presiden soekarno 9

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 9



 ngan yang lain, -mengangkat pekerjaan di warga  dan 

cinta dan keibuan itu ketingkatan yang lebih tinggi, di mana 

dua hal itu tidak mengantitese, namun  justru mensintese satu 

sama lain. Wanita harus mengerti, bahwa mereka, jikalau 

mereka mengorbankan salah satu dari dua hal itu, -memilih 

cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di warga , 

atau memilih pekerjaan di warga  dan melepaskan cinta 

dan keibuan-, sebenarnya menerima kekalahan di dalam 

perjoangan. Memilih cinta dan keibuan dan melepaskan 

pekerjaan di warga  berarti satu kekalahan terhadap 

kepada tuntutan yang telah diperjoangkan beratus-ratus 

tahun; memilih pekerjaan di warga  dan melepaskan 

cinta dan keibuan berarti satu kekalahan terhadap kepada 

tuntutan alam. sebab  itu, satu-satunya jalan yang benar 

ialah jalan yang bukan saja menuju kepada hilangnya 

pertentangan antara dua hal itu, namun  malahan kepada 

sintese dua hal itu, -jalan yang menuju ke tempat di mana dua 

hal itu  kedua-duanya dapat dipenuhi bersama-sama, dalam 

suasana isi-mengisi kebahagiaan masing-masing. 

 

Usaha yang dapat mendatangkan sintese antara pekerjaan di 

warga  dan cinta dan keibuan itulah kemenangan! 

210 

 

Kemenangan, oleh sebab  tidak ada satu langkah yang 

mundur. Tidak mundur di atas lapangan tuntutan 

kewarga an, tidak mundur di atas lapangan tututan 

alam. Malahan di atas kedua-dua lapangan satu kemajuan. Di 

atas lapangan kewarga an satu kemajuan, oleh sebab  

pekerjaan di warga  menjadi satu kegembiraan; di atas 

lapangan cinta dan keibuan satu kemajuan, oleh sebab  

wanita dapat cukup waktu untuk menjalankan cinta dan 

keibuan, itu -dan dapat menjalankannya dalam suasana 

kebahagiaan pula. 

 

Pembaca masih ingat, apa yang menyebabkan retak dalam 

jiwa wanita yang mengerjakan pekerjaan warga . Pertama 

ialah oleh sebab  di dalam sistim kapitalisme pekerjaan 

warga  itu laksana meremukkan jasmani dan rohani; 

duabelas jam, tigabelas, empatbelas jam tiap-tiap hari kadang-

kadang wanita harus bekerja di dalam paberik atau 

perusahaan, dan itupun dalam keadaan pekerjaan yang amat 

berat dan tidak sehat. Kedua, -kalau wanita, di dalam keadaan 

jasmani dan rohani yang telah amat letih itu, sore-sore atau 

malam-malam pulang di rumah, maka ia harus bekerja lagi 

amat berat di rumah tangga, mengerjakan seribusatu 

pekerjaan rumah tangga tetek-bengek yang tidak ringan, yang 

diwajibkan kepadanya oleh cinta dan keibuan. Memasak, 

mencuci pakaian, membersihkan rumah, menjelumat baju, 

memelihara anak, menyediakan sarapan buat besok pagi dan 

lain sebagainya, masih harus ia kerjakan, sehingga 

kebahagiaan cinta dan keibuan menjadi amat terganggu oleh 

sebab nya. Sebagai yang saya katakan di muka, maka wanita 

di dalam sistim kapitalisme itu amat berkeluh-kesah memikul 

beban yang dobel, -bebannya kerja berat sebagai produsen 

warga , dan bebannya kerja berat sebagai produsen 

rumah tangga. Yang satu tidak membahagiakan yang lain, 

yang satu malah memelaratkan kepada yang lain. namun  

kedua-duanya harus dikerjakan, kedua-duanya harus 

ditunaikan, -tidak dapat salah satu dari dua itu dilepaskan, 

dengan tidak mengkhianati kepada atau panggilan 

kewarga an, atau panggilan alam. Dan walaupun retak 

yang begini itu terutama sekali mengenai wanita bawahan, -di 

kalangan wanita atasan pun pada pokoknya ia ada. 

sebab nya, maka satu-satunya kemenangan ialah: satu 

211 

 

pergaulan hidup baru, yang melenyapkan retak itu, 

menghapuskan pertentangan antara panggilan warga  

dan panggilan alam, mensintesekan pekerjaan warga  

dan cinta dan keibuan itu dalam satu sintese yang berbahagia 

raya. 

 

Apa, apa yang menyukarkan Sarinah untuk masuk secara 

bahagia ke dalam pekerjaan warga , -yang ia toh 

masukinya juga sebab  hasrat kemerdekaan dan sebab  

paksa-annya tuntutan perut? Ialah, bahwa rumah tangga 

terlalu bersifat “perusahaan sendiri”. Pekerjaan-pekerjaan 

untuk keperluan rumah tangga itu terlalu terlingkung dalam 

lingkungannya somah. lnilah yang seperti merantai Sarinah 

kepada kewajiban-kewajiban tetek-bengek dalam rumah 

tangga, yang beratnya telah hampir mematahkan tulang 

belakang. lnilah yang menghebatkan pertentangan antara 

cinta dan keibuan dan pekerjaan warga , menghebatkan 

retak dalam jiwanya. Maka pertentangan dan retak itu dus 

hanya dapat dilenyapkan, kalau, antara lain-lain, Sarinah 

dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah 

tangga yang tetek bengek itu, -dapat kita merdekakan dari 

kewajiban-kewajiban rumah tangga yang ia harus pikul 

sendiri sebagai akibat sifat rumah tangga yang terlalu bersifat 

perusahaan sendiri. Pertentangan dan retak itu hanya dapat 

kita lenyapkan, kalau kita pecahkan sifat rumah tangga yang 

terlalu bersifat perusaha-an sendiri itu, -Operkan sebagian 

besar dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu kepada 

umum, kepada warga . 

 

Artinya: Sebagian besar dibandingkan  pekerjaan-pekerjaan 

rumah tangga itu, kita angkatkan dari lingkungan 

keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya 

Kolektivitas! 

 

Mungkinkah ini? lni mungkin! 

Bahkan hal ini sekarang sedang berjalan berangsur-angsur! 

Berkat jalannya evolusi warga , maka pengoperan 

sebagian kewajiban-kewajiban rumah tangga kepada 

warga  itu bukan lagi satu cita-cita kosong, bukan lagi 

satu utopi, namun  mulai menjadi satu kejadian, satu realitas. 

