presiden soekarno 8

Rabu, 29 Januari 2025

presiden soekarno 8



  bersama yang dengan 

demikian giatnya dan dengan demikian bersemangatnya 

menuntut hak-hak politik bagi kaum wanita”. Ratusan rapat 

biasa diadakan, puluhan demonstrasi-demonstrasi raksasa 

diselenggarakan. August Bebel, kampiun wanita yang ulung 

itu, mendengung-dengungkan suaranya di Reichstag. namun  

kaum reaksi dalam rijksdag itu semuanya menentang. Usul-

usul Bebel jatuh, tak memperoleh suara yang terbanyak. 

namun  tidak jatuhlah akibatnya agitasi umum yang menuntut 

hak perwakilan wanita itu. Di dalam bulan Desember 1906 

Reichstag tua bubar, namun  di dalam aksi pemilihan dalam 

bulan Januari 1907 buat Reichstag baru, kaum laki-laki 

rakyat jelata serta wanitanya telah bersiap lagi, bercancut 

taliwanda lagi, dan berhasil merebut tambahan jumlah kursi 

yang tidak sedikit! 

 

Kepesatan kesedaran wanita yang saya gambarkan di muka 

ini, mengenai Jermania, yang memang sarangnya pemimpin-

pemimpin sosialis laki-laki-wanita  yang ulung-ulung. Dan 

saya memang mengambil Jermania sebagai contoh, oleh 

sebab  pergerakan sosialis di sana itu dulu sering diambil 

sebagai “model” bagi pergerakan-pergerakan sosialis di negeri 

lain. namun  janganlah pembaca mengira, bahwa manakala 

pergerakan di Jermania berkobar-kobar, di negeri-negeri lain 

ia dingin atau beku. Jauh dibandingkan  itu! Misalnya api 

pergerakan proletar di Rusia kadang-kadang menyala-nyala 

menyundul langit. Api revolusi di Rusia dalam tahun 1905 

bukan membakar hati kaum proletar di sana saja, -api itu 

cahayanya menyinari juga pergerakan sosialis di seluruh 

Eropa, membuat pergerakan sosialis di seluruh Eropa itu 

menjadi bertambah revolusioner dan bertambah prinsipiil, 

memperkuat tekad di dalam hati proletar internasional, bukan 

saja kaum proletar laki-laki namun  juga kaum proletar wanita. 

Malah dengan pasti dapat dikatakan, bahwa kehebatan aksi 

proletar di Jermania dalam tahun 1906 dan 1907 sebagai saya 

185 

 

gambarkan tadi itu, yaitu  buat sebagian akibat dibandingkan  

ledakan semangat Rusia di dalam tahun 1905. 

 

Sejak 1905 itu di semua negeri Eropa terjadi bertambahnya 

semangat wanita. Apakah yang lebih logis, lebih “semestinya”, 

dibandingkan  menggabungkan pergerakan-pergerakan wanita 

sosialis yang tersebar di negeri-negeri Eropa itu, dan yang kini 

masing-masing sedang bertambah elannya, menjadi satu aksi 

yang besar-besaran? Tidakkah pergerakan sosialis sendiri 

berdasar internasional, tidakkah selalu diadakan kontak dan 

pekerjaan bersama satu sama lain, tidakkah tiap-tiap tahun 

diadakan Kongres Sosialis Interriasional di tempat berganti-

ganti? Maka pergerakan wanita tingkat ketiga inipun segera 

mengadakan gabungan internasional yang demikian itu. 

 

Clara Zetkin; -“ibu cesar” dibandingkan  pergerakan proletar 

sedunia-, mengambil inisiatifnya. Olehnya didirikan “Kongres 

Wanita Internasional”. Mula-mula di Stuttgart 1907; lalu  

di Kopenhagen 1910. Utusan-utusan wanita dari Jermania, 

dari Inggeris, dari Austria, dari Perancis, dari Belgia, dari Swis, 

dari Halla, dari Swedia, dari Norwegia, dari Finlandia, dari 

Bohemia, dari Estlandia dan dari Belanda datang berkumpul 

di Stuttgart itu. Clara Zetkin dan Adelheid Popp mengucapkan 

pidato-pidato yang hebat dan teoretis prinsipiil, yang menjadi 

sendinya resolusi yang berikut: “Kongres menyambut dengan 

kegembiraan yang besar konferensi wanita internasional yang 

pertama, dan menyatakan setuju dengan pendapatnya tentang 

hak pemilihan bagi wanita. Partai-partai sosialis dari semua 

negeri wajib berjoang dengan giat untuk adanya hak pemilihan 

bagi wanita itu ... Kongres mengakui, bahwa ia tidak dapat 

menentukan satu waktu yang pasti bagi sesuatu negeri, buat 

mengadakan gerakan hak pemilihan itu. namun  ia 

menyatakan, bahwa jika gerakan yang demikian itu diadakan 

di sesuatu negeri, maka gerakan itu harus mutlak dijalankan 

di atas dasar perjoangan sosialistis, artinya -buat menuntut 

hak pemilihim umum bagi laki-laki dan wanita ”. 

 

Dengan ini, maka datanglah periode baru bagi pergerakan 

wanita tingkat ketiga. Kini ia bukan lagi pergerakan wanita di 

beberapa negeri yang organisatoris terpisah satu sama lain, 

kini ia telah menjadi satu organisasi internasional, yang 

186 

 

dipimpin dari satu pusat. Clara Zetkin duduk dalam pusat itu, 

dan “Die Gleichheit” menjadi terompet internasional. Clara 

Zetkin pula yang di dalam Kongres Wanita Internasional ke-2, 

di Kopenhagen 1910, menganjurkan adanya Hari Wanita 

Internasional buat hak Pemilihan yang maksudnya ialah 

bahwa pada tiap-tiap tahun, di tiap-tiap negeri, di tiap-tiap 

kota besar, pada hari yang telah ditentukan itu serempak 

diadakan demonstrasi-demonstrasi besar-besaran untuk 

menuntut hak perwakilan wanita. Di Berlin 1911, hari-wanita 

internasional itu menjadi satu demonstrasi besar yang maha 

hebat. Tidak mengherankan! Sebab Berlin yaitu  kota  

milyunan, dan Berlin yaitu  kotanya Clara Zetkin, Rosa 

Luxemburg, Louise Zietz, Kiithe Duncker, dan lain-lain 

kampiun wanita lagi! Pengetahuan mereka, ketangkasan 

mereka, kedinamisan mereka, keberanian mereka, keuletan 

mereka, dan terutama sekali kecakapan organisatoris mereka, 

tidak kalah dengan gembong-gembong pemimpin laki-laki. 

Manakala nama-nama August Bebel, Wilhelm Liebknecht, 

Jean Jaures, Junes Guesde, Karl Kautsky, Wladimir Iliitsch 

Lenin disebut orang dengan hormat dan kagum di dunia 

internasional, maka nama-nama pemimpin wanita yang saya 

sebutkan di muka tadi pun disebut orang dengan kagum di 

dunia internasional. Belum pernah pergerakan politik wanita 

(juga tidak pergerakan feminis) memiliki  bintang-bintang 

pemimpin sebagai pergerakan tingkat ketiga di dalam periode 

yang saya ceritakan ini. Dan bintang-bintang ini bukan saja 

memimpin golongan dalam bangsanya sendiri serta di 

negerinya sendiri, mereka juga selalu pergi ke sana-sini 

memimpin wanita jelata di berpuluh-puluh negara. Mereka 

yaitu  pemimpin-pemimpin di atas gelanggang internasional, 

dengan pengaruh internasional, nama inter-nasional, 

kemasyhuran intenasional. Terutama sekali bilamana 

diadakan Kongres-Kongres Internasional atau Hari-Hari 

Wanita Internasional, maka udara politik di seluruh Eropa 

menggeletar dengan suara mereka, nama mereka dicetak 

dengan aksara besar di surat-surat kabar dari London sampai 

ke Petersburg.  

 

Sudah saya sebutkan buat Jermania saja nama-nama Clara 

Zetkin, Rosa Luxemburg, Louise Zietz, Emma Ihrer dan 

Kathe Duncker, maka di angkasa Austria cemerlanglah 

187 

 

bintangnya Adelheid Popp, Therese Schlesinger dan Emmy 

Freutldlich, di angkasa Italia bintang Anna Kulishoff, 

Angelica Balabanoff, di angkasa negeri-negeri Skandinavia 

bintang Margaretha Strom, Kata Delstrom, Nina Bang, di 

angkasa Finlandia bintang Hilja Parsinnen, di angkasa 

Inggeris bintang Dora Montefiore dan Margaret Bondfield, di 

angkasa Rusia bintang Vera Figner, Vera Sassulitsch, 

Alexandra Kollontay, Nadeshda Krupskaya dan Katharina 

Brechkofskaya, di angkasa negeri Belanda bintang Henriette 

Roland Holst-van der Schalk. 

