara kecil dalam jiwa kita berkata
dengan keyakinan yang pasti: “Nasib manusia terletak dalam
tangan manusia sendiri”, dan kita merasa, bahwa suara itu
benar. Pertumbuhan ke arah sosialisme tidak berlaku seperti
pertumbuhannya binatang atau tanaman. Pertumbuhan ke
arah sosialisme itu meminta pengetahuan yang terang tentang
ujud-ujudnya dan cara-cara melaksanakannya, kemauan yang
keras dan kebijaksanaan, pengekangan diri dan peniadaan diri
... Keridlaan berkorban untuk keperluan umum; dengan
cermat menyebar benih, meski mengetahui, bahwa orang
lainlah yang akan memetik buah; -itulah yang perlu. Kita tidak
berkata seperti kaum bolshevik Rusia “Kita ini pupuk tahi sapi
saja di ladang-ladangnya hari lalu ”. O tidak, makhluk
manusia bukan hanya pupuk tahi sapi belaka! Kita mau
menjadi pemikul-pemikul hari lalu , membawakan batu-
batu yang perlu untuk membinanya, memasang alas-alasnya.
Kita yaitu ladang, di dalam pangkuan kita juga bersemi
benih!”
265
Alangkah bagusnya kata-kata penyair ini: Menselijke wezens
zijn nimmer enkelmest! Wij zijn akkers, ook in ons
ontkiemt het zaad! -Manusia bukan hanya pupuk tahi-sapi
belaka! Kita yaitu ladang, di dalam pangkuan kita juga
bersemi benih! Kita tidak harus sekedar menunggu. Kita
harus bertindak, berjoang, membangun, membina!
Sekali lagi, kemenangan pasti di pihak kita, asal kita berjoang
sehebat-hebatnya, dan asal kita berdiri tepat di atas kewajiban
obyektif dibandingkan tingkatan evolusi sekarang: Tugas kewajiban
Nasional, yaitu mendirikan Negara Nasional, sebab masih
dalam tingkatan dan periode Nasional. Apakah ini berarti,
bahwa kita dus sama sekali tidak boleh berangan-angan
sosialisme? Tidak boleh menyebar-nyebarkan cita-cita
sosialisme? Tidak boleh berideologi anti kapitalisme?
Tidak boleh dari sekarang juga bekerja dan berjoang untuk
terlaksananya cita-cita sosialisme?
Sama sekali tidak! Alangkah piciknya orang yang menyangka
begitu! Kalau semua hal yang ditanyakan itu tidak boleh, -
buat apa saya menulis ini buku? Buat apa saya sendiri
Marhaenis? Buat apa saya dengan susah-payah menjelas-
jelaskan kepada kaum wanita, bahwa hanya di dalam
warga sosialismelah mereka dapat menjumpai
kemerdekaan dan kebahagiaan yang sempurna? Buat apa kita
telah dari sekarang berikhtiar supaya Negara kita itu satu
“jembatan” antara Negara burgerlijk dan Negara sosialis? Buat
apa kita dari sekarang telah mengucapkan perkataan
“kesejahteraan sosial”?
Justru oleh sebab saya bercita-cita sosialis, maka saya
menulis ini buku. Justru oleh sebab kita mengidam-idamkan
warga sosialis, maka kita harus mengetahui bagaimana
caranya kita dapat sampai di warga sosialis itu. Justru
oleh sebab kita ingin menuju kepada warga sosialis,
maka kita harus dari sekarang berfikir dan bertindak dengan
tuntunan teori sosialis itu. Sosialisme bukan saja satu sistim
warga , sosialisme yaitu pula satu teori, satu ilmu, satu
tuntunan-perjoangan, satu cara berfikir, satu denk methode.
Teori sosialismelah yang membawa kita kepada pengertian
266
tentang keadaan-keadaan obyektif di dalam warga
negara kita sekarang dan warga dunia. Teori sosialismelah
yang memberi pengetahuan kepada kita bahwa tingkatan
Revolusi kita sekarang tak mungkin lain dibandingkan tingkatan
Nasional. Teori sosialismelah, dan bukan teori borjuis, yang
menunjukkan, bahwa bagi kita sekarang belum datang
kemungkinan untuk melaksanakan sosialisme.
Itulah “jasa” teori sosialisme kepada kita. Apa sebab kita
sekarang nasionalis? Justru sebab sosialisme itulah, maka
kita sekarang nasionalis, dan nasionalisme kita itu terangkat
naik ke tingkatan yang bernama sosio-nasionalisme. Justru
sebab sosialisme itulah, maka kita menjalankan perjoangan
kita itu secara yang sekarang ini; memusatkan,
membulatkan, mengkonsentrasikan segenap tenaga rakyat
kepada perjoangan Nasional, menghantamkan segenap tenaga
perjoangan dibandingkan segenap rakyat itu kepada benteng
kolonialisme asing untuk memerdekakan negara kita dari
penjajahan, -mempraktekkan satu Persatuan Nasional
Revolusioner untuk mendirikan satu Negara Nasional, yang di
dalamnya bukan saja berkembang sesegar-segarnya satu
Demokrasi yang Sosio-Demokrasi, namun pula terbangun
syarat-syarat tehnis minimum untuk nanti menelorkan satu
pergaulan hidup yang sosialistis.
Semua itu berkat “jasa” teori sosialisme, sesuai dengan
kebenaran bahwa “tiada gerakan revolusioner dengan tiada
teori revolusioner”!
sebab itu, sekali lagi saya katakan: piciklah orang yang
mengatakan, bahwa sebab tingkatan sekarang tingkatan
Nasional, orang dus tak boleh berfikir dan berjoang
“sosialistis”. Picik! Sebab perjoangan untuk mendirikan Negara
Nasional dengan isi-isi sebagai yang saya terangkan di
muka, yaitu berarti perjoangan untuk tercapainya
sosialisme. Nasionalis negara kita yang sosio-nasionalistis di
dalam fikirannya dan di dalam segenap tindakan-tindakannya,
yaitu sosialis di dalam arti yang sesehat-sehatnya. namun
sebaliknya “sosialis” negara kita yang dari sekarang telah
nabyak-nabyak hendak “mengadakan” revolusi sosial, dia
yaitu “sosialis” pengrusak Revolusi!
267
Sungguh, berangan-angan sosialisme yaitu perlu. namun
tidak kurang perlu pula yaitu berilmu sosialisme. Siapa yang
berangan-angan sosialisme, -di dalam dadanya dapat
bersarang satu idealisme yang hidup, satu idealisme yang
menyala-nyala, yang dapat mewahyui dia untuk bekerja habis-
habisan dengan tiada mengenal lelah, berjoang mati-matian
dengan berani menghadapi segala rintangan dan risiko,
berkorban seikhlas-ikhlasnya dengan tidak menghitung-
hitung untung rugi bagi dirinya sendiri. Ucapan Krishna
dalam Bagavad Gita kepada Arjuna, yang berbunyi:
“Kerjakanlah kewajibanmu dengan tiada menghitung-
hitung akan akibatnya bagimu”, -ucapan itu hanyalah dapat
menjadi semboyan hidupnya orang yang bercita-cita. Dan
oleh sebab nya, hanya orang yang bercita-citalah dapat
mengamalkan perbuatan-perbuatan yang Besar.
namun angan-angan itu janganlah angan-angan yang kosong.
Berapakah tidak, di dalam sejarah dunia ini, tenaga manusia
dan jiwa manusia terbuang tersia-sia sebagai sampah, sebab
mengejar cita-cita yang kosong? Sosialisme yang harus
menjadi angan-angan kita itu janganlah “sosialisme angan-
angan”, yaitu janganlah sosialisme utopis yang merindukan
bulan dan yang tak dapat dilaksanakan, namun haruslah
sosialisme penjelmaan evolusi warga yang sebenarnya.
Haruslah sosialisme yang berdasarkan anasir-anasir yang
bukan anasir-anasir pengalamunan, namun anasir-anasir yang
nyata, -sosialisme yang “obyektif”.