Lihatlah!: Di zaman dulu, semua pekerjaan untuk keperluan 

212 

 

rumah tangga dilakukan di dalam rumah tangga, dan menjadi 

tanggungannya Sarinah sendiri sama sekali. namun  di zaman 

sekarang sudah banyak berangsur-angsur pekerjaan-

pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan 

partikelir diluar rumah tangga, atau kepada perusahaan-

perusahaan kolektif. Di zaman sekarang telah berangsur-

angsur berkurang sifat rumah tangga sebagai perusahaan 

milik sendiri. Makanan sudah banyak yang dimasak di luar 

rumah, lauk-pauk dibeli dari ideran atau di kedai, pakaian 

dijahit oleh tukang penjahit atau langsung dibeli telah jadi dari 

toko, pendidikan anak-anak dilakukan kolektif, pemeliharaan 

orang sakit dikerjakan di rumah-sakit, penerangan terdapat 

dari sentral elektris, pemberian air ditanggung oleh dinas 

water-leiding, pembuangan sampah diselenggarakan oleh 

haminte, dan demikian sebagainya lagi. Pendek kata, banyak 

sekali bagian-bagian kerja rumah tangga yang dulu sama 

sekali menjadi tanggungan wanita di rumah, sekarang 

dikerjakan oleh orang lain di luar rumah itu, (secara 

perusahaan, bahkan banyak yang secara kapitalistis), atau -

dan ini penting!- dikerjakan oleh “umum” secara kolektivitis 

dengan berupa negara, haminte, atau koperasi. Jadi: tendenz 

evolusi warga  ialah: berangsur-angsur mengoper fungsi-

fungsi keluarga serumah kepada “umum”, kepada warga . 

Negara, atau haminte, atau koperasi akan bertambah 

mengoper makin banyak fungsi-fungsi itu, sesuai dengan 

bertambahnya sifat negara menjadi negara rakyat, haminte 

menjadi haminte rakyat, koperasi menjadi koperasi rakyat. lni 

amat meringankan tanggungan Sarinah di rumah! 

Perusahaan-perusahaan partikelir masih mencari untung-

besar merogoh kantong Sarinah, namun  pengoperan fungsi-

fungsi oleh badan-badan kolektivistis sebagai negara, haminte, 

atau koperasi itu, membawa kebahagiaan kepadanya. Tidak 

lagi ia, kalau ia sore-sore sudah pulang dari bekerja di paberik 

atau di perusahaan, di rumah lantas masih terpaksa lagi 

membanting tulang, mengulurkan tenaga, memeras keringat. 

Tidak lagi ia harus berkeluh-kesah di rumah sampai jauh-jauh 

malam. Tidak lagi badannya masih terasa letih dan payah, 

kalau ia besok paginya bangun dari tempat tidurnya. Dan 

kebahagiaan ini mencapai puncaknya yang tertinggi di dalam 

warga  kesejahteraan sosial, di dalam warga  

sosialis. Di sana ia mencapai “bekroningnya” yang gilang-

213 

 

gemilang! Tidak lagi Sarinah dirogoh kantongnya bilamana 

mengoperkan fungsi-fungsi kerumah tanggaannya kepada 

tenaga lain di luar rumah tangga. Dengan kontribusi yang 

ringan, atau dengan cuma-cuma sama sekali, fungsi-fungsi itu 

dioper oleh koperasi, oleh haminte, oleh negara. Sepulang dari 

pekerjaan warga , ia cukup waktu untuk beristirahat, 

cukup waktu untuk berkasih-kasihan dengan suami dan 

anak-anak. Cukup waktu untuk mendengarkan lagu-lagu 

merdu dari radio, cukup waktu untuk menambah 

pengetahuannya di kursus-kursus atau di rapat-rapat. Tidak 

lagi ia harus membikin bersih lampu minyak tanah, lampu 

listrik telah menyala dengan memutar kenop di dinding. Tidak 

lagi ia harus memasang api, dapur elektris kecil-kecilan telah 

menganga dengan memutar kenopnya pula. Tidak lagi ia 

harus mencuci pakaian suaminya dan anaknya dan 

pakaiannya sendiri, -tadi pagi ia telah serahkan pakaian kotor 

itu kepada pesuruh binatu kolektif. Tidak lagi ia harus 

memasak makanan, -kecuali yang ia inginkan sebagai traktasi 

sendiri yang istimewa-, sebab makanan telah dikirim oleh 

dapur umum, malah menurut pilih-annya sendiri dari daftar-

mingguan. Tidak lagi ia harus menyediakan sarapan buat 

suaminya, anaknya dan dirinya sendiri besok pagi; sebab 

sarapan itupun urusan dapur umum, dan tempat pekerjaan 

atau sekolah ada pula yang memiliki  bufet kolektif. 

 

Pulang dari pekerjaan warga , belum letih, ia masih segar 

badan! Langit tampaknya cemerlang, bunga-bunga tampaknya 

indah, sebab pekerjaan warga  yang kolektif bukan 

penghisapan dan penindasan, tidak meletihkan jasmani dan 

rohani, melainkan membahagiakan, menggembirakan. Dan 

sedatangnya di rumah, -hanya pekerjaan yang kecil-kecil saja 

harus ia kerjakan. Banyak waktu terluang baginya! Ia dapat 

bercakap-cakap, bersenda-gurau dengan suami dan anak-

anaknya, memutar radio dengan mereka, pergi ke gambar 

hidup dengan mereka, mengunjungi rapat atau universitas 

rakyat. Ia dapat mendidik anak-anaknya dengan penuh 

kebebasan, membahagiakan mereka, melihat gambar-gambar 

majalah dengan mereka, menyusun karangan bunga dengan 

mereka, disaksikan oleh suaminya yang bersenyum simpul. Ia 

dapat minum dari mata air cinta dan keibuan dengan bebas 

214 

 

dan leluasa. Kodrat, kodratnya Isteri dan kodrat Ibu, 

berkembang lagi seharum-harumnya ... 

 

Ah, keadaan bahagia! Di sinilah pekerjaan warga , -

pekerjaan warga  yang untuk kepentingan warga , 

dan bukan lagi pekerjaan warga  untuk keuntungan per-

seorangan; pekerjaan warga  kolektivistis, dan bukan lagi 

pekerjaan warga  kapitalistis-, di sinilah pekerjaan 

warga  dan cinta dan keibuan itu tidak bertentangan lagi 

satu sama lain, tidak mengantitese lagi satu sama lain. Di sini 

dua hal itu isi-mengisi satu sama lain, mensintese satu sama 

lain. Keaktifan pekerjaan warga  membahagiakan cinta 

dan keibuan, kebahagiaan cinta dan keibuan mengaktifkan 

pekerjaan warga . 

