presiden soekarno 8
bersama yang dengan
demikian giatnya dan dengan demikian bersemangatnya
menuntut hak-hak politik bagi kaum wanita”. Ratusan rapat
biasa diadakan, puluhan demonstrasi-demonstrasi raksasa
diselenggarakan. August Bebel, kampiun wanita yang ulung
itu, mendengung-dengungkan suaranya di Reichstag. namun
kaum reaksi dalam rijksdag itu semuanya menentang. Usul-
usul Bebel jatuh, tak memperoleh suara yang terbanyak.
namun tidak jatuhlah akibatnya agitasi umum yang menuntut
hak perwakilan wanita itu. Di dalam bulan Desember 1906
Reichstag tua bubar, namun di dalam aksi pemilihan dalam
bulan Januari 1907 buat Reichstag baru, kaum laki-laki
rakyat jelata serta wanitanya telah bersiap lagi, bercancut
taliwanda lagi, dan berhasil merebut tambahan jumlah kursi
yang tidak sedikit!
Kepesatan kesedaran wanita yang saya gambarkan di muka
ini, mengenai Jermania, yang memang sarangnya pemimpin-
pemimpin sosialis laki-laki-wanita yang ulung-ulung. Dan
saya memang mengambil Jermania sebagai contoh, oleh
sebab pergerakan sosialis di sana itu dulu sering diambil
sebagai “model” bagi pergerakan-pergerakan sosialis di negeri
lain. namun janganlah pembaca mengira, bahwa manakala
pergerakan di Jermania berkobar-kobar, di negeri-negeri lain
ia dingin atau beku. Jauh dibandingkan itu! Misalnya api
pergerakan proletar di Rusia kadang-kadang menyala-nyala
menyundul langit. Api revolusi di Rusia dalam tahun 1905
bukan membakar hati kaum proletar di sana saja, -api itu
cahayanya menyinari juga pergerakan sosialis di seluruh
Eropa, membuat pergerakan sosialis di seluruh Eropa itu
menjadi bertambah revolusioner dan bertambah prinsipiil,
memperkuat tekad di dalam hati proletar internasional, bukan
saja kaum proletar laki-laki namun juga kaum proletar wanita.
Malah dengan pasti dapat dikatakan, bahwa kehebatan aksi
proletar di Jermania dalam tahun 1906 dan 1907 sebagai saya
185
gambarkan tadi itu, yaitu buat sebagian akibat dibandingkan
ledakan semangat Rusia di dalam tahun 1905.
Sejak 1905 itu di semua negeri Eropa terjadi bertambahnya
semangat wanita. Apakah yang lebih logis, lebih “semestinya”,
dibandingkan menggabungkan pergerakan-pergerakan wanita
sosialis yang tersebar di negeri-negeri Eropa itu, dan yang kini
masing-masing sedang bertambah elannya, menjadi satu aksi
yang besar-besaran? Tidakkah pergerakan sosialis sendiri
berdasar internasional, tidakkah selalu diadakan kontak dan
pekerjaan bersama satu sama lain, tidakkah tiap-tiap tahun
diadakan Kongres Sosialis Interriasional di tempat berganti-
ganti? Maka pergerakan wanita tingkat ketiga inipun segera
mengadakan gabungan internasional yang demikian itu.
Clara Zetkin; -“ibu cesar” dibandingkan pergerakan proletar
sedunia-, mengambil inisiatifnya. Olehnya didirikan “Kongres
Wanita Internasional”. Mula-mula di Stuttgart 1907; lalu
di Kopenhagen 1910. Utusan-utusan wanita dari Jermania,
dari Inggeris, dari Austria, dari Perancis, dari Belgia, dari Swis,
dari Halla, dari Swedia, dari Norwegia, dari Finlandia, dari
Bohemia, dari Estlandia dan dari Belanda datang berkumpul
di Stuttgart itu. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan
pidato-pidato yang hebat dan teoretis prinsipiil, yang menjadi
sendinya resolusi yang berikut: “Kongres menyambut dengan
kegembiraan yang besar konferensi wanita internasional yang
pertama, dan menyatakan setuju dengan pendapatnya tentang
hak pemilihan bagi wanita. Partai-partai sosialis dari semua
negeri wajib berjoang dengan giat untuk adanya hak pemilihan
bagi wanita itu ... Kongres mengakui, bahwa ia tidak dapat
menentukan satu waktu yang pasti bagi sesuatu negeri, buat
mengadakan gerakan hak pemilihan itu. namun ia
menyatakan, bahwa jika gerakan yang demikian itu diadakan
di sesuatu negeri, maka gerakan itu harus mutlak dijalankan
di atas dasar perjoangan sosialistis, artinya -buat menuntut
hak pemilihim umum bagi laki-laki dan wanita ”.
Dengan ini, maka datanglah periode baru bagi pergerakan
wanita tingkat ketiga. Kini ia bukan lagi pergerakan wanita di
beberapa negeri yang organisatoris terpisah satu sama lain,
kini ia telah menjadi satu organisasi internasional, yang
186
dipimpin dari satu pusat. Clara Zetkin duduk dalam pusat itu,
dan “Die Gleichheit” menjadi terompet internasional. Clara
Zetkin pula yang di dalam Kongres Wanita Internasional ke-2,
di Kopenhagen 1910, menganjurkan adanya Hari Wanita
Internasional buat hak Pemilihan yang maksudnya ialah
bahwa pada tiap-tiap tahun, di tiap-tiap negeri, di tiap-tiap
kota besar, pada hari yang telah ditentukan itu serempak
diadakan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran untuk
menuntut hak perwakilan wanita. Di Berlin 1911, hari-wanita
internasional itu menjadi satu demonstrasi besar yang maha
hebat. Tidak mengherankan! Sebab Berlin yaitu kota
milyunan, dan Berlin yaitu kotanya Clara Zetkin, Rosa
Luxemburg, Louise Zietz, Kiithe Duncker, dan lain-lain
kampiun wanita lagi! Pengetahuan mereka, ketangkasan
mereka, kedinamisan mereka, keberanian mereka, keuletan
mereka, dan terutama sekali kecakapan organisatoris mereka,
tidak kalah dengan gembong-gembong pemimpin laki-laki.
Manakala nama-nama August Bebel, Wilhelm Liebknecht,
Jean Jaures, Junes Guesde, Karl Kautsky, Wladimir Iliitsch
Lenin disebut orang dengan hormat dan kagum di dunia
internasional, maka nama-nama pemimpin wanita yang saya
sebutkan di muka tadi pun disebut orang dengan kagum di
dunia internasional. Belum pernah pergerakan politik wanita
(juga tidak pergerakan feminis) memiliki bintang-bintang
pemimpin sebagai pergerakan tingkat ketiga di dalam periode
yang saya ceritakan ini. Dan bintang-bintang ini bukan saja
memimpin golongan dalam bangsanya sendiri serta di
negerinya sendiri, mereka juga selalu pergi ke sana-sini
memimpin wanita jelata di berpuluh-puluh negara. Mereka
yaitu pemimpin-pemimpin di atas gelanggang internasional,
dengan pengaruh internasional, nama inter-nasional,
kemasyhuran intenasional. Terutama sekali bilamana
diadakan Kongres-Kongres Internasional atau Hari-Hari
Wanita Internasional, maka udara politik di seluruh Eropa
menggeletar dengan suara mereka, nama mereka dicetak
dengan aksara besar di surat-surat kabar dari London sampai
ke Petersburg.
Sudah saya sebutkan buat Jermania saja nama-nama Clara
Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Emma Ihrer dan
Kathe Duncker, maka di angkasa Austria cemerlanglah
187
bintangnya Adelheid Popp, Therese Schlesinger dan Emmy
Freutldlich, di angkasa Italia bintang Anna Kulishoff,
Angelica Balabanoff, di angkasa negeri-negeri Skandinavia
bintang Margaretha Strom, Kata Delstrom, Nina Bang, di
angkasa Finlandia bintang Hilja Parsinnen, di angkasa
Inggeris bintang Dora Montefiore dan Margaret Bondfield, di
angkasa Rusia bintang Vera Figner, Vera Sassulitsch,
Alexandra Kollontay, Nadeshda Krupskaya dan Katharina
Brechkofskaya, di angkasa negeri Belanda bintang Henriette
Roland Holst-van der Schalk.