Sosialisme yang demikian itulah yang boleh! Yang boleh
diangan-angankan dari sekarang; yang boleh dicita-citakan
dari sekarang; dan yang boleh dipakai dari sekarang sebagai
pedoman perjoangan. Dengan memahami sosialisme yang
demikian itu (wetenschappelijk socialisme), kita dapat
mempelajari berapa jauhnya tingkat evolusi warga kita
pada waktu sekarang, menentukan sifat apa harusnya
Revolusi kita sekarang, menyusun strategi perjoangan kita
sekarang. Dengan dia kita dapat memimpin Revolusi kita ke
tingkatan yang lebih tinggi, menentukan arah yang harus
diambilnya, mempastikan kemenangan. Oleh sebab itu,
janganlah kita sekedar berangan-angan sosialisme, -meski
268
sosialisme yang “obyektif” sekalipun!- namun kita harus
memahami teori sosialisme, memahami cara berfikir
sosialisme, berilmu sosialisme. Berilmu sosialisme, agar
supaya tahu caranya berjoang mencapai sosialisme!
Terutama sekali para pemimpin, para penunjuk jalan, para
pemegang obor, harus memahami ilmu itu. Dapatkah orang
memimpin dengan baik, - menunjukkan jalan kepada rakyat,
mengkobar-kobarkan semangat rakyat, mengerahkan tenaga-
bekerja dan tenaga perjoangan rakyat, mencapai hasil yang
sebesar-besarnya dengan mengorbankan korban yang
sesedikit-sedikitnya-, bila orang tidak tahu jalan-jalan apa
yang harus dilalui, cara-cara apa yang harus dipakai, tujuan-
tujuan apa yang harus dituju? Dapatkah orang memimpin
dengan baik, bila tidak dengan tuntunan ilmu? Dapatkah
orang memimpin dengan baik, bila sendiri tidak tahu jalan?
Dan angan-angan sosialisme serta ilmu sosialisme itu tidak
hanya “baik” buat pemimpin saja, rakyat jelata pula (sedapat
mungkin) harus memahaminya. Berilah kursus sebanyak-
banyaknya dan sepopuler-populernya kepada rakyat jelata itu.
namun terutama sekali angan-angan sosialisme harus dinyala-
nyalakan di kalangan rakyat jelata itu, dikobar-kobarkan
dalam jiwa mereka, angan-angan sosialisme harus menjadi
Bintang Bimashaktinya perjoangan mereka. Mereka harus
insyaf akan arti mereka dalam perjoangan dan dalam proses
produksi sekarang dan proses produksi yang akan datang,
mereka harus mengerti, bahwa dunia sosialisme yaitu dunia
mereka, dan bahwa dus perjoangan Nasional sekarang ini
(yang menuju kepada sosialisme) harus buat sebagian besar
terpikul oleh semangat mereka, keringat mereka, korbanan
mereka, darah dan daging mereka.
lni berarti: Rakyat jelata harus dibuat sedar akan arti-
golongannya sendiri. Mereka harus dibuat zelf-bewust, -
harus dibuat self-conscious.
Mereka harus diinsyafkan harga kelasnya, -harus dibuat
class-conscious. Mereka harus diinsyafkan, bahwa hanya
dalam warga sosialismelah mereka dapat sejahtera,
namun juga, bahwa warga sosialisme itu tidak dapat
269
tercapai jika tidak dengan tenaga mereka. Mereka harus
mengerti, bahwa mereka lah soko-gurunya hari yang akan
datang. Mereka harus mengerti bahwa tingkatan Nasional ini
ialah tingkatan-mutlak ke arah Revolusi Sosialisme, -artinya,
bahwa mereka dalam tingkatan sekarang ini harus
mengutamakan “kenasionalan”- boleh berkesadaran kelas,
namun tidak boleh mengobarkan perjoangan kelas! -bekerja
bersama-sama dengan semua golongan dan lapisan yang
menghendaki kemerdekaan nasional, -namun juga jangan
diperdulikan oleh sesuatu golongan yang lain untuk
kepentingan golongan yang lain itu.
Mengetahui arti golongan sendiri dan tidak mau diper-
kudakan untuk kepentingan golongan lain, -itulah makna
perkataan sadar akan diri sendiri dan berkesadaran kelas.
Tidakkah “perkudaan” itu sering terjadi, terutama bila
perjoangan bersifat perjoangan “nasional”, dalam mana semua
golongan dan semua lapisan berjoang bahu-membahu? Dalam
perjoangan-perjoangan “nasional” itu sering sekali pada
zahirnya “seluruh bangsa” yang bergerak, namun pada
hakekatnya golongan borjuis atau golongan feodallah yang
“berjoang”, dengan memperkudakan rakyat jelata.
Hakekatnya perjoangan nasional Jerman yaitu demikian,
hakekatnya perjoangan nasional Jepang yaitu demikian. Dan
hakekatnya perjoangan nasional di negeri-negeri lain yaitu
demikian pula.
sebab itu, jagalah jangan sampai rakyat-jelata kita
diperkudakan orang: Buatlah rakyat-jelata kita sadar akan
diri sendiri!
Ini sungguh bukan satu kejahatan. Ini bukan mengadu-
dombakan golongan dengan golongan, ini bukan (dan jangan!)
menghidup-hidupkan perjoangan kelas. lni bukan memecah-
belah bangsa. Salahlah mengkobarkan perjoangan kelas di
dalam Revolusi Nasional! Saya selalu mengatakan, bahwa
semua golongan dan lapisan di dalam Revolusi Nasional ini
harus bekerja bersama-sama menyusun satu Persatuan
Nasional yang kuat, menghantam dan menggempur
imperialisme. Saya tetap berkata: bersatulah, bekerjalah
270
bersama-sama, bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh! namun
bekerja bersama-sama itu tidak berarti, bahwa satu
golongaan boleh memperkudakan golongan yang lain.
Membuat rakyat jelata sadar akan diri sendiri hanya berarti,
bahwa rakyat jelata harus diberi pengertian tentang tugas
bersejarah golongan rakyat jelata itu sendiri. Mereka, rakyat
jelata, yaitu basis sosial perjoangan kita. Hanya dengan
rakyat jelata yang sadar akan diri sendiri, kita dapat
memobilisir segenap tenaga-tenaga potensiil yang ada di
kalangan mereka. Hanya dengan rakyat jelata yang sadar akan
diri sendiri Revolusi kita dapat berjalan pesat, dapat bersifat
Revolusi yang progresif, yang menuju kepada tingkatan
sosial yang lebih tinggi. Hanya dengan rakyat jelata yang
sadar akan diri sendiri, Revolusi kita dapat bersifat Revolusi
yang revolusioner, dan bukan Revolusi yang dipengaruhi oleh
anasir-anasir kontra-revolusioner.
Alangkah sering ditakuti orang, perkataan “kesadaran diri” ini,
jika ditinjau dari sudut kenasionalan! Sering orang berkata:
”Jaga persatuan bangsa, jaga persatuan semua golongan, -
jangan massa dibuat sadar akan diri sendiri”. Atau: “Buatlah
masing-masing golongan melupakan kepentingan golongan
sendiri, hilangkanlah kesedaran golongan, buatlah semua
golongan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja!”.
Demikianlah sering sekali diucapkan orang. Terutama, sekali
golongan-golongan yang bukan golongan rakyat jelata sangat
fanatik mencintai “kebijaksanaan” semacam ini! Apa sebab?
Oleh sebab golongan-golongan itu sendiri memang “tidak
membuat dirinya sendiri berkesadaran diri”! Althans pada
zahirnya! Pada batinnya, sudah barang tentu mereka membela
kepentingan golongan sendiri, namun mereka (untuk
pembelaan kepentingan mereka itu) membutuhkan
bantuannya seluruh Bangsa, membutuhkan tenaganya dan
simpatinya semua golongan dalam lingkungan Bangsa. Oleh
sebab itu, maka mereka lantas pura-pura tidak sadar akan
diri sendiri, pura-pura tidak mementingkan golongan sendiri, -
dan mengharap supaya lain-lain golongan (terutama sekali
golongan rakyat jelata) sungguh-sungguh tidak sadar akan
diri sendiri, dan hanya ingat kepada kepentingan Bangsa saja.
Lama-kelamaan pun mereka sendiri lantas seperti sama
sekali “nasional”. Sama sekali “Pro Patria”! “Untuk tanah air”!
271
“Untuk Bangsa”! “Untuk Negara”! namun coba ancam
kepentingan mereka itu! Coba bahayakan kepentingan mereka
itu! Mereka akan membela kepentingan mereka itu mati-
matian, meski misalnya ternyata bahwa kepentingan Bangsa
menghendaki lain. Mereka akan merapatkan barisan di
golongan mereka sendiri, membuat front pertahanan yang
kuat, berteriak dari semua atap rumah bahwa “keselamatan
Bangsa” dalam bahaya.