 

Utopi? Impian kosong? Idealisme yang lupa daratan? 

Semuanya itu tidak! Sebab, sebagai di muka tadi telah saya 

katakan, warga  memang telah berangsur-angsur 

bergerak ke situ, tendenz evolusi warga  nyata telah 

menuju ke situ. Di Rusia misalnya, yang walaupun keadaan di 

sana masih belum sempurna, sudah banyak tercapai hasil di 

lapangan sintese itu. Sampai kepada pemiliharaan anak bayi 

pada waktu ibunya mengerjakan pekerjaan warga , di 

sana diurus secara kolektif di dalam “creches”. Siapa ingin 

mengetahui lebih jelas hasil-hasil yang tercapai di sana itu, 

bacalah perpustakaan yang mengenainya. 

 

Saya tahu, ada orang-orang yang menamakan sintese antara 

pekerjaan warga  dan cinta dan keibuan itu satu utopi. 

Dan saya tahu apa sebab  orang-orang itu sebenarnya 

mencurigai pengoperan sebagian dari fungsi-fungsinya rumah 

tangga kepada warga . Mencurigai pengoperan itu, 

padahal sebenarnya telah mulai berlaku pengoperan itu 

berangsur-angsur! Tak lain tak bukan sebabnya ialah 

kelambatan jalannya jiwa manusia untuk menyesuaikan diri 

dengan keadaan, kekonservatifan jiwa manusia kepada 

barang-barang yang baru. Kelambatan jiwa. Inersi psichis. 

Kekolotan psichis. 

 

Yang menjadi sebabnya curiga itu ialah individualisme, yang 

di dalam warga  sekarang ini di dalam somah (gezin) 

215 

 

itulah benteng pertahanannya penghabisan. Di dalam 

somah itu individualisme masih mendapat semacam hiburan, 

mendapat semacam tempat pelepaskan lelah, mendapat 

semacam kesempatan menarik nafas. Di dalam somah itu 

individualisme merasa dirinya tidak terganggu, merasa dirinya 

selamat. Sebab di luar somah itu, di warga  sekarang ini, 

hanya kepahitan dan kesukaran saja yang dijumpainya, di 

luar somah itu taufan praharanya perjoangan mencari sesuap 

nasi memenuhi angkasa. Di luar keprimpenannya somah itu 

manusia diuber-uber oleh hantu struggle for life, dicambuk, 

dilabrak, digiring, diseret oleh hantu ketidak-adilan sosial, 

dengan tiada maaf dan tiada ampun, tiada tempoh beristirahat 

dan tiada kesempatan menarik nafas. Maka somah menjadi 

semacam gumuk pengungsian, semacam bukit tempat 

berlindung, buat berlindungkan diri dari hamuknya banjir 

keharusan yang berhukum “bekerja mati-matian, atau lapar”, 

-semacam tempat maya untuk melupakan pahitnya 

perjoangan hidup. Maka somah makin menjadi tempat 

bersarangnya individualisme, satu “tempat keramat” yang tak 

boleh dimasuki oleh apa saja yang mengurangi kepribadian 

individualisme itu, sebagai mitsalnya faham-faham 

“kewarga an”, faham-faham “kolektivisme”, faham-faham 

“pengoperan fungsi-fungsinya somah kepada umum”. 

 

namun  di dalam satu Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial, 

di mana manusia tidak diuber-uber sampai hampir putus 

nafas oleh hantu struggle for life, di dalam satu Dunia Baru di 

mana pencaharian hidup bukan satu azab yang meremukkan 

jasmani dan rohani, namun  satu kewajiban yang gembira, di 

dalam. Dunia yang demikian itu manusia tidak ”takut” kepada 

pekerjaan di dunia-ramai, dan somah dus tidak pula menjadi 

tempat perlindungan atau tempat mengembalikan nafas. Di 

dalam Dunia yang demikian itu, maka batas antara somah 

dan warga  akan makin menjadi tipis, bahkan akan 

makin menjadi indah, laksana batas antara warna-warnanya 

pelangi hujan  yang bersambung satu dengan yang lain dan 

menyusun satu harmoni yang gilang-gemilang. 

 

“Wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten”, -

demikianlah Henriette Roland Holst menulis sesuai dengan 

pendapat saya ini-, “wanneer de wereld zal zijn geworden een 

216 

 

nest van genoten, dan zullen de grenzen tussen gezin en 

gemeenschap, die nu scherp en hard getrokken staan, 

vervagen tot een lichtende mist”. Artinya: “Jikalau dunia telah 

menjadi satu sarang orang-orang yang bersahabat, maka 

batas-batas antara somah dan warga , yang sekarang 

tajam dan keras itu, akan mengkabut menjadi kabut yang 

bercahaya”. 

 

Apa gerangan yang akan tertinggal bagi somah kelak, kalau 

batas itu telah menjadi “laksana batas warna-warnanya 

pelangi-hujan”, -telah hampir hilang menjadi “kabut yang 

bercahaya”? Ah, janganlah orang nanti mengatakan lagi ini 

satu utopi! Kalau batas itu telah mengkabut, maka somah 

lantas benar-benar satu tempat cinta dan keibuan, di mana 

tiada gangguan 1001 pekerjaan tetek-bengek beraneka-warna 

membungkukkan tulang-belakang Sarinah sampai jauh-jauh 

malam, namun  satu tempat di mana laki-laki, wanita , dan 

anak-anak hidup bersama seperti burung di dalam sarangnya. 

Di situ hanya pekerjaan-pekerjaan persomahan yang istimewa 

saja dikerjakan, dengan kemerdekaan kemauan dan 

kegembiraan. Di situ laki-laki dan wanita  memenuhi 

kodratnya, melimpahi turunannya dengan pemeliharaan dan 

kasih sayang yang tiada gangguan, menjaga dan 

membesarkan turunan itu laksana burung menjaga anaknya. 

