presiden soekarno 9
ngan yang lain, -mengangkat pekerjaan di warga dan
cinta dan keibuan itu ketingkatan yang lebih tinggi, di mana
dua hal itu tidak mengantitese, namun justru mensintese satu
sama lain. Wanita harus mengerti, bahwa mereka, jikalau
mereka mengorbankan salah satu dari dua hal itu, -memilih
cinta dan keibuan dan melepaskan pekerjaan di warga ,
atau memilih pekerjaan di warga dan melepaskan cinta
dan keibuan-, sebenarnya menerima kekalahan di dalam
perjoangan. Memilih cinta dan keibuan dan melepaskan
pekerjaan di warga berarti satu kekalahan terhadap
kepada tuntutan yang telah diperjoangkan beratus-ratus
tahun; memilih pekerjaan di warga dan melepaskan
cinta dan keibuan berarti satu kekalahan terhadap kepada
tuntutan alam. sebab itu, satu-satunya jalan yang benar
ialah jalan yang bukan saja menuju kepada hilangnya
pertentangan antara dua hal itu, namun malahan kepada
sintese dua hal itu, -jalan yang menuju ke tempat di mana dua
hal itu kedua-duanya dapat dipenuhi bersama-sama, dalam
suasana isi-mengisi kebahagiaan masing-masing.
Usaha yang dapat mendatangkan sintese antara pekerjaan di
warga dan cinta dan keibuan itulah kemenangan!
210
Kemenangan, oleh sebab tidak ada satu langkah yang
mundur. Tidak mundur di atas lapangan tuntutan
kewarga an, tidak mundur di atas lapangan tututan
alam. Malahan di atas kedua-dua lapangan satu kemajuan. Di
atas lapangan kewarga an satu kemajuan, oleh sebab
pekerjaan di warga menjadi satu kegembiraan; di atas
lapangan cinta dan keibuan satu kemajuan, oleh sebab
wanita dapat cukup waktu untuk menjalankan cinta dan
keibuan, itu -dan dapat menjalankannya dalam suasana
kebahagiaan pula.
Pembaca masih ingat, apa yang menyebabkan retak dalam
jiwa wanita yang mengerjakan pekerjaan warga . Pertama
ialah oleh sebab di dalam sistim kapitalisme pekerjaan
warga itu laksana meremukkan jasmani dan rohani;
duabelas jam, tigabelas, empatbelas jam tiap-tiap hari kadang-
kadang wanita harus bekerja di dalam paberik atau
perusahaan, dan itupun dalam keadaan pekerjaan yang amat
berat dan tidak sehat. Kedua, -kalau wanita, di dalam keadaan
jasmani dan rohani yang telah amat letih itu, sore-sore atau
malam-malam pulang di rumah, maka ia harus bekerja lagi
amat berat di rumah tangga, mengerjakan seribusatu
pekerjaan rumah tangga tetek-bengek yang tidak ringan, yang
diwajibkan kepadanya oleh cinta dan keibuan. Memasak,
mencuci pakaian, membersihkan rumah, menjelumat baju,
memelihara anak, menyediakan sarapan buat besok pagi dan
lain sebagainya, masih harus ia kerjakan, sehingga
kebahagiaan cinta dan keibuan menjadi amat terganggu oleh
sebab nya. Sebagai yang saya katakan di muka, maka wanita
di dalam sistim kapitalisme itu amat berkeluh-kesah memikul
beban yang dobel, -bebannya kerja berat sebagai produsen
warga , dan bebannya kerja berat sebagai produsen
rumah tangga. Yang satu tidak membahagiakan yang lain,
yang satu malah memelaratkan kepada yang lain. namun
kedua-duanya harus dikerjakan, kedua-duanya harus
ditunaikan, -tidak dapat salah satu dari dua itu dilepaskan,
dengan tidak mengkhianati kepada atau panggilan
kewarga an, atau panggilan alam. Dan walaupun retak
yang begini itu terutama sekali mengenai wanita bawahan, -di
kalangan wanita atasan pun pada pokoknya ia ada.
sebab nya, maka satu-satunya kemenangan ialah: satu
211
pergaulan hidup baru, yang melenyapkan retak itu,
menghapuskan pertentangan antara panggilan warga
dan panggilan alam, mensintesekan pekerjaan warga
dan cinta dan keibuan itu dalam satu sintese yang berbahagia
raya.
Apa, apa yang menyukarkan Sarinah untuk masuk secara
bahagia ke dalam pekerjaan warga , -yang ia toh
masukinya juga sebab hasrat kemerdekaan dan sebab
paksa-annya tuntutan perut? Ialah, bahwa rumah tangga
terlalu bersifat “perusahaan sendiri”. Pekerjaan-pekerjaan
untuk keperluan rumah tangga itu terlalu terlingkung dalam
lingkungannya somah. lnilah yang seperti merantai Sarinah
kepada kewajiban-kewajiban tetek-bengek dalam rumah
tangga, yang beratnya telah hampir mematahkan tulang
belakang. lnilah yang menghebatkan pertentangan antara
cinta dan keibuan dan pekerjaan warga , menghebatkan
retak dalam jiwanya. Maka pertentangan dan retak itu dus
hanya dapat dilenyapkan, kalau, antara lain-lain, Sarinah
dapat kita merdekakan dari kewajiban-kewajiban rumah
tangga yang tetek bengek itu, -dapat kita merdekakan dari
kewajiban-kewajiban rumah tangga yang ia harus pikul
sendiri sebagai akibat sifat rumah tangga yang terlalu bersifat
perusahaan sendiri. Pertentangan dan retak itu hanya dapat
kita lenyapkan, kalau kita pecahkan sifat rumah tangga yang
terlalu bersifat perusaha-an sendiri itu, -Operkan sebagian
besar dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu kepada
umum, kepada warga .
Artinya: Sebagian besar dibandingkan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga itu, kita angkatkan dari lingkungan
keluarga, dan kita masukkan ke dalam tanggungannya
Kolektivitas!
Mungkinkah ini? lni mungkin!
Bahkan hal ini sekarang sedang berjalan berangsur-angsur!
Berkat jalannya evolusi warga , maka pengoperan
sebagian kewajiban-kewajiban rumah tangga kepada
warga itu bukan lagi satu cita-cita kosong, bukan lagi
satu utopi, namun mulai menjadi satu kejadian, satu realitas.
Lihatlah!: Di zaman dulu, semua pekerjaan untuk keperluan
212
rumah tangga dilakukan di dalam rumah tangga, dan menjadi
tanggungannya Sarinah sendiri sama sekali. namun di zaman
sekarang sudah banyak berangsur-angsur pekerjaan-
pekerjaan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
partikelir diluar rumah tangga, atau kepada perusahaan-
perusahaan kolektif. Di zaman sekarang telah berangsur-
angsur berkurang sifat rumah tangga sebagai perusahaan
milik sendiri. Makanan sudah banyak yang dimasak di luar
rumah, lauk-pauk dibeli dari ideran atau di kedai, pakaian
dijahit oleh tukang penjahit atau langsung dibeli telah jadi dari
toko, pendidikan anak-anak dilakukan kolektif, pemeliharaan
orang sakit dikerjakan di rumah-sakit, penerangan terdapat
dari sentral elektris, pemberian air ditanggung oleh dinas
water-leiding, pembuangan sampah diselenggarakan oleh
haminte, dan demikian sebagainya lagi. Pendek kata, banyak
sekali bagian-bagian kerja rumah tangga yang dulu sama
sekali menjadi tanggungan wanita di rumah, sekarang
dikerjakan oleh orang lain di luar rumah itu, (secara
perusahaan, bahkan banyak yang secara kapitalistis), atau -
dan ini penting!- dikerjakan oleh “umum” secara kolektivitis
dengan berupa negara, haminte, atau koperasi. Jadi: tendenz
evolusi warga ialah: berangsur-angsur mengoper fungsi-
fungsi keluarga serumah kepada “umum”, kepada warga .