Ya, merekalah yang anti kesadaran dirinya rakyat jelata.
namun saya harap semua orang yang menghendaki Revolusi
kita sekarang ini berjalan pesat dan progresif, mengerti bahwa
perlu sekali rakyat jelata kita dibuat sadar akan diri sendiri.
Dan, oleh sebab itu, saya harap kita pun mengerti perlunya
persatuan yang erat dengan rakyat jelata. Terjunlah di
kalangan rakyat, bergaul lah dengan mereka, didiklah mereka,
berjoanglah dengan mereka dan untuk mereka, -buatlah
rakyat jelata itu bergelora dalam semangatnya dan
tindakannya, buatlah Revolusi kita semassal-massalnya,
buatlah Rakyat jelata itu betul-betul basis sosialnya Revolusi.
Janganlah menjadi salon politikus! Lebih dari separoh
dibandingkan politisi kita yaitu salon politisi, yang mengenal
Marhaen hanya dari sebutan saja. Apakah orang mengira
dapat menyelesaikan Revolusi sekarang ini, meski
tingkatannya tingkatan Nasional sekalipun, tidak dengan
rakyat murba? Politikus yang demikian itu sama dengan
seorang jenderal tak bertentara. Kalau dia memberi komando,
dia seperti orang berteriak di padang pasir. namun betapakah
orang dapat menarik rakyat jelata, jika tidak terjun di
kalangan mereka, mendengarkan kehendak-kehendak mereka,
menyusun program ekonomi yang menarik mereka,
menyadarkan mereka akan diri mereka sendiri, membuat
Revolusi ini Revolusi mereka?
Terutama sekali program-ekonomi (buat sekarang dan buat
lalu ) yang menarik hati mereka, -itulah yang amat
penting. namun , untuk semua itu, perlulah bekerja di kalangan
massa. Dan bekerja di kalangan massa itu yaitu baik pula
buat si pemimpin sendiri: Di sana, di kalangan rakyat murba,
272
di sana, laksana intan yang tiap-tiap hari digosok oleh ribuan
pasir lembut, ia dapat membersihkan diri dari pengaruh-
pengaruh reaksioner, dapat makin lama makin menjadi “sosial
revolusioner”, dapat benar-benar menjadi penyala api
kancahnya Revolusi. Di sana ia dapat mengajar Massa dan
belajar dibandingkan massa. Tahukah kita, pemimpin-pemimpin
dan kaum intelek, penyakit kita yang paling sangat? Penyakit
kita yang paling sangat ialah, bahwa kita senantiasa gemar
mengajar kepada massa namun tidak pernah sudi belajar
dibandingkan massa! Penyakit yang demikian itu yaitu penyakit
yang paling buruk. Jikalau pemimpin tidak terjun di kalangan
massa, maka pimpinannya sering terlalu “teoretis”, dan
hampir selamanya terlalu “eenzijdig”. Pemimpin melihat segala
keadaan selalu “dari atas”, tidak pernah “dari bawah”. Massa
melihat segala keadaan “dari bawah”, tidak “dari atas”. Kedua-
duanya “eenzijdig”. namun jikalau pemimpin dan massa
bersatu, massa dan pemimpin isi mengisi satu sama lain,
maka segala hal lantas terlihat dari atas dan dari bawah, -
pengalaman pemimpin disempurnakan oleh pengalaman
massa, -Revolusi berjalan dengan baik dan pesat, Revolusi ...
revolusioner!
“Gerakkanlah Massa itu”! 1tu yaitu semboyan yang benar.
namun dapatkah orang menggerakkan Massa jika tidak
mengetahui kehendak-kehendak massa, dan dapatkah orang
mengetahui kehendak-kehendak massa, jika tidak bergaul
dengan mereka! Alexander Herzen pernah berkata, bahwa
kita hanya dapat menarik orang lain, apabila kita dapat
melihat keinginan orang lain itu lebih terang dibandingkan dia
sendiri. Maka untuk melihat keinginan massa lebih terang
dibandingkan massa sendiri, perlulah terjun di kalangan massa itu
dan bergaul dengan massa itu. Dan bilamana kita telah
mengetahui kehendak-kehendak massa itu lebih terang
dibandingkan mereka sendiri, baru bilamana demikian, kita dapat
mempengaruhi mereka, menarik mereka, membangkitkan
mereka berjoang, memenuhi semboyan yang saya katakan
benar itu tadi: “Gerakkanlah massa itu!”
Dan dalam pada menggerakkan massa itu, -dengan membuat
mereka sadar akan diri sendiri-, maka kita harus
menggabungkan tenaga massa itu dengan semua, sekali lagi
273
semua tenaga anti imperialisme yang ada di dalam pagar, dan
dengan semua tenaga anti imperialisme yang ada di luar
pagar. Nasional kita pelihara persatuan, internasional kita
pelihara pula persatuan. Nasional kita gabungkan tenaga
massa itu dengan tenaga kaum intelek negara kita , kaum alim-
ulama negara kita , dlsb. yang sama-sama anti imperialisme,
sama-sama menghendaki kemerdekaan negara kita , -
berkesadaran kelas, namun jangan mengobarkan perjoangan
kelas, kata saya tadi-, internasional kita hubungkan dengan
pergerakan-pergerakan buruh dan pergerakan-pergerakan
nasional di negeri-negeri lain.
Dan di atas lapangan internasional ini, kita tidak harus hanya
mencari bantuan dari luar, namun kalau dapat juga memberi
bantuan kepada luar. Sebab, sungguh pun pada hakekatnya
Revolusi kita telah berarti bantuan kepada Revolusi Umum
(Revolusi Dunia): anti imperialisme dan anti kapitalisme, -
sebab satu bagian dibandingkan nya-, maka tidak ternilai artinya
sesuatu bantuan yang nyata yang kita berikan kepada
sesuatu cabang perjoangan itu di dunia luaran. Rasa
persatuan perjoangan sedunia menjadi tebal oleh sebab nya,
rasa persatuan nasib menjadi lebih rill, rasa menghadapi
musuh yang sama menjadi lebih menjelma. Dan rasa
bertindak -aktif dan positif- menjadi lebih kuat. Hilangkanlah
negativisme yang hanya mengharap pertolongan dari luaran,
hilangkanlah jiwa lemah yang selalu menunggu-menunggu
dan menyambat-nyambat. Hilangkanlah segenap bencana jiwa
yang diwariskan oleh perbudakan kolonial beratus-ratus
tahun yang bernama inferioriteits complex. Jiwa kita menjadi
jiwa yang di dalam perjoangan bersifat ofensif, jiwa
menyerang, jiwa berani, jiwa memberi, jiwa positif yang tidak
menggantungkan nasib kepada orang lain.
namun “tidak menggantungkan nasib kepada orang lain” itu
tidak boleh berarti, bahwa kita tidak harus insyaf bahwa
perjoangan kemerdekaan kita yaitu bergandengan erat
dengan Revolusi Dunia. Tadi saya telah katakan, bahwa
perjoangan kita itu yaitu satu bagian dari Revolusi Dunia
itu. Kita sekarang harus mengatasi fase fikiran yang dahulu,
bahwa kita dapat menyelesaikan perjoangan kemerdekaan kita
itu tidak dengan hubungan dengan dunia. Tidakkah fikiran
274
yang demikian itulah salah satu kesalahan kita di periode
perjoangan yang lalu? Di muka telah saya katakan, bahwa
salahnya Partai Nasional negara kita yang saya pimpin dulu itu
ialah bahwa Partai Nasional negara kita itu terlalu
menjatuhkan titik berat kepada “percaya kepada kekuatan diri
sendiri”, kepada “self-help”, kepada “self-reliance”. Terlalu!
Sebab, ya benar, percaya kepada diri sendiri yaitu mutlak
perlu self-help dan self-reliance yaitu menguatkan dan
mempositifkan jiwa, namun jikalau titik berat terlalu
dijatuhkan di atasnya, maka menjadilah ia semacam politik
katak di bawah tempurung. Menjadilah ia semacam politik
“menyendiri”, semacam politik isolasionisme. Menjadilah ia
bibit chauvinisme, -bibit kecongkakan nasional. Dan
menjadilah ia satu siasat perjuangan yang salah, yang
merugikan, bahkan membahayakan kedudukan perjoangan
kita, sebab tidak sesuai dengan kenyataan obyektif:
persatuannya imperialisme internasional.
Terhadap kepada imperialisme yang bersambung-sambung
satu sama lain laksana rantai itu, kita dulu terlalu berjoang
secara “sendiri”. Padahal teranglah sudah, bahwa imperialisme
internasional hanya dapat dikalahkan secara internasional.
