presiden soekarno 10

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 10


 


rmainan bersama itu hingga menggoncangkan 

seluruh dunia. Di dalam fase sekarang ini (fase nasional), 

maka dihantam digempur diremukredamkan rantai-rantai 

politik, belenggu-belenggu ekonomi, hukum-hukum 

penjajahan kolonial, namun  simultan dengan itu digembleng-

dibangunkanlah Negara Baru. Pemerintahun Baru, hukum-

hukum dan anggapan-anggapan baru, alat-alat produksi baru, 

orang-orang produsen baru. Dan bukan saja untuk fase yang 

sekarang semata-mata! namun  di dalam fase yang sekarang ini 

akan mulai juga berangsur-angsur disiap-siapkan dan disedia-

sediakan syarat-syarat untuk berlakunya fase sosial yang 

akan datang, sebagai misalnya alat-alat teknik dan alat-alat 

jiwa yang saya maksudkan di muka tadi. Demikian pula, 

maka di dalam fase sosial bukan saja akan dihancurkan dan 

dibinasakan segala anasir-anasir kapitalisme, serta 

dibangunkan dan disuburkan simultan dengan itu anasir-

anasir kesejahteraan sosial, namun  juga akan dipelihara 

beberapa anasir yang telah terbentuk di dalam fase yang 

terdahulu, yaitu fase nasional. Fase yang satu dus tidak 

terpisah dari fase yang lain secara tajam laksana terpisahnya 

lautan dari daratan atau laksana terpisahnya bilik yang satu 

dari bilik yang lain, namun  dua fase itu “sambung-sinambung” 

satu sama lain laksana “fase kanak-kanak” dan “fase dewasa” 

di dalam hidupnya manusia atau binatang. 

 

Perhatikan: laksana fase kanak-kanak dan fase dewasa dalam 

hidupnya manusia atau binatang! Artinya, dua fase ini 

sendiri-sendiri harus ada, dua fase ini yang satu mendahului 

yang lain, dan yang lain mengikuti yang satu, -namun  tidak 

236 

 

dapat dua fase ini terjadi berbareng sekaligus, tidak dapat 

fase dewasa terjadi dengan tidak didahului lebih dahulu oleh 

fase kanak-kanak. Fase Nasional dan fase Sosial dibandingkan  

Revolusi kita ini dua-duanya sendiri-sendiri harus ada, tidak 

dapat Fase Sosial terjadi sebelum selesal lebih dahulu Fase 

Nasional, tidak dapat pula Fase Nasional dan Fase Sosial 

terjadi berbareng sekaligus. Ini harus dikemukakan di sini 

dengan tegas, sebab di dalam kalangan kaum pergerakan 

negara kita  masih ada orang-orang yang masih berpenglihatan 

kabur tentang hal ini. Tatkala Revolusi kita baru berlaku 

beberapa bulan saja, maka dari kalangan beberapa pemuda 

negara kita , saya beberapa kali mendengar ucapan-ucapan yang 

isi maksudnya ialah: Nah, kita sekarang sudah merdeka, kita 

sekarang sudah ber-Republik, mari kita sekarang segera mulai 

mengadakan Revolusi sosial! 

 

Hantam-kromo saja mau segera mengadakan revolusi sosial? 

Seolah-olah sesuatu revolusi, -apa lagi revolusi sosial- dapat 

“diadakan”! Seolah-olah sesuatu revolusi dapat “dibikin” oleh 

seseorang pemimpin, dan misalnya disuruh mulai pada bulan 

sekian, hari tanggal sekian, jam sekian! Seolah-olah Marx 

tidak pernah berkata, bahwa sesuatu revolusi bukanlah 

anggitan seseorang revolusioner “pada suatu malam yang ia 

tak dapat tidur”! Seolah-olah revolusi bukan satu proses 

warga  yang digerakkan oleh tenaga-tenaga warga  

itu sendiri, -bukan oleh si agitator, bukan oleh si demagoog, 

bukan oleh si penganjur, bukan oleh si pemimpin! 

 

Di dalam tahun 1927 dan 1928 saya mengalami kesulitan-

kesulitan yang semacam dengan itu pula. Imperialisme 

Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di 

kalangan kaum komunis. Partai Komunis negara kita  dan 

Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan 

pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam 

pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjoangan 

revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional 

negara kita . Beberapa saudara komunis yang dapat 

menyelamatkan diri dari hamuk tabula rasanya pemerintah 

Belanda itu, di dalam perbantahan dalam kamar tertutup 

selalu mengemukakan kepada saya: “Saudara anti 

kapitalisme, saudara bercita-cita sosialis, kenapa saudara 

237 

 

tidak mulai sekarang saja mengadakan aksi sosialis, Mengapa 

saudara mengadakan pergerakan nasional lebih dahulu? 

Saudara mengadakan dua kali perjoangan Mengapa saudara 

tidak mengadakan satu kali perjoangan saja, supaya 

sosialisme lekas tercapai? 

 

Selalu saya menghadapi kenyataan, bahwa orang belum 

mengerti bahwa Revolusi yaitu  satu proses. Satu proses 

yang bertingkat-tingkatan, satu proses warga  yang 

timbul dari tenaga-tenaga immanent dalam warga  itu 

sendiri. Kita dapat meneruskan tingkatan revolusi yang satu 

kepada tingkatan revolusi yang lain, kita dapat 

menyambungkan tingkatan yang satu kepada tingkatan yang 

lain, namun  kita tidak dapat melangkahi tingkatan revolusi 

yang satu, dan terus melompat saja ke tingkatan revolusi yang 

lain, atau memborong tingkatan revolusi yang satu 

berbarengan dengan tingkatan revolusi yang lain. Kita dapat 

mencoba mempercepat jalannya tingkatan revolusi yang satu, 

agar segera dapat disusul oleh tingkatan revolusi yang lain, 

kita malahan harus menganggap tingkatan revolusi yang satu 

itu sebagai ketentuan bagi (batu loncatan kepada) tingkatan 

revolusi yang lain, namun  kita tidak dapat meniadakan 

tingkatan yang satu untuk segera mendapat tingkatan yang 

lain. Tingkatan yang satu memiliki  periode sendiri dan 

kewajiban sendiri, tingkatan yang lain pun memiliki  periode 

sendiri dan kewajiban sendiri. 

 

Tidak dapat kewajiban tingkatan yang lalu  disuruh 

menyelesaikan oleh tingkatan yang terdahulu, tidak dapat 

kewajiban tingkatan yang terdahulu ditunda kepada tingkatan 

yang lalu . Siapa yang menginsyafi hal-hal ini semuanya 

dengan benar-benar, bertindak sesuai dengan keinsyafan itu, 

berjoang, membanting tulang mati-matian untuk 

mempercepatkan jalannya dan terlaksananya tingkatan-

tingkatan revolusi itu, dia yaitu  benar-benar revolusioner, 

dan siapa yang tidak mengindahkan adanya tingkatan-

tingkatan itu, dan mau main “radikal-radikalan” melompati 

sesuatu tingkatan atau memborong sekaligus semua 

tingkatan, dia, meski dengan suara yang menggeledek dan 

mengguntur dan muka merah padam seperti udang 

mengatakan dirinya revolusioner, dia tidak revolusioner. 

238 

 

Sebab dia hendak mengerjakan satu hal yang mustahil, -

hendak mengerjakan satu hal yang sosial -mustahil! Dan -dia 

tidak radikal pula, meskipun dia mengira bahwa dia radikal. 

Dia tidak revolusioner oleh sebab  tidak mengerti proses 

revolusi dan tidak berjoang menurut proses revolusi; dia tidak 

radikal, oleh sebab  tidak ada radikalisme sejati yang 

bertentangan dengan proses revolusi. 