Negara, atau haminte, atau koperasi akan bertambah
mengoper makin banyak fungsi-fungsi itu, sesuai dengan
bertambahnya sifat negara menjadi negara rakyat, haminte
menjadi haminte rakyat, koperasi menjadi koperasi rakyat. lni
amat meringankan tanggungan Sarinah di rumah!
Perusahaan-perusahaan partikelir masih mencari untung-
besar merogoh kantong Sarinah, namun pengoperan fungsi-
fungsi oleh badan-badan kolektivistis sebagai negara, haminte,
atau koperasi itu, membawa kebahagiaan kepadanya. Tidak
lagi ia, kalau ia sore-sore sudah pulang dari bekerja di paberik
atau di perusahaan, di rumah lantas masih terpaksa lagi
membanting tulang, mengulurkan tenaga, memeras keringat.
Tidak lagi ia harus berkeluh-kesah di rumah sampai jauh-jauh
malam. Tidak lagi badannya masih terasa letih dan payah,
kalau ia besok paginya bangun dari tempat tidurnya. Dan
kebahagiaan ini mencapai puncaknya yang tertinggi di dalam
warga kesejahteraan sosial, di dalam warga
sosialis. Di sana ia mencapai “bekroningnya” yang gilang-
213
gemilang! Tidak lagi Sarinah dirogoh kantongnya bilamana
mengoperkan fungsi-fungsi kerumah tanggaannya kepada
tenaga lain di luar rumah tangga. Dengan kontribusi yang
ringan, atau dengan cuma-cuma sama sekali, fungsi-fungsi itu
dioper oleh koperasi, oleh haminte, oleh negara. Sepulang dari
pekerjaan warga , ia cukup waktu untuk beristirahat,
cukup waktu untuk berkasih-kasihan dengan suami dan
anak-anak. Cukup waktu untuk mendengarkan lagu-lagu
merdu dari radio, cukup waktu untuk menambah
pengetahuannya di kursus-kursus atau di rapat-rapat. Tidak
lagi ia harus membikin bersih lampu minyak tanah, lampu
listrik telah menyala dengan memutar kenop di dinding. Tidak
lagi ia harus memasang api, dapur elektris kecil-kecilan telah
menganga dengan memutar kenopnya pula. Tidak lagi ia
harus mencuci pakaian suaminya dan anaknya dan
pakaiannya sendiri, -tadi pagi ia telah serahkan pakaian kotor
itu kepada pesuruh binatu kolektif. Tidak lagi ia harus
memasak makanan, -kecuali yang ia inginkan sebagai traktasi
sendiri yang istimewa-, sebab makanan telah dikirim oleh
dapur umum, malah menurut pilih-annya sendiri dari daftar-
mingguan. Tidak lagi ia harus menyediakan sarapan buat
suaminya, anaknya dan dirinya sendiri besok pagi; sebab
sarapan itupun urusan dapur umum, dan tempat pekerjaan
atau sekolah ada pula yang memiliki bufet kolektif.
Pulang dari pekerjaan warga , belum letih, ia masih segar
badan! Langit tampaknya cemerlang, bunga-bunga tampaknya
indah, sebab pekerjaan warga yang kolektif bukan
penghisapan dan penindasan, tidak meletihkan jasmani dan
rohani, melainkan membahagiakan, menggembirakan. Dan
sedatangnya di rumah, -hanya pekerjaan yang kecil-kecil saja
harus ia kerjakan. Banyak waktu terluang baginya! Ia dapat
bercakap-cakap, bersenda-gurau dengan suami dan anak-
anaknya, memutar radio dengan mereka, pergi ke gambar
hidup dengan mereka, mengunjungi rapat atau universitas
rakyat. Ia dapat mendidik anak-anaknya dengan penuh
kebebasan, membahagiakan mereka, melihat gambar-gambar
majalah dengan mereka, menyusun karangan bunga dengan
mereka, disaksikan oleh suaminya yang bersenyum simpul. Ia
dapat minum dari mata air cinta dan keibuan dengan bebas
214
dan leluasa. Kodrat, kodratnya Isteri dan kodrat Ibu,
berkembang lagi seharum-harumnya ...
Ah, keadaan bahagia! Di sinilah pekerjaan warga , -
pekerjaan warga yang untuk kepentingan warga ,
dan bukan lagi pekerjaan warga untuk keuntungan per-
seorangan; pekerjaan warga kolektivistis, dan bukan lagi
pekerjaan warga kapitalistis-, di sinilah pekerjaan
warga dan cinta dan keibuan itu tidak bertentangan lagi
satu sama lain, tidak mengantitese lagi satu sama lain. Di sini
dua hal itu isi-mengisi satu sama lain, mensintese satu sama
lain. Keaktifan pekerjaan warga membahagiakan cinta
dan keibuan, kebahagiaan cinta dan keibuan mengaktifkan
pekerjaan warga .
Utopi? Impian kosong? Idealisme yang lupa daratan?
Semuanya itu tidak! Sebab, sebagai di muka tadi telah saya
katakan, warga memang telah berangsur-angsur
bergerak ke situ, tendenz evolusi warga nyata telah
menuju ke situ. Di Rusia misalnya, yang walaupun keadaan di
sana masih belum sempurna, sudah banyak tercapai hasil di
lapangan sintese itu. Sampai kepada pemiliharaan anak bayi
pada waktu ibunya mengerjakan pekerjaan warga , di
sana diurus secara kolektif di dalam “creches”. Siapa ingin
mengetahui lebih jelas hasil-hasil yang tercapai di sana itu,
bacalah perpustakaan yang mengenainya.
Saya tahu, ada orang-orang yang menamakan sintese antara
pekerjaan warga dan cinta dan keibuan itu satu utopi.
Dan saya tahu apa sebab orang-orang itu sebenarnya
mencurigai pengoperan sebagian dari fungsi-fungsinya rumah
tangga kepada warga . Mencurigai pengoperan itu,
padahal sebenarnya telah mulai berlaku pengoperan itu
berangsur-angsur! Tak lain tak bukan sebabnya ialah
kelambatan jalannya jiwa manusia untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan, kekonservatifan jiwa manusia kepada
barang-barang yang baru. Kelambatan jiwa. Inersi psichis.
Kekolotan psichis.
Yang menjadi sebabnya curiga itu ialah individualisme, yang
di dalam warga sekarang ini di dalam somah (gezin)
215
itulah benteng pertahanannya penghabisan. Di dalam
somah itu individualisme masih mendapat semacam hiburan,
mendapat semacam tempat pelepaskan lelah, mendapat
semacam kesempatan menarik nafas. Di dalam somah itu
individualisme merasa dirinya tidak terganggu, merasa dirinya
selamat. Sebab di luar somah itu, di warga sekarang ini,
hanya kepahitan dan kesukaran saja yang dijumpainya, di
luar somah itu taufan praharanya perjoangan mencari sesuap
nasi memenuhi angkasa. Di luar keprimpenannya somah itu
manusia diuber-uber oleh hantu struggle for life, dicambuk,
dilabrak, digiring, diseret oleh hantu ketidak-adilan sosial,
dengan tiada maaf dan tiada ampun, tiada tempoh beristirahat
dan tiada kesempatan menarik nafas. Maka somah menjadi
semacam gumuk pengungsian, semacam bukit tempat
berlindung, buat berlindungkan diri dari hamuknya banjir
keharusan yang berhukum “bekerja mati-matian, atau lapar”,
-semacam tempat maya untuk melupakan pahitnya
perjoangan hidup. Maka somah makin menjadi tempat
bersarangnya individualisme, satu “tempat keramat” yang tak
boleh dimasuki oleh apa saja yang mengurangi kepribadian
individualisme itu, sebagai mitsalnya faham-faham
“kewarga an”, faham-faham “kolektivisme”, faham-faham
“pengoperan fungsi-fungsinya somah kepada umum”.
namun di dalam satu Dunia Baru yang berkesejahteraan sosial,
di mana manusia tidak diuber-uber sampai hampir putus
nafas oleh hantu struggle for life, di dalam satu Dunia Baru di
mana pencaharian hidup bukan satu azab yang meremukkan
jasmani dan rohani, namun satu kewajiban yang gembira, di
dalam. Dunia yang demikian itu manusia tidak ”takut” kepada
pekerjaan di dunia-ramai, dan somah dus tidak pula menjadi
tempat perlindungan atau tempat mengembalikan nafas. Di
dalam Dunia yang demikian itu, maka batas antara somah
dan warga akan makin menjadi tipis, bahkan akan
makin menjadi indah, laksana batas antara warna-warnanya
pelangi hujan yang bersambung satu dengan yang lain dan
menyusun satu harmoni yang gilang-gemilang.
