presiden soekarno 10
rmainan bersama itu hingga menggoncangkan
seluruh dunia. Di dalam fase sekarang ini (fase nasional),
maka dihantam digempur diremukredamkan rantai-rantai
politik, belenggu-belenggu ekonomi, hukum-hukum
penjajahan kolonial, namun simultan dengan itu digembleng-
dibangunkanlah Negara Baru. Pemerintahun Baru, hukum-
hukum dan anggapan-anggapan baru, alat-alat produksi baru,
orang-orang produsen baru. Dan bukan saja untuk fase yang
sekarang semata-mata! namun di dalam fase yang sekarang ini
akan mulai juga berangsur-angsur disiap-siapkan dan disedia-
sediakan syarat-syarat untuk berlakunya fase sosial yang
akan datang, sebagai misalnya alat-alat teknik dan alat-alat
jiwa yang saya maksudkan di muka tadi. Demikian pula,
maka di dalam fase sosial bukan saja akan dihancurkan dan
dibinasakan segala anasir-anasir kapitalisme, serta
dibangunkan dan disuburkan simultan dengan itu anasir-
anasir kesejahteraan sosial, namun juga akan dipelihara
beberapa anasir yang telah terbentuk di dalam fase yang
terdahulu, yaitu fase nasional. Fase yang satu dus tidak
terpisah dari fase yang lain secara tajam laksana terpisahnya
lautan dari daratan atau laksana terpisahnya bilik yang satu
dari bilik yang lain, namun dua fase itu “sambung-sinambung”
satu sama lain laksana “fase kanak-kanak” dan “fase dewasa”
di dalam hidupnya manusia atau binatang.
Perhatikan: laksana fase kanak-kanak dan fase dewasa dalam
hidupnya manusia atau binatang! Artinya, dua fase ini
sendiri-sendiri harus ada, dua fase ini yang satu mendahului
yang lain, dan yang lain mengikuti yang satu, -namun tidak
236
dapat dua fase ini terjadi berbareng sekaligus, tidak dapat
fase dewasa terjadi dengan tidak didahului lebih dahulu oleh
fase kanak-kanak. Fase Nasional dan fase Sosial dibandingkan
Revolusi kita ini dua-duanya sendiri-sendiri harus ada, tidak
dapat Fase Sosial terjadi sebelum selesal lebih dahulu Fase
Nasional, tidak dapat pula Fase Nasional dan Fase Sosial
terjadi berbareng sekaligus. Ini harus dikemukakan di sini
dengan tegas, sebab di dalam kalangan kaum pergerakan
negara kita masih ada orang-orang yang masih berpenglihatan
kabur tentang hal ini. Tatkala Revolusi kita baru berlaku
beberapa bulan saja, maka dari kalangan beberapa pemuda
negara kita , saya beberapa kali mendengar ucapan-ucapan yang
isi maksudnya ialah: Nah, kita sekarang sudah merdeka, kita
sekarang sudah ber-Republik, mari kita sekarang segera mulai
mengadakan Revolusi sosial!
Hantam-kromo saja mau segera mengadakan revolusi sosial?
Seolah-olah sesuatu revolusi, -apa lagi revolusi sosial- dapat
“diadakan”! Seolah-olah sesuatu revolusi dapat “dibikin” oleh
seseorang pemimpin, dan misalnya disuruh mulai pada bulan
sekian, hari tanggal sekian, jam sekian! Seolah-olah Marx
tidak pernah berkata, bahwa sesuatu revolusi bukanlah
anggitan seseorang revolusioner “pada suatu malam yang ia
tak dapat tidur”! Seolah-olah revolusi bukan satu proses
warga yang digerakkan oleh tenaga-tenaga warga
itu sendiri, -bukan oleh si agitator, bukan oleh si demagoog,
bukan oleh si penganjur, bukan oleh si pemimpin!
Di dalam tahun 1927 dan 1928 saya mengalami kesulitan-
kesulitan yang semacam dengan itu pula. Imperialisme
Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di
kalangan kaum komunis. Partai Komunis negara kita dan
Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan
pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam
pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjoangan
revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional
negara kita . Beberapa saudara komunis yang dapat
menyelamatkan diri dari hamuk tabula rasanya pemerintah
Belanda itu, di dalam perbantahan dalam kamar tertutup
selalu mengemukakan kepada saya: “Saudara anti
kapitalisme, saudara bercita-cita sosialis, kenapa saudara
237
tidak mulai sekarang saja mengadakan aksi sosialis, Mengapa
saudara mengadakan pergerakan nasional lebih dahulu?
Saudara mengadakan dua kali perjoangan Mengapa saudara
tidak mengadakan satu kali perjoangan saja, supaya
sosialisme lekas tercapai?
Selalu saya menghadapi kenyataan, bahwa orang belum
mengerti bahwa Revolusi yaitu satu proses. Satu proses
yang bertingkat-tingkatan, satu proses warga yang
timbul dari tenaga-tenaga immanent dalam warga itu
sendiri. Kita dapat meneruskan tingkatan revolusi yang satu
kepada tingkatan revolusi yang lain, kita dapat
menyambungkan tingkatan yang satu kepada tingkatan yang
lain, namun kita tidak dapat melangkahi tingkatan revolusi
yang satu, dan terus melompat saja ke tingkatan revolusi yang
lain, atau memborong tingkatan revolusi yang satu
berbarengan dengan tingkatan revolusi yang lain. Kita dapat
mencoba mempercepat jalannya tingkatan revolusi yang satu,
agar segera dapat disusul oleh tingkatan revolusi yang lain,
kita malahan harus menganggap tingkatan revolusi yang satu
itu sebagai ketentuan bagi (batu loncatan kepada) tingkatan
revolusi yang lain, namun kita tidak dapat meniadakan
tingkatan yang satu untuk segera mendapat tingkatan yang
lain. Tingkatan yang satu memiliki periode sendiri dan
kewajiban sendiri, tingkatan yang lain pun memiliki periode
sendiri dan kewajiban sendiri.
Tidak dapat kewajiban tingkatan yang lalu disuruh
menyelesaikan oleh tingkatan yang terdahulu, tidak dapat
kewajiban tingkatan yang terdahulu ditunda kepada tingkatan
yang lalu . Siapa yang menginsyafi hal-hal ini semuanya
dengan benar-benar, bertindak sesuai dengan keinsyafan itu,
berjoang, membanting tulang mati-matian untuk
mempercepatkan jalannya dan terlaksananya tingkatan-
tingkatan revolusi itu, dia yaitu benar-benar revolusioner,
dan siapa yang tidak mengindahkan adanya tingkatan-
tingkatan itu, dan mau main “radikal-radikalan” melompati
sesuatu tingkatan atau memborong sekaligus semua
tingkatan, dia, meski dengan suara yang menggeledek dan
mengguntur dan muka merah padam seperti udang
mengatakan dirinya revolusioner, dia tidak revolusioner.
238
Sebab dia hendak mengerjakan satu hal yang mustahil, -
hendak mengerjakan satu hal yang sosial -mustahil! Dan -dia
tidak radikal pula, meskipun dia mengira bahwa dia radikal.
Dia tidak revolusioner oleh sebab tidak mengerti proses
revolusi dan tidak berjoang menurut proses revolusi; dia tidak
radikal, oleh sebab tidak ada radikalisme sejati yang
bertentangan dengan proses revolusi.
Lilin di hadapan kertas saya tetap menyala! Satu simbul,
bahwa Revolusi kita tetap berjalan. Paberik listrik di Tuntang
boleh dikuasai oleh Belanda, -Revolusi kita dalam arti yang
luas akan berkobar terus, rakyat kita akan berjoang terus
memper-tahankan Negaranya. Satu hari akan datang yang
Sang Merah Putih akan berkibar dengan tiada gangguan, di
Tuntang, di Semarang, di Surabaya, di Jakarta, di Bandung, di
tempat-tempat yang kini diduduki oleh Belanda, -di seluruh
negara kita ! Satu hari akan datang, yang imperialisme di
negara kita betul-betul mati binasa, yang Negara kita tidak lagi
dalam bahaya.
namun nyata lilin itu membuktikan bahwa Revolusi Nasional
kita belum selesai, Revolusi Nasional kita kini sedang berjalan.