Di situ tidak ada lagi wanita  yang “senewen” sebab  

tubuh dan jiwanya patah lelah tertimpa beban hidup sehari-

hari, tidak ada Sarinah yang seperti gila menderita penyakit 

“retak”. Dan sebagaimana tidak ada burung yang melepaskan 

anaknya sebelum berbulu, maka sungguh fitnah semata-mata 

perkataan orang, bahwa di dalam dunia baru itu anak 

dipisahkan dari ibunya. Tidak! Di dalam dunia baru itu anak 

tidak dipisahkan dari ibu, dan ibu tidak dipisahkan dari anak, 

melainkan hanyalah pemeliharaan anak itu mendapat 

bantuan besar dari pergaulan warga . Kalau ibu pagi-

pagi pergi ke pekerjaan di dalam warga  yang ia cintai, ia 

dapat menitipkan anak bayinya kepada “creches”, yang 

menjaganya, memeliharanya, sampai nanti sore diambil lagi 

oleh ibunya. Dan kalau pada waktu malam sang ibu perlu 

pula pergi ke rapat atau ke kursus atau ke gedung kumidi, 

maka pintu creches itupun terbuka pula untuk mengoper 

anak bayinya beberapa jam. 

217 

 

 

Demikianlah misalnya, bantuan warga  kepada pekerjaan 

Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan 

somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau 

benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu 

menjadi keramat sekeramat-keramatnya! 

 

Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim 

warga  yang sekarang! Mereka “mengeramatkan” somah, 

mereka katanya melindungi somah, mereka menolak 

percampuran tangan dari warga  ke dalam urusan 

somah, namun  justru sistim warga  yang mereka bela itu 

memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru 

sistim warga  yang mereka ikuti itu mengisi somah 

dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru 

sistim warga  kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi 

benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana 

kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari, 

mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam 

dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan 

lalu  melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-

pekerjaan rumah tangga yang bermacam-macam ragam 

sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa 

di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka 

hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas 

antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi 

keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan isi-mengisi satu 

sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya 

keramat. Hanya bilamana demikian, maka somah benar-benar 

menjadi satu sarang. Sarangnya Orang, sarang Manusia! 

Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri 

dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri 

semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu 

menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan 

dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal 

kasih dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih 

dan amal bahagia, berkat  bantuan warga , berkat 

percampuran tangan warga  yang berupa pengoperan 

sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh warga , dan 

berkat alat-alat teknik yang diasakan ke dalam somah oleh 

warga  itu. Tidakkah keramat sarang yang demikian itu? 

218 

 

Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai 

sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi 

Sarinah dapat terbang keluar untuk dengan hak penuh 

mengembangkan kepribadiannya dalam warga , dan 

kemana ia pada waktu sore dapat terbang kembali untuk 

dengan hak penuh mengembangkan dharmanya sebagai yang 

diberikan oleh kodrat alam kepadanya? 

 

Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan 

menjelmakan keadaan ini satu “sarang orang-orang yang 

bersahabat”, satu “nest van genoten”. 

 

Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat! 

 

Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya, 

ribuan, milyunan sarang-sarang kecil. 

 

Sarang-sarang kecil Manusia! 

Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka! 

Mungkinkah negara kita  menjadi Sarang Besar yang demikian 

itu?  

  

219 

 

BAB VI 

SARINAH DALAM PERJOANGAN 

REPUBLIK negara kita  

 

Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat 

pergerakan wanita sebagai yang saya gambarkan di muka tadi, 

akan dapat menentukan tepat pergerakan wanita negara kita  di 

derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum pecahnya 

perang Pasifik sebagian besar dibandingkan  pergerakan wanita 

negara kita  barulah menduduki tingkatan yang kesatu, -tingkat 

main puteri-puterian- yang telah dianggap basi di negeri lain 

berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian kecil 

menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain pun telah 

menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial Belanda, 

maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita negara kita  itu 

sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak 

pemilihan buat haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu 

pun dengan aturan ... “vrije aangifte”. Hasil ini amat kecil, jika 

dibandingkan dengan hasil hak pemilihan yang dicapai oleh 

wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah tentu 

tidak! Sebab pemerintah Belanda yaitu  pemerintah Belanda, 

dan aksi wanita di negara kita , jikalau dibandingkan dengan 

aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia 

Penyedar di Jermania, yaitu  laksana kucing dibandingkan 

dengan harimau. Manakala wanita negara kita  mengira, bahwa 

mereka dengan pergerakannya itu dulu telah ikut serta secara 

“hebat” di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah 

mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca 

benggala pergerakan wanita di negeri lain. Alangkah kecil 

nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya! Alangkah tiada 

adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya. 

 

Sekarang kita telah merdeka. Kita telah memiliki  Negara. 

Kita telah memiliki  Republik. Bagaimanakah aktivitas 

wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah harusnya 

aktivitas wanita di dalam perjoangan Republik kita itu? Inilah 

soal yang amat penting, yang harus diinsyafi sungguh-

sungguh oleh semua pemimpin wanita negara kita . Malahan 

bila mungkin, jangan ada seorang wanita pun yang tidak 

insyaf, jangan ada seorang pun di antara mereka yang 

220 

 

ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saya dapat 

mengagumi ucapan Lenin: “Tiap-tiap koki harus dapat 

menjalankan politik”. Buat segenap wanita negara kita  itulah 

saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka 

ikut serta dalam perjoang-an, - supaya mereka memiliki  

pedoman dalam perjoangan. Manakala La Passionaria 

(Dolores Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru: “Hai 

wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, -tiada 

kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!”, 

maka saya berkata: “Hai wanita-wanita negara kita , jadilah 

revolusioner, -tiada kemenangan revolusioner, jika tiada 

wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada 

pedoman revolusioner!”  

 

Ucapan saya ini yaitu  satu variant dibandingkan  ajaran yang 

terkenal: “Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori 

revolusioner”. “Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, 

perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan.” Camkanlah 

ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala apa yang saya 

tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya 

uraikan di dalam bab ini “terlalu teori”. Amboi, umpama saya 

ada kesempatan memberi  sepuluh kali lebih banyak teori 

tentang soal wanita dibandingkan  ini, saya akan berikan! Sebab, 

ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! “Teori tak 

disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori, 

tiada berarah tujuan”. Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi 

orang boleh berkata: Teori tak dengan perbuatan, mati! 

Perbuatan tak dengan teori, ngawur! 

 

Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat 

negara kita , sekarang ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan 

pergerakan, sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-

olah demam dengan pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita 

tidak mengenal istirahat. Sejak 17 Agustus 1945 kita 

memiliki  Negara, namun  sejak itu pula kita malahan makin 

membanting tulang, makin “demam”, makin seperti 

“keranjingan syaitan”! Arus perjoangan tidak berhenti-henti, 

arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik 

kita dan terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang, 

kita ini? 

 


 

Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan 

Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan 

intelek bangsa, maka dadanya yaitu  penuh dengan rasa 

cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan 

suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama 

dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam, 

maka dadanya yaitu  penuh dengan rasa cinta tanah air. 