“Wanneer de wereld zal zijn geworden een nest van genoten”, -
demikianlah Henriette Roland Holst menulis sesuai dengan
pendapat saya ini-, “wanneer de wereld zal zijn geworden een
216
nest van genoten, dan zullen de grenzen tussen gezin en
gemeenschap, die nu scherp en hard getrokken staan,
vervagen tot een lichtende mist”. Artinya: “Jikalau dunia telah
menjadi satu sarang orang-orang yang bersahabat, maka
batas-batas antara somah dan warga , yang sekarang
tajam dan keras itu, akan mengkabut menjadi kabut yang
bercahaya”.
Apa gerangan yang akan tertinggal bagi somah kelak, kalau
batas itu telah menjadi “laksana batas warna-warnanya
pelangi-hujan”, -telah hampir hilang menjadi “kabut yang
bercahaya”? Ah, janganlah orang nanti mengatakan lagi ini
satu utopi! Kalau batas itu telah mengkabut, maka somah
lantas benar-benar satu tempat cinta dan keibuan, di mana
tiada gangguan 1001 pekerjaan tetek-bengek beraneka-warna
membungkukkan tulang-belakang Sarinah sampai jauh-jauh
malam, namun satu tempat di mana laki-laki, wanita , dan
anak-anak hidup bersama seperti burung di dalam sarangnya.
Di situ hanya pekerjaan-pekerjaan persomahan yang istimewa
saja dikerjakan, dengan kemerdekaan kemauan dan
kegembiraan. Di situ laki-laki dan wanita memenuhi
kodratnya, melimpahi turunannya dengan pemeliharaan dan
kasih sayang yang tiada gangguan, menjaga dan
membesarkan turunan itu laksana burung menjaga anaknya.
Di situ tidak ada lagi wanita yang “senewen” sebab
tubuh dan jiwanya patah lelah tertimpa beban hidup sehari-
hari, tidak ada Sarinah yang seperti gila menderita penyakit
“retak”. Dan sebagaimana tidak ada burung yang melepaskan
anaknya sebelum berbulu, maka sungguh fitnah semata-mata
perkataan orang, bahwa di dalam dunia baru itu anak
dipisahkan dari ibunya. Tidak! Di dalam dunia baru itu anak
tidak dipisahkan dari ibu, dan ibu tidak dipisahkan dari anak,
melainkan hanyalah pemeliharaan anak itu mendapat
bantuan besar dari pergaulan warga . Kalau ibu pagi-
pagi pergi ke pekerjaan di dalam warga yang ia cintai, ia
dapat menitipkan anak bayinya kepada “creches”, yang
menjaganya, memeliharanya, sampai nanti sore diambil lagi
oleh ibunya. Dan kalau pada waktu malam sang ibu perlu
pula pergi ke rapat atau ke kursus atau ke gedung kumidi,
maka pintu creches itupun terbuka pula untuk mengoper
anak bayinya beberapa jam.
217
Demikianlah misalnya, bantuan warga kepada pekerjaan
Sarinah sebagai Ibu. Dengan bantuan itu maka kebahagiaan
somah menjadi kebahagiaan yang sebenar-benar-nya. Jikalau
benar ada kekeramatan somah, maka beginilah somah itu
menjadi keramat sekeramat-keramatnya!
Sesungguhnya! Alangkah munafiknya pembela-pembela sistim
warga yang sekarang! Mereka “mengeramatkan” somah,
mereka katanya melindungi somah, mereka menolak
percampuran tangan dari warga ke dalam urusan
somah, namun justru sistim warga yang mereka bela itu
memecahkan kebahagiaan somah habis-habisan! Justru
sistim warga yang mereka ikuti itu mengisi somah
dengan kepahitan-kepahitan yang tiada bilangan. Justru
sistim warga kapitalistis itu mengusir Sarinah pagi-pagi
benar ke luar dari sarangnya, somah memeras dia laksana
kain basah dalam pekerjaan budak sepanjang hari,
mengembalikan dia jauh-jauh sore atau jauh-jauh malam
dalam keadaan lelah badan dan lelah jiwa kepada somah, dan
lalu melabrak dia lagi dengan cambuknya pekerjaan-
pekerjaan rumah tangga yang bermacam-macam ragam
sampai dia ambruk di tempat pembaringan, entah jam berapa
di tengah malam? Inikah kekeramatan somah yang mereka
hendak pertahankan? Sekali lagi: hanya bilamana batas
antara somah dan pekerjaan tidak lagi tajam dan tidak lagi
keras, hanya bilamana somah dan pekerjaan isi-mengisi satu
sama lain, maka somah dapat menjadi keramat sejatinya
keramat. Hanya bilamana demikian, maka somah benar-benar
menjadi satu sarang. Sarangnya Orang, sarang Manusia!
Wanita sebagai Ibu memelihara anak, wanita sebagai Isteri
dan Ibu memasak penganan ekstra atau memasak sendiri
semua makanan kalau ia mau, wanita sebagai Isteri dan Ibu
menjalankan rumah tangga, semuanya itu dalam kesenangan
dan dengan kemerdekaan memilih, semuanya itu sebagai amal
kasih dan amal bahagia. Semuanya itu sebagai amal kasih
dan amal bahagia, berkat bantuan warga , berkat
percampuran tangan warga yang berupa pengoperan
sebagian besar fungsi-fungsi somah oleh warga , dan
berkat alat-alat teknik yang diasakan ke dalam somah oleh
warga itu. Tidakkah keramat sarang yang demikian itu?
218
Sarang bahagia, dan bukan sarang ketidak-bahagiaan sebagai
sediakala? Sarang bahagia, dari mana pada waktu pagi
Sarinah dapat terbang keluar untuk dengan hak penuh
mengembangkan kepribadiannya dalam warga , dan
kemana ia pada waktu sore dapat terbang kembali untuk
dengan hak penuh mengembangkan dharmanya sebagai yang
diberikan oleh kodrat alam kepadanya?
Henriette Roland Holst menamakan Dunia yang akan
menjelmakan keadaan ini satu “sarang orang-orang yang
bersahabat”, satu “nest van genoten”.
Satu Sarang Besar dari orang-orang yang bersahabat!
Dan di dalam Sarang Besar itu, demikianlah penglihatan saya,
ribuan, milyunan sarang-sarang kecil.
Sarang-sarang kecil Manusia!
Sarang-sarang kecil Wanita Merdeka!
Mungkinkah negara kita menjadi Sarang Besar yang demikian
itu?