Sedang berjalan, dengan gegap-gempitanya, dengan hebatnya,
dengan dahsyatnya! Revolusi Nasional ini sebagai satu
cambuk gaib mengaktifkan tiap-tiap atom dibandingkan tubuhnya
bangsa kita, memasangkan tiap-tiap urat kecil dibandingkan
badan-tenaganya rakyat kita, menggeletarkan tiap-tiap bagian
dibandingkan jiwa warga kita, dan dia akan mengaktifkan
terus, akan memasangkan terus, akan menggeletarkan terus,
entah buat berapa tahun lamanya lagi, sampai kewajibannya
tertunai. Sebab sebagai saya katakan tadi, tiap-tiap fase
memiliki periodenya sendiri dan memiliki kewajibannya
sendiri, dan tiap-tiap fase menunaikan periodenya sendiri dan
menunaikan kewajibannya sendiri. Dan apakah kewajiban
fase Revolusi Nasional kita ini? Apakah “tugas bersejarah”-nya
Revolusi Nasional kita ini?
Kewajiban atau tugas bersejarahnya Revolusi Nasional kita ini
ialah mendirikan satu Negara Nasional negara kita . Tugas
bersejarah ini harus selesai lebih dahulu sebelum Revolusi
Nasional itu minta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial
239
Dan berapa lamakah diperlukan untuk menyelesaikan tugas
bersejarah itu? Entah berapa tahun, entah berapa windu, -
namun nyata bukan hanya beberapa bulan saja. Banyak air
keringat kita masih harus mengucur, banyak keluhan kita
masih harus terdengar, sebelum tugas bersejarahnya Revolusi
Nasional kita itu tertunai. Samodera Hindia masih harus
bergelora bertahun-tahun lagi, sebelum gelombang-
gelombangnya membanting membasahi pantai-pantai
kepulauan negara kita yang telah tergabung teguh dalam satu
Negara Naional negara kita . Ya, bertahun-tahun! Dua tahun
lebih kita telah berada dalam kancah Revolusi Nasional, namun
kesudahannya nyata belum tercapai. Memang, alangkah
banyaknya, alangkah sukarnya dan hebat-hebatnya anasir-
anasir Revolusi Nasional yang harus kita selesaikan, anasir-
anasir “destruksi” dan anasir-anasir “konstruksi”! Merebut
kekuasaan pemerintah dari tangan asing, menyusun angkatan
perang nasional, membinasakan tiap-tiap kuman kolonialisme,
menjalankan semua jawatan-jawatan dengan kekuatan
sendiri, membuat peruangan negara kita , mempersatukan
semua kepulauan negara kita dalam lingkungan-nya satu
negara yang merdeka, membanteras kekacauan-kekacauan
dari dalam, menyusun teknik negara kita yang kuat dan
modern, menjalankan diplomasi untuk mendapat pengakuan
de jure internasional, menindas provinsialisme, menggembleng
milyunan rakyat negara kita menjadi satu bangsa yang
berkesadaran nasional, berkesadaran negara, berkesadaran
pemerintah, berkesadaran tentara, berkesadaran sosial,
membuat pemerintah Nasional menjadi stable government ke
luar dan ke dalam, dan lain-lain lagi, -semua itu harus
dikerjakan, semua itu harus ditunaikan lebih dahulu, sebelum
boleh dikatakan Revolusi Nasional selesai. Ini bukan pekerjaan
kecil, ini bukan pekerjaan yang dapat kita selesaikan sambil
goyang kaki beberapa hari.
lni pekerjaan raksasa, yang membutuhkan pengerahan
tenaga, keuletan kemauan, ukuran fikiran dan ukuran
timbangan raksasa.
Ini harus selesai lebih dahulu, sebelum kita dapat dengan
sungguh-sungguh bercancut-taliwanda menggugurkan
benteng-bentengnya kapitalisme di dalam pagar, menjusun
240
dan menggembleng warga negara kita yang
berkesejahteraan sosial.
Jangankan warga “yang berkesejahteraan sosial”!
Menyusun warga yang “normal” saja pun tak mungkin,
sebelum selesainya soal nasional. Tak mungkin sebelum
selesainya soal politik! Dengarkanlah misalnya apa yang
dikatakan oleh Giuseppe Mazzini, salah seorang pemimpin
besar pembentuk Negara Nasional Italia beberapa puluh tahun
yang lalu: “Menyusun tanah air ini, malahan satu keharusan.
Anjuran-anjuran dan dayaupaya-dayaupaya yang kubicarakan
tadi, hanyalah dapat diselenggarakan oleh tanah air yang
bersatu dan merdeka. Perbaikan keadaan warga mu
hanyalah dapat diperoleh dengan ikut campurmu dalam
pergaulan ketata-negaraan bangsa-bangsa. Jangan mengira,
bahwa kamu akan dapat memperbaiki nasib hidupmu
sebelum memecahkan soal nasional lebih dahulu. Ikhtiarmu
akan sia-sia!” ...
Sekali lagi, alangkah banyaknya, sukarnya, dan hebatnya
anasir-anasir Revolusi Nasional yang harus kita tunaikan.
Alangkah banyaknya isi yang harus kita “isikan” dalam kata-
kata “destruksi” dan “konstruksi” yang simultan berlaku
dalam tiap-tiap Revolusi, dus juga dalam Revolusi Nasional
kita itu, sebelum dapat kita memasuki fase Revolusi yang
lalu !
Dan bukan saja Revolusi Nasional ini harus selesai untuk
memenuhi syarat-syarat dalam atau innerlijke voorwaarden
untuk memungkinkan Revolusi Sasial, bukan saja Revolusi
Nasional ini historis organis yaitu satu cincin dalam satu
proses warga yang panjang laksana rantai -ia yaitu
pula satu usaha perlawanan untuk menentang bahaya yang
datang dari luar. Seluruh dunia Timur sejak satu abad ini
terkepung oleh raksasa-raksasa imperialisme dan kapitalisme,
bahkan banyak yang telah dihinggapi dan diodal-adil perutnya
oleh raksasa-raksasa itu, dan sebagai satu usaha perlawanan,
maka bangsa-bangsa Asia berjoang mati-matian
memerdekakan diri, dan di sana-sini berusaha habis-habisan
untuk mendirikan negara-negara nasional. India berusaha
241
untuk menjadi negara nasional (sementara gagal, sebab
berdirinya Pakistan), Tiongkok berusaha untuk menjadi
negara nasional (sementara gagal pula), negara kita berusaha
untuk menjadi negara nasional. Philipina, Tiongkok, Siam,
negara kita , Indo-Cina, Burma, India, Afganistan, Iran, seluruh
jazirah Arab, Mesir, semua itu masing-masing harus merdeka,
untuk memungkinkan mereka menentang dengan efektif dan
mengeliminir dengan efektif segala eksploatasi yang datang
dari luar.
Saya tidak berkata bahwa tiap-tiap bangsa yang telah merdeka
telah pula terhindar dari eksploatasi dari luar!
Tidak! Pembaca kenal nasib Siam, dan kenal nasib Iran,
misalnya. namun kemerdekaan politik itu yaitu syarat mutlak
untuk memungkinkan sesuatu bangsa menentang dengan
tenaga maksimum segala eksploatasi dari luar. sebab itulah,
maka Revolusi Nasional kita ini bukan saja satu fase yang
seharusnya ada dalam pertumbuhan warga kita didalam
pagar, ia juga satu langkah pertahanan yang seharusnya ada
untuk penolak bahaya yang datang dari luaran.