 

Lilin di hadapan kertas saya tetap menyala! Satu simbul, 

bahwa Revolusi kita tetap berjalan. Paberik listrik di Tuntang 

boleh dikuasai oleh Belanda, -Revolusi kita dalam arti yang 

luas akan berkobar terus, rakyat kita akan berjoang terus 

memper-tahankan Negaranya. Satu hari akan datang yang 

Sang Merah Putih akan berkibar dengan tiada gangguan, di 

Tuntang, di Semarang, di Surabaya, di Jakarta, di Bandung, di 

tempat-tempat yang kini diduduki oleh Belanda, -di seluruh 

negara kita ! Satu hari akan datang, yang imperialisme di 

negara kita  betul-betul mati binasa, yang Negara kita tidak lagi 

dalam bahaya. 

 

namun  nyata lilin itu membuktikan bahwa Revolusi Nasional 

kita belum selesai, Revolusi Nasional kita kini sedang berjalan. 

Sedang berjalan, dengan gegap-gempitanya, dengan hebatnya, 

dengan dahsyatnya! Revolusi Nasional ini sebagai satu 

cambuk gaib mengaktifkan tiap-tiap atom dibandingkan  tubuhnya 

bangsa kita, memasangkan tiap-tiap urat kecil dibandingkan  

badan-tenaganya rakyat kita, menggeletarkan tiap-tiap bagian 

dibandingkan  jiwa warga  kita, dan dia akan mengaktifkan 

terus, akan memasangkan terus, akan menggeletarkan terus, 

entah buat berapa tahun lamanya lagi, sampai kewajibannya 

tertunai. Sebab sebagai saya katakan tadi, tiap-tiap fase 

memiliki  periodenya sendiri dan memiliki  kewajibannya 

sendiri, dan tiap-tiap fase menunaikan periodenya sendiri dan 

menunaikan kewajibannya sendiri. Dan apakah kewajiban 

fase Revolusi Nasional kita ini? Apakah “tugas bersejarah”-nya 

Revolusi Nasional kita ini? 

 

Kewajiban atau tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita ini 

ialah mendirikan satu Negara Nasional negara kita . Tugas 

bersejarah ini harus selesai lebih dahulu sebelum Revolusi 

Nasional itu minta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial 

239 

 

Dan berapa lamakah diperlukan untuk menyelesaikan tugas 

bersejarah itu? Entah berapa tahun, entah berapa windu, -

namun  nyata bukan hanya beberapa bulan saja. Banyak air 

keringat kita masih harus mengucur, banyak keluhan kita 

masih harus terdengar, sebelum tugas bersejarahnya Revolusi 

Nasional kita itu tertunai. Samodera Hindia masih harus 

bergelora bertahun-tahun lagi, sebelum gelombang-

gelombangnya membanting membasahi pantai-pantai 

kepulauan negara kita  yang telah tergabung teguh dalam satu 

Negara Naional negara kita . Ya, bertahun-tahun! Dua tahun 

lebih kita telah berada dalam kancah Revolusi Nasional, namun  

kesudahannya nyata belum tercapai. Memang, alangkah 

banyaknya, alangkah sukarnya dan hebat-hebatnya anasir-

anasir Revolusi Nasional yang harus kita selesaikan, anasir-

anasir “destruksi” dan anasir-anasir “konstruksi”! Merebut 

kekuasaan pemerintah dari tangan asing, menyusun angkatan 

perang nasional, membinasakan tiap-tiap kuman kolonialisme, 

menjalankan semua jawatan-jawatan dengan kekuatan 

sendiri, membuat peruangan negara kita , mempersatukan 

semua kepulauan negara kita  dalam lingkungan-nya satu 

negara yang merdeka, membanteras kekacauan-kekacauan 

dari dalam, menyusun teknik negara kita  yang kuat dan 

modern, menjalankan diplomasi untuk mendapat pengakuan 

de jure internasional, menindas provinsialisme, menggembleng 

milyunan rakyat negara kita  menjadi satu bangsa yang 

berkesadaran nasional, berkesadaran negara, berkesadaran 

pemerintah, berkesadaran tentara, berkesadaran sosial, 

membuat pemerintah Nasional menjadi stable government ke 

luar dan ke dalam, dan lain-lain lagi, -semua itu harus 

dikerjakan, semua itu harus ditunaikan lebih dahulu, sebelum 

boleh dikatakan Revolusi Nasional selesai. Ini bukan pekerjaan 

kecil, ini bukan pekerjaan yang dapat kita selesaikan sambil 

goyang kaki beberapa hari.  

 

lni pekerjaan raksasa, yang membutuhkan pengerahan 

tenaga, keuletan kemauan, ukuran fikiran dan ukuran 

timbangan raksasa. 

 

Ini harus selesai lebih dahulu, sebelum kita dapat dengan 

sungguh-sungguh bercancut-taliwanda menggugurkan 

benteng-bentengnya kapitalisme di dalam pagar, menjusun 

240 

 

dan menggembleng warga  negara kita  yang 

berkesejahteraan sosial. 

 

Jangankan warga  “yang berkesejahteraan sosial”! 

Menyusun warga  yang “normal” saja pun tak mungkin, 

sebelum selesainya soal nasional. Tak mungkin sebelum 

selesainya soal politik! Dengarkanlah misalnya apa yang 

dikatakan oleh Giuseppe Mazzini, salah seorang pemimpin 

besar pembentuk Negara Nasional Italia beberapa puluh tahun 

yang lalu: “Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan. 

Anjuran-anjuran dan dayaupaya-dayaupaya yang kubicarakan 

tadi, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang 

bersatu dan merdeka. Perbaikan keadaan warga mu 

hanyalah dapat diperoleh dengan ikut campurmu dalam 

pergaulan ketata-negaraan bangsa-bangsa. Jangan mengira, 

bahwa kamu akan dapat memperbaiki nasib hidupmu 

sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu 

akan sia-sia!” ...  

 

Sekali lagi, alangkah banyaknya, sukarnya, dan hebatnya 

anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita tunaikan. 

 

Alangkah banyaknya isi yang harus kita “isikan” dalam kata-

kata “destruksi” dan “konstruksi” yang simultan berlaku 

dalam tiap-tiap Revolusi, dus juga dalam Revolusi Nasional 

kita itu, sebelum dapat kita memasuki fase Revolusi yang 

lalu !  

 

Dan bukan saja Revolusi Nasional ini harus selesai untuk 

memenuhi syarat-syarat dalam atau innerlijke voorwaarden 

untuk memungkinkan Revolusi Sasial, bukan saja Revolusi 

Nasional ini historis organis yaitu  satu cincin dalam satu 

proses warga  yang panjang laksana rantai -ia yaitu  

pula satu usaha perlawanan untuk menentang bahaya yang 

datang dari luar. Seluruh dunia Timur sejak satu abad ini 

terkepung oleh raksasa-raksasa imperialisme dan kapitalisme, 

bahkan banyak yang telah dihinggapi dan diodal-adil perutnya 

oleh raksasa-raksasa itu, dan sebagai satu usaha perlawanan, 

maka bangsa-bangsa Asia berjoang mati-matian 

memerdekakan diri, dan di sana-sini berusaha habis-habisan 

untuk mendirikan negara-negara nasional. India berusaha 

241 

 

untuk menjadi negara nasional (sementara gagal, sebab  

berdirinya Pakistan), Tiongkok berusaha untuk menjadi 

negara nasional (sementara gagal pula), negara kita  berusaha 

untuk menjadi negara nasional. Philipina, Tiongkok, Siam, 

negara kita , Indo-Cina, Burma, India, Afganistan, Iran, seluruh 

jazirah Arab, Mesir, semua itu masing-masing harus merdeka, 

untuk memungkinkan mereka menentang dengan efektif dan 

mengeliminir dengan efektif segala eksploatasi yang datang 

dari luar. 

 

Saya tidak berkata bahwa tiap-tiap bangsa yang telah merdeka 

telah pula terhindar dari eksploatasi dari luar! 

 

Tidak! Pembaca kenal nasib Siam, dan kenal nasib Iran, 

misalnya. namun  kemerdekaan politik itu yaitu  syarat mutlak 

untuk memungkinkan sesuatu bangsa menentang dengan 

tenaga maksimum segala eksploatasi dari luar. sebab  itulah, 

maka Revolusi Nasional kita ini bukan saja satu fase yang 

seharusnya ada dalam pertumbuhan warga  kita didalam 

pagar, ia juga satu langkah pertahanan yang seharusnya ada 

untuk penolak bahaya yang datang dari luaran. 