219
BAB VI
SARINAH DALAM PERJOANGAN
REPUBLIK negara kita
Siapa yang memperhatikan benar-benar tingkat-tingkat
pergerakan wanita sebagai yang saya gambarkan di muka tadi,
akan dapat menentukan tepat pergerakan wanita negara kita di
derajat mana: Terutama sekali di zaman sebelum pecahnya
perang Pasifik sebagian besar dibandingkan pergerakan wanita
negara kita barulah menduduki tingkatan yang kesatu, -tingkat
main puteri-puterian- yang telah dianggap basi di negeri lain
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan sebagian kecil
menduduki tingkat yang kedua, yang di negeri lain pun telah
menjadi tingkat yang telah lalu. Di zaman kolonial Belanda,
maka hasil yang dicapai oleh pergerakan wanita negara kita itu
sungguh amat kecil: di dalam tahun 1941 diadakan hak
pemilihan buat haminte yang sangat sekali terbatas, dan itu
pun dengan aturan ... “vrije aangifte”. Hasil ini amat kecil, jika
dibandingkan dengan hasil hak pemilihan yang dicapai oleh
wanita di negeri lain. Apakah ini mengherankan? Sudah tentu
tidak! Sebab pemerintah Belanda yaitu pemerintah Belanda,
dan aksi wanita di negara kita , jikalau dibandingkan dengan
aksi suffragette di Inggeris misalnya, atau aksi Panitia-panitia
Penyedar di Jermania, yaitu laksana kucing dibandingkan
dengan harimau. Manakala wanita negara kita mengira, bahwa
mereka dengan pergerakannya itu dulu telah ikut serta secara
“hebat” di dalam perjoangan evolusi kemanusiaan, baiklah
mereka mencerminkan pergerakan mereka itu dalam kaca
benggala pergerakan wanita di negeri lain. Alangkah kecil
nampaknya! Alangkah jauh terbelakangnya! Alangkah tiada
adanya ideologi sosial yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Sekarang kita telah merdeka. Kita telah memiliki Negara.
Kita telah memiliki Republik. Bagaimanakah aktivitas
wanita di dalam Republik kita itu, bagaimanakah harusnya
aktivitas wanita di dalam perjoangan Republik kita itu? Inilah
soal yang amat penting, yang harus diinsyafi sungguh-
sungguh oleh semua pemimpin wanita negara kita . Malahan
bila mungkin, jangan ada seorang wanita pun yang tidak
insyaf, jangan ada seorang pun di antara mereka yang
220
ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saya dapat
mengagumi ucapan Lenin: “Tiap-tiap koki harus dapat
menjalankan politik”. Buat segenap wanita negara kita itulah
saya menulis kitab ini. Supaya mereka insyaf, supaya mereka
ikut serta dalam perjoang-an, - supaya mereka memiliki
pedoman dalam perjoangan. Manakala La Passionaria
(Dolores Ibarouri) di dalam Revolusi Spanyol berseru: “Hai
wanita-wanita Spanyol, jadilah revolusioner, -tiada
kemenangan revolusioner jika tiada wanita revolusioner!”,
maka saya berkata: “Hai wanita-wanita negara kita , jadilah
revolusioner, -tiada kemenangan revolusioner, jika tiada
wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada
pedoman revolusioner!”
Ucapan saya ini yaitu satu variant dibandingkan ajaran yang
terkenal: “Tiada aksi revolusioner, jika tiada teori
revolusioner”. “Teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan,
perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan.” Camkanlah
ajaran ini! Janganlah mengira, bahwa segala apa yang saya
tuliskan di dalam bab-bab di muka dan yang akan saya
uraikan di dalam bab ini “terlalu teori”. Amboi, umpama saya
ada kesempatan memberi sepuluh kali lebih banyak teori
tentang soal wanita dibandingkan ini, saya akan berikan! Sebab,
ngawurlah orang yang bergerak tidak dengan teori! “Teori tak
disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tidak pakai teori,
tiada berarah tujuan”. Demikianlah ajaran tadi. Lebih jitu lagi
orang boleh berkata: Teori tak dengan perbuatan, mati!
Perbuatan tak dengan teori, ngawur!
Sampai di manakah duduknya perjoangan kita, rakyat
negara kita , sekarang ini? Sejak tahun 1908 kita mengadakan
pergerakan, sejak tahun 1908 kita siang dan malam seolah-
olah demam dengan pergerakan. Sejak hampir 40 tahun kita
tidak mengenal istirahat. Sejak 17 Agustus 1945 kita
memiliki Negara, namun sejak itu pula kita malahan makin
membanting tulang, makin “demam”, makin seperti
“keranjingan syaitan”! Arus perjoangan tidak berhenti-henti,
arus perjoangan itu tidak mengenal ampun, terus menarik
kita dan terus menghela kita. Sampai di manakah, sekarang,
kita ini?
Tatkala Wahidin Sudirohusodo dalam tahun 1908 mendirikan
Budi Utomo, dengan diikuti oleh cendekiawan-cendekiawan
intelek bangsa, maka dadanya yaitu penuh dengan rasa
cinta tanah air. Tatkala Umar Said Tjokroaminoto dengan
suaranya yang seperti suara burung perkutut, bersama-sama
dengan Haji Samanhudi, mendirikan Sarekat Dagang Islam,
maka dadanya yaitu penuh dengan rasa cinta tanah air.
Tatkala tidak lama lalu dibandingkan itu beliau merobah
Sarekat Dagang Islam itu menjadi Sarekat Islam, maka
dadanya pun penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala
Ernest Douwes Dekker (Setiabudi) bersama-sama dengan
Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (sekarang Ki
Hajar Dewantara) mendirikan Nationaal Indische Partij, maka
dada mereka penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala
Semaun dan Alimin dan Muso dan Darsono membangkitkan
Partai Komunis negara kita dan Sarekat Rakyat, maka dadanya
penuh dengan rasa cinta tanah air. Tatkala Mohammad Hatta,
dengan kawan-kawannya yang ulung, bergerak dalam
Perhimpunan negara kita , maka dadanya penuh dengan rasa
cinta tanah air. Tatkala Sutomo bersama-sama dengan kawan-
kawannya intelektuil mendirikan P.B.I., mendirikan Parindra,
mendirikan Bank Nasional, maka dadanya penuh dengan rasa
cinta tanah air. Tatkala saya bersama-sama dengan beberapa
butir kawan mendirikan Partai Nasional negara kita , dan
lalu menggerakkan partai itu menjadi partai yang
dicintai rakyat, maka dada saya, alhamdulillah, penuh pula
dengan rasa cinta tanah air. Tatkala kita pada 17 Agustus
1945 dengan tekad yang bulat dan keras laksana peluru baja
mendirikan Republik, maka dada kita penuh dengan rasa
cinta tanah air. Dan manakala kita sekarang mati-matian
mempertahankan Republik itu, mati-matian membentengi
Republik itu dengan kesetiaan kita, mati-matian
merealisasikan isi semboyan kita “sekali merdeka, tetap
merdeka”, maka dada kita semua penuh meluap-luap
menyala-nyala berkobar-kobar -dengan apinya cinta tanah
air!
Sama-sama kita di dalam tempoh yang hampir 40 tahun itu
merasakan cinta tanah air, sama-sama kita mengamalkan
cinta tanah air. namun pertimbangan yang mendorong kita
kepada rasa dan kepada amal itu, tidak selamanya sama.
Yang satu mengamalkan cinta tanah air, sebab ia merasa
perlu membela kepentingan-kepentingan golongan putera-
puteri priyayi yang kurang pengajaran dan perlu diberi
pengajaran, yang lain mengamalkan cinta tanah air sebab
perlu menyusun tenaganya golongan kaum dagang negara kita
yang selalu terdesak oleh saingan asing. Yang satu lagi
mengamalkan cinta tanah air untuk melepaskan seluruh
kaum atasan negara kita dari ikatan penjajahan agar supaya
kaum atasan itu dapat berkembang, yang lain lagi
mengamalkan cinta tanah air untuk membela kepentingan
kaum tani dan agama yang diikutinya. Partai Komunis
negara kita dan Sarekat Rakyat mengamalkan cinta tanah air
untuk menentang penghisapan golongan buruh dan tani oleh
imperialisme, Parindra mengamalkan cinta tanah-air sebagai
kampiunnya golongan yang agak atasan.