Malah tegas, kita bukan hanya sekedar hendak merdeka, kita
tegas berjoang mendirikan Negara Nasional. Kita bukan cuma
menghendaki Jawa Merdeka (100 %), Sumatera Merdeka (100
%), Kalimantan Merdeka (100 %), Sulawesi Merdeka (100 %),
Kepulauan Sunda Kecil Merdeka (100%), Maluku Merdeka
(100%), tidak, kita menghendaki berdirinya Satu Negara
Seluruh negara kita (unitaristis atau federalistis) yang teguh
kuat. Kita menghendaki Negara Nasional.
Dan inipun bukan sekedar sebab “cita-cita”, bukan sekedar
sebab “idealisme”. Cita-cita kebangsaan kita itu yaitu satu
hal yang tumbuh dibandingkan keharusan-keharusan
pertumbuhan warga . Negara Nasional negara kita bukan
sekedar idam-idaman politikus-politikus yang berjiwa
romantis, ia yaitu satu keharusan sosial politik. Ya benar,
sudah tentu ada cita-cita, sudah tentu ada idealisme; malahan
barangkali sudah tentu ada romantik. Mungkinkah sesuatu
perjoangan maha hebat dan maha sukar berjalan dengan
cukup elan, jika tiada cita-cita, tiada idealisme, tiada
242
romantik? Ah, barangkali malahan saya sendiri terlalu sering
memainkan kecapinya idealisme dan romantik! Dengarkanlah
lagu yang misalnya saya nyanyikan dalam pidato “Lahirnya
Pancasila” atau pidato 17 Agustus 1947: “Orang dan tempat
tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari
bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto
Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya
memikirkan “Gemeinschaft”- nya dan perasaan orangnya.
“l’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak
mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami
manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air.
Tanah air itu yaitu satu kesatuan. Allah s.w.t. membuat peta
dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia,
kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” itu.
Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat
menunjukkan, bahwa kepulauan negara kita merupakan satu
kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan
gerombolan pulau-pulau di antara dua lautan yang besar.
Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara dua benua,
yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil
dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera,
Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku,
dan lain-lain pulau kecil di antaranya, yaitu satu kesatuan
... Natie negara kita , bangsa negara kita , umat negara kita jumlah
orangnya yaitu 70.000.000, namun 70.000.000 yang telah
menjadi satu, satu, sekali lagi satu! ... Ke sinilah kita semua
harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas
kesatuan bumi negara kita dari Ujung Sumatera sampai ke
Papua”. “Seluruh Rakyat negara kita , baik di daerah Republik,
maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat negara kita
dari Sabang sampai ke Papua, seluruh Rakyat negara kita yang
merantau di manca negara, saya panggil kamu, untuk
meneruskan perjoangan kita mempertahankan Republik
sebagai pelopor dibandingkan perjoangan seluruh bangsa
negara kita , sebagai lambang kemenangan Revolusi negara kita
terhadap imperialisme Belanda. Yakinlah, saudara-saudara di
luar Jawa dan Sumatera dan Madura, -dengan hilangnya
Republik akan hilang pula dibasmi oleh Belanda pergerakan
kemerdekaan di luar Republik. Kita yang 70.000.000 jiwa ini,
kita bangsa yang satu. Dan kita bangsa yang satu ini
mempunjai cita-cita bangsa, memiliki cita-cita kebangsaan
243
bersama-sama: Ialah, supaya bangsa yang satu ini hidup
sebagai bangsa yang merdeka, tersusun di dalam satu Negara
yang merdeka, bernaung di bawah satu Bendera Sang Merah
Putih yang merdeka. Empat puluh tahun hampir, kita
bersama-sama berjoang, bersama-sama menderita, bersama-
sama berkorban, untuk mencapai cita-cita kebangsaan kita
itu. Dan hasil pertama yang besar dibandingkan perjoangan
bersama, penderitaan bersama, pengorbanan bersama kita itu
ialah Republik negara kita ini! Republik negara kita , yang kini
hendak dihancurkan oleh Be1anda, Republik yaitu milik kita
bersama, milik seluruh bangsa negara kita . Republik bukan
miliknya orang negara kita yang berdiam di Jawa dan Sumatera
saja, Republik yaitu juga miliknya saudara-saudara yang
berdiam di Borneo, di Sulawesi, di Kepulauan Sunda Kecil; di
Maluku, di Papua. Darah saudara-saudara ikut membasahi
tanah tatkala kita menjelmakan Republik ini! Republik harus
kita anggap sebagai modal kita sekalian, untuk meneruskan
perjoangan kita mengejar cita-cita kebangsaan kita, yakni
Negara Kesatuan negara kita . Peliharalah modal ini, belalah
modal ini, pertahan-kanlah modal ini!”
Ya, ini barangkali memang berbau idealisme, barangkali
memang berbau romantik. Saya memang dapat berlinang-
linang air mata pada saat mengelamunkan persatuan
negara kita itu. namun saya mengucap suka-syukur kepada
Tuhan, bahwa jiwa saya tidak kosong dibandingkan idealisme dan
romantik yang demikian itu. Saya merasa iba kepada orang-
orang, yang tidak memiliki “Romantik negara kita ” itu. Saya
merasa bahagia dalam keyakinan, bahwa “romantik” saya itu
bukan romantik yang merindukan sesuatu hal yang
mustahil, namun merindukan sesuatu hal yang saya yakin
dapat tercapai dan malahan pasti akan tercapai pula. namun
saya tidak mau “ber-romantik” sambil memeluk tangan. Saya
mau bertindak aktif. Saya mau berjoang, dan mengajak Massa
berjoang. Sebab saya yaitu termasuk golongan orang-orang,
yang berpendapat bahwa keharusan-keharusan sosial politik
dalam warga manusia itu menjelmanya sebagai
“kejadian” ialah selalu, bilamana anasir-anasir obyektif
mendapat cetusan Wahyu Cakraningratnya anasir-anasir
subyektif yang sehebat-hebatnya dan semassal-massalnya.
sebab itulah maka saya gemar menjadi agitator, yang dengan
244
senjata idealisme, dengan senjata “pengalamunan”, kalau
perlu dengan senjata romantik, aktif menggugah massa, aktif
membangkitkan Massa!
Apa sebab saya mengatakan, bahwa Negara Nasional
negara kita satu Keharusan sosial politik? Dus satu hal, yang
tidak boleh tidak kelak pasti akan terjadi? Saya tidak berkata,
bahwa Negara Nasional negara kita itu pasti akan terjadi
sekarang. Di dalam pidato saya pada 17 Augustus 1947
itupun dengan tegas saya katakan, bahwa Republik (Jawa dan
Sumatera) yaitu modal bagi kita sekalian, untuk
meneruskan perjoangan kita mengejar Negara negara kita .
Tercapainya Negara negara kita itu entah akan terjadi kapan;
entah besok entah lusa, entah sewindu lagi entah dua windu
lagi, namun ia pasti, tidak boleh tidak, pasti akan terjadi.
Apa sebab? -saudara menanya lagi? Sebabnya ialah bahwa
terbentuknya Negara-Negara Nasional itu memang termasuk
dalam tingkatan-tingkatan pertumbuhan warga
burgerlijk. Di dalam alam warga burgerlijk yang sedang
subur, ada dua tendenz yang nyata dan terang: pertama
tendenz tergabungnya negara-negara kecil menjadi negara-
negara besar, kedua tendenz terjadinya segala macam
perhubungan-perhubungan antara negara-negara dan bangsa-
bangsa. Yang pertama dus tendenz terbangunnya negara-
negara nasional, yang kedua tendenz terhapusnya batas-batas
nasional. Yang pertama terjadinya ialah pada waktu
kapitalisme hendak menyubur, yang kedua terjadinya ialah
bilamana kapitalisme telah jadi subur.