 

Malah tegas, kita bukan hanya sekedar hendak merdeka, kita 

tegas berjoang mendirikan Negara Nasional. Kita bukan cuma 

menghendaki Jawa Merdeka (100 %), Sumatera Merdeka (100 

%), Kalimantan Merdeka (100 %), Sulawesi Merdeka (100 %), 

Kepulauan Sunda Kecil Merdeka (100%), Maluku Merdeka 

(100%), tidak, kita menghendaki berdirinya Satu Negara 

Seluruh negara kita  (unitaristis atau federalistis) yang teguh 

kuat. Kita menghendaki Negara Nasional. 

 

Dan inipun bukan sekedar sebab  “cita-cita”, bukan sekedar 

sebab  “idealisme”. Cita-cita kebangsaan kita itu yaitu  satu 

hal yang tumbuh dibandingkan  keharusan-keharusan 

pertumbuhan warga . Negara Nasional negara kita  bukan 

sekedar idam-idaman politikus-politikus yang berjiwa 

romantis, ia yaitu  satu keharusan sosial politik. Ya benar, 

sudah tentu ada cita-cita, sudah tentu ada idealisme; malahan 

barangkali sudah tentu ada romantik. Mungkinkah sesuatu 

perjoangan maha hebat dan maha sukar berjalan dengan 

cukup elan, jika tiada cita-cita, tiada idealisme, tiada 

242 

 

romantik? Ah, barangkali malahan saya sendiri terlalu sering 

memainkan kecapinya idealisme dan romantik! Dengarkanlah 

lagu yang misalnya saya nyanyikan dalam pidato “Lahirnya 

Pancasila” atau pidato 17 Agustus 1947: “Orang dan tempat 

tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari 

bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto 

Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya 

memikirkan “Gemeinschaft”- nya dan perasaan orangnya. 

“l’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak 

mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami 

manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. 

Tanah air itu yaitu  satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta 

dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, 

kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” itu. 

Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat 

menunjukkan, bahwa kepulauan negara kita  merupakan satu 

kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan 

gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar. 

Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua, 

yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil 

dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, 

Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, 

dan lain-lain pulau kecil di antaranya, yaitu  satu kesatuan 

... Natie negara kita , bangsa negara kita , umat negara kita  jumlah 

orangnya yaitu  70.000.000, namun  70.000.000 yang telah 

menjadi satu, satu, sekali lagi satu! ... Ke sinilah kita semua 

harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas 

kesatuan bumi negara kita  dari Ujung Sumatera sampai ke 

Papua”. “Seluruh Rakyat negara kita , baik di daerah Republik, 

maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat negara kita  

dari Sabang sampai ke Papua, seluruh Rakyat negara kita  yang 

merantau di manca negara, saya panggil kamu, untuk 

meneruskan perjoangan kita mempertahankan Republik 

sebagai pelopor dibandingkan  perjoangan seluruh bangsa 

negara kita , sebagai lambang kemenangan Revolusi negara kita  

terhadap imperialisme Belanda. Yakinlah, saudara-saudara di 

luar Jawa dan Sumatera dan Madura, -dengan hilangnya 

Republik akan hilang pula dibasmi oleh Belanda pergerakan 

kemerdekaan di luar Republik. Kita yang 70.000.000 jiwa ini, 

kita bangsa yang satu. Dan kita bangsa yang satu ini 

mempunjai cita-cita bangsa, memiliki  cita-cita kebangsaan 

243 

 

bersama-sama: Ialah, supaya bangsa yang satu ini hidup 

sebagai bangsa yang merdeka, tersusun di dalam satu Negara 

yang merdeka, bernaung di bawah satu Bendera Sang Merah 

Putih yang merdeka. Empat puluh tahun hampir, kita 

bersama-sama berjoang, bersama-sama menderita, bersama-

sama berkorban, untuk mencapai cita-cita kebangsaan kita 

itu. Dan hasil pertama yang besar dibandingkan  perjoangan 

bersama, penderitaan bersama, pengorbanan bersama kita itu 

ialah Republik negara kita  ini! Republik negara kita , yang kini 

hendak dihancurkan oleh Be1anda, Republik yaitu  milik kita 

bersama, milik seluruh bangsa negara kita . Republik bukan 

miliknya orang negara kita  yang berdiam di Jawa dan Sumatera 

saja, Republik yaitu  juga miliknya saudara-saudara yang 

berdiam di Borneo, di Sulawesi, di Kepulauan Sunda Kecil; di 

Maluku, di Papua. Darah saudara-saudara ikut membasahi 

tanah tatkala kita menjelmakan Republik ini! Republik harus 

kita anggap sebagai modal kita sekalian, untuk meneruskan 

perjoangan kita mengejar cita-cita kebangsaan kita, yakni 

Negara Kesatuan negara kita . Peliharalah modal ini, belalah 

modal ini, pertahan-kanlah modal ini!”  

 

Ya, ini barangkali memang berbau idealisme, barangkali 

memang berbau romantik. Saya memang dapat berlinang-

linang air mata pada saat mengelamunkan persatuan 

negara kita  itu. namun  saya mengucap suka-syukur kepada 

Tuhan, bahwa jiwa saya tidak kosong dibandingkan  idealisme dan 

romantik yang demikian itu. Saya merasa iba kepada orang-

orang, yang tidak memiliki  “Romantik negara kita ” itu. Saya 

merasa bahagia dalam keyakinan, bahwa “romantik” saya itu 

bukan romantik yang merindukan sesuatu  hal yang 

mustahil, namun  merindukan sesuatu hal yang saya yakin 

dapat tercapai dan malahan pasti akan tercapai pula. namun  

saya tidak mau “ber-romantik” sambil memeluk tangan. Saya 

mau bertindak aktif. Saya mau berjoang, dan mengajak Massa 

berjoang. Sebab saya yaitu  termasuk golongan orang-orang, 

yang berpendapat bahwa keharusan-keharusan sosial politik 

dalam warga   manusia itu menjelmanya sebagai 

“kejadian” ialah selalu, bilamana anasir-anasir obyektif 

mendapat cetusan Wahyu Cakraningratnya anasir-anasir 

subyektif yang sehebat-hebatnya dan semassal-massalnya. 

sebab  itulah maka saya gemar menjadi agitator, yang dengan 

244 

 

senjata idealisme, dengan senjata “pengalamunan”, kalau 

perlu dengan senjata romantik, aktif menggugah massa, aktif 

membangkitkan Massa!  

 

Apa sebab saya mengatakan, bahwa Negara Nasional 

negara kita  satu Keharusan sosial politik? Dus satu hal, yang 

tidak boleh tidak kelak pasti akan terjadi? Saya tidak berkata, 

bahwa Negara Nasional negara kita  itu pasti akan terjadi 

sekarang. Di dalam pidato saya pada 17 Augustus 1947 

itupun dengan tegas saya katakan, bahwa Republik (Jawa dan 

Sumatera) yaitu  modal bagi kita sekalian, untuk 

meneruskan perjoangan kita mengejar Negara negara kita . 

Tercapainya Negara negara kita  itu entah akan terjadi kapan; 

entah besok entah lusa, entah sewindu lagi entah dua windu 

lagi, namun  ia pasti, tidak boleh tidak, pasti akan terjadi. 

 

Apa sebab? -saudara menanya lagi? Sebabnya ialah bahwa 

terbentuknya Negara-Negara Nasional itu memang termasuk 

dalam tingkatan-tingkatan pertumbuhan warga  

burgerlijk. Di dalam alam warga  burgerlijk yang sedang 

subur, ada dua tendenz yang nyata dan terang: pertama 

tendenz tergabungnya negara-negara kecil menjadi negara-

negara besar, kedua tendenz terjadinya segala macam 

perhubungan-perhubungan antara negara-negara dan bangsa-

bangsa. Yang pertama dus tendenz terbangunnya negara-

negara nasional, yang kedua tendenz terhapusnya batas-batas 

nasional. Yang pertama terjadinya ialah pada waktu 

kapitalisme hendak menyubur, yang kedua terjadinya ialah 

bilamana kapitalisme telah jadi subur. 