 

Di bawah pimpinan mereka ini, kesedaran kaum wanita jelata 

menjadilah kesedaran yang begitu prinsipiil, begitu radikal, 

sehingga dari fihak pemimpin laki-laki sosialis sendiri (yang 

reformistis) kadang-kadang terdengar suara yang khawatir 

kalau-kalau radikalisme wanita itu nanti merugikan kepada 

keselamatan partai. Demikian suara Scheidemann di 

Jermania, demikian suara Plechanov di Rusia, demikian suara 

Troelstra di negeri Belanda. namun  pemimpin-pemimpin laki-

laki ini lupa, bahwa wanita itu, yang di dalam perjoangannya 

tidak mengenal tuntutan-tuntutan kecil reformistis yang 

mengenai hal-hal sehari-hari sepertinya urusan pajak atau 

urusan rumah sakit buruh, namun  hanya mengenal urusan 

besar, yakni hendak merobah  anggapan kolot yang telah 

berurat-berakar ratusan tahun, tidak boleh tidak mesti 

berfikir dan bertindak prinsipiil dan radikal, mesti berjiwa 

prinsipiil dan radikal! 

 

Bagaimana juga, tidak dapat dimungkiri, bahwa misalnya 

hasil besar yang dicapai dalam kampanye pemilihan tahun 

1912 yang dapat merebut 110 kursi Reichstag itu, buat 

sebagian yang tidak kecil ialah sebab  bantuannya kaum 

wanita. Dan oleh sebab  itu, tidak mengherankan juga, bahwa 

kaum wanita itu selalu memperingatkan kepada kaum laki-

laki, kadang-kadang mengeritik pedas kepada kaum laki-laki, 

supaya mereka jangan menyimpang sedikit pun dari jalan 

yang prinsipiil, namun  hendak-nya lebih tegas, lebih keras, 

lebih tandas, lebih mutlak menuntut hak pemilihan umum 

bagi wanita. 

 

188 

 

Ya, kemenangan-kemenangan memang kadang-kadang 

membuat semangat menjadi “puas” dan lantas menjadi 

kendor. Kita sering melihat di dalam sejarah perjoangan 

partai-partai, bahwa partai-partai yang tadinya sengit dan 

radikal, sesudah mendapat kedudukan kuat dalam parlemen, 

lantas “melempem”, lantas kurang prinsipill dan kurang 

radikal. Demikianlah misal-nya dengan S.D.A.P. di negeri 

Belanda, dan S.P.D. di Jermania. S.D.A.P. yang masih kecil, 

berlipat-lipat ganda radikalnya dari-pada S.D.A.P. yang 

menguasai seperempat parlemen. Dulu S.P.D. hebat jiwanya 

dan berkobar-kobar semangatnya, dulu ia berjoang dengan 

idealisme yang berseri-seri, namun  sesudah ia dalam tahun 

1912 dapat merebut kursi 110 di dalam Reichstag (dengan 

bantuan wanita!), maka ia mulai menjadi “puas”. Penyakit 

kemelempeman menjangkit kepadanya, kuman-kuman 

kelemahan batin masuk dalam tubuhnya dengan berangsur-

angsur. 

 

Pada permulaan tahun 1914, Rosa Luxemburg dengan 

ketajaman otaknya yang luar biasa itu telah meramalkan, 

bahwa tidak lama lagi niscaya akan pecah peperangan dunia 

yang maha dahsyat, dan bahwa partai buruh Jermania, 

sebab  telah terjangkit penyakit kelemahan batin, 

kemelempeman, reformisme, oportunisme, posibilisme, dsb. 

niscaya akan pecah berantakan dalam peperangan itu. 

Alangkah tepatnya ramalan Rosa Luxemburg, pemimpin 

wanita itu! Sebagai angin prahara yang mengamuk, sebagai 

taufan badai yang maha dahsyat, benar-benar datanglah 

peperangan dunia itu dalam bulan Agustus 1914, dan benar-

benar juga terpecah-belah berantakanlah partai sosialis 

Jermania, sebagai satu partai yang tak tahan uji! Sebagian 

besar dari anggota-anggotanya mengkhianati ideologinya yang 

sediakala, dan mengamini saja ucapan-ucapan fihak 

reaksioner yang menyetujui dan menyokong peperangan itu. 

Hanya satu bagian kecil saja tetap berpendirian prinsipiil 

dengan tidak mau membenarkan dan tidak mau memberi 

bantuan kepada peperangan imperialistis itu. Bagian yang 

tersebut belakangan ini memisahkan diri dari partai; mereka 

ada yang mendirikan partai baru yang bernama U.S.P.D., dan 

ada yang masuk dalam barisan satu partai baru yang lain 

pula, yang bernama Spartakusbund. 

189 

 

 

Dan kaum wanita? Alangkah sulitnya kedudukan pergerakan 

wanita dalam taufan prahara peperangan itu! Keadaan 

bahaya, keadaan dalam masa perang, dengan sekaligus 

menghentikan kegiatan terbuka dibandingkan  aksi hak pemilihan, 

dan perhubungan internasional yang dipeliharanya sejak 

tahun 1907 itu boleh dikatakan menjadi terputus sama sekali. 

Meskipun Clara Zetkin dengan keberanian yang amat besar 

bekerja bagaimana juga kerasnya, supaya dengan jalan 

majalah “Die Gleichheit” perhubungan internasional tetap 

terpelihara sedapat mungkin, maka kesulitan-kesulitan yang 

dihadapinya sering sekali tak dapat dikalahkan. Hanya 

semangat dan keyakinan -hanya hati- dapat tetap terpelihara 

di dalam lingkungan yang dapat dicapai oleh Die Gleichheit 

itu. Kaum laki-laki Jermania sebagian besar menjadi mabuk 

peperangan, kaum sosialis Jermania pun sebagian besar 

menyetujui anggaran belanja peperangan, namun  kaum wanita 

jelata, dengan Clara Zetkin dan Rosa Luxemburg sebagai 

pemuka-pemukanya, tetap setia kepada pendirian prinsipiil 

yang semula-mula; peperangan ini yaitu  kapitalisme, 

kapitalisme yaitu  peperangan. Khianat kepada sosialisme, 

siapa yang menyetujui peperangan ini! 

 

Dan bukan saja mereka tidak menyetujui peperangan 1914-

1918 yang imperialistis itu. Dengan macam-macam jalan, 

mereka juga menyelundupi keadaan dalam masa perang itu, 

menjalankan aksi rahasia menentang peperangan, menentang 

kemabukan yang mengorbankan persaudaraan proletar 

interna-sional kepada kepentingan kaum kapitalis dan 

imperialis. Dan di dalam aksi menentang peperangan dan 

kemabukan peperangan itu, maka tak lupa pula tetap 

menyalakan obor tuntutan hak pemilihan! Die Gleichheit 

terus-menerus mereka terbitkan, terus-menerus mereka 

kirimkan ke segala pelosok di mana dapat. namun  alangkah 

besarnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, alangkah 

sempitnya kemungkinan-kemungkinan yang masih terbuka! 

Sensur amat keras, perkabaran-perkabaran dari koresponden-

korespondennya banyak sekali yang ditahan, nomor-nomor 

yang telah siap tercetak kadang-kadang dibeslah oleh militer 

sebelum dapat disiarkan. Dan sebagai puncak dari semua 

kesulitan wanita ini, pada permulaan tahun 1917 Clara Zetkin 

190 

 

dilepas sebagai redaktrise Die Gleichheit. Sebab, Die 

Gleichheit yaitu  miliknya S.P.D. Dan S.P.D. yaitu  pro 

peperangan; dan Clara Zetkin sudah keluar dari S.P.D. dan 

anti peperangan; dus tak layak dia tetap mengemudikan Die 

Gleichheit! 