Tatkala tidak lama lalu  dibandingkan  itu beliau merobah 

Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka 

dadanya pun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala 

Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan 

Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki 

Hajar Dewantara) mendirikan Nationaal Indische Partij, maka 

dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala 

Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan 

Partai Komunis negara kita  dan Sarekat Rakyat, maka dadanya 

penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Mohammad Hatta, 

dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam 

Perhimpunan negara kita , maka dadanya penuh dengan rasa 

cinta tanah air. Tatkala Sutomo bersama-sama dengan kawan-

kawannya intelektuil mendirikan P.B.I., mendirikan Parindra, 

mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa 

cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa 

butir kawan mendirikan Partai Nasional negara kita , dan 

lalu  menggerakkan partai itu menjadi partai yang 

dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula 

dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus 

1945 dengan tekad yang bulat dan keras laksana peluru baja 

mendirikan Republik, maka dada kita penuh dengan rasa 

cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian 

mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi 

Republik itu dengan kesetiaan kita, mati-matian 

merealisasikan isi semboyan kita “sekali merdeka, tetap 

merdeka”, maka dada kita semua penuh meluap-luap 

menyala-nyala  berkobar-kobar -dengan apinya cinta tanah 

air! 

 

Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu 

merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan 

cinta tanah air. namun  pertimbangan yang mendorong kita 

kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama. 


 

Yang satu mengamalkan cinta tanah air, sebab  ia merasa 

perlu membela kepentingan-kepentingan golongan putera-

puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi 

pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air sebab  

perlu menyusun tenaganya golongan kaum dagang negara kita  

yang selalu terdesak oleh saingan asing. Yang satu lagi 

mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh 

kaum atasan negara kita  dari ikatan penjajahan agar supaya 

kaum atasan itu dapat berkembang, yang lain lagi 

mengamalkan cinta tanah air untuk membela kepentingan 

kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis 

negara kita  dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air 

untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh 

imperialisme, Parindra mengamalkan cinta tanah-air sebagai 

kampiunnya golongan yang agak atasan. 

 

Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali 

semuanya mengejar negara kita  Merdeka. namun  jikalau kita 

selidiki satu-persatu partai-partai itu, -sejak dari Budi Utomo, 

sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam, 

sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis 

negara kita , sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra, 

sampai ke Partai Nasional negara kita  dan partai lain-lain -

timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam 

bentuknya yang dulu itu membawa rakyat negara kita  kepada 

kemerdekaan yang kekal dan abadi? 

 

Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh 

sebab  jawabannya itu mengandung pengajaran buat 

perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur 

dan tegas haruslah berbunyi: Partai-partai itu di dalam 

bentuk dan politiknya yang dulu itu tidak dapat membawa 

rakyat negara kita  kepada kemerdekaan yang kekal dan 

abadi!  

 

Oleh sebab  apa? Oleh sebab  partai-partai itu semuanya 

satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah 

misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo 

hendak meng-ikhtiarkan negara kita  Merdeka, -dapatkah ia 

berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak 

banyak itu, dan hampir semuanya bekerja kepada jabatan-

223 

 

jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba meyakinkan 

pihak Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan 

kemerdekaan adil? Percobaan yang demikian itu akan sama 

sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung 

seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya 

Parindra merobah negara kita  Rayanya dengan negara kita  

Merdeka, dan berjoang untuk negara kita  Merdeka, dapatkah ia 

berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh sebab  ia tidak 

memiliki  pengikut massa dan tidak cukup revolusioner. 

 

Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa 

“seribu dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra 

menjadi partai yang revolusioner” oleh sebab  buminya 

Parindra memang bukan kaum yang revolusioner, melainkan 

kaum pertengahan yang belum revolusioner. Atau, pembaca 

barangkali melayangkan fikiran kepada Sarekat Islam, yang 

dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang 

anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang 

pemimpinnya pernah ditakuti Belanda sebagai “de aanstaande 

Koning der Javanen”? Saya pernah duduk di tengah-tengah 

kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah 

berdiam di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama 

itu. namun  justru sebab  itu, saya mengetahui kekurangan-

kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam yaitu  satu 

partai yang massal, namun  ia bukan partainya massa. 

Programnya kurang tegas. Banyak kaum tani menjadi 

anggotanya, namun  ada pula tuan tanah, banyak pula 

saudagar-saudagar dan pedagang pertengahan, pegawai-

pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia 

tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut 

kemerdekaan mutlak; kapitalisme yang ia perangi ialah, -

demikian tertulis di dalam programnya-, hanja “zondig 

kapitalisme” belaka. Akibat dibandingkan  melayani kepentingan-

kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah, 

logis membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. -

Semaun c.s. Dengan segala hormat kepada almarhum 

Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam 

tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan 

partainya Semaun c.s. yang justru memisahkan diri dari 

Sarekat Islam, sebab  kekurangan-kekurangan Sarekat Islam 

itu -bagaimanakah dengan Partai Komunis negara kita  dan 

224 

 

Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan dapat mencapai 

negara kita  Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan 

tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai 

Komunis negara kita  dan Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya 

dan politiknya yang dulu, tak dapat mencapai negara kita  

Merdeka, oleh sebab  mereka justru tidak “tepat” politiknya 

itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam 

mengira bahwa kini sudah datang waktunya untuk revolusi 

sosial. Dan Partai Nasional negara kita  pun, partai saya sendiri 

dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan 

dapat mencapai negara kita  Merdeka, oleh sebab  ia terlalu 

memandang perjoangan rakyat negara kita  itu sebagai satu 

perjoangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan 

kedudukan perjoangan rakyat negara kita  itu sebagai satu 

bagian dibandingkan  satu Revolusi Besar Internasional. 

 

Lihat -alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang 

saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita 

sekarang telah memiliki  Republik, namun  manakala kita 

tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah 

dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada 

perjoangan kita, -tidak menjalankan perjoangan kita itu 

dengan sifat yang benar dan pada tempat yang benar-, maka 

kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha 

Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa 

rakyat negara kita  telah merdeka, namun  untuk memiliki 

kemerdekaan itu buat selama-lamanya dan mengisinya 

dengan  kesejahteraan sosial, -untuk itu perlulah penglihatan 

yang tepat dan usaha-usaha yang tepat pula. Mencapai 

kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus 

kemerdekaan itu kini menjadi tugas. 