 

Kapan negara-negara kecil di Jermania -Pruisen, Saksen, 

Beieren, dan lain-lain sebagainya-, kapan negara-negara kecil 

itu digabungkan menjadi negara nasional Jermania, dan Raja 

Pruisen dijadikan Kaisarnya? Pada tahun 1871, tatkala 

kapitalisme di Jermania hendak menaik. Kapan negara-negara 

kecil di Italia di bawah pimpinan Mazzini, Garibaldi, Cavour 

digabungkan menjadi negara nasional Italia? Pada kira-kira 

waktu itu pula, tatkala kapitalisme di Italia hendak menyubur. 

Kapan daimyo-daimyo Jepang menyerahkan negara-negara 

kecilnya kepada Meiji Tenno, sehingga terbangun Dai Nippon 

Teikoku? Pada waktu kapitalisme Jepang hendak berkembang. 

245 

 

Demikian pula, maka di lain-lain daerah di muka bumi ini 

didirikanlah negara-negara nasional, sebagai gelanggang 

usahanya kapitalisme yang hendak menyubur. Negara-negara 

kecil yang feodal tidak dapat menjadi gelanggang penyuburan 

itu, negara-negara kecil itu perlu digabungkan menjadi satu, 

agar dapat menjadi padang usaha yang mencukupi segala 

syarat-syarat kapitalisme nasional. Negara-negara multi-

feodal diluluh menjadi Negara Nasional! Dan tatkala 

kapitalisme-kapitalisme nasional itu telah terbangun, tatkala 

produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala 

produksi itu membangunkan export dan import yang 

membubung tinggi, terbangunlah satu perlalulintasan dan 

perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu 

ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional namun  ekonomi 

dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan 

negara yang satu dari negara yang lain. Demikianlah berlaku 

dialektik dalam alam kapitalisme itu: di satu pihak 

membangunkan negara-negara nasional, di lain pihak, 

memecah-kan batas-batas yang memisahkan antara negara-

negara nasional. 

 

Dialektik ini di negara kita  pun akan berlaku! Saya tidak 

berkata bahwa kapitalisme nasional di negara kita  akan 

membubung tinggi, namun  Negara Nasional negara kita  akan 

terjadi. Sebab evolusi menuju kepada “industrialisme”. Dan 

industrialisme membutuhkan negara nasional itu. 

 

namun , apakah Negara Nasional negara kita  itu akan berupa 

Negara Kesatuan yang benar-benar Kesatuan (unitaristis), 

atau akan berupa Negara Kesatuan yang bersifat Negara 

Gabungan, itu akan membukti sendiri di hari lalu . 

Segala sesuatu akan berlaku secara proses, dan proses itu 

berlaku menuruti geraknya faktor-faktor obyektif di daerah-

daerah negara kita  masing-masing. namun  nyata sudah, bahwa 

untuk menjadi “padang-usaha” industrialisme, seluruh daerah 

negara kita  harus ekonomis menjadi satu, dan supaya 

ekonomis menjadi satu, maka seluruh daerah negara kita  itu 

politis harus menjadi satu pula. Atau lebih benar: Kalau 

ekonomis menjadi satu, maka politis juga menjadi satu. 

Menilik syarat-syarat yang diperlukan untuk industrialisme, 

246 

 

maka industrialisme itu tidak dapat berkembang di atas 

daerah ekonomis di negara kita  sepulau demi sepulau. 

 

Seluruh Kepulauan negara kita  membutuhkan diri satu sama 

lain, seluruh kepulauan negara kita  barulah dapat menjadi satu 

dasar ekonomis yang kuat bagi industrialisme, jika ber-

gandengan ekonomis satu sama lain, isi mengisi satu sama 

lain, bantu-membantu satu sama lain. Dari manakah 

misalnya Jawa dapat memperoleh besi dan batu bara jika 

tidak dari pulau lain, dan dari manakah Kalimantan dapat 

memperoleh tenaga manusia jika tidak dari Jawa? Tidak! Buat 

membangunkan industrialisme yang luas, tidak ada satu 

pulau di negara kita  yang dapat berdiri sendiri! Jikalau di 

negara kita  akan tumbuh industrialisme yang kuat, -dan garis 

evolusi warga  pasti menuju ke situ, dan buat 

melaksanakan sosialisme pun dibutuhkan satu minimum 

industrialisme, sebagai saya terangkan tadi-, jikalau akan 

tumbuh di sini industrialisme yang kuat, maka negara kita  

ekonomis harus menjadi satu, dan jikalau negara kita  ekonomis 

harus menjadi satu, maka negara kita  politis pun pasti menjadi 

satu. lni yaitu  satu kepastian, satu keharusan sosial-

ekonomis dan sosial-politis, -bukan lagi satu pengelamunan, 

atau satu cita-cita semata-mata, atau satu romantik. Dan 

bukan pula yang orang namakan “imperialisme Jawa” atau 

“imperialisme Sumatera” atau “imperialisme Republik”! 

Alangkah piciknya orang yang menuduh Republik 

“imperialistis” (hendak “mencaplok” negara kita  Timur, atau 

“meng-anschluss” Borneo Barat), oleh sebab  Republik 

bercita-citakan persatuan negara kita ! Persatuan negara kita  

kelak, ekonomis dan politis, yaitu  nul hubungannya dengan 

sesuatu nafsu imperialisme, sama dengan persatuannya 

Pruisen dan Beieren dalarn negara Jer-mania, atau 

persatuannya Texas dan California dalam negara Amerika, 

juga nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme. 

Persatuan negara kita  itu ditentukan oleh garis-garis sosial 

ekonomis. Malah bukan saja industrialisme yang 

membutuhkan persatuan. negara kita  itu, perdagangan yang 

memperdagangkan hasil industrialisme itu, (dus satu anasir 

dibandingkan  industrialisme itu), itupun membutuhkan persatuan 

negara kita  itu. Kaum perdagangan negara kita  sudah tentu ingin 

mempunjai “pasar sendiri” yang seluas-luasnya dan 

247 

 

sesentausa-sentausanya, ingin mempunjai “home market” 

sendiri yang tidak dikuasai oleh persaingan asing. Dan “pasar 

sendiri” untuk hasil-hasil dari Jawa, Sumatera, Kalimantan 

dan lain sebagainya itu ialah kepulauan negara kita , seluruh 

kepulauan negara kita . sebab  itulah maka perdagangan 

negara kita , yang kelak dilahirkan oleh industrialisme negara kita  

itu, membutuhkan dan tentu ikut melaksanakan Negara 

negara kita  itu. lni yaitu  satu macam nasionalisme, -

“nasionalisme perdagangan”, kalau Tuan mau-, namun  satu 

nasionalisme yang benar pula, satu nasionalisme yang halal. 

Memang menurut salah seorang pemimpin Marxist yang besar 

“pasarlah sekolah di mana borjuasi belajar nasionalismenya 

pertama-tama”, -“the market is the first school in which the 

bourgeoisie learns its nationalism”. 

 

Orang-orang yang kukuh mau mengadakan negara-negara 

tersendiri di masing-masing pulau atau di masing-masing 

daerah, sungguh harus kita ibai. Mereka atau tidak 

berpengetahuan tentang tendenz evolusi warga , atau 

sengaja menjadi alat durhaka imperialisme semata-mata yang 

selalu menjalankan politik memecah-belah. namun  tendenz 

evolusi warga  itu tidak dapat dipengaruhi oleh orang-

orang semacam itu, yang usahanya bertentangan dengan 

gerak anasir-anasir obyektif dalam warga  itu. 

warga  berjalan terus menurut hukum-hukum evolusinya 

sendiri. Terus! Negara Nasional negara kita  pasti berdiri. 

 

Ya, Negara Nasional negara kita  pasti berdiri. Negara Nasional 

negara kita  itu ialah proyeksi politik dibandingkan  hasrat 

ekonomi dibandingkan  warga  negara kita . Ia yaitu  ujung 

Revolusi Nasional kita, yang awalnya ialah terdirinya Republik. 