 

namun  Clara Zetkin tidak lantas memangku tangan. Permulaan 

tahun 1917 ia kehilangan Die Gleichheit, Juni 1917 ia telah 

muncul lagi di dalam “lembaran wanita” dibandingkan  surat kabar 

Leipziger Volkszeitung. Di sini ia meneruskan propa-gandanya 

buat sosialisme dan hak perwakilan wanita. Dan di sini pun ia 

tetap setia kepada azas, tetap prinsipiil, tetap radikal. Di sini 

ia tetap melawan faham-faham yang menyimpang, faham-

faham yang “nyeleweng”, seperti misalnya faham Dr. Quark 

dari S.P.D., yang menganjurkan supaya wanita jelata dalam 

aksinya mengejar hak perwakilan bekerja bersama-sama 

dengan kaum feminis. Bagaimana dapat bekerja bersama-

sama dengan kaum feminis, demikianlah Clara Zetkin, kalau 

dasarnya, azasnya aksi hak pemilihan wanita jelata dan aksi 

hak pemilihan feminis bertentangan satu sama lain? Kaum 

feminis menuntut hak pemilihan buat kelasnya. Mereka 

menuntut hak pemilihan itu supaya kelasnya bertambah 

kursinya di dalam parlemen, bertambah kuat di dalam 

parlemen, untuk menentang aksi kaum proletar yang makin 

lama makin mendesak. Bekerja bersama-sama dengan kaum 

feminis, berarti memperkuat kedudukan musuh yang hendak 

menikam dada kita sendiri. 

 

Ya, alangkah telah melempemnya partai sosialis Jermania 

diwaktu itu! Sehingga pun pada waktu pemerintah Kaisar 

telah ambruk dalam bulan Nopember 1918, pada waktu 

Wilhelm telah lari ke negeri Belanda, pada waktu “Revolusi 

Weimar” telah berhasil, dan pemerintahan telah jatuh ke 

dalam tangannya sosialis-sosialis tua, dibantu dengan tenaga 

beberapa pemimpin borjuis, -sehingga pun pada waktu 

sosialis-sosialis ini telah memegang tampuk pimpinan 

pemerintahan, mereka masih saja ragu-ragu mengizinkan 

adanya hak perwakilan wanita yang leluasa. Momok 

radikalisme wanita, momok keprinsipiilan wanita yang ditakuti 

oleh Scheidemann itu, rupanya ditakuti pula oleh sebagian 

191 

 

besar dibandingkan  sosialis-sosialis tua yang kini duduk di kursi 

pemerintahan. 

 

namun  kawan-kawan yang setia kepada pendirian semula, 

tidak tinggal diam. Mereka mendesak kepada pemerintah 

supaya mereka dibawa serta di dalam pemerintah itu. 

Akhirnya kaum tua itu tak tahan lagi menentangnya. 

Beberapa pemimpin U.S.P.D. dimasukkan dalam kementerian. 

Dan dengan ini, hak perwakilan umum bagi wanita -goal! 

Semua wanita Jerman, asal saja sudah umur 20 tahun, tidak 

perduli kaya atau miskin, tidak perduli tua atau muda, tidak 

perduli terpelajar atau tidak, boleh memilih dan dipilih untuk 

parlemen atau dewan haminte. Semua wanita Jerman mulai 

umur 20 tahun sejak itu memiliki  hak pemilihan umum, 

aktif dan pasif. Perjoangan yang berpuluh-puluh tahun, 

kegiatan yang tak putus-putus, keuletan dalam penderitaan 

yang tak berhenti-henti, kesetiaan pada ideologi yang tak 

mengenal reformisme, akhirnya mencapai kemenangan yang 

gilang-gemilang! ... 

 

Kemenangan mencapai hak pemilihan. Belum kemenangan 

dalam segala tujuan! Sebab sedari mulanya telah difahami 

oleh wanita-wanita gemblengan ini, bahwa hak pemilihan itu 

bukan tujuan yang terakhir, melainkan hanya salah satu 

alat perjoangan belaka untuk mencapai tujuan yang lebih 

tinggi, yakni sosialisme. Dan alat perjoangan inipun kelak 

akan dirampas lagi dari tangannya wanita jelata oleh Hitler, -

cakrawarti Jermania yang memerintah dengan cambuk dan 

konsentrasi kamp, yang tidak mau tahu kepada hak pemilihan 

apapun juga, tidak buat wanita. Yang memandang wanita 

hanya dari sudut keisterian dan keibuan saja, dan 

mengguntur mengenyahkan mereka itu dari lapangan politik 

dan kewarga an, dan meransel mereka itu kembali ke 

alam Kirche, Kiirche, Kleider, Kinder! ... 

 

Dan di dalam limabelas tahun, antara tercapainya hak 

pemilihan dan berkuasanya Hitler itu, di dalam limabelas 

tahun persamaan hak politik dengan laki-laki itu, mereka 

mendapat buktinya kebenaran yang memang selalu menjadi 

keyakinan mereka dari tadinya -yaitu, bahwa persamaan hak 

dengan laki-laki, belum berarti kebahagiaan sosial yang 

192 

 

sempurna. Masih saja penderitaan menjalar. Masih saja 

kemiskinan bersemayam di rumah-rumah tangga. Masih saja 

persundalan bercabul. Masih saja pengang-guran merajalela. 

Masih saja jalan-jalan penuh dengan pengemis wanita. Masih 

saja wanita yang pulang dari kerja di paberik dan telah seperti 

remuk badan itu, di rumah terpaksa lagi membanting-tulang 

buat suami dan anak. Masih saja ia tak dapat dengan bahagia 

menjalankan dharma Cinta dan dharma Keibuan. Masih saja 

jiwanya menderita “scheur”, menderita “retak”...  

 

Di dalam limabelas tahun praktek hak pemilihan itu, mereka 

mendapat pula pelajaran “praktek Sekolah Hidup”, bahwa 

persamaan hak dengan laki-laki itu tidak mampu 

memecahkan soal-soal hidup wanita sampai keakar-akarnya, 

kalau tidak dibarengi dengan perobahan sama sekali dibandingkan  

susunan warga  yang sekarang. 

 

Terutama sekali di Jermania sesudah peperangan 1914-1918 

itu, alangkah kejamnya hantu realitasnya hidup! Kemiskinan 

makin hari makin bertambah. Angka-angka pengangguran 

menaik, membubung ke udara. Persundalan bagi ribuan 

wanita menjadi satu-satunya jalan untuk mencari sepotong 

roti. Kapitalisme yang tadinya seperti telah terhantam remuk 

oleh palu godam peperangan, lambat-laun bangun kembali, 

dan malahan akhirnya mengadakan “pembelaan diri yang 

penghabisan”, dengan diktatur fascisme Hitler yang seseram-

seramnya. Dan di dalam kekejaman realitas hidup ini, -wanita 

lah jang paling menderita ...  

 

Alangkah benarnya perkataan Henriette Roland Holst yang 

telah saya sitir di muka tadi, namun  yang akan saya sitir di sini 

sekali lagi, agar lebih dicamkan lagi dengan sungguh-sungguh 

oleh para pembaca: “Geef de vrouw het kiesrecht, schaf alle 

wetteljke bepalingen af die haar bij den man achter stellen 

en in haar vrijheid belemmeren, open voor haar de toegang 

tot alle beroepen en bedrijven, maak haar opleidingen 

opvoeding gelijk aan die van den man, zodat zij zoveel 

mogelijk gelijke kansen heeft, zult gij daarmede het lot van 

de millioenen arbeidsters in loondienst verbeteren, zult gij 

deze opheffen uit de proletarische ellende, zult gij de 

ongezonde, sleeht betaalde huis industrie waarin andere 

193 

 

millioenen zwoegen en sloven, uit de wereld helpen, zult 

gij het raadseloplossen van de sfinx der prostitutie? Neen, 

dat alles zult gij niet! Al dit vrouwelijden zit vast aan de 

burgerlijke maatschappijvorm, aan het kapitalistisch 

stelsel van voort-brenging”. Salinannya pun saya berikan 

lagi: “Berilah kepada wanita hak pemilihan, hapuskan 

semua aturan-aturan yang membelakangkan mereka dari 

laki-laki dan merintang-rintangi kemerdekaannya, bukakan 

pintu bagi mereka kepada semua jawatan dan perusahaan, 

buatkan pendidikannya jadi sederajat dengan pendidikan 

laki-laki sehingga mereka mendapat kesempatan yang 

sama luasnya, -apakah Tuan dengan itu akan dapat 

memperbaiki nasib kaum buruh wanita upahan yang 

berjuta-juta itu, akan dapat mengangkat mereka dari 

kesengsaraan proletar, -akan dapat membasmi industri -di 

rumah yang tidak sehat dan rendah- upah itu yang di 

dalamnya berkeluh-kesah pula miliun-miliunan wanita lain, 

-akan dapat memecahkan rahasia hantu persundalan? 

Tidak, Tuan tidak akan dapat semua itu! Semua 

kesengsaraan wanita ini yaitu  terikat kepada bentuk 

warga  yang burgerlijk, kepada cara produksi yang 

sistimnya kapitalistis!” 