Kapan negara-negara kecil di Jermania -Pruisen, Saksen,
Beieren, dan lain-lain sebagainya-, kapan negara-negara kecil
itu digabungkan menjadi negara nasional Jermania, dan Raja
Pruisen dijadikan Kaisarnya? Pada tahun 1871, tatkala
kapitalisme di Jermania hendak menaik. Kapan negara-negara
kecil di Italia di bawah pimpinan Mazzini, Garibaldi, Cavour
digabungkan menjadi negara nasional Italia? Pada kira-kira
waktu itu pula, tatkala kapitalisme di Italia hendak menyubur.
Kapan daimyo-daimyo Jepang menyerahkan negara-negara
kecilnya kepada Meiji Tenno, sehingga terbangun Dai Nippon
Teikoku? Pada waktu kapitalisme Jepang hendak berkembang.
245
Demikian pula, maka di lain-lain daerah di muka bumi ini
didirikanlah negara-negara nasional, sebagai gelanggang
usahanya kapitalisme yang hendak menyubur. Negara-negara
kecil yang feodal tidak dapat menjadi gelanggang penyuburan
itu, negara-negara kecil itu perlu digabungkan menjadi satu,
agar dapat menjadi padang usaha yang mencukupi segala
syarat-syarat kapitalisme nasional. Negara-negara multi-
feodal diluluh menjadi Negara Nasional! Dan tatkala
kapitalisme-kapitalisme nasional itu telah terbangun, tatkala
produksi di masing-masing negara telah menaik, tatkala
produksi itu membangunkan export dan import yang
membubung tinggi, terbangunlah satu perlalulintasan dan
perdagangan internasional yang amat giat, terlahirlah satu
ekonomi yang bukan lagi ekonomi nasional namun ekonomi
dunia, terhapuslah pagar-pagar yang seram memisahkan
negara yang satu dari negara yang lain. Demikianlah berlaku
dialektik dalam alam kapitalisme itu: di satu pihak
membangunkan negara-negara nasional, di lain pihak,
memecah-kan batas-batas yang memisahkan antara negara-
negara nasional.
Dialektik ini di negara kita pun akan berlaku! Saya tidak
berkata bahwa kapitalisme nasional di negara kita akan
membubung tinggi, namun Negara Nasional negara kita akan
terjadi. Sebab evolusi menuju kepada “industrialisme”. Dan
industrialisme membutuhkan negara nasional itu.
namun , apakah Negara Nasional negara kita itu akan berupa
Negara Kesatuan yang benar-benar Kesatuan (unitaristis),
atau akan berupa Negara Kesatuan yang bersifat Negara
Gabungan, itu akan membukti sendiri di hari lalu .
Segala sesuatu akan berlaku secara proses, dan proses itu
berlaku menuruti geraknya faktor-faktor obyektif di daerah-
daerah negara kita masing-masing. namun nyata sudah, bahwa
untuk menjadi “padang-usaha” industrialisme, seluruh daerah
negara kita harus ekonomis menjadi satu, dan supaya
ekonomis menjadi satu, maka seluruh daerah negara kita itu
politis harus menjadi satu pula. Atau lebih benar: Kalau
ekonomis menjadi satu, maka politis juga menjadi satu.
Menilik syarat-syarat yang diperlukan untuk industrialisme,
246
maka industrialisme itu tidak dapat berkembang di atas
daerah ekonomis di negara kita sepulau demi sepulau.
Seluruh Kepulauan negara kita membutuhkan diri satu sama
lain, seluruh kepulauan negara kita barulah dapat menjadi satu
dasar ekonomis yang kuat bagi industrialisme, jika ber-
gandengan ekonomis satu sama lain, isi mengisi satu sama
lain, bantu-membantu satu sama lain. Dari manakah
misalnya Jawa dapat memperoleh besi dan batu bara jika
tidak dari pulau lain, dan dari manakah Kalimantan dapat
memperoleh tenaga manusia jika tidak dari Jawa? Tidak! Buat
membangunkan industrialisme yang luas, tidak ada satu
pulau di negara kita yang dapat berdiri sendiri! Jikalau di
negara kita akan tumbuh industrialisme yang kuat, -dan garis
evolusi warga pasti menuju ke situ, dan buat
melaksanakan sosialisme pun dibutuhkan satu minimum
industrialisme, sebagai saya terangkan tadi-, jikalau akan
tumbuh di sini industrialisme yang kuat, maka negara kita
ekonomis harus menjadi satu, dan jikalau negara kita ekonomis
harus menjadi satu, maka negara kita politis pun pasti menjadi
satu. lni yaitu satu kepastian, satu keharusan sosial-
ekonomis dan sosial-politis, -bukan lagi satu pengelamunan,
atau satu cita-cita semata-mata, atau satu romantik. Dan
bukan pula yang orang namakan “imperialisme Jawa” atau
“imperialisme Sumatera” atau “imperialisme Republik”!
Alangkah piciknya orang yang menuduh Republik
“imperialistis” (hendak “mencaplok” negara kita Timur, atau
“meng-anschluss” Borneo Barat), oleh sebab Republik
bercita-citakan persatuan negara kita ! Persatuan negara kita
kelak, ekonomis dan politis, yaitu nul hubungannya dengan
sesuatu nafsu imperialisme, sama dengan persatuannya
Pruisen dan Beieren dalarn negara Jer-mania, atau
persatuannya Texas dan California dalam negara Amerika,
juga nul hubungannya dengan sesuatu nafsu imperialisme.
Persatuan negara kita itu ditentukan oleh garis-garis sosial
ekonomis. Malah bukan saja industrialisme yang
membutuhkan persatuan. negara kita itu, perdagangan yang
memperdagangkan hasil industrialisme itu, (dus satu anasir
dibandingkan industrialisme itu), itupun membutuhkan persatuan
negara kita itu. Kaum perdagangan negara kita sudah tentu ingin
mempunjai “pasar sendiri” yang seluas-luasnya dan
247
sesentausa-sentausanya, ingin mempunjai “home market”
sendiri yang tidak dikuasai oleh persaingan asing. Dan “pasar
sendiri” untuk hasil-hasil dari Jawa, Sumatera, Kalimantan
dan lain sebagainya itu ialah kepulauan negara kita , seluruh
kepulauan negara kita . sebab itulah maka perdagangan
negara kita , yang kelak dilahirkan oleh industrialisme negara kita
itu, membutuhkan dan tentu ikut melaksanakan Negara
negara kita itu. lni yaitu satu macam nasionalisme, -
“nasionalisme perdagangan”, kalau Tuan mau-, namun satu
nasionalisme yang benar pula, satu nasionalisme yang halal.
Memang menurut salah seorang pemimpin Marxist yang besar
“pasarlah sekolah di mana borjuasi belajar nasionalismenya
pertama-tama”, -“the market is the first school in which the
bourgeoisie learns its nationalism”.
Orang-orang yang kukuh mau mengadakan negara-negara
tersendiri di masing-masing pulau atau di masing-masing
daerah, sungguh harus kita ibai. Mereka atau tidak
berpengetahuan tentang tendenz evolusi warga , atau
sengaja menjadi alat durhaka imperialisme semata-mata yang
selalu menjalankan politik memecah-belah. namun tendenz
evolusi warga itu tidak dapat dipengaruhi oleh orang-
orang semacam itu, yang usahanya bertentangan dengan
gerak anasir-anasir obyektif dalam warga itu.
warga berjalan terus menurut hukum-hukum evolusinya
sendiri. Terus! Negara Nasional negara kita pasti berdiri.
Ya, Negara Nasional negara kita pasti berdiri. Negara Nasional
negara kita itu ialah proyeksi politik dibandingkan hasrat
ekonomi dibandingkan warga negara kita . Ia yaitu ujung
Revolusi Nasional kita, yang awalnya ialah terdirinya Republik.