Semuanya mengamalkan cinta tanah air, malahan barangkali
semuanya mengejar negara kita Merdeka. namun jikalau kita
selidiki satu-persatu partai-partai itu, -sejak dari Budi Utomo,
sampai ke Sarekat Dagang Islam, sampai ke Sarekat Islam,
sampai ke Nationaal Indische Partij, sampai ke Partai Komunis
negara kita , sampai ke Sarekat Rakyat, sampai ke Parindra,
sampai ke Partai Nasional negara kita dan partai lain-lain -
timbullah pertanyaan: dapatkah partai-partai itu dalam
bentuknya yang dulu itu membawa rakyat negara kita kepada
kemerdekaan yang kekal dan abadi?
Inilah satu pertanyaan penting, yang harus dijawab, oleh
sebab jawabannya itu mengandung pengajaran buat
perjoangan kita selanjutnya. Dan jawaban itu dengan jujur
dan tegas haruslah berbunyi: Partai-partai itu di dalam
bentuk dan politiknya yang dulu itu tidak dapat membawa
rakyat negara kita kepada kemerdekaan yang kekal dan
abadi!
Oleh sebab apa? Oleh sebab partai-partai itu semuanya
satu-persatu menderita kekurangan-kekurangan! Ambillah
misalnya Budi Utomo. Jikalau umpamanya Budi Utomo
hendak meng-ikhtiarkan negara kita Merdeka, -dapatkah ia
berhasil? Dengan apa? Dengan anggota-anggotanya yang tidak
banyak itu, dan hampir semuanya bekerja kepada jabatan-
223
jabatan pemerintahan asing? Dengan mencoba meyakinkan
pihak Belanda, bahwa penjajahan tidak adil, dan
kemerdekaan adil? Percobaan yang demikian itu akan sama
sia-sianya dengan mendudukkan setetes air di punggung
seekor itik! Atau ambillah Parindra. Jikalau umpamanya
Parindra merobah negara kita Rayanya dengan negara kita
Merdeka, dan berjoang untuk negara kita Merdeka, dapatkah ia
berhasil? Dia tidak dapat berhasil, oleh sebab ia tidak
memiliki pengikut massa dan tidak cukup revolusioner.
Pernah dulu saya katakan di dalam satu karangan, bahwa
“seribu dewa dari kayangan tak dapat membuat Parindra
menjadi partai yang revolusioner” oleh sebab buminya
Parindra memang bukan kaum yang revolusioner, melainkan
kaum pertengahan yang belum revolusioner. Atau, pembaca
barangkali melayangkan fikiran kepada Sarekat Islam, yang
dulu terkenal sebagai satu partai rakyat yang terbesar, yang
anggotanya pernah satu setengah milyun orang, yang
pemimpinnya pernah ditakuti Belanda sebagai “de aanstaande
Koning der Javanen”? Saya pernah duduk di tengah-tengah
kancah Sarekat Islam itu. Enam tahun lamanya saya pernah
berdiam di bawah satu atap dengan pemimpinnya yang utama
itu. namun justru sebab itu, saya mengetahui kekurangan-
kekurangannya Sarekat Islam. Sarekat Islam yaitu satu
partai yang massal, namun ia bukan partainya massa.
Programnya kurang tegas. Banyak kaum tani menjadi
anggotanya, namun ada pula tuan tanah, banyak pula
saudagar-saudagar dan pedagang pertengahan, pegawai-
pegawai pemerintah Belanda, bangsawan yang ternama. Ia
tidak tegas menentang imperialisme dan tidak menuntut
kemerdekaan mutlak; kapitalisme yang ia perangi ialah, -
demikian tertulis di dalam programnya-, hanja “zondig
kapitalisme” belaka. Akibat dibandingkan melayani kepentingan-
kepentingan yang bertentangan satu sama lain itu tadilah,
logis membawa Sarekat Islam kepada perpecahan: Tjokro c.s. -
Semaun c.s. Dengan segala hormat kepada almarhum
Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam
tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan! Dan
partainya Semaun c.s. yang justru memisahkan diri dari
Sarekat Islam, sebab kekurangan-kekurangan Sarekat Islam
itu -bagaimanakah dengan Partai Komunis negara kita dan
224
Sarekat Rakyatnya? Tidakkah mereka akan dapat mencapai
negara kita Merdeka? Sebab tidakkah mereka revolusioner? dan
tidakkah mereka berhubungan rapat dengan massa? Partai
Komunis negara kita dan Sarekat Rakyat, di dalam bentuknya
dan politiknya yang dulu, tak dapat mencapai negara kita
Merdeka, oleh sebab mereka justru tidak “tepat” politiknya
itu, yaitu membuat satu kesalahan fundamentil dalam
mengira bahwa kini sudah datang waktunya untuk revolusi
sosial. Dan Partai Nasional negara kita pun, partai saya sendiri
dulu, di dalam bentuknya dan politiknya yang dulu, tak akan
dapat mencapai negara kita Merdeka, oleh sebab ia terlalu
memandang perjoangan rakyat negara kita itu sebagai satu
perjoangan nasional tersendiri, dan kurang memperhatikan
kedudukan perjoangan rakyat negara kita itu sebagai satu
bagian dibandingkan satu Revolusi Besar Internasional.
Lihat -alangkah pentingnya pengalaman-pengalaman yang
saya sebutkan di atas itu. Kita sekarang telah merdeka, kita
sekarang telah memiliki Republik, namun manakala kita
tidak memperhatikan pengalaman-pengalamannya sejarah
dan tidak memberi bentuk dan politik yang benar kepada
perjoangan kita, -tidak menjalankan perjoangan kita itu
dengan sifat yang benar dan pada tempat yang benar-, maka
kemerdekaan itu mungkin terbang ke awang-awang. Maha
Besar dan Maha Terpujilah Tuhan Rabbulalamin, bahwa
rakyat negara kita telah merdeka, namun untuk memiliki
kemerdekaan itu buat selama-lamanya dan mengisinya
dengan kesejahteraan sosial, -untuk itu perlulah penglihatan
yang tepat dan usaha-usaha yang tepat pula. Mencapai
kemerdekaan alhamdulillah sudah, memiliki terus
kemerdekaan itu kini menjadi tugas.
Maka perlulah kita mengupas beberapa soal. Soal-soal sebagai
misalnya: Haruskah kita terus revolusioner? dan apa yang
dinamakan revolusioner? -dapatkah kita pisahkan Revolusi
negara kita dibandingkan Revolusi Besar Internasional? -haruskah
kita sekarang ini menjalankan Revolusi Sosial, ataukah harus
kita pusatkan sifat Revolusi kita sekarang ini kepada sifat
Revolusi Nasional? -atau haruskah kita jalankan Revolusi
Sosial dan Revolusi Nasional itu simultan, serentak bersama-
sama? dan kalau sifat Revolusi kita itu masih harus sifat
225
nasional, buat apa program kesejahteraan sosial? -bagaimana
caranya kita menuju kepada kesejahteraan sosial itu? -
dapatkah kita menyelesaikan Revolusi itu tidak dengan massa,
dan bagaimana jalannya supaya Revolusi itu tetap Revolusinya
massa? –bagaimana kewajiban wanita di dalam Revolusi
yang berisi sekian banyak soal-soal itu, supaya Revolusi itu
menjaminkan kedudukan sebaik-baiknya kepada wanita
dilalu hari? -soal-soal sebagai ini harus berani kita
hadapi, harus kita fikir-fikirkan, harus kita pecahkan. Tidak
ada gunanya menghindari soal-soal ini, -semuanya toh pasti
akan menerkam kita. Dan mati hidup kita sebagai bangsa
tergantung dari padanya!