Ia belum tercapai, Revolusi Nasional kita memang belum 

selesai. Segenap Nasionalisme kita akan berkobar terus dan 

membinasa membangun terus, sampai Negara Nasional itu 

tercapai. Apakah yang dinamakan Nasionalisme kita itu? 

Segala macam rasa yang hebat dan mulia menjadi anasir 

Nasionalisme kita itu! Rasa cinta tanah-air yang indah dan 

permai, rasa cinta bangsa sendiri dan bahasa sendiri, rasa 

cinta kebudayaan yang telah menjadi irama jiwa sehari-hari, 

rasa cinta sejarah dahulu yang gilang-gemilang dan rasa ingin 

membangun sejarah baru yang gilang-gemilang pula, rasa 

248 

 

cinta kepada kemerdekaan dan rasa benci kepada penjajahan, 

rasa ingin hidup sejahtera dan tak mau hidup terhisap, rasa 

bukan lagi orang Jawa atau orang Sumatera atau orang 

Sulawesi, namun  orang bangsa negara kita  saja, -semua rasa-

rasa itu mendidih menggelora di dalam satu kancah, menyala-

nyala berkobar-kobar di dalam satu kawah yang bernama 

kancah dan kawahnya Nasionalisme negara kita . 

 

Nasionalisme negara kita  itu memiliki  sumber-sumber, 

memiliki  “penghidup-penghidup”, dan penghidup-

penghidupnya itu ialah tenaga-tenaga warga  (sociale 

krachten) yang hebat dan kuasa, dinamis dan revolusioner, -

tidak tertahan oleh tenaga apapun juga, meski tenaga 

imperialisme yang bersenjatakan tentara dan armada 

sekalipun. 

 

Apakah tenaga-tenaga warga  itu? 

Pertama tenaga warga  yang timbul dari kalangan rakyat 

jelata yang bermilyun-milyun, buruh dan tani, yang oleh 

imperialisme turun-temurun dihisap ditindas, dieksploatir 

laksana ternak, dan kini jiwanya menjadi jiwa rebelli mau 

cukup bekal hidup, mau sejahtera, mau aman, -kedua tenaga 

warga  yang timbul dari kalangan kaum perusahaan 

negara kita  yang oleh adanya imperialisme sama sekali 

kehilangan alam, dan kini mau memiliki  alam. Kedua-dua 

tenaga warga  ini memberontak kepada: imperialisme itu, 

yang satu memberontak ingin hidup, yang lain memberontak 

ingin berkembang: Tujuh puluh milyun manusia tua muda 

1aki-laki wanita  -boleh dikatakan tidak ada satu orang 

pun yang terkecuali- jiwanya dalam rebelli, benci kepada 

penjajahan dan rindu kepada kemerdekaan, berpuluh-puluh 

milyun dari antara mereka itu bangkit aktif, mengambil 

bambu runcing dan golok dan senapan untuk menyerang dan 

melawan, -berpuluh-puluh milyun lagi mengambil pacul dan 

martil dan tangkai pena untuk menyusun, mencipta, 

membangun. Destruksi dan Konstruksi sedang berlaku 

simultan dalam satu simfoni yang maha dahsyat. 

 

Itulah Nasionalisme negara kita  yang sedang menjalankan 

Revolusi Nasional. Yang sedang meneruskan Revolusi 

Nasional, -yang memang belum selesai, sebab  memang belum 

249 

 

terbangun satu Negara Nasional. Apakah ini berarti, bahwa 

tujuannya Revolusi Nasional kita itu dus sekedar satu Negara 

Nasional di dalam arti biasa, seperti Jerman, seperti Italia, 

seperti Jepang, seperti Perancis? Satu Negara Nasional yang 

burgerlijk, yang “borjuis”, - oleh sebab  belum tiba saatnya 

untuk mengadakan sosialisme? 

 

Tidak! Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk 

mengadakan sosialisme, -belum tiba kemungkinannya buat 

kita untuk mengadakan sosialisme- , sekarang Revolusi kita 

masih Revolusi Nasional, namun  itu tidak berarti, bahwa 

Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara 

yang burgerlijk. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa 

batas antara Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial tidak tajam 

seperti batas antara bilik yang satu dan bilik yang lain, 

sebagaimana tiap-tiap proses melalui beberapa fase, yang fase-

fase ini juga tidak terpisah tajam antara satu sama lain, maka 

Negara Nasional negara kita  yang hendak kita dirikan itupun 

tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis, 

melainkan  bolehlah diibaratkan satu “fase-peralihan” antara 

fase burgerlijk dan fase sosialis. 

 

Lihatlah Undang-undang Dasar Republik kita. Jikalau 

dikatakan, bahwa Undang-undang Dasar Republik kita itu 

satu undang-undang dasar yang sama sekali sosialistis, maka 

itu tidak benar. namun  juga, jikalau dikatakan, bahwa ia satu 

undang-undang dasar yang sema sekali burgerlijk, itupun 

tidak benar. 

 

Pasal 33 yang berbunyi: 

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar 

atas azas keke1uargaan; 

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan 

yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh 

negara; 

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di  

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk 

sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

 

dan Pasa1 34 yang berbunyi: 

250 

 

Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh 

negara,-  

 

pasal-pasal itu menghilangkan sifat yang “sama sekali 

burgerlijk” itu. Di dalam pasal-pasa1 itu dibuat permulaan 

dibandingkan  usaha membanteras kapitalisme. Pasal-pasal itu 

yaitu  pasal-pasal yang mengatur permulaan dibandingkan  usaha 

menyelenggarakan sosialisme. Undang-undang Dasar kita 

yaitu  undang-undang dasar satu Negara yang sifatnya di 

tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme, undang-undang 

dasar satu Negara yang benar dengan kakinya masih berdiri di 

bumi yang burgerlijk, namun  di dalam kandungannya telah 

hamil dengan kandungan warga  sosialisme, undang-

undang dasarnya satu Negara dus yang tidak “diam”, tidak 

“statis”, melainkan dinamis, yaitu bergerak menuju ke 

susunan baru, berjoang menuju ke susunan baru. Negara kita 

yaitu  satu “negara peralihan”, satu negara yang dengan 

sedar memperjoangkan peralihan, -satu negara yang  

revolusioner. 

 

Memang segenap jiwanya yaitu  jiwa yang revolusioner. 

Nasionalismenya yaitu  nasionalisme yang revolusioner, 

nasionalisme yang sekarang pun telah dengan langsung 

mengemukakan perhubungannya dengan kemanusiaan, -

nasionalisme yang biasa saya namakan socio-nasionalisme. 

Demokrasinya yaitu  demokrasi yang revolusioner, demokrasi 

rakyat sepenuh-penuhnya yang sedar akan kekurangan-

kekurangannya demokrasi politik a l a Barat, dan oleh 

sebab nya berusaha menjelmakan demokrasi politik dan 

ekonomi, (yang hanya sempurna dalam alam sosialisme), - 

demokrasi yang biasa saya namakan sosio-demokrasi. 

Ketuhanannya bukan ketuhanan dari satu agama saja, namun  

ketuhanan yang memberi tempat kepada semua orang yang 

ber-Tuhan. Jiwa revolusioner ini, -terutama sekali sosio-

nasionalismenya dan sosio-demokrasinya- yaitu  terang satu 

“pembawaan” dibandingkan  sifat peralihan (sifat transisi) dibandingkan  

Negara kita itu, terang satu “jembatan” antara ideologi-ideologi 

burgerlijk dan ideologi-ideologi sosialis. 