Di bawah pimpinan mereka ini, kesedaran kaum wanita jelata
menjadilah kesedaran yang begitu prinsipiil, begitu radikal,
sehingga dari fihak pemimpin laki-laki sosialis sendiri (yang
reformistis) kadang-kadang terdengar suara yang khawatir
kalau-kalau radikalisme wanita itu nanti merugikan kepada
keselamatan partai. Demikian suara Scheidemann di
Jermania, demikian suara Plechanov di Rusia, demikian suara
Troelstra di negeri Belanda. namun pemimpin-pemimpin laki-
laki ini lupa, bahwa wanita itu, yang di dalam perjoangannya
tidak mengenal tuntutan-tuntutan kecil reformistis yang
mengenai hal-hal sehari-hari sepertinya urusan pajak atau
urusan rumah sakit buruh, namun hanya mengenal urusan
besar, yakni hendak merobah anggapan kolot yang telah
berurat-berakar ratusan tahun, tidak boleh tidak mesti
berfikir dan bertindak prinsipiil dan radikal, mesti berjiwa
prinsipiil dan radikal!
Bagaimana juga, tidak dapat dimungkiri, bahwa misalnya
hasil besar yang dicapai dalam kampanye pemilihan tahun
1912 yang dapat merebut 110 kursi Reichstag itu, buat
sebagian yang tidak kecil ialah sebab bantuannya kaum
wanita. Dan oleh sebab itu, tidak mengherankan juga, bahwa
kaum wanita itu selalu memperingatkan kepada kaum laki-
laki, kadang-kadang mengeritik pedas kepada kaum laki-laki,
supaya mereka jangan menyimpang sedikit pun dari jalan
yang prinsipiil, namun hendak-nya lebih tegas, lebih keras,
lebih tandas, lebih mutlak menuntut hak pemilihan umum
bagi wanita.
188
Ya, kemenangan-kemenangan memang kadang-kadang
membuat semangat menjadi “puas” dan lantas menjadi
kendor. Kita sering melihat di dalam sejarah perjoangan
partai-partai, bahwa partai-partai yang tadinya sengit dan
radikal, sesudah mendapat kedudukan kuat dalam parlemen,
lantas “melempem”, lantas kurang prinsipill dan kurang
radikal. Demikianlah misal-nya dengan S.D.A.P. di negeri
Belanda, dan S.P.D. di Jermania. S.D.A.P. yang masih kecil,
berlipat-lipat ganda radikalnya dari-pada S.D.A.P. yang
menguasai seperempat parlemen. Dulu S.P.D. hebat jiwanya
dan berkobar-kobar semangatnya, dulu ia berjoang dengan
idealisme yang berseri-seri, namun sesudah ia dalam tahun
1912 dapat merebut kursi 110 di dalam Reichstag (dengan
bantuan wanita!), maka ia mulai menjadi “puas”. Penyakit
kemelempeman menjangkit kepadanya, kuman-kuman
kelemahan batin masuk dalam tubuhnya dengan berangsur-
angsur.
Pada permulaan tahun 1914, Rosa Luxemburg dengan
ketajaman otaknya yang luar biasa itu telah meramalkan,
bahwa tidak lama lagi niscaya akan pecah peperangan dunia
yang maha dahsyat, dan bahwa partai buruh Jermania,
sebab telah terjangkit penyakit kelemahan batin,
kemelempeman, reformisme, oportunisme, posibilisme, dsb.
niscaya akan pecah berantakan dalam peperangan itu.
Alangkah tepatnya ramalan Rosa Luxemburg, pemimpin
wanita itu! Sebagai angin prahara yang mengamuk, sebagai
taufan badai yang maha dahsyat, benar-benar datanglah
peperangan dunia itu dalam bulan Agustus 1914, dan benar-
benar juga terpecah-belah berantakanlah partai sosialis
Jermania, sebagai satu partai yang tak tahan uji! Sebagian
besar dari anggota-anggotanya mengkhianati ideologinya yang
sediakala, dan mengamini saja ucapan-ucapan fihak
reaksioner yang menyetujui dan menyokong peperangan itu.
Hanya satu bagian kecil saja tetap berpendirian prinsipiil
dengan tidak mau membenarkan dan tidak mau memberi
bantuan kepada peperangan imperialistis itu. Bagian yang
tersebut belakangan ini memisahkan diri dari partai; mereka
ada yang mendirikan partai baru yang bernama U.S.P.D., dan
ada yang masuk dalam barisan satu partai baru yang lain
pula, yang bernama Spartakusbund.
189
Dan kaum wanita? Alangkah sulitnya kedudukan pergerakan
wanita dalam taufan prahara peperangan itu! Keadaan
bahaya, keadaan dalam masa perang, dengan sekaligus
menghentikan kegiatan terbuka dibandingkan aksi hak pemilihan,
dan perhubungan internasional yang dipeliharanya sejak
tahun 1907 itu boleh dikatakan menjadi terputus sama sekali.
Meskipun Clara Zetkin dengan keberanian yang amat besar
bekerja bagaimana juga kerasnya, supaya dengan jalan
majalah “Die Gleichheit” perhubungan internasional tetap
terpelihara sedapat mungkin, maka kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya sering sekali tak dapat dikalahkan. Hanya
semangat dan keyakinan -hanya hati- dapat tetap terpelihara
di dalam lingkungan yang dapat dicapai oleh Die Gleichheit
itu. Kaum laki-laki Jermania sebagian besar menjadi mabuk
peperangan, kaum sosialis Jermania pun sebagian besar
menyetujui anggaran belanja peperangan, namun kaum wanita
jelata, dengan Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg sebagai
pemuka-pemukanya, tetap setia kepada pendirian prinsipiil
yang semula-mula; peperangan ini yaitu kapitalisme,
kapitalisme yaitu peperangan. Khianat kepada sosialisme,
siapa yang menyetujui peperangan ini!
Dan bukan saja mereka tidak menyetujui peperangan 1914-
1918 yang imperialistis itu. Dengan macam-macam jalan,
mereka juga menyelundupi keadaan dalam masa perang itu,
menjalankan aksi rahasia menentang peperangan, menentang
kemabukan yang mengorbankan persaudaraan proletar
interna-sional kepada kepentingan kaum kapitalis dan
imperialis. Dan di dalam aksi menentang peperangan dan
kemabukan peperangan itu, maka tak lupa pula tetap
menyalakan obor tuntutan hak pemilihan! Die Gleichheit
terus-menerus mereka terbitkan, terus-menerus mereka
kirimkan ke segala pelosok di mana dapat. namun alangkah
besarnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, alangkah
sempitnya kemungkinan-kemungkinan yang masih terbuka!
Sensur amat keras, perkabaran-perkabaran dari koresponden-
korespondennya banyak sekali yang ditahan, nomor-nomor
yang telah siap tercetak kadang-kadang dibeslah oleh militer
sebelum dapat disiarkan. Dan sebagai puncak dari semua
kesulitan wanita ini, pada permulaan tahun 1917 Clara Zetkin
190
dilepas sebagai redaktrise Die Gleichheit. Sebab, Die
Gleichheit yaitu miliknya S.P.D. Dan S.P.D. yaitu pro
peperangan; dan Clara Zetkin sudah keluar dari S.P.D. dan
anti peperangan; dus tak layak dia tetap mengemudikan Die
Gleichheit!
namun Clara Zetkin tidak lantas memangku tangan. Permulaan
tahun 1917 ia kehilangan Die Gleichheit, Juni 1917 ia telah
muncul lagi di dalam “lembaran wanita” dibandingkan surat kabar
Leipziger Volkszeitung. Di sini ia meneruskan propa-gandanya
buat sosialisme dan hak perwakilan wanita. Dan di sini pun ia
tetap setia kepada azas, tetap prinsipiil, tetap radikal. Di sini
ia tetap melawan faham-faham yang menyimpang, faham-
faham yang “nyeleweng”, seperti misalnya faham Dr. Quark
dari S.P.D., yang menganjurkan supaya wanita jelata dalam
aksinya mengejar hak perwakilan bekerja bersama-sama
dengan kaum feminis. Bagaimana dapat bekerja bersama-
sama dengan kaum feminis, demikianlah Clara Zetkin, kalau
dasarnya, azasnya aksi hak pemilihan wanita jelata dan aksi
hak pemilihan feminis bertentangan satu sama lain? Kaum
feminis menuntut hak pemilihan buat kelasnya. Mereka
menuntut hak pemilihan itu supaya kelasnya bertambah
kursinya di dalam parlemen, bertambah kuat di dalam
parlemen, untuk menentang aksi kaum proletar yang makin
lama makin mendesak. Bekerja bersama-sama dengan kaum
feminis, berarti memperkuat kedudukan musuh yang hendak
menikam dada kita sendiri.