Hanya dapat dikalahkan dengan hantaman internasional!
Dulu, di dalam abad kesembilanbelas, imperialisme belumlah
bersambung satu sama lain. Dulu ekonomi belumlah ekonomi
dunia, namun ekonomi itu dulu bersifatlah ekonomi “negeri
sendiri-sendiri”, “ekonomi negeri individuil”. Sekarang ekonomi
itu telah bersifat ekonomi dunia, dan imperialisme pun
bersifat imperialisme dunia. Sekarang rakyat di negeri
sendiri-sendiri tidak dapat menghantam mati imperialisme itu,
jika tidak bersama-sama rakyat-rakyat korban imperialisme di
negeri-negeri lain. Sekarang perjoangan harus perjoangan
internasional.
namun pembaca mungkin akan menanya: Tidakkah kita telah
nyata meledakkan Revolusi kita pada tanggal 17 Agustus 1945
itu “atas kekuatan sendiri”? Tidakkah dus kita merebut
kemerdekaan kita itu tidak dengan bantuan orang lain, tidak
dengan hubungan internasional?
275
Orang yang bertanya demikian yaitu salah kupas. Pertama:
Situasi-situasi revolusioner yang saya uraikan di muka tadi,
yang memungkinkan proklamasi kemerdekaan kita itu, yaitu
hasil dibandingkan pergolakan dan pergeseran internasional.
Dapatkah kita memperoleh situasi revolusioner yang masak
untuk proklamasi itu, jika tidak terlebih dulu dunia
imperialisme internasional terbakar sehebat-hebatnya,
terkacau kalut mawut oleh peperang-an dunia ke II laksana
kebun ubi dirusak oleh babi? Dapatkah kita mendapat situasi
revolusioner itu jika kekacau-balauan internasional itu tidak
meremuk-redamkan imperialisme Belanda? Jika tidak
sekeliling negara kita seluruh dunia Timur gegap-gempita
bergerak menuntut merdeka laksana menjadi kawah
Candradimuka? Jika tidak di seluruh dunia segala kaum
progresif menentang penjajahan dan bersimpati kepada kita?
Dan sebagai di muka saya katakan, soal kita bukan saja
memproklamasikan kemerdekaan, namun juga
mempertahankan kemerdekaan itu seterusnya. Di dalam
mempertahankan kemerdekaan itu kita lebih-lebih lagi butuh
kepada simpati dan bantuan internasional. Perjoangan kita
yang berupa pertahanan konkrit, usaha kita di lapangan
diplomasi, jerih-payah kita di lapangan pembangunan, semua
itu jangan sampai terpencil, jangan sampai kena diisolir,
semua itu harus kita usahakan dalam suasana internasional.
Tidakkah fihak Belanda selalu mencoba mengisolir pertikaian
negara kita -Belanda ini menjadi satu soal “dalam negeri”?
Memang banyak sekali orang heran, bahwa justru di
negara kita dan di Vietnam revolusi meledak, dua negeri yang
orang kira pergerakan nasionalnya tidak terlalu hebat.
Mengapa tidak di Korea? Atau di India? Atau di Philipina?
Mengapa justru di negara kita dan di Vietnam?
Keterangannya ialah, bahwa dunia imperialisme SEBAGAl
SATU KESELURUHAN -dengan ekonominya yang telah
ekonomi dunia-, telah masak untuk revolusi. Maka di dalam
keseluruhan dari Barat sampai ke Timur, dari Utara sampai ke
Selatan yang telah masak untuk revolusi itu, revolusi
meledak di tempat-tempat di mana rantai imperialisme itu
paling lemah.
276
Dan di mana rantai imperialisme itu paling lemah? Di
negara kita dan di Vietnam. Di dua negeri itu imperialisme
Belanda di satu fihak dan imperialisme Perancis di lain fihak
paling mendapat pukulan-pukulan hebat dari peperangan
dunia ke II, di dua negeri itu rakyatnya paling tertindas, paling
terhisap, paling jembel, paling dendam dan paling marah. Di
dua negeri itu bisul revolusi yang menghinggapi seluruh tubuh
imperialisme dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai
ke Selatan, paling dulu menjebrot dan memecah! Di dua negeri
itu rantai imperialisme terputus, dan oleh sebab nyalah maka
sekarang semua cincin-cincin rantai itu yang belum terputus
lantas bekerja bersama-sama untuk menyambungkan lagi
rantai imperialisme itu di tempat-tempat yang terputus itu.
Inilah artinya ofensif-umum dibandingkan imperialisme-
internasional yang sekarang sedang bertubi-tubi di atas
tubuhnya Republik negara kita dan Republik Vietnam, yang
kedua-duanya digempur dengan bom dan dinamit, dengan
tank dan kapal-udara!
namun terutama rakyat negara kita mempertahankan diri
dengan gagah dan berani. Segenap tenaga nasionalnya
dimobilisir, segenap tenaga progresif sedunia dipanggilnya.
Kontra revolusi di negara kita dan di Vietnam yaitu satu
bagian saja dibandingkan kontra revolusinya imperialisme sebagai
satu keseluruhan, namun Revolusi di negara kita dan di Vietnam
pun yaitu satu bagian saja dibandingkan Revolusi Internasional
yang merobek-robek tubuhnya imperialisme sebagai satu
keseluruhan.
Kesudahannya tak dapat disangsikan lagi!
Imperialisme pasti binasa, -Kemerdekaan pasti menang!
...............................................................................................
Agak panjang uraian saya tentang beberapa soal yang
mengenai perjongan Republik kita. Pokok-pokoknya ialah:
Bahwa fase perjoangan kita sekarang ini ialah fasenya
Revolusi Nasional. Dharma kita di dalam fase ini ialah
277
menyusun Kemerdekaan Nasional, dan mengisi
Kemerdekaan Nasional itu dengan syarat-syarat jiwa dan
syarat-syarat materiil, agar supaya Kemerdekaan Nasional
itu dapat menjadi batu loncatan kepada Kemerdekaan
Sosial di lalu hari.
-“Penuhilah sepenuh-penuhnya segala syarat Revolusi
Nasional, perkuatkanlah Negara, -sekali lagi perkuatkanlah
Negara-, susunlah persatuan Nasional, kejar dan capailah
Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita dan yang
berdaulat seratus prosen! Isilah Revolusi Nasional ini dengan
angan-angan sosialisme dan dengan syarat-syarat yang
diperlukan untuk penyelenggaraan sosialisme itu: buatlah
teknik kita dan ekonomi kita berkembang, buatlah semangat
kita semangat gotong-royong, didiklah rakyat jelata kita
menjadi rakyat jelata yang benar-benar sadar akan diri sendiri
namun jangan sekali-kali mengadakan perjoangan kelas, carilah
hubungan rapat dengan segenap tenaga progresif di seluruh
dunia!”, demikianlah sari-patinya anjuran-anjuran yang saya
anggap penting.
namun , -apakah keajiban wanita dalam penyelenggaraan
segala hal-hal itu?
Jawab saya yaitu tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti,
bahwa hanya sosialisme sajalah yang dapat menolong dia, dan
sebab nya, wanita harus ikut serta dalam penyelenggaraan
segala hal-hal yang saya sebutkan sebagai pokok-pokok
perjoangan kita itu dengan cara yang sehebat-hebatnya. Tidak
saya akan puas dengan “setengah-setengahan”! Tidak saya
akan berhenti, sebelum wanita negara kita seluruhnya betul-
betul ikut aktif dalam Revolusi Nasional dengan isi yang saya
maksudkan itu. Pernah saya di waktu masih muda remaja
tertangkap hati oleh anjuran Ernest Douwes Dekker
(Setyabudi) yang berbunyi: “Men moet zich geheel geven,
geheel! De hemel verwerpt het gesjacher met meer of minder!” -
yang artinya: “Janganlah setengah-setengahan, berilah jiwa-
ragamu sama sekali!” - maka anjuran yang demikian itu pula
sekarang saya berikan kepada wanita negara kita di dalam
Revolusi kita. Tidakkah segenap macam perjoangan yang saya
sebutkan di atas itu pada intinya berarti menyusun hari
278
lalu wanita juga? namun bagai-mana wanita dapat ikut
serta sehebat-hebatnya, kalau wanita sendiri belum sadar,
dan kalau fihak laki-laki emoh kepada ikut sertanya wanita
itu, sebab laki-laki sendiri masih dihinggapi oleh faham-
faham kolot tentang wanita?