Ia belum tercapai, Revolusi Nasional kita memang belum
selesai. Segenap Nasionalisme kita akan berkobar terus dan
membinasa membangun terus, sampai Negara Nasional itu
tercapai. Apakah yang dinamakan Nasionalisme kita itu?
Segala macam rasa yang hebat dan mulia menjadi anasir
Nasionalisme kita itu! Rasa cinta tanah-air yang indah dan
permai, rasa cinta bangsa sendiri dan bahasa sendiri, rasa
cinta kebudayaan yang telah menjadi irama jiwa sehari-hari,
rasa cinta sejarah dahulu yang gilang-gemilang dan rasa ingin
membangun sejarah baru yang gilang-gemilang pula, rasa
248
cinta kepada kemerdekaan dan rasa benci kepada penjajahan,
rasa ingin hidup sejahtera dan tak mau hidup terhisap, rasa
bukan lagi orang Jawa atau orang Sumatera atau orang
Sulawesi, namun orang bangsa negara kita saja, -semua rasa-
rasa itu mendidih menggelora di dalam satu kancah, menyala-
nyala berkobar-kobar di dalam satu kawah yang bernama
kancah dan kawahnya Nasionalisme negara kita .
Nasionalisme negara kita itu memiliki sumber-sumber,
memiliki “penghidup-penghidup”, dan penghidup-
penghidupnya itu ialah tenaga-tenaga warga (sociale
krachten) yang hebat dan kuasa, dinamis dan revolusioner, -
tidak tertahan oleh tenaga apapun juga, meski tenaga
imperialisme yang bersenjatakan tentara dan armada
sekalipun.
Apakah tenaga-tenaga warga itu?
Pertama tenaga warga yang timbul dari kalangan rakyat
jelata yang bermilyun-milyun, buruh dan tani, yang oleh
imperialisme turun-temurun dihisap ditindas, dieksploatir
laksana ternak, dan kini jiwanya menjadi jiwa rebelli mau
cukup bekal hidup, mau sejahtera, mau aman, -kedua tenaga
warga yang timbul dari kalangan kaum perusahaan
negara kita yang oleh adanya imperialisme sama sekali
kehilangan alam, dan kini mau memiliki alam. Kedua-dua
tenaga warga ini memberontak kepada: imperialisme itu,
yang satu memberontak ingin hidup, yang lain memberontak
ingin berkembang: Tujuh puluh milyun manusia tua muda
1aki-laki wanita -boleh dikatakan tidak ada satu orang
pun yang terkecuali- jiwanya dalam rebelli, benci kepada
penjajahan dan rindu kepada kemerdekaan, berpuluh-puluh
milyun dari antara mereka itu bangkit aktif, mengambil
bambu runcing dan golok dan senapan untuk menyerang dan
melawan, -berpuluh-puluh milyun lagi mengambil pacul dan
martil dan tangkai pena untuk menyusun, mencipta,
membangun. Destruksi dan Konstruksi sedang berlaku
simultan dalam satu simfoni yang maha dahsyat.
Itulah Nasionalisme negara kita yang sedang menjalankan
Revolusi Nasional. Yang sedang meneruskan Revolusi
Nasional, -yang memang belum selesai, sebab memang belum
249
terbangun satu Negara Nasional. Apakah ini berarti, bahwa
tujuannya Revolusi Nasional kita itu dus sekedar satu Negara
Nasional di dalam arti biasa, seperti Jerman, seperti Italia,
seperti Jepang, seperti Perancis? Satu Negara Nasional yang
burgerlijk, yang “borjuis”, - oleh sebab belum tiba saatnya
untuk mengadakan sosialisme?
Tidak! Sekarang memang belum tiba saatnya buat kita untuk
mengadakan sosialisme, -belum tiba kemungkinannya buat
kita untuk mengadakan sosialisme- , sekarang Revolusi kita
masih Revolusi Nasional, namun itu tidak berarti, bahwa
Negara Nasional yang hendak kita dirikan dus satu negara
yang burgerlijk. Sebagaimana telah saya katakan, bahwa
batas antara Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial tidak tajam
seperti batas antara bilik yang satu dan bilik yang lain,
sebagaimana tiap-tiap proses melalui beberapa fase, yang fase-
fase ini juga tidak terpisah tajam antara satu sama lain, maka
Negara Nasional negara kita yang hendak kita dirikan itupun
tidak bersifat burgerlijk dan juga belum bersifat sosialis,
melainkan bolehlah diibaratkan satu “fase-peralihan” antara
fase burgerlijk dan fase sosialis.
Lihatlah Undang-undang Dasar Republik kita. Jikalau
dikatakan, bahwa Undang-undang Dasar Republik kita itu
satu undang-undang dasar yang sama sekali sosialistis, maka
itu tidak benar. namun juga, jikalau dikatakan, bahwa ia satu
undang-undang dasar yang sema sekali burgerlijk, itupun
tidak benar.
Pasal 33 yang berbunyi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas keke1uargaan;
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara;
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
dan Pasa1 34 yang berbunyi:
250
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara,-
pasal-pasal itu menghilangkan sifat yang “sama sekali
burgerlijk” itu. Di dalam pasal-pasa1 itu dibuat permulaan
dibandingkan usaha membanteras kapitalisme. Pasal-pasal itu
yaitu pasal-pasal yang mengatur permulaan dibandingkan usaha
menyelenggarakan sosialisme. Undang-undang Dasar kita
yaitu undang-undang dasar satu Negara yang sifatnya di
tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme, undang-undang
dasar satu Negara yang benar dengan kakinya masih berdiri di
bumi yang burgerlijk, namun di dalam kandungannya telah
hamil dengan kandungan warga sosialisme, undang-
undang dasarnya satu Negara dus yang tidak “diam”, tidak
“statis”, melainkan dinamis, yaitu bergerak menuju ke
susunan baru, berjoang menuju ke susunan baru. Negara kita
yaitu satu “negara peralihan”, satu negara yang dengan
sedar memperjoangkan peralihan, -satu negara yang
revolusioner.
Memang segenap jiwanya yaitu jiwa yang revolusioner.
Nasionalismenya yaitu nasionalisme yang revolusioner,
nasionalisme yang sekarang pun telah dengan langsung
mengemukakan perhubungannya dengan kemanusiaan, -
nasionalisme yang biasa saya namakan socio-nasionalisme.
Demokrasinya yaitu demokrasi yang revolusioner, demokrasi
rakyat sepenuh-penuhnya yang sedar akan kekurangan-
kekurangannya demokrasi politik a l a Barat, dan oleh
sebab nya berusaha menjelmakan demokrasi politik dan
ekonomi, (yang hanya sempurna dalam alam sosialisme), -
demokrasi yang biasa saya namakan sosio-demokrasi.
Ketuhanannya bukan ketuhanan dari satu agama saja, namun
ketuhanan yang memberi tempat kepada semua orang yang
ber-Tuhan. Jiwa revolusioner ini, -terutama sekali sosio-
nasionalismenya dan sosio-demokrasinya- yaitu terang satu
“pembawaan” dibandingkan sifat peralihan (sifat transisi) dibandingkan
Negara kita itu, terang satu “jembatan” antara ideologi-ideologi
burgerlijk dan ideologi-ideologi sosialis.