 

Menjadi nyatalah: Negara Nasional yang kita dirikan, bukan 

negara burgerlijk, bukan pula negara sosialis. Revolusi 

251 

 

Nasional yang kita jalankan, bukan revolusi burgerlijk, bukan 

pula revolusi sosialis. Bukan burgerlijk, oleh sebab  kita telah 

meliwati fase burgerlijk; bukan sosialis, oleh sebab  kita 

belum sampai kepada fase sosialis. Siapakah yang 

menjalankan Revolusi kita sekarang ini? Boleh dikatakan 

semua golongan warga  negara kita  menjalankannya: kaum 

pemuda terpelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum pegawai, 

kaum bangsawan, kaum pedagang, dsb - semuanya ikut 

semuanya berjoang! Oleh sebab  itulah boleh dikatakan 

bahwa Negara kita bukan milik sesuatu golongan, bukan 

monopoli sesuatu kelas. Negara burgerlijk ia bukan, sebab ia 

bukan monopolinya kelas borjuis; negara proletar ia bukan, 

sebab ia bukan monopoli kelas proletar.  

 

la yaitu  negara milik seluruh lapisan negara kita  yang 

revolusioner. Dan kewajibannya Revolusi yang kita jalankan 

ini yaitu  memang kewajibannya semua lapisan negara kita  

yang revolusioner: destruktif menghantam-menggempur 

imperialisme, menghancurleburkan penjajahan kolonial; 

konstruktif menyusun membina satu Negara Nasional yang 

tidak burgerlijk, namun  (meski belum sama sekali sosialistis) 

toh telah hamil dengan susunan warga  yang sosialistis. 

Kedua-dua tugas ini, -simultan destruktif dan konstruktif 

yang demikian-, nyatalah tugas-tugas revolusioner, yang 

hanya dapat dikerjakan dan diselesaikan oleh golongan-

golongan rakyat yang revolusioner. 

 

Apakah yang dinamakan “golongan-golongan rakyat yang 

revolusioner” itu? la bukan hanya golongan proletar saja, 

bukan hanya golongan buruh! Bukan pula ia hanya golongan 

yang galib dinamakan “kaum jembel”. la yaitu  golongan-

golongan yang berjoang sesuai dengan kemajuan dalam 

perjalanan evolusi warga , bukan menentangnya, bukan 

menahannya, -golongan-golongan yang berjoang mati-matian 

menghancur-leburka “orde” yang lama dan mempercepatkan 

datangnya “orde” yang baru, sesuai dengan tendenz-tendenz 

dalam evolusinya warga  itu. Tak perduli dari lapisan 

mana golongan-golongan itu! Tak perduli dari lapisan proletar, 

tak perduli dari lapisan tani, tak perduli dari lapisan 

pedagang, tak perduli dari lapisan pemuda terpelajar, tak 

perduli dari lapisan ningrat, tak perduli dari lapisan mana, -

252 

 

namun  lapisan atau golongan yang berjoang menghancur-

leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde 

yang baru sesuai dengan tendenz evolusi warga , -dia 

yaitu  revolusioner. 

 

lni bukan satu definisi yang terlalu royal dengan sebutan 

revolusioner. Ini satu definisi tentang arti revolusioner yang 

meski kaum komunis sekali pun membenarkannya. Misalnya 

Stalin di dalam bukunya tentang “Soal-soal Leninisme” 

mengemukakan definisi yang malah lebih “royal” lagi: “Untuk 

bernama revolusioner, maka sesuatu gerakan nasional tidak 

perlu terdiri dari golongan-golongan proletar, tidak perlu 

memiliki  program republikein, tidak perlu memiliki  

dasar demokratis. Perjoangannya Amir Afghanistan untuk 

kemerdekaan negerinya, obyektif yaitu  satu perjoangan 

revolusioner, meskipun Amir itu dan juga opsir-opsirnya 

berpendirian pada azas monarchisme (kerajaan); sebab 

perjoangannya melemahkan, mengalutkan, menggali 

imperialisme, sedang perjoangan kaum-kaum demokrat, 

“sosialis”, “revolusioner” dan republikein seperti Kerensky dan 

Tseretelli, Renaudel dan Scheidemann, Tchernov dan Dan, 

Henderson dan Clynes selama peperangan imperialis itu ialah 

satu perjoangan reaksioner, sebab hasilnya ialah 

menggemukkan imperialisme, memperkuat imperialisme, 

memenangkan imperialisme itu. Demikian pula, maka 

perjoangannya kaum dagang dan kaum terpelajar borjuis di 

Mesir untuk mencapai kemer-dekaan Mesir itu yaitu  satu 

perjoangan yang obyektif revolusioner, meskipun asalnya dan 

sifatnya pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di sana itu 

ialah borjuis, dan meskipun mereka menentang sosialisme; 

sedang perjoangan pemerintah buruh Inggeris untuk 

menetapkan Mesir di bawah perwalian Inggeris ialah satu 

perjoangan reaksioner, meskipun anggota-anggota 

pemerintah itu berasal dari kalangan kaum buruh, bersifat 

orang-orang dari kalangan kaum buruh, dan meskipun 

mereka katanya berkeyakinan sosialisme. Demikian pula, 

maka pergerakan nasional dalam negeri-negeri penjajahan dan 

taklukan yang besar seperti India dan Tiongkok, tidak kurang 

berarti satu pukulan langsung kepada imperialisme, dan 

sebab nya berarti satu pergerakan revolusioner, meskipun ia 

253 

 

menentang azas-azasnya demokrasi formil”. Demikianlah 

Stalin! 

 

Jadi, menurut definisinya itu, tiap-tiap pergerakan yang 

menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme yaitu  

pergerakan revolusioner. Artinya: jangan mengukur 

pergerakan-pergerakan nasional itu dengan ukurannya 

keproletaran, kerepublikan, atau demokrasi formil. Satu-

satunya ukuran yang harus dipakai ialah hasil, akibat 

pergerakan-pergerakan itu: memperkuatkah kepada 

imperialisme, atau melemahkankah kepada imperialisme? 

Yang memperkuat imperialisme yaitu  reaksioner; yang 

melemahkan imperialisme yaitu  revolusioner! 

 

Maka nyatalah, bahwa di dalam definisi itu tekanan accent 

diletakkan kepada apa yang saya namakan bagian destruktif 

dibandingkan  pergerakan nasional atau revolusi nasional: Bagian 

yang menghantam, bagian yang menggempur. Di bagian ini 

semua golongan di sesuatu negeri, -ningrat, tani, intelek, 

proletar, pedagang dll- dapat bersatu. Sebab semuanya anti 

imperialisme, semuanya anti penjajahan, semuanya dengan 

tiada kecuali satupun, ingin merdeka. 

 

Saya bukan saja mengemukakan bagian yang destruktif, saya 

mengemukakan juga bagian yang konstruktif, yang membina, 

membangun. Yang berjalan serempak, simultan, dengan 

bagian destruktif itu. Yang harus pula kita gelora-gelorakan, 

kita hebat-hebatkan, agar supaya Revolusi kita lekas selesai. 

Bagian itu ialah bagian membangun Negara Nasional. 

 

Maka di dalam bagian membangun Negara Nasional ini, juga 

semua golongan dapat bersatu. Ningrat, kromo, intelek, 

proletar, pedagang, ulama, pegawai, -semuanya dapat berdiri 

di satu barisan, semuanya dapat menjadi penjelma dan 

penggembleng Negara Nasional. Dan oleh sebab , baik  bagian 

destruktif, maupun bagian konstruktif dibandingkan  Revolusi 

Nasional, dapat menjadi padang persatuannya semua 

golongan dan semua lapisan, oleh sebab , baik di dalam 

bagian destruktif, maupun di bagian konstruktif, semua 

kegembiraan, semua semangat perjoangan, semua keridlaan 

berkorban dari semua golongan dan semua lapisan dapat 

254 

 

menggelora bersama-sama menjadi satu simfoni yang maha 

hebat, oleh sebab  itulah maka saya selalu berseru: 

persatuan! persatuan! sekali lagi persatuan! dan haruslah kita 

mengerti, bahwa Revolusi kita ini barulah dapat bertenaga 

maksimum, bilamana ia benar-benar bersifat Revolusi 

Nasional! 

 

Revolusinya Bangsa! Bukan revolusinya sesuatu kelas! 

Alangkah seringnya perkataan “bangsa” itu dipermainkan! 

Sering sekali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi 

kepentingan sesuatu golongan atau sesuatu kelas. Kadang-

kadang kaum ningrat mengadakan pergerakan untuk 

kepentingannya sendiri, -ditutupilah kepentingan sendiri itu 

dengan menamakan pergerakannya itu pergerakan “bangsa”. 