Ah ya, terutama kepada kaum laki-laki saya serukan supaya
mengerti betul-betul mutlak perlunya wanita ikut serta dan
dapat ikut serta dalam perjoangan itu. Ingatlah pengalaman-
pengalaman perjoangan di negeri lain! Apa sebab misalnya
hasil perjoangan rakyat India kurang memuaskan? Oleh
sebab wanita India belum ikut serta semutlak-mutlaknya
dalam perjoangan bangsa. Gandhi sendiri dengan tegas
menyatakan (bacalah “India of my dreams”): “Banyak sekali
pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh
sebab keadaan kaum wanita kita”. namun apa sebab,
misalnya lagi, pemerintahan sovyet dapat mengadakan
kemajuan yang begitu pesat di segala lapangan di Rusia
Timur, yang dulunya toh begitu amat terbelakangnya?
Kemajuan di atas lapangan pengajaran, di atas lapangan
pertanian, di atas lapangan pemerintahan, di atas lapangan
ketentaraan, sampai pun di atas lapangan teknik dan
industrialisasi?
Tak lain tak bukan, ialah oleh sebab pemerintah sovjet siang-
siang sekali mengerti, bahwa wanita di Rusia Timur,
bagaimanapun juga kolotnya dan bagaimanapun juga
jumudnya, harus lekas-lekas dididik dan dibawa ikutserta
mutlak di dalam kesadaran, -di “ingeschakeld” mutlak di
dalam perjoangan dan pembangunan! Tidak dapat Rusia
Timur itu dibawa ke padang kemajuan, kalau hanya fihak
laki-laki saja yang dikerahkan, atau lebih tegas lagi: kalau
fihak wanita tidak dibawa ikut serta sehebat-hebatnya di
dalam pengerahan jiwa dan tenaga itu, -demikianlah
kenyataan yang siang-siang dimengerti oleh pemerintah
sovjet itu. Oleh sebab itulah maka boleh dikatakan yang
paling dulu diusahakan oleh pemerintah sovjet di Rusia Timur
ialah: menyadarkan wanita, membuka mata wanita,
memutuskan belenggu wanita, “merevolusionerkan” wanita.
Wanita, wanita, separoh dari tenaga manusia, harus
disadarkan lebih dahulu! Wanita sadar yaitu syarat mutlak
279
bagi pembangunan warga vertikal dan horizontal! Dan
hasil dari pembangunan umum yang dicapai dengan lebih
dulu menyadarkan wanita itu, di Rusia Timur yaitu
mengagumkan. Fannina W. Halle menceritakan tentang hal ini
di dalam bukunya yang telah saya sebutkan.
Malah mungkin sekali bahwa pemerintah sovjet siang-siang
mengerti pentingnya soal wanita itu, bukan hanya oleh sebab
“tahu teori”, yaitu teori yang telah disusun oleh pemimpin-
pemimpin wanita tingkat ketiga. Mungkin sekali pengalaman
pun memberi petunjuk kepada mereka.
Apakah pengalaman itu? Pengalaman itu ialah, bahwa revolusi
proletar di Rusia Pusat itu dipelopori oleh wanita. Umum
belum begitu mengetahui akan hal ini. Umum mengira bahwa
revolusi di Rusia Pusat itu hanya dipelopori oleh kaum buruh
laki-laki saja. namun bacalah pernyataan-pernyataan dari
historisi yang saya sitir di bawah ini!
“Kesadaran kelas yang sehat membuat kaum buruh wanita
menyokong pemogokan-pemogokan, dan tidak jarang wanita-
wanita itu mengorganisir sendiri dan memimpin sendiri
pemberontakan-pemberontakan paberik”.
Demikianlah pernyataan Alexandra Kollontay yang saya baca
dalam kitab Fannina W. Halle. namun lebih tegas yaitu
pernyataan-pernyataan berikut: “Kaum buruh wanita sudah
ikut serta aktif pada pemberontakan-pemberontakan buruh
dalam tahun 1874 di Petersburg di paberik-paberik tenun.
Dalam pemberontakan buruh yang termasyhur di Orjechowo
Sujewo, di daerah tekstil Wladimir, yang berhasil mencapaikan
larangan kerja malam bagi wanita dan kanak-kanak dari
pemerintah, maka wanitalah yang berdiri di barisan yang
paling depan. Memang yaitu menarik perhatian, bahwa
sumber-sumber pemogokan-pemogokan dan pemberontakan-
pemberontakan buruh, yang selalu menggelorakan dunia
proletar Rusia di kanan-kirinya tahun tujuh puluhan dan di
bagian pertama dari tahun delapan puluhan, terutama sekali
terdapat pada cabang-cabang perusahaan tenun, yaitu
cabang-cabang perusahaan yang kaum buruhnya buat bagian
yang terbesar terdiri dari wanita. Dengan demikian maka
280
tidaklah dilebih-lebihkan, jika orang mengatakan, bahwa
bagian yang terbesar (het leeuwen aandeel) dibandingkan
perjoangan-perjoangan ekonomis dan politis dalam masa itu
ialah dilakukan oleh wanita!”.
Dan bagaimanakah rol wanita dalam revolusi-revolusi Rusia
yang lalu ?
Trotzky menceritakan tentang Revolusi Maret 1917 (di Rusia
dinamakan Revolusi Februari): “Adpokat-adpokat dan
jurnalis-jurnalis dibandingkan kelas-kelas yang terhantam oleh
Revolusi ini tidak sedikit menghamburkan tinta untuk
membuktikan, bahwa dalam bulan Februari itu sebenarnya
telah terjadi satu pemberontakan wanita, yang lalu
dilimpahi oleh pemberontakan serdadu”. namun keadaan pada
zahirnya memang sebenarnya begitu! Sebab Trotzky sendiri
mengatakan juga: “Kenyataan tetaplah, bahwa revolusi
Februari itu mulainya ialah dari bawah, dan inisiatifnya
datanglah secara spontan dari bagian proletar yang paling
tertindas dan paling tertekan, yaitu kaum buruh tenun
wanita, sedangkan di antara mereka itu banyak juga isteri-
isteri serdadu ... Kurang lebih sembilan puluh ribu kaum
buruh wanita mogok pada hari itu. Semangat perjoangan
meletus dengan berbentuk demonstrasi-demonstrasi, rapat-
rapat umum dan perkelahian-perkelahian dengan polisi ...
Sejumlah besar wanita-wanita, malahan bukan semuanya
wanita kaum buruh, berarak-arak ke balai kota dengan
maksud meminta roti ... Hari wanita ini berakhir dengan hasil
yang memuaskan, dengan semangat, dan dengan tiada
korban”.
Seorang-orang lain jang menyaksikan kejadian-kejadian pada
waktu itu, menceritakan tentang hari 23 Februari (8 Maret)
sebagai berikut: “Sebagai angin taufan yang membinasakan
segala sesuatu yang mengadang di jalannya, bergeraklah
kaum buruh wanita yang telah mata gelap sebab siksaannya
lapar dan siksaannya peperangan itu. Bangkitnya kaum
buruh wanita yang dendam-benci kepada penindasan yang
telah ratusan tahun, itulah cetusan api yang menyalakan
api revolusi Februari, revolusi yang nantinya meremuk-
redamkan Tzarisme sama sekali”.
281
Dan surat kabar Pravda menulis seminggu lalu : “Lama
sebelum perang, maka Internasional Proletar telah
memproklamasikan hari 8 Maret (23 Februari) sebagai Hari
Pesta Wanita Internasional. namun seminggu sebelumnya
maka pemerintah di Petrograd telah mengeluarkan larangan
merayakan hari itu. Sebagai akibat larangan itu terjadilah
mula-mula perkelahian-perkelahian di paberik-paberik
Putilow, yang lalu menjalar menjadi satu rapat-raksasa,
satu revolusi.
Hari pertama dari revolusi, -itulah Hari Wanita, hari
Internasional kaum buruh wanita. Hormat kepada wanita!
Hormat kepada Internasionale! Wanitalah yang paling dulu
keluar ke jalan-jalan Petrograd pada hari mereka itu. Di
Moskow wanita pada hari itu acapkali menentukan sikapnya
prajurit-prajurit militer: mereka masuk ke asrama-asrama,
menasehati serdadu-serdadu supaya memihak kepada
revolusi, -dan serdadu-serdadu itu mengikuti seruannya.
Hormat kepada Wanita!”