Ya, alangkah telah melempemnya partai sosialis Jermania
diwaktu itu! Sehingga pun pada waktu pemerintah Kaisar
telah ambruk dalam bulan Nopember 1918, pada waktu
Wilhelm telah lari ke negeri Belanda, pada waktu “Revolusi
Weimar” telah berhasil, dan pemerintahan telah jatuh ke
dalam tangannya sosialis-sosialis tua, dibantu dengan tenaga
beberapa pemimpin borjuis, -sehingga pun pada waktu
sosialis-sosialis ini telah memegang tampuk pimpinan
pemerintahan, mereka masih saja ragu-ragu mengizinkan
adanya hak perwakilan wanita yang leluasa. Momok
radikalisme wanita, momok keprinsipiilan wanita yang ditakuti
oleh Scheidemann itu, rupanya ditakuti pula oleh sebagian
191
besar dibandingkan sosialis-sosialis tua yang kini duduk di kursi
pemerintahan.
namun kawan-kawan yang setia kepada pendirian semula,
tidak tinggal diam. Mereka mendesak kepada pemerintah
supaya mereka dibawa serta di dalam pemerintah itu.
Akhirnya kaum tua itu tak tahan lagi menentangnya.
Beberapa pemimpin U.S.P.D. dimasukkan dalam kementerian.
Dan dengan ini, hak perwakilan umum bagi wanita -goal!
Semua wanita Jerman, asal saja sudah umur 20 tahun, tidak
perduli kaya atau miskin, tidak perduli tua atau muda, tidak
perduli terpelajar atau tidak, boleh memilih dan dipilih untuk
parlemen atau dewan haminte. Semua wanita Jerman mulai
umur 20 tahun sejak itu memiliki hak pemilihan umum,
aktif dan pasif. Perjoangan yang berpuluh-puluh tahun,
kegiatan yang tak putus-putus, keuletan dalam penderitaan
yang tak berhenti-henti, kesetiaan pada ideologi yang tak
mengenal reformisme, akhirnya mencapai kemenangan yang
gilang-gemilang! ...
Kemenangan mencapai hak pemilihan. Belum kemenangan
dalam segala tujuan! Sebab sedari mulanya telah difahami
oleh wanita-wanita gemblengan ini, bahwa hak pemilihan itu
bukan tujuan yang terakhir, melainkan hanya salah satu
alat perjoangan belaka untuk mencapai tujuan yang lebih
tinggi, yakni sosialisme. Dan alat perjoangan inipun kelak
akan dirampas lagi dari tangannya wanita jelata oleh Hitler, -
cakrawarti Jermania yang memerintah dengan cambuk dan
konsentrasi kamp, yang tidak mau tahu kepada hak pemilihan
apapun juga, tidak buat wanita. Yang memandang wanita
hanya dari sudut keisterian dan keibuan saja, dan
mengguntur mengenyahkan mereka itu dari lapangan politik
dan kewarga an, dan meransel mereka itu kembali ke
alam Kirche, Kiirche, Kleider, Kinder! ...
Dan di dalam limabelas tahun, antara tercapainya hak
pemilihan dan berkuasanya Hitler itu, di dalam limabelas
tahun persamaan hak politik dengan laki-laki itu, mereka
mendapat buktinya kebenaran yang memang selalu menjadi
keyakinan mereka dari tadinya -yaitu, bahwa persamaan hak
dengan laki-laki, belum berarti kebahagiaan sosial yang
192
sempurna. Masih saja penderitaan menjalar. Masih saja
kemiskinan bersemayam di rumah-rumah tangga. Masih saja
persundalan bercabul. Masih saja pengang-guran merajalela.
Masih saja jalan-jalan penuh dengan pengemis wanita. Masih
saja wanita yang pulang dari kerja di paberik dan telah seperti
remuk badan itu, di rumah terpaksa lagi membanting-tulang
buat suami dan anak. Masih saja ia tak dapat dengan bahagia
menjalankan dharma Cinta dan dharma Keibuan. Masih saja
jiwanya menderita “scheur”, menderita “retak”...
Di dalam limabelas tahun praktek hak pemilihan itu, mereka
mendapat pula pelajaran “praktek Sekolah Hidup”, bahwa
persamaan hak dengan laki-laki itu tidak mampu
memecahkan soal-soal hidup wanita sampai keakar-akarnya,
kalau tidak dibarengi dengan perobahan sama sekali dibandingkan
susunan warga yang sekarang.
Terutama sekali di Jermania sesudah peperangan 1914-1918
itu, alangkah kejamnya hantu realitasnya hidup! Kemiskinan
makin hari makin bertambah. Angka-angka pengangguran
menaik, membubung ke udara. Persundalan bagi ribuan
wanita menjadi satu-satunya jalan untuk mencari sepotong
roti. Kapitalisme yang tadinya seperti telah terhantam remuk
oleh palu godam peperangan, lambat-laun bangun kembali,
dan malahan akhirnya mengadakan “pembelaan diri yang
penghabisan”, dengan diktatur fascisme Hitler yang seseram-
seramnya. Dan di dalam kekejaman realitas hidup ini, -wanita
lah jang paling menderita ...
Alangkah benarnya perkataan Henriette Roland Holst yang
telah saya sitir di muka tadi, namun yang akan saya sitir di sini
sekali lagi, agar lebih dicamkan lagi dengan sungguh-sungguh
oleh para pembaca: “Geef de vrouw het kiesrecht, schaf alle
wetteljke bepalingen af die haar bij den man achter stellen
en in haar vrijheid belemmeren, open voor haar de toegang
tot alle beroepen en bedrijven, maak haar opleidingen
opvoeding gelijk aan die van den man, zodat zij zoveel
mogelijk gelijke kansen heeft, zult gij daarmede het lot van
de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij
deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de
ongezonde, sleeht betaalde huis industrie waarin andere
193
millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult
gij het raadseloplossen van de sfinx der prostitutie? Neen,
dat alles zult gij niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan de
burgerlijke maatschappijvorm, aan het kapitalistisch
stelsel van voort-brenging”. Salinannya pun saya berikan
lagi: “Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan
semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari
laki-laki dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan
pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan,
buatkan pendidikannya jadi sederajat dengan pendidikan
laki-laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang
sama luasnya, -apakah Tuan dengan itu akan dapat
memperbaiki nasib kaum buruh wanita upahan yang
berjuta-juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari
kesengsaraan proletar, -akan dapat membasmi industri -di
rumah yang tidak sehat dan rendah- upah itu yang di
dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-miliunan wanita lain,
-akan dapat memecahkan rahasia hantu persundalan?
Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! Semua
kesengsaraan wanita ini yaitu terikat kepada bentuk
warga yang burgerlijk, kepada cara produksi yang
sistimnya kapitalistis!”