 

Demikianlah memang, yang juga selalu diajarkan dan 

diperingatkan oleh Clara Zetkin, oleh Rosa Luxemburg dan 

pemimpin-pemimpin wanita sosialis lain, kepada semua 

wanita yang menghendaki perbaikan keadaan. Hak pemilihan 

hanyalah satu fase perjoangan saja. Dan memang Clara 

Zetkin, Rosa Luxemburg, beserta pengikut-pengikutnya yang 

berjuta-juta itupun, tidak lantas diam, tidak lantas berhenti 

berjoang sesudah hak pemilihan tercapai, -mereka malah 

mempergunakan hak pemilihan itu untuk memperhebatkan 

perjoangannya menjadi perjoangan yang lebih besar, yaitu 

perjoangan menggempur kapitalisme, mendatangkan susunan 

warga  baru yang lebih adil. 

 

Di dalam perjoangan yang lebih besar inilah Rosa Luxemburg 

menemui ajalnya. Bersama dengan kawannya Karl Liebknecht, 

pada tanggal 15 Januari 1919, ia dibunub oleh musuh. Pada 

saat itu ia berusia 49 tahun, sedang kuat-kuatnya dan sedang 

tangkas-tangkasnya. Ia mati sebagai satu Srikandi kaum 

194 

 

wanita, namun  juga sebagai pahlawan ulung dibandingkan  segenap 

pergerakan sosialis, -sebagai singa betina Revolusi Sosial, yang 

raungnya terdengar dari ujung dunia yang satu sampai ke 

ujung dunia yang lain. la yaitu  Olympe de Gouges-nya abad 

keduapuluh, -teoretis malah lebih besar dari singa betina 

Revolusi Perancis itu. Banyak pemimpin-pemimpin laki-laki 

sosialis memandang dia sebagai gurunya. Henriette Roland 

Holst menulis satu kitab yang menceritakan tarikh hidupnya, 

sebagai satu tanda hormat kepadanya. “Ware Rosa Luxemburg 

in India geboren, haar volk zou haar een mahatmaya, een grote 

ziel, genoemd hebben”. -“Umpama Rosa Luxemburg dilahirkan 

di India, niscayalah rakyatnya menamakan dia seorang mahat 

maya, seorang yang berjiwa besar”. Di dalam gambaran satu 

kalimat ini saja, tampaklah kebesarannya Rosa Luxemburg 

itu. la bukan saja seorang pendekar yang amat dinamis, 

bukan saja seorang Srikandi yang tak kenal takut, ia pun 

seorang teoretikus yang amat ulung. Teori-teorinya, -terutama 

sekali “spontani-teits-theorie” dan “verstikkings-theorie”-, 

menggemparkan seluruh dunia teori sosialisme. Bukan orang 

lain, melainkan Lenin sendiri, meladeni teori Luxemburg itu, 

sebab  dianggap-nya tidak benar. (Di dalam dunia sosialisme 

sering ada perbantahan yang demikian itu, tanda hasrat akan 

ilmu pengetahuan). namun  lebih-lebih lagi, Rosa Luxemburg 

yaitu  seorang manusia sosial dalam arti yang sebaik-

baiknya, seorang manusia yang selalu memikirkan sesama 

manusia yang lain, dan selalu sedia menderita buat sesama 

manusia yang lain. Seorang wanita yang berhati besar, yang di 

dalamnya ada tempat buat cinta kepada seluruh 

kemanusiaan. Kaum buruh seluruh dunia dan kaum wanita 

seluruh dunia, pantas menghormat asmanya pemuka wanita 

ini, yang jatuh di padang kehormatan. 

 

Nama Clara Zetkin pun pantas kita hormati setinggi-tingginya. 

Bukan hanya buat berkata-kata, kalau orang menamakan dia 

“Ibu Revolusi Proletar”. Sampai kepada mengamuknya Hitler 

di Jermania, tatkala semua partai kaum buruh dibubarkan, 

majalah-majalahnya dan surat kabarnya dilarang terbit, 

pemimpin-pemimpinnya yang dapat ditangkap dilemparkan 

dalam konsentrasi kamp atau didrel mati mentah-mentahan, 

partai-partai lain di-anschluss, ia masih terus berjoang untuk 

kepentingan sosial-isme. Salah satu sidang Reichstag merdeka 

195 

 

yang terakhir, dialah yang membukanya: pada waktu itu ia 

telah berusia 80 tahun, satu usia yang manusia biasa 

kebanyakannya sudah rapuh dan sudah tiada tenaga 

semangat. Di dalam pidato pembukaannya, lbu Revolusi ini 

menghantamkan serangannya kepada kaum Nazi. Atas 

anjuran kawan-kawannya, ia melolos-kan diri dari Jermania 

ke Rusia, agar tidak menjadi mangsa kezaliman Hitler. 

Akhirnya, ia dipanggil pulang kerakhmatullah, dalam usia 

yang amat tinggi. 

 

Demikianlah pergerakan wanita tingkat ketiga di Jermania. 

Bagaimana di negeri-negeri lain? Saya kira tidak begitu perlu 

saya ceritakan pergerakan tingkat ketiga di negeri-negeri lain 

itu satu-persatu. Yang perlu bagi pembaca hanyalah 

mengetahui garisnya tingkat ketiga ini. Sebagai rempah-

rempah akan saya berikan saja nanti beberapa ucapan-

ucapan pemimpin-wanita tingkat ketiga ini yang ulung-ulung 

dari beberapa negeri. Tentang “sejarahnya” cukuplah yang dari 

Jermania saja menjadi contoh. Memang sebagai tadi telah 

saya katakan: pergerakan di Jermania itu dulu yaitu  satu 

“model” bagi pergerakan-pergerakan di negeri lain. Memang di 

Jermania organisasinya paling sempurna, pengalasan teorinya 

paling mendalam, sepak-terjangnya paling tangkas. Negeri-

negeri yang lain selalu memandangkan matanya kepada 

Jermania itu. 

 

Siapa yang ingin mengetahui lebih banyak tentang pergerakan 

wanita tingkat ketiga di negeri-negeri lain, haraplah 

mentelaahnya sendiri dalam perpustakaan sosialisme yang 

bergudang-gudang. Terutama bagi Rusia Baru saya minta 

perhatian istimewa, oleh sebab  kedudukan Rusia dalam soal-

wanita  memang satu kedudukan yang istimewa. Rusia, 

yang belum lama yang lalu wanitanya masih bodoh, miliunan 

tak dapat membaca dan menulis, miliunan hidup dalam 

tahyul yang mendirikan bulu, yang puluhan miliun rakyat 

wanitanya yang berbangsa Asia dulu belum pernah mendapat 

sinar kemodernan sedikit pun juga, belum pernah mencapai 

tingkat yang lebih tinggi dibandingkan  tingkat ternak dan tingkat 

benda, belum pernah merasakan diri terlepas dari ekses-ekses 

patriarchat. Rusia itu telah berhasil memetik buah yang amat 

banyak di lapangan memperbaiki kedudukan wanita. Fasal 

196 

 

122 dibandingkan  undang-undang dasar Sovjet Rusia memberi 

hak-hak sepenuhnya kepada wanita. Bagaimanakah cara 

sepak terjang Rusia untuk mengangkat wanita-wanitanya itu? 

Sempitnya halaman risalah ini tidak memungkinkan saya 

menceritakan tentang hal itu panjang lebar, namun  biarlah 

pembaca membaca misalnya dua kitab Fannina W. Halle “De 

Vrouw in Sovjet Rusland” dan “De Vrouw uit het Sovjet-

Oosten”. Terutama sekali “De Vrouw uit het Sovjet-Oosten” itu 

memberi pengertian yang mengagumkan kepada. kita, betapa 

hebatnya pekerjaan yang telah dijalankan di Rusia Timur 

untuk membanteras ekses-ekses patriarchat dan mengangkat 

kedudukan wanita yang tadinya benar-benar masih amat 

rendah sekali, ketingkatan yang lebih tinggi. 

 

Sungguh sayang saya tak dapat menceritakan lebih panjang 

lebar tentang usaha di Rusia itu. namun  “teori” pergerakan 

wanita tingkat ketiga, -di Jermania lah terutama asal mula 

tem-patnya. Teori itulah yang saya berikan kepada pembaca. 

Rusia yaitu  terutama sekali tempat usaha. Usaha di sana 

memang hebat, dan ... betapa mengharukan hati kita kadang-

kadang! Siapakah tidak pernah mendengar tentang 

penderitaan Maria Spiridonova, atau penderitaan Vera Figner? 

Dan usaha-usaha di negeri-negeri lain pun saya tak dapat 

ceritakan kepada pembaca. Nasehat saya kepada pembaca 

cuma satu: bacalah, carilah buku-buku, bacalah sebanyak-

banyak mungkin, untuk menambah pengetahuan! 