Dan pada hari-hari yang berikutpun, wanita tetap memelopori
revolusi. Trotzky menceritakan tentang hari-hari yang berikut
itu demikian: “Dengan keberanian yang melebihi keberanian
laki-laki, wanita-wanita itu mendesak-mendekati barisan-
barisan serdadu, senapan-senapan serdadu itu dipegangnya,
dan mereka meminta, ya hampir-hampir memerintah:
“Balikkanlah bayonetmu, pindahlah ke pihak kami!” Maka
serdadu-serdadu itu terkena hatinya, mereka merasa malu,
mereka memandang satu sama lain, mereka goyang hatinya
seorang-orang dibandingkan mereka mulailah memberanikan diri -
dan bayonet-bayonet itu berputar di atas pundak-pundak
wanita yang mendesak mendekati mereka itu, pagar batin
yang memisahkan mereka itu gugur, dan pekik hura yang
penuh dengan kegembiraan dan rasa terimakasih bergegap-
gempitalah memenuhi angkasa, serdadu-serdadu itu
dikerumuni sama sekali, pembicaraan-pembicaraan, usul-usul
dan peringatan-peringatan mulailah dengan asyiknya, -
revolusi telah maju ke depan selangkah lagi” .
282
Fannina Halle menambah pernyataan-pernyataan ini dengan
kata-kata berbunyi: “Maka demikianlah kita melihat wanita
Rusia itu di atas jalan yang panjang dan penuh duri, -jalannya
Revolusi yang menuju kepada Rusia yang baru: wanita dengan
keberanian hati yang sering sekali membuat malu kawan-
kawan yang laki-laki, dengan penuh penyerahan jiwa-raga,
dengan tak takut kepada maut, dengan berjalan di sana-sini di
tempat yang paling depan, dengan selalu kepalanya tegak,
dengan pandangan-mata yang menuju ke masa depan yang
telah melambai-lambai di seberangnya perjoangan dan
korbanan-korbanan darahnya itu”.
Dan akhirnya bacalah pendapat bapak revolusi Rusia sendiri
yang saya cantumkan di bawah ini, yaitu pendapat Lenin!
“Di Petrograd, dan di Moskow sini, di kota-kota dan di pusat-
pusat industri, di daerah-daerah pedalaman, wanita-wanita
proletar bersikap dengan cara yang mengagumkan.
Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak
mungkin kita capai …
ltulah keyakinan saya. Alangkah beraninya mereka itu dulu,
alangkah beraninya mereka itu sekarang! Coba bayangkan
segenap penderitaan-penderitaan dan kemelaratan-
kemelaratan yang mereka derita. Mereka tahankan semua
penderitaan itu, oleh sebab mereka menghendaki adanya
sovyet, dan oleh sebab menghendaki kemerdekaan,
menghendaki komunisme.
Ya, sesungguhnya, wanita-wanita proletar kita yaitu wanita-
wanita pejoang kelas yang amat jempol. Mereka selayaknya
harus kita hormati, mereka harus kita cintai!”
Kulebih-lebihkankah, jikalau aku mengatakan tadi, bahwa
revolusi di Rusia Pusat jaya oleh sebab dipelopori oleh
wanita? Atau setidak-tidaknya: oleh sebab wanitanya ikut
serta mutlak dalam revolusi itu?
“Jikalau tidak dengan mereka, maka kemenangan tidak
mungkin kita capa!”... Demikianlah, kata demi kata, -
283
“woordelijk”-, ucapan Lenin! Maka sebagai saya katakan tadi,
mungkin pengalaman di Rusia-Pusat inilah -di samping segala
teori- yang menjadi sebabnya pemerintah sovyet pagi-pagi
telah mengerti, bahwa buat pembangunan di Rusia Timur
yang warga nya masih kolot bin kolot itu, yang paling
dulu harus disadarkan, disemangatkan, dibangkitkan,
digelorakan, ialah fihak wanita-wanitanya.
Dan itulah mereka kerjakan! Wanita di Rusia Timur mereka
“serbu”. lalu : dengan warga wanita yang telah
sadar itu, pembangunan umum di Rusia Timur (sudah barang
tentu juga dengan warga laki-laki yang disadarkan pula)
berjalanlah dengan pesatnya: pertanian, pengajaran,
pemerintahan, pertahanan, peternakan, pengkolektivan,
teknik!, industrialisasi, -semuanya melancar pesat di luar
dugaan, semuanya lantas membuat Rusia Timur menjadi satu
dunia “laksana sulapan”, sebagai dikatakan oleh seorang
penulis yang namanya saya lupa, -kalau tidak salah Arthur
Feiler.
Dan bagaimana kita?
Ah, apakah barangkali memang benar, bahwa beberapa
kekalahan yang kita derita di dalam revolusi kita ini, sebabnya
antara lain ialah oleh sebab wanita kita belum mutlak ikut
serta di dalam revolusi kita itu?
Apa sebab fase pertama dibandingkan revolusi kita di Kalimantan
belum berhasil memuaskan? Mungkinkah sebab wanita
Kalimantan belum aktif seluruhnya? Apa sebab di Sulawesi
pula fase pertama itu tidak jaya? Dan di Kepulauan Sunda
Kecil? Dan tidakkah kita di Jawa dan Sumatera pula
menderita beberapa kekalahan? Lagi-lagi saya ingat kepada
ucapan Gandhi yang telah saya sitir tadi itu: “Banyak sekali
pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh
sebab keadaan kaum wanita kita”, dan lagi-lagi pula saya
ingat pernyataan Lenin yang dengan tegas menyatakan bahwa
“Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak
mungkin kita capai”!
284
Ah, teringatlah saya lagi kepada mata wanita di belakang tabir
dulu itu! Berapa laksa atau keti, mungkin berapa milyun
wanita negara kita , terutama sekali di luar pulau Jawa, masih
hidup secara begitu! Dapatkah kita berjoang sehebat-
hebatnya, membangun sehebat-hebatnya, dengan warga
yang berisi milyunan wanita yang begitu itu? Dan di pulau
Jawa sendiri, ya, pingitan sudah jauh berkurang atau hampir
habis sama sekali, -namun berapa prosenkah sudah ikut
berjoang secara mutlak, dan dari itu lagi berapa prosenkah
berjoangnya dengan penuh faham-kesadaran?
Banyak golongan-golongan yang harus kita sadarkan dan
harus kita kerahkan, banyak lapisan yang harus kita
dinamisir. Pemuda, buruh, tani, pegawai, pedagang, alim-
ulama, semuanya kita tarik ke dalam kancah, sekarang
marilah kita dengan lebih banyak energi lagi mendinamisir
pula kaum wanita, di seluruh negara kita . Kita, -artinya
pemimpin-pemimpin wanita dan pemimpin laki-laki pula!
Sebab, terhadap kepada soal wanita ini, -soal wanita dalam
segala seluk-beluknya-, sebenarnya pihak laki-laki masih
harus rnengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara
yang sehebat-hebatnya. Dalam, ya amat dalam dilihatnya
orang laki-laki, sekali pun laki-laki yang mulutnya selalu
mengkernak-kernikkan “persamaan hak antara laki-laki dan
wanita ” atau yang selalu mendengung-dengungkan
“sosialisme” – sama rasa sama rata”, seringkali masihlah ber-
semayam Sang Hantu “Aku Laki-laki, Tuannya wanita”, Sang
Hantu “wanita blasteran dewi dan si tolol”!
Sampai di kalangan-kalangan sosialis-sosialis kiri, malahan di
kalangan-kalangan komunis, penyakit “patriarchat” ini belum
juga sembuh. Bacalah sekali lagi misalnya keluhan Emilia
Marabini yang saya sitir di muka itu. Atau bacalah ucapan
Lenin di bawah ini:
“Perjoangan komunistis kita di antara kaum wanita,
perjoangan politik kita di antara mereka itu harus berisi pula
satu bagian besar perjoangan mendidik kaum laki-laki. Kita
harus mencabut jiwa ‘Tuan’ itu sampai ke akar-akarnya habis-
285
habisan. Mencabut, di kalangan partai dan di kalangan
massa.”