Demikianlah memang, yang juga selalu diajarkan dan
diperingatkan oleh Clara Zetkin, oleh Rosa Luxemburg dan
pemimpin-pemimpin wanita sosialis lain, kepada semua
wanita yang menghendaki perbaikan keadaan. Hak pemilihan
hanyalah satu fase perjoangan saja. Dan memang Clara
Zetkin, Rosa Luxemburg, beserta pengikut-pengikutnya yang
berjuta-juta itupun, tidak lantas diam, tidak lantas berhenti
berjoang sesudah hak pemilihan tercapai, -mereka malah
mempergunakan hak pemilihan itu untuk memperhebatkan
perjoangannya menjadi perjoangan yang lebih besar, yaitu
perjoangan menggempur kapitalisme, mendatangkan susunan
warga baru yang lebih adil.
Di dalam perjoangan yang lebih besar inilah Rosa Luxemburg
menemui ajalnya. Bersama dengan kawannya Karl Liebknecht,
pada tanggal 15 Januari 1919, ia dibunub oleh musuh. Pada
saat itu ia berusia 49 tahun, sedang kuat-kuatnya dan sedang
tangkas-tangkasnya. Ia mati sebagai satu Srikandi kaum
194
wanita, namun juga sebagai pahlawan ulung dibandingkan segenap
pergerakan sosialis, -sebagai singa betina Revolusi Sosial, yang
raungnya terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke
ujung dunia yang lain. la yaitu Olympe de Gouges-nya abad
keduapuluh, -teoretis malah lebih besar dari singa betina
Revolusi Perancis itu. Banyak pemimpin-pemimpin laki-laki
sosialis memandang dia sebagai gurunya. Henriette Roland
Holst menulis satu kitab yang menceritakan tarikh hidupnya,
sebagai satu tanda hormat kepadanya. “Ware Rosa Luxemburg
in India geboren, haar volk zou haar een mahatmaya, een grote
ziel, genoemd hebben”. -“Umpama Rosa Luxemburg dilahirkan
di India, niscayalah rakyatnya menamakan dia seorang mahat
maya, seorang yang berjiwa besar”. Di dalam gambaran satu
kalimat ini saja, tampaklah kebesarannya Rosa Luxemburg
itu. la bukan saja seorang pendekar yang amat dinamis,
bukan saja seorang Srikandi yang tak kenal takut, ia pun
seorang teoretikus yang amat ulung. Teori-teorinya, -terutama
sekali “spontani-teits-theorie” dan “verstikkings-theorie”-,
menggemparkan seluruh dunia teori sosialisme. Bukan orang
lain, melainkan Lenin sendiri, meladeni teori Luxemburg itu,
sebab dianggap-nya tidak benar. (Di dalam dunia sosialisme
sering ada perbantahan yang demikian itu, tanda hasrat akan
ilmu pengetahuan). namun lebih-lebih lagi, Rosa Luxemburg
yaitu seorang manusia sosial dalam arti yang sebaik-
baiknya, seorang manusia yang selalu memikirkan sesama
manusia yang lain, dan selalu sedia menderita buat sesama
manusia yang lain. Seorang wanita yang berhati besar, yang di
dalamnya ada tempat buat cinta kepada seluruh
kemanusiaan. Kaum buruh seluruh dunia dan kaum wanita
seluruh dunia, pantas menghormat asmanya pemuka wanita
ini, yang jatuh di padang kehormatan.
Nama Clara Zetkin pun pantas kita hormati setinggi-tingginya.
Bukan hanya buat berkata-kata, kalau orang menamakan dia
“Ibu Revolusi Proletar”. Sampai kepada mengamuknya Hitler
di Jermania, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan,
majalah-majalahnya dan surat kabarnya dilarang terbit,
pemimpin-pemimpinnya yang dapat ditangkap dilemparkan
dalam konsentrasi kamp atau didrel mati mentah-mentahan,
partai-partai lain di-anschluss, ia masih terus berjoang untuk
kepentingan sosial-isme. Salah satu sidang Reichstag merdeka
195
yang terakhir, dialah yang membukanya: pada waktu itu ia
telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa
kebanyakannya sudah rapuh dan sudah tiada tenaga
semangat. Di dalam pidato pembukaannya, lbu Revolusi ini
menghantamkan serangannya kepada kaum Nazi. Atas
anjuran kawan-kawannya, ia melolos-kan diri dari Jermania
ke Rusia, agar tidak menjadi mangsa kezaliman Hitler.
Akhirnya, ia dipanggil pulang kerakhmatullah, dalam usia
yang amat tinggi.
Demikianlah pergerakan wanita tingkat ketiga di Jermania.
Bagaimana di negeri-negeri lain? Saya kira tidak begitu perlu
saya ceritakan pergerakan tingkat ketiga di negeri-negeri lain
itu satu-persatu. Yang perlu bagi pembaca hanyalah
mengetahui garisnya tingkat ketiga ini. Sebagai rempah-
rempah akan saya berikan saja nanti beberapa ucapan-
ucapan pemimpin-wanita tingkat ketiga ini yang ulung-ulung
dari beberapa negeri. Tentang “sejarahnya” cukuplah yang dari
Jermania saja menjadi contoh. Memang sebagai tadi telah
saya katakan: pergerakan di Jermania itu dulu yaitu satu
“model” bagi pergerakan-pergerakan di negeri lain. Memang di
Jermania organisasinya paling sempurna, pengalasan teorinya
paling mendalam, sepak-terjangnya paling tangkas. Negeri-
negeri yang lain selalu memandangkan matanya kepada
Jermania itu.
Siapa yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pergerakan
wanita tingkat ketiga di negeri-negeri lain, haraplah
mentelaahnya sendiri dalam perpustakaan sosialisme yang
bergudang-gudang. Terutama bagi Rusia Baru saya minta
perhatian istimewa, oleh sebab kedudukan Rusia dalam soal-
wanita memang satu kedudukan yang istimewa. Rusia,
yang belum lama yang lalu wanitanya masih bodoh, miliunan
tak dapat membaca dan menulis, miliunan hidup dalam
tahyul yang mendirikan bulu, yang puluhan miliun rakyat
wanitanya yang berbangsa Asia dulu belum pernah mendapat
sinar kemodernan sedikit pun juga, belum pernah mencapai
tingkat yang lebih tinggi dibandingkan tingkat ternak dan tingkat
benda, belum pernah merasakan diri terlepas dari ekses-ekses
patriarchat. Rusia itu telah berhasil memetik buah yang amat
banyak di lapangan memperbaiki kedudukan wanita. Fasal
196
122 dibandingkan undang-undang dasar Sovjet Rusia memberi
hak-hak sepenuhnya kepada wanita. Bagaimanakah cara
sepak terjang Rusia untuk mengangkat wanita-wanitanya itu?
Sempitnya halaman risalah ini tidak memungkinkan saya
menceritakan tentang hal itu panjang lebar, namun biarlah
pembaca membaca misalnya dua kitab Fannina W. Halle “De
Vrouw in Sovjet Rusland” dan “De Vrouw uit het Sovjet-
Oosten”. Terutama sekali “De Vrouw uit het Sovjet-Oosten” itu
memberi pengertian yang mengagumkan kepada. kita, betapa
hebatnya pekerjaan yang telah dijalankan di Rusia Timur
untuk membanteras ekses-ekses patriarchat dan mengangkat
kedudukan wanita yang tadinya benar-benar masih amat
rendah sekali, ketingkatan yang lebih tinggi.
Sungguh sayang saya tak dapat menceritakan lebih panjang
lebar tentang usaha di Rusia itu. namun “teori” pergerakan
wanita tingkat ketiga, -di Jermania lah terutama asal mula
tem-patnya. Teori itulah yang saya berikan kepada pembaca.
Rusia yaitu terutama sekali tempat usaha. Usaha di sana
memang hebat, dan ... betapa mengharukan hati kita kadang-
kadang! Siapakah tidak pernah mendengar tentang
penderitaan Maria Spiridonova, atau penderitaan Vera Figner?
Dan usaha-usaha di negeri-negeri lain pun saya tak dapat
ceritakan kepada pembaca. Nasehat saya kepada pembaca
cuma satu: bacalah, carilah buku-buku, bacalah sebanyak-
banyak mungkin, untuk menambah pengetahuan!