Menjadi nyatalah: Negara Nasional yang kita dirikan, bukan
negara burgerlijk, bukan pula negara sosialis. Revolusi
251
Nasional yang kita jalankan, bukan revolusi burgerlijk, bukan
pula revolusi sosialis. Bukan burgerlijk, oleh sebab kita telah
meliwati fase burgerlijk; bukan sosialis, oleh sebab kita
belum sampai kepada fase sosialis. Siapakah yang
menjalankan Revolusi kita sekarang ini? Boleh dikatakan
semua golongan warga negara kita menjalankannya: kaum
pemuda terpelajar, kaum tani, kaum buruh, kaum pegawai,
kaum bangsawan, kaum pedagang, dsb - semuanya ikut
semuanya berjoang! Oleh sebab itulah boleh dikatakan
bahwa Negara kita bukan milik sesuatu golongan, bukan
monopoli sesuatu kelas. Negara burgerlijk ia bukan, sebab ia
bukan monopolinya kelas borjuis; negara proletar ia bukan,
sebab ia bukan monopoli kelas proletar.
la yaitu negara milik seluruh lapisan negara kita yang
revolusioner. Dan kewajibannya Revolusi yang kita jalankan
ini yaitu memang kewajibannya semua lapisan negara kita
yang revolusioner: destruktif menghantam-menggempur
imperialisme, menghancurleburkan penjajahan kolonial;
konstruktif menyusun membina satu Negara Nasional yang
tidak burgerlijk, namun (meski belum sama sekali sosialistis)
toh telah hamil dengan susunan warga yang sosialistis.
Kedua-dua tugas ini, -simultan destruktif dan konstruktif
yang demikian-, nyatalah tugas-tugas revolusioner, yang
hanya dapat dikerjakan dan diselesaikan oleh golongan-
golongan rakyat yang revolusioner.
Apakah yang dinamakan “golongan-golongan rakyat yang
revolusioner” itu? la bukan hanya golongan proletar saja,
bukan hanya golongan buruh! Bukan pula ia hanya golongan
yang galib dinamakan “kaum jembel”. la yaitu golongan-
golongan yang berjoang sesuai dengan kemajuan dalam
perjalanan evolusi warga , bukan menentangnya, bukan
menahannya, -golongan-golongan yang berjoang mati-matian
menghancur-leburka “orde” yang lama dan mempercepatkan
datangnya “orde” yang baru, sesuai dengan tendenz-tendenz
dalam evolusinya warga itu. Tak perduli dari lapisan
mana golongan-golongan itu! Tak perduli dari lapisan proletar,
tak perduli dari lapisan tani, tak perduli dari lapisan
pedagang, tak perduli dari lapisan pemuda terpelajar, tak
perduli dari lapisan ningrat, tak perduli dari lapisan mana, -
252
namun lapisan atau golongan yang berjoang menghancur-
leburkan orde yang lama dan mempercepat datangnya orde
yang baru sesuai dengan tendenz evolusi warga , -dia
yaitu revolusioner.
lni bukan satu definisi yang terlalu royal dengan sebutan
revolusioner. Ini satu definisi tentang arti revolusioner yang
meski kaum komunis sekali pun membenarkannya. Misalnya
Stalin di dalam bukunya tentang “Soal-soal Leninisme”
mengemukakan definisi yang malah lebih “royal” lagi: “Untuk
bernama revolusioner, maka sesuatu gerakan nasional tidak
perlu terdiri dari golongan-golongan proletar, tidak perlu
memiliki program republikein, tidak perlu memiliki
dasar demokratis. Perjoangannya Amir Afghanistan untuk
kemerdekaan negerinya, obyektif yaitu satu perjoangan
revolusioner, meskipun Amir itu dan juga opsir-opsirnya
berpendirian pada azas monarchisme (kerajaan); sebab
perjoangannya melemahkan, mengalutkan, menggali
imperialisme, sedang perjoangan kaum-kaum demokrat,
“sosialis”, “revolusioner” dan republikein seperti Kerensky dan
Tseretelli, Renaudel dan Scheidemann, Tchernov dan Dan,
Henderson dan Clynes selama peperangan imperialis itu ialah
satu perjoangan reaksioner, sebab hasilnya ialah
menggemukkan imperialisme, memperkuat imperialisme,
memenangkan imperialisme itu. Demikian pula, maka
perjoangannya kaum dagang dan kaum terpelajar borjuis di
Mesir untuk mencapai kemer-dekaan Mesir itu yaitu satu
perjoangan yang obyektif revolusioner, meskipun asalnya dan
sifatnya pemimpin-pemimpin pergerakan nasional di sana itu
ialah borjuis, dan meskipun mereka menentang sosialisme;
sedang perjoangan pemerintah buruh Inggeris untuk
menetapkan Mesir di bawah perwalian Inggeris ialah satu
perjoangan reaksioner, meskipun anggota-anggota
pemerintah itu berasal dari kalangan kaum buruh, bersifat
orang-orang dari kalangan kaum buruh, dan meskipun
mereka katanya berkeyakinan sosialisme. Demikian pula,
maka pergerakan nasional dalam negeri-negeri penjajahan dan
taklukan yang besar seperti India dan Tiongkok, tidak kurang
berarti satu pukulan langsung kepada imperialisme, dan
sebab nya berarti satu pergerakan revolusioner, meskipun ia
253
menentang azas-azasnya demokrasi formil”. Demikianlah
Stalin!
Jadi, menurut definisinya itu, tiap-tiap pergerakan yang
menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme yaitu
pergerakan revolusioner. Artinya: jangan mengukur
pergerakan-pergerakan nasional itu dengan ukurannya
keproletaran, kerepublikan, atau demokrasi formil. Satu-
satunya ukuran yang harus dipakai ialah hasil, akibat
pergerakan-pergerakan itu: memperkuatkah kepada
imperialisme, atau melemahkankah kepada imperialisme?
Yang memperkuat imperialisme yaitu reaksioner; yang
melemahkan imperialisme yaitu revolusioner!
Maka nyatalah, bahwa di dalam definisi itu tekanan accent
diletakkan kepada apa yang saya namakan bagian destruktif
dibandingkan pergerakan nasional atau revolusi nasional: Bagian
yang menghantam, bagian yang menggempur. Di bagian ini
semua golongan di sesuatu negeri, -ningrat, tani, intelek,
proletar, pedagang dll- dapat bersatu. Sebab semuanya anti
imperialisme, semuanya anti penjajahan, semuanya dengan
tiada kecuali satupun, ingin merdeka.
Saya bukan saja mengemukakan bagian yang destruktif, saya
mengemukakan juga bagian yang konstruktif, yang membina,
membangun. Yang berjalan serempak, simultan, dengan
bagian destruktif itu. Yang harus pula kita gelora-gelorakan,
kita hebat-hebatkan, agar supaya Revolusi kita lekas selesai.
Bagian itu ialah bagian membangun Negara Nasional.
Maka di dalam bagian membangun Negara Nasional ini, juga
semua golongan dapat bersatu. Ningrat, kromo, intelek,
proletar, pedagang, ulama, pegawai, -semuanya dapat berdiri
di satu barisan, semuanya dapat menjadi penjelma dan
penggembleng Negara Nasional. Dan oleh sebab , baik bagian
destruktif, maupun bagian konstruktif dibandingkan Revolusi
Nasional, dapat menjadi padang persatuannya semua
golongan dan semua lapisan, oleh sebab , baik di dalam
bagian destruktif, maupun di bagian konstruktif, semua
kegembiraan, semua semangat perjoangan, semua keridlaan
berkorban dari semua golongan dan semua lapisan dapat
254
menggelora bersama-sama menjadi satu simfoni yang maha
hebat, oleh sebab itulah maka saya selalu berseru:
persatuan! persatuan! sekali lagi persatuan! dan haruslah kita
mengerti, bahwa Revolusi kita ini barulah dapat bertenaga
maksimum, bilamana ia benar-benar bersifat Revolusi
Nasional!
Revolusinya Bangsa! Bukan revolusinya sesuatu kelas!
Alangkah seringnya perkataan “bangsa” itu dipermainkan!
Sering sekali ia dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi
kepentingan sesuatu golongan atau sesuatu kelas. Kadang-
kadang kaum ningrat mengadakan pergerakan untuk
kepentingannya sendiri, -ditutupilah kepentingan sendiri itu
dengan menamakan pergerakannya itu pergerakan “bangsa”.