 

Sekarang, marilah saya bubuhkan beberapa ucapan-ucapan 

pemimpin-pemimpin wanita, untuk menjadi sekedar bunga-

rampai dalam kitab ini. Dengarkanlah kritikan pedas yang 

keluar dari mulut Emilia Marabini di Roma terhadap kepada 

pemimpin-pemimpin sosialis laki-laki, yang dalam teori 

memeluk sosialisme, namun  dalam prakteknya masih bersikap 

kolot terhadap kepada wanita: “Menggelikan hanyalah mereka, 

yang dengan mulutnya mengatakan begini, dengan 

perbuatannya berbuat begitu. Menggelikan hanyalah mereka, 

yang membela sosialisme dengan banyak kata-kata dalam 

rapat-rapat, namun  yang menentangnya di dalam peri-

kehidupan sehari-hari, oleh sebab  mereka menjauhkan 

begitu banyak tenaga-tenaga yang baik dari propaganda. 

Menggelikan hanyalah mereka, yang berjoang dalam barisan-


 

barisan kaum sosialis, namun  yang sebab  oportunisme yang 

salah, melupakan keyakinannya terhadap kepada kaum 

wanita. Menggelikan, ya lebih jahat dari menggelikan, yaitu  

mereka, yang meskipun mereka tadinya datang 

menggabungkan diri dengan kita untuk menentang 

penindasan, toh di dalam batinnya sendiri belum meniadakan 

nafsu untuk menindas kaum wanita.” 

 

Anna Kulishoff, pemuka wanita Italia yang lain, cantik dan 

tangkas, terkenal dalam kongres-kongres internasional, tajam 

fikiran dan setia kepada keyakinan, di dalam satu tulisan 

menganjurkan kepada kaum wanita supaya percaya kepada 

diri sendiri: “Janganlah mendengarkan omongan orang, yang 

mengatakan bahwa Tuan tidak cakap dan tidak bersedia buat 

perjoangan politik. Belum pernah ada orang belajar sesuatu 

hal dengan tidak bekerja. Orang tak dapat belajar berenang 

dengan tidak terjun ke dalam air. Orang tak dapat belajar 

menjahit, jika orang tidak mulai mengambil jarum di dalam 

tangannya. Kaum proletar laki-laki pun tadinya tak cakap dan 

tak bersedia. Hanya dengan latihan orang dapat memperoleh 

kecakapan-kecakapan”.  

 

sebab  tulisan ini, Anna Kulishoff mendapat hukuman dua 

tahun penjara! Ia dianggap berbahaya buat keamanan negara 

... 

 

Di bawah ini saya cantumkan ucapan Maria Spiridonova 

yang mengharukan. Ia bukan sosialis tulen, namun  salah 

seorang pemuka dari partai sosial revolusioner di Rusia. 

Puluhan tahun ia meringkuk dalam penjara, dibuang dari satu 

tempat ke tempat lain, sering menghadapi maut oleh sebab  

disiksa, atau oleh sebab  di dalam selnya penjara penyakit 

batuk darah menyerang dia dengan hebatnya. namun  ia tak 

pernah goyang keyakinan, tak pernah mengaduh, tak pernah 

takut. Sesudah revolusi 1917 berhasil, dimerdekakanlah ia, 

dan di dalam pidato untuk menyambut pangayubagia ia 

berkata: “Satu kebahagiaan yang besar, satu kesenangan yang 

meresap ke dalam jiwa, ialah mengabdi kepada rakyat, yang 

demikian lamanya, bertahun-tahun seperti tiada hingga, 

tersiksa di bawah telapak perbudakan. Pujian Tuan saya 

terima dengan segala rasa kekecilan diri, dan saya 


 

bawakannya kepada azas-azas yang kita abdii, azas-azas 

perjoangan buat kaum pekerja dan buat persaudaraan 

internasiona1. Bukan untuk saya, namun  atas nama Tuan-

Tuan ... Saya dapat menderita banyak, saya tidak takut sakit 

atau kemelaratan ... Tidak tahukah Tuan-Tuan, bahwa saya 

ini termasuk golongan orang-orang yang tersenyum di kayu 

salib? Saya akan tertawa di dalam penjara. Sebab orang 

menderita buat satu cita-cita, dan cita-cita itu yaitu  begitu 

indah, begitu luhur, sehingga semua perasaan-perasaan yang 

mengenai diri sendiri lenyap oleh sebab nja.” 

 

Dan perhatikanlah ucapan pahlawan wanita Rusia yang lain, 

yang juga termasuk golongan Manusia Besar: Vera Figner. 

Sudahkah Tuan pernah membaca kitabny “Nacht over 

Rusland”? Sebagai Maria Spiridonova, ia pun berpuluh-puluh 

tahun meringkuk dalam penjara Czaar. Ia pun tak kenal 

goyang fikiran, tak kenal bimbang di dalam perjoangan. Di 

dalam satu rapat yang besar ia pernah berkata: “Kamu mau 

apa, kawan-kawanku wanita? Apakah kamu mau memandang 

pekerjaan revolusi sosial ini sebagai pekerjaan kaum laki-laki 

saja? Kamu toh juga satu bagian dari kelas buruh, yang 

membungkuk di bawah penindasan? Kamu, kaum wanita, toh 

justru yang paling menderita sebab  kemiskinan dan 

kemelaratan yang didatangkan oleh penghisapan kapitalistis 

itu? Dan kamu toh tidak menyangka, bahwa kemiskinanmu 

dan kemelaratanmu itu pekerjaan suami-suamimu? Tidak, 

baik kamu, maupun suami-suamimu, yaitu  korban dibandingkan  

sistim yang merajalela di sini telah berpuluh-puluh tahun. 

Sistim itulah harus kamu tentang, sistim itulah harus kamu 

perangi bersama-sama dengan suami-suamimu, kalau kamu 

ingin merdeka, benar-benar merdeka”. 

 

Satu tangkai bunga-rampai lagi dari Vera Sasulitsch, yang 

juga termasyhur namanya: “Kita telah berjoang berpuIuh-

puluh tahun, untuk memerdekakan peri-kemanusiaan 

dibandingkan  siksaan terbesar yang pernah mengazab dia, -yaitu 

dibandingkan  kapitalisme dengan segala macam cara-cara 

penghisapannya. Perjoangan ini selalu tumbuh, dan terus 

akan tumbuh, sampai tercapai cita-cita kita. Di dalam 

perjoangan ini, kita bersama-sama mengalami kesenangan 

dan kesedihan, namun  tidak ada kesenangan yang begitu besar 


 

sebagai yang kita alamkan beberapa tahun yang terakhir ini: 

kesenangan melihat makin banyak wanita ikut serta dalam 

barisan kaum proletar yang berjoang. Ikut sertanya wanita 

dalam perjoangan kita itu akan pasti membawa perjoangan 

kita kepada kemenangan. Sebab tidak ada satu perjoangan 

warga  dapat mencapai tujuan warga nya, selama 

tidak seluruh kelas yang menjalankan perjoangan itu ikut 

serta dalam perjoangan itu. Kerena itulah, maka pesan kita 

kepada wanita buruh yaitu  singkat dan jelas: Ketahuilah 

tujuanmu, jalankanlah perjoanganmu itu dengan ulet, 

bersatu-padulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. 

Terutama sekali: berhati beranilah! Tiada perjoangan pernah 

mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian 

hati”. 