Sekarang, marilah saya bubuhkan beberapa ucapan-ucapan
pemimpin-pemimpin wanita, untuk menjadi sekedar bunga-
rampai dalam kitab ini. Dengarkanlah kritikan pedas yang
keluar dari mulut Emilia Marabini di Roma terhadap kepada
pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki, yang dalam teori
memeluk sosialisme, namun dalam prakteknya masih bersikap
kolot terhadap kepada wanita: “Menggelikan hanyalah mereka,
yang dengan mulutnya mengatakan begini, dengan
perbuatannya berbuat begitu. Menggelikan hanyalah mereka,
yang membela sosialisme dengan banyak kata-kata dalam
rapat-rapat, namun yang menentangnya di dalam peri-
kehidupan sehari-hari, oleh sebab mereka menjauhkan
begitu banyak tenaga-tenaga yang baik dari propaganda.
Menggelikan hanyalah mereka, yang berjoang dalam barisan-
barisan kaum sosialis, namun yang sebab oportunisme yang
salah, melupakan keyakinannya terhadap kepada kaum
wanita. Menggelikan, ya lebih jahat dari menggelikan, yaitu
mereka, yang meskipun mereka tadinya datang
menggabungkan diri dengan kita untuk menentang
penindasan, toh di dalam batinnya sendiri belum meniadakan
nafsu untuk menindas kaum wanita.”
Anna Kulishoff, pemuka wanita Italia yang lain, cantik dan
tangkas, terkenal dalam kongres-kongres internasional, tajam
fikiran dan setia kepada keyakinan, di dalam satu tulisan
menganjurkan kepada kaum wanita supaya percaya kepada
diri sendiri: “Janganlah mendengarkan omongan orang, yang
mengatakan bahwa Tuan tidak cakap dan tidak bersedia buat
perjoangan politik. Belum pernah ada orang belajar sesuatu
hal dengan tidak bekerja. Orang tak dapat belajar berenang
dengan tidak terjun ke dalam air. Orang tak dapat belajar
menjahit, jika orang tidak mulai mengambil jarum di dalam
tangannya. Kaum proletar laki-laki pun tadinya tak cakap dan
tak bersedia. Hanya dengan latihan orang dapat memperoleh
kecakapan-kecakapan”.
sebab tulisan ini, Anna Kulishoff mendapat hukuman dua
tahun penjara! Ia dianggap berbahaya buat keamanan negara
...
Di bawah ini saya cantumkan ucapan Maria Spiridonova
yang mengharukan. Ia bukan sosialis tulen, namun salah
seorang pemuka dari partai sosial revolusioner di Rusia.
Puluhan tahun ia meringkuk dalam penjara, dibuang dari satu
tempat ke tempat lain, sering menghadapi maut oleh sebab
disiksa, atau oleh sebab di dalam selnya penjara penyakit
batuk darah menyerang dia dengan hebatnya. namun ia tak
pernah goyang keyakinan, tak pernah mengaduh, tak pernah
takut. Sesudah revolusi 1917 berhasil, dimerdekakanlah ia,
dan di dalam pidato untuk menyambut pangayubagia ia
berkata: “Satu kebahagiaan yang besar, satu kesenangan yang
meresap ke dalam jiwa, ialah mengabdi kepada rakyat, yang
demikian lamanya, bertahun-tahun seperti tiada hingga,
tersiksa di bawah telapak perbudakan. Pujian Tuan saya
terima dengan segala rasa kekecilan diri, dan saya
bawakannya kepada azas-azas yang kita abdii, azas-azas
perjoangan buat kaum pekerja dan buat persaudaraan
internasiona1. Bukan untuk saya, namun atas nama Tuan-
Tuan ... Saya dapat menderita banyak, saya tidak takut sakit
atau kemelaratan ... Tidak tahukah Tuan-Tuan, bahwa saya
ini termasuk golongan orang-orang yang tersenyum di kayu
salib? Saya akan tertawa di dalam penjara. Sebab orang
menderita buat satu cita-cita, dan cita-cita itu yaitu begitu
indah, begitu luhur, sehingga semua perasaan-perasaan yang
mengenai diri sendiri lenyap oleh sebab nja.”
Dan perhatikanlah ucapan pahlawan wanita Rusia yang lain,
yang juga termasuk golongan Manusia Besar: Vera Figner.
Sudahkah Tuan pernah membaca kitabny “Nacht over
Rusland”? Sebagai Maria Spiridonova, ia pun berpuluh-puluh
tahun meringkuk dalam penjara Czaar. Ia pun tak kenal
goyang fikiran, tak kenal bimbang di dalam perjoangan. Di
dalam satu rapat yang besar ia pernah berkata: “Kamu mau
apa, kawan-kawanku wanita? Apakah kamu mau memandang
pekerjaan revolusi sosial ini sebagai pekerjaan kaum laki-laki
saja? Kamu toh juga satu bagian dari kelas buruh, yang
membungkuk di bawah penindasan? Kamu, kaum wanita, toh
justru yang paling menderita sebab kemiskinan dan
kemelaratan yang didatangkan oleh penghisapan kapitalistis
itu? Dan kamu toh tidak menyangka, bahwa kemiskinanmu
dan kemelaratanmu itu pekerjaan suami-suamimu? Tidak,
baik kamu, maupun suami-suamimu, yaitu korban dibandingkan
sistim yang merajalela di sini telah berpuluh-puluh tahun.
Sistim itulah harus kamu tentang, sistim itulah harus kamu
perangi bersama-sama dengan suami-suamimu, kalau kamu
ingin merdeka, benar-benar merdeka”.
Satu tangkai bunga-rampai lagi dari Vera Sasulitsch, yang
juga termasyhur namanya: “Kita telah berjoang berpuIuh-
puluh tahun, untuk memerdekakan peri-kemanusiaan
dibandingkan siksaan terbesar yang pernah mengazab dia, -yaitu
dibandingkan kapitalisme dengan segala macam cara-cara
penghisapannya. Perjoangan ini selalu tumbuh, dan terus
akan tumbuh, sampai tercapai cita-cita kita. Di dalam
perjoangan ini, kita bersama-sama mengalami kesenangan
dan kesedihan, namun tidak ada kesenangan yang begitu besar
sebagai yang kita alamkan beberapa tahun yang terakhir ini:
kesenangan melihat makin banyak wanita ikut serta dalam
barisan kaum proletar yang berjoang. Ikut sertanya wanita
dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan
kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan
warga dapat mencapai tujuan warga nya, selama
tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut
serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita
kepada wanita buruh yaitu singkat dan jelas: Ketahuilah
tujuanmu, jalankanlah perjoanganmu itu dengan ulet,
bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki.
Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah
mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian
hati”.