 

Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai 

misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang 

dinamakan revolusioner? -dapatkah kita pisahkan Revolusi 

negara kita  dibandingkan  Revolusi Besar Internasional? -haruskah 

kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial, ataukah harus 

kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat 

Revolusi Nasional? -atau haruskah kita jalankan Revolusi 

Sosial dan Revolusi Nasional itu simultan, serentak bersama-

sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu masih harus sifat 

225 

 

nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? -bagaimana 

caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? -

dapatkah kita menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa, 

dan bagaimana jalannya supaya Revolusi itu tetap Revolusinya 

massa? –bagaimana kewajiban wanita di dalam Revolusi 

yang berisi sekian banyak soal-soal itu, supaya Revolusi itu 

menjaminkan kedudukan sebaik-baiknya kepada wanita 

dilalu  hari? -soal-soal sebagai ini harus berani kita 

hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita pecahkan. Tidak 

ada gunanya menghindari soal-soal ini, -semuanya toh pasti 

akan menerkam kita. Dan mati hidup kita sebagai bangsa 

tergantung dari padanya! 

 

Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di 

angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di 

sana itu, dan di seluruh negara kita  di hari-hari yang 

lalu nya, yaitu  satu peristiwa revolusioner. Sebab pada 

hari itu dirobek konstitusi Belanda yang menyatakan 

negara kita  menjadi satu bagian dari Kerajaan Belanda. namun  

tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa itu yaitu  

peristiwa revolusioner, -sosial (maatschappelijk) pun ia yaitu  

pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi 

Kemerdekaan negara kita  yaitu  kita maksudkan sebagai 

langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial 

yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup negara kita  yang 

tidak berkapitalisme, satu pergaulan hidup di negara kita  yang 

sama sekali berazaskan azas-azas lain dibandingkan  yang sudah-

sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial, sebagai 

bagian dibandingkan  pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan 

sosial. Proklamasi Kemerdekaan negara kita  kita lakukan bukan 

untuk feitnya proklamasi belaka, Negara Republik negara kita  

kita bangunkan bukan hanya untuk mempunjai negara 

belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu sebagai pucukan 

perjoangan sosial yang revolusioner, -sebagai syaratnya satu 

perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang 

revolusioner. Undang-undang Dasar Negara yang kita susun, 

yaitu  menunjukkan dengan nyata arah yang revolusioner itu: 

mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa: “Untuk 

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan 

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan 

226 

 

sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan negara kita  

itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara negara kita  yang 

terbentuk dalam suatu susunan negara Republik negara kita  

yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke - 

Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan 

beradab, Persatuan negara kita , dan Kerakyatan yang dipimpin 

oleh hikmat kebijaksanaan dalam 

permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan 

suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita ”,  -

mukadammah undang-undang dasar kita ini dengan nyata 

menegaskan bahwa Republik diadakan untuk 

penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner. 

Proklamasi 17 Agustus 1945 yaitu  satu langkah yang 

pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan 

sosia1 yang revolusioner! Dan langkah pertama ke arah 

penjelenggaraan satu tujuan yang revolusioner, yaitu  

revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, -dari langkah 

pertamanya sampai kepada ujung akhirnya-, yaitu  pula 

revolusioner! 

 

namun  kecuali dibandingkan  itu, peristiwa menjadi merdekanya 

suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa 

lain, -merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka 

boneka, -yaitu  satu peristiwa revolusioner, oleh sebab  

peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil: 

Tidak dapat “diatur”, “disedia-sediakan”, “dihadiahkan” secara 

konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu, 

dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu 

bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, yaitu  satu 

peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi- 

situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak 

dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara 

konstitusionil. Dan tidak akan -tidak mungkin!- sengaja diatur 

atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus 

bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis 

mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-

situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan 

bangsa yang dibandingkan nya ia menghisap zat-zat untuk 

hidupnya atau kesejahteraannya! “Tak pernah sesuatu kelas 

dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih”, 

demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh sebab  itulah 

227 

 

pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan yaitu  satu 

peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi 

revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai 

oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan 

adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang 

menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak 

revolusioner, namun  isinya kejadian itu! Sering kali banyak 

darah ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner. 

 

Merdekanya sesuatu bangsa jajahan yaitu  satu peristiwa 

dalam proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan, 

satu cincin dalam rantai revolusi kemerdekaan seluruh 

kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak konstitusionil. 

Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi 

malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan 

alasan-alasan konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan 

untuk mengeritiki kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan 

konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk mengajak 

segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal negara kita  

menjadi satu soal kecil “urusan dalam negeri” konstitusionil! 

namun  ia tidak akan berhasil, ia pasti akan kandas. Sebab 

memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil, melainkan 

situasi-situasi revolusioner yang telah menelorkan 

kemerdekaan negara kita  itu, dan sebab nya tiada kekuatan 

manusia apapun dapat menghapuskannya, tiada muslihat 

manusia apapun dapat meniadakannya. 

 

Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi 

revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan negara kita  

telah saya lihat menyingsing di cakrawala. - Dengan hati yang 

berdebar debar sebab  rasa kegembiraan yang tak tertahan, di 

dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat 

yang terkenal: “Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau 

nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan 

membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi 

merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa sebab  ledakan 

bom dan dinamit, di situ rakyat negara kita  akan melepaskan 

belenggu-belenggunya, di situ rakyat negara kita  akan 

merdeka!”  

 

228 

 

Ucapan ini bukan satu “nujuman”. Ia bukan pernyataan 

seorang-orang yang melihat gambar hari lalu  terlukis 

dalam rangkaian bintang-bintang di langit. 

 

Ia bukan pula keluar dari mulutku sebab  dorongan harapan 

berdasar “wishfull thinking”. Bukan pula sekedar hasutan 

kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang 

tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam 

penjara bertuhun-tahun. Ia yaitu  hasil perhitungan akan 

datangnya situasi-situasi revolusioner, dan perhitungan 

akan mempergunakan situasi-situasi revolusioner itu. 

 

Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa 

peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan 

duniawi pun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin 

lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin 

lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-

antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis 

hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah 

turun (telah “im Niedergang”) dan megap-megap mencari nafas 

dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak 

dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha 

mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan 

fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp 

dan main drel dengan senapan mesin, -semua itu 

membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis 

yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu pasti akan 

mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru 

dan seramnya belum pernah dialami oleh kemanusiaan, satu 

peperangan dunia yang tidak saja akan mempuingkan muka 

bumi di dunia Barat, namun  juga akan menggeledek dan 

menghalilintar di dunia Timur.  