 

Dan akhirnya, satu tangkai lagi: 

Maukah pembaca satu contoh keberanian wanita, satu contoh 

keuletan pendirian, yang tak mau goyang meski di bawah 

ancaman hukuman berat? Bacalah ucapan Sofya Bardina di 

bawah ini, yang ia ucapkan tatkala perkaranya diperiksa di 

muka hakim Czaar: “Saya tak pernah menentang hak milik 

perseorangan, saya malahan berani mengatakan bahwa saya 

membela hak milik perseorangan itu, manakala saya 

mengatakan bahwa tiap-tiap manusia berhak penuh atas 

tenaga kerjanya dan atas hasil-hasil tenaga kerjanya itu. Maka 

sekarang saya bertanya: sayakah yang merusak hak milik 

perseorangan, ataukah si majikan paberik, yang membayar 

kepada kaum buruh hanya sepertiga dari harga kerjanya dan 

mengambil keuntungan dari yang duapertiga lagi dengan tak 

membayar apa-apa? Bukanlah si spekulan yang merusak hak 

milik perseorangan, yang bermain dagang dibeurs dan 

menjerumuskan ribuan keluarga ke dalam kecelakaan, 

memperkaya diri sendiri atas kerugian mereka itu dengan 

tiada mengeluarkan keringat setetes pun juga? Kami 

memandang hak kaum buruh atas hasil tenaga kerjanya lebih 

tinggi dibandingkan  hak apapun juga ... Juga berhubung dengan 

soal keluarga, maka saya hanya dapat bertanya: bukankah 

susunan warga  yang memaksa wanita meninggalkan 

keluarganya, masuk ke dalam paberik untuk mencari upah 

yang sangat rendah, dan di sana binasa bersama dengan 

anak-anaknya, -bukankah susunan warga  yang 


 

membinasakan keluarga, sebab  ia memaksa wanita, 

terdorong oleh kemiskinan, memasuki alam persundalan, -

atau kamikah yang membinasakan keluarga itu, oleh sebab  

kami hendak membanteras kemiskinan itu, yang menjadi 

sumber semua kejahatan-kejahatan sosial? ... Bagaimana juga 

nanti nasib saya, tuan-tuan hakim, saya tahu tak akan 

mendapat ampunan, dan memang saya tidak mengingini 

ampunan itu. Tuntutlah kami terus-menerus sekehendak 

tuan-tuan saya yakin bahwa pergerakan sekuat ini -yang jelas 

dibangunkan oleh semangat masa sendiri- tak dapat ditahan 

dengan penindasan yang bagaimanapun juga. Barangkali ia 

mungkin dihambat buat sejurus waktu, namun  ia akan bangun 

kembali dengan tenaga yang lebih besar, dan demikian terus-

menerus, sampai cita-cita kami mencapai kemenangan akhir. 

Tuntutlah kami sekehendak tuan-tuan! Tuan-tuan buat 

sementara waktu menggenggam kekuasaan zahir, namun  kami 

memiliki kekuasaan batin: kekuasaannya kemajuan sejarah, 

kekuasaannya Cita-cita. Cita-cita tak dapat dimatikan dengan 

bayonet-bayonet”  

 

Sekian saja sajian bunga-bunga rampai! namun  saya tidak mau 

menutup bab ini, sebelum membuat sedikit pemandangan lagi 

yang mengenai tingkat kedua dan tingkat ketiga dibandingkan  

pergerakan wanita. 

 

Manakala saya di muka tadi sering-sering mencela pergerakan 

wanita tingkat kedua, maka itu tidak berarti bahwa saya tidak 

mengakui beberapa sifat yang baik dibandingkan nya. Kalau saya 

tinjau pergerakan feminisme itu seumumnya, maka haruslah 

saya mengatakan, bahwa ia yaitu  satu pergerakan yang 

progresif juga, -satu pergerakan yang membawa kemajuan 

dalam warga . Hal ini telah nyata. Progresif yaitu  

tuntutan hak pemilihan; sebab dulu tidak ada hak pemilihan 

wanita itu. Progresif yaitu  tuntutan hak untuk bekerja; 

sebab dulu wanita tidak boleh bekerja dalam pekerjaan di 

warga . namun  bumi pergerakan feminisme itu nyata bumi 

burgerlijk; anggota-anggotanya sebagian besar berasal dari 

kalangan burgerlijk; dan motifnya nyata motif burgerlijk pula. 

Ia telah puas dengan hak pemilihan yang terbatas, yang 

memasukkan wanita -wanita  atasan saja ke dalam 

dewan-dewan, dan tidak wanita  jelata juga. Dengan 


 

demikian, maka kaum wanita feminis memperkuat kelas 

atasan, kelas borjuis, di dalam dewan, sebagai satu imbangan 

kepada tambah kuatnya kelas proletar. Mereka tentu 

membantah hal ini sekeras-kerasnya. Malah mereka mengira 

benar-benar berjoang buat semua wanita , dan menga-

takan pula bahwa mereka berjoang dengan tidak 

memperbedakan kelas-kelas. sebab  itu pula mereka menolak 

dengan keras adanya perjoangan kelas, menolak adanya 

klassenstrijd. namun  tidak dapat dibantah, bahwa pada 

hakekatnya pergerakan feminis yaitu  pergerakan burgerlijk. 

 

Nyonya Pothuis Smit, seorang wanita sosialis Belanda yang 

amat lunak, pernah menulis: “Het was de laatste stap van de 

heerschappij der bourgeoisie, die men verlangde. De vrouwen 

van die klasse moesten ook het kiesrecht verkrijgen.” Artinya: 

“Tuntutan itu yaitu  langkah terakhir untuk memperkuat 

kekuasaan bursoasi. Wanita-wanita dari kelas itu harus 

mendapat hak pemilihan pula”. 

 

Dan Nyonya Henriette Roland Holst yang brilliant itu berkata: 

“In werkelijkheid echter is haar beweging een klassen-

beweging, wat zij wil is voornamelijk de opheffing der wetten, 

het doorbreken der tradities en de verandering der zeden, die 

de vrouwen der bezittende en heersende klassen nog juridisch, 

sociaal, economisch en politisch, bij de mannen van deze 

klassen achterstellen. Zij wil haar deel veroveren aan de 

voorrechten -materieele zowel als ideele voorrechten- van de 

mannen der bourgeoisie, wil met hen samen de wereld bezitten 

en de wereld beheerschen. Zij wil al het genot en de pracht van 

die wereld, de stoffelijke en geestelijke goederen, mede 

genieten. Zij wil, in het kort, dat aan de heerschappij en de 

uitbuiting die tot nu toe door de mannen der heerschende 

klassen gevoerd en bedreven werden, ook de vrouwen dier 

klassen zullen deelnemen”. Artinya: “Pada hakekatnya, 

pergerakan mereka itu yaitu  pergerakan kelas; yang mereka 

tuju ialah terutama sekali hapusnya hukum-hukum, 

pecahnya kebiasaan-kebiasaan dan robahnya adat-adat, yang 

di atas lapangan yuridis, sosial, ekonomis dan politis masih 

membelakangkan wanita-wanita kelas atasan dibandingkan  kaum 

laki-laki kelas itu. Mereka mau merebut bahagian mereka 

dalam hak-hak lebih kaum laki-laki bursoasi, -hak-hak lebih 


 

jasmani maupun rohani. Mereka mau ikut mengecap semua 

kenikmatan dan keindahan dunia itu, mau ikut mengecap 

semua kekayaan-kekayaan jasmani dan rohani dalam dunia 

itu. Pendek kata, mereka berkehendak, supaya kaum wanita 

kelas atasan itu ikut serta dalam kekuasaan dan penghisapan 

yang sampai sekarang dilakukan oleh kaum laki-lakinya”. 

 

Di dalam kitab riwayat hidupnya, Mr.P.J.Troelstra (pemimpin 

sosialis Belanda yang terkenal) menceritakan tentang hal 

pengalamannya dengan pergerakan kaum feminis. Pada waktu 

kaum buruh Belanda menuntut hak pemilihan umum buat 

semua laki-laki dan wanita , maka dari fihak kaum feminis 

dijumpai rintangan! Di dalam Congres voor Vrouwenkiesrecht 

29 Agustus 1898, nyonya Versluys-Poelman berkata: “Eerst 

het kiesrecht voor de vrouw, en dan pas algemeen kiesrecht”, -

yang artinya: “lebih dulu hak pemilihan bagi wanita, baru 

lalu  hak pemilihan umum”. Troelstra mengejek, bahwa 

yang dimaksudkan dengan “hak pemilihan buat wanita” itu 

sebenarnya tak lain tak bukan ialah “dameskiesrecht” 

semata-mata! Seruan nyonya Versluijs-Poelman itu 

dinamakannya satu seruan yang keluar dari hati kecil kaum 

feminis sebagai bagian dari bursoasi. Seruan itu ialah keluar 

dari “het streven der vrouw uit de bourgeoisie om zich de 

rechten en voorrechten harer klasse te veroveren”, artinya: 

keluar dari “ikhtiarnya wanita borjuasi untuk ikut memiliki 

hak-hak dan hak-hak lebih dibandingkan  kelasnya”. 

 

Maka oleh sebab  gerakan wanita tingkat kedua dan tingkat 

ketiga itu datangnya dari dua alam, tumbuhnya dari dua jiwa, 

sumbernya dari dua kepentingan yang bertentangan satu 

sama lain, maka fihak tingkat ketiga selalu secara prinsipiil 

menolak bekerja bersama-sama dengan fihak feminis. Benar 

ada beberapa persamaan, benar ada beberapa titik 

persentuhan antara kedua aliran itu, namun  perbedaan-

perbedaannya yaitu  begitu besar, sehingga dua pergerakan 

ini tak mungkin bersatu menjadi gelombang yang tak terpisah 

ataupun sebagai dua gelombang yang sesuai jalannya. 