Kadang-kadang kaum pedagang mengadakan pergerakan
untuk kepentingannya sendiri, pergerakannya itupun
dinamakan pergerakan “bangsa”. Kadang-kadang kaum
inteleklah yang mengadakan pergerakan untuk
kepentingannya sendiri, -lagi-lagi dikeluarkanlah dengan
muka angker perkataan “bangsa”.
Hitler menamakan pergerakannya pergerakan “bangsa”, kaum
borjuis di Perancis menamakan revolusinya satu setengah
abad yang lalu revolusi “bangsa”. namun kadang-kadang pula
sesuatu golongan buruh hendak meng-anschluss nama
“bangsa” itu pula!
namun Revolusi kita ini (harus) benar-benar satu Revolusi
Kebangsaan, benar-benar satu Revolusi Bangsa. Sebab
umumnya kita telah mengerti, bahwa hanya bilamana semua
golongan, semua lapisan, ya semua alam ideologi dalam
bangsa kita bertemu menjadi satu di dalam Revolusi kita itu,
berjoang dan bergotong-royong menjadi satu, merupakan satu
gelombang badai maha hebat yang menggempur-hancur
benteng-benteng imperialisme dan menggembleng berdirinya
Negara Nasional, hanya bilamana demikianlah, maka
tenaganya Revolusi kita menjadi maksimum. Semua golongan
dan lapisan dan alam faham itu satu persatunya
“revolusioner”, - revolusioner oleh sebab akibat
perjoangannya ialah melemahkan kepada imperialisme,
revolusioner oleh sebab perjoangannya meng-hantam
255
imperialisme, menghancur-leburkan orde yang lama dan
mempercepat datangnya orde yang baru yang berupa
kemerdekaan nasional.
Ya, seluruh Bangsa negara kita yaitu revolusioner, seluruh
Bangsa negara kita ber-Revolusi. Sifat “keseluruhan” ini
memang sifat hampir semua Revolusi di negeri-negeri jajahan
atau setengah jajahan. Pertentangan kelas tidak menghebat
di dalam perjoangan rakyat-rakyat jajahan yang berjoang
merebut kemerdekaan. Yang menonjol ke muka ialah sifatnya
kebangsaan, sifatnya nasional. Dengan tepat hal ini pernah
dikatakan pula oleh Henriette Roland Holst: “Di negeri-negeri
yang tidak merdeka, maka pertentangan-pertentangan
sosial diperjoangkan secara nasional”. – “De socialle
tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale
vormen uitgevochten” -
Tidakkah ternyata demikian keadaan di dalam Revolusi kita
ini?
Seluruh Bangsa negara kita ber-Revolusi! Dan kedua-dua
bagian dalam Revolusi kita itu, baik yang destruksif maupun
yang konstruktif, sama sekali belum selesai! Sudahkah bagian
destruktif selesai? Lampu lilin di hadapan saya itu masih saja
memperingatkan saya, bahwa Belanda masih berkuasa di
Tuntang; kota-kota lain masih mereka duduki; lautan kita
masih mereka blokkir; pulau-pulau kita masih mereka kuasai;
kekayaan kita masih mereka gali; negara-negara boneka masih
mereka tegakkan; kampung-kampung kita masih mereka
bakar; wanita-wanita kita masih mereka perkosa; kaum buruh
kita masih mereka paksa; Sang Merah Putih masih mereka
hina; si Tiga Warna masih berkibar di banyak tempat di
negara kita , dengan diperlindungi bayonet, senapan, mortir,
meriam, bom dan dinamit! Sudahkah, dengan keadaan
demikian itu, bagian destruktif dibandingkan Revolusi kita ini
selesai?
Dan sudahkah bagian konstruktif selesai? Bagaimana bagian
konstruktif dapat selesai, kalau bagian destruktif belum
selesai! Segenap jiwa kita yang menggeletar gandrung kepada
adanya Negara Nasional negara kita itu, laksana lautan
gandrung kepada angkasa yang biru, masih belum melihat
256
Pemerintah Nasional negara kita berkuasa di seluruh kepulauan
Nusantara. Negara Nasional negara kita , Republik negara kita
yang Besar, belum tercapai. Yang telah tercapai barulah
Negara Republik negara kita yang sekarang, - “Republik
negara kita yang kecil”. .
namun alangkah pentingnya Republik negara kita yang kecil ini!
Alangkah pentingnya Negara Republik negara kita yang kecil
ini! Biar dia masih “kecil”, -dengan dia di dalam tangan kita,
kita merasa menggenggam satu senjata yang amat hebat.
Musuh kita gempur dengan dia, pengkhianat-pengkhianat dari
dalam kita lemahkan dengan dia, segenap tenaga rakyat kita
susun dengan dia. Dia yaitu alat perjoangan kita, alat
Revolusi kita. Destruktif dan konstruktif kita sekarang
berjoang dengan dia sebagai senjata. Dan kita akan terus
berjoang dengan dia sebagai senjata, sampai tujuan kita, yaitu
“Republik negara kita yang Besar”, tercapai. Biar pun dia
sekarang agak lebih kecil dibandingkan dua tahun yang lalu, -lebih
kecil oleh sebab musuh menduduki sebagian dari daerahnya-
, dia akan kita genggam makin keras di dalam tangan kita,
dan akan terus kita perguna-kan sebagai senjata kita yang
paling hebat. Biar dia umpamanya “tinggal selebar payung”
sekalipun, -kita akan terus berjoang dengan dia sebagai
senjata!
Negara yaitu memang alat-senjata.
Telah berpuluh-puluh tahun kita berjoang, berjiwa nasional
dan menggerakkan satu pergerakan nasional, berusaha,
menderita, berkorban untuk mencapai cita-cita bersama,
namun baru dua tahun inilah kita berjoang dengan senjata
baru, yaitu Negara. Dulu kita berjoang hanya dengan senjata
rapat umum, surat kabar, serikat sekerja, partai, sekarang
kita berjoang dengan senjata Negara.
Tenaga-tenaga yang amat hebat kita pusatkan dalam Negara
itu, agar supaya ia dapat menjadi alat senjata destruktif dan
konstruktif yang sehebat-hebatnya pula.
Dengan tentaranya, dengan seluruh angkatan perangnya,
dengan seluruh pertahanan rakyatnya, Negara itu kita
257
hantamkan kepada musuh yang hendak menjajah kita lagi,
kita hantamkan menggempur-mendestruksi kepadanya.
Dengan seluruh jawatan-jawatannya, kita kerahkan dia untuk
menyusun, membangun, mengkonstruksi produksi yang perlu
untuk pertahanan dan ketahanan, dan mengkonstruksi segala
hal lain-lain yang perlu lagi.
Dulu serikat sekerja dan partailah alat kekuasaan kita.
Sekarang alat kekuasaan kita ialah Negara! Negara memang
bukan sekadar satu hal “kerukunan” belaka, negara yaitu
satu alat-kekuasaan, satu organisasi kekuasaan. Alat
kekuasaan kita sekarang ialah Negara Republik negara kita .