Kadang-kadang kaum pedagang mengadakan pergerakan 

untuk kepentingannya sendiri, pergerakannya itupun 

dinamakan pergerakan “bangsa”. Kadang-kadang kaum 

inteleklah yang mengadakan pergerakan untuk 

kepentingannya sendiri, -lagi-lagi dikeluarkanlah dengan 

muka angker perkataan “bangsa”. 

 

Hitler menamakan pergerakannya pergerakan “bangsa”, kaum 

borjuis di Perancis menamakan revolusinya satu setengah 

abad yang lalu revolusi “bangsa”. namun  kadang-kadang pula 

sesuatu golongan buruh hendak meng-anschluss nama 

“bangsa” itu pula! 

 

namun  Revolusi kita ini (harus) benar-benar satu Revolusi 

Kebangsaan, benar-benar satu Revolusi Bangsa. Sebab 

umumnya kita telah mengerti, bahwa hanya bilamana semua 

golongan, semua lapisan, ya semua alam ideologi dalam 

bangsa kita bertemu menjadi satu di dalam Revolusi kita itu, 

berjoang dan bergotong-royong menjadi satu, merupakan satu 

gelombang badai maha hebat yang menggempur-hancur 

benteng-benteng imperialisme dan menggembleng berdirinya 

Negara Nasional, hanya bilamana demikianlah, maka 

tenaganya Revolusi kita menjadi maksimum. Semua golongan 

dan lapisan dan alam faham itu satu persatunya 

“revolusioner”, - revolusioner oleh sebab  akibat 

perjoangannya ialah melemahkan kepada imperialisme, 

revolusioner oleh sebab  perjoangannya meng-hantam 

255 

 

imperialisme, menghancur-leburkan orde yang lama dan 

mempercepat datangnya orde yang baru yang berupa 

kemerdekaan nasional. 

 

Ya, seluruh Bangsa negara kita  yaitu  revolusioner, seluruh 

Bangsa negara kita  ber-Revolusi. Sifat “keseluruhan” ini 

memang sifat hampir semua Revolusi di negeri-negeri jajahan 

atau setengah jajahan. Pertentangan kelas tidak menghebat 

di dalam perjoangan rakyat-rakyat jajahan yang berjoang 

merebut kemerdekaan. Yang menonjol ke muka ialah sifatnya 

kebangsaan, sifatnya nasional. Dengan tepat hal ini pernah 

dikatakan pula oleh Henriette Roland Holst: “Di negeri-negeri 

yang tidak merdeka, maka pertentangan-pertentangan 

sosial diperjoangkan secara nasional”. – “De  socialle 

tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale 

vormen uitgevochten” - 

 

Tidakkah ternyata demikian keadaan di dalam Revolusi kita 

ini? 

Seluruh Bangsa negara kita  ber-Revolusi! Dan kedua-dua 

bagian dalam Revolusi kita itu, baik yang destruksif maupun 

yang konstruktif, sama sekali belum selesai! Sudahkah bagian 

destruktif selesai? Lampu lilin di hadapan saya itu masih saja 

memperingatkan saya, bahwa Belanda masih berkuasa di 

Tuntang; kota-kota lain masih mereka duduki; lautan kita 

masih mereka blokkir; pulau-pulau kita masih mereka kuasai; 

kekayaan kita masih mereka gali; negara-negara boneka masih 

mereka tegakkan; kampung-kampung kita masih mereka 

bakar; wanita-wanita kita masih mereka perkosa; kaum buruh 

kita masih mereka paksa; Sang Merah Putih masih mereka 

hina; si Tiga Warna masih berkibar di banyak tempat di 

negara kita , dengan diperlindungi bayonet, senapan, mortir, 

meriam, bom dan dinamit! Sudahkah, dengan keadaan 

demikian itu, bagian destruktif dibandingkan  Revolusi kita ini 

selesai? 

 

Dan sudahkah bagian konstruktif selesai? Bagaimana bagian 

konstruktif dapat selesai, kalau bagian destruktif belum 

selesai! Segenap jiwa kita yang menggeletar gandrung kepada 

adanya Negara Nasional negara kita  itu, laksana lautan 

gandrung kepada angkasa yang biru, masih belum melihat 

256 

 

Pemerintah Nasional negara kita  berkuasa di seluruh kepulauan 

Nusantara. Negara Nasional negara kita , Republik negara kita  

yang Besar, belum tercapai. Yang telah tercapai barulah 

Negara Republik negara kita  yang sekarang, - “Republik 

negara kita  yang kecil”. . 

 

namun  alangkah pentingnya Republik negara kita  yang kecil ini! 

Alangkah pentingnya Negara Republik negara kita  yang kecil 

ini! Biar dia masih “kecil”, -dengan dia di dalam tangan kita, 

kita merasa menggenggam satu senjata yang amat hebat. 

Musuh kita gempur dengan dia, pengkhianat-pengkhianat dari 

dalam kita lemahkan dengan dia, segenap tenaga rakyat kita 

susun dengan dia. Dia yaitu  alat perjoangan kita, alat 

Revolusi kita. Destruktif dan konstruktif kita sekarang 

berjoang dengan dia sebagai senjata. Dan kita akan terus 

berjoang dengan dia sebagai senjata, sampai tujuan kita, yaitu 

“Republik negara kita  yang Besar”, tercapai. Biar pun dia 

sekarang agak lebih kecil dibandingkan  dua tahun yang lalu, -lebih 

kecil oleh sebab  musuh menduduki sebagian dari daerahnya-

, dia akan kita genggam makin keras di dalam tangan kita, 

dan akan terus kita perguna-kan sebagai senjata kita yang 

paling hebat. Biar dia umpamanya “tinggal selebar payung” 

sekalipun, -kita akan terus berjoang dengan dia sebagai 

senjata! 

 

Negara yaitu  memang alat-senjata. 

Telah berpuluh-puluh tahun kita berjoang, berjiwa nasional 

dan menggerakkan satu pergerakan nasional, berusaha, 

menderita, berkorban untuk mencapai cita-cita bersama, 

namun  baru dua tahun inilah kita berjoang dengan senjata 

baru, yaitu Negara. Dulu kita berjoang hanya dengan senjata 

rapat umum, surat kabar, serikat sekerja, partai, sekarang 

kita berjoang dengan senjata Negara.  

 

Tenaga-tenaga yang amat hebat kita pusatkan dalam Negara 

itu, agar supaya ia dapat menjadi alat senjata destruktif dan 

konstruktif yang sehebat-hebatnya pula. 

 

Dengan tentaranya, dengan seluruh angkatan perangnya, 

dengan seluruh pertahanan rakyatnya, Negara itu kita 

257 

 

hantamkan kepada musuh yang hendak menjajah kita lagi, 

kita hantamkan menggempur-mendestruksi kepadanya. 

 

Dengan seluruh jawatan-jawatannya, kita kerahkan dia untuk 

menyusun, membangun, mengkonstruksi produksi yang perlu 

untuk pertahanan dan ketahanan, dan mengkonstruksi segala 

hal lain-lain yang perlu lagi. 

 

Dulu serikat sekerja dan partailah alat kekuasaan kita. 

Sekarang alat kekuasaan kita ialah Negara! Negara memang 

bukan sekadar satu hal “kerukunan” belaka, negara yaitu  

satu alat-kekuasaan, satu organisasi kekuasaan. Alat 

kekuasaan kita sekarang ialah Negara Republik negara kita . 