 

Di dalam Konferensi Wanita Internasional di Stuttgart 1907, 

yang sudah saya ceritakan di muka tadi, ditetapkan penolakan 

bekerja bersama-sama dengan wanita atasan itu dalam 


 

kalimat resolusi yang berikut: “Wanita-wanita sosialis harus 

menjalankan perjoangan untuk hak ini (hak pemilihan) tidak 

bersama-sama dengan wanita-wanita borjuis, namun  bersama-

sama dengan partai-partai sosialis”. 

 

Di dalam Kongres di Gotha 1896, sebenarnya penolakan ini 

telah amat terang dan tegas: “Sebagai perajurit dalam 

perjoangan kelas, wanita proletar itu sama saja butuhnya 

kepada persamaan hak yuridis dan politis dengan laki-laki, 

seperti wanita dari golongan pertengahan dan dari golongan 

intelek borjuis. Sebagai pekerja yang berdiri sendiri, dia juga 

sama saja butuhnya kepada hak untuk menguasai 

penghasilan sendiri dan diri sendiri, seperti wanita dari 

golongan bursoasi. namun  kendati adanya persamaan di atas 

lapangan tuntutan-tuntutan yuridis dan politis itu, maka 

wanita proletar itu di atas lapangan kepentingan ekonomi yang 

besar-besar sama sekali tidak ada persesuaian dengan wanita-

wanita dari kelas-kelas lain. Oleh sebab  itu, maka usaha me-

merdekakan wanita proletar itu tidak mungkin pekerjaan 

wanita-wanita dari semua kelas, namun  hanyalah pekerjaannya 

kaum proletar seluruhnya, dengan tiada membeda-bedakan 

wanita  atau laki-laki”. 

 

Dus: menolak pekerjaan bersama dengan kaum feminis secara 

prinsipiil. Apakah ini berarti, bahwa tidak ada faedahnya 

mencoba mempengaruhi kaum feminis itu? Sudah barang 

tentu ada faedah itu. Terutama sekali di negeri-negeri, di 

mana pergerakan feminis telah cukup kuat untuk 

menjalankan pengaruh yang tidak baik di atas massa, maka 

ikhtiar mempengaruhi itu yaitu  perlu. Di negeri-negeri yang 

demikian itu misalnya yaitu  berfaedah untuk mempengaruhi 

kaum feminis, sedapat mungkin, supaya tuntutannya hak 

perwakilan yang terbatas itu dirobah menjadi tuntutan hak 

perwakilan umum. Sebab, tidakkah sejarah menjadi kitab 

pelajaran bagi rakyat jelata pula? Di dalam sejarah itu 

senantiasa terbukti, bahwa massa selalu dipakai, diambil 

tenaganya, diperkudakan oleh kelas-kelas lain yang berjoang 

untuk keperluannya sendiri. Di dalam Revolusi Perancis nyata 

benar perkudaan ini, di Jerman Hitler pun demi-kian pula. 

Pergerakan feminis pun dulu sering mencoba memperkudakan 

massa, menyuruh massa itu menarik kereta yang merekalah 


 

duduk di atasnya, kesatu tempat yang merekalah mendapat 

keuntungan di sana. 

 

Oleh sebab  itu, kewajiban pemimpin wanita tingkat ketiga 

ialah pertama-tama menyedarkan massa, membukakan mata 

massa jangan mau dijadikan kuda, -dan kedua: di mana 

mungkin dan di mana dapat, mempengaruhi pemimpin-

pemimpin feminis itu supaya tuntutan-tuntutannya tidak 

terlalu bertentangan dengan kepentingan massa. Hal ini tidak 

bertentangan dengan prinsip tidak bekerja bersama-sama 

dengan mereka, sebab pergerakan tingkat ketiga tidak 

mengikatkan diri kepada mereka, tidak mengorbankan 

kemerdekaan dirinya kepada mereka, tidak mengasih konsesi 

sedikit pun kepada mereka. 

 

Satu contoh: Dulu Serikat Wanita Liberal di Inggeris sangat 

“anti” kepada tiap-tiap usaha kaum buruh wanita supaya 

diadakan, hukum-hukum yang melindungi buruh wanita.  

 

Sebab memang demikianlah prinsip liberalisme: anti bahwa 

negara ikut-ikut campur dalam urusan produksi. namun  lama-

kelamaan Serikat Wanita Liberal itu akhirnya toh menyetujui 

pula kepada diadakannya wet-wet yang melindungi buruh 

wanita. Apa sebab? Sebabnya ialah oleh sebab  mereka lama-

kelamaan kena pengaruh pemimpin-pemimpin tingkat ketiga. 

Terutama sekali Miss Amie Hieks rajin sekali mempengaruhi 

rapat-rapat Serikat Wanita Liberal itu dengan pidato-pidato 

yang jitu dan meyakinkan. Di tiap-tiap rapat ia minta ikut 

bicara, di tiap-tiap rapat ia mendebat atau menganjur-kan hal-

hal yang perlu dianjurkan. Kegiatan Miss Amie Hicks itu boleh 

dijadikan teladan. 

 

namun  inipun tidak boleh berarti, bahwa boleh diharapkan 

pergerakan feminis itu akan “mlungsungi” sama sekali 

menjadi pergerakan tingkat ketiga. Sama sekali tidak! Sebab 

dasar kewarga an pergerakan feminis itu ialah kelas 

atasan, dan pergerakan feminis itu akhirnya tak dapat bersifat 

lain dibandingkan  mengerjakan tugas yang diberikan oleh sejarah 

pada  kelas atasan. Yang mereka dapat kompromisi niscaya 

tidak lebih dibandingkan  kompromis-kompromis kecil yang tidak 

mengubah kepada garis-garis besar tugas sejarah kelas 


 

atasan. Tidak!, politik mencoba mempengaruhi pergerakan 

feminis itu tidak boleh berarti mengharap-harapkan kerbau 

menjadi harimau, atau harimau menjadi gajah. Ia hanyalah 

harus berarti, bahwa massa harus dijaga jangan sampai ia 

terlalu menjadi korban kenaikannya wanita borjuasi. Yang 

paling penting ialah tetap: mendidik wanita massa, 

menyedarkan wanita massa, mengorganisir wanita massa, 

memparatkan wanita massa, menggerakkan wanita massa. Itu 

dan itu sajalah tetap alif-ba-ta-nya pergerakan wanita tingkat 

ketiga!  

 

Pergerakan feminis nyata tidak mampu memerdekakan wanita 

sama sekali. Tuntutan persamaan hak semata-mata, nyata 

masih meninggalkan satu soal yang belum selesai: 

bagaimanakah menghilangkan pertentangan antara 

pekerjaan warga  dan panggilan jiwa sebagai isteri dan 

ibu? Bagaimanakah menghilangkan “scheur, die door haar 

wezen gaat?” 

 

Sesuai dengan tuntutan emansipasi, maka wanita atasan 

sekarang sengaja keluar dari kurungan pingitan, keluar 

bersekolah, belajar sesuatu “beroep”, belajar menjadi juru-

rawat, menjadi guru, menjadi juru-ketik atau juru-tulis atau 

komis, menjadi dokter atau insinyur atau adpokat, -namun  

kelak, kalau mereka sudah menjabat pekerjaan itu, ... 

datanglah lagi-lagi ujian-jiwa yang amat sulit: mereka harus 

memilih antara pekerjaan itu dan ... hidup bersuami! Lagi-lagi 

datanglah bagi tiap-tiap orang wanita yang telah terlepas dari 

pingitan dan telah menjabat sesuatu pekerjaan yang umum 

satu saat yang ia terpaksa memilih antara pekerjaan itu dan 

panggilan kodrat alam. Mana yang harus dipilih? Mana yang 

harus dilebih beratkan?: pekerjaannyakah, -atau 

bersuamikah? Terus bekerjakah, -atau kembali ke dalam 

kurungan rumah tangga namun  memiliki  kekasih, 

memiliki  laki-laki, memiliki  anak? Buat apa tadinya 

membuang uang dan tempoh begitu banyak buat spesial 

bersekolah menjadi juru-rawat atau guru atau dokter atau 

adpokat, kalau akhirnya semua kepandaian itu toh musti 

dikesampingkan, sebab  alam akhirnya toh menuntut 

bagiannya pula? 

 


 

“Tiap-tiap gadis menunggu datangnya hidup berlaki-isteri 

sebagai satu hal yang akan mengisi dan memenuhi hidupnya 

sama sekali. Pekerjaannya (di dalam warga ) itu buat dia 

bukan pekerjaan buat seumur hidup, namun  sekedar satu 

tingkatan peralihan saja kepada pekerjaan yang sebenarnya, 

yaitu hidup berlaki-isteri”. 