Dengan Republik negara kita ini, sebagai alat kekuasaan, kita
sepuluh kali, seratus kali lebih kuasa dibandingkan dulu. Dengan
Republik ini sebagai alat kekuasaan di pihak kita, musuh
benar-benar berhadapan dengan kenyataan “kekuasaan
kontra kekuasaan”. Kekuasaan yang lebih kuasa, -itulah yang
akan menang. Kekuasaan hanya dapat dipatahkan dengan
kekuasaan pula yang lebih kuasa. Itulah sebabnya, maka
musuh sekarang mencoba mematahkan alat kekuasaan kita
itu tidak lagi dengan “diplomasi”, namun dengan kekusaan
segenap angkatan perangnya. Manakala mulut manusia tidak
berdaya, maka mulut meriam harus bicara! Segenap tank-
tanknya yang dari baja, kapal-kapal udaranya, armadanya,
bomnya, meriamnya, -semua itu digempurkan olehnya
laksana sambaran geledek kepada Negara kita, untuk
mencoba meremuk-redamkan alat kekuasaan kita (Negara)
itu.
namun , Insya Allah, -ia tidak mudah akan berhasil. Kita
seratus kali lebih kuat dibandingkan dahulu. Sebab senjata kita
sekarang ialah justru Negara, -Negara (yang sebagai
penjelmaan Revolusi Nasional yang meliputi semua golongan
dan lapisan) dengannya kita dapat membangkitkan sehebat-
hebatnja semua tenaga perjoangan dan tenaga pertahanan di
dalam tubuh dan jiwanja Bangsa. Boleh dikatakan, dengan
alat Negara itu, tiap-tiap orang negara kita , tiap-tiap batu di
negara kita kita dapat kerahkan untuk berjoang. Angkatan
Perang, -aparat kekuasaan Negara-, di dalam perang
kemerdekaan ini kita gempurkan sehebat-hebatnya kepada
258
musuh, dan seluruh rakyat laki-laki wanita pula,
dikerahkan oleh Negara untuk berjoang serta. Musuh yang
mempergunakan aparat kekuasaan itu, -tentaranya- dan
hanya dapat mempergunakan aparat kekuasaannya itu saja! -
musuh bukan saja berhadapan dengan aparat kekuasaan kita,
ia berhadapan pula dengan perkembangan kekuasaan seluruh
rakyat, perkembangan kekuasaan yang totaliter.
Senjata kita hadapi dengan senjata, plus perlawanan rakyat
yang totaliter!
Berkat adanya Negara, maka kita dapat berjoang secara
totaliter; maka musuh tidak akan menang, namun kita yang
akan menang!
Kita yang akan menang! Dan kita ini akan menang, bukan
hanya oleh sebab kita dengan alat Negara dapat
mengerahkan pertahanan di dalam yang totaliter, -kita pun
akan menang oleh sebab pertahanan di luar telah bangkit
secara hebat. negara kita tidak lagi negara kita dari zaman
dahulu. Ia tidak lagi berdiri sendiri. Ia sudah satu kali buat
selama-lamanya terhubungkan dengan dunia luaran. Memang
demikianlah, kata saya di muka tadi, berjalannya dialektik
dalam alam industrialisme; di satu fihak berdirinya negara-
negara nasional, di lain fihak terhapusnya negara-negara-
nasiona1, di lain fihak terhapusnja batas-batas nasional.
Bangsa-bangsa mendirikan kebangsaannya sendiri-sendiri
namun serempak dengan itu, tenaga-tenaga imperialisme pun
menjadi satu, dan tenaga-tenaga anti-imperialisme pun
menjadi satu. Ofensifnya imperialisme kepada kemerdekaan
kita sekarang ini, sebenarnya bukan hanya ofensifnya
imperialisme Belanda kepada kemerdekaan negara kita saja,
namun yaitu sebagian dibandingkan ofensif umum yang
dilakukan oleh imperialisme internasional di mana-mana. Di
negara kita , di Vietnam, di Tiongkok, di Balkan, dan di lain-lain
tempat lagi (dengan cara-cara yang ditentukan oleh tempat
dan keadaan), imperialisme internasional itu serentak sedang
dalam ofensif, namun tenaga-tenaga anti imperialisme di
seluruh dunia pun serentak sedang mengadakan perlawanan
bersama yang sekuat-kuatnya. Serangan yang dilakukan oleh
angkatan perang Belanda kepada kemerdekaan kita itu,
259
dirasakan oleh segenap golongan-golongan anti imperialisme
sedunia sebagai bangkitnya reaksi imperialisme internasional
yang membahayakan juga kepada mereka. Itulah sebabnya,
maka kita dibela oleh mereka, dibantu oleh mereka, atau
sedikit-dikitnya mendapat simpati dari mereka.
Dan pada waktu mereka memberi simpati kepada kita atau
membela kita itu, mereka tidak menanya-nanya apakah
kemerdekaan kita itu “bikinan Jepang atau tidak”, tidak pula
mengukur-ukur perjoangan kita itu dengan ukurannya
demokrasi formil. Benar, Republik kita memang bukan
bikinan Jepang, azas kita memang Pancasila yang lebih
demokratis dibandingkan demokrasi biasa, namun golongan-
golongan anti imperialis sedunia yang membantu dan
membela kita itu tidak menanya-nanya hal “bikinan Jepang”,
tidak mengemukakan ukuran demokrasi formil. Apa sebab?
Oleh sebab mereka mengetahui bahwa perjoangan kita
yaitu satu bagian dari Perjoangan Besar di seluruh dunia
menentang imperialisme; satu perjoangan yang hasil
akibatnya ialah melemahkan imperialisme; satu
perjoangan yang revolusioner.
Dan kitapun, dalam simpati kita kepada perjoangan
kemerdekaan rakyat-rakyat Mesir, Vietnam, Birma, Palestina,
Korea, India dan lain-lainnya, tidak harus mengukur-ukur
perjoangan mereka itu dengan ukurannja demokrasi formil.
Kita tidak harus menanya apakah Gandhi benar-benar
demokrat, tidak harus menggugat bahwa Mufti Jeruzalem
dulu pernah minta pertolongan kepada Hitler, tidak harus
menyelidik apakah pergerakan Mesir itu sebenarnya tidak
bersifat burgerlijk. Kita harus hargai pergerakan mereka itu
sebagai cincin-cincin dalam rantai perlawanan anti imperialis,
rantai penggembleng kemerdekaan-kemerdekaan nasional.
Kemenangan mereka yaitu kekalahan imperialisme
internasional, kekalahan imperialisme internasional yaitu
keuntungan kita; itulah sebabnya kita harus bersimpati
kepada mereka; itulah sebabnya kita harus bersedia
membantu kepada mereka, sebagaimana mereka pun bersedia
membantu kepada kita. Mereka dan kita, seluruh pergerakan
anti imperialis sedunia dan kita, yaitu sama-sama
revolusioner. Mereka revolusioner, kita pun revolusioner!
260
Maka dengan ini nyatalah dan tegaslah, bahwa perjoangan
kemerdekaan sesuatu rakyat jajahan atau setengah jajahan
janganlah ditinjau dalam “keadaannya sendiri”, namun harus
ditinjau dalam hubungan sedunia. Jangan ditinjau terlepas
dari hubungan itu, namun harus ditinjau dalam hubungan itu:
Harus ditinjau di atas gelanggang perjoangan anti
imperialis sedunia.
Kapitalisme internasional dihidupi imperialisme internasional,
imperialisme internasional berakibat perlawanan kepada
imperialisme internasional; perjoangan kemerdekaan rakyat
jajahan atau setengah jajahan melemahkan imperialisme
internasional, lemahnya imperalisme internasional
melemahkan kapitalisme internasional; tiap-tiap perjoangan
kemerdekaan rakyat jajahan atau setengah jajahan yaitu dus
revolusioner, dan pantas dibantu, harus dibantu, wajib
dibantu oleh semua tenaga-tenaga anti kapitalis di seluruh
dunia. Golongan-golongan yang membenarkan dan membantu
perjoangan kemerdekaan rakyat-rakyat jajahan atau setengah
jajahan, mereka yaitu pula golongan-golongan yang
revolusioner. Sebaliknya, golongan-golongan apapun, yang
tidak membantu, tidak membenarkan perjoangan
kemerdekaan sesuatu bangsa jajahan atau setengah jajahan,
meski dengan memakai alasan-alasan demokrasi formil, meski
ia menamakan diri “progresif”, atau “demokrat”, atau
“sosialis”-, ia yaitu reaksioner. Ia pada hakekatnya
mempertahankan imperialisme, ia dus mempertahankan
kapitalisme. Ia terang reaksioner, dan kalau ia “sosialis”, maka
ia ”sosialis” yang terang-terang