 

Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf 

kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang 

segenting-gentingnya, -pasti peperangan itu datang, hantu-

hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada 

ampun, -itu saya tahu-, imperialisme Belanda, akan terseret-

serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan 

pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam 

229 

 

atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu 

godamnya! 

 

Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam 

atau hampir remuk-redam, maka itu yaitu  satu situasi 

revolusioner. Satu situasi revolusioner yang akan menjadi 

satu anasir-obyektif yang baik untuk melepaskan negara kita  

dari cengkereman imperialisme Belanda itu. Manakala kita 

tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari 

cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar, 

maka haruslah kita menunggu kesempatan dan 

mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam 

keadaan lemah atau remuk. namun  untuk dapat 

mempergunakan kesempatan itu, kita sendiri harus kuat. 

Kita harus menyusun anasir subyektif untuk dapat 

mempergunakan kesempatan itu: kita harus menyusun 

tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih 

ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita, 

mengkongkritkan kemauan nasional kita. Di samping situasi 

revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-

nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan (dan kita 

bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa 

penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan 

tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang 

subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya 

pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak 

semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner 

ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua 

poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat 

itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung 

dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan 

Belanda di dunia Timur.  

 

Pada saat itulah Banteng negara kita  akan meraung: Merdeka, 

negara kita  telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka! 

 

Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya 

lukiskan di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya 

situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal 

konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu 

pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan 

230 

 

pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh dibandingkan  

bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya negara kita  

yaitu  satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn 

terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner 

di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh 

sebab  ia, sebagai tadi saya katakan, yaitu  satu langkah 

pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang 

revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh 

sebab  ia (nanti saya jelaskan) satu bagian dibandingkan  satu 

proses dunia yang revolusioner. 

 

Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya 

meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk 

memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih 

dianggap tujuan? Belum dapatkah kita sekarang 

menjelmakannya, -merealisasikannya? Kaum wanita, yang 

membaca uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini, 

sudah barang tentu ada yang tertarik oleh uraian tentang 

maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga, dan 

berkeyakinan juga bahwa hanya di warga  sosialislah 

wanita dapat menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau 

di antara pembaca-pembaca wanita ada yang memperoleh 

keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini, 

jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar 

lantas mengerti kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-

feminisme dan mengerti, bahwa soal wanita hanyalah dapat 

memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru 

yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling 

bersyukur, sayalah yang paling berbahagia. 

 

Memang untuk memberi keyakinan yang demikian itulah 

salah satu maksud tangan saya menggoyangkan pena! namun  

saya pun sedar, bahwa saya masih harus menarik terus garis 

penerangan saya itu lebih jauh. Saya sedar, bahwa justru oleh 

sebab  tertarik oleh kebenaran pendirian “tingkat ketiga” itu, 

sebagian dari pembaca-pembaca lantas berfikiran: “Ha, tingkat 

ketigalah yang benar, tingkat ketigalah yang memberi 

pemecahan soal wanita yang memuaskan, marilah kita 

pusatkan segala perhatian kita dan keaktivan kita sekarang 

juga kepada Revolusi Sosialisme! Maka oleh sebab  itulah 

lantas mendesak kemuka soal: Sudahkah sekarang tiba 

231 

 

waktunya bagi kita untuk Revolusi Sosialisme? Untuk 

meniadakan tiap-tiap sesuatu yang berbau kapitalisme? 

Untuk membasmi borjuasi nasional? Untuk menghapuskan 

apa saja yang masih bercorak feodal? Untuk melabrak tiap-

tiap sesuatu yang masih belum bersifat sosialistis? 

 

“Kesejahteraan sosial”. Dua perkataan yang di dalam 

Revolusi kita ini telah amat termasyhur! namun  justru juga dua 

perkataan yang mewajibkan kita berfikir dalam-dalam. 

“Kesejahteraan sosial”! Ambillah misalnya pergaulan hidup 

dalam kelompok. Di dalam pergaulan hidup kelompok itu 

tentu tidak ada kapitalisme, tentu tidak ada borjuasi, tentu 

tidak ada feodalisme. Apakah pergaulan hidup kelompok itu 

“berkesejah-teraan sosial”? Atau ambillah pergaulan hidup 

dalam gens, di zamannya matriarchat. Juga di situ tidak ada 

kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme. Malah di 

situ menurut pendapat Engels atau Muller Lyer ada 

“oercommunisme”. namun  adakah di situ kesejahteraan sosial? 

 

Apakah yang dinamakan kesejahteraan sosial? Apakah satu 

warga , yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak 

ada borjuasi, tidak ada feodalisme, -yang di dalamnya ada 

“sama rasa sama rata”, namun  yang di dalamnya misalnya 

orang harus berjalan kaki atau menaik gerobak kerbau kalau 

hendak pergi dari Bandung ke Surabaya, sebab  tidak ada oto 

atau kereta api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam 

gelap gulita pada waktu malam sebab  tidak ada listrik 

ataupun minyak tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga 

plongo sebab  tidak ada percetakan yang mencetak buku-

buku atau surat-surat kabar; yang di dalamnya orang harus 

menderita banyak penyakit oleh sebab  tidak ada paberik yang 

membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap 

tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat 

bendungan-bendungan air - pengairan oleh sebab  di dalam 

tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak 

terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah 

paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau, dan palawija 

sekian pikul sebau oleh sebab  pertanian masih dijalankan 

secara di zaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk 

mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; 

pendek kata: satu warga  kuno-kuno-mbahnya-kuno 

232 

 

dengan tiada oto, dengan tiada kereta api, dengan tiada 

paberik-paberik, dengan tiada surat-surat kabar, dengan tiada 

radio, dengan tiada rumah-rumah sakit, dengan tiada kapal-

kapal, dengan tiada korek api, dengan tiada buku-buku, tiada 

aspal, tiada sepeda, tiada semen, tiada sekolah, tiada ... ya, 

entah tiada apapun namanya lagi, -dapatkah warga  yang 

demikian itu, walaupun di dalamnya tidak ada kapitalisme, 

tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan ada “sama rasa 

sama rata”, -dapatkah warga  yang demikian itu bernama 

warga  yang “berkesejahteraan sosial”? 

 

Sudah tentu tidak! warga  yang demikian itu bukan 

warga  kesejahteraan sosial, warga  yang demikian 

itu bukan warga  sosialisme. 

 

warga  yang demikian itupun tidak mungkin dapat berdiri 

teguh di dalam dunia kapitalistis yang sekarang. 

 

Ia segera akan menjadi mangsanya imperialisme, yang sedikit-

nya akan membanjiri dia dengan barang-barang modern 

buatan industrialismenya. 