 

Demikianlah gambaran jiwa, yang saya baca di dalam tulisan 

salah seorang pemimpin wanita feminis. Sekali lagi, -buat apa 

belajar sesuatu pekerjaan, kalau pekerjaan itu kelak toh harus 

dilepaskan lagi sebab  keharusan hidup berlaki-isteri? Mana 

yang harus diberatkan: pekerjaankah, atau cinta dan jadi 

ibukah? Inilah ujian jiwa yang sulit. Dan jikalau dua-duanya 

diambil, seperti halnya dengan kaum wanita bawahan, yang 

ya bekerja di paberik ya bersuami-isteri dan beranak-, maka 

wanita atasan itu rasanya tidak sanggup menderitaka “scheur” 

atau “retak” yang membelah jiwa-raganya kaum wanita 

bawahan. Dan jikalau wanita atasan itu memilih hidup 

bersuami-isteri dibandingkan  meneruskan pekerjaannya; jikalau ia 

dengan rasa masygul mengikuti panggilan kodrat alam dan 

meninggalkan pekerjaannya di kantor atau di lapangan 

pekerjaan lain, maka fihak feminis memberi hiburan 

kepadanya yang berbunyi: “Jangan masygul, jangan kecewa, 

sebab pengetahuan yang engkau dapat di sekolah dulu itu toh 

berfaedah juga buat kau pakai dalam rumah tangga”. 

 

lni namanya “lari dari kenyataan”! Sebab, jikalau benar 

maksud bersekolah itu hanya buat berfaedah di rumah tangga 

saja, maka lebih baik jangan gadis-gadis disekolahkan 

mengetik, jangan disekolahkan dagang, atau insinyur atau 

adpokat, atau kimia atau kesusasteraan, namun  masukkanlah 

mereka semua ke sekolah-sekolah rumah tangga, -

huishoudscholen, yang vak-vaknya semata-mata buat 

kesempurnaan rumah tangga dan keibuan! Jikalau tujuan 

hidup wanita hanya suami dan anak-anak saja, maka wanita 

tak perlu mempelajari lain-lain pekerjaan, melainkan 

pekerjaan keisterian dan keibuan saja! Tidakkah kita merasa 

geli memfikirkan pendirian kaum feminis itu, yang tadinya 

mati-matian menuntut hak untuk bekerja, namun  lalu  

melepaskan pula pekerjaan yang telah diperdapat itu? Mereka 

merasakan adanya scheur, merasakan adanya retak, namun  


 

mereka tidak berjoang meghilangkan sebabnya retak itu, tidak 

berjoang menyembuhkan retak itu, melainkan memilih salah 

satu di antara dua belah yang dipisahkan oleh retak itu. Coba 

perhatikan satu ucapan lagi dari seorang pemimpin feminis, 

nyonya van Itallie van Embden, yang berbunyi: “Weest niet 

bang, maakt U niet ongerust! Wanneer de vrouw gaat voelen, 

dat haar kinderen lijden onder haar dubbel werk, dan komt 

zeterug ... Als ze moet kiezen, dan kiest ze het kind”. Artinya: 

“Jangan takut, jangan kuatir! Kalau wanita merasa, bahwa 

anak-anaknya menderita sebab  pekerjaannya yang dobel itu, 

ia akan kembali ... Kalau ia harus memilih, anaknyalah yang 

ia pilih”. 

 

Isinya ucapan ini benar. “Kalau ia harus memilih, anaknyalah 

yang ia pilih”. Memang demikianlah jiwa wanita. Memang 

demikianlah harusnya jiwa wanita. Wanita yang tidak 

mengutamakan anak, tidak pantas bernama wanita. Itu bukan 

soal lagi. namun  yang menjadi soal ialah: apa sebab ada retak, 

dan bagaimana menghilangkan retak itu? Dengan memakai 

perkataan-perkataan Nyonya Itallie van Embden sendiri, maka 

soalnya ialah: apa sebab “anak-anaknya menderita sebab  

pekerjaannya yang dobel itu”? Tidakkah mungkin diperdapat 

satu susunan warga , yang anak-anak tidak menderita, 

walaupun ibunya mengerjakan pekerjaan dobel? 

 

Ucapan Nyonya Itallie van Embden, seperti ucapan pemimpin 

feminis lain yang saya sitir di atas tadi, lagi-lagi satu perbu-

atan “lari dari kenyataan”, lagi-lagi satu “vlucht uit de 

werkelijkheid”. Lagi-lagi orang terpaksa bertanya: buat apa 

mengotot minta hak untuk bekerja, kalau pekerjaan itu nanti 

toh akan dilepaskan lagi? Tidak! pokok pangkal dari semua 

“vlucht” itu ialah, bahwa feminisme memang tidak mampu 

memecahkan soal! Tidak mampu memecahkan soal 

bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan 

(pencaharian) dan keibuan! 

 

Tidak bersuami dan tidak beranak, -bertentangan dengan 

panggilan kenikmatan alam. namun  bersuami beranak dan 

bekerja di warga , - bertentangan dengan kesempurnaan 

kedua-duanya!  

 

208 

 

Inilah pertentangan itu! 

Maka oleh sebab  itu, di kalangan feminis sendiri lantas 

timbul satu golongan yang tidak puas dengan feminisme itu. 

Golongan inilah yang menyebutkan dirinya kaum neo-

feminisme. Mereka bermaksud “mengoreksi” feminisme itu. 

namun  koreksi mereka itu ... makin salah! 

 

Makin menandakan kelemahan pendiriannya! Hanyalah 

barangkali ... lebih jujur! 

 

Sebab, bagaimana pendirian neo-feminisme? Di dalam satu 

kitab tulisan D.L.Daalder “Feminisme en Nieuwfeminisme” 

diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan 

lebih dahulu bahwa tujuan hidup wanita ialah (bagaimanapun 

juga) suami dan anak. Maka oleh sebab  itu, tujuan 

pergerakan wanita haruslah: menyempurnakan wanita buat 

hidup bersuami dan beranak. Maka neo-feminisme 

bermaksud: mendidik dan mempersiapkan wanita, terutama 

gadis, supaya ia kelak dengan sempurna dapat mengerjakan 

kewajibannya sebagai isteri dan sebagai ibu. Neo-feminisme 

tidak mengutamakan lagi pekerjaan, tidak mengutamakan lagi 

persamaan hak. Hak atas pekerjaan, dan hak pemilihan, tidak 

lagi menjadi titik berat aksinya. Suami dan anak, cinta dan 

keibuan, kesitulah pandangan matanya ... 

 

“Menyempurnakan wanita buat hidup bersuami dan beranak”! 

 

Dengan samar-samar saya melihat lagi jirimnya pergerakan 

wanita tingkat kesatu. Sesudah hampir dua ratus tahun 

pergerakan wanita, -kini kembali lagi ketingkat itu! ... 

 

Tanda apa ini? Tak lain tak bukan tanda ketidakmampuan. 

Tidak mampu menemukan pemecahan satu soal. Dicoba 

begini, dicoba begitu, akhirnya dicoba begini lagi ... 

Pemecahan tidak terdapat, -jalan yang diturut ternyata jalan 

buntu. Dan sebab  jalannya buntu, lantas mundur. Mundur 

kembali ke tempat yang ditinggalkan dua ratus tahun yang 

telah lalu! 

 

sebab  jalannya buntu, lantas mau menjalankan “koreksi”. 

namun  koreksi itu bukan mendobrak kebuntuan itu, 

209 

 

melainkan membiarkan kebuntuan itu, dan ... mundur 

kembali. Mundur kembali ke “suami dan anak saja”. Mundur 

kembali ke “penyempurnaan wanita”. Mundur kembali ke 

sarang rumah tangga, dengan melepaskan pekerjaan di 

warga , melepaskan persamaan hak, melepaskan hak 

perwakilan, dan lain-lain lagi tuntutan progresif yang 

sebagainya. 

 

Alangkah bedanya pergerakan wanita tingkat ketiga! 

Pergerakan wanita tingkat ketiga dengan tegas menyatakan, 

bahwa koreksi satu-satunya yang benar ialah: menghilangkan 

pertentangan antara pekerjaan untuk warga  dan cinta 

dan keibuan itu! Menghilangkan pertentangan antara dua hal 

itu dengan mengadakan satu susunan pergaulan hidup di 

mana dua hal itu tidak berkonflik satu sama lain, namun  justru 

isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni satu sama lain, 

mensintese satu sama lain. 

 

Ya, isi-mengisi satu sama lain, mengharmoni yang satu 

de