Dan akhirnya, satu tangkai lagi:
Maukah pembaca satu contoh keberanian wanita, satu contoh
keuletan pendirian, yang tak mau goyang meski di bawah
ancaman hukuman berat? Bacalah ucapan Sofya Bardina di
bawah ini, yang ia ucapkan tatkala perkaranya diperiksa di
muka hakim Czaar: “Saya tak pernah menentang hak milik
perseorangan, saya malahan berani mengatakan bahwa saya
membela hak milik perseorangan itu, manakala saya
mengatakan bahwa tiap-tiap manusia berhak penuh atas
tenaga kerjanya dan atas hasil-hasil tenaga kerjanya itu. Maka
sekarang saya bertanya: sayakah yang merusak hak milik
perseorangan, ataukah si majikan paberik, yang membayar
kepada kaum buruh hanya sepertiga dari harga kerjanya dan
mengambil keuntungan dari yang duapertiga lagi dengan tak
membayar apa-apa? Bukanlah si spekulan yang merusak hak
milik perseorangan, yang bermain dagang dibeurs dan
menjerumuskan ribuan keluarga ke dalam kecelakaan,
memperkaya diri sendiri atas kerugian mereka itu dengan
tiada mengeluarkan keringat setetes pun juga? Kami
memandang hak kaum buruh atas hasil tenaga kerjanya lebih
tinggi dibandingkan hak apapun juga ... Juga berhubung dengan
soal keluarga, maka saya hanya dapat bertanya: bukankah
susunan warga yang memaksa wanita meninggalkan
keluarganya, masuk ke dalam paberik untuk mencari upah
yang sangat rendah, dan di sana binasa bersama dengan
anak-anaknya, -bukankah susunan warga yang
membinasakan keluarga, sebab ia memaksa wanita,
terdorong oleh kemiskinan, memasuki alam persundalan, -
atau kamikah yang membinasakan keluarga itu, oleh sebab
kami hendak membanteras kemiskinan itu, yang menjadi
sumber semua kejahatan-kejahatan sosial? ... Bagaimana juga
nanti nasib saya, tuan-tuan hakim, saya tahu tak akan
mendapat ampunan, dan memang saya tidak mengingini
ampunan itu. Tuntutlah kami terus-menerus sekehendak
tuan-tuan saya yakin bahwa pergerakan sekuat ini -yang jelas
dibangunkan oleh semangat masa sendiri- tak dapat ditahan
dengan penindasan yang bagaimanapun juga. Barangkali ia
mungkin dihambat buat sejurus waktu, namun ia akan bangun
kembali dengan tenaga yang lebih besar, dan demikian terus-
menerus, sampai cita-cita kami mencapai kemenangan akhir.
Tuntutlah kami sekehendak tuan-tuan! Tuan-tuan buat
sementara waktu menggenggam kekuasaan zahir, namun kami
memiliki kekuasaan batin: kekuasaannya kemajuan sejarah,
kekuasaannya Cita-cita. Cita-cita tak dapat dimatikan dengan
bayonet-bayonet”
Sekian saja sajian bunga-bunga rampai! namun saya tidak mau
menutup bab ini, sebelum membuat sedikit pemandangan lagi
yang mengenai tingkat kedua dan tingkat ketiga dibandingkan
pergerakan wanita.
Manakala saya di muka tadi sering-sering mencela pergerakan
wanita tingkat kedua, maka itu tidak berarti bahwa saya tidak
mengakui beberapa sifat yang baik dibandingkan nya. Kalau saya
tinjau pergerakan feminisme itu seumumnya, maka haruslah
saya mengatakan, bahwa ia yaitu satu pergerakan yang
progresif juga, -satu pergerakan yang membawa kemajuan
dalam warga . Hal ini telah nyata. Progresif yaitu
tuntutan hak pemilihan; sebab dulu tidak ada hak pemilihan
wanita itu. Progresif yaitu tuntutan hak untuk bekerja;
sebab dulu wanita tidak boleh bekerja dalam pekerjaan di
warga . namun bumi pergerakan feminisme itu nyata bumi
burgerlijk; anggota-anggotanya sebagian besar berasal dari
kalangan burgerlijk; dan motifnya nyata motif burgerlijk pula.
Ia telah puas dengan hak pemilihan yang terbatas, yang
memasukkan wanita -wanita atasan saja ke dalam
dewan-dewan, dan tidak wanita jelata juga. Dengan
demikian, maka kaum wanita feminis memperkuat kelas
atasan, kelas borjuis, di dalam dewan, sebagai satu imbangan
kepada tambah kuatnya kelas proletar. Mereka tentu
membantah hal ini sekeras-kerasnya. Malah mereka mengira
benar-benar berjoang buat semua wanita , dan menga-
takan pula bahwa mereka berjoang dengan tidak
memperbedakan kelas-kelas. sebab itu pula mereka menolak
dengan keras adanya perjoangan kelas, menolak adanya
klassenstrijd. namun tidak dapat dibantah, bahwa pada
hakekatnya pergerakan feminis yaitu pergerakan burgerlijk.
Nyonya Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda yang
amat lunak, pernah menulis: “Het was de laatste stap van de
heerschappij der bourgeoisie, die men verlangde. De vrouwen
van die klasse moesten ook het kiesrecht verkrijgen.” Artinya:
“Tuntutan itu yaitu langkah terakhir untuk memperkuat
kekuasaan bursoasi. Wanita-wanita dari kelas itu harus
mendapat hak pemilihan pula”.
Dan Nyonya Henriette Roland Holst yang brilliant itu berkata:
“In werkelijkheid echter is haar beweging een klassen-
beweging, wat zij wil is voornamelijk de opheffing der wetten,
het doorbreken der tradities en de verandering der zeden, die
de vrouwen der bezittende en heersende klassen nog juridisch,
sociaal, economisch en politisch, bij de mannen van deze
klassen achterstellen. Zij wil haar deel veroveren aan de
voorrechten -materieele zowel als ideele voorrechten- van de
mannen der bourgeoisie, wil met hen samen de wereld bezitten
en de wereld beheerschen. Zij wil al het genot en de pracht van
die wereld, de stoffelijke en geestelijke goederen, mede
genieten. Zij wil, in het kort, dat aan de heerschappij en de
uitbuiting die tot nu toe door de mannen der heerschende
klassen gevoerd en bedreven werden, ook de vrouwen dier
klassen zullen deelnemen”. Artinya: “Pada hakekatnya,
pergerakan mereka itu yaitu pergerakan kelas; yang mereka
tuju ialah terutama sekali hapusnya hukum-hukum,
pecahnya kebiasaan-kebiasaan dan robahnya adat-adat, yang
di atas lapangan yuridis, sosial, ekonomis dan politis masih
membelakangkan wanita-wanita kelas atasan dibandingkan kaum
laki-laki kelas itu. Mereka mau merebut bahagian mereka
dalam hak-hak lebih kaum laki-laki bursoasi, -hak-hak lebih
jasmani maupun rohani. Mereka mau ikut mengecap semua
kenikmatan dan keindahan dunia itu, mau ikut mengecap
semua kekayaan-kekayaan jasmani dan rohani dalam dunia
itu. Pendek kata, mereka berkehendak, supaya kaum wanita
kelas atasan itu ikut serta dalam kekuasaan dan penghisapan
yang sampai sekarang dilakukan oleh kaum laki-lakinya”.
Di dalam kitab riwayat hidupnya, Mr.P.J.Troelstra (pemimpin
sosialis Belanda yang terkenal) menceritakan tentang hal
pengalamannya dengan pergerakan kaum feminis. Pada waktu
kaum buruh Belanda menuntut hak pemilihan umum buat
semua laki-laki dan wanita , maka dari fihak kaum feminis
dijumpai rintangan! Di dalam Congres voor Vrouwenkiesrecht
29 Agustus 1898, nyonya Versluys-Poelman berkata: “Eerst
het kiesrecht voor de vrouw, en dan pas algemeen kiesrecht”, -
yang artinya: “lebih dulu hak pemilihan bagi wanita, baru
lalu hak pemilihan umum”. Troelstra mengejek, bahwa
yang dimaksudkan dengan “hak pemilihan buat wanita” itu
sebenarnya tak lain tak bukan ialah “dameskiesrecht”
semata-mata! Seruan nyonya Versluijs-Poelman itu
dinamakannya satu seruan yang keluar dari hati kecil kaum
feminis sebagai bagian dari bursoasi. Seruan itu ialah keluar
dari “het streven der vrouw uit de bourgeoisie om zich de
rechten en voorrechten harer klasse te veroveren”, artinya:
keluar dari “ikhtiarnya wanita borjuasi untuk ikut memiliki
hak-hak dan hak-hak lebih dibandingkan kelasnya”.
Maka oleh sebab gerakan wanita tingkat kedua dan tingkat
ketiga itu datangnya dari dua alam, tumbuhnya dari dua jiwa,
sumbernya dari dua kepentingan yang bertentangan satu
sama lain, maka fihak tingkat ketiga selalu secara prinsipiil
menolak bekerja bersama-sama dengan fihak feminis. Benar
ada beberapa persamaan, benar ada beberapa titik
persentuhan antara kedua aliran itu, namun perbedaan-
perbedaannya yaitu begitu besar, sehingga dua pergerakan
ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah
ataupun sebagai dua gelombang yang sesuai jalannya.