Pukul 10 pagi, 17 Agustus 1945, Sang Merah Putih naik di
angkasa Jakarta, Pegangsaan Timur 56. Apa yang terjadi di
sana itu, dan di seluruh negara kita di hari-hari yang
lalu nya, yaitu satu peristiwa revolusioner. Sebab pada
hari itu dirobek konstitusi Belanda yang menyatakan
negara kita menjadi satu bagian dari Kerajaan Belanda. namun
tidak saja yuridis, dan tidak saja politis, peristiwa itu yaitu
peristiwa revolusioner, -sosial (maatschappelijk) pun ia yaitu
pula satu peristiwa revolusioner. Sebab Proklamasi
Kemerdekaan negara kita yaitu kita maksudkan sebagai
langkah pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial
yang revolusioner, yaitu: satu pergaulan hidup negara kita yang
tidak berkapitalisme, satu pergaulan hidup di negara kita yang
sama sekali berazaskan azas-azas lain dibandingkan yang sudah-
sudah, satu pergaulan hidup kesejahteraan sosial, sebagai
bagian dibandingkan pergaulan hidup dunia yang berkesejahteraan
sosial. Proklamasi Kemerdekaan negara kita kita lakukan bukan
untuk feitnya proklamasi belaka, Negara Republik negara kita
kita bangunkan bukan hanya untuk mempunjai negara
belaka, kita laku-kan tindakan-tindakan itu sebagai pucukan
perjoangan sosial yang revolusioner, -sebagai syaratnya satu
perjoangan untuk melaksanakan satu prinsip sosial yang
revolusioner. Undang-undang Dasar Negara yang kita susun,
yaitu menunjukkan dengan nyata arah yang revolusioner itu:
mukaddimmahnya yang mengatakan bahwa: “Untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
226
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan negara kita
itu dalam satu Undang-undang Dasar Negara negara kita yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik negara kita
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ke -
Tuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan negara kita , dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita ”, -
mukadammah undang-undang dasar kita ini dengan nyata
menegaskan bahwa Republik diadakan untuk
penyelenggaraan satu tujuan sosial yang revolusioner.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yaitu satu langkah yang
pertama, kata saya tadi, ke arah penyelenggaraan satu tujuan
sosia1 yang revolusioner! Dan langkah pertama ke arah
penjelenggaraan satu tujuan yang revolusioner, yaitu
revolusioner! Dan penyelenggaraan tujuan itu, -dari langkah
pertamanya sampai kepada ujung akhirnya-, yaitu pula
revolusioner!
namun kecuali dibandingkan itu, peristiwa menjadi merdekanya
suatu bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme bangsa
lain, -merdeka betul-betul merdeka, dan bukan merdeka
boneka, -yaitu satu peristiwa revolusioner, oleh sebab
peristiwa itu tidak dapat dihidangkan secara konstitusionil:
Tidak dapat “diatur”, “disedia-sediakan”, “dihadiahkan” secara
konstitusionil menurut hukum, pada jam itu dan hari itu,
dalam bulan sekian dan tahun sekian. Merdekanya sesuatu
bangsa yang tadinya dijajah oleh imperialisme, yaitu satu
peristiwa yang sama sekali bersangkut-paut dengan situasi-
situasi revolusioner. Dan situasi-situasi revolusioner itu tidak
dapat diatur atau disedia-sediakan lebih dulu secara
konstitusionil. Dan tidak akan -tidak mungkin!- sengaja diatur
atau disediakan secara konstitusionil. Sapi dan kerbau harus
bisa terbang lebih dahulu, sebelum sesuatu negara imperialis
mengatur dan menyedia-nyediakan dengan sengaja situasi-
situasi revolusioner untuk memungkinkan kemerdekaan
bangsa yang dibandingkan nya ia menghisap zat-zat untuk
hidupnya atau kesejahteraannya! “Tak pernah sesuatu kelas
dengan suka-rela melepaskan kedudukannya yang berlebih”,
demikianlah ucapan Marx yang terkenal. Oleh sebab itulah
227
pula, maka merdekanya sesuatu bangsa jajahan yaitu satu
peristiwa revolusioner. Tergantung dari situasi-situasi
revolusioner itulah, apakah lahirnya bayi merdeka itu disertai
oleh pertumpahan darah yang banyak atau tidak. Bukan
adanya atau tidak adanya pertumpahan darahlah yang
menentukan sesuatu kejadian bersifat revolusioner atau tidak
revolusioner, namun isinya kejadian itu! Sering kali banyak
darah ditumpahkan justru oleh anasir-anasir reaksioner.
Merdekanya sesuatu bangsa jajahan yaitu satu peristiwa
dalam proses revolusi kemerdekaan seluruh kemanusiaan,
satu cincin dalam rantai revolusi kemerdekaan seluruh
kemanusiaan. Ia dus revolusioner, ia tidak konstitusionil.
Adakah Proklamasi 17 Agustus konstitusionil? Kaum reaksi
malahan mencoba membatalkan kemerdekaan kita itu dengan
alasan-alasan konstitusionil! Bumi dan langit ia goyangkan
untuk mengeritiki kemerdekaan kita itu dengan alasan-alasan
konstitusionil, segala kentongannya ia pukul untuk mengajak
segala kaum reaksi sedunia untuk mereduksi soal negara kita
menjadi satu soal kecil “urusan dalam negeri” konstitusionil!
namun ia tidak akan berhasil, ia pasti akan kandas. Sebab
memang bukan sesuatu pekerjaan konstitusionil, melainkan
situasi-situasi revolusioner yang telah menelorkan
kemerdekaan negara kita itu, dan sebab nya tiada kekuatan
manusia apapun dapat menghapuskannya, tiada muslihat
manusia apapun dapat meniadakannya.
Di dalam tahun 1929 saya tahu bahwa situasi-situasi
revolusioner itu akan datang, dan kemerdekaan negara kita
telah saya lihat menyingsing di cakrawala. - Dengan hati yang
berdebar debar sebab rasa kegembiraan yang tak tertahan, di
dalam tahun 1929 itu terlepaslah dari mulut saya kalimat
yang terkenal: “Kaum imperialisme, awaslah! Awas! Jikalau
nanti geledek Perang Pasifik menyambar-nyambar dan
membelah angkasa, jikalau nanti air Samudera Teduh menjadi
merah, dan bumi di sekelilingnya menggempa sebab ledakan
bom dan dinamit, di situ rakyat negara kita akan melepaskan
belenggu-belenggunya, di situ rakyat negara kita akan
merdeka!”
228
Ucapan ini bukan satu “nujuman”. Ia bukan pernyataan
seorang-orang yang melihat gambar hari lalu terlukis
dalam rangkaian bintang-bintang di langit.
Ia bukan pula keluar dari mulutku sebab dorongan harapan
berdasar “wishfull thinking”. Bukan pula sekedar hasutan
kepada rakyat semata-mata, meskipun Belanda sudah barang
tentu demikian menganggapnya dan melemparkan saya dalam
penjara bertuhun-tahun. Ia yaitu hasil perhitungan akan
datangnya situasi-situasi revolusioner, dan perhitungan
akan mempergunakan situasi-situasi revolusioner itu.
Di dalam tahun 1929 itu sudah terang bagi saya, bahwa
peperangan Pasifik pasti akan pecah. Tidak ada satu kekuatan
duniawi pun dapat mengelakkannya. Kapitalisme yang makin
lama makin memonopoli, lapangan persaingannya yang makin
lama makin sesak sehingga laksana mencekek nafas, antitese-
antitese yang laksana hendak merobek-robek dadanya, garis
hidupnya yang makin lama makin menyatakan, bahwa ia telah
turun (telah “im Niedergang”) dan megap-megap mencari nafas
dan pasti akan mengalami bencana bilamana tidak
dipecahkan kebuntuan yang mencekek nafas itu, usaha-usaha
mati-matian untuk menyelamatkan kapitalisme itu dengan
fasisme yang main labrak dengan cambuk konsentrasi kamp
dan main drel dengan senapan mesin, -semua itu
membuktikan, bahwa kapitalisme sedang mengalami krisis
yang maha-maha hebat; dan bahwa krisis itu pasti akan
mengklimaks dalam satu peperangan mati-matian yang seru
dan seramnya belum pernah dialami oleh kemanusiaan, satu
peperangan dunia yang tidak saja akan mempuingkan muka
bumi di dunia Barat, namun juga akan menggeledek dan
menghalilintar di dunia Timur.