 

Apakah arti sosialisme? Ya, saya menanya: “Apakah arti 

sosialisme?” Sosialismekah kalau orang masih harus berjalan 

kaki kalau bepergian jauh? Sosialismekah kalau produksi 

hanya sedikit dan distribusi tidak teratur sentral sebab  tidak 

ada banyak alat-alat transport yang mekanis? Sosialismekah 

kalau banyak obrolan omong kosong, sebab  hanya sedikit 

orang saja dapat membaca, menulis, mengetahui kabar dunia?  

 

Sosialisme kah kalau wanita di rumah lampunya lampu 

minyak kelapa atau lampu biji jarak, meniup-niup api di 

dapur tiap-tiap kali ia hendak menanak nasi, memintal dan 

menenun sendiri tiap-tiap jengkal bahan baju anaknya atau 

suaminya sebab  memang tidak ada paberik tenun yang 

menenun tekstil? 

 

Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif. Adanya 

industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif. 

Adanya distribusi yang kolektif. Adanja pendidikan yang 

kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya 

233 

 

radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api, 

adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding, 

adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku, 

adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin, 

adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor, 

adanya irigasi, dll, semuanya secara memiliki  jumlah 

minimum, dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin, 

walaupun ia orang anarchist) “di dalam suasana kolektivitas”. 

Alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-

royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan 

hidup sosialistis. Sosialisme yaitu  kecukupan pelbagai 

kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah 

dikolektivisasikan. Sosialisme yaitu  “keenakan hidup yang 

pantas” Kecukupan pelbagai kebutuhan itu, adanya 

“keenakan hidup yang pantas” itu, hanyalah mungkin dengan 

adanya dan dipergunakannya “secara sosial” alat-alat teknik. 

 

Satu warga  yang belum dapat memenuhi syarat-syarat 

teknik itu sampai kepada sedikitnya satu tingkat minimum 

yang tertentu, tak mungkin mampu menjelmakan sosialisme! 

 

Sudahkah kemajuan warga  kita sekian jauhnya? 

Sudahkah warga  kita politik cukup merdeka, untuk 

menyediakan “syarat-syarat teknik” sampai kepada sedikitnya 

satu tingkat “minimum” itu? Pada saat saya menuliskan 

pertanyaan-pertanyaan ini, lampu yang menyinari kertas saya 

ialah lampu lilin, sebab  aliran listrik diputuskan Belanda di 

Tuntang, dan di berpuluh-puluh tempat dalam Republik, 

mortir dan bren-gun Belanda berdentam-dentam. Negara 

negara kita  dalam bahaya! Dapatkah satu Negara, yang sedang 

dikepung dan diserang oleh musuh, melaksanakan 

sosialisme? Dan andaikata Belanda tidak mengepung dan 

tidak menyerang negara kita, sekali lagi saya tanyakan, 

dapatkah kita sekarang, -sekarang!- , telah melaksanakan 

sosialisme? 

 

Negara negara kita  dalam bahaya. Memang bahaya ini yaitu  

satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan negara 

yang merdeka. Justru oleh sebab  proklamasi kemerdekaan 

kita satu kejadian yang tidak konstitusionil, justru oleh 

sebab  tindakan kita memerdekakan negara kita  itu satu 

234 

 

tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak Negara 

negara kita  harus melalui satu fase “dalam bahaya”. Tidakkah 

tadi telah saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu 

kelas dengan sukarela melepaskan kedudukannya yang 

berlebih? Pekerjaan kita mendirikan negara belum selesai, 

Revolusi Nasional kita belum berakhir. Revolusi Nasional kita 

malah sedang menggelora-menggeloranya! Pekerjaan 

mendirikan negara itu sedikitnya harus selesai lebib dahulu, 

sebelum kita dapat memasuki fase sosialisme. 

 

Bangsa negara kita  sedang di dalam Revolusi. namun  Revolusi 

bukanlah sekedar satu “kejadian” belaka. Revolusi yaitu  satu 

proses. Puluhan tahun, kadang-kadang, berjalannya proses 

itu. Revolusi Perancis berjalan delapan puluh tahun, Revolusi 

Rusia empat puluh tahun, Revolusi Tiongkok sampai sekarang 

pun belum selesai. Revolusi kita pun tentu akan memakan 

waktu bertahun-tahun, kalau tidak berpuluh-puluh tahun 

juga. Pasang naik dan pasang surut akan kita alami berganti-

ganti, pasang naik dan pasang surut itulah yang dinamakan 

irama Revolusi! namun  geloranya samudra tidak berhenti, 

gelora samudra berjalan terus. Sejarah berjalan terus, dan 

klimaks sejarah (atau “inspirasi yang menghamuk” dibandingkan  

sejarah) yang bernama Revolusi itu pun berjalan terus, melalui 

beberapa fase. 

 

Revolusi yaitu  “hamuknya” tenaga-tenaga warga , namun  

tenaga-tenaga itu bukan hanya tenaga-tenaga yang 

menghantam, menggempur, menghancurleburkan saja, -

tenaga-tenaga itu ada pula yang menyusun, membina, 

membangun. Revolusi bukan hanya proses yang destruktif, ia 

juga satu tenaga besar yang konstruktif. Keadaan-keadaan 

dalam warga  yang telah tidak sesuai lagi dengan 

kebutuhan-kebutuhan baru, ia hantam, ia matikan, ia 

hancurleburkan, -keadaan-keadaan baru yang sesuai dengan 

kebutuhan-kebutuhan baru ia bangunkan. Dan di dalam tiap-

tiap fase Revolusi, maka tenaga-tenaga destruktif dan 

konstruktif itu bekerja serempak, bekerja simultan. 

Sebagaimana di dalam faIsafah Hindu destruktivismenya 

Syiwa dan konstruktivismenya Wisynu bekerja serempak 

simultan, maka demikian pula di dalam tiap-tiap fase dibandingkan  

235 

 

Revolusi, destruksi dan konstruksi berjalan serempak 

simultan.  

 

Apakah fase-fasenya Revolusi kita? Kita mengalami fase 

nasional, dan akan mengalami fase sosial: fase nasional 

dalam mana kita mendirikan Negara Nasional, dan fase sosial 

dalam mana kita mendirikan sosialisme. Dalam fase nasional 

tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan, 

dalam fase sosial pun tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif 

bekerja simultan. Eposnya permainan bersama antara 

hamuknya tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu 

sekarang sedang berjalan dengan dahsyatnya, gegap-

gempitalah pe