Saya bukan orang komunis. namun maksud ucapan Lenin
yang mengemukakan perlunya pendidikan kepada kaum laki-
laki atau pendidikan diri-sendiri oleh kaum laki-laki itu, saya
setujui sama sekali. Memang, hantu kecongkakan patriarchat
belum mati sama sekali. Umumnya kaum laki-laki (obyektif)
masih produknya periode “pemerintahan kaum lelaki”. namun
sekali pun umpamanya tidak untuk membela pendirian
“wanita sederajat dengan laki-laki”, atau “wanita
sama rata dengan laki-laki” -bangkitkanlah wanita itu ikut
serta mutlak sehebat-hebatnya dalam revolusi kita ini guna
kepesatan revolusi itu. Buatlah wanita itu di Jawa dan lebih-
lebih lagi di kepulauan negara kita yang lain di mana keadaan
wanita masih begitu amat terbelakang, benar-benar menjadi
roda perjoangan kita yang satu lagi, benar-benar menjadi
sayap garuda nasional kita yang satu lagi. Jika wanita tiada
mutlak ikut serta, kereta kita terdampar di tanah, garuda
nasional kita terpaku di bumi. Belajarlah mengerti, bahwa soal
wanita yaitu soal kita yang teramat penting. Belajarlah
menilaikan wanita itu sebagai elemen mutlak dalam
perjoangan kita.
Dengan sengaja saya beri kepada kitab saya ini dua motto
ucapan Gandhi dan ucapan Lenin tentang wanita, dan saya
cantumkan dua motto itu di kaca yang paling depan, dan di
bawah ini buat keempat kalinya lagi, untuk menonjolkan
harga wanita itu dalam perjoangan. Perhatikanlah isi
peringatan itu benar-benar.
-“Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di
tengah jalan, oleh sebab keadaan kaum wanita kita” -
Gandhi.
-“Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tidak
mungkin kita capai” - Lenin
Dan kamu, kaum wanita negara kita , -akhirnya nasibmu yaitu
di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada
kaum laki-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka
286
tentang hargamu dalam perjoangan, namun kamu sendiri harus
menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam
perjoangan. Dan di dalam perjoangan yang garis-garis
besarnya telah saya guratkan di muka tadi itu, bantu-
membantu mutlak antara laki-laki dan wanita harus
diselenggarakan benar-benar. Perkataan saya bahwa syarat
mutlak bagi kemenangan Revolusi Nasional ialah Persatuan
Nasional, sudah barang tentu juga mengenai perhubungan
wanita dan laki-laki. Janganlah di dalam Revolusi Nasional ini
wanita misalnya terlalu meletakkan titik berat kepada
mengemukakan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan
tuntutan-tuntutannya perjoangan membela kemerdekaan
Negara dan kemerdekaan Bangsa. Sebaliknya, adakanlah
penggabungan tenaga antara wanita dan laki-laki yang
sehebat-hebatnya, adakanlah perjoangan nasional yang
sebulat-bulatnya. Laki-laki dan wanita bersama kesatu
tujuan, -tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer. Feminis
atau sosialis, jikalau golongan-golongan itu ada-, janganlah
menentang satu sama lain, namun berjoanglah bahu-membahu
serapat-rapatnya membela kemerdekaan nasional. Semua,
semua tenaga harus diarahkan kesatu arah, kesatu tujuan
revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan
Negara Nasional yang meliputi seluruh negara kita dan yang
merdeka sepenuh-penuhnya.
Saya tahu, seribu satu soal-soal cabang dibandingkan soal wanita
ini harus kita pecahkan. Saya sendiri telah seringkali ber-
musyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita negara kita ,
dan selamanya banyaklah soal-soal cabang yang menjadi
acara permusyawaratan itu. Demikian pula sering sekali saya
menerima keluhan-keluhan dari kalangan wanita, yang
mengemukakan keluhan bermacam-macam ragam. Misalnya
soal bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit
kompleks inferieur yang telah turun-temurun bersarang dalam
jiwa mereka, soal bagaimana mendinamiskan jiwa wanita itu,
soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka
pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal
kesehatan dan kebidanan, soal mengeficientkan rumah
tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit tentara
sekarang, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam
teorinya telah diakui yuridis politis dalam undang-undang
287
dasar Republik, soal hal wanita di daerah-daerah pendudukan
Belanda, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa
dan wanita di pulau-pulau lain, dan lain-lain soal seribu satu
lagi yang penting-penting, namun juga sampai yang setetek-
bengek-setetek-bengeknya pun, -soal-soal cabang yang
demikian itu sudah sering saya hadapi. Soal-soal itu ada yang
mirip-mirip “tingkat kesatu”, ada yang nyata-nyata soalnya
“tingkat kedua”, dan ada yang mengenai “retak” yang di muka
tadi berulang-ulang telah saya bicarakan berhubung dengan
“tingkat ketiga” dibandingkan perjoangan wanita itu.
Itu sama sekali tergantung dari sifatnya kalangan yang
mengemukakan soal itu. Memang warga kita terdiri dari
kalangan-kalangan yang obeyektif masih hidup di atas salah
satu dibandingkan tiga “tingkat” itu: Ada golongan atasan, ada
golongan buruh dan tani, ada golongan yang terkungkung oleh
faham-faham agama yang masih kolot. namun di dalam
permusyawaratan-permusyawaratan yang demikian itu, saya
selalu hanya memberi petunjuk garis-garis besar saja, dan
selalu saya peringatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat
diselesaikan oleh wanita sendiri. Terutama sekali di dalam
prakteknya pemecahan soal-soal cabang, soal-soal ranting, -
siapa yang dapat menolong wanita jika wanita sendiri tidak
memecahkannya? Tidak berusaha, tidak bertindak, tidak
beraksi, tidak pula mencari jalan?
Saya sefaham dengan Vivekananda yang selalu, jikalau
ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan
wanita (soal-soal yang tidak prinsipiil) lantas menjawab:
“Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu
menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku? ... Engkau
itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal
wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau
menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap wanita ? Hands
off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!”
Ya, wanita sendiri harus bertindak, wanita sendiri harus
berjoang! namun ini tidak berarti, bahwa wanita harus
berusaha terpisah sama sekali dari fihak laki-laki. Tidak,
untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda
hebat dalam Revolusi Nasional; wanita di dalam Revolusi kita
288
ini harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus
bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah,
jangan bersaing-saingan! Jangan ada yang memeluk tangan!
Di dalam Revolusi Nasional kita ini semua golongan harus
didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan ke satu
tujuan pula, -jangan ada dua golongan, walau yang sekecil-
kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh sebab
itulah, maka sejak dari tahun 1928 saya menganjurkan
kepada wanita negara kita untuk memborong ketiga-tiga ke
tingkatan itu di dalam satu gelombang yang maha sakti,
memborong tingkat kesatu + tingkat kedua + tingkat
ketiga itu (yang di dalam warga kita obyektif tentu
ada) di dalam satu sintese program perjoangan wanita,
yang bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki)
betul-betul menggegap-gempitakan tenaga nasional. Dan
sekarang di dalam Revolusi Nasional kita ini, lebih-lebih lagi
saya mendengungkan kepada wanita negara kita , supaya
pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintese-program
yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan,
membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita negara kita
dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat
dibandingkan Revolusi Nasional kita ini, -Revolusi Nasional
Totaliter-, dengan isi-isi sebagai yang saya uraikan panjang-
lebar di muka tadi.
Jikalau umpamanya di negara kita ini ada bermacam-macam
perserikatan-perserikatan wanita atau partai-partai wanita, -
entah dari tingkat kesatukah, atau feminiskah, atau neo-
feminis-kah, atau sosialiskah, - jadikanlah perserikatan-
perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin
berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang
maha besar yang di bawah panji-panjinya sintese program itu
menggelombang ke satu arah, ke arah benteng penjajahan,
yang harus diremuk-redamkan bersama-sama, dihantam
hancur-lebur bersama-sama. Buatlah Revolusi negara kita ini
betul-betul Revolusi Nasional, Revolusi Nasional yang
Totaliter!
Revolusi Nasional yang Totaliter, dengari isi-isi sebagai yang
saya uraikan itu, sebagai pembuka pintu kepada warga
sosialisme, -satu-satunya warga yang dapat memberi
kebahagiaan kepada wanita!
Apakah ini berarti satu anjuran tersembunyi kepada wanita
negara kita , supaya menjadi anggota dibandingkan mitsalnya “Partai
Sosialis?” Sama sekali tidak! Saya mengharap wanita
bergerak, namun saya bukan propagandis sesuatu partai. Saya
tidak mengutamakan sesuatu partai. Faham sosialisme saya
kemukakan di dalam kitab ini di dalam artinya yang umum,
tidak berhubungan dengan anggapan atau program atau
organisasi sesuatu partai. Cita-cita sosialisme memang bukan
monopolinya sesuatu partai, bukan milik sendirinya sesuatu
golongan manapun juga. Lama sebelum partai-partai yang
sekarang ini berdiri, lama sebelum Revolusi kita ini berjalan,
ya, lama sebelum perang Pasifik pecah yang memungkinkan
Revolusi kita itu meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi
dadanya banyak kaum pergerakan negara kita yang sadar, -
sudah mewahyui nasionalisme kita menjadi sosio-
nasionalisme dan demokrasi kita menjadi sosio-demokrasi.