Pasti peperangan itu datang, segenap urat-urat dan saraf-saraf
kapitalisme telah nampak menggeletar dan terpasang
segenting-gentingnya, -pasti peperangan itu datang, hantu-
hantunya telah mengintai di cakrawala! Dan pasti, tiada
ampun, -itu saya tahu-, imperialisme Belanda, akan terseret-
serta di dalam hamuknya taufan prahara peperangan itu, dan
pasti pula, tiada ampun, ia akan terhantam remuk-redam
229
atau hampir remuk-redam oleh hantaman palu-palu
godamnya!
Dan jikalau nanti imperialisme Belanda telah remuk-redam
atau hampir remuk-redam, maka itu yaitu satu situasi
revolusioner. Satu situasi revolusioner yang akan menjadi
satu anasir-obyektif yang baik untuk melepaskan negara kita
dari cengkereman imperialisme Belanda itu. Manakala kita
tidak cukup kekuatan untuk melepaskan diri kita dari
cengkeraman imperialisme itu semasa ia masih segar bugar,
maka haruslah kita menunggu kesempatan dan
mempergunakan kesempatan yang ia berada di dalam
keadaan lemah atau remuk. namun untuk dapat
mempergunakan kesempatan itu, kita sendiri harus kuat.
Kita harus menyusun anasir subyektif untuk dapat
mempergunakan kesempatan itu: kita harus menyusun
tenaga-tenaga kita, menebalkan tekad kita, melatih
ketangkasan kita, menggembleng barisan-barisan kita,
mengkongkritkan kemauan nasional kita. Di samping situasi
revolusioner yang obyektif yang berupa lemahnya atau remuk-
nya imperialisme Belanda itu, harus dibangunkan (dan kita
bangunkan) situasi revolusioner yang subyektif yang berupa
penghebatan serta konkretisasi kemauan revolusioner dan
tenaga revolusioner kita. Dan situasi revolusioner yang
subyektif itu nanti harus kita gempurkan sehebat-hebatnya
pada waktu situasi revolusioner yang obyektif sedang masak
semasak-masaknya. Dan pada saat dua situasi revolusioner
ini bertemu satu sama lain laksana cetusan antara dua
poolnya lading elektris yang bertrilyun-trilyun volt, pada saat
itu gugurlah dengan suara gemuruh yang terdengar dari ujung
dunia yang satu sampai ke ujung dunia yang lain, kerajaan
Belanda di dunia Timur.
Pada saat itulah Banteng negara kita akan meraung: Merdeka,
negara kita telah merdeka, Sekali merdeka, tetap merdeka!
Demikianlah visiun kejadian yang akan datang yang saya
lukiskan di dalam tahun 1929. Maka teranglah: Terjadinya
situasi revolusioner obyektif itu tadi bukan satu hal
konstitusionil, pembangunan situasi revolusioner subyektif itu
pula sama sekali bukan satu perbuatan konstitusionil, dan
230
pertemuan dua situasi revolusioner itu pun jauh dibandingkan
bersifat konstitusionil. Tidak, peristiwa merdekanya negara kita
yaitu satu peristiwa revolusioner! Revolusioner di dalarn
terjadinya, revo-lusioner di dalam kedukukannya, revolusioner
di dalam tujuannya! Revolusioner di dalam tujuannya, oleh
sebab ia, sebagai tadi saya katakan, yaitu satu langkah
pertama ke arah penyelenggaraan satu tujuan sosial yang
revolusioner, revolusioner pula di dalarn kedudukannya oleh
sebab ia (nanti saya jelaskan) satu bagian dibandingkan satu
proses dunia yang revolusioner.
Revolusioner di dalam tujuannya! Di sinilah tempatnya saya
meninjau soal: Tidakkah sekarang telah tiba saatnya untuk
memulai Revolusi Sosial? Mengapa Revolusi Sosial itu masih
dianggap tujuan? Belum dapatkah kita sekarang
menjelmakannya, -merealisasikannya? Kaum wanita, yang
membaca uraian-uraian saya di bab-bab yang di muka ini,
sudah barang tentu ada yang tertarik oleh uraian tentang
maksud dan tujuan pergerakan wanita tmgkat ketiga, dan
berkeyakinan juga bahwa hanya di warga sosialislah
wanita dapat menjadi wanita yang merdeka. Memang, jikalau
di antara pembaca-pembaca wanita ada yang memperoleh
keyakinan demikian sebagai hasil membaca kitab saya ini,
jikalau di antara pembaca-pembaca wanita itu sebagian besar
lantas mengerti kekurangan-kekurangan feminisme atau neo-
feminisme dan mengerti, bahwa soal wanita hanyalah dapat
memperoleh pemecahannya yang sempurna dalam Dunia Baru
yang berkesejahteraan sosial, maka sayalah yang paling
bersyukur, sayalah yang paling berbahagia.
Memang untuk memberi keyakinan yang demikian itulah
salah satu maksud tangan saya menggoyangkan pena! namun
saya pun sedar, bahwa saya masih harus menarik terus garis
penerangan saya itu lebih jauh. Saya sedar, bahwa justru oleh
sebab tertarik oleh kebenaran pendirian “tingkat ketiga” itu,
sebagian dari pembaca-pembaca lantas berfikiran: “Ha, tingkat
ketigalah yang benar, tingkat ketigalah yang memberi
pemecahan soal wanita yang memuaskan, marilah kita
pusatkan segala perhatian kita dan keaktivan kita sekarang
juga kepada Revolusi Sosialisme! Maka oleh sebab itulah
lantas mendesak kemuka soal: Sudahkah sekarang tiba
231
waktunya bagi kita untuk Revolusi Sosialisme? Untuk
meniadakan tiap-tiap sesuatu yang berbau kapitalisme?
Untuk membasmi borjuasi nasional? Untuk menghapuskan
apa saja yang masih bercorak feodal? Untuk melabrak tiap-
tiap sesuatu yang masih belum bersifat sosialistis?
“Kesejahteraan sosial”. Dua perkataan yang di dalam
Revolusi kita ini telah amat termasyhur! namun justru juga dua
perkataan yang mewajibkan kita berfikir dalam-dalam.
“Kesejahteraan sosial”! Ambillah misalnya pergaulan hidup
dalam kelompok. Di dalam pergaulan hidup kelompok itu
tentu tidak ada kapitalisme, tentu tidak ada borjuasi, tentu
tidak ada feodalisme. Apakah pergaulan hidup kelompok itu
“berkesejah-teraan sosial”? Atau ambillah pergaulan hidup
dalam gens, di zamannya matriarchat. Juga di situ tidak ada
kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme. Malah di
situ menurut pendapat Engels atau Muller Lyer ada
“oercommunisme”. namun adakah di situ kesejahteraan sosial?