Di dalam Konferensi Wanita Internasional di Stuttgart 1907,
yang sudah saya ceritakan di muka tadi, ditetapkan penolakan
bekerja bersama-sama dengan wanita atasan itu dalam
kalimat resolusi yang berikut: “Wanita-wanita sosialis harus
menjalankan perjoangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak
bersama-sama dengan wanita-wanita borjuis, namun bersama-
sama dengan partai-partai sosialis”.
Di dalam Kongres di Gotha 1896, sebenarnya penolakan ini
telah amat terang dan tegas: “Sebagai perajurit dalam
perjoangan kelas, wanita proletar itu sama saja butuhnya
kepada persamaan hak yuridis dan politis dengan laki-laki,
seperti wanita dari golongan pertengahan dan dari golongan
intelek borjuis. Sebagai pekerja yang berdiri sendiri, dia juga
sama saja butuhnya kepada hak untuk menguasai
penghasilan sendiri dan diri sendiri, seperti wanita dari
golongan bursoasi. namun kendati adanya persamaan di atas
lapangan tuntutan-tuntutan yuridis dan politis itu, maka
wanita proletar itu di atas lapangan kepentingan ekonomi yang
besar-besar sama sekali tidak ada persesuaian dengan wanita-
wanita dari kelas-kelas lain. Oleh sebab itu, maka usaha me-
merdekakan wanita proletar itu tidak mungkin pekerjaan
wanita-wanita dari semua kelas, namun hanyalah pekerjaannya
kaum proletar seluruhnya, dengan tiada membeda-bedakan
wanita atau laki-laki”.
Dus: menolak pekerjaan bersama dengan kaum feminis secara
prinsipiil. Apakah ini berarti, bahwa tidak ada faedahnya
mencoba mempengaruhi kaum feminis itu? Sudah barang
tentu ada faedah itu. Terutama sekali di negeri-negeri, di
mana pergerakan feminis telah cukup kuat untuk
menjalankan pengaruh yang tidak baik di atas massa, maka
ikhtiar mempengaruhi itu yaitu perlu. Di negeri-negeri yang
demikian itu misalnya yaitu berfaedah untuk mempengaruhi
kaum feminis, sedapat mungkin, supaya tuntutannya hak
perwakilan yang terbatas itu dirobah menjadi tuntutan hak
perwakilan umum. Sebab, tidakkah sejarah menjadi kitab
pelajaran bagi rakyat jelata pula? Di dalam sejarah itu
senantiasa terbukti, bahwa massa selalu dipakai, diambil
tenaganya, diperkudakan oleh kelas-kelas lain yang berjoang
untuk keperluannya sendiri. Di dalam Revolusi Perancis nyata
benar perkudaan ini, di Jerman Hitler pun demi-kian pula.
Pergerakan feminis pun dulu sering mencoba memperkudakan
massa, menyuruh massa itu menarik kereta yang merekalah
duduk di atasnya, kesatu tempat yang merekalah mendapat
keuntungan di sana.
Oleh sebab itu, kewajiban pemimpin wanita tingkat ketiga
ialah pertama-tama menyedarkan massa, membukakan mata
massa jangan mau dijadikan kuda, -dan kedua: di mana
mungkin dan di mana dapat, mempengaruhi pemimpin-
pemimpin feminis itu supaya tuntutan-tuntutannya tidak
terlalu bertentangan dengan kepentingan massa. Hal ini tidak
bertentangan dengan prinsip tidak bekerja bersama-sama
dengan mereka, sebab pergerakan tingkat ketiga tidak
mengikatkan diri kepada mereka, tidak mengorbankan
kemerdekaan dirinya kepada mereka, tidak mengasih konsesi
sedikit pun kepada mereka.
Satu contoh: Dulu Serikat Wanita Liberal di Inggeris sangat
“anti” kepada tiap-tiap usaha kaum buruh wanita supaya
diadakan, hukum-hukum yang melindungi buruh wanita.
Sebab memang demikianlah prinsip liberalisme: anti bahwa
negara ikut-ikut campur dalam urusan produksi. namun lama-
kelamaan Serikat Wanita Liberal itu akhirnya toh menyetujui
pula kepada diadakannya wet-wet yang melindungi buruh
wanita. Apa sebab? Sebabnya ialah oleh sebab mereka lama-
kelamaan kena pengaruh pemimpin-pemimpin tingkat ketiga.
Terutama sekali Miss Amie Hieks rajin sekali mempengaruhi
rapat-rapat Serikat Wanita Liberal itu dengan pidato-pidato
yang jitu dan meyakinkan. Di tiap-tiap rapat ia minta ikut
bicara, di tiap-tiap rapat ia mendebat atau menganjur-kan hal-
hal yang perlu dianjurkan. Kegiatan Miss Amie Hicks itu boleh
dijadikan teladan.
namun inipun tidak boleh berarti, bahwa boleh diharapkan
pergerakan feminis itu akan “mlungsungi” sama sekali
menjadi pergerakan tingkat ketiga. Sama sekali tidak! Sebab
dasar kewarga an pergerakan feminis itu ialah kelas
atasan, dan pergerakan feminis itu akhirnya tak dapat bersifat
lain dibandingkan mengerjakan tugas yang diberikan oleh sejarah
pada kelas atasan. Yang mereka dapat kompromisi niscaya
tidak lebih dibandingkan kompromis-kompromis kecil yang tidak
mengubah kepada garis-garis besar tugas sejarah kelas
atasan. Tidak!, politik mencoba mempengaruhi pergerakan
feminis itu tidak boleh berarti mengharap-harapkan kerbau
menjadi harimau, atau harimau menjadi gajah. Ia hanyalah
harus berarti, bahwa massa harus dijaga jangan sampai ia
terlalu menjadi korban kenaikannya wanita borjuasi. Yang
paling penting ialah tetap: mendidik wanita massa,
menyedarkan wanita massa, mengorganisir wanita massa,
memparatkan wanita massa, menggerakkan wanita massa. Itu
dan itu sajalah tetap alif-ba-ta-nya pergerakan wanita tingkat
ketiga!
Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan wanita
sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata
masih meninggalkan satu soal yang belum selesai:
bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara
pekerjaan warga dan panggilan jiwa sebagai isteri dan
ibu? Bagaimanakah menghilangkan “scheur, die door haar
wezen gaat?”
Sesuai dengan tuntutan emansipasi, maka wanita atasan
sekarang sengaja keluar dari kurungan pingitan, keluar
bersekolah, belajar sesuatu “beroep”, belajar menjadi juru-
rawat, menjadi guru, menjadi juru-ketik atau juru-tulis atau
komis, menjadi dokter atau insinyur atau adpokat, -namun
kelak, kalau mereka sudah menjabat pekerjaan itu, ...
datanglah lagi-lagi ujian-jiwa yang amat sulit: mereka harus
memilih antara pekerjaan itu dan ... hidup bersuami! Lagi-lagi
datanglah bagi tiap-tiap orang wanita yang telah terlepas dari
pingitan dan telah menjabat sesuatu pekerjaan yang umum
satu saat yang ia terpaksa memilih antara pekerjaan itu dan
panggilan kodrat alam. Mana yang harus dipilih? Mana yang
harus dilebih beratkan?: pekerjaannyakah, -atau
bersuamikah? Terus bekerjakah, -atau kembali ke dalam
kurungan rumah tangga namun memiliki kekasih,
memiliki laki-laki, memiliki anak? Buat apa tadinya
membuang uang dan tempoh begitu banyak buat spesial
bersekolah menjadi juru-rawat atau guru atau dokter atau
adpokat, kalau akhirnya semua kepandaian itu toh musti
dikesampingkan, sebab alam akhirnya toh menuntut
bagiannya pula?
“Tiap-tiap gadis menunggu datangnya hidup berlaki-isteri
sebagai satu hal yang akan mengisi dan memenuhi hidupnya
sama sekali. Pekerjaannya (di dalam warga ) itu buat dia
bukan pekerjaan buat seumur hidup, namun sekedar satu
tingkatan peralihan saja kepada pekerjaan yang sebenarnya,
yaitu hidup berlaki-isteri”.