Ya benar, saya memakai perkataan “sosialisme”, -namun
pakailah perkataan lain kalau Tuan mau, asal isi maknanya
sama, yakni satu warga yang berkesejahteraan sosia1
dan berkeadilan sosial. Yang di dalamnya tiada eksploatasi
manusia oleh manusia, tiada eksploatasi pula manusia oleh
negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada
perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara,
sebab memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang
menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen sebab
siksaan penyakit “retak” yang membingungkan menggilakan
kepadanya. Saya memakai perkataan sosialisme itu oleh
sebab perkataan sosialisme telah lazim, oleh sebab saya tak
dapat mencari perkataan lain yang lebih tepat, dan juga oleh
sebab dengan terminologi (perkataan) sosialisme itu pembaca
dapat memperdalam pengetahuannya tentang sosia-lisme dan
gerakan wanita sosialis di buku-buku lain, -bukan oleh sebab
saya hendak mengutamakan sesuatu partai. Saya hanya
mengharap, bahkan membangkitkan segenap jiwa-ragaku
dalam usaha, supaya seluruh rakyat negara kita laki-laki
wanita , tua-muda, berjoang, berjoang, berjoang dan sekali
lagi berjoang, -aktif dan dinamis-, di dalam perjoangan
nasional bersama dengan isi-isi tujuan ke arah sosialisme itu,
tidak perduli di dalam partai manapun juga atau gerakan
manapun juga. Saya mengutamakan keaktifan dan isi
keaktifan itu, tidak mengutamakan nama-nama dan
formalitas!
Saya nasionalis, dan Insya Allah di dalam seluruh Revolusi
Nasional ini politis akan tetap mengutamakan nasionalisme,
namun saya cinta pula kepada sosialisme oleh sebab fikiran
saya berkata, bahwa akhirnya hanya dalam warga
sosialismelah manusia dan dunia dapat selamat. Saya
mengajak segenap wanita negara kita dan segenap rakyat
negara kita mencintai dan mengejar sosialisme itu (via Revolusi
Nasional) oleh sebab fikiran saya berkata, bahwa hanya
dalam sosialisme lah wanita negara kita dan rakyat negara kita
dapat kebahagiaan, bahkan seluruh wanita sedunia dan
seluruh kemanusiaan sedunia pula. Memang kebahagiaan
kemanusiaan sedunia itulah tujuan sosial kita yang terakhir,
idam-idaman sosial kita yang terakhir!
Dan ... entah ini dimengerti orang atau tidak ... saya mencintai
sosialisme, oleh sebab saya ber-Tuhan dan menyembah
kepada Tuhan. Saya mencintai sosialisme, oleh sebab saya
cinta kepada Islam. Saya mencintai sosialisme dan berjoang
untuk sosialisme itu, malahan sebagai salah satu ibadah
kepada Allah. Di dalam cita-cita politikku aku ini nasionalis, di
dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, di dalam cita-cita
sukmaku aku ini sama sekali theis: Sama sekali percapa
kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan.
namun untuk menerangkan hal ini, bukanlah tempatnya di
dalam kitab ini.
Saja menulis kitab ini melulu buat mengupas soal wanita dan
membicarakan kewajiban wanita dalam perjoangan Republik
negara kita . Buat mencoba mencetuskan api idam-idaman
jiwaku kepada segenap wanita negara kita , yang jika tiada
mereka tak mungkin kita mencapai kemenangan sosial. Wahai
wanita negara kita , buat engkaulah kitabku ini, buat engkaulah
aku menggoyangkan pena, kadang-kadang di bawah sinar lilin
sampai jauh di waktu malam! Sadarlah, bangunlah,
bangkitlah, berjoanglah menurut petunjuk-petunjuk yang
kuberikan itu! Berjuanglah, bangkitlah sehebat-hebatnya,
sebab sebagai tadi pun telah kukatakan, tiada orang lain
dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!
Jangan segan jerih-payah, buanglah jauh-jauh tiap-tiap
kuman inferioriteits-complex! Memang perjoanganmu bukan
perjoangan ringan, perjoanganmu yaitu perjoangan raksasa.
Memang tujuan yang kugambarkan di kitab ini bukan tujuan
yang kecil, namun tujuan yang amat besar. Tiada tujuan besar
dapat tercapai dengan tiada jerih payah, dengan tiada
mengatasi kesukaran-kesukaran, dengan tiada melakukan
pengorbanan-pengorbanan.
August Bebel, kampiun wanita yang sering kusebut-sebut
namanya di muka tadi, mengunci bukunya “Die Frau und der
Sozialismus” dengan kata-kata: “Juga di atas pundak
wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam
perjoangan ini, dalam mana diperjoangkan kemerdekaan
mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus
membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat
mereka dalam perjoangan sekarang yang mengejar masa
depan yang lebih baik itu, - bahwa mereka telah bertetap hati
ikut serta dalam perjoangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban,
membantu mereka itu dalam membuang semua purbasangka
yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta
mereka dalam perjoangan.
Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah,
dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak
ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu,
tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang
dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-
menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang
bagaimana kerasnya pun juga. Dan tetesan-tetesan air
menjadilah sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadilah
sungai besar, sungai-sungai besar berhimpun dalam sungai
benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk
menahan alirannya yang maha hebat itu. Demikianlah pula
keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan;
selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita
bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhir
pasti nanti datang.
Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua
orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara
yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita
masih akan melihat permulaannya periode kebudayaan yang
lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami
permulaan-nya periode itu, pertimbangan-pertimbangan
semacam itu tak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tak
boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah
kita injak.
Kita tak mampu menentukan berapa lamanya atau bagai-
mana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu,
sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa
dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, namun
harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita
lepaskan di dalam zaman seperti zaman yang kita alamkan
sekarang ini. Kita berjoang terus dan berusaha terus, dan tak
memperdulikan soal “di mana” atau “kapan” batu-batu
tandanya zaman bahagia bagi kemanusiaan itu akan
dipasang.
Dan jikalau kita jatuh di padang perjoangan ini, maka
turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan
demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah
memenuhi kewajiban kita sebagai manusia, dan dengan
keyakinan, bahwa tujuan kita pasti tercapai, bagaimanapun
juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya
tujuan itu!”
Demikianlah Bebel! Saya teruskan pesanan Bebel itu kepada
kamu, wanita-wanita negara kita . Malah saya tambah lagi:
bandingkanlah zaman Bebel itu dengan zaman kita sekarang
ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada Undang-
undang Sosialis sekalipun, masih bernama aman jika
dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita, kita
sekarang ini berada dalam zaman perjoangan yang sepuluh,
seratus kali lebih gegap-gempita dibandingkan zamannya Bebel itu.
Kita sekarang ini dalam bahaya, Negara kita dalam bahaya,
meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur di
angkasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan,
kota-kota kita menjadi puing, desa-desa kita menjadi lautan
api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, -segenap
tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk
mempertahankan Republik kita yang diserang itu. Sungguh
seratus kali lebih genting keadaan kita jika dibandingkan
dengan keadaan perjoangan sosialis di Jermania itu! Manakala
Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh
ketinggalan, - betapa pula dengan kita sekarang ini?
Ibaratnya, bukan saja manusia yang harus kita kerahkan,
namun juga segala isi alam ini, yang berupa apapun, harus kita
gugahkan, bangkit-kan, mobilisasikan untuk membela Negara
yang hendak dihancurkan musuh itu. Di Jermania yaitu
dulu itu perjoangan di bawah ancaman Undang-undang
Sosialis, namun di sini perjoangan yaitu perjoangan membela
hidup terhadap serangan kontra-revolusi yang sedang
memuntahkan peluru dan memuntahkan api, sedang
mengamuk, membinasa, membunuh, membakar! Tidak
seorang pun boleh ketinggalan dalam perjoangan yang
semacam itu!
Wanita negara kita , kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah
serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan
nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam
usaha menyusun Negara Nasional.
Jangan ketinggalan di dalam Revolusi Nasional ini dari awal
sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam
usaha menyusun warga keadilan sosial dan
kesejahteraan-sosial.
Di dalam warga keadilan sosial dan kesejahteraan sosial
itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang
Merdeka!
***