Apakah yang dinamakan kesejahteraan sosial? Apakah satu
warga , yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak
ada borjuasi, tidak ada feodalisme, -yang di dalamnya ada
“sama rasa sama rata”, namun yang di dalamnya misalnya
orang harus berjalan kaki atau menaik gerobak kerbau kalau
hendak pergi dari Bandung ke Surabaya, sebab tidak ada oto
atau kereta api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam
gelap gulita pada waktu malam sebab tidak ada listrik
ataupun minyak tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga
plongo sebab tidak ada percetakan yang mencetak buku-
buku atau surat-surat kabar; yang di dalamnya orang harus
menderita banyak penyakit oleh sebab tidak ada paberik yang
membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap
tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat
bendungan-bendungan air - pengairan oleh sebab di dalam
tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak
terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah
paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau, dan palawija
sekian pikul sebau oleh sebab pertanian masih dijalankan
secara di zaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk
mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya;
pendek kata: satu warga kuno-kuno-mbahnya-kuno
232
dengan tiada oto, dengan tiada kereta api, dengan tiada
paberik-paberik, dengan tiada surat-surat kabar, dengan tiada
radio, dengan tiada rumah-rumah sakit, dengan tiada kapal-
kapal, dengan tiada korek api, dengan tiada buku-buku, tiada
aspal, tiada sepeda, tiada semen, tiada sekolah, tiada ... ya,
entah tiada apapun namanya lagi, -dapatkah warga yang
demikian itu, walaupun di dalamnya tidak ada kapitalisme,
tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan ada “sama rasa
sama rata”, -dapatkah warga yang demikian itu bernama
warga yang “berkesejahteraan sosial”?
Sudah tentu tidak! warga yang demikian itu bukan
warga kesejahteraan sosial, warga yang demikian
itu bukan warga sosialisme.
warga yang demikian itupun tidak mungkin dapat berdiri
teguh di dalam dunia kapitalistis yang sekarang.
Ia segera akan menjadi mangsanya imperialisme, yang sedikit-
nya akan membanjiri dia dengan barang-barang modern
buatan industrialismenya.
Apakah arti sosialisme? Ya, saya menanya: “Apakah arti
sosialisme?” Sosialismekah kalau orang masih harus berjalan
kaki kalau bepergian jauh? Sosialismekah kalau produksi
hanya sedikit dan distribusi tidak teratur sentral sebab tidak
ada banyak alat-alat transport yang mekanis? Sosialismekah
kalau banyak obrolan omong kosong, sebab hanya sedikit
orang saja dapat membaca, menulis, mengetahui kabar dunia?
Sosialisme kah kalau wanita di rumah lampunya lampu
minyak kelapa atau lampu biji jarak, meniup-niup api di
dapur tiap-tiap kali ia hendak menanak nasi, memintal dan
menenun sendiri tiap-tiap jengkal bahan baju anaknya atau
suaminya sebab memang tidak ada paberik tenun yang
menenun tekstil?
Sosialisme berarti adanya paberik yang kolektif. Adanya
industrialisme yang kolektif. Adanya produksi yang kolektif.
Adanya distribusi yang kolektif. Adanja pendidikan yang
kolektif. Sosialisme berarti adanya banyak otomobil, adanya
233
radio, adanya telepon, adanya telegrap, adanya kereta api,
adanya kapal udara, adanya aspal, adanya water leiding,
adanya listrik, adanya gambar hidup, adanya buku-buku,
adanya perpustakaan, adanya ilmu tabib, adanya aspirin,
adanya sekolah rendah, adanya sekolah tinggi, adanya traktor,
adanya irigasi, dll, semuanya secara memiliki jumlah
minimum, dan semuanya, (saya pinjam perkataan Bakounin,
walaupun ia orang anarchist) “di dalam suasana kolektivitas”.
Alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-
royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan
hidup sosialistis. Sosialisme yaitu kecukupan pelbagai
kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah
dikolektivisasikan. Sosialisme yaitu “keenakan hidup yang
pantas” Kecukupan pelbagai kebutuhan itu, adanya
“keenakan hidup yang pantas” itu, hanyalah mungkin dengan
adanya dan dipergunakannya “secara sosial” alat-alat teknik.
Satu warga yang belum dapat memenuhi syarat-syarat
teknik itu sampai kepada sedikitnya satu tingkat minimum
yang tertentu, tak mungkin mampu menjelmakan sosialisme!
Sudahkah kemajuan warga kita sekian jauhnya?
Sudahkah warga kita politik cukup merdeka, untuk
menyediakan “syarat-syarat teknik” sampai kepada sedikitnya
satu tingkat “minimum” itu? Pada saat saya menuliskan
pertanyaan-pertanyaan ini, lampu yang menyinari kertas saya
ialah lampu lilin, sebab aliran listrik diputuskan Belanda di
Tuntang, dan di berpuluh-puluh tempat dalam Republik,
mortir dan bren-gun Belanda berdentam-dentam. Negara
negara kita dalam bahaya! Dapatkah satu Negara, yang sedang
dikepung dan diserang oleh musuh, melaksanakan
sosialisme? Dan andaikata Belanda tidak mengepung dan
tidak menyerang negara kita, sekali lagi saya tanyakan,
dapatkah kita sekarang, -sekarang!- , telah melaksanakan
sosialisme?
Negara negara kita dalam bahaya. Memang bahaya ini yaitu
satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan negara
yang merdeka. Justru oleh sebab proklamasi kemerdekaan
kita satu kejadian yang tidak konstitusionil, justru oleh
sebab tindakan kita memerdekakan negara kita itu satu
234
tindakan yang revolusioner, maka tidak boleh tidak Negara
negara kita harus melalui satu fase “dalam bahaya”. Tidakkah
tadi telah saya sitirkan ucapan, bahwa tak pernah sesuatu
kelas dengan sukarela melepaskan kedudukannya yang
berlebih? Pekerjaan kita mendirikan negara belum selesai,
Revolusi Nasional kita belum berakhir. Revolusi Nasional kita
malah sedang menggelora-menggeloranya! Pekerjaan
mendirikan negara itu sedikitnya harus selesai lebib dahulu,
sebelum kita dapat memasuki fase sosialisme.
Bangsa negara kita sedang di dalam Revolusi. namun Revolusi
bukanlah sekedar satu “kejadian” belaka. Revolusi yaitu satu
proses. Puluhan tahun, kadang-kadang, berjalannya proses
itu. Revolusi Perancis berjalan delapan puluh tahun, Revolusi
Rusia empat puluh tahun, Revolusi Tiongkok sampai sekarang
pun belum selesai. Revolusi kita pun tentu akan memakan
waktu bertahun-tahun, kalau tidak berpuluh-puluh tahun
juga. Pasang naik dan pasang surut akan kita alami berganti-
ganti, pasang naik dan pasang surut itulah yang dinamakan
irama Revolusi! namun geloranya samudra tidak berhenti,
gelora samudra berjalan terus. Sejarah berjalan terus, dan
klimaks sejarah (atau “inspirasi yang menghamuk” dibandingkan
sejarah) yang bernama Revolusi itu pun berjalan terus, melalui
beberapa fase.
Revolusi yaitu “hamuknya” tenaga-tenaga warga , namun
tenaga-tenaga itu bukan hanya tenaga-tenaga yang
menghantam, menggempur, menghancurleburkan saja, -
tenaga-tenaga itu ada pula yang menyusun, membina,
membangun. Revolusi bukan hanya proses yang destruktif, ia
juga satu tenaga besar yang konstruktif. Keadaan-keadaan
dalam warga yang telah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan-kebutuhan baru, ia hantam, ia matikan, ia
hancurleburkan, -keadaan-keadaan baru yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan baru ia bangunkan. Dan di dalam tiap-
tiap fase Revolusi, maka tenaga-tenaga destruktif dan
konstruktif itu bekerja serempak, bekerja simultan.
Sebagaimana di dalam faIsafah Hindu destruktivismenya
Syiwa dan konstruktivismenya Wisynu bekerja serempak
simultan, maka demikian pula di dalam tiap-tiap fase dibandingkan
235
Revolusi, destruksi dan konstruksi berjalan serempak
simultan.
Apakah fase-fasenya Revolusi kita? Kita mengalami fase
nasional, dan akan mengalami fase sosial: fase nasional
dalam mana kita mendirikan Negara Nasional, dan fase sosial
dalam mana kita mendirikan sosialisme. Dalam fase nasional
tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif bekerja simultan,
dalam fase sosial pun tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif
bekerja simultan. Eposnya permainan bersama antara
hamuknya tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif itu
sekarang sedang berjalan dengan dahsyatnya, gegap-
gempitalah pe