Demikianlah gambaran jiwa, yang saya baca di dalam tulisan
salah seorang pemimpin wanita feminis. Sekali lagi, -buat apa
belajar sesuatu pekerjaan, kalau pekerjaan itu kelak toh harus
dilepaskan lagi sebab keharusan hidup berlaki-isteri? Mana
yang harus diberatkan: pekerjaankah, atau cinta dan jadi
ibukah? Inilah ujian jiwa yang sulit. Dan jikalau dua-duanya
diambil, seperti halnya dengan kaum wanita bawahan, yang
ya bekerja di paberik ya bersuami-isteri dan beranak-, maka
wanita atasan itu rasanya tidak sanggup menderitaka “scheur”
atau “retak” yang membelah jiwa-raganya kaum wanita
bawahan. Dan jikalau wanita atasan itu memilih hidup
bersuami-isteri dibandingkan meneruskan pekerjaannya; jikalau ia
dengan rasa masygul mengikuti panggilan kodrat alam dan
meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di lapangan
pekerjaan lain, maka fihak feminis memberi hiburan
kepadanya yang berbunyi: “Jangan masygul, jangan kecewa,
sebab pengetahuan yang engkau dapat di sekolah dulu itu toh
berfaedah juga buat kau pakai dalam rumah tangga”.
lni namanya “lari dari kenyataan”! Sebab, jikalau benar
maksud bersekolah itu hanya buat berfaedah di rumah tangga
saja, maka lebih baik jangan gadis-gadis disekolahkan
mengetik, jangan disekolahkan dagang, atau insinyur atau
adpokat, atau kimia atau kesusasteraan, namun masukkanlah
mereka semua ke sekolah-sekolah rumah tangga, -
huishoudscholen, yang vak-vaknya semata-mata buat
kesempurnaan rumah tangga dan keibuan! Jikalau tujuan
hidup wanita hanya suami dan anak-anak saja, maka wanita
tak perlu mempelajari lain-lain pekerjaan, melainkan
pekerjaan keisterian dan keibuan saja! Tidakkah kita merasa
geli memfikirkan pendirian kaum feminis itu, yang tadinya
mati-matian menuntut hak untuk bekerja, namun lalu
melepaskan pula pekerjaan yang telah diperdapat itu? Mereka
merasakan adanya scheur, merasakan adanya retak, namun
mereka tidak berjoang meghilangkan sebabnya retak itu, tidak
berjoang menyembuhkan retak itu, melainkan memilih salah
satu di antara dua belah yang dipisahkan oleh retak itu. Coba
perhatikan satu ucapan lagi dari seorang pemimpin feminis,
nyonya van Itallie van Embden, yang berbunyi: “Weest niet
bang, maakt U niet ongerust! Wanneer de vrouw gaat voelen,
dat haar kinderen lijden onder haar dubbel werk, dan komt
zeterug ... Als ze moet kiezen, dan kiest ze het kind”. Artinya:
“Jangan takut, jangan kuatir! Kalau wanita merasa, bahwa
anak-anaknya menderita sebab pekerjaannya yang dobel itu,
ia akan kembali ... Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang
ia pilih”.
Isinya ucapan ini benar. “Kalau ia harus memilih, anaknyalah
yang ia pilih”. Memang demikianlah jiwa wanita. Memang
demikianlah harusnya jiwa wanita. Wanita yang tidak
mengutamakan anak, tidak pantas bernama wanita. Itu bukan
soal lagi. namun yang menjadi soal ialah: apa sebab ada retak,
dan bagaimana menghilangkan retak itu? Dengan memakai
perkataan-perkataan Nyonya Itallie van Embden sendiri, maka
soalnya ialah: apa sebab “anak-anaknya menderita sebab
pekerjaannya yang dobel itu”? Tidakkah mungkin diperdapat
satu susunan warga , yang anak-anak tidak menderita,
walaupun ibunya mengerjakan pekerjaan dobel?
Ucapan Nyonya Itallie van Embden, seperti ucapan pemimpin
feminis lain yang saya sitir di atas tadi, lagi-lagi satu perbu-
atan “lari dari kenyataan”, lagi-lagi satu “vlucht uit de
werkelijkheid”. Lagi-lagi orang terpaksa bertanya: buat apa
mengotot minta hak untuk bekerja, kalau pekerjaan itu nanti
toh akan dilepaskan lagi? Tidak! pokok pangkal dari semua
“vlucht” itu ialah, bahwa feminisme memang tidak mampu
memecahkan soal! Tidak mampu memecahkan soal
bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan
(pencaharian) dan keibuan!
Tidak bersuami dan tidak beranak, -bertentangan dengan
panggilan kenikmatan alam. namun bersuami beranak dan
bekerja di warga , - bertentangan dengan kesempurnaan
kedua-duanya!
208
Inilah pertentangan itu!
Maka oleh sebab itu, di kalangan feminis sendiri lantas
timbul satu golongan yang tidak puas dengan feminisme itu.
Golongan inilah yang menyebutkan dirinya kaum neo-
feminisme. Mereka bermaksud “mengoreksi” feminisme itu.
namun koreksi mereka itu ... makin salah!
Makin menandakan kelemahan pendiriannya! Hanyalah
barangkali ... lebih jujur!
Sebab, bagaimana pendirian neo-feminisme? Di dalam satu
kitab tulisan D.L.Daalder “Feminisme en Nieuwfeminisme”
diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan
lebih dahulu bahwa tujuan hidup wanita ialah (bagaimanapun
juga) suami dan anak. Maka oleh sebab itu, tujuan
pergerakan wanita haruslah: menyempurnakan wanita buat
hidup bersuami dan beranak. Maka neo-feminisme
bermaksud: mendidik dan mempersiapkan wanita, terutama
gadis, supaya ia kelak dengan sempurna dapat mengerjakan
kewajibannya sebagai isteri dan sebagai ibu. Neo-feminisme
tidak mengutamakan lagi pekerjaan, tidak mengutamakan lagi
persamaan hak. Hak atas pekerjaan, dan hak pemilihan, tidak
lagi menjadi titik berat aksinya. Suami dan anak, cinta dan
keibuan, kesitulah pandangan matanya ...
“Menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak”!
Dengan samar-samar saya melihat lagi jirimnya pergerakan
wanita tingkat kesatu. Sesudah hampir dua ratus tahun
pergerakan wanita, -kini kembali lagi ketingkat itu! ...
Tanda apa ini? Tak lain tak bukan tanda ketidakmampuan.
Tidak mampu menemukan pemecahan satu soal. Dicoba
begini, dicoba begitu, akhirnya dicoba begini lagi ...
Pemecahan tidak terdapat, -jalan yang diturut ternyata jalan
buntu. Dan sebab jalannya buntu, lantas mundur. Mundur
kembali ke tempat yang ditinggalkan dua ratus tahun yang
telah lalu!
sebab jalannya buntu, lantas mau menjalankan “koreksi”.
namun koreksi itu bukan mendobrak kebuntuan itu,
209
melainkan membiarkan kebuntuan itu, dan ... mundur
kembali. Mundur kembali ke “suami dan anak saja”. Mundur
kembali ke “penyempurnaan wanita”. Mundur kembali ke
sarang rumah tangga, dengan melepaskan pekerjaan di
warga , melepaskan persamaan hak, melepaskan hak
perwakilan, dan lain-lain lagi tuntutan progresif yang
sebagainya.
Alangkah bedanya pergerakan wanita tingkat ketiga!
Pergerakan wanita tingkat ketiga dengan tegas menyatakan,
bahwa koreksi satu-satunya yang benar ialah: menghilangkan
pertentangan antara pekerjaan untuk warga dan cinta
dan keibuan itu! Menghilangkan pertentangan antara dua hal
itu dengan mengadakan satu susunan pergaulan hidup di
mana dua hal itu tidak berkonflik satu sama lain, namun justru
isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni satu sama lain,
mensintese satu sama lain.
Ya, isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni yang satu
de