Dengan Republik negara kita  ini, sebagai alat kekuasaan, kita 

sepuluh kali, seratus kali lebih kuasa dibandingkan  dulu. Dengan 

Republik ini sebagai alat kekuasaan di pihak kita, musuh 

benar-benar berhadapan dengan kenyataan “kekuasaan 

kontra kekuasaan”. Kekuasaan yang lebih kuasa, -itulah yang 

akan menang. Kekuasaan hanya dapat dipatahkan dengan 

kekuasaan pula yang lebih kuasa. Itulah sebabnya, maka 

musuh sekarang mencoba mematahkan alat kekuasaan kita 

itu tidak lagi dengan “diplomasi”, namun  dengan kekusaan 

segenap angkatan perangnya. Manakala mulut manusia tidak 

berdaya, maka mulut meriam harus bicara! Segenap tank-

tanknya yang dari baja, kapal-kapal udaranya, armadanya, 

bomnya, meriamnya, -semua itu digempurkan olehnya 

laksana sambaran geledek kepada Negara kita, untuk 

mencoba meremuk-redamkan alat kekuasaan kita (Negara) 

itu. 

 

namun , Insya Allah, -ia tidak mudah akan berhasil. Kita 

seratus kali lebih kuat dibandingkan  dahulu. Sebab senjata kita 

sekarang ialah justru Negara, -Negara (yang sebagai 

penjelmaan Revolusi Nasional yang meliputi semua golongan 

dan lapisan) dengannya kita dapat membangkitkan sehebat-

hebatnja semua tenaga perjoangan dan tenaga pertahanan di 

dalam tubuh dan jiwanja Bangsa. Boleh dikatakan, dengan 

alat Negara itu, tiap-tiap orang negara kita , tiap-tiap batu di 

negara kita  kita dapat kerahkan untuk berjoang. Angkatan 

Perang, -aparat kekuasaan Negara-, di dalam perang 

kemerdekaan ini kita gempurkan sehebat-hebatnya kepada 

258 

 

musuh, dan seluruh rakyat laki-laki wanita  pula, 

dikerahkan oleh Negara untuk berjoang serta. Musuh yang 

mempergunakan aparat kekuasaan itu, -tentaranya- dan 

hanya dapat mempergunakan aparat kekuasaannya itu saja! -

musuh bukan saja berhadapan dengan aparat kekuasaan kita, 

ia berhadapan pula dengan perkembangan kekuasaan seluruh 

rakyat, perkembangan kekuasaan yang totaliter. 

 

Senjata kita hadapi dengan senjata, plus perlawanan rakyat 

yang totaliter! 

 

Berkat adanya Negara, maka kita dapat berjoang secara 

totaliter; maka musuh tidak akan menang, namun  kita yang 

akan menang!  

 

Kita yang akan menang! Dan kita ini akan menang, bukan 

hanya oleh sebab  kita dengan alat Negara dapat 

mengerahkan pertahanan di dalam yang totaliter, -kita pun 

akan menang oleh sebab  pertahanan di luar telah bangkit 

secara hebat. negara kita  tidak lagi negara kita  dari zaman 

dahulu. Ia tidak lagi berdiri sendiri. Ia sudah satu kali buat 

selama-lamanya terhubungkan dengan dunia luaran. Memang 

demikianlah, kata saya di muka tadi, berjalannya dialektik 

dalam alam industrialisme; di satu fihak berdirinya negara-

negara nasional, di lain fihak terhapusnya negara-negara-

nasiona1, di lain fihak terhapusnja batas-batas nasional. 

Bangsa-bangsa mendirikan kebangsaannya sendiri-sendiri 

namun  serempak dengan itu, tenaga-tenaga imperialisme pun 

menjadi satu, dan tenaga-tenaga anti-imperialisme pun 

menjadi satu. Ofensifnya imperialisme kepada kemerdekaan 

kita sekarang ini, sebenarnya bukan hanya ofensifnya 

imperialisme Belanda kepada kemerdekaan negara kita  saja, 

namun  yaitu  sebagian dibandingkan  ofensif umum yang 

dilakukan oleh imperialisme internasional di mana-mana. Di 

negara kita , di Vietnam, di Tiongkok, di Balkan, dan di lain-lain 

tempat lagi (dengan cara-cara yang ditentukan oleh tempat 

dan keadaan), imperialisme internasional itu serentak sedang 

dalam ofensif, namun  tenaga-tenaga anti imperialisme di 

seluruh dunia pun serentak sedang mengadakan perlawanan 

bersama yang sekuat-kuatnya. Serangan yang dilakukan oleh 

angkatan perang Belanda kepada kemerdekaan kita itu, 

259 

 

dirasakan oleh segenap golongan-golongan anti imperialisme 

sedunia sebagai bangkitnya reaksi imperialisme internasional 

yang membahayakan juga kepada mereka. Itulah sebabnya, 

maka kita dibela oleh mereka, dibantu oleh mereka, atau 

sedikit-dikitnya mendapat simpati dari mereka. 

 

Dan pada waktu mereka memberi simpati kepada kita atau 

membela kita itu, mereka tidak menanya-nanya apakah 

kemerdekaan kita itu “bikinan Jepang atau tidak”, tidak pula 

mengukur-ukur perjoangan kita itu dengan ukurannya 

demokrasi formil. Benar, Republik kita memang bukan 

bikinan Jepang, azas kita memang Pancasila yang lebih 

demokratis dibandingkan  demokrasi biasa, namun  golongan-

golongan anti imperialis sedunia yang membantu dan 

membela kita itu tidak menanya-nanya hal “bikinan Jepang”, 

tidak mengemukakan ukuran demokrasi formil. Apa sebab? 

Oleh sebab  mereka mengetahui bahwa perjoangan kita 

yaitu  satu bagian dari Perjoangan Besar di seluruh dunia 

menentang imperialisme; satu perjoangan yang hasil 

akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu 

perjoangan yang revolusioner. 

 

Dan kitapun, dalam simpati kita kepada perjoangan 

kemerdekaan rakyat-rakyat Mesir, Vietnam, Birma, Palestina, 

Korea, India dan lain-lainnya, tidak harus mengukur-ukur 

perjoangan mereka itu dengan ukurannja demokrasi formil. 

Kita tidak harus menanya apakah Gandhi benar-benar 

demokrat, tidak harus menggugat bahwa Mufti Jeruzalem 

dulu pernah minta pertolongan kepada Hitler, tidak harus 

menyelidik apakah pergerakan Mesir itu sebenarnya tidak 

bersifat burgerlijk. Kita harus hargai pergerakan mereka itu 

sebagai cincin-cincin dalam rantai perlawanan anti imperialis, 

rantai penggembleng kemerdekaan-kemerdekaan nasional. 

Kemenangan mereka yaitu  kekalahan imperialisme 

internasional, kekalahan imperialisme internasional yaitu  

keuntungan kita; itulah sebabnya kita harus bersimpati 

kepada mereka; itulah sebabnya kita harus bersedia 

membantu kepada mereka, sebagaimana mereka pun bersedia 

membantu kepada kita. Mereka dan kita, seluruh pergerakan 

anti imperialis sedunia dan kita, yaitu  sama-sama 

revolusioner. Mereka revolusioner, kita pun revolusioner! 

260 

 

 

Maka dengan ini nyatalah dan tegaslah, bahwa perjoangan 

kemerdekaan sesuatu rakyat jajahan atau setengah jajahan 

janganlah ditinjau dalam “keadaannya sendiri”, namun  harus 

ditinjau dalam hubungan sedunia. Jangan ditinjau terlepas 

dari hubungan itu, namun  harus ditinjau dalam hubungan itu: 

Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti 

imperialis sedunia. 

 

Kapitalisme internasional dihidupi imperialisme internasional, 

imperialisme internasional berakibat perlawanan kepada 

imperialisme internasional; perjoangan kemerdekaan rakyat 

jajahan atau setengah jajahan melemahkan imperialisme 

internasional, lemahnya imperalisme internasional 

melemahkan kapitalisme internasional; tiap-tiap perjoangan 

kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan yaitu  dus 

revolusioner, dan pantas dibantu, harus dibantu, wajib 

dibantu oleh semua tenaga-tenaga anti kapitalis di seluruh 

dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu 

perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah 

jajahan, mereka yaitu  pula golongan-golongan yang 

revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang 

tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan 

kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah jajahan, 

meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski 

ia menamakan diri “progresif”, atau “demokrat”, atau 

“sosialis”-, ia yaitu  reaksioner. Ia pada hakekatnya 

mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan 

kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia “sosialis”, maka 

ia ”sosialis” yang terang-terang